+ All Categories
Home > Documents > studi antropologi kognitif terhadap kepatuhan

studi antropologi kognitif terhadap kepatuhan

Date post: 28-Feb-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
155
i STUDI ANTROPOLOGI KOGNITIF TERHADAP KEPATUHAN SANTRI DIMAS KANJENG DI PADEPOKAN TAAT PRIBADI DI DESA WANGKAL KECAMATAN GADING KABUPATEN PROBOLINGGO SKRIPSI OLEH: NURUL RODIYAH NIM. 155110800111004 PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2018
Transcript

i

STUDI ANTROPOLOGI KOGNITIF TERHADAP KEPATUHAN

SANTRI DIMAS KANJENG DI PADEPOKAN TAAT PRIBADI

DI DESA WANGKAL KECAMATAN GADING

KABUPATEN PROBOLINGGO

SKRIPSI

OLEH:

NURUL RODIYAH

NIM. 155110800111004

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2018

ii

STUDI ANTROPOLOGI KOGNITIF TERHADAP KEPATUHAN SANTRI DIMAS

KANJENG DI PADEPOKAN TAAT PRIBADI DI DESA WANGKAL

KECAMATAN GADING KABUPATEN PROBOLINGGO

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Brawijaya

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

OLEH:

NURUL RODIYAH

NIM. 155110800111004

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2018

iii

iv

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya,

sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Penulisan skripsi ini diajukan

sebagai syarat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Brawijaya. Judul yang saya ajukan adalah “Studi Antropologi Kognitif

terhadap Kepatuhan Santri Dimas Kanjeng di Padepokan Taat Pribadi di Desa Wangkal

Kecamatan Gading Kabupaten Probolinggo”. Selain untuk kepentingan akademik, topik

skripsi ini dipilih karena kepatuhan santri Dimas Kanjeng begitu mendalam, sehingga penulis

terpantik untuk mengkajinya dari perspektif antropologi kognitif.

Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari dukungan, bimbingan serta bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu saya menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel, S. Ag., M. Hum., Pak Nindyo Budi

Kumoro, M. A., Ibu Siti Zurinani, M.A., yang telah membimbing dan memberikan

saran selama saya menulis skripsi ini.

2. Pak Manggala, M. A., selaku Ketua Program Studi Antropologi yang telah

memberikan kesempatan dan kemudahan dalam proses skripsi ini.

3. Semua dosen dan kerabat Antropologi Universitas Brawijaya yang telah

memberikan dukungan.

4. Ibu Putri Kumala Dewi, M.Pd., Bapak M. Andhy Nurmansyah, M.Hum dan

segenap staf kemahasiswaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya yang

telah memudahkan proses skripsi ini.

5. Keluarga dan saudara di Ponorogo yang telah memberikan dukungan selama saya

melakukan studi.

vi

6. Bapak Imam yang telah banyak memberikan informasi seputar proses untuk

mencapai kelulusan dan membantu pendaftaran ujian seminar proposal, seminar

hasil, hingga pendaftaran ujian skripsi.

7. Santri Dimas Kanjeng yang telah banyak mengajari banyak hal tentang makna

kehidupan ini yang sebenarnya seperti apa, bahwa hidup tidak lain hanyalah

sebatas “mampir”. Terimakasih telah mengajarkan saya arti sebuah komitmen dan

kesetiaan, bahwa dalam keadaan seburuk apapun itu setidaknya kita masih bisa

melakukan aktivitas positif untuk menatap masa depan yang lebih menantang.

Intinya jangan sampai patah semangat. Semangat memulai dan mengakiri dengan

bakti tanpa menghianati. Enjoy your process.

Seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak, saya menyadari kekurangan

serta ketidaksempurnaan skripsi ini. Oleh karena itu saya mengharapkan adanya kritik

serta saran untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga skripsi ini dapat memberikan

sedikit manfaat dalam kajian antropologi kognitif. Terima kasih.

Malang, 10 Desember 2018

Nurul Rodiyah

vii

viii

ABSTRAK

Rodiyah, Nurul. 2018. Studi Antropologi Kognitif terhadap Kepatuhan Santri Dimas

Kanjeng di Padepokan Taat Pribadi di Desa Wangkal Kecamatan Gading Kabupaten

Probolinggo. Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya.

Pembimbing: Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel, S.Ag., M. Hum

Kata Kunci: Antropologi Kognitif, Kepatuhan Santri, Kepemimpinan, Solidaritas.

Pemimpin padepokan menjadi tokoh yang beratributkan tuntunan moral masyarakat yang

berkarisma. Karisma yang dimiliki dapat menimbulkan asumsi dalam masyarakat bahwa

pemimpin padepokan mampu menanamkan akhlakul karimah dan mensejahterakan umat.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penyebab santri Dimas Kanjeng (DK)

patuh akan DK dan berbagai bentuk kepatuhan santri DK di Padepokan Taat Pribadi

berdasarkan perspektif antropologi kognitif. Metode penelitian ini menggunakan

pendekatan etnografi dan dideskripsikan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa ajaran DK merupakan sistem kognisi sebagai struktur kelembagaan dalam otak

santri DK yang dapat membentuk kepatuhan santri terhadap DK. Ajaran DK meskipun

bersifat imajiner (ideasional), namun ajaran tersebut menjadi pedoman hidup para santri

untuk memutuskan dan menyikapi hal apa saja yang harus dilakukan demi kehidupannya

dan hal mana saja yang perlu ditinggalkan. Ajaran DK tentang makrifat dan paternalistik

yang disampaikan secara berulang kali dalam komunitas Padepokan DK dapat

membentuk culture kepatuhan santri. Meme altruisme resiprokal yang selalu diajarkan

oleh DK juga mempengaruhi pola pikir santri untuk selalu patuh dan tunduk terhadap DK.

Proses kognitif dijadikan santri sebagai alat untuk menganalisis kepribadiannya.

Pemikiran dan proses pendewasaan santri DK dapat berkembang dalam konteks sosial

Padepokan Taat Pribadi. Santri mengembangkan sistem evaluasi diri sesuai yang

diajarkan oleh DK dan peraturan Padepokan Taat Pribadi. Interaksi sosial yang

berlangsung di Padepokan DK, dapat mengeksplorasi potensi santri dalam

mengembangkan proses pemahaman dan penalaran sadarnya untuk menuntun segala

tingkah laku santri DK. Struktur kognitif para santri DK saling berinterelasi. Informasi

baru yang bersifat kompleks dan banyak beredar dalam kehidupan santri, diintegrasikan

oleh santri sesuai dengan skema ajaran yang telah disampaikan oleh DK. Santri DK

saling mengisi satu sama lain dalam kondisi apapun, baik yang sifatnya asimilasi maupun

akomodasi. Hal tersebut mendorong berkembangnya konsep konstruktivisme, yang berarti

bahwa santri tidak serta merta menerima wawasan dari DK secara pasif ‘otak kosong’.

