+ All Categories
Home > Documents > Orang Jawa di Singapura II - ADOC.PUB

Orang Jawa di Singapura II - ADOC.PUB

Date post: 25-Apr-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
139
1 Orang Jawa di Singapura II Catatan Tak Terjadwal dari Negeri Seberang Maret 2007 – Mei 2008 Arief Yudhanto
Transcript

1

Orang Jawa di Singapura II Catatan Tak Terjadwal dari Negeri Seberang

Maret 2007 – Mei 2008

Arief Yudhanto

2

Pengantar

Ada 70 esai pendek di dalam buku ini. Sebagian besar ditulis di Singapura, sebagian

lagi di Amerika Serikat. Edisi online-nya dapat dilihat di http://ari3f.wordpress.com.

Selamat membaca

Singapura, 2008

Arief Yudhanto

3

ISI

I. Tokoh

1. Gajah Mada

2. Kamprad

3. Obama di Djakarta: 1967 – 1971*

4. Sufiah, Hothousing dan Matematika*

5. Raja

6. Goncharov

7. Leonardo da Vinci

II. Kerabat dan Kawan

8. Nambar (in English)

9. Konco

10. Bubur dan Roti Montor

11. Rachid dan Humor

12. SF dan Sepupu

13. Tukang Becak

14. Kawan Lama

15. Kemprit

16. AAN

III. Buku

17. Aku dan Meneer Janssens

18. Ayu Utami dan AAC

19. Membaca BTJ

20. Rumah Bambu

IV. Singapura

21. Shonanto

22. Bekupon: Tentang „Rumah“ di

Singapura

23. Fabian Fobia: Tentang Etika Anak di

Singapura

24. Muram: Tentang „Ekspresi“ di

Singapura

25. Adzan di Singapura

26. Ras

27. Rokok

28. Orang Bawean di Singapura

29. Big Bro Congrat

30. O$P$

V. Teknologi

31. Dari Pesawat ke HDD: Nyambungnya

Di Mana?

32. Perkoro Gawean

33. V & V

34. Ide

35. Pesawat Terbang

36. Dont Panic with Mechanics!

37. Keris Mpu Gandring: Hipotesis

38. Statistik

39. Mancal di Rel Kereta

40. Fitna, A380 dan Pak OD

VI. Pengalaman

41. Gempa di Silicon Valley

42. Nggragas

43. Rapapan

44. Ngimpi

45. Interview: Tentang Pekerjaan di

Singapura

46. Doa

47. Attitude

48. Rugby dan 19

49. Pernikahan

50. 30

51. Hari Valentine

52. Jatim Trip

53. Santet

54. Sekolah di ITB

55. Dosen Unik di ITB

56. PhD

57. 29: Menulis Seseorang

58. 2008: Ngapain?

59. TGIF

60. Bosan

VII. Budaya

61. Paguyuban

62. Indonesianis

63. Indonesia di Cornell

64. Kuda Kepang*

65. Fitna: Alat Verifikasi

66. Kopi

67. Atheist

VIII. Musik

68. Gitar

69. Balawan, Sinkretisme dan Tapping

70. Jazz di Indonesia

4

I. TOKOH

5

1. Gajah Mada

Di sudut halaman pertama buku pemberiannya, Viking Mythology, adik saya menulis

"Untuk kakakku yang mencoba menjadi sejarawan". Sejarawan? Saya lalu melihat

kembali judul-judul buku di rak. Hampir semuanya mengenai orang (terkenal) yang

sudah mati, yang sudah jadi sejarah; dan saya sering bercerita tentang orang mati itu

(plus pemikiran-pemikirannya) kepada adik saya. Tak heran jika dia berpikir bahwa

saya memiliki properti seorang sejarawan: menceritakan orang mati (yang dulunya

mencoba memecahkan teka-teki kehidupan), memetakan pemikiran dan membuat

konstruk cerita. Properti ini dilatih dengan mempelajari teks sejarah. Namun, yang

seharusnya dilakukan adalah petualangan, seperti yang dilakukan Indiana Jones atau

ahli-ahli purbakala National Geographic Society.

Sejarah, o sejarah. Beberapa minggu lalu saya teringat Gajah Mada. Sumpah Palapa-

nya yang tertulis di Pararaton (Kitab Raja-Raja) cukup terkenal:

“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira

Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun

kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang,

Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti

palap “

Majapahit sangat beruntung memiliki Gajah Mada. Ia adalah seorang panglima yang

setia dan memiliki ambisi besar untuk menaklukkan wilayah Nusantara. Kerajaan dan

wilayah yang ditaklukkannya lebih dari apa yang dia sebut dalam sumpah: hari ini,

wilayah penaklukan Gajah Mada adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan

Filipina Selatan. Di sini, kita bisa tahu bahwa kekuatan militer Majapahit tidak hanya

tangguh di darat, tapi juga laut. Hal ini terjadi karena Gajah Mada berhasil

mengadopsi strategi perang di darat dan laut dengan baik.

Bubat barangkali saksi bisu berakhirnya Gajah Mada. Di Bubat, Gajah Mada diutus

Hayam Wuruk untuk menyambut Raja Sunda (yang selama ini tak pernah mau takluk

dengan Majapahit) dan puteri Dyah Pitaloka yang akan dipersunting Hayam Wuruk.

Gajah Mada melihat pertemuan ini sebagai tanda takluknya Sunda, namun Raja Sunda

tidak. Ini adalah kesalahpahaman.

Pertempuran terjadi, dan Dyah Pitaloka bunuh diri. Hayam Wuruk segera mencopot

Gajah Mada dan mengasingkannya di Madakaripura (Madangkara), di sekitar

Probolinggo. Gajah Mada mati dalam kesunyian, di tempat pertapaan terakhirnya,

di dekat air terjun.

Hingga hari ini, sosok Gajah Mada sendiri masih misteri. Tak ada yang tahu

kepribadian, kecerdasan, karya-karya atau kisah cintanya. Sebagaimana biasa dalam

romantika kerajaan jaman dulu, proses penaklukan besar-besaran ini barangkali

ditentukan oleh empat faktor itu. Gajah Mada jadi sangat menarik, karena ia misterius.

Saya menunggu filmnya. (18 Mei 2007)

6

2. Kamprad

“Aku telah mengatakan semua yang aku bisa. Bisakah seseorang memaafkan kebodohan itu?”

Ingvar Kamprad, pendiri IKEA

IKEA adalah sebuah ikon raksasa plus perusahaan home furnishing terbesar di dunia.

Ada 200 outlet di 31 negara, dan dibuka di Singapura tahun 1978. Pegawainya

mencapai 75000 dan Ingvar Kamprad, pendirinya, ditulis sebagai orang terkaya yang

melampaui Bill Gates tahun 2004.

Desain kantor a la IKEA (www.ikea.com)

Kamprad mendirikan IKEA pada umur 17. Ia pengusaha sejak dini, dan menjual apa

saja: korek api, hiasan pohon natal, stoking, ikan, bibit tanaman hingga mebel. Apakah

IKEA? Ini adalah kependekan dari Ingvar-Kamprad-Elmtaryd-Agunaryd. Elmtaryd

adalah nama tanah pertanian tempat ia dilahirkan, dan Agunaryd adalah nama desa

terdekat di sana. Tahun 1953, secara resmi IKEA berdiri dan memfokuskan diri pada

kebutuhan rumah. Yang menarik dari IKEA adalah pengunjung toko bisa dengan

bebas mencoba dan melihat sendiri kualitasnya, kemudian bisa membawa pulang

barang yang bulky dalam packing yang flat, mendapatkan harga yang miring dan bisa

memasang sendiri peralatan tanpa bantuan ahli mebel. Hanya itu saja? Lebih dari itu,

IKEA selalu memperkenalkan desain baru yang dibuat di beberapa negeri seperti

Swedia sendiri, Cina, Vietnam dan lainnya. Yang menarik bagi saya adalah uji

kelelahan (fatigue test) terhadap kursi santai bernama Poang. Sandaran kursi didorong

oleh mesin pendorong beberapa puluh kilogram, maju-mundur, seolah seseorang

menggoyang-goyang sandarannya berulang kali. Bebannya tak begitu besar, namun

ini dilakukan berulang-ulang hingga beberapa tahun. Apa yang ingin dihitung? Tentu

saja batas kemampuan kursi menahan beban siklus ini atau dengan kata lain, kekuatan

lelah (fatigue strength) kursi tadi. Uji ini biasanya dilakukan juga pada struktur

pesawat terbang seperti sayap.

7

Apa yang disesali Kamprad hingga ia meminta maaf kepada seluruh karyawannya

dengan surat terbuka? Tidakkah anda tahu bahwa Kamprad adalah bekas anggota

Nazi? Pembunuhkah ia? Entahlah … yang jelas, rapat a la Nazi melibatkan patriotisme

yang kelewatan: menjustifikasi bahwa nyawa suatu kaum tak lebih berharga dari

furniture …

8

3. Obama di Djakarta: 1967 – 1971

Barack Obama, seorang kandidat presiden dari Partai Demokrat – Amerika Serikat

yang bersaing dengan Hillary Clinton. Ia lahir di Honolulu tahun 1961. Ia

menyelesaikan sekolah hukum di Universitas Harvard dan pernah menjadi orang kulit

hitam pertama yang menduduki kursi presiden Harvard Law Review. Saat ini ia adalah

satu-satunya anggota senat AS yang berkulit hitam dan orang hitam ketiga yang

pernah bertanding untuk kursi kepresidenan dalam 100 tahun terakhir sejarah

Amerika (Jakarta Post, Nov 2006).

Obama datang ke Jakarta tahun 1967. Kala itu ia masih berusia enam tahun. Jakarta

berada dalam transisi dari Soekarno ke Soeharto, dan kenangan berdarah G30S

(“Gerakan 30 September” yang membuat Partai Komunis Indonesia diganyang habis-

habisan) masih segar membekas. Barry, panggilan akrab Obama, lahir dari seorang ibu

Kaukasian dan ayah dari Kenya. Orangtuanya adalah mahasiswa di Universitas

Hawaii. Ia diberi nama persis seperti ayahnya, Barack Hussein Obama. Ayahnya

meninggalkan Barry ketika ia masih dua tahun. Barry kemudian mengenal Lolo

Soetoro, seorang mahasiswa dari Indonesia yang menjadi kekasih ibunya. Dan, ketika

ibunya, yang bernama Stanley Ann Dunham, telah menikah dengan Lolo, ia mengajak

Barry pergi ke Indonesia tahun 1967.

Dalam memoarnya Dreams from My Father – A Story of Race and Inheritance yang ditulis

tahun 1994, ia bercerita tentang masa kecilnya di Jakarta – yang ia sebut “Djakarta”.

Jakarta yang ia gambarkan kala itu barangkali masih mirip dengan Jakarta hari ini

(setidaknya di beberapa tempat): tengah kota yang sedikit modern, toko-toko kecil

yang berderet di jalanan, lalu lintas yang sesak dan macet, pendorong gerobak barang,

matahari yang terik dan pengemis di persimpangan jalan.

Sosok lelaki asia, atau lebih khususnya Indonesia, yang melekat dalam ingatan Barry

adalah Lolo Soetoro tentunya. Lolo dikenalnya sebagai pemuda yang sopan dan

mudah akrab dengan siapa saja; ia juga pandai bermain tennis dan catur. Lolo

beragama Islam, meski ia juga masih memberikan ruang bagi pandangan Hinduism

dan animisme yang kuno. Jika mengikuti penggolongan Clifford Geertz, mendiang

profesor antropologi AS, dalam The Religion of Java (yang lebih merupakan spekulasi

ketimbang analisis, dan tak merepresentasikan masyarakat Jawa yang lebih luas), Lolo

barangkali bisa dikategorikan “abangan” – pemeluk Islam nominal, yang tidak

sepenuhnya mempraktekkan sholat wajib dan filosofinya didasarkan pada sinkretisme

antara Hindu, Buddha, animisme, dan elemen-elemen Islam. Lolo bekerja sebagai ahli

geologi untuk angkatan bersenjata (army) dan ia pernah ditugaskan di New Guinea

sebelum Obama dan ibunya datang ke Jakarta. Barry sering bermain dengan Lolo di

waktu senggang. Mereka berbagi kesenangan dengan memberi makan binatang

peliharaan seperti ayam, bebek, anjing, kera, burung cendrawasih, burung kakatua

dan buaya kecil. Lolo memberi hadiah Obama sarung tinju, yang kemudian ia

gunakan untuk berlatih dengannya.

9

Dalam waktu kurang dari enam bulan, Barry mahir berbahasa Indonesia. Namun,

ibunya tetap mengajarkan bahasa Inggris lima hari seminggu: mereka berdua bangun

pukul empat pagi dan belajar selama tiga jam sebelum Barry pergi ke sekolah. “Ini

juga bukan piknik yang menyenangkan bagiku, buster,” begitu ibunya mengingatkan

ketika Barry pura-pura sakit atau malas belajar.

Obama juga bermain dengan siapa saja, termasuk anak-anak dari petani, pembantu

rumah tangga dan birokrat kelas bawah. Ia bermain selayaknya anak-anak kampung

di Indonesia: bekejar-kejaran di jalan kecil siang – malam, menangkap jangkrik dan

adu layangan (kites battle).

Meski ia tak mendapatkan pengertian yang memuaskan mengenai “kemiskinan”,

“korupsi” dan “instabilitas keamanan” (yang ia lihat di Indonesia kala itu), ia

mendapatkan buku-buku tentang pergerakan hak-hak sipil, dan rekaman Mahalia

Jackson (penyanyi gospel terkenal) serta pidato Dr Martin Luther King yang memukau.

Di usia belia itu pula, Barry diajarkan memiliki nilai-nilai luhur manusia, seperti

kejujuran, keadilan, berbicara lugas dan menilai secara independen.

Ibunya kadang bercerita tentang murid-murid kulit hitam di wilayah selatan Amerika

yang miskin dan hanya mendapat buku-buku bekas dari murid kulit putih, lalu

mereka tumbuh menjadi dokter, pengacara dan ilmuwan. Ibunya juga bercerita

tentang mars anak-anak yang lebih muda dari Barry, yang berbaris untuk kebebasan.

Setiap lelaki kulit hitam adalah Thurgood Marshall atau Sidney Poitier; setiap

perempuan kulit hitam adalah Fanny Lou Hamer atau Lena Horne. Menjadi kulit

hitam adalah pemilik keturunan yang agung, nasib yang spesial, beban kejayaan yang

hanya dipikul mereka yang kuat saja. Di sini, Barry menjadi bersemangat dan memiliki

kesadaran bahwa yang-hitam bukanlah yang-kalah dan tertindas, tetapi yang penuh

daya juang dan yang merdeka.

Di Jakarta yang panas, Barry yang menjelang usia 10 tetap melihat bahwa penjelasan

ibunya dan Lolo mengenai dunia belumlah lengkap. Ia melihat bahwa dunia itu kejam

– suatu pengertian yang tak bisa dipahami oleh kakek neneknya di Hawaii yang

tenang dan jauh dari negeri yang terbelakang di Asia Tenggara. Ia juga melihat bahwa

ras dan warna kulit tak lagi menjadi indikator antropologi belaka, tetapi lebih

mengerikan: menjadi prasangka dan rendah diri. Di sini, ia mulai menilai, dalam sikap

percaya diri yang kadang tak terjustifikasi, bahwa dunia memerlukan perubahan,

sebagaimana ia memandang dunia dengan mata yang berbeda.

Empat tahun adalah periode yang cukup bagi seorang anak untuk memahami bahwa

dunia bisa tergerak oleh hal yang trivial seperti ras dan warna kulit. Dunia kadang

dirundung kegilaan orang dewasa dalam melihat sesuatu.

Hari ini, Barry yang sementara ini memiliki perolehan delegasi lebih banyak dari

Hillary Clinton (Obama: 1202 vs Clinton: 1042) terus berusaha melanggengkan

jalannya untuk naik ke kursi kepresidenan AS tahun 2008. Jika ia terpilih menjadi

presiden, ia akan menjadi presiden kulit hitam pertama dalam sejarah Amerika.

Janjinya mengenai perbaikan ekonomi, pelayanan kesehatan, green technology, energi,

10

lingkungan, hak sipil, kemiskinan, pendidikan, kebijakan luar negeri dan isu penting

lainnya akan segera diuji setelahnya.

11

4. Sufiah, Hothousing dan Matematika

Bagi orang ramai, Sufiah Yusof di masa mendatang barangkali dibayangkan sebagai

pemenang Fields Medal (mirip dengan “Nobel Prize” bidang matematika), gelar

profesor dari universitas terkemuka, atau bahkan filosof atau penulis besar seperti

halnya alumni St Hilda’s College lainnya. Namun, harapan itu seperti kandas di

usianya yang 23 tahun ini. Di sekolah itu, Sufiah dikenal sebagai independent escort.

Metamorfosis dari jenius matematika ke seorang pelacur adalah ekses pemberontakan.

Setidaknya inilah yang dialami Sufiah, perempuan blasteran Melayu – Pakistan, yang

masuk St Hilda’s College, Universitas Oxford, bidang matematika pada usia 13 tahun.

Pemberontakan ini agaknya tidak disebabkan oleh matematika, tetapi oleh isolasi yang

ditimbulkan oleh keluarganya.

Hothousing

Ayahnya Farooq dan ibunya Halimaton menerapkan sebuah metode bernama

“hothousing” di mana seorang anak dilatih untuk berkonsentrasi dalam satu pelajaran

– biasanya matematika – hingga menguasai pelbagai subjek lebih awal dari kawan

sebaya. Dibarengi dengan kecerdasan Sufiah, mereka mendapatkan hasil memuaskan

dalam waktu singkat, yaitu diterimanya Sufiah di Oxford. Di sana pun, Sufiah tetap

mendapatkan akselerasi dalam penyerapan pelajaran. Orangtuanya secara bergantian

menemaninya, sehingga ia pun mengeluh tak mempunyai banyak teman. Implikasi

dari isolasi ini sangat serius: seorang anak cenderung mencari kebebasan,

meninggalkan apa yang dulu ditekuninya, mencoba hal-hal baru, menguji moralitas

umum, mencicipi kebahagiaan yang diraih “manusia biasa”.

Di satu sisi, orangtua Sufiah mempunyai kekhawatiran yang umum dimiliki orangtua

lainnya. Orangtua berupaya mengamankan masa depan anak yang serba tak tentu dan

yang makin kompetitif dewasa ini. Dengan bekal kejeniusan anaknya ini, orangtua

Sufiah cenderung mengarahkannya menjadi apa yang mereka inginkan, bukan apa

yang Sufiah inginkan. Namun, hal ini malah menyebabkan seorang anak tak memiliki

waktu untuk menerapkan apa yang dia pelajari di kehidupan nyata, karena waktunya

habis untuk belajar, menempuh ujian dan mengerjakan pekerjaan rumah. Anak tak

memiliki kepercayaan diri karena cenderung diarahkan dalam jangka waktu lama. Ia

kemudian biasanya memberontak, dan mencari apa yang hilang di masa kecilnya.

Tentang Matematika

Penulis mengakui bahwa matematika adalah subjek yang paling tidak diminatinya

ketika kecil. Hal ini lambat laun berubah karena ternyata matematika memiliki banyak

kegunaan. Ekonom, jurutera, fisikawan, akuntan, pilot, dokter semua memerlukan

perhitungan matematika meski dalam frekuensi penggunaan yang berbeda-beda.

Sebagian profesi memerlukan matematika lebih intensif dibanding profesi lainnya.

Namun, intinya: matematika akan selalu bermanfaat di manapun dan kapanpun.

Matematika yang diperkenalkan di sekolah umumnya latihan mengoperasikan

persamaan dan bilangan. Hal ini penting, namun yang jauh lebih penting adalah

seorang anak perlu dilatih memahami penggunaannya, dan menerapkannya di

12

kehidupan nyata. Di sekolah dasar (primary school), seorang anak perlu dilatih

mengkonversikan satuan panjang (misal: dari meter ke centimeter) dengan mengambil

penggaris (ruler) dan mengukur panjang sisi meja. Di sekolah menengah pertama

(secondary school), seorang anak perlu mengetahui bahwa pertumbuhan tinggi badan

seseorang itu bisa didekati dengan fungsi kuadratik. Di sekolah menengah atas (junior

college), seorang anak bisa menghitung volume mangkuk dengan integral. Dan,

perkenalan terhadap aplikasi matematika ini perlu disampaikan tanpa tekanan.

Dengan cara ini, matematika malah menimbulkan afeksi, kecintaan, karena di sana ada

kemudahan jika kita memahaminya.

Di bidang aeronautical engineering, matematika digunakan dalam menghitung

kekuatan struktur sayap, gaya angkat pesawat, rute pesawat, performance terbang

pesawat dan lainnya. Jika anda duduk di jendela dekat sayap pesawat, dan

memperhatikan ujung sayap yang terdefleksi ke atas namun tidak patah, maka

struktur sayap ini dihitung dengan baik oleh engineer dan mereka menggunakan

aplikasi matematika dalam menghitungnya (dikenal dengan operasi matriks dalam

metode elemen hingga).

Penutup

Pemahaman mengenai matematika tidak memerlukan akselerasi. Yang diperlukan

adalah pengenalan matematika lewat contoh nyata, berlatih belajar mandiri dan

rutinitas belajar.

Sufiah sepertinya sudah mendapatkan itu semua; yang tidak ia dapatkan adalah

kebebasan dalam mempelajarinya. Seandainya ada keseimbangan antara harapan

orangtua dan keinginan anak maka Sufia bisa menjadi selayaknya ia.

Hari ini, setiap orang mengharapkan Sufiah menjadi orang yang baik, kembali ke jalan

yang lurus. Namun, Sufiah yang punya paradigma realistik dan logik tentu bertanya:

aku harus jadi apa? Bermetamorfosis menjadi “yang baik” barangkali mengidap

ketidakpastian. Dan, sulit diformulasikan dalam matematika. Jadi, tak ada solusi.

Ternyata “metamorfosis” itu lebih susah daripada integral lipat tiga.

13

5. “Raja”

Akhirnya "raja Jawa" itu wafat di usia 86.

Suharto, bekas presiden Indonesia yang paling lama berkuasa itu, meninggal akibat

kegagalan organ-organ tubuh. Salim Said mengatakan di ChannelNewsAsia (stasiun

TV yang paling banyak dirujuk orang Singapura untuk berita terkini) bahwa awalnya

Suharto itu "Great!". Tapi sepuluh tahun kemudian, ketika anak-anaknya beranjak

dewasa, ia mulai bertindak seperti raja. Ia memanfaatkan posisinya sebagai presiden

untuk memperkaya dirinya, anak-anak dan kroninya. Ia mendirikan Suharto, Inc. Di

negeri yang tak-demokratik, tangan besi dan korupsi bisa menghancurkan dirinya

sendiri.

Empat puluh lima tahun pertama hidupnya tak banyak diketahui orang hingga ia

"tiba-tiba" muncul lewat Kostrad dan memberantas PKI tahun 1965. Ia membuat

Sukarno menjadi tahanan rumah, dan melalui surat sakti Supersemar (11 Maret 1966),

ia menjadi presiden kedua Indonesia. Ia kemudian membangun Indonesia di segala

segi, membangun ikatan dengan negara lain. Di masa itu, demokrasi jadi komoditi

yang haram. Yang halal adalah kolusi, korupsi dan nepotisme; tapi tak bisa dijadikan

obrolan biasa karena malah tak sakral. Tiga kata itu harus menjadi rahasia umum;

harus menjadi tindakan yang diamini banyak pihak tanpa didenda, tanpa dijerat

hukum, tanpa diprotes. Tiga kata itu tak muncul meski ada. Mereka invisible.

Tahun 1998 ia dipaksa lengser. Tiga puluh dua tahun hidupnya membuatnya jadi

bapak pembangunan sekaligus bapak korupsi Indonesia. Oleh sebab itu,

ChannelNewsAsia mengatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki pandangan

yang campur aduk (mixed) mengenai Suharto. Ini disebabkan Suharto "menari" di

antara yang-baik dan yang-buruk.

"Raja" yang pandai "menari" itu telah wafat. Namun ingatlah, tanpa dia, barangkali

Habibie tak pernah pulang dan membangun industri pesawat terbang. Tanpa dia, ilmu

penerbangan tak muncul di Bandung yang bau sampah. Tanpa dia, tak seorangpun

tahu makna demokrasi, tangan besi, korupsi dan keadilan yang gagal.

Indonesia, sementara ini, berkabung untuk bekas “raja”.

14

6. Goncharov

Ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda, barangkali hanya orang Eropa

(Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol), Timur Tengah dan India saja yang tercatat

mengunjungi, berdagang atau menjajah kita. Adakah bangsa lain yang mengunjungi

Hindia Belanda? Dalam buku "Kampus Kabelnaya - Menjadi Mahasiswa di Uni

Soviet", Koesalah Soebagyo Toer menulis tentang Goncharov dan Wasili Maligan. Dua

orang ini terpisah waktu, tempat, aksi dan cerita. Tapi keduanya orang Rusia yang

pernah menginjakkan kaki di Indonesia.

Di sini saya tulis tentang Goncharov saja ...

Ivan Goncharov (1812 - 1891) lahir di Simbirsk, dan dibesarkan di lingkungan

aristrokat. Ia menyelesaikan pendidikan perdagangan di Universitas Moskow, dan

menjadi pegawai pemerintahan selama tiga puluh tahun. Ia bertemu penyair Apollon

Maikov dan Valerian yang kemudian mendorongnya menjadi penulis. Goncharov

hanya menulis tiga novel sepanjang hidupnya: Kisah Biasa (1847), Oblomov (akhir

1840an) dan The Frigate Pallada (1859). Meski demikian, Dostoevsky menganggap

Goncharov adalah rival yang patut dicatat dalam dunia sastra realisme Rusia. Tolstoy

juga melihat Goncharov sebagai penulis yang tak terinspirasi oleh kaum buruh dan

masyarakat bawah, seperti halnya kebanyakan penulis Rusia lainnya; Goncharov

terinspirasi masyarakat aristokrat dan mengkritik mereka sebagai pemalas dan

masyarakat tak berguna.

Goncharov yang pernah singgah di Jawa (Banten) tahun 1852 menulis:

Saya merasa sangat gembira bahwa akhirnya saya sampai ke pantai yang

sama sekali tak punya masa lalu dan tak punya sejarah itu.

Apakah Anyer itu? Suatu perkampungan Melayu yang sama sekali tak

pernah mengalami perubahan. Perkampungan ini pernah ditulis oleh

Turnberg. Keadannya masih seperti itu juga sekarang ini.

Batavia terletak dua hari perjalanan dengan jalan darat. Kami pergi ke

sana, tinggal di sana sehari dan kembali lagi. Pikir kami, di sana ada jalan

besar dan kendaraan yang baik. Ternyata tidak ada apa-apa. Dua minggu

sekali dari Anyer dikirim pos ke Batavia; tukang pos naik kuda ... Hari

berikutnya kami tinggalkan tempat itu tanpa melihat seorang Eropa pun,

sedang di Anyer hanya ada tiga orang.

"Tak punya sejarah"? Apakah Goncharov tak membaca sejarah Jawa? Apakah

Goncharov hanya melihat akibat Cultuurstelsel tapi tak memahami kejamnya kata itu?

Apakah Goncharov tak menemukan priyayi atau aristokrat yang pemalas di Jawa?

15

7. Leonardo da Vinci

Leonardo da Vinci termasyhur sebagai pelukis dan pematung jaman Renaissance yang

menghasilkan banyak mahakarya, termasuk di dalamnya, dua lukisan terkenal

Monalisa dan Makan Malam Terakhir (The Last Supper). Tak hanya itu, ia juga seorang

desainer peralatan militer, ilmuwan, penemu, insinyur, penulis, ahli tanaman dan

musisi. Leonardo yang berambut panjang, keriting, berwarna merah tua, berperangai

menyenangkan, tampan, juga berbakat sebagai pendongeng (storyteller), musisi,

humoris, seniman, pecinta kebebasan dan pesulap (magic trick).

Menurut catatan kakeknya, Leonardo lahir pukul 10:30 malam, Sabtu, 15 April 1452, di

sebuah desa dekat kota kecil Vinci, provinsi Florence. Ibunya (Caterina) adalah petani,

dan diperkirakan juga imigran dari Timur Tengah, dan ayahnya (Ser Piero da Vinci)

adalah seorang akuntan dan notaris terkemuka di kotanya. Umur 5 tahun, ia

kemudian diasuh oleh kakeknya yang akuntan juga.

Karena orangtuanya tak pernah menikah, maka Leonardo tak bakal diperkenankan

masuk Klub Notaris (Guild of Notary) nantinya. Oleh sebab itu, tahun 1466, ia

kemudian dikirim kepada Andrea del Verrocchio (1435 – 1488), seorang pelukis dan

pematung kenamaan. Di sana, bakat Leonardo makin berkembang dan melampaui

gurunya, sehingga ia diperkenalkan kepada Lorenzo de’ Medici (Il Magnifico),

penguasa Florence. Di bawah penguasa yang menyukai seni dan ilmu pengetahuan

ini, Leonardo bergaul dengan banyak filosof, matematikawan dan seniman lainnya. Ia

juga memperdalam ilmu anatomi di Company of St Luke tahun 1472. Pada masa di

Florence ini, karya terbesarnya adalah The Adoration of the Magi, yang diperuntukkan

bagi biksu biarawan di San Donato a Scopeto.

Tahun 1482, Leonardo pindah ke Milan. Di bawah penguasa Ludivico “the Moor”

Sforza, Leonardo melukis karya besarnya Makan Malam Terakhir (The Last Supper) di

sebuah tembok ruang makan gereja Santa Maria delle Grazie. Perancis menyerang

Milan, Sforza jatuh dan diasingkan tahun 1499.

Leonardo kembali ke Florence tahun 1500. Tahun 1502 ia berpindah minat dari aspek

seni-religius untuk menjadi chief engineer bagi komandan militer, Cesare Borgia. Ia

kemudian membuat peta yang sangat akurat untuk enam daerah di Italia tengah.

Angkatan bersenjata Borgia jatuh setahun kemudian setelah Niccolo Machiavelli gagal

membantunya. Leonardo dan Machiavelli, meski demikian, berkawan dan Machiavelli

membantu Leonardo sehingga ia mendapatkan komisi dari Signoria of Florence bulan

April 1503. Pada masa inilah, Leonardo melukis istri ketiga bangsawan Florentine,

Francesco del Giocondo. Istri ketiganya kita kenal sebagai Mona Lisa, nama kecil dari

Madonna Elisabetta.

16

Dr Lillian Schwartz dari Bell Laboratories (pengarang The Computer Artists Handbook)

membuat jukstaposisi gambar Mona Lisa (kiri) dan Leonardo da Vinci (kanan; foto diri yang

digambar dengan kapur merah), dan menyimpulkan bahwa Mona Lisa tidak lain adalah

Leonardo sendiri. Benarkah?

Tahun 1512, anak Lodovico bernama Maximilian mengusir Perancis dari Milan.

Leonardo pergi ke Roma untuk mengabdi kepada Leo X, paus baru Medicean. Karena

posisi seniman gereja sudah diisi Michaelangelo dan Raphael, maka Leonardo yang

sudah berumur 60 tahun kurang mendapat perhatian. Ia kemudian mempelajari

anatomi, optik dan geometri. Ia juga sempat memberikan pengaruh kuat bagi Raphael.

Tahun 1516, ditemani murid dan asistennya, ia pergi ke Amboise di wilayah Lembah

Loire. Di Perancis, Leonardo mengabdi kepada Raja Perancis, Francois I. Di sini

Leonardo diberi kebebasan melakukan apa saja, namun utamanya, ia diminta untuk

memberikan nasihat filosofis bagi raja Francois I.

Leonardo mengalami penurunan vitalitas selama di Perancis, dan stroke

menyerangnya sehingga tangan kanannya lumpuh. Ia meninggal di usia 67, pada 2

Mei 1519. Leonardo telah melukis 17 karya, tapi tidak semuanya tuntas. The Last

Supper, The Battle of Anghiari dan kuda Sforza tidak pernah selesai. Buku catatan,

atau jurnalnya, berisi sketsa yang detil namun tidak tersusun rapi dan tak pernah

dipublikasikan.

Kontribusinya mendahului jamannya

• 40 tahun sebelum Nicolaus Copernicus (1473 – 1543), Leonardo mencatat

bahwa matahari tidak bergerak, dan bumi bukan pusat perputaran matahari,

juga bukan pusat galaksi.

• 60 tahun sebelum Galileo Galilei, Leonardo menyarankan agar lensa pembesar

(magnifying lens) digunakan untuk mempelajari permukaan bulan dan benda

17

langit lainnya.

• 200 tahun sebelum Isaac Newton, Leonardo telah mengemukakan konsep

gravitasi.

• 400 tahun sebelum Charles Darwin, Leonardo telah mengenalkan teori evolusi

dengan menempatkan manusia dalam kategori yang sama dengan kera dan

monyet, kecuali bahwa manusia berakal

Di bidang anatomi, Leonardo melukis penampang anggota tubuh (cross section),

representasi manusia dan kuda paling detil dan komprehensif, melakukan studi bayi

di dalam rahim ibu dan membuat cetakan otak dan saluran jantung.

Di bidang pertanian, ia memperkenalkan geotropisme (efek gravitasi terhadap

tumbuhan) dan heliotropisme (reaksi tumbuhan terhadap matahari); ia menyatakan

bahwa umur pohon berhubungan dengan jumlah lingkar cincin di penampangnya; ia

juga membuat sistem susunan daun pada tumbuhan.

Di bidang geologi dan fisika, ia mempelajari proses fosilisasi dan fenomena erosi

tanah.

Di bidang engineering, ia mendesain helikopter, parasut, tangga yang bisa

diperpanjang (kini dipakai oleh fire departments), perpindahan roda gigi, alat membuat

ulir pada sekrup (screw), sepeda, snorkel (alat selam), kunci untuk sistem kanal, roda

air horisontal, jam alarm tenaga air, kursi terapetik.

Di bidang militer, ia mendesain tank, senjata mesin, mortar, guided missile dan kapal

selam.

