Date post: | 25-Apr-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
1
Orang Jawa di Singapura II Catatan Tak Terjadwal dari Negeri Seberang
Maret 2007 – Mei 2008
Arief Yudhanto
2
Pengantar
Ada 70 esai pendek di dalam buku ini. Sebagian besar ditulis di Singapura, sebagian
lagi di Amerika Serikat. Edisi online-nya dapat dilihat di http://ari3f.wordpress.com.
Selamat membaca
Singapura, 2008
Arief Yudhanto
3
ISI
I. Tokoh
1. Gajah Mada
2. Kamprad
3. Obama di Djakarta: 1967 – 1971*
4. Sufiah, Hothousing dan Matematika*
5. Raja
6. Goncharov
7. Leonardo da Vinci
II. Kerabat dan Kawan
8. Nambar (in English)
9. Konco
10. Bubur dan Roti Montor
11. Rachid dan Humor
12. SF dan Sepupu
13. Tukang Becak
14. Kawan Lama
15. Kemprit
16. AAN
III. Buku
17. Aku dan Meneer Janssens
18. Ayu Utami dan AAC
19. Membaca BTJ
20. Rumah Bambu
IV. Singapura
21. Shonanto
22. Bekupon: Tentang „Rumah“ di
Singapura
23. Fabian Fobia: Tentang Etika Anak di
Singapura
24. Muram: Tentang „Ekspresi“ di
Singapura
25. Adzan di Singapura
26. Ras
27. Rokok
28. Orang Bawean di Singapura
29. Big Bro Congrat
30. O$P$
V. Teknologi
31. Dari Pesawat ke HDD: Nyambungnya
Di Mana?
32. Perkoro Gawean
33. V & V
34. Ide
35. Pesawat Terbang
36. Dont Panic with Mechanics!
37. Keris Mpu Gandring: Hipotesis
38. Statistik
39. Mancal di Rel Kereta
40. Fitna, A380 dan Pak OD
VI. Pengalaman
41. Gempa di Silicon Valley
42. Nggragas
43. Rapapan
44. Ngimpi
45. Interview: Tentang Pekerjaan di
Singapura
46. Doa
47. Attitude
48. Rugby dan 19
49. Pernikahan
50. 30
51. Hari Valentine
52. Jatim Trip
53. Santet
54. Sekolah di ITB
55. Dosen Unik di ITB
56. PhD
57. 29: Menulis Seseorang
58. 2008: Ngapain?
59. TGIF
60. Bosan
VII. Budaya
61. Paguyuban
62. Indonesianis
63. Indonesia di Cornell
64. Kuda Kepang*
65. Fitna: Alat Verifikasi
66. Kopi
67. Atheist
VIII. Musik
68. Gitar
69. Balawan, Sinkretisme dan Tapping
70. Jazz di Indonesia
5
1. Gajah Mada
Di sudut halaman pertama buku pemberiannya, Viking Mythology, adik saya menulis
"Untuk kakakku yang mencoba menjadi sejarawan". Sejarawan? Saya lalu melihat
kembali judul-judul buku di rak. Hampir semuanya mengenai orang (terkenal) yang
sudah mati, yang sudah jadi sejarah; dan saya sering bercerita tentang orang mati itu
(plus pemikiran-pemikirannya) kepada adik saya. Tak heran jika dia berpikir bahwa
saya memiliki properti seorang sejarawan: menceritakan orang mati (yang dulunya
mencoba memecahkan teka-teki kehidupan), memetakan pemikiran dan membuat
konstruk cerita. Properti ini dilatih dengan mempelajari teks sejarah. Namun, yang
seharusnya dilakukan adalah petualangan, seperti yang dilakukan Indiana Jones atau
ahli-ahli purbakala National Geographic Society.
Sejarah, o sejarah. Beberapa minggu lalu saya teringat Gajah Mada. Sumpah Palapa-
nya yang tertulis di Pararaton (Kitab Raja-Raja) cukup terkenal:
“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira
Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun
kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang,
Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti
palap “
Majapahit sangat beruntung memiliki Gajah Mada. Ia adalah seorang panglima yang
setia dan memiliki ambisi besar untuk menaklukkan wilayah Nusantara. Kerajaan dan
wilayah yang ditaklukkannya lebih dari apa yang dia sebut dalam sumpah: hari ini,
wilayah penaklukan Gajah Mada adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan
Filipina Selatan. Di sini, kita bisa tahu bahwa kekuatan militer Majapahit tidak hanya
tangguh di darat, tapi juga laut. Hal ini terjadi karena Gajah Mada berhasil
mengadopsi strategi perang di darat dan laut dengan baik.
Bubat barangkali saksi bisu berakhirnya Gajah Mada. Di Bubat, Gajah Mada diutus
Hayam Wuruk untuk menyambut Raja Sunda (yang selama ini tak pernah mau takluk
dengan Majapahit) dan puteri Dyah Pitaloka yang akan dipersunting Hayam Wuruk.
Gajah Mada melihat pertemuan ini sebagai tanda takluknya Sunda, namun Raja Sunda
tidak. Ini adalah kesalahpahaman.
Pertempuran terjadi, dan Dyah Pitaloka bunuh diri. Hayam Wuruk segera mencopot
Gajah Mada dan mengasingkannya di Madakaripura (Madangkara), di sekitar
Probolinggo. Gajah Mada mati dalam kesunyian, di tempat pertapaan terakhirnya,
di dekat air terjun.
Hingga hari ini, sosok Gajah Mada sendiri masih misteri. Tak ada yang tahu
kepribadian, kecerdasan, karya-karya atau kisah cintanya. Sebagaimana biasa dalam
romantika kerajaan jaman dulu, proses penaklukan besar-besaran ini barangkali
ditentukan oleh empat faktor itu. Gajah Mada jadi sangat menarik, karena ia misterius.
Saya menunggu filmnya. (18 Mei 2007)
6
2. Kamprad
“Aku telah mengatakan semua yang aku bisa. Bisakah seseorang memaafkan kebodohan itu?”
Ingvar Kamprad, pendiri IKEA
IKEA adalah sebuah ikon raksasa plus perusahaan home furnishing terbesar di dunia.
Ada 200 outlet di 31 negara, dan dibuka di Singapura tahun 1978. Pegawainya
mencapai 75000 dan Ingvar Kamprad, pendirinya, ditulis sebagai orang terkaya yang
melampaui Bill Gates tahun 2004.
Desain kantor a la IKEA (www.ikea.com)
Kamprad mendirikan IKEA pada umur 17. Ia pengusaha sejak dini, dan menjual apa
saja: korek api, hiasan pohon natal, stoking, ikan, bibit tanaman hingga mebel. Apakah
IKEA? Ini adalah kependekan dari Ingvar-Kamprad-Elmtaryd-Agunaryd. Elmtaryd
adalah nama tanah pertanian tempat ia dilahirkan, dan Agunaryd adalah nama desa
terdekat di sana. Tahun 1953, secara resmi IKEA berdiri dan memfokuskan diri pada
kebutuhan rumah. Yang menarik dari IKEA adalah pengunjung toko bisa dengan
bebas mencoba dan melihat sendiri kualitasnya, kemudian bisa membawa pulang
barang yang bulky dalam packing yang flat, mendapatkan harga yang miring dan bisa
memasang sendiri peralatan tanpa bantuan ahli mebel. Hanya itu saja? Lebih dari itu,
IKEA selalu memperkenalkan desain baru yang dibuat di beberapa negeri seperti
Swedia sendiri, Cina, Vietnam dan lainnya. Yang menarik bagi saya adalah uji
kelelahan (fatigue test) terhadap kursi santai bernama Poang. Sandaran kursi didorong
oleh mesin pendorong beberapa puluh kilogram, maju-mundur, seolah seseorang
menggoyang-goyang sandarannya berulang kali. Bebannya tak begitu besar, namun
ini dilakukan berulang-ulang hingga beberapa tahun. Apa yang ingin dihitung? Tentu
saja batas kemampuan kursi menahan beban siklus ini atau dengan kata lain, kekuatan
lelah (fatigue strength) kursi tadi. Uji ini biasanya dilakukan juga pada struktur
pesawat terbang seperti sayap.
7
Apa yang disesali Kamprad hingga ia meminta maaf kepada seluruh karyawannya
dengan surat terbuka? Tidakkah anda tahu bahwa Kamprad adalah bekas anggota
Nazi? Pembunuhkah ia? Entahlah … yang jelas, rapat a la Nazi melibatkan patriotisme
yang kelewatan: menjustifikasi bahwa nyawa suatu kaum tak lebih berharga dari
furniture …
8
3. Obama di Djakarta: 1967 – 1971
Barack Obama, seorang kandidat presiden dari Partai Demokrat – Amerika Serikat
yang bersaing dengan Hillary Clinton. Ia lahir di Honolulu tahun 1961. Ia
menyelesaikan sekolah hukum di Universitas Harvard dan pernah menjadi orang kulit
hitam pertama yang menduduki kursi presiden Harvard Law Review. Saat ini ia adalah
satu-satunya anggota senat AS yang berkulit hitam dan orang hitam ketiga yang
pernah bertanding untuk kursi kepresidenan dalam 100 tahun terakhir sejarah
Amerika (Jakarta Post, Nov 2006).
Obama datang ke Jakarta tahun 1967. Kala itu ia masih berusia enam tahun. Jakarta
berada dalam transisi dari Soekarno ke Soeharto, dan kenangan berdarah G30S
(“Gerakan 30 September” yang membuat Partai Komunis Indonesia diganyang habis-
habisan) masih segar membekas. Barry, panggilan akrab Obama, lahir dari seorang ibu
Kaukasian dan ayah dari Kenya. Orangtuanya adalah mahasiswa di Universitas
Hawaii. Ia diberi nama persis seperti ayahnya, Barack Hussein Obama. Ayahnya
meninggalkan Barry ketika ia masih dua tahun. Barry kemudian mengenal Lolo
Soetoro, seorang mahasiswa dari Indonesia yang menjadi kekasih ibunya. Dan, ketika
ibunya, yang bernama Stanley Ann Dunham, telah menikah dengan Lolo, ia mengajak
Barry pergi ke Indonesia tahun 1967.
Dalam memoarnya Dreams from My Father – A Story of Race and Inheritance yang ditulis
tahun 1994, ia bercerita tentang masa kecilnya di Jakarta – yang ia sebut “Djakarta”.
Jakarta yang ia gambarkan kala itu barangkali masih mirip dengan Jakarta hari ini
(setidaknya di beberapa tempat): tengah kota yang sedikit modern, toko-toko kecil
yang berderet di jalanan, lalu lintas yang sesak dan macet, pendorong gerobak barang,
matahari yang terik dan pengemis di persimpangan jalan.
Sosok lelaki asia, atau lebih khususnya Indonesia, yang melekat dalam ingatan Barry
adalah Lolo Soetoro tentunya. Lolo dikenalnya sebagai pemuda yang sopan dan
mudah akrab dengan siapa saja; ia juga pandai bermain tennis dan catur. Lolo
beragama Islam, meski ia juga masih memberikan ruang bagi pandangan Hinduism
dan animisme yang kuno. Jika mengikuti penggolongan Clifford Geertz, mendiang
profesor antropologi AS, dalam The Religion of Java (yang lebih merupakan spekulasi
ketimbang analisis, dan tak merepresentasikan masyarakat Jawa yang lebih luas), Lolo
barangkali bisa dikategorikan “abangan” – pemeluk Islam nominal, yang tidak
sepenuhnya mempraktekkan sholat wajib dan filosofinya didasarkan pada sinkretisme
antara Hindu, Buddha, animisme, dan elemen-elemen Islam. Lolo bekerja sebagai ahli
geologi untuk angkatan bersenjata (army) dan ia pernah ditugaskan di New Guinea
sebelum Obama dan ibunya datang ke Jakarta. Barry sering bermain dengan Lolo di
waktu senggang. Mereka berbagi kesenangan dengan memberi makan binatang
peliharaan seperti ayam, bebek, anjing, kera, burung cendrawasih, burung kakatua
dan buaya kecil. Lolo memberi hadiah Obama sarung tinju, yang kemudian ia
gunakan untuk berlatih dengannya.
9
Dalam waktu kurang dari enam bulan, Barry mahir berbahasa Indonesia. Namun,
ibunya tetap mengajarkan bahasa Inggris lima hari seminggu: mereka berdua bangun
pukul empat pagi dan belajar selama tiga jam sebelum Barry pergi ke sekolah. “Ini
juga bukan piknik yang menyenangkan bagiku, buster,” begitu ibunya mengingatkan
ketika Barry pura-pura sakit atau malas belajar.
Obama juga bermain dengan siapa saja, termasuk anak-anak dari petani, pembantu
rumah tangga dan birokrat kelas bawah. Ia bermain selayaknya anak-anak kampung
di Indonesia: bekejar-kejaran di jalan kecil siang – malam, menangkap jangkrik dan
adu layangan (kites battle).
Meski ia tak mendapatkan pengertian yang memuaskan mengenai “kemiskinan”,
“korupsi” dan “instabilitas keamanan” (yang ia lihat di Indonesia kala itu), ia
mendapatkan buku-buku tentang pergerakan hak-hak sipil, dan rekaman Mahalia
Jackson (penyanyi gospel terkenal) serta pidato Dr Martin Luther King yang memukau.
Di usia belia itu pula, Barry diajarkan memiliki nilai-nilai luhur manusia, seperti
kejujuran, keadilan, berbicara lugas dan menilai secara independen.
Ibunya kadang bercerita tentang murid-murid kulit hitam di wilayah selatan Amerika
yang miskin dan hanya mendapat buku-buku bekas dari murid kulit putih, lalu
mereka tumbuh menjadi dokter, pengacara dan ilmuwan. Ibunya juga bercerita
tentang mars anak-anak yang lebih muda dari Barry, yang berbaris untuk kebebasan.
Setiap lelaki kulit hitam adalah Thurgood Marshall atau Sidney Poitier; setiap
perempuan kulit hitam adalah Fanny Lou Hamer atau Lena Horne. Menjadi kulit
hitam adalah pemilik keturunan yang agung, nasib yang spesial, beban kejayaan yang
hanya dipikul mereka yang kuat saja. Di sini, Barry menjadi bersemangat dan memiliki
kesadaran bahwa yang-hitam bukanlah yang-kalah dan tertindas, tetapi yang penuh
daya juang dan yang merdeka.
Di Jakarta yang panas, Barry yang menjelang usia 10 tetap melihat bahwa penjelasan
ibunya dan Lolo mengenai dunia belumlah lengkap. Ia melihat bahwa dunia itu kejam
– suatu pengertian yang tak bisa dipahami oleh kakek neneknya di Hawaii yang
tenang dan jauh dari negeri yang terbelakang di Asia Tenggara. Ia juga melihat bahwa
ras dan warna kulit tak lagi menjadi indikator antropologi belaka, tetapi lebih
mengerikan: menjadi prasangka dan rendah diri. Di sini, ia mulai menilai, dalam sikap
percaya diri yang kadang tak terjustifikasi, bahwa dunia memerlukan perubahan,
sebagaimana ia memandang dunia dengan mata yang berbeda.
Empat tahun adalah periode yang cukup bagi seorang anak untuk memahami bahwa
dunia bisa tergerak oleh hal yang trivial seperti ras dan warna kulit. Dunia kadang
dirundung kegilaan orang dewasa dalam melihat sesuatu.
Hari ini, Barry yang sementara ini memiliki perolehan delegasi lebih banyak dari
Hillary Clinton (Obama: 1202 vs Clinton: 1042) terus berusaha melanggengkan
jalannya untuk naik ke kursi kepresidenan AS tahun 2008. Jika ia terpilih menjadi
presiden, ia akan menjadi presiden kulit hitam pertama dalam sejarah Amerika.
Janjinya mengenai perbaikan ekonomi, pelayanan kesehatan, green technology, energi,
10
lingkungan, hak sipil, kemiskinan, pendidikan, kebijakan luar negeri dan isu penting
lainnya akan segera diuji setelahnya.
11
4. Sufiah, Hothousing dan Matematika
Bagi orang ramai, Sufiah Yusof di masa mendatang barangkali dibayangkan sebagai
pemenang Fields Medal (mirip dengan “Nobel Prize” bidang matematika), gelar
profesor dari universitas terkemuka, atau bahkan filosof atau penulis besar seperti
halnya alumni St Hilda’s College lainnya. Namun, harapan itu seperti kandas di
usianya yang 23 tahun ini. Di sekolah itu, Sufiah dikenal sebagai independent escort.
Metamorfosis dari jenius matematika ke seorang pelacur adalah ekses pemberontakan.
Setidaknya inilah yang dialami Sufiah, perempuan blasteran Melayu – Pakistan, yang
masuk St Hilda’s College, Universitas Oxford, bidang matematika pada usia 13 tahun.
Pemberontakan ini agaknya tidak disebabkan oleh matematika, tetapi oleh isolasi yang
ditimbulkan oleh keluarganya.
Hothousing
Ayahnya Farooq dan ibunya Halimaton menerapkan sebuah metode bernama
“hothousing” di mana seorang anak dilatih untuk berkonsentrasi dalam satu pelajaran
– biasanya matematika – hingga menguasai pelbagai subjek lebih awal dari kawan
sebaya. Dibarengi dengan kecerdasan Sufiah, mereka mendapatkan hasil memuaskan
dalam waktu singkat, yaitu diterimanya Sufiah di Oxford. Di sana pun, Sufiah tetap
mendapatkan akselerasi dalam penyerapan pelajaran. Orangtuanya secara bergantian
menemaninya, sehingga ia pun mengeluh tak mempunyai banyak teman. Implikasi
dari isolasi ini sangat serius: seorang anak cenderung mencari kebebasan,
meninggalkan apa yang dulu ditekuninya, mencoba hal-hal baru, menguji moralitas
umum, mencicipi kebahagiaan yang diraih “manusia biasa”.
Di satu sisi, orangtua Sufiah mempunyai kekhawatiran yang umum dimiliki orangtua
lainnya. Orangtua berupaya mengamankan masa depan anak yang serba tak tentu dan
yang makin kompetitif dewasa ini. Dengan bekal kejeniusan anaknya ini, orangtua
Sufiah cenderung mengarahkannya menjadi apa yang mereka inginkan, bukan apa
yang Sufiah inginkan. Namun, hal ini malah menyebabkan seorang anak tak memiliki
waktu untuk menerapkan apa yang dia pelajari di kehidupan nyata, karena waktunya
habis untuk belajar, menempuh ujian dan mengerjakan pekerjaan rumah. Anak tak
memiliki kepercayaan diri karena cenderung diarahkan dalam jangka waktu lama. Ia
kemudian biasanya memberontak, dan mencari apa yang hilang di masa kecilnya.
Tentang Matematika
Penulis mengakui bahwa matematika adalah subjek yang paling tidak diminatinya
ketika kecil. Hal ini lambat laun berubah karena ternyata matematika memiliki banyak
kegunaan. Ekonom, jurutera, fisikawan, akuntan, pilot, dokter semua memerlukan
perhitungan matematika meski dalam frekuensi penggunaan yang berbeda-beda.
Sebagian profesi memerlukan matematika lebih intensif dibanding profesi lainnya.
Namun, intinya: matematika akan selalu bermanfaat di manapun dan kapanpun.
Matematika yang diperkenalkan di sekolah umumnya latihan mengoperasikan
persamaan dan bilangan. Hal ini penting, namun yang jauh lebih penting adalah
seorang anak perlu dilatih memahami penggunaannya, dan menerapkannya di
12
kehidupan nyata. Di sekolah dasar (primary school), seorang anak perlu dilatih
mengkonversikan satuan panjang (misal: dari meter ke centimeter) dengan mengambil
penggaris (ruler) dan mengukur panjang sisi meja. Di sekolah menengah pertama
(secondary school), seorang anak perlu mengetahui bahwa pertumbuhan tinggi badan
seseorang itu bisa didekati dengan fungsi kuadratik. Di sekolah menengah atas (junior
college), seorang anak bisa menghitung volume mangkuk dengan integral. Dan,
perkenalan terhadap aplikasi matematika ini perlu disampaikan tanpa tekanan.
Dengan cara ini, matematika malah menimbulkan afeksi, kecintaan, karena di sana ada
kemudahan jika kita memahaminya.
Di bidang aeronautical engineering, matematika digunakan dalam menghitung
kekuatan struktur sayap, gaya angkat pesawat, rute pesawat, performance terbang
pesawat dan lainnya. Jika anda duduk di jendela dekat sayap pesawat, dan
memperhatikan ujung sayap yang terdefleksi ke atas namun tidak patah, maka
struktur sayap ini dihitung dengan baik oleh engineer dan mereka menggunakan
aplikasi matematika dalam menghitungnya (dikenal dengan operasi matriks dalam
metode elemen hingga).
Penutup
Pemahaman mengenai matematika tidak memerlukan akselerasi. Yang diperlukan
adalah pengenalan matematika lewat contoh nyata, berlatih belajar mandiri dan
rutinitas belajar.
Sufiah sepertinya sudah mendapatkan itu semua; yang tidak ia dapatkan adalah
kebebasan dalam mempelajarinya. Seandainya ada keseimbangan antara harapan
orangtua dan keinginan anak maka Sufia bisa menjadi selayaknya ia.
Hari ini, setiap orang mengharapkan Sufiah menjadi orang yang baik, kembali ke jalan
yang lurus. Namun, Sufiah yang punya paradigma realistik dan logik tentu bertanya:
aku harus jadi apa? Bermetamorfosis menjadi “yang baik” barangkali mengidap
ketidakpastian. Dan, sulit diformulasikan dalam matematika. Jadi, tak ada solusi.
Ternyata “metamorfosis” itu lebih susah daripada integral lipat tiga.
13
5. “Raja”
Akhirnya "raja Jawa" itu wafat di usia 86.
Suharto, bekas presiden Indonesia yang paling lama berkuasa itu, meninggal akibat
kegagalan organ-organ tubuh. Salim Said mengatakan di ChannelNewsAsia (stasiun
TV yang paling banyak dirujuk orang Singapura untuk berita terkini) bahwa awalnya
Suharto itu "Great!". Tapi sepuluh tahun kemudian, ketika anak-anaknya beranjak
dewasa, ia mulai bertindak seperti raja. Ia memanfaatkan posisinya sebagai presiden
untuk memperkaya dirinya, anak-anak dan kroninya. Ia mendirikan Suharto, Inc. Di
negeri yang tak-demokratik, tangan besi dan korupsi bisa menghancurkan dirinya
sendiri.
Empat puluh lima tahun pertama hidupnya tak banyak diketahui orang hingga ia
"tiba-tiba" muncul lewat Kostrad dan memberantas PKI tahun 1965. Ia membuat
Sukarno menjadi tahanan rumah, dan melalui surat sakti Supersemar (11 Maret 1966),
ia menjadi presiden kedua Indonesia. Ia kemudian membangun Indonesia di segala
segi, membangun ikatan dengan negara lain. Di masa itu, demokrasi jadi komoditi
yang haram. Yang halal adalah kolusi, korupsi dan nepotisme; tapi tak bisa dijadikan
obrolan biasa karena malah tak sakral. Tiga kata itu harus menjadi rahasia umum;
harus menjadi tindakan yang diamini banyak pihak tanpa didenda, tanpa dijerat
hukum, tanpa diprotes. Tiga kata itu tak muncul meski ada. Mereka invisible.
Tahun 1998 ia dipaksa lengser. Tiga puluh dua tahun hidupnya membuatnya jadi
bapak pembangunan sekaligus bapak korupsi Indonesia. Oleh sebab itu,
ChannelNewsAsia mengatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki pandangan
yang campur aduk (mixed) mengenai Suharto. Ini disebabkan Suharto "menari" di
antara yang-baik dan yang-buruk.
"Raja" yang pandai "menari" itu telah wafat. Namun ingatlah, tanpa dia, barangkali
Habibie tak pernah pulang dan membangun industri pesawat terbang. Tanpa dia, ilmu
penerbangan tak muncul di Bandung yang bau sampah. Tanpa dia, tak seorangpun
tahu makna demokrasi, tangan besi, korupsi dan keadilan yang gagal.
Indonesia, sementara ini, berkabung untuk bekas “raja”.
14
6. Goncharov
Ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda, barangkali hanya orang Eropa
(Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol), Timur Tengah dan India saja yang tercatat
mengunjungi, berdagang atau menjajah kita. Adakah bangsa lain yang mengunjungi
Hindia Belanda? Dalam buku "Kampus Kabelnaya - Menjadi Mahasiswa di Uni
Soviet", Koesalah Soebagyo Toer menulis tentang Goncharov dan Wasili Maligan. Dua
orang ini terpisah waktu, tempat, aksi dan cerita. Tapi keduanya orang Rusia yang
pernah menginjakkan kaki di Indonesia.
Di sini saya tulis tentang Goncharov saja ...
Ivan Goncharov (1812 - 1891) lahir di Simbirsk, dan dibesarkan di lingkungan
aristrokat. Ia menyelesaikan pendidikan perdagangan di Universitas Moskow, dan
menjadi pegawai pemerintahan selama tiga puluh tahun. Ia bertemu penyair Apollon
Maikov dan Valerian yang kemudian mendorongnya menjadi penulis. Goncharov
hanya menulis tiga novel sepanjang hidupnya: Kisah Biasa (1847), Oblomov (akhir
1840an) dan The Frigate Pallada (1859). Meski demikian, Dostoevsky menganggap
Goncharov adalah rival yang patut dicatat dalam dunia sastra realisme Rusia. Tolstoy
juga melihat Goncharov sebagai penulis yang tak terinspirasi oleh kaum buruh dan
masyarakat bawah, seperti halnya kebanyakan penulis Rusia lainnya; Goncharov
terinspirasi masyarakat aristokrat dan mengkritik mereka sebagai pemalas dan
masyarakat tak berguna.
Goncharov yang pernah singgah di Jawa (Banten) tahun 1852 menulis:
Saya merasa sangat gembira bahwa akhirnya saya sampai ke pantai yang
sama sekali tak punya masa lalu dan tak punya sejarah itu.
Apakah Anyer itu? Suatu perkampungan Melayu yang sama sekali tak
pernah mengalami perubahan. Perkampungan ini pernah ditulis oleh
Turnberg. Keadannya masih seperti itu juga sekarang ini.
Batavia terletak dua hari perjalanan dengan jalan darat. Kami pergi ke
sana, tinggal di sana sehari dan kembali lagi. Pikir kami, di sana ada jalan
besar dan kendaraan yang baik. Ternyata tidak ada apa-apa. Dua minggu
sekali dari Anyer dikirim pos ke Batavia; tukang pos naik kuda ... Hari
berikutnya kami tinggalkan tempat itu tanpa melihat seorang Eropa pun,
sedang di Anyer hanya ada tiga orang.
"Tak punya sejarah"? Apakah Goncharov tak membaca sejarah Jawa? Apakah
Goncharov hanya melihat akibat Cultuurstelsel tapi tak memahami kejamnya kata itu?
Apakah Goncharov tak menemukan priyayi atau aristokrat yang pemalas di Jawa?
15
7. Leonardo da Vinci
Leonardo da Vinci termasyhur sebagai pelukis dan pematung jaman Renaissance yang
menghasilkan banyak mahakarya, termasuk di dalamnya, dua lukisan terkenal
Monalisa dan Makan Malam Terakhir (The Last Supper). Tak hanya itu, ia juga seorang
desainer peralatan militer, ilmuwan, penemu, insinyur, penulis, ahli tanaman dan
musisi. Leonardo yang berambut panjang, keriting, berwarna merah tua, berperangai
menyenangkan, tampan, juga berbakat sebagai pendongeng (storyteller), musisi,
humoris, seniman, pecinta kebebasan dan pesulap (magic trick).
Menurut catatan kakeknya, Leonardo lahir pukul 10:30 malam, Sabtu, 15 April 1452, di
sebuah desa dekat kota kecil Vinci, provinsi Florence. Ibunya (Caterina) adalah petani,
dan diperkirakan juga imigran dari Timur Tengah, dan ayahnya (Ser Piero da Vinci)
adalah seorang akuntan dan notaris terkemuka di kotanya. Umur 5 tahun, ia
kemudian diasuh oleh kakeknya yang akuntan juga.
Karena orangtuanya tak pernah menikah, maka Leonardo tak bakal diperkenankan
masuk Klub Notaris (Guild of Notary) nantinya. Oleh sebab itu, tahun 1466, ia
kemudian dikirim kepada Andrea del Verrocchio (1435 – 1488), seorang pelukis dan
pematung kenamaan. Di sana, bakat Leonardo makin berkembang dan melampaui
gurunya, sehingga ia diperkenalkan kepada Lorenzo de’ Medici (Il Magnifico),
penguasa Florence. Di bawah penguasa yang menyukai seni dan ilmu pengetahuan
ini, Leonardo bergaul dengan banyak filosof, matematikawan dan seniman lainnya. Ia
juga memperdalam ilmu anatomi di Company of St Luke tahun 1472. Pada masa di
Florence ini, karya terbesarnya adalah The Adoration of the Magi, yang diperuntukkan
bagi biksu biarawan di San Donato a Scopeto.
Tahun 1482, Leonardo pindah ke Milan. Di bawah penguasa Ludivico “the Moor”
Sforza, Leonardo melukis karya besarnya Makan Malam Terakhir (The Last Supper) di
sebuah tembok ruang makan gereja Santa Maria delle Grazie. Perancis menyerang
Milan, Sforza jatuh dan diasingkan tahun 1499.
Leonardo kembali ke Florence tahun 1500. Tahun 1502 ia berpindah minat dari aspek
seni-religius untuk menjadi chief engineer bagi komandan militer, Cesare Borgia. Ia
kemudian membuat peta yang sangat akurat untuk enam daerah di Italia tengah.
Angkatan bersenjata Borgia jatuh setahun kemudian setelah Niccolo Machiavelli gagal
membantunya. Leonardo dan Machiavelli, meski demikian, berkawan dan Machiavelli
membantu Leonardo sehingga ia mendapatkan komisi dari Signoria of Florence bulan
April 1503. Pada masa inilah, Leonardo melukis istri ketiga bangsawan Florentine,
Francesco del Giocondo. Istri ketiganya kita kenal sebagai Mona Lisa, nama kecil dari
Madonna Elisabetta.
16
Dr Lillian Schwartz dari Bell Laboratories (pengarang The Computer Artists Handbook)
membuat jukstaposisi gambar Mona Lisa (kiri) dan Leonardo da Vinci (kanan; foto diri yang
digambar dengan kapur merah), dan menyimpulkan bahwa Mona Lisa tidak lain adalah
Leonardo sendiri. Benarkah?
Tahun 1512, anak Lodovico bernama Maximilian mengusir Perancis dari Milan.
Leonardo pergi ke Roma untuk mengabdi kepada Leo X, paus baru Medicean. Karena
posisi seniman gereja sudah diisi Michaelangelo dan Raphael, maka Leonardo yang
sudah berumur 60 tahun kurang mendapat perhatian. Ia kemudian mempelajari
anatomi, optik dan geometri. Ia juga sempat memberikan pengaruh kuat bagi Raphael.
Tahun 1516, ditemani murid dan asistennya, ia pergi ke Amboise di wilayah Lembah
Loire. Di Perancis, Leonardo mengabdi kepada Raja Perancis, Francois I. Di sini
Leonardo diberi kebebasan melakukan apa saja, namun utamanya, ia diminta untuk
memberikan nasihat filosofis bagi raja Francois I.
Leonardo mengalami penurunan vitalitas selama di Perancis, dan stroke
menyerangnya sehingga tangan kanannya lumpuh. Ia meninggal di usia 67, pada 2
Mei 1519. Leonardo telah melukis 17 karya, tapi tidak semuanya tuntas. The Last
Supper, The Battle of Anghiari dan kuda Sforza tidak pernah selesai. Buku catatan,
atau jurnalnya, berisi sketsa yang detil namun tidak tersusun rapi dan tak pernah
dipublikasikan.
Kontribusinya mendahului jamannya
• 40 tahun sebelum Nicolaus Copernicus (1473 – 1543), Leonardo mencatat
bahwa matahari tidak bergerak, dan bumi bukan pusat perputaran matahari,
juga bukan pusat galaksi.
• 60 tahun sebelum Galileo Galilei, Leonardo menyarankan agar lensa pembesar
(magnifying lens) digunakan untuk mempelajari permukaan bulan dan benda
17
langit lainnya.
• 200 tahun sebelum Isaac Newton, Leonardo telah mengemukakan konsep
gravitasi.
• 400 tahun sebelum Charles Darwin, Leonardo telah mengenalkan teori evolusi
dengan menempatkan manusia dalam kategori yang sama dengan kera dan
monyet, kecuali bahwa manusia berakal
Di bidang anatomi, Leonardo melukis penampang anggota tubuh (cross section),
representasi manusia dan kuda paling detil dan komprehensif, melakukan studi bayi
di dalam rahim ibu dan membuat cetakan otak dan saluran jantung.
Di bidang pertanian, ia memperkenalkan geotropisme (efek gravitasi terhadap
tumbuhan) dan heliotropisme (reaksi tumbuhan terhadap matahari); ia menyatakan
bahwa umur pohon berhubungan dengan jumlah lingkar cincin di penampangnya; ia
juga membuat sistem susunan daun pada tumbuhan.
Di bidang geologi dan fisika, ia mempelajari proses fosilisasi dan fenomena erosi
tanah.
Di bidang engineering, ia mendesain helikopter, parasut, tangga yang bisa
diperpanjang (kini dipakai oleh fire departments), perpindahan roda gigi, alat membuat
ulir pada sekrup (screw), sepeda, snorkel (alat selam), kunci untuk sistem kanal, roda
air horisontal, jam alarm tenaga air, kursi terapetik.
Di bidang militer, ia mendesain tank, senjata mesin, mortar, guided missile dan kapal
selam.
