Date post: | 07-Jan-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
i
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN / PRUDENTIAL BANKING
PRINCIPLE DALAM PEMBERIAN KREDIT MODAL KERJA
DI BPR REDJO BHAWONO
T E S I S
OLEH:
NAMA MAHASISWA : IKA NOVI NUR HIDAYATI, S.H.I.
NO. POKOK MHS. : 12912074
BKU : HUKUM BISNIS
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2015
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan tesisku ini untuk almamaterku tercinta,
Program Studi Magister Ilmu Hukum,
Program Pascasarjana Fakultas Hukum,
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,
Para pembimbingku yang dengan sabar membimbingku, dan
rasa hormat, bakti, serta terima kasihku kepada semua keluargaku tercinta
Ayahanda Suranto dan Ibunda Sumirah yang selalu mendoakanku,
Sepupu-sepupuku Inke, Rosita, Suci, Anis, dan Risma yang selalu jadi
penyemangatku,
Teman-temanku dimanapun kalian berada yang tak henti-hentinya mensupportku,
Terima kasih untuk kalian semua
Persembahan khusus kepada orang yang paling aku sayang,
yang selalu ada di depan saat ku jatuh,
yang selalu membuatku tegar,
yang selalu percaya bahwa aku mampu,
yang selalu sabar menungguku hingga tuntas tanggung jawab ini,
merekalah Bapak dan Mamaku
Aku sadar tanpa doa dan dukungan mereka aku tidak mampu sampai ke titik ini
Dan aku percaya bahwa Tuhan selalu ada untuk umat-Nya yang berniat baik
dan mau berusaha
Tuhan selalu memberikan jalan terbaik menurut versi-Nya
Dan saat ini lah waktu yang tepat untuk aku persembahkan karyaku.
Stay strong, stay steadfast, keep believing that we can rise up even if we have to
fall thousand times, because we had God beside us all the time.
v
PERNYATAAN ORISINALITAS
بســــم هللا الرحمه الرحيم
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ika Novi Nur Hidayati, S.H.I.
NPM : 12912074
BKU : BISNIS
Jenjang Pendidikan : Pascasarjana (S-2)
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis yang berjudul “PENERAPAN
PRINSIP KEHATI-HATIAN/PRUDENTIAL BANKING PRINCIPLE
DALAM PEMBERIAN KREDIT MODAL KERJA DI BPR REDJO
BHAWONO” adalah benar-benar karya dari penulis sendiri, terkecuali bagian-
bagian tertentu yang telah diberikan keterangan pengutipan sebagai etika
akademisi yang berlaku. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa tesis ini bukan
karya penulis, maka penulis siap menerima sanksi akademik sesuai ketentuan
yang berlaku pada Program Pascasarjana (S-2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Yogyakarta, 8 November 2015
Yang Membuat Pernyataan,
IKA NOVI NUR HIDAYATI, S.H.I.
vi
KATA PENGANTAR
بســــم هللا الرحمه الرحيم
ان ال اله اال هللا الحمد هلل رب العــــالميه. وبه وستعيه على أمىر الدويا و الديه. أشهــــد
وأشهــد أن محمدا عبده ورســــىله. اللهم صل و سلم على محمد و على آله و أصحا به أجمعــيه
Syukur Alhamdulillahhirobbil‟alamiin, berkat pertolongan dan hidayah
Allah SWT terhadap hamba-Nya yang sedang menuntut ilmu di Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta, tesis ini akhirnya dapat terselesaikan dengan judul
“PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN/PRUDENTIAL BANKING
PRINCIPLE DALAM PEMBERIAN KREDIT MODAL KERJA DI BPR REDJO
BHWONO”. Meskipun sederhana dan jauh dari kata sempurna, namun penulis
tetap berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan tesis ini. Oleh sebab itu,
penulis senantiasa berharap kepada siapapun yang membaca dan menelaah tesisi
ini berkenan memberikan masukan, saran dan koreksi terhadap apa saja yang
dipandang perlu.
Penulisan tesis ini juga tidak lepas dari doa, bimbingan dan dukungan dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada :
1. Paling pertama dan utama kepada Allah SWT. Dimana atas pertolongan,
bimbingan, kesehatan, maupun ilmu pengetahuan yang diberikan kepada
penulis sehingga terselesaikannya tugas akhir ini.
vii
2. Orang tuaku, Bapak dan Mama yang selalu memberikan doa dan supportnya
setiap waktu hingga aku dapat seperti sekarang ini. Aku sayang kalian.
Sehat selalu dan mudah-mudahan suatu hari nanti anak tunggalmu ini bisa
membuat kalian bangga dan bahagia selalu. Amīn.
3. Prof. Dr. Ridwan Khairandy, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing I yang
selalu sabar memberikan motivasi, arahan, bimbingan, serta waktunya
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
4. Dr. Surach Winarni, S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang selalu
sabar memberikan motivasi, arahan, bimbingan, serta waktunya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
5. Drs. Agus Triyanta, M.A., M.Hum., Ph.D., selaku Ketua Program
Pascasarjana Fakultas Hukum sekaligus penguji tesis yang memberikan
kemudahan kepada penulis hingga penulis dapat mempersembahkan karya
ini.
6. Para teman-teman di akademik Pascasarjana Fakultas Hukum UII yang
selalu membantu penulis dalam proses belajar di kampus hingga lulus.
7. Keluarga besarku yang selalu mendoakanku untuk sukses. Sepupu-
sepupuku, Inke, Rosita, Risma, Anis, Suci, Simbah Mujiraharjo, Simbah
Junaedi, Bule Tarni, Le‟ Kamti, Le‟ Kamto, Om Heri, serta Om Yudi.
8. Bapak Robby Andrian, S.H., M.H., salah satu advokat di Jogja yang telah
membantu saya mencari objek penelitian, hingga akhirnya saya bisa tetap
melanjutkan tesis saya.
viii
9. Bapak Suitbertus Fajar Nugraha selaku marketing di BPR Redjo Bhawono
yang saat ini telah berubah nama menjadi Bank Natasha, yang telah
memberikan kemudahan, waktu, serta bantuannya hingga saya mendapatkan
data-data untuk tesis ini.
10. Noorzana Muji Solikhah, S.H., M.H., sahabat aku yang dari awal hingga
akhir tidak meninggalkanku. Sahabat yang dengan sabar menungguku untuk
lulus. Sahabat diskusiku dan selalu ada, seperti kakak sendiri. Dengan
andilnya, tesis ini pun dapat selesai. Inilah jalan Tuhan, aku dipertemukan
dengan seseorang yang luar biasa, yang membantuku untuk bangkit.
11. Sahabat-sahabatku seperjuangan MH 29 yang selalu kompak dalam
berbagai hal, yang tidak akan dilupakan sampai kapanpun. Erma Suharti,
S.H., Raisa Umami, S.H., Imas Khaeriyah Primasari, SH., M.H., Arie
Gunarti, S.Pd., M.H., Eka Wahyu Sartika, S.H., M.H., Didit Prahara, S.H.,
M.H., Rovi Oktoza, S.H.,M.H., Faik Rahimi, S.H.,M.H., Imam Zubaidi,
S.H., M.H., W. Sidik Rastra Hendra, S.H., Ilham Yuli Isdiyanto, S.H., M.H.,
Widha Sinulingga, S.H., Iman Fauzi, S.H., Nurdinsyah, S.H., Bayu
Mahendra, S.H., M.H., Hasrul Buamona, S.H., M.H., Aga Yurista
Pambayun, S.H., Rizky Maesa, S.H., M.H., Cinthia Mutiara Hapsari, S.H.,
M.H., Sri Widiastuti, S.H., Siti Umi Akhirokh, S.H., M.H., Johan Satya
Adhyaksa, S.H., Teddy Adriansyah, S.H., M.H., Maskhanah, S.H.I., M.H.,
Siti Umi Akhirokh, S.H., M.H., Riky Rustam, S.H., M.H., Melisa Fitria
Dini, S.H., Raja Akbar Nusonegara, S.H., Robbani Ruhullah, S.H.I.,
Kristianto Adi Nugroho S.H., M.H., Lalu Abdul Rahman, S.H., Nurmalita
ix
Ayunintyas, S.H., M.H., Lidya Christina Wardhani, S.H. M.H., Bayu Murti
Ywanjono, S.H., Wahyuni, S.H., M.H., Wira Atma Hajri, S.H., M.H., Roy
Al Minfa, S.H., M.H., dan para sesepuh kami, Bapak Drs. Samudra, M.H.,
Kartika, S.H., M.H. Bambang Priyo Pramodo, S.E., M.H., Moh. Fadly,
S.H., Sutikna, S.H., dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu per
satu. Bahagia bisa mengenal kalian.
12. Sahabat-sahabat di kantor BMT Iqtisaduna Fakultas Ekonomi UII, Mba
Neni, Mba Evi, Mas Candra, serta Mba Yenny di kantor P3EI UII. Terima
kasih atas kerja sama, dukungan, pengertian, serta doanya.
13. Sahabatku Fellisia yang sudah meminjamkan printernya di saat printerku
bermasalah.
14. Sahabatku Tista Maneka Asfinsari, S.Pd. yang selalu menjadi pendengar
setiaku dan kemudian memberikan semangat untuk tetap berjuang.
15. Wentika Sari, sahabat di Komplek Harkit yang selalu mendukungku.
16. Veri Agustina, sahabat sekaligus teman berbagi cerita dan pengalaman yang
mengispirasiku.
17. Para dosen yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepadaku.
18. Untuk kampusku tercinta, yang telah memberikan begitu banyak ilmu.
19. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penulisan tesis ini dari awal hingga akhir.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis memohon balasan atas segala
amal baik, atas bantuan semua pihak hingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis
x
berharap mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan kontribusi, inspirasi,
maupun manfaat, baik bagi penulis sendiri, para pembaca, dan banyak orang.
Amīn.
Yogyakarta, 8 November 2015
Penulis,
Ika Novi Nur Hidayati, S.H.I.
xi
DAFTAR ISI
COVER UTAMA ............................................................................... i
HALAMAN JUDUL .......................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................ iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................ v
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................... xii
ABSTRAK ........................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 12
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 12
D. Tinjauan Pustaka ................................................................. 12
E. Teori/Doktrin ...................................................................... 16
F. Metode Penelitian ............................................................... 25
G. Sistematika Penulisan ......................................................... 27
xii
BAB II PERJANJIAN KREDIT DAN KREDIT BERMASALAH
A. Kredit dan Perjanjian Kredit ............................................. 29
1. Aspek Hukum Positif .................................................. 29
2. Aspek Hukum Islam .................................................... 46
B. Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pemberian Kredit ............... 53
C. Kredit Bermasalah ............................................................ 86
D. Penyelesaian Kredit Bermasalah ...................................... 90
BAB III PELAKSANAAN PRINSIP KEHATI-HATIAN TERHADAP
PEMBERIAN KREDIT MODAL KERJA DI BPR REDJO BHAWONO
A. Pelaksanaan Prinsip Kehati-Hatian Terhadap Pemberian Kredit Modal
Kerja Di BPR Redjo Bhawono .................................................... 103
B. Tambahan Kredit Kepada Debitor Bermasalah Sesuai Dengan Prinsip
Kehati-Hatian ............................................................................... 152
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 166
B. Saran-Saran ................................................................................. 167
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 169
LAMPIRAN------------------------------------------------------------------------ 170
xiii
ABSTRAK
Tesis ini adalah hasil penelitian lapangan tentang penerapan prinsip kehati-
hatian atau prudential banking principle dalam pemberian kredit modal kerja di
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono, yang telah diakuisisi oleh
Natasha Group pada Desember 2014, sehingga saat ini menjadi Bank Natasha.
Latar belakang diadakan penelitian ini karena terdapat kelemahan yang secara
teknis penting untuk diangkat ke permukaan dalam pembenahan pelaksanaannya,
terutama berkaitan dengan pemberian kredit. Alasan mengapa penyusun memilih
penelitian di BPR Redjo Bhawono karena adanya kebijakan dari bank yang
kurang tepat dalam pemberian kredit terhadap kredit bermasalah, yang dalam hal
ini berkaitan dengan salah satu prinsip perbankan yaitu prinsip kehati-hatian.
Adapun pokok masalah yang diteliti dalam tesis ini adalah mengenai
pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit modal kerja pada BPR
Redjo Bhawono dan tindakan bank dalam memberikan tambahan kredit kepada
debitor bermasalah yang dikaitkan pula dengan prinsip kehati-hatian. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan pemberian kredit
di BPR Redjo Bhawono, serta menganalisisnya apakah sesuai dengan prinsip
kehati-hatian atau tidak, sebagaimana terkandung dalam Undang-Undang
Perbankan.
Dalam tesis ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu
membahas tentang pelaksanaan pemberian kredit modal kerja di BPR Redjo
Bhawono dan pemberian kredit terhadap kredit bermasalah, kemudian
menganalisisnya menggunakan Prinsip 5C dan 7 P. Sifat dari penelitian ini adalah
deskriptif-analisis, yaitu memaparkan bagaimana pelaksanaan prinsip kehati-
hatian di BPR Redjo Bhawono, apakah telah sesuai atau tidak dengan prinsip
kehati-hatian tentunya dengan melihat dari teori-teori yang ada dan data-data yang
diperoleh penulis. Baik melalui observasi atau pengamatan, interview atau
wawancara, dokumentasi. Setelah semua data-data terkumpul, kemudian dianalis
secara kualitatif, yaitu analisis berdasarkan data-data yang diperoleh, selanjutnya
data-data tersebut dipilih-pilih dan dianalisis menggunakan metode induksi, untuk
memperoleh kesimpulan umum tentang penerapan prinsip kehati-hatian dalam
pemberian kredit modal kerja BPR Redjo Bhawono.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa pelaksanaan prinsip kehati-
hatian dalam pemberian kredit belum dilakukan secara maksimal. Prinsip 5 C dan
7P berusaha diterapkan pada BPR Redjo Bhawono, namun tidak semua perjanjian
kredit berjalan lancar. Dalam hal ini, ada prinsip profitability yang terabaikan,
yaitu kemampuan nasabah dalam mencari laba. Sedangkan mengenai tindakan
bank dalam memberikan tambahan kredit kepada debitor bermasalah dalam kasus
ini bank mengabaikan prinsip capacity, yaitu kemampuan nasabah dalam
membayar kreditnya. Kemampuan nasabah untuk membayar kreditnya perlu
dianalisis dengan cermat, sehingga tidak mengalami macet hingga berturut-turut.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini perkembangan perekonomian Indonesia begitu pesat. Hal
ini merupakan perkembangan yang positif untuk terus berupaya
mengembangkan bisnis-bisnis yang berdampak pada ekonomi masyarakat.
Salah satunya adalah peran aktif dari perbankan untuk membantu
masyarakat. Bank sebagai perantara dalam menghimpun dana dari
masyarakat dan sebagai penyalur dana bagi masyarakat yang
membutuhkan, atau sebagai lalu lintas pembayaran, membuat bank
menjadi peranan penting dalam kehidupan masyarakat.
Di Indonesia, lembaga perbankan memiliki visi dan fungsi sebagai
agen pembangunan, yaitu sebagai lembaga yang bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.1 Tidak dapat dipungkiri bahwa
perekonomian masyarakat dipengaruhi oleh peran perbankan, salah
satunya dalam memberikan suatu kredit ataupun pelayanan jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
1
Tujuan Perbankan Nasional seperti yang tertera dalam Pasal 2 Undang-Undang
Perbankan.
2
Di Indonesia, keberadaan jenis bank dikelompokkan menjadi dua
jenis bank, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank Umum
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
atau berbasis syari‟ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran.2 Adapun pengertian Bank Perkreditan Rakyat
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syari‟ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran.3
Perbankan di Indonesia memiliki banyak inovasi dalam pemberian
kredit terhadap nasabah. Pemberian kredit yang dilakukan bank sesuai
dengan perjanjian yang disepakati kedua belah pihak. Perjanjian dalam
KUH Perdata adalah suatu peristiwa dimana A dan B berjanji untuk
melaksanakan suatu hal hubungan antara A dan B akan menimbulkan
perikatan.4 Perjanjian dikatakan sah bila kedua belah pihak telah sepakat
untuk saling mengikatkan diri. Jika pengertian perjanjian itu dikaitkan
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata maka terlihat
jelas bahwa perjanjian itu harus didasarkan atas kesepakatan para pihak,
yang dalam hal ini harus dilakukan sedikitnya dua orang atau lebih untuk
masing-masing saling mengikatkan diri. Salah satu kegiatan yang
diberikan bank terhadap nasabah adalah mengenai pemberian kredit.
2
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 3Ibid.
4Pasal 1313.
3
Pengertian kredit secara yuridis adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga. 5 Intisari dari kredit sebenarnya adalah
kepercayaan, suatu unsur yang harus dipegang sebagai benang merah
melintasi falsafah perkreditan dalam arti sebenarnya, bagaimana bentuk,
macam, dan ragamnya, dan dari mana pun asalnya serta kepada siapapun
diberikannya.6 Hubungan hukum antara pemberi kredit dalam hal ini Bank
(kreditor) dan penerima kredit dalam hal ini nasabah (debitor), didasarkan
kepada perjanjian yang dalam praktik perbankan dikenal sebagai
perjanjian kredit Bank.
Nasabah mengajukan kredit kepada bank dengan mengisi form
yang telah disedikan bank. Sebelum kredit yang diajukan nasabah
disetujui, bank melakukan beberapa analisis. Untuk memperoleh
keyakinan mengenai kredit tersebut, bank harus melakukan penilaian
secara seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek
usaha debitor atau dalam praktik perbankan dikenal dengan istilah the five
C’s yang terdiri dari unsur character, cafacity, capital, collateral, and
condition of economic.7
Pertama, mengenai character, seperti telah
5Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan.
6Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cetakan Kedua (Bandung: CV. Mandar Maju,
2008), hlm 51. 7
http://topihukum.blogspot.com/2013/08/aspek-hukum-jaminan-hak-tanggungan.html,
Akses 27 Mei 2014.
4
diuraikan di muka dasar dari suatu pemberian kredit adalah atas dasar
kepercayaan, jadi yang mendasari suatu kepercayaan yaitu adanya
keyakinan dari pihak bank bahwa si peminjam mempunyai moral, watak,
ataupun sifat pribadi yang positif dan kooperatif dan juga mempunyai
tanggung jawab baik dalam kehidupan pribadi sebagai manusia,
kehidupannya sebagai masyarakat ataupun dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Manfaat dari penilaian soal character ini untuk mengetahui
sampai sejauh mana tingkat kejujuran dan integritas serta tekad baik yaitu
kemauan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya dari calon debitor.
Kedua, mengenai capacity (kemampuan), yang dimaksud capacity di sini
adalah suatu penilaian kepada calon debitor mengenai kemampuan
melunasi kewajiban-kewajibannya dari kegiatan usaha yang dilakukannya
atau kegiatan usaha yang akan dilakukannya, yang akan dibiayai dari
kredit bank. Jadi, penilaian mengenai kemampuan di sini untuk menilai
sampai di mana hasil usaha yang akan diperolehnya tersebut akan mampu
untuk melunasinya tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakatinya. Ketiga,Capital, yaitu dana/modal sendiri yang
dimiliki nasabah. Keempat, Collateral, yaitu barang-barang jaminan yang
diserahkan oleh peminjam/debitor sebagai jaminan atas kredit yang
diterimanya. Manfaat collateral yaitu sebagai sifat pengaman apabila
usaha yang dibiayai dengan kredit tersebut gagal atau sebab-sebab lain
dimana debitor tidak mampu melunasi kreditnya dari hasil usahanya yang
normal. Jaminan yang diserahkan nasabah ke bank, apakah mampu
5
mengcover kredit yang diajukan atau tidak. Kelima, Condition of
economy, yaitu situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan
lain-lain yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat
maupun untuk kurun waktu tertentu yang kemungkinannya akan dapat
mempengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan yang memperoleh kredit.
Hal ini agar angsuran yang diterima nasabah tidak membebani
keberlangsungan ekonomi nasabah, oleh karena itu bank harus berhati-hati
dalam memberikan kredit kepada nasabah. Dalam hal ini, analisis kredit
yang cermat dan teliti diperlukan untuk memutuskan apakah suatu kredit
itu diterima atau tidak.
Pembuatan dan penyusunan analisis kredit dalam rangka
pemberian kredit perbankan merupakan salah satu bagian dalam
melaksanakan prinsip kehati-hatian.8 Dengan demikian, analisis kredit
mempunyai peranan yang penting dalam pemberian kredit dan berfungsi
antara lain untuk mengetahui kelayakan permohonan kredit dan usahanya,
kemampuan dan kesanggupan yang bersangkutan untuk melunasi
kreditnya, serta resiko yang terkait dan yang mungkin timbul sehubungan
dengan pemberian kredit tersebut. Bank sebagai penyalur dana dari
masyarakat tentu saja harus berhati-hati dalam memberikan kreditnya.
Resiko-resiko yang mungkin timbul dari pemberian kredit tersebut juga
harus menjadi pertimbangan bank. Bank sebagai bisnis penuh resiko
8Budi Untung, Analisis kredit Perbankan Tinjauan secara legal, (Yogyakarta: Andi
Offset, 2011), hlm 1.
6
sewajarnya menerapkan prinsip kehati-hatian agar dapat meningkatkan
kepercayaan nasabah kepada bank dan dapat mencegah kerugian bank.
Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menyatakan bahwa
bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang
dipercayakan padanya. Prinsip kehati-hatian diatur dalam Undang-Undang
Perbankan Pasal 2 yang menjelaskan bahwa:
“Asas, fungsi, dan tujuan perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-
hatian.” Kemudian dalam Pasal 29 ayat (2) juga dijelaskan bahwa:
” Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha
bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-
hatian.”
Prinsip kehati-hatian dalam sistem perbankan digunakan sebagai
perlindungan tidak langsung oleh pihak bank terhadap kepentingan-
kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya, serta dalam penyaluran
kredit.9 Jadi, prinsip kehati-hatian dalam perbankan merupakan suatu asas
atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan
kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati dalam rangka melindungi dana
dari masyarakat yang dipercayakan kepada bank yang bersangkutan.
Dalam karya tulis ini, penulis mengambil salah satu BPR di
Yogyakarta, yaitu BPR Redjo Bhawono. PT. BPR Redjo Bhawono adalah
9
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33702/3/Chapter%20II.pdf, akses 17
Desember 2014, Pukul 06.04 WIB.
7
perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan, sebagai Lembaga
Intermediasi, telah memenuhi aturan perundang-undangan Perbankan,
peraturan Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan, sebagai
Badan hukum didirikan berdasarkan Akte Anggaran Dasar, BPR Redjo
Bhawono didirikan dengan Akta Notaris No. 1 Tanggal 03 Maret 1989,
dan telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BPR ini didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan perekonomian di
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di wilayah Kabupaten
Sleman. Berdiri sejak tahun 1990 dengan segala dinamikanya, BPR Redjo
Bhawono telah ikut mewarnai pertumbuhan usaha di Yogyakarta.
Keunggulan BPR ini adalah proses pencairan kredit yang cepat, dengan
catatan jaminan yang diberikan adalah jaminan atas nama sendiri dan
berupa barang bergerak. Selain itu, proses yang dibuat simple merupakan
keunggulan berikutnya, seperti kelengkapan berkas yang tidak perlu
dilampirkan. Dalam hal ini, berkas pembukuan keuangan usaha yang
dimiliki nasabah tidak harus dilampirkan. Dalam perkembangannya BPR
ini telah diakuisisi oleh Natasha Group pada Desember 2014. Hal ini
dikarenakan BPR Redjo Bhawono ingin mengembangkan diri, sehingga
modal yang dimiliki harus lebih kuat. Oleh karena itu, BPR Redjo
Bhawono diakuisisi oleh Natasha Group dan saat ini berganti nama
menjadi Bank Natasha. Meskipun BPR ini telah diakuisisi, namun tidak
ada yang berubah dari segala aktivitas perbankannya.
8
Pada BPR Redjo Bhawono Yogyakarta pemberian kredit dilakukan
dengan menggunakan bunga yang berbeda-beda. Perbedaan bunga itu
dilakukan untuk menjamin hubungan baik antara nasabah dengan bank,
maupun sebaliknya. Setiap peminjaman, nasabah diharuskan untuk
memberikan jaminan kepada bank sebagai bentuk kepercayaan bank
terhadap nasabah.
Pada perjanjian kredit no. 573/PKRB/VII/09, bank memberikan
kredit kepada nasabah, yaitu Tn. A dengan kredit sebesar Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), bunga 1,7 % (satu koma
tujuh) flat tiap bulan untuk modal usaha dengan menggunakan tanah
seluas 612 m2 (enam ratus dua belas) sebagai jaminan atas kredit tersebut.
Bank memberikan jangka waktu 84 bulan (delapan puluh empat), yaitu
mulai 28 Juli 2009 sampai 28 Juli 2016 untuk nasabah melunasi hutang-
hutangnya.10
Dalam perjalanannya, ternyata usaha Tn. A tidak berjalan
dengan baik sehingga mengalami kredit macet. Jaminan yang diserahkan
ke bank telah diberikan hak tanggungan, sehingga bank berhak atas
jaminan tersebut. Sebagaimana dijelaskan bahwa hak tanggungan sebagai
hak jaminan dilahirkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tepatnya pada
Pasal 51 dan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
Hak tanggungan adalah penguasaan atas tanah, berisikan kewenangan
kreditor untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan,
10
Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 21 April
2014.
9
tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk
menjualnya jika debitor cidera janji dan mengambil dari hasilnya
seluruhnya atau sebagian pembayaran lunas hutang debitor kepadanya.11
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) menjelaskan
mengenai definisi hak tanggungan, yaitu hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kadudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Fenomena yang menarik adalah ketika kredit pertama Tn. A
mengalami macet, bank justru memberikan kredit kembali kepada Tn. A.
Kredit yang diberikan bank kepada Tn. A tidak sedikit, yaitu sebesar Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan bunga 1,5 % (satu koma lima
persen) flat tiap bulan, dengan menggunakan agunan yang sama, yaitu
tanah seluas 612 m2 (enam ratus dua belas).
Kredit yang diberikan Bank kepada Tn. A keduanya tidak berjalan
dengan baik. Kredit pertama maupun kedua mengalami kemacetan. Dalam
hubungan perutangan dimana ada kewajiban berprestasi dari debitor dan
hak atas prestasi dari kreditor hubungan hukum akan lancar terlaksana jika
masing-masing pihak memenuhi kewajibannya. Namun, dalam hubungan
11
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=220&Ite
mid=220., Akses 20 April 2014.
10
perutangan yang sudah dapat ditagih jika debitor tidak memenuhi prestasi
secara suka rela, kreditor mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan
piutangnya terhadap harta kekayaan debitor yang dipakai sebagai
jaminan.12
Jaminan yang diberikan hak tanggungan dapat membereskan
dan menyelesaikan pembayaran utang debitor kepada kreditor,
sebagaimana bunyi Pasal 1 angka (1) dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996:
”Apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak
untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum
menurut peraturan yang berlaku dan mengambil perlunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditor-
kreditor lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditor
pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah.”
Dari itu lah jaminan yang diberikan Tn. A kepada bank dapat dilelang
karena Tn. A tidak memenuhi kewajibannya.
Permasalahan mucul ketika bank memberikan kredit pertama dan
pihak bank sudah dapat mengetahui bahwa kredit tersebut mengalami
kemacetan, seharusnya bank sudah dapat menilai bagaimana track record
kredit nasabah, namun bank tetap memberikan kredit kembali dan
akhirnya mengalami kasus serupa, yaitu kemacetan. Dalam hal ini, prinsip
kehati-hatian sangat diperlukan bank dalam memberikan kredit ke nasabah
karena sumber dana kredit yang disalurkan bukan semata-mata milik bank,
namun dana yang berasal dari masyarakat, sehingga perlu penerapan
12
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan Dan Hukum Perorangan, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Liberty Ofset, 1980), hlm 31-
32.
11
prinsip kehati-hatian melalui analisa yang akurat dan mendalam,
penyaluran yang tepat, pengawasan, dan pemantauan yang baik, perjanjian
yang sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan jaminan yang kuat dan
dokumentasi Perkreditan yang teratur dan lengkap. Hal-hal demikian
bertujuan agar kredit yang disalurkan dapat kembali tepat pada waktunya
sesuai dengan perjanjian yang ada. Apabila kredit yang telah disalurkan
tidak kembali tepat pada waktunya, maka kualitas kredit dapat
digolongkan sebagai kredit macet. Jika sudah ada kredit macet secara
langsung telah menurunkan citra dan kredibilitas bank di mata publik.
Dalam perjanjian kredit yang dilakukan salah satu nasabah,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pada BPR Redjo Bhawono kredit
yang disalurkan mengabaikan prinsip kehati-hatian. Hal ini terbukti ketika
2 (dua) kredit yang diajukan mengalami kredit macet. Persoalannya
adalah ketika prinsip kehati-hatian harus diterapkan, BPR Redjo Bhawono
justru memberikan kredit kembali tanpa memperhatikan track record
kredit nasabah yang pernah diajukan. Problem hukum yang muncul adalah
prinsip kehati-hatian yang dibaikan sehingga memunculkan kredit macet
bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 2,
dimana pada pasal ini prinsip kehati-hatian harus diperhatikan.
Berlatar belakang seperti itu lah, maka penyusun tertarik untuk
menelitinya lebih lanjut dalam bentuk tesis dengan judul, “Penerapan
Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking Principle) Dalam Pemberian
Kredit Modal Kerja di BPR Redjo Bhawono”.
12
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas penyusun mengidentifikasi
pokok masalah yang akan diteliti dan akan dibahas dalam tesis ini. Adapun
pokok masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan prinsip kehati-hatian diaplikasikan dalam
pemberian kredit modal kerja pada BPR Redjo Bhawono?
2. Apakah tindakan bank dalam memberikan tambahan kredit kepada
debitor bermasalah sesuai dengan prinsip kehati-hatian?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan prinsip kehati-hati dalam pemberian
kredit pada BPR Redjo Bhawono.
2. Untuk mengetahui tindakan bank dalam memberikan kredit tambahan
terhadap kredit bermasalah sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari kesamaan atau duplikasi terhadap karya ilmiah
yang sudah ada, ternyata ada beberapa karya ilmiah yang mengkaji
masalah prinsip kehati-hatian, namun dalam substansinya berbeda. Penulis
menemukannya dalam karya ilmiah milik Rahmad Perwira Ayang
berjudul “ Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Perjanjian Kredit Untuk
Mencegah Terjadinya Kredit Bermasalah Pada Bank Pembangunan
13
Daerah Jambi”. Dalam hal ini penyusun lebih membahas tentang
penerapan prinsip kehati-hatian dalam perjanjian kredit pada Bank
Pembangunan Daerah Jambi untuk mencegah terjadinya kredit
bermasalah, serta penyelesaiannya. Pada tesis ini dijelaskan bahwa Bank
Pembangunan Daerah Jambi menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
pemberian kredit. Hal ini terbukti dengan proses penyaluran kredit yang
memperhatikan aspek-aspek, seperti, aspek yuridis, aspek pemasaran,
aspek jaminan, aspek teknis, aspek sosial ekonomi, aspek dampak
lingkungan, dan aspek keuangan dari calon debitor. Penyelesaian kredit
bermasalah pada bank ini dilakukan dengan pembentukan devisi khusus
penyelamatan kredit yang bertugas untuk menangani penyelamatan kredit
bermasalah.