Tujuh prinsip Leonardo

Apa rahasia Leonardo menjadi demikian kreatif dan penuh daya cipta? Dalam

bukunya How to think like Leonardo da Vinci, Michael Gelb menuliskan tujuh prinsip

yang disarikan dari sikap kerja da Vinci sehingga ia mampu menghasilkan karya-

karya lebih modern dari jamannya. Berikut tujuh prinsip itu:

Curiositá

Inti dari curiosita adalah keinginan untuk terus belajar sesuatu yang baru. Ia

mengamati alam, dan mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi. Dalam

proses belajar ini, Leonardo menyarankan seseorang untuk memperluas cakrawala

pengetahuannya dengan mempelajari bidang lain, bidang yang bukan keahliannya.

Dimostrazione

Leonardo tidak begitu saja mempercayai ilmu pengetahuan, dogma atau teori-teori

yang sudah mantap. Ia mengujinya lewat eksperimen dan mengalaminya sendiri

18

(dimostrazione). Ketika mengalami kegagalan dalam eksperimen, dia terus berusaha,

dan tidak putus asa.

Sensazione

Rahasia dari melakukan eksperimen adalah dengan mempertajam indera (senses). Bagi

Leonardo penglihatan adalah indera yang paling penting, sehingga melukis

merupakan disiplin yang dikuasainya. Pendengaran (telinga) menjadi indera penting

kedua. “Musik adalah saudara kandung melukis,” katanya. Dengan dua indera ini, dia

mempertajam indera yang lain.

Sfumato

Sfumato, secara literal bermakna “masuk ke dalam asap”, adalah kemauan untuk

berkawan dengan ambiguitas (tidak jelas), paradoks (suatu yang berlawanan),

ketidakpastian. Dalam hal ini, Leonardo menjadi menjadi lebih kreatif karena

berpikiran terbuka. Dalam proses pencarian ilmu pengetahuan, ia kerapkali

berhadapan dengan sesuatu yang tak diketahui, bertolak belakang dan tak pasti.

Arte/Scienza

Bagi Leonardo seni dan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan. Ia berpikir logis

dalam mempelajari mekanisme suatu benda, ia juga membuat sketsa yang indah untuk

catatannya. Dia disebut sebagai whole-brain thinker, tidak berat sebelah ke

penggunaan otak kanan atau kiri saja.

Corporalita

Corporalita bermakna pemupukan keseimbangan antara tubuh dan otak. Di samping

memiliki kecerdasan yang tinggi dan berbakat seni, Leonardo juga diberi kekuatan

fisik yang baik. Ia pandai berkuda, berenang dan bermain anggar. Ia menyebutkan

dalam bukunya bahwa aretriosclerosis dapat mempercepat penuaan, dan ini karena

kurangnya olahraga. Dia juga mempercayai bahwa diet adalah kunci dari kesehatan.

Connessione

Connessione diartikan sebagai apresiasi terhadap hubungan antara benda dan

fenomena, proses berpikir suatu sistem (systems thinking). Leonardo berusaha

mempelajari bagaimana burung bisa terbang di udara dengan mengamati kegiatan

berenang. Hal ini membangun kemampuannya dalam memperoleh kesimpulan dari

hubungan antarsistem.

***

19

20

II. KERABAT &

KAWAN

21

8. Nambar

Today, a man’s name, Nambar, comes to mind. I never met him since he passed away

one year before I was born. This story is a compilation of hearsays.

Nambar was born in a small town Blitar, East Java, in 1917. Nobody knew him except

his close family, relatives, students and local teachers. In Javanese language, “Nambar”

means avoid. It was intentionally given to him so as to avoid any illnesses. Lately, I

learned that this name is widely used in Mongolia; but it could have different meaning.

His parents were dukun obat (medicine shaman), and both embraced Kejawen (Javanese

religious belief). Nambar has an elder sister and younger brother.

When he was young, he was taught by a teacher named Mbah Sosro [1] until he

finished primary school. Some said, after finished primary school, he was working in a

ketchup company. Thereafter, he learned the volume precision when the machine

poured ketchup into conveyed-bottles. He also had talent in teaching. He went to teach

in primary school after resigning from a ketchup company. He taught sport, finance

administration and algebra. He was then asked to teach secondary school, and to train

new teachers on “mathematics”. His students loved him because of his clarity in

describing the meaning of mathematical concepts and his humor [2]. However, he was

also well-known as too-discipline-teacher and stressing more onto “education” rather

than “teaching” only.

He was married with a Priyayi (aristocratic) lady when he was 19. With their four

children, they lived in a house with many bedrooms behind a Masjid Jamik (city

mosque) [3]. He was not born as Muslim though. Having four children, in Indonesia

1940s, was a rare case. Most couple would have more than five children. He thought

the Keluarga Berencana (family planning) should have been started now, since big

family would only invite insufficient care for the children.

He sublet several rooms for students. These students were sent by their parents so that

they received strict observation in education.

Nambar and other worlds

Although he was known as a rational person, Nambar was a ghost-phobic.

Story-1: At dawn, he rode his bicycle from his school. He passed through an empty

highway, lined with canopy trees along the sidewalks. It was getting dark, and he

rushed up his wheels. Suddenly, everything became static. He saw the same trees on

his sides while he was riding his bike. It was weird. He was like running at the same

spot time to time. No displacement at all. He got a goose bump all over his neck. And,

suddenly, it was all disappeared. Now he could see a small house in the distant.

Everything became normal. He has possibly an empty mind for a second during a ride.

Story-2: His loo was built separated from the main house. It’s a common architectural

design during World War, or even nowadays in a sub-country area. There was no

22

electricity, so people relied on oil-lamp. The connection between main house and the

loo was very dark at night. Nambar went out to the loo, did his business and

immediately came back to the main house. It was eerie out there. But, somehow, he

could not open the door. The door was lock. He was panic, and scared. He knocked the

door like crazy but no response. He could not speak; something closed his mouth, he

said. He felt his body weakened, and he was slowly falling in front of the door.

Suddenly, his youngest son opened the door. “What’s wrong, Pak??” [4] Nambar sat

down in front of the door. Powerless. He answered: “There was a ghost … “ When they

were all inside, his son told him that the door was actually unlocked.

It’s also smooth, right?

He checked his students’ workbooks. In one of his students’ book he found this: “Her

cheek is so smooth. I want to kiss her.” Coldly, he called the student affront. Everyone

began to look at the student. In such cold event, students were ready to hear

thunderstorm anger from his teacher. “Can you get a bottle of ketchup from the food-

stall behind?” Nambar asked the sweating student. Not so long, the student came back

with a bottle of ketchup. It’s an empty bottle. Nambar said: “Please clean it up”. The

student followed. “Do you remember what you wrote in this book?” he asked. He

student nodded. “Now … you may kiss the bottle,” Nambar coldly asked the student.

Laugh was bursting out of the class! But that student needed to kiss the bottle though.

After several kisses, Nambar smiled at the student: “It’s also smooth, right?” Laugh

was getting louder!

Bell’s code

Nambar had a bell in his house. Each bell’s code had different meaning. For example,

“ting-ting” was used to call person A, and “ting-ting-ting” was used to call person B.

This code was not only for his children; his tenants were also subjected to this rule!

There was also a collective bell’s code; it means everyone must be at home immediately

once they heard the bell. His house was located nearby the city square where his

children and his tenants usually played. They played only 50 meters away (blocked by

the mosque), and his bell was actually effective. Most people found his bell was

annoying and they thought it was better to ignore him. But, no one dared to play deaf.

Until today, during the reunion, they still couldn’t know why they can’t play deaf by

saying: “I’m sorry I didn’t hear your bell …”

Learning Arabic

As mentioned, Nambar’s parents believed in Kejawen. Practically, he was not Muslim

and was not able to read Qur’an (Islam’s bible) in Arabic. In his 50s, he turned to Islam,

and began to learn Qur’an. He started to pray five times per day and fasting during

Ramadhan month. He was a practical man: he memorized Asma’ul Husnah (99 names of

god) by which he expected god would give him a special place in heaven. He also

suggested his wife to memorize these names. In the third-year of his self-learning, he

was able to read Qur’an. Then, he regularly helped mosque employee to convey

23

Qur’an messages for older people. He translated Qur’an messages into Javanese. His

son asked him once: “How did you do that?” His reply was short: “Just read”

Cheque

Nambar’s cousin came to his house. She was with her daughter. They intended to

borrow some money of Rp 60000 (~ SGD 10) for a tuition fee. Nambar has only 60000 in

his pocket, but he gave all the money to them. He asked them to pay the tuition fee

immediately before it’s too late. But, as kitchen minister, his wife complained that she

needed the money to shop the day after. “Why you give all the money?” his wife was

upset. Nambar said “Tomorrow, I’ll eat whatever you cook. Rice and salt will do. The

money will be used to pay someone’s tuition fee. School is more important. God will

repay us fold-wisely.”

Next day, Nambar came home with smiley face. He waved a cheque to his wife. “Look

at this! Remember what I’ve told you: God will repay us!” He got a cheque sent by his

son.

Last Day

Nambar had high-blood pressure although he was humorous and friendly guy. He had

an appointment with a doctor in Syaiful Anwar General Hospital, Malang, 80 km from

Blitar. Before they left, Nambar asked his wife to bring all of the jewelleries. They

brought three pieces of steamed-banana, and they took a train to Malang. He was

checked by the doctor, while his wife was waiting in the hospital corridor. The doctor

went out to see his wife, and politely told her (in Javanese) that his husband has passed

away. It was quiet. Her tears dripped down. She immediately sold all the jewelleries

and brought her husband back to Blitar.

Nambar rested in peace in Blitar, the city he was born, in 1977.

Referensi

[1] Mbah Sosro: his real name was Raden Soekemi Sosrodihardjo; Soekarno’s father

(Soekarno was the first president of Indonesia).

[2] He could do three-digit multiplication mentally (without paper and calculator)

[3] His first son was an assistant professor at the Institut Teknologi Bandung after

obtaining a PhD in Chemical Engineering from Wisconsin University, USA. He

lives with his wife in US. His second daughter used to be a vice principal of a high-

school in Surabaya; she was teaching sport and English; she passed away in 2005.

His third son is retiree of government office; he previously studied Economics in

Airlangga University. His last son has been a director of four general hospitals in

East Java; he opens a private clinic in Bondowoso.

[4] Pak is daddy, mister.

24

9. Konco

“Hidup” saya di kantor tinggal 7 hari lagi. Minggu depan, untuk terakhir kalinya saya

duduk di sebuah cubicle yang selalu berantakan dengan bongkaran hard disk drive

dan tumpukan paper. Hari itu saya bebas dari disorientasi riset yang selama ini

menganggu saya. “Disorientasi” ini berasal dari kepemimpinan riset yang bobrok dan

tak jujur. Kini saya sadar bahwa seorang bodoh yang jujur (secara intelektual terhadap

diri sendiri) jauh lebih bermanfaat daripada seorang PhD yang sok tahu.

Yang saya ingat dari tempat ini adalah (1) pekerjaan saya, (2) orang-orang yang unik,

(3) cerita lucu dan (4) insiden.

Yang nomor 2 sungguh berkesan. Di sini saya berjumpa dengan seorang peneliti senior

yang gemar mengumpat. Umpatannya dilafalkan dalam beberapa bahasa: Inggris,

Mandarin, Hokkien, Melayu. Karena sangat mengimani metode eksperimental, ia

seolah menuhankan hasil eksperimen.

“There is only one true result, and it is only obtained by experiment,” demikian kira-

kira kalau perilakunya difirmankan.

Saya yang orang simulation sungguh beruntung diajak bergabung dalam timnya: saya

bisa belajar bagaimana eksperimen dilakukan, nama-nama peralatan, akurasi, trik

dan analisis data. Memang tidak mendalam, tapi cukup mendapat dasar dalam

melihat “seberapa benar” suatu eksperimen dilakukan.

Di luar diskusi riset yang biasanya bersemangat, ia selalu bercerita mengenai

pengalamannya ikut wajib militer. Selama 22 tahun ia pulang pergi ke barak setiap

beberapa waktu untuk memenuhi panggilan tugas. Kini ia tak dipanggil lagi karena

sudah 40 tahun. Ia tak disukai oleh beberapa peneliti lain lantaran sering mengumpat,

konfrontasi dengan suara bising, menang sendiri. Seorang mengatakan bahwa ia

mengidap inferiority complex. Waduh … panganan opo iki? Maksudnya … karena ia tak

mampu secara finansial dan intelektual (padahal ia PhD lho … tapi masih ada aja yang

bilang ia kurang canggih), ia menggunakan kata-kata dan sikap kasar dalam

berkonfrontasi. Di luar itu, bagi saya, ia adalah teman baik yang selalu punya cerita

ketika mampir di cubicle saya.

25

10. Bubur dan Roti Montor

Pagi ini ayah saya dilarikan ke rumah sakit. Kata ibu saya, dia diopname karena

tekanan darahnya 170. Gejala: tangannya geringgingen (kesemutan).

Sorenya saya telpon untuk mengetahui perkembangannya. Ketika saya telpon, lho kok

dia ketawa-ketawa… becanda nih opname-nya? Nggak. Sore itu tekanannya sudah

kembali normal, sistole (atau diastole ya?) alias upper bound-nya 130 (satuannya apa

ya? mm-Hg?). Jadi, sore itu makanya dia udah bisa ngguyu-ngguyu.

Saya tanya kenapa kok tekanannya bisa sampai 170. Kepikiran apa? Stress? atau

karena … makanan? Nah, ayah-ibu saya rebutan njawab: panganan … panganan! …

Oalah … Sore itu juga adik saya menelpon. Dia bilang “Mama ngasih sate kambing ke

papa. Makanya, tekanan langsung nglonjak”.

Karena sudah mendingan, saya bilang ke ayah saya:

Ben tambah normal, cepet waras, kudu tuku bubur kacang ijo karo roti montor!

Ayah saya ngakak … Kacang ijo + roti montor ini punya sejarah. Begini: ketika kecil,

dua makanan itu adalah makanan mewah bagi keluarganya yang miskin. Karena

(barangkali) ngidam buanget, maka ia jadi sakit. Anak terkecil biasanya dimanja, jadi

ia memanfaatkan itu untuk ‘pengen bubur karo roti montor‘. Ayahnya langsung

membelikannya, dan ia dengan cepat jadi sehat.

Pesan moral: makanlah sesuatu yang diidamkan, niscaya kesembuhan cepat datang.

Ketika sakit tubuh perlu energi untuk sembuh; makanan biasa terlalu hambar; jadi

belilah yang bener-bener diinginkan …

*Peringatan pemerintah: sate kambing out of topic bagi pengidap darah tinggi!

26

11. Rachid dan Humor

Tentang Rachid. Seperti biasa, saya makan siang dengan kawan baru bernama Rachid.

Tubuhnya menjulang 185 cm, berwajah Arab, olahragawan plus programmer, muslim

by birth dan berbahasa Inggris dengan logat Perancis. Hidupnya menarik meski bukan

seorang eksil: ayahnya imigran dari Maroko yang kemudian hidup di pinggiran

Perancis, membenci kehidupan riset di Perancis karena elitist, menyelesaikan S1 di

Perancis dan S2 di Singapore (gak kesasar ta?), juara triathlon di NUS dan suka Laksa.

Rachid adalah orang yang ramah namun senyap; ia menikmati kesendirian tanpa

mengeluh dan gundah. O ya, ia akan menikahi seorang gadis China yang bilingual:

Mandarin + French.

Tentang Humor. Turun dari shuttle bus sehabis makan siang, Rachid cerita humor.

Humornya dalam bahasa Perancis. Judulnya Pirate alias bajak laut. Kami ketawa-tawa

dan di lingkungan English-Malay-Chinese ini, Perancis adalah bahasa alien. Kemudian

saya bercerita pada istri saya. “Hah, iso boso Perancis ta awakmu??” tanyanya (yang

sudah saya duga). Saya senyum-senyum saja, dan bilang “Hehe … pokoke mau kethok

pinter boso Perancis!” Lumayanlah … tumben-tumben saya bisa mengerti humor yang

benar-benar kocak dalam bahasa asing, terutama bahasa Perancis yang (katanya) seksi

dan njlimet.

Mau tahu rahasianya …?

Mudah saja. Pertama saya ceritakan satu humor kepada Rachid. Ini sungguh bikin

pusing karena humor ini aslinya dalam bahasa Jawa (Suroboyoan). Dalam kepala,

proses translasi mulai bekerja Jawa � English. Dengan bantuan peragaan akhirnya

kelucuan dari humor ini tersampaikan semua. Rachid terpingkal-pingkal karena tiga

alasan: (1) kok ya ada orang gendheng jadi peneliti?, (2) kok ya ada humor khayal

kayak gini!, (3) benar-benar kocak. Kedua, saya minta Rachid mengulang humor itu

dalam bahasa Perancis. Cerita lucu biasanya mudah diingat, jadi dia dengan mudah

menerjemahkannya. Dia juga minta dikoreksi jika ada kesalahan detil cerita. Mudah

kan?

By the way, pasti anda penasaran dengan humornya! Bagi non-pembahasa Jawa mohon

minta kawan Suroboyo atau Jatim-nya untuk menerjemahkan. Ini saya paste di sini:

Muntiyadi pethuk ambek Gempil koncone sing dines ndhik angkatan darat. Tibake

Gempil iku saiki sikile sing kiwo yo dingklang pisan, ambek tangane sing tengen

tibake yo tughel digenti cathoke bakul beras. Sing luwih nemen maneh, motone gempil

kari sing kiwo. Moto sing tengen wis cumplung ditutupi kain ireng malih koyok bajak

laut.

“Lho Mun, sikilmu opoko?” takok Gempil.

Mari ngono Muntiyadi cerito pengalamane kijolan sikile wong wedhok.

“Lha awakmu opoko kok mreteli pisan?” Muntiyadi genti takok nang Gempil .

“Pas aku patroli nang Aceh, sikilku ngincak granat, langsung puthul. Pas iku onoke

sikile sapi, berhubung aku gak gelem, akhire yo ngene sikilku dhadhi mek sithok”.

27

“Waduh cik apese nasipmu, lha tanganmu opoko kok digenti cathoke beras?” takok

Muntiyadi maneh.

“Mari sikilku tughel iku mau, aku dirawat ndhik barak. Moro-moro barakku dibom

ambek mungsuh, kenek tanganku, langsung tughel. Pas iku onoke cathoke beras,

timbangane gak onok blas, akhire aku gelem.” jarene Gempil maneh.

“Wah kayal thok kon iku, lha motomu opoko kok cumplung pisan? Kelilipengranat

tah?” takok Muntiyadi maneh.

“Oo iku seje ceritone. Enak-enak cangkruk nyeritakno pengalamanku iku mau, moro-

moro onok manuk nembeleki mripatku,” jare Gempil.

“Wah kon iku tambah ngawur thok ae, lha mosok ditembeleki manuk isok motone

cumplung,” Muntiyadi mulai gak percoyo.

“Lho iku dhudhuk mergo tembelek manuk,” jare Gempil.

“Lho opoko?” takok Muntiyadi.

“Iku pas dino pertama aku nggawe cathok beras.”

28

12. SF dan Sepupu

Kota San Francisco ternyata kecil! Luasnya kira-kira 7 x 7 mil2. Ia disusun oleh blok

persegi sempurna, dan dipenuhi townhouse yang sempit. Menuju ke perimeternya,

jalan mulai menanjak, dan ikon “tram” – kereta kuno yang masih kuat —

berkeliaran naik-turun. Relnya membelah jalan raya yang sudah sempit,

dan penumpang bergelantungan. Kota ini tak dipenuhi gagasan ilmiah atau teknologi

seperti halnya San Jose atau Santa Clara, tapi lebih menyerupai objek wisata dengan

landmark yang memikat seperti Golden Gate. Lanjutkan ke Pier 39, Union Square,

Market Street, SoMA (South of Market), City Light Bookshop, Golden Gate,

Chinatown, etc.

Golden Gate Bridge

Chinatown

29

Trem

Fisherman’s Wharf di Sabtu Pagi

Hari Sabtu saya berjumpa dengan seseorang yang berwajah sangat

Indonesia, berkacamata, bernama Jawa dan masih senyap. Dua belas tahun tak begitu

mengubah wajahnya, tapi ia nampak lebih kurus. “Harus menjaga pola makan,

karena punya darah tinggi,” begitu katanya. Ia tak bisa bahasa Indonesia (dan Jawa!)

meski orangtuanya bercakap-cakap dalam dua bahasa itu. Singkat kata: americanized.

Malam itu saya bermalam di tempatnya; sebuah rumah tiga tingkat yang tak banyak

barang kecuali dalam ruang kerja dan kamarnya yang sedikit berantakan. Ia pecinta

gadget. Pernah membuat perusahaan sendiri bersama kawan-kawannya pada 1990an,

lalu dijual ke Sapient Corp., dan berhenti setelah 1 tahun bekerja di sana. Alasannya:

tak cocok dengan gaya kerja orang-orang corporate.

30

Ketika ngobrol di cafe, ia banyak bertanya mengenai Singapura. “Bagaimana kalian

hidup di sebuah negeri di mana permen karet dilarang dan menyebrang jalan

sembarangan (jaywalking) dikenai denda?” begitu tanyanya. Untuk ukuran orang

yang tak mengenal Singapura, kecuali dari bahan bacaan, ia cukup teliti dalam

bertanya. Saya kemudian menjelaskan bagaimana bekerja di sana.

Namun, saat itu juga saya merasa bahwa saya “berasal” dari sebuah negeri yang

opresif, sekaligus komunistik di mana seseorang (sedikit banyak) ditentukan nasibnya

oleh negara. “Kebebasan” jadi barang mahal, dan demarkasi antara Singapura dan

Amerika dipisahkan oleh kata ini. Ah, sudahlah. Mengeluh adalah indikasi bahwa kita

terjangkit penyakit Singaporean: tak pernah puas.

Dua hari itu saya senang sekali karena telah berjumpa dengan sepupu saya.

31

13. Tukang Becak

Pada 11 Agustus 2005 di Singapura, dalam sebuah ruang interview, seorang manajer

memberikan pertanyaan pertama yang mengejutkan: "Where is Bondowoso?" Saya

mengangkat alis, apakah ini serius? Ia kemudian bertanya lagi: "Bondowoso, which

part of Indonesia is it?" Kemudian, dengan bersemangat, saya menjelaskan bahwa ia

terletak di sisi timur pulau Jawa, dekat dengan Bali meski harus nyebrang selat; sekitar

4 jam bermobil dari Surabaya. Saya ragu bahwa geografinya bagus, tapi barangkali ia

hanya ingin memecah kebekuan wawancara.

Bondowoso itu yang paling kiri. Diletakkan

bersebelahan dengan Bali supaya orang langsung

ngeh, Bondowoso itu sebelah kirinya Bali to hehe

... 2.5jam naik mobil

***

Senin pagi, 4 Feb, kami (saya, olit, tuti) naik becak Pak Kus

ke Pecinan, dan membeli pecel Mbak Debri (tak ada nama

toko, letaknya di pinggir gang Gereja). Bosan menunggu

antrian, saya pergi ke luar dan ngobrol dengan Pak Kus.

Lelaki ini berumur 60, tapi ia tak terlihat renta. Ia nampak

sehat, meski kulitnya yang hitam terbakar terik mulai

keriput. Dia bercerita: setiap pagi pergi pukul lima pagi, dan

mengayuh sejauh 2 km ke pasar, berbelanja, lalu mengirim

belanjaan ke masjid jamik. Kemudian ia mulai mangkal di

depan rumah saya. Kalau sedang untung, ia bisa mendapat 35 ribu/hari. Kalau lagi

sepi, ia hanya dapat 15 - 20 ribu/hari. Ia hidup bersama istri dan cucu perempuan yang

hampir lulus SMP. Ia berencana menyekolahkan cucunya di kota untuk SMA-nya, dan

membiayainya sendiri. Pukul 10-11 pagi, biasanya ia pulang ke rumah, beristirahat.

Esoknya ia mulai bekerja lagi. Jam kerjanya pendek, namun ia bilang ia akan tetap

32

mbecak selagi masih sehat. Ia tak ingin jadi beban anak-anaknya, ia ingin mandiri, dan

ingin tetap "memberi" selama jantung masih berdetak.

Di Bondowoso yang sunyi, tukang becak mengingatkan kita agar mensyukuri

keberuntungan, dan menikmati kesederhanaan tujuan hidup. Terbiasakah kita?

33

14. Kawan-Kawan Lama

Semalam saya terlalu nganggur hingga akhirnya saya nelponin kawan-kawan lama

masa SMP - SMA yang berdomisili di Jember dan Surabaya. Tidak banyak yang

ditelpon karena bill telpon bisa melonjak.

Sunu. Dia sudah masuk blog beberapa kali. Dia yang mengajarkan bermain gitar

waktu SMP. Ketika SMA, kami ikut ekskul pecinta alam dan mendirikan band yang

bernama "Springfield". Ia kemudian keluar dari band dan solo karir. Setamat SMA,

Sunu pindah ke Yogya dan menimba ilmu Food & Beverage di AMPTA (akademi

perhotelan). Tahun 1998, saya sempat mampir di Yogya dan menginap beberapa hari

di kos-kosannya. Meski sempat menyaksikan sisa-sisa kerusuhan, kesan tentang Yogya

masih sama: slow motion, friendly people. Sunu bertanya: wong Singapur opo nggapleki? kok

soko critomu koyoke ngono (orang Singapura apa nyebelin? dari ceritamu sepertinya

gitu). Saya lupa menjawab apa; barangkali "Iya, sebagian". Sunu masih bermain band

dan ia main bass. Ia bekerja untuk bagian manajemen di sebuah apartemen di

Surabaya. Tidak memasak roti lagi sepertinya. Ia masih single dan tertawanya masih

sama: menggelegar dan diskrit (seperti kita semua). Dan cara berbicaranya pun masih

sama.

Hahang. Orang pasti bertanya "Kok namanya Hahang? Ini nama asli? Dari mana nama

itu berasal?" Yah dia pun barangkali tidak tahu, kecuali bahwa itu pemberian orangtua

lalu distempel di akta lahir. Awal Januari 2008 Hahang sempat patah hati, tapi hanya

sebentar (seperti halnya laki-laki kebanyakan). Di hari ia memutus pacarnya, ia

kemudian (katanya) pergi menjemput adik kelasnya yang lain (laaaa). Tahun 1996 ia

bersekolah di Surabaya, mengambil jurusan kedokteran ... hewan. Woof woof. Akhirnya

ia lulus dan bekerja di perusahaan pakan ternak di Surabaya. Tetap sebagai dokter

hewan. Dulu kami sering meledeknya: wah susah lho jadi dokter hewan ... setiap kali

nanya pasien "Kamu sakit apa? Di mana sakitnya? Pasti dijawabnya cuma dengan,

misal, "Mbeeeek ....mbeeek" What a job. Hahang masih seperti dulu, cara bicaranya pun

sama.

Reinhardt. Ini teman satu band di Springfield. Barangkali ia pemain gitar terbaik di

angkatan saya. Dia orang Batak, tapi lahir dan besar di Jember. Kata seperti "Bah",

"cem mana la kau!", "Eh kek mana ni..." kayaknya gak pernah saya dengar. Logatnya

sudah Jawa, langgamnya pun Jawa. Dia belajar gitar 12 jam per hari, low profile, cepat

membaca tempo dan playing by heart (meski ia juga bisa membaca not balok). Dia

sempat main di beberapa kafe di Samarinda, Batam, dan kini ia di Surabaya. Dia

sempat kena peluru nyasar waktu ada pertikaian gank di kafe di Samarinda itu.

Sempat kritis, dan dioperasi bagian pipi hingga leher. Untung dia selamat, dan

semalam bisa ngomong dengan lancar. Pertanyaan pertama saya waktu menelpon dia:

"Heh ... sik urip koen?? Hehe" (Eh masih hidup kamu?). Dia sedikit pendiam, kadang

saya juga bingung mau ngomong apa sama dia. Tapi dia orangnya baik. Agak unik:

pernah ditemukan tidur siang sambil ngelonin gitar, sampe ngiler. Hehe. (Mudah2an

tulisan ini tak dibacanya!)

34

Kurniawan. Namanya panggilannya banyak, seperti Wawan, Beben, Kur-Kur, Brodin,

dan terakhir ya Kurinawa. Tapi saya selalu memanggilnya Wawan. Kurniawan adalah

satu kawan yang sukses jadi pengusaha. Dia selalu bilang "Aduh opone pengusaha ... aku

iki akeh utange, Rip..." (Aduh apanya pengusaha ... aku ini banyak hutangnya Rip".

Benarkah? Sepertinya setiap orang pasti punya hutang; yang beda ya besar kecilnya,

plus deadline-nya. Kurniawan memulai usahanya dengan membuka percetakan,

kemudian merambah ke pengadaan hardware komputer, penyewaan mobil, cuci

mobil, toko handphone, penyewaan game, kini membuka centrabiz di jalan Karimata.

Wah pokoknya semuanya harus dijadikan duit. Orangnya cekatan, pandai

berkomunikasi, mencari tahu dan pekerja keras. Ia juga penggemar kopi dan rokok.

Dia masih bisa krama inggil! (this is something, man). Yang tidak pernah berubah adalah:

ia selalu meminta saya jadi investor. Ha ha .... tunggu 10 tahun lagi kaleee ..

Begitulah sebagian kawan-kawan lama saya. Biasa saja. Tapi mereka yang memberikan

hangatnya persahabatan selama 15 tahun lebih: dari jaman pake kathok SMP sampe

umur 30 sekarang ini. How is yours?

35

15. Kemprit

Tanggal 14 Januari saya menerima sms:

Breaking news: fridia udah kawin sama arief, sabtu 12jan pk16 di kapel

ursulin, tanpa ngundang2, jd sorry ya? doain aja ...

Padahal dia ngundang saya sebulan lalu; supaya saya pergi ke Bandung menghadiri

perkawinan dia. Tapi sayang saya tidak bisa hadir. Akhirnya saya telpon dia setelah

nrima sms itu. Bilang "selamat sudah menjadi seorang istri sekarang", lalu ngobrol

sebentar dengan dia, plus dengan suaminya Mas Arief (aduh nama kok pasaran ya

hehe). Dengan suaminya, saya malah ngobrol komputer Asus yang mau dia beli. Hehe.

Mbak Fridia, saudara-saudaranya memanggilnya “kemprit”, adalah perempuan

Tionghoa yang barangkali 8 tahun lebih tua dari saya. Ia berasal dari Kupang, namun

lama di Bandung. Ia seorang psikolog khusus anak-anak autis. Ia hidup bersama

maminya. Ia penggemar seni, teh, buku dan suka ngobrol. Ia juga suka traveling. Tutur

bahasanya rapi: mirip seragam SD yang habis disetrika ... mirip buku-buku formal gitu

lah.

Awal ketemu dengan Mbak Fridia gimana ya? Tahun 2001 (kalau gak salah), di dalam

kereta jurusan Surabaya - Bandung, seorang perempuan dengan ransel besar

mendekat. Mirip orang Jepang. Ia kemudian duduk di sebelah saya, di dekat jendela.

Ia lalu mengeluarkan beberapa majalah dan mulai membaca. Karena ia juga

mengeluarkan majalah National Geographic, maka saya langsung (tanpa jaim) pinjem

majalah itu. Setelah itu, obrolan terbuka dan kami jadi teman baik hingga hari ini. Ya

perempuan "Jepang" itu Mbak Fridia.

Mbak Fridia menikahi seorang lelaki Jawa (yang Islam, tapi selalu dibilangnya

agnostik). Keluarganya (dulu) tak setuju, karena seorang CK (dia bilang: Cina Katolik)

harus menikahi CK juga. Tapi, lama-lama, peraturan sepertinya melunak seperti

jenang. Oleh sebab itu, ia dan Mas Arief bisa menikah di gereja. Di gereja, katanya,

calon suami-istri tak perlu punya agama sama. Tapi di kantor catatan sipil ...

sepertinya harus beragama sama. Cinta terhalang tembok. Yah mirip cerita sinetron

jaman dulu. Tapi yang ini kawin beneran ...

Sebelum tutup telpon tempo hari, saya bilang: Ayo ayo ... bikin anak!

Dia bilang: iya mudah-mudahan lah ... biar gak kena deadline (umur) nih.

36

16. AAN

Clementi – 2003

Sebelum ke Singapura tanggal 19 Juli 2003, saya kenalan dengan seorang kawan (baru)

lewat email. Namanya Ahmad Ali Nurdin (AAN). Dia katanya baru pulang dari

“mondok” di Australia, dan mampir ke Singapura, tepatnya di padepokan NUS, untuk

studi Master yang ke-2 (master²). Ketika itu kami mencari kos-kosan bersama dekat

kampus (sebenarnya yang nyariin dia sih, karena dia sudah di Singapura duluan).

Saya lagi di Bandung, dan sibuk mindahin barang-barang dari kos-kosan di Cisitu ke

rumah kakak & pacar di Jakarta. Akhirnya, dengan bantuan housing agent, yang

namanya masih kami ingat yaitu Tan Man Lee, kami diantar ke Blok 335 di Clementi.

Di sana, kami viewing rumah baru.

Kami memutuskan untuk menyewa master bedroom yang ada kamar mandi dalam.

Rumahnya ada di lantai 6; dan lift hanya berhenti di lantai 1, 6 dan 11. Jadi, kami

lumayan beruntung tidak perlu naik turun tangga. Flat ini estate lama; lokasinya dekat

dengan MRT station Clementi (6 menit jalan kaki), jendela belakang terhalang pohon

jadi agak sungup, dan ada seorang lelaki yang tidur di kamar lain, pacar pemilik

rumah, namanya Bob (meski aslinya bernama Arab, yaitu Arba'a). Ada dua tempat

tidur di kamar itu, ada 1 lemari pakaian, 1 meja belajar. Satu tempat tidur yang saya

gunakan hanyalah matras setebal (awalnya) 15 cm. Tapi setelah 6 bulan, bagian tengah

matras jadi 5 cm; jadi punggung agak dingin ketika malam tiba.