Sistem budaya yang telah dibentuk DK mengingatkan santri untuk berpikir apa yang

seharusnya dilaksanakan. Perkembangan kognitif melahirkan proses sosio instruksional,

yang mendorong santri DK untuk saling terbuka dan tukar-menukar pengalamannya

dalam menyelesaikan permasalahan yang hadir di Padepokan Dimas Kanjeng. Santri DK

berusaha memahami dan mengkonstruk makna personal dari berbagai fenomena dalam

kehidupan santri berdasarkan keyakinan diri para santri yang telah terbawa struktur pola

pikir DK. Santri mengembangkan keterampilan kognisinya berbasis pedoman

motivasional –buku istighosah– terhadap perilaku yang diadaptasi sesuai dengan konteks

Padepokan DK. Kepatuhan menjadi skema dan peraturan kelompok yang selalu

dikukuhkan di Padepokan Dimas Kanjeng. Kepatuhan santri DK tidak hanya berhenti

pada tindakan santri yang mencerminkan ketaatannya dalam melaksanakan ajaran DK.

Santri selalu simpati, empati dan mengimajinasikan sosok DK dalam segala aspek

kehidupannya sebagai suri tauladan.

ix

ABSTRACT

Rodiyah, Nurul. 2018. A Cognitive Anthropology Study of Dimas Kanjeng Religious Pupil in

Padepokan Taat pribadi at Desa Wangkal Kecamatan Gading Kabupaten Probolinggo.

Anthropology Study Program, Faculty of Cultural Studies, Universitas Brawijaya

Advisor: Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel, S.Ag., M. Hum

Keyword: Cognitive Anthropology, Religious Pupil Obedience, Leadership, Solidarity.

The leader of a convent is a figure who shares the moral guidance of a charismatic society. Charisma

that is owned by the leader can lead to assumptions in the community that the leader is able to instill

morality and able to make prosperous the community itself. The purpose of the study is to describe the

causes of Dimas Kanjeng (DK) Religious Pupil (Santri) to be obedient to DK and various forms of the

obedience by DK religious pupil in Padepokan Taat Pribadi based on the perspective of cognitive

anthropology. The research method of this study is ethnographic approach and it describes

qualitatively. The result of the study shows that DK’s instruction is a cognition system as an

institutional structure in DK santri’s brain that construct their obedience toward DK. The instruction

is an imaginary, however the santri make the instruction as their life guidance in order to decide and

behave about what should they do and do not in their life. The instruction of DK about knowledge and

paternalistic which are delivered repeatedly in the community of Padepokan Taat Pribadi can

construct a santri obedience culture. The reciprocal altruism meme that is always taught by DK also

influence the mindset of the santri become always obedient and submissive to DK. The cognitive

process is used by santri as a tool to analyze his personality. The process of thinking and maturing of

the santri can develop into Padepokan Taat Pribadi social context. Santri develop a self-evaluation

system based on what has taught by DK and the rules at Padepokan Taat Pribadi. The social

interaction at Padepokan DK can explore the potential of santri in developing the process of

understanding and their logical thinking in order to conduct all the santri’s behavior. The cognitive

structure of DK santri interrelated. New information that is complex and widely circulated in santri’s

life is integrated by the santri in accordance with the teaching scheme that has been conveyed by DK.

The santri support each other in any conditions, whether in assimilation or accommodation. This

condition affecting the development concept of constructivism, it means the santri do not receive

knowledge from DK passively (don’t know at all). The cultural system which was formed by DK

reminds the santri to think what they should do. Cognitive development creates the socio-instructional

process, which encouraged the santri to be open to each other and share their experiences in problem

solving at Padepokan Dimas Kanjeng. The santri try to understand and construct the personal

meaning of various phenomena in santri’s life based on the self-confidence of santri who had carried

over the structure of the DK’s mindset. Santri develop their cognitive skills based on motivational

guidelines –istighosah books– towards behavior that is adapted according to the context of the

Padepokan Dimas Kanjeng. Obedience is a scheme and group regulation that is always confirmed in

Padepokan Dimas Kanjeng. The obedience of santri is not only proofed by the actions of them who

reflect their obedience in implementing DK's teachings. They are always sympathetic, empathetic and

imagine the figure of DK as a role model in all aspects of santri’s life.

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................... I

HALAMAN PERSETUJUAN..................................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................... iv

KATA PENGANTAR.................................................................................................. v

PERNYATAAN KEASLIAN...................................................................................... vii

ABSTRAK..................................................................................................................... viii

ABSTRACT.................................................................................................................. ix

DAFTAR ISI................................................................................................................. x

DAFTAR TABEL......................................................................................................... Xi

DAFTAR GAMBAR.................................................................................................... Xii

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................ Xiii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang......................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................... 7

1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................................... 7

1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................................... 7

1.5 Tinjauan Pustaka...................................................................................................... 8

1.6 Kerangka Teori......................................................................................................... 26

1.7 Metode Penelitian.................................................................................................... 41

1.8 Sistematika Penulisan............................................................................................... 50

BAB II SETTING WILAYAH, BUDAYA, DAN KEMASYARAKATAN.......... 56

2.1 Letak Geografis dan Administrasi Desa Wangkal Kecamatan Gading Kab.

Probolinggo………………………………………………………………………

56

2.2 Kehidupan Sosial, Budaya dan Ekonomi Masyarakat Desa Wangkal Kec. Gading

Kab. Probolinggo………………………………………………………................

57

2.3 Perjalanan Dimas Kanjeng dan Popularitasnya…………………………………… 62

2.4 Padepokan Dimas Kanjeng……………………………………………………… 66

BAB III TEMUAN LAPANG………………………………………………………. 79

3.1 Deskripsi Faktor-faktor Pemicu Santri Padepokan Dimas Kanjeng teramat Patuh

akan Dimas Kanjeng……………………………………………………………...

79

3.2 Berbagai Tindakan Santri Dimas Kanjeng yang Mencerminkan Kepatuhannya

terhadap gurunya paska Dimas Kanjeng tidak terdapat di Padepokan…………...

96

3.3 Persepsi Santri terhadap Dimas Kanjeng paska Dimas Kanjeng menjadi

Tersangka…………………………………………………………………………

105

3.4 Trik Santri dalam Menjaga Kepatuhannya terhadap Dimas Kanjeng melalui

Permainan Bahasa…………………………………………………………………

112

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN………………………………………… 116

4.1 Studi Antropologi Kognitif terhadap Faktor Pemicu Santri sangat Patuh terhadap

Dimas Kanjeng……………………………………………………………………

116

4.2 Kepemimpinan dan Konformitas dalam membentuk Budaya Patuh Santri

Padepokan Dimas Kanjeng……………………………………………………….

