+ All Categories
Home > Documents > Sasmi MAKALAH KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIK

Sasmi MAKALAH KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIK

Date post: 14-May-2023
Category:
Upload: ugm
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
21
MAKALAH KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIK CHICKEN POX DAN HELMINTHIASIS PADA AYAM DENGAN NOMOR PROTOKOL A-425 Disusun oleh : Cik Sasmi Budi Prawirasari, SKH 14/374199/KH/ 8257 Disampaikan pada Seminar Koasistensi Diagnosa Laboratorik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS GADJAHMADA YOGYAKARTA 2015
Transcript

MAKALAH KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIK

CHICKEN POX DAN HELMINTHIASIS PADA AYAM DENGAN NOMOR

PROTOKOL A-425

Disusun oleh :

Cik Sasmi Budi Prawirasari, SKH

14/374199/KH/ 8257

Disampaikan pada Seminar Koasistensi Diagnosa Laboratorik

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS GADJAHMADA

YOGYAKARTA

2015

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan

rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah koasistensi diagnosa laboratorik

dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat

dokter hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Selama koasistensi diagnosa laboratorik berjalan hingga selesainya penyusunan

makalah ini penulis mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak,sehingga pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. drh. Kurniasih, M.Vsc, Ph.D., selaku Koordinator Koasistensi Diagnosa Laboratorik

2. drh. Sitarina Widyarini, M.P., Ph.D., selaku Dosen Pembimbing Laboratorium Patologi

3. Prof. drh. Bambang Hariono, Ph.D., selaku Dosen Pembimbing Laboratorium Patologi

Klinik

4. drh. Sidna Artanto, M. Biotech, selaku Dosen Pembimbing Laboratorium Mikrobiologi

5. Dr. drh. Joko Prastowo, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Laboratorium Parasitologi.

6. Staf dan Laboran bagian Patologi, Patologi Klinik, Mikrobiologi dan Parasitologi

7. Teman-teman kodilis A.2014.05 atas segala bantuan dan kerjasamanya

8. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya koasistensi dan penyelesaian makalah

Koasistensi Diagnosa Laboratorik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu

kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis hargai demi perbaikan di masa

mendatang. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan terutama di bidang Kedokteran Hewan.

Yogyakarta, Februari 2015

Penulis

Cik Sasmi Budi Prawirasari, S.K.H

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ii DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii INTISARI ................................................................................................................................. iv RIWAYAT KASUS................................................................................................................... v TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 1

Ayam ...................................................................................................................................... 1 Chicken Pox ............................................................................................................................ 1

Etiologi ................................................................................................................................ 1 Epidemiologi ....................................................................................................................... 1 Patogenesis .......................................................................................................................... 2 Gejala Klinis ........................................................................................................................ 2 Diagnosa Laboratorik .......................................................................................................... 3 Diagnosis klinis ................................................................................................................... 3 Differensial diagnosa........................................................................................................... 4

Helminthiasis .......................................................................................................................... 4 Ascaridia galli ..................................................................................................................... 4 Raillietina tetragona ........................................................................................................... 5

MATERI DAN METODE ......................................................................................................... 7 Materi...................................................................................................................................... 7

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM ......................................................................... 8 DISKUSI .................................................................................................................................... 9 PATOGENESIS ....................................................................................................................... 14 KESIMPULAN DAN SARAN................................................................................................ 14

Kesimpulan ........................................................................................................................... 15 Saran ..................................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 16

iv

Chicken Pox Dan Helminthiasis Pada Ayam Dengan Nomor Protokol A-425

INTISARI

Oleh :

Cik Sasmi Budi Prawirasaari

14/374199/KH/8257

Pada tanggal 15 Desember 2014 telah dilakukan eutanasi dan nekropsi pada seekor

ayam kampung, umur 2 bulan milik Bapak Yono yang beralamat di Widoro, Condong Catur,

Depok, Sleman. Dari anamnesa diketahui populasi 10 ekor. Morbiditas 2 ekor. Ayam di

peliharan dengan diumbar, sumber air dari sumur, pakan nasi. Belum pernah divaksin dan

belum pernah diberi obat cacing dan belum diobati. Gejala klinis yang teramati: keropeng di

kepala dan sayap, nodul tidak ditumbuhi bulu, feses berdarah.