Malam hari sepulang dari kampus, kami biasanya nonton TV, ngobrol, minum coke

atau kopi, ngrokok Gudang Garam. Dia sebenarnya bukan perokok; tapi karena saya

rajin membeli GG di Clementi, maka dia ikutan ngrokok (di Jember ini disebut

perokok pasif - artinya "njaluk rokok" hehe). Kini GG yang Internasional tidak ada lagi

di Singapura; dilarang beredar sejak 2004. Extinct. Di depan rokok, TV dan kadang

gitar, kami ngobrol soal macam-macam, terutama soal budaya, agama, politik,

kehidupan dan topik favoritnya, "Australia".

Pasir Panjang – 2004

Setelah 6 bulan di sana, kami pindah ke sebuah landed house di Pasir Panjang,

namanya The Village. Di sana kami tinggal sekamar lagi. Tapi kali ini sekamar diisi 3

orang. Seorang lagi adalah anak Lumajang (alumni ITB) yang kuliah di NUS juga.

Jadilah, tiga bujangan di pinggir galangan kapal, West Coast. Tiap malam, seperti

ritual sebelumnya, kami mengadakan "meeting". Meeting adalah ngobrol di beranda

depan, dekat kolam renang, sambil ngopi, ngrokok dan main gitar. Obrolannya lebih

bervariasi, tergantung partisipan dan ada beberapa housemate cewek yang ikut

nimbrung.

Setelah 6 bulan, AAN pulang ke Bandung untuk kembali mengajar di almamaternya,

UIN Bandung. Dia yang asli kuningan ini adalah dosen muda yang lebih banyak

menghabiskan waktu belajar daripada mengajar. Ya gimana mau ngajar, kan selalu di

LN untuk menuntut ilmu. Tapi dia tidak pernah lepas kontak dengan kawan-kawan

37

dosen di sana. Dia juga bilang banyak adik kelasnya yang nyalip dia gara-gara lama

gak balik ke kampus. Tapi tak apa. Jalan hidup kadang memang tak bisa diduga. Dia

sendiri tidak punya impian ke LN sebelum lulus dari UIN, begitu katanya. Tapi

menjelang lulus, keinginan ke LN itu muncul. Jadilah ia ke Australia sebelum ke

Singapura.

Bukit Panjang – 2006 & 2008

AAN kembali ke Singapura tahun 2006. Kali ini ia mengambil PhD di bidang politik.

Dan, ia membawa serta keluarganya. Dia menyewa flat di Bukit Panjang, beberapa

blok dari tempat saya menyewa kamar. Setelah 1-1.5 tahun mereka sekeluarga pulang

ke Kuningan. Setelah field work dan cuti hingga 9 bulan, ia kembali ke Singapura.

Kebetulan akhirnya saya menyewa flat sendiri di Bukit Panjang, maka ia tinggal

sebentar di sini. Setelah 7 bulan, ia pulang kampung ke Kuningan pagi tadi pukul 5.30.

Ia tinggal menulis conclusion saja untuk thesisnya.

Penutup

Seperti halnya Gus Dur, Ulil, mereka yang dididik secara tradisional di pesantren

kemudian terekspos risalah ilmiah dari Barat, biasanya memiliki pemikiran agama

yang progresif, tidak jumud, fleksibel dan liberal. Demikian juga AAN. Maka,

berdiskusi dengannya mengenai Islam progresif selalu membuahkan pandangan atau

pengetahuan baru.

Saya sendiri tidak pernah dididik di pesantren. Dan, dulu agak ngeri kalau diancam

akan dimasukkan pesantren waktu kecil. Tapi di pertengahan kuliah di Bandung, saya

membaca banyak sekali buku-buku pemikiran Barat yang mudah didapat di toko-toko

kecil dekat kampus. Buku-buku ini tentu saja tidak berguna untuk kuliah saya. Dan,

saya sendiri selalu bingung kalau ditanya kenapa membaca buku-buku seperti itu

(seperti Fyodor Dostoevsky, Gogol, Sartre, Foucoult, Nietzsche, Marx, Arkoun,

Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Geertz, Anne-Marie Schimmel, M Iqbal dll). Tidak ada

tujuan kecuali ingin tahu ranah lain di bumi ini. Mereka tentu tidak berbicara non-

sense, itu saja yang saya percaya. Kalau non-sense, kenapa buku-buku itu dibahas di

universitas besar di dunia? Jadi, agak eklektik dan self-enrichment.

Belakangan, terasa sekali manfaatnya. Tanpa membaca buku-buku itu, barangkali saya

tidak bisa nyambung dengan AAN. Buku-buku itu secara tidak langsung memberikan

hal-hal berikut: (1) kecenderungan untuk terbuka kepada pemikiran baru; (2)

memahami dengan lebih cepat fenomena yang non-mekanistik; (3) memahami

mengapa komunitas bertindak ini itu; (4) kesempatan untuk menguji metode ilmiah di

bidang sains ke bidang sosial; (5) lebih bisa masuk ke banyak kalangan yang non-

teknik karena ada hal yang diobrolkan.

AAN dulunya studi hadits, lalu berekspansi ke jalur pemikiran politik dan Islam

liberal. AAN adalah seseorang yang produktif dalam dunia jurnalistik. Tulisannya

menghiasi koran-koran di Indonesia dan Singapura; dan lewat kenalan dia ini, saya

bisa memasukkan artikel di koran Singapura. AAN Ia juga menunggu satu bukunya

38

diterbitkan di Thailand, dan ini mengenai Islam. juga orang yang sederhana dan tidak

ambisius. Ambisinya hanya dituangkan lewat jalur akademis dan pemikiran saja;

meski ada juga profesor yang mengatakan tulisannya konservatif. AAN sangat ingin

kembali ke Australia, entah untuk belajar lagi atau mengajar. Negeri ini sangat

berkesan baginya. AAN sedang menantikan anak keduanya (yang katanya Made in

Singapore - hehe and born elsewhere, probably). AAN adalah orang yang sering

dipermudah jalannya oleh Tuhan meski dihadapkan pada berbagai masalah pelik.

Selamat jalan kawan ... keep on writing.

39

III. BUKU

40

17. Aku dan Meneer Janssens

Pagi itu aku murung: ayah-ibuku mati tertabrak lori. Air mataku menetes, lalu diseka

Meneer Janssens, bekas majikan orangtuaku. Pada umur 11 tahun itu, aku diasuh

Meneer: ini semacam privilege yang aku bayar dengan menjadi jongosnya.

Enam tahun kemudian, Meneer mengirimku ke Amsterdam. “Pendidikan adalah bekal

untuk mandiri, ” pesannya. Di sana, aku belajar ilmu hukum di sebuah universitas.

Setelah lulus, aku bekerja di sebuah firma huku. Karena inlander, upahku rendah.

Namun aku betah di Belanda: sebuah negeri yang berbeda dari Jawa, di mana sistem

berjalan tanpa cambuk rotan.

Suatu sore aku mendapati surat Meneer: “Tole, pulanglah segera.” Alasannya tak jelas,

tapi aku tahu bahwa Meneer memerlukan aku di Jawa. Balasan suratku mungkin

menyakitinya: “Meneer, aku tak ingin pulang, karena aku menyukai kehidupan

Belanda, dan aku memiliki perempuan idaman di sini.”

Beberapa hari kemudian, dugaanku benar: surata balasan Meneer membuat kita saling

melukai. O, Meneer, bukan aku tak ingin membalas budi, tapi bisakah engkau

membebaskan aku?

Tak ada balasan.

Lima tahun kemudian, aku pulang ke Jawa. Dalam pelukan rindu kami, Meneer

berbisik: komunis di mana-mana, berhati-hatilah …

Esoknya, aku melihat tubuh Meneer tak lagi bernyawa: ia kena serangan jantung.

Dua tahun kemudian, orang komunis diberangus, dipenggal, ditembak dan dibuang

ke sungai. Bau anyir mayat mengundang mual. Aku tak mual, karena aku ada di

antara tumpukan mayat-mayat itu.

*Diterbitkan di Flash! Flash! Flash! Kumpulan Cerita Sekilas (Blogfam & Penerbit

Gradien, 2006); jumlah kata = 216

41

18. Ayu Utami dan AAC

Ada beberapa orang yang nanya ke saya: sudahkah membaca Ayat-Ayat Cinta (AAC)?

Saya selalu jawab belum. Kalau AAS (Ayat-Ayat Setan - Satanic Verses - Salman

Rushdie) dulu pernah baca tapi gak tuntas. Katanya juga, filmnya sudah beredar di

Indonesia dan ditonton 3 juta orang. Sensasional kayaknya. Dan, ini bukti bahwa saya

kuper (ha ha).

Saya nemu komentar Ayu Utami mengenai AAC ini. Novel Ayu Utami yang saya

kagumi adalah Saman. Novel lainnya, seperti Larung, kurang 'menggigit'. Dalam

Saman, Ayu mendobrak pintu sastra yang kokoh, rapi, bersih dan keramat. Ia tidak

seperti itu: ia vulgar, apa adanya, sedikit 'kotor' dan ramai kritik. Sastra memang

seperti itu: membuka pergulatan, bukan memberi solusi. Yang memberi solusi

(khususnya happy ending) biasanya ya Hollywood. Kalau Bollywood? Ada lapangan,

ada lagu, ada pertempuran, ada hero, ada nangis (tapi kadang kocak juga).

Saya percaya Ayu Utami memberi komentar yang objektif mengenai AAC. Seperti:

Ayat-ayat Cinta itu novel Hollywood, novel yang akan membuat senang pembacanya.

Cara membuat senang itu dengan memakai resep cerita pop, misalnya berita happy

ending, katakan yang orang ingin dengar, jangan katakan yang tidak ingin didengar.

Nah kan ...

Cerita novel ini sangat laki-laki, memenuhi keinginan dan impian semua laki-laki untuk

dicintai banyak perempuan, yang perempuan istri pertama menyuruh dia kimpoi lagi.

Lalu penyelesaiannya untuk kompromi simpel, perempuan yang istri kedua mati.

Kalau dalam novel ini, kasus poligami disikapi dengan pengecut. Dalam arti, sebagian

besar perempuan tidak mau dipoligami. Bila pun ada, perempuan yang mau dipoligami

itu, biasanya mereka sebagai istri kedua, ketiga, atau keempat.

Kekuatan novel ini?

Judulnya kuat, ini mengingatkan pada Ayat-Ayat Setan, atau lagu Laskar Cinta.

Kemudian enak dibaca, dia punya keterampilan menulis. Tapi saya kira kekuatan Ayat-

Ayat Cinta ini adalah kemampuannya untuk menyenangkan, untuk mengkonfirmasi

apa yang dipercaya kebanyakan orang. Mental masyarakat itu merindukan orang

untuk masuk ke agamanya, kita senang bila ada yang masuk agama kita. Di sini, masuk

Islam, di Hollywood masuk Kristen.

Kelemahan novel ini?

Paling lemah, kalau menurut saya, adalah nafsunya pada kebenaran. Begitu bernafsu

untuk menunjukkan kebenaran. Tapi dia mengakui ini novel dakwah, jadi nggak masalah.

42

Benarkah? Mesti membaca sendiri kayaknya. Ada yang berbaik hati mengirimi saya?

hehe

43

19. Membaca BTJ

Urip iku mung mampir ngombe – Anonim

Sejak hari Minggu, saya baca buku Babad Tanah Jawi (Javaansche Rijkskroniek) yang

ditulis oleh WL Olthof tahun 1941. Bukunya berbahasa Indonesia dan saya beli ketika

pulang ke Jember. Awalnya agak membosankan, tapi begitu lewat 20 halaman, isinya

menarik. Isinya mengenai cerita raja-raja Jawa dan keturunannya, konflik dan

kesaktian. Makin ke belakang (tahun 1400an), mungkin karena sumber literatur mulai

lengkap, maka isi buku banyak dibumbui dialog dan catatan yang rinci.

Alasan tiba-tiba tertarik membaca buku ini ya karena akhir-akhir ini sering mikir

tentang "Jawa", budaya nenek moyang. Alasan lain ya karena dulu sempat membaca

cerita Amangkurat II yang kejamnya minta ampun (ia menghabisi 6000 orang

termasuk perempuan dan anak-anak di alun-alun kota dalam waktu setengah jam - ini

karena ia cemburu lantaran istrinya selingkuh dengan adik lelakinya). Katanya cerita

Amangkurat II ini ada di Babad Tanah Jawi. Tapi belum sampe ke sana sih. Jadi mesti

lanjut membaca.

Alasan lain lagi kenapa membaca buku ini karena ingin tahu cerita tentang Gajah

Mada. Tapi lumayan kecewa, karena cerita tentang Gajah Mada tidak banyak.

Mungkin karena Gajah Mada ini bukan raja kali... Namun, sekilas, penulisnya kagum

dengannya, tapi tidak hendak merinci lebih jauh. Mungkin keterbatasan data sejarah.

Beda dengan Langit Kresna Hariadi, yang menulis tiga jilid tentang Gajah Mada. Saya

sendiri pengen sekali beli buku-bukunya. Nanti kalau sudah pulang ke Jember, atau

main ke Batam :) Pertanyaan yang mesti saya jawab adalah: Gajah Mada ini orang

mana sih? Orang Jember ta? He he ... Soalnya hal ini sendiri masih kontroversi. Ada

yang bilang GM ini (bukan Goenawan Mohamad lho ya) orang Melayu, orang Jawa,

orang Myanmar, orang Mongolia, dan lainnya. Dan, kematian GM sendiri masih

sangat misterius. Katanya sih, dia konflik dengan Hayam Wuruk, lalu diasingkan ke

Probolinggo dan nyepi di dekat air terjun. Lalu lenyap. Atau kemudian bekerja di

BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) setempat hehe. Hush ... GM kok

diguyoni...

Ya begitulah, belum ada hasil membaca BTJ, kecuali bahwa pas tidur siang hari

minggu saya mimpi Raden Pajang merencanakan hendak membunuh Arya

Penansang. Gila! Sampe terbawa mimpi bo ...

44

20. Rumah Bambu

Tahun 1998 saya sempat main ke gang Kuwera, Yogyakarta. Ada rumah yang agak

tertutup di sana. Dari luar nampak sebuah ruang di tingkat dua yang penuh buku. Ia

tak memiliki balkon, dan hanya dilapisi kaca besar, terawang, sehingga orang bisa

mengintip tatanan buku di lemari. Rumah siapakah itu?

Dua tahun kemudian (2000) saya membaca Rumah Bambu. Buku ini berisi cerpen-

cerpen yang ditulis YB Mangunwijaya. Kemudian saya melanjutkan ke buku-bukunya

yang lain seperti Burung-Burung Manyar, dan beberapa biografinya, sehingga saya

"mengenal" YBM. Rumah di gang Kuwera itu rumah YB Mangunwijaya. Sayangnya, 1

tahun sebelumnya ia meninggal.

YBM ini unik: arsitek/engineer, pastor, pekerja sosial, agamawan, sosiolog

(antropolog), penulis dan banyak lagi atribut lainnya. Gus Dur bilang "Ia adalah

pemilik moral yang absolut." Desain rumah yang dibuatnya di Kali Code, Yogya,

memenuhi kriteria "rumah", layak huni, ventilasi dan pencahayaan yang baik dan

dibuat dengan bahan yang mudah didapat. Rumah-rumah itu dibangun untuk

penduduk tak mampu di sana. Ia juga terlibat dalam INTERFIDEI (lembaga dialog

antaragama).

Satu cerita dalam Rumah Bambu masih saya ingat: Rheinstein. Barangkali ini cerpen

paling panjang dalam buku itu (long short-story) dan ia bercerita tentang kebosanan,

kerinduan, keinginan, gairah, seks dan kesetiaan.

Tunggu ... ada suara petikan Dewa Budjana dan tiupan Embong Rahardjo dalam Early

Mornin' (album SAMSARA) ... indah sekali.

Seseorang dengan baik hati meng-upload potongan cerpen Rheinstein. (Potongannya

bisa dibaca di Yendi's Blog). Rheinstein menulis tentang perempuan. Kadang ia muak

dengan kesetiaan:

Jangan tanya. Kesetiaan memang memuakkan. Makanya setiap pagi aku muntah-

muntah, persis seperti perempuan hamil yang mengidam untuk mencium aroma

lelakinya. Pun hanya selembar kemejamu yang tertinggal. Ya, kesetiaan memang

membuat mual. Apalagi setiaku tumbuh merambat seperti tanaman di dinding

lumut. Liar dan menjalar.

Tapi kadang ia membuktikan kesetiaan dengan menunggu:

Tepat di pukul empat, aku pasti menunggu. Menunggu memang bisa membunuh,

seperti yang kurasakan. Tepat pukul empat, tubuhku seperti ditusuk-tusuk ratusan

jarum. Rasanya aneh. Pertama geli, lalu aku mulai kejang karena kesakitan dan

disambung perih yang tanpa jeda. Begitu setiap hari sampai menjelang malam,

rasa itu akan hilang dengan sendirinya dan aku jadi terbiasa.

45

Untungnya, menungguku adalah bagian dari setia padamu. Jadi perih itu bisa

kunikmati. Karena kesetiaan hakikinya memang indah. Kalau istilahmu, cantik.

Cantik itu setia. Cantik itu menunggu. Aku ingin cantik di matamu jadi aku setia

dan menunggu. Menunggu waktu berbaur dengan harapan dan mungkin

ditambah setengah tetes doa, bisa jadi mantra untuk hidup bahagia.

Lalu ia membuat pengakuan

Tapi aku mau membuat pengakuan. Pernah aku hampir menyerah kalah. Saat

tubuhku mulai kebal dari rasa perih dan cecap darah di sudut bibir justru terasa

manis. Aku menangis meraung-raung. Kugigiti tubuhku sendiri. Semalaman. Aku

tidak ingin menunggumu lagi. Aku bosan, dan aku mulai terbunuh oleh setiaku

sendiri. Tersiksa sekali rasanya. Mungkin karena aku manusia. Bukan titisan

Drupadi yang punya kesabaran tanpa batas cakrawala atau kekuatan seperti milik

Mutjingga2 yang bisa menyatukan segala roh dan membuatnya terlahir kembali

dengan suci. Tapi untung saja aku kembali terjaga dalam setiaku. Dalam

menunggumu. Kembali kuperca kain yang kali ini kupilihkan dengan warna biru

awan. Agar kamu tahu bahwa kesetiaanku hanya langit batasannya.

Dan ia hanyalah perempuan ...

Aku perempuan. Dan hanya kesetiaan yang bernilai untuk kupersembahkan

padamu. Bukan gerai rambut yang kuronce dengan melati atau tarian srimpi yang

kutarikan dengan cadar emas atau selembar dua daun mindi yang kubiarkan

kering agar aromanya menempel di tubuhku.

Aku perempuan dan terlanjur mencintaimu.

Seriously, bagaimana YB Mangunwijaya bisa begitu pandai membahasakan

perempuan? Bagaimana ia bisa berempati dengan perempuan lewat perasaan yang

terbahasakan? Sampai sekarang masih terkesan dengan cerpen dan kata-kata dalam

cerpen itu.

46

IV. SINGAPURA

47

21. Shonanto

Bukan, itu Shōnantō bukan nama Jawa, tapi kependekan dari Showa no jidai ni eta

minami no shima (pemendekan dengan metode gimana ya?) alias pulau di selatan yang

didapat di era kaisar Jepang, Showa. Shōnantō adalah nama lain Singapura.

Selanjutnya bisa dibaca di Wikipedia.

Empat puluh dua tahun silam (+ dua hari) Singapura merdeka dari Malaysia. 9

Agustus. Negeri yang disebut punya anomali antropologi (sebuah pulau yang

dominan imigran China di antara “raksasa” Melayu) ini bisa mengatur dirinya sendiri.

Dalam sebuah buku (lupa judulnya, tapi risalah serius seorang ahli politik-ekonomi

Asia), Singapura adalah satu-satunya negeri di ekuator yang punya GDP tertinggi.

Dalam hal kemakmuran, ia juga anomali. Titik merah ini agresif dalam ekspansi bisnis;

ia juga punya kualitas layanan keuangan yang fleksibel sekaligus terpercaya; ia punya

cita-cita besar; tapi ia juga diatur dengan sistem politik demokrasi terpimpin.

“Demokrasi” ada karena ada kompetisi partai dan pemilu, “terpimpin” karena bak

seorang raja yang infalibel, perdana menteri punya kuasa penuh atas segala aspek

Singapura. Presiden hanyalah simbol. Yang lebih aneh lagi: ada tiga perdana menteri

di pulau berpenduduk 4.5 juta ini (perdana menteri, menteri senior dan guru menteri).

Peran ketiganya sama, yaitu mengatur negara, dan punya wilayah otoritas sendiri.

Jangan belajar politik di Singapura karena tak menarik.

Dua hari lalu ada National Day Parade. Suatu peringatan besar-besaran. Di teluk

Marina itu, merah di mana-mana. Saya tak menonton karena fobia keramaian (halah!).

Tidak ada yang istimewa, kecuali bahwa ini (katanya) pesta kemerdekaan terbesar

48

dalam sejarah Singapura. Tapi teman saya mengutip LKY: setiap kembang api yang

meledak selalu diiringi bau uang yang terbakar (begitu parafrasenya). Dan uang itu

adalah uang rakyat — yang bulan lalu berkontribusi untuk kenaikan gaji perdana

menteri, dan terkena kenaikan pajak jadi 7%. Tak ada yang sensitif. Karena yang

sensitif pasti kena Al-Sensor.

Selamat ulang tahun Singapura. Kowe oleh sedho sak marine aku sedho.

49

22. Bekupon: Tentang „Rumah“ di Singapura

Di Singapura, (katanya) 80% keluarga hidup di HDB flat. HDB ini badan pemerintah

yang mengurusi perumahan rakyat. Di Indonesia HDB ini barangkali mirip dengan

Perumnas. Pemilik HDB flat memiliki rumah, tapi tak memiliki tanah. Bilik dibatasi

oleh dinding. Kemudian tetangga ditumpuk di atas dan di bawahnya. Lalu disediakan

lift supaya tak penat naik turun tangga, terutama jika flat-nya sampai 30 lantai. Air dan

listrik tersedia (kemudian disebut “PUB” alias Public Utility Board). Tapi jangan lupa

bayar tiap bulan.

Enam bulan pertama di Singapura saya hidup di HDB flat. Lewat sebuah agen

perumahan (calo atau makelar), saya mendapatkan rumah itu.Bangunannya lama, dan

lift hanya berhenti di lantai 1, 6 dan 11. Total 12 lantai. Kanan-kiri flat dilingkupi

pohon rindang. Jadi, kadang ada burung jalak (Tiong bird) atau gagak yang bertengger

di jendela. Ruangannya sungup alias gelap berlembab. Arah bangunan tak utara

selatan, jadi tak kebagian matahari. Angin lumayan kencang. Bila hujan tiba, dan lupa

menutup jendela, beceklah dapur dan kamar.

Kini saya pindah ke HDB flat di wilayah lain. Lebih bersih, lebih baru, dapat banyak

matahari dan angin. Daerahnya seperti pinggir kota. Ayah saya bilang: “Iki luwih sepi

timbang Bondowoso.” Tapi saya suka tinggal di sini. Memang mirip Bondowoso, tapi

supermarket (plus kedai kopi, ATM) tinggal selemparan batu (dengan syarat

nglemparnya harus kayak nglempar granat ~ 100 m).

Mari loncat ke Surabaya. Ketika kecil saya sering ke tempat paman di tengah kota

Surabaya. Rumahnya kecil dan berdempetan dengan tetangga lain. Maklum,

rumahnya model kampung. Di sana, banyak sekali orang memelihara burung merpati.

Sebagian dipelihara untuk kontes. Burung-burung itu dipelihara dalam rumah kecil di

atas tiang, dan dikenal dengan nama bekupon. Nama lainnya pagupon. Kadang ada

yang tumpuk-tumpuk 3 lantai.

HDB flat ini mirip dengan bekupon. Tapi tentu lebih canggih: penghuni flat lebih

pandai internetan. Tinggal di condo hampir tidak ada beda. Kecuali mereka punya

sarana olahraga seperti kolam renang dan gym. Selebihnya ya ditumpuk. Kalau

merpati bisa ngomong dan punya anatomi mirip manusia, barangkali dia juga mesti

bayar PUB.

50

23. Fabian Fobia: Tentang Anak di Singapura

Phobia terhadap ketinggian, ruang yang luas dan laba-laba barangkali biasa. Yang

lebih biasa lagi adalah phobia terhadap bos. Kalau phobia terhadap tetangga umur 7

tahun, nah ini luar biasa. Istri saya mengidap ini.

Fabian adalah nama anak ini. Seorang murid SD kelas 2 tapi tak pandai membaca. Dia

suka menyapa dan kadang berdiri di depan rumah dan berkata “Can I come to your

house?”. Tentu kami mempersilakan masuk. Dia kemudian main dengan anak kami.

Ada yang unik: tata kramanya beda. Dia tanpa permisi langsung masuk ke kamar

tidur, naik ke box bayi, lalu lari ke dapur, membuka kulkas dan minta ijin untuk

minum susu. Lama kelamaan tingkah lakunya menjengkelkan: jika ia ingin makan

cereal ia langsung bilang “Hey, I want this.” Dia juga suka berbohong kepada kakek-

neneknya: “Please don’t tell my Ah Kong that I eat this, OK?” Dia tak boleh makan coklat

di rumahnya, tapi kami tetap memberinya karena tidak tega (tidak tega membiarkan

ompongnya cuma dua hehe). Dia juga tak kenal waktu jika ingin main. Jam 8 pagi

sampai jam 8 malam. Akhirnya kadang kita suruh dia pulang alias usir dengan alasan

“Baby wants to sleep…” atau “We’re going out in a minute…” Dia juga pernah tertangkap

basah mau mengantongi mainan. Klepto. Kadang-kadang kami mendengar ia

bertengkar dengan kakeknya dan saling bentak. Ribut banget deh.

Singkatnya: arek iki nggapleki pol…

Dengan anak kecil yang lain, istri saya tidak phobia. Cuma sama Fabian aja dia phobia.

Barangkali dia phobia dengan tingkah laku yang menjengkelkan itu. Kenapa ya anak

kecil kok bisa berperilaku begitu? Kami tak habis pikir. Tapi kami tidak menyerah:

kami menyimpulkan bahwa dia anak yang kekurangan kasih sayang orang tua. Dia

tinggal dengan kakek-neneknya, dan orang tuanya datang seminggu sekali (woi ini

Singapore gitu lho … koyok Surabaya-Jember wae!). Dia juga jarang diajak bermain ke

rumah orang dan diberi petunjuk mengenai sikap-sikap baik ketika bertamu. Jadi ya

begitu main ke rumah orang ia seenaknya sendiri.

Ini salah siapa coba?

51

24. Muram: Tentang „Ekspresi“ di Singapura

Setiap pagi saya jalan kaki ke bus interchange. Jika antrian bus sepi, saya bisa memilih

tempat duduk yang strategis; tempat di mana saya bisa melakukan “people watching”

yang diskontinu dan agak invisible. Perilaku ini sebenarnya mengganggu bagi orang

lain. Siapa yang suka diam-diam diamati makhluk lain? Tapi ini jadi kebiasaan. Saya bisa

melihat sesuatu yang konstan di Singapura: wajah muram.

Apa sebab seseorang berwajah muram di pagi yang segar? Umumnya karena ngantuk;

sebab lain: tumpukan tugas dan kerja yang menanti; alasan lain: setelan mulut sudah

demikian murung; coro londo-nya: life sucks!

Saya pernah bertanya kepada seorang kawan yang energik dan ceria: Are you happy

here? Jawabannya ekspres: No! Apa pasal? Ia lalu mendadak muram dan berjalan

gontai: semua perlu uang, bayar ini bayar itu, sedangkan gaji kecil. Jika memang

demikian: life barangkali memang sucks.

Hidup itu “menghisap” seperti lintah. Tapi apakah “kita” dalam “hidup”? Kemudian,

siapakah “lintah” itu? Seperti mengejar ekor sendiri, sumber kemuraman adalah kita

sendiri.

Seorang kawan pernah dikenal sebagai source of happiness di Singapura yang muram.

Dia mencari masalah, kadang juga sial tertimpa masalah, jadinya penuh masalah.

Harusnya ia muram. Tapi tidak. Ia selalu ceria. Kenapa demikian? Singkat saja: aku tak

punya pilihan lain selain menjadi ceria; ini untuk anakku; sebaiknya ia tak melihat aku

murung; aku ingin ia selalu melihat ayahnya ceria. Apakah ini berbohong pada diri

sendiri? Iya, tapi itu tak soal baginya. Karena hidup hari ini lebih bermakna jika kita

berbuat baik pada dua orang: diri kita sendiri dan seseorang yang kita cintai. Naif

barangkali. Tapi hasilnya positif.

Setiap pagi saya naik bus. Lewat pintu yang terbuka otomatis dan bunyi “teeeet” kartu

bus yang ditempel, wajah muram masuk berurutan. Inilah Singapura. Jangan heran.

52

25. Adzan di Singapura

Adzan adalah pengingat dan panggilan bagi muslim supaya sembahyang. Bagi saya,

yang pernah hidup 25 tahun di Indonesia (di mana adzan adalah lantunan yang

terjadwal), adzan adalah bukti pemerintah yang tak represif terhadap agama meski

Indonesia cenderung sekuler. Di Bondowoso, kota masa kecil saya, lonceng gereja juga

diperbolehkan berdenting tiap hari minggu. “Panggilan” massal untuk berdoa ini tak

mengganggu; malah memperkaya bunyi di keseharian.

Lain halnya di Singapura. Seberapapun besar masjid dibangun di sini, tak 1 dB-pun

bunyi adzan boleh dilantunkan. “Menganggu ketenangan,” kata seseorang. Meski

muslim perlu pengingat sholat yang unik seperti adzan, tapi karena pemerintah tidak

memahami esensi “adzan” maka adzan dilarang bunyi. Karena minoritas maka

muslim di Singapura diam saja. Bergeming. Diam juga pilihan dan mereka

membunyikan adzan lewat speaker dalam ruangan masjid saja: tak sampai keluar.

Satu-satunya (mungkin) masjid yang boleh membunyikan adzan adalah masjid Sultan

di sekitar Arab Street. Masjid Sultan adalah masjid tertua kedua di Singapura dan

dikategorikan national heritage. Oleh sebab itu, ia mendapat perkecualian.

Masjid Sultan, Kampung Glam, Singapura

Yang diijinkan berbunyi di Singapura, antara lain: bunyi memekakkan seperti creng-

creng dan tabuh-tabuhan yang mengiringi barongsai, lagu-lagu ketika ada perkawinan

Melayu, pukulan kayu sekelompok penyembah api yang berjubah putih seperti Ku

Klux Klan (ini pernah saya saksikan sendiri di Bukit Panjang - entah agama apa), dan

lainnya.

53

Sebentar lagi puasa. Saya sebenarnya kangen sekali dengan adzan. Di Bondowoso,

sebelum buka puasa atau imsak, adzan dibunyikan setelah bunyi sirine branwir

selama 1 menit.

Akhir kata: adzan pun kena “sensor” di Singapura.

54

26. Ras

Di bawah selubung kota yang teratur diatur dan taat hukum (karena denda), orang

Singapura “terbiasa” dengan (dan dibiasakan ber-) corak pikir rasis. “Are you

Chinese? Are you Malay? Are you Indian?” terdengar rutin (selama 5 tahun hidup di

Singapura). Ras ditulis jelas-jelas di kartu identitas. Untuk apa? Untuk membedakan

hak dan kewajiban tentunya. Terdengar klasik? Iya. Dan di sana tumbuh purbasangka

ras di benak setiap penduduk Singapura. Menyedihkan. Padahal sebuah nasion yang

besar adalah nasion yang terbentuk oleh mozaik etnik yang kemudian melebur dan tak

dipertanyakan lagi: sebuah negeri yang barangkali utopia (meski Amerika atau

Indonesia) tengah berjuang ke arah sana. Tapi tidak Singapura.

Saya membaca “Minoritas” yang ditulis Goenawan Mohamad beberapa waktu lalu.

“Minoritas” didasarkan pada apresiasi tari masyarakat Papua berjudul “In front of

Papua” di mana keserempakan gerak, laku yang jenaka dan sayu, serta tata tari

(koreografi) yang rapi adalah inti dari pertunjukan. Sekali lagi: apresiasi. Seorang

penonton (Singaporean) lalu bertanya: “Apakah ini tarian dari kebudayaan

minoritas?” Orang Singapura tak akan terkejut mendengar pertanyaan ini; malah

makin penasaran. Tapi orang Indonesia menilai sebaliknya.

Tari Irian (sumber: travel.webshot.com)

Kemudian GM menulis panjang lebar:

“Minoritas” — tak seorang pun di Indonesia akan menggunakan kata itu buat orang

Papua, ataupun sebuah suku kecil sekalipun di pulau itu. Tapi saya kira saya tahu

mengapa orang ini bertanya demikian. Seperti kebanyakan orang Singapura, ia

55

terbiasa hidup dengan ruang yang tak bersentuhan langsung dengan alam. Ia mudah

melihat ekspresi yang “primitif”, “eksotik” – yang praktis tak ada di London atau New

York — sebagai sesuatu yang terpencil, ganjil, dan nyaris hilang. Modernitas ada di

mana-mana; yang beda dari itu adalah “minoritas”.

Barangkali GM masih halus. Tapi “mayoritas” dan “minoritas” dalam benak orang

Singapura adalah ekspresi tak sadar (unconsciousness) yang kerapkali muncul di mana

saja termasuk di warung kopi. Ras menjadi penting - sepenting antri membeli lotre,

membayar CPF, merangsek dalam antrian bus kota (dan bergaya kiasu).

Dalam hal pertunjukan tari itu, kita sebaiknya hanya mengharapkan satu dari

Singapura: menyediakan panggung dan sound system yang apik. Mengharapkan

apresiasi tari? Next life maybe … ketika reinkarnasi tak menjadikannya tuna-seni.

56

27. Rokok

3 May 2007

Rokok, tak peduli di Singapura yang sepi senyum maupun di Jakarta yang ramai Bajaj,

adalah komoditi yang mudah ditemui dan dihirup. Variannya pun banyak rupa,

namun metode menikmatinya tetap sama: disulut-dihisap-dihembuskan. Yang khas

dari rokok adalah "tekstur" fluida (tekstur ini diindikasikan dengan mudah oleh kata

"halus", "kering" dan "kasar"), rasa, aroma dan kepekatan. Semua bersumber dari

tembakau, filter dan bumbu tambahan lain seperti cengkeh. Selain kerapkali dijadikan

alasan sebagai penghilang stress, rokok adalah sumbu pertemanan; ada manfaat sosial

di sana, meski dalam jangka panjang, rokok dikategorikan pembunuh terbesar ketiga

di dunia.

