+ All Categories
Home > Documents > PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN / PRUDENTIAL ...

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN / PRUDENTIAL ...

Date post: 07-Jan-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
187
i PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN / PRUDENTIAL BANKING PRINCIPLE DALAM PEMBERIAN KREDIT MODAL KERJA DI BPR REDJO BHAWONO T E S I S OLEH: NAMA MAHASISWA : IKA NOVI NUR HIDAYATI, S.H.I. NO. POKOK MHS. : 12912074 BKU : HUKUM BISNIS PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2015
Transcript

i

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN / PRUDENTIAL BANKING

PRINCIPLE DALAM PEMBERIAN KREDIT MODAL KERJA

DI BPR REDJO BHAWONO

T E S I S

OLEH:

NAMA MAHASISWA : IKA NOVI NUR HIDAYATI, S.H.I.

NO. POKOK MHS. : 12912074

BKU : HUKUM BISNIS

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2015

ii

iii

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan tesisku ini untuk almamaterku tercinta,

Program Studi Magister Ilmu Hukum,

Program Pascasarjana Fakultas Hukum,

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,

Para pembimbingku yang dengan sabar membimbingku, dan

rasa hormat, bakti, serta terima kasihku kepada semua keluargaku tercinta

Ayahanda Suranto dan Ibunda Sumirah yang selalu mendoakanku,

Sepupu-sepupuku Inke, Rosita, Suci, Anis, dan Risma yang selalu jadi

penyemangatku,

Teman-temanku dimanapun kalian berada yang tak henti-hentinya mensupportku,

Terima kasih untuk kalian semua

Persembahan khusus kepada orang yang paling aku sayang,

yang selalu ada di depan saat ku jatuh,

yang selalu membuatku tegar,

yang selalu percaya bahwa aku mampu,

yang selalu sabar menungguku hingga tuntas tanggung jawab ini,

merekalah Bapak dan Mamaku

Aku sadar tanpa doa dan dukungan mereka aku tidak mampu sampai ke titik ini

Dan aku percaya bahwa Tuhan selalu ada untuk umat-Nya yang berniat baik

dan mau berusaha

Tuhan selalu memberikan jalan terbaik menurut versi-Nya

Dan saat ini lah waktu yang tepat untuk aku persembahkan karyaku.

Stay strong, stay steadfast, keep believing that we can rise up even if we have to

fall thousand times, because we had God beside us all the time.

v

PERNYATAAN ORISINALITAS

بســــم هللا الرحمه الرحيم

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ika Novi Nur Hidayati, S.H.I.

NPM : 12912074

BKU : BISNIS

Jenjang Pendidikan : Pascasarjana (S-2)

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis yang berjudul “PENERAPAN

PRINSIP KEHATI-HATIAN/PRUDENTIAL BANKING PRINCIPLE

DALAM PEMBERIAN KREDIT MODAL KERJA DI BPR REDJO

BHAWONO” adalah benar-benar karya dari penulis sendiri, terkecuali bagian-

bagian tertentu yang telah diberikan keterangan pengutipan sebagai etika

akademisi yang berlaku. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa tesis ini bukan

karya penulis, maka penulis siap menerima sanksi akademik sesuai ketentuan

yang berlaku pada Program Pascasarjana (S-2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Yogyakarta, 8 November 2015

Yang Membuat Pernyataan,

IKA NOVI NUR HIDAYATI, S.H.I.

vi

KATA PENGANTAR

بســــم هللا الرحمه الرحيم

ان ال اله اال هللا الحمد هلل رب العــــالميه. وبه وستعيه على أمىر الدويا و الديه. أشهــــد

وأشهــد أن محمدا عبده ورســــىله. اللهم صل و سلم على محمد و على آله و أصحا به أجمعــيه

Syukur Alhamdulillahhirobbil‟alamiin, berkat pertolongan dan hidayah

Allah SWT terhadap hamba-Nya yang sedang menuntut ilmu di Universitas Islam

Indonesia Yogyakarta, tesis ini akhirnya dapat terselesaikan dengan judul

“PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN/PRUDENTIAL BANKING

PRINCIPLE DALAM PEMBERIAN KREDIT MODAL KERJA DI BPR REDJO

BHWONO”. Meskipun sederhana dan jauh dari kata sempurna, namun penulis

tetap berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan tesis ini. Oleh sebab itu,

penulis senantiasa berharap kepada siapapun yang membaca dan menelaah tesisi

ini berkenan memberikan masukan, saran dan koreksi terhadap apa saja yang

dipandang perlu.

Penulisan tesis ini juga tidak lepas dari doa, bimbingan dan dukungan dari

berbagai pihak, maka pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih

yang tak terhingga kepada :

1. Paling pertama dan utama kepada Allah SWT. Dimana atas pertolongan,

bimbingan, kesehatan, maupun ilmu pengetahuan yang diberikan kepada

penulis sehingga terselesaikannya tugas akhir ini.

vii

2. Orang tuaku, Bapak dan Mama yang selalu memberikan doa dan supportnya

setiap waktu hingga aku dapat seperti sekarang ini. Aku sayang kalian.

Sehat selalu dan mudah-mudahan suatu hari nanti anak tunggalmu ini bisa

membuat kalian bangga dan bahagia selalu. Amīn.

3. Prof. Dr. Ridwan Khairandy, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing I yang

selalu sabar memberikan motivasi, arahan, bimbingan, serta waktunya

kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

4. Dr. Surach Winarni, S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang selalu

sabar memberikan motivasi, arahan, bimbingan, serta waktunya kepada

penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

5. Drs. Agus Triyanta, M.A., M.Hum., Ph.D., selaku Ketua Program

Pascasarjana Fakultas Hukum sekaligus penguji tesis yang memberikan

kemudahan kepada penulis hingga penulis dapat mempersembahkan karya

ini.

6. Para teman-teman di akademik Pascasarjana Fakultas Hukum UII yang

selalu membantu penulis dalam proses belajar di kampus hingga lulus.

7. Keluarga besarku yang selalu mendoakanku untuk sukses. Sepupu-

sepupuku, Inke, Rosita, Risma, Anis, Suci, Simbah Mujiraharjo, Simbah

Junaedi, Bule Tarni, Le‟ Kamti, Le‟ Kamto, Om Heri, serta Om Yudi.

8. Bapak Robby Andrian, S.H., M.H., salah satu advokat di Jogja yang telah

membantu saya mencari objek penelitian, hingga akhirnya saya bisa tetap

melanjutkan tesis saya.

viii

9. Bapak Suitbertus Fajar Nugraha selaku marketing di BPR Redjo Bhawono

yang saat ini telah berubah nama menjadi Bank Natasha, yang telah

memberikan kemudahan, waktu, serta bantuannya hingga saya mendapatkan

data-data untuk tesis ini.

10. Noorzana Muji Solikhah, S.H., M.H., sahabat aku yang dari awal hingga

akhir tidak meninggalkanku. Sahabat yang dengan sabar menungguku untuk

lulus. Sahabat diskusiku dan selalu ada, seperti kakak sendiri. Dengan

andilnya, tesis ini pun dapat selesai. Inilah jalan Tuhan, aku dipertemukan

dengan seseorang yang luar biasa, yang membantuku untuk bangkit.

11. Sahabat-sahabatku seperjuangan MH 29 yang selalu kompak dalam

berbagai hal, yang tidak akan dilupakan sampai kapanpun. Erma Suharti,

S.H., Raisa Umami, S.H., Imas Khaeriyah Primasari, SH., M.H., Arie

Gunarti, S.Pd., M.H., Eka Wahyu Sartika, S.H., M.H., Didit Prahara, S.H.,

M.H., Rovi Oktoza, S.H.,M.H., Faik Rahimi, S.H.,M.H., Imam Zubaidi,

S.H., M.H., W. Sidik Rastra Hendra, S.H., Ilham Yuli Isdiyanto, S.H., M.H.,

Widha Sinulingga, S.H., Iman Fauzi, S.H., Nurdinsyah, S.H., Bayu

Mahendra, S.H., M.H., Hasrul Buamona, S.H., M.H., Aga Yurista

Pambayun, S.H., Rizky Maesa, S.H., M.H., Cinthia Mutiara Hapsari, S.H.,

M.H., Sri Widiastuti, S.H., Siti Umi Akhirokh, S.H., M.H., Johan Satya

Adhyaksa, S.H., Teddy Adriansyah, S.H., M.H., Maskhanah, S.H.I., M.H.,

Siti Umi Akhirokh, S.H., M.H., Riky Rustam, S.H., M.H., Melisa Fitria

Dini, S.H., Raja Akbar Nusonegara, S.H., Robbani Ruhullah, S.H.I.,

Kristianto Adi Nugroho S.H., M.H., Lalu Abdul Rahman, S.H., Nurmalita

ix

Ayunintyas, S.H., M.H., Lidya Christina Wardhani, S.H. M.H., Bayu Murti

Ywanjono, S.H., Wahyuni, S.H., M.H., Wira Atma Hajri, S.H., M.H., Roy

Al Minfa, S.H., M.H., dan para sesepuh kami, Bapak Drs. Samudra, M.H.,

Kartika, S.H., M.H. Bambang Priyo Pramodo, S.E., M.H., Moh. Fadly,

S.H., Sutikna, S.H., dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu per

satu. Bahagia bisa mengenal kalian.

12. Sahabat-sahabat di kantor BMT Iqtisaduna Fakultas Ekonomi UII, Mba

Neni, Mba Evi, Mas Candra, serta Mba Yenny di kantor P3EI UII. Terima

kasih atas kerja sama, dukungan, pengertian, serta doanya.

13. Sahabatku Fellisia yang sudah meminjamkan printernya di saat printerku

bermasalah.

14. Sahabatku Tista Maneka Asfinsari, S.Pd. yang selalu menjadi pendengar

setiaku dan kemudian memberikan semangat untuk tetap berjuang.

15. Wentika Sari, sahabat di Komplek Harkit yang selalu mendukungku.

16. Veri Agustina, sahabat sekaligus teman berbagi cerita dan pengalaman yang

mengispirasiku.

17. Para dosen yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepadaku.

18. Untuk kampusku tercinta, yang telah memberikan begitu banyak ilmu.

19. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu penulisan tesis ini dari awal hingga akhir.

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis memohon balasan atas segala

amal baik, atas bantuan semua pihak hingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis

x

berharap mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan kontribusi, inspirasi,

maupun manfaat, baik bagi penulis sendiri, para pembaca, dan banyak orang.

Amīn.

Yogyakarta, 8 November 2015

Penulis,

Ika Novi Nur Hidayati, S.H.I.

xi

DAFTAR ISI

COVER UTAMA ............................................................................... i

HALAMAN JUDUL .......................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................ iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................ v

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................... vi

KATA PENGANTAR ......................................................................... vii

DAFTAR ISI ....................................................................................... xii

ABSTRAK ........................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................... 12

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 12

D. Tinjauan Pustaka ................................................................. 12

E. Teori/Doktrin ...................................................................... 16

F. Metode Penelitian ............................................................... 25

G. Sistematika Penulisan ......................................................... 27

xii

BAB II PERJANJIAN KREDIT DAN KREDIT BERMASALAH

A. Kredit dan Perjanjian Kredit ............................................. 29

1. Aspek Hukum Positif .................................................. 29

2. Aspek Hukum Islam .................................................... 46

B. Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pemberian Kredit ............... 53

C. Kredit Bermasalah ............................................................ 86

D. Penyelesaian Kredit Bermasalah ...................................... 90

BAB III PELAKSANAAN PRINSIP KEHATI-HATIAN TERHADAP

PEMBERIAN KREDIT MODAL KERJA DI BPR REDJO BHAWONO

A. Pelaksanaan Prinsip Kehati-Hatian Terhadap Pemberian Kredit Modal

Kerja Di BPR Redjo Bhawono .................................................... 103

B. Tambahan Kredit Kepada Debitor Bermasalah Sesuai Dengan Prinsip

Kehati-Hatian ............................................................................... 152

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 166

B. Saran-Saran ................................................................................. 167

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 169

LAMPIRAN------------------------------------------------------------------------ 170

xiii

ABSTRAK

Tesis ini adalah hasil penelitian lapangan tentang penerapan prinsip kehati-

hatian atau prudential banking principle dalam pemberian kredit modal kerja di

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono, yang telah diakuisisi oleh

Natasha Group pada Desember 2014, sehingga saat ini menjadi Bank Natasha.

Latar belakang diadakan penelitian ini karena terdapat kelemahan yang secara

teknis penting untuk diangkat ke permukaan dalam pembenahan pelaksanaannya,

terutama berkaitan dengan pemberian kredit. Alasan mengapa penyusun memilih

penelitian di BPR Redjo Bhawono karena adanya kebijakan dari bank yang

kurang tepat dalam pemberian kredit terhadap kredit bermasalah, yang dalam hal

ini berkaitan dengan salah satu prinsip perbankan yaitu prinsip kehati-hatian.

Adapun pokok masalah yang diteliti dalam tesis ini adalah mengenai

pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit modal kerja pada BPR

Redjo Bhawono dan tindakan bank dalam memberikan tambahan kredit kepada

debitor bermasalah yang dikaitkan pula dengan prinsip kehati-hatian. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan pemberian kredit

di BPR Redjo Bhawono, serta menganalisisnya apakah sesuai dengan prinsip

kehati-hatian atau tidak, sebagaimana terkandung dalam Undang-Undang

Perbankan.

Dalam tesis ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu

membahas tentang pelaksanaan pemberian kredit modal kerja di BPR Redjo

Bhawono dan pemberian kredit terhadap kredit bermasalah, kemudian

menganalisisnya menggunakan Prinsip 5C dan 7 P. Sifat dari penelitian ini adalah

deskriptif-analisis, yaitu memaparkan bagaimana pelaksanaan prinsip kehati-

hatian di BPR Redjo Bhawono, apakah telah sesuai atau tidak dengan prinsip

kehati-hatian tentunya dengan melihat dari teori-teori yang ada dan data-data yang

diperoleh penulis. Baik melalui observasi atau pengamatan, interview atau

wawancara, dokumentasi. Setelah semua data-data terkumpul, kemudian dianalis

secara kualitatif, yaitu analisis berdasarkan data-data yang diperoleh, selanjutnya

data-data tersebut dipilih-pilih dan dianalisis menggunakan metode induksi, untuk

memperoleh kesimpulan umum tentang penerapan prinsip kehati-hatian dalam

pemberian kredit modal kerja BPR Redjo Bhawono.

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa pelaksanaan prinsip kehati-

hatian dalam pemberian kredit belum dilakukan secara maksimal. Prinsip 5 C dan

7P berusaha diterapkan pada BPR Redjo Bhawono, namun tidak semua perjanjian

kredit berjalan lancar. Dalam hal ini, ada prinsip profitability yang terabaikan,

yaitu kemampuan nasabah dalam mencari laba. Sedangkan mengenai tindakan

bank dalam memberikan tambahan kredit kepada debitor bermasalah dalam kasus

ini bank mengabaikan prinsip capacity, yaitu kemampuan nasabah dalam

membayar kreditnya. Kemampuan nasabah untuk membayar kreditnya perlu

dianalisis dengan cermat, sehingga tidak mengalami macet hingga berturut-turut.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini perkembangan perekonomian Indonesia begitu pesat. Hal

ini merupakan perkembangan yang positif untuk terus berupaya

mengembangkan bisnis-bisnis yang berdampak pada ekonomi masyarakat.

Salah satunya adalah peran aktif dari perbankan untuk membantu

masyarakat. Bank sebagai perantara dalam menghimpun dana dari

masyarakat dan sebagai penyalur dana bagi masyarakat yang

membutuhkan, atau sebagai lalu lintas pembayaran, membuat bank

menjadi peranan penting dalam kehidupan masyarakat.

Di Indonesia, lembaga perbankan memiliki visi dan fungsi sebagai

agen pembangunan, yaitu sebagai lembaga yang bertujuan menunjang

pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan

pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah

peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.1 Tidak dapat dipungkiri bahwa

perekonomian masyarakat dipengaruhi oleh peran perbankan, salah

satunya dalam memberikan suatu kredit ataupun pelayanan jasa untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat.

1

Tujuan Perbankan Nasional seperti yang tertera dalam Pasal 2 Undang-Undang

Perbankan.

2

Di Indonesia, keberadaan jenis bank dikelompokkan menjadi dua

jenis bank, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank Umum

adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan

atau berbasis syari‟ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam

lalu lintas pembayaran.2 Adapun pengertian Bank Perkreditan Rakyat

adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau

berdasarkan prinsip syari‟ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan

jasa dalam lalu lintas pembayaran.3

Perbankan di Indonesia memiliki banyak inovasi dalam pemberian

kredit terhadap nasabah. Pemberian kredit yang dilakukan bank sesuai

dengan perjanjian yang disepakati kedua belah pihak. Perjanjian dalam

KUH Perdata adalah suatu peristiwa dimana A dan B berjanji untuk

melaksanakan suatu hal hubungan antara A dan B akan menimbulkan

perikatan.4 Perjanjian dikatakan sah bila kedua belah pihak telah sepakat

untuk saling mengikatkan diri. Jika pengertian perjanjian itu dikaitkan

dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata maka terlihat

jelas bahwa perjanjian itu harus didasarkan atas kesepakatan para pihak,

yang dalam hal ini harus dilakukan sedikitnya dua orang atau lebih untuk

masing-masing saling mengikatkan diri. Salah satu kegiatan yang

diberikan bank terhadap nasabah adalah mengenai pemberian kredit.

2

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 3Ibid.

4Pasal 1313.

3

Pengertian kredit secara yuridis adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang

mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu

tertentu dengan pemberian bunga. 5 Intisari dari kredit sebenarnya adalah

kepercayaan, suatu unsur yang harus dipegang sebagai benang merah

melintasi falsafah perkreditan dalam arti sebenarnya, bagaimana bentuk,

macam, dan ragamnya, dan dari mana pun asalnya serta kepada siapapun

diberikannya.6 Hubungan hukum antara pemberi kredit dalam hal ini Bank

(kreditor) dan penerima kredit dalam hal ini nasabah (debitor), didasarkan

kepada perjanjian yang dalam praktik perbankan dikenal sebagai

perjanjian kredit Bank.

Nasabah mengajukan kredit kepada bank dengan mengisi form

yang telah disedikan bank. Sebelum kredit yang diajukan nasabah

disetujui, bank melakukan beberapa analisis. Untuk memperoleh

keyakinan mengenai kredit tersebut, bank harus melakukan penilaian

secara seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek

usaha debitor atau dalam praktik perbankan dikenal dengan istilah the five

C’s yang terdiri dari unsur character, cafacity, capital, collateral, and

condition of economic.7

Pertama, mengenai character, seperti telah

5Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan.

6Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cetakan Kedua (Bandung: CV. Mandar Maju,

2008), hlm 51. 7

http://topihukum.blogspot.com/2013/08/aspek-hukum-jaminan-hak-tanggungan.html,

Akses 27 Mei 2014.

4

diuraikan di muka dasar dari suatu pemberian kredit adalah atas dasar

kepercayaan, jadi yang mendasari suatu kepercayaan yaitu adanya

keyakinan dari pihak bank bahwa si peminjam mempunyai moral, watak,

ataupun sifat pribadi yang positif dan kooperatif dan juga mempunyai

tanggung jawab baik dalam kehidupan pribadi sebagai manusia,

kehidupannya sebagai masyarakat ataupun dalam menjalankan kegiatan

usahanya. Manfaat dari penilaian soal character ini untuk mengetahui

sampai sejauh mana tingkat kejujuran dan integritas serta tekad baik yaitu

kemauan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya dari calon debitor.

Kedua, mengenai capacity (kemampuan), yang dimaksud capacity di sini

adalah suatu penilaian kepada calon debitor mengenai kemampuan

melunasi kewajiban-kewajibannya dari kegiatan usaha yang dilakukannya

atau kegiatan usaha yang akan dilakukannya, yang akan dibiayai dari

kredit bank. Jadi, penilaian mengenai kemampuan di sini untuk menilai

sampai di mana hasil usaha yang akan diperolehnya tersebut akan mampu

untuk melunasinya tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian yang

telah disepakatinya. Ketiga,Capital, yaitu dana/modal sendiri yang

dimiliki nasabah. Keempat, Collateral, yaitu barang-barang jaminan yang

diserahkan oleh peminjam/debitor sebagai jaminan atas kredit yang

diterimanya. Manfaat collateral yaitu sebagai sifat pengaman apabila

usaha yang dibiayai dengan kredit tersebut gagal atau sebab-sebab lain

dimana debitor tidak mampu melunasi kreditnya dari hasil usahanya yang

normal. Jaminan yang diserahkan nasabah ke bank, apakah mampu

5

mengcover kredit yang diajukan atau tidak. Kelima, Condition of

economy, yaitu situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan

lain-lain yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat

maupun untuk kurun waktu tertentu yang kemungkinannya akan dapat

mempengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan yang memperoleh kredit.

Hal ini agar angsuran yang diterima nasabah tidak membebani

keberlangsungan ekonomi nasabah, oleh karena itu bank harus berhati-hati

dalam memberikan kredit kepada nasabah. Dalam hal ini, analisis kredit

yang cermat dan teliti diperlukan untuk memutuskan apakah suatu kredit

itu diterima atau tidak.

Pembuatan dan penyusunan analisis kredit dalam rangka

pemberian kredit perbankan merupakan salah satu bagian dalam

melaksanakan prinsip kehati-hatian.8 Dengan demikian, analisis kredit

mempunyai peranan yang penting dalam pemberian kredit dan berfungsi

antara lain untuk mengetahui kelayakan permohonan kredit dan usahanya,

kemampuan dan kesanggupan yang bersangkutan untuk melunasi

kreditnya, serta resiko yang terkait dan yang mungkin timbul sehubungan

dengan pemberian kredit tersebut. Bank sebagai penyalur dana dari

masyarakat tentu saja harus berhati-hati dalam memberikan kreditnya.

Resiko-resiko yang mungkin timbul dari pemberian kredit tersebut juga

harus menjadi pertimbangan bank. Bank sebagai bisnis penuh resiko

8Budi Untung, Analisis kredit Perbankan Tinjauan secara legal, (Yogyakarta: Andi

Offset, 2011), hlm 1.

6

sewajarnya menerapkan prinsip kehati-hatian agar dapat meningkatkan

kepercayaan nasabah kepada bank dan dapat mencegah kerugian bank.

Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menyatakan bahwa

bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan

prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang

dipercayakan padanya. Prinsip kehati-hatian diatur dalam Undang-Undang

Perbankan Pasal 2 yang menjelaskan bahwa:

“Asas, fungsi, dan tujuan perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya

berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-

hatian.” Kemudian dalam Pasal 29 ayat (2) juga dijelaskan bahwa:

” Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan

kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,

rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha

bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-

hatian.”

Prinsip kehati-hatian dalam sistem perbankan digunakan sebagai

perlindungan tidak langsung oleh pihak bank terhadap kepentingan-

kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya, serta dalam penyaluran

kredit.9 Jadi, prinsip kehati-hatian dalam perbankan merupakan suatu asas

atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan

kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati dalam rangka melindungi dana

dari masyarakat yang dipercayakan kepada bank yang bersangkutan.

Dalam karya tulis ini, penulis mengambil salah satu BPR di

Yogyakarta, yaitu BPR Redjo Bhawono. PT. BPR Redjo Bhawono adalah

9

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33702/3/Chapter%20II.pdf, akses 17

Desember 2014, Pukul 06.04 WIB.

7

perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan, sebagai Lembaga

Intermediasi, telah memenuhi aturan perundang-undangan Perbankan,

peraturan Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan, sebagai

Badan hukum didirikan berdasarkan Akte Anggaran Dasar, BPR Redjo

Bhawono didirikan dengan Akta Notaris No. 1 Tanggal 03 Maret 1989,

dan telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan Republik Indonesia.

BPR ini didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan perekonomian di

wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di wilayah Kabupaten

Sleman. Berdiri sejak tahun 1990 dengan segala dinamikanya, BPR Redjo

Bhawono telah ikut mewarnai pertumbuhan usaha di Yogyakarta.

Keunggulan BPR ini adalah proses pencairan kredit yang cepat, dengan

catatan jaminan yang diberikan adalah jaminan atas nama sendiri dan

berupa barang bergerak. Selain itu, proses yang dibuat simple merupakan

keunggulan berikutnya, seperti kelengkapan berkas yang tidak perlu

dilampirkan. Dalam hal ini, berkas pembukuan keuangan usaha yang

dimiliki nasabah tidak harus dilampirkan. Dalam perkembangannya BPR

ini telah diakuisisi oleh Natasha Group pada Desember 2014. Hal ini

dikarenakan BPR Redjo Bhawono ingin mengembangkan diri, sehingga

modal yang dimiliki harus lebih kuat. Oleh karena itu, BPR Redjo

Bhawono diakuisisi oleh Natasha Group dan saat ini berganti nama

menjadi Bank Natasha. Meskipun BPR ini telah diakuisisi, namun tidak

ada yang berubah dari segala aktivitas perbankannya.

8

Pada BPR Redjo Bhawono Yogyakarta pemberian kredit dilakukan

dengan menggunakan bunga yang berbeda-beda. Perbedaan bunga itu

dilakukan untuk menjamin hubungan baik antara nasabah dengan bank,

maupun sebaliknya. Setiap peminjaman, nasabah diharuskan untuk

memberikan jaminan kepada bank sebagai bentuk kepercayaan bank

terhadap nasabah.

Pada perjanjian kredit no. 573/PKRB/VII/09, bank memberikan

kredit kepada nasabah, yaitu Tn. A dengan kredit sebesar Rp

150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), bunga 1,7 % (satu koma

tujuh) flat tiap bulan untuk modal usaha dengan menggunakan tanah

seluas 612 m2 (enam ratus dua belas) sebagai jaminan atas kredit tersebut.

Bank memberikan jangka waktu 84 bulan (delapan puluh empat), yaitu

mulai 28 Juli 2009 sampai 28 Juli 2016 untuk nasabah melunasi hutang-

hutangnya.10

Dalam perjalanannya, ternyata usaha Tn. A tidak berjalan

dengan baik sehingga mengalami kredit macet. Jaminan yang diserahkan

ke bank telah diberikan hak tanggungan, sehingga bank berhak atas

jaminan tersebut. Sebagaimana dijelaskan bahwa hak tanggungan sebagai

hak jaminan dilahirkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tepatnya pada

Pasal 51 dan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.

Hak tanggungan adalah penguasaan atas tanah, berisikan kewenangan

kreditor untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan,

10

Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 21 April

2014.

9

tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk

menjualnya jika debitor cidera janji dan mengambil dari hasilnya

seluruhnya atau sebagian pembayaran lunas hutang debitor kepadanya.11

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) menjelaskan

mengenai definisi hak tanggungan, yaitu hak jaminan yang dibebankan

pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu

untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kadudukan yang

diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.

Fenomena yang menarik adalah ketika kredit pertama Tn. A

mengalami macet, bank justru memberikan kredit kembali kepada Tn. A.

Kredit yang diberikan bank kepada Tn. A tidak sedikit, yaitu sebesar Rp

100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan bunga 1,5 % (satu koma lima

persen) flat tiap bulan, dengan menggunakan agunan yang sama, yaitu

tanah seluas 612 m2 (enam ratus dua belas).

Kredit yang diberikan Bank kepada Tn. A keduanya tidak berjalan

dengan baik. Kredit pertama maupun kedua mengalami kemacetan. Dalam

hubungan perutangan dimana ada kewajiban berprestasi dari debitor dan

hak atas prestasi dari kreditor hubungan hukum akan lancar terlaksana jika

masing-masing pihak memenuhi kewajibannya. Namun, dalam hubungan

11

http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=220&Ite

mid=220., Akses 20 April 2014.

10

perutangan yang sudah dapat ditagih jika debitor tidak memenuhi prestasi

secara suka rela, kreditor mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan

piutangnya terhadap harta kekayaan debitor yang dipakai sebagai

jaminan.12

Jaminan yang diberikan hak tanggungan dapat membereskan

dan menyelesaikan pembayaran utang debitor kepada kreditor,

sebagaimana bunyi Pasal 1 angka (1) dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor

4 Tahun 1996:

”Apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak

untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum

menurut peraturan yang berlaku dan mengambil perlunasan piutangnya

dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditor-

kreditor lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditor

pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah.”

Dari itu lah jaminan yang diberikan Tn. A kepada bank dapat dilelang

karena Tn. A tidak memenuhi kewajibannya.

Permasalahan mucul ketika bank memberikan kredit pertama dan

pihak bank sudah dapat mengetahui bahwa kredit tersebut mengalami

kemacetan, seharusnya bank sudah dapat menilai bagaimana track record

kredit nasabah, namun bank tetap memberikan kredit kembali dan

akhirnya mengalami kasus serupa, yaitu kemacetan. Dalam hal ini, prinsip

kehati-hatian sangat diperlukan bank dalam memberikan kredit ke nasabah

karena sumber dana kredit yang disalurkan bukan semata-mata milik bank,

namun dana yang berasal dari masyarakat, sehingga perlu penerapan

12

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum

Jaminan Dan Hukum Perorangan, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Liberty Ofset, 1980), hlm 31-

32.

11

prinsip kehati-hatian melalui analisa yang akurat dan mendalam,

penyaluran yang tepat, pengawasan, dan pemantauan yang baik, perjanjian

yang sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan jaminan yang kuat dan

dokumentasi Perkreditan yang teratur dan lengkap. Hal-hal demikian

bertujuan agar kredit yang disalurkan dapat kembali tepat pada waktunya

sesuai dengan perjanjian yang ada. Apabila kredit yang telah disalurkan

tidak kembali tepat pada waktunya, maka kualitas kredit dapat

digolongkan sebagai kredit macet. Jika sudah ada kredit macet secara

langsung telah menurunkan citra dan kredibilitas bank di mata publik.

Dalam perjanjian kredit yang dilakukan salah satu nasabah,

sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pada BPR Redjo Bhawono kredit

yang disalurkan mengabaikan prinsip kehati-hatian. Hal ini terbukti ketika

2 (dua) kredit yang diajukan mengalami kredit macet. Persoalannya

adalah ketika prinsip kehati-hatian harus diterapkan, BPR Redjo Bhawono

justru memberikan kredit kembali tanpa memperhatikan track record

kredit nasabah yang pernah diajukan. Problem hukum yang muncul adalah

prinsip kehati-hatian yang dibaikan sehingga memunculkan kredit macet

bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 2,

dimana pada pasal ini prinsip kehati-hatian harus diperhatikan.

Berlatar belakang seperti itu lah, maka penyusun tertarik untuk

menelitinya lebih lanjut dalam bentuk tesis dengan judul, “Penerapan

Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking Principle) Dalam Pemberian

Kredit Modal Kerja di BPR Redjo Bhawono”.

12

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas penyusun mengidentifikasi

pokok masalah yang akan diteliti dan akan dibahas dalam tesis ini. Adapun

pokok masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan prinsip kehati-hatian diaplikasikan dalam

pemberian kredit modal kerja pada BPR Redjo Bhawono?

2. Apakah tindakan bank dalam memberikan tambahan kredit kepada

debitor bermasalah sesuai dengan prinsip kehati-hatian?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan prinsip kehati-hati dalam pemberian

kredit pada BPR Redjo Bhawono.