Dalam karya lain yang ditulis Dhafina Adani dengan judul, “
Tinjauan Hukum Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Praktek Akuisi
PT. Bank Rakyat Indonesia Terhadap PT. Bank Argoniaga”. Karya ini
berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia No. 7/1/PBI/2005 dan Surat
Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 yang pada
prinsipnya mengatur penyelamatan kredit bermasalah sebelum
diselesaikan melalui lembaga hukum, yaitu melalui alternatif penanganan
secara penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali
(reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Dalam hal ini
penulis menjelaskan mengenai pengaturan dan pelaksanaan prinsip kehati-
hatian dalam praktek akuisi PT. Bank Rakyat Indonesia (persero), Tbk.
14
Terhadap PT. Bank Agroniaga, Tbk. Penulis dalam skripsi ini menjelaskan
bahwa dalam melakukan akuisisi terhadap Bank Agroniaga sebagai
subyek hukum telah berasaskan pada KUH Perdata, Bank Rakyat
Indonesia sebagai Perseroan Terbatas telah berdasarkan pada Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas jo Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan
Pengambilalihan Perseroan Terbatas.
Penulis juga menemukan bahasan yang sama dalam Skripsi Luk
Luk Rafiqul Huda dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang
berjudul, “Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pemberian Kredit Pada
Bank Pembangunan Daerah Cabang Pembantu Godean”. Dalam skripsi ini
dijelaskan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam proses
pemberian kredit oleh BPD Capem Godean, serta mengenai faktor-faktor
yang menjadi kendala dalam penerapan prinsip kehati-hatian. Dalam hal
ini, penerapan prinsip kehati-hatian pada BPD Capem berdasarkan pada
proses perkreditan yang sehat, yang melipui analisis kredit yang benar dan
obyektif, perjanjian kredit secara tertulis, adanya pengikatan jaminan,
adanya dokumentasi dan administrasi kredit yang lengkap, dan
pengawasan kredit. Selain itu, BPD Capem Godean juga menerapkan
ketentuan yang terkait prinsip kehati-hatian yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, yang melipui Batas Maksimum Pemberian Kredit ( BMPK ),
restrukturisasi kredit, dan menghindari pemberian kredit untuk kegiatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Faktor-faktor
15
yang menjadi kendala penerapan prinsip kehati-hatian ini berasal dari
pihak bank sendiri dan dari pihak masyarakat. Kendala dari pihak bank
berupa kurangnya sumber daya manusia dan prosedur pemberian kredit.
Sedangkan kendala yang berasal dari masyarakat adalah kurangnya
pengetahuan mengenai prinsip kehati-hatian dari masyarakat pengguna
kredit yang tidak sesuai, dan informasi yang tidak benar dari debitor.
Penulis menemukan pula pada tesis milik Mohammad Reza dari
Magister Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada yang berjudul,” Peranan
Bank Indonesia Dalam Mengatur Dan Mengawasi Pelaksanaan Prinsip
Kehati-Hatian Dalam Program Kredit Usaha Rakyat ( KUR ). Dalam hal
ini penulis membahas mengenai pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam
program KUR dan peranan Bank Indonesia dalam mengatur dan
mengawasi pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Dalam program KUR
terdapat pelanggaran salah satu unsur dalam Prinsip 5 C (Character,
Capacity, Capital, Collateral, dan Condition of Economy), yaitu prinsip
collateral (agunan), khususnya agunan tambahan yang berdasarkan Nota
kesepahaman Bersama tentang Penjaminan Kredit/Kredit kepada UMKM,
Koperasi. Peranan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi
pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam program KUR ini adalah berupa
penerapan peraturan yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang
menyangkut tentang usaha memberikan kredit dan menyediakan Kredit
berdasarkan prinsip syari‟ah.
16
E. Teori/Doktrin
Prinsip kehati-hatian adalah suatu asas atau prinsip yang
menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan
usahanya wajib bersikap hati-hati dalam rangka melindungi dana
masyarakat yang dipercayakan padanya.13
Pemberian kredit oleh bank merupakan unsur terbesar dari
aktiva bank, yang juga sebagai aset utama serta sekaligus menentukan
maju mundurnya bank yang bersangkutan dalam menjalankan fungsi
dan usahanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Di
samping menjalankan fungsi pengerahan dana masyarakat, bank juga
menjalankan fungsi sebagai lembaga kredit sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 6 huruf b dan Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998. Dalam kenyataanya, kredit yang diberikan bank tadi
sebagian besar tidak dapat dikembalikan secara utuh oleh nasabah
debitornya, yang membawa risiko usaha bagi bank yang bersangkutan,
akhirnya menimbulkan kredit-kredit macet. Oleh karena itu, bank
dalam memberikan kredit harus melakukannya berdasarkan analisis
pemberian kredit yang memadai, agar kredit-kredit yang diberikan oleh
bank itu adalah kredit-kredit yang tidak mudah menjadi kredit-kredit
macet. Berdasarkan kepada prinsip kehati-hatian ini, maka bank dalam
memberikan kredit tersebut harus memperhatikan jaminan pemberian
13
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm 18.
17
kredit atau Kredit berdasarkan Prinsip Syariah, dalam arti keyakinan
atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi
kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.14
Pemberian kredit yang dilakukan oleh suatu bank hendaknya
dilaksanakan secara berhati-hati. Pedoman perkreditan yang
dikeluarkan Bank Indonesia sebagai mana tertuang di dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEPDIR, tanggal
31 Maret 1995, wajib dijalankan dan ditaati oleh semua bank yang
menjalankan usahanya di Indonesia. Pedoman tersebut merupakan
panduan agar bank mampu mengawasi portofolio perkreditan secara
keseluruhan dan menetapkan standar dalam proses pemberian kredit.
Di sini tugas dari manajemen bank adalah mengelola transaksi
kredit, memeriksa resiko kredit dan menagih piutang. Jadi, suatu
perjanjian kredit mengandung unsur kepercayaan dan unsur waktu.
Maksud dari kepercayaan di sini adalah adanya kepercayaan dari
pemberi kredit (bank) kepada pihak penerima kredit (debitor) akan
kemampuan debitor dalam memenuhi janji untuk membayar
hutangnya. Unsur waktu di sini adalah sebelum debitor memenuhi janji
pada waktunya nanti, maka pihak kreditor selalu mempunyai resiko
untuk tidak dibayar piutangnya.15
14
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), hlm 270. 15
Murti Sumarni dan John Soeprihanto, Pengantar Bisnis (Dasar-Dasar Ekonomi
Perusahaan), Cetakan Keempat (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), hlm 119.
18
Oleh karena dana yang disalurkan oleh bank merupakan dana
masyarakat maka pada waktu menyalurkan kredit bank harus
memenuhi 5 hal, character, capacity, capital, colleteral, dan condition
of economy. Secara singkat dijelaskan Capacity adalah kemampuan
debitor menghasilkan keuntungan atau profit. Capital adalah modal
awal yang dimiliki oleh debitor pada saat mengajukan kredit.
Colleteral merupakan jaminan yang diberikan oleh debitor terhadap
bank. Condition of economy yaitu keadaan ekonomi pada waktu kredit
bank itu akan disalurkan.16
Kelima hal atau five C credit ini merupakan
wujud nyata dari prinsip kehati-hatian atau prudent banking harus
menjadi acuan pokok dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga
intermediarti yaitu lembaga perantara antara pihak yang berlebihan
uang (nasabah kreditor) dengan pihak yang membutuhkan uang
(nasabah debitor).
Dalam menyalurkan kredit, bank harus meminta jaminan atau
agunan dari nasabah debitor. Jaminan tersebut dapat berupa jaminan
umum, jaminan pokok, dan jaminan tambahan. Jaminan umum adalah
jaminan yang tidak pernah diperjanjikan namun melekat pada diri
debitor sebagaimana tertuang dalam Pasal 1131 KUHPerdata bahwa
segala kebendaan debitor baik yang ada sekarang maupun yang akan
ada di kemudian hari, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik
berwujud maupun tidak berwujud menjadi jaminan bagi pelunasan
16
Sudaryat, Hukum Bisnis Suatu Pengantar, Cetakan Kesatu (Bandung: Jendela Mas
Pustaka, 2008), hlm 74.
19
utangnya. Jaminan pokok adalah jaminan untuk apa kredit itu
dimohonkan. Sedangkan jaminan tambahan adalah jaminan yang
diminta oleh bank di saat jaminan umum dan jaminan pokok tidak
mencukupi.
Pada Pasal 8 Undang-Undang Perbankan dapat dijabaran lebih
lanjut mengenai asas-asas perkreditan yang sehat dan prinsip kehati-
hatian dalam kaitannya dengan pemberian kredit, yaitu:
1. Mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas
iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk
melunasi utangnya atau mengembalikan Kredit dimaksud sesuai
dengan yang diperjanjikan.
2. Memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan Kredit
berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang
diterapkan oleh Bank Indonesia.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 2 berbunyi:
“Asas, fungsi, dan tujuan perbankan Indonesia dalam melakukan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan
prinsip kehati-hatian.”
Kemudian dalam Pasal 29 ayat (2) juga berbunyi,
”Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang
berhubungn dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”
20
Dalam memberikan kredit terdapat beberapa unsur yang harus
diperhatikan, diantaranya:17
1. Kepercayan
Yaitu suatu keyakinan pemberi kredit (bank) bahwa kredit yang
diberikan baik berupa uang, barang, atau jasa akan benar-benar
diterima kembali di masa tertentu di masa datang.
2. Kesepakatan
Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian di mana
masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya
masing-masing.
3. Jangka waktu
Setiap kredit yang diberikan pasti memiliki jangka waktu tertentu,
jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah
disepakati.
4. Risiko
Faktor resiko kerugian dapat diakibatkan dua hal, yaitu risiko
kerugian yang diakibatkan nasabah sengaja tidak mau membayar
kreditnya padahal mampu dan risiko kerugian yang diakibatkan
17
Kasmir, Manajemen Perbankan Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2012), hlm 84-85.
21
karena nasabah tidak sengaja, yaitu terjadinya musibah seperti
bencana alam.
5. Balas Jasa
Akibat dari pemberian fasilitas kredit bank tentu mengharapkan
suatu keuntungan dalam jumlah tertentu. Keuntungan atas
pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang dikenal dengan
nama bunga bagi bank konvensional. Balas jasa dalam bentuk
bunga, biaya provisi dan komisi, serta biaya administrasi kredit ini
merupakan keuntungan utama bank.
Ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip
kehati-hatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi
penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan, guna mewujudkan
sistem perbankan yang sehat. Indikator-indikator kesehatan
perbankan dapat diketahui dari total aset, rasio kecukupan modal
(Capital Adequacy Ratio/CAR), kredit bermasalah (non performing
loans/NPL), dan LDR (Loan to deposit ratio).18
Selain formula 5
C, terdapat pula formula 4P, yaitu Personality, Purpose, Prospect,
and payment. Sedangkan formula 3 R terdiri dari Returns,
Repayment, dan Risk Bearing Ability. Berbagai ketentuan tersebut
18
Kompas cetak, “Empat Indikator Sederhana Untuk Memilih Bank, Kamis, 6 Maret
2003, diakses dari http//www2.kompas.com/kompas-cetak/0303/06/Investasi/165676.htm, dikutip
dari tesis Mohammad Reza, “ Peranan Bank Indonesia Dalam Mengatur Dan Mengawasi
Pelaksanan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Program Kredit Usaha Rakyat ( KUR ), hlm 4.
22
mempersyaratkan beberapa hal yang harus diperhatikan bank
dalam memberikan kredit kepada nasabah.
Menurut Kasmir bahwa penilaian kredit dilengkapi dengan
istilah 7 P, yaitu:
1. Personality
Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah laku
sehari-hari maupun masa lalunya. Personality juga mencakup
sikap, emosi, tingkah laku, dan tindakan nasabah dalam
menghadapi suatu masalah. Personality hampir sama dengan
character dari 5C.
2. Party
Yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu
atau golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas,
serta karakternya, sehingga nasabah dapat digolongkan ke
golongan tertentu dan akan mendapatkan fasilitas kredit yang
berbeda pula dari bank. Kredit untuk pengusaha lemah sangat
berbeda dengan kredit untuk pengusaha yang kuat modalnya, baik
dari segi jumlah, bunga, dan persyaratan lainnya.
3. Perpose
Yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit,
termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah. Tujuan
pengambilan kredit dapat bermacam-macam apakah untuk tujuan
konsumtif, produktif, atau perdagangan.
23
4. Prospect
Yaitu untuk menilai usaha nasabah di masa yang akan datang
apakah menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain
mempunyai prospek atau sebaliknya. Hal ini penting mengingat
jika suatu fasilitas kredit yang dibiayai tanpa mempunyai prospek,
bukan hanya bank yang rugi, tetapi juga nasabah.
5. Payment
Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit
yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk
pengembalian kredit yang diperolehnya. Semakin banyak smber
penghasilan debitor, akan semakin baik sehingga jika salah satu
usahanya merugi akan dapat dtutupi oleh sektor lainnya.
6. Profitability
Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam
mencari laba. Profitability diukur dari periode ke periode apakah
akan tetap sama atau akan semakin meningkat, apalagi dengan
tambahan kredit yang akan diperolehnya dari bank.
7. Protection
Tujuannya adalah bagaimana menjaga kredit yang dikucurkan oleh
bank, tetapi melalui suatu perlindungan. Perlindungan dapat berupa
jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi.
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur pokok-pokok
kegiatan usaha bank pada umumnya serta berkaitan dengan
24
pemberian kredit atau kredit berdasarkan prinsip syariah yang
dilaksanakan oleh bank antara lain diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum
Pemberian Kredit Bank Umum, yang telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/13/PBI/2007. Selain itu,
terdapat pula peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah19
yang dibuat dengan pertimbangan bahwa
salah satu upaya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian adalah
dengan menerapkan prinsip mengenal nasabah. Kemudian terdapat
pula Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/8/PBI/2005 tentang
Sistem Informasi Debitor20
yang memiliki fungsi menunjang
kelancaran proses kredit dan penerapan manajemen risiko kredit
yang efektif serta ketersediaan informasi kualitas debitor. Dalam
proses kredit, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitor
dapat mendukung percepatan proses analisa dan pengambilan
keputusan pemberian kredit. Untuk kepentingan manajemen resiko,
sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitor dibutuhkan
untuk menentukan profil resiko kredit debitor. Selain itu,
tersedianya informasi kualitas debitor, diperlukan juga untuk
19
Diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 serta perubahannya
untuk Bank Umum, dan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 untuk Bank
Perkreditan Rakyat. 20
Peraturan ini telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/14/PBI/2007.
25
melakukan sinkronisasi penilaian kualitas debitor di antara bank
pelapor.21
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam pendekatan penelitian ini, penyusun menggunakan
pendekatan yuridis normatif. Pendekatan normatif untuk membahas
mengenai penyelesaian kredit bermasalah dengan jaminan hak
tanggungan.
2. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah penerapan prinsip kehati-hatian di BPR
Redjo Bhawono.
3. Data Penelitian atau Bahan hukum
Data dalam penelitian ini berupa bahan hukum primer, sekunder,
dan tertier.
a. Bahan hukum primer merupakan bahan pustaka yang berisikan
peraturan-peraturan, yang terdiri dari:
1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
2) Peraturan BI No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum
Pemberian Kredit Bank Umum yang telah diubah menjadi
Peraturan BI No. 8/13/PBI/2007.
21
Mohammad Reza, Peranan Bank Indonesia Dalam Mengatur dan Mengawasi
Pelaksanaan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Program Kredit Usaha Rakyat (KUR), tesis
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 201), hlm 22.
26
3) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/14/PBI/2007 tentang
Sistem Informasi Debitor.
4) Surat Keputusan (SK) Direktur Bank Indonesia No.
27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Pedoman
Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank.
b. Bahan hukum sekunder terdiri dari hasil-hasil penelitian, hasil
karya dari kalangan umum, buku-buku ilmiah, makalah-makalah,
jurnal-jurnal, serta artikel-artikel.
c. Bahan tersier terdiri dari kamus dan ensiklopedia.
4. Pengolahan dan Penyajian Data Penelitian atau Bahan Hukum
Pengolahan dan penyajian data dilakukan dengan field Research,
yaitu penelitian lapangan. Maksudnya adalah penelitian yang data
maupun informasinya bersumber dari lapangan yang digali secara
intensif yang disertai dengan analisa dan pengujian kembali atas semua
data atau informasi yang telah dikumpulkan.22
Data yang dimaksud di
sini adalah data yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip kehati-
hatian di BPR Redjo Bhawono.
5. Analisis atau Pembahasan
Analisis atau pembahasan pada penelitian ini adalah dengan
menjabarkan pelaksanaan pemberian kredit di BPR Redjo Bhawono,
22Gorys Keral, Komposisi, Cetakan Kesembilan (Flores Nusa Indah, 1993), hlm 163.
27
kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif, yaitu suatu
analisis berdasarkan data yang diperoleh.23
G. Sistematika Penulisan
Guna mempermudah pemahaman tesis ini, maka penyusun akan
menyampaikan rincian bahasan yang dimulai dari pendahuluan dan
diakhiri dengan penutup. Adapun sistematikanya sebagai berikut.
Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan yang membahas
mengenai signifikasi permasalahan yang menjadi objek penelitian dan
sebagai dasar bagi pelaksanaan penelitian dengan tujuan yang hendak
dicapai. Oleh sebab itu, dalam bab ini secara berturut-turut akan
dicantumkan tentang: a) latar belakang masalah, b) rumusan masalah, c)
tujuan penelitian, d) tinjauan pustaka, e) teori, f) metode penelitian, g)
sistematika penulisan.
Selanjutnya, dalam bab kedua membahas tentang perjanjian kredit
dan prinsip kehati-hatian. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab,
diantaranya, a) Kredit dan Perjanjian Kredit, b) Prinsip Kehati-Hatian
Dalam Pemberian Kredit, c) Kredit Bermasalah, d) Penyelesaian Kredit
Bermasalah.
Bab ketiga berisi tentang analisis proses pemberian kredit dikaitkan
dengan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam perjanjian kredit pada
23
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D (Bandung: Alfabeta,
2008), hlm 245.
28
BPR Redjo Bhawono dan tindakan Bank dalam memberikan kredit
tambahan terhadap debitor bermasalah yang kemudian dikaitkan juga
dengan Undang-Undang Perbankan mengenai Prinsip Kehati-hatian. Pada
Bab III penulis juga akan sedikit menjabarkan aspek Hukum Islam
mengenai kredit dalam Islam.
Bab keempat yaitu penutup, merupakan seluruh rangkaian
pembahasan dalam tesis. Bab ini berisi kesimpulan penelitian dan saran.
29
BAB II
PERJANJIAN KREDIT DAN KREDIT BERMASALAH
A. Kredit Dan Perjanjian Kredit
1. Aspek Hukum Positif
Kata kredit berasal dari bahasa latin, yaitu credere, yang
diterjemahkan sebagai kepercayaan atau credo yang berarti saya
percaya. Kredit dan kepercayaan (trust) adalah ibarat sekeping mata
uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini dikarenakan tidak
akan mungkin adanya pemberian pinjaman tanpa adanya bangunan
kepercayaan di sana dan kepercayaan itu adalah sesuatu yang mahal
harganya.24
Adapun menurut Pedoman Akuntansi Perbankan
Indonesia (API) mendefinisikan kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam (debitor) untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bank, imbalan atau
pembagian hasil keuntungan. Menurut Muchdarsyah Sinungan, kredit
adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain
24
Irham Fahmi, Analisis Kredit dan Fraud Pendekatan Kualitatif dan Kuatitatif, Cetakan
Pertama (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm 4.
30
dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang
akan disertai dengan suatu kontraprestasi berupa bunga.25
Dalam masyarakat umum istilah kredit sudah tidak asing lagi
dan bahkan dapat dikatakan populer (dan merakyat), sehingga dalam
bahasa sehari-hari sudah dicampurbaurkan begitu saja dengan istilah
utang. Bahkan dalam dunia pendidikan dengan sistem kredit semester
yang baru, istilah kredit sudah memiliki konotasi khusus tersendiri
dibanding asalnya.26
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
kredit antara lain diartikan, pertama, pinjaman uang dengan
pembayaran pengembalian secara mengangsur, dan kedua pinjaman
sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan
lain.27
Istilah kredit banyak dipakai dalam sistem perbankan
konvensional yang berbasis pasar bunga (interest based), sedangkan
dalam hukum perbankan syariah lebih dikenal dengan istilah
pembiayaan (financing) yang berbasis pada keuntungan riil yang
dikehendaki (margin) ataupun bagi hasil (profit sharing)28
. Pengertian
kredit disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
Perbankan, yang berbunyi:
25
Ibid., hlm 5. 26
D. Gandaprawira, Perkembangan Hukum Perkreditan Nasional dan Internasional
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1992), hlm 1. 27 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hlm 465. 28 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Cetakan Kedua (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), hlm 264.
31
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.29
Dalam bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan
memperoleh barang dengan membayar cicilan atau angsuran di
kemudian hari atau memperoleh pinjaman uang yang pembayarannya
dilakukan di kemudian hari dengan cicilan atau angsuran sesuai
dengan perjanjian. Artinya kredit dapat berbentuk barang atau
berbentuk uang. Baik kredit berbentuk barang maupun kredit
berbentuk uang dalam hal pembayarannya dengan menggunakan
metode angsuran atau cicilan tertentu.30
Apabila ditelusuri pengertian
kredit itu lebih lanjut, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang
terkandung dalam makna kredit tersebut, antara lain:31
a. Kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas
prestasi yang diberikannya kepada nasabah peminjam dana yang
akan dilunasinya sesuai dengan diperjanjikan pada waktu tertentu.
b. Waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentu antara pemberian dan
pelunasan kreditnya, jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih
dahulu disetujui atau disepakati bersama antara pihak bank dan
nasabah peminjam dana. Unsur waktu di sini adalah sebelum
29
Ibid., hlm 312. 30
Ibid., hlm. 263 31 Ibid., hlm 268.
32
debitor memenuhi janji pada waktunya nanti, maka pihak kreditor
selalu mempunyai resiko untuk tidak dibayar piutangnya.32
c. Prestasi dan kontraprestasi, yaitu adanya objek tertentu berupa
prestasi dan kontraprestasi pada saat tercapainya persetujuan atau
kesepakatan pemberian kredit yang dituangkan dalam perjanjian
kredit antara bank dan nasabah peminjam dana, yaitu berupa uang
atau tagihan yang diukur dengan uang dan bunga atau imbalan,
atau bahkan tanpa imbalan bagi bank syariah.
d. Risiko, yaitu adanya risiko yang mungkin akan terjadi selama
jangka waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut,
sehingga untuk mengamankan pemberian kredit dan menutup
kemungkinan terjadinya wanprestasi dari nasabah peminjam dana,
diadakanlan pengkatan jaminan (agunan).
e. Balas jasa, akibat dari pemberian fasilitas kredit bank tentu
mengharapkan suatu keuntungan dalam jumlah tertentu.
Keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang
dikenal dengan nama bunga bagi bank konvensional. Balas jasa
dalam bentuk bunga, biaya provisi dan komisi, serta biaya
administrasi kredit ini merupakan keuntungan utama bank.33
Dari sinilah diketahui, bahwa pemberian kredit bank itu
merupakan suatu perjanjian antara bank dengan pihak peminjam
32
Murti Sumarni dan John Soeprihanto, Pengantar Bisnis (Dasar-Dasar Ekonomi
Perusahaan), Cetakan Keempat (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), hlm 119. 33 Kasmir, Manajemen Perbankan EdisI Revisi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2012), hlm 85.
33
(nasabah debitor). Perjanjian tersebut lahir berdasarkan kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan peminjam dana. Dalam praktik
perbankan, perjanjian yang demikian lazim dinamakan dengan
“perjanjian kredit”.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian kredit adalah
perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari penyerahan uang.
Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara
pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan
hukum antara keduanya. R. Subekti menyatakan dalam bentuk apapun
juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada
hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam
sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Pasal 1754 sampai dengan
Pasal 1769 HIR.34
Kemudian Marhaenis Abdul Hay mengemukakan
pendapat yang sama, bahwa perjanjian kredit adalah identik dengan
perjanjian pinjam-meminjam dan dikuasai oleh ketentuan Bab XIII
Buku III KUHPerdata. Pendapat ini dikemukakan beliau dalam
bukunya Hukum Perdata, bahwa pengertian perjanjian kredit
mendekati pada pengertian perjanjian pinjam-mengganti, sehingga
dalam masalah sengketa perjanjian kredit kita dapat mempergunakan
dasar hukum perjanjian pinjam-mengganti menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Ketentuan Umum dalam pinjam-mengganti
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dipergunakan
34 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman ... op.cit., hlm 314.
34
untuk perjanjian kredit seperti yang dimaksud oleh Undang-Undang
Perbankan. Perjanjian kredit merupakan hal yang khusus dari
perjanjian pinjam-mengganti.35
Pendapat senada dikemukakan pula oleh Mariam Darus
Badrulzaman, yang menyatakan, bahwa dari rumusan yang terdapat di
dalam UUP mengenai pengertian kredit, dapat disimpulkan dasar
perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam
KUHPerdata Pasal 1754. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam
ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan
kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak
yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini merupakan
perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit
ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah”.36
Perjanjian kredit bank identik dengan perjanjian pinjam
mengganti, yang dijelaskan di Pasal 1754 KUHPerdata. Pasal 1754
KUHPerdata berbunyi:
“Perjanjian pinjam mengganti ialah persetujuan dengan mana
pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu
jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini
akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan
keadaan yang sama pula.”
35 Ibid., 314. 36
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hlm
110-111.
35
Berdasarkan Pasal 1 butir (11) Undang-Undang Perbankan,
yang dimaksud persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
adalah bentuk perjanjian kredit, sehingga nama perjanjian tersebut
adalah perjanjian kredit.
Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan
atau tertulis, namun dalam praktik perbankan, perjanjian kredit pada
umumnya dibuat secara tertulis, karena perjanjian kredit secara tertulis
lebih aman bagi para pihak dibanding dalam bentuk lisan. Dengan
bentuk tertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah
diperjanjikan, dan ini akan merupakan bukti yang kuat dan jelas
apabila terjadi sesuatu kepada kredit yang telah disalurkan atau juga
dalam hal terjadi ingkar janji oleh pihak bank. Dalam Pasal 8 ayat (2)
Undang-Undang Perbankan dijelaskan bahwa bank harus membuat
perjanjian secara tertulis. Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
1. Pemberian kredit atau Kredit berdasarkan prinsip syariah dibuat
dalam bentuk perjanjian tertulis,
2. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan nasabah debitor yang antara lain diperoleh dari
penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal,
agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitor,
3. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur
pemberian kredit atau Kredit berdasarkan prinsip syariah,
36
4. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas
mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau Kredit berdasarkan
prinsip syariah,
5. Larangan bank untuk memberikan kredit atau Kredit berdasarkan
prinsip syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah
debitor dan atau pihak-pihak terafiliasi,
6. Penyelesaian sengketa
Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus
tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/IN/10/1966
tanggal 10 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan
“Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit
yang jelas antara bank dengan debitor atau antata bank sentra dan
bank-bank lainnya.”
Suatu perjanjian kredit dapat dibuat oleh bank dan debitor yang
mempunyai kekuatan mengikat bagi masing-masing pihak, karena
dalam membuat suatu perjanjian, undang-undang mengenal adanya
“sistem terbuka”. Sistem terbuka berarti memberikan kebebasan yang
luas kepada masing-masing pihak untuk membuat perjanjian dalam
bentuk apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, asal
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, asal tidak mengganggu
norma-norma kesusilaan dan sepanjang perjanjian tersebut dibuat
secara sah, maka bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Dalam hal perjanjian kredit para pihaknya adalah debitor (peminjam)
37
dan kreditor (bank).37
Syarat sahnya suatu perjanjian apabila
memenuhi hal-hal sebagai berikut:
1. Kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Adanyaobjek yang diperjanjikan
4. Sebab yang halal 38
Dalam suatu perjanjian kredit, di samping harus memenuhi
syarat-syarat pembuatannya sebagaimana dimaksud dalam pengertian
perikatan/perjanjian, perlu diperhatikan hal-hal penting yang tidak
boleh tidak atau harus tercantum dalam perjanjian kredit, agar terjamin
adanya kepastian hukum, yaitu:39
1. Pencantuman besarnya jumlah kredit yang diberikan oleh bank.
Dalam perjanjian kredit besarnya jumlah kredit ini ditulis secara
jelas dengan angka dandengan huruf dan banyak bank untuk
leboh menguatkan tentang besarnya jumlah kredit ini, ketika
penanda tanganan kredit minta agar debitor menulis sendiri pada
lembar perjanjian kredit atau lembar lampiran perjanjian kredit,
kata-kata besarnya jumlah kredit dengan angka dan dengan
huruf misalnya Rp 100.000.000,00 (baik untuk jumlah seratus
juta rupiah)
37
M. Syarif Arbi, Lembaga: Perbankan, Keuangan, Dan Pembiayaan, Cetakan Petama
(Yogyakarta: BPFE, 2013), hlm 106. 38
Ibid. hlm 106. 39
Ibid., hlm 110.
38
2. Besarnya bunga, provisi/commitment fee, denda, dan biaya-
biaya lain harus disebut dengan jelas. Hal ini dituliskan secara
rinci dengan angka dan dengan huruf, serta kapan harus
dilaksanakan pembayarannya
3. Jangka waktu pemberian kredit. Dalam perjanjian kredit
disebutkan dengan jelas dengan kata-kata terhitung sejak
tanggal.............., sampai dengan tanggal.......... misalnya untuk
kredit 12 bulan (terhitung tanggal 10 Januari tahun xxxx sampai
dengan 9 Januari tahun berikutnya), apabila tanggal 9 jatuh pada
hari libur disebutkan tanggal hari kerja berikutnya untuk itu
bank dalam membuat perjanjian ini melihat kalender.
4. Tempat pembayaran kembali utang, yaitu tempat di kantor bank
dimana dibuatnya perjanjian kredit tersebut.
5. Hal-hal yang menyebabkan kredit yang diterima debitor harus
dibayar sekaligus walaupun jangka waktu kredit belum berakhir,
misalnya debitor wanprestasi atas salah satu syarat kredit.