Tujuh prinsip Leonardo
Apa rahasia Leonardo menjadi demikian kreatif dan penuh daya cipta? Dalam
bukunya How to think like Leonardo da Vinci, Michael Gelb menuliskan tujuh prinsip
yang disarikan dari sikap kerja da Vinci sehingga ia mampu menghasilkan karya-
karya lebih modern dari jamannya. Berikut tujuh prinsip itu:
Curiositá
Inti dari curiosita adalah keinginan untuk terus belajar sesuatu yang baru. Ia
mengamati alam, dan mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi. Dalam
proses belajar ini, Leonardo menyarankan seseorang untuk memperluas cakrawala
pengetahuannya dengan mempelajari bidang lain, bidang yang bukan keahliannya.
Dimostrazione
Leonardo tidak begitu saja mempercayai ilmu pengetahuan, dogma atau teori-teori
yang sudah mantap. Ia mengujinya lewat eksperimen dan mengalaminya sendiri
18
(dimostrazione). Ketika mengalami kegagalan dalam eksperimen, dia terus berusaha,
dan tidak putus asa.
Sensazione
Rahasia dari melakukan eksperimen adalah dengan mempertajam indera (senses). Bagi
Leonardo penglihatan adalah indera yang paling penting, sehingga melukis
merupakan disiplin yang dikuasainya. Pendengaran (telinga) menjadi indera penting
kedua. “Musik adalah saudara kandung melukis,” katanya. Dengan dua indera ini, dia
mempertajam indera yang lain.
Sfumato
Sfumato, secara literal bermakna “masuk ke dalam asap”, adalah kemauan untuk
berkawan dengan ambiguitas (tidak jelas), paradoks (suatu yang berlawanan),
ketidakpastian. Dalam hal ini, Leonardo menjadi menjadi lebih kreatif karena
berpikiran terbuka. Dalam proses pencarian ilmu pengetahuan, ia kerapkali
berhadapan dengan sesuatu yang tak diketahui, bertolak belakang dan tak pasti.
Arte/Scienza
Bagi Leonardo seni dan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan. Ia berpikir logis
dalam mempelajari mekanisme suatu benda, ia juga membuat sketsa yang indah untuk
catatannya. Dia disebut sebagai whole-brain thinker, tidak berat sebelah ke
penggunaan otak kanan atau kiri saja.
Corporalita
Corporalita bermakna pemupukan keseimbangan antara tubuh dan otak. Di samping
memiliki kecerdasan yang tinggi dan berbakat seni, Leonardo juga diberi kekuatan
fisik yang baik. Ia pandai berkuda, berenang dan bermain anggar. Ia menyebutkan
dalam bukunya bahwa aretriosclerosis dapat mempercepat penuaan, dan ini karena
kurangnya olahraga. Dia juga mempercayai bahwa diet adalah kunci dari kesehatan.
Connessione
Connessione diartikan sebagai apresiasi terhadap hubungan antara benda dan
fenomena, proses berpikir suatu sistem (systems thinking). Leonardo berusaha
mempelajari bagaimana burung bisa terbang di udara dengan mengamati kegiatan
berenang. Hal ini membangun kemampuannya dalam memperoleh kesimpulan dari
hubungan antarsistem.
***
21
8. Nambar
Today, a man’s name, Nambar, comes to mind. I never met him since he passed away
one year before I was born. This story is a compilation of hearsays.
Nambar was born in a small town Blitar, East Java, in 1917. Nobody knew him except
his close family, relatives, students and local teachers. In Javanese language, “Nambar”
means avoid. It was intentionally given to him so as to avoid any illnesses. Lately, I
learned that this name is widely used in Mongolia; but it could have different meaning.
His parents were dukun obat (medicine shaman), and both embraced Kejawen (Javanese
religious belief). Nambar has an elder sister and younger brother.
When he was young, he was taught by a teacher named Mbah Sosro [1] until he
finished primary school. Some said, after finished primary school, he was working in a
ketchup company. Thereafter, he learned the volume precision when the machine
poured ketchup into conveyed-bottles. He also had talent in teaching. He went to teach
in primary school after resigning from a ketchup company. He taught sport, finance
administration and algebra. He was then asked to teach secondary school, and to train
new teachers on “mathematics”. His students loved him because of his clarity in
describing the meaning of mathematical concepts and his humor [2]. However, he was
also well-known as too-discipline-teacher and stressing more onto “education” rather
than “teaching” only.
He was married with a Priyayi (aristocratic) lady when he was 19. With their four
children, they lived in a house with many bedrooms behind a Masjid Jamik (city
mosque) [3]. He was not born as Muslim though. Having four children, in Indonesia
1940s, was a rare case. Most couple would have more than five children. He thought
the Keluarga Berencana (family planning) should have been started now, since big
family would only invite insufficient care for the children.
He sublet several rooms for students. These students were sent by their parents so that
they received strict observation in education.
Nambar and other worlds
Although he was known as a rational person, Nambar was a ghost-phobic.
Story-1: At dawn, he rode his bicycle from his school. He passed through an empty
highway, lined with canopy trees along the sidewalks. It was getting dark, and he
rushed up his wheels. Suddenly, everything became static. He saw the same trees on
his sides while he was riding his bike. It was weird. He was like running at the same
spot time to time. No displacement at all. He got a goose bump all over his neck. And,
suddenly, it was all disappeared. Now he could see a small house in the distant.
Everything became normal. He has possibly an empty mind for a second during a ride.
Story-2: His loo was built separated from the main house. It’s a common architectural
design during World War, or even nowadays in a sub-country area. There was no
22
electricity, so people relied on oil-lamp. The connection between main house and the
loo was very dark at night. Nambar went out to the loo, did his business and
immediately came back to the main house. It was eerie out there. But, somehow, he
could not open the door. The door was lock. He was panic, and scared. He knocked the
door like crazy but no response. He could not speak; something closed his mouth, he
said. He felt his body weakened, and he was slowly falling in front of the door.
Suddenly, his youngest son opened the door. “What’s wrong, Pak??” [4] Nambar sat
down in front of the door. Powerless. He answered: “There was a ghost … “ When they
were all inside, his son told him that the door was actually unlocked.
It’s also smooth, right?
He checked his students’ workbooks. In one of his students’ book he found this: “Her
cheek is so smooth. I want to kiss her.” Coldly, he called the student affront. Everyone
began to look at the student. In such cold event, students were ready to hear
thunderstorm anger from his teacher. “Can you get a bottle of ketchup from the food-
stall behind?” Nambar asked the sweating student. Not so long, the student came back
with a bottle of ketchup. It’s an empty bottle. Nambar said: “Please clean it up”. The
student followed. “Do you remember what you wrote in this book?” he asked. He
student nodded. “Now … you may kiss the bottle,” Nambar coldly asked the student.
Laugh was bursting out of the class! But that student needed to kiss the bottle though.
After several kisses, Nambar smiled at the student: “It’s also smooth, right?” Laugh
was getting louder!
Bell’s code
Nambar had a bell in his house. Each bell’s code had different meaning. For example,
“ting-ting” was used to call person A, and “ting-ting-ting” was used to call person B.
This code was not only for his children; his tenants were also subjected to this rule!
There was also a collective bell’s code; it means everyone must be at home immediately
once they heard the bell. His house was located nearby the city square where his
children and his tenants usually played. They played only 50 meters away (blocked by
the mosque), and his bell was actually effective. Most people found his bell was
annoying and they thought it was better to ignore him. But, no one dared to play deaf.
Until today, during the reunion, they still couldn’t know why they can’t play deaf by
saying: “I’m sorry I didn’t hear your bell …”
Learning Arabic
As mentioned, Nambar’s parents believed in Kejawen. Practically, he was not Muslim
and was not able to read Qur’an (Islam’s bible) in Arabic. In his 50s, he turned to Islam,
and began to learn Qur’an. He started to pray five times per day and fasting during
Ramadhan month. He was a practical man: he memorized Asma’ul Husnah (99 names of
god) by which he expected god would give him a special place in heaven. He also
suggested his wife to memorize these names. In the third-year of his self-learning, he
was able to read Qur’an. Then, he regularly helped mosque employee to convey
23
Qur’an messages for older people. He translated Qur’an messages into Javanese. His
son asked him once: “How did you do that?” His reply was short: “Just read”
Cheque
Nambar’s cousin came to his house. She was with her daughter. They intended to
borrow some money of Rp 60000 (~ SGD 10) for a tuition fee. Nambar has only 60000 in
his pocket, but he gave all the money to them. He asked them to pay the tuition fee
immediately before it’s too late. But, as kitchen minister, his wife complained that she
needed the money to shop the day after. “Why you give all the money?” his wife was
upset. Nambar said “Tomorrow, I’ll eat whatever you cook. Rice and salt will do. The
money will be used to pay someone’s tuition fee. School is more important. God will
repay us fold-wisely.”
Next day, Nambar came home with smiley face. He waved a cheque to his wife. “Look
at this! Remember what I’ve told you: God will repay us!” He got a cheque sent by his
son.
Last Day
Nambar had high-blood pressure although he was humorous and friendly guy. He had
an appointment with a doctor in Syaiful Anwar General Hospital, Malang, 80 km from
Blitar. Before they left, Nambar asked his wife to bring all of the jewelleries. They
brought three pieces of steamed-banana, and they took a train to Malang. He was
checked by the doctor, while his wife was waiting in the hospital corridor. The doctor
went out to see his wife, and politely told her (in Javanese) that his husband has passed
away. It was quiet. Her tears dripped down. She immediately sold all the jewelleries
and brought her husband back to Blitar.
Nambar rested in peace in Blitar, the city he was born, in 1977.
Referensi
[1] Mbah Sosro: his real name was Raden Soekemi Sosrodihardjo; Soekarno’s father
(Soekarno was the first president of Indonesia).
[2] He could do three-digit multiplication mentally (without paper and calculator)
[3] His first son was an assistant professor at the Institut Teknologi Bandung after
obtaining a PhD in Chemical Engineering from Wisconsin University, USA. He
lives with his wife in US. His second daughter used to be a vice principal of a high-
school in Surabaya; she was teaching sport and English; she passed away in 2005.
His third son is retiree of government office; he previously studied Economics in
Airlangga University. His last son has been a director of four general hospitals in
East Java; he opens a private clinic in Bondowoso.
[4] Pak is daddy, mister.
24
9. Konco
“Hidup” saya di kantor tinggal 7 hari lagi. Minggu depan, untuk terakhir kalinya saya
duduk di sebuah cubicle yang selalu berantakan dengan bongkaran hard disk drive
dan tumpukan paper. Hari itu saya bebas dari disorientasi riset yang selama ini
menganggu saya. “Disorientasi” ini berasal dari kepemimpinan riset yang bobrok dan
tak jujur. Kini saya sadar bahwa seorang bodoh yang jujur (secara intelektual terhadap
diri sendiri) jauh lebih bermanfaat daripada seorang PhD yang sok tahu.
Yang saya ingat dari tempat ini adalah (1) pekerjaan saya, (2) orang-orang yang unik,
(3) cerita lucu dan (4) insiden.
Yang nomor 2 sungguh berkesan. Di sini saya berjumpa dengan seorang peneliti senior
yang gemar mengumpat. Umpatannya dilafalkan dalam beberapa bahasa: Inggris,
Mandarin, Hokkien, Melayu. Karena sangat mengimani metode eksperimental, ia
seolah menuhankan hasil eksperimen.
“There is only one true result, and it is only obtained by experiment,” demikian kira-
kira kalau perilakunya difirmankan.
Saya yang orang simulation sungguh beruntung diajak bergabung dalam timnya: saya
bisa belajar bagaimana eksperimen dilakukan, nama-nama peralatan, akurasi, trik
dan analisis data. Memang tidak mendalam, tapi cukup mendapat dasar dalam
melihat “seberapa benar” suatu eksperimen dilakukan.
Di luar diskusi riset yang biasanya bersemangat, ia selalu bercerita mengenai
pengalamannya ikut wajib militer. Selama 22 tahun ia pulang pergi ke barak setiap
beberapa waktu untuk memenuhi panggilan tugas. Kini ia tak dipanggil lagi karena
sudah 40 tahun. Ia tak disukai oleh beberapa peneliti lain lantaran sering mengumpat,
konfrontasi dengan suara bising, menang sendiri. Seorang mengatakan bahwa ia
mengidap inferiority complex. Waduh … panganan opo iki? Maksudnya … karena ia tak
mampu secara finansial dan intelektual (padahal ia PhD lho … tapi masih ada aja yang
bilang ia kurang canggih), ia menggunakan kata-kata dan sikap kasar dalam
berkonfrontasi. Di luar itu, bagi saya, ia adalah teman baik yang selalu punya cerita
ketika mampir di cubicle saya.
25
10. Bubur dan Roti Montor
Pagi ini ayah saya dilarikan ke rumah sakit. Kata ibu saya, dia diopname karena
tekanan darahnya 170. Gejala: tangannya geringgingen (kesemutan).
Sorenya saya telpon untuk mengetahui perkembangannya. Ketika saya telpon, lho kok
dia ketawa-ketawa… becanda nih opname-nya? Nggak. Sore itu tekanannya sudah
kembali normal, sistole (atau diastole ya?) alias upper bound-nya 130 (satuannya apa
ya? mm-Hg?). Jadi, sore itu makanya dia udah bisa ngguyu-ngguyu.
Saya tanya kenapa kok tekanannya bisa sampai 170. Kepikiran apa? Stress? atau
karena … makanan? Nah, ayah-ibu saya rebutan njawab: panganan … panganan! …
Oalah … Sore itu juga adik saya menelpon. Dia bilang “Mama ngasih sate kambing ke
papa. Makanya, tekanan langsung nglonjak”.
Karena sudah mendingan, saya bilang ke ayah saya:
Ben tambah normal, cepet waras, kudu tuku bubur kacang ijo karo roti montor!
Ayah saya ngakak … Kacang ijo + roti montor ini punya sejarah. Begini: ketika kecil,
dua makanan itu adalah makanan mewah bagi keluarganya yang miskin. Karena
(barangkali) ngidam buanget, maka ia jadi sakit. Anak terkecil biasanya dimanja, jadi
ia memanfaatkan itu untuk ‘pengen bubur karo roti montor‘. Ayahnya langsung
membelikannya, dan ia dengan cepat jadi sehat.
Pesan moral: makanlah sesuatu yang diidamkan, niscaya kesembuhan cepat datang.
Ketika sakit tubuh perlu energi untuk sembuh; makanan biasa terlalu hambar; jadi
belilah yang bener-bener diinginkan …
*Peringatan pemerintah: sate kambing out of topic bagi pengidap darah tinggi!
26
11. Rachid dan Humor
Tentang Rachid. Seperti biasa, saya makan siang dengan kawan baru bernama Rachid.
Tubuhnya menjulang 185 cm, berwajah Arab, olahragawan plus programmer, muslim
by birth dan berbahasa Inggris dengan logat Perancis. Hidupnya menarik meski bukan
seorang eksil: ayahnya imigran dari Maroko yang kemudian hidup di pinggiran
Perancis, membenci kehidupan riset di Perancis karena elitist, menyelesaikan S1 di
Perancis dan S2 di Singapore (gak kesasar ta?), juara triathlon di NUS dan suka Laksa.
Rachid adalah orang yang ramah namun senyap; ia menikmati kesendirian tanpa
mengeluh dan gundah. O ya, ia akan menikahi seorang gadis China yang bilingual:
Mandarin + French.
Tentang Humor. Turun dari shuttle bus sehabis makan siang, Rachid cerita humor.
Humornya dalam bahasa Perancis. Judulnya Pirate alias bajak laut. Kami ketawa-tawa
dan di lingkungan English-Malay-Chinese ini, Perancis adalah bahasa alien. Kemudian
saya bercerita pada istri saya. “Hah, iso boso Perancis ta awakmu??” tanyanya (yang
sudah saya duga). Saya senyum-senyum saja, dan bilang “Hehe … pokoke mau kethok
pinter boso Perancis!” Lumayanlah … tumben-tumben saya bisa mengerti humor yang
benar-benar kocak dalam bahasa asing, terutama bahasa Perancis yang (katanya) seksi
dan njlimet.
Mau tahu rahasianya …?
Mudah saja. Pertama saya ceritakan satu humor kepada Rachid. Ini sungguh bikin
pusing karena humor ini aslinya dalam bahasa Jawa (Suroboyoan). Dalam kepala,
proses translasi mulai bekerja Jawa � English. Dengan bantuan peragaan akhirnya
kelucuan dari humor ini tersampaikan semua. Rachid terpingkal-pingkal karena tiga
alasan: (1) kok ya ada orang gendheng jadi peneliti?, (2) kok ya ada humor khayal
kayak gini!, (3) benar-benar kocak. Kedua, saya minta Rachid mengulang humor itu
dalam bahasa Perancis. Cerita lucu biasanya mudah diingat, jadi dia dengan mudah
menerjemahkannya. Dia juga minta dikoreksi jika ada kesalahan detil cerita. Mudah
kan?
By the way, pasti anda penasaran dengan humornya! Bagi non-pembahasa Jawa mohon
minta kawan Suroboyo atau Jatim-nya untuk menerjemahkan. Ini saya paste di sini:
Muntiyadi pethuk ambek Gempil koncone sing dines ndhik angkatan darat. Tibake
Gempil iku saiki sikile sing kiwo yo dingklang pisan, ambek tangane sing tengen
tibake yo tughel digenti cathoke bakul beras. Sing luwih nemen maneh, motone gempil
kari sing kiwo. Moto sing tengen wis cumplung ditutupi kain ireng malih koyok bajak
laut.
“Lho Mun, sikilmu opoko?” takok Gempil.
Mari ngono Muntiyadi cerito pengalamane kijolan sikile wong wedhok.
“Lha awakmu opoko kok mreteli pisan?” Muntiyadi genti takok nang Gempil .
“Pas aku patroli nang Aceh, sikilku ngincak granat, langsung puthul. Pas iku onoke
sikile sapi, berhubung aku gak gelem, akhire yo ngene sikilku dhadhi mek sithok”.
27
“Waduh cik apese nasipmu, lha tanganmu opoko kok digenti cathoke beras?” takok
Muntiyadi maneh.
“Mari sikilku tughel iku mau, aku dirawat ndhik barak. Moro-moro barakku dibom
ambek mungsuh, kenek tanganku, langsung tughel. Pas iku onoke cathoke beras,
timbangane gak onok blas, akhire aku gelem.” jarene Gempil maneh.
“Wah kayal thok kon iku, lha motomu opoko kok cumplung pisan? Kelilipengranat
tah?” takok Muntiyadi maneh.
“Oo iku seje ceritone. Enak-enak cangkruk nyeritakno pengalamanku iku mau, moro-
moro onok manuk nembeleki mripatku,” jare Gempil.
“Wah kon iku tambah ngawur thok ae, lha mosok ditembeleki manuk isok motone
cumplung,” Muntiyadi mulai gak percoyo.
“Lho iku dhudhuk mergo tembelek manuk,” jare Gempil.
“Lho opoko?” takok Muntiyadi.
“Iku pas dino pertama aku nggawe cathok beras.”
28
12. SF dan Sepupu
Kota San Francisco ternyata kecil! Luasnya kira-kira 7 x 7 mil2. Ia disusun oleh blok
persegi sempurna, dan dipenuhi townhouse yang sempit. Menuju ke perimeternya,
jalan mulai menanjak, dan ikon “tram” – kereta kuno yang masih kuat —
berkeliaran naik-turun. Relnya membelah jalan raya yang sudah sempit,
dan penumpang bergelantungan. Kota ini tak dipenuhi gagasan ilmiah atau teknologi
seperti halnya San Jose atau Santa Clara, tapi lebih menyerupai objek wisata dengan
landmark yang memikat seperti Golden Gate. Lanjutkan ke Pier 39, Union Square,
Market Street, SoMA (South of Market), City Light Bookshop, Golden Gate,
Chinatown, etc.
Golden Gate Bridge
Chinatown
29
Trem
Fisherman’s Wharf di Sabtu Pagi
Hari Sabtu saya berjumpa dengan seseorang yang berwajah sangat
Indonesia, berkacamata, bernama Jawa dan masih senyap. Dua belas tahun tak begitu
mengubah wajahnya, tapi ia nampak lebih kurus. “Harus menjaga pola makan,
karena punya darah tinggi,” begitu katanya. Ia tak bisa bahasa Indonesia (dan Jawa!)
meski orangtuanya bercakap-cakap dalam dua bahasa itu. Singkat kata: americanized.
Malam itu saya bermalam di tempatnya; sebuah rumah tiga tingkat yang tak banyak
barang kecuali dalam ruang kerja dan kamarnya yang sedikit berantakan. Ia pecinta
gadget. Pernah membuat perusahaan sendiri bersama kawan-kawannya pada 1990an,
lalu dijual ke Sapient Corp., dan berhenti setelah 1 tahun bekerja di sana. Alasannya:
tak cocok dengan gaya kerja orang-orang corporate.
30
Ketika ngobrol di cafe, ia banyak bertanya mengenai Singapura. “Bagaimana kalian
hidup di sebuah negeri di mana permen karet dilarang dan menyebrang jalan
sembarangan (jaywalking) dikenai denda?” begitu tanyanya. Untuk ukuran orang
yang tak mengenal Singapura, kecuali dari bahan bacaan, ia cukup teliti dalam
bertanya. Saya kemudian menjelaskan bagaimana bekerja di sana.
Namun, saat itu juga saya merasa bahwa saya “berasal” dari sebuah negeri yang
opresif, sekaligus komunistik di mana seseorang (sedikit banyak) ditentukan nasibnya
oleh negara. “Kebebasan” jadi barang mahal, dan demarkasi antara Singapura dan
Amerika dipisahkan oleh kata ini. Ah, sudahlah. Mengeluh adalah indikasi bahwa kita
terjangkit penyakit Singaporean: tak pernah puas.
Dua hari itu saya senang sekali karena telah berjumpa dengan sepupu saya.
31
13. Tukang Becak
Pada 11 Agustus 2005 di Singapura, dalam sebuah ruang interview, seorang manajer
memberikan pertanyaan pertama yang mengejutkan: "Where is Bondowoso?" Saya
mengangkat alis, apakah ini serius? Ia kemudian bertanya lagi: "Bondowoso, which
part of Indonesia is it?" Kemudian, dengan bersemangat, saya menjelaskan bahwa ia
terletak di sisi timur pulau Jawa, dekat dengan Bali meski harus nyebrang selat; sekitar
4 jam bermobil dari Surabaya. Saya ragu bahwa geografinya bagus, tapi barangkali ia
hanya ingin memecah kebekuan wawancara.
Bondowoso itu yang paling kiri. Diletakkan
bersebelahan dengan Bali supaya orang langsung
ngeh, Bondowoso itu sebelah kirinya Bali to hehe
... 2.5jam naik mobil
***
Senin pagi, 4 Feb, kami (saya, olit, tuti) naik becak Pak Kus
ke Pecinan, dan membeli pecel Mbak Debri (tak ada nama
toko, letaknya di pinggir gang Gereja). Bosan menunggu
antrian, saya pergi ke luar dan ngobrol dengan Pak Kus.
Lelaki ini berumur 60, tapi ia tak terlihat renta. Ia nampak
sehat, meski kulitnya yang hitam terbakar terik mulai
keriput. Dia bercerita: setiap pagi pergi pukul lima pagi, dan
mengayuh sejauh 2 km ke pasar, berbelanja, lalu mengirim
belanjaan ke masjid jamik. Kemudian ia mulai mangkal di
depan rumah saya. Kalau sedang untung, ia bisa mendapat 35 ribu/hari. Kalau lagi
sepi, ia hanya dapat 15 - 20 ribu/hari. Ia hidup bersama istri dan cucu perempuan yang
hampir lulus SMP. Ia berencana menyekolahkan cucunya di kota untuk SMA-nya, dan
membiayainya sendiri. Pukul 10-11 pagi, biasanya ia pulang ke rumah, beristirahat.
Esoknya ia mulai bekerja lagi. Jam kerjanya pendek, namun ia bilang ia akan tetap
32
mbecak selagi masih sehat. Ia tak ingin jadi beban anak-anaknya, ia ingin mandiri, dan
ingin tetap "memberi" selama jantung masih berdetak.
Di Bondowoso yang sunyi, tukang becak mengingatkan kita agar mensyukuri
keberuntungan, dan menikmati kesederhanaan tujuan hidup. Terbiasakah kita?
33
14. Kawan-Kawan Lama
Semalam saya terlalu nganggur hingga akhirnya saya nelponin kawan-kawan lama
masa SMP - SMA yang berdomisili di Jember dan Surabaya. Tidak banyak yang
ditelpon karena bill telpon bisa melonjak.
Sunu. Dia sudah masuk blog beberapa kali. Dia yang mengajarkan bermain gitar
waktu SMP. Ketika SMA, kami ikut ekskul pecinta alam dan mendirikan band yang
bernama "Springfield". Ia kemudian keluar dari band dan solo karir. Setamat SMA,
Sunu pindah ke Yogya dan menimba ilmu Food & Beverage di AMPTA (akademi
perhotelan). Tahun 1998, saya sempat mampir di Yogya dan menginap beberapa hari
di kos-kosannya. Meski sempat menyaksikan sisa-sisa kerusuhan, kesan tentang Yogya
masih sama: slow motion, friendly people. Sunu bertanya: wong Singapur opo nggapleki? kok
soko critomu koyoke ngono (orang Singapura apa nyebelin? dari ceritamu sepertinya
gitu). Saya lupa menjawab apa; barangkali "Iya, sebagian". Sunu masih bermain band
dan ia main bass. Ia bekerja untuk bagian manajemen di sebuah apartemen di
Surabaya. Tidak memasak roti lagi sepertinya. Ia masih single dan tertawanya masih
sama: menggelegar dan diskrit (seperti kita semua). Dan cara berbicaranya pun masih
sama.
Hahang. Orang pasti bertanya "Kok namanya Hahang? Ini nama asli? Dari mana nama
itu berasal?" Yah dia pun barangkali tidak tahu, kecuali bahwa itu pemberian orangtua
lalu distempel di akta lahir. Awal Januari 2008 Hahang sempat patah hati, tapi hanya
sebentar (seperti halnya laki-laki kebanyakan). Di hari ia memutus pacarnya, ia
kemudian (katanya) pergi menjemput adik kelasnya yang lain (laaaa). Tahun 1996 ia
bersekolah di Surabaya, mengambil jurusan kedokteran ... hewan. Woof woof. Akhirnya
ia lulus dan bekerja di perusahaan pakan ternak di Surabaya. Tetap sebagai dokter
hewan. Dulu kami sering meledeknya: wah susah lho jadi dokter hewan ... setiap kali
nanya pasien "Kamu sakit apa? Di mana sakitnya? Pasti dijawabnya cuma dengan,
misal, "Mbeeeek ....mbeeek" What a job. Hahang masih seperti dulu, cara bicaranya pun
sama.
Reinhardt. Ini teman satu band di Springfield. Barangkali ia pemain gitar terbaik di
angkatan saya. Dia orang Batak, tapi lahir dan besar di Jember. Kata seperti "Bah",
"cem mana la kau!", "Eh kek mana ni..." kayaknya gak pernah saya dengar. Logatnya
sudah Jawa, langgamnya pun Jawa. Dia belajar gitar 12 jam per hari, low profile, cepat
membaca tempo dan playing by heart (meski ia juga bisa membaca not balok). Dia
sempat main di beberapa kafe di Samarinda, Batam, dan kini ia di Surabaya. Dia
sempat kena peluru nyasar waktu ada pertikaian gank di kafe di Samarinda itu.
Sempat kritis, dan dioperasi bagian pipi hingga leher. Untung dia selamat, dan
semalam bisa ngomong dengan lancar. Pertanyaan pertama saya waktu menelpon dia:
"Heh ... sik urip koen?? Hehe" (Eh masih hidup kamu?). Dia sedikit pendiam, kadang
saya juga bingung mau ngomong apa sama dia. Tapi dia orangnya baik. Agak unik:
pernah ditemukan tidur siang sambil ngelonin gitar, sampe ngiler. Hehe. (Mudah2an
tulisan ini tak dibacanya!)
34
Kurniawan. Namanya panggilannya banyak, seperti Wawan, Beben, Kur-Kur, Brodin,
dan terakhir ya Kurinawa. Tapi saya selalu memanggilnya Wawan. Kurniawan adalah
satu kawan yang sukses jadi pengusaha. Dia selalu bilang "Aduh opone pengusaha ... aku
iki akeh utange, Rip..." (Aduh apanya pengusaha ... aku ini banyak hutangnya Rip".
Benarkah? Sepertinya setiap orang pasti punya hutang; yang beda ya besar kecilnya,
plus deadline-nya. Kurniawan memulai usahanya dengan membuka percetakan,
kemudian merambah ke pengadaan hardware komputer, penyewaan mobil, cuci
mobil, toko handphone, penyewaan game, kini membuka centrabiz di jalan Karimata.
Wah pokoknya semuanya harus dijadikan duit. Orangnya cekatan, pandai
berkomunikasi, mencari tahu dan pekerja keras. Ia juga penggemar kopi dan rokok.
Dia masih bisa krama inggil! (this is something, man). Yang tidak pernah berubah adalah:
ia selalu meminta saya jadi investor. Ha ha .... tunggu 10 tahun lagi kaleee ..
Begitulah sebagian kawan-kawan lama saya. Biasa saja. Tapi mereka yang memberikan
hangatnya persahabatan selama 15 tahun lebih: dari jaman pake kathok SMP sampe
umur 30 sekarang ini. How is yours?
35
15. Kemprit
Tanggal 14 Januari saya menerima sms:
Breaking news: fridia udah kawin sama arief, sabtu 12jan pk16 di kapel
ursulin, tanpa ngundang2, jd sorry ya? doain aja ...
Padahal dia ngundang saya sebulan lalu; supaya saya pergi ke Bandung menghadiri
perkawinan dia. Tapi sayang saya tidak bisa hadir. Akhirnya saya telpon dia setelah
nrima sms itu. Bilang "selamat sudah menjadi seorang istri sekarang", lalu ngobrol
sebentar dengan dia, plus dengan suaminya Mas Arief (aduh nama kok pasaran ya
hehe). Dengan suaminya, saya malah ngobrol komputer Asus yang mau dia beli. Hehe.
Mbak Fridia, saudara-saudaranya memanggilnya “kemprit”, adalah perempuan
Tionghoa yang barangkali 8 tahun lebih tua dari saya. Ia berasal dari Kupang, namun
lama di Bandung. Ia seorang psikolog khusus anak-anak autis. Ia hidup bersama
maminya. Ia penggemar seni, teh, buku dan suka ngobrol. Ia juga suka traveling. Tutur
bahasanya rapi: mirip seragam SD yang habis disetrika ... mirip buku-buku formal gitu
lah.
Awal ketemu dengan Mbak Fridia gimana ya? Tahun 2001 (kalau gak salah), di dalam
kereta jurusan Surabaya - Bandung, seorang perempuan dengan ransel besar
mendekat. Mirip orang Jepang. Ia kemudian duduk di sebelah saya, di dekat jendela.
Ia lalu mengeluarkan beberapa majalah dan mulai membaca. Karena ia juga
mengeluarkan majalah National Geographic, maka saya langsung (tanpa jaim) pinjem
majalah itu. Setelah itu, obrolan terbuka dan kami jadi teman baik hingga hari ini. Ya
perempuan "Jepang" itu Mbak Fridia.
Mbak Fridia menikahi seorang lelaki Jawa (yang Islam, tapi selalu dibilangnya
agnostik). Keluarganya (dulu) tak setuju, karena seorang CK (dia bilang: Cina Katolik)
harus menikahi CK juga. Tapi, lama-lama, peraturan sepertinya melunak seperti
jenang. Oleh sebab itu, ia dan Mas Arief bisa menikah di gereja. Di gereja, katanya,
calon suami-istri tak perlu punya agama sama. Tapi di kantor catatan sipil ...
sepertinya harus beragama sama. Cinta terhalang tembok. Yah mirip cerita sinetron
jaman dulu. Tapi yang ini kawin beneran ...
Sebelum tutup telpon tempo hari, saya bilang: Ayo ayo ... bikin anak!
Dia bilang: iya mudah-mudahan lah ... biar gak kena deadline (umur) nih.
36
16. AAN
Clementi – 2003
Sebelum ke Singapura tanggal 19 Juli 2003, saya kenalan dengan seorang kawan (baru)
lewat email. Namanya Ahmad Ali Nurdin (AAN). Dia katanya baru pulang dari
“mondok” di Australia, dan mampir ke Singapura, tepatnya di padepokan NUS, untuk
studi Master yang ke-2 (master²). Ketika itu kami mencari kos-kosan bersama dekat
kampus (sebenarnya yang nyariin dia sih, karena dia sudah di Singapura duluan).
Saya lagi di Bandung, dan sibuk mindahin barang-barang dari kos-kosan di Cisitu ke
rumah kakak & pacar di Jakarta. Akhirnya, dengan bantuan housing agent, yang
namanya masih kami ingat yaitu Tan Man Lee, kami diantar ke Blok 335 di Clementi.
Di sana, kami viewing rumah baru.
Kami memutuskan untuk menyewa master bedroom yang ada kamar mandi dalam.
Rumahnya ada di lantai 6; dan lift hanya berhenti di lantai 1, 6 dan 11. Jadi, kami
lumayan beruntung tidak perlu naik turun tangga. Flat ini estate lama; lokasinya dekat
dengan MRT station Clementi (6 menit jalan kaki), jendela belakang terhalang pohon
jadi agak sungup, dan ada seorang lelaki yang tidur di kamar lain, pacar pemilik
rumah, namanya Bob (meski aslinya bernama Arab, yaitu Arba'a). Ada dua tempat
tidur di kamar itu, ada 1 lemari pakaian, 1 meja belajar. Satu tempat tidur yang saya
gunakan hanyalah matras setebal (awalnya) 15 cm. Tapi setelah 6 bulan, bagian tengah
matras jadi 5 cm; jadi punggung agak dingin ketika malam tiba.
Malam hari sepulang dari kampus, kami biasanya nonton TV, ngobrol, minum coke
atau kopi, ngrokok Gudang Garam. Dia sebenarnya bukan perokok; tapi karena saya
rajin membeli GG di Clementi, maka dia ikutan ngrokok (di Jember ini disebut
perokok pasif - artinya "njaluk rokok" hehe). Kini GG yang Internasional tidak ada lagi
di Singapura; dilarang beredar sejak 2004. Extinct. Di depan rokok, TV dan kadang
gitar, kami ngobrol soal macam-macam, terutama soal budaya, agama, politik,
kehidupan dan topik favoritnya, "Australia".
