+ All Categories
Home > Documents > Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Date post: 02-Dec-2015
Category:
Upload: suhadi
View: 306 times
Download: 1 times
Share this document with a friend
Popular Tags:
31
Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial Ekonomi dan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Diare Akut Pada Balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir Posted on Juli 16, 2008 by kuliahbidan ABSTRACT THE CORRELATION BETWEEN ENVIRONMENT, SOCIAL-ECONOMY AND KNOWLEDGE AMONG MOTHERS TOWARDS INCIDENS OF ACUTE DIARRHEA ON CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD IN PEKAN ARBA VILLAGE TEMBILAHAN DISTRICT OF INDRAGIRI HILIR REGENCY BY YANCE WARMAN Diarrhea is still fully guarded to fell in children under five years old. It’s one of the main factor of death and illness to children in the developed country as Indonesia. Many factors influenced this phenomenon. Some of them were environment, social-economy and well informed mother. The aim of this research was conducted to map the condition and specifically executed in Pekan Arba Village-Tembilahan District of Indragiri Hilir Regency. This research used methode of analitycal cross sectional approach. Population was mother who have children under five with numery 535, but the sample was 230. The instrument of the research was questionnaire. The analysis data used SPSS program. From this research was founded that percentage of respondent environment condition at 41.7 % was good health. 54.4% was moderate and 3.9% was bad environment. Instead, respondent social-economy can be categorized 3.9% was underprosperous, 79.1% was prosperous level I, 4.8% was prosperous level II, 4.4 % was prosperous level III and 7.8% was upper prosperous. Looking at well informed factor research concludes that 46,5 % was good and 53,5 % was moderate. This research also concludes that Diarrhea percentage of children under five was 53% of sample. The correlation between environment, social economy and knowledge among mothers towards incidens of acute diarrhea on children under five years old indicated significant correlation and positif relation. Overall well informed factor was more significantly influence acute diarrhea rate in Pekan Arba Village-Tembilahan District of Indragiri Hilir Regency compared to other factors. Keywords: Environment, Social-Economy, Knowledge among Mothers, Incidens of acute diarrhea on children under five years old - - ABSTRAK HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN, SOSIAL EKONOMI DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT PADA BALITA DI KELURAHAN PEKAN ARBA KECAMATAN TEMBILAHAN KABUPATEN INHIL OLEH YANCE WARMAN Diare merupakan penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang balita. Diare merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan pada anak di Negara berkembang, termasuk Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian diare ini, diantaranya faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL. Penelitian ini menggunakan metode analitik cross sectional study. Populasi dari penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki balita yang bertempat tinggal di Kelurahan Pekan Arba
Transcript
Page 1: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial Ekonomi dan Pengetahuan Ibu dengan

Kejadian Diare Akut Pada Balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

Kabupaten Indragiri HilirPosted on Juli 16, 2008 by kuliahbidan

ABSTRACT

THE CORRELATION BETWEEN ENVIRONMENT, SOCIAL-ECONOMY AND KNOWLEDGE AMONG MOTHERS

TOWARDS INCIDENS OF ACUTE DIARRHEA ON CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD

IN PEKAN ARBA VILLAGE TEMBILAHAN DISTRICT

OF INDRAGIRI HILIR REGENCY

BY

YANCE WARMAN

Diarrhea is still fully guarded to fell in children under five years old. It’s one of the main factor of death and illness to

children in the developed country as Indonesia. Many factors influenced this phenomenon. Some of them were

environment, social-economy and well informed mother. The aim of this research was conducted to map the

condition and specifically executed in Pekan Arba Village-Tembilahan District of Indragiri Hilir Regency.

This research used methode of analitycal cross sectional approach. Population was mother who have children under

five with numery 535, but the sample was 230. The instrument of the research was questionnaire. The analysis data

used SPSS program.

From this research was founded that percentage of respondent environment condition at 41.7 % was good health.

54.4% was moderate and 3.9% was bad environment. Instead, respondent social-economy can be categorized 3.9%

was underprosperous, 79.1% was prosperous level I, 4.8% was prosperous level II, 4.4 % was prosperous level III

and 7.8% was upper prosperous. Looking at well informed factor research concludes that 46,5 % was good and 53,5

% was moderate. This research also concludes that Diarrhea percentage of children under five was 53% of sample.

The correlation between environment, social economy and knowledge among mothers towards incidens of acute

diarrhea on children under five years old indicated significant correlation and positif relation. Overall well informed

factor was more significantly influence acute diarrhea rate in Pekan Arba Village-Tembilahan District of Indragiri Hilir

Regency compared to other factors.

Keywords: Environment, Social-Economy, Knowledge among Mothers, Incidens of acute diarrhea on children under

five years old

-

-

ABSTRAK

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN, SOSIAL EKONOMI

DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT PADA BALITA

DI KELURAHAN PEKAN ARBA KECAMATAN TEMBILAHAN KABUPATEN INHIL

OLEH

YANCE WARMAN

Diare merupakan penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang balita. Diare merupakan penyebab utama

kematian dan kesakitan pada anak di Negara berkembang, termasuk Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi

kejadian diare ini, diantaranya faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare

akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL.

Penelitian ini menggunakan metode analitik cross sectional study. Populasi dari penelitian ini adalah ibu-ibu yang

memiliki balita yang bertempat tinggal di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL. Populasi

berjumlah 535, dengan sample berjumlah 230. Instrumen penelitian berupa kuesioner. Pengolahan dan analisis data

dengan mengunakan SPSS.

Page 2: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Hasil penelitian didapatkan bahwa kondisi lingkungan responden berada dalam kategori baik 41,7%, cukup 54,4%

dan buruk 3,9%. Keadaan sosial ekonomi berada dalam kategori keluarga prasejahtera 3,9%, keluarga sejahtera I

79,1%, keluarga sejahtera II 4,8%, keluarga sejahtera III 4,4% dan keluarga sejahtera III plus 7,8%. Tingkat

pengetahuan ibu berada dalam kategori tinggi 46,5%, sedang 53,5%. Angka kejadian diare pada anak balita 53%

dari jumlah sample. Korelasi antara faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare

akut pada anak balita menunjukkan korelasi yang signifikan dan hubungan yang positif, dimana pengetahuan ibu

memberikan kontribusi paling kuat dibandingkan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dalam mempengaruhi

kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL.

Kata kunci : Lingkungan, Sosial ekonomi, Pengetahuan ibu, Kejadian diare akut pada anak balita

-

-

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Anak merupakan aset masa depan yang akan melanjutkan pembangunan di suatu negara. Masa perkembangan

tercepat dalam kehidupan anak terjadi pada masa balita. Masa balita merupakan masa yang paling rentan terhadap

serangan penyakit. Terjadinya gangguan kesehatan pada masa tersebut, dapat berakibat negatif bagi pertumbuhan

anak itu seumur hidupnya (Soetjiningsih, 1995, Adzania, 2004). Penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang

balita adalah diare (Sutoto, Indriyono, 1996, Widjaja, 2003)

Angka kejadian diare pada anak di dunia mencapai 1 miliar kasus tiap tahun, dengan korban meninggal sekitar 5 juta

jiwa. Statistik di Amerika mencatat tiap tahun terdapat 20-35 juta kasus diare dan 16,5 juta diantaranya adalah balita

(Pickering et al, 2004).Angka kematian balita di negara berkembang akibat diare ini sekitar 3,2 juta setiap tahun

(Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999). Statistik

menunjukkan bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia, duapertiganya adalah balita dengan

korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Pickering et al, 2004). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau

pada tahun 2003 angka kejadian diare di Provinsi Riau sebanyak 84.634, tahun 2004 sebanyak 87.660 orang dan

pada tahun 2005 diare menempati urutan pertama dari sepuluh besar penyakit pada pasien rawat inap di RSUD

Arifin Achmad Provinsi Riau. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir mencatat bahwa angka kejadian diare

di Tembilahan pada tahun 2004 mencapai 904 kasus, pada tahun 2005 sebanyak 725 kasus. Data dari puskesmas

Tembilahan diketahui bahwa kejadian diare di Kelurahan Pekan Arba tahun 2004 sebanyak 85 kasus, dan tahun

2005 sebanyak 102 kasus.

Departemen kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa tingkat kematian bayi di Indonesia masih tergolong

tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota Assosiation South East Asia Nation (ASEAN). Penyebab

utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang adalah diare. Sampai saat ini diare tetap

sebagai child killer peringkat pertama di Indonesia (Andrianto, 1995, Warouw, 2002).

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kejadian

diare akut pada balita. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor lingkungan, keadaan sosial ekonomi dan

pengetahuan ibu. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang berasal dari luar dan dapat diperbaiki, sehingga

dengan memperbaiki faktor resiko tersebut diharapkan dapat menekan angka kesakitan dan kematian diare pada

balita (Irianto, 2000, Warouw, 2002, Asnilet al, 2003).

Berdasarkan latar belakang di atas maka saya tertarik mengetahui hubungan antara lingkungan, sosial ekonomi dan

pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

Kabupaten Indragiri Hilir.

1.2. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan antara

faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut di Kelurahan Pekan Arba

Kecamatan Tembilahan INHIL?”

1.3. Hipotesis penelitian

Page 3: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Hipotesis yang diangkat dalam penelitian ini adalah :

a. Adanya hubungan antara keadaan lingkungan, yakni sumber air minum, jamban, perumahan, sampah dan

pengelolaan limbah, dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

b. Adanya hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba

Kecamatan Tembilahan

c. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba

Kecamatan Tembilahan

1.4. Tujuan penelitian

1.4.1 Tujuan Umum :

Mengetahui hubungan keadaan lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada

balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan.

1.4.2 Tujuan Khusus :

Tujuan khusus dalam penelitian ini antara lain :

1. Mengetahui gambaran keadaan lingkungan masyarakat di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

2. Mengetahui gambaran keadaan sosial ekonomi masyarakat di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

3. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu sehubungan dengan kejadian Diare akut di Kelurahan Pekan Arba

Kecamatan Tembilahan

4. Mengetahui hubungan antara lingkungan dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba

Kecamatan Tembilahan

5. Mengetahui hubungan antara sosial ekonomi masyarakat terhadap kejadian diare akut pada balita di Kelurahan

Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

6. Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba

Kecamatan Tembilahan

7. Mengetahui kontribusi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada balita

di Kelurahan pekan Arba Kecamatan Tembilahan

1.5. Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain :

a. Meningkatkan wawasan penulis tentang pengaruh lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap

kejadian diare akut pada balita, mampu mengenali permasalahan kesehatan di masyarakat serta dapat

mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapat dibangku kuliah ketengah masyarakat.

b. Diharapkan membantu pemerintah setempat dalam usaha penetapan kebijakan, pengembangan program

khususnya bidang kesehatan lingkungan, sosial ekonomi dan peningkatan pengetahuan ibu-ibu di bidang kesehatan

c. Menambah referensi perpustakaan di Fakultas Kedokteran Universitas Riau, memberi masukan, saran kepada

fakultas mengenai target-target dan kurikulum apa saja yang akan dikembangkan di fakultas untuk menghasilkan

lulusan dokter yang siap terjun di masyarakat

d. Menambah wawasan penulis khususnya tentang cara-cara pencegahan dan faktor yang dapat mempengaruhi

kejadian diare akut pada balita.