6. Agunan, sebagai sesuatu yang dapat memberikan keyakinan
kepada bank dalam memutuskan pemberian kredit. Hal ini diatur
oleh Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Perbankan, bahkan
disebutkan bahwa bank harus melakukan analisis yang
mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan
debitor untuk melunai utangnya. Dengan demikian maka
sebelum kredit diberikan kepada nasabah, bank harus terlebih
39
dahulu melakukan penelitian yang seksama dan mendalam
mengenai watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek
usaha debitor. Oleh karena itu maka perlu adanya:
a. Jaminan pemberian kredit yang meyakinkan bank atas
kesanggupan dan kemampuan calon debitor untuk melunasi
utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
b. Jaminan kredit disebut sebagai agunan yang dikenal umum
sebagaijaminan kebendaan, berupa barang bergerak atau
barang tidak bergerak, utuk meyakinkan bank bahwa
apabila debitor tidak sanggup mengembalikan utangnya,
barang-barang tersebut dapat dicairkan menjadi uang untuk
melunasi utang debitor. Lebih jauh agunan dapat juga
diberikan oleh orang perseorangan yang memberikan
jaminan kepada bank bahwa apabila debitor tidak sanggup
mengembalikan utangnya maka pihak penjamin yang akan
melunasi.
Di dalam Undang-Undang Perbankan ditentukan bahwa Bank
Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum
pemberian kredit, pemberian jaminan, penempatan investasi surat
berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank
kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk
kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan
bank yang bersangkutan ( Pasal 11 (1)).
40
Secara yuridis, perjanjian kredit dibagi menjadi 2 (dua) segi
pandang, yaitu:40
1. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pinjam pakai habis,
2. Perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus.
Jika perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus, maka tidak ada
perjanjian bernama dalam KUHPerdata yang disebut dengan perjanjian
kredit. Oleh karena itu, yang berlaku adalah ketentuan umum dari
hukum perjanjian, tentunya ditambah dengan klausul-klausul yang
telah disepakati bersama dalam kontrak yang bersangkutan.
Selanjutnya dalam penggolongan perjanjian kredit sebagai
perjanjian bernama dalam tampilannya sebagai perjanjian pinjam
pakai, maka di samping terhadapnya berlaku ketentuan umum tentang
perjanjian, berlaku juga ketentuan-ketentuan KUHPerdata tentang
perjanjian pinjam pakai habis. Hal ini berbeda dengan perjanjian
pinjam pakai biasa, dimana yang harus dikembalikan oleh debitornya
adalah fisik dari benda yang dipinjam, misalnya pinjam mobil, maka
yang dikembalikan adalah mobil yang dipakai tersebut. Sementara
dalam perjanjian pinjam pakai habis, yang dikembalikan adalah nilai
dari benda yang dipinjam pakai tersebut.
Dalam perjanjian perbankan, perjanjian yang dibuat secara
tertulis dibedakan lagi menjadi dua bentuk perjanjian, yaitu:41
40
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm 117.
41
1. Akta di bawah tangan
Akta di bawah tangan artinya bahwa akta atau perjanjian
tersebut dibuat tanpa peran pejabat yang berwenang dalam
pembuatan akta. Biasanya telah terbentuk draf yang lebih dahulu
disiapkan sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada calon
nasabah debitor untuk disepakati. Perjanjian yang telah dibakukan
memuat segala macam persyaratan-persyaratan dan ketentan-
ketentuan, biasanya berbentuk formulir yang tidak pernah
diperbincangkan atau dinegosiasikan terlebih dahulu kepada calon
nasabah. Bila calon nasabah debitor tidak berkenan terhadap
klausul yang terdapat di dalamnya, maka tidak terdapat
kesempatan untuk melakukan protes atas klausul yang tidak
diperkenankan oleh nasabah tersebut, karena perjanjian tersebut
telah dibakukan oleh lembaga perbankan yang bersangkutan dan
bukan oleh petugas perbankan yang berhadapan langsung dengan
calon nasabah debitor. Oleh karena itu, mau tidak mau calon
nasabah yang hendak mengajukan kredit harus menyetujui segala
syarat dan ketentuan yang telah diajukan oleh bank sebagaimana
kreditor.
Dengan demikian, keabsahan perjanjian baku terletak pada
persetujuan kedua belah pihak guna menunjang dan menjamin
keberlangsungan usaha. Meskipun pada umumnya di dalam
41
Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah Solusi Hukum (Legal
Action) dan Alernatif Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2010), hlm 24-25.
42
perjanjian baku terdapat syarat-syarat yang tidak setara antara
pihak yang telah mempersiapkan (bank) dengan pihak yang
disodorkan (nasabah debitor), biasanya nasabah debitor
menerimanya dengan segala konsekuensi yang dapat timbul di
kemudian hari. Dengan sendirinya pihak yang telah
mempersiapkan akan menuangkan sejumlah klausul yang
menguntungkan dirinya dan membebani pihak lain dengan
kewajiban-kewajiban yang tidak setara.
2. Akta Autentik
Akta Autentik adalah surat atau tulisan yang sengaja dibuat
dan ditandatangani, yang memuat peristiwa-peristiwa yang
menjadi dasar suatu hak untuk dijadikan sebagai alat bukti.
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, akta autentik berupa akta
yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan/atau di
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di
tempat dimana akta dibuat.
Dengan kata lain, undang-undang mengatakan bahwa
bentuk akta sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh
dan/atau pegawai umum, yang biasanya disebut notaris.
Perjanjian kredit yang berbentuk akta autentik pada umumnya
untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka
waktu menengah atau panjang. Biasanya dikhususkan kredit
43
investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi (lebih dari satu
kreditor), dan lain-lain.
Dalam praktiknya, meskipun akta tersebut dibuat oleh dan/atau
di hadapan notaris, namun segala syarat dan ketentuan yang terdapat
dalam akta sudah dibuat oleh bank, kemudian diberikan kepada notaris
untuk dirumuskan ke dalam akta. Dasar hukum perjanjian kredit
diantaranya:
1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman
Kebijakan di Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober 1966 juncto
Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor
2/539/UPK/Pemb. Tanggal 8 Oktober 1966, Surat Edaran Bank
Negara Indonesia Unit I Nomor 2/649/UPK.Pemb. Tanggal 20
Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor
10/EK/2/1967 tanggal 6 Februari 1967, yang menyatakan bahwa
bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk
tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dan nasabah
atau Bank Sentral dan bank-bank lainnya. Dari sini jelaslah bahwa
dalam pemberian kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan
perjanjian atau akad kreditnya.
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27162/KEP/DIR
dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB tanggal 31
Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan
Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum, yang menyatakan
44
bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon
kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara
tertulis. Bentuk dan formatnya diserahkan kepada masing-masing
bank untuk menetapkan, namun minimal harus memperhatikan hal-
hal sebagai berikut:42
a. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat
melindungi kepentingan bank.
b. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali
kredit, serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit
dimaksud.‟
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Bank Indonesia
tersebut, maka pemberian kredit bank wajib dituangkan dalam
perjanjian kredit secara tertulis, baik dengan akta di bawah tangan
maupun akta notariil. Perjanjian kredit di sini berfungsi sebagai
panduan bank dalam perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian, dan
pengawasan dalam pemberian kredit yang dilakukan oleh bank,
sehingga bank tidak dirugikan dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan dananya kepada bank terjamin dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, sebelum pemberian kredit bank dilakukan, bank harus
sudah memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan
42
Ibid., hlm 321.
45
kredit bank yang bersangkutan telah diselesaikan dan memberikan
perlindungan yang memadai bagi bank.
Menurut Ch. Gatot Wardoyo dalam tulisannya berjudul “Sekitar
Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank”, bahwa perjanjian kredit
mempunyai beberapa fungsi, diantaranya:
1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya
perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau
tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya
perjanjian pengikatan jaminan,
2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-
batasan hak dan kewajiban diantara debitor dan kreditor,
3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan
monitoring kredit.43
Perjanjian kredit bank merupakan perjanjian baku (standard
contract), dimana isi atau klausul-klausul perjanjian kredit bank
tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir
(blanko), tetapi tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu. Hal-hal yang
berhubungan dengan ketentuan dan persyaratan perbankan perjanjian
kredit telah dibakukan terlebih dahulu oleh pihak perbankan. Calon
nasabah debitor tinggal membubuhkan tanda tangannya saja apabila
bersedia menerima isi perjanjian kredit tersebut, dan tidak memberikan
43
Djoni S.Gazali dan Rachmadi Usman ... op.cit., hlm 321.
46
kesempatan kepada calon debitor untuk membicarakan lebih lanjut isi
atau klausul-klausul yang diajukan pihak bank. Perjanjian kredit bank
yang distandarkan ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang
sifatnya praktis dan kolektif.
2. Aspek Hukum Islam
Pembiayaan berdasarkan pola operasional berdasarkan syariah
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang
atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan
atau bagi hasil.44
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 yang menyatakan bahwa pembiayaan
adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat dipersamakan
dengan itu dalam:
a. Transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas Akad
Mudharabah dan/atau Musyarakah,
b. Transaksi sewa yang ddasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau
Akad Ijarah dengan opsi perpindahan hak milik (Ijarah
Muntahiyah bit Tamlik),
c. Transaksi jual beli yang didasarkan antara lain atas Akad
Murabahah, Salam, dan Istishna,
44
Pasal 11 angka 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
47
d. Transaksi pinjaman yang didaarkan antara lain Akad Qardh, dan
e. Transaksi multijasa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah
atau Kafalah.
Pengertian yang sama kembali juga dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008,
yaitu:
“Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa:
a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah,
b. Transaksi swa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
betuk ijarah muntahiya bittamlik,
c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna,
d. Transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk qardh,
e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transakis
multijasa.
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/
UUPS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau
diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi
hasil.”
Pembiayaan di sini hanya membiayai kegiatan ekonomi yang
dihalalkan oleh ketentuan agama Islam. Identik dengan kegiatan sisi
aktiva pada bank konvensional terwujud dalam pembiayaan berbasis
syariah, sebagai berikut:45
1. Al-Musyarakah. Bank syariah memberikan pembiayaan kepada
nasabah, dimana nasabah dipandang sebagai syarikat dengan
pembagian keuntungan.
45 M. Syarif Arbi... op., cit., hlm 233.
48
2. Al-Mudharabah. Bank syariah memberikan pembiayaan, dimana
nasabah sebagai mitra perkongsian. Bank syariah pihak pemilik
modal dan nasabah pihak pengelola dana. Keuntungan dibagi atas
dasar ratio laba yang telah disepakati bersama sebelumnya, jika
rugi ditanggung pemilik modal.
3. Al-Muzara’ah. Pembiayaan dengan pola bagi hasil berawal dari
bagi hasil dalam bidang pertanian, dimana adanya satu pihak
pemilik lahan dan pihak lain penggarap lahan, pemilik lahan
mendapatkan pembagian atas hasil digarapannya lahan pertanian
miliknya. Yang disebut dengan Al- Muzara‟ah bila pemilik lahan
juga menyediakan benih. Sedangkan jika benih dari si penggarap
disebut dengan Mukharabah. Atas dasar acuan ini maka di dunia
perbankan, bank dapat memberikan bantuan pembiayaan bagi
nasabah yang bergerak di bidang pertanian /perkebunan atas dasar
pola bagi hasil dari hasil panen.
4. Al-Musaqah. Pembiayaan pertanian dan perkebunan menjelang
panen. Model pembiayaan bagi hasil jenis Al-Musaqat, penggarap
(nasabah) bukan merupakan penanam tetapi hanya perawat, suatu
pertanian atau perkebunan mendapatkan bagi hasil.
5. Bai’ Al Murabahah. Pembiayaan dengan akad jual beli dimana
harga dan keuntungan disepakati antara penjual dan pembeli,
dalam lembaga keuangan model ini diaplikasikan antara nasabah
dan bank, nasabah sebagai pembeli dan bank sebagai penjual,
49
dengan harga dan keuntungan disepakati di awal. Nasabah
memerlukan suatu barang, bank mengeluarkan dana untuk
membeli barang tesebut, kemudian barang disepakati dibeli oleh
nasabah. Pola ini dapat diterapkan untuk berbagai pembiayaan
misalnya impor barang dari luar negeri, membelikan barang dari
kota lain atau tempat lain. Membelikan barang, dimana bank
memberikan talangan pembayaran lebih dahulu.
6. Bai’ As-Salam. Pembiayaan dengan cara pembeli memberikan
uang terlebih dahulu kepada si penjual atas barang yang telah
disebutkan spesifikasinya dan diantarkan kemudian. Contoh bank
memberikan pembiayaan untuk pengolahan produk pertanian.
Ketika panen hasil pertanian tersebut dibeli oleh bank dengan
uang yang sudah dibayarkan terlebih dahulu. Sementara itu uang
hasil pembayaran tersebut dipergunakan petani untuk modal
mengolah lahan.
7. Bai’ Al-Istishna. Pembiayaan dengan cara pembeli memesan
barang yang akan dibuat oleh penjual. Penerapan pembiayaan ini
pada pengrajin. Bank membantu merencanakan produksi yang
harus dikerjakan oleh pengrajin, dengan memberikan pembiayaan
produksi, setelah barang jadi bank yang membelinya, tentu untuk
dijual kembali dengan keutungan.
8. Al-Ijarah. Pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa dikuti dengan pemindahan
50
kepemilikan atas barang itu sendiri (identik dengan operation
leasing). Dalam praktek perbankan syariah membiayai pembelian
alat produksi yang disewakan kepada nasabah.46
9. Al- Ijarah Al-Muntahia bit Tamlik. Sewa beli, bank syariah
membiayai pembelian barang modal atau properti. Nasabah
membayar dengan mencicil, dengan pengaturan pembayaran
berupa pembayaran sewa dan mencicil harga barang. Dalam
praktek perbankan syariah berwujud pembiayaan untuk
kepemilikan rumah, kepemilikan kendaraan, investasi
pembangunan pabrik.
10. Al-Wakalah. Perwakilan antara dua belah pihak. Aplikasi dalam
lembaga keuangan, wakalah biasanya diterapkan untuk penerbitan
letter of credit, atas pembelian barang luar negeri ( L/C Import,
atau penerusan permintaanakan barang dalam negeri dari bank
luar negeri (L/C export), wakalah juga diterapkan untuk
melakukan transfer dana dari nasabah kepada alamat di tempat
lain.
11. Al-Kafalah. Akad jaminan suatu pihak kepada pihak lain.
Aplikasi dalam lembaga keuangan, dalam lembaga keuangan
biasanya digunakan untuk membuat garansi atas suatu proyek
(performance bonds), partisipasi dalam tender (tender bond), atau
pembayaran lebih dahulu (advance payment bond).
46 Ibid., hlm 234.
51
12. Al-Hawalah. Akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada
pihak yang lain. Aplikasi dalam lembaga keuangan, hawalah
diterapkan pada fasilitas tambahan kepada nasabah pembiayaan
yang ingin menjual produknya kepada pembeli dengan jaminan
pembayaran dari pembeli tersebut dalam bentuk giro mundur. Ini
lazim disebut Post Dated Check, bisa juga diterapkan pada produk
factoring.
13. Ar-Rahn. Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak
kepada pihak yang lain, dengan uang sebaga gantinya. Aplikasi
dalam lembaga keuangan, akad ini digunakan sebagai akad
tambahan pada pembiayaan yang berisiko dan memerlukan
jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri
untuk keperluan nasabah yag sifatnya jasa dan konsumtif, seperti
pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Lembaga keuangan tidak
menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau
keamanan barang tersebut.
14. Al-Qardh. Adalah akad pinjam meminjam (uang) antara suatu
pihak dengan pihak lainya. Jika ada jaminan, maka ini menjadi
rahn. Aplikasi dalam lembaga keuangan, akad ini menjadi
fasilitas tambahan bagi nasabah pembiayaan yang memerlukan
dana mendesak ntuk membiayai usahanya.47
47 Ibid., hlm 236.
52
Dari rumusan kedua istilah kredit tersebut, perbedaannya terletak
pada bentuk kontra prestasi yang akan diberikan nasabah peminjam dana
(debitor) kepada bank (kreditor) atas pemberian kredit atau
pembiayaannya. Pada bank konvensional, kontra prestasinya berupa bunga
sedangkan bank syariah kontra prestasinya dapat berupa imbalan atau bagi
hasil sesuai dengan persetujuan atau kesepakatan bersama. Baik kredit
maupun pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sama-sama menyediakan
uang atau tagihan atas dasar persetujuan atau kesepakatan bersama antara
pihak bank dan pihak lain dengan kewajiban pihak peminjam atau pihak
yang dibiayai untuk melunasi utangnya atau mengembalikannya beserta
bunga, imbalan, atau bagi hasil dalam tenggang waktu yang telah
disepakati bersama. Dengan demikian, kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syari‟ah merupakan perjanjian pinjam meminjam
(uang) yang dilakukan antara bank dan pihak lain, nasabah peminjam
dana. Perjanjian pinjam meminjam (uang) itu dibuat atas dasar
kepercayaan bahwa peminjam dalam tenggang waktu yang telah
ditentukan akan melunasi atau mengembalikan pinjaman uang atau tagihan
tersebut kepada bank disertai pembayaran sejumlah bunga, imbalan, atau
pembagian hasil keuntungan sebagai imbal jasa. Pada umumnya, dalam
perjanjiannya akan ditekankan kewajiban pihak peminjam uang untuk
memenuhi kewajibannya melunasi, mengembalikan, atau mengangsur
53
utang pokoknya beserta bunga, imbalan, atau bagi hasilnya sesuai dengan
waktu yang ditentukan.48
B. Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pemberian Kredit
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengatur tentang
perbankan, yang kemudian dinamakan Undang-Undang Perbankan (UUP).
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.49
Dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok Perbankan, disebutkan yang
dimaksud dengan bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan salah satu
jenis lembaga perbankan. BPR adalah bank yang menerima simpanan
hanya dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.50
Pemberian kredit yang dilakukan oleh suatu bank hendaknya
dilaksanakan secara berhati-hati. Pedoman perkreditan yang dikeluarkan
48
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Cetakan Petama (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm 237-238. 49
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka (2). 50
Murti Sumarni dan John Soeprihanto, Pengantar Bisnis (Dasar-Dasar Ekonomi
Perusahaan), Cetakan Keempat (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), hlm 109.
54
Bank Indonesia sebagai mana tertuang di dalam Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 27/162/KEPDIR, tanggal 31 Maret 1995, wajib
dijalankan dan ditaati oleh semua bank yang menjalankan usahanya di
Indonesia. Pedoman tersebut merupakan panduan agar bank mampu
mengawasi portofolio perkreditan secara keseluruhan dan menetapkan
standar dalam proses pemberian kredit.
Di dalam proses pengajuan kredit dari proses awal sejak timbulnya
iktikad dari nasabah untuk mengajukan permohonan kredit tersebut, maka
bank tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab moral proses
perkreditan tersebut. Terlepas dari apakah kredit dapat disetujui atau tidak,
bank dengan seluruh aparatnya wajib melakukan pemrosesan secara
objektif akan tujuan penggunaan kredit dan alokasi penempatan dana bank
di sektor tersebut. Oleh karena itu, tugas dari manajemen bank adalah
mengelola transaksi kredit, memeriksa resiko kredit dan menagih piutang.
Dana yang disalurkan oleh bank merupakan dana masyarakat
sehingga pada waktu menyalurkan kredit bank harus memenuhi 5 hal,
character, capacity, capital, colleteral, dan condition of economy.
Penilaian 5C ini untuk melakukan analisis terhadap permohonan kredit,
penjelasannya adalah sebagai berikut:51
51
Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank,
(Yogyakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia, 2006), hlm 171-172.
55
1. Character
Penilaian terhadap karakter pemohon kredit dilakukan untuk
mengetahui tanggung jawab, kejujuran, keseriusan dalam berbisnis
dan keseriusan dalam membayar semua kewajiban ke bank dengan
seluruh kekayaan yang dimilikinya. Karakter sangat menentukan
kelancaran pembayaran kewajiban setiap bulannya dan pelunasan
pada saat kredit jatuh tempo. Penilaian ini dapat dilakukan dengan
cara mengumpulkan informasi, baik internal maupun eksternal.
Informasi yang berasal dari pihak internal adalah dengan melakukan
wawancara ke pegawai di perusahaan pemohon dan keluarga
pemohon, sedangkan informasi dari pihak eksternal didapat melalui
pembeli, pemasok, dan pihak terkait lainnya. Bank Indonesia juga
dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan kredibilitas
pemohon atas transaksi keuangan maupun posisi pinjaman di bank
lain.
2. Capacity ( Kemampuan )
Penilaian terhadap kemampuan nasabah bertujuan mengukur
kemampuan nasabah dalam menjalankan usahanya. Beberapa
informasi yang harus didapat diantaranya:
56
a. Penilaian atas manajemen usaha
Penilaian ini meliputi kualitas dan reputasi nasabah, orientasi
manajemen, kualitas organisasi, kualitas pengelolaan sumber daya
maunusia, dan lain-lain.
b. Penilaian atas kualitas pasokan ( supply )
Penilaian ini meliputi kualitas pasokan, perlengkapan dan
peralatan penyimpanan pasokan, sumber pasokan, kontinuitas
pasokan, fluktuasi harga, penguasaan sumber pasokan, dan
efisiensi pengelolaan pasokan.
c. Penilaian atas kualitas produksi
Penilaian ini meliputi kontinuitas kegiatan produksi, kualitas dan
kapasitas alat produksi, peralatan usaha, tingkat efisiensi produksi,
kualitas produksi, pola produksi yang digunakan, dan peluang
pengembangan kapasitas produksi.
d. Penilaian atas kualitas pemasaran
Penilaian ini meliputi kegiatan pemasaran, harga produk, kualitas
promosi, kualitas pemilihan pasar sasaran dan pemilihan posisi
pasar, kualitas strategi dan taktik penjualan, pengelolaan
penagihan, serta kontinuitas pelanggan.
3. Capital ( Penilaian terhadap modal )
Penilaian terhadap modal perusahaan bertujuan mengetahui
kemampuan nasabah atau perusahaan milik nasabah dalam
menanggung beban kredit yang dibutuhkan serta kemampuan dalam
57
menanggung beban kredit yang dibutuhkan serta kemampuan dalam
menanggung beban resiko (risk sharing) yang mungkin dialami
perusahaan itu. Penilaian dapat dilakukan berdasarkan informasi
mengenai sumber dan struktur permodalan, kualitas pengelolaan
permodalan, efektivitas penggunaan atau penempatan modal, kualitas
penciptaan laba, dan kualitas pemanfaatan laba.
4. Condition of Economic ( Penilaian terhadap Kondisi Perekonomian
dan Prospek Usaha )
Penilaian terhadap kondisi ekonomi dan prospek usaha
dilakukan untuk mengetahui kekuatan perusahaan atas berubah-
ubahnya kondisi makro ekonomi dan kemampuan perusahaan
mengantisipasinya untuk bisa bertahan dalam keadaan yang sulit
sekalipun. Kondisi yang mungkin terjadi diantaranya,
Kondisi mikro, seperti pemasok, saluran distribusi,
pelanggan/konsumen, kreditor, pesaing, dan lingkungan masyarakat.
Kondisi makro, seperti perekonomian, sosial budaya, peraturan
pemerintah, demografi, teknologi, alam, politik, dan keamanan.
Penilaian juga dapat dilakukan dengan cara melakukan kajian
terhadap beberapa kondisi dan lingkungan usaha sejenis,
kemungkinan perubahan kondisi lingkungan usaha sejenis di masa
datang, serta kemampuan dan fleksibilitas usaha nasabah
menghadapi kemungkinan perubahan kondisi dan lingkungan usaha
di masa mendatang, dan lain-lain.
58
5. Collateral ( Penilaian terhadap agunan kredit )
Penilaian terhadap agunan kredit dilakukan berdasarkan nilai
wajar atas nilai pasar agunan yang berlaku pada saat dilakukan
penilaian. Agunan kredit adalah jaminan dari nasabah ke bank untuk
meminimalisir risiko yang mungkin timbul dari pemberian kredit.
Agunan kredit terbagi menjadi dua, yatu:
a. Agunan Pokok
Agunan pokok merupakan sumber pembayaran kembali kredit dan
bersifat first way out. Pengadaan agunan pokok yang bersumber
dari dana kredit bank, misalnya persediaan barang, proyek, atau
hak tagih. Agunan pokok meliputi keseluruhan aset perusahaan
baik yang langsung dibiayai dengan kredit maupun tidak dibiayai
kredit.
b. Agunan Tambahan
Agunan tambahan merupakan agunan yang bersifat second way
dan umumnya berupa harta kekayaan nasabah secara pribadi
maupun milik perusahaan yang pengadaannya tidak bersumber
dari kredit dan tidak berkaitan langsung dengan usaha nasabah.
Misalnya, tanah dan bangunan rumah, tempat tinggal debitor,
tempat usaha, surat berharga, dan lain-lain. Agunan ini harus
dilakukan secara hak tanggungan untuk benda tidak bergerak dan
gadai untuk benda bergerak yang berwujud maupun tidak
berwujud ( hak tagihan ).
59
Secara singkat dijelaskan Capacity adalah kemampuan debitor
menghasilkan keuntungan atau profit. Capital adalah modal awal yang
dimiliki oleh debitor pada saat mengajukan kredit. Colleteral merupakan
jaminan yang diberikan oleh debitor terhadap bank. Condition of economy
yaitu keadaan ekonomi pada waktu kredit bank itu akan disalurkan. 52
Kelima hal atau five C credit ini merupakan wujud nyata dari prinsip
kehati-hatian atau prudent banking harus menjadi acuan pokok dalam
menjalankan fungsinys sebagai lembaga intermediarti yaitu lembaga
perantara antara pihak yang berlebihan uang (nasabah kreditor) dengan
pihak yang membutuhkan uang (nasabah debitor).
Dalam menyalurkan kredit, bank harus meminta jaminan atau
agunan dari nasabah debitor. Jaminan tersebut dapat berupa jaminan
umum, jaminan pokok, dan jaminan tambahan. Jaminan umum adalah
jaminan yang tidak pernah diperjanjikan namun melekat pada diri debitor
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1131 KUHPerdata bahwa segala
kebendaan debitor baik yang ada sekarang maupun yang akan ada di
kemudian hari, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik berwujud
maupun tidak berwujud menjadi jaminan bagi pelunasan utangnya.
Jaminan pokok adalah jaminan untuk apa kredit itu dimohonkan.
Sedangkan jaminan tambahan adalah jaminan yang diminta oleh bank di
saat jaminan umum dan jaminan pokok tidak mencukupi.
52
Sudaryat, Hukum Bisnis Suatu Pengantar, Cetakan Kesatu (Bandung: Jendela Mas
Pustaka, 2008), hlm 74.
60
Pemberian kredit oleh bank merupakan unsur terbesar dari aktiva
bank, yang juga sebagai aset utama serta sekaligus menentukan maju
mundurnya bank yang bersangkutan dalam menjalankan fungsi dan
usahanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Di samping
menjalankan fungsi pengerahan dana masyarakat, bank juga menjalankan
fungsi sebagai lembaga kredit sebagaimana dinyatakan dalam Undang-
Undang Perbankan Pasal 6 huruf b, yang berbunyi:
“Usaha Bank Umum meliputi: b. Memberikan kredit”.
Dijelaskan pula dalam Pasal 13 huruf b Undang-Undang Perbankan, yang
berbunyi:
“Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi: b. Memberikan kredit”.
Dalam kenyataanya, kredit yang diberikan bank tadi sebagian besar
tidak dapat dikembalikan secara utuh oleh nasabah debitornya, yang
membawa risiko usaha bagi bank yang bersangkutan, akhirnya
menimbulkan kredit-kredit macet. Oleh karena itu, bank dalam
memberikan kredit harus melakukannya berdasarkan analisis pemberian
kredit yang memadai, agar kredit-kredit yang diberikan oleh bank itu
adalah kredit-kredit yang tidak mudah menjadi kredit-kredit macet.
Berdasarkan kepada prinsip kehati-hatian ini, maka bank dalam
memberikan kredit tersebut harus memperhatikan jaminan pemberian
kredit atau kredit berdasarkan Prinsip Syariah, dalam arti keyakinan atas
61
kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi
kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.53
Pada Pasal 8 Undang-Undang Perbankan, dapat dijabaran lebih
lanjut mengenai asas-asas perkreditan yang sehat dan prinsip kehati-hatian
dalam kaitannya dengan pemberian kredit, yaitu:
1. Mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas
iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk
melunasi utangnya atau mengembalikan kredit dimaksud sesuai
dengan yang diperjanjikan.
2. Memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan Kredit
berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang diterapkan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 2 Undang-Undang Perbankan berbunyi:
“Asas, fungsi, dan tujuan perbankan Indonesia dalam melakukan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan
prinsip kehati-hatian.”
Kemudian dalam Pasal 29 ayat (2) juga berbunyi,
”Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang
berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”
Peranan bank sebagai lembaga keuangan tidak pernah lepas dari
masalah kredit. Bahkan, kegiatan bank sebagai lembaga keuangan,
pemberian kredit merupakan kegiatan utamanya. Besarnya jumlah kredit
53
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman ... op.cit., hlm 270.
62
yang disalurkan akan menentukan keuntungan bank. Jika bank tidak
mampu menyalurkan kredit, sementara dana yang terhimpun dari
simpanan banyak, akan menyebabkan bank tersebut rugi. Oleh karena itu,
pengelolaan kredit harus dilakukan dengan sebaik-baiknya mulai dari
perencanaan jumlah kredit, penentuan suku bunga, prosedur pemberian
kredit, analisis pemberian kredit sampai pada pengendalian kredit yang
macet.
Ketentuan tentang pedoman perkreditan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Bank Indonesia No.
27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan
Kebijakan Perkreditan Bank. Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa hal-hal
pokok yang harus dipenuhi Bank Umum mengenai kebijakan perkreditan
bank salah satunya adalah tentang Prinsip Kehati-hatian dalam
perkreditan. Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan
perkreditan bank wajib mematuhi kebijakan perkreditan bank yang telah
disusun secara konsekuen dan konsisten.54
Ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian
bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan
usaha perbankan, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat.
Indikator-indikator kesehatan perbankan dapat diketahui dari total aset,
rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR), kredit bermasalah
54
Bank Indonesia (1), Surat Keputusan (SK) Direktur Bank Indonesia No.
27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan
Bank.
63
(non performing loans/NPL), dan LDR (Loan to deposit ratio)55
. Selain
formula 5 C, terdapat pula formula 4P, yaitu Personality, Purpose,
Prospect, and payment. Sedangkan formula 3 R terdiri dari Returns,
Repayment, dan Risk Bearing Ability. Berbagai ketentuan tersebut
mempersyaratkan beberapa hal yang harus diperhatikan bank dalam
memberikan kredit kepada nasabah.