2. Untuk mengetahui tindakan bank dalam memberikan kredit tambahan

terhadap kredit bermasalah sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari kesamaan atau duplikasi terhadap karya ilmiah

yang sudah ada, ternyata ada beberapa karya ilmiah yang mengkaji

masalah prinsip kehati-hatian, namun dalam substansinya berbeda. Penulis

menemukannya dalam karya ilmiah milik Rahmad Perwira Ayang

berjudul “ Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Perjanjian Kredit Untuk

Mencegah Terjadinya Kredit Bermasalah Pada Bank Pembangunan

13

Daerah Jambi”. Dalam hal ini penyusun lebih membahas tentang

penerapan prinsip kehati-hatian dalam perjanjian kredit pada Bank

Pembangunan Daerah Jambi untuk mencegah terjadinya kredit

bermasalah, serta penyelesaiannya. Pada tesis ini dijelaskan bahwa Bank

Pembangunan Daerah Jambi menerapkan prinsip kehati-hatian dalam

pemberian kredit. Hal ini terbukti dengan proses penyaluran kredit yang

memperhatikan aspek-aspek, seperti, aspek yuridis, aspek pemasaran,

aspek jaminan, aspek teknis, aspek sosial ekonomi, aspek dampak

lingkungan, dan aspek keuangan dari calon debitor. Penyelesaian kredit

bermasalah pada bank ini dilakukan dengan pembentukan devisi khusus

penyelamatan kredit yang bertugas untuk menangani penyelamatan kredit

bermasalah.

Dalam karya lain yang ditulis Dhafina Adani dengan judul, “

Tinjauan Hukum Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Praktek Akuisi

PT. Bank Rakyat Indonesia Terhadap PT. Bank Argoniaga”. Karya ini

berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia No. 7/1/PBI/2005 dan Surat

Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 yang pada

prinsipnya mengatur penyelamatan kredit bermasalah sebelum

diselesaikan melalui lembaga hukum, yaitu melalui alternatif penanganan

secara penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali

(reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Dalam hal ini

penulis menjelaskan mengenai pengaturan dan pelaksanaan prinsip kehati-

hatian dalam praktek akuisi PT. Bank Rakyat Indonesia (persero), Tbk.

14

Terhadap PT. Bank Agroniaga, Tbk. Penulis dalam skripsi ini menjelaskan

bahwa dalam melakukan akuisisi terhadap Bank Agroniaga sebagai

subyek hukum telah berasaskan pada KUH Perdata, Bank Rakyat

Indonesia sebagai Perseroan Terbatas telah berdasarkan pada Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas jo Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan

Pengambilalihan Perseroan Terbatas.

Penulis juga menemukan bahasan yang sama dalam Skripsi Luk

Luk Rafiqul Huda dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang

berjudul, “Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pemberian Kredit Pada

Bank Pembangunan Daerah Cabang Pembantu Godean”. Dalam skripsi ini

dijelaskan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam proses

pemberian kredit oleh BPD Capem Godean, serta mengenai faktor-faktor

yang menjadi kendala dalam penerapan prinsip kehati-hatian. Dalam hal

ini, penerapan prinsip kehati-hatian pada BPD Capem berdasarkan pada

proses perkreditan yang sehat, yang melipui analisis kredit yang benar dan

obyektif, perjanjian kredit secara tertulis, adanya pengikatan jaminan,

adanya dokumentasi dan administrasi kredit yang lengkap, dan

pengawasan kredit. Selain itu, BPD Capem Godean juga menerapkan

ketentuan yang terkait prinsip kehati-hatian yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia, yang melipui Batas Maksimum Pemberian Kredit ( BMPK ),

restrukturisasi kredit, dan menghindari pemberian kredit untuk kegiatan

yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Faktor-faktor

15

yang menjadi kendala penerapan prinsip kehati-hatian ini berasal dari

pihak bank sendiri dan dari pihak masyarakat. Kendala dari pihak bank

berupa kurangnya sumber daya manusia dan prosedur pemberian kredit.

Sedangkan kendala yang berasal dari masyarakat adalah kurangnya

pengetahuan mengenai prinsip kehati-hatian dari masyarakat pengguna

kredit yang tidak sesuai, dan informasi yang tidak benar dari debitor.

Penulis menemukan pula pada tesis milik Mohammad Reza dari

Magister Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada yang berjudul,” Peranan

Bank Indonesia Dalam Mengatur Dan Mengawasi Pelaksanaan Prinsip

Kehati-Hatian Dalam Program Kredit Usaha Rakyat ( KUR ). Dalam hal

ini penulis membahas mengenai pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam

program KUR dan peranan Bank Indonesia dalam mengatur dan

mengawasi pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Dalam program KUR

terdapat pelanggaran salah satu unsur dalam Prinsip 5 C (Character,

Capacity, Capital, Collateral, dan Condition of Economy), yaitu prinsip

collateral (agunan), khususnya agunan tambahan yang berdasarkan Nota

kesepahaman Bersama tentang Penjaminan Kredit/Kredit kepada UMKM,

Koperasi. Peranan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi

pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam program KUR ini adalah berupa

penerapan peraturan yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang

menyangkut tentang usaha memberikan kredit dan menyediakan Kredit

berdasarkan prinsip syari‟ah.

16

E. Teori/Doktrin

Prinsip kehati-hatian adalah suatu asas atau prinsip yang

menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan

usahanya wajib bersikap hati-hati dalam rangka melindungi dana

masyarakat yang dipercayakan padanya.13

Pemberian kredit oleh bank merupakan unsur terbesar dari

aktiva bank, yang juga sebagai aset utama serta sekaligus menentukan

maju mundurnya bank yang bersangkutan dalam menjalankan fungsi

dan usahanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Di

samping menjalankan fungsi pengerahan dana masyarakat, bank juga

menjalankan fungsi sebagai lembaga kredit sebagaimana dinyatakan

dalam Pasal 6 huruf b dan Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998. Dalam kenyataanya, kredit yang diberikan bank tadi

sebagian besar tidak dapat dikembalikan secara utuh oleh nasabah

debitornya, yang membawa risiko usaha bagi bank yang bersangkutan,

akhirnya menimbulkan kredit-kredit macet. Oleh karena itu, bank

dalam memberikan kredit harus melakukannya berdasarkan analisis

pemberian kredit yang memadai, agar kredit-kredit yang diberikan oleh

bank itu adalah kredit-kredit yang tidak mudah menjadi kredit-kredit

macet. Berdasarkan kepada prinsip kehati-hatian ini, maka bank dalam

memberikan kredit tersebut harus memperhatikan jaminan pemberian

13

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm 18.

17

kredit atau Kredit berdasarkan Prinsip Syariah, dalam arti keyakinan

atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi

kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.14

Pemberian kredit yang dilakukan oleh suatu bank hendaknya

dilaksanakan secara berhati-hati. Pedoman perkreditan yang

dikeluarkan Bank Indonesia sebagai mana tertuang di dalam Surat

Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEPDIR, tanggal

31 Maret 1995, wajib dijalankan dan ditaati oleh semua bank yang

menjalankan usahanya di Indonesia. Pedoman tersebut merupakan

panduan agar bank mampu mengawasi portofolio perkreditan secara

keseluruhan dan menetapkan standar dalam proses pemberian kredit.

Di sini tugas dari manajemen bank adalah mengelola transaksi

kredit, memeriksa resiko kredit dan menagih piutang. Jadi, suatu

perjanjian kredit mengandung unsur kepercayaan dan unsur waktu.

Maksud dari kepercayaan di sini adalah adanya kepercayaan dari

pemberi kredit (bank) kepada pihak penerima kredit (debitor) akan

kemampuan debitor dalam memenuhi janji untuk membayar

hutangnya. Unsur waktu di sini adalah sebelum debitor memenuhi janji

pada waktunya nanti, maka pihak kreditor selalu mempunyai resiko

untuk tidak dibayar piutangnya.15

14

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika,

2012), hlm 270. 15

Murti Sumarni dan John Soeprihanto, Pengantar Bisnis (Dasar-Dasar Ekonomi

Perusahaan), Cetakan Keempat (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), hlm 119.

18

Oleh karena dana yang disalurkan oleh bank merupakan dana

masyarakat maka pada waktu menyalurkan kredit bank harus

memenuhi 5 hal, character, capacity, capital, colleteral, dan condition

of economy. Secara singkat dijelaskan Capacity adalah kemampuan

debitor menghasilkan keuntungan atau profit. Capital adalah modal

awal yang dimiliki oleh debitor pada saat mengajukan kredit.

Colleteral merupakan jaminan yang diberikan oleh debitor terhadap

bank. Condition of economy yaitu keadaan ekonomi pada waktu kredit

bank itu akan disalurkan.16

Kelima hal atau five C credit ini merupakan

wujud nyata dari prinsip kehati-hatian atau prudent banking harus

menjadi acuan pokok dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga

intermediarti yaitu lembaga perantara antara pihak yang berlebihan

uang (nasabah kreditor) dengan pihak yang membutuhkan uang

(nasabah debitor).

Dalam menyalurkan kredit, bank harus meminta jaminan atau

agunan dari nasabah debitor. Jaminan tersebut dapat berupa jaminan

umum, jaminan pokok, dan jaminan tambahan. Jaminan umum adalah

jaminan yang tidak pernah diperjanjikan namun melekat pada diri

debitor sebagaimana tertuang dalam Pasal 1131 KUHPerdata bahwa

segala kebendaan debitor baik yang ada sekarang maupun yang akan

ada di kemudian hari, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik

berwujud maupun tidak berwujud menjadi jaminan bagi pelunasan

16

Sudaryat, Hukum Bisnis Suatu Pengantar, Cetakan Kesatu (Bandung: Jendela Mas

Pustaka, 2008), hlm 74.

19

utangnya. Jaminan pokok adalah jaminan untuk apa kredit itu

dimohonkan. Sedangkan jaminan tambahan adalah jaminan yang

diminta oleh bank di saat jaminan umum dan jaminan pokok tidak

mencukupi.

Pada Pasal 8 Undang-Undang Perbankan dapat dijabaran lebih

lanjut mengenai asas-asas perkreditan yang sehat dan prinsip kehati-

hatian dalam kaitannya dengan pemberian kredit, yaitu:

1. Mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas

iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk

melunasi utangnya atau mengembalikan Kredit dimaksud sesuai

dengan yang diperjanjikan.

2. Memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan Kredit

berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang

diterapkan oleh Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 2 berbunyi:

“Asas, fungsi, dan tujuan perbankan Indonesia dalam melakukan

usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan

prinsip kehati-hatian.”

Kemudian dalam Pasal 29 ayat (2) juga berbunyi,

”Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan

ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,

likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang

berhubungn dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan

usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”

20

Dalam memberikan kredit terdapat beberapa unsur yang harus

diperhatikan, diantaranya:17

1. Kepercayan

Yaitu suatu keyakinan pemberi kredit (bank) bahwa kredit yang

diberikan baik berupa uang, barang, atau jasa akan benar-benar

diterima kembali di masa tertentu di masa datang.

2. Kesepakatan

Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian di mana

masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya

masing-masing.

3. Jangka waktu

Setiap kredit yang diberikan pasti memiliki jangka waktu tertentu,

jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah

disepakati.

4. Risiko

Faktor resiko kerugian dapat diakibatkan dua hal, yaitu risiko

kerugian yang diakibatkan nasabah sengaja tidak mau membayar

kreditnya padahal mampu dan risiko kerugian yang diakibatkan

17

Kasmir, Manajemen Perbankan Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2012), hlm 84-85.

21

karena nasabah tidak sengaja, yaitu terjadinya musibah seperti

bencana alam.

5. Balas Jasa

Akibat dari pemberian fasilitas kredit bank tentu mengharapkan

suatu keuntungan dalam jumlah tertentu. Keuntungan atas

pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang dikenal dengan

nama bunga bagi bank konvensional. Balas jasa dalam bentuk

bunga, biaya provisi dan komisi, serta biaya administrasi kredit ini

merupakan keuntungan utama bank.

Ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip

kehati-hatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi

penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan, guna mewujudkan

sistem perbankan yang sehat. Indikator-indikator kesehatan

perbankan dapat diketahui dari total aset, rasio kecukupan modal

(Capital Adequacy Ratio/CAR), kredit bermasalah (non performing

loans/NPL), dan LDR (Loan to deposit ratio).18

Selain formula 5

C, terdapat pula formula 4P, yaitu Personality, Purpose, Prospect,

and payment. Sedangkan formula 3 R terdiri dari Returns,

Repayment, dan Risk Bearing Ability. Berbagai ketentuan tersebut

18

Kompas cetak, “Empat Indikator Sederhana Untuk Memilih Bank, Kamis, 6 Maret

2003, diakses dari http//www2.kompas.com/kompas-cetak/0303/06/Investasi/165676.htm, dikutip

dari tesis Mohammad Reza, “ Peranan Bank Indonesia Dalam Mengatur Dan Mengawasi

Pelaksanan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Program Kredit Usaha Rakyat ( KUR ), hlm 4.

22

mempersyaratkan beberapa hal yang harus diperhatikan bank

dalam memberikan kredit kepada nasabah.

Menurut Kasmir bahwa penilaian kredit dilengkapi dengan

istilah 7 P, yaitu:

1. Personality

Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah laku

sehari-hari maupun masa lalunya. Personality juga mencakup

sikap, emosi, tingkah laku, dan tindakan nasabah dalam

menghadapi suatu masalah. Personality hampir sama dengan

character dari 5C.

2. Party

Yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu

atau golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas,

serta karakternya, sehingga nasabah dapat digolongkan ke

golongan tertentu dan akan mendapatkan fasilitas kredit yang

berbeda pula dari bank. Kredit untuk pengusaha lemah sangat

berbeda dengan kredit untuk pengusaha yang kuat modalnya, baik

dari segi jumlah, bunga, dan persyaratan lainnya.

3. Perpose

Yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit,

termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah. Tujuan

pengambilan kredit dapat bermacam-macam apakah untuk tujuan

konsumtif, produktif, atau perdagangan.

23

4. Prospect

Yaitu untuk menilai usaha nasabah di masa yang akan datang

apakah menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain

mempunyai prospek atau sebaliknya. Hal ini penting mengingat

jika suatu fasilitas kredit yang dibiayai tanpa mempunyai prospek,

bukan hanya bank yang rugi, tetapi juga nasabah.

5. Payment

Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit

yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk

pengembalian kredit yang diperolehnya. Semakin banyak smber

penghasilan debitor, akan semakin baik sehingga jika salah satu

usahanya merugi akan dapat dtutupi oleh sektor lainnya.

6. Profitability

Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam

mencari laba. Profitability diukur dari periode ke periode apakah

akan tetap sama atau akan semakin meningkat, apalagi dengan

tambahan kredit yang akan diperolehnya dari bank.

7. Protection

Tujuannya adalah bagaimana menjaga kredit yang dikucurkan oleh

bank, tetapi melalui suatu perlindungan. Perlindungan dapat berupa

jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi.

Peraturan Bank Indonesia yang mengatur pokok-pokok

kegiatan usaha bank pada umumnya serta berkaitan dengan

24

pemberian kredit atau kredit berdasarkan prinsip syariah yang

dilaksanakan oleh bank antara lain diatur dalam Peraturan Bank

Indonesia Nomor: 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum

Pemberian Kredit Bank Umum, yang telah diubah dengan

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/13/PBI/2007. Selain itu,

terdapat pula peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip

Mengenal Nasabah19

yang dibuat dengan pertimbangan bahwa

salah satu upaya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian adalah

dengan menerapkan prinsip mengenal nasabah. Kemudian terdapat

pula Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/8/PBI/2005 tentang

Sistem Informasi Debitor20

yang memiliki fungsi menunjang

kelancaran proses kredit dan penerapan manajemen risiko kredit

yang efektif serta ketersediaan informasi kualitas debitor. Dalam

proses kredit, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitor

dapat mendukung percepatan proses analisa dan pengambilan

keputusan pemberian kredit. Untuk kepentingan manajemen resiko,

sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitor dibutuhkan

untuk menentukan profil resiko kredit debitor. Selain itu,

tersedianya informasi kualitas debitor, diperlukan juga untuk

19

Diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 serta perubahannya

untuk Bank Umum, dan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 untuk Bank

Perkreditan Rakyat. 20

Peraturan ini telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/14/PBI/2007.

25

melakukan sinkronisasi penilaian kualitas debitor di antara bank

pelapor.21

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Dalam pendekatan penelitian ini, penyusun menggunakan

pendekatan yuridis normatif. Pendekatan normatif untuk membahas

mengenai penyelesaian kredit bermasalah dengan jaminan hak

tanggungan.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah penerapan prinsip kehati-hatian di BPR

Redjo Bhawono.

3. Data Penelitian atau Bahan hukum

Data dalam penelitian ini berupa bahan hukum primer, sekunder,

dan tertier.

a. Bahan hukum primer merupakan bahan pustaka yang berisikan

peraturan-peraturan, yang terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

2) Peraturan BI No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum

Pemberian Kredit Bank Umum yang telah diubah menjadi

Peraturan BI No. 8/13/PBI/2007.

21

Mohammad Reza, Peranan Bank Indonesia Dalam Mengatur dan Mengawasi

Pelaksanaan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Program Kredit Usaha Rakyat (KUR), tesis

(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 201), hlm 22.

26

3) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/14/PBI/2007 tentang

Sistem Informasi Debitor.

4) Surat Keputusan (SK) Direktur Bank Indonesia No.

27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Pedoman

Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank.

b. Bahan hukum sekunder terdiri dari hasil-hasil penelitian, hasil

karya dari kalangan umum, buku-buku ilmiah, makalah-makalah,

jurnal-jurnal, serta artikel-artikel.

c. Bahan tersier terdiri dari kamus dan ensiklopedia.

4. Pengolahan dan Penyajian Data Penelitian atau Bahan Hukum

Pengolahan dan penyajian data dilakukan dengan field Research,

yaitu penelitian lapangan. Maksudnya adalah penelitian yang data

maupun informasinya bersumber dari lapangan yang digali secara

intensif yang disertai dengan analisa dan pengujian kembali atas semua

data atau informasi yang telah dikumpulkan.22

Data yang dimaksud di

sini adalah data yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip kehati-

hatian di BPR Redjo Bhawono.

5. Analisis atau Pembahasan

Analisis atau pembahasan pada penelitian ini adalah dengan

menjabarkan pelaksanaan pemberian kredit di BPR Redjo Bhawono,

22Gorys Keral, Komposisi, Cetakan Kesembilan (Flores Nusa Indah, 1993), hlm 163.

27

kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif, yaitu suatu

analisis berdasarkan data yang diperoleh.23

G. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah pemahaman tesis ini, maka penyusun akan

menyampaikan rincian bahasan yang dimulai dari pendahuluan dan

diakhiri dengan penutup. Adapun sistematikanya sebagai berikut.

Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan yang membahas

mengenai signifikasi permasalahan yang menjadi objek penelitian dan

sebagai dasar bagi pelaksanaan penelitian dengan tujuan yang hendak

dicapai. Oleh sebab itu, dalam bab ini secara berturut-turut akan

dicantumkan tentang: a) latar belakang masalah, b) rumusan masalah, c)

tujuan penelitian, d) tinjauan pustaka, e) teori, f) metode penelitian, g)

sistematika penulisan.

Selanjutnya, dalam bab kedua membahas tentang perjanjian kredit

dan prinsip kehati-hatian. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab,

diantaranya, a) Kredit dan Perjanjian Kredit, b) Prinsip Kehati-Hatian

Dalam Pemberian Kredit, c) Kredit Bermasalah, d) Penyelesaian Kredit

Bermasalah.

Bab ketiga berisi tentang analisis proses pemberian kredit dikaitkan

dengan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam perjanjian kredit pada

23

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D (Bandung: Alfabeta,

2008), hlm 245.

28

BPR Redjo Bhawono dan tindakan Bank dalam memberikan kredit

tambahan terhadap debitor bermasalah yang kemudian dikaitkan juga

dengan Undang-Undang Perbankan mengenai Prinsip Kehati-hatian. Pada

Bab III penulis juga akan sedikit menjabarkan aspek Hukum Islam

mengenai kredit dalam Islam.

Bab keempat yaitu penutup, merupakan seluruh rangkaian

pembahasan dalam tesis. Bab ini berisi kesimpulan penelitian dan saran.

29

BAB II

PERJANJIAN KREDIT DAN KREDIT BERMASALAH

A. Kredit Dan Perjanjian Kredit

1. Aspek Hukum Positif

Kata kredit berasal dari bahasa latin, yaitu credere, yang

diterjemahkan sebagai kepercayaan atau credo yang berarti saya

percaya. Kredit dan kepercayaan (trust) adalah ibarat sekeping mata

uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini dikarenakan tidak

akan mungkin adanya pemberian pinjaman tanpa adanya bangunan

kepercayaan di sana dan kepercayaan itu adalah sesuatu yang mahal

harganya.24

Adapun menurut Pedoman Akuntansi Perbankan

Indonesia (API) mendefinisikan kredit adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang

mewajibkan pihak peminjam (debitor) untuk melunasi utangnya

setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bank, imbalan atau

pembagian hasil keuntungan. Menurut Muchdarsyah Sinungan, kredit

adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain

24

Irham Fahmi, Analisis Kredit dan Fraud Pendekatan Kualitatif dan Kuatitatif, Cetakan

Pertama (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm 4.

30

dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang

akan disertai dengan suatu kontraprestasi berupa bunga.25

Dalam masyarakat umum istilah kredit sudah tidak asing lagi

dan bahkan dapat dikatakan populer (dan merakyat), sehingga dalam

bahasa sehari-hari sudah dicampurbaurkan begitu saja dengan istilah

utang. Bahkan dalam dunia pendidikan dengan sistem kredit semester

yang baru, istilah kredit sudah memiliki konotasi khusus tersendiri

dibanding asalnya.26

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata

kredit antara lain diartikan, pertama, pinjaman uang dengan

pembayaran pengembalian secara mengangsur, dan kedua pinjaman

sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan

lain.27

Istilah kredit banyak dipakai dalam sistem perbankan

konvensional yang berbasis pasar bunga (interest based), sedangkan

dalam hukum perbankan syariah lebih dikenal dengan istilah

pembiayaan (financing) yang berbasis pada keuntungan riil yang

dikehendaki (margin) ataupun bagi hasil (profit sharing)28

. Pengertian

kredit disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang

Perbankan, yang berbunyi:

25

Ibid., hlm 5. 26

D. Gandaprawira, Perkembangan Hukum Perkreditan Nasional dan Internasional

(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1992), hlm 1. 27 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hlm 465. 28 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Cetakan Kedua (Jakarta:

Sinar Grafika, 2012), hlm 264.

31

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan

pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu

tertentu dengan pemberian bunga.29

Dalam bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan

memperoleh barang dengan membayar cicilan atau angsuran di

kemudian hari atau memperoleh pinjaman uang yang pembayarannya

dilakukan di kemudian hari dengan cicilan atau angsuran sesuai

dengan perjanjian. Artinya kredit dapat berbentuk barang atau

berbentuk uang. Baik kredit berbentuk barang maupun kredit

berbentuk uang dalam hal pembayarannya dengan menggunakan

metode angsuran atau cicilan tertentu.30

Apabila ditelusuri pengertian

kredit itu lebih lanjut, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang

terkandung dalam makna kredit tersebut, antara lain:31

a. Kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas

prestasi yang diberikannya kepada nasabah peminjam dana yang

akan dilunasinya sesuai dengan diperjanjikan pada waktu tertentu.

b. Waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentu antara pemberian dan

pelunasan kreditnya, jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih

dahulu disetujui atau disepakati bersama antara pihak bank dan

nasabah peminjam dana. Unsur waktu di sini adalah sebelum

29

Ibid., hlm 312. 30

Ibid., hlm. 263 31 Ibid., hlm 268.

32

debitor memenuhi janji pada waktunya nanti, maka pihak kreditor

selalu mempunyai resiko untuk tidak dibayar piutangnya.32

c. Prestasi dan kontraprestasi, yaitu adanya objek tertentu berupa

prestasi dan kontraprestasi pada saat tercapainya persetujuan atau

kesepakatan pemberian kredit yang dituangkan dalam perjanjian

kredit antara bank dan nasabah peminjam dana, yaitu berupa uang

atau tagihan yang diukur dengan uang dan bunga atau imbalan,

atau bahkan tanpa imbalan bagi bank syariah.

d. Risiko, yaitu adanya risiko yang mungkin akan terjadi selama

jangka waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut,

sehingga untuk mengamankan pemberian kredit dan menutup

kemungkinan terjadinya wanprestasi dari nasabah peminjam dana,

diadakanlan pengkatan jaminan (agunan).

e. Balas jasa, akibat dari pemberian fasilitas kredit bank tentu

mengharapkan suatu keuntungan dalam jumlah tertentu.

Keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang

dikenal dengan nama bunga bagi bank konvensional. Balas jasa

dalam bentuk bunga, biaya provisi dan komisi, serta biaya

administrasi kredit ini merupakan keuntungan utama bank.33

Dari sinilah diketahui, bahwa pemberian kredit bank itu

merupakan suatu perjanjian antara bank dengan pihak peminjam

32

Murti Sumarni dan John Soeprihanto, Pengantar Bisnis (Dasar-Dasar Ekonomi

Perusahaan), Cetakan Keempat (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), hlm 119. 33 Kasmir, Manajemen Perbankan EdisI Revisi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2012), hlm 85.

33

(nasabah debitor). Perjanjian tersebut lahir berdasarkan kesepakatan

pinjam-meminjam antara bank dengan peminjam dana. Dalam praktik

perbankan, perjanjian yang demikian lazim dinamakan dengan

“perjanjian kredit”.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian kredit adalah

perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari penyerahan uang.

Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara

pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan

hukum antara keduanya. R. Subekti menyatakan dalam bentuk apapun

juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada

hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam

sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Pasal 1754 sampai dengan

Pasal 1769 HIR.34

Kemudian Marhaenis Abdul Hay mengemukakan

pendapat yang sama, bahwa perjanjian kredit adalah identik dengan

perjanjian pinjam-meminjam dan dikuasai oleh ketentuan Bab XIII

Buku III KUHPerdata. Pendapat ini dikemukakan beliau dalam

bukunya Hukum Perdata, bahwa pengertian perjanjian kredit

mendekati pada pengertian perjanjian pinjam-mengganti, sehingga

dalam masalah sengketa perjanjian kredit kita dapat mempergunakan

dasar hukum perjanjian pinjam-mengganti menurut Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata. Ketentuan Umum dalam pinjam-mengganti

menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dipergunakan

34 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman ... op.cit., hlm 314.

34

untuk perjanjian kredit seperti yang dimaksud oleh Undang-Undang

Perbankan. Perjanjian kredit merupakan hal yang khusus dari

perjanjian pinjam-mengganti.35

Pendapat senada dikemukakan pula oleh Mariam Darus

Badrulzaman, yang menyatakan, bahwa dari rumusan yang terdapat di

dalam UUP mengenai pengertian kredit, dapat disimpulkan dasar

perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam

KUHPerdata Pasal 1754. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam

ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan

kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak

yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini merupakan

perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit

ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah”.36

Perjanjian kredit bank identik dengan perjanjian pinjam

mengganti, yang dijelaskan di Pasal 1754 KUHPerdata. Pasal 1754

KUHPerdata berbunyi:

“Perjanjian pinjam mengganti ialah persetujuan dengan mana

pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu

jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena

pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini

akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan

keadaan yang sama pula.”

35 Ibid., 314. 36

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hlm

110-111.

35

Berdasarkan Pasal 1 butir (11) Undang-Undang Perbankan,

yang dimaksud persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam

adalah bentuk perjanjian kredit, sehingga nama perjanjian tersebut

adalah perjanjian kredit.

Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan

atau tertulis, namun dalam praktik perbankan, perjanjian kredit pada

umumnya dibuat secara tertulis, karena perjanjian kredit secara tertulis

lebih aman bagi para pihak dibanding dalam bentuk lisan. Dengan

bentuk tertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah

diperjanjikan, dan ini akan merupakan bukti yang kuat dan jelas

apabila terjadi sesuatu kepada kredit yang telah disalurkan atau juga

dalam hal terjadi ingkar janji oleh pihak bank. Dalam Pasal 8 ayat (2)

Undang-Undang Perbankan dijelaskan bahwa bank harus membuat

perjanjian secara tertulis. Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan

oleh Bank Indonesia memuat antara lain:

1. Pemberian kredit atau Kredit berdasarkan prinsip syariah dibuat

dalam bentuk perjanjian tertulis,

2. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan

kesanggupan nasabah debitor yang antara lain diperoleh dari

penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal,

agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitor,

3. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur

pemberian kredit atau Kredit berdasarkan prinsip syariah,

36

4. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas

mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau Kredit berdasarkan

prinsip syariah,

5. Larangan bank untuk memberikan kredit atau Kredit berdasarkan

prinsip syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah

debitor dan atau pihak-pihak terafiliasi,

6. Penyelesaian sengketa

Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus

tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/IN/10/1966

tanggal 10 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan

“Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit

yang jelas antara bank dengan debitor atau antata bank sentra dan

bank-bank lainnya.”

Suatu perjanjian kredit dapat dibuat oleh bank dan debitor yang

mempunyai kekuatan mengikat bagi masing-masing pihak, karena

dalam membuat suatu perjanjian, undang-undang mengenal adanya

“sistem terbuka”. Sistem terbuka berarti memberikan kebebasan yang

luas kepada masing-masing pihak untuk membuat perjanjian dalam

bentuk apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, asal

tidak bertentangan dengan ketertiban umum, asal tidak mengganggu

norma-norma kesusilaan dan sepanjang perjanjian tersebut dibuat

secara sah, maka bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Dalam hal perjanjian kredit para pihaknya adalah debitor (peminjam)

37

dan kreditor (bank).37

Syarat sahnya suatu perjanjian apabila

memenuhi hal-hal sebagai berikut:

1. Kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

3. Adanyaobjek yang diperjanjikan

4. Sebab yang halal 38

Dalam suatu perjanjian kredit, di samping harus memenuhi

syarat-syarat pembuatannya sebagaimana dimaksud dalam pengertian

perikatan/perjanjian, perlu diperhatikan hal-hal penting yang tidak

boleh tidak atau harus tercantum dalam perjanjian kredit, agar terjamin

adanya kepastian hukum, yaitu:39

1. Pencantuman besarnya jumlah kredit yang diberikan oleh bank.

Dalam perjanjian kredit besarnya jumlah kredit ini ditulis secara

jelas dengan angka dandengan huruf dan banyak bank untuk

leboh menguatkan tentang besarnya jumlah kredit ini, ketika

penanda tanganan kredit minta agar debitor menulis sendiri pada

lembar perjanjian kredit atau lembar lampiran perjanjian kredit,

kata-kata besarnya jumlah kredit dengan angka dan dengan

huruf misalnya Rp 100.000.000,00 (baik untuk jumlah seratus

juta rupiah)

37

M. Syarif Arbi, Lembaga: Perbankan, Keuangan, Dan Pembiayaan, Cetakan Petama

(Yogyakarta: BPFE, 2013), hlm 106. 38

Ibid. hlm 106. 39

Ibid., hlm 110.