123

4.3 Faktor Imitasi dalam Menumbuhkembangkan Kepatuhan Santri terhadap

Dimas Kanjeng yang begitu mengakar.............................................................

130

4.4 Religiusitas sebagai Sistem Budaya di Padepokan Dimas Kanjeng........................ 133

BAB V PENUTUP 137

5.1 Simpulan................................................................................................................... 137

5.2 Saran......................................................................................................................... 138

xi

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 140

LAMPIRAN................................................................................................................... 152

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Informan Penelitian……………………………………………………45

Tabel 2. Faktor-faktor Penyebab Santri tetap Patuh terhadap Dimas Kanjeng……….. 95

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Konsep Antropologi Kognitif………………………………………...30

Gambar 2. Diagram Kuantitatif Penyebab Santri sangat Patuh terhadap Dimas Kanjeng117

Gambar 3. Peta administrasi Padepokan DK Taat Pribadi……………………………. 145

Gambar 4. Latar Belakang Ekonomi dan Pendidikan Santri Dimas Kanjeng………… 146

Gambar 5. Lukisan Santri terkait masterplan Padepokan Dimas Kanjeng ke Depannya.146

Gambar 6. Kondisi Tenda sebagai Tempat Tinggal salah 1 santri………………………146

Gambar 7. Tenda Tempat Tinggal Santri Dimas Kanjeng……………………………… 147

Gambar 8. Gerbang Pintu Masuk menuju Masjid Padepokan Dimas Kanjeng………... 147

Gambar 9. Wawancara dengan Santri Padepokan Dimas Kanjeng…………………….. 147

Gambar 10. Santriwan-santriwati Dimas Kanjeng beserta anaknya…………………… 148

Gambar 11. Santriwan-santriwati Dimas Kanjeng dalam membentuk Keterikatan,

Kekerabatan dengan Membuat Keripik Bersama di Aula Padepokan………….148

Gambar 12. Santri sedang menjalankan ajaran dari Dimas Kanjeng untuk selalu berfaedah

untuk sesama (altruisme: sikap mau berkorban demi kepentingan orang

lain)………………………………………………………………………...148

Gambar 13. Santriwan-santriwati DK beserta anak-anaknya seusai olahraga Senam Pagi

bersama sembari menanti kabar terkait Dimas Kanjeng kapan datangnya

kembali…………………………………………………………………….149

Gambar 14. Santri tatkala sedang menanti dan memberikan support DK di persidangan

dengan tak kenal menyerah………………………………………………..149

Gambar 15. Wawancara dengan Santri DK…………………………………………...…150

Gambar 16. Ketaatan Santri sedang melaksanakan perintah ajaran Dimas Kanjeng untuk

selalu menunaikan Shalat Berjamaah……………………………………...150

Gambar 17. Santri sedang melaksanakan ajaran dari Dimas Kanjeng untuk selalu istighosah,

pengajian dan berdoa bersama…………………………………157

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Wawancara dan Analisis Data………………………………. 152

Lampiran 2. Berita Acara Seminar Proposal Skripsi……………………………….. 207

Lampiran 3. Berita Acara Seminar Hasil Skripsi………………………………….. 209

Lampiran 4. Perencanaan Pembimbingan Skripsi………………………………….. 211

Lampiran 5. Berita Acara Bimbingan Skripsi………………………………………. 212

Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian…………………………………………………….. 214

Lampiran 7. Surat Pernyataan……………………………………………………….. 215

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Padepokan adalah lokasi di mana para pujangga menggali ilmu dan mengasah

potensi diri pada sosok figur yang diyakini berpotensi „mendidik‟. Padepokan

merupakan nama lain dari pesantren dan pada umumnya pesantren adalah

lembaga pendidikan yang dihidupi dengan gejala sosio kultural yang „unik‟ untuk

dikaji. Salah satunya ialah penyebab santri sangat patuh terhadap kiai.

Karakteristik padepokan (pesantren) hampir mirip madrasah India dan Timur

Tengah, pada umumnya kiai pengasuhnya menyelesaikan tahap pendidikan akhir

di lembaga pusat pengajaran agama prestisius di Tanah Arab. Adapun komponen

bangunan pesantren terdiri dari masjid untuk tempat peribadatan bersama, rumah

kediaman kiai yang berada dalam kompleks pesantren dan asrama untuk tempat

tinggal santri (Wahid, 1980: Wahjoetomo, 1997).

Hal tersebut juga berlaku di Padepokan Dimas Kanjeng. Dimas Kanjeng

„Taat Pribadi‟ biasa dipanggil santrinya dengan sebutan “Mas Kanjeng”, “Yang

Mulia”, “Guru”, “Romo”, “Yai” dan lain-lain. Pada konteks Padepokan Dimas

Kanjeng, semua aspek tersebut juga terdapat di satu lingkup Padepokan Dimas

Kanjeng. Baik masjid yang besar, rumah kediaman Dimas Kanjeng yang mewah,

dan asrama putra-putri yang terlihat luas, besar dan kokoh semuanya berkumpul

menjadi satu dan saling mendukung satu sama lain. Padepokan tersebut berisi

beragam santri yang berasal dari berbagai asal-usul (daerah, agama, suku,

pendidikan) yang berbeda. Padepokan Dimas Kanjeng akhirnya identik dengan

2

pluralisme dan multikulturalisme, meskipun multikultural, namun jalinan

kekerabatan di antara santri begitu rekat dan harmonis. Selain itu, mayoritas santri

di Padepokan Dimas Kanjeng begitu sopan dan mematuhi segala petuah Dimas

Kanjeng, tanpa menangkal sedikitpun.

Bicara soal kepatuhan santri terhadap “Dimas Kanjeng”, pembicaraan

tersebut tidak luput dari konteks hubungan patron-klien antara santri dan kiai yang

mengakibatkan mencuatnya strata sosial dan ketergantungan yang mendalam dari

santri terhadap Kiai Dimas Kanjeng. Fenomena yang berkembang di Padepokan

Dimas Kanjeng, santri mengapresiasi “sang guru” tersebut sampai mengkultuskan

bahwa “Dimas Kanjeng seorang Nabi”. Landasan santri melakukan penghormatan

yang mendalam terhadap Dimas Kanjeng disebabkan adanya kewibawaan kiai

yang menurut para santri bersumber dari keturunan Nabi Muhammad SAW,

keturunan Sunan Kalijaga dan adanya kepercayaan yang dijadikan prinsip hidup

santri bahwa, menangkal sosok “Kiai atau Guru” mengakibatkan „kualat‟.