Menurut Kasmir bahwa penilaian kredit dilengkapi dengan istilah 7
P, yaitu:
1. Personality
Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah
laku sehari-hari maupun masa lalunya. Personality juga mencakup
sikap, emosi, tingkah laku, dan tindakan nasabah dalam menghadapi
suatu masalah. Personality hampir sama dengan character dari 5C.
2. Party
Yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu
atau golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas, serta
karakternya, sehingga nasabah dapat digolongkan ke golongan tertentu
dan akan mendapatkan fasilitas kredit yang berbeda pula dari bank.
Kredit untuk pengusaha lemah sangat berbeda dengan kredit untuk
55
Kompas cetak, “Empat Indikator Sederhana Untuk Memilih Bank, Kamis, 6 Maret
2003, diakses dari http//www2.kompas.com/kompas-cetak/0303/06/Investasi/165676.htm, dikutip
dari tesis Mohammad Reza, “ Peranan Bank Indonesia Dalam Mengatur Dan Mengawasi
Pelaksanan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Program Kredit Usaha Rakyat (KUR), hlm 4.
64
pengusaha yang kuat modalnya, baik dari segi jumlah, bunga, dan
persyaratan lainnya.
3. Perpose
Yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil
kredit, termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah. Tujuan
pengambilan kredit dapat bermacam-macam apakah untuk tujuan
konsumtif, produktif, atau perdagangan.
4. Prospect
Yaitu untuk menilai usaha nasabah di masa yang akan datang
apakah menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain mempunyai
prospek atau sebaliknya. Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas
kredit yang dibiayai tanpa mempunyai prospek, bukan hanya bank
yang rugi, tetapi juga nasabah.
5. Payment
Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan
kredit yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk
pengembalian kredit yang diperolehnya. Semakin banyak smber
penghasilan debitor, akan semakin baik sehingga jika salah satu
usahanya merugi akan dapat dtutupi oleh sektor lainnya.
65
6. Profitability
Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam
mencari laba. Profitability diukur dari periode ke periode apakah akan
tetap sama atau akan semakin meningkat, apalagi dengan tambahan
kredit yang akan diperolehnya dari bank.
7. Protection
Tujuannya adalah bagaimana menjaga kredit yang dkucurkan
oleh bank, tetapi melalui suatu perlindungan. Perlindungan dapat
berupa jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi.
Di samping menggunakan prinsip pemberian kredit tersebut, bank
dalam memberikan kredit juga menggunakan 3 R, yaitu:56
1. Returns (Hasil yang Diperoleh), yakni hasil yang diperoleh oleh
debitor, dalam hal ini ketika kredit telah dimanfaatkan dan dapat
diantisipasi oleh calon kreditor. Artinya, perolehan tersebut
mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga, ongkos-
ongkos, di samping membayar keperluan perusahaan yang lain seperti
untuk cash flow, kredit lain jika ada, dan sebagainya.
2. Repayment (Pembayaran Kembali), yakni kemampuan bayar dari
pihak debitor. Dan apakah kemampuan bayar tersebut match dengan
56
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Cetakan Pertama
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm 249-250.
66
schedule pembayaran kembali dari kredit yang akan diberikan itu. Ini
juga merupakan hal yang tidak boleh diabaikan.
3. Risk Bearing Ability (Kemampuan Menanggung Resiko), yakni sejauh
mana terdapatnya kemampuan debitor menanggung risiko. Misalnya
dalam hal terjadi hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak.
Terutama jika dapat menyebabkan timbulnya kredit macet. Untuk itu,
harus diperhitungkan apakah misalnya jaminan dan/atau asuransi
barang atau kredit sudah cukup aman untuk menutupi risiko tersebut,
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur pokok-pokok kegiatan
usaha bank pada umumnya serta berkaitan dengan pemberian kredit atau
kredit berdasarkan prinsip syariah yang dilaksanakan oleh bank antara lain
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/3/PBI/2005 tentang
Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, yang telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/13/PBI/2007. Batas
maksimum pemberian kredit ini merupakan sarana pengawasan
penyaluran kredit bank. Batas Maksimum Pemberian Kredit ( BMPK )
adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan
terhadap modal bank, yang diberikan kepada peminjam atau sekelompok
peminjam tertentu. Penyediaan dana ini di sini meliputi penanaman dana
bank dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan, surat berharga
yang dibeli dengan janji dijual kembali, tagihan akseptasi, derivatif kredit
(credit derivative), transaksi rekening administrasi, tagihan derivatif,
potential future credit exposure, penyertaan modal sementara, dan bentuk
67
penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.57
Ketentuan
BMPK bagi BPR diatur lebih lanjut:
1. BMPK kepada Pihak Terkait
BMPK bagi pihak yang terkait dengan bank, baik secara
individu maupun keseluruhan ditetapkan setinggi-tingginya sebesar
10% dari modal bank.
2. BMPK kepada Pihak Tidak Terkait
BMPK untuk satu peminjam maupun satu kelompok yang
tidak terkait dengan bank ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 20%
dari modal bank.
3. Terhadap pelampauan BMPK, bank diwajibkan untuk menyusun dan
menyampaikan action plan kepada Bank Indonesia, dan selain itu juga
dikenakan sanksi dalam penilaian tingkat kesehatan.
4. Terhadap pelanggaran BMPK, dapat dikenakan sanksi dalam
penilaian tingkat kesehatan dan diancam dengan sanksi pidana.
Selain itu, terdapat pula peraturan Bank Indonesia tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah58
yang dibuat dengan pertimbangan
bahwa salah satu upaya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian adalah
dengan menerapkan prinsip mengenal nasabah. Kemudian terdapat pula
57
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, ... op., cit., hlm 293-294. 58
Diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 serta perubahannya
untuk Bank Umum, dan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 untuk Bank
Perkreditan Rakyat.
68
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/8/PBI/2005 tentang Sistem Informasi
Debitor59
yang memiliki fungsi menunjang kelancaran proses kredit dan
penerapan manajemen risiko kredit yang efektif serta ketersediaan
informasi kualitas debitor. Dalam proses kredit, sistem informasi mengenai
profil dan kondisi debitor dapat mendukung percepatan proses analisa dan
pengambilan keputusan pemberian kredit. Untuk kepentingan manajemen
resiko, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitor dibutuhkan
untuk menentukan profil resiko kredit debitor. Selain itu, tersedianya
informasi kualitas debitor, diperlukan juga untuk melakukan sinkronisasi
penilaian kualitas debitor di antara bank pelapor.60
Sistem Informasi
Debitor (SID) adalah sistem yang mengyediakan informasi debitor yang
merupakan hasil olahan dari laporan debitor yang diterima oleh Banki
Indonesia. Pihak yag diwajibkan untuk menjadi pelapor dalam SID adalah
Bank Umum, BPR yang memiliki jumlah aset sebesar Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau lebih selama 6 (enam)
bulan berturut-turut dan penyelenggara Kartu Kredit selain bank. BPR
selain sebagaimana dimaksud pada angka 3, Lembaga Keuangan Non
Bank dan Koperasi Simpan Pinjam dapat menjadi pelapor dalam SID
sepanjang memenuhi persyaratan yang datur dalam PBI.
Prinsip kehati-hatian adalah suatu asas atau prinsip yang
menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya
59
Peraturan ini telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/14/PBI/2007. 60
Mohammad Reza, Peranan Bank Indonesia Dalam Mengatur dan Mengawasi
Pelaksanaan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Program Kredit Usaha Rakyat (KUR), tesis
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2011), hlm 22.
69
wajib bersikap hati-hati dalam rangka melindungi dana masyarakat yang
dipercayakan padanya.61
Tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian
tidak lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat, dengan kata lain
agar selalu dalam keadaan likuid dan solvent. Menurut Sutan Remy
Sjahdeini, dengan diberlakukannya prinsip kehati-hatian diharapkan kadar
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi, sehingga
masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank.
Prinsip kehati-hatian ini harus dijalankan oleh bank bukan hanya karena
dihubungkan dengan kewajiban bank agar tidak merugikan kepentingan
nasabah yang mempercayakan dananya kepada masyarakat, yaitu sebagai
bagian dari sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota
masyarakat yang bukan hanya nasabah penyimpan dana dari bank itu
saja.62
Pengelolaan perkreditan atau manajemen perkreditan merupakan
bagian yang sangat penting dalam manajemen perbankan secara
keseluruhan, karena sebagian besar pendapatan bank masih mengandalkan
sektor kredit. Namun, pelaksanaan pemberian kredit oleh bank harus
menggunakan prisip kehati-hatian (prudentian principal). Biasanya resiko
pemberian kredit tersebut dinilai tinggi (high risk). Sikap hati-hati
merupakan prinsip yang harus selalu diterapkan dalam setiap pemberian
kredit. Tujuannya adalah mencegah resiko yang mungkin terjadi. Prinsip
61
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm 18. 62
Ibid., hlm. 19.
70
ini juga dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Perbankan, yang
berbunyi:
“ Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan
demokrasi Indonesia dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.”
Pengelolaan kredit adalah kunci utama bagi perbankan nasional
untuk tetap bertahan dalam persaingan yang ketat, serta akan memberikan
pendapatan atau keuntungan yang diharapkan. Tentunya tidak terlepas dari
penerapan prinsip kehati-hatian pada setiap pengajuan kredit oleh nasabah
(debitor). Langkah-langkah perbankan dalam menyalurkan kredit:63
1. Perencanaan kredit
Perencanaan kredit sangat dibutuhkan oleh manajemen
perbankan untuk mencapai keberhasilan dalam aktivitas pemberian
kredit ke nasabah. Dengan perencanaan yang tepat, tujuan penyaluran
kredit dapat tercapai, sehingga meminimalisisr kredit bermasalah.
Perencanaan kredit merupakan salah satu langkah bank dalam
menerapkan prinsip kehati-hatian agar kredit yang disalurkan tepat
sasaran. Perencanaan kredit tersebut meliputi penetapan pasar sasaran,
kriteria resiko, kriteria nasabah yang dapat dilayani, dan batasan-
batasan dalam pemberian kredit.
63 Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan...op.cit.., hlm. 167-
169.
71
a. Pasar sasaran (target market)
Pasar sasaran adalah sekelompok nasabah dalam industri,
segmen ekonomi, dan daerah geografis tertentu yang memiliki
karakteristik tertentu yang dinilai perlu untuk dibiayai oleh bank.
Penetapan pasar sasaran dilakukan dengan tujuan mendapatkan
nasabah-nasabah yang dinilai memberikan keuntungan bagi bank.
Sebelum melakukan penetapan pasar sasaran, bank melakukan
penelitian atas potensi ekonomi kelompok nasabah tersebut.
Apabila dinilai berpotensi, bank segera melakukan pendekatan ke
nasabah untuk mengetahui kondisi usahanya. Pasar sasaran perlu
diidentifikasi, agar bank dapat melakukan pekerjaan dengan
efisien. Penetapan pasar sasaran merupakan cara yang efektif untuk
mendapatkan keuntungan dari kredit dalam waktu yang relatif
singkat. Penetapan pasar sasaran bisa digunakan bank sebagai
bentuk kehati-hatian dalam penyaluran kreditnya. Bank berhati-hati
dalam menyalurkan dana masyarakat yang telah dititipkan.
b. Kriteria Resiko
Setiap kredit yang disalurkan tentu saja mempunyai
resikonya masing-masing. Meskipun resikonya terlihat kecil, tetap
harus diperhatikan. Dalam perencanaan kredit harus ditetapkan
kriteria resiko yang mungkin timbul di tiap pasar sasaran yang
telah ditentukan. Kriteria resiko diantaranya mencakup a) aktivitas
72
pemasaran, dengan penetapan standar minimal nasabah, b) tanda-
tanda perngatan dini atas kondisi keuangan nasabah yang dinilai
memburuk, c) seleksi awal atas permohonan kredit, d) penyediaan
standar penerimaan yang diharapkan dari tiap-tiap nasabah. Ini
juga sebagai bentuk dari penerapan prinsip kehati-hatianbank
dalam menyalurkan kreditnya.
c. Kriteria Nasabah
Setelah melakukan penetapan pasar sasaran dan kriteria
resiko, bank harus dapat menentukan kriteria nasabah. Tujuan
penentuan kriteria nasabah adalah membatasi Kredit ke nasabah
yag dinilai tidak akan memberikan keuntungan pada bank tersebut.
Terdapat beberapa strategi untuk menentukan nasabah yang dapat
diberi kredit, dan pada akhirnya nasabah tersebut akan memberikan
pendapatan ke bank. Kriteria umumnya dilakukan berdasarkan
prinsip 5 C‟s.
2. Proses Pemberian Kredit
Permohonan ini menjelaskan kebutuhan pinjaman yang
diinginkan serta jenis kreditnya. Bank dapat memperoleh sedikit
informasi mengenai bisnis yang akan dibiayai, kemampuan calon
nasabah, serta kemauan calon nasabah dalam menjalankan bisnisnya.
Proses pemberian kredit merupakan tahap yang harus dilalui calon
nasabah. Proses ini dilakukan sebelum calon nasabah disetujui
73
pengajuan kreditnya. Dalam proses pemberian kredit dimulai dari
pengajuan kredit. Permohonan kredit dilakukan calon nasabah secara
tertulis dan ditujukan ke pihak bank.
Bank dalam menentukan calon nasabah harus memperhatikan
beberapa prosedur pemberian kredit, diantaranya:64
a. Pengajuan proposal
Untuk memperoleh fasilitas kredit dari bank maka tahap
yang pertama pemohon kredit mengajukan permohonan kredit
secara tertulis dalam suatu proposal. Proposal kredit harus
dilampiri dengan dokumen-dokumen lainnya yang dipersyaratan.
Yang perlu diperhatikan dalam setiap pengajuan proposal suatu
kredit hendaknya yang berisi keterangan tentang:
a. Riwayat perusahaan, seperti riwayat hidup perusahaan, jenis
bidang usaha, nama pengurus berikut latar belakang
pendidikannya, perkembangan perusahaan, serta wilayah
pemasaran produknya.
b. Tujuan pengambilan kredit, dalam hal ini harus jelas tujuan
pengambilan kredit. Apakah untuk memperbesar omset
penjualan atau meningkatkan kapasitas produksi atau untuk
mendirikan pabrik baru (perluasan) serta tujuan lainnya.
Kemudian juga yang perlu mendapat perhatian adalah
kegunaan kredit apakah untuk modal kerja atau investasi.
64
Kasmir, Manajemen Perbankan Edisi... op.cit., hlm. 106-108.
74
c. Besarnya kredit dan jangka waktu
Dalam proposal pemohon menentukan besarnya jumlah kredit
yang diinginkan dan jangka waktu kreditnya.
d. Cara pemohon mengembalikan kredit maksudnya perlu
dijelaskan secara rinci cara-cara nasabah dalam
mengembalikan kreditnya apakah dari hasil penjualan atau
dengan cara lainnya.
e. Jaminan kredit
Jaminan kredit yang diberikan dalam bentuk surat atau
serifikat. Penilaian jaminan kredit haruslah teliti jangan sampai
terjadi sengketa, palsu, dan sebagainya, biasanya setiap
jaminan diikat dengan suatu asuransi tertentu.
Selanjutnya proposal ini dilampiri dengan berkas-berkas
yang telah dipersayaratkan, seperti:65
1) Akta pendirian perusahaan
Dipergunakan untuk perusahaan yang berbentuk PT (Perseroan
Terbatas) atau yayasan yang dikeluarkan oleh Notaris dan
disahkan oleh Departemen Kehakiman.
2) Bukti diri (KTP) para pengurus dan pemohon kredit.
65
Ibid., hlm. 107.
75
3) TDP (Tanda Daftar Perusahaan)
Tanda Daftar Perusahaan ada selembar sertifikat yang
dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan
dan biasanya berlaku 5 (lima) tahun dan jika masa berlakunya
habis dapat diperpanjang kembali.
4) NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
Nomor Pokok Wajib Pajak, merupakan surat tentang wajib
pajak yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan.
5) Neraca dan laporan rugi laba 3 (tiga) tahun terakhir.
6) Fotokopi sertifikat yang dijadikan jaminan.
7) Daftar penghasilan bagi perseorangan.
8) Kartu keluarga (KK) bagi perseorangan.
b. Penyelidikan Berkas Pinjaman
Tahap selanjutnya adalah penyelidikan dokumen-dokumen
yang diajukan pemohon kredit. Tujuannya adalah mengetahui
apakah berkas yang diajukan sudah lengkap sesa persyaratan yang
ditetapkan. Jika menurut pihak perbankan belum lengkap atau
belum cukup maka nasabah diminta untuk segera melengkapinya
dan apabila sampai batas tertentu nasabah tidak sanggup
melengkapi kekurangan tersebut, maka sebaknya permohonan
kredit dibatalkan saja.
76
Dalam penyelidikan berkas hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah membuktikan dan keaslian berkas-berkas yang ada, seperti
keaslian Akta Notaris, TDP, KTP, dan surat-surat jaminan seperti
sertifikat tanah, BPKB mobil ke instansi yang berwenang
mengeluarkannya. Kemudian jika asli dan benar maka pihak bank
mencoba mengkalkulasi apakah jumlah kredit yang diminta
memang relevan dan kemampuan nasabah untuk membayar.
Semua ini dengan menggunakan perhitungan terhadap angka-
angka yang di laporan keuangan dengan berbagai rasio keuangan
yang ada.
c. Penilaian kelayakan kredit
Dalam penilaian layak atau tidak suatu kredit disalurkan,
maka perlu dilakukan suatu penilaian kredit. Penilaian kelayakan
kredit dapat dilakukan dengan menggunakan 5 C atau 7 P, namun
untuk kredit yang lebih besar jumlahnya perlu dilakukan metode
Studi Kelayakan. Dalam Studi Kelayakan ini setiap aspek dinilai
apakah memenuhi syarat atau tidak. Apabila salah satu aspek tidak
memenuhi syarat maka perlu dilakukan pertimbangan untuk
mengambil keputusan.
Adapun aspek-aspek yang perlu dinilai dalam pemberian
suatu fasilitas kredit:
77
1) Aspek hukum
Tujuan dari aspek ini adalah menilai keaslian dan
keabsahan dokumen-dokumen yang diajukan oleh pemohon
kredit. Penilaian aspek hukum ini juga dimaksudkan agar
jangan sampai dokumen yang diajukan palsu atau dalam
kondisi sengketa, sehingga menimbulkan masalah. Penilaian
dokumen-dokuen ini dilakukan ke lembaga yang berhak untuk
mengeluarkan dokumen tersebut. Penilaian aspek hukum
meliputi,
a. Akta notaris
b. Kartu Tanda Penduduk (KTP)
c. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
d. Izin usaha
e. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
f. Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP )
g. Sertifikat-sertifikat yang dimiliki baik sertifikat tanah atau
surat –surat berharga
h. Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor ( BPKB ), dan lain-
lain.
2) Aspek Pemasaran
Aspek ini merupakan aspek untuk menilai apakah kredit
yang dibiayai akan laku di pasar dan bagaimana strategi
78
pemasaran yang dilakukan. Dalam aspek ini yang akan dinilai
adalah prospek usaha sekarang dan di masa yang akan datang.
3) Aspek keuangan
Aspek ini bertujuan untuk menilai keuangan perusahaan
yang dilihat dari Laporan Keuangan yaitu Neraca dan Laporan
Rugi dan Laba 3 (tiga) tahun terakhir. Analisis keuangan
meliputi analisis dengan menggunakan rasio-rasio keuangan
seperti rasio likuiditas, rasio leverage, rasio aktivitas, rasio
profitabilitas dan analisis pulang pokok.
4) Aspek Teknis/Operasi
Dalam aspek ini yang dinilai adalah masalah lokasi
usaha, kemudan kelengkapan sarana dan prasarana yang
dimiliki, termasuk layout gedung dan ruangan.
5) Aspek Manajemen
Aspek ini bertujuan untuk menilai pengalaman
peminjam dalam mengelola usahanya, termasuk sumber daya
manusia yang dimilikinya.
79
6) Aspek Ekonomi Sosial
Aspek ini bertujuan untuk menilai dampak usaha yang
diberikan terutma bagi masyarakat luas, baik ekonomi maupun
sosial.
7) Aspek AMDAL
Aspek ini sangat penting dalam rangka apakah usaha
yang dibuatnya sudah memenuhi kriteria analisis dampak
lingkungan terhadap darat, air, dan udara sekitarnya.
Aspek-aspek tersebut dapat menjadi acuan bank dalam
memberikan kredit kepada nasabah. Selain itu, dapat digunakan
sebagai studi kelayakan nasabah yang akan diberikan kredit,
terutama kredit dalam jumlah yang relatif besar. Hal ini guna
menghindari atau meminimalisir resiko dalam penyaluran kredit.
Oleh karena itu, bank harus ekstra hati-hati dalam memberikan
kreditnya. Sebelum debitor memperoleh kredit, ada pula tahapan-
tahapan penilaian guna meyakinkan bank bahwa nasabah yang
bersangkutan benar-benar layak untuk diberikan kredit. Tahapan-
tahapan tersebut mulai dari pengajuan proposal kredit dan
dokumen-dokumen yang diperlukan, pemeriksaan keaslian
dokumen, analisis kredit sampai dengan kredit disalurkan.
Tahapan-tahapan dalam memberikan kredit dikenal dengan
prosedur pemberian kredit. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya
80
bahwa tujuan dari prosedur pemberian kredit adalah untuk
memastikan kelayakan suatu kredit, diterima atau ditolak.
d. Wawancara Pertama
Tahap ini merupakan penyidikan kepada calon nasabah
yang akan mengajukan kredit dengan cara berhadapan langsung
dengan calon nasabah tersebut. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan keyakinan apakah berkaas-berkas tersebut sesuai dan
lengkap seperti yang bank inginkan. Wawancara ini juga untuk
mengetahui keinginan dan kebutuhan nabaah yang sebenarnya.
Dalam wawancara ini, akan lebih baik jika dibuat santai sehingga
diharapkan hasil wawancara sesuai dengan yang diinginkan.
e. Peninjauan ke lokasi (On The Spot)
Peninjauan ke lokasi dilakukan setelah memperoleh
keyakinan atas keabsahan dokumen dari hasil penyidikan dan
wawancara. Kemudian hasil on the spot dicocokkan dengan hasil
wawancara pertama. Pada saat hendak melakukan on the spot
hendaknya tidak memberitahu nasabah terlebih dahulu, sehingga
apa yang kita lihat di lapangan sesuai dengan kondisi yang
sebenarnya. Tujuan peninjauan kelapangan adalah untuk
memastikan bahwa objek yang akan dibiayai bear-benar ada dan
dengan apa yang tertulis dalam proposal.
81
f. Wawancara kedua
Hasil peninjauan ke lapangan dicocokkan dengan dokumen
yanng ada serta dicocokkan dari hasil wawancara satu dan
wawancara kedua. Wawancara kedua ini merupakan kegiayan
perbaikan berkas, jika mungkin ada kekurangan-kekurangan pada
saat setelah dilakukan on the spot di lapangan. Catatan yang ada
pada permohonan dan pada saat wawancara pertama dicocokkan
dengan saat on the spot apakah ada kesesuaian dan mengandung
suatu kebenaran.
g. Keputusan Kredit
Setelah melalui berbagai penilaian mulai dari kelengkapan
dokumen keabsahan dan keaslian dokumen serta penilaian yang
meliputi seluruh aspek studi kelayakan kredit, maka langkah
selanjutya adalah keputusan kredit.
Keputusan kredit adalah menentukan apakah kredit layak
untuk diberikan atau ditolak, jika layak, maka dipersiapkan
administrasinya, biasanya keputusan kredit akan mencakup:
a. Akad kredit yang akan ditandatangani,
b. Jumlah uang yang diterima,
c. Jangka waktu kredit,
d. Biaya-biaya yang harus dibayar.
82
Keputusan kredit biasanya untuk jumlah tertentu
merupakan keputusan tim. Begitu pula bagikredit yang ditolk,
maka hendaknya dikirim surat penolakan sesuai dengan alasannya
masing-masing.
h. Penandatanganan Perjanjian Kredit
Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari diputuskannya
kredit. Sebelum kredit dicairkan, maka terlebih dahulu calon
nasabah menandatangani akad kredit, kemudian mengikat jaminan
kredit dengan hipotek atau surat perjanjian yang danggap perlu.
Penandatanganan dilaksanakan:
a. Antara bank dengan debitor secara langsung,
b. Melalui notaris.
i. Realisasi Kredit
Setelah akad ditandatangani, maka langkah selanjutnya adalah
merealisasikan kredit. Realisasi kredit diberikan setelah
penandatanganan surat-surat yang diperlukan dengan membuka
rekening tabungan di bank bersangkutan. Dengan demikian,
penarikan dana kredit dapat dilakukan melalui rekening yang telah
dibuka. Pencairan atau pengambilan uang dari rekening sebagai
realisasi dari pemberian kredit dapat diambil sesuai ketentuan dan
tujuan kredit.
83
3. Administrasi Kredit
Administrasi kredit bertujuan mendukung langkah-langkah
pembinaan atau pengawasan atas perkembangan kredit sehingga
kepentingan bank dapat terlindung.
4. Pengawasan Kredit
Pengawasan kredit berfungsi mengetahui secara dini
penyimpangan yang terjadi atas pemberian kredit ke debitor. Dengan
adanya pengawasan bank dapat dengan cepat mengambil langkah-
langkah yang tepat dan cepat untuk melakukan perbaikan. Terdapat
dua cara pengawasan atau monitoring, yaitu (a) secara administrarif
yang dilakukan di bank dan (b) secara fisik dengan melakukan
pemerikasaan di tempat usaha debitor.
Berkembangnya suatu bank tergantung dari jumlah kredit yang
disalurkan. Artinya, semakin banyak kredit yang disalurkan, semakin besar
pula perolehan laba yang diperoleh, sehingga mampu mempertahankan
kelangsungan hidup dan sekaligus memperbesar usaha yang ada. Dalam
praktiknya, banyaknya jumlah kredit yang disalurkan juga harus diikuti
oleh kualitas kredit tersebut.Artinya, semakin berkualitas kredit yang
diberikan atau memang layak untuk disalurkan, akan memperkecil resiko
terhadap kemungkinan kredit tersebut bermasalah. Perbankan dihadapkan
kepada prinsip kehati-hatian bank dalam menyalurkan kreditnya.
Maksudnya keputusan pemberian suatu kredit perlu memperhatikan
kualitas kredit. Bukan tidak mungkin kredit yang jumlahnya cukup banyak
84
akan mengakibatkan kerugian apabila kredit yang dasalurkan tersebut
ternyata tidak berkualitas dan mengakibatkan kredit tersebut bermasalah.
Untuk menjaga agar kredit yang disalurkan tidak menimbulkan
masalah, dalam memberikan kredit ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu:66
1. Tingkat perolehan laba (return). Maksudnya adalah jumlah laba yang
akan diperoleh atas penyaluran kredit. Jumlah perolehan laba tersebut
harus memenuhi ketentuan yang berlaku apabila ingin dinilai baik bagi
kesehatannya.
2. Tingkat resiko (risk). Maksudnya adalah tingkat resiko yang akan
dihadapi terhadap kemungkinan melesetnya perolehan laba bank dari
kredit yang disalurkan.
Dalam praktiknya, bank perlu melakukan pemisahan fungsi dalam
organisasi kredit. Hal ini bertujuan agar kredit yang disalurkan oleh suatu
bank memiliki kualitas kredit yang baik. Pemisahan ini dilakukan agar
masing-masing fungsi dapat bekerja secara baik dan memperkecil
terjadinya penilaian yang tidak objektif dengan berbagai sebab sehingga
berpotensi untuk dijadikannya penyimpangan yang akhirnya akan
menyebabkan kredit yang disalurkan bermasalah.
Pemisahan kredit tersebut meliputi pemasaran kredit, analisis
kredit, taksiran jaminan, administrasi kredit, audit kredit. Tujuan
66 Kasmir, Manajemen Perbankan Edisi... op.cit., hlm. 113.
85
pemisahan fungsi kredit ini adalah agar pengelolaan suatu permohonan
kredit dapat diproses secara benar, lengkap, teliti, dan sempurna sehingga
memiliki resiko rendah dan tidak menimbulkan masalah.
Dalam praktiknya banyak cara agar kredit yang diberikan oleh
perbankan memiliki kualitas. Salah satunya adalah dibentuknya komite
kredit (loan committees). Komite ini bertugas memberikan pelayanan hal-
hal yang berkaitan dengan kredit yang disalurkan. Secara umum tugas
komite kredit, diiantaranya:67
1. Membuat keputusan dan penelaahan kredit baru. Maksudnya adalah
setiap adanya permohonan kredit baru, perlu ditelaah secara benar
tentang kelayakan kredit sebelum diambil keputusan.
2. Memastikan kelengkapan dokumen kredit. Maksudnya adalah dalam
pengajuan kredit papun, syarat kelengkapan dokumen mutlak untuk
diserahkan. Syarat ini merupakana salah satu aspek penilaian
kelayakan suatu kredt agar tidak timbul masalah di kemudian hari.
Syarat ini merupakan salah satu aspek penilaian kelayakan suatau
kredit dan harus dipenuhi oleh nasabah. Dengan demikian,apabila
kredit tersebut sudah layak untuk diberikan dengan syarat-syarat yang
sudah ditentukan, kualitas kredit akan lebih tejamin.
C. Kredit Bermasalah
67
Ibid.., hlm 116.
86
Berdasarkan Pasal 5 PBI No. 7/2/PBI/2005, bank wajib
menetapkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening Aktiva
Produktif yang digunakan untuk membiayai satu debitor. Hal ini juga
berlaku untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari satu bank
(termasuk penyediaan dana yang diberikan secara sindikasi).
Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis
terhadap faktor penilaian (prospek usaha, kinerja debitor, dan kemampuan
membayar). Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan
mempertimbangkan signifikansi dan materialitas dari setiap faktor
penilaian dan komponen serta relevansi dari faktor penilaian dan
komponen terhadap debitor yang bersangkutan. Berdasarkan penilaian
tersebut, kualitas kredit ditetapkan menjadi: lancar, dalam perhatian
khusus, kurang lancar, diragukan atau macet.
Berdasarkan SE BI No. 31/10/UPPB tanggal 12 November 1998,
kualitas kredit digolongkan menjadi 5 golongan, yaitu:
1. Lancar
Maksudnya adalah kredit yang tidak ada tunggakan bunga maupun
angsuran pokok (jika ada) pinjaman belum jatuh tempo dan tidak
terdapat cerukan karena penarikan. Pembayaran kewajiban pada masa
mendatang diperkirakan lancar/sesuai dengan jadwal dan tidak
diragukan sama sekali. Namun, sesuai dengan ketentuan-ketentuan
sebaga berikut:
a. Pembayaran amgsuran pokok dan/atau bungan tepat waktu,
87
b. Memiliki mutasi rekening yang aktiv, atau bagian dari kredit yang
dijamin dengan agunan tunai.