Pasir Panjang – 2004
Setelah 6 bulan di sana, kami pindah ke sebuah landed house di Pasir Panjang,
namanya The Village. Di sana kami tinggal sekamar lagi. Tapi kali ini sekamar diisi 3
orang. Seorang lagi adalah anak Lumajang (alumni ITB) yang kuliah di NUS juga.
Jadilah, tiga bujangan di pinggir galangan kapal, West Coast. Tiap malam, seperti
ritual sebelumnya, kami mengadakan "meeting". Meeting adalah ngobrol di beranda
depan, dekat kolam renang, sambil ngopi, ngrokok dan main gitar. Obrolannya lebih
bervariasi, tergantung partisipan dan ada beberapa housemate cewek yang ikut
nimbrung.
Setelah 6 bulan, AAN pulang ke Bandung untuk kembali mengajar di almamaternya,
UIN Bandung. Dia yang asli kuningan ini adalah dosen muda yang lebih banyak
menghabiskan waktu belajar daripada mengajar. Ya gimana mau ngajar, kan selalu di
LN untuk menuntut ilmu. Tapi dia tidak pernah lepas kontak dengan kawan-kawan
37
dosen di sana. Dia juga bilang banyak adik kelasnya yang nyalip dia gara-gara lama
gak balik ke kampus. Tapi tak apa. Jalan hidup kadang memang tak bisa diduga. Dia
sendiri tidak punya impian ke LN sebelum lulus dari UIN, begitu katanya. Tapi
menjelang lulus, keinginan ke LN itu muncul. Jadilah ia ke Australia sebelum ke
Singapura.
Bukit Panjang – 2006 & 2008
AAN kembali ke Singapura tahun 2006. Kali ini ia mengambil PhD di bidang politik.
Dan, ia membawa serta keluarganya. Dia menyewa flat di Bukit Panjang, beberapa
blok dari tempat saya menyewa kamar. Setelah 1-1.5 tahun mereka sekeluarga pulang
ke Kuningan. Setelah field work dan cuti hingga 9 bulan, ia kembali ke Singapura.
Kebetulan akhirnya saya menyewa flat sendiri di Bukit Panjang, maka ia tinggal
sebentar di sini. Setelah 7 bulan, ia pulang kampung ke Kuningan pagi tadi pukul 5.30.
Ia tinggal menulis conclusion saja untuk thesisnya.
Penutup
Seperti halnya Gus Dur, Ulil, mereka yang dididik secara tradisional di pesantren
kemudian terekspos risalah ilmiah dari Barat, biasanya memiliki pemikiran agama
yang progresif, tidak jumud, fleksibel dan liberal. Demikian juga AAN. Maka,
berdiskusi dengannya mengenai Islam progresif selalu membuahkan pandangan atau
pengetahuan baru.
Saya sendiri tidak pernah dididik di pesantren. Dan, dulu agak ngeri kalau diancam
akan dimasukkan pesantren waktu kecil. Tapi di pertengahan kuliah di Bandung, saya
membaca banyak sekali buku-buku pemikiran Barat yang mudah didapat di toko-toko
kecil dekat kampus. Buku-buku ini tentu saja tidak berguna untuk kuliah saya. Dan,
saya sendiri selalu bingung kalau ditanya kenapa membaca buku-buku seperti itu
(seperti Fyodor Dostoevsky, Gogol, Sartre, Foucoult, Nietzsche, Marx, Arkoun,
Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Geertz, Anne-Marie Schimmel, M Iqbal dll). Tidak ada
tujuan kecuali ingin tahu ranah lain di bumi ini. Mereka tentu tidak berbicara non-
sense, itu saja yang saya percaya. Kalau non-sense, kenapa buku-buku itu dibahas di
universitas besar di dunia? Jadi, agak eklektik dan self-enrichment.
Belakangan, terasa sekali manfaatnya. Tanpa membaca buku-buku itu, barangkali saya
tidak bisa nyambung dengan AAN. Buku-buku itu secara tidak langsung memberikan
hal-hal berikut: (1) kecenderungan untuk terbuka kepada pemikiran baru; (2)
memahami dengan lebih cepat fenomena yang non-mekanistik; (3) memahami
mengapa komunitas bertindak ini itu; (4) kesempatan untuk menguji metode ilmiah di
bidang sains ke bidang sosial; (5) lebih bisa masuk ke banyak kalangan yang non-
teknik karena ada hal yang diobrolkan.
AAN dulunya studi hadits, lalu berekspansi ke jalur pemikiran politik dan Islam
liberal. AAN adalah seseorang yang produktif dalam dunia jurnalistik. Tulisannya
menghiasi koran-koran di Indonesia dan Singapura; dan lewat kenalan dia ini, saya
bisa memasukkan artikel di koran Singapura. AAN Ia juga menunggu satu bukunya
38
diterbitkan di Thailand, dan ini mengenai Islam. juga orang yang sederhana dan tidak
ambisius. Ambisinya hanya dituangkan lewat jalur akademis dan pemikiran saja;
meski ada juga profesor yang mengatakan tulisannya konservatif. AAN sangat ingin
kembali ke Australia, entah untuk belajar lagi atau mengajar. Negeri ini sangat
berkesan baginya. AAN sedang menantikan anak keduanya (yang katanya Made in
Singapore - hehe and born elsewhere, probably). AAN adalah orang yang sering
dipermudah jalannya oleh Tuhan meski dihadapkan pada berbagai masalah pelik.
Selamat jalan kawan ... keep on writing.
40
17. Aku dan Meneer Janssens
Pagi itu aku murung: ayah-ibuku mati tertabrak lori. Air mataku menetes, lalu diseka
Meneer Janssens, bekas majikan orangtuaku. Pada umur 11 tahun itu, aku diasuh
Meneer: ini semacam privilege yang aku bayar dengan menjadi jongosnya.
Enam tahun kemudian, Meneer mengirimku ke Amsterdam. “Pendidikan adalah bekal
untuk mandiri, ” pesannya. Di sana, aku belajar ilmu hukum di sebuah universitas.
Setelah lulus, aku bekerja di sebuah firma huku. Karena inlander, upahku rendah.
Namun aku betah di Belanda: sebuah negeri yang berbeda dari Jawa, di mana sistem
berjalan tanpa cambuk rotan.
Suatu sore aku mendapati surat Meneer: “Tole, pulanglah segera.” Alasannya tak jelas,
tapi aku tahu bahwa Meneer memerlukan aku di Jawa. Balasan suratku mungkin
menyakitinya: “Meneer, aku tak ingin pulang, karena aku menyukai kehidupan
Belanda, dan aku memiliki perempuan idaman di sini.”
Beberapa hari kemudian, dugaanku benar: surata balasan Meneer membuat kita saling
melukai. O, Meneer, bukan aku tak ingin membalas budi, tapi bisakah engkau
membebaskan aku?
Tak ada balasan.
Lima tahun kemudian, aku pulang ke Jawa. Dalam pelukan rindu kami, Meneer
berbisik: komunis di mana-mana, berhati-hatilah …
Esoknya, aku melihat tubuh Meneer tak lagi bernyawa: ia kena serangan jantung.
Dua tahun kemudian, orang komunis diberangus, dipenggal, ditembak dan dibuang
ke sungai. Bau anyir mayat mengundang mual. Aku tak mual, karena aku ada di
antara tumpukan mayat-mayat itu.
*Diterbitkan di Flash! Flash! Flash! Kumpulan Cerita Sekilas (Blogfam & Penerbit
Gradien, 2006); jumlah kata = 216
41
18. Ayu Utami dan AAC
Ada beberapa orang yang nanya ke saya: sudahkah membaca Ayat-Ayat Cinta (AAC)?
Saya selalu jawab belum. Kalau AAS (Ayat-Ayat Setan - Satanic Verses - Salman
Rushdie) dulu pernah baca tapi gak tuntas. Katanya juga, filmnya sudah beredar di
Indonesia dan ditonton 3 juta orang. Sensasional kayaknya. Dan, ini bukti bahwa saya
kuper (ha ha).
Saya nemu komentar Ayu Utami mengenai AAC ini. Novel Ayu Utami yang saya
kagumi adalah Saman. Novel lainnya, seperti Larung, kurang 'menggigit'. Dalam
Saman, Ayu mendobrak pintu sastra yang kokoh, rapi, bersih dan keramat. Ia tidak
seperti itu: ia vulgar, apa adanya, sedikit 'kotor' dan ramai kritik. Sastra memang
seperti itu: membuka pergulatan, bukan memberi solusi. Yang memberi solusi
(khususnya happy ending) biasanya ya Hollywood. Kalau Bollywood? Ada lapangan,
ada lagu, ada pertempuran, ada hero, ada nangis (tapi kadang kocak juga).
Saya percaya Ayu Utami memberi komentar yang objektif mengenai AAC. Seperti:
Ayat-ayat Cinta itu novel Hollywood, novel yang akan membuat senang pembacanya.
Cara membuat senang itu dengan memakai resep cerita pop, misalnya berita happy
ending, katakan yang orang ingin dengar, jangan katakan yang tidak ingin didengar.
Nah kan ...
Cerita novel ini sangat laki-laki, memenuhi keinginan dan impian semua laki-laki untuk
dicintai banyak perempuan, yang perempuan istri pertama menyuruh dia kimpoi lagi.
Lalu penyelesaiannya untuk kompromi simpel, perempuan yang istri kedua mati.
Kalau dalam novel ini, kasus poligami disikapi dengan pengecut. Dalam arti, sebagian
besar perempuan tidak mau dipoligami. Bila pun ada, perempuan yang mau dipoligami
itu, biasanya mereka sebagai istri kedua, ketiga, atau keempat.
Kekuatan novel ini?
Judulnya kuat, ini mengingatkan pada Ayat-Ayat Setan, atau lagu Laskar Cinta.
Kemudian enak dibaca, dia punya keterampilan menulis. Tapi saya kira kekuatan Ayat-
Ayat Cinta ini adalah kemampuannya untuk menyenangkan, untuk mengkonfirmasi
apa yang dipercaya kebanyakan orang. Mental masyarakat itu merindukan orang
untuk masuk ke agamanya, kita senang bila ada yang masuk agama kita. Di sini, masuk
Islam, di Hollywood masuk Kristen.
Kelemahan novel ini?
Paling lemah, kalau menurut saya, adalah nafsunya pada kebenaran. Begitu bernafsu
untuk menunjukkan kebenaran. Tapi dia mengakui ini novel dakwah, jadi nggak masalah.
43
19. Membaca BTJ
Urip iku mung mampir ngombe – Anonim
Sejak hari Minggu, saya baca buku Babad Tanah Jawi (Javaansche Rijkskroniek) yang
ditulis oleh WL Olthof tahun 1941. Bukunya berbahasa Indonesia dan saya beli ketika
pulang ke Jember. Awalnya agak membosankan, tapi begitu lewat 20 halaman, isinya
menarik. Isinya mengenai cerita raja-raja Jawa dan keturunannya, konflik dan
kesaktian. Makin ke belakang (tahun 1400an), mungkin karena sumber literatur mulai
lengkap, maka isi buku banyak dibumbui dialog dan catatan yang rinci.
Alasan tiba-tiba tertarik membaca buku ini ya karena akhir-akhir ini sering mikir
tentang "Jawa", budaya nenek moyang. Alasan lain ya karena dulu sempat membaca
cerita Amangkurat II yang kejamnya minta ampun (ia menghabisi 6000 orang
termasuk perempuan dan anak-anak di alun-alun kota dalam waktu setengah jam - ini
karena ia cemburu lantaran istrinya selingkuh dengan adik lelakinya). Katanya cerita
Amangkurat II ini ada di Babad Tanah Jawi. Tapi belum sampe ke sana sih. Jadi mesti
lanjut membaca.
Alasan lain lagi kenapa membaca buku ini karena ingin tahu cerita tentang Gajah
Mada. Tapi lumayan kecewa, karena cerita tentang Gajah Mada tidak banyak.
Mungkin karena Gajah Mada ini bukan raja kali... Namun, sekilas, penulisnya kagum
dengannya, tapi tidak hendak merinci lebih jauh. Mungkin keterbatasan data sejarah.
Beda dengan Langit Kresna Hariadi, yang menulis tiga jilid tentang Gajah Mada. Saya
sendiri pengen sekali beli buku-bukunya. Nanti kalau sudah pulang ke Jember, atau
main ke Batam :) Pertanyaan yang mesti saya jawab adalah: Gajah Mada ini orang
mana sih? Orang Jember ta? He he ... Soalnya hal ini sendiri masih kontroversi. Ada
yang bilang GM ini (bukan Goenawan Mohamad lho ya) orang Melayu, orang Jawa,
orang Myanmar, orang Mongolia, dan lainnya. Dan, kematian GM sendiri masih
sangat misterius. Katanya sih, dia konflik dengan Hayam Wuruk, lalu diasingkan ke
Probolinggo dan nyepi di dekat air terjun. Lalu lenyap. Atau kemudian bekerja di
BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) setempat hehe. Hush ... GM kok
diguyoni...
Ya begitulah, belum ada hasil membaca BTJ, kecuali bahwa pas tidur siang hari
minggu saya mimpi Raden Pajang merencanakan hendak membunuh Arya
Penansang. Gila! Sampe terbawa mimpi bo ...
44
20. Rumah Bambu
Tahun 1998 saya sempat main ke gang Kuwera, Yogyakarta. Ada rumah yang agak
tertutup di sana. Dari luar nampak sebuah ruang di tingkat dua yang penuh buku. Ia
tak memiliki balkon, dan hanya dilapisi kaca besar, terawang, sehingga orang bisa
mengintip tatanan buku di lemari. Rumah siapakah itu?
Dua tahun kemudian (2000) saya membaca Rumah Bambu. Buku ini berisi cerpen-
cerpen yang ditulis YB Mangunwijaya. Kemudian saya melanjutkan ke buku-bukunya
yang lain seperti Burung-Burung Manyar, dan beberapa biografinya, sehingga saya
"mengenal" YBM. Rumah di gang Kuwera itu rumah YB Mangunwijaya. Sayangnya, 1
tahun sebelumnya ia meninggal.
YBM ini unik: arsitek/engineer, pastor, pekerja sosial, agamawan, sosiolog
(antropolog), penulis dan banyak lagi atribut lainnya. Gus Dur bilang "Ia adalah
pemilik moral yang absolut." Desain rumah yang dibuatnya di Kali Code, Yogya,
memenuhi kriteria "rumah", layak huni, ventilasi dan pencahayaan yang baik dan
dibuat dengan bahan yang mudah didapat. Rumah-rumah itu dibangun untuk
penduduk tak mampu di sana. Ia juga terlibat dalam INTERFIDEI (lembaga dialog
antaragama).
Satu cerita dalam Rumah Bambu masih saya ingat: Rheinstein. Barangkali ini cerpen
paling panjang dalam buku itu (long short-story) dan ia bercerita tentang kebosanan,
kerinduan, keinginan, gairah, seks dan kesetiaan.
Tunggu ... ada suara petikan Dewa Budjana dan tiupan Embong Rahardjo dalam Early
Mornin' (album SAMSARA) ... indah sekali.
Seseorang dengan baik hati meng-upload potongan cerpen Rheinstein. (Potongannya
bisa dibaca di Yendi's Blog). Rheinstein menulis tentang perempuan. Kadang ia muak
dengan kesetiaan:
Jangan tanya. Kesetiaan memang memuakkan. Makanya setiap pagi aku muntah-
muntah, persis seperti perempuan hamil yang mengidam untuk mencium aroma
lelakinya. Pun hanya selembar kemejamu yang tertinggal. Ya, kesetiaan memang
membuat mual. Apalagi setiaku tumbuh merambat seperti tanaman di dinding
lumut. Liar dan menjalar.
Tapi kadang ia membuktikan kesetiaan dengan menunggu:
Tepat di pukul empat, aku pasti menunggu. Menunggu memang bisa membunuh,
seperti yang kurasakan. Tepat pukul empat, tubuhku seperti ditusuk-tusuk ratusan
jarum. Rasanya aneh. Pertama geli, lalu aku mulai kejang karena kesakitan dan
disambung perih yang tanpa jeda. Begitu setiap hari sampai menjelang malam,
rasa itu akan hilang dengan sendirinya dan aku jadi terbiasa.
45
Untungnya, menungguku adalah bagian dari setia padamu. Jadi perih itu bisa
kunikmati. Karena kesetiaan hakikinya memang indah. Kalau istilahmu, cantik.
Cantik itu setia. Cantik itu menunggu. Aku ingin cantik di matamu jadi aku setia
dan menunggu. Menunggu waktu berbaur dengan harapan dan mungkin
ditambah setengah tetes doa, bisa jadi mantra untuk hidup bahagia.
Lalu ia membuat pengakuan
Tapi aku mau membuat pengakuan. Pernah aku hampir menyerah kalah. Saat
tubuhku mulai kebal dari rasa perih dan cecap darah di sudut bibir justru terasa
manis. Aku menangis meraung-raung. Kugigiti tubuhku sendiri. Semalaman. Aku
tidak ingin menunggumu lagi. Aku bosan, dan aku mulai terbunuh oleh setiaku
sendiri. Tersiksa sekali rasanya. Mungkin karena aku manusia. Bukan titisan
Drupadi yang punya kesabaran tanpa batas cakrawala atau kekuatan seperti milik
Mutjingga2 yang bisa menyatukan segala roh dan membuatnya terlahir kembali
dengan suci. Tapi untung saja aku kembali terjaga dalam setiaku. Dalam
menunggumu. Kembali kuperca kain yang kali ini kupilihkan dengan warna biru
awan. Agar kamu tahu bahwa kesetiaanku hanya langit batasannya.
Dan ia hanyalah perempuan ...
Aku perempuan. Dan hanya kesetiaan yang bernilai untuk kupersembahkan
padamu. Bukan gerai rambut yang kuronce dengan melati atau tarian srimpi yang
kutarikan dengan cadar emas atau selembar dua daun mindi yang kubiarkan
kering agar aromanya menempel di tubuhku.
Aku perempuan dan terlanjur mencintaimu.
Seriously, bagaimana YB Mangunwijaya bisa begitu pandai membahasakan
perempuan? Bagaimana ia bisa berempati dengan perempuan lewat perasaan yang
terbahasakan? Sampai sekarang masih terkesan dengan cerpen dan kata-kata dalam
cerpen itu.
47
21. Shonanto
Bukan, itu Shōnantō bukan nama Jawa, tapi kependekan dari Showa no jidai ni eta
minami no shima (pemendekan dengan metode gimana ya?) alias pulau di selatan yang
didapat di era kaisar Jepang, Showa. Shōnantō adalah nama lain Singapura.
Selanjutnya bisa dibaca di Wikipedia.
Empat puluh dua tahun silam (+ dua hari) Singapura merdeka dari Malaysia. 9
Agustus. Negeri yang disebut punya anomali antropologi (sebuah pulau yang
dominan imigran China di antara “raksasa” Melayu) ini bisa mengatur dirinya sendiri.
Dalam sebuah buku (lupa judulnya, tapi risalah serius seorang ahli politik-ekonomi
Asia), Singapura adalah satu-satunya negeri di ekuator yang punya GDP tertinggi.
Dalam hal kemakmuran, ia juga anomali. Titik merah ini agresif dalam ekspansi bisnis;
ia juga punya kualitas layanan keuangan yang fleksibel sekaligus terpercaya; ia punya
cita-cita besar; tapi ia juga diatur dengan sistem politik demokrasi terpimpin.
“Demokrasi” ada karena ada kompetisi partai dan pemilu, “terpimpin” karena bak
seorang raja yang infalibel, perdana menteri punya kuasa penuh atas segala aspek
Singapura. Presiden hanyalah simbol. Yang lebih aneh lagi: ada tiga perdana menteri
di pulau berpenduduk 4.5 juta ini (perdana menteri, menteri senior dan guru menteri).
Peran ketiganya sama, yaitu mengatur negara, dan punya wilayah otoritas sendiri.
Jangan belajar politik di Singapura karena tak menarik.
Dua hari lalu ada National Day Parade. Suatu peringatan besar-besaran. Di teluk
Marina itu, merah di mana-mana. Saya tak menonton karena fobia keramaian (halah!).
Tidak ada yang istimewa, kecuali bahwa ini (katanya) pesta kemerdekaan terbesar
48
dalam sejarah Singapura. Tapi teman saya mengutip LKY: setiap kembang api yang
meledak selalu diiringi bau uang yang terbakar (begitu parafrasenya). Dan uang itu
adalah uang rakyat — yang bulan lalu berkontribusi untuk kenaikan gaji perdana
menteri, dan terkena kenaikan pajak jadi 7%. Tak ada yang sensitif. Karena yang
sensitif pasti kena Al-Sensor.
Selamat ulang tahun Singapura. Kowe oleh sedho sak marine aku sedho.
49
22. Bekupon: Tentang „Rumah“ di Singapura
Di Singapura, (katanya) 80% keluarga hidup di HDB flat. HDB ini badan pemerintah
yang mengurusi perumahan rakyat. Di Indonesia HDB ini barangkali mirip dengan
Perumnas. Pemilik HDB flat memiliki rumah, tapi tak memiliki tanah. Bilik dibatasi
oleh dinding. Kemudian tetangga ditumpuk di atas dan di bawahnya. Lalu disediakan
lift supaya tak penat naik turun tangga, terutama jika flat-nya sampai 30 lantai. Air dan
listrik tersedia (kemudian disebut “PUB” alias Public Utility Board). Tapi jangan lupa
bayar tiap bulan.
Enam bulan pertama di Singapura saya hidup di HDB flat. Lewat sebuah agen
perumahan (calo atau makelar), saya mendapatkan rumah itu.Bangunannya lama, dan
lift hanya berhenti di lantai 1, 6 dan 11. Total 12 lantai. Kanan-kiri flat dilingkupi
pohon rindang. Jadi, kadang ada burung jalak (Tiong bird) atau gagak yang bertengger
di jendela. Ruangannya sungup alias gelap berlembab. Arah bangunan tak utara
selatan, jadi tak kebagian matahari. Angin lumayan kencang. Bila hujan tiba, dan lupa
menutup jendela, beceklah dapur dan kamar.
Kini saya pindah ke HDB flat di wilayah lain. Lebih bersih, lebih baru, dapat banyak
matahari dan angin. Daerahnya seperti pinggir kota. Ayah saya bilang: “Iki luwih sepi
timbang Bondowoso.” Tapi saya suka tinggal di sini. Memang mirip Bondowoso, tapi
supermarket (plus kedai kopi, ATM) tinggal selemparan batu (dengan syarat
nglemparnya harus kayak nglempar granat ~ 100 m).
Mari loncat ke Surabaya. Ketika kecil saya sering ke tempat paman di tengah kota
Surabaya. Rumahnya kecil dan berdempetan dengan tetangga lain. Maklum,
rumahnya model kampung. Di sana, banyak sekali orang memelihara burung merpati.
Sebagian dipelihara untuk kontes. Burung-burung itu dipelihara dalam rumah kecil di
atas tiang, dan dikenal dengan nama bekupon. Nama lainnya pagupon. Kadang ada
yang tumpuk-tumpuk 3 lantai.
HDB flat ini mirip dengan bekupon. Tapi tentu lebih canggih: penghuni flat lebih
pandai internetan. Tinggal di condo hampir tidak ada beda. Kecuali mereka punya
sarana olahraga seperti kolam renang dan gym. Selebihnya ya ditumpuk. Kalau
merpati bisa ngomong dan punya anatomi mirip manusia, barangkali dia juga mesti
bayar PUB.
50
23. Fabian Fobia: Tentang Anak di Singapura
Phobia terhadap ketinggian, ruang yang luas dan laba-laba barangkali biasa. Yang
lebih biasa lagi adalah phobia terhadap bos. Kalau phobia terhadap tetangga umur 7
tahun, nah ini luar biasa. Istri saya mengidap ini.
Fabian adalah nama anak ini. Seorang murid SD kelas 2 tapi tak pandai membaca. Dia
suka menyapa dan kadang berdiri di depan rumah dan berkata “Can I come to your
house?”. Tentu kami mempersilakan masuk. Dia kemudian main dengan anak kami.
Ada yang unik: tata kramanya beda. Dia tanpa permisi langsung masuk ke kamar
tidur, naik ke box bayi, lalu lari ke dapur, membuka kulkas dan minta ijin untuk
minum susu. Lama kelamaan tingkah lakunya menjengkelkan: jika ia ingin makan
cereal ia langsung bilang “Hey, I want this.” Dia juga suka berbohong kepada kakek-
neneknya: “Please don’t tell my Ah Kong that I eat this, OK?” Dia tak boleh makan coklat
di rumahnya, tapi kami tetap memberinya karena tidak tega (tidak tega membiarkan
ompongnya cuma dua hehe). Dia juga tak kenal waktu jika ingin main. Jam 8 pagi
sampai jam 8 malam. Akhirnya kadang kita suruh dia pulang alias usir dengan alasan
“Baby wants to sleep…” atau “We’re going out in a minute…” Dia juga pernah tertangkap
basah mau mengantongi mainan. Klepto. Kadang-kadang kami mendengar ia
bertengkar dengan kakeknya dan saling bentak. Ribut banget deh.
Singkatnya: arek iki nggapleki pol…
Dengan anak kecil yang lain, istri saya tidak phobia. Cuma sama Fabian aja dia phobia.
Barangkali dia phobia dengan tingkah laku yang menjengkelkan itu. Kenapa ya anak
kecil kok bisa berperilaku begitu? Kami tak habis pikir. Tapi kami tidak menyerah:
kami menyimpulkan bahwa dia anak yang kekurangan kasih sayang orang tua. Dia
tinggal dengan kakek-neneknya, dan orang tuanya datang seminggu sekali (woi ini
Singapore gitu lho … koyok Surabaya-Jember wae!). Dia juga jarang diajak bermain ke
rumah orang dan diberi petunjuk mengenai sikap-sikap baik ketika bertamu. Jadi ya
begitu main ke rumah orang ia seenaknya sendiri.
Ini salah siapa coba?
51
24. Muram: Tentang „Ekspresi“ di Singapura
Setiap pagi saya jalan kaki ke bus interchange. Jika antrian bus sepi, saya bisa memilih
tempat duduk yang strategis; tempat di mana saya bisa melakukan “people watching”
yang diskontinu dan agak invisible. Perilaku ini sebenarnya mengganggu bagi orang
lain. Siapa yang suka diam-diam diamati makhluk lain? Tapi ini jadi kebiasaan. Saya bisa
melihat sesuatu yang konstan di Singapura: wajah muram.
Apa sebab seseorang berwajah muram di pagi yang segar? Umumnya karena ngantuk;
sebab lain: tumpukan tugas dan kerja yang menanti; alasan lain: setelan mulut sudah
demikian murung; coro londo-nya: life sucks!
Saya pernah bertanya kepada seorang kawan yang energik dan ceria: Are you happy
here? Jawabannya ekspres: No! Apa pasal? Ia lalu mendadak muram dan berjalan
gontai: semua perlu uang, bayar ini bayar itu, sedangkan gaji kecil. Jika memang
demikian: life barangkali memang sucks.
Hidup itu “menghisap” seperti lintah. Tapi apakah “kita” dalam “hidup”? Kemudian,
siapakah “lintah” itu? Seperti mengejar ekor sendiri, sumber kemuraman adalah kita
sendiri.
Seorang kawan pernah dikenal sebagai source of happiness di Singapura yang muram.
Dia mencari masalah, kadang juga sial tertimpa masalah, jadinya penuh masalah.
Harusnya ia muram. Tapi tidak. Ia selalu ceria. Kenapa demikian? Singkat saja: aku tak
punya pilihan lain selain menjadi ceria; ini untuk anakku; sebaiknya ia tak melihat aku
murung; aku ingin ia selalu melihat ayahnya ceria. Apakah ini berbohong pada diri
sendiri? Iya, tapi itu tak soal baginya. Karena hidup hari ini lebih bermakna jika kita
berbuat baik pada dua orang: diri kita sendiri dan seseorang yang kita cintai. Naif
barangkali. Tapi hasilnya positif.
Setiap pagi saya naik bus. Lewat pintu yang terbuka otomatis dan bunyi “teeeet” kartu
bus yang ditempel, wajah muram masuk berurutan. Inilah Singapura. Jangan heran.
52
25. Adzan di Singapura
Adzan adalah pengingat dan panggilan bagi muslim supaya sembahyang. Bagi saya,
yang pernah hidup 25 tahun di Indonesia (di mana adzan adalah lantunan yang
terjadwal), adzan adalah bukti pemerintah yang tak represif terhadap agama meski
Indonesia cenderung sekuler. Di Bondowoso, kota masa kecil saya, lonceng gereja juga
diperbolehkan berdenting tiap hari minggu. “Panggilan” massal untuk berdoa ini tak
mengganggu; malah memperkaya bunyi di keseharian.
Lain halnya di Singapura. Seberapapun besar masjid dibangun di sini, tak 1 dB-pun
bunyi adzan boleh dilantunkan. “Menganggu ketenangan,” kata seseorang. Meski
muslim perlu pengingat sholat yang unik seperti adzan, tapi karena pemerintah tidak
memahami esensi “adzan” maka adzan dilarang bunyi. Karena minoritas maka
muslim di Singapura diam saja. Bergeming. Diam juga pilihan dan mereka
membunyikan adzan lewat speaker dalam ruangan masjid saja: tak sampai keluar.
Satu-satunya (mungkin) masjid yang boleh membunyikan adzan adalah masjid Sultan
di sekitar Arab Street. Masjid Sultan adalah masjid tertua kedua di Singapura dan
dikategorikan national heritage. Oleh sebab itu, ia mendapat perkecualian.
Masjid Sultan, Kampung Glam, Singapura
Yang diijinkan berbunyi di Singapura, antara lain: bunyi memekakkan seperti creng-
creng dan tabuh-tabuhan yang mengiringi barongsai, lagu-lagu ketika ada perkawinan
Melayu, pukulan kayu sekelompok penyembah api yang berjubah putih seperti Ku
Klux Klan (ini pernah saya saksikan sendiri di Bukit Panjang - entah agama apa), dan
lainnya.
53
Sebentar lagi puasa. Saya sebenarnya kangen sekali dengan adzan. Di Bondowoso,
sebelum buka puasa atau imsak, adzan dibunyikan setelah bunyi sirine branwir
selama 1 menit.
Akhir kata: adzan pun kena “sensor” di Singapura.
54
26. Ras
Di bawah selubung kota yang teratur diatur dan taat hukum (karena denda), orang
Singapura “terbiasa” dengan (dan dibiasakan ber-) corak pikir rasis. “Are you
Chinese? Are you Malay? Are you Indian?” terdengar rutin (selama 5 tahun hidup di
Singapura). Ras ditulis jelas-jelas di kartu identitas. Untuk apa? Untuk membedakan
hak dan kewajiban tentunya. Terdengar klasik? Iya. Dan di sana tumbuh purbasangka
ras di benak setiap penduduk Singapura. Menyedihkan. Padahal sebuah nasion yang
besar adalah nasion yang terbentuk oleh mozaik etnik yang kemudian melebur dan tak
dipertanyakan lagi: sebuah negeri yang barangkali utopia (meski Amerika atau
Indonesia) tengah berjuang ke arah sana. Tapi tidak Singapura.
Saya membaca “Minoritas” yang ditulis Goenawan Mohamad beberapa waktu lalu.
“Minoritas” didasarkan pada apresiasi tari masyarakat Papua berjudul “In front of
Papua” di mana keserempakan gerak, laku yang jenaka dan sayu, serta tata tari
(koreografi) yang rapi adalah inti dari pertunjukan. Sekali lagi: apresiasi. Seorang
penonton (Singaporean) lalu bertanya: “Apakah ini tarian dari kebudayaan
minoritas?” Orang Singapura tak akan terkejut mendengar pertanyaan ini; malah
makin penasaran. Tapi orang Indonesia menilai sebaliknya.
Tari Irian (sumber: travel.webshot.com)
Kemudian GM menulis panjang lebar:
“Minoritas” — tak seorang pun di Indonesia akan menggunakan kata itu buat orang
Papua, ataupun sebuah suku kecil sekalipun di pulau itu. Tapi saya kira saya tahu
mengapa orang ini bertanya demikian. Seperti kebanyakan orang Singapura, ia
55
terbiasa hidup dengan ruang yang tak bersentuhan langsung dengan alam. Ia mudah
melihat ekspresi yang “primitif”, “eksotik” – yang praktis tak ada di London atau New
York — sebagai sesuatu yang terpencil, ganjil, dan nyaris hilang. Modernitas ada di
mana-mana; yang beda dari itu adalah “minoritas”.
Barangkali GM masih halus. Tapi “mayoritas” dan “minoritas” dalam benak orang
Singapura adalah ekspresi tak sadar (unconsciousness) yang kerapkali muncul di mana
saja termasuk di warung kopi. Ras menjadi penting - sepenting antri membeli lotre,
membayar CPF, merangsek dalam antrian bus kota (dan bergaya kiasu).
Dalam hal pertunjukan tari itu, kita sebaiknya hanya mengharapkan satu dari
Singapura: menyediakan panggung dan sound system yang apik. Mengharapkan
apresiasi tari? Next life maybe … ketika reinkarnasi tak menjadikannya tuna-seni.
56
27. Rokok
3 May 2007
Rokok, tak peduli di Singapura yang sepi senyum maupun di Jakarta yang ramai Bajaj,
adalah komoditi yang mudah ditemui dan dihirup. Variannya pun banyak rupa,
namun metode menikmatinya tetap sama: disulut-dihisap-dihembuskan. Yang khas
dari rokok adalah "tekstur" fluida (tekstur ini diindikasikan dengan mudah oleh kata
"halus", "kering" dan "kasar"), rasa, aroma dan kepekatan. Semua bersumber dari
tembakau, filter dan bumbu tambahan lain seperti cengkeh. Selain kerapkali dijadikan
alasan sebagai penghilang stress, rokok adalah sumbu pertemanan; ada manfaat sosial
di sana, meski dalam jangka panjang, rokok dikategorikan pembunuh terbesar ketiga
di dunia.