-

-

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

-

2.1. Diare Akut

2.1.1.Definisi Diare

Diare menurut definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat),

konsistensi tinja menjadi lebih lembek atau cair. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998)

2.1.2. Klasifikasi Diare

Page 4: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari diare akut, diare persisten dan diare kronis. (Asnil et al,

2003).

2.1.2.1 Diare Akut

Diare akut adalah diare yang terjadi sewaktu-waktu, berlangsung kurang dari 14 hari, dengan pengeluaran tinja lunak

atau cair yang dapat atau tanpa disertai lendir dan darah

2.1.2.2 Diare Persisten

Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan dari diare akut atau peralihan

antara diare akut dan kronik.

2.1.2.3 Diare kronis

Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab non-infeksi, seperti penyakit

sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme yang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari.

2.1.3. Etiologi

Diare akut disebabkan oleh banyak faktor antara lain infeksi, makanan, efek obat, imunodefisiensi dan keadaan-

keadaan tertentu. (Mansjoer et al, 2000, Asnil et al, 2003).

2.1.3.1 Infeksi

Infeksi terdiri dari infeksi enteral dan parenteral. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan dan infeksi

parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998,

Ngastiyah, 2004). Mikroorganisme yang menjadi penyebabnya antara lain Aeromonas, Compylobacter,

Clostridiumdifficile, Escherichiacoli, Enterotoxigenic, Enteropathogenic, Shigella, Salmonella, Vibrio cholera,

Enteroinvasive (Pickering et al, 2004).

2.1.3.2 Makanan

Diare dapat disebabkan oleh intoksikasi makanan, makanan pedas, makanan yang mengandung bakteri atau toksin.

Alergi terhadap makanan tertentu seperti susu sapi, terjadi malabsorbsi karbohidrat, disakarida, lemak, protein,

vitamin dan mineral.

2.1.3.3 Imunodefisiensi

Defisiensi imun terutama SigA (Secretory Immunoglobulin A) yang mengakibatkan berlipat gandanya bakteri, flora

usus, jamur, terutama Candida

2.1.3.4 Terapi obat

Obat-obat yang dapat menyebabkan diare diantaranya antibiotik, antasid

2.1.3.5 Keadaan tertentu

Keadaan lain yang menyebabkan seseorang diare seperti gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf.

2.1.4. Epidemiologi

Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada balita dari pada anak yang lebih besar. Kejadian diare akut pada anak

laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Penyakit ini ditularkan secara fecal-oral melalui makanan dan

minuman yang tercemar atau kontak langsung dengan tinja penderita (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit

Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999). Prevalensi diare yang tinggi di negara berkembang

merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar, kekurangan protein yang menyebabkan turunnya daya tahan

tubuh (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999).

Penurunan angka kejadian diare pada bayi di negara-negara maju, erat kaitannya dengan pemberian ASI, yang

sebagian disebabkan oleh kurangnya pencemaran minum anak dan sebagian lagi karena faktor pencegahan

imunologik dari ASI (Asnilet al, 2003). Perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan

meningkatkan resiko terjadinya diare antara lain, tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama

kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang

tercemar oleh bakteri yang berasal dari tinja, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar (Direktorat Jendral

Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999).

2.1.5. Patofisiologi

Page 5: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi berikut, yakni gangguan osmotik dan gangguan

sekretorik. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999 ).

2.1.5.1 Gangguan osmotik

Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan

tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan ekstraseluler. Diare terjadi jika bahan yang secara osmotik aktif dan

sulit diserap. Bahan tersebut berupa larutan isotonik dan hipertonik. Larutan isotonik, air dan bahan yang larut di

dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila substansi yang diabsorbsi berupa larutan

hipertonik, air dan elektronik akan pindah dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai osmolaritas dari isi

usus sama dengan cairan ekstraseluler dan darah, sehingga terjadi pula diare.

2.1.5.2 Gangguan sekretorik

Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin, menyebabkan vili gagal mengabsorbsi natrium,

sedangkan sekresi klorida di sel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi

air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya

sehingga timbul diare.

2.1.6. Manifestasi klinis

Mula-mula anak balita menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada

kemudian timbul diare. Tinja cair, mungkin disertai lendir atau lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah

kehijau-hijauan karena tercampur empedu, karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya lecet karena tinja makin

lama menjadi asam akibat banyaknya asam laktat, yang berasal dari laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus selama

diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan atau sesudah diare. (Ngastiyah, 1997, Mansjoer  et al, 2000, Asnil et

al, 2003). Anak-anak yang tidak mendapatkan perawatan yang baik selama diare akan jatuh pada keadaan-keadaan

seperti dehidrasi, gangguan keseimbangan asam-basa, hipoglikemia, gangguan gizi, gangguan sirkulasi. (Asnil  et al,

2003)

2.1.6.1 Dehidrasi

Dehidrasi terjadi karena kehilangan air lebih banyak daripada pemasukan air. Derajat dehidrasi dapat dibagi

berdasarkan gejala klinis dan kehilangan berat badan. Derajat dehidrasi menurut kehilangan berat badan,

diklasifikasikan menjadi empat, dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 2.1 derajat dehidrasi berdasarkan kehilangan berat badan

Derajat dehidrasi Penurunan berat badan (%)Tidak dehidrasi < 2 ½Dehidrasi ringan 2 ½ – 5Dehidrasi sedang 5-10Dehidrasi berat 10

( Buku ajar diare, 1999 )

Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinisnya dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 2.2 Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinis

Penilaian A B CKeadaan umum Baik, sadar Gelisah, rewel« Lesu, tidak sadar«Mata Normal Cekung Sangat cekungAir mata Ada Tidak ada Tidak adaMulut, lidah Basah Kering Sangat keringRasa haus Minum seperti

biasaHaus, ingin minum banyak«

Malas minum, tidak bisa minum

Periksa:Turgor kulit Kembali cepat Kembali lambat« Kembali sangat lambat

Page 6: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Hasil pemeriksaan Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan/ sedangBila ada 1 tanda ditambah 1/lebih tanda lain

Dehidrasi beratBila ada 1 tanda ditambah 1/lebih tanda lain

Terapi Rencana pengobatan A

Rencana pengobatan B

Rencana pengobatanC

( Buku ajar diare, 1999 )

2.1.6.2 Gangguan keseimbangan asam-basa

Gangguan keseimbangan asam basa yang biasa terjadi adalah metabolik asidosis. Metabolik asidosis ini terjadi

karena kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja, terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan,

produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal, pemindahan ion Na

dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.

2.1.6.3 Hipoglikemia

Pada anak-anak dengan gizi cukup/baik, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih sering terjadi pada anak yang

sebelumnya sudah menderita kekurangan kalori protein (KKP). Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa

darah menurun sampai 40 mg % pada bayi dan 50 mg % pada anak-anak. Gejala hipoglikemia tersebut dapat

berupa : lemas, apatis , tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang sampai koma.

2.1.6.4 Gangguan gizi

Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya penurunan berat badan dalam

waktu yang singkat. Hal ini disebabkan karena makanan sering dihentikan oleh orang tua. Walaupun susu

diteruskan, sering diberikan pengenceran. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan

baik karena adanya hiperperistaltik.

2.1.6.5 Gangguan sirkulasi

Gangguan sirkulasi darah berupa renjatan atau shock hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi

hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan dalam otak, kesadaran menurun dan bila tidak

segera ditolong penderita dapat meninggal

2.1.7. Penatalaksanaan

2.1.7.1 Prinsip penatalaksanaan diare akut

Menurut Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Prinsip

penatalaksanaan diare akut antara lain dengan rehidrasi, nutrisi, medikamentosa (Andrianto, 1995)

2.1.7.1.1 Rehidrasi

Diare cair membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit tanpa melihat etiologinya. Jumlah cairan yang diberi harus

sama dengan jumlah cairan yang telah hilang melalui diare dan atau muntah, ditambah dengan banyaknya cairan

yang hilang melalui keringat, urin, pernapasan dan ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan

muntah yang masih terus berlangsung. Jumlah ini tergantung pada derajat dehidrasi serta berat badan masing-

masing anak atau golongan umur.

2.1.7.1.2 Nutrisi

Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindarkan efek buruk pada status gizi. Agar

pemberian diet pada anak dengan diare akut dapat memenuhi tujuannya, serta memperhatikan faktor yang

mempengaruhi keadaan gizi anak, maka diperlukan persyaratan diet sebagai berikut yakni, pasien segera diberikan

makanan oral setelah rehidrasi yakni 24 jam pertama, makanan cukup energi dan protein, makanan tidak

merangsang, makanan diberikan bertahap mulai dengan yang mudah dicerna, makanan diberikan dalam porsi kecil

dengan frekuensi sering. Pemberian ASI diutamakan pada bayi, pemberian cairan dan elektolit sesuai kebutuhan,

pemberian vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup. Khusus untuk penderita diare karena malabsorbsi

diberikan makanan sesuai dengan penyebabnya, antara lain : Malabsorbsi lemak berikan trigliserida rantai

menengah, Intoleransi laktosa berikan makanan rendah atau bebas laktosa, Panmalabsorbsi berikan makanan

Page 7: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

rendah laktosa, parenteral nutrisi dapat dimulai apabila ternyata dalam 5-7 hari masukan nutrisi tidak optimal

(Suandi, 1999)

2.1.7.1.3 Medikamentosa

Antibiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin. Obat-obat anti diare meliputi antimotilitas seperti

loperamid, difenoksilat, kodein, opium, adsorben seperti Norit, kaolin, attapulgit. Anti muntah termasuk prometazin

dan klorpromazin

2.1.7.2 Rencana pengobatan

Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi menjadi tiga, yakni rencana pengobatan A, B

dan C.

2.1.7.2.1 Rencana pengobatan A

Digunakan untuk mengatasi diare tanpa dehidrasi, meneruskan terapi diare di rumah, memberikan terapi awal bila

anak terkena diare lagi. Cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti oralit, makanan cair (sup, air tajin), air matang.

Gunakan larutan oralit untuk anak seperti dijelaskan dalam tabel berikut :

Tabel 2.3 Kebutuhan oralit per kelompok umur

Umur Jumlah oralit yang diberikan tiap BAB

Jumlah oralit yang disediakan di rumah

< 12 bulan 50-100 ml 400 ml/hari ( 2 bungkus)1-4 tahun 100-200 ml 600-800 ml/hari ( 3-4 bungkus)> 5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml/hari (4-5 bungkus)

( Buku ajar diare, 1999 )

2.1.7.2.2 Rencana pengobatan B

Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan sedang, dengan cara ; dalam 3 jam pertama,

berikan 75 ml/KgBB. Berat badan anak tidak diketahui, berikan oralit paling sedikit sesuai tabel berikut:

Tabel 2.4 Jumlah oralit yang diberikan pada 3 jam pertama

Umur < 1 tahun 1-5 tahun > 5 tahunJumlah oralit 300 ml 600 ml 1200 ml( Buku ajar diare, 1999 )

Berikan anak yang menginginkan lebih banyak oralit, dorong juga ibu untuk meneruskan ASI. Bayi kurang dari 6

bulan yang tidak mendapatkan ASI, berikan juga 100-200 ml air masak. Setelah 3-4 jam, nilai kembali anak

menggunakan bagan penilaian, kemudian pilih rencana A, B atau C untuk melanjutkan pengobatan

2.1.7.2.3 Rencana pengobatan C

Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi berat. Pertama-tama berikan cairan intravena, nilai

setelah 3 jam. Jika keadaan anak sudah cukup baik maka berikan oralit. Setelah 1-3 jam berikutnya nilai ulang anak

dan pilihlah rencana pengobatan yang sesuai.