Pemeriksaan patologi secara makroskopik pada kulit terdapat keropeng dan nodul di

kepala dan sayap, paru-paru terdapat bintik-bintik kehitaman, konsistensi kenyal, bidang

sayatan basah, uji apung terapung, jejunum dan sekum mengalami hiperemi pada mukosa,

bursa fabrisius terjadi perubahan berupa plika membesar dan terlihat plika membulat. Pada

pemeriksaan histopatologi, dari gambaran mikroskopis kulit terlihat adanya perubahan berupa

nekrosis pada pada daerah epidermis, pembengkakan lapisan keratin pada epidermis

(hiperkeratosis), terdapat benda inklusi intrasitoplasmik di stratum germinativum atau sering

dikenal dengan Bollinger’s body. Pada paru-paru terjadi perubahan pada jaringan

peribronkial (periparabronkus) yang terlihat longgar dengan infiltrasi sel radang limfosit dan

heterofil. Jejenum terdapat potongan cestoda di submukosa, infiltrasi sel radang limfosit pada

daerah submukosa disekitar potongan cacing cestoda. Pada sekum terdapat infiltrasi sel

radang heterofil dan limfosit di daerah submukosa dan jaringan submukosa nampak longgar

(odema). Pada ginjal terdapat nekrosis dan degenerasi hidrofik sel, duktus ginjal dengan

infiltrasi sel radang limfosit. Pada bursa fabrisius nampak jaringan interfolikuker lebih

longgar, terdapat vakuolisasi dan nekrosis pada daerah medula, folikel dengan infiltrasi sel

radang heterofil.

Pemeriksaan parasitologi meliputi pemeriksaan feses secara natif dan sentrifus,

kerokan usus dan pembuatan preparat apus darah. Hasil pemeriksaan parasitologi

menunjukan hasil adanya infestasi Ascaridia galli dan Raillietina tetragona. Pemeriksaan

Patologi Klinik menunjukkan ayam dengan nomor protokol A-425 mengalami anisositosis,

poikilositosis, eritrosit dengan Howell-Jolly bodies, anemia mikrositik hipokromik

(regeneratir), hipoproteinemia, leukopenia, heteropenia, eosinopenia, limfopenia dan

monositosis. Berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi, ayam dengan nomor protokol A-425

teridentifikasi Chicken pox virus pada inokulasi virus pada telur ayam berembrio umur 9-12

hari.

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium patologi, parasitologi, patologi klinik

dan mikrobiologi, ayam dengan nomor protokol A-425 terinfeksi virus Chicken pox virus,

terdapat infestasi Ascaridia galli dan Raillietina tetragona.

v

RIWAYAT KASUS

Pada tanggal 15 Desember 2014 telah dilakukan nekropsi terhadap seekor ayam milik

Bapak Yono dengan alamat Widoro, Condong Catur, Depok, Sleman. Berdasarkan anamnesa

diketahui bahwa ayam kampung umur 2 bulan dipelihara dengan teknik diumbar, total

populasi adalah 10 ekor. Jumlah ayam yang sakit sebanyak 2 ekor. Pakan ayam berupa nasi

dan sisa makanan. Sumber air berasal dari air sumur. Gejala klinis yang ditunjukkan ayam

adalah keropeng di kepala dan sayap, nodul tidak ditumbuhi bulu, feses berdarah.

1

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam

Ayam Kampung merupakan ayam domestik Indonesia yang telah beradaptasi, hidup,

berkembang, dan berproduksi dalam jangka waktu yang lama, baik di kawasan habitat

tertentu maupun dibeberapa tempat. Nenek moyang ayam-ayam Indonesia berasal dari

perkawinan ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau

(Gallus varius) (Yaman, 2010).

Ayam kampung termasuk dalam filum chordata dengan subfilum vertebrata, kelas

aves, ordo galliformes dan famili dari phasianidae. Genus dari ayam kampung adalah Gallus-

gallus dengan nama spesies Gallus-gallus domesticus (Sarwono, 1995).

Chicken Pox

Chicken pox merupakan penyakit virus yang ditandai dengan lesi proliferasi dan

nodular di bagian berbulu dari kulit atau fibrio-nekrotik dan proliferatif di mulut,

kerongkongan, dan selaput lendir pada saluran pernapasan bagian atas (Silva dkk, 2009).

Etiologi

Chicken pox termasuk dalam famili poxviridae, dengan genom double stranded DNA.

Memiliki amplop virus yang berasal dari membran sel inang, mengandung lipid sel inang dan

protein virus yang dikodekan seperti protein hemaglutinin dari orthopoxviruses. Virion stabil

pada suhu kamar dalam kondisi kering tapi sensitif terhadap panas, deterjen, formaldehida

dan agen oksidasi. Genera berbeda dalam kepekaan eter. (Quinn dkk, 2007)

Epidemiologi

Chicken pox terdistribusi di seluruh dunia. Angka kejadian di negara beriklim tropis

lebih besar dari pada di iklim subtropis. Penyakit ini penting dalam pandangan ekonomi

karena pada dapat menurunkan angka produksi pada peternakan unggas komersial, karena

dapat menyebabkan penurunan produksi telur, mortalitas dan tingkat pertumbuhan yang lebih

rendah (Silva dkk, 2009).

