Date post: | 01-Apr-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Manusia akan
memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginannya terpenuhi,
baik dalam aspek material dan spiritual. Dalam jangka pendek maupun dalan
jangka panjang, terpenuhinya kebutuhan yang bersifat material yang berupa
sandang, rumah dan kekayaan lainnya, dewasa ini lebih banyak mendapatkan
perhatian dalam ilmu ekonomi.89 Terpenuhinya kebutuhan material inilah yang
disebut dengan sejahtera.90
Setiap manusia bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya,
namun dalam mempersepsikan kesejahteraan manusia memiliki pengertian yang
berbeda-beda. Dalam berbagai literatur ilmu ekonomi konvensional dapat
disimpulkan bahwa tujuan manusia untuk memenuhi kebutuhannya atas barang
dan jasa adalah untuk mencapai kesejahteraan (well-being). Manusia
menginginkan kebahagian dan kesejahteraan dalam hidupnya namun seringkali
hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi.
89 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta atas kerjasama dengan Bank Indonesia, ‘Ekonomi Islam’, PT Raja Grafindo Persada,
2013, hal 1 90 Sejahtera diterjemahkan dari kata prosperous yang berarti maju dan sukses.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah aman sentosa dan makmur, selamat (terlepas dari
segala macam gangguan, kesukaran.),
2
Dalam memahami perilaku ekonomi masyarakat untuk menggapai
kesejahteraan atau pun kebutuhan mereka, mengindikasikan hubungan yang
terpisahkan antara sistem ekonomi dan konteks sosial serta perilaku budaya
dimana masyarakat itu berada, pada dasarnya semua kegiatan maupun tindakan
memiliki aspek ekonomi, sosial dan budaya, dimana bentuk-bentuk sosial tertentu
harus ada sebelum pertumbuhan ekonomi tertentu. Struktur ekonomi sebagai salah
satu konsep yang integral mencakup : kepemilikan harta benda, upah buruh,
sistem pasar, keadaan atau gejala eksploitasi tenaga kerja dan sebagainya.
Lalu bagaimana sistem ekonomi Islam mengambil peran dan menjawab
permasalahan yang timbul di masyarakat, nampaknya peran ekonomi Islam dalam
konteks kekinian dan kemodernan dewasa ini sangat diperlukan dan tidak dapat
dihindarkan lagi. Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang
seiring dengan perkembangan zaman membuat hukum Islam harus menampakkan
sifat elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik serta
memberikan kemaslahatan bagi umatnya.91
Islam mendefinisikan agama bukan hanya berkaitan dengan spiritual atau
ritualitas, namun agama merupakan serangkaian keyakinan, ketentuan dan
peraturan serta tuntutan moral bagi setiap aspek kehidupan manusia, dan Islam
juga memandang agama sebagai suatu jalan hidup yang melekat pada setiap
aktivitas kehidupan, baik ketika manusia melakukan hubungan interaksi ritual
91 Muhammad Sholikul Hadi, ‘Pegadaian Syariah’, Jakarta, Salemba Diniyah, 2003,
hal 2.
3
dengan Tuhannya maupun ketika manusia berinteraksi dengan manusia dan alam
semesta.92
Islam memandang aktivitas ekonomi secara positif. Semakin banyak
manusia terlibat dalam aktivitas ekonomi maka semakin baik, sepanjang tujuan
dari prosesnya sesuai dengan ajaran Islam. Ketakwaan kepada Tuhan tidak
berimplikasi pada penurunan produktivitas ekonomi, sebaliknya justru membawa
orang semakin produktif. Kekayaan dapat mendekatkan kepada tuhan selama
diperoleh dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.93
Pandangan Islam terhadap permasalahan ekonomi termasuk permasalahan
antar sesama manusia atau lebih kita kenal dengan istilah muamallah merupakan
aspek bagaimana Islam memandang tujuan hidup manusia, memahami
permasalahan hidup dan ekonomi dan bagaimana Islam memecahkan masalah
ekonomi tersebut.
Muamalah merupakan tata cara atau peraturan dalam perhubungan sesama
manusia untuk memenuhi keperluan masing-masing yang berlandaskan syariat
Allah swt yang melibatkan bidang ekonomi dan sosial Islam. Muamalah adalah
semua hukum syariat yang bersangkutan dengan urusan dunia, dengan
memandang kepada aktivitas hidup seseorang seperti jual-beli, tukar-menukar,
pinjam-meminjam dan sebagainya. Muamalah yang dimaksudkan ialah dalam
92 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta atas kerjasama dengan Bank Indonesia, ‘Ekonomi Islam’, PT Raja Grafindo
Persada, 2013, hal 14. 93 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta atas kerjasama dengan Bank Indonesia, ‘Ekonomi Islam’, PT Raja Grafindo
Persada, 2013, hal 14.
4
bidang ekonomi yang menjadi tumpuan semua orang untuk memperoleh
kesenangan hidup di dunia dan kebahagian di akhirat. 94
Masalah muamalah selalu dan tetap berkembang tetapi perlu diperhatikan
agar tidak menimbulkan kesulitan hidup pada pihak tertentu yang disebabkan oleh
adanya tekanan atau tipuan dari pihak lain. Islam adalah agama yang memberi
pedoman hidup kepada manusia secara menyeluruh, meliputi segala aspek
kehidupan, antara lain aspek aqidah, ibadah, akhlak dan kehidupan bermasyarakat
menuju tercapainya kebahagiaan hidup rohani dan jasmani baik dalam kehidupan
individunya maupun dalam kehidupan masyarakatnya.
Dalam konteks perekonomian di kota Pagaralam, khususnya di beberapa
kecamatan masih di dominasi oleh usaha-usaha mikro dan kecil dan pelaku
utamanya adalah para petani, buruh tani, pedagang, maupun industri rumah
tangga, namun demikian para pelaku ini pada umumnya masih dihadapkan pada
permasalahn klasik yaitu terbatasnya ketersediaan modal sebagai unsur esensial
dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat pedesaan,
maka dalam jangka panjang kelangkaan modal bisa menjadi point utama terjadi
nya siklus rantai kemiskinan yang menyebabkan terjadinya interaksi antara
pemilik modal dan peminjam modal.
94 Munir ‘Praktik Gadai Sawah dan Implikasi Sosial Ekonomi’. Jurnal Ilmiah,
Universitas Brawijaya, Malang, hal 3
5
Hasil survey awal yang dilakukan penulis menunjukan bahwa beberapa
masyarakat desa yang ada di kota Pagaralam sering menggadaikan sawah, kebun,
rumah ataupun ladang mereka kepada kerabatnya sendiri, tengkulak atau pemilik
modal, kebiasaan masyarakat kota Pagaralam khususnya para petani ini dalam
menggadaikan sawah, kebun ataupun rumah meraka dikenal dengan istilah nating
nating sudah berlangsung lama di kota Pagaralam, dimana pelakunya
menatingkan (menggadaikan) sawah,ladang, kebun bahkan rumah mereka untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka baik untuk konsumsi, menutupi biaya hidup
baik sebelum masa panen maupun pada masa transisi, untuk keperluan produksi
dan ada juga yang mentatingkan sawah nya karena faktor-faktor lain.
Karena adanya perilaku yang demikian, maka penulis merasa perlu untuk
mengaitkan budaya perilaku nating dengan ekonomi Islam dan muamalah dengan
tujuan agar praktik nating ini tidak bertentangan dengan hukum Islam dan jauh
dari praktik riba dan sejenis nya, karena pada hakekatnya perilaku budaya yang
selaras dengan ajaran Islam akan menghasilkan suatu produk yang dapat
memberikan kebaikan untuk semua kalangan.
Kehidupan bermasyarakat adalah kehidupan yang sangat kompleks akan
interaksi antar individu dengan individu lainnya, apalagi kehidupan pada
masyarakat pedesaan yang sarat dengan berlakunya perilaku sosial budaya atau
kebiasaan orang sekitar yang ada di dalamnya termasuk tentang tata cara
bermuamalah antar individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan salah satu
bentuk interaksi yang sering dilakukan di kota Pagaralam adalah nating (gadai)
6
Hukum Islam yang sering juga kita sebut syariah, menyajikan nilai-nilai
inti yang di atasnya umat dapat memilih untuk mendasarkan kebijakan ekonomi
dan sosial dengan tujuan berdasarkan dari syariah guna untuk membangun tatanan
sosial dan etika ekonomi karena Islam adalah agama yang menanamkan ajaran
rinci untuk kehidupan ekonomi pengikutnya. Islam membahas nilai sumber daya
alam, menetapkan standar untuk eksploitasi mineral dan menetapkan pedoman
warisan, keuangan, perpajakan dan perbankan. menekankan pentingnya
pendidikan, kesehatan, kerja keras, investasi serta jaring pengaman sosial.95
Agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk hidup saling tolong
menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong
yang kurang mampu, bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan
bisa berupa pinjaman. Dikaitkan dengan budaya nating hukum Islam menjaga
kepentingan kreditur atau penating (yang memberi pinjaman) jangan sampai
dirugikan, oleh sebab itu sebagai jaminan utangnya pihak peminjam harus
memberikan jaminan atau mentatingkan sawah, kebun ataupun rumahnya. Ini
salah satu bentuk perwujudan dari muamalah yang disyariatkan oleh Allah swt
adalah gadai (rahn), Allah swt memerintahkan kepada manusia untuk melakukan
praktik gadai sebagai sarana untuk saling tolong menolong, praktik ini sebagai
upaya untuk menjadikan hubungan sosial antara yang mampu dengan yang kurang
mampu dalam ekonomi menjadi lebih erat.
95 Hossein Askari and Roshanak Tagha ”The Principle Foundation Of An Islamic
Economy” Jurnal Ilmiah, Bangladesh, hal 188
7
Salah satu pemicu praktik nating atau gadai yang terjadi di Pagaralam
adalah karena tuntutan kebutuhan ekonomi, sehingga mayoritas orang yang
melakukan nating adalah dari orang yang ekonominya rendah atau sedang
membutuhkan kebutuhan mendesak (tergolong miskin) sementara yang
menerima gadai rata-rata dari dari kalangan kerabat maupun orang kaya dari
lingkungan sekitar nya. Dalam praktik ini pada awal nya mayarakat saling tolong-
menolong antar sesama, seiring dengan berjalannya waktu terjadi pergeseran nilai
yakni orang kaya mengambil sebuah keuntungan diatas keterdesakan ekonomi si
miskin sehingga orang miskin bisa saja karena terpaksa akan merelakan terhadap
barang jaminannya berupa , kebun ataupun rumah mereka untuk dikelola secara
bersama-sama dengan berbagai macam perjanjian bagi hasil dari kedua belah
pihak.
Tentunya hal ini bukanlah sebuah transaksi yang saling menguntungkan,
padahal praktik nating merupakan transaksi yang tujuan utamanya untuk tolong
menolong, seyogyanya nating yang dijadikan sebagai bentuk transaksi supaya
terjadi tolong menolong dan saling bantu membantu bisa dijadikan sebagai sarana
untuk memperbaiki hubungan sosial mereka terutama hubungan yang kaya
dengan yang miskin, bukanlah dijadikan sebagai transaksi atau akad profit untuk
mencari keuntungan.
8
Oleh karena itu, perlu adanya penelitian yang lebih kongkrit terutama
dalam masalah praktik nating yang terdapat di kota Pagaralam, karena praktik
nating yang terjadi mengindikasikan sebuah praktik yang tidak ideal apalagi
ketika dihubungkan dengan pandangan Islam, Maka penulis akan mengkaji dan
menuangkan penelitian ini dalam bentuk tesis dengan judul : PERILAKU
BUDAYA NATING (GADAI) PADA MASYARAKAT KOTA
PAGARALAM (ANALISIS DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM)
B. RUMUSAN MASALAH
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa masyarakat pedesaan di kota
Pagaralam memiliki kebiasaan nating. nating ini banyak dilakukan masyarakat
pedesaan kota Pagaralam dalam rangka mendapatkan pinjaman untuk memenuhi
kebutuhan biaya hidupnya, untuk itulah penulis ingin mengetahui lebih
mendalam, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yakni:
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat kota Pagaralam
melakukan nating?
2. Bagaimana mekanisme perjanjian (akad) dalam pelaksanaan nating di kota
Pagaralam?
3. Bagaimana perspektif Islam menyikapi praktik perilaku budaya nating di kota
Pagaralam?
9
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis perilaku budaya nating di
kota Pagaralam dalam perspektif ekonomi Islam, namun secara khusus penelitian
ini bertujuan untuk :
1. Untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat
kota Pagaralam melakukan nating.
2. Untuk menganalisis bagaimanakah mekanisme akad dalam pelaksanaan nating
di kota Pagaralam
3. Untuk menganalisis bagaimana perspektif Islam dalam menyikapi praktik
budaya nating di kota Pagaralam
D. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai perilaku budaya nating pada masyarakat Kota
Pagaralam ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :
1. Secara teoritis :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang positif bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dengan dikembangkannya model perilaku
ekonomi Islam dengan memasukan semua unsur syariah dalam prektek
pelaksanaan nating, guna untuk menjawab keraguan para muslim yang akan
melakukan praktik nating.
10
2. Secara praktis :
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada
pelaku lembaga keuangan syariah maupun non syariah untuk lebih
memahami lagi dan membuka rauang yang lebih besar lagi guna untuk
membantu pendanaan skala mikro masyarakat pedesaan, serta untuk
memberikan masukan bagi pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah
provinsi Sumatera Selatan dan pemerintah kota Pagaralam dalam penyusunan
kebijakan ekonomi berbasis kerakyatan dan tentunya bebasis ekonomi
syariah.
E. Tinjauan Pustaka
Pada masa sekarang ini banyak pemikir yang membahas persoalan
pegadaian. Sehingga tidak heran apabila banyak pemikir yang menuangkan ide
pemikiranya ke dalam buku. Dalam memandang proses penulisan penelitian ini,
penulis membutuhkan literatur-literatur buku yang berkaitan dengan permasalahan
yang dijadikan bahan penelitian sebagaimana tercantum di bawah ini:
Adapun mengenai perilaku ekonomi rumah tangga petani sayur-sayuran,
padi sawah dan kopi dalam kaitan dengan resiko ekonomi di kota Pagaralam dan
Kabupaten Lahat, pernah dilakukan penelitian disertasi yang dilakukan oleh Tien
Yustini, dengan menunjukan pada perilaku nating masyarakat kota Pagaralam dan
Kabupaten Lahat, apakah perilaku ini merupakan peristiwa ekonomi atau
11
peristiwa budaya.96 Dengan mengambil kesimpulan bahwa nating mempengaruhi
perilaku rumah tangga petani padi dan kopi dalam kaitannya dengan risiko
ekonomi dan kegiatan usaha tani, diman dengan melakukan nating menyebabkan
hasil lahan garapan berkurang, meurunkan tingkat produksi dan berdampak pada
menurunnya tingkat pendapatan dan konsumsi petani.
Tesis Mukhlas yang mengambil judul Implementasi Gadai syariah dengan
akad murabahah dan rahn (studi di pegadaian syariah cabang melati sleman
yogyakarta97 menyimpulkan bahwa secara umum pelaksanaan akad dalam proses
gadai di pegadaian syariah sudah sesuai dengan hukum Islam, namun dalam
penekanan nya masih harus lebih memperhatikan transparasi akad serta
kesesuaian antara jenis dan kualitas barang yag di gadaikan dan upaya yang telah
dilakukan oleh pegadaian syariah cabang melati sehingga pelaksanaan
pembiayaan dengan akad murabahah dan rahn tersebut telah sesuai dengan
kaidah-kaidah Hukum Islam mulai dari prosedur pemberian pinjaman dan
pembiayaan, maupun penerapan prinsip kejujuran, keadilan dan prinsip tauhid
dalam ekonomi syari’ah.