38

2. Besarnya bunga, provisi/commitment fee, denda, dan biaya-

biaya lain harus disebut dengan jelas. Hal ini dituliskan secara

rinci dengan angka dan dengan huruf, serta kapan harus

dilaksanakan pembayarannya

3. Jangka waktu pemberian kredit. Dalam perjanjian kredit

disebutkan dengan jelas dengan kata-kata terhitung sejak

tanggal.............., sampai dengan tanggal.......... misalnya untuk

kredit 12 bulan (terhitung tanggal 10 Januari tahun xxxx sampai

dengan 9 Januari tahun berikutnya), apabila tanggal 9 jatuh pada

hari libur disebutkan tanggal hari kerja berikutnya untuk itu

bank dalam membuat perjanjian ini melihat kalender.

4. Tempat pembayaran kembali utang, yaitu tempat di kantor bank

dimana dibuatnya perjanjian kredit tersebut.

5. Hal-hal yang menyebabkan kredit yang diterima debitor harus

dibayar sekaligus walaupun jangka waktu kredit belum berakhir,

misalnya debitor wanprestasi atas salah satu syarat kredit.

6. Agunan, sebagai sesuatu yang dapat memberikan keyakinan

kepada bank dalam memutuskan pemberian kredit. Hal ini diatur

oleh Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Perbankan, bahkan

disebutkan bahwa bank harus melakukan analisis yang

mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan

debitor untuk melunai utangnya. Dengan demikian maka

sebelum kredit diberikan kepada nasabah, bank harus terlebih

39

dahulu melakukan penelitian yang seksama dan mendalam

mengenai watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek

usaha debitor. Oleh karena itu maka perlu adanya:

a. Jaminan pemberian kredit yang meyakinkan bank atas

kesanggupan dan kemampuan calon debitor untuk melunasi

utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

b. Jaminan kredit disebut sebagai agunan yang dikenal umum

sebagaijaminan kebendaan, berupa barang bergerak atau

barang tidak bergerak, utuk meyakinkan bank bahwa

apabila debitor tidak sanggup mengembalikan utangnya,

barang-barang tersebut dapat dicairkan menjadi uang untuk

melunasi utang debitor. Lebih jauh agunan dapat juga

diberikan oleh orang perseorangan yang memberikan

jaminan kepada bank bahwa apabila debitor tidak sanggup

mengembalikan utangnya maka pihak penjamin yang akan

melunasi.

Di dalam Undang-Undang Perbankan ditentukan bahwa Bank

Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum

pemberian kredit, pemberian jaminan, penempatan investasi surat

berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank

kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk

kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan

bank yang bersangkutan ( Pasal 11 (1)).

40

Secara yuridis, perjanjian kredit dibagi menjadi 2 (dua) segi

pandang, yaitu:40

1. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pinjam pakai habis,

2. Perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus.

Jika perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus, maka tidak ada

perjanjian bernama dalam KUHPerdata yang disebut dengan perjanjian

kredit. Oleh karena itu, yang berlaku adalah ketentuan umum dari

hukum perjanjian, tentunya ditambah dengan klausul-klausul yang

telah disepakati bersama dalam kontrak yang bersangkutan.

Selanjutnya dalam penggolongan perjanjian kredit sebagai

perjanjian bernama dalam tampilannya sebagai perjanjian pinjam

pakai, maka di samping terhadapnya berlaku ketentuan umum tentang

perjanjian, berlaku juga ketentuan-ketentuan KUHPerdata tentang

perjanjian pinjam pakai habis. Hal ini berbeda dengan perjanjian

pinjam pakai biasa, dimana yang harus dikembalikan oleh debitornya

adalah fisik dari benda yang dipinjam, misalnya pinjam mobil, maka

yang dikembalikan adalah mobil yang dipakai tersebut. Sementara

dalam perjanjian pinjam pakai habis, yang dikembalikan adalah nilai

dari benda yang dipinjam pakai tersebut.

Dalam perjanjian perbankan, perjanjian yang dibuat secara

tertulis dibedakan lagi menjadi dua bentuk perjanjian, yaitu:41

40

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm 117.

41

1. Akta di bawah tangan

Akta di bawah tangan artinya bahwa akta atau perjanjian

tersebut dibuat tanpa peran pejabat yang berwenang dalam

pembuatan akta. Biasanya telah terbentuk draf yang lebih dahulu

disiapkan sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada calon

nasabah debitor untuk disepakati. Perjanjian yang telah dibakukan

memuat segala macam persyaratan-persyaratan dan ketentan-

ketentuan, biasanya berbentuk formulir yang tidak pernah

diperbincangkan atau dinegosiasikan terlebih dahulu kepada calon

nasabah. Bila calon nasabah debitor tidak berkenan terhadap

klausul yang terdapat di dalamnya, maka tidak terdapat

kesempatan untuk melakukan protes atas klausul yang tidak

diperkenankan oleh nasabah tersebut, karena perjanjian tersebut

telah dibakukan oleh lembaga perbankan yang bersangkutan dan

bukan oleh petugas perbankan yang berhadapan langsung dengan

calon nasabah debitor. Oleh karena itu, mau tidak mau calon

nasabah yang hendak mengajukan kredit harus menyetujui segala

syarat dan ketentuan yang telah diajukan oleh bank sebagaimana

kreditor.

Dengan demikian, keabsahan perjanjian baku terletak pada

persetujuan kedua belah pihak guna menunjang dan menjamin

keberlangsungan usaha. Meskipun pada umumnya di dalam

41

Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah Solusi Hukum (Legal

Action) dan Alernatif Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, (Yogyakarta: Pustaka

Yustisia, 2010), hlm 24-25.

42

perjanjian baku terdapat syarat-syarat yang tidak setara antara

pihak yang telah mempersiapkan (bank) dengan pihak yang

disodorkan (nasabah debitor), biasanya nasabah debitor

menerimanya dengan segala konsekuensi yang dapat timbul di

kemudian hari. Dengan sendirinya pihak yang telah

mempersiapkan akan menuangkan sejumlah klausul yang

menguntungkan dirinya dan membebani pihak lain dengan

kewajiban-kewajiban yang tidak setara.

2. Akta Autentik

Akta Autentik adalah surat atau tulisan yang sengaja dibuat

dan ditandatangani, yang memuat peristiwa-peristiwa yang

menjadi dasar suatu hak untuk dijadikan sebagai alat bukti.

Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, akta autentik berupa akta

yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan/atau di

hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di

tempat dimana akta dibuat.

Dengan kata lain, undang-undang mengatakan bahwa

bentuk akta sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh

dan/atau pegawai umum, yang biasanya disebut notaris.

Perjanjian kredit yang berbentuk akta autentik pada umumnya

untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka

waktu menengah atau panjang. Biasanya dikhususkan kredit

43

investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi (lebih dari satu

kreditor), dan lain-lain.

Dalam praktiknya, meskipun akta tersebut dibuat oleh dan/atau

di hadapan notaris, namun segala syarat dan ketentuan yang terdapat

dalam akta sudah dibuat oleh bank, kemudian diberikan kepada notaris

untuk dirumuskan ke dalam akta. Dasar hukum perjanjian kredit

diantaranya:

1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman

Kebijakan di Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober 1966 juncto

Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor

2/539/UPK/Pemb. Tanggal 8 Oktober 1966, Surat Edaran Bank

Negara Indonesia Unit I Nomor 2/649/UPK.Pemb. Tanggal 20

Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor

10/EK/2/1967 tanggal 6 Februari 1967, yang menyatakan bahwa

bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk

tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dan nasabah

atau Bank Sentral dan bank-bank lainnya. Dari sini jelaslah bahwa

dalam pemberian kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan

perjanjian atau akad kreditnya.

2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27162/KEP/DIR

dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB tanggal 31

Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan

Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum, yang menyatakan

44

bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon

kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara

tertulis. Bentuk dan formatnya diserahkan kepada masing-masing

bank untuk menetapkan, namun minimal harus memperhatikan hal-

hal sebagai berikut:42

a. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat

melindungi kepentingan bank.

b. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali

kredit, serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya

sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit

dimaksud.‟

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Bank Indonesia

tersebut, maka pemberian kredit bank wajib dituangkan dalam

perjanjian kredit secara tertulis, baik dengan akta di bawah tangan

maupun akta notariil. Perjanjian kredit di sini berfungsi sebagai

panduan bank dalam perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian, dan

pengawasan dalam pemberian kredit yang dilakukan oleh bank,

sehingga bank tidak dirugikan dan kepentingan nasabah yang

mempercayakan dananya kepada bank terjamin dengan sebaik-baiknya.

Oleh karena itu, sebelum pemberian kredit bank dilakukan, bank harus

sudah memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan

42

Ibid., hlm 321.

45

kredit bank yang bersangkutan telah diselesaikan dan memberikan

perlindungan yang memadai bagi bank.

Menurut Ch. Gatot Wardoyo dalam tulisannya berjudul “Sekitar

Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank”, bahwa perjanjian kredit

mempunyai beberapa fungsi, diantaranya:

1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya

perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau

tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya

perjanjian pengikatan jaminan,

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-

batasan hak dan kewajiban diantara debitor dan kreditor,

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan

monitoring kredit.43

Perjanjian kredit bank merupakan perjanjian baku (standard

contract), dimana isi atau klausul-klausul perjanjian kredit bank

tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir

(blanko), tetapi tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu. Hal-hal yang

berhubungan dengan ketentuan dan persyaratan perbankan perjanjian

kredit telah dibakukan terlebih dahulu oleh pihak perbankan. Calon

nasabah debitor tinggal membubuhkan tanda tangannya saja apabila

bersedia menerima isi perjanjian kredit tersebut, dan tidak memberikan

43

Djoni S.Gazali dan Rachmadi Usman ... op.cit., hlm 321.

46

kesempatan kepada calon debitor untuk membicarakan lebih lanjut isi

atau klausul-klausul yang diajukan pihak bank. Perjanjian kredit bank

yang distandarkan ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang

sifatnya praktis dan kolektif.

2. Aspek Hukum Islam

Pembiayaan berdasarkan pola operasional berdasarkan syariah

adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak

lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang

atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan

atau bagi hasil.44

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank

Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 yang menyatakan bahwa pembiayaan

adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat dipersamakan

dengan itu dalam:

a. Transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas Akad

Mudharabah dan/atau Musyarakah,

b. Transaksi sewa yang ddasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau

Akad Ijarah dengan opsi perpindahan hak milik (Ijarah

Muntahiyah bit Tamlik),

c. Transaksi jual beli yang didasarkan antara lain atas Akad

Murabahah, Salam, dan Istishna,

44

Pasal 11 angka 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

47

d. Transaksi pinjaman yang didaarkan antara lain Akad Qardh, dan

e. Transaksi multijasa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah

atau Kafalah.

Pengertian yang sama kembali juga dirumuskan dalam

ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008,

yaitu:

“Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan

dengan itu berupa:

a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah,

b. Transaksi swa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam

betuk ijarah muntahiya bittamlik,

c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan

istishna,

d. Transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk qardh,

e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transakis

multijasa.

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/

UUPS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau

diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah

jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi

hasil.”

Pembiayaan di sini hanya membiayai kegiatan ekonomi yang

dihalalkan oleh ketentuan agama Islam. Identik dengan kegiatan sisi

aktiva pada bank konvensional terwujud dalam pembiayaan berbasis

syariah, sebagai berikut:45

1. Al-Musyarakah. Bank syariah memberikan pembiayaan kepada

nasabah, dimana nasabah dipandang sebagai syarikat dengan

pembagian keuntungan.

45 M. Syarif Arbi... op., cit., hlm 233.

48

2. Al-Mudharabah. Bank syariah memberikan pembiayaan, dimana

nasabah sebagai mitra perkongsian. Bank syariah pihak pemilik

modal dan nasabah pihak pengelola dana. Keuntungan dibagi atas

dasar ratio laba yang telah disepakati bersama sebelumnya, jika

rugi ditanggung pemilik modal.

3. Al-Muzara’ah. Pembiayaan dengan pola bagi hasil berawal dari

bagi hasil dalam bidang pertanian, dimana adanya satu pihak

pemilik lahan dan pihak lain penggarap lahan, pemilik lahan

mendapatkan pembagian atas hasil digarapannya lahan pertanian

miliknya. Yang disebut dengan Al- Muzara‟ah bila pemilik lahan

juga menyediakan benih. Sedangkan jika benih dari si penggarap

disebut dengan Mukharabah. Atas dasar acuan ini maka di dunia

perbankan, bank dapat memberikan bantuan pembiayaan bagi

nasabah yang bergerak di bidang pertanian /perkebunan atas dasar

pola bagi hasil dari hasil panen.

4. Al-Musaqah. Pembiayaan pertanian dan perkebunan menjelang

panen. Model pembiayaan bagi hasil jenis Al-Musaqat, penggarap

(nasabah) bukan merupakan penanam tetapi hanya perawat, suatu

pertanian atau perkebunan mendapatkan bagi hasil.

5. Bai’ Al Murabahah. Pembiayaan dengan akad jual beli dimana

harga dan keuntungan disepakati antara penjual dan pembeli,

dalam lembaga keuangan model ini diaplikasikan antara nasabah

dan bank, nasabah sebagai pembeli dan bank sebagai penjual,

49

dengan harga dan keuntungan disepakati di awal. Nasabah

memerlukan suatu barang, bank mengeluarkan dana untuk

membeli barang tesebut, kemudian barang disepakati dibeli oleh

nasabah. Pola ini dapat diterapkan untuk berbagai pembiayaan

misalnya impor barang dari luar negeri, membelikan barang dari

kota lain atau tempat lain. Membelikan barang, dimana bank

memberikan talangan pembayaran lebih dahulu.

6. Bai’ As-Salam. Pembiayaan dengan cara pembeli memberikan

uang terlebih dahulu kepada si penjual atas barang yang telah

disebutkan spesifikasinya dan diantarkan kemudian. Contoh bank

memberikan pembiayaan untuk pengolahan produk pertanian.

Ketika panen hasil pertanian tersebut dibeli oleh bank dengan

uang yang sudah dibayarkan terlebih dahulu. Sementara itu uang

hasil pembayaran tersebut dipergunakan petani untuk modal

mengolah lahan.

7. Bai’ Al-Istishna. Pembiayaan dengan cara pembeli memesan

barang yang akan dibuat oleh penjual. Penerapan pembiayaan ini

pada pengrajin. Bank membantu merencanakan produksi yang

harus dikerjakan oleh pengrajin, dengan memberikan pembiayaan

produksi, setelah barang jadi bank yang membelinya, tentu untuk

dijual kembali dengan keutungan.

8. Al-Ijarah. Pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui

pembayaran upah sewa, tanpa dikuti dengan pemindahan

50

kepemilikan atas barang itu sendiri (identik dengan operation

leasing). Dalam praktek perbankan syariah membiayai pembelian

alat produksi yang disewakan kepada nasabah.46

9. Al- Ijarah Al-Muntahia bit Tamlik. Sewa beli, bank syariah

membiayai pembelian barang modal atau properti. Nasabah

membayar dengan mencicil, dengan pengaturan pembayaran

berupa pembayaran sewa dan mencicil harga barang. Dalam

praktek perbankan syariah berwujud pembiayaan untuk

kepemilikan rumah, kepemilikan kendaraan, investasi

pembangunan pabrik.

10. Al-Wakalah. Perwakilan antara dua belah pihak. Aplikasi dalam

lembaga keuangan, wakalah biasanya diterapkan untuk penerbitan

letter of credit, atas pembelian barang luar negeri ( L/C Import,

atau penerusan permintaanakan barang dalam negeri dari bank

luar negeri (L/C export), wakalah juga diterapkan untuk

melakukan transfer dana dari nasabah kepada alamat di tempat

lain.

11. Al-Kafalah. Akad jaminan suatu pihak kepada pihak lain.

Aplikasi dalam lembaga keuangan, dalam lembaga keuangan

biasanya digunakan untuk membuat garansi atas suatu proyek

(performance bonds), partisipasi dalam tender (tender bond), atau

pembayaran lebih dahulu (advance payment bond).

46 Ibid., hlm 234.

51

12. Al-Hawalah. Akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada

pihak yang lain. Aplikasi dalam lembaga keuangan, hawalah

diterapkan pada fasilitas tambahan kepada nasabah pembiayaan

yang ingin menjual produknya kepada pembeli dengan jaminan

pembayaran dari pembeli tersebut dalam bentuk giro mundur. Ini

lazim disebut Post Dated Check, bisa juga diterapkan pada produk

factoring.

13. Ar-Rahn. Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak

kepada pihak yang lain, dengan uang sebaga gantinya. Aplikasi

dalam lembaga keuangan, akad ini digunakan sebagai akad

tambahan pada pembiayaan yang berisiko dan memerlukan

jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri

untuk keperluan nasabah yag sifatnya jasa dan konsumtif, seperti

pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Lembaga keuangan tidak

menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau

keamanan barang tersebut.

14. Al-Qardh. Adalah akad pinjam meminjam (uang) antara suatu

pihak dengan pihak lainya. Jika ada jaminan, maka ini menjadi

rahn. Aplikasi dalam lembaga keuangan, akad ini menjadi

fasilitas tambahan bagi nasabah pembiayaan yang memerlukan

dana mendesak ntuk membiayai usahanya.47

47 Ibid., hlm 236.

52

Dari rumusan kedua istilah kredit tersebut, perbedaannya terletak

pada bentuk kontra prestasi yang akan diberikan nasabah peminjam dana

(debitor) kepada bank (kreditor) atas pemberian kredit atau

pembiayaannya. Pada bank konvensional, kontra prestasinya berupa bunga

sedangkan bank syariah kontra prestasinya dapat berupa imbalan atau bagi

hasil sesuai dengan persetujuan atau kesepakatan bersama. Baik kredit

maupun pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sama-sama menyediakan

uang atau tagihan atas dasar persetujuan atau kesepakatan bersama antara

pihak bank dan pihak lain dengan kewajiban pihak peminjam atau pihak

yang dibiayai untuk melunasi utangnya atau mengembalikannya beserta

bunga, imbalan, atau bagi hasil dalam tenggang waktu yang telah

disepakati bersama. Dengan demikian, kredit atau pembiayaan

berdasarkan prinsip syari‟ah merupakan perjanjian pinjam meminjam

(uang) yang dilakukan antara bank dan pihak lain, nasabah peminjam

dana. Perjanjian pinjam meminjam (uang) itu dibuat atas dasar

kepercayaan bahwa peminjam dalam tenggang waktu yang telah

ditentukan akan melunasi atau mengembalikan pinjaman uang atau tagihan

tersebut kepada bank disertai pembayaran sejumlah bunga, imbalan, atau

pembagian hasil keuntungan sebagai imbal jasa. Pada umumnya, dalam

perjanjiannya akan ditekankan kewajiban pihak peminjam uang untuk

memenuhi kewajibannya melunasi, mengembalikan, atau mengangsur

53

utang pokoknya beserta bunga, imbalan, atau bagi hasilnya sesuai dengan

waktu yang ditentukan.48

B. Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pemberian Kredit

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengatur tentang

perbankan, yang kemudian dinamakan Undang-Undang Perbankan (UUP).

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.49

Dalam Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok Perbankan, disebutkan yang

dimaksud dengan bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya

adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan

peredaran uang. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan salah satu

jenis lembaga perbankan. BPR adalah bank yang menerima simpanan

hanya dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan

dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.50

Pemberian kredit yang dilakukan oleh suatu bank hendaknya

dilaksanakan secara berhati-hati. Pedoman perkreditan yang dikeluarkan

48

Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Cetakan Petama (Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm 237-238. 49

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka (2). 50

Murti Sumarni dan John Soeprihanto, Pengantar Bisnis (Dasar-Dasar Ekonomi

Perusahaan), Cetakan Keempat (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), hlm 109.

54

Bank Indonesia sebagai mana tertuang di dalam Surat Keputusan Direksi

Bank Indonesia Nomor 27/162/KEPDIR, tanggal 31 Maret 1995, wajib

dijalankan dan ditaati oleh semua bank yang menjalankan usahanya di

Indonesia. Pedoman tersebut merupakan panduan agar bank mampu

mengawasi portofolio perkreditan secara keseluruhan dan menetapkan

standar dalam proses pemberian kredit.

Di dalam proses pengajuan kredit dari proses awal sejak timbulnya

iktikad dari nasabah untuk mengajukan permohonan kredit tersebut, maka

bank tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab moral proses

perkreditan tersebut. Terlepas dari apakah kredit dapat disetujui atau tidak,

bank dengan seluruh aparatnya wajib melakukan pemrosesan secara

objektif akan tujuan penggunaan kredit dan alokasi penempatan dana bank

di sektor tersebut. Oleh karena itu, tugas dari manajemen bank adalah

mengelola transaksi kredit, memeriksa resiko kredit dan menagih piutang.

Dana yang disalurkan oleh bank merupakan dana masyarakat

sehingga pada waktu menyalurkan kredit bank harus memenuhi 5 hal,

character, capacity, capital, colleteral, dan condition of economy.

Penilaian 5C ini untuk melakukan analisis terhadap permohonan kredit,

penjelasannya adalah sebagai berikut:51

51

Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank,

(Yogyakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia, 2006), hlm 171-172.

55

1. Character

Penilaian terhadap karakter pemohon kredit dilakukan untuk

mengetahui tanggung jawab, kejujuran, keseriusan dalam berbisnis

dan keseriusan dalam membayar semua kewajiban ke bank dengan

seluruh kekayaan yang dimilikinya. Karakter sangat menentukan

kelancaran pembayaran kewajiban setiap bulannya dan pelunasan

pada saat kredit jatuh tempo. Penilaian ini dapat dilakukan dengan

cara mengumpulkan informasi, baik internal maupun eksternal.

Informasi yang berasal dari pihak internal adalah dengan melakukan

wawancara ke pegawai di perusahaan pemohon dan keluarga

pemohon, sedangkan informasi dari pihak eksternal didapat melalui

pembeli, pemasok, dan pihak terkait lainnya. Bank Indonesia juga

dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan kredibilitas

pemohon atas transaksi keuangan maupun posisi pinjaman di bank

lain.

2. Capacity ( Kemampuan )

Penilaian terhadap kemampuan nasabah bertujuan mengukur

kemampuan nasabah dalam menjalankan usahanya. Beberapa

informasi yang harus didapat diantaranya:

56

a. Penilaian atas manajemen usaha

Penilaian ini meliputi kualitas dan reputasi nasabah, orientasi

manajemen, kualitas organisasi, kualitas pengelolaan sumber daya

maunusia, dan lain-lain.

b. Penilaian atas kualitas pasokan ( supply )

Penilaian ini meliputi kualitas pasokan, perlengkapan dan

peralatan penyimpanan pasokan, sumber pasokan, kontinuitas

pasokan, fluktuasi harga, penguasaan sumber pasokan, dan

efisiensi pengelolaan pasokan.

c. Penilaian atas kualitas produksi

Penilaian ini meliputi kontinuitas kegiatan produksi, kualitas dan

kapasitas alat produksi, peralatan usaha, tingkat efisiensi produksi,

kualitas produksi, pola produksi yang digunakan, dan peluang

pengembangan kapasitas produksi.

d. Penilaian atas kualitas pemasaran

Penilaian ini meliputi kegiatan pemasaran, harga produk, kualitas

promosi, kualitas pemilihan pasar sasaran dan pemilihan posisi

pasar, kualitas strategi dan taktik penjualan, pengelolaan

penagihan, serta kontinuitas pelanggan.

3. Capital ( Penilaian terhadap modal )

Penilaian terhadap modal perusahaan bertujuan mengetahui

kemampuan nasabah atau perusahaan milik nasabah dalam

menanggung beban kredit yang dibutuhkan serta kemampuan dalam

57

menanggung beban kredit yang dibutuhkan serta kemampuan dalam

menanggung beban resiko (risk sharing) yang mungkin dialami

perusahaan itu. Penilaian dapat dilakukan berdasarkan informasi

mengenai sumber dan struktur permodalan, kualitas pengelolaan

permodalan, efektivitas penggunaan atau penempatan modal, kualitas

penciptaan laba, dan kualitas pemanfaatan laba.

4. Condition of Economic ( Penilaian terhadap Kondisi Perekonomian

dan Prospek Usaha )

Penilaian terhadap kondisi ekonomi dan prospek usaha

dilakukan untuk mengetahui kekuatan perusahaan atas berubah-

ubahnya kondisi makro ekonomi dan kemampuan perusahaan

mengantisipasinya untuk bisa bertahan dalam keadaan yang sulit

sekalipun. Kondisi yang mungkin terjadi diantaranya,

Kondisi mikro, seperti pemasok, saluran distribusi,

pelanggan/konsumen, kreditor, pesaing, dan lingkungan masyarakat.

Kondisi makro, seperti perekonomian, sosial budaya, peraturan

pemerintah, demografi, teknologi, alam, politik, dan keamanan.

Penilaian juga dapat dilakukan dengan cara melakukan kajian

terhadap beberapa kondisi dan lingkungan usaha sejenis,

kemungkinan perubahan kondisi lingkungan usaha sejenis di masa

datang, serta kemampuan dan fleksibilitas usaha nasabah

menghadapi kemungkinan perubahan kondisi dan lingkungan usaha

di masa mendatang, dan lain-lain.

58

5. Collateral ( Penilaian terhadap agunan kredit )

Penilaian terhadap agunan kredit dilakukan berdasarkan nilai

wajar atas nilai pasar agunan yang berlaku pada saat dilakukan

penilaian. Agunan kredit adalah jaminan dari nasabah ke bank untuk

meminimalisir risiko yang mungkin timbul dari pemberian kredit.

Agunan kredit terbagi menjadi dua, yatu:

a. Agunan Pokok

Agunan pokok merupakan sumber pembayaran kembali kredit dan

bersifat first way out. Pengadaan agunan pokok yang bersumber

dari dana kredit bank, misalnya persediaan barang, proyek, atau

hak tagih. Agunan pokok meliputi keseluruhan aset perusahaan

baik yang langsung dibiayai dengan kredit maupun tidak dibiayai

kredit.

b. Agunan Tambahan

Agunan tambahan merupakan agunan yang bersifat second way

dan umumnya berupa harta kekayaan nasabah secara pribadi

maupun milik perusahaan yang pengadaannya tidak bersumber

dari kredit dan tidak berkaitan langsung dengan usaha nasabah.

Misalnya, tanah dan bangunan rumah, tempat tinggal debitor,

tempat usaha, surat berharga, dan lain-lain. Agunan ini harus

dilakukan secara hak tanggungan untuk benda tidak bergerak dan

gadai untuk benda bergerak yang berwujud maupun tidak

berwujud ( hak tagihan ).

59

Secara singkat dijelaskan Capacity adalah kemampuan debitor

menghasilkan keuntungan atau profit. Capital adalah modal awal yang

dimiliki oleh debitor pada saat mengajukan kredit. Colleteral merupakan

jaminan yang diberikan oleh debitor terhadap bank. Condition of economy

yaitu keadaan ekonomi pada waktu kredit bank itu akan disalurkan. 52

Kelima hal atau five C credit ini merupakan wujud nyata dari prinsip

kehati-hatian atau prudent banking harus menjadi acuan pokok dalam

menjalankan fungsinys sebagai lembaga intermediarti yaitu lembaga

perantara antara pihak yang berlebihan uang (nasabah kreditor) dengan

pihak yang membutuhkan uang (nasabah debitor).

Dalam menyalurkan kredit, bank harus meminta jaminan atau

agunan dari nasabah debitor. Jaminan tersebut dapat berupa jaminan

umum, jaminan pokok, dan jaminan tambahan. Jaminan umum adalah

jaminan yang tidak pernah diperjanjikan namun melekat pada diri debitor

sebagaimana tertuang dalam Pasal 1131 KUHPerdata bahwa segala

kebendaan debitor baik yang ada sekarang maupun yang akan ada di

kemudian hari, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik berwujud

maupun tidak berwujud menjadi jaminan bagi pelunasan utangnya.

Jaminan pokok adalah jaminan untuk apa kredit itu dimohonkan.

Sedangkan jaminan tambahan adalah jaminan yang diminta oleh bank di

saat jaminan umum dan jaminan pokok tidak mencukupi.

52

Sudaryat, Hukum Bisnis Suatu Pengantar, Cetakan Kesatu (Bandung: Jendela Mas

Pustaka, 2008), hlm 74.

60

Pemberian kredit oleh bank merupakan unsur terbesar dari aktiva

bank, yang juga sebagai aset utama serta sekaligus menentukan maju

mundurnya bank yang bersangkutan dalam menjalankan fungsi dan

usahanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Di samping

menjalankan fungsi pengerahan dana masyarakat, bank juga menjalankan

fungsi sebagai lembaga kredit sebagaimana dinyatakan dalam Undang-

Undang Perbankan Pasal 6 huruf b, yang berbunyi:

“Usaha Bank Umum meliputi: b. Memberikan kredit”.

Dijelaskan pula dalam Pasal 13 huruf b Undang-Undang Perbankan, yang

berbunyi:

“Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi: b. Memberikan kredit”.

Dalam kenyataanya, kredit yang diberikan bank tadi sebagian besar

tidak dapat dikembalikan secara utuh oleh nasabah debitornya, yang

membawa risiko usaha bagi bank yang bersangkutan, akhirnya

menimbulkan kredit-kredit macet. Oleh karena itu, bank dalam

memberikan kredit harus melakukannya berdasarkan analisis pemberian

kredit yang memadai, agar kredit-kredit yang diberikan oleh bank itu

adalah kredit-kredit yang tidak mudah menjadi kredit-kredit macet.

Berdasarkan kepada prinsip kehati-hatian ini, maka bank dalam

memberikan kredit tersebut harus memperhatikan jaminan pemberian

kredit atau kredit berdasarkan Prinsip Syariah, dalam arti keyakinan atas

61

kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi

kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.53

Pada Pasal 8 Undang-Undang Perbankan, dapat dijabaran lebih

lanjut mengenai asas-asas perkreditan yang sehat dan prinsip kehati-hatian

dalam kaitannya dengan pemberian kredit, yaitu:

1. Mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas

iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk

melunasi utangnya atau mengembalikan kredit dimaksud sesuai

dengan yang diperjanjikan.

2. Memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan Kredit

berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang diterapkan

oleh Bank Indonesia.

Pasal 2 Undang-Undang Perbankan berbunyi:

“Asas, fungsi, dan tujuan perbankan Indonesia dalam melakukan

usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan

prinsip kehati-hatian.”

Kemudian dalam Pasal 29 ayat (2) juga berbunyi,

”Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan

ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,

likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang

berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan

usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”

Peranan bank sebagai lembaga keuangan tidak pernah lepas dari

masalah kredit. Bahkan, kegiatan bank sebagai lembaga keuangan,

pemberian kredit merupakan kegiatan utamanya. Besarnya jumlah kredit

53

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman ... op.cit., hlm 270.

62

yang disalurkan akan menentukan keuntungan bank. Jika bank tidak

mampu menyalurkan kredit, sementara dana yang terhimpun dari

simpanan banyak, akan menyebabkan bank tersebut rugi. Oleh karena itu,

pengelolaan kredit harus dilakukan dengan sebaik-baiknya mulai dari

perencanaan jumlah kredit, penentuan suku bunga, prosedur pemberian

kredit, analisis pemberian kredit sampai pada pengendalian kredit yang

macet.

Ketentuan tentang pedoman perkreditan yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Bank Indonesia No.

27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan

Kebijakan Perkreditan Bank. Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa hal-hal

pokok yang harus dipenuhi Bank Umum mengenai kebijakan perkreditan

bank salah satunya adalah tentang Prinsip Kehati-hatian dalam

perkreditan. Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan

perkreditan bank wajib mematuhi kebijakan perkreditan bank yang telah

disusun secara konsekuen dan konsisten.54

Ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian

bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan

usaha perbankan, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat.