Di Singapura, jumlah perokok pernah mencapai 18% pada 1992. Namun, angka ini

kemudian turun menjadi 12% tahun-tahun belakangan ini. Kurang lebih 540 ribu

orang merokok sekarang ini; dan statistik menyebutkan bahwa mayoritas perokok

adalah laki-laki (mungkin tak hanya konteks Singapura, di dunia pun laki-laki adalah

gender mayoritas perokok).

Mengapa jumlah perokok menurun?

Merokok itu mahal di Singapura. Bayangkan ini: uang yang digunakan membeli

rokok satu pak selama sebulan (~ S$ 300) di Singapura cukup untuk menggaji seorang

profesor di ITB yang telah mengabdi hampir 30 tahun. Sedangkan di Indonesia,

dengan uang S$ 300 itu kita bisa membeli hampir 300 pak.

Ruang perokok dibatasi. Dulu, di setiap kedai atau pun bar, setiap orang boleh

merokok. Kini, di setiap restoran atau kedai, hanya 10-20% meja yang boleh digunakan

sebagai "pojok merokok". Tempat (sampah) untuk mematikan puntung diperbanyak

jumlahnya di jalanan.

Kotak rokok dengan organ rusak yang "memukau". Di Indonesia, kotak rokok cukup

"sopan" dalam mengingatkan perokok. Paling tidak ada tulisan ini: "Merokok dapat

menyebabkan gangguan jantung, paru-paru dan kehamilan" dan sejenisnya. Tapi di

Singapura, selain mencantumkan kandungan nikotin dan tar serta tulisan semacam itu,

foto organ (leher, jantung, gigi, gusi) yang hancur rusak dan berdarah ditampilkan

dengan "memukau". Orang jadi segan membeli rokok; tapi mereka tak kekurangan

akal. Setelah memindahkan isinya ke kotak rokok pribadi (cigarette case), kotak

"artistik" itu dibuang.

***

Tahun 2003, penggemar Garpit (Gudang Garam International) masih bisa menemui

rokok Indonesia ini di Clementi. Rasanya sama persis dengan yang ada di Indonesia

(berat, tebal dan manis), meski kandungan tar dan nikotin (barangkali) dibuat rendah.

Setahun kemudian, rokok ini lenyap. Penyebabnya? Entahlah. Ia hilang begitu saja dari

peredaran dunia rokok.

57

Extinction is forever. Conserve now!

Oleh sebab itu, saya selalu berterima kasih (jika mungkin sambil membungkuk-

bungkuk a la Jepang) jika ada orang yang membawakan saya Garpit meski hanya

sekotak.

58

28. Orang Bawean di Singapura

Apakah itu “Boyan”?

Pada bulan Desember 2005, seorang kawan menawarkan roti “boyan” kepada saya.

Alih-alih menikmatinya, saya jadi bertanya: apakah “Boyan” itu? Dijelaskannya bahwa

“Boyan” adalah nama lain Bawean, sebuah pulau di dekat Surabaya. Bagaimana

“Bawean” bisa menjadi “Boyan”? Hal ini mungkin disebabkan oleh absorbsi bahasa

yang menyebabkan ketidakaslian bentuk kata yang umum terjadi pada jaman dulu

(sebagian orang menyebutnya ‘korupsi kata’). Nama “bawean” sendiri diberikan oleh

orang-orang Majapahit (kerajaan Hindu terbesar di Jawa) pada abad ke 13 yang berarti

“matahari terbit”. Karena orang Bawean (atau Madura) mengganti huruf “w” menjadi

“b” maka kadangkala Bawean ini disebut Bebien (“e” dibaca seperti ‘benar’).

Ketika kecil, sewaktu saya masih tinggal di Probolinggo, sebuah kota 100 km di timur

Surabaya, nenek saya kadang bercerita mengenai pulau-pulau di utara Jawa, seperti

pulau Gili, kepulauan Karimun Jawa, pulau Bawean dan lainnya. Baginya, beberapa

pulau ini adalah tempat ziarah ke makam-makam kyai (seorang pemuka muslim yang

biasanya memiliki pesantren atau perguruan agama). Kyai yang terkenal di Bawean

adalah almarhum Kyai Maulana Umar Mas’ud. Pada awal 80an itu, pulau-pulau kecil

ini masih tak memiliki listrik yang memadai. Listrik hanya dinyalakan pada jam-jam

tertentu dan di tempat tertentu, karena listrik dibangkitkan oleh mesin diesel.

Pulau Bawean masuk ke dalam kabupaten Gresik tahun 1974; sebelumnya, pulau

Bawean masih bagian dari Surabaya. Letaknya 120 km di utara Gresik. Pulau ini dapat

dicapai dengan menggunakan kapal express (ferry) selama 3 – 6 jam. Pulau Bawean

sedikit lebih luas daripada pulau Singapura. Namun, penduduknya hanya berjumlah

65000. Pulau ini dibagi menjadi dua kecamatan (district), yaitu Sangkapura dan

Tambak. Sangkapura terdiri dari 17 desa, yaitu Desa Sawahmulya, Kota Kusuma,

Sungaiteluk, Patarselamat, Gunungteguh, Sungairujing, Baliktetus, Daun, Kebunteluk

Dalam, Sidogedung Batu, Lebak, Pudakittimur, Pudakitbarat, Komalasa, Suwari dan

Deka-Tagung. Sedangkan, Kecamatan Tambak meliputi 14 desa, yaitu Desa Tambak,

Telukjati, Dedawang (Dhedhebeng), Gelam, Sokaoneng, Sukalila, Kalompang Ghubuk,

Pakalongan, Tanjunguri, Grejek, Paromaan, Diponggo, Kepuhteluk dan Kepuhlegundi.

Bahasa Bawean

Seorang kawan dekat di Singapura kebetulan keturunan Bawean, dan ayahnya pernah

memiliki band yang tersohor di tahun 1950-60an, namanya “La Obe”. Suatu hari saya

ingin tahu apakah bahasa Bawean ini lebih mirip bahasa Jawa, bahasa Madura, atau

campuran keduanya. Saya bertanya dalam bahasa Madura, dan ayahnya membalas

dalam bahasa Bawean. Ternyata bahasa Bawean ini mirip sekali dengan bahasa

Madura! Tingkat kemiripannya barangkali lebih tinggi dibanding Bahasa Melayu dan

Bahasa Indonesia. Diceritakannya bahwa orang-orang Bawean yang datang ke

Singapura dulunya berpencaharian sebagai ahli agama, guru silat dan pedagang

“ilmu”. Menurut sejarah, memang benar bahwa kesenian yang paling menonjol di

Bawean adalah kesenian pencak silat. Hingga kini, kesenian ini masih dilestarikan.

Merantau

59

Secara historis, mayoritas masyarakat Bawean adalah nelayan. Dari pekerjaan ini, jiwa

mereka secara praktis adalah perantau, yang berhari-hari berlayar, kemudian pulang

sambil membawa uang hasil penjualan ikan. Jiwa merantau dan berdagang ini menjadi

turun-temurun dan menentukan garis hidup keturunan mereka juga. Setiap lelaki di

pulau Bawean dirasa “wajib” untuk merantau, meski mereka telah menikah.

Orang Bawean di Singapura

Dalam artikel yang cukup komprehensif, The Baweanese (Boyanese), yang ditulis oleh

Nor Afidah Abd Rahman dan Marsita Omar, sensus penduduk pertama kali mencatat

adanya orang Bawean tahun 1849. Antara tahun 1901 – 1911, populasi orang Bawean

di Singapura makin meningkat. Hal ini disebabkan oleh pajak yang terlampau tinggi

yang dikenakan Belanda kepada inlander (penduduk asli) di Hindia Belanda (Indonesia

sekarang). Di tahun-tahun itu, dicatat bahwa ada dua perusahaan transportasi yang

melayani migrasi penduduk dari Bawean ke Singapura, yaitu Dutch Koninklijke

Paketvaart Maatschappij (Belanda) dan Heap Eng Moh Shipping Company (Singapura).

Populasi orang Bawean makin meningkat ketika pendudukan Jepang antara tahun

1942 – 1945 karena penjajahan ini menyebabkan kelaparan dan kemiskinan yang parah.

Setelah 1945, arus masuk imigran diperketat di Singapura dan Malaysia. Sebagian

orang Bawean berbelok ke Tanjung Pinang dan Riau.

Ketika Inggris membangun pacuan kuda tahun 1842, mereka menyewa orang-orang

Bawean sebagai pekerja konstruksi untuk membangun Race Course lama, atau Turf City

masa kini. Karena berbakat melatih kuda, orang Bawean akhirnya dipekerjakan

sebagai pelatih kuda pacuan. Sebagian dari mereka tetap bekerja sebagai pelayar

(seamen). Namun ada pula yang bekerja sebagai sopir untuk tuans dan mems, perawat

kebun, pegawai pelabuhan dan sopir bullock-cart.

Antara tahun 1840an hingga 1950an, orang Bawean banyak yang bermukim di

Kampong Boyan (kini bernama Kampong Kapor). Mereka membangun pondok

(ponthuk, dalam bahasa Bawean) sebuah rumah yang digunakan untuk bersosialisasi

dan tempat menampung pendatang Bawean yang baru. Komunitas ini dipimpin oleh

Pak Lurah. Secara literal, Pak Lurah berarti kepala kampung atau kepala desa (the chief of

the village). Istilah ini sekarang masih dipakai secara luas di Indonesia.

Banyak dari masyarakat Bawean di Singapura akhirnya menikah dengan etnis lain

seperti Melayu, Jawa, Bugis dan lainnya. Peleburan ini menyebabkan identitas

keturunan mereka secara praktis disebut “Melayu”. Namun, ada juga yang masih

menggunakan garis etnis ayah, sehingga tetap beretnis “Boyan”. Seperti halnya

keturunan Jawa di Singapura, sedikit sekali generasi muda Boyan yang menguasai

bahasa Bawean, atau Madura. Sebagian dari mereka cukup mengenal beberapa kata,

atau mengerti sedikit beberapa kalimat. Hal ini cukup wajar, mengingat bahasa

Bawean tidak dipakai sehari-hari di sini.

Generasi tua keturunan Bawean di Singapura kadang masih mengunjungi sanak

saudara di pulau Bawean. Namun, beberapa waktu lalu saya menemukan sebuah

artikel pribadi yang ditulis oleh generasi muda keturunan Bawean. Ia ingin sekali ke

Bawean, meski hanya sekali seumur hidupnya. Sama halnya dengan bahasa, jika

60

kultur Bawean ini mirip dengan Madura, maka setiap saudara itu adalah saudara

dekat. Sehingga perlakuan mereka terhadap saudaranya (meski hubungannya jauh

sekalipun) sangat-sangat akrab. Ini ciri khas orang Madura yang juga saya amati di

pulau Jawa.

61

29. Big Bro Congrat

Kata Cincai "Big Bro Congrat" (Mas Selamat maksudnya) feng shui-nya bagus: karena

ada "selamat" nya, makanya ia gak ketemu-ketemu. Sudah lebih dari 40 hari

pemerintah Singapura berlagak bingung. Padahal, Ketua Jamaah Islamiyah (JI) capem

Singapura ini dingklang, ditambah lagi negara ini kan sak ipet, kecil banget. Mana

mungkin orang bisa susah ditemukan. Kalau di Indonesia barangkali memang sulit

ditemukan.

Foto MS ada di mana-mana, termasuk tembok pintu masuk kantor. Di pintu keluar bus

kota pun ada tempelan wajah MS. Persis jaman Wild Wild West dengan foto kartun

bandit, tinggal ditulisin "WANTED" dan sekian ratus dollar buat hadiahnya. Fotonya

seperti ini:

MS kini jadi seleb tanpa sinetron, tanpa nyanyi, tanpa jadi MP (member of parliament).

Ia tak membuat policy, tapi ia membuat orang Singapura jadi bertanya: pemerintah

kok kesulitan sih cari-cari dia? Dan, di koran tidak ada rekonstruksi proses lepasnya

MS dari sel di daerah Whitley. Kalau di Indonesia, TEMPO biasanya langsung

membuat denah ruangan, plus proses lepasnya buronan. Yah, semua kan disensor di

Singapura. Lalu, Guru Menteri langsung bilang bahwa kita ini terlalu berpuas hati

(complacent). Sudah puas dengan fasilitas Singapura, lalu teledor dan maling bisa lolos.

Lho, kok jadi "kita"? Polisi yang jaga gimana? Barangkali udah dipecat kali ya ... trus JI

cabang Singapura ini gimana kelanjutannya tanpa MS? Pasti ada penggantinya dong ...

ditangkap juga? Entahlah.

Eh ada juga yang bilang kalau MS sudah diserahkan ke AS dan aksi-bingung-bingung-

cari-dia di dalam negeri ini cuma nutup-nutupi bahwa ia sengaja dilenyapkan. Lama-

lama kan orang juga lupa. Sudah lebih dari 40 hari lho. Sampai berapa lama lagi kita di

ambang amnesia MS? Dan lagi, emang hidup cuma MS doang? Apalagi sekarang

harga makanan naik, harga minyak goreng naik. Semua naik. Yang gak naik cuma gaji

kayaknya.

62

MS ... In any way, congrat ... ! Kamu tak perlu membayar CPF lagi ...

63

30. O$P$

Minggu pagi ini, karena gak lanjut molor, saya ke kopitiam (hokkien: kedai kopi) di

sebelah rumah untuk beli nasi lemak dan teh tarik. Saya juga menemani Olit dan

mamanya ke playground. Di dalam lift, saya menemukan contoh vandalisme yang,

sepertinya, umum di Singapura. Seseorang menuliskan: nomor rumah, "O$P$" dan

nomor telepon di dalam lift. Sebelumnya saya juga menemukan tulisan ini di tembok

(tapi mungkin nomor rumah dan nomor telepon yang berbeda; lupa). Tulisan di lift ini

bisa dihapus karena hanya memakai krayon. Kalau di tembok, biasanya mereka

memakai spidol (jadi harus dicat ulang). Ukuran hurufnya besar, sekitar 30 cm

vertikal. Pada 2003, saya juga pernah menemukan tulisan ini di tembok flat di wilayah

Clementi. Dan, barangkali ini hanya terjadi di lingkungan flat saja, tidak di condo atau

di private houses.

Apa itu O$P$? Itu artinya "Owe Money, Pay Money". Seseorang yang berhutang telah

terlambat melakukan pembayaran. Tentunya tidak kepada bank, tetapi kepada Ah

Long (moneylender di Malaysia dan Singapura). Dan tulisan itu ditujukan untuk

memperingatkan penghutang, sekaligus mempermalukannya di depan tetangga.

Mempermalukan? Saya sendiri tidak mengenal siapa yang tinggal di lantai 12 itu.

Seorang kawan pernah mengatakan, jika keterlambatannya berlarut-larut, ah long

biasanya mengunci pintu pemilik rumah dari luar dengan grendel dan rantai yang

besar. Penghutang jadi terkurung dan panik sesaat (setelahnya, mereka bisa menelpon

tukang kunci sih).

Ah Long ini sudah jadi bulan-bulanan polisi, dan banyak yang tertangkap. Ada juga

penghutang yang berhasil ngibulin loan shark dengan cara berikut: pinjam uang, lewat

masa pembayaran, digedor ah long, kemudian melaporkan ke polisi; polisi

nyanggongin rumahnya, lalu menangkap loan shark; uang barangkali dikembalikan

karena tidak banyak. Ngibulin ini cukup berisiko. Bisa-bisa dipukulin atau malah

dibunuh sama loan shark. Tidak, tidak. Singapura cukup ketat dalam hal kekerasan.

Jika ada yang bertengkar, siapa yang mukul duluan itulah yang masuk sel; bukan yang

sebenarnya salah. Apalagi membunuh. Bisa di-dor di tempat oleh polisi, tanpa

pengadilan; hanya dengan praduga bersalah.

64

Utang yang melilit di Singapura biasanya buah dari berjudi dan dari bunga yang

terlampau tinggi. Jika sudah begini maka hutang menggunung. Dan bank tidak akan

dengan mudah meminjamkan uang ke orang yang catatan account-nya tidak sehat.

Jalan lain adalah meminjam ke saudara. Jika sudah mentok, maka pinjam ke ah long.

Dan jika tak sanggup membayar ah long, ia dipermalukan lewat tulisan dalam lift itu.

Oh utang ...

65

V. TEKNOLOGI

66

31. Dari Pesawat ke HDD: Nyambungnya Di Mana?

Berapa banyak orang yang profesinya benar-benar nyambung dengan kuliahnya dulu?

Jika membicarakan jurusan teknik, barangkali jawabnya: sedikit sekali! ITB barangkali

lupa mencatat apa yang kini dikerjakan oleh tiap angkatan di ITB, yang jumlahnya

sekitar 2000 orang, dan 4-5 tahun dari detik itu mempelajari bidang teknik, sains, seni

dan desain. Sebagian mungkin masih konsisten di bidangnya (barangkali juga karena

mereka dosen atau peneliti!), tapi sebagian besar barangkali mencangkul di ladang lain

— yang lebih menarik , sesuai bakat, menumbuhkan passion dan, tentunya, lebih

subur duitnya.

Di teknik penerbangan ITB, yang didirikan tahun 1962 di bawah jurusan mesin, setiap

mahasiswa “dicekoki” pelbagai ilmu penerbangan (mekanika terbang, sistem kendali,

mekanika bahan, perawatan, perancangan pesawat, pengendalian satelit,

aerodinamika, statistik, aeroelastisitas, kalkulus lanjut dan lainnya). Mahasiswa diberi

bekal matematika yang (katanya) lebih advanced dibanding jurusan lain; mahasiswa

dituntut berpikir logis dan terintegrasi ketika mengerjakan perancangan pesawat;

mahasiswa diminta rajin mengerjakan PR dan teliti dalam menghitung (sampai tiga

digit di belakang koma). Ada yang kandas dan mutung, sehingga dropped-out atau

mengundurkan diri. Ada juga yang terseok-seok, dan memompa diri untuk lulus. Ada

juga yang berprestasi sangat baik, sehingga bisa lulus doktor dari MIT. Macem-

macemlah…

Mereka yang lulus tentu bercita-cita bekerja di maskapai penerbangan, PTDI (ex IPTN)

dll. Tapi sayangnya, cita-cita mereka tinggal impian, terutama mereka yang lulus di

masa krisis ekonomi (1997 - 1998). Hingga 2003 (mungkin juga sampai sekarang?)

lapangan kerja bagi lulusan teknik penerbangan sangat sulit dicari; meski belakangan

akhirnya ada juga yang pergi ke Bandung, Jakarta dan Surabaya untuk bekerja di

pabrik pesawat dan maskapai. Namun bagi yang tidak bekerja di industri

penerbangan, hikmahnya: lulusan mesti kreatif mencari kerjaan lain. Ada yang jadi

penulis, ada yang menekuni bidang IT, ada yang kerja di perbankan (sedikit mirip

“penerbangan” kan? hehe), ada yang sekolah S2-S3, ada yang kerja di bidang

konstruksi dan bidang teknik non-penerbangan lain.

Saya termasuk yang murtad dari penerbangan dan masuk bidang hardware komputer,

yaitu hard disk drive (HDD). Bagaimana bisa ke HDD? Nyambungnya di mana

dengan teknik penerbangan? Setelah lulus dari NUS, saya lumayan confident dengan

pengetahuan FEM (finite element method) saya. Lalu saya melamar ke sebuah lembaga

riset (data storage technologies) sebagai ahli FEM. Meski “mainan”-nya bukan pesawat

lagi, melainkan HDD, saya punya tekad untuk belajar mainan baru ini. Saya belajar

dari web Storage Review dan Hitachi GST mengenai pengenalan HDD.

Hampir dua tahun saya di sana dan akhirnya saya memutuskan untuk terus berkarir

di industri HDD. Sekarang saya tak lagi mengerjakan FEM, tapi benar-benar meluas ke

teknologi servo, material, mekanika, recording physics, chemical, proses produksi,

hingga manufaktur HDD.

67

Saya mesti berterima kasih kepada FEM (yg sudah saya tekuni 6 tahun) sebagai alat

penyambung karir. Sukses buat teman penerbangan yang lain! Pasti banyak cerita juga

dari kalian!

Nyambungnya barangkali juga di gambar ini (link mohon dibaca supaya “nyambung”

idenya):

68

32. Perkoro Gawean

Beberapa minggu terakhir ini saya dapat tugas yang menarik sekaligus bikin frustrasi.

Tugasnya menarik karena baru bagi saya, melibatkan technical skill yang bikin tangan

kotor dan technically challenging. Yang bikin frustrasi: teman-teman kantor bilang

“That’s impossible!” dan belum pernah ada yang ngerjain di kantor. Rata-rata dari

mereka hanya bisa membongkar dan bikin HDD rusak; memakai spin stand. Apa

tugasnya? Membuat prototipe hard disk drive.

Mampus kon …

Bos bilang berkali-kali saya harus resourceful. Ngomong-ngomong, tugas ini

sebenarnya bukan tugas saya. Tapi karena beberapa staf yang seharusnya ngerjain ini

pada pindah kompeni atau sibuk berat, maka saya yang disuruhnya. Alasannya tidak

jelas; lan bos-ku iki pancen ora cetho kapabilitas ilmiahe (yo be’e pancen ora ndue). Penggawean

sing nggarai deweke munggah pangkat koyoke mikro-manajemen, dhudhu tulisan ngilmiah

sing akeh diwoco uwong liyo. Singapura pancen rodho ora jelas. Pokoke ndue gelar S3 terus

pinter ngecap (”mbujuk”), iso dadhi bos lho. Yen takon iso tuajem tenan tapi yo tetep ora ngerti

masalahe (takon nang di - nang di pancen guampil!). Alaaah … “c spasi d” … cepe de

ngomongin dia … (opo maneh jowoan hehe…)

Singkat kata: tiba’e yo ono wong ethok-ethok dadi scientist

Setelah frustrasi dua hari, beberapa teman datang membantu. Tapi mereka juga gak

tau mau bantu apa, lha wong sama-sama gak ngerti cara bikin hard disk. Kemudian

saya teringat kata-kata Habibie: “bermula di akhir, berakhir di awal”. Saya kemudian

menerapkan prinsip ini dalam mengerjakan “mission: impossible” saya.

(1) Ambil HDD baru, bongkar dengan hati-hati di clean room. Kembalikan lagi

komponennya. Waktu itu saya hanya mencopot disk lalu mengembalikan lagi.

Hasilnya: HDD masih berfungsi. Artinya: disk tidak sensitif terhadap setting baru baik

torque maupun sentuhan pada tepi outer diameter.

(2) Ambil disk dan suspension (aktuator yang bergerak-gerak membaca data) yang

baru. Bongkar HDD lalu pasang disk dan suspension itu. Head pasti bikin goresan

69

pada disk jika setting-nya tidak pas. Maka, saya mengatur ketinggian stacking disk-

nya. Nah, pengaturan ketinggian stacking disk ini adalah trik perusahaan hard disk,

yang pada akhirnya menentukan kemampuan terbang slider/head di atas disk yang

berputar. Putaran disk biasanya 4200 RPM, 5400 RPM dan seterusnya. Head/slider ini

biasanya dapat membaca data pada ketinggian belasan nanometer (1 nm =

1/1000000000 meter) . Untuk menentukan ini biasanya orang di kantor memakai spin-

stand; yang memakai HDD langsung belum ada.

Setelah saya cerita langkah-langkah yang saya kerjakan, dan langkah selanjutnya,

orang-orang di kantor bilang itu “possible”. Kok berubah pendapat? Hehe.

Proses membuat prototipe ini masin ongoing. Jadi belum ada hasil. Kapan-kapan cerita

lagi jika berhasil. Oiya .. satu lagi yang bikin frustrasi adalah time frame. Saya punya

waktu 8 minggu, dan ini memasuki minggu ke-3 … hix hix …

70

33. V & V

Karena mesti install software sendiri, maka perlu ke library buat pinjem CD-nya. Udah

lama gak ke library kantor meski beda cuma dua lantai. Hawanya lebih adem, sepi dan

ada bunyi “ting-tong” kalau ada orang masuk library. Tiga staff yang bekerja di sana,

semua perempuan. Ada satu yang manis, cuma kayaknya darah rendah (lho opo

hubungane coba … hehe).

Buka-buka majalah (lalu nemu artikel yang bilang “ternyata burung gagak juga

cerdas!”, lihat-lihat buku …. lalu nemu buku baru. Buku ini kumpulan paper

konferensi di negeri antah berantah (alias mboh). Judulnya menarik: Fluid structure

interaction and moving boundary problems. Judul kayak gini dibong-maringono-

diuntal juga gak manfaat (haha). Tapi ada artikel yang not-so-scientific yang menarik di

sini, yaitu menjelaskan perbedaan verifikasi dan validasi, alias V & V. Dua jargon ini

sering muncul di paper ilmiah khusus mekanika

komputasional/eksperimental/teoretikal, tapi aku ora mudheng soale memang males cari

tahu. Kok ya ndilalah nemu di buku ajaib ini.

Yang bergaya mathematician:

Verification - solving the equations right

Validation - solving the right equations

Yang bergaya formal:

Verification is the assessment of the accuracy of the solution to a computational model

by comparison with known solutions.

Verification is the assessment of the accuracy of the solution to a computational model

by comparison with experimental data.

Yang bergaya programmer:

Verification - getting most of the bugs out of the code

Validation - demonstrating the numerical model is capable of making (appropriate)

predictions

So, what? So … saiki ngerti bedhone.

71

34. Ide

ide. cari di mana?

otak kanan yang biasanya dipakai cari ide. jadi kalau stroke, orang kreatif yang

kebanyakan ide badan bagian kanannya yang lumpuh (ini kalau lebih dari 6 jam baru

dibawa ke rumah sakit lho). otak kanan juga yang diakses waktu orang mau ngibul.

jadi mata nglirik-nglirik ke kanan-atas. gak percaya? coba bilang ini di depan kaca:

sampeyan cakep!

bos SONY corp datang ke kantor. dia ngasih ceramah. namanya “ray” kubota. selain

dikenal sebagai penemu piringan (disk) pertama di jepang, ia juga pemain gitar. jadi

sehabis ngasih seminar, ia main gitar. sudah agak tua, jadi jari-jarinya kaku. pesannya

yang selalu saya ingat adalah …

“if something is impossible, then do it!”

penemuan diawali dari cari ide. idenya berasal dari lihat sana-sini, dari mimpi, dari

nglamun di wc, dari ngobrol dengan kawan, dari lamunan saat pulang kerja. ide

datangnya cepat, hilangnya lebih cepat. jadi segeralah dicatat. ide yang biasa itu

banyak. “yang biasa” artinya begitu cek hak paten, walah sudah dipatenkan semua

ide-idenya. makanya, kadang-kadang mikir sesuatu yang “gak mungkin” itu penting.

pikiran capek juga kena tekanan supaya cari ide. tapi gimana lagi … sandang, pangan,

papan semua bersumber dari ada tidaknya ide. kalau tidak punya ide sebenarnya bisa

aja bilang: “mmmh i’m running out of ideas.” tapi kalau terlalu rajin bilang ini jadi

orang yang tak punya integritas (iyo ta? hehe).

sebelum buka buku, googling, tanya sana-sini: think! think something impossible!

72

35. Pesawat Terbang

Umumnya, orang mengenal pesawat sebagai “burung besi” yang mampu terbang

10000 meter di atas permukaan laut, mengangkut ratusan penumpang, mampu

menjelajahi beberapa benua dalam sehari dan dibangun menggunakan teknologi

canggih. Lebih jauh lagi, pesawat udara adalah hasil kompromi dari pelbagai ilmu

pengetahuan yang tiada henti. Ilmu yang digunakan untuk membangun pesawat

adalah aerodinamika, struktur ringan dan bahan (lightweight structures & materials),

panduan terbang (flight guidance), kendali terbang (flight control), sistem transportasi,

sistem avionik, sistem propulsi, manufaktur, manajemen, keuangan hingga

pemasaran.

Mendesain pesawat

Seorang pakar aerodinamika menginginkan pesawat dengan gaya hambat (drag)

minimum dan gaya angkat (lift) besar. Pakar struktur menginginkan pesawat yang

ringan, namun kuat dan tahan terhadap berbagai macam pembebanan. Pakar sistem

avionik menginginkan pesawat yang memiliki instrumen lengkap dan menyediakan

status terbang secara waktu nyata (real-time). Pakar transportasi udara berusaha

mengoptimalkan penggunaan seat pesawat dan menentukan strategi pemasaran.

Pakar kendali terbang menginginkan pesawat yang lincah (agile) namun stabil dan

mudah dikendalikan. Pakar sistem propulsi menginginkan pesawat yang punya

efisiensi mesin tinggi, hemat bahan bakar dan mampu memberikan gaya dorong

(thrust) dalam jangka waktu lama. Pakar manufaktur menginginkan pesawat yang

mudah dibuat namun juga memenuhi kaidah desain yang ditentukan oleh pakar

struktur. Masih banyak lagi keinginan pakar lain, dan hal-hal itu akan saling

“dibenturkan” dan dioptimalkan guna membuat sebuah pesawat yang diinginkan.

Pesawat Turbo Prop N250 buatan PT Dirgantara Indonesia

73

Umumnya, mendesain pesawat memerlukan kerja keras lebih dari empat tahun untuk

memperoleh desain konseptual (conceptual design) dan desain awal (preliminary

design); kemudian ditambah beberapa tahun untuk membuat desain rinci (detailed

design), perencanaan proses manufaktur, pengujian (testing) dan sertifikasi dari dinas

penerbangan setempat maupun internasional seperti FAA (Federal Aviation Authority).

Singkatnya kita memerlukan kurang lebih 10 tahun untuk membuat pesawat udara.

Namun, dengan kemajuan teknologi software dan manufaktur, kini proses desain ini

jauh lebih cepat beberapa tahun, dan memungkinkan pabrik me-release pesawat

dengan lebih cepat ke customer. Kemudian, pesawat akan dapat diterbangkan kurang

lebih 30 tahun setelah masa pembuatan. Hal ini dimungkinkan jika proses

perawatannya mengikuti petunjuk yang diberikan pabrik pesawat.

Bagaimana pesawat bisa terbang

Pesawat mematuhi hukum Newton untuk prinsip terbangnya. Kemampuan terbang

pesawat ditentukan oleh sayap yang memberikan gaya angkat dan engine yang

memberikan gaya dorong. Pesawat haruslah ringan sehingga gaya beratnya kecil, dan

ini membuat lift menjadi semakin efektif. Untuk ini, seorang engineer biasanya

memilih paduan aluminum atau komposit serat karbon. Pesawat juga harus memiliki

gaya hambat yang kecil sehingga thrust juga efektif. Untuk ini, seorang engineer

membuat profil pesawat agak lancip dan sayapnya setipis mungkin.

Sebelum take off, pesawat harus mencapai kecepatan tertentu sehingga tekanan di

bagian bawah sayap lebih tinggi dari atas sayap. Perbedaan tekanan ini dibantu oleh

penampang sayap yang dinamakan airfoil. Jika beda tekanan makin besar maka gaya

angkat yang ditimbulkan akan cukup untuk mengangkat pesawat. Penjelasan ini

didasarkan pada persamaan Bernoulli (fisikawan Switzerland yang hidup pada 1700 -

1782).

Prinsip terbang pesawat yang lebih akurat biasanya dijelaskan lewat ilmu mekanika

fluida yang membahas mengenai vortisitas atau aliran yang berputar.

Pesawat udara berbeda dengan pesawat ulang alik (space shuttle). Untuk take off,

space shuttle memakai roket booster raksasa untuk melesatkannya ke luar atmosfer,

lalu setelah melepaskan roket booster raksasa itu, ia akan mewahana di luar atmosfer

dengan tiga roket kecilnya.

Kecelakaan pesawat

Hal yang paling banyak disorot akhir-akhir ini adalah kecelakaan pesawat. Kecelakaan

pesawat adalah hal yang kritis mengingat jumlah survivor-nya sangat kecil dibanding

kecelakaan moda transportasi lain, seperti kereta api, mobil, sepeda motor atau bus.

Namun frekuensi kecelakaan pesawat sangatlah kecil dibanding kecelakaan

transportasi lain itu. Data tahun 2000an menunjukkan bahwa kecelakaan pesawat

disebabkan oleh kesalahan pilot yang berhubungan dengan kemampuan pilot itu

sendiri, cuaca dan kegagalan mekanik pesawat (total 52%); kegagalan mekanik (25%),

kesalahan lain manusia (9%), cuaca (8%) dan sabotase (6%). Kecelakan pesawat dapat

74

dihindari dengan melatih pilot supaya lebih desicive, bijak dan secara teknik

mumpuni; disiplin melakukan proses perawatan (maintenance) dengan kualitas baik;

menentukan rute penerbangan yang aman; teliti dalam melakukan review desain

struktur pesawat dan lainnya.

75

36. Dont Panic with Mechanics!

Pelajaran di tahun kedua kuliah yang paling berkesan bagi saya adalah Statika.

Alasannya: pernah tidak lulus (ha ha). Statika pada dasarnya versi canggih dan dalam

dari pelajaran mekanika statis SMA. Yah, berhubung waktu SMA malas baca buku

pelajaran, kadang bolos, membenci guru fisika (meski penjurusannya fisika juga),

maka tidak ada satupun subjek yang nyantol. Statika ini bagian dari Mekanika Teknik,

alias MekTek. Sepertinya, hampir 40% kesulitan dengan statika. Entah kenapa. Apakah

kurang pintar? Apakah malas membaca buku? Apakah jarang mengerjakan soal-soal?

Apakah sering bolos kuliah? Apakah ketika ujian tiba-tiba mules dan keringat dingin?

Apakah dosen menggunakan terlalu banyak rumus, ngomongnya canggih dan sulit

dimengerti mahasiswa?? Mungkin semuanya. Yang jelas dulu saya tidak mengerti

prinsip-prinsip dalam Statika, kebanyakan mata kuliah yang diambil dan sakit pas

menjelang ujian akhir (halah alasan thok! ha ha).