96 Tien Yustini “Analisis Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Padi Sawah Dan Kopi
Pelaku Dan Non Pelaku nating Dalam Kaitannya Dengan Risiko Ekonomi Dai Pagaralam Dan
Lahat” Universitas Sriwijaya, Tahun 2011 97 Mukhlas “Implementasi Gadai Syariah Dengan Akad Murabahah Dan Rahn (Studi Di
Pegadaian Syariah Cabang Melati Sleman Yogyakarta)”, Universitas Sebelas Maret, tahun 2010
12
Menurut Ibnu Rusyd, terjemah: Imam Ghazali Said, dan Achmad Zaidun,
dijelaskan berbagai transaksi dalam Islam termasuk mengenai Ar-Rahn
(pegadaian). Dalam buku ini disebutkan bahwa penerima gadai tidak boleh
mengambil manfaat dari barang gadai. Namun apabila barang gadaian berupa
hewan, maka penerima gadai boleh mengambil air susu dan menungganginya
dalam kadar yang seimbang dengan makanan dan biaya yang diberikan
kepadanya.98
Dalam buku Muhammad Sholikul Hadi, yang berjudul Pegadaian Syariah´
dalam buku ini menyajikan informasi tentang bagaimana konsep dan kerja
pegadaian syariah yang dapat dijadikan sebagai suatu alternatif lembaga keuangan
syariah yang dapat diperhatikan di Indonesia atau di Negara manapun. Dalam
buku ini disebutkan bahwa barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, hal ini
di sebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai
amanat bagi penerimanya.99
Dalam buku Nazar Bakry, yang berjudul Problematika Pelaksanaan Fiqih
Islam dalam buku ini diuraikan mengenai bagaimana mahasiswa mudah dalam
mempelajari Fiqih. Dalam salah satu bab di buku ini, juga dijelaskan mengenai
pemanfaatan barang gadai. Pada bab tersebut dijelaskan bahwa yang boleh
mengambil manfaat dari barang jamina gadai adalah orang yang menggadaikan,
98 Ibnu Rusyd, Imam Ghazali Said, dan Achmad zaidun., Bidayatul Mujtahid, Analisis
Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007. hal.203. 99 Muhammad Sholikul Hadi, “Pegadaian Syariah,’ Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,
hal 54
13
bahkan semua manfaat tetap milik si pemberi gadai, walaupun tidak seizin orang
yang menerima gadai.100
Dalam buku Sulaiman Rasjid Fiqih Islam dalam salah satu bab di buku ini
menjelaskan tentang utang piutang dan pemanfaatan barang yang dijadikan
jaminan. Pada bab tersebut dijelaskan bahwa orang yang memberi gadai boleh
mengambil manfaat dari barang jaminan gadai walaupun tidak seizin orang yang
menerima gadai dan kerusakan barang pun atas tanggungannya.101
Dalam buku Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fannani, terjemah:
Moch. Anwar dan tim, yang berjudul Fathul Mu’in dijelaskan mengenai gadai dan
ketentuan barang jaminan. Dalam buku ini disebutkan bahwa penerima gadai
tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadai, kecuali dengan izin si pemberi
gadai.102
Adapun dukungan litertur-litertur tersebut sebagai pangkal tolak menuju
penelitian lapangan yang sempurna. Dalam tesis ini penulis membahas tentang
analisis praktik budaya nating di kota Pagaralam dalam perspektif hukum Islam.
100 Nazar Bakry, “Problematika Pelaksanaan Fiqih Islam”’, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994. hal.48. 101 Sulaiman Rasjid, ‘Fiqih Islam’, Bandung, Sinar Baru Algensindo, Cetakan Ke-36,
2003. hal 310. 102 Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fannani, terjemah: Moch. Anwar dan tim,
‘Fathul Mu’in’ Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994. hal 841
14
F. KERANGKA TEORI
1. Pendekatan teori perilaku ekonomi
Dalam pendekatan teori perilaku ekonomi yang terjadi dalam ruang lingkup
pedesaan maupun perkotaan Untuk itu kita perlu mengetahui dahulu tentang
perilaku kerja dan perilaku ekonomi
a. Perilaku kerja
Karl Marx yang merupakan salah satu filosof, sosiolog dan ahli ekonomi
terkemuka pada abad-19 menjelaskan bahwa pekerjaan adalah tindakan
manusia yang paling dasar. Dalam pekerjaan manusia membuat dirinya
menjadi nyata. Melalui pekerjaan manusia membuktikan diri sebagai
makhluk sosial, yang harus berhubungan dengan orang lain. Dalam arti
tidak mungkin manusia dapat menghasilkan sendiri apa yang
dibutuhkannya103
Dalam menjalankan kerja manusia melakukan tindakan-tindakan atau
perilaku untuk merealisasikan kerja tersebut. Perilaku pada umumnya
dilaksanakan dengan tingkah laku. Menurut Koentjaraningrat, tingkah laku adalah
suatu perilaku manusia yang prosesnya tidak terencana dalam gennya atau yang
tidak timbul secara naluri saja tetapi sebagai suatu hal yang harus dijadikan milik
dirinya dengan belajar104
103 Suseno dan Sumitro Djojohadikusumo, ‘Perkembangan Pemikiran Ekonomi’, buku
obor, Jakarta, 1999 : hal 89-92. 104 Ibid hal 153
15
Di dalam berperilaku kerja, manusia merealisasikan dirinya sebagai
makhluk sosial yang harus selalu bekerja sama dengan orang lain. Kerja sama
antar manusia itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya.
b. Perilaku Ekonomi
Dalam kehidupan sehari-hari istilah perilaku disamakan dengan tingkah
laku. Menurut Koentjaraningrat yang dimaksud tingkah laku adalah perilaku
manusia yang prosesnya tidak terencana dalam gennya atau yang tidak timbul
secara naluri saja, tetapi sebagai suatu hal yang harus dijadikan milik dirinya
dengan belajar, Yang dimaksud perilaku dalam penelitian ini adalah segala
tingkah laku yang dijalankan oleh masyarakat Pagaralam untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Fenomena-fenomena ekonomi yang ingin diterangkan adalah bagaimana
manusia yang mempunyai kehendak bebas mampu diikat oleh hukum-hukum
ekonomi. Dalam ilmu ekonomi dikenal juga dengan relasi ekonomi yang terdiri
dari agen-agen yang terpisah antara satu sama lain dan berhubungan secara
voluntaristik, yang memiliki informasi yang cukup, rasional (Instrumental
Rasionality), self interested untuk melakukan pertukaran
Adapun yang dimaksud dengan Instrumental Rasionality adalah suatu
tujuan dicapai dengan sarana se efisien mungkin, ini yang disebut Rasional dalam
ekonomi. Fenomena diatas tentunya masih mengacu pada asumsi dasar yaitu
homo economicus dimana dalam homo economicus selalu ada asumsi-asumsi
seperti well informed, Instrumental Rasionality, dan self interested.
16
Sifat rasional yang diperkenalkan oleh pada era ekonom neoklasik105
dimana penekanannya pada asumsi bahwa manusia adalah agen rasional yang
dalam aktivitas ekonomi hanya berorientasi pada memaksimalkan kegunaan atau
kebahagiaan. Sifat rasional ini mempunyai ciri sebagai berikut, pertama,
memperhitungkan untung-rugi. Kedua, mementingkan keuntungan diri sendiri.
Ketiga, memberikan hasil yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang
sekecil-kecilnya. Ada seorang ahli ekonomi yang berasal dari mazhab neo klasik
yang bernama Frank Knight yang tidak setuju dengan pendapat mazhab Klasik
yang menekankan pada konsep homo economicus yang selalu menekankan pada
utility maximizer atau lebih menekankan pada hukum permintaan dan penawaran
(Supply and demand law).
Ada dua pendapat Knight yang patut disimak tentang perilaku manusia,
yaitu:
1. Apa yang dipikirkan dalam transaksi ekonomi umumnya untuk sesuatu
yang lain, dimana sarana yang dipilih untuk mrncapai tujuan yang
diinginkan dan sarana yang dipilih ditentukan oleh value judgement.
2. Ada sesuatu yang diinginkan demi sesuatu itu sendiri. Itu tidak bisa
dikonfigurasikan secara fisik (sebab akibat). Kalau pun ada tentang hal ini
maka itu terkait dengan the univers of meaning.
105 Mazhab neo klasik yang lebih dikenal dengan era marginalisme dan perilaku
konsumen dan banyak dipopulerkan oleh ekonom-ekonom barat sejak tahun 1810-123, dan salah
satu pencetus mazhab neo klasik adalah Herman Heinrich Gossen
17
Knight juga mengungkapkan ada tiga interpretasi tentang perilaku orang
khususnya yang berkaitan dengan tindakan ekonomi, yaitu:
1. Bahwa perilaku ekonomi direduksi oleh prinsip-prinsip regulasitas (dasar-
dasar statistik)
2. Perilaku ekonomi dalam kerangka motivasi, tetapi harus dibedakan antara
motif dan act yang bukan merupakan konsekuensi logis dari motif.
3. Dalam tujuan yang diinginkan dari sesuatu tindakan ekonomi itu
diserahkan pada evaluasi normatif.106
2. Teori budaya (urf) dan muamallah
Pada dasarnya Islam tidak menolak adanya suatu perubahan zaman yang
senantiasa berkembang dan menuntut adanya kemajuan dalam segala aspek baik
hukum, budaya, ekonomi, politik maupun adat istiadat, dengan tidak menyimpang
dalam ajaran dan syariat Islam.
Banyak sekali realitas yang terjadi di masyarakat yang sudah menjadi adat
istiadat dan menjadi kebudayaan (urf) pada masyarakat tertentu, yaitu sesuatu
yang telah dikenal oleh masyarakat dan telah menjadi kebiasaan di kalangan
masyarakat tertentu baik berupa perkataan maupun perbuatan107
106 http://sharingtheory.blogspot.com/2009/06/teori-perilaku-ekonomi.html.
Di akses pada tanggal 31 Maret 2015, pukul 22.45 wib
107 Kamil Muchtar,dkk, ‘Usul Fiqih’, Yogyakarta.PT Dana Bakti Wakaf, 1995, Hal 146
18
Adat kebiasaan mempunyai peranan penting sebagai salah satu dalil untuk
menetapkan hukum syara’, dalam kaedah hukum Islam disebutkan :
العادة محكمة 108
Adat kebiasaan bisa dijadikan hukum, dengan demikian yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat bisa menjadi landasan hukum, yaitu adat yang selaras
dengan tujuan syariat Islam.
Para ulama ahli ushul fiqh mengungkapkan suatu hukum yang tidak ada
pada nash dengan beberapa masalah dan kebutuhan yang terjadi di masyarakat
yaitu: daruriyah, hajiyah, dan tahsiniyah. Masalah daruriyah yaitu hal-hal yang
menjadi kebutuhan pokok bagi kelangsungan hidup manusia, sering juga dalam
ilmu ekonomi konvensional disebut kebutuhan primer, hal-hal yang bersifat
daruriyah ada lima macam yaitu: agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.
Masalah hajiyah yaitu sesuatu yang diperlukan manusia agar meringankan
kesulitan dalam kehidupannya sering juga disebut dengan kebutuhan sekunder.
Masalah dan kebutuhan yang ke tiga adalah tahsiniyah yaitu sesuatu untuk
menuju kearah kelengkapan atau sering kita sebut dengan kebutuhan tersier.109
Praktik gadai (rahn) merupakan bagian dari kegiatan muammalah yang
mengandung unsur-unsur sosial yang sangat tinggi serta tidak ada nilai komirsil
didalamnya, hal ini berarti gadai bukan semata-mata untuk memperkaya diri dan
bukan juga untk mengembangkan harta, melainkan untuk saling tolong-menolong
108 Asjmuni A Rahman,Qaidah-Qaidah Fiqh,cet ke-1, Jakarta : Bulan Bintang, 1976,
Hal 35 109 Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Alih Bahasa; Masdar Helmy, ct ke 7,
Bandung, Gema Risalah Press, 1996 hal 357-358
19
dan harus bebas dari unsur-unsur riba dan juga harus didasarkan pada prinsip-
prinsip muamalah yaitu:
1. Pada dasarnya segala bentuk muamallah adalah mubah, kecuali yang
ditentukan oleh Al-Quran dan sunnah Rasul
2. Muamallah dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur-
unsur paksaan.
3. Muamallah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat
dan menghindari mudharat dalam kehidupan masyarakat.
4. Muamallah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan,
menghindari unsur-unsur penganiyayaan, unsur perampasan hak,
pengambilan kesempatan dalam kesempitan.110
3. Konsep yang berkaitan dengan nating (gadai).
Agama Islam juga mengajarkan kepada umatnya supaya hidup tolong-
menolong. Bentuk dari tolong-menolong ini bisa berupa pemberian, pinjaman,
atau utang-piutang. Dalam suatu perjanjian utang-piutang, debitur sebagai pihak
yang berutang meminjam uang atau barang dari kreditur sebagai pihak yang
berpiutang. Agar kreditur memperoleh rasa aman dan terjamin terhadap uang yang
dipinjamkan, kreditur mensyaratkan sebuah agunan atau jaminan. Agunan ini di
antaranya bisa berupa gadai atas barang-barang yang dimiliki oleh debitur.
110 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu’amalah (Hukum Perdata Islam), Edisi
revisi, Jogyakarta, UII Press, 2000, hal 15-16.
20
Debitur sebagai pemberi gadai menyerahkan barang-barang yang digadaikan
tersebut kepada kreditur atau penerima gadai.
Dalam istilah gadai pada masyarakat kota Pagaralam dan kabupaten Lahat
disebut nating, pada masyarakat Empat Lawang disebut ‘sando’, pada masyarakat
jawa sering disebut ‘adol sende’, pada orang Sunda disebut ‘ngajual akad gade’,
pada orang batak disebut ‘dondon atau sindor’, dan pada masyarakat
Minagkabau disebut ‘manggadai’.
Banyak pelaku nating yang berlangsung bertahun-tahun, bahkan sampai
puluhan tahun ini dikarenakan pemilik sawah, kebun maupun rumah belum
mampu melakukan penebusan, jadi dalam proses terjadinya nating terdapat dua
pihak, yakni pihak pertama yang menyerahkan sawah, kebun atau rumah atau
pihak pemberi nating , dan pihak kedua adalah pihak yang menerima barang
nating, pihak penerima inilah yang harus menyerahkan sejumlah uang yang telah
disepakati antar kedua belah pihak untuk dapat digunakan oleh pihak pertama.
Dalam sejarahnya gadai merupakan salah satu katagori dari perjanjian
utang-piutang. Praktik semacam ini telah ada pada zaman Rasulullah saw. Dan
Rasulullah sendiri pernah melakukan. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat
tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar tolong-menolong.111
Dalam pelaksanaannya, si pemegang gadai berhak menguasai benda yang
digadaikan kepadanya selama hutang si berhutang belum lunas, tetapi ia tidak
111 Muhammad Sholikul Hadi, “Pegadaian Syariah,’ Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,
hal 3
21
berhak mempergunakan benda itu. Selanjutnya ia berhak menjual gadai itu, jika si
berhutang tidak bisa membayar hutangnya. Jika hasil penjualan gadai itu lebih
besar dari pada hutang yang harus dibayar, maka kelebihan itu harus di
kembalikan kepada si penggadai.112
Tetapi jika hasil itu tidak mencukupi pembayaran hutang, maka si
pemiutang tetap berhak menagih piutang yang belum dilunasi itu. Penjualan gadai
harus dilakukan di depan umum sebelum penjualan dilakukan biasanya hal itu
harus diberitahukan lebih dahulu kepada si penggadai. Tentang pelunasan hutang,
pemegang gadai selalu didahulukan daripada pemiutang lainya.113
Di dalam hidup ini, terkadang orang mengalami kesulitan. Untuk
menutupi (mengatasi) kesulitan itu terpaksa meminjam uang kepada pihak lain.
Meskipun untuk memperoleh pinjaman itu harus disertai dengan jaminan
(koleteral). 114 Seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 283
yaitu:
112 M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fikih Muamalat)”, Jakarta:
PT. Raja Grafido Persada, 2003, hal 253. 113 Ibid , M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fikih Muamalat)”
hal 254 114 Ibid M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fikih Muamalat)”,,
hal.253.
22
Artinya :Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah
kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa
yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu.
(QS. Al-Baqarah : 283) 115
Menurut Sayyid Quthb bahwa Orang yang berhutang adalah memegang
amanat yang berupa utang dan yang berpiutang memegang amanat berupa barang
jaminan (dari yang berutang). Kedua-keduanya diseru untuk menunaikan amanat
masing-masing atas nama takwa kepada Allah Tuhannya. Tuhan adalah yang
menjaga dan memelihara. Tuhan juga sebagai majikan, penguasa, dan hakim.
Semua makna yang bersifat kejiwaan ini memilki pengaruh bersifat untuk
bermuamalah , memegang amanat dan menunaikannya.
Sebagaian pendapat mengatakan bahwa ayat ini menasakh (menghapus)
ayat yang memerintahkan menulis, dalam keadaan sama-sama dapat dipercaya.
Akan tetapi kami tidak berpendapat demikian karena menulis itu wajib dilakukan
dalam urusan utang piutang kecuali dalam keadaan berpergian. Sedangkan
115 Departemen Agama RI, “Al-Quran dan Terjemahnya’, Surabaya: Mekar Surabaya,
2004, hal 71.