Di Singapura, jumlah perokok pernah mencapai 18% pada 1992. Namun, angka ini
kemudian turun menjadi 12% tahun-tahun belakangan ini. Kurang lebih 540 ribu
orang merokok sekarang ini; dan statistik menyebutkan bahwa mayoritas perokok
adalah laki-laki (mungkin tak hanya konteks Singapura, di dunia pun laki-laki adalah
gender mayoritas perokok).
Mengapa jumlah perokok menurun?
Merokok itu mahal di Singapura. Bayangkan ini: uang yang digunakan membeli
rokok satu pak selama sebulan (~ S$ 300) di Singapura cukup untuk menggaji seorang
profesor di ITB yang telah mengabdi hampir 30 tahun. Sedangkan di Indonesia,
dengan uang S$ 300 itu kita bisa membeli hampir 300 pak.
Ruang perokok dibatasi. Dulu, di setiap kedai atau pun bar, setiap orang boleh
merokok. Kini, di setiap restoran atau kedai, hanya 10-20% meja yang boleh digunakan
sebagai "pojok merokok". Tempat (sampah) untuk mematikan puntung diperbanyak
jumlahnya di jalanan.
Kotak rokok dengan organ rusak yang "memukau". Di Indonesia, kotak rokok cukup
"sopan" dalam mengingatkan perokok. Paling tidak ada tulisan ini: "Merokok dapat
menyebabkan gangguan jantung, paru-paru dan kehamilan" dan sejenisnya. Tapi di
Singapura, selain mencantumkan kandungan nikotin dan tar serta tulisan semacam itu,
foto organ (leher, jantung, gigi, gusi) yang hancur rusak dan berdarah ditampilkan
dengan "memukau". Orang jadi segan membeli rokok; tapi mereka tak kekurangan
akal. Setelah memindahkan isinya ke kotak rokok pribadi (cigarette case), kotak
"artistik" itu dibuang.
***
Tahun 2003, penggemar Garpit (Gudang Garam International) masih bisa menemui
rokok Indonesia ini di Clementi. Rasanya sama persis dengan yang ada di Indonesia
(berat, tebal dan manis), meski kandungan tar dan nikotin (barangkali) dibuat rendah.
Setahun kemudian, rokok ini lenyap. Penyebabnya? Entahlah. Ia hilang begitu saja dari
peredaran dunia rokok.
57
Extinction is forever. Conserve now!
Oleh sebab itu, saya selalu berterima kasih (jika mungkin sambil membungkuk-
bungkuk a la Jepang) jika ada orang yang membawakan saya Garpit meski hanya
sekotak.
58
28. Orang Bawean di Singapura
Apakah itu “Boyan”?
Pada bulan Desember 2005, seorang kawan menawarkan roti “boyan” kepada saya.
Alih-alih menikmatinya, saya jadi bertanya: apakah “Boyan” itu? Dijelaskannya bahwa
“Boyan” adalah nama lain Bawean, sebuah pulau di dekat Surabaya. Bagaimana
“Bawean” bisa menjadi “Boyan”? Hal ini mungkin disebabkan oleh absorbsi bahasa
yang menyebabkan ketidakaslian bentuk kata yang umum terjadi pada jaman dulu
(sebagian orang menyebutnya ‘korupsi kata’). Nama “bawean” sendiri diberikan oleh
orang-orang Majapahit (kerajaan Hindu terbesar di Jawa) pada abad ke 13 yang berarti
“matahari terbit”. Karena orang Bawean (atau Madura) mengganti huruf “w” menjadi
“b” maka kadangkala Bawean ini disebut Bebien (“e” dibaca seperti ‘benar’).
Ketika kecil, sewaktu saya masih tinggal di Probolinggo, sebuah kota 100 km di timur
Surabaya, nenek saya kadang bercerita mengenai pulau-pulau di utara Jawa, seperti
pulau Gili, kepulauan Karimun Jawa, pulau Bawean dan lainnya. Baginya, beberapa
pulau ini adalah tempat ziarah ke makam-makam kyai (seorang pemuka muslim yang
biasanya memiliki pesantren atau perguruan agama). Kyai yang terkenal di Bawean
adalah almarhum Kyai Maulana Umar Mas’ud. Pada awal 80an itu, pulau-pulau kecil
ini masih tak memiliki listrik yang memadai. Listrik hanya dinyalakan pada jam-jam
tertentu dan di tempat tertentu, karena listrik dibangkitkan oleh mesin diesel.
Pulau Bawean masuk ke dalam kabupaten Gresik tahun 1974; sebelumnya, pulau
Bawean masih bagian dari Surabaya. Letaknya 120 km di utara Gresik. Pulau ini dapat
dicapai dengan menggunakan kapal express (ferry) selama 3 – 6 jam. Pulau Bawean
sedikit lebih luas daripada pulau Singapura. Namun, penduduknya hanya berjumlah
65000. Pulau ini dibagi menjadi dua kecamatan (district), yaitu Sangkapura dan
Tambak. Sangkapura terdiri dari 17 desa, yaitu Desa Sawahmulya, Kota Kusuma,
Sungaiteluk, Patarselamat, Gunungteguh, Sungairujing, Baliktetus, Daun, Kebunteluk
Dalam, Sidogedung Batu, Lebak, Pudakittimur, Pudakitbarat, Komalasa, Suwari dan
Deka-Tagung. Sedangkan, Kecamatan Tambak meliputi 14 desa, yaitu Desa Tambak,
Telukjati, Dedawang (Dhedhebeng), Gelam, Sokaoneng, Sukalila, Kalompang Ghubuk,
Pakalongan, Tanjunguri, Grejek, Paromaan, Diponggo, Kepuhteluk dan Kepuhlegundi.
Bahasa Bawean
Seorang kawan dekat di Singapura kebetulan keturunan Bawean, dan ayahnya pernah
memiliki band yang tersohor di tahun 1950-60an, namanya “La Obe”. Suatu hari saya
ingin tahu apakah bahasa Bawean ini lebih mirip bahasa Jawa, bahasa Madura, atau
campuran keduanya. Saya bertanya dalam bahasa Madura, dan ayahnya membalas
dalam bahasa Bawean. Ternyata bahasa Bawean ini mirip sekali dengan bahasa
Madura! Tingkat kemiripannya barangkali lebih tinggi dibanding Bahasa Melayu dan
Bahasa Indonesia. Diceritakannya bahwa orang-orang Bawean yang datang ke
Singapura dulunya berpencaharian sebagai ahli agama, guru silat dan pedagang
“ilmu”. Menurut sejarah, memang benar bahwa kesenian yang paling menonjol di
Bawean adalah kesenian pencak silat. Hingga kini, kesenian ini masih dilestarikan.
Merantau
59
Secara historis, mayoritas masyarakat Bawean adalah nelayan. Dari pekerjaan ini, jiwa
mereka secara praktis adalah perantau, yang berhari-hari berlayar, kemudian pulang
sambil membawa uang hasil penjualan ikan. Jiwa merantau dan berdagang ini menjadi
turun-temurun dan menentukan garis hidup keturunan mereka juga. Setiap lelaki di
pulau Bawean dirasa “wajib” untuk merantau, meski mereka telah menikah.
Orang Bawean di Singapura
Dalam artikel yang cukup komprehensif, The Baweanese (Boyanese), yang ditulis oleh
Nor Afidah Abd Rahman dan Marsita Omar, sensus penduduk pertama kali mencatat
adanya orang Bawean tahun 1849. Antara tahun 1901 – 1911, populasi orang Bawean
di Singapura makin meningkat. Hal ini disebabkan oleh pajak yang terlampau tinggi
yang dikenakan Belanda kepada inlander (penduduk asli) di Hindia Belanda (Indonesia
sekarang). Di tahun-tahun itu, dicatat bahwa ada dua perusahaan transportasi yang
melayani migrasi penduduk dari Bawean ke Singapura, yaitu Dutch Koninklijke
Paketvaart Maatschappij (Belanda) dan Heap Eng Moh Shipping Company (Singapura).
Populasi orang Bawean makin meningkat ketika pendudukan Jepang antara tahun
1942 – 1945 karena penjajahan ini menyebabkan kelaparan dan kemiskinan yang parah.
Setelah 1945, arus masuk imigran diperketat di Singapura dan Malaysia. Sebagian
orang Bawean berbelok ke Tanjung Pinang dan Riau.
Ketika Inggris membangun pacuan kuda tahun 1842, mereka menyewa orang-orang
Bawean sebagai pekerja konstruksi untuk membangun Race Course lama, atau Turf City
masa kini. Karena berbakat melatih kuda, orang Bawean akhirnya dipekerjakan
sebagai pelatih kuda pacuan. Sebagian dari mereka tetap bekerja sebagai pelayar
(seamen). Namun ada pula yang bekerja sebagai sopir untuk tuans dan mems, perawat
kebun, pegawai pelabuhan dan sopir bullock-cart.
Antara tahun 1840an hingga 1950an, orang Bawean banyak yang bermukim di
Kampong Boyan (kini bernama Kampong Kapor). Mereka membangun pondok
(ponthuk, dalam bahasa Bawean) sebuah rumah yang digunakan untuk bersosialisasi
dan tempat menampung pendatang Bawean yang baru. Komunitas ini dipimpin oleh
Pak Lurah. Secara literal, Pak Lurah berarti kepala kampung atau kepala desa (the chief of
the village). Istilah ini sekarang masih dipakai secara luas di Indonesia.
Banyak dari masyarakat Bawean di Singapura akhirnya menikah dengan etnis lain
seperti Melayu, Jawa, Bugis dan lainnya. Peleburan ini menyebabkan identitas
keturunan mereka secara praktis disebut “Melayu”. Namun, ada juga yang masih
menggunakan garis etnis ayah, sehingga tetap beretnis “Boyan”. Seperti halnya
keturunan Jawa di Singapura, sedikit sekali generasi muda Boyan yang menguasai
bahasa Bawean, atau Madura. Sebagian dari mereka cukup mengenal beberapa kata,
atau mengerti sedikit beberapa kalimat. Hal ini cukup wajar, mengingat bahasa
Bawean tidak dipakai sehari-hari di sini.
Generasi tua keturunan Bawean di Singapura kadang masih mengunjungi sanak
saudara di pulau Bawean. Namun, beberapa waktu lalu saya menemukan sebuah
artikel pribadi yang ditulis oleh generasi muda keturunan Bawean. Ia ingin sekali ke
Bawean, meski hanya sekali seumur hidupnya. Sama halnya dengan bahasa, jika
60
kultur Bawean ini mirip dengan Madura, maka setiap saudara itu adalah saudara
dekat. Sehingga perlakuan mereka terhadap saudaranya (meski hubungannya jauh
sekalipun) sangat-sangat akrab. Ini ciri khas orang Madura yang juga saya amati di
pulau Jawa.
61
29. Big Bro Congrat
Kata Cincai "Big Bro Congrat" (Mas Selamat maksudnya) feng shui-nya bagus: karena
ada "selamat" nya, makanya ia gak ketemu-ketemu. Sudah lebih dari 40 hari
pemerintah Singapura berlagak bingung. Padahal, Ketua Jamaah Islamiyah (JI) capem
Singapura ini dingklang, ditambah lagi negara ini kan sak ipet, kecil banget. Mana
mungkin orang bisa susah ditemukan. Kalau di Indonesia barangkali memang sulit
ditemukan.
Foto MS ada di mana-mana, termasuk tembok pintu masuk kantor. Di pintu keluar bus
kota pun ada tempelan wajah MS. Persis jaman Wild Wild West dengan foto kartun
bandit, tinggal ditulisin "WANTED" dan sekian ratus dollar buat hadiahnya. Fotonya
seperti ini:
MS kini jadi seleb tanpa sinetron, tanpa nyanyi, tanpa jadi MP (member of parliament).
Ia tak membuat policy, tapi ia membuat orang Singapura jadi bertanya: pemerintah
kok kesulitan sih cari-cari dia? Dan, di koran tidak ada rekonstruksi proses lepasnya
MS dari sel di daerah Whitley. Kalau di Indonesia, TEMPO biasanya langsung
membuat denah ruangan, plus proses lepasnya buronan. Yah, semua kan disensor di
Singapura. Lalu, Guru Menteri langsung bilang bahwa kita ini terlalu berpuas hati
(complacent). Sudah puas dengan fasilitas Singapura, lalu teledor dan maling bisa lolos.
Lho, kok jadi "kita"? Polisi yang jaga gimana? Barangkali udah dipecat kali ya ... trus JI
cabang Singapura ini gimana kelanjutannya tanpa MS? Pasti ada penggantinya dong ...
ditangkap juga? Entahlah.
Eh ada juga yang bilang kalau MS sudah diserahkan ke AS dan aksi-bingung-bingung-
cari-dia di dalam negeri ini cuma nutup-nutupi bahwa ia sengaja dilenyapkan. Lama-
lama kan orang juga lupa. Sudah lebih dari 40 hari lho. Sampai berapa lama lagi kita di
ambang amnesia MS? Dan lagi, emang hidup cuma MS doang? Apalagi sekarang
harga makanan naik, harga minyak goreng naik. Semua naik. Yang gak naik cuma gaji
kayaknya.
63
30. O$P$
Minggu pagi ini, karena gak lanjut molor, saya ke kopitiam (hokkien: kedai kopi) di
sebelah rumah untuk beli nasi lemak dan teh tarik. Saya juga menemani Olit dan
mamanya ke playground. Di dalam lift, saya menemukan contoh vandalisme yang,
sepertinya, umum di Singapura. Seseorang menuliskan: nomor rumah, "O$P$" dan
nomor telepon di dalam lift. Sebelumnya saya juga menemukan tulisan ini di tembok
(tapi mungkin nomor rumah dan nomor telepon yang berbeda; lupa). Tulisan di lift ini
bisa dihapus karena hanya memakai krayon. Kalau di tembok, biasanya mereka
memakai spidol (jadi harus dicat ulang). Ukuran hurufnya besar, sekitar 30 cm
vertikal. Pada 2003, saya juga pernah menemukan tulisan ini di tembok flat di wilayah
Clementi. Dan, barangkali ini hanya terjadi di lingkungan flat saja, tidak di condo atau
di private houses.
Apa itu O$P$? Itu artinya "Owe Money, Pay Money". Seseorang yang berhutang telah
terlambat melakukan pembayaran. Tentunya tidak kepada bank, tetapi kepada Ah
Long (moneylender di Malaysia dan Singapura). Dan tulisan itu ditujukan untuk
memperingatkan penghutang, sekaligus mempermalukannya di depan tetangga.
Mempermalukan? Saya sendiri tidak mengenal siapa yang tinggal di lantai 12 itu.
Seorang kawan pernah mengatakan, jika keterlambatannya berlarut-larut, ah long
biasanya mengunci pintu pemilik rumah dari luar dengan grendel dan rantai yang
besar. Penghutang jadi terkurung dan panik sesaat (setelahnya, mereka bisa menelpon
tukang kunci sih).
Ah Long ini sudah jadi bulan-bulanan polisi, dan banyak yang tertangkap. Ada juga
penghutang yang berhasil ngibulin loan shark dengan cara berikut: pinjam uang, lewat
masa pembayaran, digedor ah long, kemudian melaporkan ke polisi; polisi
nyanggongin rumahnya, lalu menangkap loan shark; uang barangkali dikembalikan
karena tidak banyak. Ngibulin ini cukup berisiko. Bisa-bisa dipukulin atau malah
dibunuh sama loan shark. Tidak, tidak. Singapura cukup ketat dalam hal kekerasan.
Jika ada yang bertengkar, siapa yang mukul duluan itulah yang masuk sel; bukan yang
sebenarnya salah. Apalagi membunuh. Bisa di-dor di tempat oleh polisi, tanpa
pengadilan; hanya dengan praduga bersalah.
64
Utang yang melilit di Singapura biasanya buah dari berjudi dan dari bunga yang
terlampau tinggi. Jika sudah begini maka hutang menggunung. Dan bank tidak akan
dengan mudah meminjamkan uang ke orang yang catatan account-nya tidak sehat.
Jalan lain adalah meminjam ke saudara. Jika sudah mentok, maka pinjam ke ah long.
Dan jika tak sanggup membayar ah long, ia dipermalukan lewat tulisan dalam lift itu.
Oh utang ...
66
31. Dari Pesawat ke HDD: Nyambungnya Di Mana?
Berapa banyak orang yang profesinya benar-benar nyambung dengan kuliahnya dulu?
Jika membicarakan jurusan teknik, barangkali jawabnya: sedikit sekali! ITB barangkali
lupa mencatat apa yang kini dikerjakan oleh tiap angkatan di ITB, yang jumlahnya
sekitar 2000 orang, dan 4-5 tahun dari detik itu mempelajari bidang teknik, sains, seni
dan desain. Sebagian mungkin masih konsisten di bidangnya (barangkali juga karena
mereka dosen atau peneliti!), tapi sebagian besar barangkali mencangkul di ladang lain
— yang lebih menarik , sesuai bakat, menumbuhkan passion dan, tentunya, lebih
subur duitnya.
Di teknik penerbangan ITB, yang didirikan tahun 1962 di bawah jurusan mesin, setiap
mahasiswa “dicekoki” pelbagai ilmu penerbangan (mekanika terbang, sistem kendali,
mekanika bahan, perawatan, perancangan pesawat, pengendalian satelit,
aerodinamika, statistik, aeroelastisitas, kalkulus lanjut dan lainnya). Mahasiswa diberi
bekal matematika yang (katanya) lebih advanced dibanding jurusan lain; mahasiswa
dituntut berpikir logis dan terintegrasi ketika mengerjakan perancangan pesawat;
mahasiswa diminta rajin mengerjakan PR dan teliti dalam menghitung (sampai tiga
digit di belakang koma). Ada yang kandas dan mutung, sehingga dropped-out atau
mengundurkan diri. Ada juga yang terseok-seok, dan memompa diri untuk lulus. Ada
juga yang berprestasi sangat baik, sehingga bisa lulus doktor dari MIT. Macem-
macemlah…
Mereka yang lulus tentu bercita-cita bekerja di maskapai penerbangan, PTDI (ex IPTN)
dll. Tapi sayangnya, cita-cita mereka tinggal impian, terutama mereka yang lulus di
masa krisis ekonomi (1997 - 1998). Hingga 2003 (mungkin juga sampai sekarang?)
lapangan kerja bagi lulusan teknik penerbangan sangat sulit dicari; meski belakangan
akhirnya ada juga yang pergi ke Bandung, Jakarta dan Surabaya untuk bekerja di
pabrik pesawat dan maskapai. Namun bagi yang tidak bekerja di industri
penerbangan, hikmahnya: lulusan mesti kreatif mencari kerjaan lain. Ada yang jadi
penulis, ada yang menekuni bidang IT, ada yang kerja di perbankan (sedikit mirip
“penerbangan” kan? hehe), ada yang sekolah S2-S3, ada yang kerja di bidang
konstruksi dan bidang teknik non-penerbangan lain.
Saya termasuk yang murtad dari penerbangan dan masuk bidang hardware komputer,
yaitu hard disk drive (HDD). Bagaimana bisa ke HDD? Nyambungnya di mana
dengan teknik penerbangan? Setelah lulus dari NUS, saya lumayan confident dengan
pengetahuan FEM (finite element method) saya. Lalu saya melamar ke sebuah lembaga
riset (data storage technologies) sebagai ahli FEM. Meski “mainan”-nya bukan pesawat
lagi, melainkan HDD, saya punya tekad untuk belajar mainan baru ini. Saya belajar
dari web Storage Review dan Hitachi GST mengenai pengenalan HDD.
Hampir dua tahun saya di sana dan akhirnya saya memutuskan untuk terus berkarir
di industri HDD. Sekarang saya tak lagi mengerjakan FEM, tapi benar-benar meluas ke
teknologi servo, material, mekanika, recording physics, chemical, proses produksi,
hingga manufaktur HDD.
67
Saya mesti berterima kasih kepada FEM (yg sudah saya tekuni 6 tahun) sebagai alat
penyambung karir. Sukses buat teman penerbangan yang lain! Pasti banyak cerita juga
dari kalian!
Nyambungnya barangkali juga di gambar ini (link mohon dibaca supaya “nyambung”
idenya):
68
32. Perkoro Gawean
Beberapa minggu terakhir ini saya dapat tugas yang menarik sekaligus bikin frustrasi.
Tugasnya menarik karena baru bagi saya, melibatkan technical skill yang bikin tangan
kotor dan technically challenging. Yang bikin frustrasi: teman-teman kantor bilang
“That’s impossible!” dan belum pernah ada yang ngerjain di kantor. Rata-rata dari
mereka hanya bisa membongkar dan bikin HDD rusak; memakai spin stand. Apa
tugasnya? Membuat prototipe hard disk drive.
Mampus kon …
Bos bilang berkali-kali saya harus resourceful. Ngomong-ngomong, tugas ini
sebenarnya bukan tugas saya. Tapi karena beberapa staf yang seharusnya ngerjain ini
pada pindah kompeni atau sibuk berat, maka saya yang disuruhnya. Alasannya tidak
jelas; lan bos-ku iki pancen ora cetho kapabilitas ilmiahe (yo be’e pancen ora ndue). Penggawean
sing nggarai deweke munggah pangkat koyoke mikro-manajemen, dhudhu tulisan ngilmiah
sing akeh diwoco uwong liyo. Singapura pancen rodho ora jelas. Pokoke ndue gelar S3 terus
pinter ngecap (”mbujuk”), iso dadhi bos lho. Yen takon iso tuajem tenan tapi yo tetep ora ngerti
masalahe (takon nang di - nang di pancen guampil!). Alaaah … “c spasi d” … cepe de
ngomongin dia … (opo maneh jowoan hehe…)
Singkat kata: tiba’e yo ono wong ethok-ethok dadi scientist
Setelah frustrasi dua hari, beberapa teman datang membantu. Tapi mereka juga gak
tau mau bantu apa, lha wong sama-sama gak ngerti cara bikin hard disk. Kemudian
saya teringat kata-kata Habibie: “bermula di akhir, berakhir di awal”. Saya kemudian
menerapkan prinsip ini dalam mengerjakan “mission: impossible” saya.
(1) Ambil HDD baru, bongkar dengan hati-hati di clean room. Kembalikan lagi
komponennya. Waktu itu saya hanya mencopot disk lalu mengembalikan lagi.
Hasilnya: HDD masih berfungsi. Artinya: disk tidak sensitif terhadap setting baru baik
torque maupun sentuhan pada tepi outer diameter.
(2) Ambil disk dan suspension (aktuator yang bergerak-gerak membaca data) yang
baru. Bongkar HDD lalu pasang disk dan suspension itu. Head pasti bikin goresan
69
pada disk jika setting-nya tidak pas. Maka, saya mengatur ketinggian stacking disk-
nya. Nah, pengaturan ketinggian stacking disk ini adalah trik perusahaan hard disk,
yang pada akhirnya menentukan kemampuan terbang slider/head di atas disk yang
berputar. Putaran disk biasanya 4200 RPM, 5400 RPM dan seterusnya. Head/slider ini
biasanya dapat membaca data pada ketinggian belasan nanometer (1 nm =
1/1000000000 meter) . Untuk menentukan ini biasanya orang di kantor memakai spin-
stand; yang memakai HDD langsung belum ada.
Setelah saya cerita langkah-langkah yang saya kerjakan, dan langkah selanjutnya,
orang-orang di kantor bilang itu “possible”. Kok berubah pendapat? Hehe.
Proses membuat prototipe ini masin ongoing. Jadi belum ada hasil. Kapan-kapan cerita
lagi jika berhasil. Oiya .. satu lagi yang bikin frustrasi adalah time frame. Saya punya
waktu 8 minggu, dan ini memasuki minggu ke-3 … hix hix …
70
33. V & V
Karena mesti install software sendiri, maka perlu ke library buat pinjem CD-nya. Udah
lama gak ke library kantor meski beda cuma dua lantai. Hawanya lebih adem, sepi dan
ada bunyi “ting-tong” kalau ada orang masuk library. Tiga staff yang bekerja di sana,
semua perempuan. Ada satu yang manis, cuma kayaknya darah rendah (lho opo
hubungane coba … hehe).
Buka-buka majalah (lalu nemu artikel yang bilang “ternyata burung gagak juga
cerdas!”, lihat-lihat buku …. lalu nemu buku baru. Buku ini kumpulan paper
konferensi di negeri antah berantah (alias mboh). Judulnya menarik: Fluid structure
interaction and moving boundary problems. Judul kayak gini dibong-maringono-
diuntal juga gak manfaat (haha). Tapi ada artikel yang not-so-scientific yang menarik di
sini, yaitu menjelaskan perbedaan verifikasi dan validasi, alias V & V. Dua jargon ini
sering muncul di paper ilmiah khusus mekanika
komputasional/eksperimental/teoretikal, tapi aku ora mudheng soale memang males cari
tahu. Kok ya ndilalah nemu di buku ajaib ini.
Yang bergaya mathematician:
Verification - solving the equations right
Validation - solving the right equations
Yang bergaya formal:
Verification is the assessment of the accuracy of the solution to a computational model
by comparison with known solutions.
Verification is the assessment of the accuracy of the solution to a computational model
by comparison with experimental data.
Yang bergaya programmer:
Verification - getting most of the bugs out of the code
Validation - demonstrating the numerical model is capable of making (appropriate)
predictions
So, what? So … saiki ngerti bedhone.
71
34. Ide
ide. cari di mana?
otak kanan yang biasanya dipakai cari ide. jadi kalau stroke, orang kreatif yang
kebanyakan ide badan bagian kanannya yang lumpuh (ini kalau lebih dari 6 jam baru
dibawa ke rumah sakit lho). otak kanan juga yang diakses waktu orang mau ngibul.
jadi mata nglirik-nglirik ke kanan-atas. gak percaya? coba bilang ini di depan kaca:
sampeyan cakep!
bos SONY corp datang ke kantor. dia ngasih ceramah. namanya “ray” kubota. selain
dikenal sebagai penemu piringan (disk) pertama di jepang, ia juga pemain gitar. jadi
sehabis ngasih seminar, ia main gitar. sudah agak tua, jadi jari-jarinya kaku. pesannya
yang selalu saya ingat adalah …
“if something is impossible, then do it!”
penemuan diawali dari cari ide. idenya berasal dari lihat sana-sini, dari mimpi, dari
nglamun di wc, dari ngobrol dengan kawan, dari lamunan saat pulang kerja. ide
datangnya cepat, hilangnya lebih cepat. jadi segeralah dicatat. ide yang biasa itu
banyak. “yang biasa” artinya begitu cek hak paten, walah sudah dipatenkan semua
ide-idenya. makanya, kadang-kadang mikir sesuatu yang “gak mungkin” itu penting.
pikiran capek juga kena tekanan supaya cari ide. tapi gimana lagi … sandang, pangan,
papan semua bersumber dari ada tidaknya ide. kalau tidak punya ide sebenarnya bisa
aja bilang: “mmmh i’m running out of ideas.” tapi kalau terlalu rajin bilang ini jadi
orang yang tak punya integritas (iyo ta? hehe).
sebelum buka buku, googling, tanya sana-sini: think! think something impossible!
72
35. Pesawat Terbang
Umumnya, orang mengenal pesawat sebagai “burung besi” yang mampu terbang
10000 meter di atas permukaan laut, mengangkut ratusan penumpang, mampu
menjelajahi beberapa benua dalam sehari dan dibangun menggunakan teknologi
canggih. Lebih jauh lagi, pesawat udara adalah hasil kompromi dari pelbagai ilmu
pengetahuan yang tiada henti. Ilmu yang digunakan untuk membangun pesawat
adalah aerodinamika, struktur ringan dan bahan (lightweight structures & materials),
panduan terbang (flight guidance), kendali terbang (flight control), sistem transportasi,
sistem avionik, sistem propulsi, manufaktur, manajemen, keuangan hingga
pemasaran.
Mendesain pesawat
Seorang pakar aerodinamika menginginkan pesawat dengan gaya hambat (drag)
minimum dan gaya angkat (lift) besar. Pakar struktur menginginkan pesawat yang
ringan, namun kuat dan tahan terhadap berbagai macam pembebanan. Pakar sistem
avionik menginginkan pesawat yang memiliki instrumen lengkap dan menyediakan
status terbang secara waktu nyata (real-time). Pakar transportasi udara berusaha
mengoptimalkan penggunaan seat pesawat dan menentukan strategi pemasaran.
Pakar kendali terbang menginginkan pesawat yang lincah (agile) namun stabil dan
mudah dikendalikan. Pakar sistem propulsi menginginkan pesawat yang punya
efisiensi mesin tinggi, hemat bahan bakar dan mampu memberikan gaya dorong
(thrust) dalam jangka waktu lama. Pakar manufaktur menginginkan pesawat yang
mudah dibuat namun juga memenuhi kaidah desain yang ditentukan oleh pakar
struktur. Masih banyak lagi keinginan pakar lain, dan hal-hal itu akan saling
“dibenturkan” dan dioptimalkan guna membuat sebuah pesawat yang diinginkan.
Pesawat Turbo Prop N250 buatan PT Dirgantara Indonesia
73
Umumnya, mendesain pesawat memerlukan kerja keras lebih dari empat tahun untuk
memperoleh desain konseptual (conceptual design) dan desain awal (preliminary
design); kemudian ditambah beberapa tahun untuk membuat desain rinci (detailed
design), perencanaan proses manufaktur, pengujian (testing) dan sertifikasi dari dinas
penerbangan setempat maupun internasional seperti FAA (Federal Aviation Authority).
Singkatnya kita memerlukan kurang lebih 10 tahun untuk membuat pesawat udara.
Namun, dengan kemajuan teknologi software dan manufaktur, kini proses desain ini
jauh lebih cepat beberapa tahun, dan memungkinkan pabrik me-release pesawat
dengan lebih cepat ke customer. Kemudian, pesawat akan dapat diterbangkan kurang
lebih 30 tahun setelah masa pembuatan. Hal ini dimungkinkan jika proses
perawatannya mengikuti petunjuk yang diberikan pabrik pesawat.
Bagaimana pesawat bisa terbang
Pesawat mematuhi hukum Newton untuk prinsip terbangnya. Kemampuan terbang
pesawat ditentukan oleh sayap yang memberikan gaya angkat dan engine yang
memberikan gaya dorong. Pesawat haruslah ringan sehingga gaya beratnya kecil, dan
ini membuat lift menjadi semakin efektif. Untuk ini, seorang engineer biasanya
memilih paduan aluminum atau komposit serat karbon. Pesawat juga harus memiliki
gaya hambat yang kecil sehingga thrust juga efektif. Untuk ini, seorang engineer
membuat profil pesawat agak lancip dan sayapnya setipis mungkin.
Sebelum take off, pesawat harus mencapai kecepatan tertentu sehingga tekanan di
bagian bawah sayap lebih tinggi dari atas sayap. Perbedaan tekanan ini dibantu oleh
penampang sayap yang dinamakan airfoil. Jika beda tekanan makin besar maka gaya
angkat yang ditimbulkan akan cukup untuk mengangkat pesawat. Penjelasan ini
didasarkan pada persamaan Bernoulli (fisikawan Switzerland yang hidup pada 1700 -
1782).
Prinsip terbang pesawat yang lebih akurat biasanya dijelaskan lewat ilmu mekanika
fluida yang membahas mengenai vortisitas atau aliran yang berputar.
Pesawat udara berbeda dengan pesawat ulang alik (space shuttle). Untuk take off,
space shuttle memakai roket booster raksasa untuk melesatkannya ke luar atmosfer,
lalu setelah melepaskan roket booster raksasa itu, ia akan mewahana di luar atmosfer
dengan tiga roket kecilnya.
Kecelakaan pesawat
Hal yang paling banyak disorot akhir-akhir ini adalah kecelakaan pesawat. Kecelakaan
pesawat adalah hal yang kritis mengingat jumlah survivor-nya sangat kecil dibanding
kecelakaan moda transportasi lain, seperti kereta api, mobil, sepeda motor atau bus.
Namun frekuensi kecelakaan pesawat sangatlah kecil dibanding kecelakaan
transportasi lain itu. Data tahun 2000an menunjukkan bahwa kecelakaan pesawat
disebabkan oleh kesalahan pilot yang berhubungan dengan kemampuan pilot itu
sendiri, cuaca dan kegagalan mekanik pesawat (total 52%); kegagalan mekanik (25%),
kesalahan lain manusia (9%), cuaca (8%) dan sabotase (6%). Kecelakan pesawat dapat
74
dihindari dengan melatih pilot supaya lebih desicive, bijak dan secara teknik
mumpuni; disiplin melakukan proses perawatan (maintenance) dengan kualitas baik;
menentukan rute penerbangan yang aman; teliti dalam melakukan review desain
struktur pesawat dan lainnya.
75
36. Dont Panic with Mechanics!
Pelajaran di tahun kedua kuliah yang paling berkesan bagi saya adalah Statika.
Alasannya: pernah tidak lulus (ha ha). Statika pada dasarnya versi canggih dan dalam
dari pelajaran mekanika statis SMA. Yah, berhubung waktu SMA malas baca buku
pelajaran, kadang bolos, membenci guru fisika (meski penjurusannya fisika juga),
maka tidak ada satupun subjek yang nyantol. Statika ini bagian dari Mekanika Teknik,
alias MekTek. Sepertinya, hampir 40% kesulitan dengan statika. Entah kenapa. Apakah
kurang pintar? Apakah malas membaca buku? Apakah jarang mengerjakan soal-soal?
Apakah sering bolos kuliah? Apakah ketika ujian tiba-tiba mules dan keringat dingin?
Apakah dosen menggunakan terlalu banyak rumus, ngomongnya canggih dan sulit
dimengerti mahasiswa?? Mungkin semuanya. Yang jelas dulu saya tidak mengerti
prinsip-prinsip dalam Statika, kebanyakan mata kuliah yang diambil dan sakit pas
menjelang ujian akhir (halah alasan thok! ha ha).