2.1.8. Pencegahan Diare

Tindakan dalam pencegahan diare ini antara lain dengan perbaikan keadaan lingkungan, seperti penyediaan sumber

air minum yang bersih, penggunaan jamban, pembuangan sampah pada tempatnya, sanitasi perumahan dan

penyediaan tempat pembuangan air limbah yang layak. Perbaikan perilaku ibu terhadap balita seperti pemberian ASI

sampai anak berumur 2 tahun, perbaikan cara menyapih, kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah

beraktivitas, membuang tinja anak pada tempat yang tepat, memberikan imunisasi morbili (Andrianto, 1995).

Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga

perilaku dan keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat ( Notoadmodjo, 2003)

2.2. Lingkungan

Sejak pertengahan abad ke-15 para ahli kedokteran telah menyebutkan bahwa tingkat kesehatan masyarakat

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut model segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat beroperasinya

faktor agen, hostdan lingkungan. Menurut model roda timbulnya penyakit sangat tergantung dari lingkungan

Page 8: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

(Mukono, 1995). Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat penting terhadap timbulnya berbagai penyakit

tertentu, sehingga untuk memberantas penyakit menular diperlukan upaya perbaikan lingkungan (Trisnanta, 1995).

Melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah

terserang penyakit (Slamet, 1994). Penyakit-penyakit tersebut seperti diare, kholera, campak, demam berdarah

dengue, difteri, pertusis, malaria, influenza, hepatitis, tifus dan lain-lain yang dapat ditelusuri determinan-determinan

lingkungannya (Noerolandra, 1999).

Masalah kesehatan lingkungan utama di negara-negara yang sedang berkembang adalah penyediaan air minum,

tempat pembuangan kotoran, pembuangan sampah, perumahan dan pembuangan air limbah (Notoatmodjo, 2003).

2.2.1 Sumber air

Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat fisik yakni, air tidak berwarna, tidak

berasa, tidak berbau, jernih dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara sehingga terasa nyaman. Syarat kimia

yakni, air tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan misalnya CO 2, H2S, NH4. Syarat

bakteriologis yakni, air tidak mengandung bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan, kurang dari 4 setiap

100 cc air.

Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air minum. Sumber-sumber air ini antara lain : air hujan, mata air,

air sumur dangkal, air sumur dalam, air sungai & danau.

2.2.2 Pembuangan kotoran manusia

Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam

tubuh seperti tinja, air seni dan CO2. Masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah pokok karena

kotoran manusia adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Beberapa penyakit yang dapat

disebarkan oleh tinja manusia antara lain : tipus, diare, disentri, kolera, bermacam-macam cacing seperti cacing

gelang, kremi, tambang, pita,schistosomiasis. Syarat pembuangan kotoran antara lain, tidak mengotori tanah

permukaan, tidak mengotori air permukaan, tidak mengotori air tanah, kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat

dipergunakan oleh lalat untuk bertelur atau berkembang biak, kakus harus terlindung atau tertutup, pembuatannya

mudah dan murah (Notoatmodjo, 2003).

Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri dari : rumah kakus, lantai kakus, sebaiknya semen,

slab, closet tempat feses masuk, pit sumur penampungan feses atau cubluk, bidang resapan, bangunan jamban

ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, disediakan alat pembersih

seperti air atau kertas pembersih. (Notoatmodjo, 2003)

Jenis kakus antara lain (Notoatmodjo, 2003) :

2.2.2.1 Pit privy (cubluk)

Lubang dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 m. Dinding diperkuat dengan batu-bata, hanya dapat dibuat di

tanah atau dengan air tanah dalam.

2.2.2.2 Angsatrine

Closetnya berbentuk leher angsa sehingga selalu terisi air. Fungsinya sebagai sumbat sehingga bau busuk tidak

keluar.

2.2.2.3 Bored hole latrine

Seperti cubluk, hanya ukurannya kecil, karena untuk sementara. Jika penuh dapat meluap sehingga mengotori air

permukaan

2.2.2.4 Overhung latrine

Rumah kakusnya dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan lain-lain. Feses dapat mengotori air permukaan

2.2.2.5 Jamban cempung, kakus ( Pit Latrine )

Jamban cemplung kurang sempurna karena tanpa rumah jamban dan tanpa tutup. Sehingga serangga mudah

masuk dan berbau, dan jika musim hujan tiba maka jamban akan penuh oleh air. Dalamnya kakus 1,5-3 meter, jarak

dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.

2.2.2.6 Jamban empang (fishpond latrine)

Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem ini terjadi daur ulang, yakni tinja dapat dimakan ikan, ikan

dimakan orang dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja yang dimakan, demikian seterusnya.

Page 9: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

2.2.3 Pembuangan sampah

Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah tangga atau hasil

proses industri. Jenis- jenis sampah antara lain, yakni sampah an-organik, adalah sampah yang umumnya tidak

dapat membusuk, misalnya: logam/besi, pecahan gelas, plastik. Sampah organik, adalah sampah yang pada

umumnya dapat membusuk, misalnya : sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan. Cara pengolahan sampah antara

lain sebagai berikut: (Notoatmodjo, 2003).

2.2.3.1 Pengumpulan dan pengangkutan sampah

Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak mudah

rusak, harus tertutup rapat, ditempatkan di luar rumah. Pengangkutan dilakukan oleh dinas pengelola sampah ke

tempat pembuangan akhir (TPA)

2.2.3.2 Pemusnahan dan pengelolaan sampah

Dilakukan dengan berbagai cara yakni, ditanam (Landfill), dibakar (Inceneration), dijadikan pupuk (Composting)

2.2.4 Perumahan

Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan higienedan sanitasi lingkungan. Adapun

syarat-syarat rumah yang sehat ditinjau dari ventilasi, cahaya, luas bangunan rumah, Fasilitas-fasilitas di dalam

rumah sehat sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2003).

2.2.4.1 Ventilasi

Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar dan untuk

membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen.. Luas ventilasi kurang lebih 15-20 %

dari luas lantai rumah

2.2.4.2 Cahaya

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah,

terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat baik untuk hidup dan

berkembangnya bibit penyakit. Penerangan yang cukup baik siang maupun malam 100-200 lux.

2.2.4.3 Luas bangunan rumah

Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk tiap orang. Jika luas bangunan

tidak sebanding dengan jumlah penghuni maka menyebabkan kurangnya konsumsi O2, sehingga jika salah satu

penghuni menderita penyakit infeksi maka akan mempermudah penularan kepada anggota keluarga lain.

2.2.4.4 Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat

Rumah yang sehat harus memiliki fasilitas seperti penyediaan air bersih yang cukup, pembuangan tinja,

pembuangan sampah, pembuangan air limbah, fasilitas dapur, ruang berkumpul keluarga, gudang, kandang ternak

2.2.5 Air limbah

Air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri dan pada umumnya mengandung

bahan atau zat yang membahayakan. Sesuai dengan zat yang terkandung di dalam air limbah, maka limbah yang

tidak diolah terlebih dahulu akan menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup antara lain

limbah sebagai media penyebaran berbagai penyakit terutama kolera, diare, typus, media berkembangbiaknya

mikroorganisme patogen, tempat berkembangbiaknya nyamuk, menimbulkan bau yang tidak enak serta

pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber pencemaran air permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya,

mengurangi produktivitas manusia, karena bekerja tidak nyaman (Notoatmodjo, 2003).

Usaha untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk tersebut diperlukan kondisi, persyaratan dan upaya sehingga

air limbah tersebut tidak mengkontaminasi sumber air minum, tidak mencemari permukaan tanah, tidak mencemari

air mandi, air sungai, tidak dihinggapi serangga, tikus dan tidak menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit

dan vektor, tidak terbuka kena udara luar sehingga baunya tidak mengganggu (Notoatmodjo, 2003).

2.3. Sosial ekonomi masyarakat

Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan dengan

standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bukan semata-mata

kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan

(Suburratno, 2004)

Page 10: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Kemiskinan bertanggung jawab atas penyakit yang ditemukan pada anak. Hal ini karena kemiskinan mengurangi

kapasitas orangtua untuk mendukung perawatan kesehatan yang memadai pada anak, cenderung memiliki higiene

yang kurang, miskin diet, miskin pendidikan. Sehingga anak yang miskin memiliki angka kematian dan kesakitan

yang lebih tinggi untuk hampir semua penyakit. Frekuensi relatif anak dari orang tua yang berpenghasilan rendah 2

kali lebih besar menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR), 3 kali lebih tinggi resiko imunisasi terlambat dan 4

kali lebih tinggi menyebabkan kematian anak karena penyakit dibanding anak yang orangtuanya berpenghasilan

cukup. (Behrman, 1999)

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah harus memiliki informasi atau peta kemiskinan agar dapat

membuat kebijakan-kebijakan yang tepat dalam pengentasan kemiskinan ini, menentukan target penduduk miskin

sehingga dapat memperbaiki posisi mereka, dan dapat mengevaluasi program-program yang berkenaan dengan

penanggulangan kemiskinan. Ada banyak ukuran yang dapat digunakan dalam mengukur kemiskinan. Di Indonesia

saat ini digunakan dua ukuran kemiskinan, yakni yang dihitung BPS (Badan Pusat Statistik) dan BKKBN (Badan

Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional). Informasi kemiskinan yang dihitung BPS merupakan informasi makro

sedangkan informasi dari BKKBN bersifat mikro dan sangat cocok untuk operasional lapangan. (Badan Penelitian

dan Pengembangan Provinsi Riau, 2004)

Pengukuran kemiskinan yang dihitung oleh BPS dilakukan dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan

minimum, baik untuk makanan maupun minuman, yang harus dipenuhi seseorang untuk hidup layak. Garis

kemiskinan sesungguhnya merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar

kebutuhan makanan setara 2100 kalori per orang per hari. Individu dengan pengeluaran lebih rendah dari garis

kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, 2004).

Pendataan yang dilakukan oleh BKKBN tiap tahun dengan menggunakan kuesioner, diperoleh gambaran status

kesejahteraan keluarga. Keluarga di Indonesia dikategorikan dalam lima tahap, yakni keluarga pra sejahtera,

keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus. Keluarga pra

sejahtera adalah keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan.

Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang walaupun kebutuhan dasar telah terpenuhi, namun kebutuhan sosial

psikologis belum terpenuhi. Keluarga sejahtera II adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar,

sosial-psikologisnya, tapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan. Keluarga sejahtera III adalah keluarga

yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan tapi belum dapat memberi

sumbangan secara teratur pada masyarakat sekitarnya. Keluarga sejahtera tahap III plus adalah keluarga yang telah

dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan, serta telah dapat memberikan sumbangan

yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi

Riau, 2004).

2.4. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkat seperti dalam tabel berikut :

Tabel 2.5 Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif

Domain DefinisiTahu Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnyaMemahami kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui

dan dapat menginterpretasikan secara benar.Aplikasi kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada

situasi atau kondisi riil.Analisis kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam

komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut.

Sintesis kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru

Page 11: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Evaluasi kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek

( Notoatmodjo, 2003)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin

diukur dari subjek penelitian (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat

menentukan kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang

kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat (Slamet, 1994)

-

-

BAB III

METODE PENELITIAN

-

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik, dengan pendekatan cross sectional study yaitu penelitian

yang dilakukan dengan sekali pengamatan pada suatu saat tertentu terhadap objek yang berubah.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kota Kabupaten Indragiri Hilir. Hal ini

didasari oleh data yang dikumpulkan dari puskesmas setempat bahwa daerah tersebut memiliki prevalensi kejadian

diare yang cukup tinggi, dan berdasarkan data dari kelurahan dan pengamatan dari peneliti sendiri diketahui bahwa

daerah tersebut memiliki keadaan georafis, sosial ekonomi yang spesifik.

3.3. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober – November 2006

3.4. Variabel penelitian

Variabel terikat atau dependen dalam penelitian ini adalah kejadian diare akut pada anak balita. Variabel bebas

atau independen yakni lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu.

3.5. Definisi operasional

Definisi operasional pada penelitian ini mencakup lima variabel yakni, diare akut pada anak balita, lingkungan, sosial

ekonomi dan pengetahuan ibu.

3.5.1 Diare akut pada anak balita adalah kejadian diare yang terjadi secara mendadak, berlangsung kurang dari 14

hari, pada anak balita yang berdomisili di Kelurahan Pekan Arba, diketahui dengan cara wawancara langsung

dengan ibu balita.

3.5.2 Lingkungan adalah keadaan lingkungan responden yang dinilai dari keadaan perumahan, sumber air minum,

jamban, pengelolaan sampah dan limbah, yang dinilai dengan menggunakan kuesioner yang dikonfirmasi dengan

pengamatan penulis sendiri, dengan skala ukur interval. Terdiri dari keadaan lingkungan baik, cukup dan buruk.

3.5.3 Sosial ekonomi adalah tingkat kesejahteraan responden yang dinilai dengan menggunakan kuesioner resmi

yang dikeluarkan oleh BKKBN. Terdiri dari lima tingkatan, yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I,

keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III, dan keluarga sejahtera III plus.

3.5.4 Pengetahuan ibu adalah kumpulan informasi tentang diare yang dipahami oleh ibu-ibu yang memiliki anak

balita di Kelurahan Pekan Arba yang diperoleh dari pengalaman dan penginderaan terhadap objek tertentu yang

diukur dengan menggunakan kuesioner rancangan penulis dengan skala ukur interval. Terdiri dari tiga tingkat, yakni

pengetahuan ibu tinggi, sedang dan rendah.

3.6. Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak balita yang tinggal di Kelurahan Pekan Arba

Kecamatan Tembilahan dengan jumlah 535 orang. Jumlah sampel diambil secara proporsional dengan teknik

pengambilan sampel secara acak sederhana ( simple random sampling) dengan cara lottery technique, yakni dengan

mengundi anggota populasi. (Notoatmodjo, 2003). Cara menentukan ukuran sampel yang praktis adalah dengan

formula sebagai berikut : (Notoadmodjo, 2002)

Page 12: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

n = N1 + N (d2)

Ket : N= besar populasi

n = besar sampel

d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan ( 95 % )

Sehingga diperoleh jumlah sampel 230 orang. Sampel diambil secara proporsional sesuai dengan persentase ibu

yang memiliki anak balita di tiap RWnya. Jumlah sampel dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.1 Distribusi jumlah sampel per RW

Nama RW Jumlah populasi Persentase sampel (%) Jumlah sampelRW 1 146 27 62RW 2 225 42 97RW 3 97 18 41RW 4 67 13 30Total 535 100 230

(sumber : data kelurahan Pekan Arba, 2006)

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu balita yang berdomisili di Kelurahan Pekan Arba dan bersedia

diwawancarai. Sedangkan kriteria eksklusi adalah ibu balita yang memiliki balita lebih dari satu.

3.7. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner yang dirancang oleh penulis sendiri, dan kuesioner dari

BKKBN. Kuesioner yang dirancang oleh penulis telah diuji validitas dan reliabilitasnya pada responden yang memiliki

kriteria hampir sama dengan ibu-ibu yang memiliki balita di Kelurahan Pekan Arba Tembilahan.

3.8. Cara pengumpulan data

Data dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara dan kuesioner. Pertanyaan bersifat close-ended question, untuk

menilai status diare diberi alternatif pertanyaan pernah atau tidak. Penilaian keadaan lingkungan, dilakukan dengan

menggunakan kuesioner yang dikonfirmasi dengan pengamatan penulis sendiri. Jika keadaan lingkungan baik maka

diberi nilai 1, jika sebaliknya diberi nilai 0. Menilai keadaan sosial ekonomi, responden mengisi kolom yang telah

tersedia dengan tanda ceklis (√). Pengklasifikasian keadaan sosial ekonomi tergantung dari batas akhir pengisian

ceklis oleh responden. Penilaian terhadap pengetahuan Ibu, responden memilih alternatif jawaban berupa benar dan

salah. Responden yang mampu menjawab dengan tepat pada pertanyaan diberi nilai 1, jawaban yang tidak tepat

akan diberi nilai 0 untuk pertanyaan favorable, pertanyaan unfavorable bernilai sebaliknya.

Berikut ini merupakan blue print dari kuesioner penilaian tingkat pengetahuan ibu terhadap kejadian diare pada anak

balita.

Tabel 3.2 Blue print kuesioner pengetahuan ibu tentang kejadian diare

Variabel Nomor butir item Jumlah butir itemFavorable Unfavorable

Definisi Diare 1,3 2 3Etiologi diare 4,5,7 6 4

Penatalaksanaan diare 10,12,13 8,9,11 6Pencegahan diare 14,15 2

3.9. Pengolahan dan Analisis data

3.9.1 Pengolahan data

Pengolahan data hasil penelitian dilakukan secara manual, dengan tahapan sebagai berikut :

3.9.1.1 Data lingkungan dan pengetahuan ibu

Data lingkungan diperoleh melalui pengisian kuesioner yang dikonfirmasi dengan pengamatan penulis sendiri. Data

pengetahuan ibu diperoleh melalui pengisian kuesioner rancangan penulis. Setelah data terkumpul, dilakukan

Page 13: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

pengecekan kembali data-data yang sudah diperoleh untuk selanjutnya diklarifikasi, ditabulasi dan dinilai, dengan

menggunakan rumus :

Nilai = Jumlah jawaban benar   X 100

Skor total

selanjutnya dimasukkan ke dalam skala pengukuran dengan rentang nilai. Rentang nilai dibagi atas tiga dengan

skala ukur interval, untuk lingkungan terdiri dari :Baik ( 68-100), Cukup ( 34-67 ), buruk (0-33), sedangkan untuk

pengetahuan ibu terbagi atas, tinggi (680-100), sedang (34-67) dan rendah (0-33).

3.9.1.2 Data sosial ekonomi keluarga

Data sosial ekonomi keluarga diperoleh melalui pengisian kuesioner yang sudah baku dari dinas BKKBN kota

Tembilahan. Setelah kuesioner terkumpul, dilakukan tahapan sebagai berikut, yakni mengecek kembali data-data

yang sudah diperoleh untuk selanjutnya diklarifikasi. Berdasarkan data tersebut maka dapat diklasifikasikan sosial

ekonomi keluarga menjadi lima tingkatan yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera tahap 1, keluarga

sejahtera tahap 2, keluarga sejahtera tahap 3, keluarga sejahtera tahap 3 plus.

3.9.2 Analisis data

Variabel bebas dan terikat dalam penelitian ini akan dikorelasikan dengan rumus korelasi Pearson (Pearson product

moment Correlation) sebagai berikut : (Sugiono, 2005) :rxy = åxy

Ö (åxy)

dimana :

rxy = Korelasi antara variabel terikat dengan variabel bebas

x = ( Xi – X )

y = ( Yi – Y )

Analisis data ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS pada komputer. Kesimpulan pada uji analisis

assosiatif dengan menghitung nilai p. Bila nilai p > 0,05 maka Ht ditolak, artinya tidak ada hubungan antara variabel

bebas dan variabel terikat yang diteliti. Sebaliknya jika p< 0,05 maka Ht diterima, artinya terdapat hubungan antara

variabel bebas dan terikat yang diteliti.

Untuk mengetahui kuatnya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikatnya maka digunakan persamaan

regresi, korelasi ganda tiga prediktor. Korelasi ganda tiga prediktor digunakan untuk mengetahui kontribusi tiga

variabel bebas terhadap variabel terikatnya.

Korelasi ganda tiga prediktor dalam penelitian ini akan dianalisis kontribusi variabel lingkungan, sosial ekonomi,

pengetahuan ibu terhadap kejadian diare. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan SPSS yakni uji regresi linear

(Dahlan, 2004, Trihendradi, 2004).

Persamaan regresi untuk tiga prediktor adalah (Sugiono, 2005) :

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3

Dimana :

Y = Kejadian diare akut pada anak balita

X1 = Lingkungan

X2 = Pengetahuan ibu

X3 = Sosial ekonomi

Rumus korelasi ganda tiga prediktor (Sugiono, 2005) :Ry (1,2,3) = b1åX1Y + b2åX2Y + b3åX3Y

åY2

Uji signifikansi koefisien korelasi ganda (Sugiono, 2005) :F = R2 (N- m – 1)

m ( 1-R2)

dimana :

R = Koefisien korelasi ganda

N = Jumlah anggota sampel

Page 14: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

M = Jumlah variabel independen

Kesimpulan uji analisis korelatif menyatakan kemaknaan dan besarnya kekuatan korelasi, sesuai dengan tabel

berikut:

Tabel 3.3 Interpretasi hasil uji hipotesis korelatif

Parameter Nilai Interpretasi

Kekuatan korelasi (r)

0,00-0,1990,20-0,3990,40-0,5990,60-0,7990,80-1,000

Sangat lemahLemah

Cukup kuatKuat

Sangat kuat

Nilai pP<0,05p>0,05

Korelasi bermaknaKorelasi tidak bermakna

( Seri statistik untuk kedokteran dan kesehatan, 2001)

-

-

BAB IV

HASIL PENELITIAN

-

4.1 Gambaran umum daerah penelitian

Kelurahan Pekan Arba yang merupakan satu diantara enam kelurahan yang berada di Kecamatan Tembilahan.

