+ All Categories
Home > Documents > Ilustrasi Kasus Hies Siiippppppp(1)

Ilustrasi Kasus Hies Siiippppppp(1)

Date post: 23-Nov-2015
Category:
Upload: alexanderkam
View: 28 times
Download: 2 times
Share this document with a friend
Description:
HIEs, ilustrasi kasus
14
HYPER IMUNOGLOBULINE E SYNDROME POST TINDAKAN OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF) PLATE AND SCREW Riko Jum’attullah*, Raveinal** * Peserta PPDS Penyakit Dalam FK. Unand/RSUP Dr. M. Djamil Padang ** Subbagian Alergi Imunologi Ilmu Penyakit Dalam FK. Unand/RSUP Dr. M. Djamil Padang PENDAHULUAN Hyper Imunoglobulin E Syndrome (HIES) atau Job’s Syndrome adalah penyakit imunodefisiensi yang relatif jarang yang melibatkan multisistem dan ditandai dengan meningkatnya kerentanan terhadap rekurensi infeksi bakteri, jamur, abnormalitas muskuloskeletal, wajah dan gigi, ekzema, eosinofilia, dan meningkatnya kadar Imunoglobulin E (IgE). 1 Pada HIES ditandai oleh peningkatan kadar IgE diatas 2000 IU/ml dan perifer eosinofilia adalah temuan yang paling sering. Prevalensi laki–laki dan wanita adalah sama. Pasien dengan HIES rata-rata berada pada usia <60 tahun. Karena tidak semua pasien mempunyai kerentanan terhadap infeksi yang sama, gambaran wajah, dan skeletal abnormal, beberapa pasien tidak dapat teridentifikasi sampai akhir hidupnya sampai penyakit kronik tadi muncul. Kebanyakan pasien didiagnosa saat usia kurang dari 20 tahun karena gambaran klinisnya seperti infeksi viral kutaneus berat, infeksi rekuren sinopulmonary, dan ditandai dengan peningkatan IgE. 1
Transcript

HYPER IMUNOGLOBULINE E SYNDROME

POST TINDAKAN OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF) PLATE AND SCREWRiko Jumattullah*, Raveinal**

* Peserta PPDS Penyakit Dalam FK. Unand/RSUP Dr. M. Djamil Padang

** Subbagian Alergi Imunologi Ilmu Penyakit Dalam FK. Unand/RSUP Dr. M. Djamil Padang

PENDAHULUAN

Hyper Imunoglobulin E Syndrome (HIES) atau Jobs Syndrome adalah penyakit imunodefisiensi yang relatif jarang yang melibatkan multisistem dan ditandai dengan meningkatnya kerentanan terhadap rekurensi infeksi bakteri, jamur, abnormalitas muskuloskeletal, wajah dan gigi, ekzema, eosinofilia, dan meningkatnya kadar Imunoglobulin E (IgE).1

