+ All Categories
Home > Documents > PERILAKU BUDAYA NATING (GADAI) PADA MASYARAKAT KOTA PAGARALAM (ANALISIS DALAM PERSPEKTIF EKONOMI...

PERILAKU BUDAYA NATING (GADAI) PADA MASYARAKAT KOTA PAGARALAM (ANALISIS DALAM PERSPEKTIF EKONOMI...

Date post: 01-Apr-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
93
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Manusia akan memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginannya terpenuhi, baik dalam aspek material dan spiritual. Dalam jangka pendek maupun dalan jangka panjang, terpenuhinya kebutuhan yang bersifat material yang berupa sandang, rumah dan kekayaan lainnya, dewasa ini lebih banyak mendapatkan perhatian dalam ilmu ekonomi. 89 Terpenuhinya kebutuhan material inilah yang disebut dengan sejahtera. 90 Setiap manusia bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya, namun dalam mempersepsikan kesejahteraan manusia memiliki pengertian yang berbeda-beda. Dalam berbagai literatur ilmu ekonomi konvensional dapat disimpulkan bahwa tujuan manusia untuk memenuhi kebutuhannya atas barang dan jasa adalah untuk mencapai kesejahteraan (well-being). Manusia menginginkan kebahagian dan kesejahteraan dalam hidupnya namun seringkali hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi. 89 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atas kerjasama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, PT Raja Grafindo Persada, 2013, hal 1 90 Sejahtera diterjemahkan dari kata prosperous yang berarti maju dan sukses. Menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah aman sentosa dan makmur, selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran.),
Transcript

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Manusia akan

memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginannya terpenuhi,

baik dalam aspek material dan spiritual. Dalam jangka pendek maupun dalan

jangka panjang, terpenuhinya kebutuhan yang bersifat material yang berupa

sandang, rumah dan kekayaan lainnya, dewasa ini lebih banyak mendapatkan

perhatian dalam ilmu ekonomi.89 Terpenuhinya kebutuhan material inilah yang

disebut dengan sejahtera.90

Setiap manusia bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya,

namun dalam mempersepsikan kesejahteraan manusia memiliki pengertian yang

berbeda-beda. Dalam berbagai literatur ilmu ekonomi konvensional dapat

disimpulkan bahwa tujuan manusia untuk memenuhi kebutuhannya atas barang

dan jasa adalah untuk mencapai kesejahteraan (well-being). Manusia

menginginkan kebahagian dan kesejahteraan dalam hidupnya namun seringkali

hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi.

89 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta atas kerjasama dengan Bank Indonesia, ‘Ekonomi Islam’, PT Raja Grafindo Persada,

2013, hal 1 90 Sejahtera diterjemahkan dari kata prosperous yang berarti maju dan sukses.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah aman sentosa dan makmur, selamat (terlepas dari

segala macam gangguan, kesukaran.),

2

Dalam memahami perilaku ekonomi masyarakat untuk menggapai

kesejahteraan atau pun kebutuhan mereka, mengindikasikan hubungan yang

terpisahkan antara sistem ekonomi dan konteks sosial serta perilaku budaya

dimana masyarakat itu berada, pada dasarnya semua kegiatan maupun tindakan

memiliki aspek ekonomi, sosial dan budaya, dimana bentuk-bentuk sosial tertentu

harus ada sebelum pertumbuhan ekonomi tertentu. Struktur ekonomi sebagai salah

satu konsep yang integral mencakup : kepemilikan harta benda, upah buruh,

sistem pasar, keadaan atau gejala eksploitasi tenaga kerja dan sebagainya.

Lalu bagaimana sistem ekonomi Islam mengambil peran dan menjawab

permasalahan yang timbul di masyarakat, nampaknya peran ekonomi Islam dalam

konteks kekinian dan kemodernan dewasa ini sangat diperlukan dan tidak dapat

dihindarkan lagi. Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang

seiring dengan perkembangan zaman membuat hukum Islam harus menampakkan

sifat elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik serta

memberikan kemaslahatan bagi umatnya.91

Islam mendefinisikan agama bukan hanya berkaitan dengan spiritual atau

ritualitas, namun agama merupakan serangkaian keyakinan, ketentuan dan

peraturan serta tuntutan moral bagi setiap aspek kehidupan manusia, dan Islam

juga memandang agama sebagai suatu jalan hidup yang melekat pada setiap

aktivitas kehidupan, baik ketika manusia melakukan hubungan interaksi ritual

91 Muhammad Sholikul Hadi, ‘Pegadaian Syariah’, Jakarta, Salemba Diniyah, 2003,

hal 2.

3

dengan Tuhannya maupun ketika manusia berinteraksi dengan manusia dan alam

semesta.92

Islam memandang aktivitas ekonomi secara positif. Semakin banyak

manusia terlibat dalam aktivitas ekonomi maka semakin baik, sepanjang tujuan

dari prosesnya sesuai dengan ajaran Islam. Ketakwaan kepada Tuhan tidak

berimplikasi pada penurunan produktivitas ekonomi, sebaliknya justru membawa

orang semakin produktif. Kekayaan dapat mendekatkan kepada tuhan selama

diperoleh dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.93

Pandangan Islam terhadap permasalahan ekonomi termasuk permasalahan

antar sesama manusia atau lebih kita kenal dengan istilah muamallah merupakan

aspek bagaimana Islam memandang tujuan hidup manusia, memahami

permasalahan hidup dan ekonomi dan bagaimana Islam memecahkan masalah

ekonomi tersebut.

Muamalah merupakan tata cara atau peraturan dalam perhubungan sesama

manusia untuk memenuhi keperluan masing-masing yang berlandaskan syariat

Allah swt yang melibatkan bidang ekonomi dan sosial Islam. Muamalah adalah

semua hukum syariat yang bersangkutan dengan urusan dunia, dengan

memandang kepada aktivitas hidup seseorang seperti jual-beli, tukar-menukar,

pinjam-meminjam dan sebagainya. Muamalah yang dimaksudkan ialah dalam

92 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam

Indonesia Yogyakarta atas kerjasama dengan Bank Indonesia, ‘Ekonomi Islam’, PT Raja Grafindo

Persada, 2013, hal 14. 93 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam

Indonesia Yogyakarta atas kerjasama dengan Bank Indonesia, ‘Ekonomi Islam’, PT Raja Grafindo

Persada, 2013, hal 14.

4

bidang ekonomi yang menjadi tumpuan semua orang untuk memperoleh

kesenangan hidup di dunia dan kebahagian di akhirat. 94

Masalah muamalah selalu dan tetap berkembang tetapi perlu diperhatikan

agar tidak menimbulkan kesulitan hidup pada pihak tertentu yang disebabkan oleh

adanya tekanan atau tipuan dari pihak lain. Islam adalah agama yang memberi

pedoman hidup kepada manusia secara menyeluruh, meliputi segala aspek

kehidupan, antara lain aspek aqidah, ibadah, akhlak dan kehidupan bermasyarakat

menuju tercapainya kebahagiaan hidup rohani dan jasmani baik dalam kehidupan

individunya maupun dalam kehidupan masyarakatnya.

Dalam konteks perekonomian di kota Pagaralam, khususnya di beberapa

kecamatan masih di dominasi oleh usaha-usaha mikro dan kecil dan pelaku

utamanya adalah para petani, buruh tani, pedagang, maupun industri rumah

tangga, namun demikian para pelaku ini pada umumnya masih dihadapkan pada

permasalahn klasik yaitu terbatasnya ketersediaan modal sebagai unsur esensial

dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat pedesaan,

maka dalam jangka panjang kelangkaan modal bisa menjadi point utama terjadi

nya siklus rantai kemiskinan yang menyebabkan terjadinya interaksi antara

pemilik modal dan peminjam modal.

94 Munir ‘Praktik Gadai Sawah dan Implikasi Sosial Ekonomi’. Jurnal Ilmiah,

Universitas Brawijaya, Malang, hal 3

5

Hasil survey awal yang dilakukan penulis menunjukan bahwa beberapa

masyarakat desa yang ada di kota Pagaralam sering menggadaikan sawah, kebun,

rumah ataupun ladang mereka kepada kerabatnya sendiri, tengkulak atau pemilik

modal, kebiasaan masyarakat kota Pagaralam khususnya para petani ini dalam

menggadaikan sawah, kebun ataupun rumah meraka dikenal dengan istilah nating

nating sudah berlangsung lama di kota Pagaralam, dimana pelakunya

menatingkan (menggadaikan) sawah,ladang, kebun bahkan rumah mereka untuk

memenuhi kebutuhan hidup mereka baik untuk konsumsi, menutupi biaya hidup

baik sebelum masa panen maupun pada masa transisi, untuk keperluan produksi

dan ada juga yang mentatingkan sawah nya karena faktor-faktor lain.

Karena adanya perilaku yang demikian, maka penulis merasa perlu untuk

mengaitkan budaya perilaku nating dengan ekonomi Islam dan muamalah dengan

tujuan agar praktik nating ini tidak bertentangan dengan hukum Islam dan jauh

dari praktik riba dan sejenis nya, karena pada hakekatnya perilaku budaya yang

selaras dengan ajaran Islam akan menghasilkan suatu produk yang dapat

memberikan kebaikan untuk semua kalangan.

Kehidupan bermasyarakat adalah kehidupan yang sangat kompleks akan

interaksi antar individu dengan individu lainnya, apalagi kehidupan pada

masyarakat pedesaan yang sarat dengan berlakunya perilaku sosial budaya atau

kebiasaan orang sekitar yang ada di dalamnya termasuk tentang tata cara

bermuamalah antar individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan salah satu

bentuk interaksi yang sering dilakukan di kota Pagaralam adalah nating (gadai)

6

Hukum Islam yang sering juga kita sebut syariah, menyajikan nilai-nilai

inti yang di atasnya umat dapat memilih untuk mendasarkan kebijakan ekonomi

dan sosial dengan tujuan berdasarkan dari syariah guna untuk membangun tatanan

sosial dan etika ekonomi karena Islam adalah agama yang menanamkan ajaran

rinci untuk kehidupan ekonomi pengikutnya. Islam membahas nilai sumber daya

alam, menetapkan standar untuk eksploitasi mineral dan menetapkan pedoman

warisan, keuangan, perpajakan dan perbankan. menekankan pentingnya

pendidikan, kesehatan, kerja keras, investasi serta jaring pengaman sosial.95

Agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk hidup saling tolong

menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong

yang kurang mampu, bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan

bisa berupa pinjaman. Dikaitkan dengan budaya nating hukum Islam menjaga

kepentingan kreditur atau penating (yang memberi pinjaman) jangan sampai

dirugikan, oleh sebab itu sebagai jaminan utangnya pihak peminjam harus

memberikan jaminan atau mentatingkan sawah, kebun ataupun rumahnya. Ini

salah satu bentuk perwujudan dari muamalah yang disyariatkan oleh Allah swt

adalah gadai (rahn), Allah swt memerintahkan kepada manusia untuk melakukan

praktik gadai sebagai sarana untuk saling tolong menolong, praktik ini sebagai

upaya untuk menjadikan hubungan sosial antara yang mampu dengan yang kurang

mampu dalam ekonomi menjadi lebih erat.

95 Hossein Askari and Roshanak Tagha ”The Principle Foundation Of An Islamic

Economy” Jurnal Ilmiah, Bangladesh, hal 188

7

Salah satu pemicu praktik nating atau gadai yang terjadi di Pagaralam

adalah karena tuntutan kebutuhan ekonomi, sehingga mayoritas orang yang

melakukan nating adalah dari orang yang ekonominya rendah atau sedang

membutuhkan kebutuhan mendesak (tergolong miskin) sementara yang

menerima gadai rata-rata dari dari kalangan kerabat maupun orang kaya dari

lingkungan sekitar nya. Dalam praktik ini pada awal nya mayarakat saling tolong-

menolong antar sesama, seiring dengan berjalannya waktu terjadi pergeseran nilai

yakni orang kaya mengambil sebuah keuntungan diatas keterdesakan ekonomi si

miskin sehingga orang miskin bisa saja karena terpaksa akan merelakan terhadap

barang jaminannya berupa , kebun ataupun rumah mereka untuk dikelola secara

bersama-sama dengan berbagai macam perjanjian bagi hasil dari kedua belah

pihak.

Tentunya hal ini bukanlah sebuah transaksi yang saling menguntungkan,

padahal praktik nating merupakan transaksi yang tujuan utamanya untuk tolong

menolong, seyogyanya nating yang dijadikan sebagai bentuk transaksi supaya

terjadi tolong menolong dan saling bantu membantu bisa dijadikan sebagai sarana

untuk memperbaiki hubungan sosial mereka terutama hubungan yang kaya

dengan yang miskin, bukanlah dijadikan sebagai transaksi atau akad profit untuk

mencari keuntungan.

8

Oleh karena itu, perlu adanya penelitian yang lebih kongkrit terutama

dalam masalah praktik nating yang terdapat di kota Pagaralam, karena praktik

nating yang terjadi mengindikasikan sebuah praktik yang tidak ideal apalagi

ketika dihubungkan dengan pandangan Islam, Maka penulis akan mengkaji dan

menuangkan penelitian ini dalam bentuk tesis dengan judul : PERILAKU

BUDAYA NATING (GADAI) PADA MASYARAKAT KOTA

PAGARALAM (ANALISIS DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM)

B. RUMUSAN MASALAH

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa masyarakat pedesaan di kota

Pagaralam memiliki kebiasaan nating. nating ini banyak dilakukan masyarakat

pedesaan kota Pagaralam dalam rangka mendapatkan pinjaman untuk memenuhi

kebutuhan biaya hidupnya, untuk itulah penulis ingin mengetahui lebih

mendalam, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yakni:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat kota Pagaralam

melakukan nating?

2. Bagaimana mekanisme perjanjian (akad) dalam pelaksanaan nating di kota

Pagaralam?

3. Bagaimana perspektif Islam menyikapi praktik perilaku budaya nating di kota

Pagaralam?

9

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis perilaku budaya nating di

kota Pagaralam dalam perspektif ekonomi Islam, namun secara khusus penelitian

ini bertujuan untuk :

1. Untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat

kota Pagaralam melakukan nating.

2. Untuk menganalisis bagaimanakah mekanisme akad dalam pelaksanaan nating

di kota Pagaralam

3. Untuk menganalisis bagaimana perspektif Islam dalam menyikapi praktik

budaya nating di kota Pagaralam

D. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai perilaku budaya nating pada masyarakat Kota

Pagaralam ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :

1. Secara teoritis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang positif bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dengan dikembangkannya model perilaku

ekonomi Islam dengan memasukan semua unsur syariah dalam prektek

pelaksanaan nating, guna untuk menjawab keraguan para muslim yang akan

melakukan praktik nating.

10

2. Secara praktis :

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada

pelaku lembaga keuangan syariah maupun non syariah untuk lebih

memahami lagi dan membuka rauang yang lebih besar lagi guna untuk

membantu pendanaan skala mikro masyarakat pedesaan, serta untuk

memberikan masukan bagi pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah

provinsi Sumatera Selatan dan pemerintah kota Pagaralam dalam penyusunan

kebijakan ekonomi berbasis kerakyatan dan tentunya bebasis ekonomi

syariah.

E. Tinjauan Pustaka

Pada masa sekarang ini banyak pemikir yang membahas persoalan

pegadaian. Sehingga tidak heran apabila banyak pemikir yang menuangkan ide

pemikiranya ke dalam buku. Dalam memandang proses penulisan penelitian ini,

penulis membutuhkan literatur-literatur buku yang berkaitan dengan permasalahan

yang dijadikan bahan penelitian sebagaimana tercantum di bawah ini:

Adapun mengenai perilaku ekonomi rumah tangga petani sayur-sayuran,

padi sawah dan kopi dalam kaitan dengan resiko ekonomi di kota Pagaralam dan

Kabupaten Lahat, pernah dilakukan penelitian disertasi yang dilakukan oleh Tien

Yustini, dengan menunjukan pada perilaku nating masyarakat kota Pagaralam dan

Kabupaten Lahat, apakah perilaku ini merupakan peristiwa ekonomi atau

11

peristiwa budaya.96 Dengan mengambil kesimpulan bahwa nating mempengaruhi

perilaku rumah tangga petani padi dan kopi dalam kaitannya dengan risiko

ekonomi dan kegiatan usaha tani, diman dengan melakukan nating menyebabkan

hasil lahan garapan berkurang, meurunkan tingkat produksi dan berdampak pada

menurunnya tingkat pendapatan dan konsumsi petani.