Indikator-indikator kesehatan perbankan dapat diketahui dari total aset,

rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR), kredit bermasalah

54

Bank Indonesia (1), Surat Keputusan (SK) Direktur Bank Indonesia No.

27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan

Bank.

63

(non performing loans/NPL), dan LDR (Loan to deposit ratio)55

. Selain

formula 5 C, terdapat pula formula 4P, yaitu Personality, Purpose,

Prospect, and payment. Sedangkan formula 3 R terdiri dari Returns,

Repayment, dan Risk Bearing Ability. Berbagai ketentuan tersebut

mempersyaratkan beberapa hal yang harus diperhatikan bank dalam

memberikan kredit kepada nasabah.

Menurut Kasmir bahwa penilaian kredit dilengkapi dengan istilah 7

P, yaitu:

1. Personality

Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah

laku sehari-hari maupun masa lalunya. Personality juga mencakup

sikap, emosi, tingkah laku, dan tindakan nasabah dalam menghadapi

suatu masalah. Personality hampir sama dengan character dari 5C.

2. Party

Yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu

atau golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas, serta

karakternya, sehingga nasabah dapat digolongkan ke golongan tertentu

dan akan mendapatkan fasilitas kredit yang berbeda pula dari bank.

Kredit untuk pengusaha lemah sangat berbeda dengan kredit untuk

55

Kompas cetak, “Empat Indikator Sederhana Untuk Memilih Bank, Kamis, 6 Maret

2003, diakses dari http//www2.kompas.com/kompas-cetak/0303/06/Investasi/165676.htm, dikutip

dari tesis Mohammad Reza, “ Peranan Bank Indonesia Dalam Mengatur Dan Mengawasi

Pelaksanan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Program Kredit Usaha Rakyat (KUR), hlm 4.

64

pengusaha yang kuat modalnya, baik dari segi jumlah, bunga, dan

persyaratan lainnya.

3. Perpose

Yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil

kredit, termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah. Tujuan

pengambilan kredit dapat bermacam-macam apakah untuk tujuan

konsumtif, produktif, atau perdagangan.

4. Prospect

Yaitu untuk menilai usaha nasabah di masa yang akan datang

apakah menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain mempunyai

prospek atau sebaliknya. Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas

kredit yang dibiayai tanpa mempunyai prospek, bukan hanya bank

yang rugi, tetapi juga nasabah.

5. Payment

Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan

kredit yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk

pengembalian kredit yang diperolehnya. Semakin banyak smber

penghasilan debitor, akan semakin baik sehingga jika salah satu

usahanya merugi akan dapat dtutupi oleh sektor lainnya.

65

6. Profitability

Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam

mencari laba. Profitability diukur dari periode ke periode apakah akan

tetap sama atau akan semakin meningkat, apalagi dengan tambahan

kredit yang akan diperolehnya dari bank.

7. Protection

Tujuannya adalah bagaimana menjaga kredit yang dkucurkan

oleh bank, tetapi melalui suatu perlindungan. Perlindungan dapat

berupa jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi.

Di samping menggunakan prinsip pemberian kredit tersebut, bank

dalam memberikan kredit juga menggunakan 3 R, yaitu:56

1. Returns (Hasil yang Diperoleh), yakni hasil yang diperoleh oleh

debitor, dalam hal ini ketika kredit telah dimanfaatkan dan dapat

diantisipasi oleh calon kreditor. Artinya, perolehan tersebut

mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga, ongkos-

ongkos, di samping membayar keperluan perusahaan yang lain seperti

untuk cash flow, kredit lain jika ada, dan sebagainya.

2. Repayment (Pembayaran Kembali), yakni kemampuan bayar dari

pihak debitor. Dan apakah kemampuan bayar tersebut match dengan

56

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Cetakan Pertama

(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm 249-250.

66

schedule pembayaran kembali dari kredit yang akan diberikan itu. Ini

juga merupakan hal yang tidak boleh diabaikan.

3. Risk Bearing Ability (Kemampuan Menanggung Resiko), yakni sejauh

mana terdapatnya kemampuan debitor menanggung risiko. Misalnya

dalam hal terjadi hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak.

Terutama jika dapat menyebabkan timbulnya kredit macet. Untuk itu,

harus diperhitungkan apakah misalnya jaminan dan/atau asuransi

barang atau kredit sudah cukup aman untuk menutupi risiko tersebut,

Peraturan Bank Indonesia yang mengatur pokok-pokok kegiatan

usaha bank pada umumnya serta berkaitan dengan pemberian kredit atau

kredit berdasarkan prinsip syariah yang dilaksanakan oleh bank antara lain

diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/3/PBI/2005 tentang

Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, yang telah diubah

dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/13/PBI/2007. Batas

maksimum pemberian kredit ini merupakan sarana pengawasan

penyaluran kredit bank. Batas Maksimum Pemberian Kredit ( BMPK )

adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan

terhadap modal bank, yang diberikan kepada peminjam atau sekelompok

peminjam tertentu. Penyediaan dana ini di sini meliputi penanaman dana

bank dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan, surat berharga

yang dibeli dengan janji dijual kembali, tagihan akseptasi, derivatif kredit

(credit derivative), transaksi rekening administrasi, tagihan derivatif,

potential future credit exposure, penyertaan modal sementara, dan bentuk

67

penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.57

Ketentuan

BMPK bagi BPR diatur lebih lanjut:

1. BMPK kepada Pihak Terkait

BMPK bagi pihak yang terkait dengan bank, baik secara

individu maupun keseluruhan ditetapkan setinggi-tingginya sebesar

10% dari modal bank.

2. BMPK kepada Pihak Tidak Terkait

BMPK untuk satu peminjam maupun satu kelompok yang

tidak terkait dengan bank ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 20%

dari modal bank.

3. Terhadap pelampauan BMPK, bank diwajibkan untuk menyusun dan

menyampaikan action plan kepada Bank Indonesia, dan selain itu juga

dikenakan sanksi dalam penilaian tingkat kesehatan.

4. Terhadap pelanggaran BMPK, dapat dikenakan sanksi dalam

penilaian tingkat kesehatan dan diancam dengan sanksi pidana.

Selain itu, terdapat pula peraturan Bank Indonesia tentang

Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah58

yang dibuat dengan pertimbangan

bahwa salah satu upaya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian adalah

dengan menerapkan prinsip mengenal nasabah. Kemudian terdapat pula

57

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, ... op., cit., hlm 293-294. 58

Diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 serta perubahannya

untuk Bank Umum, dan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 untuk Bank

Perkreditan Rakyat.

68

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/8/PBI/2005 tentang Sistem Informasi

Debitor59

yang memiliki fungsi menunjang kelancaran proses kredit dan

penerapan manajemen risiko kredit yang efektif serta ketersediaan

informasi kualitas debitor. Dalam proses kredit, sistem informasi mengenai

profil dan kondisi debitor dapat mendukung percepatan proses analisa dan

pengambilan keputusan pemberian kredit. Untuk kepentingan manajemen

resiko, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitor dibutuhkan

untuk menentukan profil resiko kredit debitor. Selain itu, tersedianya

informasi kualitas debitor, diperlukan juga untuk melakukan sinkronisasi

penilaian kualitas debitor di antara bank pelapor.60

Sistem Informasi

Debitor (SID) adalah sistem yang mengyediakan informasi debitor yang

merupakan hasil olahan dari laporan debitor yang diterima oleh Banki

Indonesia. Pihak yag diwajibkan untuk menjadi pelapor dalam SID adalah

Bank Umum, BPR yang memiliki jumlah aset sebesar Rp

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau lebih selama 6 (enam)

bulan berturut-turut dan penyelenggara Kartu Kredit selain bank. BPR

selain sebagaimana dimaksud pada angka 3, Lembaga Keuangan Non

Bank dan Koperasi Simpan Pinjam dapat menjadi pelapor dalam SID

sepanjang memenuhi persyaratan yang datur dalam PBI.

Prinsip kehati-hatian adalah suatu asas atau prinsip yang

menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya

59

Peraturan ini telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/14/PBI/2007. 60

Mohammad Reza, Peranan Bank Indonesia Dalam Mengatur dan Mengawasi

Pelaksanaan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Program Kredit Usaha Rakyat (KUR), tesis

(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2011), hlm 22.

69

wajib bersikap hati-hati dalam rangka melindungi dana masyarakat yang

dipercayakan padanya.61

Tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian

tidak lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat, dengan kata lain

agar selalu dalam keadaan likuid dan solvent. Menurut Sutan Remy

Sjahdeini, dengan diberlakukannya prinsip kehati-hatian diharapkan kadar

kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi, sehingga

masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank.

Prinsip kehati-hatian ini harus dijalankan oleh bank bukan hanya karena

dihubungkan dengan kewajiban bank agar tidak merugikan kepentingan

nasabah yang mempercayakan dananya kepada masyarakat, yaitu sebagai

bagian dari sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota

masyarakat yang bukan hanya nasabah penyimpan dana dari bank itu

saja.62

Pengelolaan perkreditan atau manajemen perkreditan merupakan

bagian yang sangat penting dalam manajemen perbankan secara

keseluruhan, karena sebagian besar pendapatan bank masih mengandalkan

sektor kredit. Namun, pelaksanaan pemberian kredit oleh bank harus

menggunakan prisip kehati-hatian (prudentian principal). Biasanya resiko

pemberian kredit tersebut dinilai tinggi (high risk). Sikap hati-hati

merupakan prinsip yang harus selalu diterapkan dalam setiap pemberian

kredit. Tujuannya adalah mencegah resiko yang mungkin terjadi. Prinsip

61

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm 18. 62

Ibid., hlm. 19.

70

ini juga dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Perbankan, yang

berbunyi:

“ Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan

demokrasi Indonesia dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.”

Pengelolaan kredit adalah kunci utama bagi perbankan nasional

untuk tetap bertahan dalam persaingan yang ketat, serta akan memberikan

pendapatan atau keuntungan yang diharapkan. Tentunya tidak terlepas dari

penerapan prinsip kehati-hatian pada setiap pengajuan kredit oleh nasabah

(debitor). Langkah-langkah perbankan dalam menyalurkan kredit:63

1. Perencanaan kredit

Perencanaan kredit sangat dibutuhkan oleh manajemen

perbankan untuk mencapai keberhasilan dalam aktivitas pemberian

kredit ke nasabah. Dengan perencanaan yang tepat, tujuan penyaluran

kredit dapat tercapai, sehingga meminimalisisr kredit bermasalah.

Perencanaan kredit merupakan salah satu langkah bank dalam

menerapkan prinsip kehati-hatian agar kredit yang disalurkan tepat

sasaran. Perencanaan kredit tersebut meliputi penetapan pasar sasaran,

kriteria resiko, kriteria nasabah yang dapat dilayani, dan batasan-

batasan dalam pemberian kredit.

63 Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan...op.cit.., hlm. 167-

169.

71

a. Pasar sasaran (target market)

Pasar sasaran adalah sekelompok nasabah dalam industri,

segmen ekonomi, dan daerah geografis tertentu yang memiliki

karakteristik tertentu yang dinilai perlu untuk dibiayai oleh bank.

Penetapan pasar sasaran dilakukan dengan tujuan mendapatkan

nasabah-nasabah yang dinilai memberikan keuntungan bagi bank.

Sebelum melakukan penetapan pasar sasaran, bank melakukan

penelitian atas potensi ekonomi kelompok nasabah tersebut.

Apabila dinilai berpotensi, bank segera melakukan pendekatan ke

nasabah untuk mengetahui kondisi usahanya. Pasar sasaran perlu

diidentifikasi, agar bank dapat melakukan pekerjaan dengan

efisien. Penetapan pasar sasaran merupakan cara yang efektif untuk

mendapatkan keuntungan dari kredit dalam waktu yang relatif

singkat. Penetapan pasar sasaran bisa digunakan bank sebagai

bentuk kehati-hatian dalam penyaluran kreditnya. Bank berhati-hati

dalam menyalurkan dana masyarakat yang telah dititipkan.

b. Kriteria Resiko

Setiap kredit yang disalurkan tentu saja mempunyai

resikonya masing-masing. Meskipun resikonya terlihat kecil, tetap

harus diperhatikan. Dalam perencanaan kredit harus ditetapkan

kriteria resiko yang mungkin timbul di tiap pasar sasaran yang

telah ditentukan. Kriteria resiko diantaranya mencakup a) aktivitas

72

pemasaran, dengan penetapan standar minimal nasabah, b) tanda-

tanda perngatan dini atas kondisi keuangan nasabah yang dinilai

memburuk, c) seleksi awal atas permohonan kredit, d) penyediaan

standar penerimaan yang diharapkan dari tiap-tiap nasabah. Ini

juga sebagai bentuk dari penerapan prinsip kehati-hatianbank

dalam menyalurkan kreditnya.

c. Kriteria Nasabah

Setelah melakukan penetapan pasar sasaran dan kriteria

resiko, bank harus dapat menentukan kriteria nasabah. Tujuan

penentuan kriteria nasabah adalah membatasi Kredit ke nasabah

yag dinilai tidak akan memberikan keuntungan pada bank tersebut.

Terdapat beberapa strategi untuk menentukan nasabah yang dapat

diberi kredit, dan pada akhirnya nasabah tersebut akan memberikan

pendapatan ke bank. Kriteria umumnya dilakukan berdasarkan

prinsip 5 C‟s.

2. Proses Pemberian Kredit

Permohonan ini menjelaskan kebutuhan pinjaman yang

diinginkan serta jenis kreditnya. Bank dapat memperoleh sedikit

informasi mengenai bisnis yang akan dibiayai, kemampuan calon

nasabah, serta kemauan calon nasabah dalam menjalankan bisnisnya.

Proses pemberian kredit merupakan tahap yang harus dilalui calon

nasabah. Proses ini dilakukan sebelum calon nasabah disetujui

73

pengajuan kreditnya. Dalam proses pemberian kredit dimulai dari

pengajuan kredit. Permohonan kredit dilakukan calon nasabah secara

tertulis dan ditujukan ke pihak bank.

Bank dalam menentukan calon nasabah harus memperhatikan

beberapa prosedur pemberian kredit, diantaranya:64

a. Pengajuan proposal

Untuk memperoleh fasilitas kredit dari bank maka tahap

yang pertama pemohon kredit mengajukan permohonan kredit

secara tertulis dalam suatu proposal. Proposal kredit harus

dilampiri dengan dokumen-dokumen lainnya yang dipersyaratan.

Yang perlu diperhatikan dalam setiap pengajuan proposal suatu

kredit hendaknya yang berisi keterangan tentang:

a. Riwayat perusahaan, seperti riwayat hidup perusahaan, jenis

bidang usaha, nama pengurus berikut latar belakang

pendidikannya, perkembangan perusahaan, serta wilayah

pemasaran produknya.

b. Tujuan pengambilan kredit, dalam hal ini harus jelas tujuan

pengambilan kredit. Apakah untuk memperbesar omset

penjualan atau meningkatkan kapasitas produksi atau untuk

mendirikan pabrik baru (perluasan) serta tujuan lainnya.

Kemudian juga yang perlu mendapat perhatian adalah

kegunaan kredit apakah untuk modal kerja atau investasi.

64

Kasmir, Manajemen Perbankan Edisi... op.cit., hlm. 106-108.

74

c. Besarnya kredit dan jangka waktu

Dalam proposal pemohon menentukan besarnya jumlah kredit

yang diinginkan dan jangka waktu kreditnya.

d. Cara pemohon mengembalikan kredit maksudnya perlu

dijelaskan secara rinci cara-cara nasabah dalam

mengembalikan kreditnya apakah dari hasil penjualan atau

dengan cara lainnya.

e. Jaminan kredit

Jaminan kredit yang diberikan dalam bentuk surat atau

serifikat. Penilaian jaminan kredit haruslah teliti jangan sampai

terjadi sengketa, palsu, dan sebagainya, biasanya setiap

jaminan diikat dengan suatu asuransi tertentu.

Selanjutnya proposal ini dilampiri dengan berkas-berkas

yang telah dipersayaratkan, seperti:65

1) Akta pendirian perusahaan

Dipergunakan untuk perusahaan yang berbentuk PT (Perseroan

Terbatas) atau yayasan yang dikeluarkan oleh Notaris dan

disahkan oleh Departemen Kehakiman.

2) Bukti diri (KTP) para pengurus dan pemohon kredit.

65

Ibid., hlm. 107.

75

3) TDP (Tanda Daftar Perusahaan)

Tanda Daftar Perusahaan ada selembar sertifikat yang

dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan

dan biasanya berlaku 5 (lima) tahun dan jika masa berlakunya

habis dapat diperpanjang kembali.

4) NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)

Nomor Pokok Wajib Pajak, merupakan surat tentang wajib

pajak yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan.

5) Neraca dan laporan rugi laba 3 (tiga) tahun terakhir.

6) Fotokopi sertifikat yang dijadikan jaminan.

7) Daftar penghasilan bagi perseorangan.

8) Kartu keluarga (KK) bagi perseorangan.

b. Penyelidikan Berkas Pinjaman

Tahap selanjutnya adalah penyelidikan dokumen-dokumen

yang diajukan pemohon kredit. Tujuannya adalah mengetahui

apakah berkas yang diajukan sudah lengkap sesa persyaratan yang

ditetapkan. Jika menurut pihak perbankan belum lengkap atau

belum cukup maka nasabah diminta untuk segera melengkapinya

dan apabila sampai batas tertentu nasabah tidak sanggup

melengkapi kekurangan tersebut, maka sebaknya permohonan

kredit dibatalkan saja.

76

Dalam penyelidikan berkas hal-hal yang perlu diperhatikan

adalah membuktikan dan keaslian berkas-berkas yang ada, seperti

keaslian Akta Notaris, TDP, KTP, dan surat-surat jaminan seperti

sertifikat tanah, BPKB mobil ke instansi yang berwenang

mengeluarkannya. Kemudian jika asli dan benar maka pihak bank

mencoba mengkalkulasi apakah jumlah kredit yang diminta

memang relevan dan kemampuan nasabah untuk membayar.

Semua ini dengan menggunakan perhitungan terhadap angka-

angka yang di laporan keuangan dengan berbagai rasio keuangan

yang ada.

c. Penilaian kelayakan kredit

Dalam penilaian layak atau tidak suatu kredit disalurkan,

maka perlu dilakukan suatu penilaian kredit. Penilaian kelayakan

kredit dapat dilakukan dengan menggunakan 5 C atau 7 P, namun

untuk kredit yang lebih besar jumlahnya perlu dilakukan metode

Studi Kelayakan. Dalam Studi Kelayakan ini setiap aspek dinilai

apakah memenuhi syarat atau tidak. Apabila salah satu aspek tidak

memenuhi syarat maka perlu dilakukan pertimbangan untuk

mengambil keputusan.

Adapun aspek-aspek yang perlu dinilai dalam pemberian

suatu fasilitas kredit:

77

1) Aspek hukum

Tujuan dari aspek ini adalah menilai keaslian dan

keabsahan dokumen-dokumen yang diajukan oleh pemohon

kredit. Penilaian aspek hukum ini juga dimaksudkan agar

jangan sampai dokumen yang diajukan palsu atau dalam

kondisi sengketa, sehingga menimbulkan masalah. Penilaian

dokumen-dokuen ini dilakukan ke lembaga yang berhak untuk

mengeluarkan dokumen tersebut. Penilaian aspek hukum

meliputi,

a. Akta notaris

b. Kartu Tanda Penduduk (KTP)

c. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)

d. Izin usaha

e. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

f. Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP )

g. Sertifikat-sertifikat yang dimiliki baik sertifikat tanah atau

surat –surat berharga

h. Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor ( BPKB ), dan lain-

lain.

2) Aspek Pemasaran

Aspek ini merupakan aspek untuk menilai apakah kredit

yang dibiayai akan laku di pasar dan bagaimana strategi

78

pemasaran yang dilakukan. Dalam aspek ini yang akan dinilai

adalah prospek usaha sekarang dan di masa yang akan datang.

3) Aspek keuangan

Aspek ini bertujuan untuk menilai keuangan perusahaan

yang dilihat dari Laporan Keuangan yaitu Neraca dan Laporan

Rugi dan Laba 3 (tiga) tahun terakhir. Analisis keuangan

meliputi analisis dengan menggunakan rasio-rasio keuangan

seperti rasio likuiditas, rasio leverage, rasio aktivitas, rasio

profitabilitas dan analisis pulang pokok.

4) Aspek Teknis/Operasi

Dalam aspek ini yang dinilai adalah masalah lokasi

usaha, kemudan kelengkapan sarana dan prasarana yang

dimiliki, termasuk layout gedung dan ruangan.

5) Aspek Manajemen

Aspek ini bertujuan untuk menilai pengalaman

peminjam dalam mengelola usahanya, termasuk sumber daya

manusia yang dimilikinya.

79

6) Aspek Ekonomi Sosial

Aspek ini bertujuan untuk menilai dampak usaha yang

diberikan terutma bagi masyarakat luas, baik ekonomi maupun

sosial.

7) Aspek AMDAL

Aspek ini sangat penting dalam rangka apakah usaha

yang dibuatnya sudah memenuhi kriteria analisis dampak

lingkungan terhadap darat, air, dan udara sekitarnya.

Aspek-aspek tersebut dapat menjadi acuan bank dalam

memberikan kredit kepada nasabah. Selain itu, dapat digunakan

sebagai studi kelayakan nasabah yang akan diberikan kredit,

terutama kredit dalam jumlah yang relatif besar. Hal ini guna

menghindari atau meminimalisir resiko dalam penyaluran kredit.

Oleh karena itu, bank harus ekstra hati-hati dalam memberikan

kreditnya. Sebelum debitor memperoleh kredit, ada pula tahapan-

tahapan penilaian guna meyakinkan bank bahwa nasabah yang

bersangkutan benar-benar layak untuk diberikan kredit. Tahapan-

tahapan tersebut mulai dari pengajuan proposal kredit dan

dokumen-dokumen yang diperlukan, pemeriksaan keaslian

dokumen, analisis kredit sampai dengan kredit disalurkan.

Tahapan-tahapan dalam memberikan kredit dikenal dengan

prosedur pemberian kredit. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya

80

bahwa tujuan dari prosedur pemberian kredit adalah untuk

memastikan kelayakan suatu kredit, diterima atau ditolak.

d. Wawancara Pertama

Tahap ini merupakan penyidikan kepada calon nasabah

yang akan mengajukan kredit dengan cara berhadapan langsung

dengan calon nasabah tersebut. Hal ini bertujuan untuk

mendapatkan keyakinan apakah berkaas-berkas tersebut sesuai dan

lengkap seperti yang bank inginkan. Wawancara ini juga untuk

mengetahui keinginan dan kebutuhan nabaah yang sebenarnya.

Dalam wawancara ini, akan lebih baik jika dibuat santai sehingga

diharapkan hasil wawancara sesuai dengan yang diinginkan.

e. Peninjauan ke lokasi (On The Spot)

Peninjauan ke lokasi dilakukan setelah memperoleh

keyakinan atas keabsahan dokumen dari hasil penyidikan dan

wawancara. Kemudian hasil on the spot dicocokkan dengan hasil

wawancara pertama. Pada saat hendak melakukan on the spot

hendaknya tidak memberitahu nasabah terlebih dahulu, sehingga

apa yang kita lihat di lapangan sesuai dengan kondisi yang

sebenarnya. Tujuan peninjauan kelapangan adalah untuk

memastikan bahwa objek yang akan dibiayai bear-benar ada dan

dengan apa yang tertulis dalam proposal.

81

f. Wawancara kedua

Hasil peninjauan ke lapangan dicocokkan dengan dokumen

yanng ada serta dicocokkan dari hasil wawancara satu dan

wawancara kedua. Wawancara kedua ini merupakan kegiayan

perbaikan berkas, jika mungkin ada kekurangan-kekurangan pada

saat setelah dilakukan on the spot di lapangan. Catatan yang ada

pada permohonan dan pada saat wawancara pertama dicocokkan

dengan saat on the spot apakah ada kesesuaian dan mengandung

suatu kebenaran.

g. Keputusan Kredit

Setelah melalui berbagai penilaian mulai dari kelengkapan

dokumen keabsahan dan keaslian dokumen serta penilaian yang

meliputi seluruh aspek studi kelayakan kredit, maka langkah

selanjutya adalah keputusan kredit.

Keputusan kredit adalah menentukan apakah kredit layak

untuk diberikan atau ditolak, jika layak, maka dipersiapkan

administrasinya, biasanya keputusan kredit akan mencakup:

a. Akad kredit yang akan ditandatangani,

b. Jumlah uang yang diterima,

c. Jangka waktu kredit,

d. Biaya-biaya yang harus dibayar.

82

Keputusan kredit biasanya untuk jumlah tertentu

merupakan keputusan tim. Begitu pula bagikredit yang ditolk,

maka hendaknya dikirim surat penolakan sesuai dengan alasannya

masing-masing.

h. Penandatanganan Perjanjian Kredit

Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari diputuskannya

kredit. Sebelum kredit dicairkan, maka terlebih dahulu calon

nasabah menandatangani akad kredit, kemudian mengikat jaminan

kredit dengan hipotek atau surat perjanjian yang danggap perlu.

Penandatanganan dilaksanakan:

a. Antara bank dengan debitor secara langsung,

b. Melalui notaris.

i. Realisasi Kredit

Setelah akad ditandatangani, maka langkah selanjutnya adalah

merealisasikan kredit. Realisasi kredit diberikan setelah

penandatanganan surat-surat yang diperlukan dengan membuka

rekening tabungan di bank bersangkutan. Dengan demikian,

penarikan dana kredit dapat dilakukan melalui rekening yang telah

dibuka. Pencairan atau pengambilan uang dari rekening sebagai

realisasi dari pemberian kredit dapat diambil sesuai ketentuan dan

tujuan kredit.

83

3. Administrasi Kredit

Administrasi kredit bertujuan mendukung langkah-langkah

pembinaan atau pengawasan atas perkembangan kredit sehingga

kepentingan bank dapat terlindung.

4. Pengawasan Kredit

Pengawasan kredit berfungsi mengetahui secara dini

penyimpangan yang terjadi atas pemberian kredit ke debitor. Dengan

adanya pengawasan bank dapat dengan cepat mengambil langkah-

langkah yang tepat dan cepat untuk melakukan perbaikan. Terdapat

dua cara pengawasan atau monitoring, yaitu (a) secara administrarif

yang dilakukan di bank dan (b) secara fisik dengan melakukan

pemerikasaan di tempat usaha debitor.

Berkembangnya suatu bank tergantung dari jumlah kredit yang

disalurkan. Artinya, semakin banyak kredit yang disalurkan, semakin besar

pula perolehan laba yang diperoleh, sehingga mampu mempertahankan

kelangsungan hidup dan sekaligus memperbesar usaha yang ada. Dalam

praktiknya, banyaknya jumlah kredit yang disalurkan juga harus diikuti

oleh kualitas kredit tersebut.Artinya, semakin berkualitas kredit yang

diberikan atau memang layak untuk disalurkan, akan memperkecil resiko

terhadap kemungkinan kredit tersebut bermasalah. Perbankan dihadapkan

kepada prinsip kehati-hatian bank dalam menyalurkan kreditnya.

Maksudnya keputusan pemberian suatu kredit perlu memperhatikan

kualitas kredit. Bukan tidak mungkin kredit yang jumlahnya cukup banyak

84

akan mengakibatkan kerugian apabila kredit yang dasalurkan tersebut

ternyata tidak berkualitas dan mengakibatkan kredit tersebut bermasalah.

Untuk menjaga agar kredit yang disalurkan tidak menimbulkan

masalah, dalam memberikan kredit ada beberapa hal yang harus

diperhatikan, yaitu:66

1. Tingkat perolehan laba (return). Maksudnya adalah jumlah laba yang

akan diperoleh atas penyaluran kredit. Jumlah perolehan laba tersebut

harus memenuhi ketentuan yang berlaku apabila ingin dinilai baik bagi

kesehatannya.

2. Tingkat resiko (risk). Maksudnya adalah tingkat resiko yang akan

dihadapi terhadap kemungkinan melesetnya perolehan laba bank dari

kredit yang disalurkan.

Dalam praktiknya, bank perlu melakukan pemisahan fungsi dalam

organisasi kredit. Hal ini bertujuan agar kredit yang disalurkan oleh suatu

bank memiliki kualitas kredit yang baik. Pemisahan ini dilakukan agar

masing-masing fungsi dapat bekerja secara baik dan memperkecil

terjadinya penilaian yang tidak objektif dengan berbagai sebab sehingga

berpotensi untuk dijadikannya penyimpangan yang akhirnya akan

menyebabkan kredit yang disalurkan bermasalah.

Pemisahan kredit tersebut meliputi pemasaran kredit, analisis

kredit, taksiran jaminan, administrasi kredit, audit kredit. Tujuan

66 Kasmir, Manajemen Perbankan Edisi... op.cit., hlm. 113.

85

pemisahan fungsi kredit ini adalah agar pengelolaan suatu permohonan

kredit dapat diproses secara benar, lengkap, teliti, dan sempurna sehingga

memiliki resiko rendah dan tidak menimbulkan masalah.

Dalam praktiknya banyak cara agar kredit yang diberikan oleh

perbankan memiliki kualitas. Salah satunya adalah dibentuknya komite

kredit (loan committees). Komite ini bertugas memberikan pelayanan hal-

hal yang berkaitan dengan kredit yang disalurkan. Secara umum tugas

komite kredit, diiantaranya:67

1. Membuat keputusan dan penelaahan kredit baru. Maksudnya adalah

setiap adanya permohonan kredit baru, perlu ditelaah secara benar

tentang kelayakan kredit sebelum diambil keputusan.

2. Memastikan kelengkapan dokumen kredit. Maksudnya adalah dalam

pengajuan kredit papun, syarat kelengkapan dokumen mutlak untuk

diserahkan. Syarat ini merupakana salah satu aspek penilaian

kelayakan suatu kredt agar tidak timbul masalah di kemudian hari.

Syarat ini merupakan salah satu aspek penilaian kelayakan suatau

kredit dan harus dipenuhi oleh nasabah. Dengan demikian,apabila

kredit tersebut sudah layak untuk diberikan dengan syarat-syarat yang

sudah ditentukan, kualitas kredit akan lebih tejamin.

C. Kredit Bermasalah

67

Ibid.., hlm 116.

86

Berdasarkan Pasal 5 PBI No. 7/2/PBI/2005, bank wajib

menetapkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening Aktiva

Produktif yang digunakan untuk membiayai satu debitor. Hal ini juga

berlaku untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari satu bank

(termasuk penyediaan dana yang diberikan secara sindikasi).

Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis

terhadap faktor penilaian (prospek usaha, kinerja debitor, dan kemampuan

membayar). Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan

mempertimbangkan signifikansi dan materialitas dari setiap faktor

penilaian dan komponen serta relevansi dari faktor penilaian dan

komponen terhadap debitor yang bersangkutan. Berdasarkan penilaian

tersebut, kualitas kredit ditetapkan menjadi: lancar, dalam perhatian

khusus, kurang lancar, diragukan atau macet.