Tipe kepemimpinan patronase „dominasi Kiai terhadap santri‟ yang

berkembang di padepokan mengakibatkan kepemimpinan bersifat feodal yang

diselimuti oleh busana keagamaan atau wacana kerohanian sang guru (Nurhayati,

2000). Otoritas Dimas Kanjeng yang dominan terhadap santrinya mengakibatkan

santri merasa terikat dengan Dimas Kanjeng, minimal sebagai sumber inspirasi

dan tuntunan moral dalam kehidupan pribadinya. Kiai Dimas Kanjeng selalu

dipandang benar oleh santrinya yang membuat santri selalu merasa terkesima.

Fakta sosial tersebut juga diperkuat oleh penelitian terdahulu (Nurhayati: 2000),

3

yang mengatakan bahwa “kiai merupakan sosok panutan dan biduan, tidak

mungkin akan mengajarkan doktrin-doktrin yang salah”.

Santri menganggap kiai merupakan sosok seorang yang wajib dipatuhi,

dihargai, yang mana kiai dinilai mempunyai kekuatan supranatural yang dapat

memberi berkah, bahkan ujian „celaka‟ (Zakiyah, 2000). Potensi supranatural

pada diri seorang kiai yang dapat mengantarkan pada kesuksesan dikenal dengan

istilah barokah, yang diartikan sebagai the gift atau nikmat Tuhan (Dhofier, 1994).

Kekuatan supranatural yang terdapat pada pribadi kiai dapat meningkatkan pesona

atau citra potensi pribadi seorang kiai. Sebab seringkali syarat utama seorang kiai

dinilai mempunyai banyak barokah apabila mempunyai keistimewaan pribadinya.

Van Bruinessen (1999) mengatakan bahwa, peranan dan keistimewaan pribadi

kiai memiliki pengaruh yang besar dalam meningkatkan kepercayaan santri. Sikap

menghargai dan kepatuhan mutlak kepada kiai merupakan poin utama yang

diajarkan kepada seluruh santri sejak awal menjadi santri baik dari keluarga santri

maupun dari kiai.

Akhirnya santri selalu menjaga rasa patuh terhadap kiai dengan harapan agar

sang kiai juga dapat memenuhi fungsi dan tanggung jawabnya sebagai orang tua

dari santri yang sudah sepantasnya untuk memberikan tuntunan akhlak kepada

anak. Begitupun juga santri, sebagai anak sudah „selayaknya‟ menjalankan

tugasnya untuk mematuhi perintah dari atasannya (teori struktural fungsional,

yang juga dapat memicu berkembangnya budaya paternalistik). Kegigihan para

santri dalam mematuhi nasehat gurunya merupakan salah satu pendorong

sakralnya suatu padepokan.

4

Kesakralan suatu tempat merupakan salah 1 faktor yang membentuk

keyakinan dan kepatuhan santri begitu mendalam terhadap kiai (Sztompka, 1999).

Bagi santri Dimas Kanjeng sebagian besar santri merasakan aura sensasi yang

berbeda tatkala tinggal di Padepokan Dimas Kanjeng. Tatkala cuacanya panas,

begitupun juga dengan teriknya matahari di lingkungan sekitar pondok, namun

bagi santri di padepokan terasa sejuk, dingin. Bagi santri, Padepokan Dimas

Kanjeng tempat di mana para malaikat berkumpul, di padepokan terdapat harta

karun yang suatu saat harta tersebut menurut santri “akan cair” dan dapat

dikontribusikan untuk mengentaskan kemiskinan umat.

Pada umumnya, budaya yang berkembang di kehidupan pesantren atau

padepokan yaitu kental akan budaya asetisme (pengkultusan sosok pribadi kiai)

yang juga didukung adanya komitmen dan kesediaan melaksanakan segala yang

diperintah oleh kiai. Hal tersebut dilaksanakan oleh santri agar karomah sang kiai

dapat menular dan membekas dalam kepribadian santri (Wahid, 1980). Sehingga

kepribadian santri tidak lain merupakan hasil konstruksi yang dibentuk dari

seorang kiai, sebab kedekatan antara santri dan kiai begitu intim. Hal tersebut

salah satunya juga dipengaruhi oleh bahasa kiai yang begitu lembut dalam

mendidik para santri di Padepokan Dimas Kanjeng.

Menurut O‟dea (1987) padepokan atau kelembagaan agama terdiri atas tiga

tingkatan yang saling mempengaruhi, yaitu ibadah, doktrin dan organisasi.

Doktrin diberikan oleh pemimpin padepokan yang menjadi tokoh agamis dan

berkarisma. Dalam pengertian luas, doktrin adalah ajaran agama dan nasihat yang

diberikan pemimpin padepokan kepada pengikutnya. Namun makna doktrin

5

seolah menjadi menyempit dalam fenomena yang terjadi di Padepokan Dimas

Kanjeng. Padepokan Dimas Kanjeng yang terletak di Desa Wangkal, Kecamatan

Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur ini dipimpin oleh Taat Pribadi.

Karisma dan keterampilan Taat Pribadi menggunakan adat kerohanian

untuk “membentuk” akidah masyarakat, mengakibatkan padepokan Dimas

Kanjeng ini pernah memiliki hingga 23.000 pengikut. Para pengikutnya berasal

dari seluruh penjuru tanah air, menariknya adalah 70% pengikut merupakan kaum

terdidik yang sebelumnya berprofesi sebagai politisi, kepala sekolah, kepala dinas

dan dokter. Makna kata “doktrin” dikatakan menjadi “seolah” menyempit karena

menurut masyarakat awam, pemikiran para pengikut padepokan ini telah

diarahkan untuk mendapatkan kenyamanan hidup dengan memberikan mahar

kepada padepokan dan bisa dilipatgandakan.

Padahal menurut keyakinan para pengikut, mereka sangat yakin kepada

pemimpin padepokan yang suatu saat akan menuntunnya ke ridho Allah dan

mendapatkan rahmatan lil alamin. Jadi, menurut para santri mahar yang diberikan

kepada padepokan akan sepadan dengan kesejahteraan, ridho Allah dan rahmat

Allah SWT yang akan mereka dapatkan di kemudian hari. Secara teoritis,

kepatuhannya ini didukung oleh tingginya homogenitas dalam masyarakat

sehingga cenderung memiliki kepercayaan yang sama.

Pengikut dengan karakter di atas cenderung akan loyal dan “melupakan”

kekritisan dan kelogisan berpikirnya karena menganggap nasihat „bahasa‟

pemimpin padepokan berpengaruh besar terhadap hidupnya. Menurut Ennis

dalam Baron dan Stenberg (Eds, 1987), berpikir kritis adalah mampu mengatur

6

gagasan dan berpikir secara analitik untuk menganalisis serta mengklarifikasi

informasi berdasarkan bukti untuk menguji kebenarannya, kebaharuannya,

reliable dan konsisten tidaknya. Berpikir kritis disertai adanya keputusan untuk

melakukan suatu tindakan. Sementara itu, berpikir logis menurut Jujun

Suriasumantri (1996) adalah proses pembuatan kesimpulan dan penyataan

berdasarkan peluang yang ada menggunakan penalaran secara sistematis.