Pada HIES ditandai oleh peningkatan kadar IgE diatas 2000 IU/ml dan perifer eosinofilia adalah temuan yang paling sering. Prevalensi lakilaki dan wanita adalah sama. Pasien dengan HIES rata-rata berada pada usia 2000 kU/L. Sistem skoring yang diciptakan Gimbacher et al dan telah diterima oleh National Institute of Health (NIH) dapat digunakan dalam membantu menegakkan diagnosis HIES. Dari tabel tersebut dijelaskan bahwa pasien dengan skor lebih dari 15 mungkin didiagnosis dengan HIES sedangkan skor kurang dari 10 tidak mungkin menderita HIES, namun diagnostik pasti pada HIES dengan pengujian mutasi gen.5,6Sampai saat ini, belum ditemukan obat untuk menyembuhkan HIES. Antibiotik profilaksis dan obat-obat simtomatik diperlukan sekali. Perawatan intensif pada lesi kulit, terapi antibiotik / antimikotik untuk infeksi yang sesuai, dan pembedahan drainase dari abses merupakan alur utama dalam penanganan HIES. Penggunaan antibiotik profilak terhadap staphylococcus menunjukkan penurunan dari insiden abses kulit dan pneumonia stafilokokal. Dermatitis sering dieksaserbasi oleh superinfeksi Staphylococus aureus. antibiotik sistemik sering diindikasikan pada tambahan agen topical seperti antibakterial, krim pelembab, dan steroid topikal (seperti pada dermatitis atopik). Sampai sekarang masih sangat sedikit yang diketahui mengenai kegunaan obat-obatan seperti tacrolimus pada HIES. Mukokandidiasis, yang mana bermanifestasi pada onikomikosis, vaginal kandidiasis dan sering sangat responsif terhadap antifungal oral.1,5,6Salah satu segi yang menonjol pada HIES adalah bahwa pasien sering tidak menyadari seberapa parah sakit mereka. Meskipun bukti radiologis telah menunjukkan pneumonia atau patologi dermal yang serius, mereka bisa afebril dan merasa baik-baik saja, mungkin karena tidak terdapatnya inflamasi yang mana juga menyebabkan terjadinya abses dingin. Hal ini mungkin menyebabkan kesulitan dalam membujuk pasien untuk menyetujui tes diagnostik yang invasif atau melanjutkan terapi. Antibiotik dosis tinggi secara intra vena selama pengobatan sering dibutuhkan untuk mengeliminasi agen-agen infeksius. Empiema relatif sering dan membutuhkan drainase. Komplikasi yang tipikal terjadi pada pneumonia terhadap pasien HIES adalah formasi dari kista pulmonal, yang mana dapat menghilang dengan sendirinya tetapi lebih sering persisten. Pada kavitas yang persisten, dapat terjadi superinfeksi oleh bakteri ataupun fungal.5,6Prinsip penggunaan antibiotik jangka panjang belum diteliti secara mendalam pada pasien HIES, akan tetapi konsensus menyarankan terapi profilaksis untuk antibiotik anti staphylococcal seperti cotrimoxazole, penisilin semi sintetik, atau cephalosporin oral. Immuno modulator telah menunjukkan hasil yang tidak memuaskan dalam menejemen HIES. Levamisole, satu-satunya zat yang di uji sampai sekarang pada studi double blind, menyebabkan efek samping yang parah ketika dibandingkan dengan plasebo. Interferon (IFN)- telah digunakan pada pengobatan HIES