Berdasarkan SE BI No. 31/10/UPPB tanggal 12 November 1998,

kualitas kredit digolongkan menjadi 5 golongan, yaitu:

1. Lancar

Maksudnya adalah kredit yang tidak ada tunggakan bunga maupun

angsuran pokok (jika ada) pinjaman belum jatuh tempo dan tidak

terdapat cerukan karena penarikan. Pembayaran kewajiban pada masa

mendatang diperkirakan lancar/sesuai dengan jadwal dan tidak

diragukan sama sekali. Namun, sesuai dengan ketentuan-ketentuan

sebaga berikut:

a. Pembayaran amgsuran pokok dan/atau bungan tepat waktu,

87

b. Memiliki mutasi rekening yang aktiv, atau bagian dari kredit yang

dijamin dengan agunan tunai.

2. Perhatian khusus

Maksudnya adalah kredit yang menunjukkan adanya kelemahan

pada kondisi keuangan ataupun kelayakan kredit debitor. Hal ini

misalnya ditandai dengan tren menurun dalam profit margin dan omset

penjualan atau program pengembalian kredit tidak realistis atau kurang

memadainya agunan, informasi kredit ataupun dokumentasi. Perhatian

dini, termasuk pembeicaraan yang intensif dan serius dengan debitor

diperlukan untuk mengoreksi keadaan ini. Jika keadaan semakin parah,

debitor perlu direklasifikasikan ke tingkat yang lebih buruk. Tentunya

dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang belum

melampaui 90 hari,

b. Kadang-kadang terjadi cerukan,

c. Mutasi rekening relatif aktif,

d. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan,

e. Didukung oeh pinjaman baru.

3. Kredit kurang lancar

Maksudnya adalah kredit yang pembayaran bunga dan angsuan

pokok (jika ada) mungkin akan atau sudah terganggu karena perubahan

yang sangat tidak menguntungkan dalam segi keuangan dan

manajemen debitor atau ekonomi atau politik pada umumnya atau

88

sangat tidak memadainya agunan. Pada tahap ini belum tampak adanya

gejala kerugian bagi bank., namun kondisi ini dapat berkepanjangan

dan kemungkinan semakin memburuk. Tindakan koreksi yang cepat

dan tepat harus diambil untuk memperkuat posisi bank sebagai

kreditor, antara lain dengan mengurangi eksposure bank dan

memastikan debitor juga mengambil tindakan perbaikan yang berarti.

Dengan ketentuan:

a. Terdapat tunggakan 90 (sembilan puluh) hari,

b. Sering terjadi cerukan,

c. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah,

d. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari

90 (sembilan puluh) hari,

e. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitor, atau

f. Dokumentasi pinjaman lemah.

4. Diragukan

Maksudnya adalah kredit pengembalian seluruh pinjaman mulai

diragukan, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian bagi bank,

hanya saja belum dapat ditentukan besar maupun saatnya. Tindakan

yang cermat dan tepat harus diambil untuk meminimalkan kerugian.

Dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Terjadi tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah

melampaui 180 hari,

b. Terjadi cerukan yang bersifat permanen

89

c. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari,

d. Terjadi kapitalisasi bunga, atau

e. Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit

maupun pengikat jaminan.

5. Macet

Maksudnya adalah kredit yang nilai sudah tidak bisa ditagih

kembali. Bank akan menanggung kerugian atas kredit yang sudah

diberikan. Dengan ketentuan:

a. terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah

melampaui 270 hari,

b. kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru, atau

c. dari segi hukum maupun pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada

nilai wajar.

Dari penggolongan kualitas kredit tersebut di atas, maka

berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor

31/147/KEP/DIR kredit dibedakan lagi menjadi kredit tidak bermasalah

(performing loan) dan kredit bermasalah (non-performing loan).

Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap

faktor-faktor penilaian, seperti prospek usaha, kinerja debitor, dan

kemampuan membayar. Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan

mempertimbangkan signifikasi dan materialitas dari setiap faktor penilaian

dan komponen serta relevansi dari faktor penilaian dan komponen

terhadap debitor yang bersangkutan. Berdasarkan penilaian tersebut,

90

kualitas kredit ditetapkan menjadi lancar, dalam perhatian khusus, kurang

lancar, diragukan, atau macet.

Kredit dikatakan tidak bemasalah apabila termasuk dalam

penggolongan lancar dan dalam perhatian khusus. Sedangkan dikatakan

bermasalah apabila termasuk dalam penggolongan kurang lancar,

diragukan, dan macet. Kredit bermasalah dalam jumlah besar dapat

mendatangkan dampak yang tidak menguntungkan bagi bank pemberi

kredit, dunia perbankan pada umumnya, dan juga terhadap kehidupan

ekonomi dan moneter dalam suatu negara.68

Bagi bank pemberi kredit

akan membuat menurunnya kentungan bank yang dapat berpengaruh pada

kesehatan dan kelayakan bank untuk beroperasi. Hal tersebut juga

berpengaruh pada perputaran dana bank di masyarakat.

D. Penyelesaian Kredit Bermasalah

Pada dasarnya bank tidak pernah menginginkan kredit yang

diberikankan menjadi kredit yang bermasalah, dan untuk keperluan itu

pihak bank akan melakukan segala upaya preventif yang mungkin

dilakukan untuk mencegah agar kredit tidak bermasalah, bahkan keadaan

kredit itu bukan saja sekedar tidak lancar atau diragukan melainkan

akhirnya menjadi macet. Setelah itu, bank akan melakukan upaya-upaya

represif. Upaya-upaya represif yang mula-mula akan dilakukan ialah

68

Siswanto Sutojo, Mengenai Kredit Bermasalah (Jakarta: Damar Mulia Pustaka, 2008),

hlm 25.

91

melakukan upaya penyelamatan kredit. Setelah upaya yang dilakukan

tersebut ternyata tidak berhasil juga menyelamatkan kredit itu, maka bank

akan menempuh upaya penagihan.69

Penanganan kredit bermasalah merupakan kecepatan pengembalian

biaya yang seminimal mungkin menjadi bagian yang tidak dapat

terpisahkan dalam upaya bank mengatasi permasalahan kredit bermasalah.

Hal-Hal yang perlu diperhatikan dalam menangani kredit bermasalah

adalah:70

1. Keinginan debitor untuk menyelesaiakan kewajiban.

2. Tingkat kerja sama dan keterbukaan debitor.

3. Kemampuan manajemen.

4. Kemampuan finansial debitor.

5. Sumber pengembalian pinjaman.

6. Propek usaha dibitur.

7. Mudah tidaknya menjual jaminan,

8. Kelengkapan dokumentasi jaminan.

9. Ada tidaknya tambahan jaminan baru.

10. Sengketa tidaknya jaminan.

11. Ada tidaknya sumber pembayaran dari usaha lain

69

Sutan Remy Sjahdeini, Menanggulangi Kredit Bermasalah, Makalah disajikan sebagai

materi kuliah Program Magister Hukum pada Pascasarjana Universitas Surabaya, (Surabaya:

Universitas Surabaya, 1995), hlm 2 dikutip dari Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum

Perbankan di Indonesia, Cetakan Pertama (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm 293. 70

Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah...op.cit., hlm 117.

92

Menurut Siswanto Sutojo dalam penanganan kredit bermasalah,

pimpinan bank harus tetap berpegang pada pedoman pokok penanganan

kredit bermasalah, yaitu usaha penyelamatan kredit secara maksimal.

Upaya penyelamatan kredit tersebut dapat ditempuh dengan dua cara,

yaitu melalui jalur hukum maupun jalur non hukum. Salah satu upaya

penyelamatan kredit melalui jalur nonhukum adalah restrukturisasi kredit.

Restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam

kegiatan perkreditan terhadap debitor yang mengalami kesulitan untuk

memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui:

1. Penurunan suku bunga kredit,

2. Perpanjangan jangka waktu kredit,

3. Pengurangan tunggakan bungan kredit,

4. Pengurangan tunggakan pokok kredit,

5. Penambahan fasilitas kredit, dan/atau

6. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.

Setiap bank pasti mengalami kredit macet atau nasabah tidak

mampu lagi untuk melunasi kreditnya. Oleh karena itu, perlu adanya

restrukturisasi kredit. Tujuan restrukturisasi kredit tersebut ialah:

1. Untuk menghindari kerugian bagi bank karena bank harus menjaga

kualitas kredit yang telah diberikan,

2. Untuk membantu memperingan kewajiban debitor sehingga dengan

keringanan ini debitor mempunyai kemampuan untuk yang

93

melanjutkan usahanya, dan dengan menghidupkan kembali usahanya

akan memperoleh pendapatan yang sebagian dapat digunakan untuk

membayar utangnya dan sebagian untuk melanjutkan kegiatan

usahanya.

3. Dengan restrukturisasi, maka penyelesaian kredit melalui lembaga-

lembaga hukum dapat dihindarkan, karena penyelesaian melalui

lembaga hukum dalam praktiknya memerlukan waktu, biaya dan

tenaga yang tidak sedikit dan hasilnya lebih rendah dari piutang yang

ditagih.

Dasar hukum restrukturisasi kredit adalah Surat Direksi Bank

Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998.

Restrukturisasi merupakan upaya yang dilakukan Bank dalam rangka

membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, diantaranya

melalui:71

1. Penjadwalan kembali (rescheduling)

Adalah perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah

atau jangka waktunya. Penjadwalan kembali dapat dilakukan dengan

berbagai cara, yaitu:

a. Perpanjang jangka waktu pelunasan utang.

b. Perpanjangan jangka waktu pelunasan tunggakan bunga.

71

Badriyah Harun ...op.cit., hlm 118.

94

c. Perpanjangan jangka waktu pelunasan utang pokok dan

tunggakan angsuran kredit sesuai dengan dana yang mengalir.

d. Perpanjangan jangka waktu pelunasan utang pokok atau

tunggakan angsuran, tunggakan bunga, serta perubahan jumlah

angsuran.

e. Perpanjangan jangka waktu pelunasan utang pokok, tunggakan

angsuran dan tunggakan bunga kredit sesuai dengan dana yang

mengalir.

f. Perpanjangan jangka waktu pelunasan utang pokok dan

tunggakan bunga kredit sesuai aliran dana yang mengalir.

g. Pergeseran atau perpanjangan grace period dan pergeseran

rencana pelunasan.

h. Pergeseran grace period dan perpanjangan jangka waktu kredit.

i. Kombinasi bentuk-bentuk rescheduling di atas.

Tindakan rescheduling dapat diberikan kepada debitor yang

masih menunjukkan iktikad baik untuk melunasi kewajibannya.

Faktor-faktor yang mendukung diberikannya tindakan recheduling

misalnya : pemasaran dari produk debitor masih baik, yang masih

berjalan normal. Dari sisi aspek manajemen, usaha debitor dikelola

oleh tenaga yang profesional dan cukup terampil. Bahan baku untuk

keperluan produksi debitor cukup tersedia di pasar, sedangkan proses

produksinya menggunakan metode teknologi yang memadai (belum

out of date). Di samping itu, peraturan pemerintah dan kondisi

95

ekonomi global cukup mendukung. Tindakan rescheduling ini

dilakukan karena terjadi kelebihan Kredit terhadap objek kedit (over

finance). Agunan yang dikuasai bank cukup mengatasi dan memenuhi

syarat yuridis.

2. Persyaratan kembali ( reconditioning)

Yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan kredit,

antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka

waktu dan/ atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa

kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank. Persyaratan

kembali dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:

a. Perubahan tingkat suku bank.

b. Perubahan tata cara perhitungan bunga.

c. Pemberian keringanan tunggakan bunga.

d. Pemberian keringanan denda.

e. Pemberian keringanan ongkos/biaya.

f. Perubahan struktur permodalan perusahaan debitor.

g. Bank ikut dalam penyertaan modal sebagaimana diatur dalam Pasal

10 ayat 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.

31/147/KEP/DIR tgl. 12-11-1988.

h. Perubahan kepengurusan perusahaan debitor biasanya bank ikut

memberikan pendapat dalam pembentukan susunan pengurus baru

tersebut.

96

i. Perubahan syarat-syarat kredit.

j. Perubahan syarat-syarat lain.

k. Penambahan agunan.

l. Perubahan bentuk hukum dari CV ke PT, sehingga menambah

modal efektif disetor.

m. Kombinasi antara bentuk-bentuk reconditioning di atas.

Dalam bukunya Kasmir bahkan tindakan reconditioning salah

satunya dapat dilakukan dengan memberikan pembebasan bunga.

Dalam pembebasan suku bunga diberikan kepada nasabah dengan

pertimbangan nasabah sudah tidak akan mampu lagi membayar kredit

tersebut. Namun, nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk

membayar pokok pinjamannya sampai lunas.

Tindakan reconditioning dapat diberikan kepada debitor yang

masih memiliki iktikad baik untuk melunasi kewajibannya, yang

berdasarkan pembuktian secara kuantitatif merupakan alternatif yang

terbaik. Mesin/pabrik/proses produksi masih berfungsi baik dan dan

terawat, kapasitas masih dapat ditingkatkan. Usaha debitor dikelola

oleh manajemen yang profesional dan menggunakan tenaga kerja

yang cukup terampil. Untuk kelangsungan produksinya, debitor tidak

mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, dan berproduksi

dengan memakai teknologi yang memadai. Peraturan pemerintah dan

kondisi ekonomi secara global cukup mendukung. Tindakan

reconditioning ini dilakukan karena debitor mengalami kekurangan

97

modal kerja. Agunan yang dikuasai bank cukup mengatasi dan

memenuhi syarat yuridis.

3. Penataan kembali (Restructuring)

Yaitu, perubahan persyaratan kredit tidak terbatas pada

rescheduling atau reconditioning, antara lain meliputi:

a. Penurunan suku bunga kredit

b. Pengurangan tunggakan bunga kredit.

c. Pengurangan tunggakan pokok kredit.

d. Perpanjangan jangka waktu kredit.

e. Penambahan fasilitas kredit.

f. Pengambilalihan agunan atau aset debitor.

g. Jaminan kredit dibeli oleh bank

h. Konversi kredit menjadi modal sementara dan pemilikan saham.

i. Alih manajemen

j. Pengambilalihan pengelolaan proyek

k. Pembaruan utang

l. Subrogasi

m. Cessie

n. Debitor menjual sendiri barang jaminan

o. Bank menjual barang-barang jaminn di bawah tangan

p. Penghapusan piutang

98

Dalam buku Manajemen Perbankan yang ditulis Kasmir bahwa

penyelesaian kredit macet juga dapat dilakukan dengan cara “kombinasi”

dan “penyitaan jaminan”. Kombinasi di sini maksudnya adalah kombinasi

dari ketiga jenis metode tersebut, yaitu kombinasi antara restructuring

dengan reconditioning atau rescheduling dengan restructuring. Sedangkan

penyelesaian kredit dengan penyitaan jaminan adalah jalan terakhir apabila

nasabah benar-benar tidak punya iktikad baik atau sudah tidak mampu lagi

untuk membayar semua utang-utangnya.

Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan atas dasar

permohonan secara tertulis dari nasabah. Restrukturisasi kredit hanya

dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran

2. Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi

kewajiban setelah restrukturisasi.

Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan untuk kredit dengan

kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Restrukturisasi kredit wajib

didukung dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai serta

terdokumentasi dengan baik. Restrukturisasi kredit dapat dilakukan paling

banyak tiga kali dalam jangka waktu perjanjian kredit. Restrukturisasi kredit

kedua dan ketiga dapat dilakukan paling cepat enam bulan setelah

restrukturisasi kredit sebelumnya.

99

Pada kredit bermasalah, apabila menurut pertimbangan bank sudah

tidak mungkin terselamatkan dan menjadi lancar kembali melalui upaya-

upaya penyelamatan sehingga akhirnya kredit tersebut menjadi macet, maka

bank akan melakukan tindakan-tindakan penyelesaian atau penagihan kredit

bermasalah atau macet itu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Penyelesaian atau penagihan kredit bermasalah itu merupakan upaya bank

untuk memperoleh kembali pembayaran bank dari nasabah debitor dan/atau

penjamin atas kredit bank yang telah menjadi bermasalah atau tanpa

melikuidasi agunannya. Walaupun bank tidak mengharapkan terjadinya

kredit bermasalah, seluruh pejabat bank terutama yang berkatan dengan

perkreditan harus memiliki pandangan dan persepsi sama dalam

menanggulangi kredit bermasalah tersebut. Karena itu, untuk menyelesaikan

kredit bermasalah perlu menggunakan pendekatan, diantaranya:72

1. Bank tidak membiarkan atau menutup-nutupi adanya kredit bermasalah,

2. Bank harus mendeteksi secara dini adanya kredit bermasalah atau

diduga akan menjadi kredit bermasalah,

3. Penanganan kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit-kredit

bermasalah juga harus dilakukan secara dini dan sesegera mungkin,

4. Bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara

menambah plafond kredit atau tunggakan bunga tersebut atau yang

lazim dikenal dengan praktek plafondering kredit.

72

Rachmadi Usman, ...op., cit., hlm 296

100

5. Bank tidak boleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit

bermasalah, khususnya untuk kredit bermasalah kepada pihak-pihak

yang terkait dengan bank dan debitor-debitor besar tertentu.

Bank dalam rangka menyelesaikan kredit bermasalah atau macet

dapat menempuh cara-cara sebagai berikut:73

1. Penyerahan pengurusan kredit macet kepada PUPN

Dengan Undang-Undang Nomor 49/Prp/Tahun 1960 tentang Panitia

Urusan Piutang Negara dibentuklah Panitia Urusan Piutang Negara

(PUPN) yang tugasnya antara lain mengurus piutang negara yang oleh

pemerintah atau badan-badan yang secara langsung atau tidak langsung

dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab

lainnya telah diserahkan pengurusannya kepadanya. Piutang negara

yang diserahkan ialah piutang, yang adanya dan besarnya telah pasti

menurut hukum, akan tetapi yang menanggung utangnya (penjamin)

tidak melunasinya sebagaimana mestinya. Jadi pengurusan dan

penyelesaian kredt-kredit macet dari bank milik negara dan daerah

diserahkan kepada PUPN. Lain halnya dengan bank-bank swasta, bank-

bank milik negara dan daerah diserahkan kepada PUPN.

2. Proses Gugatan Perdata

Sejalan dengan klausula yang biasanya tercantum dalam setiap perjanjian

kredit antara bank dan nasabahnya, maka dalam hal nasabah sebagai

debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk melunasi kredit, bank

73

Ibid., hlm 297-298.

101

dapat mengajukan gugatan perdata kepada pengadilan. Setelah

ditetapkannya keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

pasti, maka debitor dpat diperintahkan untuk memenuhi kewajibannya.

Apabila debitor tetap tidak melunasi kredit, pelaksanaan keputusan

tersebut dilakukan atas dasar perintah dan dengan pimpinan ketua

Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatannya. Atas dasar perintah

Ketua Pengadilan Negeri tersebut, dilakukan penyitaan harta kekayaan

debitor untuk kemudian dilelang. Hasil pelelangan dipergunakan untuk

melunasi kredit yang telah diberikan oleh bank.

3. Penyelesaian melalui badan arbitrase (perwasitan)

Dalam perjanjian kredit kadang-kadang dicantumkan pula klausula yang

menyebutkan bahwa apabila timbul sengketa sebagai akibat dari

perjanjian kredit, maka penyelesaiannya melalui arbitrase dan keputusan

arbitrase merupakan keputusan final. Klausula arbitrase menetapkan

cara-cara penunjukkan arbiter (wasit) dan susunan tim arbiter yang akan

memutuskan sengketa. Tim arbiter dibentuk dengan masing-masing

pihak menunjuk seorang arbiter dan kemudian kedua orang abiter ini

memilih seorang arbiter lainnya sebagai ketua. Adapun manfaat

penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini keputusannya lebih cepat

diperoleh bila dibandingkan melalui pengadilan yang sifat

penyelesaiannnya tertutup dan dapat menjaga nama baik para pihak.

102

4. Penagihan oleh penagih utang (Debt Collector) Swasta

Beberapa bank swasta dalam rangka mempercepat penyelesaian

penagihan kredit macet, memanfaatkan jasa penagih utang swasta, yang

laimnya disebut dengan debt collector. Pemanfaatan debt collector dalam

menagih kredit macet bank ini ternyata jauh lebih efektif dibanding

kepada PUPN atau melalui proses gugatan. Pihak bank cukup

memerintahkan orang lain berdasarkan surat kuasa untuk menagih utang

kepada nasabah debitor kredit macet dan untuk atas nama bank yang

memberi kuasa.

Penyelesaian kredit bermasalah melalui institusi hukum dapat

dilakukan melalui pendekatan litigasi (jalur pengadilan) dan pendekatan

nonlitigasi (di luar pengadilan). Pendekatan litigasi akan meyerap biaya

yang cukup besar serta memakan waktu yang cukup lama karena adanya

proses hukum. Sedangkan pendekatan nonlitigasi menyerap biaya yang

relatif kecil serta memakan waktu yang relatif lebih singkat. Upaya

penyelesaian non litigasi dapat ditempuh melalui proses mediasi yang

akhir-akhir ini sedang dikampanyekan oleh Bank Indonesia dan sedang

laris manis digunakan oleh bank dalam menyelesaikan sengketa terhadap

nasabahnya.

103

BAB III

PELAKSANAAN PRINSIP KEHATI-HATIAN TERHADAP PEMBERIAN

KREDIT MODAL KERJA DI BPR REDJO BHAWONO

A. Pelaksanaan Prinsip Kehati-Hatian terhadap Pemberian Kredit

Modal Kerja di BPR Redjo Bhawono

Bank Perkreditan Rakyat Redjo Bhawono (BPR Redjo Bhawono)

adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan sebagai lembaga

intermediasi yang telah memenuhi aturan perundang-undangan Perbankan,

peraturan Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan. BPR Redjo

Bhawono sebagai badan hukum didirikan berdasarkan Akta Anggaran

Dasar Bank Perkreditan Rakyat Redjo Bhawono yang didirikan dengan

Akta Notaris Nomor 1 tanggal 03 Maret 1989 dan telah mendapat

persetujuan Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Dalam perkembangannya BPR Redjo Bhawono ini telah diakuisisi

oleh Natasha Group pada Desember 2014. Hal ini dikarenakan BPR Redjo

Bhawono ingin mengembangkan diri sehingga modal yang dimiliki harus

lebih kuat. Oleh karena itu BPR Redjo Bhawono diakuisisi oleh Natasha

Group dan saat ini berganti nama menjadi Bank Natasha yang merupakan

gabungan dari Natasha dan Navaagreen. Meskipun BPR Redjo Bhawono

ini telah diakuisisi namun tidak ada yang berubah dari segala aktivitas

104

perbankannya. Dalam hal ini yang berbeda adalah nama bank dan

pemiliknya.

Pengelolaan kredit adalah kunci utama bagi perbankan nasional

untuk tetap bertahan dalam persaingan yang ketat, serta akan memberikan

pendapatan, atau keuntungan yang diharapkan. Tentunya tidak terlepas

dari penerapan prinsip kehati-hatian pada setiap pengajuan kredit oleh

nasabah. Langkah-langkah perbankan dalam menyalurkan kredit

meliputi:74

1. Perencanan Kredit

Perencanaan kredit merupakan salah satu langkah awal yang

dapat dilakukan bank untuk meminimalisir adanya kredit bermasalah.

Perencanaan kredit berkaitan dengan penerapan prinsip kehati-hatian

agar kredit yang disalurkan tepat sasaran. Perencanaan kredit tesebut

dapat meliputi penetapan pasar sasaran, kriteria resiko, kriteria

nasabah yang dapat dilayani, dan batasan-batasan dalam pemberian

kredit. Penetapan pasar sasaran (target market) kredit ditentukan bank

agar kredit yang disalurkan tepat sasaran. Dalam perencanaan kredit

harus ditetapkan kriteria resiko yang mungkin timbul di tiap pasar

sasaran yang telah ditentukan. Setelah melakukan penetapan pasar

sasaran dan kriteria resiko, bank harus menentukan kriteria nasabah.

Tujuan penentuan kriteria nasabah adalah membatasi kredit nasabah

74 Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan...op.cit.., hlm. 167-

169.

105

yang dinilai tidak akan memberikan keuntungan bagi bank. Tahapan

terakhir dalam melaksanakan perencanan kredit adalah menentukan

batasan-batasan dalam pemberian kredit. Pembatasan ini dilakukan

agar bank tidak melakukan aktivitas penyaluran kredit yang

melanggar ketentuan yang telah ditetapkan Bank Indonesia.

2. Proses Pemberian Kredit

Bank dalam menentukan calon nasabah harus memperhatikan

beberapa prosedur pemberian kredit, diantaranya:75

a. Pengajuan proposal

Dalam hal ini pengajuan proposal dapat berupa pengisian

aplikasi kredit yang telah diisi calon nasabah dengan melengkapi

syarat-syarat yang dibutuhkan nasabah, sebagaimana dijelaskan

sebelumnya. Dalam proposal kredit ini, dapat terlihat mengenai

riwayat perusahaan yang dijalankan calon debitor. Selain itu,

tujuan dari pengambilan kredit calon debitor juga dapat terlihat

dalam pengajuan aplikasi kredit ini. Apakah tujuan dari kredit ini

untuk memperbesar omset penjualan atau meningkatkan kapasitas

produksi atau untuk mendirikan usaha baru. Jumlah kredit dan

jangka waktu peminjaman juga dapat terlihat dalam aplikasi kredit

ini, sehingga bank dapat memberitahukan kepada calon debitor

angsuran yang harus dibayarkan setiap bulannya. Cara pemohon

dalam mengembalikan kreditnya juga dapat terlihat dalam aplikasi

75

Kasmir, Manajemen Perbankan Edisi... op.cit hlm. 106-108.

106

kredit ini, karena dalam aplikasi kredit Bank Perkreditan Rakyat

Redjo Bhawono terdapat point mengenai tekhnis pembayaran

angsuran. Pada tahap ini, calon nasabah juga menjelaskan

mengenai jaminan yang akan diserahkan ke bank. Penilaian

jaminan kredit ini harus teliti, karena jaminan ini yang mampu

mengcover kredit yang akan diajukan. Semua persyaratan yang

dibutuhkan bank dilengkapi oleh calon debitor.

b. Penelitian Berkas Pinjaman

Sebelum bank menyetujui permohonan kredit calon debitor,

bank melakukan penyelidikan dokumen-dokumen yang telah

dilengkapi calon debitor. Hal ini bertujuan untuk mengetahui

apakah berkas yang diajukan sudah lengkap sesuai persyaratan

yang telah ditetapkan. Jika persyaratan yang diserahkan calon

debitor belum lengkap, maka bank akan konfirmasi kepada calon

debitor untuk segera melengkapi. Pada tahap ini, bank harus teliti

dalam menyelidiki berkas-berkas yang telah masuk. Seperti,

mengenai kebenaran dan keaslian berkas yang telah diserahkan

calon debitor. Jika berkas-berkas itu terbukti asli dan benar, maka

pihak BPR mencoba menghitung apakah jumlah kredit yang

diminta telah relevan dengan kemampuan calon nasabah dalam

membayar angsurannya setiap bulan.

107

c. Proses Analisis Kredit

Proses analisis pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo

Bhawono dimulai dari pengisian aplikasi kredit beserta

kelengkapan-kelengkapannya. Dalam pengisian aplikasi kredit

tersebut bank dapat melakukan analisis 5C dan 7 P. Dari aplikasi

kredit tersebut Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono

secara tidak langsung dapat melihat kemampuan calon debitor

yang mengajukan kredit. Dalam hal ini berkaitan dengan capacity

(kemampuan). Kemampuan calon debitor dapat dilihat dari usaha

yang sedang dijalani. Salah satunya dengan melakukan analisis

usahanya dari waktu ke waktu. Apakah usaha yang dijalani itu

mempunyai prospek yang baik ke depannya atau tidak. Hal ini

karena berkaitan dengan pendapatan calon debitor. Jika pendapatan

atau keuntungan meningkat maka bisa menjadi pertimbangan bank

untuk menyatakan calon debitor yang bersangkutan layak diberikan

kredit. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono

menganalisis pengajuan suatu kredit dari analisis keuangan per

bulan.

Kemampuan debitor dalam mengembalikan kreditnya juga

berkaitan dengan payment (pembayaran). Payment berkaitan

mengenai sumber pembayaran kredit dari calon debitor cukup

tersedia dan cukup aman, sehingga diharapkan bahwa kredit yang

akan dicairkan dapat dibayar kembali oleh debitor yang

108

bersangkutan. Dalam hal ini, biasanya seorang debitor

mengandalkan pembayaran kreditnya dari usaha yang didirikannya,

sehingga Bank perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono

mengambil keputusan untuk mencairkan suatu kredit.

Modal (capital) juga menjadi pertimbangan Bank

Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono dalam proses analisis

kredit. Modal awal dari calon debitor menjadi perhatian khusus

karena dari modal yang dimiliki calon debitor dapat dianalisis

apakah calon debitor mempunyai modal yang cukup untuk

memulai usahanya atau mengembangkan usahanya. Modal ini

diperlukan untuk mengukur tingkat rasio likuiditas dan solvabilitas.

Rasio ini diperlukan berkaitan dengan pemberian kredit untuk

jangka pendek atau jangka panjang.

Dari kemampuan dan modal calon debitor dapat ditarik

kesimpulan mengenai kondisi ekonomi (Condition of economic)

sesungguhnya. Apakah calon debitor termasuk golongan ekonomi

kuat atau lemah, golongan ekonomi atas, menengah, atau bawah.

Kondisi ekonomi ini perlu menjadi sorotan karena akan berdampak

baik secara positif maupun negatif terhadap usaha calon debitor.

Ketika analisis kredit terhadap kemampuan calon debitor,

kondisi ekonomi, dan modal yang dimiliki nasabah selesai

dianalisis, maka dapat dianalisis mengenai watak (character) calon

debitor. Meskipun seringkali watak dari calon debitor itu berubah

109

ketika kredit sudah berjalan karena faktor dari berbagai hal, namun

tetap analisis watak di awal ketika pengajuan kredit menjadi

penting. Watak dari calon debitor merupakan salah satu faktor

yang harus dipertimbangkan dan merupakan unsur yang terpenting

sebelum memutuskan untuk memberikan kredit kepada calon

debitor. Dalam hal ini meyakini benar calon debitornya memiliki

reputasi baik artinya selalu menepati janji dan tidak terlibat hal-hal

yang berkaitan dengan kriminalitas misalnya penjudi, pemabuk

atau penipu. Watak berkaitan pula dengan personality, sehingga

bank melakukan analisis watak dan personality secara sekaligus.

Dari personality Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono

dapat menilai calon debitor dari segi kepribadiannya atau tingkah

lakunya sehari-hari maupun kepribadian masa lalunya. Penilaian

personality juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku, dan

tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah dan

menyelesaikannya.

Analisis selanjutnya yaitu mengenai jaminan (collateral).

Setelah calon debitor mengisi aplikasi kredit, kemudian calon

debitor yang bersangkutan menyerahkan jaminan ke Bank

Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono sebagai persyaratan

yang harus dipenuhi calon debitor dalam pengajuan kredit.

Jaminan yang diberikan oleh calon debitor akan diikat suatu hak

atas jaminan sesuai dengan jenis jaminan yang diserahkan.