2

Patogenesis

Penularan virus dapat terjadi melalui kulit melalui vektor berupa gigitan serangga

nyamuk dan tungau. Beberapa vektor yang sering menularkan adalah Aedes aegyptu, Culex

sp, Dermanyssus gallinae, Stomoxys sp. Virus ini dapat memasuki aliran darah melalui mata,

luka kulit, atau saluran pernapasan. Nyamuk merupakan reservoir utama dan penyebar

cacar unggas pada rentang unggas. Penularan secara aerosol dimungkinkan dari unggas yang

terinfeksi, atau konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi juga dapat menjadi sumber

penularan. Chicken pox biasanya diawali dengan proliferasi lokal dari sel epitel. Sel-sel yang

terkena menjadi hiperplastik dan hipertrofik sebagai peningkatan laju multiplikasi terjadi

pada lapisan germinal basal sel dalam epitel. Hipertrofi dan besarnya granular asidofilik

inklusi intrasitoplasmik muncul sebagai sel-sel matang dalam lapisan epitel di atas stratum

germinativum. Lesi difteri berupa nodul yang dengan cepat bertambah besar, sering

membentuk kekuningan, cheesy, menyerupai pseudomembran. Kondisi ini diperparah oleh

invasi bakteri mengkontaminasi dan bahwa hal itu dapat memperpanjang melibatkan sinus

dan faring, menyebabkan gangguan pernapasan. (Weli and Trylan, 2011; Riper and Forrester,

2007).

Gejala Klinis

Masa inkubasi virus adalah 14 hari. Ada dua bentuk chicken pox pada unggas, yaitu

bentuk kulit (cacar kering) dan bentuk difteri (cacar basah). Lesi khas dari bentuk kulit adalah

adanya nodul yang berkembang di jengger, pial dan daerah kulit lainnya yang tidak

ditumbuhi bulu. Perkembangan pembentukan vesikel diikuti dengan ulserasi dan

pembentukan keropeng. Penyembuhan dapat terjadi dengan sendirinya dalam waktu dua

minggu. Pada burung yang terinfeksi, lesi dapat terdapat di daerah baik berbulu dan tidak

berbulu, bahkan di kelopak mata. Lesi bentuk difteri berupa nekrotik kekuningan (kanker)

3

berkembang pada selaput lendir mulut, esofagus dan trakea. Lesi oral dapat mengganggu

makan. Gangguan pada trakea dapat menyebabkan sesak napas dan ronki. (Quinn dkk, 2007)

Tingkat kematian yang lebih tinggi bentuk difteri dari pada bentuk kering, yaitu sekitar

50% pada wabah parah, terutama jika disertai dengan infeksi bakteri atau jamur sekunder.

Kerugian ekonomi yang sebagian besar disebabkan oleh penurunan sementara dalam

produksi telur dan mengurangi pertumbuhan burung muda (Quinn dkk, 2007)

Diagnosa Laboratorik

Diagnosa laboratorik dapat didasarkan pada pemeriksaan histopatologi dan mikroskop

elektron, kecurigaan tanda-tanda klinis infeksi Chicken pox virus bisa jika mungkin didukung

oleh nekropsi, terutama jika rongga mulut ke mengungkapkan bentuk difteri. Selanjutnya,

pemeriksaan histopatologi pada bagian jaringan yang diduga dapat mengungkapkan khas

besar, membentuk padat atau cincin, benda inklusi intrasitoplasmik eosinofilik yang dikenal

sebagai Bollinger’s body.

Isolasi virus dapat dilakukan dengan cara telur diusap dengan alkohol 70% dan pori

dibuat di daerah atas sel-udara dan satu lagi di sisi lain dari telur untuk membuat palsu

kantung udara dan menurunkan CAM oleh tekanan negatif menggunakan bola karet.

Inokulasi sampel menular melalui rute CAM dilakukan dengan steril sekali spuit 1 mL suntik

dengan sekitar 0,1-0,2 mL. Telur diinkubasi pada suhu 37 ° C selama 5 hari dengan candling

harian untuk memeriksa kematian embrio. Lesi bintik mengukur dalam ukuran 0,5-1,5 mm

diamati pada membran 3-5 hari setelah inokulasi (Weli and Trylan, 2011).

Diagnosis klinis

Gambaran klinis dari unggas yang terinfeksi menunjukkan beberapa kulit lesi

bervariasi dari papula ke nodul. Lesi baik di kulit dan bentuk difteri, terlihat pada burung dan

selama nekropsi, biasanya cukup untuk menjadi patokan diagnosa sementara dari infeksi

Chicken pox virus. Namun, tanda-tanda ini kadang-kadang tidak cukup untuk diagnosis

4

definitif. Infeksi sebagai agen lainnya, seperti virus papiloma dan mikotoksin dapat

menghasilkan sejenis lesi di kulit, dan kondisi seperti kandidiasis, capillariasis dan

trikomoniasis dapat memberikan lesi di rongga mulut yang mirip dengan bentuk difteri. Oleh

karena itu penting untuk mengambil sampel dan mengkonfirmasi etiologi virus kondisi (Weli

and Trylan, 2011).

