+ All Categories
Home > Documents > Makalah Ekologi Hewan

Makalah Ekologi Hewan

Date post: 23-Feb-2023
Category:
Upload: uin-alauddin
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
32
EKOLOGI HEWAN “Habitat dan Relung” OLEH : Kelompok I 1. Andi Marwah Bakri 2. Nur Sakiyah 3. Silvana 4. Hariana 5. Rahmat Hidayat 6. Irwan BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR 2014
Transcript

EKOLOGI HEWAN“Habitat dan Relung”

OLEH :

Kelompok I1. Andi Marwah Bakri2. Nur Sakiyah3. Silvana4. Hariana5. Rahmat Hidayat6. Irwan

BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN

MAKASSAR

2014

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum.Wr.Wb

Pertama-tama rasa syukur tiada henti-hentinya

diucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan makalah dengan judul “Habitat dan

Relung”.

Ucapan terimakasih kepada dosen pengampu mata

kuliah Ekologi Hewan yang telah memberikan kami

kesempatan untuk membuat makalah ini sebagai pedoman,

acuan, dan sumber belajar.

Akhir kata, Penyusun menyadari bahwa masih

terdapat banyak kesalahan baik dari segi bahasa,

tulisan, maupun kalimat yang kurang tepat dalam makalah

ini, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat

membangun dari para pembaca sangat diharapkan demi

kesempurnaan makalah berikutnya.

Samata, 2 April 2014

Penyusun

DAFTAR ISIBAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

B. RUMUSAN MASALAH

BAB II PEMBAHASAN

A. HABITAT

B. MIKROHABITAT

C. RELUNG EKOLOGI

D. ASAS AKSKLUSI PERSAINGAN DAN PEMISAHAN RELUNG

E. EKUIVALEN EKOLOGI

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di alam yang di lingkungan sekitar kita dapat

di temui berbagai jenis makhluk hidup, baik dari

golongan hewan, tumbuhan ataupun mikroorganisme.

Ditanah yang lembab dan gembur sering di temukan

berbagai jenis ikan, direrumputan sering ditemukan

belalang, di semsk belukar sering ditemukan ular.

Mengapa masing-masing hewan tersebut. Lebih sering

di temukan di tempat-tempat yang tertentu dan tidak

sembarang tempat? Masalah kehadiran suatu populasi

hewan di suatu tempat dan penyebaran (distribusi)

spesies hewan tersebut di muka bumi ini, selalu

berkaitan dengan masalah habitat dan relung

ekologinya.

Habitat secara umum menunjukkan bagaimana corak

lingkungan yang ditempati populasi hewan, sedang

relung ekologinya menunjukkan dimana dan bagaimana

kedudukan populasi hewan itu relatif terhadap

faktor-faktor abiotik dan biotik lingkungannya itu.

Secara sederhana habitat diartikan sebagai tempat

hidup dari makhluk hidup, atau diistilahkan juga

dengan biotop. Untuk mudahnya, habitat seringkali

diibaratkan sebagai ”alamat” dari populasi hewan,

sedang relung ekologi dimisalkan sebagai “profesi”

di alamat itu.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah kami adalah:

1. Menjelaskan pengertian Habitat?

2. Menjelaskan pengertian Mikrohabitat?

3. Menjelaskan pengertian Relung Ekologi?

4. Menjelaskan tentang Asas Eksklusi Persaingan Dan

Pemisahan Relung

5. Menjelaskan tentang Ekivalen Ekologi?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Habitat

Habitat suatu populasi hewan pada dasarnya

menunjukkan totalitas dari corak lingkungan yang di

tempati populasi itu, termasuk factor-faktor abiotik

berupa ruang, tipe substratum yang di tempati, cuaca

dan iklimnya serta vegetasinya.

Definisi habitat : Habitat suatu organisme

adalah tempat organisme itu hidup, atau tempat

kemana seseorang harus pergi untuk menemukan

organisme tersebut. Istilah habitat banyak

digunakan, tidak saja dalam ekologi tetapi dimana

saja. Tetapi pada umumnya istilah ini diartikan

sebagai tempat hidup suatu makhluk hidup. Contohnya

habitat Notonecta (sejenis binatang air) adalah

daerah-daerah kolam, danau dan perairan yang dangkal

yang penuh ditumbuhi vegetasi. Habitat ikan mas

(Cyprinus carpio) adalah di perairan tawar, habitat

pohon durian (Durio zibhetinus) adalah di tanah darat

dataran rendah. Pohon enau tumbuh di tanah darat

dataran rendah sampai pegunungan, dan habitat enceng

gondok di perairan terbuka.

Menurut Sambas Wirakusumah dalam Dasar-Dasar

Ekologi, habitat adalah toleransi dalam orbit dimana

suatu spesies hidup termasuk faktor lingkungan yang

cocok dengan syarat hidupnya. Orbit adalah ruang

kehidupan spesies lingkungan geografi yang luas,

sedangkan habitat menyatakan ruang kehidupan

lingkungan lokasinya.