Selanjutnya, cara berpikir bahwa materi adalah sumber kebahagiaan di

kemudian hari inilah yang dimanfaatkan oleh sang pemimpin padepokan untuk

menjalankan aksinya dan memperoleh pengikut setia sebanyak-banyaknya. Para

pengikut tetap bertahan di padepokan ketika sang pemimpin „Dimas Kanjeng‟

telah ditahan oleh kepolisian karena kasus pembunuhan. Dimas Kanjeng

meskipun telah dipenjara, menariknya 700 santri masih bertengger manja menetap

di padepokan dengan semangat untuk mematuhi segala ajarannya. Realitas

tersebut dalam pandangan dunia, berkembang dalam ruang dan waktu. Hal

tersebut yang membuat saya tertarik untuk mengkaji fenomena kepatuhan santri

Dimas Kanjeng yang begitu membudaya di Padepokan Dimas Kanjeng.

Fenomena tersebut dianggap menarik, sebab santri tanpa pernah memandang

sedikitpun keburukan dari sang guru „Dimas Kanjeng‟. Dalam benak santri, yang

ada ialah bagaimana caranya tetap mematuhi Dimas Kanjeng sampai kapanpun,

meskipun orang lain tidak sepenuhnya percaya terhadap kehebatan Dimas

Kanjeng. Sejarah dan keberagaman cara hidup manusia yang bersifat lokal

tersebut merupakan salah 1 pertanda dari kebesaran Tuhan yang patut untuk dikaji

(Al Faruqi, I.R dan Al Faruqi, L.L., 1998).

7

1.2 RUMUSAN MASALAH

a. Apa saja penyebab santri sangat patuh terhadap Dimas Kanjeng?

b. Bagaimana bentuk kepatuhan santri Dimas Kanjeng di Padepokan Taat

Pribadi di Desa Wangkal, Kecamatan Gading jika dikaji berdasarkan

perspektif antropologi kognitif?

1.2 TUJUAN PENELITIAN

a. Untuk mendeskripsikan penyebab santri sangat patuh terhadap Dimas

Kanjeng.

b. Untuk mendeskripsikan berbagai bentuk kepatuhan santri Dimas Kanjeng

di Padepokan Taat Pribadi di Desa Wangkal, Kecamatan Gading,

Kabupaten Probolinggo berdasarkan perspektif antropologi kognitif.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

a. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi

dan referensi terkait yang dikaji, yaitu dari keilmuan antropologi kognitif

dan patron klien dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan

antropologi dan kajian tentang kepatuhan santri Dimas Kanjeng juga

berkontribusi dalam pengembangan ilmu psikologi sosial.

b. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

ilmu dan pengetahuan bagi masyarakat Indonesia tentang bagaimana

kepatuhan santri yang seharusnya terhadap gurunya. Dapat menghasilkan

rekomendasi budaya paternalistik dari sikap dan tindakan positif santri

8

dalam mengembangkan kepatuhan terhadap gurunya. Dalam hal ini

bagaimana kepatuhan dan kesetiaan santri Dimas Kanjeng terhadap maha

gurunya tanpa mengkhianati apa yang diajarkan oleh gurunya „Dimas

Kanjeng‟.

c. Manfaat bagi subjek penelitian. Penelitian ini dapat dijadikan bahan

renungan dan evaluasi bagi pengurus Padepokan Dimas Kanjeng terkait

dengan bagaimana sejauh ini tingkat kepatuhan santri (baik santri yang

baru maupun santri yang lama) dalam mematuhi segala ajaran yang telah

disampaikan oleh Dimas Kanjeng, yang dalam konteks ini ajaran Dimas

Kanjeng telah menjadi bagian tata tertib di Padepokan Dimas Kanjeng.

Penelitian ini berusaha mendeskripsikan bagaimana antusiasme dan

implementasi kepatuhan santri terhadap Dimas Kanjeng, sehingga dapat

mengakar pada kehidupan santri, yang mana melalui kepatuhan tersebut

dapat meningkatkan efikasi diri dan etika sosial santri.

1.5 TINJAUAN PUSTAKA

Tingkat kepatuhan santri yang begitu mendalam terhadap kiai merupakan

fakta sosial yang telah diketahui oleh khalayak umum. Penelitian terhadap

fenomena tersebut juga sudah banyak dikaji dalam studi kasus yang lain.

Akan tetapi, penelitian terkait studi antropologi kognitif terhadap kepatuhan

santri Dimas Kanjeng „Taat Pribadi‟ belum saya temukan dalam kajian lain.

Topik mengenai studi antropologi kognitif terhadap kepatuhan santri Dimas

Kanjeng dipilih karena sebagai upaya untuk menghindari tindakan plagiarism

9

dari penelitian yang telah ada sebelumnya. Adapun beberapa kajian yang

ditulis dalam skripsi maupun jurnal yang terkait dengan studi antropologi

kognitif terhadap kepatuhan santri Dimas Kanjeng terdiri dari sebagai berikut:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh St Ma‟rufah, dkk., (2014)

yang berjudul Persepsi terhadap Kepemimpinan Kiai, Konformitas dan

Kepatuhan Santri terhadap Peraturan Pesantren. Penelitiannya berfokus

untuk mengungkapkan pengaruh persepsi terhadap kepemimpinan kiai dan

konformitas dengan kepatuhan santri terhadap peraturan yang berlaku di

pesantren. Respondennya terdiri dari 115 santri Pondok Pesantren Raudhatul

Ulum Arrahmaniyah Sampang. Jenis penelitiannya yaitu deskriptif kuantitatif

yang diuji dengan memakai cara statistik.

Indikator penelitian yang dipakai ialah skala konformitas, skala persepsi

terhadap kepemimpinan kiai dan skala kepatuhan. Hasil analisis uji regresi

linier berganda di SPSS menunjukkan nilai F= 22,879 dan P= 0,000 (p<0,01).

Hasil penelitiannya menegaskan bahwa secara bersamaan persepsi terhadap

kepemimpinan kiai dan konformitas dengan kepatuhan santri terhadap tata

tertib pesantren terdapat hubungan yang signifikan (positif).

Hasil analisis uji koefisien determinasi memaparkan bahwa persepsi

kepada kepemimpinan kiai dan konformitas mampu mempengaruhi tingkat

kepatuhan santri pada tata tertib pesantren. Persamaan penelitian tersebut

dengan penelitian saya ialah sama-sama menggunakan variabel kepatuhan

sebagai objek utama yang diteliti. Selain itu, hasil penelitian saya dengan St

Ma‟rufah, dkk., (2014) sama-sama menunjukkan bahwa adanya konformitas

10

dan persepsi yang positif terhadap kepemimpinan kiai berpengaruh terhadap

peningkatan kepatuhan santri kepada gurunya.