Differensial diagnosa

Diagnosa dari Chicken pox virus ini dapat menjadi rancu dengan lesi yang sama oleh

virus papiloma dan mikotoksin dapat menghasilkan sejenis lesi di kulit. Kondisi seperti

kandidiasis, capillariasis dan trikomoniasis dapat memberikan lesi di rongga mulut yang

mirip dengan bentuk difteri (Weli and Trylan, 2011).

Helminthiasis

Ascaridia galli

Ascaridia galli merupakan cacing yang berpredileksi pada usus halus ayam. Cacing

jantan memiliki panjang 5-7,6 cm, sedangkan cacing betina memiliki panjang 7-12 cm.

Telutnya berbentuk ellips dengan dinding sel tebal. Cacing memiliki 3 buah bibir yang

berkembang dengan baik dengan oesophagus tidak memiliki bulbus posterior. Pada cicing

jantan bagian posterior memiliki spiculum yang equal dengan prekloaca sucker yang sirkuler

(Prastowo and Priyowidodo, 2014).

Siklus Hidup

Ascaridia galli memiliki siklus hidup langsung, namun cacing tanah dapat juga

bertindak sebagai hospes paratenik, yang mana di dalam cacing tanah telur infektif

berkumpul dan dapat termakan oleh ayam.

Siklus dimulai dengan adanya cacing dewasa di usus halus ayam mengeluarkan telur

cacing bersama dengan feses di lingkungan, kemudian telur di lingkungan akan berkembang

5

menjadi telur infektif (telur berisi larva-2). Telur yang berisi L-2 akan termakan oleh ayam.

Di dalam usus, telur akan menetas menjadi larva di dalam lumen usus (10 hari PI), lalu akan

masuk ke dalam mukosa usus sampai 17 hari PI, Larva kemudian kembali lagi ke dalam

lumen usus dan menjadi cacing dewasa (6-8 minggu) (Prastowo and Priyowidodo, 2014).

Gejala Klinis

Gejala klinis yang tampak lebih banyak pada ayam muda. Cacing ini menyebabkan

penyakit serius pada ayam umur 3-4 minggu. Pada ayam petelur dapat menyebabkan

penurunan produksi. Pada kasus yang parah, biasanya karena invasi larva di dalam mukosa

duodenum dalam jumlah banyak menyebabkan hemoragi dan enteritis sehingga ayam

menjadi anemia dan diare, kurus dan lemah (Prastowo and Priyowidodo, 2014).

Diagnosis

Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur cacing di dalam pemeriksaan feses atau

menemukan cacing dewasa pada saat nekropsi.

Raillietina tetragona

Terdapat pada usus halus ½ posterior dari ayam. Cacing ini tersebar di seluruh dunia,

termasuk cacing pita yang besar pada unggas (25 cm). Scolex lebih kecil dibanding dengan

Raillietina echinobotridia. Rostelum memiliki 1-2 baris kait, sucker oval dan berkait. Porus

genitalis unilateral, telur dalam kapsul masing-masing 6-12 telur. Cysticercoid di semut

merupakan hospes intermediet, periode prepaten 13 hari – 3 minggu (Prastowo and

Priyowidodo, 2014).

Siklus Hidup

Siklus hidup dari Raillietina tetragona dimulai dengan termakannya cysticercoid

(metacestoda) yang ada di hospes intermediet (semut, kumbang). Hospes intermedier

termakan ayam, dan di dalam saluran pencernaan cysticercoid dibebaskan, kemudian menjadi

dewasa. Cacing dewasa melepaskan segmen gravid yang berisi telur cacing berasama feses.

Di lingkungan telur cacing termakan oleh hospes intermediet (semut , kumbang) dan di dalam

6

hospes intermediet tersebut berkembang menjadi cysticeroid (Prastowo and Priyowidodo,

2014).

Gejala Klinis

Infeksi Raillietina tetragona menyebabkan penurunan berat badan dan penurunan

level glikogen di hepar dan mukosa usus. Ayam menjadi lesu, terlihat kurus, penurunan

pertambahan berat badan dan kadang ditemukan ayam paralisis (Prastowo and Priyowidodo,

2014).

Diagnosa

Meskipun proglotis gravid sering ditemukan dalam feses, diagnosis yang akurat adalah

dengan melakukan nekropsi untuk menemukan cacing. Diagnosis juga dapat dilakukan

dengan melakukan kerokan pada mukosa usus halus untuk menemukan cestoda (Prastowo

and Priyowidodo, 2014).