Dosen kadang begini: tidak mampu menjelaskan teorema matematika dengan bahasa yang

sederhana, yang mudah ditangkap oleh mahasiswa. Ibu itu bilang: Kenapa kamu tidak

mengatakan kepada anak itu bahwa kamu sedang ngomongin angka rata-rata (mean value)?!

Fast forward. Akhirnya saya lulus kuliah itu setelah ngulang di tahun ke-3. Tahun ke-4

saya jadi mbantuin dosen untuk kuliah Beban Pesawat. Nah, kuliah ini menggunakan

prinsip-prinsip dalam statika dan mekanika teknik juga. Setelah lulus, saya kebagian

ngoreksi ujian komprehensif bidang struktur yang soal-soalnya statika dan mektek.

Mereka yang beres TA harus lulus ujian komprehensif untuk bisa maju sidang. Saat itu

juga saya mbantuin dosen buat ngasih responsi statika. Lumayan jadi makin ngerti.

Apalagi, kadang ada teman -teman yang minta ajarin Statika. Jadi tambah mancep.

76

Intinya: ngerti prinsipnya dulu (dengan matematika yang sederhana), prosedur

pengerjaan, kemudian berlatih mengerjakan soal.

Dulu, sepertinya, bahasa yang dipakai dosen terlalu canggih, jadi kadang tidak

mengerti sama sekali. Jadi, bagi kawan-kawan yang sering menjelaskan di depan

mahasiswa, saran saya: hindari penjelasan yang canggih dan gunakan analogi sehari-

hari. Ini supaya lawan bicara cepat ngerti dan waktu kita tidak terbuang.

Barusan saya menemukan buku mengenai MekTek, berisi statika, mekanika bahan dan

dinamika. Isinya lengkap, tidak terlalu banyak rumus, banyak kartunnya. Buku ini

ditulis dua ilmuwan Jerman, Romberg dan Heinrichs. Judulnya menarik: "Don't Panic

with Mechanics". Bukunya masih fase eksperimental, mereka bilang. Dalam

pengantarnya (yang relaks dan lucu), Dr Heinrichs mengatakan bahwa rekannya Dr

Romberg adalah seorang yang mudah akrab (sociable), lucu namun pendek. Dr

Romberg tak mampu membalas "pujian" itu jadi ia hanya mengatakan bahwa Dr

Heinrichs adalah ilmuwan yang membosankan unggul.

Bagi yang berprofesi sebagai dosen, bisa membaca buku ini dan memasukkan kartun-

kartunnya ke dalam slide yang dipakai. Bagi mereka yang sedang mengambil kuliah

Statika atau MekTek coba baca buku ini. Ada banyak contoh soal di bagian akhir;

supaya lebih mancep prinsip-prinsipnya.

77

37. Keris Mpu Gandring: Hipotesis

GANDRING dikenal sebagai pengrajin logam yang tersohor di

kerajaan Tumapel (cikal bakal Singosari). Ia juga dikenal sakti.

Karena "profesional" dan sakti itu ia kemudian diberi gelar "Mpu".

Ken Arok, seseorang yang dipercaya sebagai titisan Wisnu,

memesan keris kepadanya. "Satu hari", begitu Ken Arok

memberikan tenggat waktu bagi Gandring. Satu hari berlalu dan

Gandring telah menyelesaikan kerisnya. Namun sarung keris

belum tuntas. Karena tak sabar, Ken Arok mengambilnya, lalu

membunuh Gandring. Gandring sempat menyumpahi Ken Arok

dan keturunannya: tujuh turunan bakal mati tertikam keris itu.

Jaman itu, teknologi pengolahan logam atau metalurgi masih sangat tradisional: besi

dipanaskan dan ditempa; atau dalam istilah metalurgi, diberi perlakuan panas (heat

treatment) dan dibentuk (forging). Kemudian, ilmu metafisika masuk, dan besi yang

telah terbentuk (misal: pedang, keris dll), diberi doa-doa, dan menjadi sakti.

Begitukah? Entahlah.

Bagaimana Mpu Gandring membuat kerisnya jadi ampuh? Mpu Gandring memilih

bahan yang kuat tapi ringan. Jaman itu, proses pemaduan logam dengan logam lain

barangkali tak menghasilkan paduan yang memuaskan. Jadi, bahan monolitik adalah

pilihan. Mpu Gandring memilih batu meteor sebagai bahan kerisnya. Hal ini juga

perlu diteliti lebih jauh apakah batu meteornya bisa diberi perlakuan panas dan

dibentuk. Batu meteor ini bisa dilihat dan disentuh di Museum Geologi - Bandung.

Tapi, apakah bahan itu yang digunakan Mpu Gandring atau bukan, ini masih

pertanyaan.

Setelah, keris terbentuk, Mpu Gandring mencelupkan keris (yang masih panas)

tersebut ke dalam bisa ular. Ada proses difusi dari racun ular ke dalam keris yang

masih membara itu. Bisa ular sebagian menempel hanya di permukaan, dan sebagian

lain berdifusi ke dalam keris. Setelah mendingin, keris dimasukkan ke dalam

sarungnya, dan disimpan. Bisa dibayangkan jika keris itu disentuh atau ditancapkan

ke tubuh: bisa ular segera menempel dan masuk ke dalam darah, lalu bagian tubuh

akan lumpuh dan manusia bisa mati. Pada jaman itu, hanya sedikit orang yang

mengetahui proses pembuatan keris secara "ilmiah"; salah satunya adalah Mpu

Gandring. Karena pengetahuan dan pengalaman yang cukup advanced dalam

pembuatan keris, mungkin Mpu Gandring juga dikenal sebagai mahaguru pada jaman

itu. Apakah dia bisa disebut profesor di jaman ini?

Penelitian lebih jauh sangat diperlukan untuk memperoleh informasi mengenai peta

kemajuan teknologi Jawa pada abad lampau.

78

38. Statistik

Kematian satu orang adalah tragedi; kematian sejuta orang adalah statistik -- Joseph Stalin

Saya tak hendak membicarakan Stalin (yang hingga kini dibenci anak perempuannya,

yang kemudian mengganti nama supaya tak dikenali di Amerika), tetapi statistik. Satu

aspek statistik yang paling awal dikenal (jaman SD) barangkali berhubungan dengan

masalah demografi; misal: populasi penduduk, sebaran penduduk dan lainnya.

Dengan berjalannya waktu, kita mengenal regresi linear, histogram, pie chart dan

lainnya. Itu semua representasi statistik, bukan statistik. Statistik barangkali bercerita

tentang data-data dan korelasi; statistik bercerita tentang trend atau kecenderungan;

statistik berbicara tentang konklusi; statistik, pada akhirnya, adalah desisi alias

keputusan.

Pada 2001 saya mengambil kuliah statistik (dan probabilitas) lewat sebuah kebetulan.

Karena ingin "membuang" mata kuliah dengan angka buruk, saya mesti mengambil

satu mata kuliah dengan jumlah kredit sama. Mata kuliah lain tersedia namun bisa

membuat saya pindah spesialisasi; jadinya saya mengambil yang agak generic, yaitu

statistik. Entah bagaimana isinya, tapi yang saya dengar, dosennya baik. Ternyata

benar: lebih dari itu, dosennya suka dongeng, cerita lucu dan memberikan pencerahan

yang non-statistik. Lumayan, bikin gak ngantuk. Ia juga meminta mahasiswa

membuka www.ngakak.com supaya tidak stress. Tak jelas untuk apa statistik ini

nantinya, yang jelas saya lulus dengan nilai lumayan (meski lupa ujiannya seperti apa).

Hari ini saya membaca statistik lagi. Untuk apa? Yang jelas, pekerjaan sekarang

menggunakan statistik untuk mengambil keputusan; keputusan mengenai penjualan,

peningkatan produktivitas pabrik, supplier, evaluasi produk dan lainnya. Ada trend

yang menjadi fungsi waktu [work week]. Ada data supplier yang ngaco. Ada hasil

evaluasi yang mengecilkan hati. Macam-macam reaksi yang ditimbulkan grafik

representasi statistik itu. Hari ini saya menyadari bahwa statistik itu penting.

Sepenting kematian sejuta orang yang dibilang Stalin. Di sana nama menjadi anonim,

yang kemudian ditanyakan adalah untuk apa mereka mati, mengapa mereka mati,

siapa yang membunuhnya. Kelanjutan dari statisk biasanya tak pernah berhenti, tetapi

menghembus kontinu seperti angin, meski dengan arah dan kecepatan yang berbeda.

Rusaknya satu hard disk itu tragedi (karena kita hanya punya satu di rumah), dan

rusaknya sejuta hard disk itu statistik (yang kemudian menyebabkan direktur

dipecat).

Hari ini saya membeli buku statistik. Ada gambar Gauss di sampulnya. Siapa dia? Dia,

seingat saya, matematikawan Jerman yang namanya sering disebut dalam statistik,

metode numerik, aljabar, mekanika dan lainnya. Waktu Gauss SD, seorang guru

memerintahkan semua murid untuk menjumlahkan 1 sampai 100. Murid kemudian

sibuk menulis deret angka secara vertikal, lalu mulai menjumlah. Gauss diam. Ia

hanya menulis satu baris, lalu diam lagi. Gurunya bertanya: kenapa kamu tak

mengerjakan? Apa kamu tahu jawabannya secepat itu? Gauss menunjukkan kertas dan

menulis hasilnya: "5050". Gauss menciptakan cara perhitungan dari suatu pola ketika

79

semua orang sibuk menghitung. Sensitif terhadap angka seperti Gauss? "Berenanglah"

di dunia statistik juga ...

80

39. Mancal di Rel Kereta

Bisakah orang mancal (mengayuh) kendaraan di rel kereta? Ya bisa. Tapi perlu

kendaraan yang dimodifikasi sehingga ban-nya bisa jalan di atas spoor (rel), punya

pedal, dan body-nya mesti bisa kuat digenjot (perlu material yang ringan - tapi

biasanya mahal atau dua tukang mancal).

Kereta-pancal? (sumber: http://www.bikebrats.com/indomal/glinjl.htm)

Unik sekali dan inovatif. Perlu di HaKI*-kan? Gak kebayang kalo mesti mancal dari

Jember ke Bondowoso: banjir keringat, dengkul copot, jantung mesti ditransplantasi.

Yo ta??

*Hak atas Kekayaan Intelektual

81

40. Fitna, A380 dan Pak OD

Banyak hal yang terjadi belakangan ini.

1. Fitna

Sejak film pendek "Fitna" dirilis oleh Geert Wilders (politikus sayap kanan Belanda)

minggu lalu, orang jadi berpikir beginikah wajah Islam dalam persepsi Barat (atau

lebih khususnya Belanda)? Setelah saya tonton, film ini mirip film eksperimen. Film

indi. Tidak untuk dipertarungkan di Cannes atau di Toronto, tidak untuk dikritisi

pengamat film, tapi untuk menimbulkan reaksi. Di sana ada sitiran lima surah Quran,

ada aksi pengeboman, ada aksi ceramah yang "membakar", dan lainnya. Reaksinya

bisa bermacam-macam: ada yang marah, kemudian ramai-ramai membela Islam; ada

yang tenang-tenang aja dan mengatakan ini persepsi Wilders, bukan persepsi barat

tentang Islam; ada yang bengong "Hah, film apaan tuh? Baru?". Macem-macemlah.

Saya kemudian menanyakan di milis alumni (yang sebagian anggotanya pernah

bermukim bertahun-tahun di Belanda): apakah benar ini merepresentasikan orang

Belanda? Berikut tanggapan beberapa rekan:

Menurut saya orang-orang seperti Geert Wilders itu ada saja, tapi sekali lagi dia hanya

segelintir orang orang extrim kanan. Dalam perpolitikan Belanda, mereka juga cuma

mengantongi suara yang sedikit. Cuma nggak usah disikapi terlalu serius. Zaman

tahun 80-an saja sudah ada televisi di Belanda yang mengolok olok Paus, sama seperti

siaran TV Republik Mimpi di sini mengolok olok Presiden/Wapres. (SP, hidup di

Belanda 83 - 90)

Saya tinggal di sana untuk yg kedua kalinya, 1989 s/d 1993. Pada masa itu, saya

mendirikan perguruan Satria Nusantara, anggotanya lebih banyak bulenya daripada

yg Indonesia, sekitar 500 orang. Interaksi yg intens dg masyarakat bule itu

memberikan gambaran bahwa mereka tidak anti islam dan tidak anti orang islam.

Namun, tetap saja ada orang yg sudah terbentuk menjadi perilakunya memusuhi apa

yg tidak sama dengan dirinya. Seperti di sini juga ada saja orang yg ingin menghapus

Borobudur, dan mengancam Gereja. Saya fikir, kita tidak perlu mengikuti seruan

Mahathir untuk

memboikot produk Belanda, sebab Pemerintah Belanda sudah dalam situasi sulit

menghadapi sebagian warganya yg usil. (DS, hidup di Belanda 83-84 dan 89 - 93)

2. A380

Lewat British Aerospace, PT Dirgantara Indonesia dipercaya memproduksi bagian

penting sayap A380, yaitu bagian inboard outer fixed leading edge. Bagian ini

memberikan kekakuan yang diinginkan di bagian inner wing, sekaligus memberikan

bentuk bagi bagian primer sayap. Kontraknya dimulai dari 2002 hingga 2012. Tapi

masih bisa berlanjut lagi jika produksi A380 makin pesat dan BAe masih percaya

dengan PTDI.

82

3. Pak OD

"Pak Diran diwawancarai TEMPO," kata seorang kawan. Dia lalu men-scan

halamannya, dan saya share di sini. Siapakah dia? Guyonannya: tiap kali ada orang

naik pesawat lalu kecelakaan, pasti muncul nama beliau. Dulunya dia dosen

penerbangan ITB, lalu jadi penasihat di IPTN, lalu ketua komisi nasional kecelakaan

transportasi. Gampangnya: penyelidik kecelakaan pesawat. Dia mengajar bidang

desain pesawat di ITB. CN235 lahir dari tangan beliau.

Download di sini wawancaranya: Wawancara Pak OD

http://ari3f.wordpress.com

83

VI.

PENGALAMAN

84

41. Gempa di Silicon Valley

Waktu kecil saya kadang mendengar ayah saya berteriak “Lindu .. lindu …!”, yang

artinya “Gempa …. gempa”. Ketika itu, skala gempa biasanya kecil dan tak begitu

terasa di Bondowoso yang jauh dari laut selatan, epicentrum gempa. Jadi, tidak ada

evakuasi, korban jiwa atau kerugian material akibat lindu itu.

Merah: pusat gempa, hijau: kantor saya

Hari ini saya merasakan gempa lagi. Tapi tidak di Bondowoso; kira-kira 12000 km dari

Bondowoso, tepatnya di San Jose. Saya sudah dua hari di Silicon Valley. Tujuannya:

jalan-jalan. Eh, gak lah … tugas kantor kok (hehe). Pukul 8:04 malam, meja saya

bergoyang dan saya buru-buru berlindung di bawah meja, sambil menunggu energi

gempa meredup. Untungnya gedung masih utuh. Saya buru-buru pulang. Kantor saya

terletak sekitar 17 km dari epicentrum, dan katanya skala gempanya 5.6 Richter.

Mudah-mudahan tidak ada gempa susulan.

Teman saya bilang: saya belum pernah merasakan gempa sebesar ini di San Jose;

terakhir tahun 1989.

Eh di luar sana … suara sirine fire fighter bertalu-talu…

85

42. Nggragas

Seorang kawan datang ke workstation saya pukul 5.30pm di hari Jumat. Jumat

biasanya memang rileks (seperti juga hari yang lain!), dan kawan saya ini bilang baru

selesai acara orientasi. Karena dia staf baru, maka dia dikumpulkan dengan 15 staf

baru lainnya, kemudian ikut acara kenalan dengan bagian manajemen (direktur dan

manajer) dan ikut permainan. Game-nya mirip amazing race, tapi lokasinya cuma satu

di gedung kantor aja naik turun dari lantai 1 sampai lantai 7. Karena dia olahragawan,

ya jelas aja dia menang hehe. Jaran ngono lho … Dan, dia dapat hadiah.

Hadiah dia tunjukkan kepada saya, dan buru-buru dia buka. Isinya: coklat Kit Kat

dalam box. Ada 3-4 Kit Kat bar di dalamnya. Dia lalu memberi saya satu slab kecil Kit

Kat. Satu slab isinya 4 batang. Tak sabar, karena juga lapar, saya buru-buru

membukanya. Gigit! … hah, kok gak puthul? Gigit lagi, gigit sana, gigit sini, gak putus-

putus. Kemudian saya coba patahkah. Tidak berhasil. Saya tanya … ini apa? Dia lalu

coba melihat-lihat. Lah … ini karet!

Jangkrik! Layak alot men …

Karena dia takut dikira nipu, dia buru-buru ngasih coklat yang asli (sambil

sebelumnya memastikan itu bukan karet); sambil ngakak gak habis-habis …! (dasar

kucing goreng)

Kit Kat slab

Pertanyaannya: lho ngapain kitkat naruh coklat karet di dalam paket Kit Kat itu???

Menjebak orang yang nggragas??? Hehehehehe

*nggragas [jawa ngoko] = rakus (biasanya berhubungan dengan makanan, harta, tahta, wanita

… laaaaaa? ….)

86

43. Rapapan

Entah di Singapura bagaimana, tapi di Bondowoso, SD jaman saya (80s) ada sistem

yang namanya CBSA alias cara belajar siswa aktif. Intinya: setiap anak dibiasakan

menyampaikan pendapat lewat forum diskusi. Bagi yang pemalu, forum diskusi ini

momok: pasti kebelet pipis kalau kebagian jadi pembicara.

Waktu itu yang paling bikin saya malas adalah memilih nama kelompok. Guru

biasanya menyuruh mencari nama pahlawan, atau orang besar, atau nama ilmuwan.

Yah karena kurang baca jadinya saya selalu tidak punya ide kalau disuruh cari nama.

Suatu hari (kayaknya hari Senin), setiap kelompok sudah membawa plakat kertas

berisi nama kelompoknya. Tapi, saya lupa! Kelompok lain ada yang bernama

Alexander Agung, Enrico Fermi, dan nama orang besar lainnya. Wah saya sama sekali

tak ada ide dalam kondisi darurat ini! Tapi kemudian karena sangat-sangat mendesak

saya kemudian mengambil nama yang ada di sampul buku harian. Isinya sih motto

“Rajin Pangkal Pandai”. Terlalu panjang kayaknya. Jadi saya singkat: Rapapan.

Rapapan wafat setelah dua hari. Alasannya: jeneng kok ngisin-ngisini...

Yang ketawa ngakak kalau ingat “legenda” Rapapan ini cuma dua: papaku dan Tuti.

87

44. Ngimpi

Setiap orang yang tidur pasti bermimpi meski keesokan harinya ia lupa total mimpi

semalam. Yang ia ingat barangkali cuma sinopsis, respon terhadap mimpi, artis dan

aktor dalam mimpi. Saya sendiri sering ngimpi, tapi selalu lupa mimpi apa. Yang bisa

diingat biasanya mimpi yang seram, lucu, aneh dan bentuk ekstrim lainnya. Kadang

saya juga nglindur atau menggerakkan tangan. Mimpi ini, sepertinya, manifestasi otak

dan perasaan yang tak terkontrol, yang dibentuk oleh lapisan-lapisan kejadian, lakon

dan orang. Saya jadi teringat Deepak Chopra: yang “riil” dari mimpi adalah respon

kita terhadap mimpi itu. Misal, jika kita mimpi dibentak setan lalu ketakutan,

barangkali “ketakutan” itulah yang akan kita alami ketika kita benar-benar dibentak

setan. Benarkah? Ya mboh. Jangankan dibentak, wong bayangannya aja udah bikin

saya kabur palingan.

Mimpi ini barangkali memang tak bisa dikontrol. Tapi sepertinya bisa dimanipulasi.

Dulu, ketika otak macet [tak ada ide] dalam memecahkan problem tugas akhir

(Bandung, 2002), saya jadi mengharapkan suatu ilham lewat “kamar ide” yang lain:

mimpi. Biasanya, kamar ide yang sering saya pakai adalah WC. Nah, sebelum tidur,

saya mempersiapkan diri: mikirin suatu masalah hingga akhirnya saya tertidur. Kok

ya ndilalah, “masalah” itu muncul, lalu di dalam mimpi, saya menemukan jawabnya.

Tidak straightforward memang: berliku-liku, trial and error, bahkan dipecahkan

dengan cara yang gak nyambung. Di sini, barangkali jawaban itu didapat ketika jiwa

“menari-nari” di luar tubuh yang penat.

Apakah mimpi selalu berhubungan dengan seksual? Jika berkiblat kepada

psikoanalisis a la Freud dan agak materialist maka jawabannya IYA. Freud membedah

mimpi dengan mencari simbol di dalamnya, lalu menghubungkannya dengan suatu

bentuk, dan bentuk ini berhubungan dengan genital pria dan wanita, kemudian ia

membuat interpretasi dari sana. Ia juga bermain probabilitas plus pengaruh kuat

bahwa psikoanalisis adalah “pisau bedah” baru di abad 20. Masa Die Traumdeutung

(Tafsir Mimpi) sesederhana itu? Yo ora lah … lebih kompleks.

Eh, mari kita mundur selangkah: mengapa manusia bermimpi (baik dalam tidur

maupun dalam kenyataan)? Mungkin karena itulah satu-satunya cara ia bisa lepas dari

belenggu “kenyataan” sambil bergeming.

88

45. Attitude

Apa yang paling berkesan ketika bekerja di lembaga riset? Ya “riset” itu sendiri,

barangkali. Meski setiap orang pasti pernah melakukan riset (kecil ataupun besar),

yang namanya riset di sebuah lembaga biasanya “kaya” akan birokrasi. Harus ada

proposal, pengajuan dana, review, meeting, masalah antarpersonal dan aspek non-

teknis yang kadang jauh lebih rumit dari risetnya sendiri. Rumit karena ada faktor

manusia yang punya kepentingan dan sikap yang kontraproduktif. Simalakama: tanpa

manusia, riset pun tak ada ..

Di lembaga riset tempat saya bekerja, meski ikatan antar kolega tidak dibina dengan

baik, ada banyak hal yang bermanfaat, terutama jika kita ingin belajar. Inti dari

lembaga riset ini didirikan adalah melatih pegawainya melakukan riset dan belajar hal

baru. Tidak heran, hampir sebagian besar orang-orangnya tidak ngerti hard disk ketika

masuk kantornya (termasuk saya). Tapi selama 1.6 tahun di sini, sedikit banyak

pengetahuan mengenai HDD meningkat. Setidaknya cukup ngerti komponen-

komponen hard disk drive. Lainnya, tentu lebih spesifik ke pekerjaan sehari-hari.

Pekerjaan saya lebih dekat ke numerical simulation dan mechanical design. Generic

fields, oleh karenanya saya bisa menggunakan kantor ini sebagai stepping stone.

Di hari-hari terakhir ini, ada satu hal yang saya pelajari. Ternyata “sikap bekerja” atau

attitude memegang peranan penting dalam bekerja; utamanya di lembaga riset. Meski

attitude sifatnya non-teknis, tapi hal ini sangat menentukan sampai sejauh mana kita

bisa belajar, dan menentukan karir kita. Di manapun, sikap ini dikarakterisasi hal-hal

berikut:

• Keinginan untuk belajar hal-hal baru yang bermanfaat

• Ask the right questions in order to have better understanding

• Jangan ragu untuk segera hands-on

• Bersikap terbuka terhadap ide dan gagasan

• Jika tak menyukai suatu ide gunakan cara yang tepat untuk menyatakan

ketidaksetujuan

• Bersikap konstruktif terhadap tim; tujuannya: get things done!

• Selalu merefleksikan setiap pekerjaan: am I doing the right thing, or am I doing

the thing right … (proses dan hasil sama pentingnya)

• Convince yourself, then you can convince others

• Ketika mendapatkan masalah, think … think … think. Jangan terburu-buru

bertanya atau mencari informasi lewat buku, internet. Di sini, proses berpikir

ini mengasah ketajaman berpikir kita dan melatih kreativitas.

• Motivasi diri sendiri untuk memberikan hasil terbaik.

89

• Kaizen! Gunakan hari yang baru untuk meningkatkan kualitas skill kita. Harus

ada achievement setiap harinya. Kecil tidak apa-apa, yang penting

achievement.

• Bersikap positif dan baik kepada semua orang; termasuk “musuh” dalam

kantor. Bersikap frontal dalam menghadapi masalah seringkali membuat

seseorang disalahpahami, bahkan sebelumnya cangkeme mengo sekalipun …

• Help others, share with others. Dengan cara seperti ini, orang lain juga akan

membantu kita ketika ada kesulitan. Kecuali orang ini sakit jiwa alias pelit

dalam memberikan pertolongan. Orang dari negeri tertentu merasa bahwa

mereka harus menyembunyikan pengetahuan mereka supaya tidak kesalip

oleh juniornya. Apakah hal ini bermanfaat? Tidak sama sekali. Di satu sisi, ia

mengharapkan orang lain akan mengagumi kemampuan dia, tapi yang terjadi

adalah orang lain malah menganggapnya pelit ilmu dan segan membantunya

jika ada problem. Orang seperti ini tidak lebih baik dari … nguk nguk … (kethek

ta? hehe)

• Bersikap perfectionist. Hal ini perlu dilakukan dalam tataran individual. Jika

dihadapakan pada kerja tim, maka hal ini tidak produktif karena standard

kesempurnaan setiap orang itu berbeda. Tapi bagi saya, kesempurnaan itu

adalah goal di setiap harinya. Jika tidak tercapai hari ini, ya besok tho …

• Usaha dulu ngerjain sesuatu sebelum bilang “tidak bisa”. Kalaupun tidak bisa,

harus diusahakan bisa menjelaskan “kenapa kok tidak bisa”.

Barangkali masih banyak yang bisa direfleksikan, tapi segini dulu deh… mau sahur!

Semoga bermanfaat.

90

46. Interview: Tentang Pekerjaan di Singapura

Sejak pertengahan 2005, baru empat kali saya menjalani interview (dua pekerjaan

sebelumnya tak memerlukan interview berkat kedekatan dengan bekas dosen). Empat

interview itu dilakukan di (1) lembaga riset milik pemerintah Singapura, (2) firma

engineering milik dosen ITB, (3) perusahaan turbin angin milik Denmark dan (4)

pabrik pesawat kecil di Singapura.

Interview pertama: where is Bondowoso?

Ini interview pekerjaan yang pertama seumur hidup saya. Empat hari menjelang

kepulangan saya ke Indonesia, yang barangkali untuk selamanya, saya ditelpon HRD

lembaga riset. Saya memang melamar ke lembaga ini bulan Mei 2005, tapi kemudian

saya lupa. Siang hari bulan Agustus itu saya mesti membatalkan penerbangan ke

Jakarta untuk datang ke interview. Pada hari yang ditentukan saya datang ke sana.

Saya masuk ke dalam ruang rapat dengan meja besar dan beberapa kursi. Saya

mengisi formulir kemudian menyerahkan kembali kepada staff HRD. Seorang lelaki

yang nampak masih muda, memakai baju polo memperkenalkan diri. Saya lupa

namanya. Dia lalu bertanya: where is Bondowoso? Saya hanya menjawab: ha? Dia

kemudian tersenyum dan bertanya lagi: where is it? Bondowoso? Saya lalu menjawab:

oh … that’s my hometown, city I was born (padahal saya lahir di Jember; Bondowoso

adalah tempat ortu saya membuat akte kelahiran). Kemudian dia bertanya mengenai

material pesawat, bertanya mengenai finite element. Dia juga bilang bahwa dia ingin

memodelkan hard disk drive jatuh dari ketinggian tertentu, membentur lantai dan

hancur berkeping-keping. Dia bertanya: can you simulate that? Saya mengatakan

bahwa software finite element bisa memodelkannya, tapi saya belum tahu caranya.

Saya membutuhkan waktu untuk mempelajari software-nya. Ada beberapa

pertanyaan yang saya merasa saya gagal menjawabnya. Dia menggeleng sambil

mengatakan: that’s not what I meant. Wah rasanya bodoh banget deh. Dia ramah,

murah senyum. Tapi barangkali tidak banyak berguna kecuali bahwa saya lebih relaks

dalam menjawab (dengan ngawur hehe). Setelah 30 menit, dia mengatakan bahwa ia

mengenal supervisor saya. Yah, setidaknya supervisor saya orang yang lumayan

kesohor (dalam publikasi ilmiah dan temperamen-nya). Setelah 45 menit, orang ini

mempersilakan saya pulang. Eh iya, saya sempat bertanya: how much is the wage?

Haha. Hari itu saya butuh uang. Jadi saya ingin tahu berapa saya dibayar. Dia bilang

dia tidak tahu. Hah … bagaimana mungkin? Jadi, berapa gaji saya tetaplah misteri.

Kemudian saya pulang dan merasa setengah berhasil setengah gagal. Setengah

berhasil karena saya bisa haha-hehe di dalam ruang interview dan berhasil

mengalahkan sikap gugup saya. Setengah gagal karena banyak jawaban saya yang

tidak memuaskan penanya. Jadi, entahlah, bisa diterima atau tidak. Tapi setidaknya,

untuk dua bulan ke depan saya tidak memerlukan pekerjaan itu karena ada proyek

lain di Bandung. Tapi setelahnya … nah ini cilaka … saya mesti lamar ke tempat lain.

91

Interview ke-2: kami butuh komputer dan orang pinter!

Kerja di perusahaan minyak adalah cita-cita saya. Di perusahaan minyak, para

insinyur biasanya digaji di atas rata-rata insinyur lain. Di pabrik pesawat terbang, gaji

kawan saya hanya dua juta. Di perusahaan minyak, bisa 3 - 4 kali lipatnya. Ngiler

pokoke … Sebuah firma engineering kecil miliki dosen di jurusan lain membutuhkan

seseorang untuk mengurusi asset integrity management. Binatang apa itu saya juga

tidak tahu. Yang penting saya segera memasukkan resume ke dosen itu. Tak berapa

lama, saya dipanggil dan hari Sabtu saya datang ke kampus. Ada 5 orang yang hadir

di sana. Dua orang sudah saya kenal sebelumnya karena bekas teman SMA. Lainnya:

satu orang dosen, satu orang engineer dari firma itu dan satu lagi dari client mereka.

Yang paling banyak bertanya adalah client-nya. Dia bertanya banyak hal mengenai

maintenance pesawat (yang saya tidak banyak tahu). Kemudian saya bertanya: anda

membutuhkan apa dan orang yang bagaimana untuk pekerjaan ini? Dia bilang: kami

membutuhkan komputer yang bagus dan orang yang pinter! Wah general banget batin

saya. Batin saya yang sebelah bilang: lha sampeyan wis nemu lek ngono hehe. Setelah

interview selesai, saya pulang. Dua minggu kemudian, saya mendapatkan kabar

bahwa saya diterima di lembaga riset Singapura. Segera saya menelpon teman saya

untuk mengatakan bahwa review hasil wawancara dengan saya dibatalkan saja; saya

mau ambil pekerjaan yang di Singapura.

Saya harusnya bekerja mulai 15 Oktober. Tapi karena pengurusan Employment Pass

yang bertele-tele, saya akhirnya bisa mulai bekerja 1 Februari. Lama juga. Saya murni

jobless dua bulan. Pada saat yang bersamaan saya merevisi thesis saya.

Interview ke-3: cool!

Sebuah perusahaan turbin angin terbesar di dunia membuka kantor riset di Singapura.

Beberapa bulan kemudian mereka melakukan rekruitmen. Salah satu posisi yang

sangat menarik adalah composite structures engineer. Wah, ini sangat sesuai dengan

background saya. Saya memasukkan aplikasi dan menunggu hasilnya. Satu bulan

kemudian, HRD perusahaan ini menelpon untuk janji interview. Pada saat interview,

seorang perempuan umur 35 datang. Dia datang dari Australia dan bekerja sebagai

project engineer di sana. Pertanyaannya sangat banyak!! Pendek-pendek, tapi buanyak.

Bicaranya yang cepat, membuat saya balapan juga. Sampai-sampai kata Jawa juga ikut

mencolot (misal: it can be done by mmm … anu …eh …). Kemudian dia balik bertanya:

do you have any questions? Saya spontan bilang: I have many…. hehe. But I give you

two questions instead. Yang paling berkesan buat saya adalah pertanyaan ini: What do

you wanna be for the next 3 years, or 15 years? Jawaban saya: for the next 3 years I

wanna become a manager, and for the next 15 years I’ll have my own company! Dia

bilang: “cool!” sambil senyum-senyum. Nah, kata “cool” yang keluar dari mulutnya ini

kalau dihitung selama satu jam interview barangkali muncul tiap 3 menit. Miss cool

pancene.

Setelah pulang, saya agak menyesal: lha lapo cek pedene … wong durung karuan diterimo

haha. Tapi dungakno rek … iki dudu pabrik dolanan soale.

92

Interview ke-4: when did you get married?

Saya iseng-iseng memasukkan lamaran ke pabrik pesawat. Pabriknya kecil, dan mirip

workshop atau gudang komputer. Ada dua orang yang memberikan interview. Oiya,

pabrik ini memproduksi pesawat yang terbang 1-2 meter di atas permukaan laut,

dengan memanfaatkan gaya angkat permukaan air. Intinya, tenaga dorong mesin

terbantu oleh gaya angkat ini. Jadi lebih efisien. Ketika di Bandung saya sempat

membantu orang-orang ITB menghitung pesawat model ini. Tapi saya hanya selesai

sampai badan pesawat saja, bagian sayap dan ekor belum sempat terhitung. Saya

kemudian pergi ke Singapura. Nah karena punya pengalaman itu, saya nekat

mendaftar. Seorang lelaki kecil, berkacamata agak tebal, banyak sekali bertanya. Dia

bilang: let’s make this interview as informal as possible. Tapi nyatanya: wah dia

membuat seolah interview ini seriusssss sekali, sampai kerongkongan saya kering

kerontang. Goro thok wong iki! Pertanyaannya kritis-kritis tapi selalu menthal kena

jawaban saya yang khas ngawur dan sok PD. Contohnya ini:

Inteviewer (I): Software ini kayaknya gak bisa dibuat ngitung komposit karena bla bla

bla …

Saya (S): Wrong! Kalau kamu mengerti teori-teorinya dan parameter yang perlu

dimasukkan apa saja maka kamu bisa … bla bla bla

I: Kamu tipe follower atau risk taker?