Dosen kadang begini: tidak mampu menjelaskan teorema matematika dengan bahasa yang
sederhana, yang mudah ditangkap oleh mahasiswa. Ibu itu bilang: Kenapa kamu tidak
mengatakan kepada anak itu bahwa kamu sedang ngomongin angka rata-rata (mean value)?!
Fast forward. Akhirnya saya lulus kuliah itu setelah ngulang di tahun ke-3. Tahun ke-4
saya jadi mbantuin dosen untuk kuliah Beban Pesawat. Nah, kuliah ini menggunakan
prinsip-prinsip dalam statika dan mekanika teknik juga. Setelah lulus, saya kebagian
ngoreksi ujian komprehensif bidang struktur yang soal-soalnya statika dan mektek.
Mereka yang beres TA harus lulus ujian komprehensif untuk bisa maju sidang. Saat itu
juga saya mbantuin dosen buat ngasih responsi statika. Lumayan jadi makin ngerti.
Apalagi, kadang ada teman -teman yang minta ajarin Statika. Jadi tambah mancep.
76
Intinya: ngerti prinsipnya dulu (dengan matematika yang sederhana), prosedur
pengerjaan, kemudian berlatih mengerjakan soal.
Dulu, sepertinya, bahasa yang dipakai dosen terlalu canggih, jadi kadang tidak
mengerti sama sekali. Jadi, bagi kawan-kawan yang sering menjelaskan di depan
mahasiswa, saran saya: hindari penjelasan yang canggih dan gunakan analogi sehari-
hari. Ini supaya lawan bicara cepat ngerti dan waktu kita tidak terbuang.
Barusan saya menemukan buku mengenai MekTek, berisi statika, mekanika bahan dan
dinamika. Isinya lengkap, tidak terlalu banyak rumus, banyak kartunnya. Buku ini
ditulis dua ilmuwan Jerman, Romberg dan Heinrichs. Judulnya menarik: "Don't Panic
with Mechanics". Bukunya masih fase eksperimental, mereka bilang. Dalam
pengantarnya (yang relaks dan lucu), Dr Heinrichs mengatakan bahwa rekannya Dr
Romberg adalah seorang yang mudah akrab (sociable), lucu namun pendek. Dr
Romberg tak mampu membalas "pujian" itu jadi ia hanya mengatakan bahwa Dr
Heinrichs adalah ilmuwan yang membosankan unggul.
Bagi yang berprofesi sebagai dosen, bisa membaca buku ini dan memasukkan kartun-
kartunnya ke dalam slide yang dipakai. Bagi mereka yang sedang mengambil kuliah
Statika atau MekTek coba baca buku ini. Ada banyak contoh soal di bagian akhir;
supaya lebih mancep prinsip-prinsipnya.
77
37. Keris Mpu Gandring: Hipotesis
GANDRING dikenal sebagai pengrajin logam yang tersohor di
kerajaan Tumapel (cikal bakal Singosari). Ia juga dikenal sakti.
Karena "profesional" dan sakti itu ia kemudian diberi gelar "Mpu".
Ken Arok, seseorang yang dipercaya sebagai titisan Wisnu,
memesan keris kepadanya. "Satu hari", begitu Ken Arok
memberikan tenggat waktu bagi Gandring. Satu hari berlalu dan
Gandring telah menyelesaikan kerisnya. Namun sarung keris
belum tuntas. Karena tak sabar, Ken Arok mengambilnya, lalu
membunuh Gandring. Gandring sempat menyumpahi Ken Arok
dan keturunannya: tujuh turunan bakal mati tertikam keris itu.
Jaman itu, teknologi pengolahan logam atau metalurgi masih sangat tradisional: besi
dipanaskan dan ditempa; atau dalam istilah metalurgi, diberi perlakuan panas (heat
treatment) dan dibentuk (forging). Kemudian, ilmu metafisika masuk, dan besi yang
telah terbentuk (misal: pedang, keris dll), diberi doa-doa, dan menjadi sakti.
Begitukah? Entahlah.
Bagaimana Mpu Gandring membuat kerisnya jadi ampuh? Mpu Gandring memilih
bahan yang kuat tapi ringan. Jaman itu, proses pemaduan logam dengan logam lain
barangkali tak menghasilkan paduan yang memuaskan. Jadi, bahan monolitik adalah
pilihan. Mpu Gandring memilih batu meteor sebagai bahan kerisnya. Hal ini juga
perlu diteliti lebih jauh apakah batu meteornya bisa diberi perlakuan panas dan
dibentuk. Batu meteor ini bisa dilihat dan disentuh di Museum Geologi - Bandung.
Tapi, apakah bahan itu yang digunakan Mpu Gandring atau bukan, ini masih
pertanyaan.
Setelah, keris terbentuk, Mpu Gandring mencelupkan keris (yang masih panas)
tersebut ke dalam bisa ular. Ada proses difusi dari racun ular ke dalam keris yang
masih membara itu. Bisa ular sebagian menempel hanya di permukaan, dan sebagian
lain berdifusi ke dalam keris. Setelah mendingin, keris dimasukkan ke dalam
sarungnya, dan disimpan. Bisa dibayangkan jika keris itu disentuh atau ditancapkan
ke tubuh: bisa ular segera menempel dan masuk ke dalam darah, lalu bagian tubuh
akan lumpuh dan manusia bisa mati. Pada jaman itu, hanya sedikit orang yang
mengetahui proses pembuatan keris secara "ilmiah"; salah satunya adalah Mpu
Gandring. Karena pengetahuan dan pengalaman yang cukup advanced dalam
pembuatan keris, mungkin Mpu Gandring juga dikenal sebagai mahaguru pada jaman
itu. Apakah dia bisa disebut profesor di jaman ini?
Penelitian lebih jauh sangat diperlukan untuk memperoleh informasi mengenai peta
kemajuan teknologi Jawa pada abad lampau.
78
38. Statistik
Kematian satu orang adalah tragedi; kematian sejuta orang adalah statistik -- Joseph Stalin
Saya tak hendak membicarakan Stalin (yang hingga kini dibenci anak perempuannya,
yang kemudian mengganti nama supaya tak dikenali di Amerika), tetapi statistik. Satu
aspek statistik yang paling awal dikenal (jaman SD) barangkali berhubungan dengan
masalah demografi; misal: populasi penduduk, sebaran penduduk dan lainnya.
Dengan berjalannya waktu, kita mengenal regresi linear, histogram, pie chart dan
lainnya. Itu semua representasi statistik, bukan statistik. Statistik barangkali bercerita
tentang data-data dan korelasi; statistik bercerita tentang trend atau kecenderungan;
statistik berbicara tentang konklusi; statistik, pada akhirnya, adalah desisi alias
keputusan.
Pada 2001 saya mengambil kuliah statistik (dan probabilitas) lewat sebuah kebetulan.
Karena ingin "membuang" mata kuliah dengan angka buruk, saya mesti mengambil
satu mata kuliah dengan jumlah kredit sama. Mata kuliah lain tersedia namun bisa
membuat saya pindah spesialisasi; jadinya saya mengambil yang agak generic, yaitu
statistik. Entah bagaimana isinya, tapi yang saya dengar, dosennya baik. Ternyata
benar: lebih dari itu, dosennya suka dongeng, cerita lucu dan memberikan pencerahan
yang non-statistik. Lumayan, bikin gak ngantuk. Ia juga meminta mahasiswa
membuka www.ngakak.com supaya tidak stress. Tak jelas untuk apa statistik ini
nantinya, yang jelas saya lulus dengan nilai lumayan (meski lupa ujiannya seperti apa).
Hari ini saya membaca statistik lagi. Untuk apa? Yang jelas, pekerjaan sekarang
menggunakan statistik untuk mengambil keputusan; keputusan mengenai penjualan,
peningkatan produktivitas pabrik, supplier, evaluasi produk dan lainnya. Ada trend
yang menjadi fungsi waktu [work week]. Ada data supplier yang ngaco. Ada hasil
evaluasi yang mengecilkan hati. Macam-macam reaksi yang ditimbulkan grafik
representasi statistik itu. Hari ini saya menyadari bahwa statistik itu penting.
Sepenting kematian sejuta orang yang dibilang Stalin. Di sana nama menjadi anonim,
yang kemudian ditanyakan adalah untuk apa mereka mati, mengapa mereka mati,
siapa yang membunuhnya. Kelanjutan dari statisk biasanya tak pernah berhenti, tetapi
menghembus kontinu seperti angin, meski dengan arah dan kecepatan yang berbeda.
Rusaknya satu hard disk itu tragedi (karena kita hanya punya satu di rumah), dan
rusaknya sejuta hard disk itu statistik (yang kemudian menyebabkan direktur
dipecat).
Hari ini saya membeli buku statistik. Ada gambar Gauss di sampulnya. Siapa dia? Dia,
seingat saya, matematikawan Jerman yang namanya sering disebut dalam statistik,
metode numerik, aljabar, mekanika dan lainnya. Waktu Gauss SD, seorang guru
memerintahkan semua murid untuk menjumlahkan 1 sampai 100. Murid kemudian
sibuk menulis deret angka secara vertikal, lalu mulai menjumlah. Gauss diam. Ia
hanya menulis satu baris, lalu diam lagi. Gurunya bertanya: kenapa kamu tak
mengerjakan? Apa kamu tahu jawabannya secepat itu? Gauss menunjukkan kertas dan
menulis hasilnya: "5050". Gauss menciptakan cara perhitungan dari suatu pola ketika
79
semua orang sibuk menghitung. Sensitif terhadap angka seperti Gauss? "Berenanglah"
di dunia statistik juga ...
80
39. Mancal di Rel Kereta
Bisakah orang mancal (mengayuh) kendaraan di rel kereta? Ya bisa. Tapi perlu
kendaraan yang dimodifikasi sehingga ban-nya bisa jalan di atas spoor (rel), punya
pedal, dan body-nya mesti bisa kuat digenjot (perlu material yang ringan - tapi
biasanya mahal atau dua tukang mancal).
Kereta-pancal? (sumber: http://www.bikebrats.com/indomal/glinjl.htm)
Unik sekali dan inovatif. Perlu di HaKI*-kan? Gak kebayang kalo mesti mancal dari
Jember ke Bondowoso: banjir keringat, dengkul copot, jantung mesti ditransplantasi.
Yo ta??
*Hak atas Kekayaan Intelektual
81
40. Fitna, A380 dan Pak OD
Banyak hal yang terjadi belakangan ini.
1. Fitna
Sejak film pendek "Fitna" dirilis oleh Geert Wilders (politikus sayap kanan Belanda)
minggu lalu, orang jadi berpikir beginikah wajah Islam dalam persepsi Barat (atau
lebih khususnya Belanda)? Setelah saya tonton, film ini mirip film eksperimen. Film
indi. Tidak untuk dipertarungkan di Cannes atau di Toronto, tidak untuk dikritisi
pengamat film, tapi untuk menimbulkan reaksi. Di sana ada sitiran lima surah Quran,
ada aksi pengeboman, ada aksi ceramah yang "membakar", dan lainnya. Reaksinya
bisa bermacam-macam: ada yang marah, kemudian ramai-ramai membela Islam; ada
yang tenang-tenang aja dan mengatakan ini persepsi Wilders, bukan persepsi barat
tentang Islam; ada yang bengong "Hah, film apaan tuh? Baru?". Macem-macemlah.
Saya kemudian menanyakan di milis alumni (yang sebagian anggotanya pernah
bermukim bertahun-tahun di Belanda): apakah benar ini merepresentasikan orang
Belanda? Berikut tanggapan beberapa rekan:
Menurut saya orang-orang seperti Geert Wilders itu ada saja, tapi sekali lagi dia hanya
segelintir orang orang extrim kanan. Dalam perpolitikan Belanda, mereka juga cuma
mengantongi suara yang sedikit. Cuma nggak usah disikapi terlalu serius. Zaman
tahun 80-an saja sudah ada televisi di Belanda yang mengolok olok Paus, sama seperti
siaran TV Republik Mimpi di sini mengolok olok Presiden/Wapres. (SP, hidup di
Belanda 83 - 90)
Saya tinggal di sana untuk yg kedua kalinya, 1989 s/d 1993. Pada masa itu, saya
mendirikan perguruan Satria Nusantara, anggotanya lebih banyak bulenya daripada
yg Indonesia, sekitar 500 orang. Interaksi yg intens dg masyarakat bule itu
memberikan gambaran bahwa mereka tidak anti islam dan tidak anti orang islam.
Namun, tetap saja ada orang yg sudah terbentuk menjadi perilakunya memusuhi apa
yg tidak sama dengan dirinya. Seperti di sini juga ada saja orang yg ingin menghapus
Borobudur, dan mengancam Gereja. Saya fikir, kita tidak perlu mengikuti seruan
Mahathir untuk
memboikot produk Belanda, sebab Pemerintah Belanda sudah dalam situasi sulit
menghadapi sebagian warganya yg usil. (DS, hidup di Belanda 83-84 dan 89 - 93)
2. A380
Lewat British Aerospace, PT Dirgantara Indonesia dipercaya memproduksi bagian
penting sayap A380, yaitu bagian inboard outer fixed leading edge. Bagian ini
memberikan kekakuan yang diinginkan di bagian inner wing, sekaligus memberikan
bentuk bagi bagian primer sayap. Kontraknya dimulai dari 2002 hingga 2012. Tapi
masih bisa berlanjut lagi jika produksi A380 makin pesat dan BAe masih percaya
dengan PTDI.
82
3. Pak OD
"Pak Diran diwawancarai TEMPO," kata seorang kawan. Dia lalu men-scan
halamannya, dan saya share di sini. Siapakah dia? Guyonannya: tiap kali ada orang
naik pesawat lalu kecelakaan, pasti muncul nama beliau. Dulunya dia dosen
penerbangan ITB, lalu jadi penasihat di IPTN, lalu ketua komisi nasional kecelakaan
transportasi. Gampangnya: penyelidik kecelakaan pesawat. Dia mengajar bidang
desain pesawat di ITB. CN235 lahir dari tangan beliau.
Download di sini wawancaranya: Wawancara Pak OD
http://ari3f.wordpress.com
84
41. Gempa di Silicon Valley
Waktu kecil saya kadang mendengar ayah saya berteriak “Lindu .. lindu …!”, yang
artinya “Gempa …. gempa”. Ketika itu, skala gempa biasanya kecil dan tak begitu
terasa di Bondowoso yang jauh dari laut selatan, epicentrum gempa. Jadi, tidak ada
evakuasi, korban jiwa atau kerugian material akibat lindu itu.
Merah: pusat gempa, hijau: kantor saya
Hari ini saya merasakan gempa lagi. Tapi tidak di Bondowoso; kira-kira 12000 km dari
Bondowoso, tepatnya di San Jose. Saya sudah dua hari di Silicon Valley. Tujuannya:
jalan-jalan. Eh, gak lah … tugas kantor kok (hehe). Pukul 8:04 malam, meja saya
bergoyang dan saya buru-buru berlindung di bawah meja, sambil menunggu energi
gempa meredup. Untungnya gedung masih utuh. Saya buru-buru pulang. Kantor saya
terletak sekitar 17 km dari epicentrum, dan katanya skala gempanya 5.6 Richter.
Mudah-mudahan tidak ada gempa susulan.
Teman saya bilang: saya belum pernah merasakan gempa sebesar ini di San Jose;
terakhir tahun 1989.
Eh di luar sana … suara sirine fire fighter bertalu-talu…
85
42. Nggragas
Seorang kawan datang ke workstation saya pukul 5.30pm di hari Jumat. Jumat
biasanya memang rileks (seperti juga hari yang lain!), dan kawan saya ini bilang baru
selesai acara orientasi. Karena dia staf baru, maka dia dikumpulkan dengan 15 staf
baru lainnya, kemudian ikut acara kenalan dengan bagian manajemen (direktur dan
manajer) dan ikut permainan. Game-nya mirip amazing race, tapi lokasinya cuma satu
di gedung kantor aja naik turun dari lantai 1 sampai lantai 7. Karena dia olahragawan,
ya jelas aja dia menang hehe. Jaran ngono lho … Dan, dia dapat hadiah.
Hadiah dia tunjukkan kepada saya, dan buru-buru dia buka. Isinya: coklat Kit Kat
dalam box. Ada 3-4 Kit Kat bar di dalamnya. Dia lalu memberi saya satu slab kecil Kit
Kat. Satu slab isinya 4 batang. Tak sabar, karena juga lapar, saya buru-buru
membukanya. Gigit! … hah, kok gak puthul? Gigit lagi, gigit sana, gigit sini, gak putus-
putus. Kemudian saya coba patahkah. Tidak berhasil. Saya tanya … ini apa? Dia lalu
coba melihat-lihat. Lah … ini karet!
Jangkrik! Layak alot men …
Karena dia takut dikira nipu, dia buru-buru ngasih coklat yang asli (sambil
sebelumnya memastikan itu bukan karet); sambil ngakak gak habis-habis …! (dasar
kucing goreng)
Kit Kat slab
Pertanyaannya: lho ngapain kitkat naruh coklat karet di dalam paket Kit Kat itu???
Menjebak orang yang nggragas??? Hehehehehe
*nggragas [jawa ngoko] = rakus (biasanya berhubungan dengan makanan, harta, tahta, wanita
… laaaaaa? ….)
86
43. Rapapan
Entah di Singapura bagaimana, tapi di Bondowoso, SD jaman saya (80s) ada sistem
yang namanya CBSA alias cara belajar siswa aktif. Intinya: setiap anak dibiasakan
menyampaikan pendapat lewat forum diskusi. Bagi yang pemalu, forum diskusi ini
momok: pasti kebelet pipis kalau kebagian jadi pembicara.
Waktu itu yang paling bikin saya malas adalah memilih nama kelompok. Guru
biasanya menyuruh mencari nama pahlawan, atau orang besar, atau nama ilmuwan.
Yah karena kurang baca jadinya saya selalu tidak punya ide kalau disuruh cari nama.
Suatu hari (kayaknya hari Senin), setiap kelompok sudah membawa plakat kertas
berisi nama kelompoknya. Tapi, saya lupa! Kelompok lain ada yang bernama
Alexander Agung, Enrico Fermi, dan nama orang besar lainnya. Wah saya sama sekali
tak ada ide dalam kondisi darurat ini! Tapi kemudian karena sangat-sangat mendesak
saya kemudian mengambil nama yang ada di sampul buku harian. Isinya sih motto
“Rajin Pangkal Pandai”. Terlalu panjang kayaknya. Jadi saya singkat: Rapapan.
Rapapan wafat setelah dua hari. Alasannya: jeneng kok ngisin-ngisini...
Yang ketawa ngakak kalau ingat “legenda” Rapapan ini cuma dua: papaku dan Tuti.
87
44. Ngimpi
Setiap orang yang tidur pasti bermimpi meski keesokan harinya ia lupa total mimpi
semalam. Yang ia ingat barangkali cuma sinopsis, respon terhadap mimpi, artis dan
aktor dalam mimpi. Saya sendiri sering ngimpi, tapi selalu lupa mimpi apa. Yang bisa
diingat biasanya mimpi yang seram, lucu, aneh dan bentuk ekstrim lainnya. Kadang
saya juga nglindur atau menggerakkan tangan. Mimpi ini, sepertinya, manifestasi otak
dan perasaan yang tak terkontrol, yang dibentuk oleh lapisan-lapisan kejadian, lakon
dan orang. Saya jadi teringat Deepak Chopra: yang “riil” dari mimpi adalah respon
kita terhadap mimpi itu. Misal, jika kita mimpi dibentak setan lalu ketakutan,
barangkali “ketakutan” itulah yang akan kita alami ketika kita benar-benar dibentak
setan. Benarkah? Ya mboh. Jangankan dibentak, wong bayangannya aja udah bikin
saya kabur palingan.
Mimpi ini barangkali memang tak bisa dikontrol. Tapi sepertinya bisa dimanipulasi.
Dulu, ketika otak macet [tak ada ide] dalam memecahkan problem tugas akhir
(Bandung, 2002), saya jadi mengharapkan suatu ilham lewat “kamar ide” yang lain:
mimpi. Biasanya, kamar ide yang sering saya pakai adalah WC. Nah, sebelum tidur,
saya mempersiapkan diri: mikirin suatu masalah hingga akhirnya saya tertidur. Kok
ya ndilalah, “masalah” itu muncul, lalu di dalam mimpi, saya menemukan jawabnya.
Tidak straightforward memang: berliku-liku, trial and error, bahkan dipecahkan
dengan cara yang gak nyambung. Di sini, barangkali jawaban itu didapat ketika jiwa
“menari-nari” di luar tubuh yang penat.
Apakah mimpi selalu berhubungan dengan seksual? Jika berkiblat kepada
psikoanalisis a la Freud dan agak materialist maka jawabannya IYA. Freud membedah
mimpi dengan mencari simbol di dalamnya, lalu menghubungkannya dengan suatu
bentuk, dan bentuk ini berhubungan dengan genital pria dan wanita, kemudian ia
membuat interpretasi dari sana. Ia juga bermain probabilitas plus pengaruh kuat
bahwa psikoanalisis adalah “pisau bedah” baru di abad 20. Masa Die Traumdeutung
(Tafsir Mimpi) sesederhana itu? Yo ora lah … lebih kompleks.
Eh, mari kita mundur selangkah: mengapa manusia bermimpi (baik dalam tidur
maupun dalam kenyataan)? Mungkin karena itulah satu-satunya cara ia bisa lepas dari
belenggu “kenyataan” sambil bergeming.
88
45. Attitude
Apa yang paling berkesan ketika bekerja di lembaga riset? Ya “riset” itu sendiri,
barangkali. Meski setiap orang pasti pernah melakukan riset (kecil ataupun besar),
yang namanya riset di sebuah lembaga biasanya “kaya” akan birokrasi. Harus ada
proposal, pengajuan dana, review, meeting, masalah antarpersonal dan aspek non-
teknis yang kadang jauh lebih rumit dari risetnya sendiri. Rumit karena ada faktor
manusia yang punya kepentingan dan sikap yang kontraproduktif. Simalakama: tanpa
manusia, riset pun tak ada ..
Di lembaga riset tempat saya bekerja, meski ikatan antar kolega tidak dibina dengan
baik, ada banyak hal yang bermanfaat, terutama jika kita ingin belajar. Inti dari
lembaga riset ini didirikan adalah melatih pegawainya melakukan riset dan belajar hal
baru. Tidak heran, hampir sebagian besar orang-orangnya tidak ngerti hard disk ketika
masuk kantornya (termasuk saya). Tapi selama 1.6 tahun di sini, sedikit banyak
pengetahuan mengenai HDD meningkat. Setidaknya cukup ngerti komponen-
komponen hard disk drive. Lainnya, tentu lebih spesifik ke pekerjaan sehari-hari.
Pekerjaan saya lebih dekat ke numerical simulation dan mechanical design. Generic
fields, oleh karenanya saya bisa menggunakan kantor ini sebagai stepping stone.
Di hari-hari terakhir ini, ada satu hal yang saya pelajari. Ternyata “sikap bekerja” atau
attitude memegang peranan penting dalam bekerja; utamanya di lembaga riset. Meski
attitude sifatnya non-teknis, tapi hal ini sangat menentukan sampai sejauh mana kita
bisa belajar, dan menentukan karir kita. Di manapun, sikap ini dikarakterisasi hal-hal
berikut:
• Keinginan untuk belajar hal-hal baru yang bermanfaat
• Ask the right questions in order to have better understanding
• Jangan ragu untuk segera hands-on
• Bersikap terbuka terhadap ide dan gagasan
• Jika tak menyukai suatu ide gunakan cara yang tepat untuk menyatakan
ketidaksetujuan
• Bersikap konstruktif terhadap tim; tujuannya: get things done!
• Selalu merefleksikan setiap pekerjaan: am I doing the right thing, or am I doing
the thing right … (proses dan hasil sama pentingnya)
• Convince yourself, then you can convince others
• Ketika mendapatkan masalah, think … think … think. Jangan terburu-buru
bertanya atau mencari informasi lewat buku, internet. Di sini, proses berpikir
ini mengasah ketajaman berpikir kita dan melatih kreativitas.
• Motivasi diri sendiri untuk memberikan hasil terbaik.
89
• Kaizen! Gunakan hari yang baru untuk meningkatkan kualitas skill kita. Harus
ada achievement setiap harinya. Kecil tidak apa-apa, yang penting
achievement.
• Bersikap positif dan baik kepada semua orang; termasuk “musuh” dalam
kantor. Bersikap frontal dalam menghadapi masalah seringkali membuat
seseorang disalahpahami, bahkan sebelumnya cangkeme mengo sekalipun …
• Help others, share with others. Dengan cara seperti ini, orang lain juga akan
membantu kita ketika ada kesulitan. Kecuali orang ini sakit jiwa alias pelit
dalam memberikan pertolongan. Orang dari negeri tertentu merasa bahwa
mereka harus menyembunyikan pengetahuan mereka supaya tidak kesalip
oleh juniornya. Apakah hal ini bermanfaat? Tidak sama sekali. Di satu sisi, ia
mengharapkan orang lain akan mengagumi kemampuan dia, tapi yang terjadi
adalah orang lain malah menganggapnya pelit ilmu dan segan membantunya
jika ada problem. Orang seperti ini tidak lebih baik dari … nguk nguk … (kethek
ta? hehe)
• Bersikap perfectionist. Hal ini perlu dilakukan dalam tataran individual. Jika
dihadapakan pada kerja tim, maka hal ini tidak produktif karena standard
kesempurnaan setiap orang itu berbeda. Tapi bagi saya, kesempurnaan itu
adalah goal di setiap harinya. Jika tidak tercapai hari ini, ya besok tho …
• Usaha dulu ngerjain sesuatu sebelum bilang “tidak bisa”. Kalaupun tidak bisa,
harus diusahakan bisa menjelaskan “kenapa kok tidak bisa”.
Barangkali masih banyak yang bisa direfleksikan, tapi segini dulu deh… mau sahur!
Semoga bermanfaat.
90
46. Interview: Tentang Pekerjaan di Singapura
Sejak pertengahan 2005, baru empat kali saya menjalani interview (dua pekerjaan
sebelumnya tak memerlukan interview berkat kedekatan dengan bekas dosen). Empat
interview itu dilakukan di (1) lembaga riset milik pemerintah Singapura, (2) firma
engineering milik dosen ITB, (3) perusahaan turbin angin milik Denmark dan (4)
pabrik pesawat kecil di Singapura.
Interview pertama: where is Bondowoso?
Ini interview pekerjaan yang pertama seumur hidup saya. Empat hari menjelang
kepulangan saya ke Indonesia, yang barangkali untuk selamanya, saya ditelpon HRD
lembaga riset. Saya memang melamar ke lembaga ini bulan Mei 2005, tapi kemudian
saya lupa. Siang hari bulan Agustus itu saya mesti membatalkan penerbangan ke
Jakarta untuk datang ke interview. Pada hari yang ditentukan saya datang ke sana.
Saya masuk ke dalam ruang rapat dengan meja besar dan beberapa kursi. Saya
mengisi formulir kemudian menyerahkan kembali kepada staff HRD. Seorang lelaki
yang nampak masih muda, memakai baju polo memperkenalkan diri. Saya lupa
namanya. Dia lalu bertanya: where is Bondowoso? Saya hanya menjawab: ha? Dia
kemudian tersenyum dan bertanya lagi: where is it? Bondowoso? Saya lalu menjawab:
oh … that’s my hometown, city I was born (padahal saya lahir di Jember; Bondowoso
adalah tempat ortu saya membuat akte kelahiran). Kemudian dia bertanya mengenai
material pesawat, bertanya mengenai finite element. Dia juga bilang bahwa dia ingin
memodelkan hard disk drive jatuh dari ketinggian tertentu, membentur lantai dan
hancur berkeping-keping. Dia bertanya: can you simulate that? Saya mengatakan
bahwa software finite element bisa memodelkannya, tapi saya belum tahu caranya.
Saya membutuhkan waktu untuk mempelajari software-nya. Ada beberapa
pertanyaan yang saya merasa saya gagal menjawabnya. Dia menggeleng sambil
mengatakan: that’s not what I meant. Wah rasanya bodoh banget deh. Dia ramah,
murah senyum. Tapi barangkali tidak banyak berguna kecuali bahwa saya lebih relaks
dalam menjawab (dengan ngawur hehe). Setelah 30 menit, dia mengatakan bahwa ia
mengenal supervisor saya. Yah, setidaknya supervisor saya orang yang lumayan
kesohor (dalam publikasi ilmiah dan temperamen-nya). Setelah 45 menit, orang ini
mempersilakan saya pulang. Eh iya, saya sempat bertanya: how much is the wage?
Haha. Hari itu saya butuh uang. Jadi saya ingin tahu berapa saya dibayar. Dia bilang
dia tidak tahu. Hah … bagaimana mungkin? Jadi, berapa gaji saya tetaplah misteri.
Kemudian saya pulang dan merasa setengah berhasil setengah gagal. Setengah
berhasil karena saya bisa haha-hehe di dalam ruang interview dan berhasil
mengalahkan sikap gugup saya. Setengah gagal karena banyak jawaban saya yang
tidak memuaskan penanya. Jadi, entahlah, bisa diterima atau tidak. Tapi setidaknya,
untuk dua bulan ke depan saya tidak memerlukan pekerjaan itu karena ada proyek
lain di Bandung. Tapi setelahnya … nah ini cilaka … saya mesti lamar ke tempat lain.
91
Interview ke-2: kami butuh komputer dan orang pinter!
Kerja di perusahaan minyak adalah cita-cita saya. Di perusahaan minyak, para
insinyur biasanya digaji di atas rata-rata insinyur lain. Di pabrik pesawat terbang, gaji
kawan saya hanya dua juta. Di perusahaan minyak, bisa 3 - 4 kali lipatnya. Ngiler
pokoke … Sebuah firma engineering kecil miliki dosen di jurusan lain membutuhkan
seseorang untuk mengurusi asset integrity management. Binatang apa itu saya juga
tidak tahu. Yang penting saya segera memasukkan resume ke dosen itu. Tak berapa
lama, saya dipanggil dan hari Sabtu saya datang ke kampus. Ada 5 orang yang hadir
di sana. Dua orang sudah saya kenal sebelumnya karena bekas teman SMA. Lainnya:
satu orang dosen, satu orang engineer dari firma itu dan satu lagi dari client mereka.
Yang paling banyak bertanya adalah client-nya. Dia bertanya banyak hal mengenai
maintenance pesawat (yang saya tidak banyak tahu). Kemudian saya bertanya: anda
membutuhkan apa dan orang yang bagaimana untuk pekerjaan ini? Dia bilang: kami
membutuhkan komputer yang bagus dan orang yang pinter! Wah general banget batin
saya. Batin saya yang sebelah bilang: lha sampeyan wis nemu lek ngono hehe. Setelah
interview selesai, saya pulang. Dua minggu kemudian, saya mendapatkan kabar
bahwa saya diterima di lembaga riset Singapura. Segera saya menelpon teman saya
untuk mengatakan bahwa review hasil wawancara dengan saya dibatalkan saja; saya
mau ambil pekerjaan yang di Singapura.
Saya harusnya bekerja mulai 15 Oktober. Tapi karena pengurusan Employment Pass
yang bertele-tele, saya akhirnya bisa mulai bekerja 1 Februari. Lama juga. Saya murni
jobless dua bulan. Pada saat yang bersamaan saya merevisi thesis saya.
Interview ke-3: cool!
Sebuah perusahaan turbin angin terbesar di dunia membuka kantor riset di Singapura.
Beberapa bulan kemudian mereka melakukan rekruitmen. Salah satu posisi yang
sangat menarik adalah composite structures engineer. Wah, ini sangat sesuai dengan
background saya. Saya memasukkan aplikasi dan menunggu hasilnya. Satu bulan
kemudian, HRD perusahaan ini menelpon untuk janji interview. Pada saat interview,
seorang perempuan umur 35 datang. Dia datang dari Australia dan bekerja sebagai
project engineer di sana. Pertanyaannya sangat banyak!! Pendek-pendek, tapi buanyak.
Bicaranya yang cepat, membuat saya balapan juga. Sampai-sampai kata Jawa juga ikut
mencolot (misal: it can be done by mmm … anu …eh …). Kemudian dia balik bertanya:
do you have any questions? Saya spontan bilang: I have many…. hehe. But I give you
two questions instead. Yang paling berkesan buat saya adalah pertanyaan ini: What do
you wanna be for the next 3 years, or 15 years? Jawaban saya: for the next 3 years I
wanna become a manager, and for the next 15 years I’ll have my own company! Dia
bilang: “cool!” sambil senyum-senyum. Nah, kata “cool” yang keluar dari mulutnya ini
kalau dihitung selama satu jam interview barangkali muncul tiap 3 menit. Miss cool
pancene.
Setelah pulang, saya agak menyesal: lha lapo cek pedene … wong durung karuan diterimo
haha. Tapi dungakno rek … iki dudu pabrik dolanan soale.
92
Interview ke-4: when did you get married?
Saya iseng-iseng memasukkan lamaran ke pabrik pesawat. Pabriknya kecil, dan mirip
workshop atau gudang komputer. Ada dua orang yang memberikan interview. Oiya,
pabrik ini memproduksi pesawat yang terbang 1-2 meter di atas permukaan laut,
dengan memanfaatkan gaya angkat permukaan air. Intinya, tenaga dorong mesin
terbantu oleh gaya angkat ini. Jadi lebih efisien. Ketika di Bandung saya sempat
membantu orang-orang ITB menghitung pesawat model ini. Tapi saya hanya selesai
sampai badan pesawat saja, bagian sayap dan ekor belum sempat terhitung. Saya
kemudian pergi ke Singapura. Nah karena punya pengalaman itu, saya nekat
mendaftar. Seorang lelaki kecil, berkacamata agak tebal, banyak sekali bertanya. Dia
bilang: let’s make this interview as informal as possible. Tapi nyatanya: wah dia
membuat seolah interview ini seriusssss sekali, sampai kerongkongan saya kering
kerontang. Goro thok wong iki! Pertanyaannya kritis-kritis tapi selalu menthal kena
jawaban saya yang khas ngawur dan sok PD. Contohnya ini:
Inteviewer (I): Software ini kayaknya gak bisa dibuat ngitung komposit karena bla bla
bla …
Saya (S): Wrong! Kalau kamu mengerti teori-teorinya dan parameter yang perlu
dimasukkan apa saja maka kamu bisa … bla bla bla
I: Kamu tipe follower atau risk taker?