2. Perhatian khusus
Maksudnya adalah kredit yang menunjukkan adanya kelemahan
pada kondisi keuangan ataupun kelayakan kredit debitor. Hal ini
misalnya ditandai dengan tren menurun dalam profit margin dan omset
penjualan atau program pengembalian kredit tidak realistis atau kurang
memadainya agunan, informasi kredit ataupun dokumentasi. Perhatian
dini, termasuk pembeicaraan yang intensif dan serius dengan debitor
diperlukan untuk mengoreksi keadaan ini. Jika keadaan semakin parah,
debitor perlu direklasifikasikan ke tingkat yang lebih buruk. Tentunya
dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang belum
melampaui 90 hari,
b. Kadang-kadang terjadi cerukan,
c. Mutasi rekening relatif aktif,
d. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan,
e. Didukung oeh pinjaman baru.
3. Kredit kurang lancar
Maksudnya adalah kredit yang pembayaran bunga dan angsuan
pokok (jika ada) mungkin akan atau sudah terganggu karena perubahan
yang sangat tidak menguntungkan dalam segi keuangan dan
manajemen debitor atau ekonomi atau politik pada umumnya atau
88
sangat tidak memadainya agunan. Pada tahap ini belum tampak adanya
gejala kerugian bagi bank., namun kondisi ini dapat berkepanjangan
dan kemungkinan semakin memburuk. Tindakan koreksi yang cepat
dan tepat harus diambil untuk memperkuat posisi bank sebagai
kreditor, antara lain dengan mengurangi eksposure bank dan
memastikan debitor juga mengambil tindakan perbaikan yang berarti.
Dengan ketentuan:
a. Terdapat tunggakan 90 (sembilan puluh) hari,
b. Sering terjadi cerukan,
c. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah,
d. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari
90 (sembilan puluh) hari,
e. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitor, atau
f. Dokumentasi pinjaman lemah.
4. Diragukan
Maksudnya adalah kredit pengembalian seluruh pinjaman mulai
diragukan, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian bagi bank,
hanya saja belum dapat ditentukan besar maupun saatnya. Tindakan
yang cermat dan tepat harus diambil untuk meminimalkan kerugian.
Dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Terjadi tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah
melampaui 180 hari,
b. Terjadi cerukan yang bersifat permanen
89
c. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari,
d. Terjadi kapitalisasi bunga, atau
e. Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit
maupun pengikat jaminan.
5. Macet
Maksudnya adalah kredit yang nilai sudah tidak bisa ditagih
kembali. Bank akan menanggung kerugian atas kredit yang sudah
diberikan. Dengan ketentuan:
a. terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah
melampaui 270 hari,
b. kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru, atau
c. dari segi hukum maupun pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada
nilai wajar.
Dari penggolongan kualitas kredit tersebut di atas, maka
berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/147/KEP/DIR kredit dibedakan lagi menjadi kredit tidak bermasalah
(performing loan) dan kredit bermasalah (non-performing loan).
Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap
faktor-faktor penilaian, seperti prospek usaha, kinerja debitor, dan
kemampuan membayar. Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan
mempertimbangkan signifikasi dan materialitas dari setiap faktor penilaian
dan komponen serta relevansi dari faktor penilaian dan komponen
terhadap debitor yang bersangkutan. Berdasarkan penilaian tersebut,
90
kualitas kredit ditetapkan menjadi lancar, dalam perhatian khusus, kurang
lancar, diragukan, atau macet.
Kredit dikatakan tidak bemasalah apabila termasuk dalam
penggolongan lancar dan dalam perhatian khusus. Sedangkan dikatakan
bermasalah apabila termasuk dalam penggolongan kurang lancar,
diragukan, dan macet. Kredit bermasalah dalam jumlah besar dapat
mendatangkan dampak yang tidak menguntungkan bagi bank pemberi
kredit, dunia perbankan pada umumnya, dan juga terhadap kehidupan
ekonomi dan moneter dalam suatu negara.68
Bagi bank pemberi kredit
akan membuat menurunnya kentungan bank yang dapat berpengaruh pada
kesehatan dan kelayakan bank untuk beroperasi. Hal tersebut juga
berpengaruh pada perputaran dana bank di masyarakat.
D. Penyelesaian Kredit Bermasalah
Pada dasarnya bank tidak pernah menginginkan kredit yang
diberikankan menjadi kredit yang bermasalah, dan untuk keperluan itu
pihak bank akan melakukan segala upaya preventif yang mungkin
dilakukan untuk mencegah agar kredit tidak bermasalah, bahkan keadaan
kredit itu bukan saja sekedar tidak lancar atau diragukan melainkan
akhirnya menjadi macet. Setelah itu, bank akan melakukan upaya-upaya
represif. Upaya-upaya represif yang mula-mula akan dilakukan ialah
68
Siswanto Sutojo, Mengenai Kredit Bermasalah (Jakarta: Damar Mulia Pustaka, 2008),
hlm 25.
91
melakukan upaya penyelamatan kredit. Setelah upaya yang dilakukan
tersebut ternyata tidak berhasil juga menyelamatkan kredit itu, maka bank
akan menempuh upaya penagihan.69
Penanganan kredit bermasalah merupakan kecepatan pengembalian
biaya yang seminimal mungkin menjadi bagian yang tidak dapat
terpisahkan dalam upaya bank mengatasi permasalahan kredit bermasalah.
Hal-Hal yang perlu diperhatikan dalam menangani kredit bermasalah
adalah:70
1. Keinginan debitor untuk menyelesaiakan kewajiban.
2. Tingkat kerja sama dan keterbukaan debitor.
3. Kemampuan manajemen.
4. Kemampuan finansial debitor.
5. Sumber pengembalian pinjaman.
6. Propek usaha dibitur.
7. Mudah tidaknya menjual jaminan,
8. Kelengkapan dokumentasi jaminan.
9. Ada tidaknya tambahan jaminan baru.
10. Sengketa tidaknya jaminan.
11. Ada tidaknya sumber pembayaran dari usaha lain
69
Sutan Remy Sjahdeini, Menanggulangi Kredit Bermasalah, Makalah disajikan sebagai
materi kuliah Program Magister Hukum pada Pascasarjana Universitas Surabaya, (Surabaya:
Universitas Surabaya, 1995), hlm 2 dikutip dari Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum
Perbankan di Indonesia, Cetakan Pertama (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm 293. 70
Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah...op.cit., hlm 117.
92
Menurut Siswanto Sutojo dalam penanganan kredit bermasalah,
pimpinan bank harus tetap berpegang pada pedoman pokok penanganan
kredit bermasalah, yaitu usaha penyelamatan kredit secara maksimal.
Upaya penyelamatan kredit tersebut dapat ditempuh dengan dua cara,
yaitu melalui jalur hukum maupun jalur non hukum. Salah satu upaya
penyelamatan kredit melalui jalur nonhukum adalah restrukturisasi kredit.
Restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam
kegiatan perkreditan terhadap debitor yang mengalami kesulitan untuk
memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui:
1. Penurunan suku bunga kredit,
2. Perpanjangan jangka waktu kredit,
3. Pengurangan tunggakan bungan kredit,
4. Pengurangan tunggakan pokok kredit,
5. Penambahan fasilitas kredit, dan/atau
6. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Setiap bank pasti mengalami kredit macet atau nasabah tidak
mampu lagi untuk melunasi kreditnya. Oleh karena itu, perlu adanya
restrukturisasi kredit. Tujuan restrukturisasi kredit tersebut ialah:
1. Untuk menghindari kerugian bagi bank karena bank harus menjaga
kualitas kredit yang telah diberikan,
2. Untuk membantu memperingan kewajiban debitor sehingga dengan
keringanan ini debitor mempunyai kemampuan untuk yang
93
melanjutkan usahanya, dan dengan menghidupkan kembali usahanya
akan memperoleh pendapatan yang sebagian dapat digunakan untuk
membayar utangnya dan sebagian untuk melanjutkan kegiatan
usahanya.
3. Dengan restrukturisasi, maka penyelesaian kredit melalui lembaga-
lembaga hukum dapat dihindarkan, karena penyelesaian melalui
lembaga hukum dalam praktiknya memerlukan waktu, biaya dan
tenaga yang tidak sedikit dan hasilnya lebih rendah dari piutang yang
ditagih.
Dasar hukum restrukturisasi kredit adalah Surat Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998.
Restrukturisasi merupakan upaya yang dilakukan Bank dalam rangka
membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, diantaranya
melalui:71
1. Penjadwalan kembali (rescheduling)
Adalah perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah
atau jangka waktunya. Penjadwalan kembali dapat dilakukan dengan
berbagai cara, yaitu:
a. Perpanjang jangka waktu pelunasan utang.
b. Perpanjangan jangka waktu pelunasan tunggakan bunga.
71
Badriyah Harun ...op.cit., hlm 118.
94
c. Perpanjangan jangka waktu pelunasan utang pokok dan
tunggakan angsuran kredit sesuai dengan dana yang mengalir.
d. Perpanjangan jangka waktu pelunasan utang pokok atau
tunggakan angsuran, tunggakan bunga, serta perubahan jumlah
angsuran.
e. Perpanjangan jangka waktu pelunasan utang pokok, tunggakan
angsuran dan tunggakan bunga kredit sesuai dengan dana yang
mengalir.
f. Perpanjangan jangka waktu pelunasan utang pokok dan
tunggakan bunga kredit sesuai aliran dana yang mengalir.
g. Pergeseran atau perpanjangan grace period dan pergeseran
rencana pelunasan.
h. Pergeseran grace period dan perpanjangan jangka waktu kredit.
i. Kombinasi bentuk-bentuk rescheduling di atas.
Tindakan rescheduling dapat diberikan kepada debitor yang
masih menunjukkan iktikad baik untuk melunasi kewajibannya.
Faktor-faktor yang mendukung diberikannya tindakan recheduling
misalnya : pemasaran dari produk debitor masih baik, yang masih
berjalan normal. Dari sisi aspek manajemen, usaha debitor dikelola
oleh tenaga yang profesional dan cukup terampil. Bahan baku untuk
keperluan produksi debitor cukup tersedia di pasar, sedangkan proses
produksinya menggunakan metode teknologi yang memadai (belum
out of date). Di samping itu, peraturan pemerintah dan kondisi
95
ekonomi global cukup mendukung. Tindakan rescheduling ini
dilakukan karena terjadi kelebihan Kredit terhadap objek kedit (over
finance). Agunan yang dikuasai bank cukup mengatasi dan memenuhi
syarat yuridis.
2. Persyaratan kembali ( reconditioning)
Yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan kredit,
antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka
waktu dan/ atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa
kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank. Persyaratan
kembali dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
a. Perubahan tingkat suku bank.
b. Perubahan tata cara perhitungan bunga.
c. Pemberian keringanan tunggakan bunga.
d. Pemberian keringanan denda.
e. Pemberian keringanan ongkos/biaya.
f. Perubahan struktur permodalan perusahaan debitor.
g. Bank ikut dalam penyertaan modal sebagaimana diatur dalam Pasal
10 ayat 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
31/147/KEP/DIR tgl. 12-11-1988.
h. Perubahan kepengurusan perusahaan debitor biasanya bank ikut
memberikan pendapat dalam pembentukan susunan pengurus baru
tersebut.
96
i. Perubahan syarat-syarat kredit.
j. Perubahan syarat-syarat lain.
k. Penambahan agunan.
l. Perubahan bentuk hukum dari CV ke PT, sehingga menambah
modal efektif disetor.
m. Kombinasi antara bentuk-bentuk reconditioning di atas.
Dalam bukunya Kasmir bahkan tindakan reconditioning salah
satunya dapat dilakukan dengan memberikan pembebasan bunga.
Dalam pembebasan suku bunga diberikan kepada nasabah dengan
pertimbangan nasabah sudah tidak akan mampu lagi membayar kredit
tersebut. Namun, nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk
membayar pokok pinjamannya sampai lunas.
Tindakan reconditioning dapat diberikan kepada debitor yang
masih memiliki iktikad baik untuk melunasi kewajibannya, yang
berdasarkan pembuktian secara kuantitatif merupakan alternatif yang
terbaik. Mesin/pabrik/proses produksi masih berfungsi baik dan dan
terawat, kapasitas masih dapat ditingkatkan. Usaha debitor dikelola
oleh manajemen yang profesional dan menggunakan tenaga kerja
yang cukup terampil. Untuk kelangsungan produksinya, debitor tidak
mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, dan berproduksi
dengan memakai teknologi yang memadai. Peraturan pemerintah dan
kondisi ekonomi secara global cukup mendukung. Tindakan
reconditioning ini dilakukan karena debitor mengalami kekurangan
97
modal kerja. Agunan yang dikuasai bank cukup mengatasi dan
memenuhi syarat yuridis.
3. Penataan kembali (Restructuring)
Yaitu, perubahan persyaratan kredit tidak terbatas pada
rescheduling atau reconditioning, antara lain meliputi:
a. Penurunan suku bunga kredit
b. Pengurangan tunggakan bunga kredit.
c. Pengurangan tunggakan pokok kredit.
d. Perpanjangan jangka waktu kredit.
e. Penambahan fasilitas kredit.
f. Pengambilalihan agunan atau aset debitor.
g. Jaminan kredit dibeli oleh bank
h. Konversi kredit menjadi modal sementara dan pemilikan saham.
i. Alih manajemen
j. Pengambilalihan pengelolaan proyek
k. Pembaruan utang
l. Subrogasi
m. Cessie
n. Debitor menjual sendiri barang jaminan
o. Bank menjual barang-barang jaminn di bawah tangan
p. Penghapusan piutang
98
Dalam buku Manajemen Perbankan yang ditulis Kasmir bahwa
penyelesaian kredit macet juga dapat dilakukan dengan cara “kombinasi”
dan “penyitaan jaminan”. Kombinasi di sini maksudnya adalah kombinasi
dari ketiga jenis metode tersebut, yaitu kombinasi antara restructuring
dengan reconditioning atau rescheduling dengan restructuring. Sedangkan
penyelesaian kredit dengan penyitaan jaminan adalah jalan terakhir apabila
nasabah benar-benar tidak punya iktikad baik atau sudah tidak mampu lagi
untuk membayar semua utang-utangnya.
Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan atas dasar
permohonan secara tertulis dari nasabah. Restrukturisasi kredit hanya
dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran
2. Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi
kewajiban setelah restrukturisasi.
Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan untuk kredit dengan
kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Restrukturisasi kredit wajib
didukung dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai serta
terdokumentasi dengan baik. Restrukturisasi kredit dapat dilakukan paling
banyak tiga kali dalam jangka waktu perjanjian kredit. Restrukturisasi kredit
kedua dan ketiga dapat dilakukan paling cepat enam bulan setelah
restrukturisasi kredit sebelumnya.
99
Pada kredit bermasalah, apabila menurut pertimbangan bank sudah
tidak mungkin terselamatkan dan menjadi lancar kembali melalui upaya-
upaya penyelamatan sehingga akhirnya kredit tersebut menjadi macet, maka
bank akan melakukan tindakan-tindakan penyelesaian atau penagihan kredit
bermasalah atau macet itu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Penyelesaian atau penagihan kredit bermasalah itu merupakan upaya bank
untuk memperoleh kembali pembayaran bank dari nasabah debitor dan/atau
penjamin atas kredit bank yang telah menjadi bermasalah atau tanpa
melikuidasi agunannya. Walaupun bank tidak mengharapkan terjadinya
kredit bermasalah, seluruh pejabat bank terutama yang berkatan dengan
perkreditan harus memiliki pandangan dan persepsi sama dalam
menanggulangi kredit bermasalah tersebut. Karena itu, untuk menyelesaikan
kredit bermasalah perlu menggunakan pendekatan, diantaranya:72
1. Bank tidak membiarkan atau menutup-nutupi adanya kredit bermasalah,
2. Bank harus mendeteksi secara dini adanya kredit bermasalah atau
diduga akan menjadi kredit bermasalah,
3. Penanganan kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit-kredit
bermasalah juga harus dilakukan secara dini dan sesegera mungkin,
4. Bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara
menambah plafond kredit atau tunggakan bunga tersebut atau yang
lazim dikenal dengan praktek plafondering kredit.
72
Rachmadi Usman, ...op., cit., hlm 296
100
5. Bank tidak boleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit
bermasalah, khususnya untuk kredit bermasalah kepada pihak-pihak
yang terkait dengan bank dan debitor-debitor besar tertentu.
Bank dalam rangka menyelesaikan kredit bermasalah atau macet
dapat menempuh cara-cara sebagai berikut:73
1. Penyerahan pengurusan kredit macet kepada PUPN
Dengan Undang-Undang Nomor 49/Prp/Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara dibentuklah Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN) yang tugasnya antara lain mengurus piutang negara yang oleh
pemerintah atau badan-badan yang secara langsung atau tidak langsung
dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab
lainnya telah diserahkan pengurusannya kepadanya. Piutang negara
yang diserahkan ialah piutang, yang adanya dan besarnya telah pasti
menurut hukum, akan tetapi yang menanggung utangnya (penjamin)
tidak melunasinya sebagaimana mestinya. Jadi pengurusan dan
penyelesaian kredt-kredit macet dari bank milik negara dan daerah
diserahkan kepada PUPN. Lain halnya dengan bank-bank swasta, bank-
bank milik negara dan daerah diserahkan kepada PUPN.
2. Proses Gugatan Perdata
Sejalan dengan klausula yang biasanya tercantum dalam setiap perjanjian
kredit antara bank dan nasabahnya, maka dalam hal nasabah sebagai
debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk melunasi kredit, bank
73
Ibid., hlm 297-298.
101
dapat mengajukan gugatan perdata kepada pengadilan. Setelah
ditetapkannya keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
pasti, maka debitor dpat diperintahkan untuk memenuhi kewajibannya.
Apabila debitor tetap tidak melunasi kredit, pelaksanaan keputusan
tersebut dilakukan atas dasar perintah dan dengan pimpinan ketua
Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatannya. Atas dasar perintah
Ketua Pengadilan Negeri tersebut, dilakukan penyitaan harta kekayaan
debitor untuk kemudian dilelang. Hasil pelelangan dipergunakan untuk
melunasi kredit yang telah diberikan oleh bank.
3. Penyelesaian melalui badan arbitrase (perwasitan)
Dalam perjanjian kredit kadang-kadang dicantumkan pula klausula yang
menyebutkan bahwa apabila timbul sengketa sebagai akibat dari
perjanjian kredit, maka penyelesaiannya melalui arbitrase dan keputusan
arbitrase merupakan keputusan final. Klausula arbitrase menetapkan
cara-cara penunjukkan arbiter (wasit) dan susunan tim arbiter yang akan
memutuskan sengketa. Tim arbiter dibentuk dengan masing-masing
pihak menunjuk seorang arbiter dan kemudian kedua orang abiter ini
memilih seorang arbiter lainnya sebagai ketua. Adapun manfaat
penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini keputusannya lebih cepat
diperoleh bila dibandingkan melalui pengadilan yang sifat
penyelesaiannnya tertutup dan dapat menjaga nama baik para pihak.
102
4. Penagihan oleh penagih utang (Debt Collector) Swasta
Beberapa bank swasta dalam rangka mempercepat penyelesaian
penagihan kredit macet, memanfaatkan jasa penagih utang swasta, yang
laimnya disebut dengan debt collector. Pemanfaatan debt collector dalam
menagih kredit macet bank ini ternyata jauh lebih efektif dibanding
kepada PUPN atau melalui proses gugatan. Pihak bank cukup
memerintahkan orang lain berdasarkan surat kuasa untuk menagih utang
kepada nasabah debitor kredit macet dan untuk atas nama bank yang
memberi kuasa.
Penyelesaian kredit bermasalah melalui institusi hukum dapat
dilakukan melalui pendekatan litigasi (jalur pengadilan) dan pendekatan
nonlitigasi (di luar pengadilan). Pendekatan litigasi akan meyerap biaya
yang cukup besar serta memakan waktu yang cukup lama karena adanya
proses hukum. Sedangkan pendekatan nonlitigasi menyerap biaya yang
relatif kecil serta memakan waktu yang relatif lebih singkat. Upaya
penyelesaian non litigasi dapat ditempuh melalui proses mediasi yang
akhir-akhir ini sedang dikampanyekan oleh Bank Indonesia dan sedang
laris manis digunakan oleh bank dalam menyelesaikan sengketa terhadap
nasabahnya.
103
BAB III
PELAKSANAAN PRINSIP KEHATI-HATIAN TERHADAP PEMBERIAN
KREDIT MODAL KERJA DI BPR REDJO BHAWONO
A. Pelaksanaan Prinsip Kehati-Hatian terhadap Pemberian Kredit
Modal Kerja di BPR Redjo Bhawono
Bank Perkreditan Rakyat Redjo Bhawono (BPR Redjo Bhawono)
adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan sebagai lembaga
intermediasi yang telah memenuhi aturan perundang-undangan Perbankan,
peraturan Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan. BPR Redjo
Bhawono sebagai badan hukum didirikan berdasarkan Akta Anggaran
Dasar Bank Perkreditan Rakyat Redjo Bhawono yang didirikan dengan
Akta Notaris Nomor 1 tanggal 03 Maret 1989 dan telah mendapat
persetujuan Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Dalam perkembangannya BPR Redjo Bhawono ini telah diakuisisi
oleh Natasha Group pada Desember 2014. Hal ini dikarenakan BPR Redjo
Bhawono ingin mengembangkan diri sehingga modal yang dimiliki harus
lebih kuat. Oleh karena itu BPR Redjo Bhawono diakuisisi oleh Natasha
Group dan saat ini berganti nama menjadi Bank Natasha yang merupakan
gabungan dari Natasha dan Navaagreen. Meskipun BPR Redjo Bhawono
ini telah diakuisisi namun tidak ada yang berubah dari segala aktivitas
104
perbankannya. Dalam hal ini yang berbeda adalah nama bank dan
pemiliknya.
Pengelolaan kredit adalah kunci utama bagi perbankan nasional
untuk tetap bertahan dalam persaingan yang ketat, serta akan memberikan
pendapatan, atau keuntungan yang diharapkan. Tentunya tidak terlepas
dari penerapan prinsip kehati-hatian pada setiap pengajuan kredit oleh
nasabah. Langkah-langkah perbankan dalam menyalurkan kredit
meliputi:74
1. Perencanan Kredit
Perencanaan kredit merupakan salah satu langkah awal yang
dapat dilakukan bank untuk meminimalisir adanya kredit bermasalah.
Perencanaan kredit berkaitan dengan penerapan prinsip kehati-hatian
agar kredit yang disalurkan tepat sasaran. Perencanaan kredit tesebut
dapat meliputi penetapan pasar sasaran, kriteria resiko, kriteria
nasabah yang dapat dilayani, dan batasan-batasan dalam pemberian
kredit. Penetapan pasar sasaran (target market) kredit ditentukan bank
agar kredit yang disalurkan tepat sasaran. Dalam perencanaan kredit
harus ditetapkan kriteria resiko yang mungkin timbul di tiap pasar
sasaran yang telah ditentukan. Setelah melakukan penetapan pasar
sasaran dan kriteria resiko, bank harus menentukan kriteria nasabah.
Tujuan penentuan kriteria nasabah adalah membatasi kredit nasabah
74 Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan...op.cit.., hlm. 167-
169.
105
yang dinilai tidak akan memberikan keuntungan bagi bank. Tahapan
terakhir dalam melaksanakan perencanan kredit adalah menentukan
batasan-batasan dalam pemberian kredit. Pembatasan ini dilakukan
agar bank tidak melakukan aktivitas penyaluran kredit yang
melanggar ketentuan yang telah ditetapkan Bank Indonesia.
2. Proses Pemberian Kredit
Bank dalam menentukan calon nasabah harus memperhatikan
beberapa prosedur pemberian kredit, diantaranya:75
a. Pengajuan proposal
Dalam hal ini pengajuan proposal dapat berupa pengisian
aplikasi kredit yang telah diisi calon nasabah dengan melengkapi
syarat-syarat yang dibutuhkan nasabah, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Dalam proposal kredit ini, dapat terlihat mengenai
riwayat perusahaan yang dijalankan calon debitor. Selain itu,
tujuan dari pengambilan kredit calon debitor juga dapat terlihat
dalam pengajuan aplikasi kredit ini. Apakah tujuan dari kredit ini
untuk memperbesar omset penjualan atau meningkatkan kapasitas
produksi atau untuk mendirikan usaha baru. Jumlah kredit dan
jangka waktu peminjaman juga dapat terlihat dalam aplikasi kredit
ini, sehingga bank dapat memberitahukan kepada calon debitor
angsuran yang harus dibayarkan setiap bulannya. Cara pemohon
dalam mengembalikan kreditnya juga dapat terlihat dalam aplikasi
75
Kasmir, Manajemen Perbankan Edisi... op.cit hlm. 106-108.
106
kredit ini, karena dalam aplikasi kredit Bank Perkreditan Rakyat
Redjo Bhawono terdapat point mengenai tekhnis pembayaran
angsuran. Pada tahap ini, calon nasabah juga menjelaskan
mengenai jaminan yang akan diserahkan ke bank. Penilaian
jaminan kredit ini harus teliti, karena jaminan ini yang mampu
mengcover kredit yang akan diajukan. Semua persyaratan yang
dibutuhkan bank dilengkapi oleh calon debitor.
b. Penelitian Berkas Pinjaman
Sebelum bank menyetujui permohonan kredit calon debitor,
bank melakukan penyelidikan dokumen-dokumen yang telah
dilengkapi calon debitor. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
apakah berkas yang diajukan sudah lengkap sesuai persyaratan
yang telah ditetapkan. Jika persyaratan yang diserahkan calon
debitor belum lengkap, maka bank akan konfirmasi kepada calon
debitor untuk segera melengkapi. Pada tahap ini, bank harus teliti
dalam menyelidiki berkas-berkas yang telah masuk. Seperti,
mengenai kebenaran dan keaslian berkas yang telah diserahkan
calon debitor. Jika berkas-berkas itu terbukti asli dan benar, maka
pihak BPR mencoba menghitung apakah jumlah kredit yang
diminta telah relevan dengan kemampuan calon nasabah dalam
membayar angsurannya setiap bulan.
107
c. Proses Analisis Kredit
Proses analisis pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo
Bhawono dimulai dari pengisian aplikasi kredit beserta
kelengkapan-kelengkapannya. Dalam pengisian aplikasi kredit
tersebut bank dapat melakukan analisis 5C dan 7 P. Dari aplikasi
kredit tersebut Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono
secara tidak langsung dapat melihat kemampuan calon debitor
yang mengajukan kredit. Dalam hal ini berkaitan dengan capacity
(kemampuan). Kemampuan calon debitor dapat dilihat dari usaha
yang sedang dijalani. Salah satunya dengan melakukan analisis
usahanya dari waktu ke waktu. Apakah usaha yang dijalani itu
mempunyai prospek yang baik ke depannya atau tidak. Hal ini
karena berkaitan dengan pendapatan calon debitor. Jika pendapatan
atau keuntungan meningkat maka bisa menjadi pertimbangan bank
untuk menyatakan calon debitor yang bersangkutan layak diberikan
kredit. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono
menganalisis pengajuan suatu kredit dari analisis keuangan per
bulan.
Kemampuan debitor dalam mengembalikan kreditnya juga
berkaitan dengan payment (pembayaran). Payment berkaitan
mengenai sumber pembayaran kredit dari calon debitor cukup
tersedia dan cukup aman, sehingga diharapkan bahwa kredit yang
akan dicairkan dapat dibayar kembali oleh debitor yang
108
bersangkutan. Dalam hal ini, biasanya seorang debitor
mengandalkan pembayaran kreditnya dari usaha yang didirikannya,
sehingga Bank perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono
mengambil keputusan untuk mencairkan suatu kredit.
Modal (capital) juga menjadi pertimbangan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono dalam proses analisis
kredit. Modal awal dari calon debitor menjadi perhatian khusus
karena dari modal yang dimiliki calon debitor dapat dianalisis
apakah calon debitor mempunyai modal yang cukup untuk
memulai usahanya atau mengembangkan usahanya. Modal ini
diperlukan untuk mengukur tingkat rasio likuiditas dan solvabilitas.
Rasio ini diperlukan berkaitan dengan pemberian kredit untuk
jangka pendek atau jangka panjang.
Dari kemampuan dan modal calon debitor dapat ditarik
kesimpulan mengenai kondisi ekonomi (Condition of economic)
sesungguhnya. Apakah calon debitor termasuk golongan ekonomi
kuat atau lemah, golongan ekonomi atas, menengah, atau bawah.
Kondisi ekonomi ini perlu menjadi sorotan karena akan berdampak
baik secara positif maupun negatif terhadap usaha calon debitor.
Ketika analisis kredit terhadap kemampuan calon debitor,
kondisi ekonomi, dan modal yang dimiliki nasabah selesai
dianalisis, maka dapat dianalisis mengenai watak (character) calon
debitor. Meskipun seringkali watak dari calon debitor itu berubah
109
ketika kredit sudah berjalan karena faktor dari berbagai hal, namun
tetap analisis watak di awal ketika pengajuan kredit menjadi
penting. Watak dari calon debitor merupakan salah satu faktor
yang harus dipertimbangkan dan merupakan unsur yang terpenting
sebelum memutuskan untuk memberikan kredit kepada calon
debitor. Dalam hal ini meyakini benar calon debitornya memiliki
reputasi baik artinya selalu menepati janji dan tidak terlibat hal-hal
yang berkaitan dengan kriminalitas misalnya penjudi, pemabuk
atau penipu. Watak berkaitan pula dengan personality, sehingga
bank melakukan analisis watak dan personality secara sekaligus.
Dari personality Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono
dapat menilai calon debitor dari segi kepribadiannya atau tingkah
lakunya sehari-hari maupun kepribadian masa lalunya. Penilaian
personality juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku, dan
tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah dan
menyelesaikannya.
Analisis selanjutnya yaitu mengenai jaminan (collateral).
Setelah calon debitor mengisi aplikasi kredit, kemudian calon
debitor yang bersangkutan menyerahkan jaminan ke Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono sebagai persyaratan
yang harus dipenuhi calon debitor dalam pengajuan kredit.
Jaminan yang diberikan oleh calon debitor akan diikat suatu hak
atas jaminan sesuai dengan jenis jaminan yang diserahkan.
110
Menurut aturan hukum positif, jaminan adalah sesuatu yang
diberikan kepada kreditor yang diserahkan oleh debitor untuk
menimbulkan keyakinan dan menjamin bahwa debitor akan
memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul
dari suatu perikatan.76
Pada perjanjian kredit tentu saja ada pemeran utama yaitu
nasabah dan bank. Dalam penilaian suatu kredit nasabah dan bank
masuk ke kategori para pihak (party). Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) Redjo Bhawono menganalisis mengenai profil dari calon
debitor sebelum kredit yang diajukan disetujui. Profil calon debitor
dapat dilihat di formulir kredit/aplikasi kredit yang telah diisi calon
debitor. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan karakter maupun
kemampuan calon debitor. Pihak pemberi kredit atau Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono harus memperoleh
suatu kepercayaan terhadap para pihak, dalam hal ini debitor agar
kredit yang dicairkan nanti tidak mengalami permasalahan.