S: (Dengan mata tajam dan wajah 1000% sok serius) case-by-case! (laaa … kok pendek

jawabane mas .. hehe)

Tapi yang paling ngawur adalah yang ini …

I: When did you get married?

S: (Jangkrik koen gak ngerti privacy opo??) Februari 2004. (gak wani ngetokno

jangkrike hehe…)

Di sela-sela interview itu, saya sempat (dengan sok tahu) “berceramah” mengenai

campur tangan politik dalam bisnis pesawat. Saya juga berceramah mengenai

perkembangan riset komposit dan analisis struktur pesawat. Wis pokoke gak akan tak

ulangi maneh. Ngisin-ngisini! … Untungnya mereka mlongo dan manggut-manggut. Jadi

ya sempat nglunjak pas itu PD-nya. Haha … (ojo gelem digoroi wong koyok aku rek!)

Yah begitulah kesan-kesan selama interview di sini dan di sana … gak bakal kapok.

Bakal ada interview yang lain. Cihui!

93

47. Doa

Tuhan menyukai sesuatu yang spesifik. Jika berdoa padanya mintalah sesuatu sedetil-

detilnya. Dia tak akan tertawa meski permintaan kita agak konyol dan pragmatis. Toh

dia juga bukan penonton ketoprak atau pelawak.

Sejak kecil saya diajari berdoa memakai tiga bahasa: Arab, Indonesia dan Jawa. Khusus

yang terakhir ini, ayah saya mengajari doa ketika menghadapi ujian. Ia sudah

menggunakannya sejak dulu kala, dan (katanya) sering berhasil. Doanya pendek, tapi

jelas dan efektif (jika persiapan belajarnya matang).

Ya Allah … mugo-mugo opo sing tak sinaoni mambengi metu kabeh dino iki, lan

aku iso nggarap ora kangelan

(Ya Allah … mudah-mudahan apa yang aku pelajari semalam keluar semua hari ini,

dan aku bisa mengerjakan tanpa kesulitan)

Tuhan juga menyukai sesuatu yang ganjil. “Ganjil” di sini berhubungan dengan angka.

Bismillahirrohmanirrohim itu 19 huruf. Asmaul Husnah itu 99 nama. Dan seterusnya.

“Ganjil” ada yang berarti lain: seorang tetangga di masa kecil kerapkali melantunkan

doa ini sembari ngakak setelahnya (ganjil banget tho?):

Duh Gusti … paringono waras dhewe sing lain gak usah!

(Aduh Tuhan … berikanlah kesembuhan untukku sendiri yang lain tidak usah)

Entah gimana nasib tetangga ini sekarang.

94

48. Rugby dan 19

Jaman kuliah di Bandung dulu, setiap mahasiswa dikenakan Wajib Olahraga pada

tahun pertama. Semester 1, kami wajib ikut atletik. Semester 2, kami dibebaskan

memilih olahraga yang digemari, atau diminati. Saya memilih rugby, olahraga asal

Inggris yang keras dan berbola aneh. Alasan ikut rugby: supaya kenal cewek cantik.

Salah besaaaaaar! Mana ada cewek yang ikut rugby! Ketika itu, yang paling banyak

ikut rugby memang anak seni rupa (yang menurut saya ceweknya keren; bukan

kerenmpeng); tapi sayangnya yang ikut cowok semua, sangar pula. Hehe. Tapi tak

apa, yang penting tetap bisa belajar nendang bola berbentuk aneh.

Rugby: Bastard Game Played by Gentlemen (thanks, Bi!)

Hari pertama, kami diajarkan teori bermain rugby. Sudah banyak yang lupa meski

ujian teori ketika itu hampir dapat 100 (mau gak gampang gimana wong dosennya

tidak ada yang punya gelar PhD bidang rugby hehe). Seingat saya, ngoper bolanya gak

boleh ke depan, tapi ke samping atau ke belakang. Tidak boleh nyekek orang, tidak

boleh main kasar (alias nendang selain bola), boleh megangin badan, kaki, pinggul dan

lainnya. Boleh nindih orang lain, boleh menerjang orang, boleh nabrak tapi harus

suam-suam kuku, alias tidak boleh ngawur: nabrak harus sopan. Hehe. Alhasil, setiap

pulang rugby di Sabtu sore, badan rasanya legrek, mau patah tulang, kulit lecet dan

otot nyeri. Tapi selalu puas dan senang hati; karena kadang dapat bonus njlungupno

wong liyo hehe.

Bukan seragam rugby saya; cuma sama nomornya aja

95

Seragamnya ketika itu hanya celana pendek selutut, baju lengan panjang berbahan

sekian persen polyester, berlambang gajah. Tak ada pelindung di pundak atau bagian

alat vital, tak ada helm, tak ada handuk di pantat. Untuk nomor jersey, saya memilih

nomor 19. Alasannya: waktu masuk kuliah itu umurnya 19, dan 19 ini bilangan prima

(tidak bisa dibagi apapun selain satu dan angka itu sendiri... halah gak ada

hubungannya kok!).

Di pertengahan bulan, ada foto session. Pemain rugby berbaris, melipat tangan di

depan dada, jepret! Keren. Tapi saya nampak kecil waktu di foto itu! (foto belum di-

scan, sori). Lainnya berbadan bueeesar-bueeesar soalnya (ya hiperbola sedikit gak

papa).

Entah, gimana nasib rugby ini sekarang. Apakah masih ada di ITB?

96

49. Pernikahan

Setiap orang biasanya memiliki pandangan sendiri dalam memaknai pernikahan. Jika

gagasan-gagasannya dipengaruhi karakter religius, biasanya ia melihatnya sebagai

ibadah, wujud syukur dan pengabdian pada tuhan. Dalam hal ini, pernikahan adalah

sebuah medium untuk menjaga amanah, prokreasi dan perwujudan manusia yang

seutuhnya. Tanpa atribut agama, pernikahan bisa dilihat sebagai medium berbagi

antardua manusia yang berbeda karakter dan berusaha mewujudkan sinergi untuk

meningkatkan kualitas hidup. Pernikahan juga bisa dilihat sebagai institusi. Namun,

ada yang ekstrim: pernikahan adalah penjara, di mana seseorang mengalami dilema,

terhimpit di antara yang-gratis dan menjadi-terpasung. Bermacam-macam.

Tepat empat tahun lalu saya menikah dengan ibu ini. Dalam pernikahan itu, saya

belajar mengenai relationship, memahami orang lain dan diri sendiri, mencari dan

mengembangkan metode untuk meningkatkan kualitas pikiran dan perasaan,

berempati dan bersimpati, menjadi fleksibel dalam bersosialisasi, menjadi strategis dan

kreatif dalam memecahkan persoalan hidup, lebih tahu arti kerja tim, mengerti arti

setia, memaafkan dan lainnya. Prokreasi atau menciptakan generasi baru (baca: punya

anak) adalah wajib, karena ini adalah bukti eksistensi manusia yang paling alamiah

dan mendasar. Tidak berhenti di sana, setelah prokreasi, seseorang diwajibkan

membina dan mengembangkan kreasinya sehingga jadi lebih baik.

Jika lama menikah, kebosanan pasti muncul. Ada yang bilang, rasa bosan muncul di

ultah ke-1, kemudian ke-3, ke-7 dan seterusnya. Entahlah. Bosan ini sifat alami

manusia juga, karena manusia punya kecenderungan menyukai hal-hal baru, sesuatu

yang kinclong. Jika bosan, apa yang harus dilakukan? Lakukan kegiatan yang berbeda

secara bersama, kemudian berkomunikasi. Yang lebih mujarab adalah becanda.

Rasanya tidak ada ya perceraian karena bosan; yang ada biasanya karena masalah

ekonomi, masalah visi hidup, masalah tidak punya keturunan, masalah orang ketiga

dan lainnya. Bosan tidak bisa jadi alasan untuk berpisah; ia hanya bisa jadi alasan

untuk punya kegiatan baru. Kegiatan baru ini harus melibatkan keluarga. So, do

something different biar tidak bosan. Saya tidak pernah bosan dengan istri saya, karena

ia sendiri berbeda, unik.

97

50. 30

Kilas Balik

Tepat tiga puluh tahun silam saya lahir di Dinas Kesehatan Tentara, Jember. Entah

bagaimana saya dilahirkan di sana. Barangkali setelah ayah saya selesai wamil (wajib

militer) ia tengah ditugaskan di Jember.

Kemudian saya dibawa ke Gending, sebuah kecamatan di Probolinggo, tempat kakek-

nenek dari ibu saya. Di rumah dinas pegawai PG (pabrik gula) itu saya tumbuh

sampai usia dua tahun. Saya tak memiliki akte lahir. Dan baru ketika pindah ke

Bondowoso saya mendapatkannya; jadi yang tertulis di paspor ya Bondowoso.

Dua belas tahun saya tinggal di Bondowoso. Kota ini, yang saya kunjungi minggu lalu,

masih tetap memberikan ambience yang sama: ia tenang, berpenduduk ramah dan

saling mengenal, punya hawa menyegarkan dan menyediakan makanan sederhana,

enak dan murah. Meski dibesarkan di lingkungan Jawa, saya memahami dan bisa

bercakap-cakap dalam bahasa Madura. Dengan bahasa ini, saya cepat relate dengan

penduduk sekitar. Meski tidak selancar dulu, minggu lalu saya ngobrol dengan tukang

pijat dalam bahasa Madura (ngoko alus - intermediate). Di kota ini, saya bertemu dengan

beberapa teman masa kecil. Mereka sudah berkeluarga dan rata-rata mbalik kucing ke

Bondowoso setamat kuliah. Bukan hanya untuk mengabdi, tapi supaya dekat dengan

keluarga dan agak malas meninggalkan masa lalu. Sebagian yang lain, pergi ke kota

besar dan menetap di sana. Bukan hanya untuk bekerja, tapi sudah jenuh dengan ritme

Bondowoso dan ingin melihat dunia luar.

Tidak ada yang percaya ketika saya bilang bahwa saya sebenarnya pemalu dan

pendiam ketika kecil. Tentu saja, karena mereka tidak hidup di masa lalu saya, dan

kalaupun iya, mereka terlalu ignorant untuk mengingat bahwa seseorang itu pemalu

atau tidak. Pergi ke toko dan bertanya harga suatu barang saja saya malu, apalagi

berdiskusi di dalam kelas/berpidato/menyanyi. Saya biasanya memilih kegiatan yang

minim bersuara, seperti bermain musik, berkemah, menjadi pengibar bendera,

menjelajahi alam, menyukai teman perempuan, berkelahi, gerak jalan atau main bola.

Saya pun kurang gemar membaca, kecuali komik, ensiklopedia dan buku bergambar.

Tapi saya memiliki banyak teman dekat dan teman baik. Barangkali saya tidak

berbakat jadi public figure yang dikerumuni orang; yang cocok ya jadi tukang

wawancara, karena berhadapan dengan satu atau dua orang saja.

Sepuluh tahun lalu, saya hidup di Bandung. Bandung punya kesan berikut: kota anak

muda, kota pendidikan, kota mojang priangan, kota jazz. Di Bandung saya murni

hanya belajar teknologi pesawat terbang (karena terpengaruh buku Habibie) dan

mempelajari jazz. Ketika itu, yang saya impikan adalah lulus sebagai insinyur

penerbangan, lalu bekerja di pabrik pesawat, memiliki rumah di Bandung, dan setiap

malam minggu bisa bermain jazz bersama teman-teman. Sepuluh tahun kemudian,

saya di Singapura dan berumur tiga puluh. Saya (untungnya) lulus sebagai insinyur

penerbangan, tapi bekerja di pabrik hard drive, menyewa flat di Singapura barat, dan

setiap malam minggu nonton film di DVD bersama istri saya.

98

Hari Ini

Di umur 30 ini saya sungguh bersyukur karena dikaruniai keluarga kecil yang setiap

hari adalah tujuan saya untuk pulang. Keluarga kecil ini adalah "rumah" bagi saya. Ia

memberikan keceriaan, ketenangan, kebahagiaan dan cinta. Meski si kecil belum

pandai berbicara, tapi ia adalah cahaya bagi saya. Saya juga bersyukur karena

ditemani seorang istri yang setia dan gigih dalam memperjuangkan keutuhan rumah

tangga. Ia sekarang pandai memasak; dengan kata lain, ia bisa membuka restoran. Ia

pandai menghafal lagu anak-anak dan suka membaca; dengan kata lain, ia bisa

menjadi guru playgroup anak saya.

Di umur 30 ini saya baru sadar bahwa saya gagal mendapatkan PhD sebelum umur 30.

Tapi hal ini tak akan saya sesali karena PhD tidak lagi membawa pesan yang subtil. Ia

adalah suatu komoditi. Ia menjadi sesuatu yang harus dimiliki. Meski di satu sisi ia

adalah academic achievement, tapi yang lebih penting adalah di kemudian hari ia akan

diuji oleh lingkungan, masyarakat dan alam: ia perlu memberikan inspirasi, ia perlu

bermanfaat bagi orang banyak, ia perlu memperluas batas-batas ilmu pengetahuan, ia

perlu dipertanggungjawabkan tanpa tesis. Ia terlalu berat untuk diselesaikan dalam

waktu singkat karena ia telah dikurung oleh sistem, silabus, panel dan tesis. Ia

dipasung. Oleh sebab itu PhD bukan lagi kebebasan dan esensi.

Di umur 30 saya memiliki pekerjaan yang menyenangkan, hidup yang tenang,

saudara-saudara baru (yang asli Singapura maupun yang ketemu di sini) dan harapan.

Benar sekali: harapan. Tanpa harapan, seseorang tak akan pernah menikmati indahnya

ketakterdugaan.

Hari ini istri saya membuat Bakwan Malang dan membelikan kue tart kecil rasa mocca.

Yang ikut makan: saya, istri, Verdi dan Pak Ali. Si Olit turu. Sudah jam 9pm. Terima

kasih Tuhan: ijinkan saya menghirup O2-mu hingga 30 tahun lagi.

99

51. Hari Valentine

Tomorrow will be my second Valentine's Day in the United States. As I've discovered, the

celebration here bears little resemblance to the one I know from growing up in Saudi Arabia.

Yes, there are dates. But in Saudi Arabia, we eat them. - Rajaa Alsanea, Chicago

Saya suka sekali quote di atas :D

Di AS, atau negeri yang ter-Barat-kan (westernized), hari Valentine atau kasih sayang

identik dengan memberikan bunga untuk kekasih, antri di restoran untuk makan

malam dan berkencan. "Teman kencan" alias "date" adalah pre-requisite. Namun, "date"

juga berarti buah kurma. Tak hanya di Arab; di negeri yang tak memiliki gurun pun

kita temukan kurma. Dan, kita memakannya.

Di dalam bus dan di jalanan, saya temukan para remaja mendekap seikat bunga yang

dilindungi plastik. Tanggal 13 - 14 Februari itu, Singapura merayakan Valentine's day,

meski tak sesemarak tahun baru Cina. Ada yang bertanya pada saya: apa rencana

kamu malam ini untuk hari Valentine? Saya jawab: tak ada, paling cuma makan

malam di rumah, karena 14 Feb adalah ulang tahun saya. Alisnya terangkat, setengah

tak percaya: bagaimana mungkin kamu lahir tepat 14 Februari?? Lalu saya merogoh

dompet, mengeluarkan kartu identitas, dan menunjuk tanggal lahir: percayakah kamu

sekarang? Dia mengangguk, lalu menyalami saya :)

Ada juga yang bertanya: bagaimana bisa lahir pas hari Valentine? Saya sendiri

bingung mau jawab apa. Biasanya saya jawab singkat: ayah-ibu membuat saya kira-

kira pada bulan April 1977.

Mau mencoba juga? Rencanakan sekarang.

100

52. Jatim Trip

Ini postingan hasil liburan ke Jawa Timur minggu lalu. Tujuannya banyak: sowan

sama orangtua, marani dulur-dulur, mamerin hometown ke anak (yg masih 19 bulan -

mana ngerti ya?), menikmati makanan khas Jatim, reuni "mendadak" dengan kawan-

kawan lama, memberikan istirahat kepada otak (tapi tubuh tidak). Laporan pandangan

mata juga telah ditulis di blog ndoro Tutee. Kota-kota yang mendadak dikunjungi

adalah Surabaya, Pandaan, Lawang, Malang, Batu, Blitar, Bondowoso, Jember dan

Situbondo, dan dilakukan dalam 7 hari 6 malam non-stop! (Pantes badan serasa legrek

kabeh!).

Lumpur Lapindo. Kami mendarat di Juanda pukul 8.45 pagi. Ortu sudah menjemput.

Semua langsung meluncur ke Malang (rencananya), tapi mampir dulu di Sidoarjo,

melihat (dengan hati pilu) perumahan yang sudah tertimbun lumpur Lapindo. Tapi

beneran, lumpur ini benar-benar menghabisi rumah ribuan keluarga dan kompensasi

yang turun baru 20%. Anyway, lumpur dibendung supaya tidak membludak ke jalan

lagi, dan tidak menganggu spoor (jalur kereta) yang menghubungkan Surabaya -

Banyuwangi. Begitu parkir, jukir (juru parkir) langsung meminta uang parkir sebesar

Rp 5000. Ketika menyeberang jembatan kecil untuk naik ke gundukan tanah dan

melihat lumpur, seseorang harus membayar Rp 2000.

Berikut foto-fotonya:

Spanduk ini secara implisit mengatakan bahwa lumpur Lapindo tidak pernah selesai karena

kemarahan dan pertengkaran dua kubu "yang-menyalahkan" dan "tak-mau-dikatakan-

sepenuhnya-salah"

Atap di tengah lumpur Lapindo

101

Slow traffic menuju Sidoarjo (di belakang sana ada Gunung Semeru)

Cocok jadi sampul film "Pacar ketinggalan kereta (lalu termangu di pinggir lumpur)"

Dari Surabaya, kami menuju Batu, alias Mbatu kalau orang Jawa bilang. Tapi di

antaranya, kami singgah di sentra industri kulit di Tanggulangin, ke Taman Safari II di

Pandaan, lalu ke restoran HTS yang jual rawon di Lawang. Tanggulangin dan Lawang

tidak ada fotonya. Kalau Taman Safari II, fotonya lebih banyak binatang dan lanskap

daripada manusia.

Taman Safari II lebih luas dari Taman Safari I. Koleksinya barangkali lebih banyak,

fasilitasnya lebih baru dan ada taman bermain yang luas. Bayarnya Rp 35000 per

orang. Mahal juga ya ... padahal hanya untuk melihat binatang! Waktu itu

komentarnya: barangkali bisa lebih murah kalau kita naik motor. Ha ha. Ilang ndasmu

kene saut macan!

Hippo!

102

Ezra mbayangin ... wah enak sekali bisa bergelantungan seperti mereka. Orangutan mbatin:

duh kapan bisa naik mobil, moto-moto dan nonton manusia dari jauh ...

Llama ... jadi inget binatang ini di komik Tintin. Eh rujak cingur Surabaya enak gak ya pake

cingur Llama??

103

53. Santet

Di Sabtu sore, sambil melihat deretan flat di kejauhan, minum teh itu nikmat. Hmm.

Suara Elmo (Sesame Street) di belakang saya - Olit lagi nonton sendirian, duduk

selonjor di sofa panjang, santai, makan wafer; Mama Olit lagi nyiapin pisang goreng.

Tapi saya lagi mikir tentang santet. Lhaaa ... gak nyambung dengan suasana ... hehe.

Gapapa.

Waktu kecil saya sering dengar cerita tentang santet atau teluh/tenung. Ini "skill" dari

"fakultas" ilmu hitam di mana seseorang mampu mentransfer materi ke dalam tubuh

orang lain. Materi yang ditransfer bisa berupa jarum, pecahan beling, paku, serpihan

besi, pasir, bahkan organik yang mati (alias bathang) seperti kecoak, kutu, dan lainnya.

Kucing mungkin terlalu besar, apalagi becak (ha ha). Mekanisme transfernya tak

diketahui karena tak pernah diteliti. Telematik transfer? Yang jelas seorang dukun atau

ahli ilmu hitam biasanya menghubungi kawan setannya untuk membawa materi-

materi ke dalam perut penerima. Ini biasanya juga permintaan dari orang yang ingin

balas dendam tanpa ingin meninggalkan jejak (sehingga CSI: Miami tidak bisa

melacak). Katanya, pohon pepaya bisa jadi penolak santet ini. Tapi, entahlah ...

Suatu hari (di masa SD) saya ditanya ayah saya: piye carane nglebokno pasir, paku, beling

nang njero wetenge wong liyo? (bagaimana cara memasukkan pasir, paku dan pecahan

kaca ke dalam perut orang lain?). Wah ... mana saya tahu? Kalau tahu, bisa saya coba

ke musuh SD ketika itu (ha ha). Saya njawab: kenapa kok nanya gitu? Dia bilang:

karena hari itu dia baru aja mbedah perut seseorang (sebagai bagian dari visum et

repertum) dan di dalamnya dia temukan materi seperti pasir, paku, kaca, dan lainnya.

Perut siapa? Seseorang yang kita kenal? Ia tak menjawab. Lalu pergi. Mungkin agar

saya tidak kepikiran atau ketakutan: maklum ketika itu saya suka mikir dan penakut

(sekarang sih tidak suka mikir dan pemberani! ha ha).

Saya ingat beberapa bulan sebelumnya, ayah tetangga saya sering berada di rumah.

Orangnya tinggi, agak gemuk, berkumis (a la Pak Raden), berkulit coklat dan jarang

senyum. Hidup dan pekerjaannya pasti berat, jadinya ia jarang di rumah. Saya kenal

dengan ketiga anaknya, plus saudara lainnya. Kami sering main bersama. Lalu saya

tanya anak bungsunya: kenapa ayahmu di rumah sekarang? Temang saya bilang: dia

lagi sakit. Oh gitu... ayahnya memang sering berdiri di depan rumah, memakai sarung

dan kalau berjalan prok prok prok ... he gak lah ... kalau berjalan lambat sekali. Berhati-

hati dan sering kelihatan nyeri. Makin hari perutnya makin besar. Dan setelah 1-2

bulan, ia menghilang. Tak pernah muncul lagi hingga bertahun-tahun. Kawan saya

lalu saya tanya: ke mana ayahmu. Ia bilang: sudah meninggal. Lho, sakit apa? Dia

disantet. Dulu dia punya masalah dengan seseorang, lalu orang itu menyantet

bapaknya. Kasihan. Sedih sekali.

Nah, pertanyaan hingga hari ini: mungkinkah seorang yang dibedah ayah saya itu

adalah bapak kawan saya?

104

54. Sekolah di ITB

Tahun 1998, seorang senior membahasakan ITB dengan: jika kamu ingin jadi apa saja,

masuklah ITB. "Apa saja"? Sebenarnya tidak hanya ITB saja, semua sekolah pasti juga

demikian. Kalau dilihat dari alumninya sih, memang beragam. Ada yang dulunya

ambil jurusan Matematika dan Sipil lalu jadi seniman seperti Sujiwo Tedjo. Ada yang

belajar elektro lalu jadi musisi seperti (alm) Harry Roesli. Ada yang belajar

penerbangan lalu jadi politikus seperti Sri Bintang Pamungkas. Ada yang belajar seni

rupa lalu jadi pelawak/entertainer seperti Amink (kalau ini kayaknya nyambung

banget jurusannya hehe). Ada yang belajar Sipil lalu jadi penulis buku atau naskah

film seperti Adithya Mulya. Yang patut diketahui, apa yang terjadi pada periode

ketika mereka sekolah hingga "puncak" karir mereka itu. Pasti banyak dan bakalan

panjang banget. ITB, sepanjang pengetahuan saya, memfasilitasi banyak hal:

(1) Lingkungan yang mendukung untuk jadi unik. Dalam keragaman suku yang tinggi

di sana, semua orang jadi anonim, tak dikenal. Bagaimana caranya supaya dikenal?

Like something different, be someone different, do something different. Free your mind.

(2) Dosen yang mendorong "kerja keras". Banyak orang stress karena pekerjaan rumah,

praktikum dan tugas itu bertumpuk-tumpuk; ditambah individualisme di ITB itu

lumayan tinggi: setiap orang ada kecenderungan bekerja sendiri, karena mereka punya

style sendiri dalam mengerjakan sesuatu, dan prime-time mereka juga berbeda. Stress

adalah proses yang dilewati ketika tugas datang berlimpah. Dan kerja keras adalah

satu cara menghindari stress. Tidak ada pilihan lain, kecuali kalau mau tidak lulus.

Cara lain: banyak becanda dong! Ha ha ...

(3) Ada yang bilang sebelum masuk ITB, bahwa iptek di ITB itu ketinggalan 30 tahun

dari luar negeri. Ini salah; yang benar adalah 31 tahun. Haha. (ngarang). Ya siapa sih

yang tahu teknologi suatu sekolah itu ketinggalan berapa tahun? Pasti ada benchmark-

nya. Fasilitas komputasi tingkat tinggi (high performance computing)? Mungkin ada

sih, tapi tidak besar. Coba dibandingkan universitas maju yang lain? Wah jauh sekali

ketinggalannya. Yang tidak ketinggalan itu kemampuan dosennya. Dosen di ITB

memfasilitasi mahasiswa untuk jadi orang mandiri. Mereka juga approachable, mudah

didekati dan bersahabat. Ada juga yang killer, tapi hampir punah. Dosennya juga

banyak pengetahuan, pandai bercerita dan lulusan universitas ternama (MIT, Imperial

College, Caltech, TU Delft dan lainnya). Mereka juga pandai membuat semuanya jadi

simple di muka kelas. Tapi ketika ujian, jangan harap simplisitas itu muncul (ha ha ha).

(4) Nama besar membuat orang lebih percaya diri. Sedikit banyak iya. Tapi tidak

absolut. Karena seseorang akan dibuktikan lewat kemampuannya sendiri, bukan lewat

nama besar, bukan lewat reputasi universitas. Dan kemampuan dialah yang

membuatnya makin besar hati, makin percaya diri.

(5) Minimnya jumlah perempuan (cantik!). Perempuan biasanya memberikan estetika

di lingkungan kampus. Mereka juga memberikan tambahan energi di pagi hari lewat

105

wanginya dan wajahnya yang berseri. Karena estetika dan energi ini hanya 20%

(sekarang mungkin lebih) maka setiap mahasiswa berkompetisi membuat atau

mencari dua hal itu sendiri. Suka "berkompetisi" ini yang akhirnya membuat

mahasiswa maju. (nyambung gak sih? ha ha ya ngarang lah).

Hal lain....silakan ditambahkan ...

Btw, meski saya tidak tenar seperti nama-nama tokoh di atas, tapi setidaknya saya

punya achievement yang saya banggakan: jadi ayah dan suami! :)

106

55. Dosen Unik di ITB

Ini sambungan dari tulisan sebelumnya "Sekolah di ITB". Dosen itu ya guru. Bedanya

dengan guru SD, SMP, SMA, dosen tidak punya waktu reguler untuk mengajar. On,

off. Kadang ngajar 1 jam, kadang 2 jam, Senin ada, Selasa menghilang (entah proyek

atau seminar) di mana. Dosen juga dituntut melakukan penelitian, membimbing

mahasiswa, mengurusi administrasi kampus, seminar di luar, proyek bersama institusi

atau korporasi lain, dan banyak lagi. Rutinitas ini dilakukan dosen dimanapun. Lho ...

kok jadi cerita kehidupan dosen.

Back to dosen unik. Saya tahu ada beberapa dosen dengan latar belakang yang

unusual, tak biasa. Sebagian saya tahu sendiri, sebagian dari cerita kawan.

( 1) Sebut saja WT (kayak menyembunyikan identitas a la koran hehe). Ia masuk ITB

umur 16, lalu selesai umur 20 tahun. Katanya, ketika teman-temannya, yang ketika itu

sudah umur 25an lulus bareng, sudah ngomongin kawin, sedangkan dia masih main

layangan di kampus (haha). Setelah itu ia melanjutkan S2 di ITB, dan melanjutkan S2

(lagi) dan S3 di Amerika. Umur 27 ia mendapatkan doktor dan pulang ke ITB. Ia

penggemar fotografi: suka sekali memajang foto di dinding kantornya, indah sekali, ia

suka permainan warna. Kalau mengajar, wow mengagumkan. Pernah ia mengajar satu

semester 8 mata kuliah (4 kuliah di jurusannya dan 4 kuliah di jurusan lain). Dan yang

diajarkan berbeda sama sekali! Ketika mengajar, ia tak membawa apa-apa kecuali

kapur berbagai warna. Dalam dua jam, ia menulis setiap sub-topik di papan, berikut

teorema (ini khusus advanced calculus), pembuktian lalu contoh soal. Sebelum

memberikan contoh soal, ia keluar kelas. Menarik napas, mencari inspirasi, lalu masuk

lagi dan menuliskan dengan cepat. Setelah dua papan terisi penuh, ia bertanya: ada

pertanyaan? sudah selesai nulisnya? Jika senyap (seperti biasa!) ia langsung

menghapus dua papan itu dan melanjutkan lagi "mengotori" papan dengan cacing-

cacing hingga 2 jam habis terkuras. Akhir kata: mengagumkan. Ini seperti show,

sungguh entertaining. Ketika ujian tiba ... mampus deh. Hihi.

(2) Ini ceritanya lebih pendek, karena dapat dari kawan. Sebut saja OS. Ia sebenarnya

lulus S1 sebagai dokter. Entah kenapa ia lalu melanjutkan S2 bidang musik dan

mendalami piano dan musik klasik di Perancis. Setelah lulus S2, ia lalu melanjutkan

studi S3 bidang komputer dan mendapatkan doktor beberapa tahun kemudian. Ia

sekarang masih mengajar ilmu komputer. Aneh? Unik?

(3) Ini dapat cerita juga dari kawan. Sebut saja OD. Ia lulus S1 dari Belanda dan

melanjutkan S2 di Purdue, AS. Jadi dia bukan alumni ITB. Tapi kemudian ia pulang

dan mengabdi di Indonesia. Karena ilmunya advanced, maka ia membantu menristek

Habibie membangun industri pesawat terbang. Katanya, model bimbingannya

menyeramkan. Ia pernah merobek-robek kertas desain pesawat mahasiswa selama 2

minggu berturut-turut; minggu ke-3, mahasiswanya yang merobek desainnya sendiri

(haha - mbales). Terakhir, ia menjadi ketua komisi nasional kecelakaan transportasi.

Kini ia pensiun.

107

Ada yang punya lagi cerita dosen unik, unusual?

Catatan: Jika data tidak akurat, mohon dikoreksi. Harap maklum ....

108

56. PhD

Seorang kawan lama menelpon semalam. Ia baru pulang dari berlibur ke Malaysia

bersama pacarnya. Obrolan kami biasanya seputar pekerjaan, sekolah (lagi), keluarga,

engineering dan lainnya. Kami tak suka bola: klop - jadinya tak ada percakapan

mengenai klub mana meng-hire siapa, golnya berapa-berapa, atau seputar info bola. Ia

tak main musik atau secara spesifik menggandrungi sebuah genre; oleh sebab itu,

obrolan musik di-skipped.

Topik yang terus dibicarakan (tapi tak ditindaklanjuti) selama 3 tahun belakangan ini

adalah sekolah PhD. Berasal dari lab yang sama - namun dengan tema riset yang

berbeda - kami sama-sama berhenti hingga master's degree, dan meniti karir di

industri. Dulu melanjutkan PhD adalah impian yang menggebu. Tapi setelah

mendapatkan master, kok ya capek sekali mau sekolah lagi.

PhD mungkin bukan jalan kami; di mana, jika hal itu dilakukan di Singapura, paling-

paling (saat ini) bisa kerja di Singapura saja, atau kembali ke kampung halaman

(mengajar di almamater). Mengajar, riset, membimbing mahasiswa, memberikan ujian

barangkali memiliki kesenangannya sendiri. Tapi seringkali kesenangan ini tidak

terbayar dengan gaji bulanan (khususnya di Indonesia). Seorang dosen muda (assistant

professor) di banyak negeri memang tak dibayar mahal (kecuali di Singapura, Hong

Kong). Oleh sebab itu, hanya mereka yang terpanggil untuk riset hingga

menyelesaikan PhD saja yang menjadi dosen. Mereka yang melakukan PhD for "fun"

(ono ta??) - maksudnya for the sake of research or science, biasanya berakhir kerja di

lembaga riset, pindah haluan jadi enterpreneur, atau jadi pegawai biasa yang tidak ada

hubungannya dengan sains lagi.

PhD barangkali bukan jalan kami. Kami merasa tak ada bakat untuk itu. Saya bilang:

PhD memerlukan daya tahan (endurance) dan kesabaran. PhD juga memerlukan

kreativitas dalam mencari persoalan, memecahkan lalu menyiarkannya lewat buku

tesis atau paper ilmiah. PhD tidak berhenti di sana. Ia terus menggali, melebarkan

batas-batas domain pengetahuan di mana ia bermain. Ia juga bertugas mencari

penerus dengan membimbing calon-calon PhD. Tidak mudah. Dan, saya merasa tak

punya prerequisite untuk ke sana.

Pilihan saya dan dia saat ini adalah berkarir di industri. Lalu, mau ke mana setelahnya.

Ya, kami harus meniti corporate ladder hingga titik maksimum. Bisa juga nyempal dari

perusahaan dan mendirikan perusahaan sendiri. Hal ini barangkali tak memerlukan

PhD, tapi memiliki kesamaan dengan melakukan PhD research, yaitu terus belajar,

memecahkan masalah, berinovasi, mengajarkan sesuatu kepada yang lebih muda,

membimbing orang lain, dan pada saat yang bersamaan, bisa punya income (yang

lumayan).

By the way, ada bacaan menarik bagi anda yang ingin melanjutkan PhD: A PhD is not

enough

109

57. 29: Menulis Seseorang

Hari ini istri saya ulang tahun. Bingung mau ngado apa. Pas saya tanya dia juga

bingung. Mungkin karena banyak keinginan tapi tahu kocek saya gak setebal balast

(dudukan rel kereta).