S: (Dengan mata tajam dan wajah 1000% sok serius) case-by-case! (laaa … kok pendek
jawabane mas .. hehe)
Tapi yang paling ngawur adalah yang ini …
I: When did you get married?
S: (Jangkrik koen gak ngerti privacy opo??) Februari 2004. (gak wani ngetokno
jangkrike hehe…)
Di sela-sela interview itu, saya sempat (dengan sok tahu) “berceramah” mengenai
campur tangan politik dalam bisnis pesawat. Saya juga berceramah mengenai
perkembangan riset komposit dan analisis struktur pesawat. Wis pokoke gak akan tak
ulangi maneh. Ngisin-ngisini! … Untungnya mereka mlongo dan manggut-manggut. Jadi
ya sempat nglunjak pas itu PD-nya. Haha … (ojo gelem digoroi wong koyok aku rek!)
Yah begitulah kesan-kesan selama interview di sini dan di sana … gak bakal kapok.
Bakal ada interview yang lain. Cihui!
93
47. Doa
Tuhan menyukai sesuatu yang spesifik. Jika berdoa padanya mintalah sesuatu sedetil-
detilnya. Dia tak akan tertawa meski permintaan kita agak konyol dan pragmatis. Toh
dia juga bukan penonton ketoprak atau pelawak.
Sejak kecil saya diajari berdoa memakai tiga bahasa: Arab, Indonesia dan Jawa. Khusus
yang terakhir ini, ayah saya mengajari doa ketika menghadapi ujian. Ia sudah
menggunakannya sejak dulu kala, dan (katanya) sering berhasil. Doanya pendek, tapi
jelas dan efektif (jika persiapan belajarnya matang).
Ya Allah … mugo-mugo opo sing tak sinaoni mambengi metu kabeh dino iki, lan
aku iso nggarap ora kangelan
(Ya Allah … mudah-mudahan apa yang aku pelajari semalam keluar semua hari ini,
dan aku bisa mengerjakan tanpa kesulitan)
Tuhan juga menyukai sesuatu yang ganjil. “Ganjil” di sini berhubungan dengan angka.
Bismillahirrohmanirrohim itu 19 huruf. Asmaul Husnah itu 99 nama. Dan seterusnya.
“Ganjil” ada yang berarti lain: seorang tetangga di masa kecil kerapkali melantunkan
doa ini sembari ngakak setelahnya (ganjil banget tho?):
Duh Gusti … paringono waras dhewe sing lain gak usah!
(Aduh Tuhan … berikanlah kesembuhan untukku sendiri yang lain tidak usah)
Entah gimana nasib tetangga ini sekarang.
94
48. Rugby dan 19
Jaman kuliah di Bandung dulu, setiap mahasiswa dikenakan Wajib Olahraga pada
tahun pertama. Semester 1, kami wajib ikut atletik. Semester 2, kami dibebaskan
memilih olahraga yang digemari, atau diminati. Saya memilih rugby, olahraga asal
Inggris yang keras dan berbola aneh. Alasan ikut rugby: supaya kenal cewek cantik.
Salah besaaaaaar! Mana ada cewek yang ikut rugby! Ketika itu, yang paling banyak
ikut rugby memang anak seni rupa (yang menurut saya ceweknya keren; bukan
kerenmpeng); tapi sayangnya yang ikut cowok semua, sangar pula. Hehe. Tapi tak
apa, yang penting tetap bisa belajar nendang bola berbentuk aneh.
Rugby: Bastard Game Played by Gentlemen (thanks, Bi!)
Hari pertama, kami diajarkan teori bermain rugby. Sudah banyak yang lupa meski
ujian teori ketika itu hampir dapat 100 (mau gak gampang gimana wong dosennya
tidak ada yang punya gelar PhD bidang rugby hehe). Seingat saya, ngoper bolanya gak
boleh ke depan, tapi ke samping atau ke belakang. Tidak boleh nyekek orang, tidak
boleh main kasar (alias nendang selain bola), boleh megangin badan, kaki, pinggul dan
lainnya. Boleh nindih orang lain, boleh menerjang orang, boleh nabrak tapi harus
suam-suam kuku, alias tidak boleh ngawur: nabrak harus sopan. Hehe. Alhasil, setiap
pulang rugby di Sabtu sore, badan rasanya legrek, mau patah tulang, kulit lecet dan
otot nyeri. Tapi selalu puas dan senang hati; karena kadang dapat bonus njlungupno
wong liyo hehe.
Bukan seragam rugby saya; cuma sama nomornya aja
95
Seragamnya ketika itu hanya celana pendek selutut, baju lengan panjang berbahan
sekian persen polyester, berlambang gajah. Tak ada pelindung di pundak atau bagian
alat vital, tak ada helm, tak ada handuk di pantat. Untuk nomor jersey, saya memilih
nomor 19. Alasannya: waktu masuk kuliah itu umurnya 19, dan 19 ini bilangan prima
(tidak bisa dibagi apapun selain satu dan angka itu sendiri... halah gak ada
hubungannya kok!).
Di pertengahan bulan, ada foto session. Pemain rugby berbaris, melipat tangan di
depan dada, jepret! Keren. Tapi saya nampak kecil waktu di foto itu! (foto belum di-
scan, sori). Lainnya berbadan bueeesar-bueeesar soalnya (ya hiperbola sedikit gak
papa).
Entah, gimana nasib rugby ini sekarang. Apakah masih ada di ITB?
96
49. Pernikahan
Setiap orang biasanya memiliki pandangan sendiri dalam memaknai pernikahan. Jika
gagasan-gagasannya dipengaruhi karakter religius, biasanya ia melihatnya sebagai
ibadah, wujud syukur dan pengabdian pada tuhan. Dalam hal ini, pernikahan adalah
sebuah medium untuk menjaga amanah, prokreasi dan perwujudan manusia yang
seutuhnya. Tanpa atribut agama, pernikahan bisa dilihat sebagai medium berbagi
antardua manusia yang berbeda karakter dan berusaha mewujudkan sinergi untuk
meningkatkan kualitas hidup. Pernikahan juga bisa dilihat sebagai institusi. Namun,
ada yang ekstrim: pernikahan adalah penjara, di mana seseorang mengalami dilema,
terhimpit di antara yang-gratis dan menjadi-terpasung. Bermacam-macam.
Tepat empat tahun lalu saya menikah dengan ibu ini. Dalam pernikahan itu, saya
belajar mengenai relationship, memahami orang lain dan diri sendiri, mencari dan
mengembangkan metode untuk meningkatkan kualitas pikiran dan perasaan,
berempati dan bersimpati, menjadi fleksibel dalam bersosialisasi, menjadi strategis dan
kreatif dalam memecahkan persoalan hidup, lebih tahu arti kerja tim, mengerti arti
setia, memaafkan dan lainnya. Prokreasi atau menciptakan generasi baru (baca: punya
anak) adalah wajib, karena ini adalah bukti eksistensi manusia yang paling alamiah
dan mendasar. Tidak berhenti di sana, setelah prokreasi, seseorang diwajibkan
membina dan mengembangkan kreasinya sehingga jadi lebih baik.
Jika lama menikah, kebosanan pasti muncul. Ada yang bilang, rasa bosan muncul di
ultah ke-1, kemudian ke-3, ke-7 dan seterusnya. Entahlah. Bosan ini sifat alami
manusia juga, karena manusia punya kecenderungan menyukai hal-hal baru, sesuatu
yang kinclong. Jika bosan, apa yang harus dilakukan? Lakukan kegiatan yang berbeda
secara bersama, kemudian berkomunikasi. Yang lebih mujarab adalah becanda.
Rasanya tidak ada ya perceraian karena bosan; yang ada biasanya karena masalah
ekonomi, masalah visi hidup, masalah tidak punya keturunan, masalah orang ketiga
dan lainnya. Bosan tidak bisa jadi alasan untuk berpisah; ia hanya bisa jadi alasan
untuk punya kegiatan baru. Kegiatan baru ini harus melibatkan keluarga. So, do
something different biar tidak bosan. Saya tidak pernah bosan dengan istri saya, karena
ia sendiri berbeda, unik.
97
50. 30
Kilas Balik
Tepat tiga puluh tahun silam saya lahir di Dinas Kesehatan Tentara, Jember. Entah
bagaimana saya dilahirkan di sana. Barangkali setelah ayah saya selesai wamil (wajib
militer) ia tengah ditugaskan di Jember.
Kemudian saya dibawa ke Gending, sebuah kecamatan di Probolinggo, tempat kakek-
nenek dari ibu saya. Di rumah dinas pegawai PG (pabrik gula) itu saya tumbuh
sampai usia dua tahun. Saya tak memiliki akte lahir. Dan baru ketika pindah ke
Bondowoso saya mendapatkannya; jadi yang tertulis di paspor ya Bondowoso.
Dua belas tahun saya tinggal di Bondowoso. Kota ini, yang saya kunjungi minggu lalu,
masih tetap memberikan ambience yang sama: ia tenang, berpenduduk ramah dan
saling mengenal, punya hawa menyegarkan dan menyediakan makanan sederhana,
enak dan murah. Meski dibesarkan di lingkungan Jawa, saya memahami dan bisa
bercakap-cakap dalam bahasa Madura. Dengan bahasa ini, saya cepat relate dengan
penduduk sekitar. Meski tidak selancar dulu, minggu lalu saya ngobrol dengan tukang
pijat dalam bahasa Madura (ngoko alus - intermediate). Di kota ini, saya bertemu dengan
beberapa teman masa kecil. Mereka sudah berkeluarga dan rata-rata mbalik kucing ke
Bondowoso setamat kuliah. Bukan hanya untuk mengabdi, tapi supaya dekat dengan
keluarga dan agak malas meninggalkan masa lalu. Sebagian yang lain, pergi ke kota
besar dan menetap di sana. Bukan hanya untuk bekerja, tapi sudah jenuh dengan ritme
Bondowoso dan ingin melihat dunia luar.
Tidak ada yang percaya ketika saya bilang bahwa saya sebenarnya pemalu dan
pendiam ketika kecil. Tentu saja, karena mereka tidak hidup di masa lalu saya, dan
kalaupun iya, mereka terlalu ignorant untuk mengingat bahwa seseorang itu pemalu
atau tidak. Pergi ke toko dan bertanya harga suatu barang saja saya malu, apalagi
berdiskusi di dalam kelas/berpidato/menyanyi. Saya biasanya memilih kegiatan yang
minim bersuara, seperti bermain musik, berkemah, menjadi pengibar bendera,
menjelajahi alam, menyukai teman perempuan, berkelahi, gerak jalan atau main bola.
Saya pun kurang gemar membaca, kecuali komik, ensiklopedia dan buku bergambar.
Tapi saya memiliki banyak teman dekat dan teman baik. Barangkali saya tidak
berbakat jadi public figure yang dikerumuni orang; yang cocok ya jadi tukang
wawancara, karena berhadapan dengan satu atau dua orang saja.
Sepuluh tahun lalu, saya hidup di Bandung. Bandung punya kesan berikut: kota anak
muda, kota pendidikan, kota mojang priangan, kota jazz. Di Bandung saya murni
hanya belajar teknologi pesawat terbang (karena terpengaruh buku Habibie) dan
mempelajari jazz. Ketika itu, yang saya impikan adalah lulus sebagai insinyur
penerbangan, lalu bekerja di pabrik pesawat, memiliki rumah di Bandung, dan setiap
malam minggu bisa bermain jazz bersama teman-teman. Sepuluh tahun kemudian,
saya di Singapura dan berumur tiga puluh. Saya (untungnya) lulus sebagai insinyur
penerbangan, tapi bekerja di pabrik hard drive, menyewa flat di Singapura barat, dan
setiap malam minggu nonton film di DVD bersama istri saya.
98
Hari Ini
Di umur 30 ini saya sungguh bersyukur karena dikaruniai keluarga kecil yang setiap
hari adalah tujuan saya untuk pulang. Keluarga kecil ini adalah "rumah" bagi saya. Ia
memberikan keceriaan, ketenangan, kebahagiaan dan cinta. Meski si kecil belum
pandai berbicara, tapi ia adalah cahaya bagi saya. Saya juga bersyukur karena
ditemani seorang istri yang setia dan gigih dalam memperjuangkan keutuhan rumah
tangga. Ia sekarang pandai memasak; dengan kata lain, ia bisa membuka restoran. Ia
pandai menghafal lagu anak-anak dan suka membaca; dengan kata lain, ia bisa
menjadi guru playgroup anak saya.
Di umur 30 ini saya baru sadar bahwa saya gagal mendapatkan PhD sebelum umur 30.
Tapi hal ini tak akan saya sesali karena PhD tidak lagi membawa pesan yang subtil. Ia
adalah suatu komoditi. Ia menjadi sesuatu yang harus dimiliki. Meski di satu sisi ia
adalah academic achievement, tapi yang lebih penting adalah di kemudian hari ia akan
diuji oleh lingkungan, masyarakat dan alam: ia perlu memberikan inspirasi, ia perlu
bermanfaat bagi orang banyak, ia perlu memperluas batas-batas ilmu pengetahuan, ia
perlu dipertanggungjawabkan tanpa tesis. Ia terlalu berat untuk diselesaikan dalam
waktu singkat karena ia telah dikurung oleh sistem, silabus, panel dan tesis. Ia
dipasung. Oleh sebab itu PhD bukan lagi kebebasan dan esensi.
Di umur 30 saya memiliki pekerjaan yang menyenangkan, hidup yang tenang,
saudara-saudara baru (yang asli Singapura maupun yang ketemu di sini) dan harapan.
Benar sekali: harapan. Tanpa harapan, seseorang tak akan pernah menikmati indahnya
ketakterdugaan.
Hari ini istri saya membuat Bakwan Malang dan membelikan kue tart kecil rasa mocca.
Yang ikut makan: saya, istri, Verdi dan Pak Ali. Si Olit turu. Sudah jam 9pm. Terima
kasih Tuhan: ijinkan saya menghirup O2-mu hingga 30 tahun lagi.
99
51. Hari Valentine
Tomorrow will be my second Valentine's Day in the United States. As I've discovered, the
celebration here bears little resemblance to the one I know from growing up in Saudi Arabia.
Yes, there are dates. But in Saudi Arabia, we eat them. - Rajaa Alsanea, Chicago
Saya suka sekali quote di atas :D
Di AS, atau negeri yang ter-Barat-kan (westernized), hari Valentine atau kasih sayang
identik dengan memberikan bunga untuk kekasih, antri di restoran untuk makan
malam dan berkencan. "Teman kencan" alias "date" adalah pre-requisite. Namun, "date"
juga berarti buah kurma. Tak hanya di Arab; di negeri yang tak memiliki gurun pun
kita temukan kurma. Dan, kita memakannya.
Di dalam bus dan di jalanan, saya temukan para remaja mendekap seikat bunga yang
dilindungi plastik. Tanggal 13 - 14 Februari itu, Singapura merayakan Valentine's day,
meski tak sesemarak tahun baru Cina. Ada yang bertanya pada saya: apa rencana
kamu malam ini untuk hari Valentine? Saya jawab: tak ada, paling cuma makan
malam di rumah, karena 14 Feb adalah ulang tahun saya. Alisnya terangkat, setengah
tak percaya: bagaimana mungkin kamu lahir tepat 14 Februari?? Lalu saya merogoh
dompet, mengeluarkan kartu identitas, dan menunjuk tanggal lahir: percayakah kamu
sekarang? Dia mengangguk, lalu menyalami saya :)
Ada juga yang bertanya: bagaimana bisa lahir pas hari Valentine? Saya sendiri
bingung mau jawab apa. Biasanya saya jawab singkat: ayah-ibu membuat saya kira-
kira pada bulan April 1977.
Mau mencoba juga? Rencanakan sekarang.
100
52. Jatim Trip
Ini postingan hasil liburan ke Jawa Timur minggu lalu. Tujuannya banyak: sowan
sama orangtua, marani dulur-dulur, mamerin hometown ke anak (yg masih 19 bulan -
mana ngerti ya?), menikmati makanan khas Jatim, reuni "mendadak" dengan kawan-
kawan lama, memberikan istirahat kepada otak (tapi tubuh tidak). Laporan pandangan
mata juga telah ditulis di blog ndoro Tutee. Kota-kota yang mendadak dikunjungi
adalah Surabaya, Pandaan, Lawang, Malang, Batu, Blitar, Bondowoso, Jember dan
Situbondo, dan dilakukan dalam 7 hari 6 malam non-stop! (Pantes badan serasa legrek
kabeh!).
Lumpur Lapindo. Kami mendarat di Juanda pukul 8.45 pagi. Ortu sudah menjemput.
Semua langsung meluncur ke Malang (rencananya), tapi mampir dulu di Sidoarjo,
melihat (dengan hati pilu) perumahan yang sudah tertimbun lumpur Lapindo. Tapi
beneran, lumpur ini benar-benar menghabisi rumah ribuan keluarga dan kompensasi
yang turun baru 20%. Anyway, lumpur dibendung supaya tidak membludak ke jalan
lagi, dan tidak menganggu spoor (jalur kereta) yang menghubungkan Surabaya -
Banyuwangi. Begitu parkir, jukir (juru parkir) langsung meminta uang parkir sebesar
Rp 5000. Ketika menyeberang jembatan kecil untuk naik ke gundukan tanah dan
melihat lumpur, seseorang harus membayar Rp 2000.
Berikut foto-fotonya:
Spanduk ini secara implisit mengatakan bahwa lumpur Lapindo tidak pernah selesai karena
kemarahan dan pertengkaran dua kubu "yang-menyalahkan" dan "tak-mau-dikatakan-
sepenuhnya-salah"
Atap di tengah lumpur Lapindo
101
Slow traffic menuju Sidoarjo (di belakang sana ada Gunung Semeru)
Cocok jadi sampul film "Pacar ketinggalan kereta (lalu termangu di pinggir lumpur)"
Dari Surabaya, kami menuju Batu, alias Mbatu kalau orang Jawa bilang. Tapi di
antaranya, kami singgah di sentra industri kulit di Tanggulangin, ke Taman Safari II di
Pandaan, lalu ke restoran HTS yang jual rawon di Lawang. Tanggulangin dan Lawang
tidak ada fotonya. Kalau Taman Safari II, fotonya lebih banyak binatang dan lanskap
daripada manusia.
Taman Safari II lebih luas dari Taman Safari I. Koleksinya barangkali lebih banyak,
fasilitasnya lebih baru dan ada taman bermain yang luas. Bayarnya Rp 35000 per
orang. Mahal juga ya ... padahal hanya untuk melihat binatang! Waktu itu
komentarnya: barangkali bisa lebih murah kalau kita naik motor. Ha ha. Ilang ndasmu
kene saut macan!
Hippo!
102
Ezra mbayangin ... wah enak sekali bisa bergelantungan seperti mereka. Orangutan mbatin:
duh kapan bisa naik mobil, moto-moto dan nonton manusia dari jauh ...
Llama ... jadi inget binatang ini di komik Tintin. Eh rujak cingur Surabaya enak gak ya pake
cingur Llama??
103
53. Santet
Di Sabtu sore, sambil melihat deretan flat di kejauhan, minum teh itu nikmat. Hmm.
Suara Elmo (Sesame Street) di belakang saya - Olit lagi nonton sendirian, duduk
selonjor di sofa panjang, santai, makan wafer; Mama Olit lagi nyiapin pisang goreng.
Tapi saya lagi mikir tentang santet. Lhaaa ... gak nyambung dengan suasana ... hehe.
Gapapa.
Waktu kecil saya sering dengar cerita tentang santet atau teluh/tenung. Ini "skill" dari
"fakultas" ilmu hitam di mana seseorang mampu mentransfer materi ke dalam tubuh
orang lain. Materi yang ditransfer bisa berupa jarum, pecahan beling, paku, serpihan
besi, pasir, bahkan organik yang mati (alias bathang) seperti kecoak, kutu, dan lainnya.
Kucing mungkin terlalu besar, apalagi becak (ha ha). Mekanisme transfernya tak
diketahui karena tak pernah diteliti. Telematik transfer? Yang jelas seorang dukun atau
ahli ilmu hitam biasanya menghubungi kawan setannya untuk membawa materi-
materi ke dalam perut penerima. Ini biasanya juga permintaan dari orang yang ingin
balas dendam tanpa ingin meninggalkan jejak (sehingga CSI: Miami tidak bisa
melacak). Katanya, pohon pepaya bisa jadi penolak santet ini. Tapi, entahlah ...
Suatu hari (di masa SD) saya ditanya ayah saya: piye carane nglebokno pasir, paku, beling
nang njero wetenge wong liyo? (bagaimana cara memasukkan pasir, paku dan pecahan
kaca ke dalam perut orang lain?). Wah ... mana saya tahu? Kalau tahu, bisa saya coba
ke musuh SD ketika itu (ha ha). Saya njawab: kenapa kok nanya gitu? Dia bilang:
karena hari itu dia baru aja mbedah perut seseorang (sebagai bagian dari visum et
repertum) dan di dalamnya dia temukan materi seperti pasir, paku, kaca, dan lainnya.
Perut siapa? Seseorang yang kita kenal? Ia tak menjawab. Lalu pergi. Mungkin agar
saya tidak kepikiran atau ketakutan: maklum ketika itu saya suka mikir dan penakut
(sekarang sih tidak suka mikir dan pemberani! ha ha).
Saya ingat beberapa bulan sebelumnya, ayah tetangga saya sering berada di rumah.
Orangnya tinggi, agak gemuk, berkumis (a la Pak Raden), berkulit coklat dan jarang
senyum. Hidup dan pekerjaannya pasti berat, jadinya ia jarang di rumah. Saya kenal
dengan ketiga anaknya, plus saudara lainnya. Kami sering main bersama. Lalu saya
tanya anak bungsunya: kenapa ayahmu di rumah sekarang? Temang saya bilang: dia
lagi sakit. Oh gitu... ayahnya memang sering berdiri di depan rumah, memakai sarung
dan kalau berjalan prok prok prok ... he gak lah ... kalau berjalan lambat sekali. Berhati-
hati dan sering kelihatan nyeri. Makin hari perutnya makin besar. Dan setelah 1-2
bulan, ia menghilang. Tak pernah muncul lagi hingga bertahun-tahun. Kawan saya
lalu saya tanya: ke mana ayahmu. Ia bilang: sudah meninggal. Lho, sakit apa? Dia
disantet. Dulu dia punya masalah dengan seseorang, lalu orang itu menyantet
bapaknya. Kasihan. Sedih sekali.
Nah, pertanyaan hingga hari ini: mungkinkah seorang yang dibedah ayah saya itu
adalah bapak kawan saya?
104
54. Sekolah di ITB
Tahun 1998, seorang senior membahasakan ITB dengan: jika kamu ingin jadi apa saja,
masuklah ITB. "Apa saja"? Sebenarnya tidak hanya ITB saja, semua sekolah pasti juga
demikian. Kalau dilihat dari alumninya sih, memang beragam. Ada yang dulunya
ambil jurusan Matematika dan Sipil lalu jadi seniman seperti Sujiwo Tedjo. Ada yang
belajar elektro lalu jadi musisi seperti (alm) Harry Roesli. Ada yang belajar
penerbangan lalu jadi politikus seperti Sri Bintang Pamungkas. Ada yang belajar seni
rupa lalu jadi pelawak/entertainer seperti Amink (kalau ini kayaknya nyambung
banget jurusannya hehe). Ada yang belajar Sipil lalu jadi penulis buku atau naskah
film seperti Adithya Mulya. Yang patut diketahui, apa yang terjadi pada periode
ketika mereka sekolah hingga "puncak" karir mereka itu. Pasti banyak dan bakalan
panjang banget. ITB, sepanjang pengetahuan saya, memfasilitasi banyak hal:
(1) Lingkungan yang mendukung untuk jadi unik. Dalam keragaman suku yang tinggi
di sana, semua orang jadi anonim, tak dikenal. Bagaimana caranya supaya dikenal?
Like something different, be someone different, do something different. Free your mind.
(2) Dosen yang mendorong "kerja keras". Banyak orang stress karena pekerjaan rumah,
praktikum dan tugas itu bertumpuk-tumpuk; ditambah individualisme di ITB itu
lumayan tinggi: setiap orang ada kecenderungan bekerja sendiri, karena mereka punya
style sendiri dalam mengerjakan sesuatu, dan prime-time mereka juga berbeda. Stress
adalah proses yang dilewati ketika tugas datang berlimpah. Dan kerja keras adalah
satu cara menghindari stress. Tidak ada pilihan lain, kecuali kalau mau tidak lulus.
Cara lain: banyak becanda dong! Ha ha ...
(3) Ada yang bilang sebelum masuk ITB, bahwa iptek di ITB itu ketinggalan 30 tahun
dari luar negeri. Ini salah; yang benar adalah 31 tahun. Haha. (ngarang). Ya siapa sih
yang tahu teknologi suatu sekolah itu ketinggalan berapa tahun? Pasti ada benchmark-
nya. Fasilitas komputasi tingkat tinggi (high performance computing)? Mungkin ada
sih, tapi tidak besar. Coba dibandingkan universitas maju yang lain? Wah jauh sekali
ketinggalannya. Yang tidak ketinggalan itu kemampuan dosennya. Dosen di ITB
memfasilitasi mahasiswa untuk jadi orang mandiri. Mereka juga approachable, mudah
didekati dan bersahabat. Ada juga yang killer, tapi hampir punah. Dosennya juga
banyak pengetahuan, pandai bercerita dan lulusan universitas ternama (MIT, Imperial
College, Caltech, TU Delft dan lainnya). Mereka juga pandai membuat semuanya jadi
simple di muka kelas. Tapi ketika ujian, jangan harap simplisitas itu muncul (ha ha ha).
(4) Nama besar membuat orang lebih percaya diri. Sedikit banyak iya. Tapi tidak
absolut. Karena seseorang akan dibuktikan lewat kemampuannya sendiri, bukan lewat
nama besar, bukan lewat reputasi universitas. Dan kemampuan dialah yang
membuatnya makin besar hati, makin percaya diri.
(5) Minimnya jumlah perempuan (cantik!). Perempuan biasanya memberikan estetika
di lingkungan kampus. Mereka juga memberikan tambahan energi di pagi hari lewat
105
wanginya dan wajahnya yang berseri. Karena estetika dan energi ini hanya 20%
(sekarang mungkin lebih) maka setiap mahasiswa berkompetisi membuat atau
mencari dua hal itu sendiri. Suka "berkompetisi" ini yang akhirnya membuat
mahasiswa maju. (nyambung gak sih? ha ha ya ngarang lah).
Hal lain....silakan ditambahkan ...
Btw, meski saya tidak tenar seperti nama-nama tokoh di atas, tapi setidaknya saya
punya achievement yang saya banggakan: jadi ayah dan suami! :)
106
55. Dosen Unik di ITB
Ini sambungan dari tulisan sebelumnya "Sekolah di ITB". Dosen itu ya guru. Bedanya
dengan guru SD, SMP, SMA, dosen tidak punya waktu reguler untuk mengajar. On,
off. Kadang ngajar 1 jam, kadang 2 jam, Senin ada, Selasa menghilang (entah proyek
atau seminar) di mana. Dosen juga dituntut melakukan penelitian, membimbing
mahasiswa, mengurusi administrasi kampus, seminar di luar, proyek bersama institusi
atau korporasi lain, dan banyak lagi. Rutinitas ini dilakukan dosen dimanapun. Lho ...
kok jadi cerita kehidupan dosen.
Back to dosen unik. Saya tahu ada beberapa dosen dengan latar belakang yang
unusual, tak biasa. Sebagian saya tahu sendiri, sebagian dari cerita kawan.
( 1) Sebut saja WT (kayak menyembunyikan identitas a la koran hehe). Ia masuk ITB
umur 16, lalu selesai umur 20 tahun. Katanya, ketika teman-temannya, yang ketika itu
sudah umur 25an lulus bareng, sudah ngomongin kawin, sedangkan dia masih main
layangan di kampus (haha). Setelah itu ia melanjutkan S2 di ITB, dan melanjutkan S2
(lagi) dan S3 di Amerika. Umur 27 ia mendapatkan doktor dan pulang ke ITB. Ia
penggemar fotografi: suka sekali memajang foto di dinding kantornya, indah sekali, ia
suka permainan warna. Kalau mengajar, wow mengagumkan. Pernah ia mengajar satu
semester 8 mata kuliah (4 kuliah di jurusannya dan 4 kuliah di jurusan lain). Dan yang
diajarkan berbeda sama sekali! Ketika mengajar, ia tak membawa apa-apa kecuali
kapur berbagai warna. Dalam dua jam, ia menulis setiap sub-topik di papan, berikut
teorema (ini khusus advanced calculus), pembuktian lalu contoh soal. Sebelum
memberikan contoh soal, ia keluar kelas. Menarik napas, mencari inspirasi, lalu masuk
lagi dan menuliskan dengan cepat. Setelah dua papan terisi penuh, ia bertanya: ada
pertanyaan? sudah selesai nulisnya? Jika senyap (seperti biasa!) ia langsung
menghapus dua papan itu dan melanjutkan lagi "mengotori" papan dengan cacing-
cacing hingga 2 jam habis terkuras. Akhir kata: mengagumkan. Ini seperti show,
sungguh entertaining. Ketika ujian tiba ... mampus deh. Hihi.
(2) Ini ceritanya lebih pendek, karena dapat dari kawan. Sebut saja OS. Ia sebenarnya
lulus S1 sebagai dokter. Entah kenapa ia lalu melanjutkan S2 bidang musik dan
mendalami piano dan musik klasik di Perancis. Setelah lulus S2, ia lalu melanjutkan
studi S3 bidang komputer dan mendapatkan doktor beberapa tahun kemudian. Ia
sekarang masih mengajar ilmu komputer. Aneh? Unik?
(3) Ini dapat cerita juga dari kawan. Sebut saja OD. Ia lulus S1 dari Belanda dan
melanjutkan S2 di Purdue, AS. Jadi dia bukan alumni ITB. Tapi kemudian ia pulang
dan mengabdi di Indonesia. Karena ilmunya advanced, maka ia membantu menristek
Habibie membangun industri pesawat terbang. Katanya, model bimbingannya
menyeramkan. Ia pernah merobek-robek kertas desain pesawat mahasiswa selama 2
minggu berturut-turut; minggu ke-3, mahasiswanya yang merobek desainnya sendiri
(haha - mbales). Terakhir, ia menjadi ketua komisi nasional kecelakaan transportasi.
Kini ia pensiun.
107
Ada yang punya lagi cerita dosen unik, unusual?
Catatan: Jika data tidak akurat, mohon dikoreksi. Harap maklum ....
108
56. PhD
Seorang kawan lama menelpon semalam. Ia baru pulang dari berlibur ke Malaysia
bersama pacarnya. Obrolan kami biasanya seputar pekerjaan, sekolah (lagi), keluarga,
engineering dan lainnya. Kami tak suka bola: klop - jadinya tak ada percakapan
mengenai klub mana meng-hire siapa, golnya berapa-berapa, atau seputar info bola. Ia
tak main musik atau secara spesifik menggandrungi sebuah genre; oleh sebab itu,
obrolan musik di-skipped.
Topik yang terus dibicarakan (tapi tak ditindaklanjuti) selama 3 tahun belakangan ini
adalah sekolah PhD. Berasal dari lab yang sama - namun dengan tema riset yang
berbeda - kami sama-sama berhenti hingga master's degree, dan meniti karir di
industri. Dulu melanjutkan PhD adalah impian yang menggebu. Tapi setelah
mendapatkan master, kok ya capek sekali mau sekolah lagi.
PhD mungkin bukan jalan kami; di mana, jika hal itu dilakukan di Singapura, paling-
paling (saat ini) bisa kerja di Singapura saja, atau kembali ke kampung halaman
(mengajar di almamater). Mengajar, riset, membimbing mahasiswa, memberikan ujian
barangkali memiliki kesenangannya sendiri. Tapi seringkali kesenangan ini tidak
terbayar dengan gaji bulanan (khususnya di Indonesia). Seorang dosen muda (assistant
professor) di banyak negeri memang tak dibayar mahal (kecuali di Singapura, Hong
Kong). Oleh sebab itu, hanya mereka yang terpanggil untuk riset hingga
menyelesaikan PhD saja yang menjadi dosen. Mereka yang melakukan PhD for "fun"
(ono ta??) - maksudnya for the sake of research or science, biasanya berakhir kerja di
lembaga riset, pindah haluan jadi enterpreneur, atau jadi pegawai biasa yang tidak ada
hubungannya dengan sains lagi.
PhD barangkali bukan jalan kami. Kami merasa tak ada bakat untuk itu. Saya bilang:
PhD memerlukan daya tahan (endurance) dan kesabaran. PhD juga memerlukan
kreativitas dalam mencari persoalan, memecahkan lalu menyiarkannya lewat buku
tesis atau paper ilmiah. PhD tidak berhenti di sana. Ia terus menggali, melebarkan
batas-batas domain pengetahuan di mana ia bermain. Ia juga bertugas mencari
penerus dengan membimbing calon-calon PhD. Tidak mudah. Dan, saya merasa tak
punya prerequisite untuk ke sana.
Pilihan saya dan dia saat ini adalah berkarir di industri. Lalu, mau ke mana setelahnya.
Ya, kami harus meniti corporate ladder hingga titik maksimum. Bisa juga nyempal dari
perusahaan dan mendirikan perusahaan sendiri. Hal ini barangkali tak memerlukan
PhD, tapi memiliki kesamaan dengan melakukan PhD research, yaitu terus belajar,
memecahkan masalah, berinovasi, mengajarkan sesuatu kepada yang lebih muda,
membimbing orang lain, dan pada saat yang bersamaan, bisa punya income (yang
lumayan).
By the way, ada bacaan menarik bagi anda yang ingin melanjutkan PhD: A PhD is not
enough
109
57. 29: Menulis Seseorang
Hari ini istri saya ulang tahun. Bingung mau ngado apa. Pas saya tanya dia juga
bingung. Mungkin karena banyak keinginan tapi tahu kocek saya gak setebal balast
(dudukan rel kereta).