Tesis Mukhlas yang mengambil judul Implementasi Gadai syariah dengan

akad murabahah dan rahn (studi di pegadaian syariah cabang melati sleman

yogyakarta97 menyimpulkan bahwa secara umum pelaksanaan akad dalam proses

gadai di pegadaian syariah sudah sesuai dengan hukum Islam, namun dalam

penekanan nya masih harus lebih memperhatikan transparasi akad serta

kesesuaian antara jenis dan kualitas barang yag di gadaikan dan upaya yang telah

dilakukan oleh pegadaian syariah cabang melati sehingga pelaksanaan

pembiayaan dengan akad murabahah dan rahn tersebut telah sesuai dengan

kaidah-kaidah Hukum Islam mulai dari prosedur pemberian pinjaman dan

pembiayaan, maupun penerapan prinsip kejujuran, keadilan dan prinsip tauhid

dalam ekonomi syari’ah.

96 Tien Yustini “Analisis Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Padi Sawah Dan Kopi

Pelaku Dan Non Pelaku nating Dalam Kaitannya Dengan Risiko Ekonomi Dai Pagaralam Dan

Lahat” Universitas Sriwijaya, Tahun 2011 97 Mukhlas “Implementasi Gadai Syariah Dengan Akad Murabahah Dan Rahn (Studi Di

Pegadaian Syariah Cabang Melati Sleman Yogyakarta)”, Universitas Sebelas Maret, tahun 2010

12

Menurut Ibnu Rusyd, terjemah: Imam Ghazali Said, dan Achmad Zaidun,

dijelaskan berbagai transaksi dalam Islam termasuk mengenai Ar-Rahn

(pegadaian). Dalam buku ini disebutkan bahwa penerima gadai tidak boleh

mengambil manfaat dari barang gadai. Namun apabila barang gadaian berupa

hewan, maka penerima gadai boleh mengambil air susu dan menungganginya

dalam kadar yang seimbang dengan makanan dan biaya yang diberikan

kepadanya.98

Dalam buku Muhammad Sholikul Hadi, yang berjudul Pegadaian Syariah´

dalam buku ini menyajikan informasi tentang bagaimana konsep dan kerja

pegadaian syariah yang dapat dijadikan sebagai suatu alternatif lembaga keuangan

syariah yang dapat diperhatikan di Indonesia atau di Negara manapun. Dalam

buku ini disebutkan bahwa barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, hal ini

di sebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai

amanat bagi penerimanya.99

Dalam buku Nazar Bakry, yang berjudul Problematika Pelaksanaan Fiqih

Islam dalam buku ini diuraikan mengenai bagaimana mahasiswa mudah dalam

mempelajari Fiqih. Dalam salah satu bab di buku ini, juga dijelaskan mengenai

pemanfaatan barang gadai. Pada bab tersebut dijelaskan bahwa yang boleh

mengambil manfaat dari barang jamina gadai adalah orang yang menggadaikan,

98 Ibnu Rusyd, Imam Ghazali Said, dan Achmad zaidun., Bidayatul Mujtahid, Analisis

Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007. hal.203. 99 Muhammad Sholikul Hadi, “Pegadaian Syariah,’ Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,

hal 54

13

bahkan semua manfaat tetap milik si pemberi gadai, walaupun tidak seizin orang

yang menerima gadai.100

Dalam buku Sulaiman Rasjid Fiqih Islam dalam salah satu bab di buku ini

menjelaskan tentang utang piutang dan pemanfaatan barang yang dijadikan

jaminan. Pada bab tersebut dijelaskan bahwa orang yang memberi gadai boleh

mengambil manfaat dari barang jaminan gadai walaupun tidak seizin orang yang

menerima gadai dan kerusakan barang pun atas tanggungannya.101

Dalam buku Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fannani, terjemah:

Moch. Anwar dan tim, yang berjudul Fathul Mu’in dijelaskan mengenai gadai dan

ketentuan barang jaminan. Dalam buku ini disebutkan bahwa penerima gadai

tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadai, kecuali dengan izin si pemberi

gadai.102

Adapun dukungan litertur-litertur tersebut sebagai pangkal tolak menuju

penelitian lapangan yang sempurna. Dalam tesis ini penulis membahas tentang

analisis praktik budaya nating di kota Pagaralam dalam perspektif hukum Islam.

100 Nazar Bakry, “Problematika Pelaksanaan Fiqih Islam”’, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1994. hal.48. 101 Sulaiman Rasjid, ‘Fiqih Islam’, Bandung, Sinar Baru Algensindo, Cetakan Ke-36,

2003. hal 310. 102 Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fannani, terjemah: Moch. Anwar dan tim,

‘Fathul Mu’in’ Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994. hal 841

14

F. KERANGKA TEORI

1. Pendekatan teori perilaku ekonomi

Dalam pendekatan teori perilaku ekonomi yang terjadi dalam ruang lingkup

pedesaan maupun perkotaan Untuk itu kita perlu mengetahui dahulu tentang

perilaku kerja dan perilaku ekonomi

a. Perilaku kerja

Karl Marx yang merupakan salah satu filosof, sosiolog dan ahli ekonomi

terkemuka pada abad-19 menjelaskan bahwa pekerjaan adalah tindakan

manusia yang paling dasar. Dalam pekerjaan manusia membuat dirinya

menjadi nyata. Melalui pekerjaan manusia membuktikan diri sebagai

makhluk sosial, yang harus berhubungan dengan orang lain. Dalam arti

tidak mungkin manusia dapat menghasilkan sendiri apa yang

dibutuhkannya103

Dalam menjalankan kerja manusia melakukan tindakan-tindakan atau

perilaku untuk merealisasikan kerja tersebut. Perilaku pada umumnya

dilaksanakan dengan tingkah laku. Menurut Koentjaraningrat, tingkah laku adalah

suatu perilaku manusia yang prosesnya tidak terencana dalam gennya atau yang

tidak timbul secara naluri saja tetapi sebagai suatu hal yang harus dijadikan milik

dirinya dengan belajar104

103 Suseno dan Sumitro Djojohadikusumo, ‘Perkembangan Pemikiran Ekonomi’, buku

obor, Jakarta, 1999 : hal 89-92. 104 Ibid hal 153

15

Di dalam berperilaku kerja, manusia merealisasikan dirinya sebagai

makhluk sosial yang harus selalu bekerja sama dengan orang lain. Kerja sama

antar manusia itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya.

b. Perilaku Ekonomi

Dalam kehidupan sehari-hari istilah perilaku disamakan dengan tingkah

laku. Menurut Koentjaraningrat yang dimaksud tingkah laku adalah perilaku

manusia yang prosesnya tidak terencana dalam gennya atau yang tidak timbul

secara naluri saja, tetapi sebagai suatu hal yang harus dijadikan milik dirinya

dengan belajar, Yang dimaksud perilaku dalam penelitian ini adalah segala

tingkah laku yang dijalankan oleh masyarakat Pagaralam untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya.

Fenomena-fenomena ekonomi yang ingin diterangkan adalah bagaimana

manusia yang mempunyai kehendak bebas mampu diikat oleh hukum-hukum

ekonomi. Dalam ilmu ekonomi dikenal juga dengan relasi ekonomi yang terdiri

dari agen-agen yang terpisah antara satu sama lain dan berhubungan secara

voluntaristik, yang memiliki informasi yang cukup, rasional (Instrumental

Rasionality), self interested untuk melakukan pertukaran

Adapun yang dimaksud dengan Instrumental Rasionality adalah suatu

tujuan dicapai dengan sarana se efisien mungkin, ini yang disebut Rasional dalam

ekonomi. Fenomena diatas tentunya masih mengacu pada asumsi dasar yaitu

homo economicus dimana dalam homo economicus selalu ada asumsi-asumsi

seperti well informed, Instrumental Rasionality, dan self interested.

16

Sifat rasional yang diperkenalkan oleh pada era ekonom neoklasik105

dimana penekanannya pada asumsi bahwa manusia adalah agen rasional yang

dalam aktivitas ekonomi hanya berorientasi pada memaksimalkan kegunaan atau

kebahagiaan. Sifat rasional ini mempunyai ciri sebagai berikut, pertama,

memperhitungkan untung-rugi. Kedua, mementingkan keuntungan diri sendiri.

Ketiga, memberikan hasil yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang

sekecil-kecilnya. Ada seorang ahli ekonomi yang berasal dari mazhab neo klasik

yang bernama Frank Knight yang tidak setuju dengan pendapat mazhab Klasik

yang menekankan pada konsep homo economicus yang selalu menekankan pada

utility maximizer atau lebih menekankan pada hukum permintaan dan penawaran

(Supply and demand law).

Ada dua pendapat Knight yang patut disimak tentang perilaku manusia,

yaitu:

1. Apa yang dipikirkan dalam transaksi ekonomi umumnya untuk sesuatu

yang lain, dimana sarana yang dipilih untuk mrncapai tujuan yang

diinginkan dan sarana yang dipilih ditentukan oleh value judgement.

2. Ada sesuatu yang diinginkan demi sesuatu itu sendiri. Itu tidak bisa

dikonfigurasikan secara fisik (sebab akibat). Kalau pun ada tentang hal ini

maka itu terkait dengan the univers of meaning.

105 Mazhab neo klasik yang lebih dikenal dengan era marginalisme dan perilaku

konsumen dan banyak dipopulerkan oleh ekonom-ekonom barat sejak tahun 1810-123, dan salah

satu pencetus mazhab neo klasik adalah Herman Heinrich Gossen

17

Knight juga mengungkapkan ada tiga interpretasi tentang perilaku orang

khususnya yang berkaitan dengan tindakan ekonomi, yaitu:

1. Bahwa perilaku ekonomi direduksi oleh prinsip-prinsip regulasitas (dasar-

dasar statistik)

2. Perilaku ekonomi dalam kerangka motivasi, tetapi harus dibedakan antara

motif dan act yang bukan merupakan konsekuensi logis dari motif.

3. Dalam tujuan yang diinginkan dari sesuatu tindakan ekonomi itu

diserahkan pada evaluasi normatif.106

2. Teori budaya (urf) dan muamallah

Pada dasarnya Islam tidak menolak adanya suatu perubahan zaman yang

senantiasa berkembang dan menuntut adanya kemajuan dalam segala aspek baik

hukum, budaya, ekonomi, politik maupun adat istiadat, dengan tidak menyimpang

dalam ajaran dan syariat Islam.

Banyak sekali realitas yang terjadi di masyarakat yang sudah menjadi adat

istiadat dan menjadi kebudayaan (urf) pada masyarakat tertentu, yaitu sesuatu

yang telah dikenal oleh masyarakat dan telah menjadi kebiasaan di kalangan

masyarakat tertentu baik berupa perkataan maupun perbuatan107

106 http://sharingtheory.blogspot.com/2009/06/teori-perilaku-ekonomi.html.

Di akses pada tanggal 31 Maret 2015, pukul 22.45 wib

107 Kamil Muchtar,dkk, ‘Usul Fiqih’, Yogyakarta.PT Dana Bakti Wakaf, 1995, Hal 146

18

Adat kebiasaan mempunyai peranan penting sebagai salah satu dalil untuk

menetapkan hukum syara’, dalam kaedah hukum Islam disebutkan :

العادة محكمة 108

Adat kebiasaan bisa dijadikan hukum, dengan demikian yang berlaku di

tengah-tengah masyarakat bisa menjadi landasan hukum, yaitu adat yang selaras

dengan tujuan syariat Islam.

Para ulama ahli ushul fiqh mengungkapkan suatu hukum yang tidak ada

pada nash dengan beberapa masalah dan kebutuhan yang terjadi di masyarakat

yaitu: daruriyah, hajiyah, dan tahsiniyah. Masalah daruriyah yaitu hal-hal yang

menjadi kebutuhan pokok bagi kelangsungan hidup manusia, sering juga dalam

ilmu ekonomi konvensional disebut kebutuhan primer, hal-hal yang bersifat

daruriyah ada lima macam yaitu: agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.

Masalah hajiyah yaitu sesuatu yang diperlukan manusia agar meringankan

kesulitan dalam kehidupannya sering juga disebut dengan kebutuhan sekunder.

Masalah dan kebutuhan yang ke tiga adalah tahsiniyah yaitu sesuatu untuk

menuju kearah kelengkapan atau sering kita sebut dengan kebutuhan tersier.109

Praktik gadai (rahn) merupakan bagian dari kegiatan muammalah yang

mengandung unsur-unsur sosial yang sangat tinggi serta tidak ada nilai komirsil

didalamnya, hal ini berarti gadai bukan semata-mata untuk memperkaya diri dan

bukan juga untk mengembangkan harta, melainkan untuk saling tolong-menolong

108 Asjmuni A Rahman,Qaidah-Qaidah Fiqh,cet ke-1, Jakarta : Bulan Bintang, 1976,

Hal 35 109 Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Alih Bahasa; Masdar Helmy, ct ke 7,

Bandung, Gema Risalah Press, 1996 hal 357-358

19

dan harus bebas dari unsur-unsur riba dan juga harus didasarkan pada prinsip-

prinsip muamalah yaitu:

1. Pada dasarnya segala bentuk muamallah adalah mubah, kecuali yang

ditentukan oleh Al-Quran dan sunnah Rasul

2. Muamallah dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur-

unsur paksaan.

3. Muamallah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat

dan menghindari mudharat dalam kehidupan masyarakat.

4. Muamallah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan,

menghindari unsur-unsur penganiyayaan, unsur perampasan hak,

pengambilan kesempatan dalam kesempitan.110

3. Konsep yang berkaitan dengan nating (gadai).

Agama Islam juga mengajarkan kepada umatnya supaya hidup tolong-

menolong. Bentuk dari tolong-menolong ini bisa berupa pemberian, pinjaman,

atau utang-piutang. Dalam suatu perjanjian utang-piutang, debitur sebagai pihak

yang berutang meminjam uang atau barang dari kreditur sebagai pihak yang

berpiutang. Agar kreditur memperoleh rasa aman dan terjamin terhadap uang yang

dipinjamkan, kreditur mensyaratkan sebuah agunan atau jaminan. Agunan ini di

antaranya bisa berupa gadai atas barang-barang yang dimiliki oleh debitur.

110 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu’amalah (Hukum Perdata Islam), Edisi

revisi, Jogyakarta, UII Press, 2000, hal 15-16.

20

Debitur sebagai pemberi gadai menyerahkan barang-barang yang digadaikan

tersebut kepada kreditur atau penerima gadai.

Dalam istilah gadai pada masyarakat kota Pagaralam dan kabupaten Lahat

disebut nating, pada masyarakat Empat Lawang disebut ‘sando’, pada masyarakat

jawa sering disebut ‘adol sende’, pada orang Sunda disebut ‘ngajual akad gade’,

pada orang batak disebut ‘dondon atau sindor’, dan pada masyarakat

Minagkabau disebut ‘manggadai’.

Banyak pelaku nating yang berlangsung bertahun-tahun, bahkan sampai

puluhan tahun ini dikarenakan pemilik sawah, kebun maupun rumah belum

mampu melakukan penebusan, jadi dalam proses terjadinya nating terdapat dua

pihak, yakni pihak pertama yang menyerahkan sawah, kebun atau rumah atau

pihak pemberi nating , dan pihak kedua adalah pihak yang menerima barang

nating, pihak penerima inilah yang harus menyerahkan sejumlah uang yang telah

disepakati antar kedua belah pihak untuk dapat digunakan oleh pihak pertama.

Dalam sejarahnya gadai merupakan salah satu katagori dari perjanjian

utang-piutang. Praktik semacam ini telah ada pada zaman Rasulullah saw. Dan

Rasulullah sendiri pernah melakukan. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat

tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar tolong-menolong.111

Dalam pelaksanaannya, si pemegang gadai berhak menguasai benda yang

digadaikan kepadanya selama hutang si berhutang belum lunas, tetapi ia tidak

111 Muhammad Sholikul Hadi, “Pegadaian Syariah,’ Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,

hal 3

21

berhak mempergunakan benda itu. Selanjutnya ia berhak menjual gadai itu, jika si

berhutang tidak bisa membayar hutangnya. Jika hasil penjualan gadai itu lebih

besar dari pada hutang yang harus dibayar, maka kelebihan itu harus di

kembalikan kepada si penggadai.112

Tetapi jika hasil itu tidak mencukupi pembayaran hutang, maka si

pemiutang tetap berhak menagih piutang yang belum dilunasi itu. Penjualan gadai

harus dilakukan di depan umum sebelum penjualan dilakukan biasanya hal itu

harus diberitahukan lebih dahulu kepada si penggadai. Tentang pelunasan hutang,

pemegang gadai selalu didahulukan daripada pemiutang lainya.113

Di dalam hidup ini, terkadang orang mengalami kesulitan. Untuk

menutupi (mengatasi) kesulitan itu terpaksa meminjam uang kepada pihak lain.

Meskipun untuk memperoleh pinjaman itu harus disertai dengan jaminan

(koleteral). 114 Seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 283

yaitu:

112 M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fikih Muamalat)”, Jakarta:

PT. Raja Grafido Persada, 2003, hal 253. 113 Ibid , M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fikih Muamalat)”

hal 254 114 Ibid M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fikih Muamalat)”,,

hal.253.