23
memegang amanat itu merupakan masalah khusus dalam kondisi seperti ini.
Orang yang berutang dan berpiutang dalam keadaan ini sama-sama memegang
amanat.
Di bawah bayang-bayang perhatian kepada taqwa ini selesailah
pembicaraan tentang persaksian-pada waktu sedang berperkara, bukan pada waktu
melakukan transaksi karena ini merupakan amanat di pundak saksi dan di dalam
hatinya. 116
G. Metode Penelitian
Kajian penelitian yang diangkat dalam tesis ini digolongkan dalam bentuk
penelitian lapangan atau field research. Dalam hal ini, fenomena kehidupan yang
ada dalam masyarakat menjadi unsur penting dalam kegiatan yang dilakukan
untuk memperoleh data dalam penelitian ini.
Pada penelitian ini penyusun menggunakan pendekatan kualitatif yaitu
suatu cara analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis,
yaitu data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis maupun lisan serta juga
tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.117
Dalam pendekatan ini ditekankan pada kualitas data, sehingga dalam pendekatan
ini penyusun diharuskan dapat memilah dan memilih data atau bahan mana yang
memiliki kualitas dan bahan mana yang tidak relevan dengan materi penelitian.
116 Sayyid Quthb, “Tafsir Fizhilalil Quran Dibawah Naungan Al-Qur’an, Jilid 2”,
ditejemahkan oleh As’ad Yasin, Abdul Azis Salim Basyarahil, Muchotob hamzah, Jakarta, Gema
Insani Press, 2000, Cet 1, Hal. 301 117 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad,” Dualisme Penelitian Hukum Normative Dan
Empiris,” Yogjakarta : Pustaka Pelajar. hal 192
24
Untuk memperoleh kesimpulan dan analisis yang tepat, serta dapat
mencapai hasil yang diharapkan dalam penelitian ini, maka dalam penulisan dan
pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Lokasi Penelitian
Dalam hal ini peneliti mengambil lokasi penelitian di beberapa kecamatan
yang ada di kota Pagaralam khususnya di kecamatan Pagaralam Selatan dan
kecamatan Dempo utara, namun tidak menutup kemungkinan di semua kecamatan
yang ada di kota Pagaralam guna untuk memnuhi sumber inofrmasi yang di
butuhkan . Adapun alasan memilih lokasi tersebut adalah :
a. Lokasi tersebut mempunyai akses transportasi yang baik untuk itu
akan mempermudah peneliti dalam menjalankan proses penelitian.
b. Dari hasil pengamatan pada lokasi tersebut mayoritas merupakan
petani sawah dan pekebun yang kebanyakan adalah pelaku nating,
sehingga peneliti akan mudah dalam menentukan/mendapatkan
informan sebagai sumber informasi dalam penelitian ini.
2. Sumber Data
a. Data primer
Data primer adalah sumber data yang dapat memberikan data penelitian
secara langsung.118 Adapun sumber data primer dalam penelitian ini
adalah warga yang melakukan nating dan tokoh masyarakat Kota
Pagaralam.
118 Joko P. Subagyo, “Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik”, Jakarta: Rineka
Cipta, !997. hal 88.
25
b. Sumber data sekunder
Jenis data sekunder adalah jenis data yang dapat dijadikan sebagai
pendukung data pokok, atau dapat pula didefinisikan sebagai sumber yang
mampu atau dapat memberikan informasi atau data tambahan yang dapat
memperkuat data pokok.119 Adapun sumber data yang mendukung dan
melengkapi sumber data primer adalah berupa buku, jurnal, majalah dan
pustaka lain yang berkaitan dengan tema penelitian. Dalam tesis ini yang
dijadikan sumber data sekunder adalah buku dan kitab referensi yang
berhubungan dengan pelaksanaan nating.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Populasi dan sampel
1. Populasi
Dalam penelitian kualitatif sebenarnya tidak menggunakan istilah
populasi, namun lebih dikena denga istilah ‘social situation’ atau
situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku
(actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi dengan sinergis.120
Dan pada penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada
pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan
ke populasi121. Situasi sosial yang terjadi di masyarakat Kota
119 Suryadi Suryabrata, “Metodologi Penelitian”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
hal 85. 120 Sugiyono, ‘MetodePenelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D’ Bandung: Alfabeta, 2013 hal 297. 121 Ibid, Sugiyono, ‘MetodePenelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D’, hal 298
26
Pagaralam ini dengan populasi masyarakat yang ada didua kecamatan
yakni Pagaralam selatan dan Dempo Utara, yang jumlah penduduknya
lebih banyak melakukan peraktek nating sesuai dengan survey awal
yang dilakukan penulis.
2. Sampel
Dalam penelitian kualitatif, tekhnik sampling yang umumnya
digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling.
Purposive sampling adalah tekhnik pengambilan sampel sumber data
dengan pertimbangan tertentu, pertimbangan ini misalnya orang
tersebut paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin
informan yang paling cakap untuk dimintai keterangan dan data untuk
memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi sosial yang di teliti.122
Untuk metode sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling dan snowball sampling, dengan mengambil sampel
dari populasi masyarakat kecamatan Pagaralam selatan dan kecamatan
Dempo utara.
b. Tekhnik pengmpulan data
1. Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya
jawab lisan yang berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari
pihak yang mewawancarai dan jawaban diperoleh oleh yang
122 Ibid Sugiyono, ‘MetodePenelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D’, hal 300
27
diwawancarai.123 Peneliti menanyakan suatu hal yang telah
direncanakan kepada responden. Pada wawancara ini peneliti
dimungkinkan melakukan tanya jawab dengan responden seperti
perangkat desa, warga yang melakukan nating dan tokoh masyarakat
di kota Pagaralam
2. Dokumentasi
Metude dokumentasi ialah mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transaksi, buku, surat kabar, majalah, tesis,
makalah, jenis-jenis karya tulis, agenda dan sebagainya.124 Dalam tesis
ini penulis menggunakan dokumentasi yang langsung diambil dari
obyek penelitian yakni kota Pagaralam berupa arsip desa.dll
4. Analisis Data
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis
semua catatan hasil wawancara, dokumentasi dan lainnya untuk meningkatkan
pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai
temuan.125 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Analisis data deskriptif
analisis yaitu cara penulisan dengan mengutamakan terhadap gejala, peristiwa dan
kondisi aktual dimasa sekarang. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan
kondisi nating di kota Pagaralam ditinjau dari perspektif hukum Islam.
123 Ibid, Sugiyono, ‘MetodePenelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D’, hal.105 124 Suharsimi Arikunto, ‘Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik)’, Jakarta: PT.
Ranika Cipta, 1998, hal 237. 125 Neong Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, Ed.IV,
2000, hal 133
28
H. Sistematika Pembahasan
Studi penelitian ini dibuat dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang meggambarkan isi tesis secara
keseluruhan. Hal ini bertujuan agar dapat mengarahkan pembaca kepada
substansi ini penelitian. Pada bab pertama ini berisi tujuh sub bab yang antara
lain menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah tujuan dan
kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian serta terakhir
sistematika pembahasan
Bab kedua adalah pembahasan tentang landasan teori mengenai perilaku
budaya nating pada masyarakat kota Pagaralam, bab kedua ini merupakan inti
peulisan laporan yang memuat uraian konsep dasar yang diteliti, pada bab ini
terdiri dari ulasan mengenai , pengertian perilaku budaya masyarakat Kota
Pagaralam, pengertian nating, gadai atau rahn dalam perspektif ekonomi Islam.
Bab ketiga merupakan pembahasan tentang pelaksanaan penelitian
perilaku budaya masyarakat kota Pagaralam, gambaran umum tentang daerah
penelitian, penentuan lokasi penelitian dan gambaran tentang system pelaksanaan
nating di Pagaralam
29
Pada bab ke empat merupakan inti penelitian dari hasil wawancara terkait
dengan perilaku masyarakat dalam melakukan nating, kemudian penulis
menganalisis semua data dan referensi yang penulis dapat lalu menyimpulkan
bagaimana perilaku budaya nating yang ada di Kota Pagaralam dalam dalam
perspektif ekonomi Islam.
bab kelima, merupakan bagian akhir penulisan laporan penelitian atau
bagian penutup dari pembahasan tesis ini, bab ini berisi kesimpulan dan
ditunjang pula dengan saran-saran yang konstruktif, positif dan kreatif.
30
BAB II
LANDASAN TEORI
I. Konsep yang Berkaitan dengan Perilaku Ekonomi dan Budaya
1. Model umum perilaku ekonomi rumah tangga petani
Menurut Ellis126 model ekonomi pengambilan keputusan rumah tangga
pertama kali dikemukakan oleh Chayanov, yaitu teori maksimisasi utilitas rumah
tangga (theory of house hold utility maximization). Teori tersebut memfokuskan
pada pengambilan keputusan rumah tanggayang berkenaan dengan jumlah tenaga
kerja dan keluarga yang menjalankan produksi untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi, keputusan menyangkut trade off antara pekerjaan dan pendapatan.
Faktor utama yang mempengaruhi trade off tersebut adalah struktur
demografi rumah tangga, yaitu ukuran dan komposisi anggota yang bekerja dan
tidak bekerja. Beberapa asumsi yang digunakan diantaranya adalah :
a. Tidak ada pasar tenaga kerja, dalam arti tidak ada tenaga kerja yang
disewa maupun yang menyewakan tenaga kerja.
b. Output usaha tani yang disimpan untuk konsumsi rumah tangga atau
dijual dinilai dengan harga pasar setempat.
126 Ellis.F, Peasent Economics: Farm Household and Agrarirant Development, Cambride
Universtiy Press, Cambride, 1998,
Dikutip ulang pada disertasi Tien Yustini “Analisis Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Padi
Sawah Dan Kopi Pelaku Dan Non Pelaku ‘nating’ Dalam Kaitannya Dengan Risiko Ekonomi Dai
Pagaralam Dan Lahat” Universitas Sriwijaya, 2011, hal 23
31
c. Semua angota rumah tangga mempunyai akses terhadap lahan untuk
penanaman.
d. Setiap komunitas petani mempunyai norma sosial untuk pendapatan
minimum yang diterima setiap orang.
Selanjutnya pengembangan model rumah tangga petani juga dilakukan
oleh Becker dengan menitik beratkan pada alokasi waktu (time allocation)
rumahtangga pelaku ekonomi, konsep alokasiwaktu rumah tangga tersebut
menjadi dasar dari new home economics yang menunjukan bahwa alokasi waktu
yang tersedia bagi rumah tangga dari waktu kerja di rumah (home work time),
waktu kerja upahan (wage work time) dan waktu santai (leisure).
2. Perilaku Budaya Masyarakat Pedesaan
a. Pengertian umum budaya.
Dalam buku Theory off culture karangan Roger M Kessing127 yang
menitik beratkan pada teori-teori yang membentuk budaya, menarik untuk
ditelaah lebih jauh bagaiman konsep budaya berkembang dan menjadikan
bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas kehidupan masyarakat secara
umum menurut Roger M Kessing Budaya adalah sistem dari pola-pola
tingkah laku yang diturunkan secara sosial yang bekerja menghubungkan
komunitas manusia dengan lingkungan ekologi mereka. Dengan cara ini
termasuklah teknologi dan bentuk organisasi ekonomi, pola-pola menetap,
127 Amri Marzali terjemahan Jurnal Ilmiah, dengan Judul asli: ‘Theories of Culture’,
Annual Review of Anthropology 1974.
32
bentuk pengelompokan sosial dan organisasi politik, kepercayaan dan
praktek keagamaan, dan seterusnya.128 Bila budaya dipandang secara luas
sebagai sistem tingkah laku yang khas dari suatu penduduk, maka budaya
berperan penting sebagai penyambung dan penyelaras semua aktifitas
yang terjadi dalam masyarakat.
b. Karakteristik masyarakat desa
Pada umumnya pengertian desa dikaitkan dengan pertanian, yang
sebenarnya masih bisa didefinisikan lagi berdasarkan pada jenis dan
tingkatannya. Menurut Koentjaraningrat mendefinisikan desa itu sebagai
komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat, sedangkan menurut
P.H Landis terdapat tiga definisi tentang desa yaitu pertama desa itu
lingkungan yang penduduknya kurang dari 2.500 orang, kedua desa adalah
suatu lingkungan yang penduduknya mempunyai hubungan yang saling
akrab serba informal satu sama lain, dan yang ketiga desa adalah suatu
lingkungan yang penduduknya hidup dari pertanian. Sedangkan menurut
Koentjaraningrat desa adalah suatu komunitas kecil yang menetap secara
tetap di suatu tempat,
128 Binford, L. Post-Pleistocene Adaptations. Dalam New Perspective in Archaelogy. ed.
L.R. Binford dan S.R. Binford. .1968, Chicago: Aldine page 232
33
masyarakat desa itu sendiri mempunyai karakteristik seperti yang
dikemukakan oleh Roucek dan Warren mereka menggambarkan
karakteristik masyarakat desa sebagai berikut
1. Besarnya peranan kelompok primer
2. Faktor geografis menentukan dasar pembentukan kelompok atau
asosiasi
3. Hubungan lebih bersifat akrab dan langgeng
4. Homogen
5. Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi
6. Populasi anak dalam proporsi yang lebih besar
Karakteristik desa sangat diperlukan adanya pembagian desa atau biasa
disebut dengan tipologi desa. Tipologi desa itu sendiri akan mudah diketahui jika
dihubungkan dengan kegiatan pokok yang ditekuni oleh masyarakat itu dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, adapun pembagiannya adalah Desa
pertanian, desa industry, desa nelayan atau desa pantai, desa pariwisata,129
Kebudayaan tradisional masyarakat desa merupakan suatu hasil produk
dari besar kecilnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang bergantung pada
alam itu sendiri. Menurut P. H Landis besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola
kebudayaan masyarakat desa ditentukan sebagai berikut :
129 Opcit, Amri Marzali terjemahan Jurnal Ilmiah, dengan Judul asli: ‘Theories of
Culture’, Annual Review of Anthropology 1974
34
1. Sejauh mana ketergantungan mereka terhadap pertanian.
2. Sejauh mana tingkat teknologi yang mereka miliki.
3. Sejauh mana sistem produksi yang diterapkan.
Ketiga faktor diatas menjadikan faktor determinan bagi terciptanya
kebudayaan tradisional masyarakat desa yang artinya kebudayaan tradisional akan
tercipta apabila masyarakatnya sangat tergantung pada pertanian, tingkat
teknologi yang rendah dan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan
keluarga 130
Dalam kaitannya dengan pola pertanian yang ada di Pagaralam maka
merujuk dari pendapat PH. Landis yang membagi empat pola pemukiman
penduduk yaitu131
1. The Farm Village Type (FVT)
Pola pemukiman ini biasanya para keluarga petani atau penduduk tinggal
bersama-sama dan berdekatan di suatu tempat dengan lahan pertanian
berada di luar lokasi pemukiman.
2. The Nebulous Farm Type (NFT)
Pola ini hampir sama dengan pola FVT bedanya disamping ada yang
tinggal bersama disuatu tempat terdapat penduduk yang tinggal tersebar di
luar pemukiman itu, lahan pertanian juga berada di luar pemukiman itu.
130 Raharjo,’Pengantar Sosiologi Pedesaan Dan Pertanian’, Gadjah Mada University,
2010, hal 66 131 Ibid, Raharjo,’Pengantar Sosiologi Pedesaan Dan Pertanian’ hal 98-99
35
3. The Arranged Isolated Farm Type (AIFT)
Pola pemukiman ini dimana penduduknya tinggal disekitar jalan dan
masing-masing berada di lahan pertanian mereka dengan suatu trade center
di antara mereka.
4. The Pure Isolated Farm Type (PIFT)
Pola pemukiman ini penduduknya tinggal dalam lahan pertanian mereka
masing-masing terpisah dan berjauhan satu sama lain dengan suatu trade
center.
J. Konsep Dasar Fiqih Muamallah
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi
kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha
mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya,
kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai
materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya
berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental di dalamnya,
sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan
muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di
antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut;
36
1. Hukum asal dalam muamalah adalah mubah (diperbolehkan). 132
Ulama fiqh sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah
diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan
demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang
sepanjang belum/ tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya.
Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa
melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash yang
memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak terdapat
syariat dari-Nya. Allah swt berfirman: “Katakanlah, Terangkanlah kepadaku
tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya
haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”
(QS.Yunus:59). Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan
dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu
mengakomodir transaksi modern yang berkembang.