Morrison (2002) mendefinisikan habitat sebagai

sumberdaya dan kondisi yang ada di suatu kawasan

yang berdampak ditempati oleh suatu species. Habitat

merupakan organisme-specific yang menghubungkan

kehadiran species, populasi, atau individu (satwa

atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan

karakteristik biologi. Habitat terdiri lebih dari

sekedar vegatasi atau struktur

vegetasi; merupakan jumlah kebutuhan sumberdaya khusus

suatu species. Dimanapun suatu organisme diberi

sumberdaya yang berdampak pada kemampuan untuk bertahan

hidup, itulah yang disebut dengan habitat.

Tipe Habitat: Habitat tidak sama dengan tipe

habitat. Tipe habitat merupakan sebuah istilah yang

dikemukakan oleh Doubenmire (1968:27-32) yang hanya

berkenaan dengan tipe asosiasi vegetasi dalam suatu

kawasan atau potensi vegetasi yang mencapai suatu

tingkat klimaks. Habitat lebih dari sekedar sebuah

kawasan vegetasi (seperti hutan pinus). Istilah tipe

habitat tidak bisa digunakan ketika mendiskusikan

hubungan antara satwa liar dan habitatnya. Ketika kita

ingin menunjukkan vegetasi yang digunakan oleh satwa

liar, kita dapat mengatakan asosiasi vegetasi atau tipe

vegetasi didalamnya.

Penggunaan Habitat: Penggunaan habitat merupakan

cara satwa menggunakan (atau ”mengkonsumsi” dalam suatu

pandangan umum) suatu kumpulan komponen fisik dan

biologi (sumber daya) dalam suatu habitat. Hutto

(1985:458) menyatakan bahwa penggunaan habitat

merupakan sebuah proses yang secara hierarki melibatkan

suatu rangkaian perilaku alami dan belajar suatu satwa

dalam membuat keputusan habitat seperti apa yang akan

digunakan dalam skala lingkungan yang berbeda.

Kesukaan Habitat: Johnson (1980) menyatakan bahwa

seleksi merupakan proses satwa memilih komponen habitat

yang digunakan. Kesukaan habitat merupakan konsekuensi

proses yang menghasilkan adanya penggunaan yang tidak

proporsional terhadap beberapa sumberdaya, yang mana

beberapa sumberdaya digunakan melebihi yang lain.

Ketersediaan Habitat: Ketersediaan habitat

menunjuk pada aksesibilitas komponen fisik dan biologi

yang dibutuhkan oleh satwa, berlawanan dengan

kelimpahan sumberdaya yang hanya menunjukkan kuantitas

habitat masing-masing organisme yang ada dalam habitat

tersebut (Wiens 1984:402). Secara teori kita dapat

menghitung jumlah dan jenis sumberdaya yang tersedia

untuk satwa; secara praktek, merupakan hal yang hampir

tidak mungkin untuk menghitung ketersediaan sumberdaya

dari sudut pandang satwa (Litvaitis et al., 1994). Kita

dapat menghitung kelimpahan species prey untuk suatu

predator tertentu, tetapi kita tidak bisa mengatakan

bahwa semua prey yang ada di dalam habitat dapat

dimangsa karena adanya beberapa batasan, seperti

ketersediaan cover yang banyak yang membatasi

aksesibilitas predator untuk memangsa prey. Hal yang

sama juga terjadi pada vegetasi yang berada di luar

jangkauan suatu satwa sehingga susah untuk dikonsumsi,

walaupun vegetasi itu merupakan kesukaan satwa

tersebut. Meskipun menghitung ketersediaan sumber daya

aktual merupakan hal yang penting untuk memahami

hubungan antara satwa liar dan habitatnya, dalam

praktek jarang dilakukan karena sulitnya dalam

menentukan apa yang sebenarnya tersedia dan apa yang

tidak tersedia (Wiens 1984:406). Sebagai

konsekuensinya, mengkuantifikasi ketersediaan

sumberdaya biasanya lebih ditekankan pada penghitungan

kelimpahan sumberdaya sebelum dan sesudah digunakan

oleh satwa dalam suatu kawasan, daripada ketersediaan

aktual. Ketika aksesibilitas sumber daya dapat

ditentukan terhadap suatu satwa, analisis untuk

menaksir kesukaan habitat dengan membandingkan

penggunan dan ketersediaan merupakan hal yang penting.

Kualitas Habitat: Istilah kualitas habitat

menunjukkan kemampuan lingkungan untuk memberikan

kondisi khusus tepat untuk individu dan populasi secara

terus menerus. Kualitas merupakan sebuah variabel

kontinyu yang berkisar dari rendah, menengah, hingga

tinggi. Kualitas habitat berdasarkan kemampuan untuk

memberikan sumberdaya untuk bertahan hidup, reproduksi,

dan kelangsungan hidup populasi secara terus menerus.