Adapun perbedaan penelitian saya dengan penelitian St Ma‟rufah, dkk.

(2014) yaitu cara pendekatan saya dalam menilai tingkat kepatuhan santri

terhadap kiai. Penelitian terdahulu menggunakan pendekatan psikologi untuk

melihat sejauh mana tingkat kepatuhan santri dengan menyebarkan angket

sebagai instrumen penelitiannya (metode penelitian survei) dan diuji melalui

analisis regresi linier berganda untuk mengetahui seberapa besar hubungan

antara adanya sikap konformis dan persepsi yang positif terhadap

kepemimpinan sang „kiai‟ dalam meningkatkan kepatuhan santri.

Saya menggunakan pendekatan antropologi dalam mengetahui dan

menilai tingkat kepatuhan santri dengan live in di Padepokan Dimas Kanjeng

untuk mengetahui tindakan santri dalam kesehariannya. Saya melakukan

observasi partisipasi dengan mengikuti segala kegiatan santri mulai bangun

tidur, hingga menjelang tidur kembali. Mulai dari melihat antusiasme santri

tatkala mengikuti istighosah pagi, shalat jamaah subuh di masjid padepokan,

hingga bagaimana sikap santri untuk membangunkan kawannya tatkala

melihat temannya (santri lain) masih tertidur nyenyak belum mengikuti shalat

berjamaah.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Fathul Lubabin Nuqul (2007)

yang berjudul Perbedaan Kepatuhan terhadap Aturan Tinjauan

Kepribadian Introvert-Ekstrovert, Jenis Kelamin dan Lama Tinggal di

Ma‟had Ali Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Penelitian Fathul

11

Lubabin Nuqul (2007) bertujuan untuk mengetahui perbedaan intensitas

kepatuhan terhadap aturan pada santri Ma‟had Sunan Ampel Al Aly yang

dinilai dari aspek karakteristik kepribadian (baik introvert ataupun

ekstrovert), jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) dan waktu tinggal

(rentang lama tidaknya). Harapan peneliti dari hasil penelitiannya yaitu

dapat berkontribusi praktis pada peningkatan manajemen pola pendidikan di

Ma‟had Sunan Ampel Al Aly. Berdasarkan hasil risetnya, Nuqul

menegaskan bahwa tindakan manusia tidak pure ditentukan oleh

kepribadian diri sendiri saja (introvert atau ekstrovert), namun aspek

eksternal juga dapat mendominasi dalam pembentukan karakter.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Baron dan Byrne (2005) yang

mengatakan bahwa terdapat 5 faktor yang mengintervensi karakter

seseorang, yaitu lingkungan fisik, faktor biologis, karakter orang lain, proses

kognisi dan pengaruh tradisi atau culture. Individu yang ekstrovert dapat

mudah beradaptasi dengan komunitasnya (konformis), namun hal tersebut

juga menjadi tantangan jika komunitas atau lingkungannya justru

mendorongnya untuk melakukan hal yang menyimpang dari tatanan norma

sosial yang telah berlaku di masyarakat dan “dianggap benar”. Dalam

mematuhi tidaknya norma, juga dipengaruhi oleh sejauh mana dukungan

sosial yang oleh Icek Ajzen (1980) disebut dengan kontrol sosial.

Jadi individu yang mematuhi aturan dengan baik tentunya didukung

oleh komunitas yang mendukung di belakangnya. Rasa nyaman dan aman

juga dapat mendorong kepercayaan terhadap komunitas, sehingga individu

12

secara ikhlas semangat untuk mematuhi otoritas. Berbanding terbalik

dengan statement di atas, adanya rasa cemas mengakibatkan individu

menjadi takut dan akhirnya patuh.

Dari hasil pengujian intensitas kepatuhan terhadap norma-norma

antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki diketahui bahwa tingkat

intensitas perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Hal tersebut

disebabkan perempuan memiliki jiwa lebih lembut (feminin). Hasil

penelitian Nuqul juga memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan intensitas

kepatuhan terhadap norma-norma antara santri yang baru dengan santri yang

sudah menetap dalam kurun waktu yang lama.

Hasil penelitian Nuqul mengukuhkan bahwa santri baru justru tingkat

kepatuhannya lebih tinggi dari pada santri yang telah berguru lebih lama.

Hal tersebut justru berbanding terbalik dengan studi kasus santri Dimas

Kanjeng. Santri Dimas Kanjeng yang telah menetap di padepokan lebih

lama, cenderung sangat mendewa-dewakan Dimas Kanjeng,

menyayanginya secara mendalam, mengilhami semua gerakan yang telah

diperagakan oleh Dimas Kanjeng, bahkan bagi santri hidup ini terasa sepi

tanpa adanya Dimas Kanjeng. Santri Dimas Kanjeng yang lebih baru, juga

patuh terhadap Dimas Kanjeng, namun rasa sayangnya lebih mendalam

santri yang lama.

Rasa patuh santri Dimas Kanjeng dibuktikan dengan santri tetap

menjalankan rutinitas yang selama ini telah diajarkan oleh Dimas Kanjeng

seperti, mengadakan pengajian 3x sehari di masjid padepokan, menyantuni

13

anak-anak yatim di sekitar padepokan, memberi sembako untuk warga yang

kurang mampu di lingkungan padepokan, melayani tamu secara baik yang

berkunjung di padepokan, senyum untuk menyayangi yang muda, sopan

santun pada yang tua (mengedepankan budaya paternalistik) dan lain-lain.

Semua tindakan tersebut dikerjakan santri dengan penuh semangat, tanpa

keluh kesah meskipun Dimas Kanjeng telah dipenjara.

Bagi santri meskipun secara raga Dimas Kanjeng tidak ada, namun

secara psikis menurutnya Dimas Kanjeng selalu menuntun hati dan tingkah

lakunya dalam berbuat. Tidak jarang santri Dimas Kanjeng selalu

memimpikan Dimas Kanjeng hadir kembali di padepokan dan kembali

menuntunnya. Bahkan santri yakin, setiap tindakan yang dilakukan

bertentengan dengan nasehat atau tuntunan yang telah diberikan Dimas

Kanjeng, maka karma selalu terjadi pada hidupnya.

Ketiga, penelitian Asep Kurniawan (2017) yang berjudul Loyalitas

Santri (teamwork) terhadap Kepemimpinan Kiai Dalam Manajemen

Pesantren. Berdasarkan penelitian Kurniawan, menurutnya teamwork

(loyalitas) yang bagus menjadi pendorong kesuksesan manajemen pondok

pesantren. Kondisi tersebut menurutnya by design, yang dipengaruhi oleh

faktor visi lembaga yang jelas dan masing-masing individu tujuannya juga

sesuai dengan goal yang ingin dicapai oleh lembaga yang dinaungi.