22

Artinya :Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)

sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah

ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan

tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka

hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)

dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah

kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa

yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang

yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu.

(QS. Al-Baqarah : 283) 115

Menurut Sayyid Quthb bahwa Orang yang berhutang adalah memegang

amanat yang berupa utang dan yang berpiutang memegang amanat berupa barang

jaminan (dari yang berutang). Kedua-keduanya diseru untuk menunaikan amanat

masing-masing atas nama takwa kepada Allah Tuhannya. Tuhan adalah yang

menjaga dan memelihara. Tuhan juga sebagai majikan, penguasa, dan hakim.

Semua makna yang bersifat kejiwaan ini memilki pengaruh bersifat untuk

bermuamalah , memegang amanat dan menunaikannya.

Sebagaian pendapat mengatakan bahwa ayat ini menasakh (menghapus)

ayat yang memerintahkan menulis, dalam keadaan sama-sama dapat dipercaya.

Akan tetapi kami tidak berpendapat demikian karena menulis itu wajib dilakukan

dalam urusan utang piutang kecuali dalam keadaan berpergian. Sedangkan

115 Departemen Agama RI, “Al-Quran dan Terjemahnya’, Surabaya: Mekar Surabaya,

2004, hal 71.

23

memegang amanat itu merupakan masalah khusus dalam kondisi seperti ini.

Orang yang berutang dan berpiutang dalam keadaan ini sama-sama memegang

amanat.

Di bawah bayang-bayang perhatian kepada taqwa ini selesailah

pembicaraan tentang persaksian-pada waktu sedang berperkara, bukan pada waktu

melakukan transaksi karena ini merupakan amanat di pundak saksi dan di dalam

hatinya. 116

G. Metode Penelitian

Kajian penelitian yang diangkat dalam tesis ini digolongkan dalam bentuk

penelitian lapangan atau field research. Dalam hal ini, fenomena kehidupan yang

ada dalam masyarakat menjadi unsur penting dalam kegiatan yang dilakukan

untuk memperoleh data dalam penelitian ini.

Pada penelitian ini penyusun menggunakan pendekatan kualitatif yaitu

suatu cara analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis,

yaitu data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis maupun lisan serta juga

tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.117

Dalam pendekatan ini ditekankan pada kualitas data, sehingga dalam pendekatan

ini penyusun diharuskan dapat memilah dan memilih data atau bahan mana yang

memiliki kualitas dan bahan mana yang tidak relevan dengan materi penelitian.

116 Sayyid Quthb, “Tafsir Fizhilalil Quran Dibawah Naungan Al-Qur’an, Jilid 2”,

ditejemahkan oleh As’ad Yasin, Abdul Azis Salim Basyarahil, Muchotob hamzah, Jakarta, Gema

Insani Press, 2000, Cet 1, Hal. 301 117 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad,” Dualisme Penelitian Hukum Normative Dan

Empiris,” Yogjakarta : Pustaka Pelajar. hal 192

24

Untuk memperoleh kesimpulan dan analisis yang tepat, serta dapat

mencapai hasil yang diharapkan dalam penelitian ini, maka dalam penulisan dan

pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut :

1. Lokasi Penelitian

Dalam hal ini peneliti mengambil lokasi penelitian di beberapa kecamatan

yang ada di kota Pagaralam khususnya di kecamatan Pagaralam Selatan dan

kecamatan Dempo utara, namun tidak menutup kemungkinan di semua kecamatan

yang ada di kota Pagaralam guna untuk memnuhi sumber inofrmasi yang di

butuhkan . Adapun alasan memilih lokasi tersebut adalah :

a. Lokasi tersebut mempunyai akses transportasi yang baik untuk itu

akan mempermudah peneliti dalam menjalankan proses penelitian.

b. Dari hasil pengamatan pada lokasi tersebut mayoritas merupakan

petani sawah dan pekebun yang kebanyakan adalah pelaku nating,

sehingga peneliti akan mudah dalam menentukan/mendapatkan

informan sebagai sumber informasi dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

a. Data primer

Data primer adalah sumber data yang dapat memberikan data penelitian

secara langsung.118 Adapun sumber data primer dalam penelitian ini

adalah warga yang melakukan nating dan tokoh masyarakat Kota

Pagaralam.

118 Joko P. Subagyo, “Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik”, Jakarta: Rineka

Cipta, !997. hal 88.

25

b. Sumber data sekunder

Jenis data sekunder adalah jenis data yang dapat dijadikan sebagai

pendukung data pokok, atau dapat pula didefinisikan sebagai sumber yang

mampu atau dapat memberikan informasi atau data tambahan yang dapat

memperkuat data pokok.119 Adapun sumber data yang mendukung dan

melengkapi sumber data primer adalah berupa buku, jurnal, majalah dan

pustaka lain yang berkaitan dengan tema penelitian. Dalam tesis ini yang

dijadikan sumber data sekunder adalah buku dan kitab referensi yang

berhubungan dengan pelaksanaan nating.

3. Metode Pengumpulan Data

a. Populasi dan sampel

1. Populasi

Dalam penelitian kualitatif sebenarnya tidak menggunakan istilah

populasi, namun lebih dikena denga istilah ‘social situation’ atau

situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku

(actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi dengan sinergis.120

Dan pada penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada

pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan

ke populasi121. Situasi sosial yang terjadi di masyarakat Kota

119 Suryadi Suryabrata, “Metodologi Penelitian”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.

hal 85. 120 Sugiyono, ‘MetodePenelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D’ Bandung: Alfabeta, 2013 hal 297. 121 Ibid, Sugiyono, ‘MetodePenelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D’, hal 298

26

Pagaralam ini dengan populasi masyarakat yang ada didua kecamatan

yakni Pagaralam selatan dan Dempo Utara, yang jumlah penduduknya

lebih banyak melakukan peraktek nating sesuai dengan survey awal

yang dilakukan penulis.

2. Sampel

Dalam penelitian kualitatif, tekhnik sampling yang umumnya

digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling.

Purposive sampling adalah tekhnik pengambilan sampel sumber data

dengan pertimbangan tertentu, pertimbangan ini misalnya orang

tersebut paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin

informan yang paling cakap untuk dimintai keterangan dan data untuk

memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi sosial yang di teliti.122

Untuk metode sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

purposive sampling dan snowball sampling, dengan mengambil sampel

dari populasi masyarakat kecamatan Pagaralam selatan dan kecamatan

Dempo utara.

b. Tekhnik pengmpulan data

1. Wawancara

Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya

jawab lisan yang berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari

pihak yang mewawancarai dan jawaban diperoleh oleh yang

122 Ibid Sugiyono, ‘MetodePenelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D’, hal 300

27

diwawancarai.123 Peneliti menanyakan suatu hal yang telah

direncanakan kepada responden. Pada wawancara ini peneliti

dimungkinkan melakukan tanya jawab dengan responden seperti

perangkat desa, warga yang melakukan nating dan tokoh masyarakat

di kota Pagaralam

2. Dokumentasi

Metude dokumentasi ialah mencari data mengenai hal-hal atau variabel

yang berupa catatan, transaksi, buku, surat kabar, majalah, tesis,

makalah, jenis-jenis karya tulis, agenda dan sebagainya.124 Dalam tesis

ini penulis menggunakan dokumentasi yang langsung diambil dari

obyek penelitian yakni kota Pagaralam berupa arsip desa.dll

4. Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis

semua catatan hasil wawancara, dokumentasi dan lainnya untuk meningkatkan

pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai

temuan.125 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Analisis data deskriptif

analisis yaitu cara penulisan dengan mengutamakan terhadap gejala, peristiwa dan

kondisi aktual dimasa sekarang. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan

kondisi nating di kota Pagaralam ditinjau dari perspektif hukum Islam.

123 Ibid, Sugiyono, ‘MetodePenelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D’, hal.105 124 Suharsimi Arikunto, ‘Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik)’, Jakarta: PT.

Ranika Cipta, 1998, hal 237. 125 Neong Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, Ed.IV,

2000, hal 133

28

H. Sistematika Pembahasan

Studi penelitian ini dibuat dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai

berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang meggambarkan isi tesis secara

keseluruhan. Hal ini bertujuan agar dapat mengarahkan pembaca kepada

substansi ini penelitian. Pada bab pertama ini berisi tujuh sub bab yang antara

lain menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah tujuan dan

kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian serta terakhir

sistematika pembahasan

Bab kedua adalah pembahasan tentang landasan teori mengenai perilaku

budaya nating pada masyarakat kota Pagaralam, bab kedua ini merupakan inti

peulisan laporan yang memuat uraian konsep dasar yang diteliti, pada bab ini

terdiri dari ulasan mengenai , pengertian perilaku budaya masyarakat Kota

Pagaralam, pengertian nating, gadai atau rahn dalam perspektif ekonomi Islam.

Bab ketiga merupakan pembahasan tentang pelaksanaan penelitian

perilaku budaya masyarakat kota Pagaralam, gambaran umum tentang daerah

penelitian, penentuan lokasi penelitian dan gambaran tentang system pelaksanaan

nating di Pagaralam

29

Pada bab ke empat merupakan inti penelitian dari hasil wawancara terkait

dengan perilaku masyarakat dalam melakukan nating, kemudian penulis

menganalisis semua data dan referensi yang penulis dapat lalu menyimpulkan

bagaimana perilaku budaya nating yang ada di Kota Pagaralam dalam dalam

perspektif ekonomi Islam.

bab kelima, merupakan bagian akhir penulisan laporan penelitian atau

bagian penutup dari pembahasan tesis ini, bab ini berisi kesimpulan dan

ditunjang pula dengan saran-saran yang konstruktif, positif dan kreatif.

30

BAB II

LANDASAN TEORI

I. Konsep yang Berkaitan dengan Perilaku Ekonomi dan Budaya

1. Model umum perilaku ekonomi rumah tangga petani

Menurut Ellis126 model ekonomi pengambilan keputusan rumah tangga

pertama kali dikemukakan oleh Chayanov, yaitu teori maksimisasi utilitas rumah

tangga (theory of house hold utility maximization). Teori tersebut memfokuskan

pada pengambilan keputusan rumah tanggayang berkenaan dengan jumlah tenaga

kerja dan keluarga yang menjalankan produksi untuk memenuhi kebutuhan

konsumsi, keputusan menyangkut trade off antara pekerjaan dan pendapatan.

Faktor utama yang mempengaruhi trade off tersebut adalah struktur

demografi rumah tangga, yaitu ukuran dan komposisi anggota yang bekerja dan

tidak bekerja. Beberapa asumsi yang digunakan diantaranya adalah :

a. Tidak ada pasar tenaga kerja, dalam arti tidak ada tenaga kerja yang

disewa maupun yang menyewakan tenaga kerja.

b. Output usaha tani yang disimpan untuk konsumsi rumah tangga atau

dijual dinilai dengan harga pasar setempat.

126 Ellis.F, Peasent Economics: Farm Household and Agrarirant Development, Cambride

Universtiy Press, Cambride, 1998,

Dikutip ulang pada disertasi Tien Yustini “Analisis Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Padi

Sawah Dan Kopi Pelaku Dan Non Pelaku ‘nating’ Dalam Kaitannya Dengan Risiko Ekonomi Dai

Pagaralam Dan Lahat” Universitas Sriwijaya, 2011, hal 23

31

c. Semua angota rumah tangga mempunyai akses terhadap lahan untuk

penanaman.

d. Setiap komunitas petani mempunyai norma sosial untuk pendapatan

minimum yang diterima setiap orang.

Selanjutnya pengembangan model rumah tangga petani juga dilakukan

oleh Becker dengan menitik beratkan pada alokasi waktu (time allocation)

rumahtangga pelaku ekonomi, konsep alokasiwaktu rumah tangga tersebut

menjadi dasar dari new home economics yang menunjukan bahwa alokasi waktu

yang tersedia bagi rumah tangga dari waktu kerja di rumah (home work time),

waktu kerja upahan (wage work time) dan waktu santai (leisure).

2. Perilaku Budaya Masyarakat Pedesaan

a. Pengertian umum budaya.

Dalam buku Theory off culture karangan Roger M Kessing127 yang

menitik beratkan pada teori-teori yang membentuk budaya, menarik untuk

ditelaah lebih jauh bagaiman konsep budaya berkembang dan menjadikan

bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas kehidupan masyarakat secara

umum menurut Roger M Kessing Budaya adalah sistem dari pola-pola

tingkah laku yang diturunkan secara sosial yang bekerja menghubungkan

komunitas manusia dengan lingkungan ekologi mereka. Dengan cara ini

termasuklah teknologi dan bentuk organisasi ekonomi, pola-pola menetap,

127 Amri Marzali terjemahan Jurnal Ilmiah, dengan Judul asli: ‘Theories of Culture’,

Annual Review of Anthropology 1974.

32

bentuk pengelompokan sosial dan organisasi politik, kepercayaan dan

praktek keagamaan, dan seterusnya.128 Bila budaya dipandang secara luas

sebagai sistem tingkah laku yang khas dari suatu penduduk, maka budaya

berperan penting sebagai penyambung dan penyelaras semua aktifitas

yang terjadi dalam masyarakat.

b. Karakteristik masyarakat desa

Pada umumnya pengertian desa dikaitkan dengan pertanian, yang

sebenarnya masih bisa didefinisikan lagi berdasarkan pada jenis dan

tingkatannya. Menurut Koentjaraningrat mendefinisikan desa itu sebagai

komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat, sedangkan menurut

P.H Landis terdapat tiga definisi tentang desa yaitu pertama desa itu

lingkungan yang penduduknya kurang dari 2.500 orang, kedua desa adalah

suatu lingkungan yang penduduknya mempunyai hubungan yang saling

akrab serba informal satu sama lain, dan yang ketiga desa adalah suatu

lingkungan yang penduduknya hidup dari pertanian. Sedangkan menurut

Koentjaraningrat desa adalah suatu komunitas kecil yang menetap secara

tetap di suatu tempat,

128 Binford, L. Post-Pleistocene Adaptations. Dalam New Perspective in Archaelogy. ed.

L.R. Binford dan S.R. Binford. .1968, Chicago: Aldine page 232

33

masyarakat desa itu sendiri mempunyai karakteristik seperti yang

dikemukakan oleh Roucek dan Warren mereka menggambarkan

karakteristik masyarakat desa sebagai berikut

1. Besarnya peranan kelompok primer

2. Faktor geografis menentukan dasar pembentukan kelompok atau

asosiasi

3. Hubungan lebih bersifat akrab dan langgeng

4. Homogen

5. Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi

6. Populasi anak dalam proporsi yang lebih besar

Karakteristik desa sangat diperlukan adanya pembagian desa atau biasa

disebut dengan tipologi desa. Tipologi desa itu sendiri akan mudah diketahui jika

dihubungkan dengan kegiatan pokok yang ditekuni oleh masyarakat itu dalam

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, adapun pembagiannya adalah Desa

pertanian, desa industry, desa nelayan atau desa pantai, desa pariwisata,129

Kebudayaan tradisional masyarakat desa merupakan suatu hasil produk

dari besar kecilnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang bergantung pada

alam itu sendiri. Menurut P. H Landis besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola

kebudayaan masyarakat desa ditentukan sebagai berikut :

129 Opcit, Amri Marzali terjemahan Jurnal Ilmiah, dengan Judul asli: ‘Theories of

Culture’, Annual Review of Anthropology 1974

34

1. Sejauh mana ketergantungan mereka terhadap pertanian.

2. Sejauh mana tingkat teknologi yang mereka miliki.

3. Sejauh mana sistem produksi yang diterapkan.

Ketiga faktor diatas menjadikan faktor determinan bagi terciptanya

kebudayaan tradisional masyarakat desa yang artinya kebudayaan tradisional akan

tercipta apabila masyarakatnya sangat tergantung pada pertanian, tingkat

teknologi yang rendah dan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan

keluarga 130

Dalam kaitannya dengan pola pertanian yang ada di Pagaralam maka

merujuk dari pendapat PH. Landis yang membagi empat pola pemukiman

penduduk yaitu131

1. The Farm Village Type (FVT)

Pola pemukiman ini biasanya para keluarga petani atau penduduk tinggal

bersama-sama dan berdekatan di suatu tempat dengan lahan pertanian

berada di luar lokasi pemukiman.

2. The Nebulous Farm Type (NFT)

Pola ini hampir sama dengan pola FVT bedanya disamping ada yang

tinggal bersama disuatu tempat terdapat penduduk yang tinggal tersebar di

luar pemukiman itu, lahan pertanian juga berada di luar pemukiman itu.

130 Raharjo,’Pengantar Sosiologi Pedesaan Dan Pertanian’, Gadjah Mada University,

2010, hal 66 131 Ibid, Raharjo,’Pengantar Sosiologi Pedesaan Dan Pertanian’ hal 98-99

35

3. The Arranged Isolated Farm Type (AIFT)

Pola pemukiman ini dimana penduduknya tinggal disekitar jalan dan

masing-masing berada di lahan pertanian mereka dengan suatu trade center

di antara mereka.