2. Fiqh Muamalah untuk Mewujudkan Kemaslahatan
Fiqh muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan,
mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia. Allah tidak
menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan
hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang
132 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam,’Qawaid
Fiqhiyah’ Penerjemah Wahyu Setiawan, Amzah, Jakarta, 2009, hal 181
37
gerak kehidupan manusia. Ibnu Taimiyah berkata: “Syariah diturunkan untuk
mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, mengeliminasi dan
mereduksi kerusakan, memberikan alternatif pilihan terbaik di antara beberapa
pilihan, memberikan nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat,
dan menghilangkan nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung
kerusakan yang lebih kecil”
3. Menghindari Eksploitasi
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orang-orang
yang membutuhkan, dimana Rasulullah saw bersabda: dari Abu Hurairah bahwa
Rosulullah saw bersabda barang siapa membebaskab jual bei seorang muslim,
maka Allah swt akan membebaskan kesalahannya.133
Semangat hadits ini memberikan tuntunan untuk tidak mengeksploitasi
sesama saudara muslim yang sedang membutuhkan sesuatu, dengan cara
menaikkan harga atau syarat tambahan yang memberatkan. Kita tidak boleh
memanfaatkan keadaan orang lain demi kepentingan pribadi. Untuk itu,
Rasulullah melarang melakukan transaksi dengan orang yang sedang sangat
membutuhkan (darurat).
133 Riwayat Abu dawud dan Ibnu majah. Hadist sahih menurut ibnu hibban dan hakim,
Hadist ini terdapat dalam ‘Kitab Bulughul Maram’ hadist no 846
38
4. Memberikan Kelenturan dan Toleransi
Toleransi merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang ingin
direalisasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini bisa
dipraktikkan dalam kehidupan politik, ekonomi atau hubungan kemasyarakatan
lainnya. Khusus dalam transaksi finansial, nilai ini bisa diwujudkan dengan
memper-mudah transaksi bisnis tanpa harus memberatkan pihak yang terkait.
Karena, Allah akan memberikan rahmat bagi orang yang mempermudah dalam
transaksi jual beli. Selain itu, kelenturan dan toleransi itu bisa diberikan kepada
debitur yang sedang mengalami kesulitan finansial, karena bisnis yang dijalankan
sedang mengalami resesi. Melakukan re-scheduling piutang yang telah jatuh
tempo, disesuaikan dengan kemapanan finansial yang diproyeksikan. Di samping
itu, tetap membuka peluang bagi para pembeli yang ingin membatalkan transaksi
jual beli.
Dalam hal kelenturan dalam bertransaksi ini Rosulullah mengajarkan
untuk menghindari berselisih, dalam keterangan dari Ibnu Mas’ud bahwa
Rosulullah saw bersabda, apabila dua orang yang berjual beli berselisih, sedang
diantara mereka tidak ada keterangan yang jelas, maka perkataan yang benar ialah
apa yang dikatakan pemilik barang atau mereka membatalkan transaksi.134
134 Riwayat Ibnu Mas’ud. Haditst shahih menurut Hakim, Hadist ini terdapat dalam
‘Kitab Bulughul Maram’ hadist no 802
39
5. Jujur dan Amanah
Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Namun, kata
jujur tidak semudah mengucapkannya, sangat berat memegang prinsip ini dalam
kehidupan. Seseorang bisa meraup keuntungan berlimpah dengan lipstick
kebohongan dalam bertransaksi. Sementara, orang yang jujur harus menahan
dorongan materialisme dari cara-cara yang tidak semestinya. Perlu perjuangan
keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap langkah kehidupan. Kejujuran
tidak akan pernah melekat pada diri orang yang tidak memiliki nilai keimanan
yang kuat. Seseorang yang tidak pernah merasa bahwa ia selalu dalam kontrol dan
pengawasan Allah swt. Dengan kata lain, hanyalah orang- orang beriman yang
akan memiliki nilai kejujuran. Untuk itu, Rasulullah begitu menekankan kejujuran
dalam berdagang, dari Abu hurairah bahwa Rasuullah saw bersabda dalam hadist
Qudsi nya bahwa Allah swt berfirman, Aku menjadi orang yang ketiga dari dua
orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada
temannya, jika ada yang berkhianat aku keluar dari persekutuannya.135
Sebenarnya, masih terdapat beberapa prinsip pokok yang harus
diperhatikan dalam kehidupan muamalah. Di antaranya, menjauhi adanya gharar
dalam transaksi, ketidakjelasan (uncertainty) yang dapat memicu perselisihan dan
pertengkaran dalam kontrak bisnis. Semua kesepakatan yang tertuang dalam
kontrak bisnis harus dijelaskan secara detil, terutama yang terkait dengan hak dan
kewajiban, karena hal ini berpotensi menimbulkan konflik. Ketika kontrak bisnis
135 Riwayat Abu daud. Hadist shahih menurut hakim, Hadist ini terdapat dalam ‘Kitab
Bulughul Maram’ hadist no 903
40
telah disepakati, masing-masing pihak terkait harus melakukan kewajiban yang
merupakan hak bagi pihak lain, dan sebaliknya. Sebisa mungkin dihindari
terjadinya wan prestasi. Memiliki komitmen untuk menjalankan kesepakatan yang
tertuang dalam kontrak bisnis. Allah berfirman dalam QS al-Maidah ayat 1. Dan
yang terpenting, dalam menjalankan kontrak bisnis harus dilakukan secara
profesional. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah
menyukai seorang hamba yang profesional dalam menjalankan pekerjaannya”136
K. Pengertian, Dasar Hukum, Syarat dan Rukun Dan yang berkenaan
dengan ‘Nating’ (Gadai)
a. Pengertian Gadai
Gadai menurut bahasa berarti menggadaikan, merunggukan atau jaminan
(borg).137 Istilah gadai dalam bahasa Arab juga diistilahkan Ar-rahn138. Rahn
dalam bahasa Arab juga memiliki pengertian tetap dan kontinyu.139, dan ada juga
yang menyatakan kata rahn bermakna tertahan. Dengan dasar firman Allah surat
al-Muddatsstir ayat 38:
136 Pembahasan tentang konsep dasar fiqh muamalah,diambil dari karya Dr Muhammad
Ruwas Qal‟ah Gie, Al Muamalat al Maaliyah al Mu’ashirah fi Dlaui al Fiqh wa al Syari’ah,
1999, Beirut. 137 H.Nazar Bakry, ‘Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam’, Jakarta: PT RajaGrapindo
Persada, 1994, hal 43 138 Choiruman Pasribu Suhrowardi K.Lubis,‘Hukum Perjanjian dalam Islam’, Jakarta:
Sinar Grafika, cet 2, 1996, hal 139. 139 http://ustadzkholid.wordpress.com/2007/09/11/al-rahn-gadai. Di akses pada tanggal
31 Maret 2015, pukul 22.45 wib
41
“Yang artinya: Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah
dilakukannya. (QS. al- Muddatstsir :38)140
Gadai menurut istilah adalah akad utang di mana terdapat suatu barang
yang di jadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang piutang, barang
itu boleh dijual kalau utang tak dapat dibayar, hanya penjual itu hendaknya
dengan keadilan (dengan harga yang berlaku di waktu itu) 141
Sedangkan Al-Imam Abu Zakaria Al-Anshari menetapkan ta’rif (definisi)
ar-rahn di dalam kitabnya Fathul Wahab adalah menjadikan benda yang bersifat
harta (harta benda) sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan
dari (harga) benda itu bila utang tidak dibayar.142
Sedangkan gadai menurut Syekh Zainuddin Bin Abdul Azis Al-Malibari
adalah menjaminkan barang yang dapat dijual sebagai jaminan utang, jika
penanggung tidak mampu membayar utangnya karena kesulitan. Oleh karena itu
tidak boleh menggadaikan barang wakaf atau ummu al-walad (budak perempuan
yang punya anak di tuannya),143 Rahn adalah menjadikan barang yang boleh
dijual sebagai kepercayaan hutang yang digunakan untuk membayar hutang jika
terpaksa tidak bisa melunasi hutang tersebut, maka berarti tidak sah
menggadaikan barang wakaf atau budak ummu al-walad.144
140 Departemen Agama RI,‘Al-Qur’an dan terjemahnya’, Surabaya: Mekar Surabaya,
2004, h.1999 141 Sulaiman Rasyid, ’Fiqih Islam’, Bandung: PT.Sinar Baru Algensindo, 1994, h.309 142 Ibid, Sulaiman Rasyid, ’Fiqih Islam’, hal 445 143 Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, ’Terjemah Fathul Mu’in’, Jilid I,
Bandung: Sinar Baru Algesindo, Cet I, 1994, hal 838 144 M. Ali As’ad, ‘Terjemah Fathul Muin’, Menara Kudus, Kudus Jilid 2, 1979, hal 215
42
Menurut Sayid Sabiq bahwa pengertian gadai adalah menjadikan barang
yang mempunyai nilai harta menurut syara’ sebagai jaminan utang, sementara si
penerima gadai dimungkinkan bisa mengambil barang tersebut sebagai ganti
hutang atau mengambil sebagian manfaatnya. Pemilik barang barang yang
berutang disebut rahin (penggadai), pemberi utang yang menahan barang dibawah
kekuasaannya disebut murtahin (Penerima gadai), dan barang yang digadaikan
disebut rahn (barang gadai) 145
Pengertian gadai menurut KUH Perdata (Burgerlijk Wetbook) Pasal 1150
Gadai adalah: “Suatu hak yang diperoleh kreditur (orang yang berpiutang) atas
suatu barang bergerak yang di serahkan oleh debitur (orang yang berhutang) atau
orang lain atas namanya sebagai jaminan pembayaran dan memberikan hak
kepada kreditur untuk mendapat pembayaran terlebih dahulu dari kreditur lainnya
atas hasil penjualan benda-benda.146
Pengertian gadai menurut Susilo adalah suatu hak yang diperoleh oleh
seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak
tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai
utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang.147
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa gadai menurut
hukum Islam dan KUH Perdata adalah suatu perjanjian (akad) utang piutang
dengan menjadikan barang yang bernilai menurut syara’ sebagai jaminan untuk
145 Sayid Sabiq, ‘Ringkasan Fiqih Sunnah’, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Percetakan
Offset, 1998, hal793 146 Niniek Suparni, ‘KUH Perdata’, Jakarta: PT.Rineka Cipta, Cet VI, 2005, hal 290 147 Muhammad Sholikul Hadi, ‘Pegadaian Syari’ah’, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,
hal 16
43
menguatkan kepercayaan, sehingga memungkinkan terbayarnya utang dari si
peminjam kepada pihak yang memberikan pinjaman.
b. Dasar hukum
Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan
dengan dasar al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ para Ulama.
1. Dalil al-Qur’an
Di antara dalil al-Qur’an tentang gadai adalah:
Artinya :Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah
ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu. (QS. Al-
Baqarah : 283)148
148 Departemen Agama RI, “Al-Quran dan Terjemahnya’, Surabaya: Mekar Surabaya,
2004, hal 71
44
Berdasarkan ayat di atas, bahwa dalam melakukan kegiatan muamalah
yang tidak secara tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang
pun yang mampu menjadi juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah
ada barang tanggungan (borg) yang oleh pihak yang berpiutang di jadikan
jaminan.149
2. Hadits
Masalah rahn juga diatur dalam hadits Nabi Muhammad saw. Yaitu:
Artinya: "Dari Anas berkata: telah merungguhkan Rasulullah saw akan
baju besi beliau kepada orang Yahudi di Madinah sewaktu beliau mengutang syair
dari seorang Yahudi untuk ahli rumah (keluarga) beliau" (HR. Bukhori, Nasai,
dan Ibnu Majah)150
Dari hadits di atas dapat disimpulkan, bahwa gadai itu boleh dilakukan
dalam keadaan bermukim, hal ini terlihat bahwa Nabi saw menggadaikan baju
besinya dengan makanan kepada orang Yahudi untuk keluarga beliau.
Selain hadits di atas dapat dikemukakan dalam ketentuan hadits dari
Aisyah r.a:
149 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal 125 150 Mu’ammal Hamidy, Terjemah Nailul Authar Jilid IV, Surabaya: Bina Ilmu, hal 1785.
45
Artinya: Dari Aisyah r.a, bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah
membeli makanan dari seorang Yahudi secara jatuh tempo dan Nabi SAW,
menggadaikan sebuah baju besi kepada Yahudi.151
Dengan adanya beberapa hadits di atas, maka dapat diambil pemahaman
bahwa : aqad gadai dalam syari'at Islam adalah jaiz (boleh) dan kebolehan gadai
tersebut tidak hanya dalam keadaan bepergian saja, akan tetapi juga boleh pada
waktu sedang bermukim (tidak dalam bepergian)
3. Pendapat Ulama
Pada dasarnya para ulama telah bersepakat bahwa gadai itu boleh. Para
ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan
hukumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa gadai disyari’atkan pada waktu
tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.152
c. Syarat dan Rukun Gadai
Akad gadai dipandang sah dan benar menurut syariat Islam apabila telah
memenuhi syarat dan rukun gadai yang telah ditentukan dalam hukum Islam.
1. Syarat gadai
Menurut Imam Syafi’i bahwa syarat sah gadai adalah harus ada jaminan
yang berkriteria jelas dalam serah terima. Sedangkan Maliki mensyaratkan
151 Imam Bukhori, Shahih al Bukhari, Juz 3, Beirut, Libanon: Dar Al- Kutub Al-Ilmiyah,
t.th, h. 161 152 Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syari’ah, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,
hal 52
46
bahwa gadai wajib dengan akad dan setelah akad orang yng menggadaikan
wajib menyerahkan barang jaminan kepada yang menerima gadai.153
Menurut Sayyid Sabiq, syarat sah akad gadai adalah sebagai berikut:
a. Berakal
b. Baligh (dewasa)
c. Wujudnya marhum ( barang yang dijadikan jaminan pada saat akad )
d. Barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima barang gadaian
atau wakilnya.154
Berdasarkan dari keempat syarat di atas dapat di simpulkan bahwa syarat
sah gadai tersebut ada 2 hal yaitu :
a. Syarat aqidain (rahin dan murtahin)
Dalam perjanjian gadai unsur yang paling penting adalah pihak-pihak yang
melaksanakan perjanjian gadai (unsur subjektif), yaitu cukup dengan melakukan
tukar menukar benda, apabila mereka berakal sehat (tidak gila), dan telah
mumayyiz (mencapai umur). Kemudian untuk orang yang berada di bawah
pengampuan atau wali dengan alasan amat dungu (sufih) hukumnya seperti
mumayyiz, akan tetapi tindakan-tindakan hukum sebelum mencapai usia baligh
diperlukan izin dari wali, apabila pengampu mengizinkan perjanjian gadai dapat
153 Ibid hal 53 154 Sayid Sabiq, ‘Fiqih Sunnah’, Jakarta: Pustaka Percetakan Offset, 1998, hal 141
47
dilakukan, tetapi apabila wali tidak mengizinkan maka perjanjian gadai tersebut
batal menurut hukum.155
b. Syarat barang gadai (marhum)
Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat antara lain :
a) Harus dapat diperjualbelikan
b) Harus berupa harta yang bernilai
c) Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syari’ah
d) Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang diterima secara langsung
e) Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau pegadai) setidaknya harus seizin
pemiliknya.156
Salah satu syarat bagi marhum adalah penguasaan marhum oleh rahin.
Mengenai penguasaan barang yang digadaikan, maka pada dasarnnya dalam
firman Allah “maka hendaklah ada barang yang digadaikan (oleh yang
berpiutang)” tetapi ulama masih berselisih pendapat, apakah penguasaan barang
ini merupakan syarat kelengkapan ataukah syarat sahnya gadai. Selama belum
terjadi penguasaan, maka akad gadai tidak mengikat bagi orang yang
menggadaikan. Bagi fuqaha’ yang mengaggap penguasaan sebagai syarat
kelengkapan akad gadai itu sudah mengikat dan orang yang menggadaikan sudah
155 Rahmat Syafi’I, ‘Fiqih Muamalah’, Cet.3, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hal 162 156 Ibid, h 168.