Komitmen individu diperlukan untuk berpartisipasi dalam menjaga

kekompakan (teamwork) dan toleran satu sama lain di pondok pesantren.

Teamwork dalam dunia pesantren merupakan satu kesatuan dari pengelolaan

14

pondok dalam pimpinan kiai, jadi dapat disimpulkan bahwa loyalitas identik

dengan sebuah pondok pesantren maupun padepokan. Berbagai gaya dan pola

kepemimpinan kiai selalu disertai dengan tingginya sikap loyalitas dari

bawahan.

Loyalitas teamwork pondok pesantren lahir dari kepemimpinan kiai

yang menerapkan model mitra-kolegial, keteladanan kiainya dan potensi

kepemimpinan spiritual kiainya yang meliputi esensi dari kepemimpinan

adalah ujian, amanah dari Tuhan dan manusia. Seorang pemimpin hakikatnya

ialah mengayomi, mendorong semangat, memberdayakan, memanusiakan dan

mengilhami. Goal dari kepemimpinan yaitu menebar kasih, mengajak

kebaikan dan menyalurkan rahmat Tuhan.

Keempat, penelitian yang dilaksanakan oleh Umar Anwar (2016), yang

berjudul “Tindak Pidana Penggandaan Uang dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (Tinjauan Kasus Penggandaan Uang Dimas Kanjeng Taat

Pribadi). Hasil penelitiannya menegaskan bahwa analisis pembuktian tindak

pidana penggandaan uang yang digeluti dan digencarkan oleh Dimas Kanjeng

tidak termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

namun kasus penggandaan uang tersebut dapat dikaji dengan mengadopsi

pendekatan „modus operandi‟ yang mengatakan bahwa tindakan

menggelapkan dan membohongi santrinya untuk membayar sejumlah mahar

agar suatu saat dapat berubah berlipat ganda merupakan tindakan „modus‟

untuk mengelabui para santrinya. Alhasil masih terkena pidana Pasal 378

KUHP penipuan, Pasal 374 KUHP penggelapan, melanggar Undang-Undang

15

Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pencucian uang pasal 2 ayat 1, serta Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan.

Persamaan penelitian Umar Anwar (2016), dengan saya yaitu sama-

sama meneliti tentang Dimas Kanjeng. Umar Anwar mengkaji fenomena

Dimas Kanjeng dari segi hukum dengan memakai Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana sebagai alat analisisnya. Saya mengkaji fenomena Dimas

Kanjeng dari sudut pandang proses kognisi santri Dimas Kanjeng hingga

akhirnya membentuk perilaku patuh yang begitu mendalam terhadap Dimas

Kanjeng dan stereotipe yang terbentuk apabila mendengar Padepokan Dimas

Kanjeng ialah padepokan yang kental akan budaya paternalistiknya.

Kelima, artikel yang berjudul Postmodern patriotism: teachers’

perceptions of loyalty to Singapore (Chua and Sim, 2017). Singapore telah

dilembagai oleh Partai Aksi Rakyat (PAR) sejak kemerdekaan,

mengakibatkan proses peradaban bangsa yang semakin maju pesat.

Pemerintah PAR memiliki power yang dapat dijadikan standar hidup dan

wawasan bangsa Singapore seakan kualitas bangsa di dunia pertama. Warga

Singapore yang tidak patriot disebut dengan individu yang egois. Dalam

jurnal tersebut dijelaskan bahwa definisi atau konsepsi patriotisme di

Singapore mengalami perkembangan (sikap patriotism yang beragam), yang

mengakibatkan pandangan mengenai patriotisme tidak hanya soal kesetiaan

pada suatu Negara, namun patriotism juga identik dengan kebutaan,

16

indoktrinasi dan pengkultusan seseorang. Sebab Patriotisme juga soal

hubungan antara warga dengan warga lainnya (patriotisme konservatif,

liberal, dll).

Patriotisme terkait dengan adat istiadat, konstruksi sosial, kognisi,

kepedulian sosial, dst. Dalam artikel ini juga dijelaskan bahwa macam-

macam patriotisme, ada patriotism kosmopolitan, patriotism berbasis

masyarakat, patriotisme pada seorang guru, dll. Seorang warga Negara wajib

menjadi seorang patriot, sebab sifat kewarganegaraan yang baik adalah

patriotisme dan berkorban demi kebaikan kolektif (Ellis dan Brown, 2005).

Patriotisme nasionalistik merupakan patriotisme yang berkontribusi terhadap

masyarakat setempat, warga Negara tidak dapat melampaui batas, harus

menghormati otoritas dan bersedia menanggung beban.

Gerakan sosial patriotisme dicirikan dengan adanya semangat publik,

perjuangan kolektif dan pengorbanan diri untuk tujuan bersama (Dietz, 2002:

208). Kewarganegaraan yang peduli sosial dicirikan dengan terlibat langsung

dalam isu-isu lokal (advokasi sosial). Hasil kajian (Chua and Sim, 2017) di

atas, juga hampir mirip dengan studi kasus yang terdapat di Padepokan Dimas

Kanjeng, yang mana Dimas Kanjeng juga mengajari santrinya untuk menjadi

warga NKRI yang tauladan dan patuh, selain taat pada Negara, santri selalu

diajari untuk menghormati dan sedia berkorban terhadap orang tua maupun

gurunya. Dalam konteks ini Dimas Kanjeng (DK) juga menanamkan nilai-

nilai patriotisme terhadap santrinya, hingga akhirnya budaya kepatuhan

begitu mengakar atau menjiwai santri-santri Padepokan Dimas Kanjeng.

17

Itulah sebabnya, mengapa faktor ajaran dari Dimas Kanjeng memegang

peranan yang vital atau mendominasi yang mendorong rasa patuh santri

terhadap DK begitu mengakar.

Keenam, tulisan E Cunha, MP., dkk. (2010) yang berjudul Obedience

and Evil: From Milgram and Kampuchea to Normal Organizations. Jurnal

ini berbicara tentang bagaimana rezim Khmer Merah membentuk dan

mengorganisasikan pasukan tentara yang masih anak-anak untuk taat dan

patuh tanpa syarat. Jadi pada artikel ini mengatakan bahwa kepatuhan

merupakan konstruksi sosial, yang dapat dilegitimasi, ditumbuhkembangkan,

bahkan juga dipatahkan. Kepatuhan yang ekstrem dapat dibentuk dan

dilembagai dalam konteks kelembagaan yang total.

Penulis artikel ini memaparkan bahwa kepatuhan erat kaitannya dengan

kepemimpinan, sistem politik, organisasi sosial, human right, etika sosial.