Para peneliti umumnya menyamakan kualitas habitat yang

tinggi dengan menonjolkan vegetasi yang memiliki

kontribusi terhadap kehadiran (atau ketidak hadiran)

suatu spesies (seperti dalam Habitat Suitability Index

Models dalam Laymon dan Barrett 1986 dan Morrison et

al.1991). Kualitas secara eksplisit harus dihubungkan

dengan ciri-ciri demografi jika diperlukan. Leopold

(1933) dan Dasman et al. (1973) menyatakan bahwa suatu

habitat diaktakan memiliki kualitas yang tinggi apabila

kepadatan satwa seimbang dengan sumberdaya yang

tersedia, di lapangan pada umumnya habitat yang

memiliki kualitas ditunjukkan dengan besarnya kepadatan

satwa (Laymon dan Barrett 1986). Van Horne (1983)

mengatakan bahwa kepadatan merupakan indikator yang

keliru untuk kulitas habitat. Oleh sebab itu daya

dukung dapat disamakan dengan level kualitas habitat

tertentu, kualitasnya dapat berdasarkan tidak pada

jumlah organisme tetapi pada demografi populasi secara

individual. Kualitas habitat merupakan kata kunci bagi

para ahli restorasi.

Secara garis besar dikenal empat tipe habitat

utama , yakni: daratan, perairan tawar, perairan payau

dan estuaria serta perairan bahari/ laut. Masing-masing

kategori utama dapat dipilih-pilihkan lagi tergantung

corak kepentingannya, mengenai aspek yang ingin di

ketahui. Dari sudut pandang dan kepentingan popuasi-

populasi hewan yang menempatinya, pemilihan tipe-tipe

habitat itu terutama didasarkan pada segi variasinya

menurut waktu dan ruang.

Berdasarkan variasi habitat menurut ruang, dapat

dikenal 4 macam habitat:

1. Habitat yang konstan, yaitu suatu habitat yang

kondisinya terus menerus relatip baik atau kurang

baik.

2. Habitat yang bersifat memusim, yaitu suatu habitat

yang kondisinya secara relative teratur berganti-

ganti antara baik dan kurang baik.

3. Habitat yang tidak menentu, yaitu suatu habitat yang

mengalami suatu priode dengan kondisi baik yang

lamanya berfariasi, sehingga kondisinya tidak dapat

diramalkan.

4. Habitat yang efemeral,yaitu suatu habitat yang

mengalami priode kondisi baik yang berlangsung

relative singkat, diikuti oleh suatu priode dengan

kondisi yang kurang baik yang berlangsung relative

lama sekali.

Berdasarkan variasi kondisi habitat menurut

ruang, habitat dapat diklasifikasi menjadi tiga

macam:

1. Habitat yang bersinambung, yaitu apabila suatu

habitat mengandung area dengan kondisi baik yang

luas sekali, yang melebihi luas area yang dapat di

jelajahi populasi hewan pengaruhinya. Sehingga

contoh yang luas sebagai habitat dari populasi

rusa yang berjumlah 10 ekor.

2. Habitat yang berputus-putus, merupakan suatu

habitat yang mengandung area dengan kondisi baik

letaknya berselang-seling dengan area yang

berkondisi kurang baik, hewan penghuninya dengan

mudah dapat menyebar dari area berkondisi baik

yang satu ke yang lainnya.

3. Habitat yang terisolasi, merupakan suatu habitat

yang mengandung area terkondisi baik yang terbatas

luasnya dan letaknya terpisah jauh dari area

berkondisi baik yang lain, sehingga hewan-hewan

tidak dapat menyebar untuk mencapainya, kecuali

bila didukung oleh faktor-faktor kebetulan. Misal

suatu pulau kecil yang di huni oleh populasi rusa.

Jika makanan habis rusa tersebut tidak dapat

berpindah ke pulau lain. Pulau kecil tersebut

merupakan bukan habitat terisolasi bagi suatu

populasi burung yang dapat dengan mudah pindah ke

pulau lainnya, tetapi lebih cocok disebut habitat

yang terputus.

B. Mikrohabitat

Habitat-habitat di alam ini umumnya bersifat

heterogen, dengan area-area tertentu dalam habitat

itu yang berbeda vegetasinya. Populasi-populasi

hewan yang mendiami habitat itu akan terkonsentrasi

ditempat-tempat dengan kondisi yang paling cocok

bagi pemenuhan persyaratan hidupnya masing-masing.

Bagian dari habitat yang merupakan lingkungan yang

kondisinya paling cocok dan paling

akrab berhubungan dengan hewan dinamakan mikrohabitat.

Sehubungan dengan bagaimana kisaran-kisaran

toleransinya terhadap berbagai faktor lingkungannya,

maka berbagai spesies hewan yang berkonsentrasi dalam

habitat yang sama (= berkohabitasi) akan menempati

mikrohabitatnya masing-masing.

Makrohabitat dan mikrohabitat : Beberapa istilah

seperti makrohabitat dan mikrohabitat penggunaannya

tergantung dan merujuk pada skala apa studi yang akan

dilakukan terhadap satwa menjadi pertanyaan. (Johnson,

1980). Dengan demikian makrohabitat dan mikrohabitat

harus ditentukan untuk masing-masing studi yang

berkenaan dengan spesies spesifik. Secara umum,

macrohabitat merujuk pada ciri khas dengan skala yang

luas seperti zona asosiasi vegetasi (Block and Brennan,

1993) yang biasanya disamakan dengan level pertama

seleksi habitat menurut Johnson. Mikrohabitat biasanya

menunjukkan kondisi habitat yang sesuai, yang merupakan

faktor penting pada level 2-4 dalam hierarkhi Johnson.