4. The Pure Isolated Farm Type (PIFT)

Pola pemukiman ini penduduknya tinggal dalam lahan pertanian mereka

masing-masing terpisah dan berjauhan satu sama lain dengan suatu trade

center.

J. Konsep Dasar Fiqih Muamallah

Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi

kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha

mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya,

kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai

materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya

berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental di dalamnya,

sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan

muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di

antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut;

36

1. Hukum asal dalam muamalah adalah mubah (diperbolehkan). 132

Ulama fiqh sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah

diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan

demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang

sepanjang belum/ tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya.

Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa

melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash yang

memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak terdapat

syariat dari-Nya. Allah swt berfirman: “Katakanlah, Terangkanlah kepadaku

tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya

haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin

kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”

(QS.Yunus:59). Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan

dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu

mengakomodir transaksi modern yang berkembang.

2. Fiqh Muamalah untuk Mewujudkan Kemaslahatan

Fiqh muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan,

mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia. Allah tidak

menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan

hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang

132 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam,’Qawaid

Fiqhiyah’ Penerjemah Wahyu Setiawan, Amzah, Jakarta, 2009, hal 181

37

gerak kehidupan manusia. Ibnu Taimiyah berkata: “Syariah diturunkan untuk

mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, mengeliminasi dan

mereduksi kerusakan, memberikan alternatif pilihan terbaik di antara beberapa

pilihan, memberikan nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat,

dan menghilangkan nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung

kerusakan yang lebih kecil”

3. Menghindari Eksploitasi

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orang-orang

yang membutuhkan, dimana Rasulullah saw bersabda: dari Abu Hurairah bahwa

Rosulullah saw bersabda barang siapa membebaskab jual bei seorang muslim,

maka Allah swt akan membebaskan kesalahannya.133

Semangat hadits ini memberikan tuntunan untuk tidak mengeksploitasi

sesama saudara muslim yang sedang membutuhkan sesuatu, dengan cara

menaikkan harga atau syarat tambahan yang memberatkan. Kita tidak boleh

memanfaatkan keadaan orang lain demi kepentingan pribadi. Untuk itu,

Rasulullah melarang melakukan transaksi dengan orang yang sedang sangat

membutuhkan (darurat).

133 Riwayat Abu dawud dan Ibnu majah. Hadist sahih menurut ibnu hibban dan hakim,

Hadist ini terdapat dalam ‘Kitab Bulughul Maram’ hadist no 846

38

4. Memberikan Kelenturan dan Toleransi

Toleransi merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang ingin

direalisasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini bisa

dipraktikkan dalam kehidupan politik, ekonomi atau hubungan kemasyarakatan

lainnya. Khusus dalam transaksi finansial, nilai ini bisa diwujudkan dengan

memper-mudah transaksi bisnis tanpa harus memberatkan pihak yang terkait.

Karena, Allah akan memberikan rahmat bagi orang yang mempermudah dalam

transaksi jual beli. Selain itu, kelenturan dan toleransi itu bisa diberikan kepada

debitur yang sedang mengalami kesulitan finansial, karena bisnis yang dijalankan

sedang mengalami resesi. Melakukan re-scheduling piutang yang telah jatuh

tempo, disesuaikan dengan kemapanan finansial yang diproyeksikan. Di samping

itu, tetap membuka peluang bagi para pembeli yang ingin membatalkan transaksi

jual beli.

Dalam hal kelenturan dalam bertransaksi ini Rosulullah mengajarkan

untuk menghindari berselisih, dalam keterangan dari Ibnu Mas’ud bahwa

Rosulullah saw bersabda, apabila dua orang yang berjual beli berselisih, sedang

diantara mereka tidak ada keterangan yang jelas, maka perkataan yang benar ialah

apa yang dikatakan pemilik barang atau mereka membatalkan transaksi.134

134 Riwayat Ibnu Mas’ud. Haditst shahih menurut Hakim, Hadist ini terdapat dalam

‘Kitab Bulughul Maram’ hadist no 802

39

5. Jujur dan Amanah

Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Namun, kata

jujur tidak semudah mengucapkannya, sangat berat memegang prinsip ini dalam

kehidupan. Seseorang bisa meraup keuntungan berlimpah dengan lipstick

kebohongan dalam bertransaksi. Sementara, orang yang jujur harus menahan

dorongan materialisme dari cara-cara yang tidak semestinya. Perlu perjuangan

keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap langkah kehidupan. Kejujuran

tidak akan pernah melekat pada diri orang yang tidak memiliki nilai keimanan

yang kuat. Seseorang yang tidak pernah merasa bahwa ia selalu dalam kontrol dan

pengawasan Allah swt. Dengan kata lain, hanyalah orang- orang beriman yang

akan memiliki nilai kejujuran. Untuk itu, Rasulullah begitu menekankan kejujuran

dalam berdagang, dari Abu hurairah bahwa Rasuullah saw bersabda dalam hadist

Qudsi nya bahwa Allah swt berfirman, Aku menjadi orang yang ketiga dari dua

orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada

temannya, jika ada yang berkhianat aku keluar dari persekutuannya.135

Sebenarnya, masih terdapat beberapa prinsip pokok yang harus

diperhatikan dalam kehidupan muamalah. Di antaranya, menjauhi adanya gharar

dalam transaksi, ketidakjelasan (uncertainty) yang dapat memicu perselisihan dan

pertengkaran dalam kontrak bisnis. Semua kesepakatan yang tertuang dalam

kontrak bisnis harus dijelaskan secara detil, terutama yang terkait dengan hak dan

kewajiban, karena hal ini berpotensi menimbulkan konflik. Ketika kontrak bisnis

135 Riwayat Abu daud. Hadist shahih menurut hakim, Hadist ini terdapat dalam ‘Kitab

Bulughul Maram’ hadist no 903

40

telah disepakati, masing-masing pihak terkait harus melakukan kewajiban yang

merupakan hak bagi pihak lain, dan sebaliknya. Sebisa mungkin dihindari

terjadinya wan prestasi. Memiliki komitmen untuk menjalankan kesepakatan yang

tertuang dalam kontrak bisnis. Allah berfirman dalam QS al-Maidah ayat 1. Dan

yang terpenting, dalam menjalankan kontrak bisnis harus dilakukan secara

profesional. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah

menyukai seorang hamba yang profesional dalam menjalankan pekerjaannya”136

K. Pengertian, Dasar Hukum, Syarat dan Rukun Dan yang berkenaan

dengan ‘Nating’ (Gadai)

a. Pengertian Gadai

Gadai menurut bahasa berarti menggadaikan, merunggukan atau jaminan

(borg).137 Istilah gadai dalam bahasa Arab juga diistilahkan Ar-rahn138. Rahn

dalam bahasa Arab juga memiliki pengertian tetap dan kontinyu.139, dan ada juga

yang menyatakan kata rahn bermakna tertahan. Dengan dasar firman Allah surat

al-Muddatsstir ayat 38:

136 Pembahasan tentang konsep dasar fiqh muamalah,diambil dari karya Dr Muhammad

Ruwas Qal‟ah Gie, Al Muamalat al Maaliyah al Mu’ashirah fi Dlaui al Fiqh wa al Syari’ah,

1999, Beirut. 137 H.Nazar Bakry, ‘Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam’, Jakarta: PT RajaGrapindo

Persada, 1994, hal 43 138 Choiruman Pasribu Suhrowardi K.Lubis,‘Hukum Perjanjian dalam Islam’, Jakarta:

Sinar Grafika, cet 2, 1996, hal 139. 139 http://ustadzkholid.wordpress.com/2007/09/11/al-rahn-gadai. Di akses pada tanggal

31 Maret 2015, pukul 22.45 wib

41

“Yang artinya: Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah

dilakukannya. (QS. al- Muddatstsir :38)140

Gadai menurut istilah adalah akad utang di mana terdapat suatu barang

yang di jadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang piutang, barang

itu boleh dijual kalau utang tak dapat dibayar, hanya penjual itu hendaknya

dengan keadilan (dengan harga yang berlaku di waktu itu) 141

Sedangkan Al-Imam Abu Zakaria Al-Anshari menetapkan ta’rif (definisi)

ar-rahn di dalam kitabnya Fathul Wahab adalah menjadikan benda yang bersifat

harta (harta benda) sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan

dari (harga) benda itu bila utang tidak dibayar.142

Sedangkan gadai menurut Syekh Zainuddin Bin Abdul Azis Al-Malibari

adalah menjaminkan barang yang dapat dijual sebagai jaminan utang, jika

penanggung tidak mampu membayar utangnya karena kesulitan. Oleh karena itu

tidak boleh menggadaikan barang wakaf atau ummu al-walad (budak perempuan

yang punya anak di tuannya),143 Rahn adalah menjadikan barang yang boleh

dijual sebagai kepercayaan hutang yang digunakan untuk membayar hutang jika

terpaksa tidak bisa melunasi hutang tersebut, maka berarti tidak sah

menggadaikan barang wakaf atau budak ummu al-walad.144

140 Departemen Agama RI,‘Al-Qur’an dan terjemahnya’, Surabaya: Mekar Surabaya,

2004, h.1999 141 Sulaiman Rasyid, ’Fiqih Islam’, Bandung: PT.Sinar Baru Algensindo, 1994, h.309 142 Ibid, Sulaiman Rasyid, ’Fiqih Islam’, hal 445 143 Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, ’Terjemah Fathul Mu’in’, Jilid I,

Bandung: Sinar Baru Algesindo, Cet I, 1994, hal 838 144 M. Ali As’ad, ‘Terjemah Fathul Muin’, Menara Kudus, Kudus Jilid 2, 1979, hal 215

42

Menurut Sayid Sabiq bahwa pengertian gadai adalah menjadikan barang

yang mempunyai nilai harta menurut syara’ sebagai jaminan utang, sementara si

penerima gadai dimungkinkan bisa mengambil barang tersebut sebagai ganti

hutang atau mengambil sebagian manfaatnya. Pemilik barang barang yang

berutang disebut rahin (penggadai), pemberi utang yang menahan barang dibawah

kekuasaannya disebut murtahin (Penerima gadai), dan barang yang digadaikan

disebut rahn (barang gadai) 145

Pengertian gadai menurut KUH Perdata (Burgerlijk Wetbook) Pasal 1150

Gadai adalah: “Suatu hak yang diperoleh kreditur (orang yang berpiutang) atas

suatu barang bergerak yang di serahkan oleh debitur (orang yang berhutang) atau

orang lain atas namanya sebagai jaminan pembayaran dan memberikan hak

kepada kreditur untuk mendapat pembayaran terlebih dahulu dari kreditur lainnya

atas hasil penjualan benda-benda.146

Pengertian gadai menurut Susilo adalah suatu hak yang diperoleh oleh

seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak

tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai

utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang.147

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa gadai menurut

hukum Islam dan KUH Perdata adalah suatu perjanjian (akad) utang piutang

dengan menjadikan barang yang bernilai menurut syara’ sebagai jaminan untuk

145 Sayid Sabiq, ‘Ringkasan Fiqih Sunnah’, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Percetakan

Offset, 1998, hal793 146 Niniek Suparni, ‘KUH Perdata’, Jakarta: PT.Rineka Cipta, Cet VI, 2005, hal 290 147 Muhammad Sholikul Hadi, ‘Pegadaian Syari’ah’, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,

hal 16

43

menguatkan kepercayaan, sehingga memungkinkan terbayarnya utang dari si

peminjam kepada pihak yang memberikan pinjaman.

b. Dasar hukum

Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan

dengan dasar al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ para Ulama.

1. Dalil al-Qur’an

Di antara dalil al-Qur’an tentang gadai adalah:

Artinya :Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)

sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada

barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi

jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah

yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah

ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)

menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang

menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang

berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu. (QS. Al-

Baqarah : 283)148

148 Departemen Agama RI, “Al-Quran dan Terjemahnya’, Surabaya: Mekar Surabaya,

2004, hal 71

44

Berdasarkan ayat di atas, bahwa dalam melakukan kegiatan muamalah

yang tidak secara tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang

pun yang mampu menjadi juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah

ada barang tanggungan (borg) yang oleh pihak yang berpiutang di jadikan

jaminan.149

2. Hadits

Masalah rahn juga diatur dalam hadits Nabi Muhammad saw. Yaitu:

Artinya: "Dari Anas berkata: telah merungguhkan Rasulullah saw akan

baju besi beliau kepada orang Yahudi di Madinah sewaktu beliau mengutang syair

dari seorang Yahudi untuk ahli rumah (keluarga) beliau" (HR. Bukhori, Nasai,

dan Ibnu Majah)150

Dari hadits di atas dapat disimpulkan, bahwa gadai itu boleh dilakukan

dalam keadaan bermukim, hal ini terlihat bahwa Nabi saw menggadaikan baju

besinya dengan makanan kepada orang Yahudi untuk keluarga beliau.

Selain hadits di atas dapat dikemukakan dalam ketentuan hadits dari

Aisyah r.a:

149 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal 125 150 Mu’ammal Hamidy, Terjemah Nailul Authar Jilid IV, Surabaya: Bina Ilmu, hal 1785.

45

Artinya: Dari Aisyah r.a, bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah

membeli makanan dari seorang Yahudi secara jatuh tempo dan Nabi SAW,

menggadaikan sebuah baju besi kepada Yahudi.151

Dengan adanya beberapa hadits di atas, maka dapat diambil pemahaman

bahwa : aqad gadai dalam syari'at Islam adalah jaiz (boleh) dan kebolehan gadai

tersebut tidak hanya dalam keadaan bepergian saja, akan tetapi juga boleh pada

waktu sedang bermukim (tidak dalam bepergian)

3. Pendapat Ulama

Pada dasarnya para ulama telah bersepakat bahwa gadai itu boleh. Para

ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan

hukumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa gadai disyari’atkan pada waktu

tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.152

c. Syarat dan Rukun Gadai

Akad gadai dipandang sah dan benar menurut syariat Islam apabila telah

memenuhi syarat dan rukun gadai yang telah ditentukan dalam hukum Islam.

1. Syarat gadai

Menurut Imam Syafi’i bahwa syarat sah gadai adalah harus ada jaminan

yang berkriteria jelas dalam serah terima. Sedangkan Maliki mensyaratkan

151 Imam Bukhori, Shahih al Bukhari, Juz 3, Beirut, Libanon: Dar Al- Kutub Al-Ilmiyah,

t.th, h. 161 152 Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syari’ah, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,

hal 52

46

bahwa gadai wajib dengan akad dan setelah akad orang yng menggadaikan

wajib menyerahkan barang jaminan kepada yang menerima gadai.153

Menurut Sayyid Sabiq, syarat sah akad gadai adalah sebagai berikut:

a. Berakal

b. Baligh (dewasa)

c. Wujudnya marhum ( barang yang dijadikan jaminan pada saat akad )

d. Barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima barang gadaian

atau wakilnya.154

Berdasarkan dari keempat syarat di atas dapat di simpulkan bahwa syarat

sah gadai tersebut ada 2 hal yaitu :

a. Syarat aqidain (rahin dan murtahin)

Dalam perjanjian gadai unsur yang paling penting adalah pihak-pihak yang

melaksanakan perjanjian gadai (unsur subjektif), yaitu cukup dengan melakukan

tukar menukar benda, apabila mereka berakal sehat (tidak gila), dan telah

mumayyiz (mencapai umur). Kemudian untuk orang yang berada di bawah

pengampuan atau wali dengan alasan amat dungu (sufih) hukumnya seperti

mumayyiz, akan tetapi tindakan-tindakan hukum sebelum mencapai usia baligh

diperlukan izin dari wali, apabila pengampu mengizinkan perjanjian gadai dapat

153 Ibid hal 53 154 Sayid Sabiq, ‘Fiqih Sunnah’, Jakarta: Pustaka Percetakan Offset, 1998, hal 141

47

dilakukan, tetapi apabila wali tidak mengizinkan maka perjanjian gadai tersebut

batal menurut hukum.155

b. Syarat barang gadai (marhum)

Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat antara lain :

a) Harus dapat diperjualbelikan

b) Harus berupa harta yang bernilai

c) Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syari’ah

d) Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang diterima secara langsung

e) Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau pegadai) setidaknya harus seizin

pemiliknya.156

Salah satu syarat bagi marhum adalah penguasaan marhum oleh rahin.