Eh kok "kereta" lagi? Mungkin karena postingan sebelumnya barangkali ....

Kemarin dia langsung bilang: kadonya tulisan aja! (baca: esai). Wah, ini baru kado

yang "mahal". "Mahal" karena ide esai tidak bisa dibeli. Ide itu datang sekonyong-

konyong. Dan supaya tidak terkesan "tukang" (baca: supaya dibilang seniman), ide

mesti datang di waktu yang kurang tepat: ketika diceramahin bos, ketika melihat

limpahan bill bulanan, ketika digencet penumpang bus (yang kekar dan punya gank),

saat ditilang pak pulisi, saat membantu pengamen nyetem (tune in) gitar, saat ditabrak

sepeda kumbang, saat duduk di toilet dan kehabisan tissue dan keran lagi macet

(kebangetan kayaknya!) dan lainnya. Intinya: 50 + 50 = ce_pe (cape deh - bahasa gaul

saat-saat ini?).

Tapi, demi istri, saya harus menulis. Dulu sering juga memberi kado tulisan, tapi ke

orang lain. Menulis orang lain jauh lebih mudah dibanding menulis seorang terdekat.

Karena "menulis orang lain" tidak punya konsekuensi logis yang berkepanjangan. Jadi

nulisnya seperti nebak-nebak (ilmiah) aja (mirip psikolog lah). Kalau menulis seorang

terdekat dan tulisannya meleset, bisa dapat sabda: Lho, kamu gak kenal aku ya??

Kamu gimana sih bertahun-tahun tapi tidak memperhatikan .... Bingung jawabnya.

Mendingan ya tidak menulis. Takut diomelin he he.

Nah, hari ini saya harus menulis mengenai istri saya. Tapi mulai dari mana ya?

Ya dari belakang dong .... Dari 29 (umur dia sekarang!)

*Kepada teman-teman yang dulu pernah saya tulis: mohon jangan dibuang tulisan itu karena

saya tidak bisa mengulang lagi :p

110

58. 2008: Ngapain?

31 Dec hari yang santai di kantor. Ada meeting, tapi ya masih sempat guyonan. Teman

ada yang mengemukakan opini "Sulit sekali mengukur ketidakpastian spektrum

getaran yang dialami equipment produksi - kadang frekuensinya tinggi, kadang

rendah, arahnya juga berubah-ubah." Boss juga menambahkan, "Betul sekali. Kondisi

ketika membuat produk di San Jose beda banget dengan kondisi Singapura." Saya

(seperti biasa) menimpali: "Iya. San Jose punya gempa, Singapura gak punya kecuali

kiriman dari Indonesia!" (baca cerita di postingan sebelumnya: Gempa di Silicon

Valley). Ngakak semua. Mereka ingat, saya pernah ketakutan waktu terkena gempa di

sana! Siaul.

Saya pulang cepat hari ini: 4.30pm. Boss bilang: "I will feel guilty when I left and I

know that you are still here. Go hooooomeeeee ... it's new year's eve!" Wah, dengar

kayak gitu langsung aja saya masukkan barang ke tas dan bilang "OK I'm off!"

Habis itu saya dan pasukan (Mama Olit dan Ezra "Olit") ke rumah Om Indra Pr di

Signature Park. Ada acara BBQ buat Pak Budi Rahadjo dosen elektro (yang dulu

kantornya di PAU Mikroelektronika lantai 2) yang kebetulan main ke Singapura

nyambangi anak wedhoke. Ini kopdar blogger pertama yang saya ikuti.

Foto-fotonya bisa dilihat di Picasa-nya Mas Judhi dan Flick-nya Mas Indra Pr.

Cowok-cowoknya ngobrol di dekat BBQ pit. Mungkin supaya pulang ke rumah aroma

sate masih nempel di baju. Udah itu tinggal ambil nasi putih, nyium-nyium baju, lalu

ngemplok nasi. Ya lumayan, seolah-olah seperti sambil makan sate gitu lah ... he he.

Btw, satenya Mbak Hany enak dan langka. Di Singapura mana nemu sate khas

Indonesia seperti itu. Bumbunya simple. Saya sempat dikasi bocorannya. Patut dicoba.

Kalau gagal, berarti memang tangan saya dengan tangan dia beda temperatur: tangan

dia lebih "dingin" :)

Woi ngelantur. Jadi tahun 2008 pengennya apa? Pengen ngapain aja?

111

� Olahraga! Ini supaya jantung sehat. Ingat pesan papa. Jangan tekad/niat mulu.

Mesti dilakukan... beli raket badminton. Main di lapangan bawah.

� Hapalkan komponen HDD, problem and solutions-nya, dokumentasikan, lalu

pelajari lagi. Kalau ada masalah, think think think. Lalu experiment, lalu diskusi.

Setiap hari harus ada achievement, harus ada sesuatu yang baru untuk dipelajari.

Ingat pesan buku Unmask Japan: kaizen! Biar kepake otaknya.

� Berkelana ke negeri yang tidak terkenal dengan keluarga kecil. Yang terkenal juga

boleh, tapi jadi tidak unik sebenernya. Tuva? ;)

� Hubungi anak yang punya electric piano itu sebelum pulkam ke Indonesia. Jam

session main lagu-lagu Antonio Carlos Jobim. Lemaskan jarinya, konsentrasi di

depan partitur, biar koordinasi otak dan tangan tetap baik.

� Beli kamera yang agak pro. Belajar moto orang, jangan moto tumbuhan dan

landscape aja. Soalnya bakal ada job nih!

� Kirim Ezra ke playgroup, biar kenal ma lebih banyak teman. Biar terekspos banyak

bahasa.

Apalagi ya? Jangan kebanyakan, nanti gak sanggup.

112

59. TGIF

Hari ini hari Jumat. Thank God It's Friday. Ada beberapa cerita ...

Permanent Resident (PR). Rasanya tidak ada orang yang ingin tukar

kewarganegaraan di dunia ini kecuali terpaksa. Alasan terpaksa bisa macam-macam:

diusir, mencari suaka, menjadi orang eksil, terdampar, mudah cari kerja dan lainnya.

Singapura memberi kemudahaan bagi warga asing untuk punya "banci" (baca: dual)

citizenship tanpa paspor: jadilah PR. Dengan menjadi PR seseorang punya privilege

yang "lebih" dibanding foreigner - khusus masalah pekerjaan. Hal-hal lain? Sekarang

PR mbayar medical fee lebih mahal dibanding citizen. Dan kemerosotan benefit

lainnya. Di sini, pesan moralnya: "Wahai PR jadilah engkau warga negara Singapura".

Jadi PR atau citizen pun tidak mudah. Perlu antri di imigrasi, dicek macem-macem

sertifikat, dicek punya gelar apa dan nunggu tiga bulan atau lebih. Berhubung

Singapura pengen punya penduduk yang minimal bergelar S1, maka yang S1 ke atas

agak mudah apply PR. Ya maklumlah, mungkin karena banyak juga yang masih

lulusan SMP (secondary school atau O-level), lalu ambil short course, atau ambil

diploma/degree ketika umur 30/40.

Ganesa: Gemuk atau Kurus? Di dalam taksi, saya membaca majalah bisnis yang

disediakan sopir di belakang kursinya. Ada gambar yang menarik: patung Ganesh

dengan muka gajah (as usual), gading yang gumpil sebelah, tapi perawakannya kurus.

Sedangkan lambang ITB yang juga Ganesa itu gemuk sekali. Saya tanya istri saya: "Lha

kok gajahe ITB iku lemu, trus iki kuru nemen??" Istri saya bilang: "Bandung kakehan

panganan enak. Dadi lemu." She got the point. Gemuk atau kuruskah Ganesa?

Tuva. Saya membaca buku Tuva or Bust! Richard Feynman's Last Journey sore ini di

Koufu (saingan Kopitiam) di dekat kantor. Anak saya tidur di strollernya. Ia lelap 1.5

jam. Saya bisa tenang membaca buku dan ngopi. Di manakah Tuva? Ia terletak di inner

Mongolia. Yang unik darinya banyak, tapi saya sebutkan beberapa: perangkonya

segitiga dan bentuk diamond, ada penyanyi kerongkongan (throat singer),

penunggang kuda yang hebat dan ia tak dikenal (bahkan oleh guru geografi

sekalipun!). Mengapa Feynman tertarik dengan Tuva? Sederhana: karena ibukotanya

bernama Kyzyl. K-Y-Z-Y-L. Semua konsonan. Nah itu yang membuat Feynman

tertarik. Serius? Iya. Baca sendiri bukunya :)

Benazir Bhutto. Saya sedih karena pejuang demokrasi yang cantik itu mati.

Sebenarnya saya tidak terlalu mengikuti perkembangan politik, apalagi di Pakistan.

Yang saya tahu dari Pakistan adalah (1) seorang kenalan yang ketika pertama kali saya

menjejakkan kaki di Singapura, ia memasakkan ayam kari dan menyuruh saya

memakannya dengan roti - "Heh aku iki wong Jowo! Lek gak mangan sego artine yo gak

mangan!" - tapi ayam karinya wenak! (2) seorang profesor tambun yang mengajar

metode manufaktur, yang kemudian saya tahu ia dikeluarkan dari universitas - ia dari

Pakistan, katanya (3) scientist-nya didukung pemerintah dalam hal teknologi

pertahanan - jadilah negara di Asia yang punya senjata nuklir - dan lumayan ditakuti

Amerika (4) ya Benazir Bhutto. Mengenai Benazir, saya selalu ingat guru ngaji saya

waktu SD. Guru saya ini orang NU tulen, mengajarkan Quran secara terstruktur,

113

sabar, makanan favoritnya kerupuk, suka membaca buku (ketika SD, kosakatanya

sering membuat saya terperangah - iku ngarang opo ono tenan?), menikah di usia senja.

Untuk yang terakhir ini, ia katanya sangat mengagumi Benazir Bhutto dan ingin

mencari pasangan hidup yang sama dengan Benazir Bhutto. Wait a second: ini

Bondowoso ya ... sedangkan Benazir ini yang mbrojol ke dunia lewat keluarga high

politics, lalu dididik di Oxford dan Harvard. Adakah seorang perempuan Bondowoso

yang latar belakangnya sama? Di jaman saya sih gak ada. Gak tau hari ini ... Tapi saya

yakin hari Kamis lalu, guru ngaji saya itu sedih, seperti halnya pengagum Benazir

lainnya. Mengapa pejuang demokrasi mesti cepat sekali berpulang?

Ini foto Benazir waktu umur 19. Saya suka angka 19 ini. Entah kenapa. Mungkin

karena paras seorang perempuan bisa sempurna di umur ini. Alah sok romantis!

Btw, inalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mugo-mugo gusti Allah maringin panjenengan omah sing

apik nang suargo...

114

60. Bosan

Beberapa hari ini pekerjaan saya jauh lebih membosankan dari kata bosan itu sendiri.

Meski awalnya, sistem hard disk drive adalah sesuatu yang kompleks, terintegrasi,

tapi jika sudah sering melihat, mendengar, mendiskusikan dan mengerjakan, lama-

lama kok ya bosen. Karena bosan itu akhirnya badan saya jadi pegel-pegel, tidak enak.

Sempat loyo dan hawa panas-dingin (terik-hujan) di sini menambah buruknya mood

saya. Jadinya, Senin pagi saya meriang, dan pengen tidur, dan mbolos (alias MC).

Kemudian Selasanya saya masuk. Rabu saya MC lagi. Kerja kok kelap-kelip lampu di

kota?

Bos saya ceria sekali waktu melihat saya hari Selasa lalu. Dia bilang, pulang lebih awal

tidak apa-apa supaya masuk kerja tidak malah membuat sakitnya lebih buruk. Dia

malah nanyain kabar anak dan istri saya sebelum nanya tentang saya. Wah, baik sekali

tho? Bos saya ini orangnya memang memperhatikan well-being staff-nya. Ia dididik dan

dibesarkan di Silicon Valley, jadi culture bekerjanya sangat family-oriented, namun tetap

profesional.

By the way, saya barusan pinjam buku "Silicon Valley Way", buku mengenai

membangun bisnis high-tech a la perusahaan terbaik di Silicon Valley, California. Baru

membaca pengantarnya saja. Sepertinya menarik sekali karena seperti buku know-how,

sehingga ia bisa secara praktis diterapkan. Buku ini adalah buku yang selama ini saya

cari mengenai "bagaimana memulai bisnis yang berbasis teknologi dan riset".

Bosan. Apa obatnya? Entahlah. Saya juga bosan menunggu artikel saya (yang ketiga)

dimuat oleh Berita Harian, Singapura. Judulnya "Obama di Djakarta: 1967 - 1971". Pasti

judulnya bakal diubah lagi sama mereka, seperti halnya dua artikel terdahulu

mengenai "orang Jawa di Singapura" dan "Bengawan Solo". Saya udah pinjam dua

film, baru ditonton yang "The Brave One".

Menulis, bosan. Main gitar, bosan. Nonton film? Membaca buku? Atau ambil PhD? Ha

ha. Yang terakhir ini malah bikin bosan, terutama di tahun ke-2 dan seterusnya. Believe

me. Sebenarnya keinginan mengambil PhD itu masih ada. Cuma kok ya agak malas

kalau bidang engineering. Pengennya ambil bidang fisika murni. Tapi kok ya otak

tidak nyucuk rasanya, apalagi jika dihadapkan pada persamaan diferensial yang

sekarang sudah lupa total. Ada juga ide melakukan PhD research bidang kebudayaan

Indonesia, seperti yang dilakukan orang-orang Cornell yang saya kagumi. Topik

risetnya: Kehidupan Orang Jawa di Luar Jawa: New Caledonia, Singapura, Malaysia,

Suriname. Aduh, siapa yang mau membiayai? Dan siapa yang bertanggungjawab jika

saya tetap bosan? hix hix.

115

VII. BUDAYA

116

61. Paguyuban

Setidaknya seseorang pasti pernah ikut “gank”. Meski terdiri dari dua orang, ini sudah

gank. Ada juga yang kemudian membentuk sekian puluh orang dan memberi nama.

Ada yang lebih kolosal: membentuk suatu paguyuban yang akhirnya berjumlah ribuan

orang, memberi nama (kadang kocak, kadang nggilani), merancang aktivitas (kadang

menyedot biaya, kadang nirguna), saling mengenal (enam bulan kemudian ingat

wajah, lupa nama) dan at the end of the day menjadi kenangan; misal: Eh dulu ikut

paguyuban GB alias Gendheng Bareng, gak? Eh, si Tuyul carik paguyuban Waras

Dhewe di mana ya sekarang?

Fenomena kenapa membentuk paguyuban bisa dilihat dari perspektif psikologi sosial.

Tapi saya ini buta psikologi sosial meski ada yang bilang “Lho, pengetahuan psikologi

itu kan inheren, jadi kita hanya perlu menggali sendiri atau beli buku psikologi

populer di toko buku”. Siapa bilang? Kalau begitu bisa-bisa Fakultas [waktu kecil saya

ngiranya Bakul Tas] Psikologi bisa tutup ket jaman mbah buyute Sigmund Freud. Salah

satu sebab orang mendirikan paguyuban atau kelompok adalah menungso kuwi sejatine

ora pengen dhewean! Manusia tak ingin hidup sendiri.

Eh bentar-bentar … kok aku inget terjemahan “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam bahasa Jawa

ya?? Tahu nggak? Sila siji: “Gusti Allah ora ono koncone”

Lanjut. Manusia perlu orang lain; terutama yang sehati, punya sejarah sama, latar

belakanga sama, bahasa sama, pokoknya serba sama (meski sulit akhirnya disama-

samain gak papa). Sebab lain: menungso kuwi sejatine pengen ndue posisi dalam

komunitas. Kalau punya posisi ia bisa punya ruang lebih besar untuk beraktivitas.

Dalam ruang besar ini, ia memiliki kekuasaan. Walah, melip sekali sampai ke

“kekuasaan”! Manusia itu unik. Salah satu aspek non-material yang selalu ia ingkari

tapi terus dikejar-kejar tanpa sadar (tanpo bondho, kecuali peserta Pilkada) adalah

kekuasaan. Ora percoyo? Nietzsche bilang Der Wille zur Macht (Kehendak untuk

Berkuasa). Tapi jangan sampai terjebak: intinya adalah Macht atau berkuasa. Kalau

dipisah antara Wille dan Macht, bisa jadi Hitler sampeyan (hehe).

Lho nglantur sampe Nietzsche!

Alasan lain kenapa orang membentuk paguyuban: cari pacar, bisa menceritakan

kesuksesan (oleh sebab itu mereka yang merasa gagal kadang malas ikut paguyuban),

bisa mencari pelanggan dan membangun jaringan (gaya kapitalis yang tak perlu

dicemooh dan tak perlu dikuatirkan karena kita sudah terjebak di dalamnya) dan

mengerjakan PR. Maksudnya mengerjakan PR? Lha iya … paguyuban kan punya cita-

cita. Yang dulu tak tercapai, barangkali saat ini bersama-sama teman yang lebih

banyak bisa mewujudkan cita-cita itu. Agak telat mikir? Bukan. Tapi telat bertindak

karena keterbatasan resources.

Mengenai paguyuban, orang Singapura harus belajar dari orang Indonesia. Secara

alami tanpa dioyak-oyak, orang Indonesia otomatis gatel bikin paguyuban di

manapun mereka. Useful? Tentu to a certain extent. Jika tidak ngapain bikin?

117

Paguyuban berarti membuat sistem. Di atas sistem ada kekuasaan. Penggerak

kekuasaan hanya satu: aku.

Menungso … menungso … guyubo!

118

62. Indonesianis

Malam hari dan akhir pekan biasanya saya gunakan untuk membolak-balik buku

"non-angka". Sejak di Bandung, saya selalu mengagumi karya-karya sastra dan budaya

dari Timur dan Barat yang ditulis beragam manusia dari pelbagai abad. Buku-buku

itulah yang menghiasi rak kecil saya sejak dulu. Sebagian besar buku saya titipkan di

rumah kakak di Jakarta (katanya aman dari banjir), dan sebagian lagi saya kumpulkan

di sini. Baca punya baca, ada pertanyaan menarik: kenapa ahli-ahli mengenai budaya

atau sejarah Indonesia kebanyakan bukan orang Indonesia?

"Indonesianis" yang non-Indonesia

Ahli mengenai Indonesia biasanya disebut Indonesianis. Ada juga istilah lebih umum

yang dipakai: orientalis (ahli dunia timur). Sir Stamford Raffles barangkali penulis

tersohor mengenai wilayah Indonesia, khususnya Jawa (lihat "History of Java").

Snouck Hurgronje juga meninggalkan karya ilmiah termasyhur mengenai Muslim-

Aceh, meski dulu kita mengenalnya sebagai "penjahat" intelek di balik kemenangan

Belanda terhadap Aceh. Di belahan Amerika Utara, nama-nama berikut lumayan

terkenal: Daniel S. Lev, Ben Anderson, James Siegel, Jeffrey Winters, George McTurnan

Kahin, Clifford Geertz dan Hildred Geertz. Di belahan Eropa, nama ini yang saya

kenal: Denys Lombard. Dari Australia, Greg Barton adalah favorit saya.

Tidak banyak ahli mengenai Indonesia yang berasal dari Indonesia. Alasannya

barangkali masalah praktis seperti "dana penelitian". Di Indonesia, riset itu adalah

prioritas paling buncit kalau berani jujur-jujuran. Dulu, masa rejim Suharto dan ketika

Habibie masih menjabat Menristek, riset adalah ladang emas. Tapi setelah krisis

moneter, di mana utang menggunung dan korupsi merajalela, mata pemerintah tak

lagi ke bidang riset; tapi ke pemulihan ekonomi, politik, kepastian hukum dan HAM.

Alasan lain barangkali "beda perspektif". Orang Indonesia melihat budayanya sebagai

keseharian, bukan keunikan. Jadi ya wajar kalau budaya dan sastra wilayahnya sendiri

dikuasai oleh orang luar.

"Indonesianis" yang Indonesia

Taufik Abdullah, Koentjaraningrat dan Kuntowijoyo adalah ahli sejarah dan budaya

yang asli Indonesia. Selain mereka, banyak sekali bermunculan ahli Indonesia yang

asli Indonesia. Setidaknya di Singapura ini, baik di NTU atau NUS, banyak profesor

atau doktor yang melakukan riset mengenai Indonesia (terutama bidang ekonomi dan

agama). Yang menarik, rata-rata dari mereka menempuh pendidikan doktorat di luar

negeri (Amerika), bukan di Indonesia. Padahal, topik penelitiannya mengenai

Indonesia. Mengapa? Alasan selain dana penelitian adalah resource hidup yang berupa

"profesor" dan resource mati seperti buku-buku dan jurnal ilmiah. Di Amerika sangat

banyak profesor yang meneliti mengenai Indonesia, dan perpustakaan lengkap

mengenai Indonesia ada di Cornell dan Leiden. Selain itu, Harvard juga menyediakan

buku-buku bagus mengenai Indonesia.

Oksidentalis

Lah terus, kapan kita jadi oksidentalis (peneliti dunia Barat)? Istilah oksidentalisme

dipopulerkan oleh Hassan Hanafi (penulis Al Yasar al Islam - "Kiri Islam"). Namun,

119

menurut beberapa pengamat, buku mengenai oksidentalismenya belum mampu

mengalahkan "despotisme" orientalisme yang sangat mengakar di dunia Barat.

Setidaknya, Edward Said pernah membela dunia Timur lewat "Orientalism".

Barangkali kita bisa jadi oksidentalis ketika hal-hal yang menarik dari Barat bukan lagi

berupa materi ...

120

63. Indonesia di Cornell

27 Maret 2007

Saya belum pernah ke Cornell, tapi orang-orang Cornell rajin ke Indonesia selama

lebih dari 40 tahun. Mereka, seperti James Siegel dan Ben Anderson, datang ke

Indonesia untuk mencatat. Mereka lalu mempublikasikan temuan-temuannya dalam

jurnal. Yang mereka catat adalah cerita seseorang, perkembangan pemikiran, keunikan

budaya, kekacauan politik dan lainnya. Hampir semua aspek politik, budaya dan

sosial di-potret oleh kacamata ilmuwan. Di sini, peralatan sosiologi mesti telah

dikuasai dan pemakaian bahasa yang rapi dan sistematis adalah keharusan. Mencatat

suatu kejadian atau fakta dalam bahasa Indonesia memerlukan keterampilan sendiri,

karena bahasa ini dibentuk oleh Melayu (yang diperbarui) dan absorbsi pelbagai

bahasa seperti Arab, Inggris, Belanda dan Sanskrit.

Catatan dalam bentuk jurnal itu dapat ditemukan di sini: INDONESIA

Melanjutkan tulisan saya Indonesianis beberapa waktu lalu saya menduga dua hal

mengenai para Indonesianis kita ini: (ijinkan saya meminjam kutipan dari buku

Orientalism - Edward Said) bahwa "the East is a carrier" dan "They cannot represent

themselves, they must be represented". Dunia timur menjanjikan karir di dunia akademis

barat dan mereka sadar bahwa orang Indonesia kurang mampu menceritakan dirinya,

jadi mesti dibantu dalam penceritaan. Benarkah? Entahlah...

121

64. Kuda Kepang*

Di sebuah kota kecil di Jawa, dalam semaraknya karnaval 17-an (perayaan

kemerdekaan Indonesia 17 Agustus), saya menyaksikan sekelompok orang memakai

topeng menyeramkan, diiringi kuda kepang, barong (kepala singa raksasa yang

berambut ekor burung merak) menari mengikuti irama musik tradisional Jawa.

Kelompok ini disebut reog, yang berasal dari Ponorogo. Mereka muncul di karnaval

sebagai simbol kesenian yang lahir di sudut provinsi Jawa Timur. Itu terjadi di medio

1980an ketika karnaval merupakan ritual tahunan, seperti halnya Chingay di

Singapura, yang menghabiskan dana jutaan dan menyedot penonton dari seluruh

penjuru desa. Kini karnaval 17an jarang terlihat lagi.

Reog ini memukau karena penari kuda kepang lalu menari agresif, setengah sadar dan

memakan beling (pecahan kaca). Penari itu juga memasukkan segenggam paku ke

dalam mulutnya, mengunyahnya lalu menelannya. Ia lalu meminum minyak tanah

untuk melepas dahaga. Semua orang menunggu: apa yang terjadi sesudahnya? Anak-

anak kecil mundur sedikit takut, tapi mata mereka masih menyaksikan atraksi “liar”

itu. Tak terjadi apa-apa: penari kuda kepang terus menari, tak berdarah, tak terluka,

mereka seperti dadhi mabuk (jadi mabuk). Di rumah, tentu tak ada yang berani

mencobanya. Berbahaya. Orangtua bilang: itu efek dari ilmu hitam. Benarkah?

Entahlah.

Reog

Reog adalah kesenian asli Jawa Timur, lebih tepatnya kota Ponorogo, yang

menggabungkan konsep musik tradisional Jawa, seni tari, humor, seksualitas dan

mistisisme. Reog dibentuk oleh singobarong (yang dimainkan oleh warok), kuda kepang

(yang dimainkan oleh gemblak) dan musik gamelan. Reog ini menjadi simbol kota

Ponorogo.

Asal kata “reog”

Ada kalanya seseorang menyebutnya “reyog”, namun ini adalah ejaan lama. Ejaan

yang baru adalah reog (tanpa “y”). Kata “reyog” diturunkan dari kata “angreyok”,

yang digunakan oleh seorang penyair Prapanca pada abad ke-14 dalam kitab Nagara

Kertagama. Menurut Dr Theodoor GT Piegaud (1899 – 1988), penulis kamus Jawa -

Belanda, angreyok berhubungan dengan dorongan semangat kemiliteran, pertunjukan

tari reyog modern, perang-perangan, pendidikan militer kuno.

Reog dan politik

Dalam perkembangannya, ketika kesadaran politik mulai tumbuh dan parti-parti

melihat bahwa sinergi antara kesenian dan politik sangat efektif, reog akhirnya juga

membawa misi politik. Dalam “Performance, Music and Meaning of Reyog Ponorogo”

(Jurnal Indonesia, 1976) Margaret J. Kartomi mengatakan bahwa hal ini dapat

dibuktikan dengan adanya kesenian reog yang disokong parti besar seperti Partai

Nasional Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia pada sebelum

1965. Kini, di samping memiliki kesenian ludruk (drama dan komedi situasi), parti

122

besar seperti Parti Golkar masih menggunakan reog untuk menyebarkan pengaruh

politiknya ke desa-desa di Jawa.

Kuda kepang dalam reog

Kuda kepang yang dalam bahasa Jawa disebut jaran kepang biasanya ditampilkan

sebagai tarian pembuka dalam reog. Beberapa penari muda menunggangi kuda

anyaman bambu, menari dan mengikuti musik gamelan reog yang dibentuk oleh

harmoni antara kendang (drum besar), kempul (suspended gong), slompret (seruling

dengan bunyi melengking), angklung (tiga pipa bambu) dan tipung (drum kecil). Kuda

kepang inilah yang barangkali merefleksikan aspek kemiliteran, yaitu pasukan

kavaleri atau latihan berkuda, yang kemudian ditiru oleh anak-anak menggunakan

kuda-kudaan bambu. Di wilayah Ponorogo, kuda kepang diasosiasikan dengan

elemen-elemen magis-religius, termasuk erotisme dan kepercayaan kesuburan. Di

wilayah lain, kuda kepang diasosiasikan dengan penari-penari yang kerasukan hewan

dan roh orang yang sudah mati.

Kuda kepang dikenal di Singapura sebagai percampuran antara seni tari dan aspek

mistik. Di tengah tarian kuda kepang tadi, penari kuda kepang mengalami kasurupan

(Jawa: kemasukan makhluk halus) sehingga ia memakan kaca (Norain Kasban,

Komentar BH, 5 & 22 Mac 2008).

Kasurupan dalam kuda kepang

Dalam kelompok reog tertentu, di tengah tarian itu, ketika musik sudah mencapai

klimaks, penari kuda kepang mengalami kasurupan (Jawa: kemasukan makhluk halus).

Jiwa penari seperti terlepas dari badannya dan digantikan makhluk lain. Ia tetap

menari mengikuti irama namun dalam keadaan setengah sadar (trance).

Dalam masyarakat Jawa kuno yang menganut Kejawen (gabungan antara animisme-

dinamisme, agama Jawi dan Hindu), seseorang mempercayai kehadiran dan peran

roh-roh orang yang sudah meninggal. Roh-roh ini bisa dipanggil dan melakukan

sesuatu yang diinginkan pemanjat doa (biasanya dukun - shaman). Kemenyan (incene)

kemudian dibakar untuk memberi makan roh-roh ini. Roh ini, menurut Dr Paul D.

Stange dalam The Sumarah Movement in Javanese Mysticism (1980), memiliki pemikiran,

perasaan dan nafsu yang sama dengan manusia, dan roh ini berasal dari kematian

yang tak sempurna. Roh ini kemudian masuk ke dalam roh penunggang kuda kepang,

dan memanfaatkan fisik penunggang kuda untuk melakukan sesuatu yang musykil

dilakukan orang biasa, seperti memakan beling (pecahan kaca), paku dan minum

minyak tanah. Tubuh mereka kadang juga berdarah, namun mereka tak dapat

merasakannya.

Di satu sisi, adegan mistis ini mengundang decak kagum dan perasaan terhibur.

Namun di sisi lain, adegan ini juga mengundang kontroversi terutama jika

dipertemukan dengan ajaran agama Islam.

Menurut orang Ponorogo, reog yang mereka tampilkan tidak memiliki unsur kuda

kepang yang kasurupan. Aspek ini biasanya ditampilkan kelompok-kelompok reog

dari Tulungagung, Madiun dan wilayah luar Ponorogo lainnya. Orang Ponorogo

123

melihat bahwa kasurupan ini adalah ketidakmurnian dalam reog asli. Kasurupan ini

kemungkinan lebih dekat ke kesenian ebeg dari Banyumas (Jawa Tengah), seblang dari

Banyuwangi (Jawa Timur), jaranan sentherewe dari Tulungagung (Jawa Timur) dan kuda

lumping dari Cirebon (Jawa Barat).

Pelestarian reog oleh pesantren-pesantren di Jawa

Di Jawa sendiri, reog ini masih dilestarikan oleh sejumlah pesantren. Pesantren

Tegalrejo di Magelang, Jawa Tengah, malah mendatangkan ragam kesenian selain

reog, seperti ketoprak, wayang kulit, barongsai, warangan dari pelbagai daerah. Selain

menyukai cerita-cerita wayang, mereka juga melihat kandungan filsafat yang sejalan

dengan nafas Islam di balik cerita itu. Kesenian di Jawa ini juga dipercaya sebagai alat

pemersatu warga.

Integrasi antara agama Islam dan budaya Jawa ini telah terjadi ketika Wali Songo

(sembilan wali) menyebarkan Islam di tanah Jawa mulai abad ke-14. Alih-alih

memusnahkan budaya asli, mereka menggunakan kesenian Jawa sebagai medium

penyampaian ajaran Islam.

Oleh beberapa kyai di Jember dan Tulungagung, beberapa gerakan dalam jaranan

dimaknai sebagai proses pengambilan air wudlu. Pesantren-pesantren ini dipercaya

hanya melestarikan keseniannya saja, tidak aspek lain seperti pemanggilan roh.

Berita Harian, Singapura, 30 April 2008

124

65. Fitna: Alat Verifikasi

Film ini punya satu lagi fungsi: alat verifikasi. Canggih juga Si Wilders. Dia barangkali

hanya ingin membuktikan bahwa orang Islam itu identik dengan kekerasan, terutama

di developing countries, seperti Indonesia.

Lihat saja di Liputan6: HMI Sumut "...membakar ban, mendobrak gerbang, membakar

bendera Belanda, melempari jendela dengan batu ...". Orang Islam marah, marah,

marah. Wajarkah? Tidak. Buat apa marah? Kalau marah artinya pancingan Wilders

berhasil: inilah wajah Islam yang sebenarnya, terlepas bahwa kemarahan itu adalah

hasil dari persepsi diri yang terhina.

Dihina, diolok-olok itu biasa. Kalau dilihat isi film-nya, film ini asli kacangan, suatu

cara murahan yang akan ditertawakan oleh umat Islam (bahkan non Islam) di Eropa.

Cukup ditertawakan. Tidak usah marah. Kemudian lupakan. Demo boleh, dialog

boleh, intinya: meminta pengertian pemerintah Belanda mengenai dampaknya.

Kebebasan boleh berlaku di Belanda, tetapi jangan sampai membuat orang lain terhina.

Sebagai muslim, saya tidak merasa terhina dengan film kacangan ini. Jadi ya biasa saja.

Terus bagaimana dengan pandangan non-muslim mengenai film ini, terutama mereka

yang hidup di Barat? Barangkali efeknya sama dengan efek 9/11: makin banyak orang

mengkaji surah-surah di dalam Quran, dan berbalik memverifikasi "Benarkah Islam

identik dengan kekerasan? Apakah banyak orang (bahkan kalangan muslim sendiri)

salah interpretasi?"

Kayaknya lebih sakit hati ketika membaca Satanic Verses dulu ...alasannya: karena selalu

menghubung-hubungkan tokoh Mahound di dalam buku itu dengan Muhammad SAW - kalau

paradigmanya diganti, mungkin tidak akan sakit hati.

125

66. Kopi

Di Jawa, misalnya, ketika kata "Indonesia" belum lahir, kopi tak memiliki label. Tapi ia

memiliki aroma, pecandu dan harga. Ia hanyalah biji, tapi ia salah satu penyebab

imperialisme. Dan perdagangan adalah titik mula suatu kekejian di perkebunan. Kopi,

dan teman sejawat seperti cokelat, teh, tembakau, pala, menghisap nafsu invasi sebuah

negeri ke negeri lain. Tapi kopi tetap tak bisa dibawa ke pengadilan.

Kopi membuat saya sakit perut. Sial. Tapi seringkali saya bandel dan menjadi test bud

beberapa kopi di lingkungan kantor. Bermacam-macam rasanya. Tapi "rasa" itu hanya

terbentuk oleh komposisi air, kopi, gula dan susu. Bukan komposisi di dalam kopinya.