Penduduk di wilayah kelurahan ini berjumlah 5712 jiwa, laki-laki 2763 dan perempuan 2949. Jumlah kepala keluarga

1190 dan balita sebanyak 535 orang. Mata pencaharian utama masyarakat adalah wiraswasta, petani dan pegawai

negeri sipil. Kualitas angkatan kerja menurut pendidikan yang ditamatkan masih didominasi oleh tamatan SD.

Kelurahan ini hanya terdapat satu puskesmas pembantu (pustu) dan enam posyandu sebagai prasarana kesehatan.

Kader-kader posyandu adalah ibu-ibu rumah tangga, yang bersedia mengabdikan diri dalam kegiatan tersebut, dipilih

oleh masyarakat setempat karena keaktifannya. Pelatihan kader ini dilakukan oleh Pustu secara berkala. Jumlah

kader tiap posyandu sebanyak dua orang. Sebagian kawasan di kelurahan ini berada di pusat kota dan sebagian lagi

jauh dari pusat kota, dengan kondisi alam yang berawa-rawa, banyak lahan kosong berupa semak-semak dan

pepohonan.

4.2. Karakteristik responden

Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan dengan menggunakan kuesioner diperoleh gambaran karakteristik

sampel di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir. Responden berjumlah 230 orang.

Responden adalah ibu-ibu yang memiliki anak balita berusia 1-5 tahun memiliki kisaran umur 18 tahun terendah dan

49 tahun tertinggi.

Adapun distribusi tingkat pendidikan ibu-ibu yang memiliki balita di Kelurahan Pekan Arba menurut pendidikan yang

ditamatkan, seperti tergambar pada gambar berikut :

Page 15: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Gambar 4.1

Distribusi tingkat pendidikan responden

(data primer diolah, 2006)

Berdasarkan gambar 4.1 diatas dapat terlihat bahwa tingkat pendidikan responden didominasi oleh tamatan SD yakni

sebesar 53%.

Ditinjau dari jenis pekerjaan responden, dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4.2 Distribusi jenis pekerjaan Responden

(data primer diolah, 2006)

Berdasarkan gambar 4.2 diatas dapat terlihat bahwa jenis pekerjaan responden sebesar 90 % didominasi oleh ibu

rumah tangga.

Ditinjau dari jenis pekerjaan suami responden, dapat dilihat pada gambar berikut: 

Berdasarkan gambar 4.3 diatas dapat diketahui bahwa pekerjaan suami responden didominasi oleh wiraswasta yakni

sebesar 57 %.

Tabel 4.1 Distribusi balita menurut umur

No Umur (tahun) frekuensi Persentase (%)

1 1-2 125 54

2 2-3 44 19

3 3-4 40 17

4 4-5 21 10

Total 230 100

Berdasarkan tabel 4.1 diatas, distribusi umur balita yang paling banyak menderita diare akut di Kelurahan Pekan

Arba Kecamatan Tembilahan adalah umur 1-2 tahun dengan persentase sebesar 54 %.

Page 16: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

4.3. Gambaran keadaan lingkungan responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kota

Kabupaten Indragiri Hilir

Berdasarkan hasil pengisian kuesioner dan dikonfirmasi dengan pengamatan penulis sendiri dapat dilihat keadaan

lingkungan responden pada tabel 4.1 sebagai berikut :

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi keadaan lingkungan responden

No Penilaian Range Frekuensi Persentase (%)

12

3

Baik

Cukup

Buruk

68-100

34-67

0-33

96

125

9

41,7

54,4

3,9

Total 230 100

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa keadaan lingkungan responden di Kelurahan Pekan Arba

terbanyak adalah lingkungan yang cukup yakni sebesar 54,4%. Distribusi frekuensi keadaan lingkungan untuk setiap

item pertanyaan akan diperlihatkan pada tabel 4.3 sebagai berikut :

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi keadaan lingkungan responden berdasarkan item pertanyaan dan pengamatan

peneliti

No perta-

nyaan

Jumlah responden yang

menjawab dengan tepat

Persen-

tase

(%)

Jumlah responden yang

menjawab tidak tepat

Persen-

tase

(%)

Total

persen

tase

(%)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

230

230

107

63

161

59

172

204

179

230

206

12

11

100

100

46,5

27,4

70

25,6

74,8

88,7

77,8

100

89,6

5,2

4,8

0

0

123

167

69

171

58

26

51

0

24

218

219

0

0

53,5

72,6

30

74,4

25,2

11,3

22,2

0

10,4

94,8

95,2

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa pertanyaan 1,2 dan 10 semua di jawab dengan tepat oleh

responden dengan persentase masing-masing sebesar 100 %. Pertanyaan no 4, 6, 12, 13, berdasarkan pengamatan

peneliti adalah pertanyaan yang paling banyak mendapat jawaban yang tidak tepat, yang menggambarkan keadaan

lingkungannya.

4.4. Gambaran keadaan sosial ekonomi responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

Kabupaten Indragiri Hilir

Berdasarkan hasil pengisian kuesioner diperoleh data yang tercantum pada tabel berikut ini :

Tabel 4.4. Distribusi frekuensi keadaan sosial ekonomi responden

No Penilaian Frekuensi Persentase (%)

1

2

3

4

5

Keluarga PresejahteraKeluarga

Sejahtera I

Keluarga Sejahtera II

Keluarga Sejahtera III

Keluarga Sejahtera III +

9

182

11

10

18

3,9

79,1

4,8

4,4

7,8

Page 17: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Total 230 100

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.4 diatas diketahui bahwa keadaan sosial ekonomi responden sebagian besar berada pada

tingkat keluarga sejahtera tahap I yakni sebesar 79,1 %.

4.5 Gambaran pengetahuan ibu tentang kejadian diare pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan

Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Berdasarkan hasil pengisian kuesioner diperoleh data yang tercantum pada tabel berikut ini :

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu tentang kejadian diare

No Penilaian Range Frekuensi Persentase (%)

1

2

3

Tinggi

Sedang

Rendah

68-100

34-67

0-33

107

123

0

46,5

53,5

0

Total 230 100

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.5 diatas, dapat dilihat bahwa responden terbanyak memiliki tingkat pengetahuan sedang yakni

sebesar 53,5%. Distribusi frekuensi pengetahuan ibu untuk setiap item pertanyaan akan diperlihatkan pada tabel 4.6

berikut :

Tabel 4.6 Distribusi frekuensi pengetahuan responden berdasarkan item pertanyaan

No perta-

nyaan

Jumlah

responden yang

menjawab

dengan tepat

Persentase (%) Jumlah responden

yang menjawab

tidak tepat

Persentase (%) Total

Persentase (%)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

188

171

210

106

105

91

91

155

152

215

145

164

207

173

105

81,7

74,3

91,3

46,1

45,7

39,6

39,6

67,4

66

93,5

63

71,3

90

75,2

45,6

42

59

20

124

125

139

139

75

78

15

85

66

23

57

125

18,3

25,7

8,7

53,9

54,3

60,4

60,4

32,5

34

6,5

37

28,7

10

24,8

54,4

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa pertanyaan yang paling banyak mendapat jawaban yang benar

yakni no 1,2,3,8,9,10,11, 12, 13, 14.

4.6. Gambaran kejadian Diare akut pada balita di Kelurahan pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten

Indragiri Hilir

Berdasarkan hasil pengisian kuesioner diperoleh data seperti tergambar pada diagram berikut :

Page 18: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Gambar 4.4 Distribusi kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan  (Data

primer diolah, 2006 )

Berdasarkan gambar 4.4 diatas dapat terlihat bahwa kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba

sebesar 53 % dari jumlah sampel.

4.7 Hubungan keadaan lingkungan responden dengan kejadian diare akut pada anak balita di kelurahan

pekan Arba kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keadaan lingkungan dengan kejadian

diare akut pada anak balita. Gambaran kejadian diare akut pada anak balita menurut keadaan lingkungannya dapat

dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.7 Gambaran kejadian diare akut pada balita menurut kondisi lingkungannya

No Keadaan lingkungan frekuensi Kejadian diare Persentase (%)

1

2

3

Baik

Cukup

Buruk

96

125

9

47

66

9

49

52

100

Jumlah 230 122

(sumber   ata primer diolah, 2006)

Berdasarkan tabel 4.7 diatas diketahui bahwa persentase kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan

Arba sebesar 100 % pada keadaan lingkungan yang buruk, 52 % pada keadaan lingkungan yang cukup dan 49 %

pada keadaan lingkungan yang baik.

Untuk mengetahui hubungan tersebut, telah dilakukan pula uji statistik yang disajikan pada tabel 4.8 sebagai berikut :

Tabel 4.8 Hubungan keadaan lingkungan terhadap kejadian diare akut

pada anak balita

Variabel r p r2 Kemaknaan hubungan

Lingkungan

Kejadian diare0,23 0,000 5,29 % Signifikan ( < 0,05 )

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.8 dapat dilihat keadaan lingkungan dan kejadian diare akut anak balita yang berkorelasi secara

signifikan, probabalitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Nilai r2 menunjukkan kontribusi keadaan lingkungan terhadap

kejadian diare akut sebesar 5,29 % sedangkan 94,71 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor yang lain.

4.8 Hubungan keadaan sosial ekonomi responden dengan kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan

Pekan Arba Kecamatan Tembilahan kabupaten Indragiri Hilir

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keadaan sosial ekonomi dengan

kejadian diare akut pada anak balita. Gambaran kejadian diare akut pada anak balita menurut keadaan sosial

ekonomi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.9 Gambaran kejadian diare akut pada anak balita

Menurut sosial ekonomi responden

No Sosial ekonomi frekuensi Kejadian diare Persentase (%)

1

2

Prasejahtera

Keluarga sejahtera I

9

182

7

104

77

57

Page 19: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

3

4

5

Keluarga sejahtera II

Keluarga sejahtera III

Keluarga sejahtera III plus

11

10

18

5

4

2

45

40

11

Jumlah 230 122

(sumber : Data primer diolah, 2006)

Berdasarkan tabel 4.9 diatas diketahui bahwa kejadian diare tertinggi pada anak balita terdapat pada keluarga

presejahtera yakni sebesar 77 %, dan terendah adalah keluarga sejahtera III plus yakni sebesar 11%.

Untuk mengetahui hubungan tersebut, telah dilakukan uji statistik yang disajikan pada tabel 4.10 sebagai berikut :

Tabel 4.10 Hubungan keadaan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita

Variabel r p r2 Kemaknaan hubungan

Sosial ekonomi

Kejadian diare0,235 0,000 5,5 % Signifikan ( < 0,05 )

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.10 dapat dilihat keadaan lingkungan dan kejadian diare akut anak balita yang berkorelasi secara

signifikan, probabalitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Nilai r2 menunjukkan kontribusi sosial ekonomi terhadap

kejadian diare akut hanya sebesar 5,5 % sedangkan 94,5 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor yang lain.