Mengenai penguasaan barang yang digadaikan, maka pada dasarnnya dalam

firman Allah “maka hendaklah ada barang yang digadaikan (oleh yang

berpiutang)” tetapi ulama masih berselisih pendapat, apakah penguasaan barang

ini merupakan syarat kelengkapan ataukah syarat sahnya gadai. Selama belum

terjadi penguasaan, maka akad gadai tidak mengikat bagi orang yang

menggadaikan. Bagi fuqaha’ yang mengaggap penguasaan sebagai syarat

kelengkapan akad gadai itu sudah mengikat dan orang yang menggadaikan sudah

155 Rahmat Syafi’I, ‘Fiqih Muamalah’, Cet.3, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hal 162 156 Ibid, h 168.

48

dipaksa untuk menyerahkan barang kecuali bila penerima gadai tidak mau adanya

penentuan demikian.157

2. Rukun Gadai

Di samping syarat-syarat dalam perjanjian gadai di atas, kita juga

mengenal adanya rukun dalam gadai. Menurut hukum Islam bahwa rukun gadai.

a) Shighat atau perkataan

b) Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin)

c) Adanya barang yang digadaikan (marhum)

d) Adanya utang (marhum bih)158

Adapun mengenai rukun gadai dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Shighat atau perkataan

Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddieqi, pengertian shighat (akad) menurut

bahasa adalah :

"Rabath (mengikat) adalah mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat

salah satunya dengan tali yang lain hingga bersambung, lalu keduanya menjadi

sepotong benda"

157 Ibnu Rusyd, terjemahan Imam Ghazali Said Dan Achmad zaidun., Bidayatul

Mujtahid, analisis Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007. Hal 308 158 Choiruman Pasribu Suhrowardi K.Lubis, ‘Hukum Perjanjian dalam Islam’, Jakarta:

Sinar Grafika, cet 2, 1996, hal142

49

Kemudian menurut istilah fuqaha’ ialah, Perkataan antara ijab dan qabul

secara yang dibenarkan syara' yang menetapkan keridlaan keduanya (kedua belah

pihak)159

Rukun gadai akan sah apabila disertai ijab dan qabul, sedangkan ijab dan

qabul adalah shighat aqdi atas perkataan yang menunjukkan kehendak kedua

belah pihak, seperti kata "Saya gadaikan ini kepada saudara untuk utangku yang

sekian kepada engkau", yang menerima gadai menjawab "Saya terima marhum

ini" Shighat aqdi memerlukan tiga syarat:

1) Harus terang pengertiannya

2) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul

3) Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pahak yang bersangkutan.160

Di samping ketentuan di atas, akad gadai juga bisa dilakukan dengan

bentuk bahasa, kata isyarat tersebut diberikan terhadap apa yang dimaksudkan,

sebagaimana yang dikatakan oleh TM. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pengantar

Fiqh Muamalah bahwa isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah (sama

dengan ucapan penjelasan dengan lidah)161.

b. Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin).

Pemberi gadai haruslah orang yang dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan

memiliki barang yang akan digadaikan. Sedangkan penerima gadai adalah orang,

159 TM. Hasbi Ash-Shiddieqi, ‘Pengantar Fiqih Muamalah’, Jakarta: PT. Pustaka Rizki

Putra, Cet.I, 1997, hal 26 160 Ibid, h.29 161 Ibid, h.31

50

bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan

jaminan barang (gadai).162

c. Adanya barang yang digadaikan (marhum).

Barang yang digadaikan harus ada wujud pada saat dilakukan perjanjian

gadai dan barang itu adalah barang milik si pemberi gadai (rahin), barang gadaian

itu kemudian berada dibawah pengawasan penerima gadai (murtahin).163

Pada dasarnya semua barang bergerak dapat digadaikan, namun ada juga

barang bergerak tertentu yang tidak dapat digadaikan. Adapun jenis barang

jaminan yang dapat digadaikan di pegadaian antara lain:

1) Barang-barang perhiasan; emas, perak, intan, mutiara, dan lain-lain.

2) Barang-barang elektronik:tv, kulkas, radio, vidio, tape recorder,dan

lain-lain.

3) Kendaraan: sepeda, motor, mobil.

4) Barang-barang rumah tangga: barang-barang pecah belah.

5) Mesin: mesin jahit, mesin ketik, dan lain-lain.

6) Tekstil: kain batik, permadani.

7) Barang-barang lain yang dianggap bernilai.164

162 Heri Sudarsono, ‘Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah’, Yogyakarta: Ekonisia

Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004, h.160 163 Choiruman Pasribu Suhrowardi K.Lubis, ‘Hukum Perjanjian dalam Islam’, Jakarta:

Sinar Grafika, cet 2, 1996, h.142

51

Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama syafiiyah barang yang

digadaikan itu memiliki tiga syarat:

1) Bukan utang, karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan

2) Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak

terhalang.

3) Barang yang digadaikan bisa dijual apabila sudah tiba masa pelunasan

hutang gadai.

c. Adanya hutang (marhum bih)

Hutang (marhum bih) merupakan hak yang wajib diberikan kepada

pemiliknya, yang memungkinkan pemanfaatannya (artinya apabila barang

tersebut tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak sah), dan dapat dihitung jumlahnya.

Selain itu hutang yang digunakan haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan

tambahan bunga atau mengandung unsur riba.165

3. Berakhirnya Akad Gadai

Menurut Sayyid Sabiq, hak hak gadai akan berakhir jika:

a. Rahin (yang menggadaikan barang) telah melunasi semua

kewajibannya kepada murtahin (yang menerima gadai)

b. Rukun dan syarat gadai tidak terpenuhi.

164 Muhammad Sholikul Hadi, ‘Pegadaian Syari’ah’, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,

hal32 165 Opcit hal 142

52

c. Baik penggadai dan penerima gadai atau salah satunya ingkar dari

ketentuan syara’ dan akad yang telah disepakati oleh keduanya.166

L. Prinsip Pengharaman Riba

Riba menurut pengertian bahasa berarti Az-Ziadah (tambahan), yang

dimaksud dalam fiqih ialah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit

ataupun banyak. Riba diharamkan oleh seluruh agama samawi, yaitu baik oleh

agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Secara kronologis berdasarkan urutan waktu,

tahapan pengharaman riba dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

1. Pada periode Makkah turun firman Allah yang artinya: “Dan sesuatu

riba (tambahan) yang kamu berikan supaya dia menambah pada harta

manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang

kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai

keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang

yang melipatgandakan pahalanya”. (QS. 30: 39)

2. Pada periode Madinah, turun ayat yang mengharamkan riba secara

jelas, yaitu firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang

beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan

bertawakallah kamu kepada Allah supaya kamu dikasihi”. (QS. 3: 130)

3. Dan yang terakhir firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang

beriman, bertawakalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba

jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak

166 Sayid Sabiq, ‘Fiqih Sunnah’, Jakarta: Pustaka Percetakan Offset, 1998, hal 141

53

meninggalkan sisa riba, ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan

memerangimu. Dan jika kamu bertaubat bagimu pokok hartamu

(modal), kamu tidak melakukan kezaliman dan tidak pula dizalimi”.

(QS. 2: 278-279)

Ayat ini merupakan ayat terakhir yang berkaitan dengan masalah riba,

yang mengandung penolakan terhadap anggapan bahwa riba tidak haram kecuali

jika berlipat ganda, oleh karena Allah tidak membolehkannya kecuali

mengembalikan modal pokok tanpa ada penambahan.167

Dikenal dua bentuk riba dalam hukum Islam, yaitu riba al-qardl yang

berhubungan dengan tambahan atas pinjaman, dan riba al-buyu yang berhubungan

tambahan atas jual-beli. Riba al-buyu ada dua bentuk, yakni riba al-fadl yang

meliputi pertukaran secara bersamaan dan komoditas yang sama yang memiliki

kualitas atau kuantitas yang tidak sama, dan riba an-nasai yang meliputi

pertukaran secara tidak bersaman dari komoditas yang sama yang memiliki

kualitas dan kuntitas yang sama. Pelarangan berlaku bagi objek-objek yang dapat

diukur atau ditimbang dan dari jenis yang sama. Kelebihan dalam kuantitas

maupun penundaan dalam pelaksanaan, dua- duanya dilarang.168

Riba al-qardl, bunga pinjaman, meliputi beban atas pinjaman yang

bertambah seiring dengan berjalannya waktu, dengan kata lain merupakan

pinjaman berbunga, dan kadang-kadang disebut sebagai riba an-nasai (tambahan

167 Sayid Sabiq, ‘Fiqih Sunnah’, Jakarta: Pustaka Percetakan Offset, 1998, hal118 168 Mervin K. Lewis dan Latifa M. Al-Qoud,’ Perbankan Syari’ah, Prinsip, Praktek

Prospek’, Terjemahan Burhan Wirasubrata, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001, Hal 57.

54

karena menunggu). Riba ini muncul apabila pinjaman harta orang lain, apa pun

bentuknya, dibebani oleh si pemberi pinjaman untuk membayar suatu tambahan

tertentu di samping pokok pinjaman pada saat pelunasan. Jika tambahan itu

ditetapkan sebelumnya pada awal transaksi sebagai suatu jumlah tertentu, dengan

cara bagaimanapun pertambahan ini terjadi, maka pinjaman itu menjadi pinjaman

ribawi.

Menurut Muhammad Abu Zahrah, pokok-pokok hukum ekonomi syari’ah

adalah melarang memakan makanan dengan cara batil dan saling merelakan, yaitu

dengan jalan perniagaan dan menjauhi riba.169 Riba disini (secara teknis) berarti

pengambilan tambahan dari harta pokok (modal) secara batil.170 Dalam hal ini

Allah SWT mengingatkan dalam QS. An-Nisa’: 29. Menurut al-Maududi, Ibnu al-

Arabi menafsirkan kata batil dalam ayat ini adalah riba yang diartikan sebagai

“suatu tambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau

penyeimbang yang dibenarkan syari’ah”.171

Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhadzdzab menyitir pendapat al-

Mawardi yang mengatakan bahwa para ulama’ Syafi’iyyah berbeda dalam dua

pendapat ketika menafsirkan ayat Al-Qur’an yang mengharamkan riba. Pertama,

bahwa larangan itu bersifat global yang kemudian dijelaskan oleh sunnah menjadi

riba nuqud dan nasi’ah. Kedua, bahwa larangan riba dalam Al-Qur’an itu adalah

riba nasi’ah yang biasa diperjanjikan pada zaman jahiliyyah yang meliputi

169 5Muhammad Abu Zahroh, ‘Ushul Fiqh’, Terjemahan Syaifullah Maksum, Pustaka

Firdaus, Jakarta, 2002, hal. 129. 170 Mohammad Syafi’i Antonio,’ Bank Syari’ah, dari Teori ke Prakte’k, Gema Insani,

Jakarta, 2001, hal 37. 171 Abu al-A’la al-Maududi, ‘Ar-Riba, Dar al-Fikr’, Beirut, hal. 80-81

55

penambahan atas harta pokok dikarenakan unsur waktu, kemudian sunnah Nabi

mengharamkan riba nuqud yang dikaitkan pada larangan Al-Qur’an tersebut.172

Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba menyatakan bahwa

sesungguhnya riba itu adalah seseorang yang mempunyai hutang lalu ditanyakan

kepadanya, apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jika tidak mampu

melunas ia harus menambah dana atas setiap penambahan waktu yang

diberikan.173

Dari beberapa pandangan tentang riba seperti di atas, dapat disimpulkan

bahwa pinjam-meminjam dengan persyaratan bunga berdasarkan tenggang waktu

yang diberikan untuk pembayarannya dinamakan riba nasi’ah. Riba nasi’ah ini

larangannya dinyatakan oleh nash Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah (2) ayat 275

yang artinya: “Orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti

berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran sakit gila. Keadaan mereka itu

disebabkan mereka berpendapat sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba,

padahal Allah SWT telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”, dan

dalam surat Ali Imran (3): 130, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,

janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu

kepada Allah SWT supaya kamu mendapat keberuntungan”.174

172 Zakariya Ali Yusuf an-Nawawi, Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, jilid IX, Kairo, hal.

442. 173 Zakariya Ali Yusuf an-Nawawi, Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, jilid IX, Kairo, hal

442. 174 Abu al-A’la al-Maududi, ‘Ar-Riba, Dar al-Fikr’, Beirut, hal. 80-81

56

Di samping riba nasi’ah ada riba yang disebut riba fadli, yaitu penukaran

lebih dari satu barang sejenis yang telah dipersyaratkan, riba yad yaitu hutang

dibayar lebih dari pokoknya, karena peminjam tidak membayar tepat pada

waktunya, dan riba qordli yaitu riba yang disyaratkan terhadap orang yang

berpiutang.175

M. Hak dan Kewajiban Pemberi dan penerima gadai

Para pihak (pemberi dan penerima gadai) masing-masing mempunyai hak

dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan kewajiban adalah sebagai

berikut:176

1. Hak dan kewajiban pemberi gadai (rahin)

a. Hak pemberi gadai

1. Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barang

miliknya setelah pemberi gadai melunasi utangnya.

2. Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan

hilangnya barang gadai apabila hal itu di sebabkan oleh kelalaian

penerima gadai.

3. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan

barangnya setelah dikurangi biaya pelunasan utang dan biaya

lainnya.

175 Abu al-A’la al-Maududi, ‘Ar-Riba, Dar al-Fikr’, Beirut, hal. 80-81 176 Muhammad Sholikul Hadi, ‘Pegadaian Syari’ah’, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,

hal 23

57

4. Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya apabila

penerima gadai telah jelas menyalahgunakan barangnya.

b. Kewajiban pemberi gadai

1. Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi utang yang telah

diterimanya dari penerima gadai dalam tenggang waktu yang telah

ditentukan.

2. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas barang

gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan

pemberi gadai tidak dapat melunasi utangnya kepada pemegang

gadai.177.

2. Hak dan kewajiban penerima gadai (murtahin)

a. Hak penerima gadai (murtahin)

1. Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan,

apabila pemberi gadai pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi

kewajibanya sebagai orang yang berhutang.

2. Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah

dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.

177 Ibid hal 24

58

3. Selama utangnya belum dilunasi, maka penerima gadai berhak

untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi

gadai.

b. Kewajiban penerima gadai (murtahin)

1. Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilang atau

merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua atas

kelalaianya.

2. Penerima gadai tidak dibolehkan menggunakan barang yang di

gadaikan untuk kepentingan pribadi.

3. Penerima gadai berkewajiban untuk memberitahu kepada pemberi

gadai sebelum di adakan pelelangan barang gadai.

Dalam perjanjian gadai baik pemberi gadai atau penerima gadai tidak akan

lepas dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hak penerima gadai adalah

menahan barang yang digadaikan, sehingga orang yang menggadaikan barang

dapat melunasi barangnya. Sedangkan hak menahan barang gadai adalah bersifat

menyeluruh, artinya jika seseorang menggadaikan barangnya dengan jumlah

tertentu, kemudian ia melunasi sebagiannya, maka keseluruhan barang gadai

59

masih berada di tangan penerima gadai, sehingga rahin menerima hak sepenuhnya

atau melunasi seluruh utang yang ditanggungnya.178

Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan tidak boleh bila yang menerima gadai

menjual barang gadaian yang diterimanya dengan syarat harus dijual setelah jatuh

tempo dan tidak sanggup ditebus olehnya tetapi harus dijual belikan oleh pemberi

gadai, atau wakilnya dengan seizin murtahin (yang menerima gadai). Jika pemberi

gadi tidak mau menjual barang tersebut, maka yang menerima gadai berhak

mengajukan tuntutan kepada hakim.179

178 Ibnu Rusyd, terjemahan: Imam Ghazali Said, . Dan Achmad zaidun., ‘Bidayatul

Mujtahid’, analisis Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007. Hal 311

179 Hasbi Ash Shiddieqy, ‘Hukum-Hukum Fiqih Islam (Tinjauan Antar Mazhab)’,

Semarang: Pustaka Risky putra, Cet.II, 2001, hal 366

60

BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN

N. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Kota Pagar Alam adalah salah satu kota di provinsi Sumatera Selatan yang

dibentuk berdasarkan Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2001 (Lembaran Negara

RI Tahun 2001 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4115),

sebelumnya kota Pagar Alam termasuk kota administratif dalam lingkungan

Kabupaten Lahat. Kota ini memiliki luas sekitar 633,66 km² dengan jumlah

penduduk 126.181 jiwa dan memiliki kepadatan penduduk sekitar 199 jiwa/km².

Kota ini berjarak sekitar 298 km dari kota Palembang dan juga berjarak sekitar 60

km di sebelah barat daya Kabupaten Lahat. Kota ini sekarang dipimpin oleh Dra.

