+ All Categories
Home > Documents > KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM SEKTOR KEHUTANAN

KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM SEKTOR KEHUTANAN

Date post: 21-Apr-2023
Category:
Upload: ui
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
22
UNIVERSITAS INDONESIA KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM SEKTOR KEHUTANAN Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Antar Wewenang Oleh : Ferin Chairysa (1206209356) FAKULTAS HUKUM
Transcript

UNIVERSITAS INDONESIA

KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM

SEKTOR KEHUTANAN

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah

Hukum Antar Wewenang

Oleh :

Ferin Chairysa (1206209356)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIADEPOK

APRIL 2015URUSAN PEMERINTAHAN

Pelaksanaan otonomi daerah dimulai sejak

berakhirnya masa pemerintahan orde baru. Dengan

dilaksanakannya otonomi daerah, daerah diberikan hak,

wewenang, dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingannya. Hal ini juga dijelaskan dalam Pasal 1

angka 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah) yang

menjelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang,

dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Presiden merupakan pucuk yang memegang kekuasaan

pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945,

yaitu Pasal 4 ayat (1). Dalam menjalankan pemerintahan

sejak terdapat pengaturan mengenai otonomi daerah,

urusan pemerintahan terbagi atas urusan pusat dan

daerah, yang mana dijalankan berdasarkan asas

desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

Urusan pemerintahan itu sendiri, terbagi atas:1

1 Indonesia (a), Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Ps.9 ayat (1).

1

1. Urusan pemerintahan absolut, adalah kewenangan yang

sepenuhnya berada di pusat, yang terdiri atas:2

a. politik luar negeri

b. pertahanan

c. keamanan

d. yustisi

e. moneter dan fiscal

f. agama

2. Urusan pemerintahan konkuren, adalah urusan

pemerintah yang dibagi antara pusat, provinsi, dan

kabupaten/kota. Urusan yang diserahkan kepada daerah

ini menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Urusan

pemerintahan konkuren terdiri atas:3

a. urusan pemerintahan wajib, yang terdiri atas:4

urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan

pelayanan dasar, meliputi:5

o pendidikan

o kesehatan

o pekerjaan umum dan penataan ruang

o perumahan rakyat dan kawasan pemukiman

o ketentraman, ketertiban umum, dan

perlindungan masyarakat

o sosial

2 Ibid., Ps. 10 ayat (1).3 Ibid., Ps. 11 ayat (1).4 Ibid., Ps. 11 ayat (2).5 Ibid., Ps. 12 ayat (1).

2

urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan

dengan pelayanan dasar, meliputi:6

o tenaga kerja

o pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak

o pangan

o pertanahan

o lingkngan hidup

o administrasi kependudukan dan pencatatan

sipil

o pemberdayaan masyarakat dan desa

o pengendaliam penduduk dan keluarga berencana

o perhubungan

o komunikasi dan informatika

o koperasi, usaha kecil, dan menengah

o penanaman modal

o kepemudaan dan olah raga

o statistic

o persandian

o kebudayaan

o perpustakaan

o kearsipan

b. urusan pemerintahan pilihan, meliputi:7

kelautan dan perikanan

pariwisata

pertanian

kehutanan

6 Ibid., Ps. 12 ayat (2).7 Ibid., Ps. 12 ayat (3).

3

energi dan sumber daya mineral

perdagangan

perindustrian

transmigrasi

3. Urusan Pemerintahan Umum, yang meliputi:8

a. Pembinaan wawasan kebangsana dan ketahanan

nasional dalam rangka memantaokan pengalaman

Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian

Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan dan

pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia

b. Pembinaan persatuan dan kesatuan oangan

c. Pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, mat

brgama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan

stabilitas keamanan lokal, regional dan nasional

d. Penanganan konflik sosial sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan

e. Koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi

pemerintahan yang ada di wilayah Daerah Provinsi

dan Daerah Kabupaten/Kota untuk menyelesaikan

permasalahan yang timbul dengan manusia,

pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan,

potensi serta keanekaragaman daerah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan

8 Ibid., Ps. 25.

4

f. Pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan

Pancasila

g. Pelaksanaan semua urusan pemerintahan yang bukan

kewenangan daerah dan tidak dilaksanakan oleh

instansi vertikal

Di dalam UU Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa

Pemerintah Pusat berwenang untuk menetapkan kebijakan

sebagai dasar dalam menyelenggarakan urusan

pemerintahan.9 Selain itu, Pemerintah Pusat juga harus

melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap

penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah.10

Dasar yang harus ditetapkan oleh Pemerintahan Pusat

berupa norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam

rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan.11 Sedangkan

Pemerintahan Daerah dapat menetapkan kebijakan daerah

sendiri untuk urusan yang menjadi kewenangannya. Namun,

hal ini dibatasi dengan kewajiban daerah untuk

berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria

yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.12

PEMBAGIAN KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH SECARA UMUM DALAM

UU PEMERINTAHAN DAERAH

Berdasarkan pembagian urusan pemerintahan yang

telah dijelaskan sebelumnya, dapat dilihat bahwa

mengenai pembagian kewenangan pusat dan daerah hanya9 Ibid., Ps. 6.10 Ibid., Ps. 7.11 Ibid., Ps. 16 ayat (1).12 Ibid., Ps. 17 ayat (2).

5

terjadi di dalam urusan pemerintahan konkuren yang

menjadi dasar pelaksanaan dari otonomi daerah.

Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara

Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah

kabupaten/kota dilaksanakan dengan prinsip

akuntabilitas, efesiensi, dan eksternalitas, serta

kepentingan strategis nasional13, dan hal ini

dilaksanakan dengan berdasarkan pada luas, besaran, dan

jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan

suatu Urusan Pemerintahan.

UU Pemerintahan Daerah membagi kewenangan

Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah

kabupaten/kota sebagai berikut:14

Pemerintah

Pusat

Pemerintah Daerah

Provinsi

Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota1. Lokasinya

lintas daerah

provinsi atau

lintas negara

2. Penggunaannya

lintas daerah

provinsi atau

lintas negara

3. Manfaat atau

dampak

1. Lokasinya

lintas daerah

kabupaten/kota.

2. Penggunaannya

lintas daerah

kabupaten/kota.

3. Manfaat atau

dampak

negatifnya

lintas daerah

1. Lokasinya dalam

daerah

kabupaten/kota

2. Penggunaannya

dalam daerah

kabupaten/kota

3. Manfaat atau

dampak

negatifnya

hanya dalam

13 Ibid., Ps. 13 ayat (1).14 Ibid., Ps. 13 ayat (2), (3), dan (4).

6

negatifnya

lintas daerah

provinsi atau

lintas negara

4. Penggunaanya

sumber dayanya

lebih efisien

apabila

dilakukan oleh

pemerintah

pusat

5. Yang

peranannya

strategis bagi

kepentingan

nasional

kabupaten/kota.

4. Penggunaannya

sumber dayanya

lebih efesien

apabila

dilakukan oleh

daerah provinsi

daerah

kabupaten/kota

4. Yang penggunaan

sumber dayanya

lebih efesien

apabila

dilakukan oleh

daerah

kabupaten/kota

PEMBAGIAN KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM SEKTOR

KEHUTANAN BERDASARKAN UU PEMERINTAHAN DAERAH

Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang

kehutananan dibagi antara Pemerintahan Pusat dan Daerah

Provinsi. Namun untuk yang berkaitaan dengan

pengelolaan taman hutam raya kabupaten/kota menjadi

kewenangan Daerah kabupaten/kota.15 Di dalam lampiran

UU Pemerintahan Daerah, dapat dilihat bahwa pembagian

kewenangan pusat dan daerah adalah sebagai berikut:15 Ibid., Ps. 14 ayat (1) dan (2)

7

8

9

10

11

PEMBAGIAN KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM SEKTOR

KEHUTANAN BERDASARKAN UU KEHUTANAN

Mengenai perencanaan hutan, diatur dalam Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU

Kehutanan) dan lebih lanjut di dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan

Kehutanan. Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan:16

1. Inventarisasi hutan

2. Pengukuhan kawasan hutan

3. Pentagunaan kawasan hutan

4. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

5. Penyusunan rencana kehutanan

Untuk inventarisasi hutan, diatur dalam PP

tersebut bahwa menteri menyelenggarakan inventarisasi

hutan tingkat nasional.17 Sedangkan Inventarisasi Hutan

tingkat wilayah, gubernur menyelenggarakannya pada

tingkat provinsi dengan memperhatikan pedoman dan

acuan yang ditetapkan menteri.18 Begitu juga di

kabupaten/kota, bupati/walikota melkukan inventarisasi

hutan dengan mengacu pada pedoman dari menteri dan

gubernur.19

Mengenai pengukuhan kawasan hutan, dilakukan oleh

Menteri.20 Sedangkan dalam hal penataan batas kawasan16 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

2004 tentang Perencanaan Kehutanan, LN No. 146 Tahun 2004, Ps. 3ayat (1).

17 Ibid., Psl. 7 ayat (1)18 Ibid., Psl. 919 Ibid., Psl. 1020 Ibid., Psl. 16

12

hutan, PP ini menyebutkan bahwa Bupati/Walikota

bertanggung jawab atas penyelenggaraan penataan batas

kawasan hutan di wilayahnya.21 Begitu juga dalam hal

pembentukan wlayah pengelolaan hutan, hal ini

diserahkan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan

unit pengelolaan.22 Hal yang sama juga dengan

penyusunan rencana kehutanan.23

Mengenai pembagian kewenangan antara pusat dan

daerah mengenai hal pengeelolaan hutan diatur dalam UU

Kehutanan dan terdapat pada Bab VIII tentang Penyerahan

Kewenangan Pasal 66, yang mana diatur bahwa:24

(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan

pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan

kepada pemerintah daerah

(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan

sebagaimana dmaksud pada ayat (1) bertujuan

untuk meningkatkan efektifitas pengurusan htan

dalam rangka pengembangan otonomi daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

UU Kehutanan ini pada dasarnya sudah diubah dengan

dengan UU Nomor 14 Tahun 2004 tentang Penetapan

21 Ibid., Psl. 19 ayat (5)22 Ibid., Psl. 2623 Ibid., Psl. 36 ayat (1)24 Indonesia (b), Undang-Undang Kehutanan, UU No. 41 Tahun

1999, LN No. 167 Tahun 1999, TLN. No. 3888, Psl. 66.

13

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.

Namun, isi perubahannya hanya terdapat pada pasal dalam

bab penutup, sehingga tidak merubah secara materi UU

Kehutanan ini.

Di dalam Pasal 66 UU Kehutanan tersebut,

disebutkan secara tegas bahwa dalam penyelenggaraan

kehutanan, pemerintah pusat menyerahkan sebagian

kewenangan kepada pemerintah daerah. Dan bentuk

penyerahannya seperti apa dilanjutkan penjelasannya

oleh Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang

Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,

Serta Pemanfaatan Hutan.

Di dalam PP tersebut, dijabarkan mengenai

pembagian kewenangan, kewenangan yang menjadi pusat

perhatian adalah kewenangan dalam pemberian izin,

apakah di pusat, porivinsi, atau kabupaten, yang dapat

terlihat dari penjabaran pasal-pasal dibawah ini.

A. Pemberian Izin

1. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK)25

25 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Perubahan AtasPeraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan DanPenyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, LNNo. 16 Tahun 2008, TLN No. 4814, Ps. 6.

14

a. Bupati/walikota, pada kawasan hutan yang ada

dalam wilayah kewenangannya, dengan tembusan

kepada Menteri, gubernur dan kepala KPH;

b. Gubernur, pada kawasan hutan lintas

kabupaten/kota yang ada dalam wilayah

kewenangannya, dengan tembusan kepada Menteri,

bupati/walikota, dan kepala KPH;

c. Menteri, pada kawasan hutan lintas provinsi,

dengan tembusan kepada gubernur, bupati/walikota,

dan kepala KPH;

d. Menteri, pada areal yang telah dibebani IUPHHK

restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan

produksi yang belum mencapai keseimbangan

ekosistem, dengan tembusan kepada gubernur,

bupati/walikota dan kepala KPH.

2. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan

(IUPJL)26

a. Bupati/walikota, pada kawasan hutan yang ada

dalam wilayah kewenangannya, dengan tembusan

kepada Menteri, gubernur, dan kepala KPH;

b. Gubernur, pada kawasan hutan lintas

kabupaten/kota yang ada dalam wilayah

kewenangannya, dengan tembusan kepada Menteri,

bupati/walikota dan kepala KPH;

26 Ibid., Ps. 61

15

c. Menteri, pada kawasan hutan lintas provinsi,

dengan tembusan kepada gubernur, bupati/walikota

dan kepala KPH; atau

d. Menteri, pada areal yang telah dibebani IUPHHK

restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan

produksi yang belum mencapai keseimbangan

ekosistem, dengan tembusan kepada gubernur,

bupati/walikota dan kepala KPH.

3. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

(IUPHHK)27

Diberikan oleh Menteri berdasarkan pertimbangan

gubernur yang mendapatkan pertimbangan dari

bupati/walikota, sesuai dalam areal hutan.

4. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan

Kayu (IUPHHBK)28

a. Bupati/walikota, pada areal dalam hutan alam atau

hutan tanaman yang ada diwilayah kewenangannya,

dengan tembusan kepada Menteri, gubernur, dan

kepala KPH; atau

b. Gubernur, pada areal dalam hutan alam atau hutan

tanaman lintas provinsi yang ada dalam wilayah

kewenangannya, dengan tembusan kepada Menteri,

bupati/walikota dan kepala KPH.

B. Perpanjangan Izin29

27 Ibid., Ps. 6228 Ibid., Ps. 6329 Ibid., Ps. 81 ayat (4)

16

1. Perpanjangan IUPK, IUPJL, IUPHHBK, dan IPHHBK,

diberikan oleh:

a. Bupati/walikota, pada kawasan hutan yang ada

dalam wilayah kewenangannya, dengan tembusan

kepada Menteri, gubernur, dan kepala KPH;

b. Gubernur, pada kawasan hutan lintas kabupaten/kota

yang ada dalam wilayah kewenangannya, dengan

tembusan kepada Menteri, bupati/ walikota dan

kepala KPH; dan

c. Menteri, pada kawasan hutan lintas provinsi,

dengan tembusan kepada gubernur, bupati/walikota,

dan kepala KPH.

2. Untuk perpanjangan IUPHHK dalam hutan alam atau

IUPHHK pada HTHR dalam hutan tanaman diberikan oleh

Menteri atau pejabat yang ditunjuk, berdasarkan

rekomendasi dari gubernur setelah mendapat

pertimbangan dari bupati/walikota.

Sedangkan mengenai pembinaan dan pengendalian

hutan, diatur di dalam PP yang sama. Pengaturannya

adalah sebagai berikut: 30

1. Menteri, berwenang membina dan mengendalikan

kebijakan bidang kehutanan yang dilaksanakan

gubernur, bupati/walikota, dan/atau kepala KPH;

2. Gubernur, berwenang membina dan mengendalikan

kebijakan bidang kehutanan yang dilaksanakan

bupati/walikota, dan/atau kepala KPH.30 Ibid., Ps. 123

17

Dalam hal pengawasan kehutanan, diatur dalam Bab

VII tentang Pengawasan dalam UU Kehutanan. Dalam Pasal

60, disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah

wajib melakukan pengawasan kehutanan. Dan pengawsan

yang dilakukan oleh pemerintah daerah, juga diawasi

lagi oleh pemerintah pusat.31

ANALISIS SENGKETA KEWENANGAN ANTARA UU PEMERINTAHAN

DAERAH DAN UU KEHUTANAN

Di dalam lampiran UU Pemerintahan Daerah, mengenai

perencanaan hutan adalah sepenuhnya kewenangan dari

pemerintah pusat. Namun, berbeda dengan yang diatur

dalam peraturan pelaksana dari UU Kehutanan, mengenai

inventarisasi bahwa kewenangan tersebut terbagi antara

kewenangan pemerintah pusat dan daerah, baik provinsi

maupun kabupaten. Hal yang sama pun terjadi pada

kewenangan untuk penyelenggaraan penataan batas kawasan

hutan di wilayahnya, pembentukan wilayah pengelolaan

hutan dan penyusunan rencana kehutanan. Yang sepenuhnya

dipegang oleh menteri hanyalah mengenai pengukuhan

kawasan hutan. Perbedaan pengaturan semacam ini

tentunya akan menimbulkan kebingunan dalam

pengimplementasiannya. Sehingga, hal ini pun akan

mengakibatkan sengketa kewenangan antara pusat dan

daerah.