48
dipaksa untuk menyerahkan barang kecuali bila penerima gadai tidak mau adanya
penentuan demikian.157
2. Rukun Gadai
Di samping syarat-syarat dalam perjanjian gadai di atas, kita juga
mengenal adanya rukun dalam gadai. Menurut hukum Islam bahwa rukun gadai.
a) Shighat atau perkataan
b) Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin)
c) Adanya barang yang digadaikan (marhum)
d) Adanya utang (marhum bih)158
Adapun mengenai rukun gadai dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Shighat atau perkataan
Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddieqi, pengertian shighat (akad) menurut
bahasa adalah :
"Rabath (mengikat) adalah mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat
salah satunya dengan tali yang lain hingga bersambung, lalu keduanya menjadi
sepotong benda"
157 Ibnu Rusyd, terjemahan Imam Ghazali Said Dan Achmad zaidun., Bidayatul
Mujtahid, analisis Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007. Hal 308 158 Choiruman Pasribu Suhrowardi K.Lubis, ‘Hukum Perjanjian dalam Islam’, Jakarta:
Sinar Grafika, cet 2, 1996, hal142
49
Kemudian menurut istilah fuqaha’ ialah, Perkataan antara ijab dan qabul
secara yang dibenarkan syara' yang menetapkan keridlaan keduanya (kedua belah
pihak)159
Rukun gadai akan sah apabila disertai ijab dan qabul, sedangkan ijab dan
qabul adalah shighat aqdi atas perkataan yang menunjukkan kehendak kedua
belah pihak, seperti kata "Saya gadaikan ini kepada saudara untuk utangku yang
sekian kepada engkau", yang menerima gadai menjawab "Saya terima marhum
ini" Shighat aqdi memerlukan tiga syarat:
1) Harus terang pengertiannya
2) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul
3) Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pahak yang bersangkutan.160
Di samping ketentuan di atas, akad gadai juga bisa dilakukan dengan
bentuk bahasa, kata isyarat tersebut diberikan terhadap apa yang dimaksudkan,
sebagaimana yang dikatakan oleh TM. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pengantar
Fiqh Muamalah bahwa isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah (sama
dengan ucapan penjelasan dengan lidah)161.
b. Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin).
Pemberi gadai haruslah orang yang dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan
memiliki barang yang akan digadaikan. Sedangkan penerima gadai adalah orang,
159 TM. Hasbi Ash-Shiddieqi, ‘Pengantar Fiqih Muamalah’, Jakarta: PT. Pustaka Rizki
Putra, Cet.I, 1997, hal 26 160 Ibid, h.29 161 Ibid, h.31
50
bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan
jaminan barang (gadai).162
c. Adanya barang yang digadaikan (marhum).
Barang yang digadaikan harus ada wujud pada saat dilakukan perjanjian
gadai dan barang itu adalah barang milik si pemberi gadai (rahin), barang gadaian
itu kemudian berada dibawah pengawasan penerima gadai (murtahin).163
Pada dasarnya semua barang bergerak dapat digadaikan, namun ada juga
barang bergerak tertentu yang tidak dapat digadaikan. Adapun jenis barang
jaminan yang dapat digadaikan di pegadaian antara lain:
1) Barang-barang perhiasan; emas, perak, intan, mutiara, dan lain-lain.
2) Barang-barang elektronik:tv, kulkas, radio, vidio, tape recorder,dan
lain-lain.
3) Kendaraan: sepeda, motor, mobil.
4) Barang-barang rumah tangga: barang-barang pecah belah.
5) Mesin: mesin jahit, mesin ketik, dan lain-lain.
6) Tekstil: kain batik, permadani.
7) Barang-barang lain yang dianggap bernilai.164
162 Heri Sudarsono, ‘Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah’, Yogyakarta: Ekonisia
Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004, h.160 163 Choiruman Pasribu Suhrowardi K.Lubis, ‘Hukum Perjanjian dalam Islam’, Jakarta:
Sinar Grafika, cet 2, 1996, h.142
51
Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama syafiiyah barang yang
digadaikan itu memiliki tiga syarat:
1) Bukan utang, karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan
2) Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak
terhalang.
3) Barang yang digadaikan bisa dijual apabila sudah tiba masa pelunasan
hutang gadai.
c. Adanya hutang (marhum bih)
Hutang (marhum bih) merupakan hak yang wajib diberikan kepada
pemiliknya, yang memungkinkan pemanfaatannya (artinya apabila barang
tersebut tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak sah), dan dapat dihitung jumlahnya.
Selain itu hutang yang digunakan haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan
tambahan bunga atau mengandung unsur riba.165
3. Berakhirnya Akad Gadai
Menurut Sayyid Sabiq, hak hak gadai akan berakhir jika:
a. Rahin (yang menggadaikan barang) telah melunasi semua
kewajibannya kepada murtahin (yang menerima gadai)
b. Rukun dan syarat gadai tidak terpenuhi.
164 Muhammad Sholikul Hadi, ‘Pegadaian Syari’ah’, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,
hal32 165 Opcit hal 142
52
c. Baik penggadai dan penerima gadai atau salah satunya ingkar dari
ketentuan syara’ dan akad yang telah disepakati oleh keduanya.166
L. Prinsip Pengharaman Riba
Riba menurut pengertian bahasa berarti Az-Ziadah (tambahan), yang
dimaksud dalam fiqih ialah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit
ataupun banyak. Riba diharamkan oleh seluruh agama samawi, yaitu baik oleh
agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Secara kronologis berdasarkan urutan waktu,
tahapan pengharaman riba dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
1. Pada periode Makkah turun firman Allah yang artinya: “Dan sesuatu
riba (tambahan) yang kamu berikan supaya dia menambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipatgandakan pahalanya”. (QS. 30: 39)
2. Pada periode Madinah, turun ayat yang mengharamkan riba secara
jelas, yaitu firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertawakallah kamu kepada Allah supaya kamu dikasihi”. (QS. 3: 130)
3. Dan yang terakhir firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, bertawakalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
166 Sayid Sabiq, ‘Fiqih Sunnah’, Jakarta: Pustaka Percetakan Offset, 1998, hal 141
53
meninggalkan sisa riba, ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat bagimu pokok hartamu
(modal), kamu tidak melakukan kezaliman dan tidak pula dizalimi”.
(QS. 2: 278-279)
Ayat ini merupakan ayat terakhir yang berkaitan dengan masalah riba,
yang mengandung penolakan terhadap anggapan bahwa riba tidak haram kecuali
jika berlipat ganda, oleh karena Allah tidak membolehkannya kecuali
mengembalikan modal pokok tanpa ada penambahan.167
Dikenal dua bentuk riba dalam hukum Islam, yaitu riba al-qardl yang
berhubungan dengan tambahan atas pinjaman, dan riba al-buyu yang berhubungan
tambahan atas jual-beli. Riba al-buyu ada dua bentuk, yakni riba al-fadl yang
meliputi pertukaran secara bersamaan dan komoditas yang sama yang memiliki
kualitas atau kuantitas yang tidak sama, dan riba an-nasai yang meliputi
pertukaran secara tidak bersaman dari komoditas yang sama yang memiliki
kualitas dan kuntitas yang sama. Pelarangan berlaku bagi objek-objek yang dapat
diukur atau ditimbang dan dari jenis yang sama. Kelebihan dalam kuantitas
maupun penundaan dalam pelaksanaan, dua- duanya dilarang.168
Riba al-qardl, bunga pinjaman, meliputi beban atas pinjaman yang
bertambah seiring dengan berjalannya waktu, dengan kata lain merupakan
pinjaman berbunga, dan kadang-kadang disebut sebagai riba an-nasai (tambahan
167 Sayid Sabiq, ‘Fiqih Sunnah’, Jakarta: Pustaka Percetakan Offset, 1998, hal118 168 Mervin K. Lewis dan Latifa M. Al-Qoud,’ Perbankan Syari’ah, Prinsip, Praktek
Prospek’, Terjemahan Burhan Wirasubrata, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001, Hal 57.
54
karena menunggu). Riba ini muncul apabila pinjaman harta orang lain, apa pun
bentuknya, dibebani oleh si pemberi pinjaman untuk membayar suatu tambahan
tertentu di samping pokok pinjaman pada saat pelunasan. Jika tambahan itu
ditetapkan sebelumnya pada awal transaksi sebagai suatu jumlah tertentu, dengan
cara bagaimanapun pertambahan ini terjadi, maka pinjaman itu menjadi pinjaman
ribawi.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, pokok-pokok hukum ekonomi syari’ah
adalah melarang memakan makanan dengan cara batil dan saling merelakan, yaitu
dengan jalan perniagaan dan menjauhi riba.169 Riba disini (secara teknis) berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok (modal) secara batil.170 Dalam hal ini
Allah SWT mengingatkan dalam QS. An-Nisa’: 29. Menurut al-Maududi, Ibnu al-
Arabi menafsirkan kata batil dalam ayat ini adalah riba yang diartikan sebagai
“suatu tambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syari’ah”.171
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhadzdzab menyitir pendapat al-
Mawardi yang mengatakan bahwa para ulama’ Syafi’iyyah berbeda dalam dua
pendapat ketika menafsirkan ayat Al-Qur’an yang mengharamkan riba. Pertama,
bahwa larangan itu bersifat global yang kemudian dijelaskan oleh sunnah menjadi
riba nuqud dan nasi’ah. Kedua, bahwa larangan riba dalam Al-Qur’an itu adalah
riba nasi’ah yang biasa diperjanjikan pada zaman jahiliyyah yang meliputi
169 5Muhammad Abu Zahroh, ‘Ushul Fiqh’, Terjemahan Syaifullah Maksum, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 2002, hal. 129. 170 Mohammad Syafi’i Antonio,’ Bank Syari’ah, dari Teori ke Prakte’k, Gema Insani,
Jakarta, 2001, hal 37. 171 Abu al-A’la al-Maududi, ‘Ar-Riba, Dar al-Fikr’, Beirut, hal. 80-81
55
penambahan atas harta pokok dikarenakan unsur waktu, kemudian sunnah Nabi
mengharamkan riba nuqud yang dikaitkan pada larangan Al-Qur’an tersebut.172
Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba menyatakan bahwa
sesungguhnya riba itu adalah seseorang yang mempunyai hutang lalu ditanyakan
kepadanya, apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jika tidak mampu
melunas ia harus menambah dana atas setiap penambahan waktu yang
diberikan.173
Dari beberapa pandangan tentang riba seperti di atas, dapat disimpulkan
bahwa pinjam-meminjam dengan persyaratan bunga berdasarkan tenggang waktu
yang diberikan untuk pembayarannya dinamakan riba nasi’ah. Riba nasi’ah ini
larangannya dinyatakan oleh nash Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah (2) ayat 275
yang artinya: “Orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran sakit gila. Keadaan mereka itu
disebabkan mereka berpendapat sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba,
padahal Allah SWT telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”, dan
dalam surat Ali Imran (3): 130, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
kepada Allah SWT supaya kamu mendapat keberuntungan”.174
172 Zakariya Ali Yusuf an-Nawawi, Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, jilid IX, Kairo, hal.
442. 173 Zakariya Ali Yusuf an-Nawawi, Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, jilid IX, Kairo, hal
442. 174 Abu al-A’la al-Maududi, ‘Ar-Riba, Dar al-Fikr’, Beirut, hal. 80-81
56
Di samping riba nasi’ah ada riba yang disebut riba fadli, yaitu penukaran
lebih dari satu barang sejenis yang telah dipersyaratkan, riba yad yaitu hutang
dibayar lebih dari pokoknya, karena peminjam tidak membayar tepat pada
waktunya, dan riba qordli yaitu riba yang disyaratkan terhadap orang yang
berpiutang.175
M. Hak dan Kewajiban Pemberi dan penerima gadai
Para pihak (pemberi dan penerima gadai) masing-masing mempunyai hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan kewajiban adalah sebagai
berikut:176
1. Hak dan kewajiban pemberi gadai (rahin)
a. Hak pemberi gadai
1. Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barang
miliknya setelah pemberi gadai melunasi utangnya.
2. Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan
hilangnya barang gadai apabila hal itu di sebabkan oleh kelalaian
penerima gadai.
3. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan
barangnya setelah dikurangi biaya pelunasan utang dan biaya
lainnya.
175 Abu al-A’la al-Maududi, ‘Ar-Riba, Dar al-Fikr’, Beirut, hal. 80-81 176 Muhammad Sholikul Hadi, ‘Pegadaian Syari’ah’, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,
hal 23
57
4. Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya apabila
penerima gadai telah jelas menyalahgunakan barangnya.
b. Kewajiban pemberi gadai
1. Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi utang yang telah
diterimanya dari penerima gadai dalam tenggang waktu yang telah
ditentukan.
2. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas barang
gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan
pemberi gadai tidak dapat melunasi utangnya kepada pemegang
gadai.177.
2. Hak dan kewajiban penerima gadai (murtahin)
a. Hak penerima gadai (murtahin)
1. Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan,
apabila pemberi gadai pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi
kewajibanya sebagai orang yang berhutang.
2. Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah
dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.
177 Ibid hal 24
58
3. Selama utangnya belum dilunasi, maka penerima gadai berhak
untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi
gadai.
b. Kewajiban penerima gadai (murtahin)
1. Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilang atau
merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua atas
kelalaianya.
2. Penerima gadai tidak dibolehkan menggunakan barang yang di
gadaikan untuk kepentingan pribadi.
3. Penerima gadai berkewajiban untuk memberitahu kepada pemberi
gadai sebelum di adakan pelelangan barang gadai.
Dalam perjanjian gadai baik pemberi gadai atau penerima gadai tidak akan
lepas dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hak penerima gadai adalah
menahan barang yang digadaikan, sehingga orang yang menggadaikan barang
dapat melunasi barangnya. Sedangkan hak menahan barang gadai adalah bersifat
menyeluruh, artinya jika seseorang menggadaikan barangnya dengan jumlah
tertentu, kemudian ia melunasi sebagiannya, maka keseluruhan barang gadai
59
masih berada di tangan penerima gadai, sehingga rahin menerima hak sepenuhnya
atau melunasi seluruh utang yang ditanggungnya.178
Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan tidak boleh bila yang menerima gadai
menjual barang gadaian yang diterimanya dengan syarat harus dijual setelah jatuh
tempo dan tidak sanggup ditebus olehnya tetapi harus dijual belikan oleh pemberi
gadai, atau wakilnya dengan seizin murtahin (yang menerima gadai). Jika pemberi
gadi tidak mau menjual barang tersebut, maka yang menerima gadai berhak
mengajukan tuntutan kepada hakim.179
178 Ibnu Rusyd, terjemahan: Imam Ghazali Said, . Dan Achmad zaidun., ‘Bidayatul
Mujtahid’, analisis Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007. Hal 311
179 Hasbi Ash Shiddieqy, ‘Hukum-Hukum Fiqih Islam (Tinjauan Antar Mazhab)’,
Semarang: Pustaka Risky putra, Cet.II, 2001, hal 366
60
BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN
N. Gambaran Umum Daerah Penelitian
Kota Pagar Alam adalah salah satu kota di provinsi Sumatera Selatan yang
dibentuk berdasarkan Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2001 (Lembaran Negara
RI Tahun 2001 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4115),
sebelumnya kota Pagar Alam termasuk kota administratif dalam lingkungan
Kabupaten Lahat. Kota ini memiliki luas sekitar 633,66 km² dengan jumlah
penduduk 126.181 jiwa dan memiliki kepadatan penduduk sekitar 199 jiwa/km².
Kota ini berjarak sekitar 298 km dari kota Palembang dan juga berjarak sekitar 60
km di sebelah barat daya Kabupaten Lahat. Kota ini sekarang dipimpin oleh Dra.
Hj. Ida Fitriati, M.Kes., dan Novirzah Djazuli, S.E. Sebagai wali kota dan wakil
wali kota Pagar Alam periode 2013-201180
180 http://www.pagaralamkota.go.id/ (Di akses pada tanggal 31 Maret 2015, pukul 22.45
wib)
61
Luas wilayah kota Pagaralam kurang lebih 633,66 Km2, Secara gegrafis
kota Pagaralam berada pada posisi 4 derajat lintang selatan (LS) dan 103.15
derajat Bujur Timur (BT), Sebagai atap daerah provinsi Sumatera Selatan, kota
Pagaralam berada pada ketinggian 100 – 1000 Mdl ( Meter dari permukaan laut )
dari luas wilayah dataran tinggi di daerah ini berada dibawah kaki Gunung Dempo
+ 3159 Meter. Kota Pagaralam mempunyai 5 kecamatan yang diantaranya:
Kecamatan Pagaralam Selatan, Pagaralam utara, Dempo selatan, Dempo utara dan
dempo tengah., dengan rata-rata suhu berkisar 14 – 34 derajat celcius potensi ini
tentunya dapat menjadikan perekonomian masyarakat pagaralam lebih baik93
Batas daerah ini adalah:
Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Lahat
Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Bengkulu
Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten lahat
Sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Lahat
Berdasarkan pengamatan dari Pos pengamatan Gunung Api Dempo, suhu
udara minimum di Kota Pagar Alam selama Tahun 2010 adalah 19 0C sedangkan
suhu maksimum adalah 30 0C Jumlah Hujan terbanyak terjadi pada bulan
Februari yaitu 25 hari.