Oleh sebab itu merupakan hal yang tepat untuk

menggunakan istilah mikrohabitat dan makrohabitat dalam

sebuah pandangan relatif, dan Contoh makrohabitat dan

mikrohabitat: Organisme penghancur (pembusuk) daun

hanya hidup pada lingkungan sel-sel daun lapisan atas

fotosintesis, sedangkan spesies organisme penghancur

lainnya hidup pada sel-sel daun bawah pada lembar daun

yang sama hingga mereka hidup bebas tidak saling

mengganggu. Lingkungan sel-sel dalam selembar daun di

atas disebut mikrohabitat sedangkan keseluruhan daun

dalam lingkungan makro disebut makrohabitat. pada skala

penerapan yang ditetapkan secara eksplisit.

Habitat dalam batas tertentu sesuai dengan

persyaratan makhluk hidup yang menghuninya. Batas bawah

persyaratan hidup itu disebut titik minimum dan batas

atas disebut titik maksimum. Antara dua kisaran itu

terdapat titik optimum. Ketiga titik itu yaitu titik

minimum, titik maksimum dan titik optimum disebut titik

cardinal.

Apabila sifat habitat berubah sampai diluar titik

minimum atau maksimum, makhluk hidup itu akan mati

atau harus pindah ke tempat lain. Misalnya jika

terjadi arus terus-menerus di pantai habitat bakau,

dapat dipastikan bakau tersebut tidak akan bertahan

hidup . Apabila perubahannya lambat, misalnya

terjadi selama beberapa generasi, makhluk hidup

umumnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi baru

di luar batas semula.Melalui proses adaptasi itu

sebenarnya telah terbentuk makhluk hidup yang

mempunyai sifat lain yang disebut varietas baru atau

ras baru bahkan dapat terbentuk jenis baru.

Batas antara mikrohabitat yang satu dengan yang

lainnya acap kali tidak nyata/jelas. Namun demikian

mikrohabitat memegang peranan penting dalam

menentukan keanekaragaman spesies yang menempati

habitat itu. Tiap spesies akan berkonsentrasi pada

mikrohabitat yang paling sesuai baginya. Sebagai

contoh, dalam suatu habitat perairan tawar yang

mengalir (sungai) secara umum dapat dibedakan

menjadi bagian riam dan lubuk. Riam berarus deras

dan dasarnya berbatu-batu sedang lubuk hampir tidak

berarus, relatif dalam dan dasarnya berupa lumpur

dan serasah. Ada beberapa populasi hewan air yang

lebih menyukai tinggal atau bermikrohabitat di riam

dan ada beberapa populasi yang lebih menyukai

tinggal atau bermikrohabitat di lubuk. Pemilihan

atas dasar mikrohabitat utama ini dapat dipilah-

pilah lagi lebih lanjut, seperti bagian permukaan

batu, di sel-sela batu, di bawah lapisan serasah dan

sebagainya. Pemilihan atas dasar mikrohabitat-

mikrohabitat yang berbeda itu terkait dengan masalah

perbedaan status fungsional atau relung ekologi dari

berbagai spesies hewan yang manempati habitat

perairan tersebut.

C. Relung Ekologi (Ecological Niche)

Berbeda dengan istilah habitat yang sekarang

sudah digunakan secara luas, istilah relung ekologi

di luar bidang ekologi praktis tak kenel. Salah satu

penyebabnya ialah karena konsep relung ekologi

relatif baru, bahkan dalam 30 tahun pertama selak

istilah tersebut

diperkenalkan pengertiannya masih kabur. Sampai saat

ini dikalangan guru-guru biologi sekolah menengah juga

masih kabur.

Secara umum dapat dikatakan bahwa relung ekologi

merupakan suatu konsep abstrak mengenai keseluruhan

persyaratan hidup dan interaksi organisme dalam

habitatnya. Dalam hal ini habitat merupakan penyedia

berbagai koondisi dan sumberdaya yang dapat digunakan

oleh organisme sesuai dengan persyaratan hidupnya.

Konsep relung (niche) dikembangkan oleh Charles

Elton (1927) ilmuwan Inggris, dengan pengertian relung

adalah “status fungsional suatu organisme dalam

komunitas tertentu”. Dalam penelaahan suatu organisme,

kita harus mengetahui kegiatannya, terutama mengenai

sumber nutrisi dan energi, kecepatan metabolisme dan

tumbuhnya, pengaruh terhadap organisme lain bila

berdampingan atau bersentuhan, dan sampai seberapa jauh

organisme yang kita selidiki itu mempengaruhi atau

mampu mengubah berbagai proses dalam ekosistem.