Hj. Ida Fitriati, M.Kes., dan Novirzah Djazuli, S.E. Sebagai wali kota dan wakil

wali kota Pagar Alam periode 2013-201180

180 http://www.pagaralamkota.go.id/ (Di akses pada tanggal 31 Maret 2015, pukul 22.45

wib)

61

Luas wilayah kota Pagaralam kurang lebih 633,66 Km2, Secara gegrafis

kota Pagaralam berada pada posisi 4 derajat lintang selatan (LS) dan 103.15

derajat Bujur Timur (BT), Sebagai atap daerah provinsi Sumatera Selatan, kota

Pagaralam berada pada ketinggian 100 – 1000 Mdl ( Meter dari permukaan laut )

dari luas wilayah dataran tinggi di daerah ini berada dibawah kaki Gunung Dempo

+ 3159 Meter. Kota Pagaralam mempunyai 5 kecamatan yang diantaranya:

Kecamatan Pagaralam Selatan, Pagaralam utara, Dempo selatan, Dempo utara dan

dempo tengah., dengan rata-rata suhu berkisar 14 – 34 derajat celcius potensi ini

tentunya dapat menjadikan perekonomian masyarakat pagaralam lebih baik93

Batas daerah ini adalah:

Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Lahat

Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Bengkulu

Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten lahat

Sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Lahat

Berdasarkan pengamatan dari Pos pengamatan Gunung Api Dempo, suhu

udara minimum di Kota Pagar Alam selama Tahun 2010 adalah 19 0C sedangkan

suhu maksimum adalah 30 0C Jumlah Hujan terbanyak terjadi pada bulan

Februari yaitu 25 hari.

93 http://pagaralambesamah.blogspot.com/p/letak-kota-pagar-alam.html.

Di akses pada tanggal 31 Maret 2015, pukul 22.45 wib

62

Kota Pagar Alam selalau mengalami kenaikan jumlah penduduk yang

sangat drastis yang awalnya pada tahun 2000 jumlah penduduknya hanya 112.025

jiwa jumlah itu pun pada sepuluh tahun kemudian berpopulasi lebih kurang

126.363 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,22%. Dikarenakan

adanya faktor Transmigrasi yang ingin menetap di kota Pagar Alam.Penduduk

kota Pagar Alam terdiri dari berbagai suku bangsa. Selain penduduk asli (suku

Melayu), ada banyak juga suku Jawa, suku Minang, suku Batak, Orang

Peranakan, Arab-Indonesia, dan India-Indonesia.

Kecamatan yang memiliki penduduk terpadat adalah kecamatan Pagaralam

selatan yang jumlah penduduknya mencapai 689.69 jiwa/km2, dan kecamatan

yang paling rendah kepadatan penduduknya adalah kecamatan Dempo selatan

dengan kepadatan penduduk sekitar 5793 jiwa/km2.

Sebagian besar keadaan tanah di Kota Pagar Alam berasal dari jenis

Latosol dan Andosol dengan bentuk permukaan bergelombang sampai berbukit.

Jika dilihat dari kelasnya, tanah di daerah ini pada umumnya adalah tanah kelas I

(satu) yang mengandung kesuburan yang tinggi.

Hal ini terbukti dengan Daerah Kota Pagar Alam yang merupakan

penghasil sayur-mayur, buah-buahan, dan merupakan salah satu Sub terminal

Agribisnis (STA) di Provinsi Sumatera Selatan

63

O. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Pagaralam dengan pertimbangan bahwa

Pagaralam merupakan sentra penghasil Padi dan Kopi di provinsi Sumatera

Selatan. Komoditas tanaman pangan terutama padi dan kopi menkadi perhatian

dalam penelitian karena merupakan mata pencaharian utama petani di kota ini dan

komoditas ini sangat potensial untuk dikembangkan, selain itu karena di

Pagaralam petaninya mempunyai suatu kebiasaan melakukan ‘nating’ yang

apabilan dikaji dalam perspektif Islam akan menarik utnuk diteliti sehingga dalam

pelaksanaannya jauh dari unsur-unsur yang dilarang dalam agama dan dapat

menjadi sarana untuk saling tolong menolong dalam masyarakat petaniitu sendiri.

Langkah berikutnya dalam melakukan penelitian dengan melakukan

pemilihan secara sengaja (purposive) terhadap beberapa kecamatan yang ada di

Pagaralam dimana sebagian besar penduduknya adalah petani yang menanam padi

dan kopi, diantaranya yaitu kecamatan Pagaralam selatan dan kecamatan Dempo

utara.

64

P. Gambaran Tentang Sistem dan Proses ‘Nating’ Di Kota Pagaralam

Dalam kehidupan masyarakat di Pagaralam telah lama dikenal istilah

nating , perilaku ekonomi ini telah sangat banyak dilakukan oleh para petasni kopi

dan padi, menurut beberapa tokoh masyarakat dan pelaku nating itu sendiri

mendefinisikan istilah nating adalah:

”suatu proses kegiatan dimana petani mentatingka (menggadaikan) sebagian

sawah atau kebunya kepada keluarga (kerabat) dekat, pemilik modal, agen

ataupun tengkulak untuk mendapatkan sejumlah uang untuk membiayai

kebutuhan hidupnya dengan perjanjian yang disepakati bersama antara

petani pelaku nating dengan si penating (pemilik dana)”

Jadi dalam nating terdapat dua pihak yang bekerjasama, yakni pihak yang

menyerahkan tanah atau petani pelaku nating dan pihak kedua adalah pihak

penerima tanah atau pihak penerima gadai (penating). Pihak penerima nating

inilah yang harus menyerahkan sejumlah uang tertentu.

Menurut Holidi94 nating ada dua macam yaitu:

a. Nating biasa (tidak kuasa) : artinya petani pemilik lahan menatingkan

(menggadaikan) sawah atau kebun kepada kerabat, penduduk sekitar,

tengkulak ataupun kepada agen yang disebut penating (yang memiliki

modal), dengan perjanjian atau kesepakatan petani pemilik sawah atau

kebun boleh menggarap sawah, ladang atau kebunnya, dan bila sudah

panen hasilnya dengan persentase yang ditentukan dan dalam jangka

waktu yang ditentukan pula, biasa nya dalam jangka waktu 1 tahun

atau lebih.

94 Tokoh masyarakat Pagaralam sekaligus pelaku nating

65

b. Nating kuasa : petani pemilik lahan menatingkan (menggadaikan)

sawah, ladang, kebun kepada penating tetapi petani tersebut tidak

diberi kuasa untuk menggarap lahanya, dan penating berhak menyuruh

orang lain atau buruh tani yang dia kehendaki untuk menggarap nya,

untukpersentase hasil biasanya pemilik modal lah yang berkuasa penuh

menentukan persentase dari hasil panen.

Tabel 1. Perbandingan sistem nating kuasa dan non kuasa

Uraian Nating kuasa Nating biasa

Batas Yuridiksi Petani tidak punya hak untuk

menggarap lahan

Petani masih mempunyai

hak untuk menggarap

lahan

Status

Kepemilikan

Selagi belum ditebus lahan

menjadi hak penating (pemilik

modal)

Selagi belum ditebus

kepemilikan lahan tetap

menjadi pemilik lahan.

Hasil Panen Hasil pada umumnya

dikendalikan oleh penating

(pemilik modal) dan pemilik

modal yang berhak menentukan

persentase bagi hasil pada setian

masa panen.

Hasil dibagi sesuai

kesepakatan antara

pemilik lahan dan

penating selaku pemilik

modal.

66

Besaran Jaminan Untuk nating kuasa biasanya

dalam jumlah lahan yang luas

dan dalam jumlah pinjaman

yang lebih besar disbanding

nating biasa.

Nating biasa dengan

jumlah pinjaman uang

dan jaminan lahan yang

lebih kecil.

Dari dua jenis nating yang dijelaskan diatas, masih terdapat satu jenis lagi

nating yang dalam masyarakan Pagaralam mulai marak dilakukan, yakni nating

rumah, hampir sama dengan proses nating biasa, namun dalam nating rumah

pemilik modal hanya memberikan sejumlah uang untuk digunakan pemilik rumah,

namun pemilik modal berhak untuk menetapkan sewa kepada pemilik rumah

selama pemilik rumah masih menempati rumah tersebut dan dalam waktu

perjanjian yang ditentukan pemilik rumah wajib mengembalikan uang pinjaman

dan uang sewa rumah.

Terjadinya nating sudah berlangsung lama dan membudaya di kehidupan

petani Pagaralam, dan biasanya bila pelaku nating belum bisa menebus tanah

maupun rumahnya dalam batas aktu yang ditentukan sebagai kesepakatan awal,

maka si penating (pemilik modal) dapat memberikan tempo (perpanjangan waktu)

kepada pelaku nating untuk menebus tanah maupun rumah mereka, namun bila

sampai tidak tertebus juga, maka tanah maupun rumah itu baru jadi milik penating

(pemilik modal) dan biasanya diiringi dengan penambahan uang nating kepada

pemilik tanah ataupun rumah itu.

67

Banyak faktor yang menyebabkan petani di Pagaralam melakukan

peraktek nating, hal ini tercermin dari peruntukan dan kegunaan uang yang merka

peroleh dari nating itu sendiri, secara umum mereka gunakan untuk konsumsi,

biaya sekolah anak, produksi, dagang, persedekahan, maupun membeli perabot

atau kebutuhan rumah tangga lainnya, hal ini dapat dilihat dari penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Tien yustini yang yang menerangkan bahwa dari

187 responden yang terdiri dari petani padi dam kopi, disimpulkan bahwa petani

kopi dan padi menggunakan uang pinjaman atau uang dari menating kan barang

mereka untuk kebutuhan produksi atau modal usaha tani, berikut hasil penelitian

nya.

Tabel 2. Karakteristik petani berdasarkan kegunaan uang pinjaman dari nating

Kegunaan uang

pinjaman

Petani Kopi Petani Padi Total

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

produksi 43 38,4 44 58,7 87 46,5

Konsumsi

Pangan

25 33,0 24 16,0 37 29,8

Lainnya 44 39,3 29 25,3 63 33,7

Keterangan:

Lainnya : biaya anak sekloah, membeli baranag, dagang dan persedekahan atau

pesta.

68

Jadi merujuk dari hasi penelitian diatas dalam masa transisi sebelum dan

pasca panen padi maupun kopi banyak petani melakukuan nating untuk

memenuhi kebutuhan modal persiapan panen, dan sisanya pelaku nating

meggunakan untuk kebutuhan kebutuhan konsumsi dan kebutuhan-kebutuhan

lainnya.

Ada satu hal yang menarik dari hasil penelitian diatas, ternyata selain

bermotif ekonomi uang dari hasil nating digunakan untuk kebutuhan prestise atau

gengsi dalam melakukan pesta pernikahan, dimana kebiasaan masyarakat

Pagaralam melakukan pesta syukuran pernikahan secara besar-besaran dengan

diawali berkumpul di rumah keluarga yang mengadakan pesta selama berhari-hari

sebelum hari puncak acara atupun setelah acara, dan tentunya memerlukan

memerlukan biaya untuk makan, minum, upacara adat dan sebagainya, meskipun

terkadang mereka harus berhutang dan menating kan harta yang mereka miliki,

dan inilah yang menjadi salah satu sumber faktor budaya yang tentunya menjadi

faktor ekonomi (konsumtif motife) yang menjadi penyebab petani melakukan

nating.

Dengan melakukan nating tentunya aka nada risiko yang akan dihadapi

petani ataupun pelaku nating itu sendiri. Akibat dari sejumlah uang yang mereka

pinjam dengan nating dari menggadaikan sawah, kebun maupun rumah mereka,

setidaknya harus mengurangi pengeluaran mereka, menurunnya pendapatan,

bahkan bila mereka tidak mampu mengembalikan uang yang dipinjam risiko yang

terberat adalah kehilangan lahan pertanian ataupun rumah mereka, tapi bagi

meraka mereka yang mempunyai keinginan untuk mengembangkan usaha taninya

69

atau usaha-usaha di bidang lainnya mereka tidak menggunakan uang nating

tersebut untuk keperluan yang bersifat konsumtif tapi setelah melakukan nating

justru mereka berfikir bagaimana meningkatkan usaha mereka agar dapat

mengembalikan uang nating tepat pada waktunya.

70

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Q. Karakteristik Perilaku Masyarakat Pagaralam

Karakteristik ekonomi masyarakat Pagaralam selalu berkaitan dengan

karakteristik petani yang mengelola usaha pertanian baik kopi, padi, sayur-mayur

maupun pegawai negeri sipil dan pengusaha ditambah dengan akulturasi budaya

yang terjadi pada masa lampau dimana kebudayaan hindu budha termasuk juga

Islam masih terasa kental sampai saat ini.

Masyarakat Pagaralam sering menyebut dirinya sebagai masyarakat

Basemah (Pasemah). Secara historis wilayah ini meliputi wilayah Lahat, wilayah

Pagaralam hingga menyentuh wilayah Bengkulu (Pahiangan dan Rejang Lebong)

yang ada di pegunungan “Bukit Barisan”. Basemah (Pasemah) memiliki ciri-ciri

budaya yang spesifik, unik dan menarik. Hal ini dapat diamati dalam karakter

masyarakatnya mulai dari bahasa yang digunakan, logat bertutur, tata sosial, hasil

seni dan budaya serta tatanan etika dan religi yang tertanam dalam kearifan

lokalnya (local genius).

Beberapa tahun lalu, Pemerintahan Pagaralam secara resmi telah

mendaftarkan 67 situs Megalitikum-nya ke Unesco untuk dapat ditetapkan sebagai

kota cagar budaya (heritage). Secara faktual tak dapat dipungkiri bahwa wilayah

Pagaralam (juga wilayah kab. Lahat) menyimpan ratusan situs megalitikum yang

71

tersebar di berbagai tempat.95 Kebudayaan Megalitikum merupakan hasil dari

budaya zaman Neolithikum, yang menyerap peradaban awal jaman logam. Jaman

ini kemudian dikenal dengan masa perundagian yang mulai ditandai mulai

ditemukannya logam, kapak, pahat dan lain-lain dalam bentuk yang paling

sederhana (+/- 2500 tahun SM).

Kebudayaan Megalithikum di Pagaralam (dan Lahat) dapat kita lihat

secara riil dalam bentuk Menhir, makam batu, rumah batu, Dolmen, punden

berundak dan batu tegak (Kosala), altar batu (batu ceper) dan lain-lain.

Batu-batu besar dalam berbagai bentuk inilah yang menurut para ahli

dimaksudkan sebagai sarana ritual. Dalam hal ini para ahli sependapat bahwa di

dalam rumah batu yang banyak tersebar itulah nenek moyang kita melakukan

kegiatan ritualnya. Ritual yang dimaksud adalah suatu aktifitas yang dilakukan

terkait masalah misteri kehidupan dan kematian. Pada umumnya dalam

kebubayaan megalithikum selalu berorientasi pada aspek-aspek kepercayaan atau

supranatural dengan kekuatan-kekuatan gaibnya yang ada pada benda-benda,

mahluk hidup bahkan roh nenek moyang.

Pagaralam kota yang terhampar di perbukitan tinggi, diapit gunung Dempo

dan pegunungan Bukit Barisan yang membujur hampir sepanjang pulau Sumatra.

Kota Pagaralam dapat ditempuh dari kota Palembang dengan bus trans Sumatra

dengan jarak tempuh kurang lebih 7 jam. Jalanan berliku-liku membelah hutan

tropis, memberi pemandangan hijau dan cukup eksotis.

95 Hasil penelitian Van Der Hoop berkebangsaan Belanda yang meneliti tentang

keberadaan Megalitikhum yang ada di Pagaralam, dengan bukunya yang berjudul ‘Megalithic

Remains In South Sumatra’ th 1932

72

Diperjalanan itu, sesekali kita akan bertemu kota kabupaten, kota

kecamatan dan desa-desa yang diisi rumah-rumah penduduk bercorak tradisi.

Rumah-rumah panggung dari kayu berwarna kelam kecoklatan, rumah besar yang

ditopang oleh tiang-tiang setinggi kurang lebih 150-200 cm. Dibawah rumah-

rumah panggung itu pula sering digunakan untuk menyimpan peralatan tani, kayu

bakar bahkan hewan ternak yang secara keseluruhan terasa sekali nuasana tradisi.

Dengan demikian, Pagaralam mengalami perubahan masa diamana pada

masa kebudayaan Megalithikum di masyarakat Basemah (Pasemah) dapat

ditafsirkan telah menjalani satu peradaban yang cukup canggih dan kokoh,

sehingga sampai hari ini jejak-jejak peradaban tersebut masih dapat kita telusuri

sampai saat ini.

R. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Pagaralam

Melakukan Praktek ‘Nating’

Dari hasil observasi maupun pengamatan yang dilakukan penulis untuk

mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat Pagaralam

untuk melakukan ‘nating’ terdapat banyak sekali variable maupun faktor-faktor

yang mempengaruhinya mulai dari faktor prestise dalam melakukan mengadakan

pesta adat atau persedekahan baik itu upacara perkawianan, khitanan maupun

upacara kematian, meski terkadang mereka harus berhutang dengan

menggadaikan harta yang mereka miliki.