7

MATERI DAN METODE

Materi

Dalam kasus ini digunakan seekor ayam dengan nomor protokol A-425 . Peralatan yang

digunakan adalah peralatan standar untuk nekropsi hewan, alat dan bahan untuk pemeriksaan

makroskopis dan mikroskopis di laboratorium patologi, alat dan bahan untuk pemeriksaan

parasit di laboratorium parasitologi, alat dan bahan untuk identifikasi virus di laboratorium

mikrobiologi dan alat dan bahan untuk pemeriksaan darah di laboratorium patologi klinik.

Metode

Sebelum ayam dieutanasi dan dinekropsi, dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan

pengambilan darah. Pengambilan darah dilakukan secara intrakardial dengan spuit 3 ml

kemudian dibuat preparat apus darah pada obyek gelas dan ditampung pada tabung yang

berisi EDTA dan yang tidak berisi EDTA. Preparat apus darah difiksasi dengan methanol

kemudian dilakukan pengecatan Giemsa untuk pemeriksaan differensial leukosit, sedang

darah yang diberi EDTA dipakai untuk pemeriksaan darah rutin meliputi penghitungan

jumlah eritrosit dan leukosit, total protein plasma, fibrinogen, kadar Hb, PCV, MCV, MCH

dan MCHC.

Eutanasi dilakukan dengan emboli intrakardial, kemudian dilaksanakan nekropsi.

Pemeriksaan makroskopis dilakukan dengan inspeksi sedang pemeriksaan mikroskopis

dengan pembuatan preparat histopatologi dari organ yang dicurigai. Pemeriksaan parasitologi

dilakukan dengan memeriksa sampel feses menggunakan metode natif dan sentrifuse, dan

pemeriksaan terhadap kerokan usus. Pemeriksaan mikrobiologi untuk mengisolasi dan

mengidentifikasi Chicken pox virus dilakukan dengan inokulasi suspensi gerusan kulit pada

telur ayam berembrio umur 9 hari. Kemudian membran korioalantoik dibuat preparat

histopatologi dengan pewarnaan H&E.

8

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hasil Pemeriksaan Patologi

Berdasarkan hasil pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, ayam dengan nomor

protokol A-425 mengalami pox, pneumonia, enteritis parasitik, thiplitis, nefrosis, dan bursitis.

Hasil Pemeriksaan Parasitologi

Berdasarkan pemeriksaan parasitologi, ayam dengan nomor protokol A-425 menderita

infestasi Ascaridia galli dan Raillietina tetragona.

Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik

Berdasarkan pemeriksaan hematologi, ayam dengan nomor protokol A-425 mengalami

anisositosis, poikilositosis, eritrosit dengan Howell-Jolly bodies, anemia mikrositik

hipokromik (regeneratir), hipoproteinemia, leukopenia, heteropenia, eosinopenia, limfopenia

dan monositosis.

Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi

Berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi, ayam dengan nomor protokol A-425 teridentifikasi

Chicken pox virus.

9

DISKUSI

Kasus yang didiskusikan ini berasal dari sampel hewan ayam yang masih hidup saat

diambil. ayam berumur 2 bulan, berasal dari milik warga yang dipelihara dengan diumbar.

Populasi ayam yang dimiliki berjumlah 10 ekor. Menurut peternak, ayamnya nampak masih

sehat karena masih aktif, namun memang di kulitnya terdapat keropeng kepala, leher, dan

sayap. Gejala klinis yang ditunjukkan oleh sampel ayam adalah ayam terlihat kecil, keropeng

di kepala dan sayap, nodul tidak ditumbuhi bulu, feses berdarah.

Selanjutnya ayam dinekropsi dan dilakukan pemeriksaan secara laboratoris. Hasil

pemeriksaan patologi menunjukkan adanya perubahan makroskopis pada kulit kepala dan

sayap berupa keropeng dan nodul kekuningan, Paru-paru terdapat bintik-bintik kehitaman,

konsistensi kenyal, bidang sayatan basah, uji apung terapung. Jejunum, ileum, dan sekum

mengalami hiperemi pada mukosa. Bursa fabrisius mengalami penebalan pada plika dan

permukaan plika terlihat mengkilat.