Aplikasi kredit yang telah diisi calon debitor berguna juga
untuk melihat tujuan calon debitor mengajukan kredit. Dalam hal
ini calon debitor mengajukan kredit untuk mengembangkan
bisnisnya. Ketika Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono
mengetahui maksud dari kredit yang diajukan, maka bank dapat
menentukan produk yang akan digunakan calon debitor, yaitu
76
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,
(Yogyakarta: Liberty, 1984), hlm. 50.
111
modal kerja. Tentu tujuan (purpose) harus dilihat apakah kredit
akan digunakan untuk hl-hal positif atau tidak, atau apakah kredit
yang diajukan itu nantinya dapat menaikkan income perusahaan
dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benar-benar
diperuntukkan untuk tujuan seperti diperjanjikan dalam suatu
perjanjian kredit. Dari purpose tersebut sekaligus dapat menilai
usaha calon debitor di masa yang akan datang menguntungkan atau
tidak atau dengan kata lain mempunyai prospect atau sebaliknya.
Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas kredit yang dibiayai
tanpa mempunyai prospect bukan hanya kreditor yang rugi akan
tetapi juga debitor. Purpose dan prospect berkaitan dengan aspek
pemasaran dan aspek ekonomi sosial. Dari aspek pemasaran, bank
menilai usaha yang dimiliki calon debitor akan laku dipasaran atau
tidak. Bagaimana cara calon debitor melakukan strategi pemasaran
juga perlu diketahui bank, agar usaha yang akan diberikan kredit
dapat terus berkembang. Dari aspek ekonomi sosial, bank juga
menilai dampak dari usaha yang dijalankan calon debitor baik dari
segi ekonomi maupun sosial. Apakah usaha yang dijalankan
berdampak terhadap masyarakat sekitar, masyarakat luas, dan
mempunyai prospek yang baik atau hanya sekedarnya.
Prospect yang menjanjikan di masa yang akan datang akan
memberikan keutungan lebih untuk debitor, sehingga diharapkan
dengan keuntungan yang lebih banyak itu dapat mengurangi resiko
112
kredit bermasalah. Keuntungan dalam perbankan dapat digunakan
untuk memberikan penilaian suatu kredit. Istilah dalam perbankan
berkaitan dengan penilaian keuntungan adalah profitability.
Profitability (perolehan laba) digunakan Bank Perkredtan Rakyat
(BPR) Redjo Bhawono untuk menganalisis kemampuan calon
debitor dalam mencari laba. Unsur perolehan laba oleh calon
debitor juga bagian terpenting dalam suatu pemberian kredit.
Untuk itu, kreditor berantisipasi apakah laba yang akan diperoleh
perusahaan lebih besar daripada bunga pinjaman dan apakah
pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kembali
kreditnya. Bank tidak akan merasa khawatir jika calon debitor itu
mempunyai usaha yang benar-benar mempunyai prospect baik.
Sebagaimana nasabah Tn. A yang usahanya bergerak di bidang
tembakau di daerah Wonosari diperkirakan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) Redjo Bhawono mempunyai prospect yang baik ke
depannya, sehingga bank memutuskan memberikan kredit dalam
jumlah besar. Namun, begitu disayangkan karena Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) Redjo Bhawono tidak memperhatian keuangan Tn.
A dari periode ke periode, sehingga bank tidak bisa secara dini
mendeteksi adanya kredit bermasalah. Aspek keuangan di sini
diperlukan untuk menilai keuangan perusahaan calon debitor.
Laporan keuangan usaha milik calon debitor perlu dilampirkan
sebagai bahan pertimbangan.
113
Dalam penilaian kredit, Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Redjo Bhawono juga tidak luput memperkirakan resiko yang
mungkin terjadi, sehingga bank mencari cara bagaimana agar
kredit yang diberikan mendapatkan jaminan perlindungan, yaitu
dengan adanya jaminan. Penyerahan jaminan nasabah ke Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono merupakan bentuk
protection (perlindungan) bank agar kredit yang diberikan benar-
benar aman. Perlindungan yang diberikan oleh debitor dapat
berupa jaminan barang atau orang atau asuransi.77
Dalam hal ini
debitor memberikan jaminan berupa sertifikat tanah, yang
kemudian diberi Hak Tanggungan.
Aspek lain yang menjadi perhatian bank diantaranya, aspek
hukum. Hal ini berkaitan dengan keaslian dan keabsahan dokumen-
dokumen yang telah diajukan calon debitor. Semua dokumen yang
diajukan calon debitor harus benar-benar dipastikan keaslian dan
keabsahannya. Berkaitan dengan kredit modal kerja, bank juga
harus meneliti mengenai lokasi usaha calon debitor. Hal ini
berkaitan dengan aspek tekhnis/operasi yang dilakukan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono untuk memastikan
usaha yang dijalankan calon debitor benar-benar ada. Dari sini
dapat dilihat mengenai kelengkapan sarana dan prasarana yang
dmiliki calon debitor.
77
Kasmir, Manajemen Perbankan Edisi... op. cit., hlm. 119.
114
Kelengkapan sarana dan prasarana juga berkaitan dengan
sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki calon debitor. Apakah
SDM yang dimiliki banyak atau hanya beberapa. Keberadaan SDM
berkaitan dengan aspek manajemen dimana dari informasi yang
diberikan SDM dapat menilai pengalaman calon debitor dalam
mengelola usahanya. Dari prasarana yang dimiliki calon debitor
juga dapat dilihat dampaknya bagi lingkungan. Hal ini berkaitan
dengan aspek AMDAL. Aspek yang digunakan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) Redjo Bhawono untuk menilai apakah usaha yang
dijalankan calon debitor berdampak pada lingkungan, baik darat,
air, dan udara sekitarnya. Apakah usaha calon debitor mengganggu
lingkungan sekitar atau tidak. Berkaitan dengan Tn. A yang
mengajukan kredit modal kerja untuk usaha tembakau, maka aspek
hukum, ekonomi sosial, AMDAL sudah dipenuhi calon debitor.
d. Proses Wawancara Pertama
Wawancara pertama dilakukan bank ketika calon debitor
mengisi aplikasi kredit dan menyerahkan persyaratan-persyaratan
yang dibutuhkan bank. Pada tahap ini, bank berhadapan langsung
dengan calon debitor. Di sini bank melakukan penyelidikan awal
terhadap calon debitor dengan mengajukan beberapa pertanyaan
yang sifatnya mendasar. Hal ini bertujuan memberikan keyakinan
kepada bank mengenai berkas-berkas yang diserahkan. Pada
115
wawancara ini, bank dapat mengetahui keinginan dan kebutuhan
calon debitor sebenarnya.
e. Peninjauan ke lokasi (On The Spot)
Setelah semua dokumen calon debitor masuk dan bank
memperoleh keyakinan terhadap kredit yang diajukan, maka bank
melakukan peninjauan ke lokasi atau survey. Bank mencocokkan
hasil survey dengan hasil wawancara pertama. Tujuan dari
dilakukannya survey ini adalah untuk memastikan bahwa objek
yang akan dibiayai benar-benar ada dan sesuai dengan apa yang
telah disampaikan calon debitor.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono melakukan
peninjauan terhadap lokasi usaha yang akan dibiayai bank. Hal ini
untuk memastikan apakah usaha yang dijalankan calon debitor
benar-benar ada dan sedang berjalan. Selain itu, peninjauan juga
dilakukan untuk meneliti mengenai jaminan yang diserahkan calon
debitor kepada bank. Dalam hal ini jaminan berupa sertifikat tanah.
Jadi, bank meninjau tanah yang dijadikan jaminan. Dari peninjauan
lokasi tanah yang dijadikan jaminan, bank dapat mentaksir nilai
jual tanah tersebut, sehingga bank dapat mengetahui apakah tanah
tersebut mampu mengcover kredit yang diajukan atau tidak.
Peninjauan seperti ini dilakukan untuk mengantisipasi jika
sewaktu-waktu debitor wanprestasi, maka objek yang dijadikan
116
jaminan tersebut dapat digunakan untuk mengembalikan kredit
debitor.
Peninjauan terhadap lokasi rumah dari calon debitor juga
tidak luput dari pengamatan bank. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Redjo Bhawono mendokumentasikan rumah dari calon debitor dan
lingkungan sekitarnya. Hal ini untuk memastikan rumah yang
ditempati calon debitor layak untuk ditempati dan memastikan
status sosial dari calon debitor. Peninjauan ke lokasi (on the spot)
seperti ini juga untuk menjalin kedekatan dengan calon debitor,
agar bank lebih mengenal calon debitornya.
f. Wawancara kedua
Wawancara kedua ini dilakukan jika bank membutuhkan
beberapa berkas tambahan. Wawancara kedua ini merupakan
kegiatan perbaikan berkas atau kelengkapan berkas.
g. Proses Keputusan Kredit
Keputusan kredit dilakukan setelah bank melakukan
beberapa tahap sebagaimana telah dijelaskan. Keputusan kredit
bertujuan untuk menentukan apakah kredit yang diajukan calon
debitor layak diberikan atau ditolak. Jika keputusan kredit layak,
maka bank akan mempersiapkan kelengkapan administrasinya,
seperti pembuatan perjanjian kredit yang akan ditandatangani calon
debitor, jumlah uang yang diterima, jangka waktu kredit tersebut,
117
biaya-biaya yang harus dibayarkan nasabah ketika kredit tersebut
cair.
h. Penandatanganan Perjanjian Kredit
Sebelum kredit dicairkan, maka terlebih dahulu calon debitor
menandatangani perjanjian kredit. Perjanjian kredit ditandatangani
di hadapan pihak bank dan notaris secara langsung. Pada saat
penandatanganan perjanjian kredit, debitor diminta untuk membaca
dan memahami keseluruhan isi dari perjanjian kredit tersebut.
Setiap lembar dari perjanjian kredit harus dibubuhi paraf dari
debitor, istri/suami debitor/salah satu keluarga yang tercantum
dalam perjanjian kredit, dan paraf dari pihak bank. Hal ini untuk
memastikan bahwa setiap lembar dari perjanjian kredit ini telah
dibaca dan dipahami debitor.
Debitor dapat menanyakan ke bank beberapa hal yang
dikiranya tidak atau belum dipahami. Bank akan menjelaskannya
secara detail. Selain itu, Bank akan menjelaskan mengenai
beberapa point yang dikiranya penting untuk diketahui debitor
sebagai penegasan bahwa debitor benar-benar memahami isi
perjanjian yang akan ditandatanganinya.
Setelah debitor memahami isi dari perjanjian kredit, maka
debitor menandatangani isi perjanjian kredit ini, diikuti dengan
tanda tangan dari pihak keluarga debitor (istri/keluarga yang paling
dekat), kemudian tanda tangan dari pihak bank, dalam hal ini tanda
118
tangan dari Direktur Utama. Setelah semua pihak menandatangani
perjanjian kredit, kemudian pihak notaris memberikan cap di
perjanjian kredit ini sebagai penanda bahwa perjanjian kredit telah
dibaca, dipahami, disetuju, dan sah. Kemudian tanda tangan notaris
yang ditunjuk pihak bank.
i. Proses Realisasi Kredit
Setelah perjanjian kredit ditandatangani debitor, maka
selanjutnya adalah merealisasikan kredit. Realisasi kredit diberikan
setelah penandatanganan surat-surat yang diperlukan. Realisasi
kredit sesuai dengan perjanjian yang berlaku.
Proses tersebut dilakukan bank untuk meminimalisir adanya
kredit bermasalah. Dalam hal ini perlu dilakukan analisis kredit
yang akurat. Analisis kredit merupakan bagian terpenting dari
terealisasinya pengajuan kredit nasabah. Analisi kredit adalah
proses pengolahan informasi yang lengkap. Proses analisis kredit
harsus dilakukan sebelum diberikan persetujuan pemberian fasilitas
kredit ke nasabah.
3. Administrasi Kredit
Administrasi kredit bertujuan mendukung langkah-langkah
pembinaan atau pengawasan atas perkembangan kredit sehingga
kepentingan bank dapat terlindung. Di dalam administrasi kredit
terdapat bagian yang sangat penting, yaitu dokumentasi kredit.
Dokumen kredit adalah seluruh dokumen yang diperlukan dalam
119
kredit yang merupakan bukti perjanjian/ikatan hukum antara bank dan
debitornya dan yang merupakan bukti kepemilikan barang agunan
serta dokumen-dokumen perkreditan lainnya, yang semua itu
merupakan perbuatan hukum dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari paket kredit.
4. Pengawasan Kredit
Pengawasan kredit di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo
Bhawono dilakukan oleh marketing/Account Officer.78
Ada dua cara
pengawasan atau monitoring, yaitu secara administrasi yang
dilakukan bank dan secara fisik dengan melakukan pemerikasaan di
tempat usaha debitor.
Secara administrasi, pengawasan dilakukan oleh komite kredit.
Sebelum kredit dinyatakan layak untuk diberikan, marketing
membuat analisis terlebih dahulu. Analisis tersebut tertuang dalam
nota usulan kredit. Kemudian diajukan ke komite kredit. Komite
kredit terdiri dari Kabag kredit, Direksi, Direktur Utama. Ketika
kredit yang diajukan sampai di komite kredit, maka akan
didiskusikan pengajuannya, apakah layak diberikan atau tidak. Salah
satu bentuk dari pengawasan kredit adalah ketika kredit tersebut
benar-benar didiskusikan di komite kredit, maka semua hal yang
berkaitan dengan calon debitor, terutama hal yang berkaitan dengan
kredit harus diungkapkan. Hal ini karena komite kredit yang akan
78 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 8 Mei
2015.
120
memutuskan apakah calon debitor layak atau tidak untuk diberikan
kredit. Komite kredit sangat mempunyai wewenang akan hal itu.
Setelah kredit dicairkan pengawasan tetap berlanjut. Pengawasan
atau monitoring secara fisik dilakukan oleh marketing/Account
Officer. Marketing yang melakukan survey ke lokasi (on the spot).
Jadi, marketing yang merekomendasikan calon debitornya, juga ikut
mengontrol. Begitu pula ketika sudah mulai pembayaran angsuran
per bulan, marketing juga mengecek apakah debitor yang
bersangkutan sudah membayar kewajibannya atau belum.
Dalam dunia perbankan di negara berkembang seperti
Indonesia, fasilitas kredit merupakan salah satu cara yang sering
digunakan oleh perseorangan, badan usaha atau instansi untuk
mendapatkan pinjaman atau suntikan dana. Pada Pasal 1 butir 11
Undang-Undang Perbankan dijelaskan tentang kredit. Kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga. Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui, bahwa kredit
merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara bank sebagai
kreditor dan nasabah sebagai debitor.
121
1. Untuk memperoleh keyakinan dalam memberikan kredit, maka
bank harus melakukan penilaian secara seksama terhadap watak,
kemampuan, modal agunan dan prospek usaha dari debitor, dan
dalam dunia perbankan kelima faktor tersebut biasa disebut dengan
prinsip 5 C (Character, Capacity, Capital, Collateral dan
Conditional of Economy).
2. Salah satu cara kreditor memperoleh keyakinan terhadap watak
calon debitor agar mengetahui riwayat kredit debitor, yaitu dengan
mencari informasi tentang data fasilitas yang dimiliki oleh calon
debitor melalui IDI Historis dengan cara BI Checking.79
BI
Checking sendiri dapat dikatakan sebagai suatu proses pengecekan
IDI Historis melalui lembaga keuangan (Biro Informasi Kredit),
Gerai Info Bank Indonesia maupun melalui Online pada suatu
sistem yang disebut SID (Sistem Informasi Debitor) yang dikelola
oleh Bank Indonesia. Sistem Informasi Debitor merupakan suatu
sistem yang dipergunakan untuk menghimpun dan menyimpan
data fasilitas penyediaan dana/pembiayaan yang disampaikan oleh
seluruh anggota Biro Informasi Kredit secara rutin setiap bulan
kepada Bank Indonesia.
3. Data tersebut kemudian diolah untuk menghasilkan output berupa
IDI Historis. Isi dari IDI historis ini mencakup seluruh penyediaan
79 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Cetakan
Kedua, (Jakarta: Djambatan, 1996), hlm 44.
122
dana atau pembiayaan dengan kondisi lancar atau bermasalah, serta
berisi tentang informasi mengenai sejarah pembayaran kredit “si
debitor” dalam kurun waktu 24 (dua puluh empat) bulan terakhir.
4. Data debitor dalam IDI historis diperoleh Bank Indonesia dari
laporan anggota Biro Informasi Kredit.
5. IDI Historis ini tercetak secara otomatis oleh sistem sehingga tidak
memerlukan tanda tangan pejabat yang berwenang.
6. Dalam hal ini, pejabat yang berwenang adalah Bank Indonesia
sebagai Bank Sentral dan memiliki kendali penuh dalam perbankan
di Indonesia. BI Checking yang tercetak berupa hardcopy
berbentuk surat.
BPR Redjo Bhawono memiliki beberapa produk yang berkaitan
dengan kredit, diantaranya:80
1. Kredit Modal Kerja yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai
kegiatan usaha atau perputaran modal.
2. Kredit Konsumsi yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai
pembelian barang atau lainnya yang tujuannya tidak untuk usaha
tetapi untuk pemakaian atau keperluan pribadi seperti untuk renovasi
rumah, pembelian barang-barang elektronik, pembelian kendaraan
bermotor baik berupa mobil, sepeda motor maupun kendaraan
lainnya dan berbagai macam kebutuhan rumah tangga lainnya.
80 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 21 April
2014.
123
3. Kredit Musiman yaitu kredit yang hanya digunakan dalam jangka
waktu kurang dari 1 (satu) tahun atau dalam istilah lain disebut juga
dengan kredit “sebrakan.”
4. Kredit Karyawan yaitu kredit yang diberikan kepada pegawai
maupun karyawan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Salah satu kredit yang menjadi bahasan penulis adalah mengenai
kredit modal kerja. Calon nasabah yang ingin mengajukan kredit modal
kerja di Bank Perkreditan Rakyat Redjo Bhawono harus mengisi
aplikasi kredit yang telah disediakan bank. Pada aplikasi kredit di BPR
Redjo Bhawono yang sekarang telah menjadi Bank Natasha,
permohonan kreditnya berisi tentang beberapa butir diantaranya :
1. Pengisian aplikasi kredit dan kelengkapan persyaratan yang ada pada
formulir pengajuan kredit.
Pada aplikasi kredit di BPR Redjo Bhawono yang sekarang telah
menjadi Bank Natasha, permohonan kreditnya berisi tentang beberapa
butir diantaranya :81
a. Butir pertama berupa data pemohon, permohonan, data usaha
(apabila pemohon pengusaha), data penghasilan, data jaminan dan
keluarga dekat yang dapat dihubungi (yang tidak serumah). Data
pemohon pada aplikasi ini terdiri dari nama, alamat Kartu Tanda
Penduduk (KTP) (apabila beda), pekerjaan, alamat kantor/usaha,
81 Data dari formulir kredit pada 8 Mei 2015.
124
nomor telepon, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), nama gadis
ibu kandung, nama suami/istri, pendidikan terakhir, status rumah,
fasilitas rumah, dan tanggungan keluarga.
b. Butir kedua adalah mengenai data permohonan. Permohonan di sini
terdiri dari jenis kredit, tujuan kredit, jumlah permohonan, jangka
waktu kredit, teknis pembayaran angsuran, asal referensi.
c. Butir ketiga adalah tentang data usaha jika pemohon merupakan
seorang pengusaha. Dalam point ini nasabah diminta untuk
menjelaskan nama perusahaan sampai dengan lamanya usaha itu
berdiri. Kemudian mengenai jenis usahanya apakah milik sendiri,
milik keluarga, milik orang lain, meneruskan orang tua atau lain-
lain, status usaha serta modal usaha.
d. Butir keempat adalah mengenai data penghasilan. Pada data
penghasilan nasabah diminta mengisi penghasilan bulanannya (gaji
atau keuntungan usaha), mengenai penghasilan suami/istri,
penghasilan tambahan lain-lain, kemudian dijumlahkan
penghasilannya tersebut. Pada data penghasilan, nasabah juga harus
mengisi hal-hal yang berkaitan dengan pengeluaran. Misalnya
pengeluaran untuk bank lain atau pengeluaran lainnya kemudian
ditotal jumlah pengeluarannya.
e. Butir kelima adalah mengenai jaminan. Jaminan yang diberikan
dapat berupa sertifikat tanah dan bangunan, BPKB kendaraan
125
bermotor maupun deposito/tabungan. Kemudian dilanjutkan
mengenai status kepemilikan barang jaminan. Apakah jaminan
tersebut milik sendiri, miilik orang tua, atau milik keluarga. Pada
kredit modal kerja pada BPR Redjo Bhawono, nasabah wajib
memberikan agunan sebagai jaminan atas kreditnya. Agunan kredit
berupa:82
1. Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB)
BPKB untuk kendaraan baik kendaraan beroda 2 (dua)
maupun beroda 4 (empat) ataupun kendaraan jenis lainnya atau
lebih.
2. Sertifikat Tanah
Sertifikat tanah yang dapat dijadikan agunan adalah Sertifikat
Hak Milik (SHM) baik untuk tanah maupun tanah dan
bangunan.
3. Bilyet deposito BPR Redjo Bhawono
Bilyet deposito tersebut digunakan untuk back to back atau
kredit yang agunannya berupa bilyet deposito sehingga ketika
kredit masih berlangsung, bilyet deposito tersebut tidak boleh
dicairkan atau ditarik sewaktu-waktu oleh nasabah sampai
kredit tersebut lunas.
4. Buku tabungan BPR Redjo Bhawono
82 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 8 Mei
2015.
126
Buku tabungan BPR Redjo Bhawono tersebut digunakan untuk
back to back atau kredit yang agunannya berupa saldo yang
mengendap pada tabungan sehingga ketika kredit masih
berlangsung, tabungan tersebut tidak boleh dicairkan atau
ditarik sewaktu-waktu oleh nasabah sampai kredit tersebut
lunas.
f. Butir keenam mengenai keluarga dekat yang dapat dihubungi (yang
tidak serumah). Pada point ini terdapat nama, alamat rumah, nomor
telepon dan hubungan keluarga. Kemudian disertakan dengan
tandatangan kedua belah pihak.
Pada tahap ini juga ada beberapa persyaraan yang harus
dipenuhi yaitu:83
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami istri;
b. Fotokopi kartu keluarga (KK/C-1) dan surat nikah;
c. Fotokopi Surat Izin Mengemudi (SIM);
d. Fotokopi Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan Surat
Tanda Nomor Kendaraan (STNK) jika yang dijadikan agunan
adalah kendaraan;
e. Fotokopi sertifikat jika yang dijadikan agunan adalah tanah atau
tanah dan bangunan;
83 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 8 Mei
2015.
127
f. Fotokopi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk jaminan tanah
atau tanah dan bangunan;
g. Fotokopi AD/ART, NPWP dan izin usaha (SIUP, TDP, HO) untuk
plafond tertentu;
h. Fotokopi slip gaji (bagi PNS / karyawan);
i. Faktur, kuitansi jual beli dan kuitansi kosong bermaterai;
j. Denah lokasi rumah, usaha, dan jaminan.
2. Setelah selesai mengisi aplikasi dan melengkapi persyaratan yang ada
tahap selanjutnya adalah melakukan register ke bagian kredit
sekaligus pemeriksaan berkas. Pemeriksaan di sini meliputi
pemerikasaan persyaratan-persyaratan yang diserahkan calon nasabah
kepada bank. Begitu pula jaminan yang diserahkan calon nasabah
untuk mengcover kredit yang diajukan. Permintaan jaminan khusus
kebendaan oleh bank dalam penyaluran kredit tersebut merupakan
realisasi prinsip kehati-hatian bank. Suatu pinjaman uang dapat
dijamin dengan suatu beban atas atau kepentingan pada barang
debitor. Jika debitor tidak dapat melunasi hutangnya, kreditor boleh
menerima barang itu dan memulihkan piutangnya dari hasil penjualan
barang milik debitor tersebut.84
Agunan hanyalah salah satu unsur
dalam analisis kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain yaitu
watak, kemampuan, modal, dan kondisi ekonomi, bank telah
memperoleh keyakinan atas kemampuan debitor dalam
84
Frans Hendra Winarta, Teknisi Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Pendekatan
Hukum, dikutip dari http://www.komisihukum.go.id, diakses tanggal 12 Februari 2008.
128
mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang,
proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan
yang lazim disebut dengan agunan pokok. Sekalipun demikian untuk
mengamankan kepentingan bank selaku kreditor, bank tidak dilarang
untuk meminta agunan tambahan di luar agunan pokok di atas.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi:
“Seluruh harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang ada maupun yang akan ada dikemudian hari
menjadi jaminan bagi perikatannya dengan para kreditor.”
3. Marketing akan melakukan survey lapangan untuk selanjutnya dibuat
analisa laporan kelayakan dari segi karakter, usaha, keuangan, jaminan
dan aspek lain yang menyangkut kondisi di lapangan. Jika nominal
kredit di bawah Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) survey
hanya dilakukan oleh marketing saja tetapi jika nominal kredit lebih
dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) survey dilakukan oleh
marketing bersama direksi. Survey seperti ini dilakukan marketing
untuk menganalisa apakah nasabah tersebut layak atau tidak diberikan
kredit. Kelayakan tersebut dapat dilihat dari segi karakter, usaha,
keuangan maupun agunan atau jaminan. Survey yang dilakukan guna
melaksanakan prinsip kehati-hatian yang merupakan salah satu bagian
dari prinsip 5 C, yaitu karakter.
4. BPR Redjo Bhawono melakukan BI Checking. Jika nasabah yang
bersangkutan lolos dari BI Checking maka dilanjutkan ke proses
129
berikutnya. Oleh karena BI Checking merupakan informasi perbankan
yang diperoleh dari Sistem Informasi Debitor kepada Bank Indonesia
secara elektronik, dimana Informasi Debitor tersebut dapat dicetak
secara otomatis oleh sistem sehingga tidak memerlukan tanda tangan
Pejabat yang berwenang, maka BI Checking tersebut jelas merupakan
alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Adapun BI Checking tersebut dapat dipergunakan untuk
membuktikan kebenaran materiil mengenai keadaan keuangan dan
kreditor lainnya yang juga memberikan fasilitas di Pengadilan, hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Perbankan. Bank
Indonesia mengatur mengenai "Kewajiban Laporan dan Koreksi SID"
ada pada Bank Umum tersebut sebagai Pelapor (SE BI No.
10/47/DPNP bab II, III, dan IV). Sehingga terbuktilah bahwa Bank
Indonesia bersifat pasif. Jadi, jika ada keterlambatan pengkinian data
SID, Bank Indonesia tidak dapat dipersalahkan namun itu semua
menjadi tanggung jawab Pelapor. Di dalam SID itu sendiri dituliskan
dengan tegas suatu pernyataan (klausul) bahwa: "Kebenaran dan
keakuratan data merupakan tanggung jawab Pelapor. Bank Indonesia
tidak bertanggung jawab terhadap segala akibat yang timbul
sehubungan dengan ketidakbenaran dan ketidakakuratan data serta
penggunaan Informasi Debitor ini dikemudian hari.85
Data SID yang
85
Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/47/DPNP sebagaimana diunduh (download) dari
130
memuat profil keuangan seorang Debitor yang memiliki kredit baik
pada satu atau lebih Kreditor perbankan maupun lembaga keuangan,
dibuat oleh pihak Bank Indonesia untuk dapat dipergunakan guna
kepentingan pihak bank atau lembaga keuangan dalam memberikan
kredit kepada seorang Debitor oleh karenanya pun penggunaannya
termasuk untuk dijadikan sebagai bukti di hadapan persidangan juga
tidak melanggar ketentuan ketentuan perbankan ataupun ketentuan
hukum positif manapun yang berlaku baik dalam peraturan Bank
Indonesia maupun ketentuan perbankan.
Secara garis besar BI Checking dapat diartikan sebagai proses
permintaan informasi tentang profil seseorang yang terkait dengan
data yang diolah Sistem Informasi Debitor yang dikelola Bank
Indonesia. Dalam kaitannya dengan pengajuan kredit, maka BI
Checking itu sendiri bertujuan untuk mengetahui sejauh mana profil
calon debitor yang terkait dengan pinjamannya di bank lain, untuk
menjadi salah satu pertimbangan pengambilan keputusan. Alur proses
pengajuan kredit dan pelaporan dibawah ini akan menjelaskannya.
a. Ketika seorang calon debitor mengajukan pinjaman ke Bank atau
Anggota SID lainnya. Pinjaman dalam bentuk apapun, hal pertama
yang dilakukan oleh pihak Bank adalah mengecek profil calon
debitor tersebut ke Bank Indonesia (secara on line). Hal itulah yang
lazim disebut dengan BI Checking.
website resmi Bank Indonesia http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/se_104708,
diakses 25 Desember 2013.
131
b. Dari hasil BI Checking tersebut akan ada beberapa kemungkinan,
yaitu:
1) Calon nasabah tidak mempunyai pinjaman, yang barang
tentu mencakup seluruh anggota SID. Kalau hasilnya seperti
ini, berarti tidak ada masalah (Clear) dengan BI
Checking. Berarti proses lainnya yang menyangkut aspek
financial, aspek legal, aspek collateral bisa diteruskan.
2) Calon nasabah mempunyai pinjaman, akan tetapi kondisinya
atau kolektibilitasnya lancar. Hasil seperti ini biasanya juga
tidak ada masalah. Proses lainnya bisa diteruskan.
3) Calon nasabah mempunyai pinjaman namun kolektibilitasnya
termasuk kategori dalam perhatian khusus (Golongan II). Hasil
seperti ini biasanya tergantung kebijaksanaan pihak
bank. Ada beberapa bank yang masih bisa memberikan
toleransi, namun tak sedikit pula yang langsung menolaknya.
Demi menjalankan prinsip kehati-hatian.
4) Calon nasabah mempunyai pinjaman namun kolektibilitasnya
termasuk kategori Golongan III ke atas. Hasil seperti ini
biasanya akan langsung ditolak.
c. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, seseorang ditolak
pengajuannya bukan hanya karena pinjaman yang
kollektibilitasnya macet (Golongan V). Sebaliknya, mulai dari
Dalam perhatian khusus (Golongan II) juga sangat memungkinkan
132
pengajuan kredit ditolak. Oleh karena itulah banyak yang salah
persepsi, khususnya calon debitor yang pengajuannya ditolak
padahal merasa tidak mempunyai kredit macet. Jawabnya adalah
mungkin memang belum sampai golongan V (macet) namun sudah
masuk golongan Non Performing Loan (NPL) yang dalam hal
mulai dari golongan II ke atas. Sistem Informasi Debitor yang
dikelola oleh Bank Indonesia, output dari Sistem Informasi Debitor
hanya menyangkut informasi indentitas debitor dan kondisi
fasilitas kredit/pembiayaan yang diterima meliputi plafond, baki
debet, jangka waktu pembiayaan, dan kondisi (histories)
pembayaran selama 24 (dua puluh empat) bulan terakhir sejak
posisi data dalam BI Checking tersebut di up date (oleh pelapor
yang dalam hal ini bank kreditor). Itupun per individu, bukan
dalam bentuk List (Daftar). Oleh karena itulah sering juga disebut
Informasi Debitor Individual (IDI).