4.9 Hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita di kelurahan pekan Arba

kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian

diare akut pada anak balita. Gambaran kejadian diare akut pada anak balita menurut tingkat pengetahuan ibunya

dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.11 Gambaran kejadian diare akut pada anak balita

menurut tingkat pengetahuan ibu

No Tingkat pengetahuan frekuensi Kejadian diare Persentase (%)

1

2

Tinggi

Sedang

107

123

31

91

29

74

Jumlah 230 122

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.11 di atas dapat dilihat bahwa kejadian diare paling banyak terjadi pada anak balita yang ibunya

memiliki pengetahuan sedang yakni sebesar 74 %, sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan tinggi angka kejadian

diare hanya sebesar 29 %.

Untuk mengetahui hubungan tersebut, telah dilakukan uji statistik yang disajikan pada tabel 4.12 sebagai berikut :

Tabel 4.12 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap kejadian diare akut pada anak balita

Variabel r p r2 Kemaknaan hubungan

Pengetahuan ibu

Kejadian diare0,433 0,000 18,75 % Signifikan ( < 0,05 )

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.12 dapat dilihat keadaan lingkungan dan kejadian diare akut anak balita yang berkorelasi secara

signifikan, probabalitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Nilai r2 menunjukkan kontribusi keadaan lingkungan terhadap

kejadian diare akut hanya sebesar 18,75 % sedangkan 81,25 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor yang lain.

4.10 Kontribusi keadaan lingkungan, pengetahuan ibu dan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut anak

balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan kabupaten Indragiri Hilir

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi keadaan lingkungan, pengetahuan ibu dan

sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan.

Untuk mengetahui hubungan tersebut, telah dilakukan uji statistik menggunakan persamaan regresi dan korelasi tiga

prediktor.

Page 20: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Hasil uji ANOVA atau F tes, didapat F hitung 24,120 dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai probabilitas 0,000 jauh

lebih kecil dari 0,05, maka kondisi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu berpengaruh terhadap kejadian

diare akut pada anak balita.

Persamaan regresi yang menggambarkan hubungan kondisi lingkungan, pengetahuan ibu dan sosial ekonomi

terhadap kejadian diare akut pada anak balita dapat dilihat dari persamaan berikut :

Y = 2,571 + 0,156 X1 + 0,062 X2 + 0,405 X3

Di mana :

Y = Kejadian diare akut pada anak balita

X1 = Kondisi lingkungan

X = Sosial ekonomi

X3 = Pengetahuan ibu

Persamaan regresi di atas menyatakan bahwa pengetahuan ibu memberikan kontribusi paling kuat dibandingkan

lingkungan dan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan

Tembilahan.

-

-

BAB V

PEMBAHASAN

-

5.1 Gambaran kondisi lingkungan responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten

Indragiri Hilir

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 230 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita yang berada di Kelurahan

Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir, didapatkan 54,4 % responden memiliki kondisi

lingkungan cukup baik, 41,7 % memiliki kondisi lingkungan yang baik dan 3,9 % masih memiliki kondisi lingkungan

yang buruk. Secara umum keadaan ini menggambarkan bahwa kondisi lingkungan di Kelurahan Pekan Arba masih

belum memenuhi standar sebagai lingkungan yang memenuhi persyaratan kesehatan.

Kesehatan lingkungan hidup di Indonesia masih merupakan masalah utama dalam usaha peningkatan derajat

kesehatan masyarakat. Masalah lingkungan hidup ini meliputi kurangnya penyediaan air bersih, kurangnya

pembuangan kotoran yang sehat, keadaan rumah yang tidak sehat, usaha higiene dan sanitasi makanan yang belum

menyeluruh, pembuangan sampah dan limbah di daerah pemukiman yang kurang baik. Kondisi ini dipicu oleh

multifaktor, diantaranya tingkat kemampuan ekonomi masyarakat, kurangnya pengetahuan tentang kondisi

lingkungan yang baik, kurangnya kesadaran dalam pemeliharaan lingkungan dan masih kurangnya kebijakan-

kebijakan dari pemerintah yang mendukung peningkatan kualitas kesehatan lingkungan ini. (Anies, 2005)

Hasil penelitian tentang kondisi lingkungan responden di Kelurahan Pekan Arba yang diperoleh dari pengisian

kuesioner dan pengamatan peneliti diketahui bahwa usaha penyediaan air minum sudah mulai meningkat dari waktu

ke waktu. Hal ini dapat dilihat dari sumber air minum responden sudah memenuhi persyaratan, ditunjang dengan

cara pengelolaan air minum yang benar. Hal ini dikarenakan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini di

Tembilahan sudah tersedia beberapa perusahaan sumber air mineral yang membantu memenuhi kebutuhan air

minum. Sumber air minum dahulu berasal dari air hujan, air sumur dan air sungai, yang tidak memenuhi persyaratan

sebagai sumber air minum.

Kondisi lingkungan responden yang tergolong sedang bahkan masih ada yang buruk terletak pada masalah

pengelolaan limbah, sampah, jamban dan perumahan. Lebih dari 90 % responden tidak memiliki pengelolaan limbah.

Limbah rumah tangga ini dibuang pada tempat terbuka dan biasanya langsung mencemari tanah. Hal ini tentu saja

dapat sebagai media penyebaran berbagai penyakit terutama kolera, diare, typus, media berkembangbiaknya

mikroorganisme patogen, tempat berkembangbiaknya nyamuk, menimbulkan bau yang tidak enak serta

pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber pencemaran air permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya.

Responden tidak memiliki tempat pembuangan sampah sendiri berkisar 74,4 %. Tempat pembuangan sampah yang

paling lazim diantaranya semak dan sungai, yang merupakan lahan kosong potensial tapi belum dimanfaatkan di

Page 21: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

kelurahan ini. Hal ini paling berefek negatif jika musim hujan tiba, sampah-sampah tadi akan berserakan dan

potensial sekali sebagai media pertumbuhan berbagai kuman penyakit. Begitu pula dengan jenis dan jarak jamban,

72 % responden tidak memiliki jarak jamban yang baik. 53,5 % tidak menggunakan septic tank. Masyarakat yang

tinggal dipinggir sungai rata-rata masih menggunakan Overhung latrine, yang mana kebutuhan air bersih seperti

untuk mandi, mencuci juga berasal dari air sungai yang sama. Sebagian responden juga ada yang buang air besar di

lahan terbuka seperti kebun, menggunakan kantong plastik, yang kemudian di buang di semak-semak. Hal ini tentu

sangat mengancam kondisi kesehatan, terutama bagi anak-anak. Sehingga diperlukan upaya-upaya untuk

meningkatkan kualitas keadaan lingkungan ini.

5.2 Gambaran sosial ekonomi responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten

Indragiri Hilir

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 230 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita yang berada di Kelurahan

Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir, didapatkan bahwa sebagian besar responden berada

pada tingkat keluarga sejahtera tahap I, yakni sebanyak 79,1 %, 7,8 % responden berada pada tingkat keluarga

sejahtera tahap III plus, 4,8 % keluarga sejahtera II, 4,4 % keluarga sejahtera tahap III dan 3,9 % keluarga

prasejahtera. Secara umum dapat dinilai bahwa sebagian besar masyarakat di Kelurahan Pekan Arba tersebut masih

tergolong miskin.

Hal ini sesuai dengan fakta dan data resmi dari pendataan keluarga yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN) Riau yang melakukan pendataan dari door to door yang direkap hingga pertengahan

tahun 2004, menyatakan bahwa 38,64% masyarakat Riau masih tergolong miskin. (Subburatno,2004). Menurut data

dari badan penelitian dan pengembangan Provinsi Riau, persentase rumah tangga yang paling miskin di Riau yakni

Kabupaten Indragiri Hilir, yakni sebesar 31,95%

Kondisi kemiskinan ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, rendahnya taraf pendidikan, rendahnya derajat

kesehatan, terbatasnya lapangan pekerjaan dan kondisi terisolasi. (Subburatno,2004). Dalam rencana strategis

kemiskinan disebutkan bahwa dimensi kemiskinan mencakup empat hal pokok, yakni kurangnya kesempatan,

rendahnya kemampuan, kurangnya jaminan dan ketidakberdayaan. (Badan penelitian dan pengembangan provinsi

Riau, 2004)

Hasil penelitian merangkum bahwa taraf pendidikan akhir masyarakat di Kelurahan Pekan Arba didominasi oleh

tamatan SD bahkan ada yang tidak pernah menempuh jalur pendidikan, sehingga dengan taraf pendidikan yang

rendah tersebut mengakibatkan kemampuan pengembangan diri mereka terbatas, rendahnya kemampuan dan

ketidakberdayaan sehingga menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Akibatnya pekerjaan yang

mendominasipun adalah pekerjaan kasar seperti tergambar dalam karakteristik pekerjaan, bahwa sebesar 90 % ibu-

ibu adalah ibu rumah tangga, sedangkan suami mereka sebesar 57 % bekerja wiraswasta seperti buruh, tukang

bangunan, tukang jahit, tukang becak.

5.3 Gambaran pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba

Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 230 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita yang berada di Kelurahan

Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir, didapatkan 53,5 % tingkat pengetahuan ibu sedang

dan 46,1 % dengan pengetahuan tinggi. Sedangkan untuk pengetahuan rendah tidak ada. Rata-rata ibu-ibu tersebut

telah pernah mendapatkan informasi dari posyandu melalui kegiatan penyuluhan oleh para kader tentang diare

tersebut.

Masih banyaknya pengetahuan ibu yang sedang terhadap kejadian diare pada anak balita ini disebabkan karena

responden hanya berada pada tingkat tahu dan belum sampai memahami, mengaplikasikan, menganalisa,

mensintesis dan mengevaluasi terhadap suatu materi yang berkaitan dengan kejadian diare ini (Notoatmodjo, 2003).

Selain itu tingkat pengetahuan ini juga dipengaruhi oleh multifaktor seperti tingkat pendidikan, peran penyuluh

kesehatan, akses informasi yang tersedia dan keinginan untuk mencari informasi dari berbagai media. Mayoritas

responden hanya tamatan SD. Sehingga dimaklumi kalau tingkat pengetahuan yang mereka peroleh masih minim.

Menurut Chadijah (1997) pendidikan orang tua, terutama ibu merupakan salah satu kunci perubahan sosial budaya.

Page 22: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Pendidikan yang relatif tinggi akan memiliki praktek yang lebih baik terhadap pemeliharaan kesehatan keluarga

terutama anak balita.

Lingkungan di Kelurahan Pekan Arba memiliki distribusi sosio geografis yang tidak merata, sehingga menyebabkan

ada suatu wilayah lebih terbelakang dibanding wilayah lainnya. Hal ini menyebabkan wilayah yang terkebelakang

tersebut memiliki akses yang sangat minim untuk memperoleh informasi di bidang kesehatan. Selain itu rendahnya

pengetahuan juga disebabkan minimnya pelayanan kesehatan yang tersedia. Kelurahan Pekan Arba hanya memiliki

satu puskesmas pembantu, yang terdiri dari bidan dan para perawat saja, ditunjang dengan enam buah posyandu

yang melayani ibu dan balita di wilayah ini. Sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan informasi

kesehatan bagi masyarakat di daerah ini oleh karena minimnya tenaga penyuluh dan keterampilan yang mereka

miliki.