Relung menurut Resosoedarmo (1992) adalah profesi

(status suatu organisme) dalam suatu komunitas dan

ekosistem tertentu yang merupakan akibat adaptasi

struktural, fungsional serta perilaku spesifik

organisme itu. Berdasarkan uraian diatas relung ekologi

merupakan istilah lebih inklusif yang meliputi tidak

saja ruang secara fisik yang didiami oleh suatu

makhluk, tetapi juga peranan fungsional dalam komunitas

serta kedudukan makhluk itu di dalam kondisi lingkungan

yang berbeda (Odum, 1993). Relung ekologi merupakan

gabungan khusus antara faktor fisik (mikrohabitat) dan

kaitan biotik (peranan) yang diperlukan oleh suatu

jenis untuk aktivitas hidup dan eksistensi yang

berkesinambungan dalam komunitas (Soetjipto, 1992).

Niche (relung) ekologi mencakup ruang fisik yang

diduduki organisme , peranan fungsionalnya di dalam

masyarakatnya (misal: posisi trofik) serta posisinya

dalam kondisi lingkungan tempat tinggalnya dan keadaan

lain dari keberadaannya itu. Ketiga aspek relung

ekologi itu dapat dikatakan sebagai relung atau ruangan

habitat, relung trofik dan relung multidimensi atau

hypervolume. Oleh karena itu relung ekologi sesuatu

organisme tidak hanya tergantung pada dimana dia hidup

tetapi juga apa yang dia perbuat (bagaimana dia merubah

energi, bersikap atau berkelakuan, tanggap terhadap dan

mengubah lingkungan fisik serta abiotiknya), dan

bagaimana jenis lain menjadi kendala baginya.

Hutchinson (1957) telah membedakan antara niche pokok

(fundamental niche) dengan niche yang sesungguhnya

(relized niche). Niche pokok didefinisikan sebagai

sekelompok kondisi-kondisi fisik yang memungkinkan

populasi masih dapat hidup. Sedangkan niche

sesungguhnya didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-

kondisi fisik yang ditempati oleh organisme-organisme

tertentu secara bersamaan.

Sebagaimana definisi-definisi pada umumnya,

definisi relung ekologi (niche) pun juga bermacam-

macam. Menurut Kandeigh (1980), relung ekologi adalah

suatu populasi / spesies hewan adalah status fungsional

hewan itu dalam habitat yang ditempatinya berkaitan

dengan adaptasi-adaptasi fisiologis,

struktural/morfologi, dan pola perilaku hewan itu. Atau

relung ekologi merupakan posisi atau status suatu

organisme dalam suatu komunitas dan ekosistem tertentu

yang merupakan akibat adaptasi struktural, tanggap

fisiologis serta perilaku spesifik organisme itu. Jadi

relung suatu organisme bukan hanya ditentukan oleh

tempat organisme itu hidup, tetapi juga oleh berbagai

fungsi yang dimilikinya. Dapat dikatakan, bahwa secara

biologis, relung adalah profesi atau cara hidup

organisme dalam lingkungan hidupnya.

Hutchinson (1957) dalam Begon,et al (1986) telah

mengembangkan konsep relung ekologi multidimensi (dimensi-n atau

hipervolume). Setiap kisaran toleransi hewan terhadap

suatu faktor lingkungan, misalnya suhu merupakan suatu

dimensi. Dalam kehidupannya hewan dipengaruhi oleh

bukan hanya satu faktor lingkungan saja, melainkan

bannyak faktor lingkungan secara simultan. Faktor

ligkungan yang mempengaruhi atau membatasi kehidupan

organisme bukan hanya kondisi lingkungan seperti suhu,

cahaya, kelembapan, salinitas tetapi juga ketersediaan

sumberdaya yang dibutuhkan hewan (makanan dan tempat

untuk membuat sarang bagi hewan).

Selanjutnya Hutchinson membagi konsep relung

menjadi relung fundamental dan relung yang terealisasi.

Relung fundamental menunjukkan potensi secara utuh

kisaran toleransi hewan terhadap berbagai faktor

lingkungan, yang hanya dapat diamati dalam laboratorium

dengan kondisi lingkungan terkendali. Misalnya yang

diamati hanya satu atau dua faktor saja, tanpa ada

pesaing, predator dan lain sebagainya. Relung

terealisasi adalah status fungsional yang benar-benar

ditempati dalam kondisi alami, dengan beroperasinya

banyak ffaktor lingkungan seperti interaksi faktor,

kehadiran pesaing, predator dan lain sebagainya.

Dibandingkan dengan kisaran relung fundamental, kisaran

dari relung yang terealisasikan itu pada umumnya lebih

sempit, karena tidak seluruhnya dari potensi hewan

dapat diwujudkan, tentunya karena pengaruh dari

beroprasinya berbagai kendala dari lingkungan.

Dimensi-dimensi pada niche pokok menentukan

kondisi-kondisi yang menyebabkan organisme-organisme

dapat berinteraksi tetapi tidak menentukan bentuk,

kekuatan atau arah interaksi. Dua faktor utama yang

menetukan bentuk interaksi dalam populasi adalah

kebutuhan fisiologis tiap-tiap individu dan ukuran

relatifnya. Empat tipe pokok dari interaksi diantara

populasi sudah diketahui yaitu: kompetisi, predasi,

parasitisme dan simbiosis.