5. Analisis kredit. Hasil analisis kredit dibuat dengan nota usulan kredit
yang kemudian dilaporkan ke Komite Kredit. Adapun tugas dari
komite kredit, yaitu:86
a. Meneliti dan menilai permohonan kredit baru yang berjumlah
besar.
b. Meneliti dan menilai permohonan perpanjangan kredit dan alasan-
alasan atas permintaan tersebut.
86
Irham Fahmi, Manajemen Perkreditan, Cetakan Kesatu (Bandung: Penerbit Alfabeta,
2014), hlm 89.
133
c. Meneliti dan menilai semua kredit yang mengalami kemacetan
untul mengetahui dan menentukkan sebab-sebabnya.
d. Meneliti apakah semua pemberian kredit tersebut telah sesuai
dengan kebijakan perkreditan bank yang bersangutan.
e. Memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen kredit.
f. Memeriksa konsistensi perlakuan terhadap permohonan.
6. Setelah ke komite kredit, jika disetujui data diserahkan ke administrasi
kredit.
Dalam hal ini bank membuat perjanjian kredit untuk calon nasabah,
disertai syarat-syarat tertentu diantaranya:
1. Maksimum kredit;
2. Keperluan kredit;
3. Jenis kredit;
4. Bentuk atau sifat kredit;
5. Jangka waktu kredit;
6. Biaya Provisi;
7. Biaya administrasi;
8. Denda;
9. Asuransi;
10. Jaminan kredit;
11. Sifat Penarikan Kredit.
7. Dilakukan realisasi pinjaman dengan prosedur pengikatan
diantaranya:
134
a. Biaya-biaya yang dikenakan
1) Biaya provisi dan biaya administrasi dengan ketentuan sebagai
berikut:87
a) Jangka waktu pinjaman 3 bulan, biaya provisi (dari plafond
kredit) 0,5% (setengah persen), biaya administrasi (dari
plafond kredit) 0,5% (setengah persen);
b) Jangka waktu pinjaman 6 bulan, biaya provisi (dari plafond
kredit) 0,75% (tujuh puluh lima persen), biaya administrasi
(dari plafond kredit) 0,75% (tujuh puluh lima persen);
c) Jangka waktu pinjaman 12 bulan/lebih, biaya provisi (dari
plafond kredit) 1% (satu persen), biaya administrasi (dari
plafond kredit) 1% (satu persen).
2) Biaya asuransi jiwa (sesuai table asuransi yang berlaku);
3) Biaya materai sesuai ketentuan yang berlaku;
4) Biaya notaris sesuai ketentuan yang berlaku;
5) Biaya pengikatan tabungan sebesar 3% (tiga persen dari plafond
kredit).
b. Pengisian data CIF (Customer Information File) nasabah.
Usia pengajuan kredit minimal 21 (dua puluh satu) tahun atau
sudah menikah dan batas usia maksimal 65 (enam puluh lima)
tahun, namun di atas usia 55 (lima puluh lima) tahun tidak
diikutsertakan asuransi jiwa. Dalam hal ini berarti jika nasabah
87 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 8 Mei
2015.
135
pengajuan kredit berusia di atas usia 55 (lima puluh lima) tahun
maka perjanjian kredit tersebut tidak dikenakan biaya asuransi jiwa
yang artinya apabila nasabah kredit meninggal duni sebelum kredit
berakhir atau lunas, maka ahli waris nasabah kredit tersebut
berkewajiban untuk membayar sisa angsuran kredit.
Bank melakukan berbagai macam usaha dalam pengadaan dana
masyarakat. Bank juga mempunyai usaha pokok yaitu memberikan kredit
dan memberikan jasa-jasa dalam lalu-lintas pembayaran dan peredaran
uang kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Pemberian kredit telah menjadi kegiatan yang biasa
dilakukan oleh setiap bank di Indonesia. Pemberian kredit tersebut
merupakan suatu usaha konvensional dari setiap bank dan telah
berkembang sejak bank dikenal dalam kehidupan masyarakat. Sering kali
dikemukakan pula bahwa pemberian kredit merupakan kegiatan utama
bank dalam menyalurkan dananya ke masyarakat dan hal itu merupakan
salah satu sumber pendapatan yang mempengaruhi keuntungan bank.
Bank harus mempunyai persyaratan dan pertimbangan dalam
menyalurkan setiap kreditnya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
8 Undang-Undang Perbankan:
“Bank harus mempunyai keyakinan berdasarkan analisis terhadap debitor
bahwa ia akan mengembalikan kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.”
BPR Redjo Bhawono menetapkan batas maksimal dalam
pemberian kredit. Batas maksimal yang ditetapkan BPR Redjo Bhawono
136
ini sebelum diakuisisi adalah Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan ketika sudah diakuisisi batas maksimal yang ditetapkan BPR Redjo
Bhawono ini adalah Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). Apabila
salah satu prinsip 5 C tidak dapat dipenuhi oleh calon debitor maka BPR
Redjo Bhawono memiliki kebijakan untuk tetap memberikan pinjaman
kepada debitor tersebut hanya saja nilai nominal yang akan diberikan
tersebut akan dikurangi. Jika nasabah sudah mempunyai satu kredit di
BPR Redjo Bhawono kemudian akan mengajukan lagi, BPR Redjo
Bhawono mempunyai kebijakan sendiri. Misalnya dengan mengurangi
bunga atau jumlah pengajuannya. Namun kebijakan BPR Redjo
Bhawono setelah diakuisisi yang terbaru saat ini adalah nasabah hanya
boleh mengajukan kredit dengan satu rekening dan jangka waktu
peminjaman maksimal 4 (empat) tahun. Kebijakan lain yang terbaru
adalah semua kredit di BPR Redjo Bhawono ini dikenakan bunga 1,1%
(satu koma satu persen) setiap bulan, jika bentuk pembayarannya berupa
angsuran. Jika bentuk pembayarannya berupa sebrakan bunga yang
dikenakan adalah 2,25% (dua koma dua puluh lima persen) setiap bulan.
Pengenaan bunga tersebut berlaku untuk semua jenis kredit yang
membedakan adalah bentuk pembayarannya.
Langkah-langkah yang dilakukan BPR Redjo Bhawono dalam
penyaluran kreditnya mulai dari pengisian aplikasi kredit sampai pada
realisasi kredit hampir sama dengan langkah bank pada umumnya.
Sebagaimana dijelaskan bahwa BPR Redjo Bhawono telah melakukan
137
pemberian kredit modal kerja sesuai dengan prosedur di BPR itu sendiri.
Jika dilihat dari langkah-langkah BPR Redjo Bhawono dalam
memberikan kredit, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Seperti, mengenai penilaian kelayakan kredit. Bank harus menganalisis
calon nasabah dengan menggunakan 5C dan 7P. Segala aspek yang ada
pada penilaian kelayakan kredit harus diterapkan, seperti aspek hukum,
aspek pemasaran, aspek keuangan, aspek tekhnis, aspek manajemen,
aspek ekonomi sosial, aspek AMDAL. Bank dalam hal ini sering
mengabaikan aspek keuangan, dimana BPR kurang kontrol mengenai
perkembangan usaha nasabah, sehingga BPR kurang behati-hati.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber dari BPR Redjo
Bhawono sebagai contoh dari pelaksanaan pemberian kredit modal kerja,
diantaranya:88
1. Tn. A seorang pengusaha tembakau mengajukan Kredit Modal Kerja
sebesar Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dalam
jangka waktu 84 (delapan puluh empat) bulan dengan bunga sebesar
1,7 % (satu koma tujuh persen) flat setiap bulan dengan agunan
berupa sertifikat hak milik nomor 1531 dengan luas 612 m2 yang
teletak di Wonosari, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah.
88 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 21 April
2014.
138
Dalam perjalanannya kredit ini mengalami masalah yaitu
angsuran yang tidak sesuai dengan perjanjian kredit yang telah
ditandatangani. Oleh karena itu, BPR Redjo Bhawono memberikan
kebijakannya untuk diberikan kredit kembali agar nasabah mampu
melunasi hutang-hutangnya. Kemudian BPR Redjo Bhawono
memberikan kredit kedua sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dengan jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan dengan
agunan yang sama. Namun untuk kredit yang kedua, bank
memberikan bunga sebesar 1,5% (satu koma lima) persen tiap bulan.
Setelah berjalannya waktu ternyata kredit kedua juga mengalami
macet. Jadi kredit pertama dan kedua sama-sama bermasalah. Tn. A
melakukan wanprestasi terhadap perjanjian kredit yang telah
ditandatangani.
Sebelum bank menyetujui pengajuan kredit calon nasabah
tersebut, bank harus mengikuti beberapa langkah. Langkah pertama
adalah mengenai pengisian aplikasi kredit dan menyerahkan
persyaratan yang dibutuhkan BPR. Jika semua berkas sudah masuk ke
bagian kredit, maka yang dilakukan adalah penyelidikan atau
pemeriksaan berkas-berkas. Dari proses ini bank dapat sekaligus
mewawancari calon nasabah dan kemudian menganalisis calon
nasabah apakah layak diberikan kredit atau tidak dengan
menggunakan prinsip 5 C.
139
Character atau watak dari calon nasabah di awal adalah
berkarakter baik. Hal ini telihat dari usaha yang dijalankan calon
nasabah. Dalam hal ini bank meyakini benar calon debitornya
memiliki reputasi baik artinya selalu menepati janji dan tidak terlibat
hal-hal yang berkaitan dengan kriminalitas misalnya penjudi,
pemabuk atau penipu. Hal yang berkaitan dengan Capital, Capacity,
dan Condition of economic BPR telah melakukan survey untuk
memperoleh keyakinan menyetujui kredit yang diajukan ini. BPR
mengangggap calon nasabah mampu mengembalikan pinjamannya
karena modal awal calon nasabah sudah ada, kemampuan calon
nasabah untuk mengembalikan pinjamnya bisa melalui keuntungan
dari usaha yang dijalankan, serta kondisi ekonomi yang baik pada saat
itu. Terlepas dari nasabah kemudian mengalami macet di tengah
jalan, dan kemudian bank memberikan kredit tambahan guna
menyuntikkan dana untuk usaha nasabah, itu merupakan kebijakan
bank. Dimana kebijakan masing-masing bank berbeda.
Dalam hal berkaitan dengan prinsip kehati-hatian, prinsip
profitability terabaikan. Maksudnya adalah untuk menganalisa
bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba. BPR Redjo
Bhawono memberikan kelonggaran karena bank tidak melihat
pembukuan keuangan usaha Tn. A secara detail. Oleh karena itu
petugas bank tidak cermat dalam hal deteksi dini terhadap kredit
nasabah Tn. A. Sedangkan jika dilihat dari isi dari perjanjian kredit,
140
BPR Redjo Bhawono tidak memperhatikan tentang prinsip collateral
dan purpose.
Pengikatan jaminan pada perjanjian kredit ini tidak
dijelaskan secara rinci, hanya sekedar deskrispsi agunan saja tanpa
ditulis secara detail mengenai spesifikasi terhadap pengikatan
agunannya. Secara yuridis, pemberian kredit bank tanpa agunan
tidaklah mungkin terjadi. Kalaupun dalam pemberian kredit bank
tanpa disertai agunan khusus, bukan berarti pemberian kredit bank
tersebut tanpa agunan sama sekali. Apabila pemberian kredit oleh
bank tanpa disertai agunan khusus, maka bila nasabah debitur
wanprestasi, maka bank yang bersangkutan masih bisa berharap
bahwa pelunasan utangnya tersebut dapat diambil dari jaminan umum
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1131 dan 1132
KUHPerdata.
Berkaitan dengan purpose yaitu tujuan dari kredit yang
diajukan, BPR Redjo Bhawono ini tidak menjelaskan secara rinci
dalam perjanjian kredit Tn. A. Jadi, jika melihat perjanjian kredit
antara Bank Perkreditan Rakyat Redjo Bhawono dengan Tn. A, tidak
terlihat peruntukan kegunaan kredit atau untuk apa kredit ini akan
diajukan. Hal ini membuat perjanjian kredit menjadi lemah. Ada
beberapa klausula yang harusnya tercantum pada perjanjian kredit ini
namun tidak ada.
141
2. Tn. B seorang pengusaha kontraktor berskala menengah mengajukan
permohonan kredit modal kerja sebesar Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) untuk membiayai proyek pengerjaan
pemasangan pavingblock halaman kantor Kecamatan. Dengan
agunan Sertifikat Hak Milik atas tanah dan bangunan sebuah rumah
tinggal yang saat ini menjadi tempat tinggal keluarga Tn. B.
Setelah dilakukan survey oleh pimpinan BPR Redjo
Bhawono, memperoleh keputusan bahwa BPR Redjo Bhawono
hanya dapat mencairkan permohonan kredit Tn. B senilai Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dikarenakan syarat
mengenai capital dan collateral tidak terpenuhi. Kredit ini disetujui
dengan jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Hal yang terjadi setelah
itu adalah pada bulan ke 7 (tujuh) terjadi wanprestasi yang berupa
keterlambatan pembayaran angsuran.
Pihak bank mulai melakukan berbagai macam cara untuk
melakukan penagihan. Sebagaimana prosedur yang ada mengenai
penanganan kredit bermasalah, bank memberikan Surat Peringatan
Pertama, Surat Peringatan Kedua dan Surat Peringatan Ketiga.
Namun tidak ada iktikad baik dari nasabah untuk membayar
kreditnya. Upaya yang dilakukan bank tidak membuahkan hasil
hingga pada akhirnya pihak bank menyampaikan somasi kepada
pihak debitor. Perjanjian kredit ini berakhir dengan tindakan
eksekusi agunan debitor.
142
Berkaitan dengan character tentu saja bank tidak bisa
mendeteksi dari awal apakah calon nasabah yang akan diberikan
kredit ini bercharacter baik. Karena character nasabah yang
sesungguhnya dapat terlihat ketika suatu kredit sudah berjalan.
Bagaimana nasabah membayar tepat waktu angsuran yang menjadi
tanggung jawabnya. Selain character dari debitor, prinsip 5 C yang
lainnya adalah capacity. Capacity berkaitan dengan kemampuan
calon debitor dalam mengelola usahanya. Hal ini dapat dilihat dari
pengalaman usaha yang sudah dijalankannya dengan melakukan
penghitungan aset. Prinsip yang lainnya yaitu capital. Capital
merupakan modal awal calon debitor dalam mengajukan kreditnya.
Maksudnya adalah capital dapat dilihat dari kondisi kekayaan yang
dimiliki suatu perusahaan. Capital dapat dilihat dari neraca laba rugi
minimal 3 (tiga) bulan berturut-turut. Prinsip lainnya, yaitu
collateral. Collateral berhubungan dengan jaminan atau agunan
yang dipakai.
Tim survey dari BPR Redjo Bhawono selalu melakukan
survey, pengecekan, serta menganalisa agunan calon nasabah yang
akan dijadikan jaminan atas kreditnya. Hal ini terlihat dari nota
usulan kredit dimana pada nota tersebut terdapat butir yang
menjelaskan detail berkaitan dengan jaminan. Adanya agunan
(jaminan) sebagai jalan keluar kedua (second wayout) sangat
diperlukan bila suatu saat usaha debitor mengalami kegagalan
143
sehingga debitor mengalami kesulitan dalam melakukan
pembayaran. Apabila hal tersebut terjadi, maka dimungkinkan masih
ada sumber pembayaran kedua yaitu dengan penjualan agunan
(jaminan) tersebut.
Jaminan yang diterima bank dapat berupa hak atas tanah,
simpanan (deposito), piutang dagang, mesin pabrik, bahan baku,
barang dagangan dan lain sebagainya. Jaminan berupa hak atas tanah
dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kreditor,
karena dapat memberikan keamanan bagi bank dari segi hukumnya
maupun dari segi ekonomisnya yang pada umumnya meningkat
terus.89
Jaminan yang dikehendaki bank adalah jaminan bahwa
bank mempunyai hak istimewa. Kalaupun terjadi wanprestasi maka
piutang bank dapat dilunasi dari hasil penjualan barang yang
dijaminkan. Sekalipun benda yang dijaminkan sudah dijual,
dihibahkan, atau dengan cara lain lagi, bukan lagi menjadi hak milik
yang dijaminkan maka bank tetap berhak menjual barang jaminan itu
dan mengambil hasil penjualannya untuk pelunasan piutang. Oleh
karena itu jika nasabah suatu saat tidak mampu melunasi hutang
kreditnya maka jaminan tersebut dapat menutupi kekurangannya.
3. Tn. C adalah seorang pengusaha properti yang mengajukan kredit
sejumlah Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dalam jangka
89
Mariam Darus Badrulzaman, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan
Perbankan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm 51.
144
waktu 6 (enam) bulan. BPR Redjo Bhawono memberikan bunga 2%
(dua persen) setiap bulan dengan agunan berupa tanah. Berdasarkan
prinsip 5 C yang terdiri dari character, capital, capacity, condition of
economic, dan collateral nasabah ini sudah memenuhi penilaian
kelayakan sebagaimana langkah-langkah dalam pemberian kredit.
Dari hasil analisa BPR Redjo Bhawono dalam hal ini sudah
memenuhi ke lima prinsip kehati-hatian sehingga permohonan
kredit yang diajukan oleh Tn. C dapat disetujui sampai dengan
batas waktu pelunasan kredit tidak ditemukan kendala. Kredit yang
diberikan dapat dilunasi sesuai dengan perjanjian kredit yang sudah
ditandatangani.
Proses analisis kredit dilakukan dengan menggunakan prinsip
5C, kemudian akan dilaksanakan analisis kuantitatif dan analisis
kualitatif. Analisis kuantitatif merupakan analisis yang berhubungan erat
dengan laporan keuangan. Sedangkan analisis kualitatif berhubungan
dengan analisis nonfinansial, berhubungan dengan data numerk, angka-
angka. Seperti pada analisis terhadap pemegang saham, pengurus,
manajemen, riwayat usaha,
Pengajuan kredit selalu diatur dalam suatu perjanjian karena
undang-undang mengharuskan perjanjian kredit dibuat secara tertulis.
Dalam suatu perjanjian kredit diatur mengenai besarnya hutang, besarnya
bunga, besarnya angsuran, tanggal jatuh tempo pembayaran. Selain
mengatur mengenai hal itu, seyogyanya dalam perjanjian kredit juga
145
terdapat klausula-klausula yang mengatur mengenai hak dan kewajiban
dari masing-masing pihak. Hak dan kewajiban debitor diantaranya:
1. Hak untuk menerima sejumlah kredit yang telah disetujui;
2. Hak untuk mencairkan kredit yang didapat dari bank;
3. Hak meminta kembali benda jaminan dari bank jika hutang tersebut
sudah lunas;
4. Kewajiban debitor untuk mempergunakan kredit sesuai dengan
tujuan;
5. Debitor wajib membayar bunga atas pokok kredit sebesar yang
telah ditentukan per tahun, yang dibayar setiap bulannya;
6. Debitor wajib membayar provisi dan biaya administrasi sesuai
dengan jumlah yang telah ditentukan;
7. Debitor berkewajiban mengembalikan pinjaman kredit pada waktu
yang telah ditentukan sejak ditandatanganinya perjanjian kredit;
8. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, debitor tidak
dapat melakukan pembayaran angsuran kredit maka debitor wajib
membayar denda;
9. Apabila terjadi pembatalan perjanjian kredit oleh bank maka
debitor berkewajiban melunasi seluruh kredit yang telah ditarik
berikut bunga, denda dan biaya-biaya yang berkaitan dengan kredit.
Hak dan kewajiban kreditor atau bank diantaranya:
1. Pihak bank secara sepihak berhak menegur dan mengakhiri jangka
waktu perjanjian kredit, apabila:
146
a. Debitor tidak atau belum menggunakan kredit setelah lewat 3
(tiga) bulan sejak berlakunya perjanjian;
b. Tidak tepat waktu membayar angsuran kredit sebagaimana
yang telah diperjanjikan;
c. Debitor melakukan penyimpangan penggunaan dari tujuan
pemberian kredit atau melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam perjanjian kredit;
d. Nasabah meninggal dunia, pailit atau timbul perselisihan
diantara pengurus perusahaan dan sengketa dalam pemilikan
perusahaan.
2. Bank berkewajiban memberikan jumlah pinjaman sesuai dengan
yang disepakati bersama.
Hak-hak dan kewajiban kreditor sudah dipenuhi oleh BPR Redjo
Bhawono namun untuk debitor masih saja ada yang diabaikan misalnya
berkaitan dengan kewajiban mengembalikan pinjaman kredit tepat waktu
sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit bank.
Berdasarkan penelitian di lapangan, sebagaimana disebutkan dalam contoh
kasus di atas, BPR Redjo Bhawono tidak sepenuhnya melakukan prinsip 5
C dan prinsip mengenai 7 P. Ada beberapa nasabah yang dalam
perjalanannya mengalami kendala, karena sebab-sebab tertentu. Meskipun
demikian BPR Redjo Bhawono tetap memberikan kemudahan atau
kelonggaran kepada debitor di dalam mendapatkan dana kredit.
147
BPR Redjo Bhawono dalam memberikan kredit terkait dengan
prinsip kehati-hatian telah berusaha untuk melaksanakan prinsip 5 C.
Namun pada kenyataannya di lapangan tidak sesuai yang diharapkan. Hal
ini dikarenakan adanya faktor-faktor baik internal maupun eksternal yang
menjadi penghambat pelaksanaan prinsip tersebut. Faktor internal
merupakan faktor-faktor yang berasal dari BPR Redjo Bhawono dan dari
debitor itu sendiri sedangkan faktor eksternal ini berasal dari luar BPR
Redjo Bhawono maupun debitor.
Faktor internal yang dapat menghambat terjadinya prinsip kehati-
hatian diantaranya:
1. Penyalahgunaan kredit oleh debitor.
Pemakaian kredit yang menyimpang dari penggunaannya akan
mengakibatkan debitor tidak mengembalikan kredit sebagaimna
mestinya.
2. Debitor kurang mampu mengelola usahanya.
Debitor yang telah menerima fasilitas kredit, apabila dalam
pelaksanaannya tidak profesional dalam menjalankan bisnisnya akan
berpengaruh terhadap perkembangan usaha terutama berkaitan dengan
laba. Hal ini dikarenakan sumber dari pelunasan kredit modal kerja
adalah dari hasil usahanya tersebut. Jika usahanya tidak berjalan
dengan baik maka bisa diprediksi kreditnya akan bermasalah.
148
3. Iktikad yang tidak baik dari debitor.
Dari sekian banyak debitor dengan bermacam-macam karakter tentu
saja ada debitor yang tidak beriktikad baik. Misalnya dengan sengaja
menggunakan kredit tidak sebagaimana mestinya.
4. Kualitas pejabat bank
Pejabat bank dalam hal ini tentu harus bertindak profesional.
Keprofesionalisme pejabat bank sangat diperlukan khususnya di
bidang kredit karena berpengaruh terhadap perkembangan perkreditan
bank itu sendiri. Kualitas dapat mempengaruhi keputusan penyaluran
kredit yang tidak sebagaimana mestinya.
5. Persaingan antar bank
Jumlah bank yang semakin banyak mengakibatkan bank bertindak
spekulatif dengan cara memberikan fasilitas yang mudah kepada
nasabah tetapi di lain pihak langkah yang diambil bank telah
mengabaikan prinsp-prinsip perbankan yang sehat. Pencapaian target
kredit tiap bulannya juga dapat menjadi pemacu adanya kelonggaran
dalam penyaluran kredit. Marketing dituntut untuk mendapatkan
kredit sekian banyak. Setiap bank bersaing untuk mendapatkan
keuntungan sebanyak-banyaknya sehingga prinsip kehati-hatian
terabaikan. Apalagi keuntungan terbesar suatu bank adalah dari
penyaluran kreditnya.
6. Hubungan internal bank
149
Kredit macet dapat terjadi karena bank terlalu memperhatikan
hubungan ke dalam bank, penyaluran kredit tidak merata dan lebih
cenderung diberikan kepada pengurus dan pengawas serta pegawai
bank. Bank lebih mengutamakan hubungan dengan perusahaan-
perusahaan yang masih dalam kelompoknya juga dapat menjadi salah
satu penyebab terjadinya kredit macet.
7. Pengawasan bank
Lemahnya pengawasan terhadap bank dapat menjadi salah satu faktor
teradinya kredit macet. Adanya belasan bank yang dilikuidasi menjadi
alasan perlu adanya lembaga independen yang mampu mengawasi
bank sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yang berbunyi:
“Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-
undang.”
Kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sudah diberlakukan sejak
1 Januari 2013 yang menggantikan lembaga di bawah naungan
langsung Kementerian Keuangan yaitu Bapepam-LK. Hal ini
menunjukkan bahwa secara tidak langsung telah terjadi lemahnya
pengawasan Bank Indonesia terhadap bank.
Dalam suatu seminar nasional yang berkaitan dengan prinsip
kehati-hatian, faktor eksternal berupa prinsip constraint. Prinsip constraint
adalah batasan dan hambatan yang tidak memungkinkan suatu bisnis
150
untuk dilaksanakan pada tempat tertentu.90
Prinsip ini yang tidak
memungkinkan BPR Redjo Bhawono di dalam memberikan kredit kepada
debitor karena prinsip ini lebih banyak dilaksanakan di Bank Umum atau
konvensional. Hal ini dikarenakan jika dilaksanakan di BPR Redjo
Bhawono maka akan membatasi ruang gerak penyaluran pemberian kredit
kepada nasabah.
Dalam memberikan kredit suatu bank diharapkan memperhatikan
prinsip kehati-hatian. Prinsip ini diperlukan guna mengurangi adanya
kredit macet. Sebagaimana contoh kasus yang terjadi di BPR Redjo
Bhawono. Dimana BPR Redjo Bhawono kurang berhati-hati dalam
memberikan kredit modal kerja sehingga kredit tersebut mengalami
kemacetan. Bahkan ada yang hingga 2 (dua) kredit sekaligus.
Prinsip kehati-hatian bank dalam memberikan kredit yang paling
awal dapat dilakukan adalah penyeleksian. Penyeleksian ini berkaitan
dengan kemampuan dan karakter dari calon debitor karena pada prinsipnya
dalam memberikan kredit harus ada unsur kepercayaan yang dimiliki
kreditor terhadap debitor. Kepercayaan tersebut dapat berupa kemampuan
yang dimiliki debitor berkaitan dengan pengembalian sejumlah uang yang
telah dipinjam di bank. Hal ini dapat mencegah atau meminimalisir
kesalahan dalam memberikan kredit. Baik kesalahan penggunaan uang
kreditnya atau kesalahan dalam memberikan uang kepada orang yang
90
Henny Sri Astuti, “Prinsip 6 C (Charakter, Capacity,Condition Of Economy, Collateral
and Constraint) Dalam Wirausaha Mahasiswa”, Prosiding Seminar Nasional, 9 Mei 2015, hlm.
828.
151
salah. Dalam menjalankan prinsip kehati-hatian tentu saja tidak mudah.
Melihat dari kondisi lapangan yang berbeda-beda tentu kendalanya pun
berbeda-beda. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kelonggaran
terhadap prinsip kehati-hatian diantaranya:
1. Kelalaian dari pejabat bank
Bahwa keprofesionalisme di sini sangat diperlukan untuk mencegah
adanya kredit-kredit yang bermasalah.
2. Kurangnya pengawasan penggunaan kredit dari bank
Setelah debitor menerima uang dari kreditnya, bank tidak melakukan
pengawasan terhadap uang yang telah diterimanya. Debitor bisa
melakukan penyalahguanaan dana kredit tersebut dengan tidak
menggunakannya sesuai dengan yang diajukan. Hal ini dapat
menyebabkan debitor kesulitan dalam mengembalikan kredit tersebut.
Pengawasan terhadap usaha yang dijalankan debitor juga bisa menjadi
salah satu yang mempengaruhi. Suatu usaha tidak selalu mendapatkan
keuntungan yang sama. Oleh karena itu pengawasan terhadap ini juga
perlu dilakukan. Apakah usaha yang dijalankan tetap berjalan dengan
baik, apakah laba yang diperoleh dari usaha tersebut mengalami
peningkatan juga menjadi point penting dalam pengawasan bank.
152
B. Tambahan Kredit Kepada Debitor Bermasalah Sesuai Dengan
Prinsip Kehati-Hatian
Sektor perbankan memiliki peran sangat vital antara lain sebagai
pengatur urat nadi perekonomian nasional. Kelancaran aliran uang sangat
diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Dengan demikian kondisi
sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari
kebijakan sektor perbankan. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-
Undang Perbankan bahwa asas dari hukum perbankan di Indonesia adalah
berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-
hatian. Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian (prudential principle)
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perbankan tidak
terdapat suatu penjelasan terperinci. Tetapi dapat ditafsirkan bahwa prinsip
kehati-hatian (prudential principle) berkaitan dengan kesehatan (safety
and soundness) dalam pengelolaan dan operasional perbankan.
Berdasarkan pada penelitian lapangan (field research) yang telah
dilakukan penulis maka dapat diperoleh fakta bahwa nasabah dalam hal ini
penulis menyebutnya Tn. A mengajukan kredit pertama pada tanggal 28
Juli 2009 sejumlah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dalam jangka waktu 84 (delapan puluh empat) bulan dengan bunga sebesar
1,7% (satu koma tujuh) persen flat setiap bulan. Dari bulan Agustus 2009
sampai bulan November 2009 angsuran Tn. A berjalan dengan baik namun
untuk bulan-bulan selanjutnya angsuran Tn. A mulai berjalan tidak baik.
Dari itu kemudian bank memberikan tambahan kredit kepada Tn. A
153
dengan harapan kredit tersebut dapat membantu Tn. A dalam melunasi
hutang-hutangnya. Kemudian Tn. A mengajukan kredit kedua pada 26
Maret 2010 sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dalam
jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan. Pengajuan kredit kedua ini
dilakukan bank karena untuk menyelamatkan kredit pertama yang
mengalami masalah dalam mengangsur sehingga bank memberikan
“suntikan dana.”