dan menunjukkan efek yang tidak konsisten pada level IgE dan infeksi. Aihara et al menggunakan IFN- pada dua pasien di jepang, yang mana memicu trombositopenia autoimun pada salah satu dari mereka. Penggunaan IFN- atau IFN- pada kasus dengan infeksi virus yang resisten belum di teliti secara mendalam. Cyclosporine-A telah diteliti berhasil di Israel dan Spanyol. Terapi infus Imunoglobulin intravena (IVIG) dapat mempengaruhi kadar IgE karena peningkatan katabolisme dari IgE atau netralisasi IgE via anti-idiotipe network. Karena integritas dari pembentukan antibodi terganggu pada pasien HIES, penggunaan IVIG rasional perlu dipertimbangkan.1,5,6Oleh karena HIES terdapat gangguan pada system imun, transplantasi sumsum tulang pernah dicoba pada dua kasus dengan tipikal AD-HIES. Seorang pria berusia 46 tahun dengan limfoma B sel menerima transplantasi dari keluarganya. Post transplantasi diikuti dengan pemberian prednison dan cyclosporine-A serum IgE turun dan tidak didapati karakteristik infekski HIES. Akan tetapi, pasien ini meninggal 6 bulan kemudian karena pneumonia interstitial. Seorang gadis berumur 7 tahun dengan HIES berat menjalani transplantasi dari saudaranya. Awalnya IgE pasien mengalami penurunan yang dramatis dan lesi kulitnya mengalami perbaikan. Setelah pemberhentian dari imunosupresan dan proses donor yang sudah komplit, IgE pasien kembali pada keadaan sebelum transplantasi dan mengalami abses kulit berulang.5,6ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat seorang pasien perempuan umur 48 tahun di bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil sejak tanggal 3 Desember 2011 dengan keluhan kulit seluruh tubuh melepuh sejak 2 bulan yang lalu, memberat sejak 12 hari ini. Awalnya kulit bengkak dan terasa gatal lalu mengering, terkelupas dan retak-retak. Sebelumnya pasien mengalami kecelakaan terjadi fraktur pada tungkai bawah kanan kemudian pasien menjalani operasi pemasangan plate, selama perawatan pasien mendapat obat ceftriaxone, ketorolac, ranitidin dan selama kontrol pasien mengkonsumsi obat cefadroxil, tramadol, ranitidin. Pasien juga mengeluh mengalami nyeri ulu hati dalam 1 bulan ini. Buang air besar normal, buang air kecil berkurang dari biasanya, mual dan muntah tidak dijumpai. Gejala tersebut awalnya dicurigai dengan erupsi kulit oleh obat ataupun penyakit autoimun seperti Steven Johnson Syndrome akibat obat yang dikonsumsinya dan pemasangan plate pada kaki kanan. Pada pemeriksaan fisik dijumpai plak eritema dan hiperpigmentasi, skuama, erosi, eksoriasi, pus, krusta merah kehitaman pada seluruh tubuh dan pada ekstremitas inferior dextra dan sinistra dijumpai edema, skuama, dan pus. Pasien dengan riwayat infeksi kulit berulang. Pada pemeriksaan rontgen thorak dalam batas normal, pemeriksaan laboratorium pada tanggal 6 desember 2013, tes immunoserologi didapatkan kadar IgE total >10.000 IU/ml dan eosinofil absolut 3,3 x 103 / Ul. Pada pemeriksaan kultur pus ditemukan Proteus mirabilis. Rontgen Thorak