Setelah dilakukan pemeriksaaan histopatologi, dari gambaran mikroskopis kulit

terlihat adanya perubahan berupa nekrosis pada pada daerah epidermis, pembengkakan

lapisan keratin pada epidermis (hiperkeratosis), terdapat benda inklusi intrasitoplasmik di

stratum germinativum atau sering dikenal dengan Bollinger’s body. Pada paru-paru terjadi

perubahan pada jaringan peribronkial (periparabronkus) yang terlihat longgar dengan

infiltrasi sel radang limfosit dan heterofil. Jejenum terdapat potongan cestoda di submukosa,

infiltrasi sel radang limfosit pada daerah submukosa disekitar potongan cacing cestoda. Pada

sekum terdapat infiltrasi sel radang heterofil dan limfosit di daerah submukosa dan jaringan

submukosa nampak longgar (odema). Pada ginjal terdapat nekrosis dan degenerasi hidrofik

sel, duktus ginjal dengan infiltrasi sel radang limfosit. Pada bursa fabrisius nampak jaringan

interfolikuker lebih longgar, terdapat vakuolisasi dan nekrosis pada daerah medula, folikel

dengan infiltrasi sel radang heterofil.

10

Pada pemeriksaan mikrobiologi, sampel kulit digunakan untuk mengisolasi Chicken

pox virus yang diduga menjadi penyebab penyakit viral pada ayam. Isolasi virus dilakukan

dengan inokulasi pada membran chorioallantoic dari telur ayam berembrio usia 9-12 hari dan

diinkubasi pada suhu 37oC selama 5-7 hari. Kemudian diperiksa lesi bintik putih atau

penebalan umum pada CAM. Pemeriksaan histopatologi dari lesi CAM akan menunjukkan

benda inklusi intrasitoplasmik eosinofilik setelah pewarnaan dengan H&E (Anonim, 2008).

Infeksi Chicken pox virus bersifat akut dan kronis, dan jika berlangsung lama maka

dapat menurunkan imunitas dari ayam yang akan menyebabkan infeksi sekunder (Hansen,

2011). Diagnosa infeksi oleh Chicken pox virus ini diperkuat juga oleh perubahan

mikroskopik di kulit yaitu gambaran benda inklusi intrasitoplasmik di stratum germinativum

yang merupakan lesi khas pada infeksi Chicken pox virus, lapisan keratin pada epidermis

mengalami hiperkeratosis, dan nekrosis pada daerah epidermis Pada paru-paru gambaran

makroskopisnya mengalami perubahan berupa bintik-bintik kehitaman, bidang sayatan basah,

konsistensi kenyal, uji apung terapung; untuk gambaran mikroskopis paru-paru berupa

jaringan periparabronkus nampak longgar dengan infiltrasi sel radang limfosit dan heterofil,

hal ini menunjukkan bahwa infeksi Chicken pox virus menurunkan daya tahan tubuh hewan

sehingga hewan terkena infeksi sekunder; pada jejenum terdapat potongan cacing cestoda di

daerah submukosa, infiltrasi sel radang limfosit mengelilingi daerah yang terdapat cacing

cestoda; pada sekum terdapat infiltrasi sel radang heterofil dan limfosit di daerah submukosa

dan nampak longgar (odem). Kemungkinan besar penyebab diare berdarah pada ayam

tersebut adalah infestasi parah dari cacing yang terdapat pada jejenum dan sekum.

Makrokopis ginjal berwarna kemerahan, bidang sayatan rata, konsistensi kenyal. Pada

pemeriksaan mikroskopis ginjal terdapat nekrosis dan degenerasi hidrofik sel, serta duktus

ginjal terdapat infiltrasi sel radang limfosit. Begitu pula pada bursa fabrisius dari ayam yang

11

mengalami vakuolisasi dan nekrosis di daerah medula, jaringan interfolikulernya nampak

longgar, dan folikel terisi infiltrasi sel radang heterofil. Perubahan pada makroskopis dan

mikroskopis ginjal dan bursa fabrisus mengarah pada infeksi bursa disease (IBD). Pada

duodenum usus ayam ditemukan cacing Ascaridia galli sebanyak dua ekor; dan pada usus

halus hingga sekum terdapat cacing Raillietina tetragona dan hiperemi pada mukosa.

Berdasarkan hasil pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, ayam tersebut mengalami

cacar, pneumonia, enteritis parasitik, thiplitis, nefrosis, dan bursitis.

Pada pemeriksaan patologi klinik menunjukkan hasil anemia mikrositik hipokromik

(regeneratif) yang didukung dengan gambaran apus darah berupa anisositosis, poikilositosis,

dan eritrosit dengan Howell-Jolly bodies. Ayam juga mengalami hipoproteinemia,

leukopenia, heteropenia, eosinopenia, limfopenia dan monositosis.