Analisis hasil kuesioner pada tabel 4.6 diketahui bahwa ibu-ibu telah memiliki pengetahuan yang baik tentang definisi

diare, dampak dan penatalaksanaannya, hal ini tergambar dari jawaban per item pertanyaan. Sebagian besar ibu-ibu

dapat menjawab dengan benar pertanyaan no 1,2 mengenai definisi, no 3 mengenai dampak, no 8 sampai 14

mengenai penatalaksanaan. Sedangkan pengetahuan mengenai penyebab dan pencegahan diare masih banyak

yang menjawab tidak tepat. Hal ini tergambar dari banyaknya kesalahan ibu-ibu menjawab pertanyaan no 4 sampai 7

dan no 15, yang berisikan penyebab dan usaha pencegahan diare.

5.4 Gambaran kejadian Diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

Kabupaten Indragiri Hilir

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 230 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita yang berada di Kelurahan

Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir diketahui bahwa 53 % dari anak balitanya pernah

menderita diare dalam tiga bulan terkhir ini dan 47 % diantaranya tidak menderita diare dalam tiga bulan terkhir ini.

Masih banyak kasus diare pada anak balita ini ditinjau dari distribusi umur anak balita pada penelitian, yakni sebesar

60 % anak balita masih berusia kurang dari 2 tahun. Umur anak 12-24 bulan beresiko 2-3 kali lebih besar untuk

terjadinya diare dibanding anak 25-59 bulan. Pada masa dua tahun pertama kehidupan balita mudah terinfeksi

bakteri misalnya pada proses pengenalan makanan yang terpapar bakteri tinja, kontak langsung dengan tinja

manusia atau binatang pada saat bayi merangkak. (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan, 1999). Selain itu karena masih tingginya perilaku hidup yang tidak sehat, rendahnya

sanitasi lingkungan, kurangnya pengetahuan tentang pencegahan diare oleh ibu-ibu serta semakin terperosoknya

perekonomian rakyat, sehingga pemanfaatan pelayanan kesehatan dan usaha pencegahan terhadap penyakit

semakin berkurang. (Notoatmodjo, 2003).

Kejadian diare pada anak balita tersebut umumnya berlangsung kurang dari satu minggu dan tidak sampai menderita

dehidrasi. Hal ini karena ibu-ibu balita tersebut telah memiliki pengetahuan yang baik tentang penatalaksanaan diare

akut pada anak balitanya. Hal ini dapat diketahui dari hasil pengolahan data kuesioner, bahwa pertanyaan no 10, 11,

12 dan 13 tentang penatalaksanaan diare akut dapat dijawab dengan benar oleh sebagian besar ibu-ibu, dengan

persentase masing-masing 93,5 %, 63 %, 71,3 % dan 90 %.

5.5 Hubungan keadaan lingkungan terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba

Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Pada tabel 4.7 dapat diketahui bahwa pada keadaan lingkungan yang baik, angka kejadian diare akut pada anak

balita sebesar 49 %, pada keadaan lingkungan yang cukup, angka kejadian diare sebesar 52 %, sedangkan pada

keadaan lingkungan yang buruk, angka kejadian diare sebesar 100 %. Hal ini menggambarkan bahwa semakin

buruk kondisi suatu lingkungan, maka angka kejadian diare akut pada anak balita semakin tinggi dan semakin baik

keadaan suatu lingkungan maka angka kejadian diare akut pada anak balita semakin kecil. Artinya lingkungan

diasumsikan sebagai salah satu faktor resiko terhadap kejadian diare akut pada balita ini. Agar analisis ini lebih valid

maka perlukan uji statistik lebih lanjut.

Pada tabel 4.8 dapat dilihat bahwa dari uji statistik yang dilakukan dengan program SPSS diperoleh hasil bahwa

antara kondisi lingkungan dan kejadian diare pada anak balita terdapat korelasi yang signifikan dan sangat nyata,

terlihat dari nilai probabilitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 atau praktis 0. Artinya hipotesis penelitian diterima yakni

terdapat hubungan yang positif antara kondisi lingkungan responden dengan kejadian diare akut pada anak balita.

Page 23: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Angka korelasi antara faktor lingkungan dengan kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba ini

adalah 0,23. Hal ini menunjukkan lemahnya korelasi antara faktor lingkungan dengan kejadian diare akut. Artinya

tidak cukup hanya dengan perbaikan keadaan lingkungan saja untuk menghindari kejadian diare akut pada anak

balita ini, tapi juga diimbangi dengan perbaikan faktor resiko lainnya terutama perilaku ibu. Koefisien determinasi

sebesar 5,29 % menunjukkan bahwa kontribusi faktor lingkungan 5,29 %, sedangkan 94,71 % disebabkan oleh

faktor-faktor lain. Hal ini terjadi karena faktor lingkungan bukanlah satu-satunya faktor resiko dari kejadian diare akut

pada anak balita tersebut.

Keadaan sehat merupakan hasil interaksi antara manusia dan lingkungannya yang serasi dan dinamis. Lingkungan

yang tidak memenuhi standar kesehatan diketahui merupakan faktor resiko timbulnya gangguan kesehatan

masyarakat. Diare merupakan salah satu penyakit yang erat hubungannya dengan hygiene dan sanitasi lingkungan

seperti penggunaan air minum yang tidak bersih, tidak memadainya sarana pembuangan kotoran, limbah, sampah,

dan perumahan yang tidak memenuhi standar kesehatan. Kurangnya kebersihan lingkungan ini menyebabkan angka

kejadian diare semakin meningkat. Berarti semakin baik kondisi lingkungan seseorang maka semakin kecil

kemungkinan terjadinya diare akut pada anak balita. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Joko

(2000), Sonny (2002), Sunanti (2004), yang menyatakan bahwa lingkungan berhubungan erat dan merupakan faktor

resiko terhadap kejadian diare akut pada anak balita.

Dari analisis pengamatan selama penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden tidak memiliki jamban yang

baik, jarak jamban yang benar dengan sumber air bersih, pengelolaan sampah dan limbah yang baik. Lebih dari 50

% responden menggunakan jenis jamban yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti overhung latrine, pit latrine,

yakni jamban-jamban yang dibuat di atas sungai, kolam, kali, yang mana jika musim hujan tiba jamban akan penuh

oleh air, feses dapat mengotori air permukaan. Sementara untuk kebutuhan air bersih seperti memasak, mandi dan

mencuci masih menggunakan air yang sama. Hal ini tentu semakin memudahkan penularan diare secara  fecal-

oral kepada anak balita. Karena melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya

terhadap penyakit kurang, terutama pada balita akan lebih mudah terserang penyakit (Slamet, 1994).

Pengelolaan sampah dan limbah juga masih harus diperhatikan, karena sebagian besar responden membuang

sampah pada lahan-lahan kosong seperti semak-semak. Pembuangan limbah rumah tangga pada tanah terbuka,

umumnya langsung di bawah rumah. Hal ini akan menjadi media yang sangat baik untuk perkembangbiakan kuman

penyakit. Untuk memutuskan rantai perkembangbiakan penyakit menular seperti diare ini diperlukan usaha keras dari

berbagai pihak terutama pemerintah kota Tembilahan, seperti upaya peningkatan pendapatan masyarakat sehingga

dengan bertambahnya pendapatan, mereka dengan sendirinya akan memperbaiki kondisi kehidupannya. Selain itu

diperlukan pengadaan sarana dan prasarana umum untuk meningkatkan kebersihan lingkungan seperti jamban

umum, tempat sampah, tempat pengelolaan limbah, dll

5.6 Hubungan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba

Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Dari tabel 4.9 dapat diketahui bahwa angka kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan pekan Arba pada

tingkat sosial ekonomi pra sejahtera sebesar 77 %, pada tingkat keluarga sejahtera I sebesar 57%, keluarga

sejahtera II sebesar 45%, keluarga sejahtera III sebesar 40% dan keluarga sejahtera III plus sebesar 11%. Hal ini

menggambarkan bahwa angka kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba juga dipengaruhi oleh

keadaan sosial ekonomi. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan suatu keluarga maka angka kejadian diare akut pada

balitanya juga semakin rendah. Sebaliknya semakin terpuruknya sosial ekonomi suatu keluarga maka angka

kejadian diare akut pada anak balita semakin rendah.

Dalam penelitian ini diketahui bahwa 83 % responden tergolong keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I,

artinya secara umum responden masih tergolong keluarga miskin. Sehingga usaha untuk pencegahan penyakit,

pemanfaatan pelayanan kesehatan tidak terpenuhi oleh karena keterbatasan uang. Hal ini menyebabkan masyarakat

rentan menderita penyakit menular seperti diare ini. Kemiskinan bertanggung jawab atas penyakit yang ditemukan

pada anak. Hal ini karena kemiskinan mengurangi kapasitas orangtua untuk mendukung perawatan kesehatan yang

memadai pada anak, cenderung memiliki higiene yang kurang, miskin diet, miskin pendidikan. Sehingga anak yang

miskin memiliki angka kematian dan kesakitan yang lebih tinggi untuk hampir semua penyakit. (Behrman, 1999).

Page 24: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Sistem imun anak yang berasal dari sosio ekonomi rendah akan lebih rendah dibanding anak yang berasal dari sosio

ekonomi tinggi. Sehingga lebih rentan terinfeksi kuman penyebab diare ini. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Joko (1996), Sonny (2002).

Secara statistik juga dapat diketahui pada tabel 4.10, bahwa antara keadaan sosial ekonomi dan kejadian diare pada

anak balita terdapat korelasi yang signifikan dan sangat nyata, terlihat dari nilai probabilitas 0,000 yang lebih kecil

dari 0,05 atau praktis 0. Artinya hipotesis penelitian diterima, terdapat hubungan yang positif antara keadaan sosial

ekonomi responden dengan kejadian diare akut pada anak balita. Berarti semakin tinggi status sosial ekonomi

seseorang maka semakin kecil kemungkinan terjadinya diare pada anak balita. Angka korelasi antara sosial ekonomi

dengan kejadian diare akut pada anak balita adalah 0,235. Hal ini menunjukkan lemahnya korelasi antara sosial

ekonomi dengan kejadian diare akut. Koefisien determinasi sebesar 5,5 % menunjukkan bahwa kontribusi faktor

lingkungan 5,5 %, sedangkan 94,5 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor lain. Hal ini terjadi karena sosial ekonomi

bukanlah satu-satunya faktor resiko dari kejadian diare pada anak balita tersebut. Untuk mengatasi kejadian diare

pada balita selain dilakukan upaya peningkatan sosial ekonomi keluarga, juga diperlukan perbaikan faktor resiko

diare akut lainnya.

5.7 Hubungan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba

Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Pada tabel 4.11 dapat dilihat bahwa angka kejadian diare pada tingkat pengetahuan ibu sedang sebesar 74%,

sedangkan pada tingkat pengetahuan tinggi hanya sebesar 29 %. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi

pengetahuan seorang ibu terhadap suatu penyakit maka akan semakin kecil resiko anak balitanya menderita

penyakit tersebut. Pada penelitian ini tidak ada ibu yang memiliki pengetahuan rendah, hal ini dikarenakan bahwa

telah sampai akses informasi kesehatan terhadap mereka misalnya lewat penyuluhan, media massa, dll walaupun

masih sangat minimal dan baru dalam tahap tahu, belum memahami apalagi menganalisis dan mengaplikasikannya.