110

Menurut aturan hukum positif, jaminan adalah sesuatu yang

diberikan kepada kreditor yang diserahkan oleh debitor untuk

menimbulkan keyakinan dan menjamin bahwa debitor akan

memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul

dari suatu perikatan.76

Pada perjanjian kredit tentu saja ada pemeran utama yaitu

nasabah dan bank. Dalam penilaian suatu kredit nasabah dan bank

masuk ke kategori para pihak (party). Bank Perkreditan Rakyat

(BPR) Redjo Bhawono menganalisis mengenai profil dari calon

debitor sebelum kredit yang diajukan disetujui. Profil calon debitor

dapat dilihat di formulir kredit/aplikasi kredit yang telah diisi calon

debitor. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan karakter maupun

kemampuan calon debitor. Pihak pemberi kredit atau Bank

Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono harus memperoleh

suatu kepercayaan terhadap para pihak, dalam hal ini debitor agar

kredit yang dicairkan nanti tidak mengalami permasalahan.

Aplikasi kredit yang telah diisi calon debitor berguna juga

untuk melihat tujuan calon debitor mengajukan kredit. Dalam hal

ini calon debitor mengajukan kredit untuk mengembangkan

bisnisnya. Ketika Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono

mengetahui maksud dari kredit yang diajukan, maka bank dapat

menentukan produk yang akan digunakan calon debitor, yaitu

76

Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,

(Yogyakarta: Liberty, 1984), hlm. 50.

111

modal kerja. Tentu tujuan (purpose) harus dilihat apakah kredit

akan digunakan untuk hl-hal positif atau tidak, atau apakah kredit

yang diajukan itu nantinya dapat menaikkan income perusahaan

dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benar-benar

diperuntukkan untuk tujuan seperti diperjanjikan dalam suatu

perjanjian kredit. Dari purpose tersebut sekaligus dapat menilai

usaha calon debitor di masa yang akan datang menguntungkan atau

tidak atau dengan kata lain mempunyai prospect atau sebaliknya.

Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas kredit yang dibiayai

tanpa mempunyai prospect bukan hanya kreditor yang rugi akan

tetapi juga debitor. Purpose dan prospect berkaitan dengan aspek

pemasaran dan aspek ekonomi sosial. Dari aspek pemasaran, bank

menilai usaha yang dimiliki calon debitor akan laku dipasaran atau

tidak. Bagaimana cara calon debitor melakukan strategi pemasaran

juga perlu diketahui bank, agar usaha yang akan diberikan kredit

dapat terus berkembang. Dari aspek ekonomi sosial, bank juga

menilai dampak dari usaha yang dijalankan calon debitor baik dari

segi ekonomi maupun sosial. Apakah usaha yang dijalankan

berdampak terhadap masyarakat sekitar, masyarakat luas, dan

mempunyai prospek yang baik atau hanya sekedarnya.

Prospect yang menjanjikan di masa yang akan datang akan

memberikan keutungan lebih untuk debitor, sehingga diharapkan

dengan keuntungan yang lebih banyak itu dapat mengurangi resiko

112

kredit bermasalah. Keuntungan dalam perbankan dapat digunakan

untuk memberikan penilaian suatu kredit. Istilah dalam perbankan

berkaitan dengan penilaian keuntungan adalah profitability.

Profitability (perolehan laba) digunakan Bank Perkredtan Rakyat

(BPR) Redjo Bhawono untuk menganalisis kemampuan calon

debitor dalam mencari laba. Unsur perolehan laba oleh calon

debitor juga bagian terpenting dalam suatu pemberian kredit.

Untuk itu, kreditor berantisipasi apakah laba yang akan diperoleh

perusahaan lebih besar daripada bunga pinjaman dan apakah

pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kembali

kreditnya. Bank tidak akan merasa khawatir jika calon debitor itu

mempunyai usaha yang benar-benar mempunyai prospect baik.

Sebagaimana nasabah Tn. A yang usahanya bergerak di bidang

tembakau di daerah Wonosari diperkirakan Bank Perkreditan

Rakyat (BPR) Redjo Bhawono mempunyai prospect yang baik ke

depannya, sehingga bank memutuskan memberikan kredit dalam

jumlah besar. Namun, begitu disayangkan karena Bank Perkreditan

Rakyat (BPR) Redjo Bhawono tidak memperhatian keuangan Tn.

A dari periode ke periode, sehingga bank tidak bisa secara dini

mendeteksi adanya kredit bermasalah. Aspek keuangan di sini

diperlukan untuk menilai keuangan perusahaan calon debitor.

Laporan keuangan usaha milik calon debitor perlu dilampirkan

sebagai bahan pertimbangan.

113

Dalam penilaian kredit, Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Redjo Bhawono juga tidak luput memperkirakan resiko yang

mungkin terjadi, sehingga bank mencari cara bagaimana agar

kredit yang diberikan mendapatkan jaminan perlindungan, yaitu

dengan adanya jaminan. Penyerahan jaminan nasabah ke Bank

Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono merupakan bentuk

protection (perlindungan) bank agar kredit yang diberikan benar-

benar aman. Perlindungan yang diberikan oleh debitor dapat

berupa jaminan barang atau orang atau asuransi.77

Dalam hal ini

debitor memberikan jaminan berupa sertifikat tanah, yang

kemudian diberi Hak Tanggungan.

Aspek lain yang menjadi perhatian bank diantaranya, aspek

hukum. Hal ini berkaitan dengan keaslian dan keabsahan dokumen-

dokumen yang telah diajukan calon debitor. Semua dokumen yang

diajukan calon debitor harus benar-benar dipastikan keaslian dan

keabsahannya. Berkaitan dengan kredit modal kerja, bank juga

harus meneliti mengenai lokasi usaha calon debitor. Hal ini

berkaitan dengan aspek tekhnis/operasi yang dilakukan Bank

Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono untuk memastikan

usaha yang dijalankan calon debitor benar-benar ada. Dari sini

dapat dilihat mengenai kelengkapan sarana dan prasarana yang

dmiliki calon debitor.

77

Kasmir, Manajemen Perbankan Edisi... op. cit., hlm. 119.

114

Kelengkapan sarana dan prasarana juga berkaitan dengan

sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki calon debitor. Apakah

SDM yang dimiliki banyak atau hanya beberapa. Keberadaan SDM

berkaitan dengan aspek manajemen dimana dari informasi yang

diberikan SDM dapat menilai pengalaman calon debitor dalam

mengelola usahanya. Dari prasarana yang dimiliki calon debitor

juga dapat dilihat dampaknya bagi lingkungan. Hal ini berkaitan

dengan aspek AMDAL. Aspek yang digunakan Bank Perkreditan

Rakyat (BPR) Redjo Bhawono untuk menilai apakah usaha yang

dijalankan calon debitor berdampak pada lingkungan, baik darat,

air, dan udara sekitarnya. Apakah usaha calon debitor mengganggu

lingkungan sekitar atau tidak. Berkaitan dengan Tn. A yang

mengajukan kredit modal kerja untuk usaha tembakau, maka aspek

hukum, ekonomi sosial, AMDAL sudah dipenuhi calon debitor.

d. Proses Wawancara Pertama

Wawancara pertama dilakukan bank ketika calon debitor

mengisi aplikasi kredit dan menyerahkan persyaratan-persyaratan

yang dibutuhkan bank. Pada tahap ini, bank berhadapan langsung

dengan calon debitor. Di sini bank melakukan penyelidikan awal

terhadap calon debitor dengan mengajukan beberapa pertanyaan

yang sifatnya mendasar. Hal ini bertujuan memberikan keyakinan

kepada bank mengenai berkas-berkas yang diserahkan. Pada

115

wawancara ini, bank dapat mengetahui keinginan dan kebutuhan

calon debitor sebenarnya.

e. Peninjauan ke lokasi (On The Spot)

Setelah semua dokumen calon debitor masuk dan bank

memperoleh keyakinan terhadap kredit yang diajukan, maka bank

melakukan peninjauan ke lokasi atau survey. Bank mencocokkan

hasil survey dengan hasil wawancara pertama. Tujuan dari

dilakukannya survey ini adalah untuk memastikan bahwa objek

yang akan dibiayai benar-benar ada dan sesuai dengan apa yang

telah disampaikan calon debitor.

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo Bhawono melakukan

peninjauan terhadap lokasi usaha yang akan dibiayai bank. Hal ini

untuk memastikan apakah usaha yang dijalankan calon debitor

benar-benar ada dan sedang berjalan. Selain itu, peninjauan juga

dilakukan untuk meneliti mengenai jaminan yang diserahkan calon

debitor kepada bank. Dalam hal ini jaminan berupa sertifikat tanah.

Jadi, bank meninjau tanah yang dijadikan jaminan. Dari peninjauan

lokasi tanah yang dijadikan jaminan, bank dapat mentaksir nilai

jual tanah tersebut, sehingga bank dapat mengetahui apakah tanah

tersebut mampu mengcover kredit yang diajukan atau tidak.

Peninjauan seperti ini dilakukan untuk mengantisipasi jika

sewaktu-waktu debitor wanprestasi, maka objek yang dijadikan

116

jaminan tersebut dapat digunakan untuk mengembalikan kredit

debitor.

Peninjauan terhadap lokasi rumah dari calon debitor juga

tidak luput dari pengamatan bank. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Redjo Bhawono mendokumentasikan rumah dari calon debitor dan

lingkungan sekitarnya. Hal ini untuk memastikan rumah yang

ditempati calon debitor layak untuk ditempati dan memastikan

status sosial dari calon debitor. Peninjauan ke lokasi (on the spot)

seperti ini juga untuk menjalin kedekatan dengan calon debitor,

agar bank lebih mengenal calon debitornya.

f. Wawancara kedua

Wawancara kedua ini dilakukan jika bank membutuhkan

beberapa berkas tambahan. Wawancara kedua ini merupakan

kegiatan perbaikan berkas atau kelengkapan berkas.

g. Proses Keputusan Kredit

Keputusan kredit dilakukan setelah bank melakukan

beberapa tahap sebagaimana telah dijelaskan. Keputusan kredit

bertujuan untuk menentukan apakah kredit yang diajukan calon

debitor layak diberikan atau ditolak. Jika keputusan kredit layak,

maka bank akan mempersiapkan kelengkapan administrasinya,

seperti pembuatan perjanjian kredit yang akan ditandatangani calon

debitor, jumlah uang yang diterima, jangka waktu kredit tersebut,

117

biaya-biaya yang harus dibayarkan nasabah ketika kredit tersebut

cair.

h. Penandatanganan Perjanjian Kredit

Sebelum kredit dicairkan, maka terlebih dahulu calon debitor

menandatangani perjanjian kredit. Perjanjian kredit ditandatangani

di hadapan pihak bank dan notaris secara langsung. Pada saat

penandatanganan perjanjian kredit, debitor diminta untuk membaca

dan memahami keseluruhan isi dari perjanjian kredit tersebut.

Setiap lembar dari perjanjian kredit harus dibubuhi paraf dari

debitor, istri/suami debitor/salah satu keluarga yang tercantum

dalam perjanjian kredit, dan paraf dari pihak bank. Hal ini untuk

memastikan bahwa setiap lembar dari perjanjian kredit ini telah

dibaca dan dipahami debitor.

Debitor dapat menanyakan ke bank beberapa hal yang

dikiranya tidak atau belum dipahami. Bank akan menjelaskannya

secara detail. Selain itu, Bank akan menjelaskan mengenai

beberapa point yang dikiranya penting untuk diketahui debitor

sebagai penegasan bahwa debitor benar-benar memahami isi

perjanjian yang akan ditandatanganinya.

Setelah debitor memahami isi dari perjanjian kredit, maka

debitor menandatangani isi perjanjian kredit ini, diikuti dengan

tanda tangan dari pihak keluarga debitor (istri/keluarga yang paling

dekat), kemudian tanda tangan dari pihak bank, dalam hal ini tanda

118

tangan dari Direktur Utama. Setelah semua pihak menandatangani

perjanjian kredit, kemudian pihak notaris memberikan cap di

perjanjian kredit ini sebagai penanda bahwa perjanjian kredit telah

dibaca, dipahami, disetuju, dan sah. Kemudian tanda tangan notaris

yang ditunjuk pihak bank.

i. Proses Realisasi Kredit

Setelah perjanjian kredit ditandatangani debitor, maka

selanjutnya adalah merealisasikan kredit. Realisasi kredit diberikan

setelah penandatanganan surat-surat yang diperlukan. Realisasi

kredit sesuai dengan perjanjian yang berlaku.

Proses tersebut dilakukan bank untuk meminimalisir adanya

kredit bermasalah. Dalam hal ini perlu dilakukan analisis kredit

yang akurat. Analisis kredit merupakan bagian terpenting dari

terealisasinya pengajuan kredit nasabah. Analisi kredit adalah

proses pengolahan informasi yang lengkap. Proses analisis kredit

harsus dilakukan sebelum diberikan persetujuan pemberian fasilitas

kredit ke nasabah.

3. Administrasi Kredit

Administrasi kredit bertujuan mendukung langkah-langkah

pembinaan atau pengawasan atas perkembangan kredit sehingga

kepentingan bank dapat terlindung. Di dalam administrasi kredit

terdapat bagian yang sangat penting, yaitu dokumentasi kredit.

Dokumen kredit adalah seluruh dokumen yang diperlukan dalam

119

kredit yang merupakan bukti perjanjian/ikatan hukum antara bank dan

debitornya dan yang merupakan bukti kepemilikan barang agunan

serta dokumen-dokumen perkreditan lainnya, yang semua itu

merupakan perbuatan hukum dan menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari paket kredit.

4. Pengawasan Kredit

Pengawasan kredit di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Redjo

Bhawono dilakukan oleh marketing/Account Officer.78

Ada dua cara

pengawasan atau monitoring, yaitu secara administrasi yang

dilakukan bank dan secara fisik dengan melakukan pemerikasaan di

tempat usaha debitor.

Secara administrasi, pengawasan dilakukan oleh komite kredit.

Sebelum kredit dinyatakan layak untuk diberikan, marketing

membuat analisis terlebih dahulu. Analisis tersebut tertuang dalam

nota usulan kredit. Kemudian diajukan ke komite kredit. Komite

kredit terdiri dari Kabag kredit, Direksi, Direktur Utama. Ketika

kredit yang diajukan sampai di komite kredit, maka akan

didiskusikan pengajuannya, apakah layak diberikan atau tidak. Salah

satu bentuk dari pengawasan kredit adalah ketika kredit tersebut

benar-benar didiskusikan di komite kredit, maka semua hal yang

berkaitan dengan calon debitor, terutama hal yang berkaitan dengan

kredit harus diungkapkan. Hal ini karena komite kredit yang akan

78 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 8 Mei

2015.

120

memutuskan apakah calon debitor layak atau tidak untuk diberikan

kredit. Komite kredit sangat mempunyai wewenang akan hal itu.

Setelah kredit dicairkan pengawasan tetap berlanjut. Pengawasan

atau monitoring secara fisik dilakukan oleh marketing/Account

Officer. Marketing yang melakukan survey ke lokasi (on the spot).

Jadi, marketing yang merekomendasikan calon debitornya, juga ikut

mengontrol. Begitu pula ketika sudah mulai pembayaran angsuran

per bulan, marketing juga mengecek apakah debitor yang

bersangkutan sudah membayar kewajibannya atau belum.

Dalam dunia perbankan di negara berkembang seperti

Indonesia, fasilitas kredit merupakan salah satu cara yang sering

digunakan oleh perseorangan, badan usaha atau instansi untuk

mendapatkan pinjaman atau suntikan dana. Pada Pasal 1 butir 11

Undang-Undang Perbankan dijelaskan tentang kredit. Kredit adalah

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara

bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian

bunga. Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui, bahwa kredit

merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara bank sebagai

kreditor dan nasabah sebagai debitor.

121

1. Untuk memperoleh keyakinan dalam memberikan kredit, maka

bank harus melakukan penilaian secara seksama terhadap watak,

kemampuan, modal agunan dan prospek usaha dari debitor, dan

dalam dunia perbankan kelima faktor tersebut biasa disebut dengan

prinsip 5 C (Character, Capacity, Capital, Collateral dan

Conditional of Economy).

2. Salah satu cara kreditor memperoleh keyakinan terhadap watak

calon debitor agar mengetahui riwayat kredit debitor, yaitu dengan

mencari informasi tentang data fasilitas yang dimiliki oleh calon

debitor melalui IDI Historis dengan cara BI Checking.79

BI

Checking sendiri dapat dikatakan sebagai suatu proses pengecekan

IDI Historis melalui lembaga keuangan (Biro Informasi Kredit),

Gerai Info Bank Indonesia maupun melalui Online pada suatu

sistem yang disebut SID (Sistem Informasi Debitor) yang dikelola

oleh Bank Indonesia. Sistem Informasi Debitor merupakan suatu

sistem yang dipergunakan untuk menghimpun dan menyimpan

data fasilitas penyediaan dana/pembiayaan yang disampaikan oleh

seluruh anggota Biro Informasi Kredit secara rutin setiap bulan

kepada Bank Indonesia.

3. Data tersebut kemudian diolah untuk menghasilkan output berupa

IDI Historis. Isi dari IDI historis ini mencakup seluruh penyediaan

79 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Cetakan

Kedua, (Jakarta: Djambatan, 1996), hlm 44.

122

dana atau pembiayaan dengan kondisi lancar atau bermasalah, serta

berisi tentang informasi mengenai sejarah pembayaran kredit “si

debitor” dalam kurun waktu 24 (dua puluh empat) bulan terakhir.

4. Data debitor dalam IDI historis diperoleh Bank Indonesia dari

laporan anggota Biro Informasi Kredit.

5. IDI Historis ini tercetak secara otomatis oleh sistem sehingga tidak

memerlukan tanda tangan pejabat yang berwenang.

6. Dalam hal ini, pejabat yang berwenang adalah Bank Indonesia

sebagai Bank Sentral dan memiliki kendali penuh dalam perbankan

di Indonesia. BI Checking yang tercetak berupa hardcopy

berbentuk surat.

BPR Redjo Bhawono memiliki beberapa produk yang berkaitan

dengan kredit, diantaranya:80

1. Kredit Modal Kerja yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai

kegiatan usaha atau perputaran modal.

2. Kredit Konsumsi yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai

pembelian barang atau lainnya yang tujuannya tidak untuk usaha

tetapi untuk pemakaian atau keperluan pribadi seperti untuk renovasi

rumah, pembelian barang-barang elektronik, pembelian kendaraan

bermotor baik berupa mobil, sepeda motor maupun kendaraan

lainnya dan berbagai macam kebutuhan rumah tangga lainnya.

80 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 21 April

2014.

123

3. Kredit Musiman yaitu kredit yang hanya digunakan dalam jangka

waktu kurang dari 1 (satu) tahun atau dalam istilah lain disebut juga

dengan kredit “sebrakan.”

4. Kredit Karyawan yaitu kredit yang diberikan kepada pegawai

maupun karyawan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Salah satu kredit yang menjadi bahasan penulis adalah mengenai

kredit modal kerja. Calon nasabah yang ingin mengajukan kredit modal

kerja di Bank Perkreditan Rakyat Redjo Bhawono harus mengisi

aplikasi kredit yang telah disediakan bank. Pada aplikasi kredit di BPR

Redjo Bhawono yang sekarang telah menjadi Bank Natasha,

permohonan kreditnya berisi tentang beberapa butir diantaranya :

1. Pengisian aplikasi kredit dan kelengkapan persyaratan yang ada pada

formulir pengajuan kredit.

Pada aplikasi kredit di BPR Redjo Bhawono yang sekarang telah

menjadi Bank Natasha, permohonan kreditnya berisi tentang beberapa

butir diantaranya :81

a. Butir pertama berupa data pemohon, permohonan, data usaha

(apabila pemohon pengusaha), data penghasilan, data jaminan dan

keluarga dekat yang dapat dihubungi (yang tidak serumah). Data

pemohon pada aplikasi ini terdiri dari nama, alamat Kartu Tanda

Penduduk (KTP) (apabila beda), pekerjaan, alamat kantor/usaha,

81 Data dari formulir kredit pada 8 Mei 2015.

124

nomor telepon, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), nama gadis

ibu kandung, nama suami/istri, pendidikan terakhir, status rumah,

fasilitas rumah, dan tanggungan keluarga.

b. Butir kedua adalah mengenai data permohonan. Permohonan di sini

terdiri dari jenis kredit, tujuan kredit, jumlah permohonan, jangka

waktu kredit, teknis pembayaran angsuran, asal referensi.

c. Butir ketiga adalah tentang data usaha jika pemohon merupakan

seorang pengusaha. Dalam point ini nasabah diminta untuk

menjelaskan nama perusahaan sampai dengan lamanya usaha itu

berdiri. Kemudian mengenai jenis usahanya apakah milik sendiri,

milik keluarga, milik orang lain, meneruskan orang tua atau lain-

lain, status usaha serta modal usaha.

d. Butir keempat adalah mengenai data penghasilan. Pada data

penghasilan nasabah diminta mengisi penghasilan bulanannya (gaji

atau keuntungan usaha), mengenai penghasilan suami/istri,

penghasilan tambahan lain-lain, kemudian dijumlahkan

penghasilannya tersebut. Pada data penghasilan, nasabah juga harus

mengisi hal-hal yang berkaitan dengan pengeluaran. Misalnya

pengeluaran untuk bank lain atau pengeluaran lainnya kemudian

ditotal jumlah pengeluarannya.

e. Butir kelima adalah mengenai jaminan. Jaminan yang diberikan

dapat berupa sertifikat tanah dan bangunan, BPKB kendaraan

125

bermotor maupun deposito/tabungan. Kemudian dilanjutkan

mengenai status kepemilikan barang jaminan. Apakah jaminan

tersebut milik sendiri, miilik orang tua, atau milik keluarga. Pada

kredit modal kerja pada BPR Redjo Bhawono, nasabah wajib

memberikan agunan sebagai jaminan atas kreditnya. Agunan kredit

berupa:82

1. Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB)

BPKB untuk kendaraan baik kendaraan beroda 2 (dua)

maupun beroda 4 (empat) ataupun kendaraan jenis lainnya atau

lebih.

2. Sertifikat Tanah

Sertifikat tanah yang dapat dijadikan agunan adalah Sertifikat

Hak Milik (SHM) baik untuk tanah maupun tanah dan

bangunan.

3. Bilyet deposito BPR Redjo Bhawono

Bilyet deposito tersebut digunakan untuk back to back atau

kredit yang agunannya berupa bilyet deposito sehingga ketika

kredit masih berlangsung, bilyet deposito tersebut tidak boleh

dicairkan atau ditarik sewaktu-waktu oleh nasabah sampai

kredit tersebut lunas.

4. Buku tabungan BPR Redjo Bhawono

82 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 8 Mei

2015.

126

Buku tabungan BPR Redjo Bhawono tersebut digunakan untuk

back to back atau kredit yang agunannya berupa saldo yang

mengendap pada tabungan sehingga ketika kredit masih

berlangsung, tabungan tersebut tidak boleh dicairkan atau

ditarik sewaktu-waktu oleh nasabah sampai kredit tersebut

lunas.

f. Butir keenam mengenai keluarga dekat yang dapat dihubungi (yang

tidak serumah). Pada point ini terdapat nama, alamat rumah, nomor

telepon dan hubungan keluarga. Kemudian disertakan dengan

tandatangan kedua belah pihak.

Pada tahap ini juga ada beberapa persyaraan yang harus

dipenuhi yaitu:83

a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami istri;

b. Fotokopi kartu keluarga (KK/C-1) dan surat nikah;

c. Fotokopi Surat Izin Mengemudi (SIM);

d. Fotokopi Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan Surat

Tanda Nomor Kendaraan (STNK) jika yang dijadikan agunan

adalah kendaraan;

e. Fotokopi sertifikat jika yang dijadikan agunan adalah tanah atau

tanah dan bangunan;

83 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 8 Mei

2015.

127

f. Fotokopi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk jaminan tanah

atau tanah dan bangunan;

g. Fotokopi AD/ART, NPWP dan izin usaha (SIUP, TDP, HO) untuk

plafond tertentu;

h. Fotokopi slip gaji (bagi PNS / karyawan);

i. Faktur, kuitansi jual beli dan kuitansi kosong bermaterai;

j. Denah lokasi rumah, usaha, dan jaminan.

2. Setelah selesai mengisi aplikasi dan melengkapi persyaratan yang ada

tahap selanjutnya adalah melakukan register ke bagian kredit

sekaligus pemeriksaan berkas. Pemeriksaan di sini meliputi

pemerikasaan persyaratan-persyaratan yang diserahkan calon nasabah

kepada bank. Begitu pula jaminan yang diserahkan calon nasabah

untuk mengcover kredit yang diajukan. Permintaan jaminan khusus

kebendaan oleh bank dalam penyaluran kredit tersebut merupakan

realisasi prinsip kehati-hatian bank. Suatu pinjaman uang dapat

dijamin dengan suatu beban atas atau kepentingan pada barang

debitor. Jika debitor tidak dapat melunasi hutangnya, kreditor boleh

menerima barang itu dan memulihkan piutangnya dari hasil penjualan

barang milik debitor tersebut.84

Agunan hanyalah salah satu unsur

dalam analisis kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain yaitu

watak, kemampuan, modal, dan kondisi ekonomi, bank telah

memperoleh keyakinan atas kemampuan debitor dalam

84

Frans Hendra Winarta, Teknisi Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Pendekatan

Hukum, dikutip dari http://www.komisihukum.go.id, diakses tanggal 12 Februari 2008.

128

mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang,

proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan

yang lazim disebut dengan agunan pokok. Sekalipun demikian untuk

mengamankan kepentingan bank selaku kreditor, bank tidak dilarang

untuk meminta agunan tambahan di luar agunan pokok di atas.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang berbunyi:

“Seluruh harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak

bergerak, baik yang ada maupun yang akan ada dikemudian hari

menjadi jaminan bagi perikatannya dengan para kreditor.”

3. Marketing akan melakukan survey lapangan untuk selanjutnya dibuat

analisa laporan kelayakan dari segi karakter, usaha, keuangan, jaminan

dan aspek lain yang menyangkut kondisi di lapangan. Jika nominal

kredit di bawah Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) survey

hanya dilakukan oleh marketing saja tetapi jika nominal kredit lebih

dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) survey dilakukan oleh

marketing bersama direksi. Survey seperti ini dilakukan marketing

untuk menganalisa apakah nasabah tersebut layak atau tidak diberikan

kredit. Kelayakan tersebut dapat dilihat dari segi karakter, usaha,

keuangan maupun agunan atau jaminan. Survey yang dilakukan guna

melaksanakan prinsip kehati-hatian yang merupakan salah satu bagian

dari prinsip 5 C, yaitu karakter.

4. BPR Redjo Bhawono melakukan BI Checking. Jika nasabah yang

bersangkutan lolos dari BI Checking maka dilanjutkan ke proses

129

berikutnya. Oleh karena BI Checking merupakan informasi perbankan

yang diperoleh dari Sistem Informasi Debitor kepada Bank Indonesia

secara elektronik, dimana Informasi Debitor tersebut dapat dicetak

secara otomatis oleh sistem sehingga tidak memerlukan tanda tangan

Pejabat yang berwenang, maka BI Checking tersebut jelas merupakan

alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik. Adapun BI Checking tersebut dapat dipergunakan untuk

membuktikan kebenaran materiil mengenai keadaan keuangan dan

kreditor lainnya yang juga memberikan fasilitas di Pengadilan, hal ini

sebagaimana diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Perbankan. Bank

Indonesia mengatur mengenai "Kewajiban Laporan dan Koreksi SID"

ada pada Bank Umum tersebut sebagai Pelapor (SE BI No.

10/47/DPNP bab II, III, dan IV). Sehingga terbuktilah bahwa Bank

Indonesia bersifat pasif. Jadi, jika ada keterlambatan pengkinian data

SID, Bank Indonesia tidak dapat dipersalahkan namun itu semua

menjadi tanggung jawab Pelapor. Di dalam SID itu sendiri dituliskan

dengan tegas suatu pernyataan (klausul) bahwa: "Kebenaran dan

keakuratan data merupakan tanggung jawab Pelapor. Bank Indonesia

tidak bertanggung jawab terhadap segala akibat yang timbul

sehubungan dengan ketidakbenaran dan ketidakakuratan data serta

penggunaan Informasi Debitor ini dikemudian hari.85

Data SID yang

85

Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/47/DPNP sebagaimana diunduh (download) dari

130

memuat profil keuangan seorang Debitor yang memiliki kredit baik

pada satu atau lebih Kreditor perbankan maupun lembaga keuangan,

dibuat oleh pihak Bank Indonesia untuk dapat dipergunakan guna

kepentingan pihak bank atau lembaga keuangan dalam memberikan

kredit kepada seorang Debitor oleh karenanya pun penggunaannya

termasuk untuk dijadikan sebagai bukti di hadapan persidangan juga

tidak melanggar ketentuan ketentuan perbankan ataupun ketentuan

hukum positif manapun yang berlaku baik dalam peraturan Bank

Indonesia maupun ketentuan perbankan.

Secara garis besar BI Checking dapat diartikan sebagai proses

permintaan informasi tentang profil seseorang yang terkait dengan

data yang diolah Sistem Informasi Debitor yang dikelola Bank

Indonesia. Dalam kaitannya dengan pengajuan kredit, maka BI

Checking itu sendiri bertujuan untuk mengetahui sejauh mana profil

calon debitor yang terkait dengan pinjamannya di bank lain, untuk

menjadi salah satu pertimbangan pengambilan keputusan. Alur proses

pengajuan kredit dan pelaporan dibawah ini akan menjelaskannya.

a. Ketika seorang calon debitor mengajukan pinjaman ke Bank atau

Anggota SID lainnya. Pinjaman dalam bentuk apapun, hal pertama

yang dilakukan oleh pihak Bank adalah mengecek profil calon

debitor tersebut ke Bank Indonesia (secara on line). Hal itulah yang

lazim disebut dengan BI Checking.

website resmi Bank Indonesia http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/se_104708,

diakses 25 Desember 2013.

131

b. Dari hasil BI Checking tersebut akan ada beberapa kemungkinan,

yaitu:

1) Calon nasabah tidak mempunyai pinjaman, yang barang

tentu mencakup seluruh anggota SID. Kalau hasilnya seperti

ini, berarti tidak ada masalah (Clear) dengan BI

Checking. Berarti proses lainnya yang menyangkut aspek

financial, aspek legal, aspek collateral bisa diteruskan.

2) Calon nasabah mempunyai pinjaman, akan tetapi kondisinya

atau kolektibilitasnya lancar. Hasil seperti ini biasanya juga

tidak ada masalah. Proses lainnya bisa diteruskan.

3) Calon nasabah mempunyai pinjaman namun kolektibilitasnya

termasuk kategori dalam perhatian khusus (Golongan II). Hasil

seperti ini biasanya tergantung kebijaksanaan pihak

bank. Ada beberapa bank yang masih bisa memberikan

toleransi, namun tak sedikit pula yang langsung menolaknya.

Demi menjalankan prinsip kehati-hatian.