Anemia adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan jumlah eritrosit, hemoglobin,

atau keduanya dalam sirkulsi darah. Anemia mikrositik hipokromik dapat terjadi karena

hemoragi yang bersifat kronis, tidak cukupnya intake iron atau tidak terpenuhinya kebutuhan

zat besi karena reaksi peradangan akibat infeksi, kegagalan absorbsi, malnutrisi, defisiensi

Fe, defek-defek dalam kebutuhan dan penyimpanan Fe, seperti defisiensi Cu, keracunan

molybdenum, defisiensi vitamin B6. Gambaran morfologi eritrosit berupa abnormalitas

ukuran yang tidak seragam (anisositosis), abnormalitas bentuk (poikilositosis), serta adanya

eritrosit dengan Howell-Jolly bodies merupakan indikasi anemia regeneratif, yang

menyiratkan bahwa sumsum tulang berusaha untuk mengimbangi anemia dengan

peningkatan produksi eritrosit, serta rilis awal sel darah merah yang belum matang. Anemia

regeneratif disebabkan oleh salah satu kehilangan darah atau perusakan darah atau dapat

dilihat dalam tahap pemulihan disfungsi sumsum. Kehilangan darah dapat eksternal atau

internal, dan dapat bersifat akut atau kronis. Penyebab kehilangan darah akut meliputi

trauma; pendarahan lesi, seperti tumor atau borok besar; dan gangguan hemostatik. Contoh

12

gangguan hemostatik termasuk trombositopenia, koagulopati diwariskan, dan koagulopati

diperoleh, seperti warfarin toksikosis atau koagulopati vaskular disebarluaskan. Penyebab

umum dari kehilangan darah kronis termasuk lesi perdarahan, terutama dalam saluran

pencernaan, dan gastrointestinal atau parasit eksternal (Thrall, 2012).

Pada ayam juga terjadi hipoproteinemia. Hipoproteinemia adalah menurunnya kadar

protein plasma. Hipoproteinemia dapat disebabkan karena penurunan protein secara

berlebihan atau adanya aktivitas katabolisme yang berlebih. Hal ini dimungkinkan dengan

adanya infestasi cacing pada usus membuat penyerapan nutrisi di darah menjadi berkurang,

sehingga kadar protein di darah menurun.

Pada kasus ini meskipun terjadi keradangan pada beberapa organ dan kematian pada

jaringan, kadar fibrinogen pada hewan masih berada pada range normal. Hal ini disebabkan

karena nafsu makan dan minum hewan masih bagus.

Leukopenia pada unggas yang biasanya mengikuti kasus heteropenia. Pada unggas

yang memiliki dominasi limfosit, leukopenia sering identik dengan limfopenia. Penyebab

leukopenia bervariasi, tergantung pada apakah heterofil, limfosit, atau kedua saluran sel yang

terpengaruh. Heteropenia biasanya terjadi karena adanya infeksi bakteri atau virus yang

menyebabkan kerusakan sel yang disebabkan hemopoietik. Hal ini karena produksi di

sumsum tulang membuat pergeseran neutrofil dan emigrasi neutrofil dari darah ke dalam

jaringan pada tingkat yang melebihi pengganti neutrofil dari sumsum tulang. Limfopenia

merupakan indikasi infeksi akut yang memiliki asal-usul kompleks dan melibatkan satu atau

lebih mekanisme (Wellman, 2010).

Monositosis terjadi karena keradangan akut atau kronis, tetapi lebih sering dihubungkan

kondisi infeksi kronis (seperti bakteri, riketsia, jamur, virus, parasit), defisiensi zinc,

peningkatan kortikosteroid baik secara endogen maupun eksogen seperti stress saat handling

atau restrain. Penyebab lain monositosis reaktif termasuk infeksi dan nekrosis (Wellman,

13

2010). Pada kasus ini kejadian monositosis terjadi karena radang kronis oleh virus Chicken

pox virus, dan infestasi Ascaridia galli serta Raillietina tetragona. Berdasarkan pemeriksaan

patologi klinik, ayam tersebut mengalami anemia mikrositik hipokromik (regeneratif),

hipoproteinemia, leukopenia, heteropenia, eosinopenia, limfopenia dan monositosis.

Pada pemeriksaan parasitologi ditemukan cacing Ascaridia galli dan Raillietina

tetragona. Ascaridia galli terdapat pada lumen usus, sedangkan scolex dari Raillietina

tetragona dapat ditemukan dengan cara pengerokan pada mukosa usus. Pada pemeriksaan

feses tidak ditemukannya telur cacing baik Ascaridia galli dan Raillietina tetragona, hal ini

dimungkinankan karena stadium dari Ascaridia akan mengeluarkan telur pada saat dewasa

yaitu 6-8 minggu post infeksi, maka dapat disimpulkan bahwa cacing yang ditemukan pada

lumen usus merupakan cacing dewasa yang belum mengeluarkan telur.

Infestasi cacing Ascaridia galli dan Raillietina tetragona dapat merusak lapisan usus

pada ayam. Hal ini dapat terlihat dari gambaran perubahan mikroskopis berupa infiltrasi sel

radang polimorfonuklear dan mononuklear pada daerah submukosa, dan jaringan submukosa

nampak longgar, yang merupakan tanda dari odem. Diagnosa semakin kuat dengan

ditemukannya scolex dari Raillietina tetragona pada submukosa jejenum usus ayam.