Kopinya seperti seragam, seperti halnya kopi di belahan sudut lain di Singapura.

Barangkali supplier kopi pun dimonopoli di sini [ha ha]. Akhirnya disimpulkan bahwa

kopi yang lumayan adalah kopi yang kental (highly concentrated), tak terlalu banyak

di"tumpuk" sehingga mirip recycling kopi (bukan fresh coffee lagi). Setidaknya kopi ini

jauh lebih enak daripada kopi di hotel dan kantor di San Jose. Di sana, seolah-olah,

lidah tak memiliki indera, lidah tak diberi kenikmatan, lidah mengalami resesi

sebagaimana ekonomi Amerika saat ini.

Kopi tetap membuat saya sakit perut (sebenarnya). Nama kafe tak penting. Jika itu

kopi maka ia bisa mengalamatkan saya ke toilet berkali-kali. Atau, setidaknya, perut

jadi tak nyaman. Mengapa masih minum kopi? Karena kopi adalah gaya hidup

barangkali. Gaya hidup yang sedikit mempedulikan fungsi jantung. Orang Singapura

suka kopi. Oleh sebab itu di setiap blok, ada kedai kopi (kopi tiam). Rasanya sama.

Gelasnya sama. Ia adalah gaya hidup.

126

67. Atheist

Ketika kecil saya ngeri mendengar kata "atheis" karena kata ini begitu dekat dengan

komunis (baca: PKI). PKI, di tahun 80an, adalah aktor laga yang antagonis pada setiap

30 September malam di TVRI. Tentara adalah protagonis. Kita juga harus pro tentara,

pro negeri ini. Begitu pesan implisitnya.

Namun, belakangan saya membaca ada tiga teori mengenai siapa pelaku G30S ini: (1)

PKI, (2) CIA atau (3) Suharto. Siapa ya? Jadi bingung. Rasanya perlu membaca

dokumen yang diterbitkan CIA baru-baru ini. Tapi saya lupa nyimpen di mana. Untuk

sumber lain, tengah mencari (tanpa usaha berlebih).

Kembali ke atheisme. Teman dekat saya semasa kuliah di Singapura adalah seorang

atheist. Ia tak mengenal tuhan. Sepertinya kalimat d'Holbach (1772) bisa diberlakukan

pada teman saya ini, sonder masalah umur "Semua anak dilahirkan atheist; mereka tak

mengenal konsep tuhan." Masuk akal, bahkan semua anak tak mengenal siapa ayah-

ibunya! (ha ha - ups) Teman saya ini "korban" Mao Zedong yang menggalakkan "no

god solution". Artinya: tak perlu ada gagasan untuk merujuk ke tuhan dalam segala

aktivitas manusia. Ketika saya tanya (dengan analogi): jika ada bunyi klothak-klothek di

dapur dan tidak ada makhluk apapun, percayakah kamu bahwa bunyi itu disebabkan

hantu atau makhluk gaib? Ia bilang: itu pasti anjing atau kucing atau binatang lain,

atau suatu mekanisme. Ia tak percaya sesuatu yang gaib, seperti halnya tuhan, tapi ia

percaya mekanisme. Kini ia tetap atheist (atau biar lebih keren, ia sering menyebut

dirinya "free thinker"), meski dulu sering mendengar saya bercerita tentang agama

semit (yahudi, islam dan kristen), atau konsep "gusti" dalam kejawen, siddharta

gautama, atau sang hyang widi wasya. Tak mempercayai sesuatu pun adalah suatu

kepercayaan.

Pada 2001, setelah menulis "Hidup, Mati, Jiwa, Keabadian dan Bunuh Diri" sependek

dua halaman, saya pernah disangka tak mempercayai kematian. Kalau yang bilang

teman sendiri sih ga apa-apa. Lha ini dosen yang bilang! Saya bingung menjawabnya.

Yang jelas sangat sulit menjelaskan tentang keabadian yang non-fisik dan "bersifat

ateistik" yang kebetulan ditulis oleh seorang yang beragama. (ada gak sih?).

Tulisan memang ada yang ateistik. Artinya ia menolak salah satu konsep yang

digariskan tuhan. Prior to that, ia pastinya menolak konsep tuhan. Seperti misal: fase

hidup-mati yang digariskan tuhan lewat kitab-kitabnya. Ia lebih mempercayai garis

abadi atau kekekalan yang memang ada -- meski kita cenderung membagi fase hidup-

mati menjadi fase fisik-non fisik, fase rasional - irrasional (masuk akal - tak bisa

dipaksa masuk akal). Aduh tambah bingung ya. Sebenarnya tulisan itu hanya bunga

rampai beberapa pemikiran dari jaman islam keemasan, hingga pemikiran Albert

Camus. Tapi ya karena kurang pandai mengolah flow tulisan, jadinya malah dituduh

tak percaya kematian.

Yah begitulah jika kebanyakan membaca buku Rusia dan Jerman. Sekarang makanya

lebih sering baca buku masak (ha ha)

127

VIII. MUSIK

128

68. Gitar

Awalnya, belajar nggitar itu susahnya minta ampun. Empat jari kiri mesti menekan

senar pada fret yang berbeda-beda, senar ditekan tak terlalu kuat juga tak terlalu

lemah (kalau terlalu kuat bisa sengkleh drijine, sedangkan kalau terlalu lemah ya senar

gak bunyi tho …), selanjutnya genjreng enam senar yang ada di depan lubang

resonansi, lalu jreng… kita bisa tersenyum meski hanya bisa satu kunci. Ini

pemandangan hari pertama belajar gitar. Selanjutnya … ada yang menyerah karena

jari-jarinya keburu dhedhel duel nglentheki (compang-camping mengelupas), ada yang

lempar gitar karena memang tidak sabar untuk cepet selihai Rhoma Irama atau Joe

Satriani (eh jomplang banget yo perbandingane? hehehe), karena tidak berbakat musik

alias motorik plus sense musik memang dilahirkan cacat, tapi ada juga yang gigih

belajar sampai menguasai satu lagi sederhana plus nyanyi dengan suara lirih (karena

ingin ngetes genjrengannya bener atau nggak).

Belajar gitar di sekolah musik biasanya lebih terstruktur. Di sana kita diajari membaca

not balok, belajar ketukan, belajar bermacam-macam lagu, diawasi guru dan ada

pekerjaan rumah. Belajar pada teman sendiri agak berbeda. Di sini, tidak ada baca not

balok dan PR: lebih relaks dan self-discipline memegang peranan penting.

Saya belajar gitar dari seorang kawan bernama Sunu. Setelah Sunu saya “nguping” di

depan kaset Tohpati, Lee Ritenour dan Earl Klugh. Mirip dengan tiga begawan itu? Yo

ora la … jauh. Tapi setidaknya saya mencoba. Hasilnya? Tidak ada, hanya bisa main

gitar saja. Sederhana dan personal: kepuasan diri setelah bertahun-tahun melatih jari

di atas fret. Karena tidak good enough, maka keahlian main gitar tidak bisa buat cari

nafkah. Lagipula, “main gitar bosen juga ya” hehe (mengutip Balawan waktu

manggung bersama Trisum).

Ngomong-ngomong, pernahkah anda main gitar di bawah ini? Saya belum, dan

rasanya impossible buat mainin gitar ini … tapi nggak juga lho … gitar yang namanya

Pikasso I ini benar-benar ada! Gitar 42 senar ini dimiliki Pat Matheny, gitaris jazz. Dan,

gitarnya sendiri dibuat khusus oleh Linda Manzer (Kanada).

Pikasso I

Kok yo ono gitar aneh koyok ngene …

129

69. Jazz, Jakarta dan Trisum

Juni 2006

Pada 1997, dalam sebuah mobil yang stasioner di tepi parkiran, saya mendengarkan

jazz mainstream. Telinga saya tak bisa menelannya karena terbiasa dengan jazz fusion

yang mudah dan enak dicerna. Lalu di belakang setir, seorang kawan yang seniman

bilang: “Jazz berasal dari suatu yang papa. Yang melarat dan kumuh. Di New Orleans.

Di tengah orang-orang hitam. Jazz pada mulanya adalah representasi kemiskinan.”

Sejenak saya berpikir: kini, jazz dengan evolusi dan asimilasi musikal berakhir di

sebuah klub yang nyaman dan telinga yang elit. Jazz tak lagi papa, tak lagi miskin, dan

jazz memilih pendengar.

Ketika kecil, saya selalu memimpikan pergi ke Jakarta: untuk menyaksikan Monas,

bermain di Dunia Fantasi dan melihat hiruk pikuk ibukota yang gemerlap. Tahun 1999

saya jadi akrab dengan Jakarta. Impian saya larut dalam acaknya lalu lintas, tebalnya

karbon monoksida, budaya desa dalam sebuah kota, mozaik miskin dan kaya,

ketidakteraturan dalam pola yang rutin. Tapi saya mulai bisa menikmati jazz

mainstream ketika itu. Mungkin jazz adalah representasi Jakarta: chaos dalam ritme

yang konstan. Saya tak membenci Jakarta meski impian masa kecil tinggal utopia

belaka.

Tahun 1999 itu saya juga menyaksikan 7 pendekar gitar (jazz) bermain bersama. Dua

di antaranya masih muda: Dewa Budjana dan Tohpati. Lalu saya jadi pesimis: lima

senior mungkin bakal gantung gitar segera, dan gitaris jazz yang masih muda

“dituntut” meramaikan negeri ini. Agak lama saya menunggu “keramaian” jazz

muncul kembali. Penantian saya terjawab: ada TRISUM, yang terdiri dari Dewa

Budjana, Tohpati dan Balawan. Saya tak lagi pesimis.

Dengan gaya kalem, Budjana mengidap dualisme: komersial dan idealis. Isme yang

pertama adalah masalah popularitas dan cashflow, sedang isme kedua adalah masalah

integritas. Budjana bagi saya adalah gitaris jazz yang mampu menciptakan komposisi

harmonis, etnikal, dan kerap menyuguhkan suasana magis dalam instrumentalnya.

Tohpati bagi saya adalah gitaris jazz dengan nada unik yang terdengar out of tune

namun berhasil membentuk komposisi a la Mike Stern dan Pat Metheny. Balawan bagi

saya adalah seorang rendah hati yang keterampilan tappingnya sulit ditandingi gitaris

jazz lainnya: Balawan berhasil memainkan komposisi jazz dan blues dalam tepukan

jari yang lincah dan cepat, lalu mengentaskan musik Bali dari ekslusivitas budaya. Jazz

dihidupkan oleh mereka bertiga, dalam atraksi gitar yang mengagumkan. Kemudian,

dari Jakarta dan Bali, jazz segera mengalir ke pelbagai pelosok Indonesia.

Jazz kini mengakrabi pendengar, melintasi batas mozaik budaya yang ulet dan getas,

kemudian menyelinap di iPod, televisi dan radio. Jazz, pada akhirnya, mungkin tak

lagi representasi Jakarta, melainkan lokus hidup yang universal, di Indonesia …

130

70. Balawan, Sinkretisme dan Tapping

Maret 2006

Di kesehariannya, anak-anak di Bali umumnya terekspos upacara agama Hindu,

dimana doa-doa, aroma bakaran dupa, gamelan Bali dan umat yang apresiatif

menyatu. Ini membawa konsekuensi logis: apresiasi terhadap seni dan musik tumbuh

di masa kanak-kanak. I Wayan Balawan tak luput dari konsekuensi lingkungan ini di

masa kecilnya, dan itulah yang membentuk kejeniusannya bermusik.

Sinkretisme Musik, Teknik Tapping dan Kecepatan. Setelah menyaksikan konser

Balawan dua hari di University Cultural Center - NUS, saya menemukan perkawinan

antara gamelan Bali dengan jazz. Perkawinan itu diusung oleh Balawan dan Batuan

Ethnic Fusion. Balawan adalah musisi muda yang berbakat dan memiliki motif mulia:

dia mencoba menggabungkan gamelan Bali dengan jazz, yang saya rasa, itu hanya

akan dilakukan oleh musisi yang sudah matang. Proses menggabungkan jazz dengan

gamelan Bali bisa dimaknai sebagai sinkretisme dalam musik. Gamelan adalah

pentatonik sedangkan jazz adalah diatonik. Jazz bisa dimainkan dengan tempo lambat

ataupun cepat, sedangkan gamelan Bali umumnya cepat. Hal pertama yang harus

dilakukan untuk memasukkan jazz dalam gamelan Bali adalah dengan menyamakan

tempo. Hal kedua adalah memasukkan nada-nada jazz dalam gamelan, dan

sebaliknya.

Balawan memainkan gitar double-neck 12 senar dengan teknik tapping

Balawan memainkan gitar elektrik dengan teknik right-handed tapping (teknik ini

dipopulerkan oleh Eddy van Halen tahun 70an) dimana dia menekan senar gitar antar

dua fret dengan empat jari (tangan kanan) seperti memainkan piano, dan empat jari

dari tangan kiri memainkan bass dan chords. Kelincahan jemarinya sungguh tinggi,

namun kehalusan melodi gitar tetap dipertahankan. Balawan juga dikenal sebagai

gitaris Asia pertama yang mampu memainkan tapping delapan jari pada double-neck

guitar secara bersamaan.

131

Siapakah Balawan? Balawan, gitaris jazz muda yang tengah naik daun, lahir di

Gianyar, Bali, 9 September 1973. Ketika kecil Balawan belajar memainkan organ Bali

dimana kecepatan dan harmoni pentatonik menjadi esensi permainan. Balawan

mendapatkan beasiswa untuk belajar musik jazz dan vokal di Australian Institute of

Music, Sidney. Sekembalinya dari Australia, Balawan membentuk sebuah kelompok

musik untuk mengakomodasi musik jazz dan gamelan Bali. Kelompok ini bernama

Batuan Ethnic Fusion (BEF). Kelompok ini beranggotakan Balawan, Wayan Suastika,

Wayan Sudarsana, Nyoman Marcono, Nyoman Suwidha, Gusti Agung Bagus Mantra,

Gusti Agung Ayu Risna Dewi dan Ito Kurdhi. BEF memainkan instrumen tradisional

seperti reong, suling, rindik, genggong, kendang and cengceng. (1993 - 1995). Balawan

terinspirasi oleh banyak musisi, terutama

Balawan dan BEF merilis tiga album: “GloBALIsm” (1999), diproduksi Dewa Budjana;

“Balawan” (2001), direkam di Jerman; “Magic Fingers” (2005).

Matematikawan, Atlit dan Artis. Untuk menjadi musisi yang terkemuka seseorang

mesti menjadi “matematikawan”, atlit dan artis. Balawan memiliki tiga hal itu. Ketika

memainkan gitar, akurasi dalam menyentuh senar di antara dua fret bisa

menghasilkan aliran yang jernih, halus dan bersih. Akurasi adalah syarat yang esensial

dalam mengerjakan matematika. Untuk menguasai teknik tapping, yang umumnya

sulit, Balawan melatih dirinya siang-malam untuk menghasilkan tapping kecepatan

tinggi dan suara yang diinginkan. Usaha ini memerlukan energi luar biasa seperti

halnya atlit. Balawan memulai debutnya dengan melebur jazz dan gamelan Bali.

Proses memperluas musik dan menggabungkannya dengan musik etnik tidaklah

mudah. Hal ini memerlukan jiwa artis dengan kreativitas tinggi untuk menciptakan

musik agar jazz dan gamelan Bali tetap hidup.

Makan-Makan di Tepi Sungai. Saya melihat permainan Balawan pertama kali pada 10

dan 12 Maret 2006 di Singapura, meski sebelumnya saya sering mendengar namanya

ketika dia manggung di JGTC (Jazz Goes To Campus, Universitas Indonesia). Sungguh

menghibur sekaligus mengagumkan. Aransemen musik yang bagus, harmonisasi yang

sangat etnikal, kompleks tapi enak untuk dinikmati! Dan, permainan tapping yang

sangat cepat! Setelah konser kecil di UCC itu, saya, istri saya, Balawan, Momoko Fusa

(pianis klasik dari Jepang), Ony Pah (drum), Dody (bass) dan Batuan Ethnic Fusion

makan-makan di tepi Singapore River, tepatnya di Clarke Quay.

“Bagaimanapun baiknya saya bermain jazz, saya tak akan pernah cukup ‘hitam’ untuk

memainkannya. Jadi, daripada bersusah payah memainkan otentisitas jazz yang tak akan

pernah saya capai, saya memutuskan memainkan musik dimana saya feel at home”, ujar

Balawan pada saat merilis Magic Finger.

For my friend Wayan Balawan

132

Penulis

Arief Yudhanto lahir di Jember (de facto) atau di Bondowoso (de jure) tahun 1978. Ia

menempuh pendidikan dasar dan menengah di Bondowoso dan Jember. Bulan Juni

2002, ia menyelesaikan Sarjana Teknik dari Institut Teknologi Bandung. Setelah bekerja

1 tahun di Laboratorium Aerodinamika, Pusat Antar Universitas – ITB, ia memperoleh

beasiswa dari ASEAN/Jepang untuk melanjutkan studi Master of Engineering di

National University of Singapore (Juli 2003 – Juli 2005).

Bulan September 2005 ia kembali ke ITB dan membantu tim desain pesawat wing-in-

surface effect (kerjasama ITB dan BPPT) dalam perhitungan struktur. Ia kembali ke

Singapura bulan Desember 2005, dan bekerja sebagai staf peneliti untuk Data Storage

Institute (Agency for Science, Technology and Research) milik pemerintah Singapura.

Sejak Oktober 2007, ia bekerja sebagai product engineer di Hitachi GST, sebuah

produsen hard disk drive ex-IBM.

Kegemarannya adalah menulis esai pendek, bermain musik, fotografi dan mengoleksi

buku. Kini ia menetap di Singapura bersama istri dan anak lelakinya.

133

LAMPIRAN: Artikel di Berita Harian Singapura

L1 – Kaitan Obama: Kenya, Indonesia dan Amerika

Berita Harian, Singapura, 17 Mac 2008

NAMA Barack Hussein Obama kian harum di Indonesia, Afrika sehingga Jepun

(kerana ada sebuah pekan bernama Obama).

Di Indonesia, beliau pernah bersekolah di Jakarta - antara 1967 dengan 1971.

Betapa tidak, beliau kian meninta sejarah sebagai warga Afrika-Amerika ketiga yang

diharap menjadi presiden Amerika Syarikat pada November ini.

Namun, bukan mudah baginya mengalahkan pesaing handalan dari parti Demokrat,

Cik Hillary Clinton, mantan Wanita Pertama dan calon wanita pertama bagi presiden

Amerika.

Encik Obama lahir di Honolulu dalam 1961. Beliau lulusan fakulti undang-undang

Universiti Harvard dan merupakan orang kulit hitam pertama yang menduduki kerusi

presiden jurnal ternama, Harvard Law Review.

Bahkan, beliau merupakan satu-satunya anggota kulit hitam di Senat Amerika.

Ketika usianya enam tahun, Obama menetap di Jakarta, yang ketika itu berada dalam

peralihan zaman Orde Lama (Sukarno) kepada Orde Baru (Suharto). Ketika itu,

kenangan berdarah G30S (Gerakan 30 September) yang mengganyang Parti Komunis

Indonesia masih segar.

Barry, begitulah panggilan mesra Obama, lahir daripada seorang ibu kulit putih dan

ayah asal Kenya. Mereka merupakan mahasiswa Universiti Hawaii. Namanya persis

ayahnya sendiri iaitu, Barack Hussein Obama. Ayahnya meninggalkan Barry ketika

beliau masih dua tahun.

Barry kemudian mengenal Lolo Soetoro, seorang mahasiswa dari Indonesia yang

menjadi kekasih ibunya. Dan, ketika ibunya, yang bernama Stanley Ann Dunham,

menikahi Lolo, ia mengajak Barry pergi ke Indonesia dalam 1967.

Dalam memoirnya, Dreams from My Father - A Story of Race and Inheritance (1994), ia

bercerita tentang masa kecilnya di Jakarta - yang beliau sebut 'Djakarta'.

Djakarta dalam gambarannya barangkali masih ada sisanya dengan Jakarta hari ini,

setidak- tidaknya di beberapa tempat seperti tengah kota yang sedikit moden, deretan

toko kecil di jalanan, lalu lintas yang sesak dan macet, pendorong gerobak barang,

matahari yang terik dan pengemis di persimpangan jalan.

134

Sosok lelaki Asia, atau lebih khususnya Indonesia, yang melekat dalam ingatan Barry

tentulah Lolo Soetoro.

Lolo dikenalnya sebagai pemuda yang sopan dan mudah akrab dengan siapa saja.

Beliau pandai bermain tenis dan catur.

Lolo beragama Islam tetapi memberikan ruang bagi pandangan Hinduisme dan

Animisme yang kuno.

Menurut sarjana ternama, mendiang Clifford Geertz, profesor antropologi Amerika,

dalam The Religion of Java, orang Jawa seperti Lolo boleh dikategorikan 'abangan'

iaitu pemeluk Islam luaran saja.

Lolo seorang ahli geologi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Abri) dan pernah

ditugaskan di New Guinea sebelum Barry dan ibunya datang ke Jakarta.

Barry sering bermain dengan Lolo pada waktu senggang. Mereka berbagi kesenangan

dengan memberi makan binatang peliharaan seperti ayam, itik, anjing, kera, burung

cendrawasih, burung kakaktua dan buaya kecil. Lolo menghadiahi Obama sarung

tinju, yang kemudian ia gunakan untuk berlatih dengannya.

Dalam waktu kurang dari enam bulan, Barry mahir berbahasa Indonesia. Namun,

ibunya tetap mengajarkan bahasa Inggeris lima hari seminggu.

Ibu dan anak bangun pukul 4 pagi dan belajar selama tiga jam sebelum Barry pergi ke

sekolah. 'Ini juga bukan piknik yang menyenangkan bagiku, buster,' begitu ibunya

mengingatkan ketika Barry pura-pura sakit atau malas belajar.

Barry juga bermain dengan siapa saja, termasuk anak-anak petani, pembantu rumah

dan birokrat kelas bawah. Ia bermain seperti anak kampung di Indonesia: berkejar-

kejaran di jalan yang sempit, menangkap jengkerik dan main lelayang.

Obama, yang masih kecil tentu belum cukup mengerti mengenai 'kemiskinan, rasuah

dan kegenjotan' di Indonesia waktu itu. Namun, beliau belajar pergerakan hak awam

dan rakaman Mahalia Jackson (penyanyi gospel terkenal) serta pidato Dr Martin

Luther King yang memukau.

Pada usia belia, Barry sudah diajarkan memiliki nilai luhur manusia, seperti kejujuran,

keadilan, berbicara fasih dan menilai secara merdeka.

Ibunya, Ann Dunham, pernah bercerita tentang murid kulit hitam di wilayah selatan

Amerika yang miskin dan hanya mendapat buku bekas daripada murid kulit putih,

namun mereka tumbuh menjadi dokter, pengacara dan ilmuwan. Ibunya juga bercerita

perihal anak yang lebih muda daripada Barry tetapi sanggup berbaris untuk

kebebasan.

135

Setiap lelaki kulit hitam adalah Thurgood Marshall atau Sidney Poitier. Setiap

perempuan kulit hitam adalah Fanny Lou Hamer atau Lena Horne. Menjadi kulit

hitam adalah pemilik keturunan yang agung, nasib istimewa, beban kejayaan yang

hanya dipikul mereka yang kuat saja.

Dengan asuhan itulah, Barry menjadi bersemangat dan memiliki kesedaran bahawa

yang hitam bukanlah yang kalah dan tertindas tetapi yang penuh daya juang dan yang

merdeka.

Di Jakarta yang panas, Barry yang menjelang usia 10 tahun, tetap melihat bahawa

penjelasan ibunya dan Lolo mengenai dunia belumlah lengkap.

Beliau melihat bahawa dunia itu kejam - suatu pengertian yang tidak dapat difahami

oleh datuk neneknya di Hawaii yang tenang dan jauh dari negara yang terbelakang di

Asia Tenggara.

Beliau juga melihat bahawa ras dan warna kulit tidak lagi menjadi penanda asal usul

belaka. Tetapi lebih mengerikan, ia menjadi prasangka dan rendah diri. Di sini, beliau

berasa bahawa dunia memerlukan perubahan.

Jika Encik Obama benar-benar terpilih menjadi Presiden Amerika, ia bak satu sejarah

dunia kerana orang kulit hitam pertama menerajui negara majoriti kulit putih dan

adikuasa tunggal. Tetapi mungkinkah itu berlaku?

Nota: Penulis lahir di Indonesia, pernah menjadi penyelidik di A*Star dan kini bekerja sebagai

jurutera di sini.

136

MENCINTAI MATEMATIK TANPA KEPERIHAN

Berita Harian, Singapura, 24 April 2008

RAMAI orang, seperti saya, memang tidak suka matematik sejak kecil lagi.

Namun, hari ini sebagai jurutera, matematik merupakan sumber rezeki saya.

Hati saya terbuka kepada matematik apabila menyedari pentingnya subjek ini yang

memiliki banyak kegunaan.

Sesudah membaca dan menulis, setiap orang perlu tahu mengira. Semakin tinggi

bidangnya, semakin canggih cara pengiraan atau disebut matematik.

Pakar ekonomi, jurutera, ahli fizik, akauntan, pilot sehingga juruukur memerlukan

perhitungan matematik walaupun kekerapannya tidak sama.

Cerita matematik ini membuat saya merenung kisah hidup Sufiah Yusof, anak Islam

yang mengagumkan dunia apabila diterima masuk ke Universiti Oxford pada usia 13

tahun.

Namun, 10 tahun kemudian, setelah berkahwin dengan seorang peguam Britain yang

sudah memeluk Islam tetapi sayangnya bercerai pula, tiba-tiba Sufiah dihebohkan oleh

berita sensasi - beliau menjadi seorang pelacur!

Apakah Sufiah silap perkiraan moralnya?

Kata pakar, matematik tidak punya nilai moral kecuali angka-angka yang perlu

ditafsirkan dengan bijaksana.

Matematik di sekolah umumnya bersifat latih tubi mengenai persamaan (equation)

dan bilangan (sums). Hal ini penting, namun yang jauh lebih penting adalah

memastikan seorang anak memahami konsep dan penggunaannya serta

menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Di sekolah rendah, seorang anak perlu dilatih merubah nilai daripada sentimeter

kepada meter dengan mengambil pembaris dan mengukur panjang sisi meja.

Di sekolah menengah, seorang anak perlu mengetahui bahawa pertumbuhan tinggi

badan seseorang itu boleh didekati dengan fungsi kuadratik.

Di maktab rendah, seorang pelajar sudah dapat menghitung isi padu mangkuk dengan

kamilan.

Pengenalan guna pakai atau aplikasi matematik ini perlu disampaikan tanpa tekanan.

Dengan cara ini, matematik menjadi semacam kecintaan seperti yang dialami oleh ahli

matematik yang turut membina tamadun silam Islam - Al-Khwarizmi (penemu

137

algebra dan logarithm), Omar Khayyam sehinggalah Ibn Sina atau sehingga Albert

Einstein.

Apabila anda naik kapal terbang, duduklah di jendela dekat sayapnya. Perhatikan

hujung sayap yang terpesong (defleksi) ke atas namun tidak patah. Mengapakah ini

terjadi? Sebab sayap pesawat ini dikira dengan tepat oleh jurutera dengan

menggunakan aplikasi matematik.

Merenung kejadian alam dengan tidak terkira jumlah planet dan bintang - semua

dapat bergerak menurut orbitnya dengan tepat (tanpa berlanggar), matahari terbit dan

terbenam dan pantulan cahaya purnama, jelas keagungan Ilahi dalam matematik-Nya.

Pemahaman mengenai matematika tidak memerlukan pacuan. Namun, ini yang

berlaku pada Sufiah.

Ayahnya, Farooq Yusof, dan ibunya, Halimaton, menerapkan kaedah belajar pacuan

atau disebut hothousing - anak dilatih untuk tertumpu pada satu mata pelajaran,

biasanya matematik.

Tidak syak, Sufiah dan adik- adiknya memang pintar. Sufiah mencapai prestasi

sehingga diterima oleh Oxford, antara 10 universiti terbaik di dunia.

Di Oxford, Sufiah masih dipacu oleh ibu bapanya sehingga mengeluh tidak

mempunyai banyak teman. Kesan ini dan selanjutnya ketegangan antara ibu bapanya

(bapanya dituduh mencabul murid perempuan dan ibunya kini dalam proses

menuntut cerai) menjejas jiwa Sufiah.

Ibu bapa Sufiah tentu berniat baik untuk masa depan anak- anaknya. Namun, hal ini

mencetuskan keadaan tidak seimbang dalam pertumbuhan Sufiah, termasuk

kekeliruan pada matlamat dan harga dirinya.

Hari ini, ramai orang berdoa, mengharapkan dan mahu menolong Sufiah menjadi

orang yang baik. Kembali ke jalan yang lurus.

Namun, Sufiah yang punya paradigma realistik dan logik tentu bertanya: aku harus

jadi apa?

Penjelmaan menjadi 'yang baik' sukar dirumuskan dalam matematik yang tidak punya

nilai moral.

Nota: Penulis asal Indonesia dan jurutera di sini.

138

MENJEJAKI ORANG JAWA DI SINGAPURA

Oleh

Arief Yudhanto

MINAT saya untuk menjejak orang Jawa di Singapura bermula dengan e-mel pada

awal 2005 yang mengulas makalah saya 'Apakah Jawa itu?' di blog saya

(http://arief.blog.sohu.com/1342281.html) .

Tulisannya dalam krama inggil (bahasa Jawa yang halus yang ditutur orang tua-tua

atau lebih dihormati).

Saya terpegun. Sebabnya, walaupun lahir dan besar di Jawa, saya sukar bertutur

bahasa itu.

Saya berusaha membalas e-melnya dengan bahasa campuran madya dan krama inggil.

'Oh, ternyata bahasa Jawa masih 'hidup' di Singapura,' kata hati kecil saya.

Pada pertengahan 2005, saya singgah di kedai perata dekat Universiti Nasional

Singapura (NUS). Sudah dini hari dan lengang saja. Seorang pekerja lelaki menyapa

untuk mengambil pesanan saya.

Lelaki tadi bertanya dengan loghat Melayu: 'Kamu dari Indonesia?' Saya mengangguk,

dan beliau bertanya lagi: 'Dari Jawa?' Saya mengangguk lagi. Kemudian, dengan tak

terduga, beliau mulai berbicara dalam bahasa Jawa ngoko.

Berusia 40-an, beliau berasal dari Johor. Ayahnya datang dari Jawa dalam dekad 1950-

an, dan menetap di Johor Bahru. Ayahnya kemudian menikahi perempuan Melayu.

Selain bahasa Melayu, keluarganya dapat bertutur Jawa di rumah.

Itulah kali pertama saya mendengar bahasa Jawa dengan pelat Melayu!

Saya geledah Perpustakaan Pusat NUS dan tersua satu laporan ilmiah tulisan Abdul A.

Johari pada tahun 1965 dan rencana oleh Lockard tahun 1971.

Saya difahamkan bahawa orang Jawa didatangkan ke Singapura sejak 1825. Mereka

berasal dari Jawa Tengah. Mereka bekerja buruh kontrak di kebun getah (karet),

landasan kereta api dan pembinaan jalan raya.

Kampong Jawa, di tepi sungai Rochor, ialah pemukiman pertama orang Jawa di

Singapura. Selain itu, mereka mendiami Kallang Airport Estate yang turut

menampung orang Melayu dan Cina (Johari, 1965).

Menurut Lockard (1971), orang Jawa di Kampong Jawa berkembang daripada 38 orang

pada 1825 kepada 5,885 orang pada tahun 1881.

139

Puncak pendudukan orang Jawa ialah tahun 1931 - ada 170,000 orang Jawa diam di

Singapura. Selang 16 tahun kemudian, jumlah orang Jawa menurun dengan banyak -

daripada 169,311 pada 1931 kepada 24,715 pada 1947. Penyebabnya dijelaskan sebagai

berikut:

Kemelesetan ekonomi yang mendorong berdirinya perkebunan skala kecil yang

tidak lagi menggunakan buruh.

Meningkatnya taraf ekonomi dan sosial buruh.

Tekanan antarabangsa yang melarang buruh kontrak.

Daripada Internet, saya menemui perangkaan 1985 yang menunjukkan ada sekitar 800

daripada 21,230 (3.8 peratus) orang Jawa di Singapura masih melestarikan bahasa Jawa.

Kadar kecil ini disebabkan mereka lebih sering menggunakan bahasa pengantar

Melayu atau Inggeris dalam pertuturan harian. Hal ini juga terjadi di beberapa kota di

Indonesia.

Di ibu kota Jakarta, misalnya, kebanyakan orang Jawa lebih berbahasa Indonesia atau

Betawi. Namun mereka masih dapat memahami walaupun sukar bertutur Jawa.

Bahasa Jawa mempunyai tiga peringkat - ngoko, madya dan kromo inggil - dengan

kosa kata, nahu dan makna yang berbeza.

Ngoko biasanya dituturkan secara informal, antara teman sebaya, bos terhadap

bawahan, orang lebih tua kepada orang yang muda.

Madya memiliki tingkat menengah, antara ngoko dan kromo. Madya biasanya

digunakan antara orang asing yang baru kenal.

Kromo ialah gaya yang paling sopan, antara dua orang yang tingkatnya sama dan

menghindari suasana informal, kemudian digunakan dalam pidato, atau diucapkan

orang yang lebih muda kepada orang tua.

Peringkat bahasa Jawa serupa bahasa Jepun dan Korea. Hal ini menyukarkan

pembelajaran bahasa Jawa, terutama yang jauh dari tanah Jawa, seperti di Singapura.

Data bahasa dunia menunjukkan bahawa bahasa Jawa di anak tangga ke-12 sebagai

bahasa yang banyak dipakai di dunia. Penggunanya sekitar 75.5 juta orang itu tersebar

di Indonesia, Malaysia, Singapura, New Caledonia dan Surinam.

Nota: Penulis lahir di Bondowoso, Jawa Timur, dan menetap di Singapura sejak 2003; siswazah

NUS dan kini seorang jurutera di sini.


Recommended