4) Calon nasabah mempunyai pinjaman namun kolektibilitasnya

termasuk kategori Golongan III ke atas. Hasil seperti ini

biasanya akan langsung ditolak.

c. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, seseorang ditolak

pengajuannya bukan hanya karena pinjaman yang

kollektibilitasnya macet (Golongan V). Sebaliknya, mulai dari

Dalam perhatian khusus (Golongan II) juga sangat memungkinkan

132

pengajuan kredit ditolak. Oleh karena itulah banyak yang salah

persepsi, khususnya calon debitor yang pengajuannya ditolak

padahal merasa tidak mempunyai kredit macet. Jawabnya adalah

mungkin memang belum sampai golongan V (macet) namun sudah

masuk golongan Non Performing Loan (NPL) yang dalam hal

mulai dari golongan II ke atas. Sistem Informasi Debitor yang

dikelola oleh Bank Indonesia, output dari Sistem Informasi Debitor

hanya menyangkut informasi indentitas debitor dan kondisi

fasilitas kredit/pembiayaan yang diterima meliputi plafond, baki

debet, jangka waktu pembiayaan, dan kondisi (histories)

pembayaran selama 24 (dua puluh empat) bulan terakhir sejak

posisi data dalam BI Checking tersebut di up date (oleh pelapor

yang dalam hal ini bank kreditor). Itupun per individu, bukan

dalam bentuk List (Daftar). Oleh karena itulah sering juga disebut

Informasi Debitor Individual (IDI).

5. Analisis kredit. Hasil analisis kredit dibuat dengan nota usulan kredit

yang kemudian dilaporkan ke Komite Kredit. Adapun tugas dari

komite kredit, yaitu:86

a. Meneliti dan menilai permohonan kredit baru yang berjumlah

besar.

b. Meneliti dan menilai permohonan perpanjangan kredit dan alasan-

alasan atas permintaan tersebut.

86

Irham Fahmi, Manajemen Perkreditan, Cetakan Kesatu (Bandung: Penerbit Alfabeta,

2014), hlm 89.

133

c. Meneliti dan menilai semua kredit yang mengalami kemacetan

untul mengetahui dan menentukkan sebab-sebabnya.

d. Meneliti apakah semua pemberian kredit tersebut telah sesuai

dengan kebijakan perkreditan bank yang bersangutan.

e. Memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen kredit.

f. Memeriksa konsistensi perlakuan terhadap permohonan.

6. Setelah ke komite kredit, jika disetujui data diserahkan ke administrasi

kredit.

Dalam hal ini bank membuat perjanjian kredit untuk calon nasabah,

disertai syarat-syarat tertentu diantaranya:

1. Maksimum kredit;

2. Keperluan kredit;

3. Jenis kredit;

4. Bentuk atau sifat kredit;

5. Jangka waktu kredit;

6. Biaya Provisi;

7. Biaya administrasi;

8. Denda;

9. Asuransi;

10. Jaminan kredit;

11. Sifat Penarikan Kredit.

7. Dilakukan realisasi pinjaman dengan prosedur pengikatan

diantaranya:

134

a. Biaya-biaya yang dikenakan

1) Biaya provisi dan biaya administrasi dengan ketentuan sebagai

berikut:87

a) Jangka waktu pinjaman 3 bulan, biaya provisi (dari plafond

kredit) 0,5% (setengah persen), biaya administrasi (dari

plafond kredit) 0,5% (setengah persen);

b) Jangka waktu pinjaman 6 bulan, biaya provisi (dari plafond

kredit) 0,75% (tujuh puluh lima persen), biaya administrasi

(dari plafond kredit) 0,75% (tujuh puluh lima persen);

c) Jangka waktu pinjaman 12 bulan/lebih, biaya provisi (dari

plafond kredit) 1% (satu persen), biaya administrasi (dari

plafond kredit) 1% (satu persen).

2) Biaya asuransi jiwa (sesuai table asuransi yang berlaku);

3) Biaya materai sesuai ketentuan yang berlaku;

4) Biaya notaris sesuai ketentuan yang berlaku;

5) Biaya pengikatan tabungan sebesar 3% (tiga persen dari plafond

kredit).

b. Pengisian data CIF (Customer Information File) nasabah.

Usia pengajuan kredit minimal 21 (dua puluh satu) tahun atau

sudah menikah dan batas usia maksimal 65 (enam puluh lima)

tahun, namun di atas usia 55 (lima puluh lima) tahun tidak

diikutsertakan asuransi jiwa. Dalam hal ini berarti jika nasabah

87 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 8 Mei

2015.

135

pengajuan kredit berusia di atas usia 55 (lima puluh lima) tahun

maka perjanjian kredit tersebut tidak dikenakan biaya asuransi jiwa

yang artinya apabila nasabah kredit meninggal duni sebelum kredit

berakhir atau lunas, maka ahli waris nasabah kredit tersebut

berkewajiban untuk membayar sisa angsuran kredit.

Bank melakukan berbagai macam usaha dalam pengadaan dana

masyarakat. Bank juga mempunyai usaha pokok yaitu memberikan kredit

dan memberikan jasa-jasa dalam lalu-lintas pembayaran dan peredaran

uang kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup

masyarakat. Pemberian kredit telah menjadi kegiatan yang biasa

dilakukan oleh setiap bank di Indonesia. Pemberian kredit tersebut

merupakan suatu usaha konvensional dari setiap bank dan telah

berkembang sejak bank dikenal dalam kehidupan masyarakat. Sering kali

dikemukakan pula bahwa pemberian kredit merupakan kegiatan utama

bank dalam menyalurkan dananya ke masyarakat dan hal itu merupakan

salah satu sumber pendapatan yang mempengaruhi keuntungan bank.

Bank harus mempunyai persyaratan dan pertimbangan dalam

menyalurkan setiap kreditnya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal

8 Undang-Undang Perbankan:

“Bank harus mempunyai keyakinan berdasarkan analisis terhadap debitor

bahwa ia akan mengembalikan kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.”

BPR Redjo Bhawono menetapkan batas maksimal dalam

pemberian kredit. Batas maksimal yang ditetapkan BPR Redjo Bhawono

136

ini sebelum diakuisisi adalah Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)

dan ketika sudah diakuisisi batas maksimal yang ditetapkan BPR Redjo

Bhawono ini adalah Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). Apabila

salah satu prinsip 5 C tidak dapat dipenuhi oleh calon debitor maka BPR

Redjo Bhawono memiliki kebijakan untuk tetap memberikan pinjaman

kepada debitor tersebut hanya saja nilai nominal yang akan diberikan

tersebut akan dikurangi. Jika nasabah sudah mempunyai satu kredit di

BPR Redjo Bhawono kemudian akan mengajukan lagi, BPR Redjo

Bhawono mempunyai kebijakan sendiri. Misalnya dengan mengurangi

bunga atau jumlah pengajuannya. Namun kebijakan BPR Redjo

Bhawono setelah diakuisisi yang terbaru saat ini adalah nasabah hanya

boleh mengajukan kredit dengan satu rekening dan jangka waktu

peminjaman maksimal 4 (empat) tahun. Kebijakan lain yang terbaru

adalah semua kredit di BPR Redjo Bhawono ini dikenakan bunga 1,1%

(satu koma satu persen) setiap bulan, jika bentuk pembayarannya berupa

angsuran. Jika bentuk pembayarannya berupa sebrakan bunga yang

dikenakan adalah 2,25% (dua koma dua puluh lima persen) setiap bulan.

Pengenaan bunga tersebut berlaku untuk semua jenis kredit yang

membedakan adalah bentuk pembayarannya.

Langkah-langkah yang dilakukan BPR Redjo Bhawono dalam

penyaluran kreditnya mulai dari pengisian aplikasi kredit sampai pada

realisasi kredit hampir sama dengan langkah bank pada umumnya.

Sebagaimana dijelaskan bahwa BPR Redjo Bhawono telah melakukan

137

pemberian kredit modal kerja sesuai dengan prosedur di BPR itu sendiri.

Jika dilihat dari langkah-langkah BPR Redjo Bhawono dalam

memberikan kredit, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Seperti, mengenai penilaian kelayakan kredit. Bank harus menganalisis

calon nasabah dengan menggunakan 5C dan 7P. Segala aspek yang ada

pada penilaian kelayakan kredit harus diterapkan, seperti aspek hukum,

aspek pemasaran, aspek keuangan, aspek tekhnis, aspek manajemen,

aspek ekonomi sosial, aspek AMDAL. Bank dalam hal ini sering

mengabaikan aspek keuangan, dimana BPR kurang kontrol mengenai

perkembangan usaha nasabah, sehingga BPR kurang behati-hati.

Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber dari BPR Redjo

Bhawono sebagai contoh dari pelaksanaan pemberian kredit modal kerja,

diantaranya:88

1. Tn. A seorang pengusaha tembakau mengajukan Kredit Modal Kerja

sebesar Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dalam

jangka waktu 84 (delapan puluh empat) bulan dengan bunga sebesar

1,7 % (satu koma tujuh persen) flat setiap bulan dengan agunan

berupa sertifikat hak milik nomor 1531 dengan luas 612 m2 yang

teletak di Wonosari, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah.

88 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 21 April

2014.

138

Dalam perjalanannya kredit ini mengalami masalah yaitu

angsuran yang tidak sesuai dengan perjanjian kredit yang telah

ditandatangani. Oleh karena itu, BPR Redjo Bhawono memberikan

kebijakannya untuk diberikan kredit kembali agar nasabah mampu

melunasi hutang-hutangnya. Kemudian BPR Redjo Bhawono

memberikan kredit kedua sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta

rupiah) dengan jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan dengan

agunan yang sama. Namun untuk kredit yang kedua, bank

memberikan bunga sebesar 1,5% (satu koma lima) persen tiap bulan.

Setelah berjalannya waktu ternyata kredit kedua juga mengalami

macet. Jadi kredit pertama dan kedua sama-sama bermasalah. Tn. A

melakukan wanprestasi terhadap perjanjian kredit yang telah

ditandatangani.

Sebelum bank menyetujui pengajuan kredit calon nasabah

tersebut, bank harus mengikuti beberapa langkah. Langkah pertama

adalah mengenai pengisian aplikasi kredit dan menyerahkan

persyaratan yang dibutuhkan BPR. Jika semua berkas sudah masuk ke

bagian kredit, maka yang dilakukan adalah penyelidikan atau

pemeriksaan berkas-berkas. Dari proses ini bank dapat sekaligus

mewawancari calon nasabah dan kemudian menganalisis calon

nasabah apakah layak diberikan kredit atau tidak dengan

menggunakan prinsip 5 C.

139

Character atau watak dari calon nasabah di awal adalah

berkarakter baik. Hal ini telihat dari usaha yang dijalankan calon

nasabah. Dalam hal ini bank meyakini benar calon debitornya

memiliki reputasi baik artinya selalu menepati janji dan tidak terlibat

hal-hal yang berkaitan dengan kriminalitas misalnya penjudi,

pemabuk atau penipu. Hal yang berkaitan dengan Capital, Capacity,

dan Condition of economic BPR telah melakukan survey untuk

memperoleh keyakinan menyetujui kredit yang diajukan ini. BPR

mengangggap calon nasabah mampu mengembalikan pinjamannya

karena modal awal calon nasabah sudah ada, kemampuan calon

nasabah untuk mengembalikan pinjamnya bisa melalui keuntungan

dari usaha yang dijalankan, serta kondisi ekonomi yang baik pada saat

itu. Terlepas dari nasabah kemudian mengalami macet di tengah

jalan, dan kemudian bank memberikan kredit tambahan guna

menyuntikkan dana untuk usaha nasabah, itu merupakan kebijakan

bank. Dimana kebijakan masing-masing bank berbeda.

Dalam hal berkaitan dengan prinsip kehati-hatian, prinsip

profitability terabaikan. Maksudnya adalah untuk menganalisa

bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba. BPR Redjo

Bhawono memberikan kelonggaran karena bank tidak melihat

pembukuan keuangan usaha Tn. A secara detail. Oleh karena itu

petugas bank tidak cermat dalam hal deteksi dini terhadap kredit

nasabah Tn. A. Sedangkan jika dilihat dari isi dari perjanjian kredit,

140

BPR Redjo Bhawono tidak memperhatikan tentang prinsip collateral

dan purpose.

Pengikatan jaminan pada perjanjian kredit ini tidak

dijelaskan secara rinci, hanya sekedar deskrispsi agunan saja tanpa

ditulis secara detail mengenai spesifikasi terhadap pengikatan

agunannya. Secara yuridis, pemberian kredit bank tanpa agunan

tidaklah mungkin terjadi. Kalaupun dalam pemberian kredit bank

tanpa disertai agunan khusus, bukan berarti pemberian kredit bank

tersebut tanpa agunan sama sekali. Apabila pemberian kredit oleh

bank tanpa disertai agunan khusus, maka bila nasabah debitur

wanprestasi, maka bank yang bersangkutan masih bisa berharap

bahwa pelunasan utangnya tersebut dapat diambil dari jaminan umum

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1131 dan 1132

KUHPerdata.

Berkaitan dengan purpose yaitu tujuan dari kredit yang

diajukan, BPR Redjo Bhawono ini tidak menjelaskan secara rinci

dalam perjanjian kredit Tn. A. Jadi, jika melihat perjanjian kredit

antara Bank Perkreditan Rakyat Redjo Bhawono dengan Tn. A, tidak

terlihat peruntukan kegunaan kredit atau untuk apa kredit ini akan

diajukan. Hal ini membuat perjanjian kredit menjadi lemah. Ada

beberapa klausula yang harusnya tercantum pada perjanjian kredit ini

namun tidak ada.

141

2. Tn. B seorang pengusaha kontraktor berskala menengah mengajukan

permohonan kredit modal kerja sebesar Rp 250.000.000,00 (dua

ratus lima puluh juta rupiah) untuk membiayai proyek pengerjaan

pemasangan pavingblock halaman kantor Kecamatan. Dengan

agunan Sertifikat Hak Milik atas tanah dan bangunan sebuah rumah

tinggal yang saat ini menjadi tempat tinggal keluarga Tn. B.

Setelah dilakukan survey oleh pimpinan BPR Redjo

Bhawono, memperoleh keputusan bahwa BPR Redjo Bhawono

hanya dapat mencairkan permohonan kredit Tn. B senilai Rp

150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dikarenakan syarat

mengenai capital dan collateral tidak terpenuhi. Kredit ini disetujui

dengan jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Hal yang terjadi setelah

itu adalah pada bulan ke 7 (tujuh) terjadi wanprestasi yang berupa

keterlambatan pembayaran angsuran.

Pihak bank mulai melakukan berbagai macam cara untuk

melakukan penagihan. Sebagaimana prosedur yang ada mengenai

penanganan kredit bermasalah, bank memberikan Surat Peringatan

Pertama, Surat Peringatan Kedua dan Surat Peringatan Ketiga.

Namun tidak ada iktikad baik dari nasabah untuk membayar

kreditnya. Upaya yang dilakukan bank tidak membuahkan hasil

hingga pada akhirnya pihak bank menyampaikan somasi kepada

pihak debitor. Perjanjian kredit ini berakhir dengan tindakan

eksekusi agunan debitor.

142

Berkaitan dengan character tentu saja bank tidak bisa

mendeteksi dari awal apakah calon nasabah yang akan diberikan

kredit ini bercharacter baik. Karena character nasabah yang

sesungguhnya dapat terlihat ketika suatu kredit sudah berjalan.

Bagaimana nasabah membayar tepat waktu angsuran yang menjadi

tanggung jawabnya. Selain character dari debitor, prinsip 5 C yang

lainnya adalah capacity. Capacity berkaitan dengan kemampuan

calon debitor dalam mengelola usahanya. Hal ini dapat dilihat dari

pengalaman usaha yang sudah dijalankannya dengan melakukan

penghitungan aset. Prinsip yang lainnya yaitu capital. Capital

merupakan modal awal calon debitor dalam mengajukan kreditnya.

Maksudnya adalah capital dapat dilihat dari kondisi kekayaan yang

dimiliki suatu perusahaan. Capital dapat dilihat dari neraca laba rugi

minimal 3 (tiga) bulan berturut-turut. Prinsip lainnya, yaitu

collateral. Collateral berhubungan dengan jaminan atau agunan

yang dipakai.

Tim survey dari BPR Redjo Bhawono selalu melakukan

survey, pengecekan, serta menganalisa agunan calon nasabah yang

akan dijadikan jaminan atas kreditnya. Hal ini terlihat dari nota

usulan kredit dimana pada nota tersebut terdapat butir yang

menjelaskan detail berkaitan dengan jaminan. Adanya agunan

(jaminan) sebagai jalan keluar kedua (second wayout) sangat

diperlukan bila suatu saat usaha debitor mengalami kegagalan

143

sehingga debitor mengalami kesulitan dalam melakukan

pembayaran. Apabila hal tersebut terjadi, maka dimungkinkan masih

ada sumber pembayaran kedua yaitu dengan penjualan agunan

(jaminan) tersebut.

Jaminan yang diterima bank dapat berupa hak atas tanah,

simpanan (deposito), piutang dagang, mesin pabrik, bahan baku,

barang dagangan dan lain sebagainya. Jaminan berupa hak atas tanah

dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kreditor,

karena dapat memberikan keamanan bagi bank dari segi hukumnya

maupun dari segi ekonomisnya yang pada umumnya meningkat

terus.89

Jaminan yang dikehendaki bank adalah jaminan bahwa

bank mempunyai hak istimewa. Kalaupun terjadi wanprestasi maka

piutang bank dapat dilunasi dari hasil penjualan barang yang

dijaminkan. Sekalipun benda yang dijaminkan sudah dijual,

dihibahkan, atau dengan cara lain lagi, bukan lagi menjadi hak milik

yang dijaminkan maka bank tetap berhak menjual barang jaminan itu

dan mengambil hasil penjualannya untuk pelunasan piutang. Oleh

karena itu jika nasabah suatu saat tidak mampu melunasi hutang

kreditnya maka jaminan tersebut dapat menutupi kekurangannya.

3. Tn. C adalah seorang pengusaha properti yang mengajukan kredit

sejumlah Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dalam jangka

89

Mariam Darus Badrulzaman, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan

Perbankan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm 51.

144

waktu 6 (enam) bulan. BPR Redjo Bhawono memberikan bunga 2%

(dua persen) setiap bulan dengan agunan berupa tanah. Berdasarkan

prinsip 5 C yang terdiri dari character, capital, capacity, condition of

economic, dan collateral nasabah ini sudah memenuhi penilaian

kelayakan sebagaimana langkah-langkah dalam pemberian kredit.

Dari hasil analisa BPR Redjo Bhawono dalam hal ini sudah

memenuhi ke lima prinsip kehati-hatian sehingga permohonan

kredit yang diajukan oleh Tn. C dapat disetujui sampai dengan

batas waktu pelunasan kredit tidak ditemukan kendala. Kredit yang

diberikan dapat dilunasi sesuai dengan perjanjian kredit yang sudah

ditandatangani.

Proses analisis kredit dilakukan dengan menggunakan prinsip

5C, kemudian akan dilaksanakan analisis kuantitatif dan analisis

kualitatif. Analisis kuantitatif merupakan analisis yang berhubungan erat

dengan laporan keuangan. Sedangkan analisis kualitatif berhubungan

dengan analisis nonfinansial, berhubungan dengan data numerk, angka-

angka. Seperti pada analisis terhadap pemegang saham, pengurus,

manajemen, riwayat usaha,

Pengajuan kredit selalu diatur dalam suatu perjanjian karena

undang-undang mengharuskan perjanjian kredit dibuat secara tertulis.

Dalam suatu perjanjian kredit diatur mengenai besarnya hutang, besarnya

bunga, besarnya angsuran, tanggal jatuh tempo pembayaran. Selain

mengatur mengenai hal itu, seyogyanya dalam perjanjian kredit juga

145

terdapat klausula-klausula yang mengatur mengenai hak dan kewajiban

dari masing-masing pihak. Hak dan kewajiban debitor diantaranya:

1. Hak untuk menerima sejumlah kredit yang telah disetujui;

2. Hak untuk mencairkan kredit yang didapat dari bank;

3. Hak meminta kembali benda jaminan dari bank jika hutang tersebut

sudah lunas;

4. Kewajiban debitor untuk mempergunakan kredit sesuai dengan

tujuan;

5. Debitor wajib membayar bunga atas pokok kredit sebesar yang

telah ditentukan per tahun, yang dibayar setiap bulannya;

6. Debitor wajib membayar provisi dan biaya administrasi sesuai

dengan jumlah yang telah ditentukan;

7. Debitor berkewajiban mengembalikan pinjaman kredit pada waktu

yang telah ditentukan sejak ditandatanganinya perjanjian kredit;

8. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, debitor tidak

dapat melakukan pembayaran angsuran kredit maka debitor wajib

membayar denda;

9. Apabila terjadi pembatalan perjanjian kredit oleh bank maka

debitor berkewajiban melunasi seluruh kredit yang telah ditarik

berikut bunga, denda dan biaya-biaya yang berkaitan dengan kredit.

Hak dan kewajiban kreditor atau bank diantaranya:

1. Pihak bank secara sepihak berhak menegur dan mengakhiri jangka

waktu perjanjian kredit, apabila:

146

a. Debitor tidak atau belum menggunakan kredit setelah lewat 3

(tiga) bulan sejak berlakunya perjanjian;

b. Tidak tepat waktu membayar angsuran kredit sebagaimana

yang telah diperjanjikan;

c. Debitor melakukan penyimpangan penggunaan dari tujuan

pemberian kredit atau melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam perjanjian kredit;

d. Nasabah meninggal dunia, pailit atau timbul perselisihan

diantara pengurus perusahaan dan sengketa dalam pemilikan

perusahaan.

2. Bank berkewajiban memberikan jumlah pinjaman sesuai dengan

yang disepakati bersama.

Hak-hak dan kewajiban kreditor sudah dipenuhi oleh BPR Redjo

Bhawono namun untuk debitor masih saja ada yang diabaikan misalnya

berkaitan dengan kewajiban mengembalikan pinjaman kredit tepat waktu

sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit bank.

Berdasarkan penelitian di lapangan, sebagaimana disebutkan dalam contoh

kasus di atas, BPR Redjo Bhawono tidak sepenuhnya melakukan prinsip 5

C dan prinsip mengenai 7 P. Ada beberapa nasabah yang dalam

perjalanannya mengalami kendala, karena sebab-sebab tertentu. Meskipun

demikian BPR Redjo Bhawono tetap memberikan kemudahan atau

kelonggaran kepada debitor di dalam mendapatkan dana kredit.

147

BPR Redjo Bhawono dalam memberikan kredit terkait dengan

prinsip kehati-hatian telah berusaha untuk melaksanakan prinsip 5 C.

Namun pada kenyataannya di lapangan tidak sesuai yang diharapkan. Hal

ini dikarenakan adanya faktor-faktor baik internal maupun eksternal yang

menjadi penghambat pelaksanaan prinsip tersebut. Faktor internal

merupakan faktor-faktor yang berasal dari BPR Redjo Bhawono dan dari

debitor itu sendiri sedangkan faktor eksternal ini berasal dari luar BPR

Redjo Bhawono maupun debitor.

Faktor internal yang dapat menghambat terjadinya prinsip kehati-

hatian diantaranya:

1. Penyalahgunaan kredit oleh debitor.

Pemakaian kredit yang menyimpang dari penggunaannya akan

mengakibatkan debitor tidak mengembalikan kredit sebagaimna

mestinya.

2. Debitor kurang mampu mengelola usahanya.

Debitor yang telah menerima fasilitas kredit, apabila dalam

pelaksanaannya tidak profesional dalam menjalankan bisnisnya akan

berpengaruh terhadap perkembangan usaha terutama berkaitan dengan

laba. Hal ini dikarenakan sumber dari pelunasan kredit modal kerja

adalah dari hasil usahanya tersebut. Jika usahanya tidak berjalan

dengan baik maka bisa diprediksi kreditnya akan bermasalah.

148

3. Iktikad yang tidak baik dari debitor.

Dari sekian banyak debitor dengan bermacam-macam karakter tentu

saja ada debitor yang tidak beriktikad baik. Misalnya dengan sengaja

menggunakan kredit tidak sebagaimana mestinya.

4. Kualitas pejabat bank

Pejabat bank dalam hal ini tentu harus bertindak profesional.

Keprofesionalisme pejabat bank sangat diperlukan khususnya di

bidang kredit karena berpengaruh terhadap perkembangan perkreditan

bank itu sendiri. Kualitas dapat mempengaruhi keputusan penyaluran

kredit yang tidak sebagaimana mestinya.

5. Persaingan antar bank

Jumlah bank yang semakin banyak mengakibatkan bank bertindak

spekulatif dengan cara memberikan fasilitas yang mudah kepada

nasabah tetapi di lain pihak langkah yang diambil bank telah

mengabaikan prinsp-prinsip perbankan yang sehat. Pencapaian target

kredit tiap bulannya juga dapat menjadi pemacu adanya kelonggaran

dalam penyaluran kredit. Marketing dituntut untuk mendapatkan

kredit sekian banyak. Setiap bank bersaing untuk mendapatkan

keuntungan sebanyak-banyaknya sehingga prinsip kehati-hatian

terabaikan. Apalagi keuntungan terbesar suatu bank adalah dari

penyaluran kreditnya.

6. Hubungan internal bank

149

Kredit macet dapat terjadi karena bank terlalu memperhatikan

hubungan ke dalam bank, penyaluran kredit tidak merata dan lebih

cenderung diberikan kepada pengurus dan pengawas serta pegawai

bank. Bank lebih mengutamakan hubungan dengan perusahaan-

perusahaan yang masih dalam kelompoknya juga dapat menjadi salah

satu penyebab terjadinya kredit macet.

7. Pengawasan bank

Lemahnya pengawasan terhadap bank dapat menjadi salah satu faktor

teradinya kredit macet. Adanya belasan bank yang dilikuidasi menjadi

alasan perlu adanya lembaga independen yang mampu mengawasi

bank sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yang berbunyi:

“Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan

sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-

undang.”

Kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sudah diberlakukan sejak

1 Januari 2013 yang menggantikan lembaga di bawah naungan

langsung Kementerian Keuangan yaitu Bapepam-LK. Hal ini

menunjukkan bahwa secara tidak langsung telah terjadi lemahnya

pengawasan Bank Indonesia terhadap bank.

Dalam suatu seminar nasional yang berkaitan dengan prinsip

kehati-hatian, faktor eksternal berupa prinsip constraint. Prinsip constraint

adalah batasan dan hambatan yang tidak memungkinkan suatu bisnis

150

untuk dilaksanakan pada tempat tertentu.90

Prinsip ini yang tidak

memungkinkan BPR Redjo Bhawono di dalam memberikan kredit kepada

debitor karena prinsip ini lebih banyak dilaksanakan di Bank Umum atau

konvensional. Hal ini dikarenakan jika dilaksanakan di BPR Redjo

Bhawono maka akan membatasi ruang gerak penyaluran pemberian kredit

kepada nasabah.

Dalam memberikan kredit suatu bank diharapkan memperhatikan

prinsip kehati-hatian. Prinsip ini diperlukan guna mengurangi adanya

kredit macet. Sebagaimana contoh kasus yang terjadi di BPR Redjo

Bhawono. Dimana BPR Redjo Bhawono kurang berhati-hati dalam

memberikan kredit modal kerja sehingga kredit tersebut mengalami

kemacetan. Bahkan ada yang hingga 2 (dua) kredit sekaligus.

Prinsip kehati-hatian bank dalam memberikan kredit yang paling

awal dapat dilakukan adalah penyeleksian. Penyeleksian ini berkaitan

dengan kemampuan dan karakter dari calon debitor karena pada prinsipnya

dalam memberikan kredit harus ada unsur kepercayaan yang dimiliki

kreditor terhadap debitor. Kepercayaan tersebut dapat berupa kemampuan

yang dimiliki debitor berkaitan dengan pengembalian sejumlah uang yang

telah dipinjam di bank. Hal ini dapat mencegah atau meminimalisir

kesalahan dalam memberikan kredit. Baik kesalahan penggunaan uang

kreditnya atau kesalahan dalam memberikan uang kepada orang yang

90

Henny Sri Astuti, “Prinsip 6 C (Charakter, Capacity,Condition Of Economy, Collateral

and Constraint) Dalam Wirausaha Mahasiswa”, Prosiding Seminar Nasional, 9 Mei 2015, hlm.

828.

151

salah. Dalam menjalankan prinsip kehati-hatian tentu saja tidak mudah.

Melihat dari kondisi lapangan yang berbeda-beda tentu kendalanya pun

berbeda-beda. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kelonggaran

terhadap prinsip kehati-hatian diantaranya:

1. Kelalaian dari pejabat bank

Bahwa keprofesionalisme di sini sangat diperlukan untuk mencegah

adanya kredit-kredit yang bermasalah.

2. Kurangnya pengawasan penggunaan kredit dari bank

Setelah debitor menerima uang dari kreditnya, bank tidak melakukan

pengawasan terhadap uang yang telah diterimanya. Debitor bisa

melakukan penyalahguanaan dana kredit tersebut dengan tidak

menggunakannya sesuai dengan yang diajukan. Hal ini dapat

menyebabkan debitor kesulitan dalam mengembalikan kredit tersebut.

Pengawasan terhadap usaha yang dijalankan debitor juga bisa menjadi

salah satu yang mempengaruhi. Suatu usaha tidak selalu mendapatkan

keuntungan yang sama. Oleh karena itu pengawasan terhadap ini juga

perlu dilakukan. Apakah usaha yang dijalankan tetap berjalan dengan

baik, apakah laba yang diperoleh dari usaha tersebut mengalami

peningkatan juga menjadi point penting dalam pengawasan bank.

152

B. Tambahan Kredit Kepada Debitor Bermasalah Sesuai Dengan

Prinsip Kehati-Hatian

Sektor perbankan memiliki peran sangat vital antara lain sebagai

pengatur urat nadi perekonomian nasional. Kelancaran aliran uang sangat

diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Dengan demikian kondisi

sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari

kebijakan sektor perbankan. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-

Undang Perbankan bahwa asas dari hukum perbankan di Indonesia adalah

berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-

hatian. Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian (prudential principle)

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perbankan tidak

terdapat suatu penjelasan terperinci. Tetapi dapat ditafsirkan bahwa prinsip

kehati-hatian (prudential principle) berkaitan dengan kesehatan (safety

and soundness) dalam pengelolaan dan operasional perbankan.

Berdasarkan pada penelitian lapangan (field research) yang telah

dilakukan penulis maka dapat diperoleh fakta bahwa nasabah dalam hal ini

penulis menyebutnya Tn. A mengajukan kredit pertama pada tanggal 28

Juli 2009 sejumlah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)

dalam jangka waktu 84 (delapan puluh empat) bulan dengan bunga sebesar

1,7% (satu koma tujuh) persen flat setiap bulan. Dari bulan Agustus 2009

sampai bulan November 2009 angsuran Tn. A berjalan dengan baik namun

untuk bulan-bulan selanjutnya angsuran Tn. A mulai berjalan tidak baik.

Dari itu kemudian bank memberikan tambahan kredit kepada Tn. A

153

dengan harapan kredit tersebut dapat membantu Tn. A dalam melunasi

hutang-hutangnya. Kemudian Tn. A mengajukan kredit kedua pada 26

Maret 2010 sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dalam

jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan. Pengajuan kredit kedua ini

dilakukan bank karena untuk menyelamatkan kredit pertama yang

mengalami masalah dalam mengangsur sehingga bank memberikan

“suntikan dana.”