93 http://pagaralambesamah.blogspot.com/p/letak-kota-pagar-alam.html.
Di akses pada tanggal 31 Maret 2015, pukul 22.45 wib
62
Kota Pagar Alam selalau mengalami kenaikan jumlah penduduk yang
sangat drastis yang awalnya pada tahun 2000 jumlah penduduknya hanya 112.025
jiwa jumlah itu pun pada sepuluh tahun kemudian berpopulasi lebih kurang
126.363 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,22%. Dikarenakan
adanya faktor Transmigrasi yang ingin menetap di kota Pagar Alam.Penduduk
kota Pagar Alam terdiri dari berbagai suku bangsa. Selain penduduk asli (suku
Melayu), ada banyak juga suku Jawa, suku Minang, suku Batak, Orang
Peranakan, Arab-Indonesia, dan India-Indonesia.
Kecamatan yang memiliki penduduk terpadat adalah kecamatan Pagaralam
selatan yang jumlah penduduknya mencapai 689.69 jiwa/km2, dan kecamatan
yang paling rendah kepadatan penduduknya adalah kecamatan Dempo selatan
dengan kepadatan penduduk sekitar 5793 jiwa/km2.
Sebagian besar keadaan tanah di Kota Pagar Alam berasal dari jenis
Latosol dan Andosol dengan bentuk permukaan bergelombang sampai berbukit.
Jika dilihat dari kelasnya, tanah di daerah ini pada umumnya adalah tanah kelas I
(satu) yang mengandung kesuburan yang tinggi.
Hal ini terbukti dengan Daerah Kota Pagar Alam yang merupakan
penghasil sayur-mayur, buah-buahan, dan merupakan salah satu Sub terminal
Agribisnis (STA) di Provinsi Sumatera Selatan
63
O. Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Pagaralam dengan pertimbangan bahwa
Pagaralam merupakan sentra penghasil Padi dan Kopi di provinsi Sumatera
Selatan. Komoditas tanaman pangan terutama padi dan kopi menkadi perhatian
dalam penelitian karena merupakan mata pencaharian utama petani di kota ini dan
komoditas ini sangat potensial untuk dikembangkan, selain itu karena di
Pagaralam petaninya mempunyai suatu kebiasaan melakukan ‘nating’ yang
apabilan dikaji dalam perspektif Islam akan menarik utnuk diteliti sehingga dalam
pelaksanaannya jauh dari unsur-unsur yang dilarang dalam agama dan dapat
menjadi sarana untuk saling tolong menolong dalam masyarakat petaniitu sendiri.
Langkah berikutnya dalam melakukan penelitian dengan melakukan
pemilihan secara sengaja (purposive) terhadap beberapa kecamatan yang ada di
Pagaralam dimana sebagian besar penduduknya adalah petani yang menanam padi
dan kopi, diantaranya yaitu kecamatan Pagaralam selatan dan kecamatan Dempo
utara.
64
P. Gambaran Tentang Sistem dan Proses ‘Nating’ Di Kota Pagaralam
Dalam kehidupan masyarakat di Pagaralam telah lama dikenal istilah
nating , perilaku ekonomi ini telah sangat banyak dilakukan oleh para petasni kopi
dan padi, menurut beberapa tokoh masyarakat dan pelaku nating itu sendiri
mendefinisikan istilah nating adalah:
”suatu proses kegiatan dimana petani mentatingka (menggadaikan) sebagian
sawah atau kebunya kepada keluarga (kerabat) dekat, pemilik modal, agen
ataupun tengkulak untuk mendapatkan sejumlah uang untuk membiayai
kebutuhan hidupnya dengan perjanjian yang disepakati bersama antara
petani pelaku nating dengan si penating (pemilik dana)”
Jadi dalam nating terdapat dua pihak yang bekerjasama, yakni pihak yang
menyerahkan tanah atau petani pelaku nating dan pihak kedua adalah pihak
penerima tanah atau pihak penerima gadai (penating). Pihak penerima nating
inilah yang harus menyerahkan sejumlah uang tertentu.
Menurut Holidi94 nating ada dua macam yaitu:
a. Nating biasa (tidak kuasa) : artinya petani pemilik lahan menatingkan
(menggadaikan) sawah atau kebun kepada kerabat, penduduk sekitar,
tengkulak ataupun kepada agen yang disebut penating (yang memiliki
modal), dengan perjanjian atau kesepakatan petani pemilik sawah atau
kebun boleh menggarap sawah, ladang atau kebunnya, dan bila sudah
panen hasilnya dengan persentase yang ditentukan dan dalam jangka
waktu yang ditentukan pula, biasa nya dalam jangka waktu 1 tahun
atau lebih.
94 Tokoh masyarakat Pagaralam sekaligus pelaku nating
65
b. Nating kuasa : petani pemilik lahan menatingkan (menggadaikan)
sawah, ladang, kebun kepada penating tetapi petani tersebut tidak
diberi kuasa untuk menggarap lahanya, dan penating berhak menyuruh
orang lain atau buruh tani yang dia kehendaki untuk menggarap nya,
untukpersentase hasil biasanya pemilik modal lah yang berkuasa penuh
menentukan persentase dari hasil panen.
Tabel 1. Perbandingan sistem nating kuasa dan non kuasa
Uraian Nating kuasa Nating biasa
Batas Yuridiksi Petani tidak punya hak untuk
menggarap lahan
Petani masih mempunyai
hak untuk menggarap
lahan
Status
Kepemilikan
Selagi belum ditebus lahan
menjadi hak penating (pemilik
modal)
Selagi belum ditebus
kepemilikan lahan tetap
menjadi pemilik lahan.
Hasil Panen Hasil pada umumnya
dikendalikan oleh penating
(pemilik modal) dan pemilik
modal yang berhak menentukan
persentase bagi hasil pada setian
masa panen.
Hasil dibagi sesuai
kesepakatan antara
pemilik lahan dan
penating selaku pemilik
modal.
66
Besaran Jaminan Untuk nating kuasa biasanya
dalam jumlah lahan yang luas
dan dalam jumlah pinjaman
yang lebih besar disbanding
nating biasa.
Nating biasa dengan
jumlah pinjaman uang
dan jaminan lahan yang
lebih kecil.
Dari dua jenis nating yang dijelaskan diatas, masih terdapat satu jenis lagi
nating yang dalam masyarakan Pagaralam mulai marak dilakukan, yakni nating
rumah, hampir sama dengan proses nating biasa, namun dalam nating rumah
pemilik modal hanya memberikan sejumlah uang untuk digunakan pemilik rumah,
namun pemilik modal berhak untuk menetapkan sewa kepada pemilik rumah
selama pemilik rumah masih menempati rumah tersebut dan dalam waktu
perjanjian yang ditentukan pemilik rumah wajib mengembalikan uang pinjaman
dan uang sewa rumah.
Terjadinya nating sudah berlangsung lama dan membudaya di kehidupan
petani Pagaralam, dan biasanya bila pelaku nating belum bisa menebus tanah
maupun rumahnya dalam batas aktu yang ditentukan sebagai kesepakatan awal,
maka si penating (pemilik modal) dapat memberikan tempo (perpanjangan waktu)
kepada pelaku nating untuk menebus tanah maupun rumah mereka, namun bila
sampai tidak tertebus juga, maka tanah maupun rumah itu baru jadi milik penating
(pemilik modal) dan biasanya diiringi dengan penambahan uang nating kepada
pemilik tanah ataupun rumah itu.
67
Banyak faktor yang menyebabkan petani di Pagaralam melakukan
peraktek nating, hal ini tercermin dari peruntukan dan kegunaan uang yang merka
peroleh dari nating itu sendiri, secara umum mereka gunakan untuk konsumsi,
biaya sekolah anak, produksi, dagang, persedekahan, maupun membeli perabot
atau kebutuhan rumah tangga lainnya, hal ini dapat dilihat dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Tien yustini yang yang menerangkan bahwa dari
187 responden yang terdiri dari petani padi dam kopi, disimpulkan bahwa petani
kopi dan padi menggunakan uang pinjaman atau uang dari menating kan barang
mereka untuk kebutuhan produksi atau modal usaha tani, berikut hasil penelitian
nya.
Tabel 2. Karakteristik petani berdasarkan kegunaan uang pinjaman dari nating
Kegunaan uang
pinjaman
Petani Kopi Petani Padi Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
produksi 43 38,4 44 58,7 87 46,5
Konsumsi
Pangan
25 33,0 24 16,0 37 29,8
Lainnya 44 39,3 29 25,3 63 33,7
Keterangan:
Lainnya : biaya anak sekloah, membeli baranag, dagang dan persedekahan atau
pesta.
68
Jadi merujuk dari hasi penelitian diatas dalam masa transisi sebelum dan
pasca panen padi maupun kopi banyak petani melakukuan nating untuk
memenuhi kebutuhan modal persiapan panen, dan sisanya pelaku nating
meggunakan untuk kebutuhan kebutuhan konsumsi dan kebutuhan-kebutuhan
lainnya.
Ada satu hal yang menarik dari hasil penelitian diatas, ternyata selain
bermotif ekonomi uang dari hasil nating digunakan untuk kebutuhan prestise atau
gengsi dalam melakukan pesta pernikahan, dimana kebiasaan masyarakat
Pagaralam melakukan pesta syukuran pernikahan secara besar-besaran dengan
diawali berkumpul di rumah keluarga yang mengadakan pesta selama berhari-hari
sebelum hari puncak acara atupun setelah acara, dan tentunya memerlukan
memerlukan biaya untuk makan, minum, upacara adat dan sebagainya, meskipun
terkadang mereka harus berhutang dan menating kan harta yang mereka miliki,
dan inilah yang menjadi salah satu sumber faktor budaya yang tentunya menjadi
faktor ekonomi (konsumtif motife) yang menjadi penyebab petani melakukan
nating.
Dengan melakukan nating tentunya aka nada risiko yang akan dihadapi
petani ataupun pelaku nating itu sendiri. Akibat dari sejumlah uang yang mereka
pinjam dengan nating dari menggadaikan sawah, kebun maupun rumah mereka,
setidaknya harus mengurangi pengeluaran mereka, menurunnya pendapatan,
bahkan bila mereka tidak mampu mengembalikan uang yang dipinjam risiko yang
terberat adalah kehilangan lahan pertanian ataupun rumah mereka, tapi bagi
meraka mereka yang mempunyai keinginan untuk mengembangkan usaha taninya
69
atau usaha-usaha di bidang lainnya mereka tidak menggunakan uang nating
tersebut untuk keperluan yang bersifat konsumtif tapi setelah melakukan nating
justru mereka berfikir bagaimana meningkatkan usaha mereka agar dapat
mengembalikan uang nating tepat pada waktunya.
70
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Q. Karakteristik Perilaku Masyarakat Pagaralam
Karakteristik ekonomi masyarakat Pagaralam selalu berkaitan dengan
karakteristik petani yang mengelola usaha pertanian baik kopi, padi, sayur-mayur
maupun pegawai negeri sipil dan pengusaha ditambah dengan akulturasi budaya
yang terjadi pada masa lampau dimana kebudayaan hindu budha termasuk juga
Islam masih terasa kental sampai saat ini.
Masyarakat Pagaralam sering menyebut dirinya sebagai masyarakat
Basemah (Pasemah). Secara historis wilayah ini meliputi wilayah Lahat, wilayah
Pagaralam hingga menyentuh wilayah Bengkulu (Pahiangan dan Rejang Lebong)
yang ada di pegunungan “Bukit Barisan”. Basemah (Pasemah) memiliki ciri-ciri
budaya yang spesifik, unik dan menarik. Hal ini dapat diamati dalam karakter
masyarakatnya mulai dari bahasa yang digunakan, logat bertutur, tata sosial, hasil
seni dan budaya serta tatanan etika dan religi yang tertanam dalam kearifan
lokalnya (local genius).
Beberapa tahun lalu, Pemerintahan Pagaralam secara resmi telah
mendaftarkan 67 situs Megalitikum-nya ke Unesco untuk dapat ditetapkan sebagai
kota cagar budaya (heritage). Secara faktual tak dapat dipungkiri bahwa wilayah
Pagaralam (juga wilayah kab. Lahat) menyimpan ratusan situs megalitikum yang
71
tersebar di berbagai tempat.95 Kebudayaan Megalitikum merupakan hasil dari
budaya zaman Neolithikum, yang menyerap peradaban awal jaman logam. Jaman
ini kemudian dikenal dengan masa perundagian yang mulai ditandai mulai
ditemukannya logam, kapak, pahat dan lain-lain dalam bentuk yang paling
sederhana (+/- 2500 tahun SM).
Kebudayaan Megalithikum di Pagaralam (dan Lahat) dapat kita lihat
secara riil dalam bentuk Menhir, makam batu, rumah batu, Dolmen, punden
berundak dan batu tegak (Kosala), altar batu (batu ceper) dan lain-lain.
Batu-batu besar dalam berbagai bentuk inilah yang menurut para ahli
dimaksudkan sebagai sarana ritual. Dalam hal ini para ahli sependapat bahwa di
dalam rumah batu yang banyak tersebar itulah nenek moyang kita melakukan
kegiatan ritualnya. Ritual yang dimaksud adalah suatu aktifitas yang dilakukan
terkait masalah misteri kehidupan dan kematian. Pada umumnya dalam
kebubayaan megalithikum selalu berorientasi pada aspek-aspek kepercayaan atau
supranatural dengan kekuatan-kekuatan gaibnya yang ada pada benda-benda,
mahluk hidup bahkan roh nenek moyang.
Pagaralam kota yang terhampar di perbukitan tinggi, diapit gunung Dempo
dan pegunungan Bukit Barisan yang membujur hampir sepanjang pulau Sumatra.
Kota Pagaralam dapat ditempuh dari kota Palembang dengan bus trans Sumatra
dengan jarak tempuh kurang lebih 7 jam. Jalanan berliku-liku membelah hutan
tropis, memberi pemandangan hijau dan cukup eksotis.
95 Hasil penelitian Van Der Hoop berkebangsaan Belanda yang meneliti tentang
keberadaan Megalitikhum yang ada di Pagaralam, dengan bukunya yang berjudul ‘Megalithic
Remains In South Sumatra’ th 1932
72
Diperjalanan itu, sesekali kita akan bertemu kota kabupaten, kota
kecamatan dan desa-desa yang diisi rumah-rumah penduduk bercorak tradisi.
Rumah-rumah panggung dari kayu berwarna kelam kecoklatan, rumah besar yang
ditopang oleh tiang-tiang setinggi kurang lebih 150-200 cm. Dibawah rumah-
rumah panggung itu pula sering digunakan untuk menyimpan peralatan tani, kayu
bakar bahkan hewan ternak yang secara keseluruhan terasa sekali nuasana tradisi.
Dengan demikian, Pagaralam mengalami perubahan masa diamana pada
masa kebudayaan Megalithikum di masyarakat Basemah (Pasemah) dapat
ditafsirkan telah menjalani satu peradaban yang cukup canggih dan kokoh,
sehingga sampai hari ini jejak-jejak peradaban tersebut masih dapat kita telusuri
sampai saat ini.
R. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Pagaralam
Melakukan Praktek ‘Nating’
Dari hasil observasi maupun pengamatan yang dilakukan penulis untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat Pagaralam
untuk melakukan ‘nating’ terdapat banyak sekali variable maupun faktor-faktor
yang mempengaruhinya mulai dari faktor prestise dalam melakukan mengadakan
pesta adat atau persedekahan baik itu upacara perkawianan, khitanan maupun
upacara kematian, meski terkadang mereka harus berhutang dengan
menggadaikan harta yang mereka miliki.
73
Dimana upacara perkawinan misalnya, terkadang diselenggarakan sampai
tiga hari tiga malam, dan membutuhkan biaya yang tidaklah sedikit, dan pada
umumnya masyarakat akan merasa gengsi kalau tidak bisa melaksanakan pesta
yang meriah, bahkan untuk lingkungan tetangga maupun keluarga terdekat juga
juga dikatakan tidak bisa menjaga adat apabila idak menyelenggarakan acara
pantauan (suatu tradisi mengajak makan para tamu maupun kedua mempelai
untuk makan bersama di rumah kerabat maupu tetangga terdekat), karena takut
mennaggung malu kalau mereka tidak dapat menyediakan hidangan yang mewah
dan beragam, meskipun diluar kemampuan ekonomi mereka, maka kondisi
tersebut mendorong petani untuk menggadaikan sawah ataupun kebun mereka
untuk membiayai segala keperluan yang berkaitandengan peristiwa adat tersebut.