31 Indonesia (b), Op.cit., Psl. 60

18

Selain itu, terdapat beberapa hal yang akan

mengakibatkan sengketa kewenangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah, baik provinsi maupun

kabupaten/kota yang disebabkan oleh tidak sejalannya

pengaturan di dalam kedua undang-undang ini dalam hal

pengelolaan khususnya mengenai izin serta pembinaan.

Namun, ketidaksinkronan ini justru ditimbulkan karena

adanya lampiran dari UU Pemerintahan Daerah.

Pada dasarnya, pengaturan mengenai pembagian

kewenangan pusat dan daerah secara umum dalam UU

Pemerintahan Daerah, telah dianut oleh UU Kehutanan.

Dimana, kewenangan ini dipengaruhi oleh lokasi,

penggunaan, manfaat, dan urusan strategis.

UU Kehutanan beserta peraturan pelaksananya telah

memberikan lahan yang jelas bagi masing-masing

kewenangan. Kewenangan tersebut disesuaikan dengan

kawasan dan arealnya. Jadi, kewenangan terhadap suatu

daerah diberikan kepada bupati/walikota setempat,

apabila lintas kabupaten/kota diberikan kepada

Gubernur, dan apabila lintas provinsi diberikan kepada

Menteri, dengan pengecualian pemberian Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Hasil Kayu (IUPHHHK) yang

diberikan khusus oleh Menteri dengan pertimbangan

Gubernur yang didapat dari pertimbangan

bupati/walikota. Hal ini tentu saja sudah sesuai dengan

prinsip-prinsip umum yang dianut dalam pembagian

19

kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah.

Namun, yang menjadi masalah adalah Pasal 14 dari

UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa:

(1) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang

kehutanan, kelautan, serta energy dan sumber

daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan

Daerah Provinsi.

(2) Urusan Pemerintahan bidang kehutanan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya

kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah

kabupaten/kota.

Dan Pasal 15 UU Pemerintahan Daerah, yaitu:

(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara

Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta

Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran

yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari Undang-Undang ini.

Dari pasal-pasal diatas dan juga lampiran dari UU

Pemerintahan Daerah, dapat dilihat bahwa daerah

kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan sama sekali

kecuali mengenai pengelolaan taman hutan raya

kabupaten/kota. Berbeda halnya dengan yang diatur oleh

UU Kehutanan, bahwa Bupati/Walikota memiliki kewenangan

20

dalam wilayahnya. Di dalam UU Kehutanan, prinsip

otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota

terimplimentasi dengan baik. Berbeda halnya dengan

peraturan pengecualian dalam Pasal 14, Pasal 15, dan

Lampiran UU Pemerintahan Daerah, yang mengkerdilkan

kewenangan Bupati/Walikota.

Di dalam lampiran UU Pemerintahan Daerah juga

dapat terlihat bahwa mengenai pengawasan kehutanan,

dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Padahal, di dalam UU

Kehutanan juga disebutkan bahwa Pemerintah Daerah juga

wajib melaksanakan pengawasan.

Dari beberapa penjelasan diatas, dapat dilihat

bahwa sebenarnya UU Pemerintahan Daerah dan UU Kehutana

ini sudah berjalan dengan prinsip umum yang sama yaitu

otonomi daerah. Namun, penjabarannya di dalam lampiran

UU Pemerintahan Daerah mengakibatkan ketidakjelasan dan

ketidaksinkronan pengaturan mengenai kehutanan antara

pusat dan daerah. Sehingga, lampiran UU ini malah

membuat kebingungan pengaturan dalam sektor kehutanan.

21


Recommended