73

Dimana upacara perkawinan misalnya, terkadang diselenggarakan sampai

tiga hari tiga malam, dan membutuhkan biaya yang tidaklah sedikit, dan pada

umumnya masyarakat akan merasa gengsi kalau tidak bisa melaksanakan pesta

yang meriah, bahkan untuk lingkungan tetangga maupun keluarga terdekat juga

juga dikatakan tidak bisa menjaga adat apabila idak menyelenggarakan acara

pantauan (suatu tradisi mengajak makan para tamu maupun kedua mempelai

untuk makan bersama di rumah kerabat maupu tetangga terdekat), karena takut

mennaggung malu kalau mereka tidak dapat menyediakan hidangan yang mewah

dan beragam, meskipun diluar kemampuan ekonomi mereka, maka kondisi

tersebut mendorong petani untuk menggadaikan sawah ataupun kebun mereka

untuk membiayai segala keperluan yang berkaitandengan peristiwa adat tersebut.

Selain adanya budaya atau tradisi masyarakat Pagaralam dalam

melaksanakan upacara adat baik dalam persedekahan maupun rangkaiannya, ada

juga petani yang menggadaikan sawah atau kebunnya karena mereka enggan

menggarap sawahnya sendiri, karena dengan menggadiakan sawah atau

kebunnya untuk memperoleh dana segar dan uang dari hasil gadai tersebut dapat

digunakan untuk modal usaha maupun digunakan untuk membeli mobil atau

motor untuk kegiatan ojek dan kegiatan usaha lainnya, dan untuk kondisi ini

sering biasanya menggunakan sistem nating biasa atau non kuasa.

Secara umum masyarakat Pagaralam melakukan nating dengan alasan

membutuhkan dana segar atau dana yang langsung bisa digunakan baik untuk

kebutuhan konsumsi maupun produksi, disamping kebuthan-kebutuhan

mendesak lainnya, misalkan ada salah satu dari keluarga yang membutuhkan

74

dana untuk melanjutkan sekolah atau salah satu keluarga yang sakit sehingga

membutuhkan dana yang cukup besar, maka daripada petani menjual sawah,

kebun, atau rumah mereka maka penduduk setempat lebih menggunakan ‘nating’

sebagai alternative utama untuk mengatasi kebutuhan dana tersebut.

Dibanding dengan proses pinjaman di lembaga-lembaga keuangan baik

bank maupun non bank, ternyata ‘nating´dianggap lebih mudah dan tidak

memerlukan begitu banyak administrasi yang rumit, sehingga ‘nating’ ini tetap

berlangsung hingga saat ini di Pagaralam, meskipun dengan melakukan ‘nating’

ini mereka akan menghadapi risiko yang akan muncul dikemudian hari, secara

umum petani atau pelaku ‘nating’ akan mengalami kurangnya lahan garapan dan

tentunya akan mengurangi penghasilan yang nantinya berdampak pada sulitnya

untuk mengembalikan uang pinjaman yang akhirnya pelaku ‘nating’

dihadapkanpada risiko terbesar yakni menjual asset sawah, kebun maupun rumah

mereka kepada yang memberi modal.

Namun bagi pemilik modal atau yang memberi pinjaman uang, terjadi

pergeseran nilai yang sebelum nya memberi bantuan dana hanya untuk

membantu kerabat yang membtuhkan dana, namun sekarang pemilik modal

menganggap budaya nating sebagai peluang investasi dengan mengambil

keuntungan dari sistem yang diterapkan dengan mengharap keuntungan yang

sebesar-besarnya dari sistem ini, hal ini lah yang penulis anggap merupakan

indikasi adanya unsur-unsur riba didalamnya, mulai dari oenetapan lahan yang

akan dijadikan jaminan nating sampai dengan pilihan perjanjian serta waktu

pengembalian.

75

S. Mekanisme perjanjian (akad) dalam pelaksanaan ‘nating’

Secara umum untuk mengetahui mekanisme perjanjian (akad) dalam

pelaksanaan nating terlebih dahulu menetapkan pilihan antara kedua jenis nating

, yakni nating biasa (non kuasa) atau nating kuasa, karena kedua jenis pilihan

inilah yang menentukan inti dari perjanjian yang akan dilakukan, untuk

mendapatkan pinjaman dari nating petani atau pelaku nating tidak perlu mengisi

berbagai macam formulir dengan menyertakan berbagai kelengkapan

administrasi seperti KTP, KK, sertifikat tanah atau rumah, SIUP/NPWP dan

lainnya, pelaku nating cukup mengutarakan keinginannya atau meminjam

sejumlah dana kepada keluarga, kerabat, tetangga ataupun pemilik modal, dan

berjanji akan mengembalikan pinjaman tersebut dalam jangka waktu tertentu.

Meskipun demikian sebagai pengikat antara si penating dan petani

dibuatlah suatu perjanjian (hitam diatas putih) tentang jenis apa yang di gadaikan

(tatingkan), baik itu luas lahan, jangka waktu, besarnya pinjaman dan sistem

nating yang diterapkan (apakah nating kuasa ataun nating biasa), perjanjian

antara kedua belah pihak tersebut dulunya hanya di tanda tangani oleh kedua

belah pihak96, tapi saat ini perjanjian tersebut biasanya harus diketahui oleh

pejabat pemerintah setempat (lurah) untuk menghindari hal-hal yang tidak

diinginkan di masa yang akan dating, tapi biasanya hal ini jarang terjadi,

dikarenakan nating ini merupakan salah satu niat baik pihak keluarga untuk

membantu kerabatnya yang membutuhkan dana dan menurut responden dan

96 Proses ini merupakan proses yang hanya disaksikan dan di tandatangani oleh yang

menatingkan sawah, kebun ataupun rumahnya kepada si pemilik modal, dan biasanya hanya

ditanda tangani okedua belah pihak dengan disaksikan oleh kerabat ataupun tetangga mereka.

76

lurah setempat97 jarang sekali bahkan belum pernah ada hal-hal buruk yang

ditimbulkan akibat nating ini. Jika ada petani yang belum bisa membayar pada

saat jatuh tempo, biasanya waktu akan diperpanjang, bahkan ada yang meminta

tambahan pinjaman uang. Dan bila sampai batas waktu yang diberikan si petani

belum juga mengembalikan uang tersebut, barulah tanah,sawah, kebun maupun

rumah yang ditatngingkan tadi menjadi milik penating seutuhnya dengan

terlebih dahulu mambahas tentang penambahan dana sesuai dengan harga yang

dikehendaki.

Besaran pinjaman yang diperoleh dari nating ini biasanya berkisar antara

Rp. 5.000.000 bahkan sampai dengan Rp.100.000.000,-, dan untuk mendapatkan

dana sebesar itu tidak perlu penaksiran atas luas tanah yang digadaikan pada saat

pengembalian (jatuh tempo) jumlah uang yang dikembalikan sebesar yang

dipinjam tanpa adanya tambahan atau bunga yang dibebankan kepada si petani.

Pemilik modal (penating) mendapatkan kompensasi dari dana yang dipinjamkan

kepada petani berupa hasil panen yang diperoleh yang diperoleh dari hasil

musyawarah yang telah disepakati sebelumnya yang diperoleh dari kegiatan

usaha tani dari lahan yang ditatingkan atau digadaikan. Namun jika sistem nating

yang disepakati adalah nating kuasa artinya si pemilik modal mempuyai kuasa

penuh untuk mengelola serta mendapatkan semua hasil dari lahan ataupun sawah,

kebun yang mereka kelola.

97 Bpk Ahmad Rivai (Pelaku nating) dan Bpk Helmi (Camat Pagaralam selatan)

77

Beda halnya ketika barang yang ditatingkan berupa rumah atau benda

yang tidak menghasilkan, biasanya sistem ini menggunakan sistem nating biasa

dengan cara sang pemilik rumah tetap menghuni rumah mereka tetapi mereka

juga berkewajiban untuk membayar uang sewa selama perjanjian nating

berlangsung, itu berarti sang pemilik rumah mendapatkan uang dari pemilik

modal dan selama masa perjanjian ini berlangsung pemilik rumah masih

menempati rumah itu namun harus membayar uang sewa tambahan dengan

jumlah yang disepakati bersama, namun ada juga yang menggunakan nating

kuasa yang berarti penghuni rumah mempunyai tempat tinggal yang lain yang

akan ditatingkannya ini berarti rumah yang ditatingkan sementara akan dihuni

oleh pemilik modal.

T. Perspektif Islam Dalam Perilaku Budaya ‘Nating’ di Pagaralam

Hasil dari wawancara beberapa narasumber menerangkan alasan dan

definisi umum apa itu nating serta bagaimana praktik nating yang berlaku pada

masyarakat Pagaralam, berikut beberapa kutipan hasil wawancara yang dilakukan

oleh penulis:

Menurut Bpk Defri98 menerangkan:

“Hampir semua masyarakat Pagaralam mengetahui dan melakuakan

nating dengan tujuan yang beragam, namun umum nya nating

berlangsung pada kerabat terdekat dengan tujuan saling tolong menolong,

namun ada juga yang melakuakan nating ddengan alasan menyimpan

uang dengan harapan akan mendapat manfaat dari hasil nating itu sendiri,

missal nya mendapatkan sasih99”

98 Defri, Lahat, 25 Februari 1974 Pelaku nating biasa

99 Sasih Merupakan istilah masyarakat Pagaralam untuk menyebutkan pembagian hasil

yang dilakukan setelah masa panen berlangsung, sasih dapat berupa hasil panen baik itu padi,

maupun kopi dan dapat juga berupa uang hasil penjualan hasil panen.

78

Selanjutnya keterangan bpk Ahmad Rivai lani100

“nating bertujuan untuk meolong keluaarga terdekat yang membutuhkan

uang, namun ada juga untuk mencari pendapatan lain untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari, misalnya dengan dengan memberi pinjaman

kepada yang menggadaikan sawahnya tentunya pemilik modal (murtahin)

mendapatkan hasil dari setiap panen dari pemilik sawah dengan tidak

mengurangi uang yang dipinjamkan, jadi sama seperti menabung, dan

penerima uang juga dapat memanfaatkan uang tersebut untuk modal

usaha mereka”

Dari pihak rahin ataupun murtahin yang penulis wawancarai, semuanya

memberi keterangan bahwa mereka menating kan sawah, kebun ataupun rumah

mereka dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan mereka dan secara khusus

mereka tidak mengetahui apakah proses nating yang telah mereka lakukan telah

sesuai denag prinsip-prinsip muamallah dalam Islam.

Berikut hasil wawancara yang penulis lakukan pada beberapa tokoh

masyarakat dan tokoh agama di kota Pagaralam.

Menurut pendapat bpk Syahril Pudi101, berikut penuturannya:

“Nating sudah berlangsung begitu lama di Pagaralam, bahkan tidak hanya

berlangsung di sini, daerah sekitar Pagaralam juga melakukan hal yang

sama, seperti Lahat, dan Empat Lawang, untuk mengetahui nating

dibolehkan atau tidak dapat kita lihat dari perjanjian awal atau akad ijab

qabul nya, biasanya nating berlangsung dalam jangga waktu yang lama

bahkan bisa jadi sampai bertahun-tahun, hal ini meurut saya yang harus

penulis kaji lebih dalam karena menurut endapat saya ada unsur yang

merugikan sepihak (untuk nating kuasa), untuk nating biasa mohon

diperjelas bahwa niat awal pelaksanaan nating merupakan azas tolong-

menolong bukan investasi, jadi semua keuntungan yang dihasilkan keuda

belah pihak harus siap menaggungnya, baik itu untung atau rugi dari

setiap kali hasil panen.

100 Ahmad Rivai Lani pelaku nating kuasa dan nating rumah

101 Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah Jarai dan Tokoh Muhammadiyah Pagaralam

79

Menurut penuturan bpk Ahmad Nizom102 bahwa :

“Nating harus bebas dari unsur riba, dan harus bebas juga dari pinjaman

yang mengambil manfaat.”

Dan menurut Ust Amril mukminin al-hafidz menerang kan bahwa:

“Pada masa rosul sudah terjadi sistem gadai seperti ini, pada masa itu

disebut ar-rhan dimana Rasulullah saw. membeli makanan dari seorang

yahudi dengan menggadaikan baju besinya, jadi gadai sudah

berlangsung sejak lama, dan sudah di contohkan oleh rosul, pertanyaan

nya bagaimana dengan sistem gadai yang ada saat ini dan dikatkan

dengan nating yang ada di Pagarlam, secara umum saya menyimpulkan

bahwa nating kuasa itu dilarang karena banyak mengandung unsur riba

disana, dimana pemegang gadai mengambil manfaat dari barang gadai

dengan memanfaatkan sepenuhnya hasil dari barang gadai, berbeda

dengan nating biasa yang masih mengandung unsur bagi hasil

mudharobah didalamnya, jadi muammalah nating biasa ini masih dapat

dilaksanakan di Pagaralam.”

Dari keterangan narasumber yang ada, dapat diindikasikan bahwa

pelaksanaan nating pada masyarakat Pagaralam terindikasi terdapat unsur riba

didalamnya namun ada juga proses nating ini sudah sesuai dengan hukum

syari’ah kerena sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dalam

melakukan muammalah dan juga semua pihak merasakan manfaat dari akad

tersebut, secara garis besar prinsip-prinsip hukum Islam yang dijadikan pedoman

dalam melakukan aktifitas nating dirumuskan sebagai berikut :

a. Pada dasarnya segalah bentuk muammalah adalah mubah, kecuali yang

ditentukan lain oleh al-Quran dan sunnah Rasul

b. Muammalah dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur

paksaan dan tanpa mengandung unsur riba

102 Perwakilan Kantor Departemen Agama kota Pagaralam sekaligus pengurus Majelis

Ulama Indonesia kota Pagaralam

80

c. Muammalah dilakukan atas pertimbangan mendatangkan manfaat dan

menghindarkan mudharat dalam kehidupan bermasyarakat, dengan

demikian maka segala hal yang dapat membawa mudharat harus

dihilangkan.

d. Muammlah harus dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan,

menghindari unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.

Bentuk nating kuasa dengan memberikan jaminan berupa sawah, ladang

ataupun rumah kepada murtahin atau penerima gadai dengan jangka waktu yang

telah ditentukan dan penerima gadai berhak memanfaatkan marhum atau jaminan

sepenuhnya, dan pemanfaatan jaminan seperti inilah yang sangat rentan sekali

dengan praktik riba, dengan dalil bahwa semua pinjaman yang menghasilkan

keuntungan atau manfaat adalah riba’, berikut adalah pendapat-pendapat menurut

ulama ahli fiqih:

Pendapat ulama Syafi’iyah bahwa tidak ada hak bagi murtahin untuk

mengambil manfaat dari benda yang digadaikan, karena sabda Rasulullah saw,

dari Muhammad bin Ismail bin Abu Fudail mengabarkan kepada kami dari Ibnu

Abu Dzi’b dari ibnu Syihab, dari Sa’id bin Al-Musayab bahwa Rasulullah saw

bersabda, transaksi gadai tidak menutup pemilik barang dari barang yang

digadaikannya, dialah yang menebusnya dan dia pulalah yang menaggung

dendanya.

81

Adapun pendapat Ulama Malikiyah apabila seorang rahin memberi izin

kepada murtahin untuk mengambil manfaat dari marhum, atau murtahin

mensyaratkan sebuah manfaat, maka hal ini diperbolehkan dengan catatan yang

berasal dari akad jual beli atau serupa (akad yang didalam nya terdapat

kompensasi atau ganti manfaat yang diterima murtahin), masa pemanfaatannya

ditentukan atau diketahui (untuk menghindari dari ketidak jelasan yang dapat

merusak muamalah), contoh: seorang murtahin mengambil manfaat secara cuma-

cuma untuk dirinya atau manfaat itu dihitung sabagai hutang dengan catatan

rahin segara melunasi sisa hutangnya.

Pengambilan manfaat oleh murtahin tidak diperbolehkan apabila dain

(hutang) barasal dari akad al-qardh (hutang piutang), karena hal ini termasuk

dalam kategori hutang yang menarik manfaat, bahkan pengambilan manfaat tetap

tidak diperbolehkan meskipun seorang rahin secara sukarela memberikan

manfaat kepada murtahin (maksudnya tidak diisyaratkan oleh murtahin), karena

hal ini termasuk dalam kategori hadiyah midyan (hadiah dari orang yang

berhutang).

Kelompok Hanafiyah berpendapat seorang murtahin tidak berhak untuk

memanfaatkan barang yang digadaikannya kecuali dengan izin rahin karena yang

menjadi hak murtahin hanyalah menahan marhun, bukan memanfaatkannya,

apabila murtahin mengambil manfaat dari marhun, kemudian rusak pada saat

dipakai, maka murtahin berkewajiban mengganti seluruh nilai dari marhun

karena posisi murtahin sama dengan orang yang merusak barang milik orang

lain, namun ketika rahin memberi izin kepada murtahin untuk mengambil

82

manfaat dari marhun, maka sebagian ulama hanafiah membolehkan secara

mutlak, dan sebagian nya melarangnya secara mutlak, karena pemanfaatan itu

merupakan riba ataupun di dalamnya terdapat sesuatu yang serupa dengan riba.