Selain adanya budaya atau tradisi masyarakat Pagaralam dalam
melaksanakan upacara adat baik dalam persedekahan maupun rangkaiannya, ada
juga petani yang menggadaikan sawah atau kebunnya karena mereka enggan
menggarap sawahnya sendiri, karena dengan menggadiakan sawah atau
kebunnya untuk memperoleh dana segar dan uang dari hasil gadai tersebut dapat
digunakan untuk modal usaha maupun digunakan untuk membeli mobil atau
motor untuk kegiatan ojek dan kegiatan usaha lainnya, dan untuk kondisi ini
sering biasanya menggunakan sistem nating biasa atau non kuasa.
Secara umum masyarakat Pagaralam melakukan nating dengan alasan
membutuhkan dana segar atau dana yang langsung bisa digunakan baik untuk
kebutuhan konsumsi maupun produksi, disamping kebuthan-kebutuhan
mendesak lainnya, misalkan ada salah satu dari keluarga yang membutuhkan
74
dana untuk melanjutkan sekolah atau salah satu keluarga yang sakit sehingga
membutuhkan dana yang cukup besar, maka daripada petani menjual sawah,
kebun, atau rumah mereka maka penduduk setempat lebih menggunakan ‘nating’
sebagai alternative utama untuk mengatasi kebutuhan dana tersebut.
Dibanding dengan proses pinjaman di lembaga-lembaga keuangan baik
bank maupun non bank, ternyata ‘nating´dianggap lebih mudah dan tidak
memerlukan begitu banyak administrasi yang rumit, sehingga ‘nating’ ini tetap
berlangsung hingga saat ini di Pagaralam, meskipun dengan melakukan ‘nating’
ini mereka akan menghadapi risiko yang akan muncul dikemudian hari, secara
umum petani atau pelaku ‘nating’ akan mengalami kurangnya lahan garapan dan
tentunya akan mengurangi penghasilan yang nantinya berdampak pada sulitnya
untuk mengembalikan uang pinjaman yang akhirnya pelaku ‘nating’
dihadapkanpada risiko terbesar yakni menjual asset sawah, kebun maupun rumah
mereka kepada yang memberi modal.
Namun bagi pemilik modal atau yang memberi pinjaman uang, terjadi
pergeseran nilai yang sebelum nya memberi bantuan dana hanya untuk
membantu kerabat yang membtuhkan dana, namun sekarang pemilik modal
menganggap budaya nating sebagai peluang investasi dengan mengambil
keuntungan dari sistem yang diterapkan dengan mengharap keuntungan yang
sebesar-besarnya dari sistem ini, hal ini lah yang penulis anggap merupakan
indikasi adanya unsur-unsur riba didalamnya, mulai dari oenetapan lahan yang
akan dijadikan jaminan nating sampai dengan pilihan perjanjian serta waktu
pengembalian.
75
S. Mekanisme perjanjian (akad) dalam pelaksanaan ‘nating’
Secara umum untuk mengetahui mekanisme perjanjian (akad) dalam
pelaksanaan nating terlebih dahulu menetapkan pilihan antara kedua jenis nating
, yakni nating biasa (non kuasa) atau nating kuasa, karena kedua jenis pilihan
inilah yang menentukan inti dari perjanjian yang akan dilakukan, untuk
mendapatkan pinjaman dari nating petani atau pelaku nating tidak perlu mengisi
berbagai macam formulir dengan menyertakan berbagai kelengkapan
administrasi seperti KTP, KK, sertifikat tanah atau rumah, SIUP/NPWP dan
lainnya, pelaku nating cukup mengutarakan keinginannya atau meminjam
sejumlah dana kepada keluarga, kerabat, tetangga ataupun pemilik modal, dan
berjanji akan mengembalikan pinjaman tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Meskipun demikian sebagai pengikat antara si penating dan petani
dibuatlah suatu perjanjian (hitam diatas putih) tentang jenis apa yang di gadaikan
(tatingkan), baik itu luas lahan, jangka waktu, besarnya pinjaman dan sistem
nating yang diterapkan (apakah nating kuasa ataun nating biasa), perjanjian
antara kedua belah pihak tersebut dulunya hanya di tanda tangani oleh kedua
belah pihak96, tapi saat ini perjanjian tersebut biasanya harus diketahui oleh
pejabat pemerintah setempat (lurah) untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan di masa yang akan dating, tapi biasanya hal ini jarang terjadi,
dikarenakan nating ini merupakan salah satu niat baik pihak keluarga untuk
membantu kerabatnya yang membutuhkan dana dan menurut responden dan
96 Proses ini merupakan proses yang hanya disaksikan dan di tandatangani oleh yang
menatingkan sawah, kebun ataupun rumahnya kepada si pemilik modal, dan biasanya hanya
ditanda tangani okedua belah pihak dengan disaksikan oleh kerabat ataupun tetangga mereka.
76
lurah setempat97 jarang sekali bahkan belum pernah ada hal-hal buruk yang
ditimbulkan akibat nating ini. Jika ada petani yang belum bisa membayar pada
saat jatuh tempo, biasanya waktu akan diperpanjang, bahkan ada yang meminta
tambahan pinjaman uang. Dan bila sampai batas waktu yang diberikan si petani
belum juga mengembalikan uang tersebut, barulah tanah,sawah, kebun maupun
rumah yang ditatngingkan tadi menjadi milik penating seutuhnya dengan
terlebih dahulu mambahas tentang penambahan dana sesuai dengan harga yang
dikehendaki.
Besaran pinjaman yang diperoleh dari nating ini biasanya berkisar antara
Rp. 5.000.000 bahkan sampai dengan Rp.100.000.000,-, dan untuk mendapatkan
dana sebesar itu tidak perlu penaksiran atas luas tanah yang digadaikan pada saat
pengembalian (jatuh tempo) jumlah uang yang dikembalikan sebesar yang
dipinjam tanpa adanya tambahan atau bunga yang dibebankan kepada si petani.
Pemilik modal (penating) mendapatkan kompensasi dari dana yang dipinjamkan
kepada petani berupa hasil panen yang diperoleh yang diperoleh dari hasil
musyawarah yang telah disepakati sebelumnya yang diperoleh dari kegiatan
usaha tani dari lahan yang ditatingkan atau digadaikan. Namun jika sistem nating
yang disepakati adalah nating kuasa artinya si pemilik modal mempuyai kuasa
penuh untuk mengelola serta mendapatkan semua hasil dari lahan ataupun sawah,
kebun yang mereka kelola.
97 Bpk Ahmad Rivai (Pelaku nating) dan Bpk Helmi (Camat Pagaralam selatan)
77
Beda halnya ketika barang yang ditatingkan berupa rumah atau benda
yang tidak menghasilkan, biasanya sistem ini menggunakan sistem nating biasa
dengan cara sang pemilik rumah tetap menghuni rumah mereka tetapi mereka
juga berkewajiban untuk membayar uang sewa selama perjanjian nating
berlangsung, itu berarti sang pemilik rumah mendapatkan uang dari pemilik
modal dan selama masa perjanjian ini berlangsung pemilik rumah masih
menempati rumah itu namun harus membayar uang sewa tambahan dengan
jumlah yang disepakati bersama, namun ada juga yang menggunakan nating
kuasa yang berarti penghuni rumah mempunyai tempat tinggal yang lain yang
akan ditatingkannya ini berarti rumah yang ditatingkan sementara akan dihuni
oleh pemilik modal.
T. Perspektif Islam Dalam Perilaku Budaya ‘Nating’ di Pagaralam
Hasil dari wawancara beberapa narasumber menerangkan alasan dan
definisi umum apa itu nating serta bagaimana praktik nating yang berlaku pada
masyarakat Pagaralam, berikut beberapa kutipan hasil wawancara yang dilakukan
oleh penulis:
Menurut Bpk Defri98 menerangkan:
“Hampir semua masyarakat Pagaralam mengetahui dan melakuakan
nating dengan tujuan yang beragam, namun umum nya nating
berlangsung pada kerabat terdekat dengan tujuan saling tolong menolong,
namun ada juga yang melakuakan nating ddengan alasan menyimpan
uang dengan harapan akan mendapat manfaat dari hasil nating itu sendiri,
missal nya mendapatkan sasih99”
98 Defri, Lahat, 25 Februari 1974 Pelaku nating biasa
99 Sasih Merupakan istilah masyarakat Pagaralam untuk menyebutkan pembagian hasil
yang dilakukan setelah masa panen berlangsung, sasih dapat berupa hasil panen baik itu padi,
maupun kopi dan dapat juga berupa uang hasil penjualan hasil panen.
78
Selanjutnya keterangan bpk Ahmad Rivai lani100
“nating bertujuan untuk meolong keluaarga terdekat yang membutuhkan
uang, namun ada juga untuk mencari pendapatan lain untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, misalnya dengan dengan memberi pinjaman
kepada yang menggadaikan sawahnya tentunya pemilik modal (murtahin)
mendapatkan hasil dari setiap panen dari pemilik sawah dengan tidak
mengurangi uang yang dipinjamkan, jadi sama seperti menabung, dan
penerima uang juga dapat memanfaatkan uang tersebut untuk modal
usaha mereka”
Dari pihak rahin ataupun murtahin yang penulis wawancarai, semuanya
memberi keterangan bahwa mereka menating kan sawah, kebun ataupun rumah
mereka dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan mereka dan secara khusus
mereka tidak mengetahui apakah proses nating yang telah mereka lakukan telah
sesuai denag prinsip-prinsip muamallah dalam Islam.
Berikut hasil wawancara yang penulis lakukan pada beberapa tokoh
masyarakat dan tokoh agama di kota Pagaralam.
Menurut pendapat bpk Syahril Pudi101, berikut penuturannya:
“Nating sudah berlangsung begitu lama di Pagaralam, bahkan tidak hanya
berlangsung di sini, daerah sekitar Pagaralam juga melakukan hal yang
sama, seperti Lahat, dan Empat Lawang, untuk mengetahui nating
dibolehkan atau tidak dapat kita lihat dari perjanjian awal atau akad ijab
qabul nya, biasanya nating berlangsung dalam jangga waktu yang lama
bahkan bisa jadi sampai bertahun-tahun, hal ini meurut saya yang harus
penulis kaji lebih dalam karena menurut endapat saya ada unsur yang
merugikan sepihak (untuk nating kuasa), untuk nating biasa mohon
diperjelas bahwa niat awal pelaksanaan nating merupakan azas tolong-
menolong bukan investasi, jadi semua keuntungan yang dihasilkan keuda
belah pihak harus siap menaggungnya, baik itu untung atau rugi dari
setiap kali hasil panen.
100 Ahmad Rivai Lani pelaku nating kuasa dan nating rumah
101 Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah Jarai dan Tokoh Muhammadiyah Pagaralam
79
Menurut penuturan bpk Ahmad Nizom102 bahwa :
“Nating harus bebas dari unsur riba, dan harus bebas juga dari pinjaman
yang mengambil manfaat.”
Dan menurut Ust Amril mukminin al-hafidz menerang kan bahwa:
“Pada masa rosul sudah terjadi sistem gadai seperti ini, pada masa itu
disebut ar-rhan dimana Rasulullah saw. membeli makanan dari seorang
yahudi dengan menggadaikan baju besinya, jadi gadai sudah
berlangsung sejak lama, dan sudah di contohkan oleh rosul, pertanyaan
nya bagaimana dengan sistem gadai yang ada saat ini dan dikatkan
dengan nating yang ada di Pagarlam, secara umum saya menyimpulkan
bahwa nating kuasa itu dilarang karena banyak mengandung unsur riba
disana, dimana pemegang gadai mengambil manfaat dari barang gadai
dengan memanfaatkan sepenuhnya hasil dari barang gadai, berbeda
dengan nating biasa yang masih mengandung unsur bagi hasil
mudharobah didalamnya, jadi muammalah nating biasa ini masih dapat
dilaksanakan di Pagaralam.”
Dari keterangan narasumber yang ada, dapat diindikasikan bahwa
pelaksanaan nating pada masyarakat Pagaralam terindikasi terdapat unsur riba
didalamnya namun ada juga proses nating ini sudah sesuai dengan hukum
syari’ah kerena sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dalam
melakukan muammalah dan juga semua pihak merasakan manfaat dari akad
tersebut, secara garis besar prinsip-prinsip hukum Islam yang dijadikan pedoman
dalam melakukan aktifitas nating dirumuskan sebagai berikut :
a. Pada dasarnya segalah bentuk muammalah adalah mubah, kecuali yang
ditentukan lain oleh al-Quran dan sunnah Rasul
b. Muammalah dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur
paksaan dan tanpa mengandung unsur riba
102 Perwakilan Kantor Departemen Agama kota Pagaralam sekaligus pengurus Majelis
Ulama Indonesia kota Pagaralam
80
c. Muammalah dilakukan atas pertimbangan mendatangkan manfaat dan
menghindarkan mudharat dalam kehidupan bermasyarakat, dengan
demikian maka segala hal yang dapat membawa mudharat harus
dihilangkan.
d. Muammlah harus dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan,
menghindari unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Bentuk nating kuasa dengan memberikan jaminan berupa sawah, ladang
ataupun rumah kepada murtahin atau penerima gadai dengan jangka waktu yang
telah ditentukan dan penerima gadai berhak memanfaatkan marhum atau jaminan
sepenuhnya, dan pemanfaatan jaminan seperti inilah yang sangat rentan sekali
dengan praktik riba, dengan dalil bahwa semua pinjaman yang menghasilkan
keuntungan atau manfaat adalah riba’, berikut adalah pendapat-pendapat menurut
ulama ahli fiqih:
Pendapat ulama Syafi’iyah bahwa tidak ada hak bagi murtahin untuk
mengambil manfaat dari benda yang digadaikan, karena sabda Rasulullah saw,
dari Muhammad bin Ismail bin Abu Fudail mengabarkan kepada kami dari Ibnu
Abu Dzi’b dari ibnu Syihab, dari Sa’id bin Al-Musayab bahwa Rasulullah saw
bersabda, transaksi gadai tidak menutup pemilik barang dari barang yang
digadaikannya, dialah yang menebusnya dan dia pulalah yang menaggung
dendanya.
81
Adapun pendapat Ulama Malikiyah apabila seorang rahin memberi izin
kepada murtahin untuk mengambil manfaat dari marhum, atau murtahin
mensyaratkan sebuah manfaat, maka hal ini diperbolehkan dengan catatan yang
berasal dari akad jual beli atau serupa (akad yang didalam nya terdapat
kompensasi atau ganti manfaat yang diterima murtahin), masa pemanfaatannya
ditentukan atau diketahui (untuk menghindari dari ketidak jelasan yang dapat
merusak muamalah), contoh: seorang murtahin mengambil manfaat secara cuma-
cuma untuk dirinya atau manfaat itu dihitung sabagai hutang dengan catatan
rahin segara melunasi sisa hutangnya.
Pengambilan manfaat oleh murtahin tidak diperbolehkan apabila dain
(hutang) barasal dari akad al-qardh (hutang piutang), karena hal ini termasuk
dalam kategori hutang yang menarik manfaat, bahkan pengambilan manfaat tetap
tidak diperbolehkan meskipun seorang rahin secara sukarela memberikan
manfaat kepada murtahin (maksudnya tidak diisyaratkan oleh murtahin), karena
hal ini termasuk dalam kategori hadiyah midyan (hadiah dari orang yang
berhutang).
Kelompok Hanafiyah berpendapat seorang murtahin tidak berhak untuk
memanfaatkan barang yang digadaikannya kecuali dengan izin rahin karena yang
menjadi hak murtahin hanyalah menahan marhun, bukan memanfaatkannya,
apabila murtahin mengambil manfaat dari marhun, kemudian rusak pada saat
dipakai, maka murtahin berkewajiban mengganti seluruh nilai dari marhun
karena posisi murtahin sama dengan orang yang merusak barang milik orang
lain, namun ketika rahin memberi izin kepada murtahin untuk mengambil
82
manfaat dari marhun, maka sebagian ulama hanafiah membolehkan secara
mutlak, dan sebagian nya melarangnya secara mutlak, karena pemanfaatan itu
merupakan riba ataupun di dalamnya terdapat sesuatu yang serupa dengan riba.