Dalam perjalanannya kredit kedua Tn. A ternyata juga mengalami
masalah. Mulai bulan Desember 2010 sampai seterusnya Tn. A tidak lagi
menjalankan kewajibannya untuk mengangsur kreditnya. Antara bulan
Desember 2012 sampai bulan Januari 2013 BPR Redjo Bhawono sudah
berusaha menagih dan menemui Tn.A namun hasilnya tidak baik. BPR
Redjo Bhawono kemudian membuat surat pernyataan tertulis bahwa
nasabah atas nama Tn. A benar-benar debitor yang telah wanprestasi
dengan kolektibilitas macet sejak tanggal 9 Juli 2010. Setelah surat
pernyataan tersebut dikeluarkan maka BPR Redjo Bhawono mengambil
langkah selanjutnya yaitu membuat surat pengantar sekaligus surat
peringatan kepada Tn. A dimana dalam surat pengantarnya diketahui 3
(tiga) orang. Tanda tangan yang menyerahkan, yang menerima dan yang
mengetahui/menyetujui.
Surat Peringatan I (Kesatu) dikeluarkan BPR Redjo Bhawono pada
tanggal 19 Desember 2012, Surat Peringatan II (Kedua) pada tanggal 28
Desember 2012 dan Surat Peringatan III (Ketiga) pada tanggal 11 Januari
154
2013. Surat peringatan tersebut merupakan Surat Peringatan Segera Lelang
dimana Surat Peringatan Lelang tersebut berisi tunggakan angsuran berupa
pokok, bunga,dan dendanya, baik untuk kredit pertama maupun kedua.
Namun Tn. A tidak mengindahkan surat-surat peringatan tersebut.
BPR Redjo Bhawono sudah berulang kali menghubungi atau
memperingatkan baik secara lisan maupun tertulis namun Tn. A dan
keluarga tidak memberikan tanggapan yang positif dan tidak ada
penyelesaian pembayaran fasilitas kreditnya. Hingga pada akhirnya BPR
Redjo Bhawono membuat surat pernyataan kembali pada 15 Maret 2013
yang menyatakan bahwa: “Sehubungan dengan permohonan Lelang yang
kami ajukan pada kantor lelang, yang kami ajukan pada kantor lelang,
berdasarkan perjanjian kredit No. 573/PKRB/VII/09 tertanggal 28 Juli
2009 dan Perjanjian Kredit No. 241/PKRB/III/10, atas nama Tn. A,
tertanggal 26 Maret 2010, dengan objek jaminan sebidang tanah dengan
Sertifikat Hak Tanggungan No. 2456/2009 (Peringkat Pertama), sertifikat
Hak Tangungan No. 01498 (Peringkat Kedua) atas SHM No. 1531/Desa
Wonosari, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, seluas 612 m2, atas nama Tn. A,
maka dengan ini kami menyatakan bertanggung jawab sepenuhnya apabila
muncul gugatan dari Tn. A dan istri, maupun, pihak ketiga”.
Tindakan dan perbuatan Tn. A mengakibatkan terhentinya
pembayaran sisa pinjaman. Kewajiban yang harus dibayarkan Tn. A pada
kredit pertama adalah sejumlah Rp 239.050.700,00 (dua ratus tiga puluh
sembilan juta lima puluh ribu tujuh ratus rupiah) dan kewajiban yang
155
harus dibayarkan untuk kredit kedua adalah sejumah Rp 155.909.500,00
(seratus lima puluh lima juta sembilan ratus sembilan ribu lima ratus
rupiah) yang masing-masing terdiri dari tunggakan pokok, tunggakan
bunga, tunggakan denda, biaya-biaya yang terdiri dari biaya pendaftaran,
biaya lelang, biaya iklan dan biaya lain-lain .
Tunggakan pembayaran itu telah menimbulkan kerugian bagi pihak
BPR Redjo Bhawono Yogyakarta. Untuk menjamin tunggakan tersebut
maka tanah milik Tn. A yaitu sebidang tanah Sertifikat Hak Milik No.
1532 dengan Surat Ukur No. 00610/2006 tertanggal 13/03/2006 seluas 612
m2 (enam ratus dua belas meter persegi) terletak di Wonosari, Trucuk,
Klaten, Jawa Tengah akan dilelang.
Bank BPR Redjo Bhawono yang berkedudukan di Yogyakarta
dengan perantaraan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan lelang
(KPKNL) Surakarta akan melaksanakan penjualan di muka umum/lelang
eksekusi beradasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tangungan terhadap barang jaminan debitor. Dalam
pengumuman pertama lelang eksekusi hak tanggungan itu maka harga
limitnya R 470.000.000,00 (empat ratus tujuh puluh juta rupiah). Dari
penjelasan tersebut dapat dijabarkan bahwa pada BPR Redjo Bhawono ada
beberapa tahap dalam penyelesaian kredit bermasalah, diantaranya:91
91 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 8 Mei
2015.
156
1. Surat Peringatan I, II, dan III.
Jarak surat peringatan pertama sampai seterusnya adalah sekitar 1
(satu) minggu. Jika pada 1 (satu) minggu setelah surat peringatan I
(kesatu) tidak ada respon/tanggapan dari nasabah maka BPR Redjo
Bhawono akan memberikan surat peringatan selanjutnya. Begitu
seterusnya hingga surat peringatan ke III (ketiga).
2. Surat pemanggilan ke kantor
Nasabah yang tidak merespon surat peringatan dari bank maka akan
dipanggil untuk menghadap bank untuk menjelaskan mengenai
kreditnya.
3. Diselesaikan melalui Pengadilan Negeri
Kredit yang diberikan bank tidak semua dapat berjalan dengan lancar.
Meskipun sebelum memutuskan untuk memberikan kredit telah
dilakukan analisa finansial maupun analisa yuridis yang sangat teliti,
namun banyak faktor-faktor yang tidak diduga sebelumnya dapat
menyebabkan kredit macet. Oleh karena itu timbullah masalah
eksekusi jaminan kredit, bantahan maupun perlawanan dari pihak-
pihak, adanya beberapa jenis penyitaan yang timbul akibat adanya
eksekusi tersebut.
Penyelesaian kredit bermasalah memang dapat dilakukan dengan
memberikan tambahan kredit. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa
restrukturisasi kredit dapat dilakukan dengan rescheduling (penjadwalan
157
kembali), reconditioning (persyaratan kembali), restructuring (penataan
kembali) untuk menyesaikan kasus-kasus kredit bermasalah. Tentu saja
tidak semua kredit bermasalah dapat diberi tambahan kredit. Namun
dilihat dari kasus ini, menurut penulis, bank tidak melakukan
rescheduling, reconditioning, ataupun restructuring.
Pertama, jika bank menerapkan rescheduling, tentu saja kredit
pertama dari Tn. A akan dijadwalkan kembali. Tidak ada yang namanya
kredit kedua. Jika Tn. A merasa keberatan dalam membayar angsuran tiap
bulannya BPR Redjo Bhawono dapat memperpanjang jangka waktu
pembayarannya sehingga angsuran per bulannya lebih ringan.
Penyelesaian kredit pertama bukan dengan menambah plafond kredit.
Kedua, jika BPR Redjo Bhawono dalam hal ini menerapkan
reconditioning maka pada kredit pertama akan dibuat dengan perubahan
jadwal angsuran, jangka waktu dan pemberian potongan. Pemotongan bisa
dilakukan terhadap besarnya bunga. Bahkan dalam bukunya Kasmir
dikatakan salah satu bentuk dari reconditioning adalah pembebasan bunga.
Dalam pembebasan suku bunga diberikan kepada nasabah dengan
pertimbangan nasabah sudah tidak akan mampu lagi membayar kredit
tersebut. Namun nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk membayar
pokok pinjamannya sampai lunas. Dalam hal ini BPR Redjo Bhawono
sudah memberikan bunga yang lebih ringan namun untuk kredit kedua
bukan yang pertama. Padahal jika dilihat dari track record Tn. A dalam
membayar angsuran sudah jelas bahwa kredit ini mengalami macet tetapi
158
bank justru memberikan tambahan kredit dengan dalih sebagai „suntikan
dana.” Seharusnya suku bunga yang ringan itu diberikan pada kredit
pertama. Sisa tunggakan pokok yang ada sejumlah berapa kemudian
diberikan bunga yang lebih ringan dan dengan jangka waktu
menyesuaikan sehingga tidak mengangsur 2 (dua) kredit apalagi
jumlahnya besar.
Ketiga, Restructuring dapat dilakukan dengan menggabungkan
restructuring dengan reconditioning atau rescheduling dengan
restructuring. Restructuring dilakukan jika benar-benar nasabah sudah
tidak mampu membayar lagi. Jika bank menerapkan ini maka kredit yang
pertama dapat diberikan penurunan suku bunga, pengurangan tunggakan
bunga atau bisa disebut diskon, jangka waktunya juga diperpanjang
sehingga dalam hal ini ada pembaharuan utang, bukan penambahan utang.
Kredit yang pertama diperbarui dengan ketentuan-ketentuan sebagamana
mestinya. Memang ada pembaharuan utang namun bukan untuk
menambah kredit baru sehingga ada 2 (dua) kredit. Kredit pertama
berjalan, kredit keduapun berjalan. Sebagaimana dijelaskan bahwa
seharusnya tunggakan dari kredit pertama dihitung kemudian di
restructuring dengan ketentuan-ketentuannya sehingga meringankan
nasabah. Namun fakta di lapangan berbicara bahwa kredit ini berjumlah 2
(dua) kredit yang masing-masing plafondnya berbeda, bunganya berbeda,
jangka waktunya pun juga berbeda. Informasi yang penulis peroleh
tambahan kredit itu dilakukan karena kebijakan yang dirapatkan di
159
komite. Kembali ke niat awal bahwa bank memberikan “suntikan dana”
untuk membantu usaha nasabah agar mampu melunasi utangnya.
Penulis beranggapan bahwa ketika perjanjian kredit yang pertama
mengalami kemacetan seharusnya bank tidak memberikan kredit lagi
terhadap nasabah ini. Meskipun bank bermaksud untuk memberikan
“suntikan dana” agar usaha nasabah dapat tetap berjalan dan dengan begitu
angsuran dapat terbayarkan. Namun pada kenyataannya 2 (dua) kredit
tersebut sama-sama macet. Jika memang bank ingin memberikan kredit
tambahan maka seharusnya bank mempertimbangkan agar kredit yang
pertama diselesaikan terlebih dahulu. Misalnya dengan mengajukan kredit
kedua namun dengan syarat pemotongan pelunasan untuk kredit yang
pertama sehingga kredit dari nasabah yang sama hanya ada 1 (satu kredit).
Dengan begitu diharapkan nasabah tidak semakin memberatkan. Jika
kedua kredit itu diberlakukan dan sama-sama diberikan bunga tentu
nasabah semakin berat karena angsuran per bulannya semakin besar
bukannya meringankan. Meskipun antara kredit yang satu dan yang
lainnya menggunakan bunga yang berbeda tetap saja jumlah angsuran per
bulan semakin besar.
Setiap proses pemberian kredit senantiasa dilakukan analisa
terlebih dahulu terhadap calon debitor untuk menentukan apakah debitor
yang bersangkutan layak untuk memperoleh fasilitas kredit atau tidak
sehingga nantinya kredit yang diberikan tersebut benar-benar akan
kembali. Analisis kredit adalah suatu langkah (tahapan) pemberian kredit
160
yang harus diatur dalam pedoman perkreditan masing-masing bank.92
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pemberian fasilitas kredit
meliputi:93
a. Prinsip kepercayaan
Sesuai dengan asal kata kredit yang berarti kepercayaan maka
setiap pemberian kredit mestilah selalu dibarengi oleh kepercayaan
yaitu kepercayaan dari kreditor akan bermanfaatnya kredit bagi debitor
sekaligus kepercayaan oleh kreditor bahwa debitor dapat membayar
kembali kreditnya.
b. Prinsip kehati-hatian
Prinsip kehati-hatian (prudent) adalah salah satu konkretisasi
dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Oleh karena itu
dalam penyaluran kredit, keharusan adanya jaminan utang dalam setiap
pemberian kredit merupakan wujud kehati-hatian yang bertujuan agar
kredit yang diluncurkan tersebut dibayar kembali oleh pihak debitor.
c. Prinsip 5C atau The Five of Credit, yaitu character (karakter), capital
(modal), capacity (kemampuan), collateral (jaminan), condition of
economic (kondisi ekonomi).
Karakter sangat menyangkut sifat debitur yang harus mempunyai
iktikad baik dan komitmen tinggi untuk mengembalikan seluruh kewajiban
sesuai dengan perjanjian yang telah ditandatangani bersama antara pihak
92
Budi Untung, Analisis Kredit Perbankan... op., cit., hlm 1. 93
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002),
hlm 19.
161
debitor dan kreditor. Beberapa sifat calon debitor yang akan menentukan
karakter, seperti usia, pendidikan, status, kesehatan, pengendalian emosi,
pergaulan, lingkungan, relasi, sosialisasi, hobi atau kegemaran baik/buruk,
kebiasaan baik/buruk, tanggung jawab terhadap kewajiban kepada semua
pihak yang berhubungan. Karakter merupakan salah satu faktor utama
dalam pemberian kredit. Dari karakter ini, bank dapat memperoleh
gambaran calon debitornya yang memiliki kemauan untuk membayar
kewajiban-kewajibannya. Selain itu, modal (capital) juga turut
menentukan besarnya persentase yang dibiayai oleh perusahaan atas
pembiayaan terhadap satu pekerjaan atau proyek.
Berbicara mengenai jaminan (collateral), penilaian jaminan
dilakukan untuk melihat sejauh mana tingkat kemudahan diperjualbelikan
objek jaminan. Semakin mudah aset tersebut diperjualbelikan, tingkat
resiko bank semakin berkurang dan besarnya nilai jaminan juga mampu
mengcover seluruh pinjaman. Jaminan hanya berfungsi sebagai solusi
terakhir ketika debitor bermasalah dan tidak dapat mengembalikan
kewajiban pinjaman. Analisis terhadap kondisi ekonomi (condition of
economic) juga mempengaruhi jalannya suatu bisnis. Pengaruhnya dapat
dilihat dari bisnis debitor yang sedang berjalan untuk masa sekarang dan
mendatang.
Berkaitan dengan capacity, analisis kemampuan manajemen juga
perlu diperhatikan. Analisis ini digunakan untuk melihat pengelolaan suatu
usaha agar mendapatkan laba yang maksimal dan dapat membayar seluruh
162
kewajiban di masa sekarang dan mendatang. Hal ini berkaitan pula dengan
kemampuan daya saing calon debitor dalam kompetisi bisnis yang sangat
ketat. Tentu ini berkaitan dengan pengalaman usaha, manajemen yang
mapan, pengaturan keuangan yang baik, dan lain-lain. Sehingga ketika
bank memberikan suntikan dana, nasabah dapat mengelolanya dengan
baik.
Dalam hal ini BPR Redjo Bhawono memberikan tambahan kredit
dengan kredit pertama terus berjalan. Jadi, ada 2 (dua) macam kredit
dengan nasabah yang sama. Tindakan bank dalam memberikan tambahan
kredit kepada debitor bermasalah dalam kasus ini kurang tepat. Bank tidak
memperhatikan kemampuan nasabah dalam mengembalikan pinjamannya,
sehingga per bulan nasabah harus membayar angsuran dengan jumlah
yang cukup besar, sedangkan profit yang diperoleh tidak mampu
mencukupi angsurannya. Pada akhirnya kredit ini mengalami macet. Bank
dalam hal ini mengabaikan salah satu prinsip yang berkaitan dengan
capacity, yaitu kemampuan nasabah untuk membayar kredit yang diajukan
dengan melihat prospek usahanya.94
Kemampuan calon debitor dapat
dilihat dengan melakukan analisis usahanya dari waktu ke waktu.95
Capacity adalah menyangkut dengan business record atau kemampuan
seorang pebisnis mengelola usahanya, terutama pada masa-masa sulit
sehingga nanti akan terlihat ability to pay atau kemampuan membayar.96
94
Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah...op.cit., hlm 12. 95 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan ...op. cit., hlm 272. 96
Irham Fahmi, Manajemen Perkreditan..., op.cit., hlm 16.
163
Capacity dalam hal ini merupakan suatu penilaian kepada calon
debitor mengenai kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya dari
kegiatan usaha yang dilakukannya yang akan dibiayai dengan kredit bank.
Penilaian terhadap capacity ini untuk menilai sejauh mana hasil usaha
yang akan diperolehnya tersebut akan mampu untuk melunasinya tepat
pada waktunya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Bank harus
meneliti tentang keahlian calon debitor dalam bidang usahanya dan
kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan
dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon
debitornnya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau
mengembalikan pinjamannya. Jika kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak
layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika trend
bisnisnya atau kinerja bisnisnya menurun, maka kredit juga semestinya
tidak diberikan. Dalam hal ini bank melihat sumber pendapatan dari calon
debitor dikaitkan dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pada dasarnya pemberian kredit oleh kreditor kepada debitor
dilakukan karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan
pinjaman tersebut pada waktunya. Dengan demikian faktor pertama yang
menjadi pertimbangan bagi kreditor adalah kemauan baik dari debitor
untuk mengembalikan utangnya itu. Tanpa ada kepercayaan (trust) dari
kreditor kepada debitor maka kreditor tidak akan memberikan kredit atau
pinjaman. Karena itulah mengapa pinjaman dari seorang kreditor kepada
164
seorang debitor disebut kredit yang berasal dari kata credere yang berarti
kepercayaan atau trust.97
Dasar pemikiran persetujuan pemberian kredit kepada seorang
nasabah atau badan usaha berlandaskan kepercayaan. Bila dikaitkan
dengan kegiatan usaha, kredit berarti suatu kegiatan memberikan nilai
ekonomis (economic value) kepada seseorang atau badan usaha
berlandaskan kepercayaan saat itu, bahwa nilai ekonomi yang sama akan
dikembalikan kepada kreditor setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan
kesepakatan yang sudah disetujui antara kreditor dan debitor.98
Prinsip kehati-hatian harus diperhatikan bank agar kredit tidak
mengalami macet. Kredit macet dapat dihindari jika bank memperhatikan
beberapa point, seperti pertama, dalam penyaluran kreditnya, bank harus
mengikuti standar prosedur penyaluran kredit yang telah disepakati.
Kedua, bank melakukan penilaian kredit secara profesional. Ketiga, bank
tidak melanggar kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BPR
Redjo Bhawono tetap harus mengikuti kebijakan yang dikeluarkan Bank
Indonesia berkaitan dengan kredit.
Dalam proses kredit, terdapat 2 (dua) pendekatan dalam
menganalis calon debitor, yaitu analisis kualitatif (non finansial) dan
97
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissements Verordening Juncto
UU Nomor 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm 6. 98
Moh. Tjoekam, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial, Konsep, Teknik & Kasus, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Umum, 1999), hlm 1.
165
kuantitatif (histori).99
Analisis kualitatif terdiri dari evaluasi industri,
manajemen, dan strategi. Selain itu evaluasi terhadap Ekonomi Makro
dan Lingkungan. Sedangkan analisis kuantitatif terdiri dari analisis
berdasarkan laporan keuangan dan analisis aluran kas (cash flow).
Selain analisis kuantitatif dan analisis kualitatif ada pula satu kunci
dalam penentuan persetujuan kredit, yaitu referensi kebijakan bank
masing-masing. Referensilah yang turut menentukan keputusan kredit
dan turut memberikan warna masing-masing bank tersebut. Sebagian
kebijakan setiap bank berbeda-beda, walaupun pada umumnya sama.
Jadi, selain unsur 5 C dan 7P di atas, dalam kenyataannya Referensi
Kebijakan Bank turut menentukan suatu keputusan kredit sehingga ada
calon debitor yang pengajuan kreditnya oleh bank satu, tetapi ditolak
oleh bank lainnya. Pada dasarnya setiap bank mempunyai cara
menganalisis kredit yang sama, tetapi kebijakan kredit antara kredit satu
bank dengan bank lainnya berbeda. Termasuk kebijakan-kebijakan yang
diberikan BPR Redjo Bhawono dalam memberikan tambahan kredit
terhadap kredit bermasalah.
99 Maryanto Supriyono, Buku Pintar Perbankan dilengkapi dengan studi kasus dan kamus
istilah perbankan, Edisi Pertama (Yogyakarta: Andi Offset, 2011), hlm 164.
166
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada BPR Redjo Bhawono pelaksanaan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian kredit belum dilakukan secara maksimal.
Terbukti dari adanya kredit macet yang seharusnya dapat dihindari.
Dalam hal ini, ada prinsip profitability yang terabaikan.
Maksudnya adalah untuk menganalisis bagaimana kemampuan
nasabah dalam mencari laba. Profitability diukur dari periode ke
periode apakah akan tetap sama atau akan semakin meningkat.
BPR Redjo Bhawono memberikan kelonggaran karena BPR Redjo
Bhawono tidak melihat pembukuan keuangan usaha nasabah secara
detail. Padahal sumber utama dari nasabah yang mengajukan kredit
modal kerja adalah dari perkembangan usahanya. Hal ini berkaitan
dengan analisis kuantitatif terhadap debitor. Kontrol yang kurang
dari BPR Redjo Bhawono menyebabkan terabaikannya prinsip
kehati-hatian.
2. Tindakan bank dalam memberikan tambahan kredit kepada debitor
bermasalah dalam kasus ini kurang tepat. Bank dalam hal ini
mengabaikan prinsip capacity, yaitu kemampuan nasabah dalam
membayar kreditnya, sehingga terjadi kredit macet. Ketika
167
perjanjian kredit yang pertama mengalami macet seharusnya bank
tidak memberikan kredit lagi terhadap nasabah ini. Meskipun bank
bermaksud untuk memberikan “suntikan dana”, namun pada
kenyataannya 2 (dua) kredit tersebut sama-sama macet. Nasabah
tidak mampu untuk mengembalikan pinjamannya sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati. Jika memang bank ingin
memberikan kredit tambahan, maka seharusnya bank
mempertimbangkan track record dari kredit pertama. Dalam hal ini
bank mengabaikan prinsip kehati-hatian, dimana bank tidak cermat
dalam memberikan tambahan kredit terhadap nasabahnya.
Kemampuan nasabah untuk membayar kreditnya perlu dianalisis
dengan cermat, sehingga tidak mengalami macet hingga berturut-
turut.
B. Saran-saran
Melihat dari pembahasan ini, maka penulis beranggapan bahwa
perlu adanya beberapa perbaikan atau tambahan. Oleh karena itu, penulis
memberikan beberapa masukan atau saran agar perbankan di Indonesia
semakin baik, diantaranya adalah:
1. Perlunya unsur pengawas dalam struktur bank, sebagaimana bank
Syariah dimana dalam pelaksanaannya ada pengawasan dari Dewan
Pengawas Syariah (DPS), begitu pula dengan bank-bank konvensional,
terutama bank kecil yang luput dari pantauan publik.
168
2. Kredit macet dapat dihindari jika bank memperhatikan beberapa
patokan, seperti pertama, dalam penyaluran kreditnya, bank harus
mengikuti standar prosedur penyaluran kredit yang telah disepakati.
Kedua, bank melakukan penilaian kredit secara profesional.
Diantaranya bank harus melakukan penilaian terhadap prinip 5 C dan
dengan analisis 7P. Ketiga, bank tidak melanggar kebijakan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Memonitor perkembangan usaha dan keuangan nasabah.
4. Memonitor pemenuhan dengan baik oleh nasabah/debitor terutama
pembayaran bunga dan angsuran dengan tertib dan tepat waktu sesuai
dengan uang diperjanjikan.
5. Perbaikan isi perjanjian kredit, dimana substansinya harus lebih detail
agar posisi bank lebih kuat.
169
DAFTAR PUSTAKA
Arbi, M. Syarif, Lembaga: Perbankan, keuangan, Dan Pembiayaan.
Cetakan Pertama. Yogyakarta: BPFE, 2013.
Arthesa, Ade dan Edia Handiman. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan
Bank. Yogyakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia, 2006.
Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Cetakan Pertama.
Bandung: Penerbit Alumni, 1994.
-------, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan
Perbankan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.
Basyir, Ahmad Azhar. Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata
Islam). Yogyakarta: UII Press, 2000.
Fahmi, Irham, Analisis Kredit dan Fraud Pendekatan Kualitatif dan
kuantitatif. Cetakan Pertama. Bandung: PT. Alumni, 2008.
-------. Manajemen Perkreditan. Cetakan Kesatu. Bandung: Penerbit
Alfabeta, 2014.
Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern Di Era
Global. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.
-------. Hukum Perkreditan Komtemporer. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002.
Gazali, Djoni S. dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar
Grafika. 2012.
Hadisoeprapto, Hartono. Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum
Jaminan. Yogyakarta: Liberty, 1984.
Harun, Badriyah. Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah Solusi
Hukum (Legal Action) dan Alernatif Penyelesaian Segala Jenis Kredit
Bermasalah. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010.
Ibrahim, Johannes & Lindawaty. Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia
Modern. Cetakan Pertama. Bandung: PT. Refika Aditama, 2004.
J. Satrio. Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2002.
Kasmir. Manajemen Perbankan Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2012 .
170
Kasmir. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Keral, Gorys. Komposisi. Cetakan Kesembilan. Flores Nusa Indah, 1993.
Khairandy, Ridwan. Bahan Kuliah Tentang Hukum Perikatan, 2013.
Kusuma, Mahesa. Hukum Perlindungan Nasabah Bank Upaya Hukum
Melindungi Nasabah Bank Terhadap Tindak Kejahatan ITE Di
Bidang Perbankan. Bandung: Nusa Media,2012.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1986.
Naja, H.R Daeng. Contract Drafting. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2006.
Prabowo, Bagya Agung. Aspek Hukum Pembiayaan Murabahah pada
Perbankan Syariah. Yogyakarta: UII Press, 2012.
Saleh, Moh. Ma‟ruf. Langkah Antisipatif Yang Harus Dilakukan
Perbankan Dalam Memproses Dan Menyelesaikan Kredit
Bermasalah. Jakarta: Info Bank Info Strategi Uang & Bank, 1997.
Saleh, Moh. Ma‟ruf. Solusi Hukum Dalam Menyelesaikan Kredit
Bermasalah. Jakarta: Info Bank Info Strategi Uang&Bank, 1997.
Santoso, Ruddy Tri. Kredit Usaha Perbankan. Cetakan Kesatu.
Yogyakarta: Andi, 1996.
Sembiring, Sentosa. Hukum Perbankan. Cetakan Kedua. Bandung: CV.
Mandar Maju, 2008.
Simatupang, Richard Burton. Aspek Hukum Bisnis ( Edisi Revisi ).
Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.
Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan, Memahami Faillissements
Verordening Juncto UU Nomor 4 Tahun 1998. Jakarta: PT. Pustaka
Utama Grafiti, 2002.
-------. Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta:
Institut Bankir Indonesia, 1993.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-
Pokok Hukum Jaminan Dan Hukum Perorangan. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Liberty Offset, 1980.
Subagyo. Bank dan Lembaga Keuangan Lainya. Cetakan Kedua.
Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, 2005.
171
Subekti. Hukum perjanjian. Cetakan Kesebelas. Jakarta: PT. Intermasa,
1987.
Sudaryat. Hukum Bisnis – Suatu Pengantar. Cetakan Kesatu. Bandung:
Jendela Mas Pustaka, 2008.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D.
Bandung: Alfabeta, 2008.
Suhardi, Gunarto. Usaha Meningkatkan Kinerja& Kepatutan Perbankan
di Indonesia. Edisi Kesatu .Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2004.
Sumarni, Murti dan John Soeprihanto.Pengantar Bisnis ( Dasar-Dasar
Ekonomi Perusahaan ). Cetakan Keempat. Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2003.
Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan
Yuridis. Cetakan Kedua. Jakarta: Djambatan, 1996.
Supriyono, Maryanto. Buku Pintar Perbankan dilengkapi dengan studi
kasus dan kamus istilah perbankan. Edisi Pertama.Yogyakarta: Andi
Offset, 2011.
Sutarno. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank. Jakarta: Alfabeta,
2003.
Sutojo, Siswanto. Mengenai Kredit Bermasalah. Jakarta: Damar Mulia
Pustaka, 2008.
Syafe‟i, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.
Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah.Hukum Dagang Indonesia. Cetakan
Kesatu. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012.
R. Tjiptoadinugroho. Perbankan Masalah Perkreditan. Cetakan Keempat.
Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.
Tiong, Oeng Hoey, Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1984.
Tjoekam, Moh.. Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial, Konsep, Teknik
& Kasus. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1999.
Untung, Budi. Analisis kredit Perbankan Tinjauan secara legal.
Yogyakarta: Andi Offset, 2011.
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
172
Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada
tanggal 21 April 2014.
Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada
tanggal 8 Mei 2015.
Widjanarto. Sekali Lagi: Soal Kehati-Hatian. Jakarta: ( Jakarta: Info Bank
Info Strategi Uang&Bank, 1997.
Wiraatmadji, Rasjim. Solusi Hukum Dalam Menyelesaikan Kredit
Bermasalah. Jakarta: Info Bank Info Strategis Uang & Bank, 1997.
Jurnal, Majalah, dan Makalah
Adni, Dhafina. Tinjauan Hukum Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam
Praktek Akuisi PT. Bank Rakyat Indonesia Terhadap PT. Bank
Argoniaga. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2011.
Astuti, Henny Sri. “Prinsip 6 C (Charakter, Capacity,Condition Of
Economy, Collateral Dan Constraint) Dalam Wirausaha Mahasiswa”.
Prosiding Seminar Nasional, 9 Mei 2015.
Ayang, Rahmad Perwira. Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam
Perjanjian Kredit Untuk Mencegah Terjadinya Kredit Bermasalah
Pada Bank Pembangunan Daerah Jambi. Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia.
.
Huda, Luk Luk Rafiqul Huda. Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam
Pemberian Kredit Pada Bank Pembangunan Daerah Cabang
Pembantu Godean. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, 2010.
Reza, Mohammad. Peranan Bank Indonesia Dalam Mengatur Dan
Mengawasi Pelaksanan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Program
Kredit Usaha Rakyat (KUR).Tesis. Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 2011.
Solikha, Noorzana Muji. Asas Iktikad Baik Sebagai Pembatas Kebebasan
Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank. Tesis. Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 2015.
173
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Bank Indonesia (1), Surat Keputusan (SK ) Direktur Bank
Indonesia No. 27/162/KEP/DIR
tanggal 31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan
Perkreditan Bank.
Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 serta
perubahannya untuk Bank Umum, dan dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 untuk Bank Perkreditan Rakyat.
Indonesia. Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998. Jakarta:
Sinar Grafika, 2002.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Jakarta: Sinar Grafika,
2002.
Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/14/PBI/2007 tentang
Informasi Debitur.
Data Elektronik
http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/se_104708, diakses 25
Desember 2013.
http://www.cozyann1974.wordpress.com, Akses 11 Mei 2015.
http://www.komisihukum.go.id, diakses tanggal 12 Februari 2008.
http://topihukum.blogspot.com/2013/08/aspek-hukum-jaminan-hak-
tanggungan.html,
Akses 27 Mei 2014.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33702/3/Chapter%20II.pd
f, akses 17 Desember 2014.
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article
&id=220&Itemid=220., Akses 20 April 2014.
http://www.cozyann1974.wordpress.com, diakses tanggal 11 Mei 2015.