Eh kok "kereta" lagi? Mungkin karena postingan sebelumnya barangkali ....
Kemarin dia langsung bilang: kadonya tulisan aja! (baca: esai). Wah, ini baru kado
yang "mahal". "Mahal" karena ide esai tidak bisa dibeli. Ide itu datang sekonyong-
konyong. Dan supaya tidak terkesan "tukang" (baca: supaya dibilang seniman), ide
mesti datang di waktu yang kurang tepat: ketika diceramahin bos, ketika melihat
limpahan bill bulanan, ketika digencet penumpang bus (yang kekar dan punya gank),
saat ditilang pak pulisi, saat membantu pengamen nyetem (tune in) gitar, saat ditabrak
sepeda kumbang, saat duduk di toilet dan kehabisan tissue dan keran lagi macet
(kebangetan kayaknya!) dan lainnya. Intinya: 50 + 50 = ce_pe (cape deh - bahasa gaul
saat-saat ini?).
Tapi, demi istri, saya harus menulis. Dulu sering juga memberi kado tulisan, tapi ke
orang lain. Menulis orang lain jauh lebih mudah dibanding menulis seorang terdekat.
Karena "menulis orang lain" tidak punya konsekuensi logis yang berkepanjangan. Jadi
nulisnya seperti nebak-nebak (ilmiah) aja (mirip psikolog lah). Kalau menulis seorang
terdekat dan tulisannya meleset, bisa dapat sabda: Lho, kamu gak kenal aku ya??
Kamu gimana sih bertahun-tahun tapi tidak memperhatikan .... Bingung jawabnya.
Mendingan ya tidak menulis. Takut diomelin he he.
Nah, hari ini saya harus menulis mengenai istri saya. Tapi mulai dari mana ya?
Ya dari belakang dong .... Dari 29 (umur dia sekarang!)
*Kepada teman-teman yang dulu pernah saya tulis: mohon jangan dibuang tulisan itu karena
saya tidak bisa mengulang lagi :p
110
58. 2008: Ngapain?
31 Dec hari yang santai di kantor. Ada meeting, tapi ya masih sempat guyonan. Teman
ada yang mengemukakan opini "Sulit sekali mengukur ketidakpastian spektrum
getaran yang dialami equipment produksi - kadang frekuensinya tinggi, kadang
rendah, arahnya juga berubah-ubah." Boss juga menambahkan, "Betul sekali. Kondisi
ketika membuat produk di San Jose beda banget dengan kondisi Singapura." Saya
(seperti biasa) menimpali: "Iya. San Jose punya gempa, Singapura gak punya kecuali
kiriman dari Indonesia!" (baca cerita di postingan sebelumnya: Gempa di Silicon
Valley). Ngakak semua. Mereka ingat, saya pernah ketakutan waktu terkena gempa di
sana! Siaul.
Saya pulang cepat hari ini: 4.30pm. Boss bilang: "I will feel guilty when I left and I
know that you are still here. Go hooooomeeeee ... it's new year's eve!" Wah, dengar
kayak gitu langsung aja saya masukkan barang ke tas dan bilang "OK I'm off!"
Habis itu saya dan pasukan (Mama Olit dan Ezra "Olit") ke rumah Om Indra Pr di
Signature Park. Ada acara BBQ buat Pak Budi Rahadjo dosen elektro (yang dulu
kantornya di PAU Mikroelektronika lantai 2) yang kebetulan main ke Singapura
nyambangi anak wedhoke. Ini kopdar blogger pertama yang saya ikuti.
Foto-fotonya bisa dilihat di Picasa-nya Mas Judhi dan Flick-nya Mas Indra Pr.
Cowok-cowoknya ngobrol di dekat BBQ pit. Mungkin supaya pulang ke rumah aroma
sate masih nempel di baju. Udah itu tinggal ambil nasi putih, nyium-nyium baju, lalu
ngemplok nasi. Ya lumayan, seolah-olah seperti sambil makan sate gitu lah ... he he.
Btw, satenya Mbak Hany enak dan langka. Di Singapura mana nemu sate khas
Indonesia seperti itu. Bumbunya simple. Saya sempat dikasi bocorannya. Patut dicoba.
Kalau gagal, berarti memang tangan saya dengan tangan dia beda temperatur: tangan
dia lebih "dingin" :)
Woi ngelantur. Jadi tahun 2008 pengennya apa? Pengen ngapain aja?
111
� Olahraga! Ini supaya jantung sehat. Ingat pesan papa. Jangan tekad/niat mulu.
Mesti dilakukan... beli raket badminton. Main di lapangan bawah.
� Hapalkan komponen HDD, problem and solutions-nya, dokumentasikan, lalu
pelajari lagi. Kalau ada masalah, think think think. Lalu experiment, lalu diskusi.
Setiap hari harus ada achievement, harus ada sesuatu yang baru untuk dipelajari.
Ingat pesan buku Unmask Japan: kaizen! Biar kepake otaknya.
� Berkelana ke negeri yang tidak terkenal dengan keluarga kecil. Yang terkenal juga
boleh, tapi jadi tidak unik sebenernya. Tuva? ;)
� Hubungi anak yang punya electric piano itu sebelum pulkam ke Indonesia. Jam
session main lagu-lagu Antonio Carlos Jobim. Lemaskan jarinya, konsentrasi di
depan partitur, biar koordinasi otak dan tangan tetap baik.
� Beli kamera yang agak pro. Belajar moto orang, jangan moto tumbuhan dan
landscape aja. Soalnya bakal ada job nih!
� Kirim Ezra ke playgroup, biar kenal ma lebih banyak teman. Biar terekspos banyak
bahasa.
Apalagi ya? Jangan kebanyakan, nanti gak sanggup.
112
59. TGIF
Hari ini hari Jumat. Thank God It's Friday. Ada beberapa cerita ...
Permanent Resident (PR). Rasanya tidak ada orang yang ingin tukar
kewarganegaraan di dunia ini kecuali terpaksa. Alasan terpaksa bisa macam-macam:
diusir, mencari suaka, menjadi orang eksil, terdampar, mudah cari kerja dan lainnya.
Singapura memberi kemudahaan bagi warga asing untuk punya "banci" (baca: dual)
citizenship tanpa paspor: jadilah PR. Dengan menjadi PR seseorang punya privilege
yang "lebih" dibanding foreigner - khusus masalah pekerjaan. Hal-hal lain? Sekarang
PR mbayar medical fee lebih mahal dibanding citizen. Dan kemerosotan benefit
lainnya. Di sini, pesan moralnya: "Wahai PR jadilah engkau warga negara Singapura".
Jadi PR atau citizen pun tidak mudah. Perlu antri di imigrasi, dicek macem-macem
sertifikat, dicek punya gelar apa dan nunggu tiga bulan atau lebih. Berhubung
Singapura pengen punya penduduk yang minimal bergelar S1, maka yang S1 ke atas
agak mudah apply PR. Ya maklumlah, mungkin karena banyak juga yang masih
lulusan SMP (secondary school atau O-level), lalu ambil short course, atau ambil
diploma/degree ketika umur 30/40.
Ganesa: Gemuk atau Kurus? Di dalam taksi, saya membaca majalah bisnis yang
disediakan sopir di belakang kursinya. Ada gambar yang menarik: patung Ganesh
dengan muka gajah (as usual), gading yang gumpil sebelah, tapi perawakannya kurus.
Sedangkan lambang ITB yang juga Ganesa itu gemuk sekali. Saya tanya istri saya: "Lha
kok gajahe ITB iku lemu, trus iki kuru nemen??" Istri saya bilang: "Bandung kakehan
panganan enak. Dadi lemu." She got the point. Gemuk atau kuruskah Ganesa?
Tuva. Saya membaca buku Tuva or Bust! Richard Feynman's Last Journey sore ini di
Koufu (saingan Kopitiam) di dekat kantor. Anak saya tidur di strollernya. Ia lelap 1.5
jam. Saya bisa tenang membaca buku dan ngopi. Di manakah Tuva? Ia terletak di inner
Mongolia. Yang unik darinya banyak, tapi saya sebutkan beberapa: perangkonya
segitiga dan bentuk diamond, ada penyanyi kerongkongan (throat singer),
penunggang kuda yang hebat dan ia tak dikenal (bahkan oleh guru geografi
sekalipun!). Mengapa Feynman tertarik dengan Tuva? Sederhana: karena ibukotanya
bernama Kyzyl. K-Y-Z-Y-L. Semua konsonan. Nah itu yang membuat Feynman
tertarik. Serius? Iya. Baca sendiri bukunya :)
Benazir Bhutto. Saya sedih karena pejuang demokrasi yang cantik itu mati.
Sebenarnya saya tidak terlalu mengikuti perkembangan politik, apalagi di Pakistan.
Yang saya tahu dari Pakistan adalah (1) seorang kenalan yang ketika pertama kali saya
menjejakkan kaki di Singapura, ia memasakkan ayam kari dan menyuruh saya
memakannya dengan roti - "Heh aku iki wong Jowo! Lek gak mangan sego artine yo gak
mangan!" - tapi ayam karinya wenak! (2) seorang profesor tambun yang mengajar
metode manufaktur, yang kemudian saya tahu ia dikeluarkan dari universitas - ia dari
Pakistan, katanya (3) scientist-nya didukung pemerintah dalam hal teknologi
pertahanan - jadilah negara di Asia yang punya senjata nuklir - dan lumayan ditakuti
Amerika (4) ya Benazir Bhutto. Mengenai Benazir, saya selalu ingat guru ngaji saya
waktu SD. Guru saya ini orang NU tulen, mengajarkan Quran secara terstruktur,
113
sabar, makanan favoritnya kerupuk, suka membaca buku (ketika SD, kosakatanya
sering membuat saya terperangah - iku ngarang opo ono tenan?), menikah di usia senja.
Untuk yang terakhir ini, ia katanya sangat mengagumi Benazir Bhutto dan ingin
mencari pasangan hidup yang sama dengan Benazir Bhutto. Wait a second: ini
Bondowoso ya ... sedangkan Benazir ini yang mbrojol ke dunia lewat keluarga high
politics, lalu dididik di Oxford dan Harvard. Adakah seorang perempuan Bondowoso
yang latar belakangnya sama? Di jaman saya sih gak ada. Gak tau hari ini ... Tapi saya
yakin hari Kamis lalu, guru ngaji saya itu sedih, seperti halnya pengagum Benazir
lainnya. Mengapa pejuang demokrasi mesti cepat sekali berpulang?
Ini foto Benazir waktu umur 19. Saya suka angka 19 ini. Entah kenapa. Mungkin
karena paras seorang perempuan bisa sempurna di umur ini. Alah sok romantis!
Btw, inalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mugo-mugo gusti Allah maringin panjenengan omah sing
apik nang suargo...
114
60. Bosan
Beberapa hari ini pekerjaan saya jauh lebih membosankan dari kata bosan itu sendiri.
Meski awalnya, sistem hard disk drive adalah sesuatu yang kompleks, terintegrasi,
tapi jika sudah sering melihat, mendengar, mendiskusikan dan mengerjakan, lama-
lama kok ya bosen. Karena bosan itu akhirnya badan saya jadi pegel-pegel, tidak enak.
Sempat loyo dan hawa panas-dingin (terik-hujan) di sini menambah buruknya mood
saya. Jadinya, Senin pagi saya meriang, dan pengen tidur, dan mbolos (alias MC).
Kemudian Selasanya saya masuk. Rabu saya MC lagi. Kerja kok kelap-kelip lampu di
kota?
Bos saya ceria sekali waktu melihat saya hari Selasa lalu. Dia bilang, pulang lebih awal
tidak apa-apa supaya masuk kerja tidak malah membuat sakitnya lebih buruk. Dia
malah nanyain kabar anak dan istri saya sebelum nanya tentang saya. Wah, baik sekali
tho? Bos saya ini orangnya memang memperhatikan well-being staff-nya. Ia dididik dan
dibesarkan di Silicon Valley, jadi culture bekerjanya sangat family-oriented, namun tetap
profesional.
By the way, saya barusan pinjam buku "Silicon Valley Way", buku mengenai
membangun bisnis high-tech a la perusahaan terbaik di Silicon Valley, California. Baru
membaca pengantarnya saja. Sepertinya menarik sekali karena seperti buku know-how,
sehingga ia bisa secara praktis diterapkan. Buku ini adalah buku yang selama ini saya
cari mengenai "bagaimana memulai bisnis yang berbasis teknologi dan riset".
Bosan. Apa obatnya? Entahlah. Saya juga bosan menunggu artikel saya (yang ketiga)
dimuat oleh Berita Harian, Singapura. Judulnya "Obama di Djakarta: 1967 - 1971". Pasti
judulnya bakal diubah lagi sama mereka, seperti halnya dua artikel terdahulu
mengenai "orang Jawa di Singapura" dan "Bengawan Solo". Saya udah pinjam dua
film, baru ditonton yang "The Brave One".
Menulis, bosan. Main gitar, bosan. Nonton film? Membaca buku? Atau ambil PhD? Ha
ha. Yang terakhir ini malah bikin bosan, terutama di tahun ke-2 dan seterusnya. Believe
me. Sebenarnya keinginan mengambil PhD itu masih ada. Cuma kok ya agak malas
kalau bidang engineering. Pengennya ambil bidang fisika murni. Tapi kok ya otak
tidak nyucuk rasanya, apalagi jika dihadapkan pada persamaan diferensial yang
sekarang sudah lupa total. Ada juga ide melakukan PhD research bidang kebudayaan
Indonesia, seperti yang dilakukan orang-orang Cornell yang saya kagumi. Topik
risetnya: Kehidupan Orang Jawa di Luar Jawa: New Caledonia, Singapura, Malaysia,
Suriname. Aduh, siapa yang mau membiayai? Dan siapa yang bertanggungjawab jika
saya tetap bosan? hix hix.
116
61. Paguyuban
Setidaknya seseorang pasti pernah ikut “gank”. Meski terdiri dari dua orang, ini sudah
gank. Ada juga yang kemudian membentuk sekian puluh orang dan memberi nama.
Ada yang lebih kolosal: membentuk suatu paguyuban yang akhirnya berjumlah ribuan
orang, memberi nama (kadang kocak, kadang nggilani), merancang aktivitas (kadang
menyedot biaya, kadang nirguna), saling mengenal (enam bulan kemudian ingat
wajah, lupa nama) dan at the end of the day menjadi kenangan; misal: Eh dulu ikut
paguyuban GB alias Gendheng Bareng, gak? Eh, si Tuyul carik paguyuban Waras
Dhewe di mana ya sekarang?
Fenomena kenapa membentuk paguyuban bisa dilihat dari perspektif psikologi sosial.
Tapi saya ini buta psikologi sosial meski ada yang bilang “Lho, pengetahuan psikologi
itu kan inheren, jadi kita hanya perlu menggali sendiri atau beli buku psikologi
populer di toko buku”. Siapa bilang? Kalau begitu bisa-bisa Fakultas [waktu kecil saya
ngiranya Bakul Tas] Psikologi bisa tutup ket jaman mbah buyute Sigmund Freud. Salah
satu sebab orang mendirikan paguyuban atau kelompok adalah menungso kuwi sejatine
ora pengen dhewean! Manusia tak ingin hidup sendiri.
Eh bentar-bentar … kok aku inget terjemahan “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam bahasa Jawa
ya?? Tahu nggak? Sila siji: “Gusti Allah ora ono koncone”
Lanjut. Manusia perlu orang lain; terutama yang sehati, punya sejarah sama, latar
belakanga sama, bahasa sama, pokoknya serba sama (meski sulit akhirnya disama-
samain gak papa). Sebab lain: menungso kuwi sejatine pengen ndue posisi dalam
komunitas. Kalau punya posisi ia bisa punya ruang lebih besar untuk beraktivitas.
Dalam ruang besar ini, ia memiliki kekuasaan. Walah, melip sekali sampai ke
“kekuasaan”! Manusia itu unik. Salah satu aspek non-material yang selalu ia ingkari
tapi terus dikejar-kejar tanpa sadar (tanpo bondho, kecuali peserta Pilkada) adalah
kekuasaan. Ora percoyo? Nietzsche bilang Der Wille zur Macht (Kehendak untuk
Berkuasa). Tapi jangan sampai terjebak: intinya adalah Macht atau berkuasa. Kalau
dipisah antara Wille dan Macht, bisa jadi Hitler sampeyan (hehe).
Lho nglantur sampe Nietzsche!
Alasan lain kenapa orang membentuk paguyuban: cari pacar, bisa menceritakan
kesuksesan (oleh sebab itu mereka yang merasa gagal kadang malas ikut paguyuban),
bisa mencari pelanggan dan membangun jaringan (gaya kapitalis yang tak perlu
dicemooh dan tak perlu dikuatirkan karena kita sudah terjebak di dalamnya) dan
mengerjakan PR. Maksudnya mengerjakan PR? Lha iya … paguyuban kan punya cita-
cita. Yang dulu tak tercapai, barangkali saat ini bersama-sama teman yang lebih
banyak bisa mewujudkan cita-cita itu. Agak telat mikir? Bukan. Tapi telat bertindak
karena keterbatasan resources.
Mengenai paguyuban, orang Singapura harus belajar dari orang Indonesia. Secara
alami tanpa dioyak-oyak, orang Indonesia otomatis gatel bikin paguyuban di
manapun mereka. Useful? Tentu to a certain extent. Jika tidak ngapain bikin?
117
Paguyuban berarti membuat sistem. Di atas sistem ada kekuasaan. Penggerak
kekuasaan hanya satu: aku.
Menungso … menungso … guyubo!
118
62. Indonesianis
Malam hari dan akhir pekan biasanya saya gunakan untuk membolak-balik buku
"non-angka". Sejak di Bandung, saya selalu mengagumi karya-karya sastra dan budaya
dari Timur dan Barat yang ditulis beragam manusia dari pelbagai abad. Buku-buku
itulah yang menghiasi rak kecil saya sejak dulu. Sebagian besar buku saya titipkan di
rumah kakak di Jakarta (katanya aman dari banjir), dan sebagian lagi saya kumpulkan
di sini. Baca punya baca, ada pertanyaan menarik: kenapa ahli-ahli mengenai budaya
atau sejarah Indonesia kebanyakan bukan orang Indonesia?
"Indonesianis" yang non-Indonesia
Ahli mengenai Indonesia biasanya disebut Indonesianis. Ada juga istilah lebih umum
yang dipakai: orientalis (ahli dunia timur). Sir Stamford Raffles barangkali penulis
tersohor mengenai wilayah Indonesia, khususnya Jawa (lihat "History of Java").
Snouck Hurgronje juga meninggalkan karya ilmiah termasyhur mengenai Muslim-
Aceh, meski dulu kita mengenalnya sebagai "penjahat" intelek di balik kemenangan
Belanda terhadap Aceh. Di belahan Amerika Utara, nama-nama berikut lumayan
terkenal: Daniel S. Lev, Ben Anderson, James Siegel, Jeffrey Winters, George McTurnan
Kahin, Clifford Geertz dan Hildred Geertz. Di belahan Eropa, nama ini yang saya
kenal: Denys Lombard. Dari Australia, Greg Barton adalah favorit saya.
Tidak banyak ahli mengenai Indonesia yang berasal dari Indonesia. Alasannya
barangkali masalah praktis seperti "dana penelitian". Di Indonesia, riset itu adalah
prioritas paling buncit kalau berani jujur-jujuran. Dulu, masa rejim Suharto dan ketika
Habibie masih menjabat Menristek, riset adalah ladang emas. Tapi setelah krisis
moneter, di mana utang menggunung dan korupsi merajalela, mata pemerintah tak
lagi ke bidang riset; tapi ke pemulihan ekonomi, politik, kepastian hukum dan HAM.
Alasan lain barangkali "beda perspektif". Orang Indonesia melihat budayanya sebagai
keseharian, bukan keunikan. Jadi ya wajar kalau budaya dan sastra wilayahnya sendiri
dikuasai oleh orang luar.
"Indonesianis" yang Indonesia
Taufik Abdullah, Koentjaraningrat dan Kuntowijoyo adalah ahli sejarah dan budaya
yang asli Indonesia. Selain mereka, banyak sekali bermunculan ahli Indonesia yang
asli Indonesia. Setidaknya di Singapura ini, baik di NTU atau NUS, banyak profesor
atau doktor yang melakukan riset mengenai Indonesia (terutama bidang ekonomi dan
agama). Yang menarik, rata-rata dari mereka menempuh pendidikan doktorat di luar
negeri (Amerika), bukan di Indonesia. Padahal, topik penelitiannya mengenai
Indonesia. Mengapa? Alasan selain dana penelitian adalah resource hidup yang berupa
"profesor" dan resource mati seperti buku-buku dan jurnal ilmiah. Di Amerika sangat
banyak profesor yang meneliti mengenai Indonesia, dan perpustakaan lengkap
mengenai Indonesia ada di Cornell dan Leiden. Selain itu, Harvard juga menyediakan
buku-buku bagus mengenai Indonesia.
Oksidentalis
Lah terus, kapan kita jadi oksidentalis (peneliti dunia Barat)? Istilah oksidentalisme
dipopulerkan oleh Hassan Hanafi (penulis Al Yasar al Islam - "Kiri Islam"). Namun,
119
menurut beberapa pengamat, buku mengenai oksidentalismenya belum mampu
mengalahkan "despotisme" orientalisme yang sangat mengakar di dunia Barat.
Setidaknya, Edward Said pernah membela dunia Timur lewat "Orientalism".
Barangkali kita bisa jadi oksidentalis ketika hal-hal yang menarik dari Barat bukan lagi
berupa materi ...
120
63. Indonesia di Cornell
27 Maret 2007
Saya belum pernah ke Cornell, tapi orang-orang Cornell rajin ke Indonesia selama
lebih dari 40 tahun. Mereka, seperti James Siegel dan Ben Anderson, datang ke
Indonesia untuk mencatat. Mereka lalu mempublikasikan temuan-temuannya dalam
jurnal. Yang mereka catat adalah cerita seseorang, perkembangan pemikiran, keunikan
budaya, kekacauan politik dan lainnya. Hampir semua aspek politik, budaya dan
sosial di-potret oleh kacamata ilmuwan. Di sini, peralatan sosiologi mesti telah
dikuasai dan pemakaian bahasa yang rapi dan sistematis adalah keharusan. Mencatat
suatu kejadian atau fakta dalam bahasa Indonesia memerlukan keterampilan sendiri,
karena bahasa ini dibentuk oleh Melayu (yang diperbarui) dan absorbsi pelbagai
bahasa seperti Arab, Inggris, Belanda dan Sanskrit.
Catatan dalam bentuk jurnal itu dapat ditemukan di sini: INDONESIA
Melanjutkan tulisan saya Indonesianis beberapa waktu lalu saya menduga dua hal
mengenai para Indonesianis kita ini: (ijinkan saya meminjam kutipan dari buku
Orientalism - Edward Said) bahwa "the East is a carrier" dan "They cannot represent
themselves, they must be represented". Dunia timur menjanjikan karir di dunia akademis
barat dan mereka sadar bahwa orang Indonesia kurang mampu menceritakan dirinya,
jadi mesti dibantu dalam penceritaan. Benarkah? Entahlah...
121
64. Kuda Kepang*
Di sebuah kota kecil di Jawa, dalam semaraknya karnaval 17-an (perayaan
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus), saya menyaksikan sekelompok orang memakai
topeng menyeramkan, diiringi kuda kepang, barong (kepala singa raksasa yang
berambut ekor burung merak) menari mengikuti irama musik tradisional Jawa.
Kelompok ini disebut reog, yang berasal dari Ponorogo. Mereka muncul di karnaval
sebagai simbol kesenian yang lahir di sudut provinsi Jawa Timur. Itu terjadi di medio
1980an ketika karnaval merupakan ritual tahunan, seperti halnya Chingay di
Singapura, yang menghabiskan dana jutaan dan menyedot penonton dari seluruh
penjuru desa. Kini karnaval 17an jarang terlihat lagi.
Reog ini memukau karena penari kuda kepang lalu menari agresif, setengah sadar dan
memakan beling (pecahan kaca). Penari itu juga memasukkan segenggam paku ke
dalam mulutnya, mengunyahnya lalu menelannya. Ia lalu meminum minyak tanah
untuk melepas dahaga. Semua orang menunggu: apa yang terjadi sesudahnya? Anak-
anak kecil mundur sedikit takut, tapi mata mereka masih menyaksikan atraksi “liar”
itu. Tak terjadi apa-apa: penari kuda kepang terus menari, tak berdarah, tak terluka,
mereka seperti dadhi mabuk (jadi mabuk). Di rumah, tentu tak ada yang berani
mencobanya. Berbahaya. Orangtua bilang: itu efek dari ilmu hitam. Benarkah?
Entahlah.
Reog
Reog adalah kesenian asli Jawa Timur, lebih tepatnya kota Ponorogo, yang
menggabungkan konsep musik tradisional Jawa, seni tari, humor, seksualitas dan
mistisisme. Reog dibentuk oleh singobarong (yang dimainkan oleh warok), kuda kepang
(yang dimainkan oleh gemblak) dan musik gamelan. Reog ini menjadi simbol kota
Ponorogo.
Asal kata “reog”
Ada kalanya seseorang menyebutnya “reyog”, namun ini adalah ejaan lama. Ejaan
yang baru adalah reog (tanpa “y”). Kata “reyog” diturunkan dari kata “angreyok”,
yang digunakan oleh seorang penyair Prapanca pada abad ke-14 dalam kitab Nagara
Kertagama. Menurut Dr Theodoor GT Piegaud (1899 – 1988), penulis kamus Jawa -
Belanda, angreyok berhubungan dengan dorongan semangat kemiliteran, pertunjukan
tari reyog modern, perang-perangan, pendidikan militer kuno.
Reog dan politik
Dalam perkembangannya, ketika kesadaran politik mulai tumbuh dan parti-parti
melihat bahwa sinergi antara kesenian dan politik sangat efektif, reog akhirnya juga
membawa misi politik. Dalam “Performance, Music and Meaning of Reyog Ponorogo”
(Jurnal Indonesia, 1976) Margaret J. Kartomi mengatakan bahwa hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya kesenian reog yang disokong parti besar seperti Partai
Nasional Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia pada sebelum
1965. Kini, di samping memiliki kesenian ludruk (drama dan komedi situasi), parti
122
besar seperti Parti Golkar masih menggunakan reog untuk menyebarkan pengaruh
politiknya ke desa-desa di Jawa.
Kuda kepang dalam reog
Kuda kepang yang dalam bahasa Jawa disebut jaran kepang biasanya ditampilkan
sebagai tarian pembuka dalam reog. Beberapa penari muda menunggangi kuda
anyaman bambu, menari dan mengikuti musik gamelan reog yang dibentuk oleh
harmoni antara kendang (drum besar), kempul (suspended gong), slompret (seruling
dengan bunyi melengking), angklung (tiga pipa bambu) dan tipung (drum kecil). Kuda
kepang inilah yang barangkali merefleksikan aspek kemiliteran, yaitu pasukan
kavaleri atau latihan berkuda, yang kemudian ditiru oleh anak-anak menggunakan
kuda-kudaan bambu. Di wilayah Ponorogo, kuda kepang diasosiasikan dengan
elemen-elemen magis-religius, termasuk erotisme dan kepercayaan kesuburan. Di
wilayah lain, kuda kepang diasosiasikan dengan penari-penari yang kerasukan hewan
dan roh orang yang sudah mati.
Kuda kepang dikenal di Singapura sebagai percampuran antara seni tari dan aspek
mistik. Di tengah tarian kuda kepang tadi, penari kuda kepang mengalami kasurupan
(Jawa: kemasukan makhluk halus) sehingga ia memakan kaca (Norain Kasban,
Komentar BH, 5 & 22 Mac 2008).
Kasurupan dalam kuda kepang
Dalam kelompok reog tertentu, di tengah tarian itu, ketika musik sudah mencapai
klimaks, penari kuda kepang mengalami kasurupan (Jawa: kemasukan makhluk halus).
Jiwa penari seperti terlepas dari badannya dan digantikan makhluk lain. Ia tetap
menari mengikuti irama namun dalam keadaan setengah sadar (trance).
Dalam masyarakat Jawa kuno yang menganut Kejawen (gabungan antara animisme-
dinamisme, agama Jawi dan Hindu), seseorang mempercayai kehadiran dan peran
roh-roh orang yang sudah meninggal. Roh-roh ini bisa dipanggil dan melakukan
sesuatu yang diinginkan pemanjat doa (biasanya dukun - shaman). Kemenyan (incene)
kemudian dibakar untuk memberi makan roh-roh ini. Roh ini, menurut Dr Paul D.
Stange dalam The Sumarah Movement in Javanese Mysticism (1980), memiliki pemikiran,
perasaan dan nafsu yang sama dengan manusia, dan roh ini berasal dari kematian
yang tak sempurna. Roh ini kemudian masuk ke dalam roh penunggang kuda kepang,
dan memanfaatkan fisik penunggang kuda untuk melakukan sesuatu yang musykil
dilakukan orang biasa, seperti memakan beling (pecahan kaca), paku dan minum
minyak tanah. Tubuh mereka kadang juga berdarah, namun mereka tak dapat
merasakannya.
Di satu sisi, adegan mistis ini mengundang decak kagum dan perasaan terhibur.
Namun di sisi lain, adegan ini juga mengundang kontroversi terutama jika
dipertemukan dengan ajaran agama Islam.
Menurut orang Ponorogo, reog yang mereka tampilkan tidak memiliki unsur kuda
kepang yang kasurupan. Aspek ini biasanya ditampilkan kelompok-kelompok reog
dari Tulungagung, Madiun dan wilayah luar Ponorogo lainnya. Orang Ponorogo
123
melihat bahwa kasurupan ini adalah ketidakmurnian dalam reog asli. Kasurupan ini
kemungkinan lebih dekat ke kesenian ebeg dari Banyumas (Jawa Tengah), seblang dari
Banyuwangi (Jawa Timur), jaranan sentherewe dari Tulungagung (Jawa Timur) dan kuda
lumping dari Cirebon (Jawa Barat).
Pelestarian reog oleh pesantren-pesantren di Jawa
Di Jawa sendiri, reog ini masih dilestarikan oleh sejumlah pesantren. Pesantren
Tegalrejo di Magelang, Jawa Tengah, malah mendatangkan ragam kesenian selain
reog, seperti ketoprak, wayang kulit, barongsai, warangan dari pelbagai daerah. Selain
menyukai cerita-cerita wayang, mereka juga melihat kandungan filsafat yang sejalan
dengan nafas Islam di balik cerita itu. Kesenian di Jawa ini juga dipercaya sebagai alat
pemersatu warga.
Integrasi antara agama Islam dan budaya Jawa ini telah terjadi ketika Wali Songo
(sembilan wali) menyebarkan Islam di tanah Jawa mulai abad ke-14. Alih-alih
memusnahkan budaya asli, mereka menggunakan kesenian Jawa sebagai medium
penyampaian ajaran Islam.
Oleh beberapa kyai di Jember dan Tulungagung, beberapa gerakan dalam jaranan
dimaknai sebagai proses pengambilan air wudlu. Pesantren-pesantren ini dipercaya
hanya melestarikan keseniannya saja, tidak aspek lain seperti pemanggilan roh.
Berita Harian, Singapura, 30 April 2008
124
65. Fitna: Alat Verifikasi
Film ini punya satu lagi fungsi: alat verifikasi. Canggih juga Si Wilders. Dia barangkali
hanya ingin membuktikan bahwa orang Islam itu identik dengan kekerasan, terutama
di developing countries, seperti Indonesia.
Lihat saja di Liputan6: HMI Sumut "...membakar ban, mendobrak gerbang, membakar
bendera Belanda, melempari jendela dengan batu ...". Orang Islam marah, marah,
marah. Wajarkah? Tidak. Buat apa marah? Kalau marah artinya pancingan Wilders
berhasil: inilah wajah Islam yang sebenarnya, terlepas bahwa kemarahan itu adalah
hasil dari persepsi diri yang terhina.
Dihina, diolok-olok itu biasa. Kalau dilihat isi film-nya, film ini asli kacangan, suatu
cara murahan yang akan ditertawakan oleh umat Islam (bahkan non Islam) di Eropa.
Cukup ditertawakan. Tidak usah marah. Kemudian lupakan. Demo boleh, dialog
boleh, intinya: meminta pengertian pemerintah Belanda mengenai dampaknya.
Kebebasan boleh berlaku di Belanda, tetapi jangan sampai membuat orang lain terhina.
Sebagai muslim, saya tidak merasa terhina dengan film kacangan ini. Jadi ya biasa saja.
Terus bagaimana dengan pandangan non-muslim mengenai film ini, terutama mereka
yang hidup di Barat? Barangkali efeknya sama dengan efek 9/11: makin banyak orang
mengkaji surah-surah di dalam Quran, dan berbalik memverifikasi "Benarkah Islam
identik dengan kekerasan? Apakah banyak orang (bahkan kalangan muslim sendiri)
salah interpretasi?"
Kayaknya lebih sakit hati ketika membaca Satanic Verses dulu ...alasannya: karena selalu
menghubung-hubungkan tokoh Mahound di dalam buku itu dengan Muhammad SAW - kalau
paradigmanya diganti, mungkin tidak akan sakit hati.
125
66. Kopi
Di Jawa, misalnya, ketika kata "Indonesia" belum lahir, kopi tak memiliki label. Tapi ia
memiliki aroma, pecandu dan harga. Ia hanyalah biji, tapi ia salah satu penyebab
imperialisme. Dan perdagangan adalah titik mula suatu kekejian di perkebunan. Kopi,
dan teman sejawat seperti cokelat, teh, tembakau, pala, menghisap nafsu invasi sebuah
negeri ke negeri lain. Tapi kopi tetap tak bisa dibawa ke pengadilan.
Kopi membuat saya sakit perut. Sial. Tapi seringkali saya bandel dan menjadi test bud
beberapa kopi di lingkungan kantor. Bermacam-macam rasanya. Tapi "rasa" itu hanya
terbentuk oleh komposisi air, kopi, gula dan susu. Bukan komposisi di dalam kopinya.