Agar terjadi interaksi antar organisme yang

meliputi kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis

harusnya ada tumpang tindih dalam niche. Pada kasus

simbion, satu atau semua partisipan mengubah lingkungan

dengan cara membuat kondisi dalam kisaran kritis dari

kisaran-kisaran kritis partisipan yang lain. Untuk

kompetitor, predator dan mangsanya harus mempunyai

kecocokan dengan parameter niche agar terjadi interaksi

antar organisme, sedikitnya selama waktu interaksi.

Menurut Odum (1993) tidak ada dua spesies yang

adaptasinya identik sama antara satu dengan yang

lainnya, dan spesies yang memperlihatkan adaptasi yang

lebih baik dan lebih agresif akan memenangkan

persaingan. Spesies yang menang dalam persaingan akan

dapat memanfaatkan sumber dayanya secara optimal

sehingga mampu mempertahankan eksistensinya dengan

baik. Spesies yang kalah dalam persaingan bila tidak

berhasil mendapatkan tempat lain yang menyediakan

sumber daya yang diperlukannya dapat mengalami

kepunahan lokal

Populasi beraneka jenis hewan yang berkoeksistensi

dalam habitat yang sama mempunyai keserupaan pula dalam

kisaran toleransinya terhadap beberapa faktor

lingkungan dalam mikrohabitat. Berdasarkan konsep

relung ekologi menurut Hutchinson keserupaan

menunjukkan adanya keselingkupan dalam satu atau

beberapa dimensi relung (Kramadibrata, 1996).

Berjenis makhluk hidup dapat hidup bersama dalam

satu habitat . Akan tetapi apabila dua jenis makhluk

hidup mempunyai relung yang sama, akan terjadi

persaingan. Makin besar tumpang tindih relung kedua

jenis makhluk hidup, makin intensif persaingannya.

Dalam keadaan itu masing-masing jenis akan mempertinggi

efisiensi cara hidup atau profesinya.Masing-masing akan

menjadi lebih spesialis, yaitu relungnya menyempit.

Jadi efek persaingan antar jenis adalah menyempitnya

relung jenis makhluk hidup yang bersaing, sehingga

terjadi spesialisasi.

Akan tetapi bila populasi semakin meningkat, maka

persaingan antar individu di dalam jenis tersebut akan

terjadi pula. Dalam persaingan ini individu yang lemah

akan terdesak ke bagian niche yang marginal. Sebagai

efeknya ialah melebarnya relung, dan jenis tersebut

akan menjadi lebih generalis. Ini berarti jenis

tersebut semakin lemah atau kuat. Makin spesialis suatu

jenis semakin rentan makhluk tersebut.

Makin spesialistis suatu jenis, makin rentan

populasinya misalnya wereng yang monofag dan hidup dari

tanaman padi, populasinya kecil setelah masa panen dan

memesar lagi setelah sawah ditanami dengan padi.

Populasi yang kecil setelah panen menanggung resiko

kepunahan. Sebaliknya jenis makhluk yang generalis,

populasinya tidak banyak berfluktuasi, ia dapat

berpindah dari jenis makanan yang satu ke jenis makanan

yang lain. Pada manusia kita dapatkan hal yang serupa.

Bangsa yang makanan pokoknya hanya beras, hidupnya amat

rentan , apabila produksi beras menurun misalnya karena

iklim yang buruk, kehidupannya mengalami kegoncangan.

Pengetahuan tentang relung suatu organisme sangat

perlu sebagai landasan untuk memahami berfungsinya

suatu komunitas dan ekosistem dalam habitat utama.

Untuk dapat membedakan relung suatu organisme, maka

perlu diketahui tentang kepadatan populasi, metabolisme

secara kolektif, pengaruh faktor abiotik terhadap

organisme, pengaruh organisme yang satu terhadap yang

lainnya.

Banyak organisme, khususnya hewan yang mempunyai

tahap-tahap perkembangan hidup yang nyata, secara

beruntun menduduki relung yang berbeda. Umpamanya

jentik-jentik nyamuk hidup dalam habitat perairan

dangkal, sedangkan yang sudah dewasa menempati habitat

dan relung yang samasekali berbeda Relung atau niche

burung adalah pemakan buah atau biji, pemakan ulat atau

semut, pemakan ikan atau kodok.

Niche ada yang bersifat umum dan spesifik.

Misalnya ayam termasuk mempunyai niche yang umum karena

dapat memakan cacing, padi, daging, ikan, rumput dan

lainnya. Ayam merupakan polifag, yang berarti makan

banyak jenis. Makan beberapa jenis disebut oligofag,

hanya makan satu jenis disebut monofag seperti wereng,

hanya makan padi.

Apabila terdapat dua hewan atau lebih mempunyai

niche yang sama dalam satu habitat yang sama maka akan

terjadi persaingan. Dalam persaingan yang ketat,

masing-masing jenis mempertinggi efisiensi cara hidup,

dan masing-masing akan menjadi lebih spesialis yaitu

relungnya menyempit.