Pendapat ulama Hanbali berbeda dengan pendapat ulama yang lain,

mereka berpendapat, dalam gadai selain hewan atau sesuatu yang menghasilkan

yaitu sesuatu yang tidak membutuhkan pada pembiayaan seperti rumah dan

barang lainnya, maka murtahin tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari

marhun tanpa izin dari rahin, karena barang yang digadaikan manfaat serta

pengembangannya menjadi milik rahin, sehingga selain rahin tidak berhak untuk

mengambil pemanfaatan dari marhun karena hal itu termasukdalam kategori

hutang (qard) yang menarik manfaat dan hal itu adalah diharamkan, hal ini

berpegang pada hadist sebagai berikut:

“Semua pinjaman yang menarik manfaat adalah riba (HR Al-Haris bin Abi

Usamah)

Imam Ahmad berkata, saya tidak menyukai akad qard dengan agunan

rumah, itu termasuk riba murni, maksud imam Ahmad adalah apabila sebuah

rumah dijadikan agunan untuk akad qard (hutang), maka pada akhirnya murtahin

mengambil manfaat dari rumah tersebut. Ungkapan imam Ahmad tentang topic ini

yaitu agar seorang murtahin tidak boleh mengambil manfaat sesuatu pun dari akad

rahn, kecuali apabila barang yang digadaikan berupa binatang kendaraan dan

binatang yang diperah susunya, apabila barang yang digadaikan berpa binatang

binatang kendaraan ataupun binatang yang diperah susunya, maka murtahin

berhak menaiki dan memeras susunya sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya.

83

“Susu binatang perah boleh diambil jika ia bagian dari borg dan diberi

nafkah (oleh murtahin), boleh menunggangi binatang yang diberi nafkah

(oleh murtahin), jika binatang itu menjadi barang gadaian, orang yang

menunggangi dan mengambil susunya wajib memberi makan atau nafkah”

(HR. Bukhari dan Abu Daud)

Hampir sama dengan pendapat ulama Hanbali, Sayid Sabiq

mengemukakan bahwa akad gadai bertujuan untuk meminta kepercayaan dari

menjamin hutang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Tindakan memanfaatkan

barang tidak ubahnya seperti qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk

qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba103. Keadaan qiradh yang

mengandung unsur riba ini, jika agunan bukan berbentuk binatang yang

ditunggani atau binatang ternak yang bisa diambil susunya atau pun lahan yang

menghasilkan sesuatu darinya. Cara yang demikian berpegang pada hadist:

“Semua Pinjaman yang menarik manfaat adalah riba104 (HR Al-Haris Bin

Abi Usamah)

Jadi secara umum ke empat pendapat Imam mazhab tersebut

mengisyaratkan bahwa apabila rahin mengizinkan murtahin untuk mengambil

manfaat, sedangkan hutang kadai itu adalah qardh, maka hal itu tidak boleh

karena yang demikian berarti qiradh yang menarik manfaa. Akan tetapi, apabila

hutang tersebut bukan qiradh, pemegang gadai boleh memanfaatkan barang gadai

tersebut sebatas pembagian nya hasil dari kesepakatan bersama antara rahin dan

103 Sayid sabiq, fiqih sunnah hal 153

104 Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul maram Min Adilat Al-Hakam, Terj Abdul

Rosyad Siddiq; Terjemah Lengkap Bulughul Maram, Jakarta, Akbar Media Eka Sarana, 2007, hal

384

84

murtahin, Imam Malik Mensyaratkan kebolehannya apabila izin itu didalam akad

dan masa dimanfaatkan dalam waktu tertentu.105

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional106 tentang rahn memutuskan bahwa

pinjaman dengan menggadaikan barang jaminan hutang dalam bentuk rahn di

bolehkan dengan ketentuan marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin.

Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oelh murtahin kecuali seizing

rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar

pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya, pemeliharaan dan perawatan

marhun pada dasarnya merupakan kewajiban rahin, namun juga dapt dilakukan

oleh murtahin, sementara biaya pemeliharaan dan penyimpanan tetap menjadi

kewajiban rahin.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), hanya

memberikan keterangan di dalam pasal 396 tentang pemanfaatan barang gadaian

dengan menyebutkan bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan marhun tanpa

izin dari rahin.

Dengan demikian menururt pendapat para ulama mazhab jika dikaitkan

dengan perilaku nating yang terjadi di Pagaralam yakni pinjaman uang yang

dilakukan oleh rahin disertai dengan pemanfaatan dan pembagian hasil dari sawah

maupun rumah kepada murtahin dalam jangga waktu tertentu maka hukum nya

ada sistem nating yang dibolehkan (mubah) dan ada juga sistem nating yang

dilarang (haram), karena jika dilihat dari pendapat imam Syafi’i membolehkan

105 Mahmud Syathut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zaky Al-Kaaf, (Bandung:

Pustaka Setia, 2007), h 288

106 fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002

85

pemanfaatan barang jaminan gadai jika tidak diisyaratkan diawal akad, sedangkan

praktik nating yang terjadi di Pagaralam semua persaratan terdapat di awal akad,

termasuk penetapan jenis nating yang di lakukan dan jumlah pembagian dari hasil

yang diperoleh dari pemanfaatan jaminan gadai (marhun), maka dapat

disimpulkan menurut pendapat Imam Syafi’i bahwa semua jenis nating yang

terjadi di Pagaralam merupakan muammalah yang dilarang (haram).

Sedangkan apabila dilihat dari pendapat imam Maliki bahwa boleh

memanfaatkan barang jaminan gadai baik itu disyaratkan di awal atau tidak di

isyaratkan tetapi dengan catatan hutang (dain) tersebut didapatkan dari akad jual

beli ataupun akad ijarah dan sejenisnya. Akan tetapi apabila peranjian tersebut

didapatkan dari akad hutang piutang (qard) maka hukumnya adalah haram.

Karena setiap hutang piutang yang mengambil manfaat adalah haram, sedangkan

praktik nating di Pagaralam semua akadnya merupakan akad hutang piutang

dengan jaminan berupa sawah, kebun maupun rumah, maka menurut Imam Maliki

praktik nating di Pagaralam termasuk kategori muammalah yang dilarang

(haram).

Selanjutnya apabila dilihat dari pendapat Imam Hanafiah, mereka

berpendapat murtahin tidak berhak memanfaatkan barang gadaian kecuali

mendapatkan izin dari rahin, karena hak murtahin hanya menahan barang jaminan

tersebut tidak dengan mengambil manfaatnya,

86

Menurut pendapat Imam Hambali bahwa selain untuk hewan yang dapat

ditunggangi atau hewan yang menghasilkan susu, maupun sesuatu yang

membutuhkan perawatan, pemeliharaan dan menghasilkan, yaitu sesuatu yang

tidak membutuhkan perawatan seperti rumah dan barang lainnya, maka murtahin

tidak boleh memanfaatkannya kecuali dengan seizing rahin , akan tetapi apabila

hutang tersebut dari akad qard (hutang piutang) meskipun rahin telah

mengizinkan tetap saja hal ini tidak boleh dimanfaatkan, karena ini adalah bentuk

hutang piutang yang mendatangkan manfaat, pendapat imam Hambali inilah yang

paling mendekati kondisi yang terjadi di Pagaralam, dimana dalam proses nating

murtahin memperoleh manfaat dari barang yang diagadaikan tentunya dengan

seizing rahin, ini terjadi pada proses nating biasa dan barang yang ditatingkan

berupa sawah, ladang ataupun kebun mereka, untuk barang gadai yang berupa

rumah hambali berpendapat tidak boleh mengambil manfaat dari barang tersebut.

Namun terjadi permasalahan mengenai akad yang ada di dalam akad

gadai, karena dalam proses nating akad yang digunakan adalah akad hutang

piutang sehingga menurut para imam tidak boleh mengambil manfaat dari akad

qardh, sehingga untuk proses nating yang terjadi selama ini untuk pemanfaatan

nya menurut para imam adalah jenis muamalah yang dilarang,

Terlepas dari itu semua tinjauan penulis tentang proses nating yang terjadi

di Pagaralam mempunyai karakteristik yang berbeda dalam hal pembagian hasil

ataupun pemanfaatannya, untuk nating biasanya misalnya, pengelolaan marhun

(barang gadai) masih sepenuhnya dikelolah oleh rahin, namun setelah barang

87

gadai memperoleh hasil dari masa panen (sawah, kebun), rahin memberikan

sebagaian hasilnya kepada murtahin sesuai dengan akad yang disepakati di awal,

ketidak tahuan tentang akad inilah yang menyebabkan proses nating ini belum

sesuai dengan syariat hukum Islam. Dan jika kondisi ini diharamkan maka akan

menimbulkan mudharat dari pihak yang menerima gadai dan ini bertentangan

dengan asas-asas dalam bermuamalah yaitu muamalah yang dilakukan atas

pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat dalam hidup

bermasyarakat, dan muamalah harus dilakukan dengan memelihara nilai-nilai

keadilan. Hal ini juga sesuai dengan asas-asas akad yang tercantum di dalam

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 21 huruf (e) yang

menerangkan bahwa akad dilakukan atas dasar saling menguntungkan para pihak,

sehingga tercegah dari praktik yang merugikan salah satu pihak.

Mudharat yang harus dihilangkan dalam pemanfaatan sawah, kebun atau

pun rumah yaitu ketika penerima gadai dilarang dalam memanfaatkan barang

gadaian sawah yang menjadi barang gadaian, karena hal ini akan menyebabkan

kerugian bertahun-tahun yang dialami oleh pihak penerima gadai (murtahin) hal

ini bisa dikaitkan dengan teori inflasi mata uang Indonesia, dan juga pengharaman

dalam pemanfaatan sawah tersebut akan mencidrai asas-asas keadilan karena

ketika mengharamkan pemanfatan sawah oleh pihak penerima gadai sedangkan

pihak yang menggadaikan (rahin) bisa menikati keuntungan dengan mendapatkan

dana segar untuk kebutuhan ataupun mengembangkan usaha yang dimiliki oleh

pihak penggadai sawah (rahin).

88

Sesuai dengan tinjauan penulis terhadap nating pada masyarakat

Pagaralam dengan menggunakan pendekatan dari sudut pandang empat mazhab

ditambah dengan pendapat ulama serta tokoh masyarakat yang ada di Pagaralam

dan menggunakan pendekatan KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah),

maka pemanfaatan barang gadai (marhun), yang dilakukan masyarakat kota

Pagaralam menjelaskan bahwa :

a. Untuk pelaksanaan nating kuasa, baik itu sawah, kebun ataupun

rumah, lebih mengindikasikan unsur riba didalamnya Karena proses

nating yang terjadi di Pagaralam rahin menyerahkan sepenuhnya

marhun kepada murtahin baik itu pengelolaan dan manfaat, maka

meskipun secara legal barang gadai masih menjadi milik rahin akan

tetapi rahin tidak menerima apapun dari hasil pemanfaatan harta gadai.

b. Untuk pelaksanaan nating biasa yang terjadi di pagaralam baik itu

nating sawah, kebun, ladang maupun rumah, dalam sisi akad memang

masih terjadi unsur riba didalam nya karena akad yang digunakan

adalah akad qiradh (hutang piutang), namun dalam prakteknya jenis

muammalah ini yang paling mendekati unsur-unsur muammalah yang

ideal dalam sudut pandang Islam dikarenakan :

1. Dalam proses nating sawah, kebun ataupun ladang misalnya,

marhun (harta gadai), tetap menjadi milik rahin baik itu

pengelolaan, dan pengambilan manfaatnya, namun karena sawah,

kebun ataupun ladang tersebut sudah menjadi jaminan gadai, maka

89

dari awal perjanjian akad rahin dan murtahin sudah menetapkan

pembagian hasil dari pemanfaatan sawah, kebun ataupun ladang

tersebut.

2. Proses nating biasa ini dapat dikatagorikan sebagai akad

mudharobah yang intinya rahin dapat terus mengelola marhun dan

hasil dari pengelolaan tersebut dapat dibagi sesuai jenis

pemanfaatannya, karena marhun sepenuhnya masih milik milik

rahin namun murtahin memberikan sejumlah uang yang dapat

digunakan untuk mengelola marhun maupun dapat digunakan

untuk keperluan rahin lainnya.

3. Untuk hasil pemanfaatan dalam proses nating ini harus disepakati

di awal dengan cara musyawarah dan dituangkan dalam keputusan

resmi yang mengikat dengan inti isinya adalah, bahwa murtahin

memberikan sejumlah uang kepada rahin dengan jaminan berupa

sawah atau kebun dengan sistem akad mudharabah (bagi hasil)

selama periode yang disepakati, dan masing-masing pihak

berkewajiban untuk bersama-sama mengelola jaminan gadai

tersebut dan hasil dari pengelolaan dibagi dengan hasil kesepakatan

kedua belah pihak, baik itu rahin dan murtahin. Jadi kedua belah

pihak siap untuk menanggung untung mauun rugi dari setiap hasil

panen.

90

c. Untuk pemanfaatan barang gadai berupa rumah, ataupun harta yang

tidak bergerak, proses nating yang terjadi dipagaralam baik itu nating

biasa ataupun nating kuasa apabila mengambil manfaat dari

muamallah ini maka muammalah ini dilarang ataupun belum sesuai

dengan nilai-nilai Islam. Karena dalam nating kuasa penghuni rumah

atau pemilik rumah menggadaikan rumahnya kepada pemilik modal

dan tetap menghuni rumah tersebut namun pemilik rumah mash berhak

membayar sewa sebagai pengganti uang sewa rumah karena pemilik

modal tidak menghuni nya, berbeda dengan dengan nating kuasa yang

apabila pemilik rumah mempunyai rumah lebih dari satu, sebagai

jaminan gadai rahin menggadaikan satu unit rumah yang akan dihuni

oleh pemilik modal, hal ini juga tidak bolehkan karena selama

perjanjian ini berlangsung si pemilik modal berkuasa penuh utnuk

menghuni sekaligus memanfaatkan apa yang ada pada rumah tersebut.

Jadi dari beberapa poin diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa dalam

muammalah nating ini masih terdapat unsur-unsur riba didalam nya,meskipun ada

proses yang sudah sesuai dengan hukum Islam.

91

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

U. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan pembahasan-pembahasan di atas mengenai

praktek nating di kota Pagaralam, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Praktek nating yang dilakukan oleh masyarakat kota Pagaralam, belum

sesuai dengan syari’at Islam secara keseluruhan yaitu menyangkut

tentang masalah pemanfaatan barang gadai dan akad yang digunakan,

karena prinsipnya adalah nating bukan sarana untuk investasi

melainkan sarana tolong-menolong

2. Meskipun praktik nating belum sepenuhnya sesuai dengan hukum

Islam akan tetapi masih dapat dilihat bahwa praktek nating yang

dilakukan oleh masyarakat Pagaralam sudah memenuhi syarat dan

rukun gadai. Namun, ada beberapa hal yang perlu dibenahi seperti

pengelolaan barang jaminan dan pembagian hasil barang jaminan.

Karena dengan ketidak jelasan hal tersebut, pada akhirnya timbul

prasangka bahwa salah satu pihak merasa diuntungkan atau dirugikan.

92

3. Dalam hukum Islam, akad haruslah jelas isi, jenis, serta tujuan dari

pengadaan akad. Apabila tidak ada kejelasan mengenai akad diantara

kedua belah pihak yang nantinya dapat menimbulkan kekecewaan

salah satu pihak, maka hal itu dapat membuat akad menjadi cacat dan

tidak sah dalam hukum Islam. Jadi, dalam kajian hukum Islam, harus

ada kejelasan di antara penerima gadai dan penggadai. Saran-saran

V. Saran-Saran

Dengan adanya beberapa uraian diatas, maka penulis memberikan saran-

saran untuk menjadi bahan pertimbangan yaitu sebagai berikut:

1. Dalam melakukan gadai, antara penggadai dan penerima gadai harus

ada kejelasan waktu, jenis akad, waktu pengembalian hutang, sehingga

pelaksanaan gadai tidak berlarut lama.

2. Dalam pemanfaatan barang jaminan, keuntungan dari pengelolaan

barang jaminan harus dibagi dengan system bagi hasil.

3. Dalam pelakaksanaan praktek gadai prinsip taawwun (tolong

menolong) jangan sampai terabaikan.

4. Tradisi yang bersifat saling tolong menolong harus tetap ditingkatkan

sebagai tradisi yang dapat mempererat hubungan sosial ekonomi

masyarakat kota Pagarlam.

93


Recommended