Hasil uji statistik dapat dilihat pada tabel 4.12, bahwa antara pengetahuan ibu dan kejadian diare pada anak balita

terdapat korelasi yang signifikan dan sangat nyata, terlihat dari nilai probabilitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 atau

praktis 0. Artinya hipotesis penelitian diterima, terdapat hubungan yang positif antara pengetahuan ibu dengan

kejadian diare akut pada anak balita. Berarti semakin tinggi pengetahuan seorang ibu maka semakin kecil

kemungkinan terjadinya diare pada anak balitanya.

Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan kesehatan masyarakat. Masyarakat

dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan

keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat (Slamet, 1994). Pada balita yang belum dapat menjaga kebersihan dan

menyiapkan makanan sendiri, kualitas makanan dan minuman tergantung pada ibu sebagai pengasuh utama.

Perilaku ibu dalam menjaga kebersihan dan mengolah makanan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan ibu tentang

cara pengolahan dan penyiapan makanan yang sehat dan bersih (KR Margawai, 1996). Sehingga dengan

pengetahuan ibu yang baik diharapkan dapat mengurangi angka kejadian diare pada anak balitanya. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh joko (1996), yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu sebagai faktor utama

yang menyebabkan terjadinya diare pada anak balita. Jadi untuk memutuskan rantai penularan diare ini diperlukan

upaya-upaya peningkatan pengetahuan ibu secara lebih berkala oleh petugas kesehatan dan kader posyandu,

seperti langsung mempraktikan dengan alat peraga dan gambar

Angka korelasi antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita adalah 0,433. Hal ini

menunjukkan cukup kuatnya korelasi antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita. Artinya

jika pengetahuan ibu dapat ditingkatkan maka angka kejadian diare akut pada anak balita ini dapat segera

diturunkan. Koefisien determinasi sebesar 18,75 % menunjukkan bahwa kontribusi tingkat pengetahuan ibu 18,75 %,

sedangkan 81,25 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor lain. Hal ini terjadi karena pengetahuan ibu bukanlah satu-

satunya faktor resiko dari kejadian diare akut pada anak balita ini.

5.8 Kontribusi keadaan lingkungan, pengetahuan ibu dan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut anak

balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan INHIL

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat besarnya hubungan antara kejadian diare akut pada anak balita dengan

kondisi lingkungan yang dihitung dengan koefisien korelasi adalah 0,23, antara kejadian diare akut pada anak balita

Page 25: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

dengan sosial ekonominya adalah 0,235 dan antara kejadian diare akut pada anak balita dengan pengetahuan ibu

adalah 0,433. Hal ini menandakan adanya korelasi antara variabel bebas dan terikatnya. Tingkat signifikansi

koefisien korelasi antara kejadian diare akut pada anak balita dengan kondisi lingkungan, soial ekonomi dan

pengetahuan ibu menghasilkan angk 0,000 atau praktis 0, maka korelasi di antara kejadian diare akut dengan

variabel-variabel bebasnya yakni kondisi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu bernilai sangat nyata.

Dari uji ANOVA atau F tes, didapat F hitung 24,120 dengan tingkat signifikasi 0,000. Karena probabilitas (0,000) jauh

lebih kecil dari 0,05, maka konisi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu berpengaruh positif terhadap

kejadian diare akut pada anak balita.

Persamaan regresi Y= 2,571 + 0,156 X1 + 0,062 X2 + 0,405 X3, memperlihatkan bahwa pengetahuan ibu memiliki

kontribusi yang paling kuat dibandingkan kondisi lingkungan dan sosil ekonomi. Koefisien regresi X 2 sebesar 0,405

menyatakan bahwa setiap penambahan 1 % pengetahuan ibu maka akan mengurangi kejadian diare pada anak

balita sebesar 0,405 %. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko terjadinya diare pada anak balita ini, maka

intervensi terhadap peningkatan pengetahuan ibu terhadap diare akut ini lebih ditingkatkan dibandingkan dengan

peningkatan faktor lingkungan dan sosial ekonomi.

Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan kesehatan masyarakat. Masyarakat

dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan

keadaan lingkungan sosialnyapun menjadi sehat (Slamet, 1994)

-

-

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

-

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Kondisi lingkungan responden di kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan kabupaten Indragiri Hilir berada

dalam kategori cukup yaitu sebanyak 54,4 %

2. Sosial ekonomi responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir berada

dalam kategori keluarga Sejahtera I yaitu sebanyak 79,1 %

3. Pengetahuan ibu yang memiliki anak balita terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan

Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir berada dalam kategori sedang 53,5%

4. Kejadian diare pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

sebanyak 53 % dari total sampel

5. Adanya hubungan antara kondisi lingkungan terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan

Arba dimana lingkungan yang buruk lebih besar menimbulkan kejadian diare akut pada anak balita. Secara statistik

memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan tingkat korelasi lemah (0,23)

6. Adanya hubungan antara sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba

dimana keluarga prasejahtera lebih besar menimbulkan kejadian diare akut pada anak balita. Secara statistik

memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan tingkat korelasi lemah (0,235)

7. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan

Arba dimana tingkat pengetahuan ibu sedang lebih besar menimbulkan kejadian diare akut pada anak balita

dibanding pengetahuan ibu tinggi, dengan uji statistik diketahui adanya hubungan yang positif dan signifikan dengan

tingkat korelasi cukup kuat (0,433)

8. Adanya kontribusi kondisi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada

anak balita (tingkat signifikansi 0,000) di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

9. Kontribusi pengetahuan ibu lebih kuat dibanding lingkungan dan sosial ekonomi dalam mempengaruhi kejadian

diare pada anak balita

-

6.2 Saran

Page 26: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Berdasarkan hasil penelitian maka beberapa saran dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Pentingnya usaha peningkatan pengetahuan ibu tentang kejadian diare akut pada anak balita. Usaha peningkatan

ini dapat dilakukan dengan penyuluhan oleh kader-kader posyandu setempat, terutama tentang pencegahan diare.

2. Kepada petugas kesehatan, yakni perawat, bidan yang bekerja di puskesmas pembantu Kelurahan Pekan Arba

agar dapat meningkatkan upaya-upaya pelatihan terhadap kader-kader posyandu secara rutin sebagai usaha

peningkatan keterampilan kader agar akses informasi tepat diterima oleh ibu-ibu.

3. Kepada pemerintah setempat agar dapat sesegera mungkin meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan

seperti pengadaan puskesmas baru, penyediaan sarana pembuangan limbah, memperbanyak tempat-tempat

sampah, mengaktifkan mobil pemungut sampah, menyediakan sarana Wc umum, terutama di daerah tepi sungai,

membuat kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

-

DAFTAR PUSTAKA

Adzania M. Merawat balita itu mudah. Bandung : Nexx media Inc, 2004. 34-36, 55

Andrianto P. Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare akut, edisi 2. Jakarta : EGC, 1995. 1-2, 29-33

Anies. Mewaspadai penyakit lingkungan. Jakarta : Elex media komputindo, 2005.

Asnil P, Noerasid H, Suraatmadja S. Gastroenteritis akut. Dalam: Suharyono, Boediarso aswitha, Halimun EM

(editors). Gastroenterologi anak praktis. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2003. 51-68

Badan Penelitian dan pengembangan Provinsi Riau. Pendataan penduduk /keluarga miskin provinsi Riau.

Pekanbaru: badan penelitian dan pengembangan provinsi Riau, 2004. 20-24

Behrman RE. Anak dengan resiko tertentu. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin. (editors). Ilmu Kesehatan anak

Nelson Vol I, Edisi 15. Jakarta : EGC, 1999. 169-171

Bagian Ilmu kesehatan anak FK UI. Ilmu Kesehatan Anak, jilid 1. Jakarta : Infomedika Jakarta, 1998. 283-288

Dahlan S. Seri statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta : PT Arkans Entertainment and Education in

harmony, 2004. 2-59, 123-135

Departemen Kesehatan RI. Laporan perkembangan pencapaian tujuan pembangunan mileniun Indonesia,

2000.http;//w3.undp.or.id/pubs/imdg2004/BI/IndonesiaMDG BI Goal4.pdf   (diakses 3 Des 2005)

Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Buku Ajar Diare.

Jakarta : Depkes RI, 1999. 3-11, 53-59, 71-80

Irianto J. Prediksi Keparahan Diare Menurut faktor-faktor yang berpengaruh pada anak balita di Indonesia. Center for

research and development of health ecology. 2000. http : // digilib.3w Litbang. Depkes. Go. Id/go.php?id=jkpkbppk-

gdl-res-2000-joko-1085-diare   ( diakses 3 Des 2005)

Mansjoer A, Suorohaita, Wardhani W, Setiawula W. Kapita selekta kedokteran, edisi 3. Jakarta: Media aresculapius,

2000. 470-476

Mukono HJ. Prinsip dasar kesehatan lingkungan. Edisi 2. Surabaya : Airlangga university press, 2006.

Ngastiyah. Perawatan anak sakit. Jakarta : EGC, 1997. 143-145

Noerolandra. Dilema penyakit menular. Medika no 9 th 25 Sep 1999: 591-592

Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta, 2002.

Notoatmodjo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat .Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Pickering K. Larry, Snyder DJ. Gastroenteritis. Dalam : Nelson textbook of pediatrics. Edisi 17., Behrman, Kliegman,

Jensen. Editor. Amerika : International edition, 2004. 1272-1274

Slamet SJ. Kesehatan lingkungan. Yogyakarta : Gadjah mada university press, 1994

Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Jakarta : EGC, 1995. 4-8

Suandi IKG. Diit pada anak sakit. Jakarta : EGC, 1999. 61-63

Suburratno. Riau dalam arus perubahan. Pekanbaru: Alaf Riau, 2004. 56-60

Sugiono. Statistika untuk penelitian. Bandung : Alfabeta, 2005. 250-259

Sutoto, Indriyono. Kebijaksanaan pemberantasan penyakit Diare dalam pelita V. Dirjen PPM dan PLP Dep.Kes.

majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia Th. XXIV No.7. Jakarta :1996

Page 27: Hubungan Faktor Lingkungan Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Diare Akut d Wilayah Kerja Puskesmas

Trihendradi C. Memecahkan kasus statistik deskriptif, Parametrik dan non parametrik dengan SPSS 12. Yogyakarta :

Penerbit ANDI, 2004. 136-151, 177-185

Trisnanta T. Manusia dan Kesehatan lingkungan. Jakarta : CV Panca Sejati, 1995. 22-24

Warouw PS. Hubungan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dengan morbiditas ISPA dan Diare. Direktorat

penyehatan lingkungan. 2002. http : // digilib. Litbang.Depkes. Go. Id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2002-sonny-836-

lingkungan(diakses 3 Des 2005)

Widjaja MC. Mengatasi diare dan keracunan pada balita. Jakarta : Kawan pustaka, 2003.1-6


Recommended