Hutchinson (dalam Odum,1993) membedakan antara

relung dasar (Fundamental Niche) dengan relung nyata

(Realized Niche). Relung dasar didefinisikan sebagai

sekelompok kondisi-kondisi fisik yang memungkinkan

populasi masih dapat hidup, tanpa kehadiran pesaing,

relung nyata didefinisikan sebagai kondisi-kondisi

fisik yang ditempati oleh organisme-organisme tertentu

secara bersamaan sehingga terjadi kompetisi.

Keterbatasan suatu organisme pada suatu relung

tergantung pada adaptasinya terhadap kondisi lingkungan

tersebut.

Relung dasar (Fundamental Niche) tidak dapat

dengan mudah ditentukan karena dalam suatu komunitas

persaingan merupakan proses yang dinamis dan kondisi

fisik lingkungan yang beragam mempengaruhi kehidupan

suatu organisme. Mc Arthur (1968) dalam Soetjipta

(1992) menyarankan penelitian tentang perbedaan antara

relung ekologi dibatasi dalam satu atau dua dimensi

saja seperti hanya diamati perbedaan relung makan saja

atau perbedaan relung aktivitas saja.

Jenis-jenis populasi yang berkerabat dekat akan

memiliki kepentingan serupa pada dimensi-dimensi relung

sehingga mempunyai relung yang saling tumpang tindih.

Jika relung suatu jenis bertumpang tindih sepenuhnya

dengan jenis lain maka salah satu jenis akan tersingkir

sesuai dengan prinsip penyingkiran kompetitif. Jika

relung-relung itu bertumpang tindih maka salah satu

jenis sepenuhnya menduduki relung dasarnya sendiri dan

menyingkirkan jenis kedua dari bagian relung dasar

tersebut dan membiarkannya menduduki relung nyata yang

lebih kecil , atau kedua jenis itu mempunyai relung

nyata yang terbatas dan masing-masing memanfaatkan

kisaran yang lebih kecil dari dimensi relung yang dapat

mereka peroleh seandainya tidak ada jenis lain.

D. Asas Eksklusi Persaingan Dan Pemisahan Relung

Dengan adanya interaksi persaingan antara dua

spesies atau lebih yang memiliki relung ekologi yang

sangat mirip maka mungkin saja spesies-spesies

tersebut tidak berkonsistensi dalam habitat yang

sama secara terus-menerus. Hal ini menunjukkan bahwa

suatu relung

ekologi tidak dapat ditempati secara simultan dan

sempurna oleh populasi stabil lebih dari satu spesies.

Pernyataan ini dikenal sebagai ” Asas Eksklusi

Persaingan” atau ” Aturan Gause”.

Sehubungan dengan asas tersebut di atas, menurut ”

asas koeksistensi’, beberapa spesies yang dapat hidup

secara langgeng dalam habitat yang sama ialah spesies-

spesies yang relung ekologinya berbeda-beda. Tentang

pentingnya perbedaan-perbedaan diantara berbagai

spesies telah lama dikemukakan oleh Darwin (1859).

Darwin menyatakan bahwa makin besar perbedaan-perbedaan

yang diperlihatkan oleh berbagai spesies yang hidup di

suatu tempat, makin besar pula jumlah spesies yang

dapat hidup di suatu tempat itu. Pernyataan Darwin

tersebut dikenal sebagai ” Asas Divergensi”.

Dari uraian tersebut di atas tampak bahwa aspek

relung ekologi yang menyangkut dimensi sumberdaya,

khususnya yang vital untuk pertumbuhan dan

perkembangbiakan, dari beberapa spesies harus berbeda

(terpisah) agar dapat berkoeksistensi dalam habitat

yang sama. Perbedaan atau pemisahan relung itu juga

mencakup aspek waktu aktif.

Contoh dari kasus pemisahan relung antara berbagai

spesies yang berkohabitasi dapat dilihat dari contoh

berikut ini. Serumpun padi dapat menjadi sumberdaya

berbagai jenis spesies hewan. Orong-orong (Gryllotalpa

africana) memekan akarnya, walang sangit (Leptocorisa acuta)

memakan buahnya, ulat tentara kelabu (Spodoptera maurita)

yang memakan daunnya, ulat penggerek batang (Chilo

supressalis) yang menyerang batangnya, hama ganjur

(Pachydiplosis oryzae) menyerang pucuknya, wereng coklat

(Nilaparvata lugens) dan wereng hijau (Nephotettix apicalis)

yang menghisap cairan batangnya. Tiap jenis hama

tersebut masing-masing telah teradaptasi khusus untuk

memanfaatkan tanaman padi sebagai sumberdaya makanan

pada bagian-bagian yang berbeda-beda.