Pendapat ulama Hanbali berbeda dengan pendapat ulama yang lain,
mereka berpendapat, dalam gadai selain hewan atau sesuatu yang menghasilkan
yaitu sesuatu yang tidak membutuhkan pada pembiayaan seperti rumah dan
barang lainnya, maka murtahin tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari
marhun tanpa izin dari rahin, karena barang yang digadaikan manfaat serta
pengembangannya menjadi milik rahin, sehingga selain rahin tidak berhak untuk
mengambil pemanfaatan dari marhun karena hal itu termasukdalam kategori
hutang (qard) yang menarik manfaat dan hal itu adalah diharamkan, hal ini
berpegang pada hadist sebagai berikut:
“Semua pinjaman yang menarik manfaat adalah riba (HR Al-Haris bin Abi
Usamah)
Imam Ahmad berkata, saya tidak menyukai akad qard dengan agunan
rumah, itu termasuk riba murni, maksud imam Ahmad adalah apabila sebuah
rumah dijadikan agunan untuk akad qard (hutang), maka pada akhirnya murtahin
mengambil manfaat dari rumah tersebut. Ungkapan imam Ahmad tentang topic ini
yaitu agar seorang murtahin tidak boleh mengambil manfaat sesuatu pun dari akad
rahn, kecuali apabila barang yang digadaikan berupa binatang kendaraan dan
binatang yang diperah susunya, apabila barang yang digadaikan berpa binatang
binatang kendaraan ataupun binatang yang diperah susunya, maka murtahin
berhak menaiki dan memeras susunya sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya.
83
“Susu binatang perah boleh diambil jika ia bagian dari borg dan diberi
nafkah (oleh murtahin), boleh menunggangi binatang yang diberi nafkah
(oleh murtahin), jika binatang itu menjadi barang gadaian, orang yang
menunggangi dan mengambil susunya wajib memberi makan atau nafkah”
(HR. Bukhari dan Abu Daud)
Hampir sama dengan pendapat ulama Hanbali, Sayid Sabiq
mengemukakan bahwa akad gadai bertujuan untuk meminta kepercayaan dari
menjamin hutang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Tindakan memanfaatkan
barang tidak ubahnya seperti qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk
qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba103. Keadaan qiradh yang
mengandung unsur riba ini, jika agunan bukan berbentuk binatang yang
ditunggani atau binatang ternak yang bisa diambil susunya atau pun lahan yang
menghasilkan sesuatu darinya. Cara yang demikian berpegang pada hadist:
“Semua Pinjaman yang menarik manfaat adalah riba104 (HR Al-Haris Bin
Abi Usamah)
Jadi secara umum ke empat pendapat Imam mazhab tersebut
mengisyaratkan bahwa apabila rahin mengizinkan murtahin untuk mengambil
manfaat, sedangkan hutang kadai itu adalah qardh, maka hal itu tidak boleh
karena yang demikian berarti qiradh yang menarik manfaa. Akan tetapi, apabila
hutang tersebut bukan qiradh, pemegang gadai boleh memanfaatkan barang gadai
tersebut sebatas pembagian nya hasil dari kesepakatan bersama antara rahin dan
103 Sayid sabiq, fiqih sunnah hal 153
104 Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul maram Min Adilat Al-Hakam, Terj Abdul
Rosyad Siddiq; Terjemah Lengkap Bulughul Maram, Jakarta, Akbar Media Eka Sarana, 2007, hal
384
84
murtahin, Imam Malik Mensyaratkan kebolehannya apabila izin itu didalam akad
dan masa dimanfaatkan dalam waktu tertentu.105
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional106 tentang rahn memutuskan bahwa
pinjaman dengan menggadaikan barang jaminan hutang dalam bentuk rahn di
bolehkan dengan ketentuan marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin.
Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oelh murtahin kecuali seizing
rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar
pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya, pemeliharaan dan perawatan
marhun pada dasarnya merupakan kewajiban rahin, namun juga dapt dilakukan
oleh murtahin, sementara biaya pemeliharaan dan penyimpanan tetap menjadi
kewajiban rahin.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), hanya
memberikan keterangan di dalam pasal 396 tentang pemanfaatan barang gadaian
dengan menyebutkan bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan marhun tanpa
izin dari rahin.
Dengan demikian menururt pendapat para ulama mazhab jika dikaitkan
dengan perilaku nating yang terjadi di Pagaralam yakni pinjaman uang yang
dilakukan oleh rahin disertai dengan pemanfaatan dan pembagian hasil dari sawah
maupun rumah kepada murtahin dalam jangga waktu tertentu maka hukum nya
ada sistem nating yang dibolehkan (mubah) dan ada juga sistem nating yang
dilarang (haram), karena jika dilihat dari pendapat imam Syafi’i membolehkan
105 Mahmud Syathut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zaky Al-Kaaf, (Bandung:
Pustaka Setia, 2007), h 288
106 fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002
85
pemanfaatan barang jaminan gadai jika tidak diisyaratkan diawal akad, sedangkan
praktik nating yang terjadi di Pagaralam semua persaratan terdapat di awal akad,
termasuk penetapan jenis nating yang di lakukan dan jumlah pembagian dari hasil
yang diperoleh dari pemanfaatan jaminan gadai (marhun), maka dapat
disimpulkan menurut pendapat Imam Syafi’i bahwa semua jenis nating yang
terjadi di Pagaralam merupakan muammalah yang dilarang (haram).
Sedangkan apabila dilihat dari pendapat imam Maliki bahwa boleh
memanfaatkan barang jaminan gadai baik itu disyaratkan di awal atau tidak di
isyaratkan tetapi dengan catatan hutang (dain) tersebut didapatkan dari akad jual
beli ataupun akad ijarah dan sejenisnya. Akan tetapi apabila peranjian tersebut
didapatkan dari akad hutang piutang (qard) maka hukumnya adalah haram.
Karena setiap hutang piutang yang mengambil manfaat adalah haram, sedangkan
praktik nating di Pagaralam semua akadnya merupakan akad hutang piutang
dengan jaminan berupa sawah, kebun maupun rumah, maka menurut Imam Maliki
praktik nating di Pagaralam termasuk kategori muammalah yang dilarang
(haram).
Selanjutnya apabila dilihat dari pendapat Imam Hanafiah, mereka
berpendapat murtahin tidak berhak memanfaatkan barang gadaian kecuali
mendapatkan izin dari rahin, karena hak murtahin hanya menahan barang jaminan
tersebut tidak dengan mengambil manfaatnya,
86
Menurut pendapat Imam Hambali bahwa selain untuk hewan yang dapat
ditunggangi atau hewan yang menghasilkan susu, maupun sesuatu yang
membutuhkan perawatan, pemeliharaan dan menghasilkan, yaitu sesuatu yang
tidak membutuhkan perawatan seperti rumah dan barang lainnya, maka murtahin
tidak boleh memanfaatkannya kecuali dengan seizing rahin , akan tetapi apabila
hutang tersebut dari akad qard (hutang piutang) meskipun rahin telah
mengizinkan tetap saja hal ini tidak boleh dimanfaatkan, karena ini adalah bentuk
hutang piutang yang mendatangkan manfaat, pendapat imam Hambali inilah yang
paling mendekati kondisi yang terjadi di Pagaralam, dimana dalam proses nating
murtahin memperoleh manfaat dari barang yang diagadaikan tentunya dengan
seizing rahin, ini terjadi pada proses nating biasa dan barang yang ditatingkan
berupa sawah, ladang ataupun kebun mereka, untuk barang gadai yang berupa
rumah hambali berpendapat tidak boleh mengambil manfaat dari barang tersebut.
Namun terjadi permasalahan mengenai akad yang ada di dalam akad
gadai, karena dalam proses nating akad yang digunakan adalah akad hutang
piutang sehingga menurut para imam tidak boleh mengambil manfaat dari akad
qardh, sehingga untuk proses nating yang terjadi selama ini untuk pemanfaatan
nya menurut para imam adalah jenis muamalah yang dilarang,
Terlepas dari itu semua tinjauan penulis tentang proses nating yang terjadi
di Pagaralam mempunyai karakteristik yang berbeda dalam hal pembagian hasil
ataupun pemanfaatannya, untuk nating biasanya misalnya, pengelolaan marhun
(barang gadai) masih sepenuhnya dikelolah oleh rahin, namun setelah barang
87
gadai memperoleh hasil dari masa panen (sawah, kebun), rahin memberikan
sebagaian hasilnya kepada murtahin sesuai dengan akad yang disepakati di awal,
ketidak tahuan tentang akad inilah yang menyebabkan proses nating ini belum
sesuai dengan syariat hukum Islam. Dan jika kondisi ini diharamkan maka akan
menimbulkan mudharat dari pihak yang menerima gadai dan ini bertentangan
dengan asas-asas dalam bermuamalah yaitu muamalah yang dilakukan atas
pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat dalam hidup
bermasyarakat, dan muamalah harus dilakukan dengan memelihara nilai-nilai
keadilan. Hal ini juga sesuai dengan asas-asas akad yang tercantum di dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 21 huruf (e) yang
menerangkan bahwa akad dilakukan atas dasar saling menguntungkan para pihak,
sehingga tercegah dari praktik yang merugikan salah satu pihak.
Mudharat yang harus dihilangkan dalam pemanfaatan sawah, kebun atau
pun rumah yaitu ketika penerima gadai dilarang dalam memanfaatkan barang
gadaian sawah yang menjadi barang gadaian, karena hal ini akan menyebabkan
kerugian bertahun-tahun yang dialami oleh pihak penerima gadai (murtahin) hal
ini bisa dikaitkan dengan teori inflasi mata uang Indonesia, dan juga pengharaman
dalam pemanfaatan sawah tersebut akan mencidrai asas-asas keadilan karena
ketika mengharamkan pemanfatan sawah oleh pihak penerima gadai sedangkan
pihak yang menggadaikan (rahin) bisa menikati keuntungan dengan mendapatkan
dana segar untuk kebutuhan ataupun mengembangkan usaha yang dimiliki oleh
pihak penggadai sawah (rahin).
88
Sesuai dengan tinjauan penulis terhadap nating pada masyarakat
Pagaralam dengan menggunakan pendekatan dari sudut pandang empat mazhab
ditambah dengan pendapat ulama serta tokoh masyarakat yang ada di Pagaralam
dan menggunakan pendekatan KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah),
maka pemanfaatan barang gadai (marhun), yang dilakukan masyarakat kota
Pagaralam menjelaskan bahwa :
a. Untuk pelaksanaan nating kuasa, baik itu sawah, kebun ataupun
rumah, lebih mengindikasikan unsur riba didalamnya Karena proses
nating yang terjadi di Pagaralam rahin menyerahkan sepenuhnya
marhun kepada murtahin baik itu pengelolaan dan manfaat, maka
meskipun secara legal barang gadai masih menjadi milik rahin akan
tetapi rahin tidak menerima apapun dari hasil pemanfaatan harta gadai.
b. Untuk pelaksanaan nating biasa yang terjadi di pagaralam baik itu
nating sawah, kebun, ladang maupun rumah, dalam sisi akad memang
masih terjadi unsur riba didalam nya karena akad yang digunakan
adalah akad qiradh (hutang piutang), namun dalam prakteknya jenis
muammalah ini yang paling mendekati unsur-unsur muammalah yang
ideal dalam sudut pandang Islam dikarenakan :
1. Dalam proses nating sawah, kebun ataupun ladang misalnya,
marhun (harta gadai), tetap menjadi milik rahin baik itu
pengelolaan, dan pengambilan manfaatnya, namun karena sawah,
kebun ataupun ladang tersebut sudah menjadi jaminan gadai, maka
89
dari awal perjanjian akad rahin dan murtahin sudah menetapkan
pembagian hasil dari pemanfaatan sawah, kebun ataupun ladang
tersebut.
2. Proses nating biasa ini dapat dikatagorikan sebagai akad
mudharobah yang intinya rahin dapat terus mengelola marhun dan
hasil dari pengelolaan tersebut dapat dibagi sesuai jenis
pemanfaatannya, karena marhun sepenuhnya masih milik milik
rahin namun murtahin memberikan sejumlah uang yang dapat
digunakan untuk mengelola marhun maupun dapat digunakan
untuk keperluan rahin lainnya.
3. Untuk hasil pemanfaatan dalam proses nating ini harus disepakati
di awal dengan cara musyawarah dan dituangkan dalam keputusan
resmi yang mengikat dengan inti isinya adalah, bahwa murtahin
memberikan sejumlah uang kepada rahin dengan jaminan berupa
sawah atau kebun dengan sistem akad mudharabah (bagi hasil)
selama periode yang disepakati, dan masing-masing pihak
berkewajiban untuk bersama-sama mengelola jaminan gadai
tersebut dan hasil dari pengelolaan dibagi dengan hasil kesepakatan
kedua belah pihak, baik itu rahin dan murtahin. Jadi kedua belah
pihak siap untuk menanggung untung mauun rugi dari setiap hasil
panen.
90
c. Untuk pemanfaatan barang gadai berupa rumah, ataupun harta yang
tidak bergerak, proses nating yang terjadi dipagaralam baik itu nating
biasa ataupun nating kuasa apabila mengambil manfaat dari
muamallah ini maka muammalah ini dilarang ataupun belum sesuai
dengan nilai-nilai Islam. Karena dalam nating kuasa penghuni rumah
atau pemilik rumah menggadaikan rumahnya kepada pemilik modal
dan tetap menghuni rumah tersebut namun pemilik rumah mash berhak
membayar sewa sebagai pengganti uang sewa rumah karena pemilik
modal tidak menghuni nya, berbeda dengan dengan nating kuasa yang
apabila pemilik rumah mempunyai rumah lebih dari satu, sebagai
jaminan gadai rahin menggadaikan satu unit rumah yang akan dihuni
oleh pemilik modal, hal ini juga tidak bolehkan karena selama
perjanjian ini berlangsung si pemilik modal berkuasa penuh utnuk
menghuni sekaligus memanfaatkan apa yang ada pada rumah tersebut.
Jadi dari beberapa poin diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa dalam
muammalah nating ini masih terdapat unsur-unsur riba didalam nya,meskipun ada
proses yang sudah sesuai dengan hukum Islam.
91
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
U. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan pembahasan-pembahasan di atas mengenai
praktek nating di kota Pagaralam, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Praktek nating yang dilakukan oleh masyarakat kota Pagaralam, belum
sesuai dengan syari’at Islam secara keseluruhan yaitu menyangkut
tentang masalah pemanfaatan barang gadai dan akad yang digunakan,
karena prinsipnya adalah nating bukan sarana untuk investasi
melainkan sarana tolong-menolong
2. Meskipun praktik nating belum sepenuhnya sesuai dengan hukum
Islam akan tetapi masih dapat dilihat bahwa praktek nating yang
dilakukan oleh masyarakat Pagaralam sudah memenuhi syarat dan
rukun gadai. Namun, ada beberapa hal yang perlu dibenahi seperti
pengelolaan barang jaminan dan pembagian hasil barang jaminan.
Karena dengan ketidak jelasan hal tersebut, pada akhirnya timbul
prasangka bahwa salah satu pihak merasa diuntungkan atau dirugikan.
92
3. Dalam hukum Islam, akad haruslah jelas isi, jenis, serta tujuan dari
pengadaan akad. Apabila tidak ada kejelasan mengenai akad diantara
kedua belah pihak yang nantinya dapat menimbulkan kekecewaan
salah satu pihak, maka hal itu dapat membuat akad menjadi cacat dan
tidak sah dalam hukum Islam. Jadi, dalam kajian hukum Islam, harus
ada kejelasan di antara penerima gadai dan penggadai. Saran-saran
V. Saran-Saran
Dengan adanya beberapa uraian diatas, maka penulis memberikan saran-
saran untuk menjadi bahan pertimbangan yaitu sebagai berikut:
1. Dalam melakukan gadai, antara penggadai dan penerima gadai harus
ada kejelasan waktu, jenis akad, waktu pengembalian hutang, sehingga
pelaksanaan gadai tidak berlarut lama.
2. Dalam pemanfaatan barang jaminan, keuntungan dari pengelolaan
barang jaminan harus dibagi dengan system bagi hasil.
3. Dalam pelakaksanaan praktek gadai prinsip taawwun (tolong
menolong) jangan sampai terabaikan.
4. Tradisi yang bersifat saling tolong menolong harus tetap ditingkatkan
sebagai tradisi yang dapat mempererat hubungan sosial ekonomi
masyarakat kota Pagarlam.