Kopinya seperti seragam, seperti halnya kopi di belahan sudut lain di Singapura.
Barangkali supplier kopi pun dimonopoli di sini [ha ha]. Akhirnya disimpulkan bahwa
kopi yang lumayan adalah kopi yang kental (highly concentrated), tak terlalu banyak
di"tumpuk" sehingga mirip recycling kopi (bukan fresh coffee lagi). Setidaknya kopi ini
jauh lebih enak daripada kopi di hotel dan kantor di San Jose. Di sana, seolah-olah,
lidah tak memiliki indera, lidah tak diberi kenikmatan, lidah mengalami resesi
sebagaimana ekonomi Amerika saat ini.
Kopi tetap membuat saya sakit perut (sebenarnya). Nama kafe tak penting. Jika itu
kopi maka ia bisa mengalamatkan saya ke toilet berkali-kali. Atau, setidaknya, perut
jadi tak nyaman. Mengapa masih minum kopi? Karena kopi adalah gaya hidup
barangkali. Gaya hidup yang sedikit mempedulikan fungsi jantung. Orang Singapura
suka kopi. Oleh sebab itu di setiap blok, ada kedai kopi (kopi tiam). Rasanya sama.
Gelasnya sama. Ia adalah gaya hidup.
126
67. Atheist
Ketika kecil saya ngeri mendengar kata "atheis" karena kata ini begitu dekat dengan
komunis (baca: PKI). PKI, di tahun 80an, adalah aktor laga yang antagonis pada setiap
30 September malam di TVRI. Tentara adalah protagonis. Kita juga harus pro tentara,
pro negeri ini. Begitu pesan implisitnya.
Namun, belakangan saya membaca ada tiga teori mengenai siapa pelaku G30S ini: (1)
PKI, (2) CIA atau (3) Suharto. Siapa ya? Jadi bingung. Rasanya perlu membaca
dokumen yang diterbitkan CIA baru-baru ini. Tapi saya lupa nyimpen di mana. Untuk
sumber lain, tengah mencari (tanpa usaha berlebih).
Kembali ke atheisme. Teman dekat saya semasa kuliah di Singapura adalah seorang
atheist. Ia tak mengenal tuhan. Sepertinya kalimat d'Holbach (1772) bisa diberlakukan
pada teman saya ini, sonder masalah umur "Semua anak dilahirkan atheist; mereka tak
mengenal konsep tuhan." Masuk akal, bahkan semua anak tak mengenal siapa ayah-
ibunya! (ha ha - ups) Teman saya ini "korban" Mao Zedong yang menggalakkan "no
god solution". Artinya: tak perlu ada gagasan untuk merujuk ke tuhan dalam segala
aktivitas manusia. Ketika saya tanya (dengan analogi): jika ada bunyi klothak-klothek di
dapur dan tidak ada makhluk apapun, percayakah kamu bahwa bunyi itu disebabkan
hantu atau makhluk gaib? Ia bilang: itu pasti anjing atau kucing atau binatang lain,
atau suatu mekanisme. Ia tak percaya sesuatu yang gaib, seperti halnya tuhan, tapi ia
percaya mekanisme. Kini ia tetap atheist (atau biar lebih keren, ia sering menyebut
dirinya "free thinker"), meski dulu sering mendengar saya bercerita tentang agama
semit (yahudi, islam dan kristen), atau konsep "gusti" dalam kejawen, siddharta
gautama, atau sang hyang widi wasya. Tak mempercayai sesuatu pun adalah suatu
kepercayaan.
Pada 2001, setelah menulis "Hidup, Mati, Jiwa, Keabadian dan Bunuh Diri" sependek
dua halaman, saya pernah disangka tak mempercayai kematian. Kalau yang bilang
teman sendiri sih ga apa-apa. Lha ini dosen yang bilang! Saya bingung menjawabnya.
Yang jelas sangat sulit menjelaskan tentang keabadian yang non-fisik dan "bersifat
ateistik" yang kebetulan ditulis oleh seorang yang beragama. (ada gak sih?).
Tulisan memang ada yang ateistik. Artinya ia menolak salah satu konsep yang
digariskan tuhan. Prior to that, ia pastinya menolak konsep tuhan. Seperti misal: fase
hidup-mati yang digariskan tuhan lewat kitab-kitabnya. Ia lebih mempercayai garis
abadi atau kekekalan yang memang ada -- meski kita cenderung membagi fase hidup-
mati menjadi fase fisik-non fisik, fase rasional - irrasional (masuk akal - tak bisa
dipaksa masuk akal). Aduh tambah bingung ya. Sebenarnya tulisan itu hanya bunga
rampai beberapa pemikiran dari jaman islam keemasan, hingga pemikiran Albert
Camus. Tapi ya karena kurang pandai mengolah flow tulisan, jadinya malah dituduh
tak percaya kematian.
Yah begitulah jika kebanyakan membaca buku Rusia dan Jerman. Sekarang makanya
lebih sering baca buku masak (ha ha)
128
68. Gitar
Awalnya, belajar nggitar itu susahnya minta ampun. Empat jari kiri mesti menekan
senar pada fret yang berbeda-beda, senar ditekan tak terlalu kuat juga tak terlalu
lemah (kalau terlalu kuat bisa sengkleh drijine, sedangkan kalau terlalu lemah ya senar
gak bunyi tho …), selanjutnya genjreng enam senar yang ada di depan lubang
resonansi, lalu jreng… kita bisa tersenyum meski hanya bisa satu kunci. Ini
pemandangan hari pertama belajar gitar. Selanjutnya … ada yang menyerah karena
jari-jarinya keburu dhedhel duel nglentheki (compang-camping mengelupas), ada yang
lempar gitar karena memang tidak sabar untuk cepet selihai Rhoma Irama atau Joe
Satriani (eh jomplang banget yo perbandingane? hehehe), karena tidak berbakat musik
alias motorik plus sense musik memang dilahirkan cacat, tapi ada juga yang gigih
belajar sampai menguasai satu lagi sederhana plus nyanyi dengan suara lirih (karena
ingin ngetes genjrengannya bener atau nggak).
Belajar gitar di sekolah musik biasanya lebih terstruktur. Di sana kita diajari membaca
not balok, belajar ketukan, belajar bermacam-macam lagu, diawasi guru dan ada
pekerjaan rumah. Belajar pada teman sendiri agak berbeda. Di sini, tidak ada baca not
balok dan PR: lebih relaks dan self-discipline memegang peranan penting.
Saya belajar gitar dari seorang kawan bernama Sunu. Setelah Sunu saya “nguping” di
depan kaset Tohpati, Lee Ritenour dan Earl Klugh. Mirip dengan tiga begawan itu? Yo
ora la … jauh. Tapi setidaknya saya mencoba. Hasilnya? Tidak ada, hanya bisa main
gitar saja. Sederhana dan personal: kepuasan diri setelah bertahun-tahun melatih jari
di atas fret. Karena tidak good enough, maka keahlian main gitar tidak bisa buat cari
nafkah. Lagipula, “main gitar bosen juga ya” hehe (mengutip Balawan waktu
manggung bersama Trisum).
Ngomong-ngomong, pernahkah anda main gitar di bawah ini? Saya belum, dan
rasanya impossible buat mainin gitar ini … tapi nggak juga lho … gitar yang namanya
Pikasso I ini benar-benar ada! Gitar 42 senar ini dimiliki Pat Matheny, gitaris jazz. Dan,
gitarnya sendiri dibuat khusus oleh Linda Manzer (Kanada).
Pikasso I
Kok yo ono gitar aneh koyok ngene …
129
69. Jazz, Jakarta dan Trisum
Juni 2006
Pada 1997, dalam sebuah mobil yang stasioner di tepi parkiran, saya mendengarkan
jazz mainstream. Telinga saya tak bisa menelannya karena terbiasa dengan jazz fusion
yang mudah dan enak dicerna. Lalu di belakang setir, seorang kawan yang seniman
bilang: “Jazz berasal dari suatu yang papa. Yang melarat dan kumuh. Di New Orleans.
Di tengah orang-orang hitam. Jazz pada mulanya adalah representasi kemiskinan.”
Sejenak saya berpikir: kini, jazz dengan evolusi dan asimilasi musikal berakhir di
sebuah klub yang nyaman dan telinga yang elit. Jazz tak lagi papa, tak lagi miskin, dan
jazz memilih pendengar.
Ketika kecil, saya selalu memimpikan pergi ke Jakarta: untuk menyaksikan Monas,
bermain di Dunia Fantasi dan melihat hiruk pikuk ibukota yang gemerlap. Tahun 1999
saya jadi akrab dengan Jakarta. Impian saya larut dalam acaknya lalu lintas, tebalnya
karbon monoksida, budaya desa dalam sebuah kota, mozaik miskin dan kaya,
ketidakteraturan dalam pola yang rutin. Tapi saya mulai bisa menikmati jazz
mainstream ketika itu. Mungkin jazz adalah representasi Jakarta: chaos dalam ritme
yang konstan. Saya tak membenci Jakarta meski impian masa kecil tinggal utopia
belaka.
Tahun 1999 itu saya juga menyaksikan 7 pendekar gitar (jazz) bermain bersama. Dua
di antaranya masih muda: Dewa Budjana dan Tohpati. Lalu saya jadi pesimis: lima
senior mungkin bakal gantung gitar segera, dan gitaris jazz yang masih muda
“dituntut” meramaikan negeri ini. Agak lama saya menunggu “keramaian” jazz
muncul kembali. Penantian saya terjawab: ada TRISUM, yang terdiri dari Dewa
Budjana, Tohpati dan Balawan. Saya tak lagi pesimis.
Dengan gaya kalem, Budjana mengidap dualisme: komersial dan idealis. Isme yang
pertama adalah masalah popularitas dan cashflow, sedang isme kedua adalah masalah
integritas. Budjana bagi saya adalah gitaris jazz yang mampu menciptakan komposisi
harmonis, etnikal, dan kerap menyuguhkan suasana magis dalam instrumentalnya.
Tohpati bagi saya adalah gitaris jazz dengan nada unik yang terdengar out of tune
namun berhasil membentuk komposisi a la Mike Stern dan Pat Metheny. Balawan bagi
saya adalah seorang rendah hati yang keterampilan tappingnya sulit ditandingi gitaris
jazz lainnya: Balawan berhasil memainkan komposisi jazz dan blues dalam tepukan
jari yang lincah dan cepat, lalu mengentaskan musik Bali dari ekslusivitas budaya. Jazz
dihidupkan oleh mereka bertiga, dalam atraksi gitar yang mengagumkan. Kemudian,
dari Jakarta dan Bali, jazz segera mengalir ke pelbagai pelosok Indonesia.
Jazz kini mengakrabi pendengar, melintasi batas mozaik budaya yang ulet dan getas,
kemudian menyelinap di iPod, televisi dan radio. Jazz, pada akhirnya, mungkin tak
lagi representasi Jakarta, melainkan lokus hidup yang universal, di Indonesia …
130
70. Balawan, Sinkretisme dan Tapping
Maret 2006
Di kesehariannya, anak-anak di Bali umumnya terekspos upacara agama Hindu,
dimana doa-doa, aroma bakaran dupa, gamelan Bali dan umat yang apresiatif
menyatu. Ini membawa konsekuensi logis: apresiasi terhadap seni dan musik tumbuh
di masa kanak-kanak. I Wayan Balawan tak luput dari konsekuensi lingkungan ini di
masa kecilnya, dan itulah yang membentuk kejeniusannya bermusik.
Sinkretisme Musik, Teknik Tapping dan Kecepatan. Setelah menyaksikan konser
Balawan dua hari di University Cultural Center - NUS, saya menemukan perkawinan
antara gamelan Bali dengan jazz. Perkawinan itu diusung oleh Balawan dan Batuan
Ethnic Fusion. Balawan adalah musisi muda yang berbakat dan memiliki motif mulia:
dia mencoba menggabungkan gamelan Bali dengan jazz, yang saya rasa, itu hanya
akan dilakukan oleh musisi yang sudah matang. Proses menggabungkan jazz dengan
gamelan Bali bisa dimaknai sebagai sinkretisme dalam musik. Gamelan adalah
pentatonik sedangkan jazz adalah diatonik. Jazz bisa dimainkan dengan tempo lambat
ataupun cepat, sedangkan gamelan Bali umumnya cepat. Hal pertama yang harus
dilakukan untuk memasukkan jazz dalam gamelan Bali adalah dengan menyamakan
tempo. Hal kedua adalah memasukkan nada-nada jazz dalam gamelan, dan
sebaliknya.
Balawan memainkan gitar double-neck 12 senar dengan teknik tapping
Balawan memainkan gitar elektrik dengan teknik right-handed tapping (teknik ini
dipopulerkan oleh Eddy van Halen tahun 70an) dimana dia menekan senar gitar antar
dua fret dengan empat jari (tangan kanan) seperti memainkan piano, dan empat jari
dari tangan kiri memainkan bass dan chords. Kelincahan jemarinya sungguh tinggi,
namun kehalusan melodi gitar tetap dipertahankan. Balawan juga dikenal sebagai
gitaris Asia pertama yang mampu memainkan tapping delapan jari pada double-neck
guitar secara bersamaan.
131
Siapakah Balawan? Balawan, gitaris jazz muda yang tengah naik daun, lahir di
Gianyar, Bali, 9 September 1973. Ketika kecil Balawan belajar memainkan organ Bali
dimana kecepatan dan harmoni pentatonik menjadi esensi permainan. Balawan
mendapatkan beasiswa untuk belajar musik jazz dan vokal di Australian Institute of
Music, Sidney. Sekembalinya dari Australia, Balawan membentuk sebuah kelompok
musik untuk mengakomodasi musik jazz dan gamelan Bali. Kelompok ini bernama
Batuan Ethnic Fusion (BEF). Kelompok ini beranggotakan Balawan, Wayan Suastika,
Wayan Sudarsana, Nyoman Marcono, Nyoman Suwidha, Gusti Agung Bagus Mantra,
Gusti Agung Ayu Risna Dewi dan Ito Kurdhi. BEF memainkan instrumen tradisional
seperti reong, suling, rindik, genggong, kendang and cengceng. (1993 - 1995). Balawan
terinspirasi oleh banyak musisi, terutama
Balawan dan BEF merilis tiga album: “GloBALIsm” (1999), diproduksi Dewa Budjana;
“Balawan” (2001), direkam di Jerman; “Magic Fingers” (2005).
Matematikawan, Atlit dan Artis. Untuk menjadi musisi yang terkemuka seseorang
mesti menjadi “matematikawan”, atlit dan artis. Balawan memiliki tiga hal itu. Ketika
memainkan gitar, akurasi dalam menyentuh senar di antara dua fret bisa
menghasilkan aliran yang jernih, halus dan bersih. Akurasi adalah syarat yang esensial
dalam mengerjakan matematika. Untuk menguasai teknik tapping, yang umumnya
sulit, Balawan melatih dirinya siang-malam untuk menghasilkan tapping kecepatan
tinggi dan suara yang diinginkan. Usaha ini memerlukan energi luar biasa seperti
halnya atlit. Balawan memulai debutnya dengan melebur jazz dan gamelan Bali.
Proses memperluas musik dan menggabungkannya dengan musik etnik tidaklah
mudah. Hal ini memerlukan jiwa artis dengan kreativitas tinggi untuk menciptakan
musik agar jazz dan gamelan Bali tetap hidup.
Makan-Makan di Tepi Sungai. Saya melihat permainan Balawan pertama kali pada 10
dan 12 Maret 2006 di Singapura, meski sebelumnya saya sering mendengar namanya
ketika dia manggung di JGTC (Jazz Goes To Campus, Universitas Indonesia). Sungguh
menghibur sekaligus mengagumkan. Aransemen musik yang bagus, harmonisasi yang
sangat etnikal, kompleks tapi enak untuk dinikmati! Dan, permainan tapping yang
sangat cepat! Setelah konser kecil di UCC itu, saya, istri saya, Balawan, Momoko Fusa
(pianis klasik dari Jepang), Ony Pah (drum), Dody (bass) dan Batuan Ethnic Fusion
makan-makan di tepi Singapore River, tepatnya di Clarke Quay.
“Bagaimanapun baiknya saya bermain jazz, saya tak akan pernah cukup ‘hitam’ untuk
memainkannya. Jadi, daripada bersusah payah memainkan otentisitas jazz yang tak akan
pernah saya capai, saya memutuskan memainkan musik dimana saya feel at home”, ujar
Balawan pada saat merilis Magic Finger.
For my friend Wayan Balawan
132
Penulis
Arief Yudhanto lahir di Jember (de facto) atau di Bondowoso (de jure) tahun 1978. Ia
menempuh pendidikan dasar dan menengah di Bondowoso dan Jember. Bulan Juni
2002, ia menyelesaikan Sarjana Teknik dari Institut Teknologi Bandung. Setelah bekerja
1 tahun di Laboratorium Aerodinamika, Pusat Antar Universitas – ITB, ia memperoleh
beasiswa dari ASEAN/Jepang untuk melanjutkan studi Master of Engineering di
National University of Singapore (Juli 2003 – Juli 2005).
Bulan September 2005 ia kembali ke ITB dan membantu tim desain pesawat wing-in-
surface effect (kerjasama ITB dan BPPT) dalam perhitungan struktur. Ia kembali ke
Singapura bulan Desember 2005, dan bekerja sebagai staf peneliti untuk Data Storage
Institute (Agency for Science, Technology and Research) milik pemerintah Singapura.
Sejak Oktober 2007, ia bekerja sebagai product engineer di Hitachi GST, sebuah
produsen hard disk drive ex-IBM.
Kegemarannya adalah menulis esai pendek, bermain musik, fotografi dan mengoleksi
buku. Kini ia menetap di Singapura bersama istri dan anak lelakinya.
133
LAMPIRAN: Artikel di Berita Harian Singapura
L1 – Kaitan Obama: Kenya, Indonesia dan Amerika
Berita Harian, Singapura, 17 Mac 2008
NAMA Barack Hussein Obama kian harum di Indonesia, Afrika sehingga Jepun
(kerana ada sebuah pekan bernama Obama).
Di Indonesia, beliau pernah bersekolah di Jakarta - antara 1967 dengan 1971.
Betapa tidak, beliau kian meninta sejarah sebagai warga Afrika-Amerika ketiga yang
diharap menjadi presiden Amerika Syarikat pada November ini.
Namun, bukan mudah baginya mengalahkan pesaing handalan dari parti Demokrat,
Cik Hillary Clinton, mantan Wanita Pertama dan calon wanita pertama bagi presiden
Amerika.
Encik Obama lahir di Honolulu dalam 1961. Beliau lulusan fakulti undang-undang
Universiti Harvard dan merupakan orang kulit hitam pertama yang menduduki kerusi
presiden jurnal ternama, Harvard Law Review.
Bahkan, beliau merupakan satu-satunya anggota kulit hitam di Senat Amerika.
Ketika usianya enam tahun, Obama menetap di Jakarta, yang ketika itu berada dalam
peralihan zaman Orde Lama (Sukarno) kepada Orde Baru (Suharto). Ketika itu,
kenangan berdarah G30S (Gerakan 30 September) yang mengganyang Parti Komunis
Indonesia masih segar.
Barry, begitulah panggilan mesra Obama, lahir daripada seorang ibu kulit putih dan
ayah asal Kenya. Mereka merupakan mahasiswa Universiti Hawaii. Namanya persis
ayahnya sendiri iaitu, Barack Hussein Obama. Ayahnya meninggalkan Barry ketika
beliau masih dua tahun.
Barry kemudian mengenal Lolo Soetoro, seorang mahasiswa dari Indonesia yang
menjadi kekasih ibunya. Dan, ketika ibunya, yang bernama Stanley Ann Dunham,
menikahi Lolo, ia mengajak Barry pergi ke Indonesia dalam 1967.
Dalam memoirnya, Dreams from My Father - A Story of Race and Inheritance (1994), ia
bercerita tentang masa kecilnya di Jakarta - yang beliau sebut 'Djakarta'.
Djakarta dalam gambarannya barangkali masih ada sisanya dengan Jakarta hari ini,
setidak- tidaknya di beberapa tempat seperti tengah kota yang sedikit moden, deretan
toko kecil di jalanan, lalu lintas yang sesak dan macet, pendorong gerobak barang,
matahari yang terik dan pengemis di persimpangan jalan.
134
Sosok lelaki Asia, atau lebih khususnya Indonesia, yang melekat dalam ingatan Barry
tentulah Lolo Soetoro.
Lolo dikenalnya sebagai pemuda yang sopan dan mudah akrab dengan siapa saja.
Beliau pandai bermain tenis dan catur.
Lolo beragama Islam tetapi memberikan ruang bagi pandangan Hinduisme dan
Animisme yang kuno.
Menurut sarjana ternama, mendiang Clifford Geertz, profesor antropologi Amerika,
dalam The Religion of Java, orang Jawa seperti Lolo boleh dikategorikan 'abangan'
iaitu pemeluk Islam luaran saja.
Lolo seorang ahli geologi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Abri) dan pernah
ditugaskan di New Guinea sebelum Barry dan ibunya datang ke Jakarta.
Barry sering bermain dengan Lolo pada waktu senggang. Mereka berbagi kesenangan
dengan memberi makan binatang peliharaan seperti ayam, itik, anjing, kera, burung
cendrawasih, burung kakaktua dan buaya kecil. Lolo menghadiahi Obama sarung
tinju, yang kemudian ia gunakan untuk berlatih dengannya.
Dalam waktu kurang dari enam bulan, Barry mahir berbahasa Indonesia. Namun,
ibunya tetap mengajarkan bahasa Inggeris lima hari seminggu.
Ibu dan anak bangun pukul 4 pagi dan belajar selama tiga jam sebelum Barry pergi ke
sekolah. 'Ini juga bukan piknik yang menyenangkan bagiku, buster,' begitu ibunya
mengingatkan ketika Barry pura-pura sakit atau malas belajar.
Barry juga bermain dengan siapa saja, termasuk anak-anak petani, pembantu rumah
dan birokrat kelas bawah. Ia bermain seperti anak kampung di Indonesia: berkejar-
kejaran di jalan yang sempit, menangkap jengkerik dan main lelayang.
Obama, yang masih kecil tentu belum cukup mengerti mengenai 'kemiskinan, rasuah
dan kegenjotan' di Indonesia waktu itu. Namun, beliau belajar pergerakan hak awam
dan rakaman Mahalia Jackson (penyanyi gospel terkenal) serta pidato Dr Martin
Luther King yang memukau.
Pada usia belia, Barry sudah diajarkan memiliki nilai luhur manusia, seperti kejujuran,
keadilan, berbicara fasih dan menilai secara merdeka.
Ibunya, Ann Dunham, pernah bercerita tentang murid kulit hitam di wilayah selatan
Amerika yang miskin dan hanya mendapat buku bekas daripada murid kulit putih,
namun mereka tumbuh menjadi dokter, pengacara dan ilmuwan. Ibunya juga bercerita
perihal anak yang lebih muda daripada Barry tetapi sanggup berbaris untuk
kebebasan.
135
Setiap lelaki kulit hitam adalah Thurgood Marshall atau Sidney Poitier. Setiap
perempuan kulit hitam adalah Fanny Lou Hamer atau Lena Horne. Menjadi kulit
hitam adalah pemilik keturunan yang agung, nasib istimewa, beban kejayaan yang
hanya dipikul mereka yang kuat saja.
Dengan asuhan itulah, Barry menjadi bersemangat dan memiliki kesedaran bahawa
yang hitam bukanlah yang kalah dan tertindas tetapi yang penuh daya juang dan yang
merdeka.
Di Jakarta yang panas, Barry yang menjelang usia 10 tahun, tetap melihat bahawa
penjelasan ibunya dan Lolo mengenai dunia belumlah lengkap.
Beliau melihat bahawa dunia itu kejam - suatu pengertian yang tidak dapat difahami
oleh datuk neneknya di Hawaii yang tenang dan jauh dari negara yang terbelakang di
Asia Tenggara.
Beliau juga melihat bahawa ras dan warna kulit tidak lagi menjadi penanda asal usul
belaka. Tetapi lebih mengerikan, ia menjadi prasangka dan rendah diri. Di sini, beliau
berasa bahawa dunia memerlukan perubahan.
Jika Encik Obama benar-benar terpilih menjadi Presiden Amerika, ia bak satu sejarah
dunia kerana orang kulit hitam pertama menerajui negara majoriti kulit putih dan
adikuasa tunggal. Tetapi mungkinkah itu berlaku?
Nota: Penulis lahir di Indonesia, pernah menjadi penyelidik di A*Star dan kini bekerja sebagai
jurutera di sini.
136
MENCINTAI MATEMATIK TANPA KEPERIHAN
Berita Harian, Singapura, 24 April 2008
RAMAI orang, seperti saya, memang tidak suka matematik sejak kecil lagi.
Namun, hari ini sebagai jurutera, matematik merupakan sumber rezeki saya.
Hati saya terbuka kepada matematik apabila menyedari pentingnya subjek ini yang
memiliki banyak kegunaan.
Sesudah membaca dan menulis, setiap orang perlu tahu mengira. Semakin tinggi
bidangnya, semakin canggih cara pengiraan atau disebut matematik.
Pakar ekonomi, jurutera, ahli fizik, akauntan, pilot sehingga juruukur memerlukan
perhitungan matematik walaupun kekerapannya tidak sama.
Cerita matematik ini membuat saya merenung kisah hidup Sufiah Yusof, anak Islam
yang mengagumkan dunia apabila diterima masuk ke Universiti Oxford pada usia 13
tahun.
Namun, 10 tahun kemudian, setelah berkahwin dengan seorang peguam Britain yang
sudah memeluk Islam tetapi sayangnya bercerai pula, tiba-tiba Sufiah dihebohkan oleh
berita sensasi - beliau menjadi seorang pelacur!
Apakah Sufiah silap perkiraan moralnya?
Kata pakar, matematik tidak punya nilai moral kecuali angka-angka yang perlu
ditafsirkan dengan bijaksana.
Matematik di sekolah umumnya bersifat latih tubi mengenai persamaan (equation)
dan bilangan (sums). Hal ini penting, namun yang jauh lebih penting adalah
memastikan seorang anak memahami konsep dan penggunaannya serta
menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Di sekolah rendah, seorang anak perlu dilatih merubah nilai daripada sentimeter
kepada meter dengan mengambil pembaris dan mengukur panjang sisi meja.
Di sekolah menengah, seorang anak perlu mengetahui bahawa pertumbuhan tinggi
badan seseorang itu boleh didekati dengan fungsi kuadratik.
Di maktab rendah, seorang pelajar sudah dapat menghitung isi padu mangkuk dengan
kamilan.
Pengenalan guna pakai atau aplikasi matematik ini perlu disampaikan tanpa tekanan.
Dengan cara ini, matematik menjadi semacam kecintaan seperti yang dialami oleh ahli
matematik yang turut membina tamadun silam Islam - Al-Khwarizmi (penemu
137
algebra dan logarithm), Omar Khayyam sehinggalah Ibn Sina atau sehingga Albert
Einstein.
Apabila anda naik kapal terbang, duduklah di jendela dekat sayapnya. Perhatikan
hujung sayap yang terpesong (defleksi) ke atas namun tidak patah. Mengapakah ini
terjadi? Sebab sayap pesawat ini dikira dengan tepat oleh jurutera dengan
menggunakan aplikasi matematik.
Merenung kejadian alam dengan tidak terkira jumlah planet dan bintang - semua
dapat bergerak menurut orbitnya dengan tepat (tanpa berlanggar), matahari terbit dan
terbenam dan pantulan cahaya purnama, jelas keagungan Ilahi dalam matematik-Nya.
Pemahaman mengenai matematika tidak memerlukan pacuan. Namun, ini yang
berlaku pada Sufiah.
Ayahnya, Farooq Yusof, dan ibunya, Halimaton, menerapkan kaedah belajar pacuan
atau disebut hothousing - anak dilatih untuk tertumpu pada satu mata pelajaran,
biasanya matematik.
Tidak syak, Sufiah dan adik- adiknya memang pintar. Sufiah mencapai prestasi
sehingga diterima oleh Oxford, antara 10 universiti terbaik di dunia.
Di Oxford, Sufiah masih dipacu oleh ibu bapanya sehingga mengeluh tidak
mempunyai banyak teman. Kesan ini dan selanjutnya ketegangan antara ibu bapanya
(bapanya dituduh mencabul murid perempuan dan ibunya kini dalam proses
menuntut cerai) menjejas jiwa Sufiah.
Ibu bapa Sufiah tentu berniat baik untuk masa depan anak- anaknya. Namun, hal ini
mencetuskan keadaan tidak seimbang dalam pertumbuhan Sufiah, termasuk
kekeliruan pada matlamat dan harga dirinya.
Hari ini, ramai orang berdoa, mengharapkan dan mahu menolong Sufiah menjadi
orang yang baik. Kembali ke jalan yang lurus.
Namun, Sufiah yang punya paradigma realistik dan logik tentu bertanya: aku harus
jadi apa?
Penjelmaan menjadi 'yang baik' sukar dirumuskan dalam matematik yang tidak punya
nilai moral.
Nota: Penulis asal Indonesia dan jurutera di sini.
138
MENJEJAKI ORANG JAWA DI SINGAPURA
Oleh
Arief Yudhanto
MINAT saya untuk menjejak orang Jawa di Singapura bermula dengan e-mel pada
awal 2005 yang mengulas makalah saya 'Apakah Jawa itu?' di blog saya
(http://arief.blog.sohu.com/1342281.html) .
Tulisannya dalam krama inggil (bahasa Jawa yang halus yang ditutur orang tua-tua
atau lebih dihormati).
Saya terpegun. Sebabnya, walaupun lahir dan besar di Jawa, saya sukar bertutur
bahasa itu.
Saya berusaha membalas e-melnya dengan bahasa campuran madya dan krama inggil.
'Oh, ternyata bahasa Jawa masih 'hidup' di Singapura,' kata hati kecil saya.
Pada pertengahan 2005, saya singgah di kedai perata dekat Universiti Nasional
Singapura (NUS). Sudah dini hari dan lengang saja. Seorang pekerja lelaki menyapa
untuk mengambil pesanan saya.
Lelaki tadi bertanya dengan loghat Melayu: 'Kamu dari Indonesia?' Saya mengangguk,
dan beliau bertanya lagi: 'Dari Jawa?' Saya mengangguk lagi. Kemudian, dengan tak
terduga, beliau mulai berbicara dalam bahasa Jawa ngoko.
Berusia 40-an, beliau berasal dari Johor. Ayahnya datang dari Jawa dalam dekad 1950-
an, dan menetap di Johor Bahru. Ayahnya kemudian menikahi perempuan Melayu.
Selain bahasa Melayu, keluarganya dapat bertutur Jawa di rumah.
Itulah kali pertama saya mendengar bahasa Jawa dengan pelat Melayu!
Saya geledah Perpustakaan Pusat NUS dan tersua satu laporan ilmiah tulisan Abdul A.
Johari pada tahun 1965 dan rencana oleh Lockard tahun 1971.
Saya difahamkan bahawa orang Jawa didatangkan ke Singapura sejak 1825. Mereka
berasal dari Jawa Tengah. Mereka bekerja buruh kontrak di kebun getah (karet),
landasan kereta api dan pembinaan jalan raya.
Kampong Jawa, di tepi sungai Rochor, ialah pemukiman pertama orang Jawa di
Singapura. Selain itu, mereka mendiami Kallang Airport Estate yang turut
menampung orang Melayu dan Cina (Johari, 1965).
Menurut Lockard (1971), orang Jawa di Kampong Jawa berkembang daripada 38 orang
pada 1825 kepada 5,885 orang pada tahun 1881.
139
Puncak pendudukan orang Jawa ialah tahun 1931 - ada 170,000 orang Jawa diam di
Singapura. Selang 16 tahun kemudian, jumlah orang Jawa menurun dengan banyak -
daripada 169,311 pada 1931 kepada 24,715 pada 1947. Penyebabnya dijelaskan sebagai
berikut:
Kemelesetan ekonomi yang mendorong berdirinya perkebunan skala kecil yang
tidak lagi menggunakan buruh.
Meningkatnya taraf ekonomi dan sosial buruh.
Tekanan antarabangsa yang melarang buruh kontrak.
Daripada Internet, saya menemui perangkaan 1985 yang menunjukkan ada sekitar 800
daripada 21,230 (3.8 peratus) orang Jawa di Singapura masih melestarikan bahasa Jawa.
Kadar kecil ini disebabkan mereka lebih sering menggunakan bahasa pengantar
Melayu atau Inggeris dalam pertuturan harian. Hal ini juga terjadi di beberapa kota di
Indonesia.
Di ibu kota Jakarta, misalnya, kebanyakan orang Jawa lebih berbahasa Indonesia atau
Betawi. Namun mereka masih dapat memahami walaupun sukar bertutur Jawa.
Bahasa Jawa mempunyai tiga peringkat - ngoko, madya dan kromo inggil - dengan
kosa kata, nahu dan makna yang berbeza.
Ngoko biasanya dituturkan secara informal, antara teman sebaya, bos terhadap
bawahan, orang lebih tua kepada orang yang muda.
Madya memiliki tingkat menengah, antara ngoko dan kromo. Madya biasanya
digunakan antara orang asing yang baru kenal.
Kromo ialah gaya yang paling sopan, antara dua orang yang tingkatnya sama dan
menghindari suasana informal, kemudian digunakan dalam pidato, atau diucapkan
orang yang lebih muda kepada orang tua.
Peringkat bahasa Jawa serupa bahasa Jepun dan Korea. Hal ini menyukarkan
pembelajaran bahasa Jawa, terutama yang jauh dari tanah Jawa, seperti di Singapura.
Data bahasa dunia menunjukkan bahawa bahasa Jawa di anak tangga ke-12 sebagai
bahasa yang banyak dipakai di dunia. Penggunanya sekitar 75.5 juta orang itu tersebar
di Indonesia, Malaysia, Singapura, New Caledonia dan Surinam.
Nota: Penulis lahir di Bondowoso, Jawa Timur, dan menetap di Singapura sejak 2003; siswazah
NUS dan kini seorang jurutera di sini.