E. Ekivalen Ekologi

Jika memperhatikan tentang kehidupan berbagai

jenis hewan di berbagai tempat sering ditemukan

spesies-spesies hewan serupa yang hidup di daerah

geografi yang berbeda. Kita dapat menemukan cacing

tanah di mana saja, misal di Indonesia, di Amerika,

di Eropa, di Australia dan tempat lainnya. Cacing-

cacing tanah tersebut secara morfologi serupa, namun

sebenarnya mereka berbeda spesies. Cacing tanah di

jawa (Pheretima javanica) serupa dengan cacing tanah di

Amerika (Lumbricus terestris). Kedua jenis cacing tanah

tersebut menempati habitat tanah lembab dengan

relung ekologi yang serupa. Jenis-jenis hewan yang

menempati relung ekologi yang sama (ekivalen) dalam

habitat yang serupa di daerah zoogeografi yang

berbeda disebut Ekivalen Ekologi.

Secara umum ekivalen-ekivalen ekologi itu

dikenali dari kemiripan kemiripan yang diperlihatkan

hewan-hewan tersebut dalam hal adaptasi morfologi

serta pola perilakunya. Sebabnya ialah karena

berbagai adaptasi itu adalah tiada lain dari pada

perangkat ”modal” kemampuan hewan untuk memanfaatkan

sumberdaya-sumberdaya di dalam lingkungannya atau

habitatnya.

F. Pergeseran Ciri

Spesies-spesies hewan yang berkerabat dekat,

satu marga atau genus misalnya, dapat ditemukan pada

habitat atau daerah penyebaran yang sama (simpatrik)

atau ditemukan pada daerah penyebaran yang berbeda

(alopitrik). Jika Spesies-spesies hewan yang

berkerabat dekat (kogenerik) ditemukan dalam keadaan

simpatrik, seleksi alam akan menghasilkan ciri-ciri

tubuh yang semakin mencolok perbedaannya diantara

Spesies-spesies itu atau dikatakan mengalami evolusi

divergen. Sebaliknya, apabila dalam keadaan alopitrik

seleksi alam akan menghasilkan evolusi konvergen

sehingga perbedaan ciri-ciri itu makin kabur.

Fenomena tersebut di atas di kenal sebagai

Pergeseran Ciri.

Evolusi yang menghasilkan pergeseran ciri pada

Spesies-spesies hewan dalam keadaan simpatrik mempunyai

dua kepentingan adaptif bagi spesies-spesies yang

bersangkutan. Pertama, karena ciri (adaptasi

morfologis,misalnya) yang nyata bedanya akan

menyebabkan terjadinya pemisahan relung ekologi. Dengan

demikian maka kemungkinan terjadinya interaksi berupa

persaingan, apabial spesies itu berkohabitasi, akan

tereduksi. Kedua, berbedanya ciri morfologi yang

menghasilkan berbedanya pola perilaku misalnya perilaku

berbiak, akan lebih menjamin terjadinya pemisahan

genetik diantara Spesies-spesies yang berkerabat itu

bila berkohabitasi, atau menghindari terjadinya

inbreeding yang tidak mengintungkan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai

berikut:

1. Habitat suatu populasi hewan pada dasarnya

menunjukkan totalitas dari corak lingkungan yang

ditempati populasi itu, termasuk faktor-faktor

abiotik berupa ruang, tipe substratum atau medium

yang ditempati, cuaca dan iklimnya serta

vegetasinya.

2. Relung ekologi hewan adalah status fungsional

hewan itu dalam habitat yang ditempatinya berkaitan

dengan adaptasi-adaptasi fisiologis, morfologi dan

pola perilaku hewan itu.

3. Mikrohabitat adalah bagian dari habitat yang

merupakan lingkungan yang kondisinya paling cocok

dan paling akrab berhubungan dengan hewan.

4. Berdasarkan variasi habitat menurut waktu

dapat dibagi menjadi 4 macam habitat yaitu habitat

yang konstan, habitat yang bersifat semusim,

habitat yang tidak menentu, dan habitat yang

efemeral.

5. Berdasarkan Variasi kondisi habitat menurut

ruang, habitat dapat diklasifikasikan menjadi 3

macam yaitu habitat yang bersinambung, habitat yang

terputus-putus, habitat yang terisolasi.

6. Dua spesies hewan atau lebih yang hidup

bersama dalam satu habitat disebut berkohabitasi

atau berkoeksistensi.

7. Asas eksklusi persaingan atau Aturan Gause :

suatu relung ekologi tidak dapat ditempati secara

simultan dan sempurna oleh populasi stabil lebih

dari satu spesies.

8. Asas Divergensi menurut Darwin : makin besar

perbedaan-perbedaan yang diperlihatkan oleh

berbagai spesies yang hidup di suatu tempat, makin

besar pula jumlah spesies yang dapat hidup di suatu

tempat itu

9. Jenis-jenis hewan yang menempati relung

ekologi yang sama (ekivalen) dalam habitat yang

serupa di daerah zoogeografi yang berbeda disebut

ekivalen-ekivalen ekologi.

DAFTAR PUSTAKA

Darmawan,Agus. Ekologi Hewan. Malang : UniversitasNegeri

Malang, 2005.

Kramadibrata, H. Ekologi Hewan. Bandung : InstitutTeknologi

Press, 1996.

Odum, Eugene P. Fundamentals of Ecology. SaundersCollege

, 1971.

Wirakusumah, Sambas. Dasar-Dasar Ekologi. Jakarta.Penerbit UI

Press, 2003


Recommended