Dalam perjalanannya kredit kedua Tn. A ternyata juga mengalami

masalah. Mulai bulan Desember 2010 sampai seterusnya Tn. A tidak lagi

menjalankan kewajibannya untuk mengangsur kreditnya. Antara bulan

Desember 2012 sampai bulan Januari 2013 BPR Redjo Bhawono sudah

berusaha menagih dan menemui Tn.A namun hasilnya tidak baik. BPR

Redjo Bhawono kemudian membuat surat pernyataan tertulis bahwa

nasabah atas nama Tn. A benar-benar debitor yang telah wanprestasi

dengan kolektibilitas macet sejak tanggal 9 Juli 2010. Setelah surat

pernyataan tersebut dikeluarkan maka BPR Redjo Bhawono mengambil

langkah selanjutnya yaitu membuat surat pengantar sekaligus surat

peringatan kepada Tn. A dimana dalam surat pengantarnya diketahui 3

(tiga) orang. Tanda tangan yang menyerahkan, yang menerima dan yang

mengetahui/menyetujui.

Surat Peringatan I (Kesatu) dikeluarkan BPR Redjo Bhawono pada

tanggal 19 Desember 2012, Surat Peringatan II (Kedua) pada tanggal 28

Desember 2012 dan Surat Peringatan III (Ketiga) pada tanggal 11 Januari

154

2013. Surat peringatan tersebut merupakan Surat Peringatan Segera Lelang

dimana Surat Peringatan Lelang tersebut berisi tunggakan angsuran berupa

pokok, bunga,dan dendanya, baik untuk kredit pertama maupun kedua.

Namun Tn. A tidak mengindahkan surat-surat peringatan tersebut.

BPR Redjo Bhawono sudah berulang kali menghubungi atau

memperingatkan baik secara lisan maupun tertulis namun Tn. A dan

keluarga tidak memberikan tanggapan yang positif dan tidak ada

penyelesaian pembayaran fasilitas kreditnya. Hingga pada akhirnya BPR

Redjo Bhawono membuat surat pernyataan kembali pada 15 Maret 2013

yang menyatakan bahwa: “Sehubungan dengan permohonan Lelang yang

kami ajukan pada kantor lelang, yang kami ajukan pada kantor lelang,

berdasarkan perjanjian kredit No. 573/PKRB/VII/09 tertanggal 28 Juli

2009 dan Perjanjian Kredit No. 241/PKRB/III/10, atas nama Tn. A,

tertanggal 26 Maret 2010, dengan objek jaminan sebidang tanah dengan

Sertifikat Hak Tanggungan No. 2456/2009 (Peringkat Pertama), sertifikat

Hak Tangungan No. 01498 (Peringkat Kedua) atas SHM No. 1531/Desa

Wonosari, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, seluas 612 m2, atas nama Tn. A,

maka dengan ini kami menyatakan bertanggung jawab sepenuhnya apabila

muncul gugatan dari Tn. A dan istri, maupun, pihak ketiga”.

Tindakan dan perbuatan Tn. A mengakibatkan terhentinya

pembayaran sisa pinjaman. Kewajiban yang harus dibayarkan Tn. A pada

kredit pertama adalah sejumlah Rp 239.050.700,00 (dua ratus tiga puluh

sembilan juta lima puluh ribu tujuh ratus rupiah) dan kewajiban yang

155

harus dibayarkan untuk kredit kedua adalah sejumah Rp 155.909.500,00

(seratus lima puluh lima juta sembilan ratus sembilan ribu lima ratus

rupiah) yang masing-masing terdiri dari tunggakan pokok, tunggakan

bunga, tunggakan denda, biaya-biaya yang terdiri dari biaya pendaftaran,

biaya lelang, biaya iklan dan biaya lain-lain .

Tunggakan pembayaran itu telah menimbulkan kerugian bagi pihak

BPR Redjo Bhawono Yogyakarta. Untuk menjamin tunggakan tersebut

maka tanah milik Tn. A yaitu sebidang tanah Sertifikat Hak Milik No.

1532 dengan Surat Ukur No. 00610/2006 tertanggal 13/03/2006 seluas 612

m2 (enam ratus dua belas meter persegi) terletak di Wonosari, Trucuk,

Klaten, Jawa Tengah akan dilelang.

Bank BPR Redjo Bhawono yang berkedudukan di Yogyakarta

dengan perantaraan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan lelang

(KPKNL) Surakarta akan melaksanakan penjualan di muka umum/lelang

eksekusi beradasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tangungan terhadap barang jaminan debitor. Dalam

pengumuman pertama lelang eksekusi hak tanggungan itu maka harga

limitnya R 470.000.000,00 (empat ratus tujuh puluh juta rupiah). Dari

penjelasan tersebut dapat dijabarkan bahwa pada BPR Redjo Bhawono ada

beberapa tahap dalam penyelesaian kredit bermasalah, diantaranya:91

91 Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada tanggal 8 Mei

2015.

156

1. Surat Peringatan I, II, dan III.

Jarak surat peringatan pertama sampai seterusnya adalah sekitar 1

(satu) minggu. Jika pada 1 (satu) minggu setelah surat peringatan I

(kesatu) tidak ada respon/tanggapan dari nasabah maka BPR Redjo

Bhawono akan memberikan surat peringatan selanjutnya. Begitu

seterusnya hingga surat peringatan ke III (ketiga).

2. Surat pemanggilan ke kantor

Nasabah yang tidak merespon surat peringatan dari bank maka akan

dipanggil untuk menghadap bank untuk menjelaskan mengenai

kreditnya.

3. Diselesaikan melalui Pengadilan Negeri

Kredit yang diberikan bank tidak semua dapat berjalan dengan lancar.

Meskipun sebelum memutuskan untuk memberikan kredit telah

dilakukan analisa finansial maupun analisa yuridis yang sangat teliti,

namun banyak faktor-faktor yang tidak diduga sebelumnya dapat

menyebabkan kredit macet. Oleh karena itu timbullah masalah

eksekusi jaminan kredit, bantahan maupun perlawanan dari pihak-

pihak, adanya beberapa jenis penyitaan yang timbul akibat adanya

eksekusi tersebut.

Penyelesaian kredit bermasalah memang dapat dilakukan dengan

memberikan tambahan kredit. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa

restrukturisasi kredit dapat dilakukan dengan rescheduling (penjadwalan

157

kembali), reconditioning (persyaratan kembali), restructuring (penataan

kembali) untuk menyesaikan kasus-kasus kredit bermasalah. Tentu saja

tidak semua kredit bermasalah dapat diberi tambahan kredit. Namun

dilihat dari kasus ini, menurut penulis, bank tidak melakukan

rescheduling, reconditioning, ataupun restructuring.

Pertama, jika bank menerapkan rescheduling, tentu saja kredit

pertama dari Tn. A akan dijadwalkan kembali. Tidak ada yang namanya

kredit kedua. Jika Tn. A merasa keberatan dalam membayar angsuran tiap

bulannya BPR Redjo Bhawono dapat memperpanjang jangka waktu

pembayarannya sehingga angsuran per bulannya lebih ringan.

Penyelesaian kredit pertama bukan dengan menambah plafond kredit.

Kedua, jika BPR Redjo Bhawono dalam hal ini menerapkan

reconditioning maka pada kredit pertama akan dibuat dengan perubahan

jadwal angsuran, jangka waktu dan pemberian potongan. Pemotongan bisa

dilakukan terhadap besarnya bunga. Bahkan dalam bukunya Kasmir

dikatakan salah satu bentuk dari reconditioning adalah pembebasan bunga.

Dalam pembebasan suku bunga diberikan kepada nasabah dengan

pertimbangan nasabah sudah tidak akan mampu lagi membayar kredit

tersebut. Namun nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk membayar

pokok pinjamannya sampai lunas. Dalam hal ini BPR Redjo Bhawono

sudah memberikan bunga yang lebih ringan namun untuk kredit kedua

bukan yang pertama. Padahal jika dilihat dari track record Tn. A dalam

membayar angsuran sudah jelas bahwa kredit ini mengalami macet tetapi

158

bank justru memberikan tambahan kredit dengan dalih sebagai „suntikan

dana.” Seharusnya suku bunga yang ringan itu diberikan pada kredit

pertama. Sisa tunggakan pokok yang ada sejumlah berapa kemudian

diberikan bunga yang lebih ringan dan dengan jangka waktu

menyesuaikan sehingga tidak mengangsur 2 (dua) kredit apalagi

jumlahnya besar.

Ketiga, Restructuring dapat dilakukan dengan menggabungkan

restructuring dengan reconditioning atau rescheduling dengan

restructuring. Restructuring dilakukan jika benar-benar nasabah sudah

tidak mampu membayar lagi. Jika bank menerapkan ini maka kredit yang

pertama dapat diberikan penurunan suku bunga, pengurangan tunggakan

bunga atau bisa disebut diskon, jangka waktunya juga diperpanjang

sehingga dalam hal ini ada pembaharuan utang, bukan penambahan utang.

Kredit yang pertama diperbarui dengan ketentuan-ketentuan sebagamana

mestinya. Memang ada pembaharuan utang namun bukan untuk

menambah kredit baru sehingga ada 2 (dua) kredit. Kredit pertama

berjalan, kredit keduapun berjalan. Sebagaimana dijelaskan bahwa

seharusnya tunggakan dari kredit pertama dihitung kemudian di

restructuring dengan ketentuan-ketentuannya sehingga meringankan

nasabah. Namun fakta di lapangan berbicara bahwa kredit ini berjumlah 2

(dua) kredit yang masing-masing plafondnya berbeda, bunganya berbeda,

jangka waktunya pun juga berbeda. Informasi yang penulis peroleh

tambahan kredit itu dilakukan karena kebijakan yang dirapatkan di

159

komite. Kembali ke niat awal bahwa bank memberikan “suntikan dana”

untuk membantu usaha nasabah agar mampu melunasi utangnya.

Penulis beranggapan bahwa ketika perjanjian kredit yang pertama

mengalami kemacetan seharusnya bank tidak memberikan kredit lagi

terhadap nasabah ini. Meskipun bank bermaksud untuk memberikan

“suntikan dana” agar usaha nasabah dapat tetap berjalan dan dengan begitu

angsuran dapat terbayarkan. Namun pada kenyataannya 2 (dua) kredit

tersebut sama-sama macet. Jika memang bank ingin memberikan kredit

tambahan maka seharusnya bank mempertimbangkan agar kredit yang

pertama diselesaikan terlebih dahulu. Misalnya dengan mengajukan kredit

kedua namun dengan syarat pemotongan pelunasan untuk kredit yang

pertama sehingga kredit dari nasabah yang sama hanya ada 1 (satu kredit).

Dengan begitu diharapkan nasabah tidak semakin memberatkan. Jika

kedua kredit itu diberlakukan dan sama-sama diberikan bunga tentu

nasabah semakin berat karena angsuran per bulannya semakin besar

bukannya meringankan. Meskipun antara kredit yang satu dan yang

lainnya menggunakan bunga yang berbeda tetap saja jumlah angsuran per

bulan semakin besar.

Setiap proses pemberian kredit senantiasa dilakukan analisa

terlebih dahulu terhadap calon debitor untuk menentukan apakah debitor

yang bersangkutan layak untuk memperoleh fasilitas kredit atau tidak

sehingga nantinya kredit yang diberikan tersebut benar-benar akan

kembali. Analisis kredit adalah suatu langkah (tahapan) pemberian kredit

160

yang harus diatur dalam pedoman perkreditan masing-masing bank.92

Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pemberian fasilitas kredit

meliputi:93

a. Prinsip kepercayaan

Sesuai dengan asal kata kredit yang berarti kepercayaan maka

setiap pemberian kredit mestilah selalu dibarengi oleh kepercayaan

yaitu kepercayaan dari kreditor akan bermanfaatnya kredit bagi debitor

sekaligus kepercayaan oleh kreditor bahwa debitor dapat membayar

kembali kreditnya.

b. Prinsip kehati-hatian

Prinsip kehati-hatian (prudent) adalah salah satu konkretisasi

dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Oleh karena itu

dalam penyaluran kredit, keharusan adanya jaminan utang dalam setiap

pemberian kredit merupakan wujud kehati-hatian yang bertujuan agar

kredit yang diluncurkan tersebut dibayar kembali oleh pihak debitor.

c. Prinsip 5C atau The Five of Credit, yaitu character (karakter), capital

(modal), capacity (kemampuan), collateral (jaminan), condition of

economic (kondisi ekonomi).

Karakter sangat menyangkut sifat debitur yang harus mempunyai

iktikad baik dan komitmen tinggi untuk mengembalikan seluruh kewajiban

sesuai dengan perjanjian yang telah ditandatangani bersama antara pihak

92

Budi Untung, Analisis Kredit Perbankan... op., cit., hlm 1. 93

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002),

hlm 19.

161

debitor dan kreditor. Beberapa sifat calon debitor yang akan menentukan

karakter, seperti usia, pendidikan, status, kesehatan, pengendalian emosi,

pergaulan, lingkungan, relasi, sosialisasi, hobi atau kegemaran baik/buruk,

kebiasaan baik/buruk, tanggung jawab terhadap kewajiban kepada semua

pihak yang berhubungan. Karakter merupakan salah satu faktor utama

dalam pemberian kredit. Dari karakter ini, bank dapat memperoleh

gambaran calon debitornya yang memiliki kemauan untuk membayar

kewajiban-kewajibannya. Selain itu, modal (capital) juga turut

menentukan besarnya persentase yang dibiayai oleh perusahaan atas

pembiayaan terhadap satu pekerjaan atau proyek.

Berbicara mengenai jaminan (collateral), penilaian jaminan

dilakukan untuk melihat sejauh mana tingkat kemudahan diperjualbelikan

objek jaminan. Semakin mudah aset tersebut diperjualbelikan, tingkat

resiko bank semakin berkurang dan besarnya nilai jaminan juga mampu

mengcover seluruh pinjaman. Jaminan hanya berfungsi sebagai solusi

terakhir ketika debitor bermasalah dan tidak dapat mengembalikan

kewajiban pinjaman. Analisis terhadap kondisi ekonomi (condition of

economic) juga mempengaruhi jalannya suatu bisnis. Pengaruhnya dapat

dilihat dari bisnis debitor yang sedang berjalan untuk masa sekarang dan

mendatang.

Berkaitan dengan capacity, analisis kemampuan manajemen juga

perlu diperhatikan. Analisis ini digunakan untuk melihat pengelolaan suatu

usaha agar mendapatkan laba yang maksimal dan dapat membayar seluruh

162

kewajiban di masa sekarang dan mendatang. Hal ini berkaitan pula dengan

kemampuan daya saing calon debitor dalam kompetisi bisnis yang sangat

ketat. Tentu ini berkaitan dengan pengalaman usaha, manajemen yang

mapan, pengaturan keuangan yang baik, dan lain-lain. Sehingga ketika

bank memberikan suntikan dana, nasabah dapat mengelolanya dengan

baik.

Dalam hal ini BPR Redjo Bhawono memberikan tambahan kredit

dengan kredit pertama terus berjalan. Jadi, ada 2 (dua) macam kredit

dengan nasabah yang sama. Tindakan bank dalam memberikan tambahan

kredit kepada debitor bermasalah dalam kasus ini kurang tepat. Bank tidak

memperhatikan kemampuan nasabah dalam mengembalikan pinjamannya,

sehingga per bulan nasabah harus membayar angsuran dengan jumlah

yang cukup besar, sedangkan profit yang diperoleh tidak mampu

mencukupi angsurannya. Pada akhirnya kredit ini mengalami macet. Bank

dalam hal ini mengabaikan salah satu prinsip yang berkaitan dengan

capacity, yaitu kemampuan nasabah untuk membayar kredit yang diajukan

dengan melihat prospek usahanya.94

Kemampuan calon debitor dapat

dilihat dengan melakukan analisis usahanya dari waktu ke waktu.95

Capacity adalah menyangkut dengan business record atau kemampuan

seorang pebisnis mengelola usahanya, terutama pada masa-masa sulit

sehingga nanti akan terlihat ability to pay atau kemampuan membayar.96

94

Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah...op.cit., hlm 12. 95 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan ...op. cit., hlm 272. 96

Irham Fahmi, Manajemen Perkreditan..., op.cit., hlm 16.

163

Capacity dalam hal ini merupakan suatu penilaian kepada calon

debitor mengenai kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya dari

kegiatan usaha yang dilakukannya yang akan dibiayai dengan kredit bank.

Penilaian terhadap capacity ini untuk menilai sejauh mana hasil usaha

yang akan diperolehnya tersebut akan mampu untuk melunasinya tepat

pada waktunya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Bank harus

meneliti tentang keahlian calon debitor dalam bidang usahanya dan

kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan

dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon

debitornnya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau

mengembalikan pinjamannya. Jika kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak

layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika trend

bisnisnya atau kinerja bisnisnya menurun, maka kredit juga semestinya

tidak diberikan. Dalam hal ini bank melihat sumber pendapatan dari calon

debitor dikaitkan dengan kebutuhan hidup sehari-hari.

Pada dasarnya pemberian kredit oleh kreditor kepada debitor

dilakukan karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan

pinjaman tersebut pada waktunya. Dengan demikian faktor pertama yang

menjadi pertimbangan bagi kreditor adalah kemauan baik dari debitor

untuk mengembalikan utangnya itu. Tanpa ada kepercayaan (trust) dari

kreditor kepada debitor maka kreditor tidak akan memberikan kredit atau

pinjaman. Karena itulah mengapa pinjaman dari seorang kreditor kepada

164

seorang debitor disebut kredit yang berasal dari kata credere yang berarti

kepercayaan atau trust.97

Dasar pemikiran persetujuan pemberian kredit kepada seorang

nasabah atau badan usaha berlandaskan kepercayaan. Bila dikaitkan

dengan kegiatan usaha, kredit berarti suatu kegiatan memberikan nilai

ekonomis (economic value) kepada seseorang atau badan usaha

berlandaskan kepercayaan saat itu, bahwa nilai ekonomi yang sama akan

dikembalikan kepada kreditor setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan

kesepakatan yang sudah disetujui antara kreditor dan debitor.98

Prinsip kehati-hatian harus diperhatikan bank agar kredit tidak

mengalami macet. Kredit macet dapat dihindari jika bank memperhatikan

beberapa point, seperti pertama, dalam penyaluran kreditnya, bank harus

mengikuti standar prosedur penyaluran kredit yang telah disepakati.

Kedua, bank melakukan penilaian kredit secara profesional. Ketiga, bank

tidak melanggar kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BPR

Redjo Bhawono tetap harus mengikuti kebijakan yang dikeluarkan Bank

Indonesia berkaitan dengan kredit.

Dalam proses kredit, terdapat 2 (dua) pendekatan dalam

menganalis calon debitor, yaitu analisis kualitatif (non finansial) dan

97

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissements Verordening Juncto

UU Nomor 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm 6. 98

Moh. Tjoekam, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial, Konsep, Teknik & Kasus, (Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Umum, 1999), hlm 1.

165

kuantitatif (histori).99

Analisis kualitatif terdiri dari evaluasi industri,

manajemen, dan strategi. Selain itu evaluasi terhadap Ekonomi Makro

dan Lingkungan. Sedangkan analisis kuantitatif terdiri dari analisis

berdasarkan laporan keuangan dan analisis aluran kas (cash flow).

Selain analisis kuantitatif dan analisis kualitatif ada pula satu kunci

dalam penentuan persetujuan kredit, yaitu referensi kebijakan bank

masing-masing. Referensilah yang turut menentukan keputusan kredit

dan turut memberikan warna masing-masing bank tersebut. Sebagian

kebijakan setiap bank berbeda-beda, walaupun pada umumnya sama.

Jadi, selain unsur 5 C dan 7P di atas, dalam kenyataannya Referensi

Kebijakan Bank turut menentukan suatu keputusan kredit sehingga ada

calon debitor yang pengajuan kreditnya oleh bank satu, tetapi ditolak

oleh bank lainnya. Pada dasarnya setiap bank mempunyai cara

menganalisis kredit yang sama, tetapi kebijakan kredit antara kredit satu

bank dengan bank lainnya berbeda. Termasuk kebijakan-kebijakan yang

diberikan BPR Redjo Bhawono dalam memberikan tambahan kredit

terhadap kredit bermasalah.

99 Maryanto Supriyono, Buku Pintar Perbankan dilengkapi dengan studi kasus dan kamus

istilah perbankan, Edisi Pertama (Yogyakarta: Andi Offset, 2011), hlm 164.

166

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pada BPR Redjo Bhawono pelaksanaan prinsip kehati-hatian

dalam pemberian kredit belum dilakukan secara maksimal.

Terbukti dari adanya kredit macet yang seharusnya dapat dihindari.

Dalam hal ini, ada prinsip profitability yang terabaikan.

Maksudnya adalah untuk menganalisis bagaimana kemampuan

nasabah dalam mencari laba. Profitability diukur dari periode ke

periode apakah akan tetap sama atau akan semakin meningkat.

BPR Redjo Bhawono memberikan kelonggaran karena BPR Redjo

Bhawono tidak melihat pembukuan keuangan usaha nasabah secara

detail. Padahal sumber utama dari nasabah yang mengajukan kredit

modal kerja adalah dari perkembangan usahanya. Hal ini berkaitan

dengan analisis kuantitatif terhadap debitor. Kontrol yang kurang

dari BPR Redjo Bhawono menyebabkan terabaikannya prinsip

kehati-hatian.

2. Tindakan bank dalam memberikan tambahan kredit kepada debitor

bermasalah dalam kasus ini kurang tepat. Bank dalam hal ini

mengabaikan prinsip capacity, yaitu kemampuan nasabah dalam

membayar kreditnya, sehingga terjadi kredit macet. Ketika

167

perjanjian kredit yang pertama mengalami macet seharusnya bank

tidak memberikan kredit lagi terhadap nasabah ini. Meskipun bank

bermaksud untuk memberikan “suntikan dana”, namun pada

kenyataannya 2 (dua) kredit tersebut sama-sama macet. Nasabah

tidak mampu untuk mengembalikan pinjamannya sesuai dengan

perjanjian yang telah disepakati. Jika memang bank ingin

memberikan kredit tambahan, maka seharusnya bank

mempertimbangkan track record dari kredit pertama. Dalam hal ini

bank mengabaikan prinsip kehati-hatian, dimana bank tidak cermat

dalam memberikan tambahan kredit terhadap nasabahnya.

Kemampuan nasabah untuk membayar kreditnya perlu dianalisis

dengan cermat, sehingga tidak mengalami macet hingga berturut-

turut.

B. Saran-saran

Melihat dari pembahasan ini, maka penulis beranggapan bahwa

perlu adanya beberapa perbaikan atau tambahan. Oleh karena itu, penulis

memberikan beberapa masukan atau saran agar perbankan di Indonesia

semakin baik, diantaranya adalah:

1. Perlunya unsur pengawas dalam struktur bank, sebagaimana bank

Syariah dimana dalam pelaksanaannya ada pengawasan dari Dewan

Pengawas Syariah (DPS), begitu pula dengan bank-bank konvensional,

terutama bank kecil yang luput dari pantauan publik.

168

2. Kredit macet dapat dihindari jika bank memperhatikan beberapa

patokan, seperti pertama, dalam penyaluran kreditnya, bank harus

mengikuti standar prosedur penyaluran kredit yang telah disepakati.

Kedua, bank melakukan penilaian kredit secara profesional.

Diantaranya bank harus melakukan penilaian terhadap prinip 5 C dan

dengan analisis 7P. Ketiga, bank tidak melanggar kebijakan yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia.

3. Memonitor perkembangan usaha dan keuangan nasabah.

4. Memonitor pemenuhan dengan baik oleh nasabah/debitor terutama

pembayaran bunga dan angsuran dengan tertib dan tepat waktu sesuai

dengan uang diperjanjikan.

5. Perbaikan isi perjanjian kredit, dimana substansinya harus lebih detail

agar posisi bank lebih kuat.

169

DAFTAR PUSTAKA

Arbi, M. Syarif, Lembaga: Perbankan, keuangan, Dan Pembiayaan.

Cetakan Pertama. Yogyakarta: BPFE, 2013.

Arthesa, Ade dan Edia Handiman. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan

Bank. Yogyakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia, 2006.

Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Cetakan Pertama.

Bandung: Penerbit Alumni, 1994.

-------, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan

Perbankan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Basyir, Ahmad Azhar. Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata

Islam). Yogyakarta: UII Press, 2000.

Fahmi, Irham, Analisis Kredit dan Fraud Pendekatan Kualitatif dan

kuantitatif. Cetakan Pertama. Bandung: PT. Alumni, 2008.

-------. Manajemen Perkreditan. Cetakan Kesatu. Bandung: Penerbit

Alfabeta, 2014.

Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern Di Era

Global. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.

-------. Hukum Perkreditan Komtemporer. Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 2002.

Gazali, Djoni S. dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar

Grafika. 2012.

Hadisoeprapto, Hartono. Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum

Jaminan. Yogyakarta: Liberty, 1984.

Harun, Badriyah. Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah Solusi

Hukum (Legal Action) dan Alernatif Penyelesaian Segala Jenis Kredit

Bermasalah. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010.

Ibrahim, Johannes & Lindawaty. Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia

Modern. Cetakan Pertama. Bandung: PT. Refika Aditama, 2004.

J. Satrio. Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2002.

Kasmir. Manajemen Perbankan Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2012 .

170

Kasmir. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Keral, Gorys. Komposisi. Cetakan Kesembilan. Flores Nusa Indah, 1993.

Khairandy, Ridwan. Bahan Kuliah Tentang Hukum Perikatan, 2013.

Kusuma, Mahesa. Hukum Perlindungan Nasabah Bank Upaya Hukum

Melindungi Nasabah Bank Terhadap Tindak Kejahatan ITE Di

Bidang Perbankan. Bandung: Nusa Media,2012.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1986.

Naja, H.R Daeng. Contract Drafting. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

2006.

Prabowo, Bagya Agung. Aspek Hukum Pembiayaan Murabahah pada

Perbankan Syariah. Yogyakarta: UII Press, 2012.

Saleh, Moh. Ma‟ruf. Langkah Antisipatif Yang Harus Dilakukan

Perbankan Dalam Memproses Dan Menyelesaikan Kredit

Bermasalah. Jakarta: Info Bank Info Strategi Uang & Bank, 1997.

Saleh, Moh. Ma‟ruf. Solusi Hukum Dalam Menyelesaikan Kredit

Bermasalah. Jakarta: Info Bank Info Strategi Uang&Bank, 1997.

Santoso, Ruddy Tri. Kredit Usaha Perbankan. Cetakan Kesatu.

Yogyakarta: Andi, 1996.

Sembiring, Sentosa. Hukum Perbankan. Cetakan Kedua. Bandung: CV.

Mandar Maju, 2008.

Simatupang, Richard Burton. Aspek Hukum Bisnis ( Edisi Revisi ).

Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.

Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan, Memahami Faillissements

Verordening Juncto UU Nomor 4 Tahun 1998. Jakarta: PT. Pustaka

Utama Grafiti, 2002.

-------. Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta:

Institut Bankir Indonesia, 1993.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-

Pokok Hukum Jaminan Dan Hukum Perorangan. Cetakan Pertama.

Yogyakarta: Liberty Offset, 1980.

Subagyo. Bank dan Lembaga Keuangan Lainya. Cetakan Kedua.

Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, 2005.

171

Subekti. Hukum perjanjian. Cetakan Kesebelas. Jakarta: PT. Intermasa,

1987.

Sudaryat. Hukum Bisnis – Suatu Pengantar. Cetakan Kesatu. Bandung:

Jendela Mas Pustaka, 2008.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D.

Bandung: Alfabeta, 2008.

Suhardi, Gunarto. Usaha Meningkatkan Kinerja& Kepatutan Perbankan

di Indonesia. Edisi Kesatu .Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2004.

Sumarni, Murti dan John Soeprihanto.Pengantar Bisnis ( Dasar-Dasar

Ekonomi Perusahaan ). Cetakan Keempat. Yogyakarta: Liberty

Yogyakarta, 2003.

Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan

Yuridis. Cetakan Kedua. Jakarta: Djambatan, 1996.

Supriyono, Maryanto. Buku Pintar Perbankan dilengkapi dengan studi

kasus dan kamus istilah perbankan. Edisi Pertama.Yogyakarta: Andi

Offset, 2011.

Sutarno. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank. Jakarta: Alfabeta,

2003.

Sutojo, Siswanto. Mengenai Kredit Bermasalah. Jakarta: Damar Mulia

Pustaka, 2008.

Syafe‟i, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.

Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah.Hukum Dagang Indonesia. Cetakan

Kesatu. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012.

R. Tjiptoadinugroho. Perbankan Masalah Perkreditan. Cetakan Keempat.

Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.

Tiong, Oeng Hoey, Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Ghalia Indonesia,

1984.

Tjoekam, Moh.. Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial, Konsep, Teknik

& Kasus. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1999.

Untung, Budi. Analisis kredit Perbankan Tinjauan secara legal.

Yogyakarta: Andi Offset, 2011.

Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.

172

Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada

tanggal 21 April 2014.

Wawancara dengan salah satu karyawan BPR Redjo Bhawono pada

tanggal 8 Mei 2015.

Widjanarto. Sekali Lagi: Soal Kehati-Hatian. Jakarta: ( Jakarta: Info Bank

Info Strategi Uang&Bank, 1997.

Wiraatmadji, Rasjim. Solusi Hukum Dalam Menyelesaikan Kredit

Bermasalah. Jakarta: Info Bank Info Strategis Uang & Bank, 1997.

Jurnal, Majalah, dan Makalah

Adni, Dhafina. Tinjauan Hukum Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam

Praktek Akuisi PT. Bank Rakyat Indonesia Terhadap PT. Bank

Argoniaga. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2011.

Astuti, Henny Sri. “Prinsip 6 C (Charakter, Capacity,Condition Of

Economy, Collateral Dan Constraint) Dalam Wirausaha Mahasiswa”.

Prosiding Seminar Nasional, 9 Mei 2015.

Ayang, Rahmad Perwira. Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam

Perjanjian Kredit Untuk Mencegah Terjadinya Kredit Bermasalah

Pada Bank Pembangunan Daerah Jambi. Yogyakarta: Universitas

Islam Indonesia.

.

Huda, Luk Luk Rafiqul Huda. Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam

Pemberian Kredit Pada Bank Pembangunan Daerah Cabang

Pembantu Godean. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada, 2010.

Reza, Mohammad. Peranan Bank Indonesia Dalam Mengatur Dan

Mengawasi Pelaksanan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Program

Kredit Usaha Rakyat (KUR).Tesis. Yogyakarta: Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada, 2011.

Solikha, Noorzana Muji. Asas Iktikad Baik Sebagai Pembatas Kebebasan

Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank. Tesis. Yogyakarta:

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 2015.

173

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Bank Indonesia (1), Surat Keputusan (SK ) Direktur Bank

Indonesia No. 27/162/KEP/DIR

tanggal 31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan

Perkreditan Bank.

Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 serta

perubahannya untuk Bank Umum, dan dalam Peraturan Bank

Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 untuk Bank Perkreditan Rakyat.

Indonesia. Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998. Jakarta:

Sinar Grafika, 2002.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Jakarta: Sinar Grafika,

2002.

Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/14/PBI/2007 tentang

Informasi Debitur.

Data Elektronik

http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/se_104708, diakses 25

Desember 2013.

http://www.cozyann1974.wordpress.com, Akses 11 Mei 2015.

http://www.komisihukum.go.id, diakses tanggal 12 Februari 2008.

http://topihukum.blogspot.com/2013/08/aspek-hukum-jaminan-hak-

tanggungan.html,

Akses 27 Mei 2014.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33702/3/Chapter%20II.pd

f, akses 17 Desember 2014.

http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article

&id=220&Itemid=220., Akses 20 April 2014.

http://www.cozyann1974.wordpress.com, diakses tanggal 11 Mei 2015.

174


Recommended