Rontgen Cruris Dextra

Pasien didiagnosa dengan hyperimunnoglobulin E syndrome dan diberikan pengobatan tirah baring, diet makanan cair Istirahat / Diet MC TKTP Via NGT 2000 kkal ( Karbohidrat 375 gr, Protein 50 gr, Lemak 35 gr ). Sementara diberikan terapi simptomatis berupa IVFD NaCl 0,9% 6 jam/kolf, Injeksi Ceftriaxon 1x2 gr IV (skin test), Ciprofloxacin 2x200 mg (IV), Injeksi metilprednisolon 1x125 mg (IV) hari I dilanjutkan Injeksi metilprednisolon 2x62,5 mg (IV), Injeksi omeprazole 1x40 mg, paracetamol 1x 1000 mg, lanolin 10% ( 2x sehari 1 jam sebelum mandi dioles pada seluruh tubuh ), hidrokortison salep 2,5 % ( 1 jam sebelum mandi ), kompres NaCl 0,9% dan kompres dengan permanganas kalikus (PK), kompres hangat pada ODS, Ocular hygiene ODS, cendolyter 3x gtt II ODS, ulcori eye drop 6 x gtt I ODS, cendomycetin eye drop. Foto Pasien Saat Masuk

Foto Saat RawatanDISKUSIPada kasus ini dilaporkan seorang pasien wanita dengan Hyper IgE Syndrome ( HIES ). Hyper IgE Syndrome adalah kombinasi langka dari peningkatan serum imunoglobulin E (IgE) sangat tinggi dengan defisiensi imun. Konsentrasi tinggi IgE menyebabkan reaksi atopik khususnya eksim yang parah. Mutasi pada gen STAT3 bertanggung jawab untuk terjemahan kekurangan sinyal sitokin dalam respon imun yang efektif. Pasien rentan dengan infeksi staphylococcal pada kulit dan paru-paru, seringkali dengan gejala klinis yang sedikit. Konsekuensi sistemik lainnya adalah fitur wajah khas dengan retensi primer gigi, patah tulang dari trauma ringan, skoliosis dan aneurisma vaskular. Manajemen termasuk control reaksi alergi dan pengobatan infeksi sekunder. Diagnosis biasanya dibuat atas kecurigaan klinis bersamaan dengan eosinofilia dan titer serum IgE yang sangat tinggi, sering melebihi 2 000 kU / l. Beberapa pedoman klinis telah diusulkan untuk membantu seperti yang terdapat pada klasifikasi Tabel I dan II. Baru-baru ini diusulkan kriteria diagnostik yang spesifik untuk HIES adalah kekurangan STAT 3.5,7 Tidak ada pengobatan yang spesifik pada Hyper IgE Syndrome hanya untuk pengobatan simptomatik. Eksim parah agresif diobati dengan emolien dan steroid topikal, sedangkan infeksi stafilokokus diobati dan dicegah dengan antibiotik. Penyakit paru-paru yang menyerupai pneumonia dengan antibiotik yang tepat. Profilaksis Trimethoprim sulphamethoxazole dapat berguna serta fisioterapi dada untuk megeluarkan sekret dari tenggorokkan. Antikoagulan untuk mencegah kerusakan pembuluh darah masih kontroversial dan dapat meningkatkan risiko untuk perdarahan paru. Transplantasi sumsum tulang adalah suatu modalitas eksperimental di kondisi ini.7

KESIMPULAN

Hyper IgE Syndrome (HIES) adalah berhubungan dengan peningkatan kadar IgE yang sangat tinggi dengan Gambaran klinis atopi khas seperti eksim parah. Hasil defisiensi imun dalam infeksi paru-paru supuratif berulang dan kehancuran parenkim paru. Pasien biasanya memiliki wajah yang khas dan retensi gigi sulung. Hal ini telah dijelaskan pada tahun 1970-an tetapi sejak kemajuan genetik dan imunologi telah membantu untuk mengungkap patogenesis dan menjelaskan fenotipe yang berbeda, Autosomal Dominan (AD)-HIES adalah terkait dengan kekurangan Signal Trasducer and Activator of Transcription (STAT) 3 dan sering dikaitkan dengan kelainan pembuluh darah. Diagnosis klinis tetap menjadi acuan untuk menegakkan diagnosis HIES meskipun telah dikembangkan penelitian berdasarkan imunologi seperti T-Helper (Th 17) dan mutasi genetik STAT 3 untuk diagnostik dan prognosis. Perawatan terhadap pasien HIES lebih diutamakan untuk pencegahan infeksi berulang.DAFTAR PUSTAKA1. Angurana SK, Angurana RS. Hyper-IgE syndrome. Jk Science 2011; 13(3): 111-114.

2. Muhammed K. Hyper IgE syndrome: Report of two cases with moderate elevation of IgE. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2005; 71(2): 112-4.

3. Jyonouchi H. 2011. Hyperimmunoglobulinemia E (Job) Syndrome. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/886988.4. Young TY, Jerome D, Gupta S. Hyperimmunoglobulinemia E Syndrome assciated with coronary artery aneurysms :deficiency of central memory CD4 T cell and expantion of effector memory CD4 T cells. Ann Allergy Asthma Immunol 2007; 98:389-392.5. Grimbacher B, Holland SM, Puck JM. Hyper Ig-E Syndromes. Imunological Reviews. 2005; 20(3): 244250.6. Freeman AF, Holland SM. The Hyper IgE Syndromes. Immunol Allergy Clin North Am. 2008; 28(2): 277.7. Woellener C, Gertz EM, Schaffer AA, et al. Mutations in STAT3 and diagnostic guidelines for hyper-IgE syndrome. J Allergy Clinn Immunol 2010; 125;424-432.4


Recommended