Ascaridia dan Raillietina dewasa di lumen usus halus dapat merusak vili-vili di epitel mukosa

usus halus, sehingga mengganggu proses penyerapan nutrisi. Akibatnya timbul manifestasi

klinis berupa pertumbuhan yang terhambat (Prastowo and Priyowidodo, 2014).

14

PATOGENESIS

AYAM

Vektor penular Aedes

aegypty, Cules sp,

Stomoxyx sp, Dermanyssus

gallinae

Infeksi Chicken pox virus

Gejala klinis: terdapat keropeng di

kepala dan sayap, nodul tidak

ditumbuhi bulu

Aerosol dari unggas yang

terinfeksi/cemaran konsumsi

pakan/air

Pertahanan tubuh turun

Infeksi sekunder

Infestasi

Ascaridia galli

dan Raillietina

tetragona

Chicken pox

bentuk difteri

Infeksi virus IBD

Hiperemi pada

mukosa usus

* Eosinofilia

* Hipoproteinemia

* Feses berdarah

Kebutuhan eritrosit meningkat

Anemia mikrositik hipokromik

Anisositosis, poikilositosis, terdapat

eritrosit muda dan Howell-Jolly bodies

Anemia regeneratif

Heteropenia

Limfopenia

Infeksi kronis

Leukopenia

Monositosis

15

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium patologi, parasitologi, mikrobiologi dan

patologi klinik, ayam dengan nomor protokol A-425 mengalami Chicken pox, infestasi

Ascaridia galli dan Raillietina tetragona.

Saran

Menejemen kesehatan hewan untuk menghindari faktor-faktor predisposisi penyakit,

meliputi kontrol kesehatan dan lingkungan di sekitar tempat pemeliharaan, perbaikan pakan,

dan ayam yang sakit tidak boleh di campur dengan ayam yang masih sehat. Untuk

pencegahan Chiken pox dapat dilakukan dengan pemberian vaksin, namun di Indonesia

sendiri vaksin terhadap pox untuk ayam masih belum sering digunakan, namun karena pox

merupakan virus yang lamban penularannya dan bergantung dengan imunitas dari ayam

alangkah baiknya jika dilakukan tindakan pencegahan berupa pemberian vitamin untuk

meningkatkan imunitas. Terapi untuk Ascaridia galli dan Raillietina tetragona dengan

pemberian fenbendazole dengan dosis 60 ppm lewat pakan untuk 4 hari.

16

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Fowlpox. OIE Terrestrial Manual Chapter 2.3.10. Pp 531-537

Hansen, W. 2011. Avian Pox. In: Field Manual of Wildlife Diseases: Birds. Friens, M and

Franson, J.C. (eds). United States Geological Survey Pp 163-170.

Quinn, P J.,Markey, B K., Carter, M. E., Donelly, W. J. C., and Leonard, F.C. 2007.

Veterinary Microbiology and Microbial Diseases. Blackwell Publishing.U K. Pp : 106-

113

Thrall, M.A. 2012. Regenerative Anemia. In: Veterinary Hematology and Clinical Chemistry

2nd

edition. Thrall, M. A., Weiser, G., Allison, R.W., Campbell, T. W. (eds). Iowa:

Blackwell Publishing. Pp. 87-114

Sarwono B.1995. Berternak Ayam Buras. Jakarta:Penebar Swadaya. Pp 243-244

Silva, P.S; Batinga, T.; Sales, T.S.; Herval, E.F.G.; Ramos, I.; Maia, P.C.C.; Fernandes,

L.M.B. 2009. Fowlpox: Identification and Adoption of Prophylactic Measure in

Backyard Chickens in Bahia, Brazil. Brazilian Journal of Poultry Science vol 11. Pp

115-119

Riper, C.V. and Forester, D. 2007. Avian Pox. In: Infectious Diseases of Wild Birds. Thinas,

N. J., Hunter, D. B., and Atkinson, C.T. (eds). Iowa: Blackwell Publishing Professional

Pp 131-176

Wellman, M.L. 2010. Hematopoiesis. In : Schalm's Veterinary Hematology 6th

edition.

Weiss, D.J. and Wardrop, K.J. (eds). Iowa: Blackwell Publishing. Pp 304-360

Weli, S.C., Trylan, M. 2011. Avipoxviruses: infection biology and their use as vaccine

vectors. Virology Journal 8:49. Pp 1-15

Yaman, A. 2010. Ayam Kampung Unggul 6 Minggu Panen. Depok: Penebar Swadaya. Pp 5-7


Recommended