Selain itu kepatuhan di Negara Kamboja juga dipengaruhi oleh indoktrinasi

untuk mencapai wacana yang dinilai “utopis”, yaitu masyarakat tanpa kelas.

Kondisi yang saklek dengan adanya dominasi yang kuat mendorong perilaku

seseorang mudah ditebak dengan melihat pada kepentingan-kepentingan

agensi yang dinaungi. Sehingga orang yang patuh dapat saja melakukan

tindak kekerasan dengan dalih “mematuhi perintah otoritas”.

Sifat dari organisasi yang eksklusif terkadang mengikis rasa tanggung

jawab individu terhadap kepribadian dan moralnya sendiri. Jadi faktor karena

18

mematuhi perintah atasan terkadang dijadikan alasan atau kedok untuk lari

dari sanksi dan tanggung jawab atas perbuatan atau tindakan yang mereka

lakukan sendiri. Kepatuhan terjadi karena adanya permintaan, internalisasi

dan sosialisasi untuk mentaati sejumlah figur otoritas seperti orang tua, guru,

petugas polisi, yang terkadang diyakini memiliki kebaikan tertentu yang

mana orang yang mematuhi terindikasi “miskin alternatif perlindungan dari

pihak lain”.

Kepatuhan yang ekstrim dapat dimotori oleh negara melalui sistem

ideologi, seperti halnya di Kamboja yang terkenal dengan kediktatorannya

memanfaatkan partai komunis untuk melanggengkan kekuasaan atau alat

hegemmoni bagi anak-anak di bawah umur untuk menjalankan wajib militer

demi tercapainya tujuan organisasi yang totaliter, sehingga kebebasan

individu di Kamboja dibatasi. Kepatuhan dapat dikontrol atau diteror, yang

salah satunya menggunakan dalih mengurangi kelaparan sebagai mekanisme

kontrol yang utuh untuk menghancurkan doktrin dan perlawanan otonom.

Dalam artikel ini dijelaskan bahwa kehidupan orang yang patuh, seperti

dipenjara atau tahanan. Hal tersebut berbeda halnya dengan studi kasus di

Padepokan Dimas Kanjeng yang mana santri yang patuh cenderung sangat

bahagia meskipun harus meninggalkan keluarganya sendiri baginya tidak

masalah (padepokan tetap yang utama).

Adapun di Kamboja, rezim digunakan untuk memanfaatkan tentara

anak untuk mendorong agar revolusi dapat berhasil di negara tersebut. Khmer

Merah memanfaatkan anak-anak untuk kepentingan militer yang

19

beranekaragam (pertempuran, transportasi amunisi, pasokan, kontrol pos

pemeriksaan, mata-mata, layanan di wilayah desa, dll). Kebijakan tersebut

sengaja dipraktikkan guna mewujudkan masyarakat yang sederajat tanpa ada

perbedaan stratifikasi (negara komunis). Secara teoritis, Khmer Merah sangat

cerdas dengan melihat anak-anak sebagai agen monopoli yang masih lugu

„belum rusak‟ oleh stimulus-stimulus kapitalis dan borjuis dan yang paling

luwes untuk dipimpin secara leluasa baik untuk kepentingan praktis,

ideologis, maupun fungsional.

Ketuju penelitian Timothy Steffensmeier (2016), yang berjudul

Developing Citizen Leaderhip in Myanmar: the Deboer Fellowship. Dalam

jurnal tersebut berfokus pada bagaimana pengembangan karakter

kepemimpinan warga Myanmar yang selama ini bangsa Myanmar dikenal

dengan bangsa yang tertinggal dengan pola kepimimpinannya yang

autokratis, di negaranya yang otoriter, terpusat, dll. Penulis menegaskan

bahwa kepemimpinan bukan merupakan “posisi, atau kedudukan, bahkan

jabatan”, namun kepemimpinan tidak lain ialah suatu kegiatan untuk merubah

keadaan yang semula tidak tertata menjadi lebih baik, lebih maju dan

terkonsep. Jaringan atau komunitas dapat memperkuat warga untuk turut

berpartisipasi dalam otomatisasi.

Penyelesaian masalah pada isu-isu publik, manajemen diri untuk

pemecahan masalah publik dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis.

20

Tujuan dari artikel (Steffensmeier, 2016), untuk menganalisis peran dan

dampak persekutuan Doboer terhadap pengembangan kharakter

kepemimpinan warga Myanmar dalam mewujudkan civil society. Selain itu,

ingin mengetahui kapasitas kepemimpinan warga Negara Myanmar di daerah

dan di Negara dalam konteks sistem ekonomi dan politik yang sama. Pada

bagian penutup artikel tersebut dijelaskan terkait dampak kepemimpinan

adaptif.

Dalam artikel tersebut R.A. Heifetz (2014), kepemimpinan tidak hanya

soal diskusi dan negosiasi antara pemimpin dengan pengikut, namun yang

lebih esensial ialah bagaimana menyikapi masalah dan tantangan yang

kompleks yang dihadapi oleh suatu kelompok, memobilisasi, bagaimana ber-

transformasi, bagaimana menghadapi realitas yang menantang? Dijelaskan

bahwa kepemimpinan yang adaptif tidak hanya bisa diselesaikan oleh seorang

yang memiliki otoritas yang dapat mengarahkan orang lain untuk

menyempurnakannya. Dengan kata lain, semua harus terlibat dan

bekerjasama, berdedikasi untuk mencari alternatif solusi pemecahan masalah

sosial yang kompleks.

Karakter pemimpin yang adaptif fokus pada tujuan bersama, mampu

beradaptasi dalam setiap permasalahan yang hadir tanpa terencana dan

meskipun juga tanpa adanya kepastian kapan selesainya. Heifetz dan Linsky

(2004), menjelaskan bahwa kemauan dan kecakapan beradaptasi dicirikan

dengan adanya kesediaan bermanfaat bagi siapapun, terutama dalam

komunitasnya, baik dalam tugas bidang apapun, yang terpenting dapat

21

berkontribusi untuk kemajuan kelompoknya, meskipun di hadapannya

terdapat ujian dan ancaman yang rumit sekalipun. Fenomena tersebut jika

dikorelasikan dengan yang terjadi di Padepokan Dimas Kanjeng memiliki

relevansi, di mana santri tetap bertahan di padepokan untuk menjalankan

ajaran-ajaran Dimas Kanjeng seperti istighosah dan pengajian bersama,

meskipun ancaman eksternal seperti keluarga, saudara, maupun masyarakat

awam banyak yang melarang, mencibirnya, tanpa dihiraukan sekalipun oleh

santri. Menariknya santri sampai kapanpun akan menanti kedatangan Dimas

Kanjeng.

Kedelapan, penelitian Kedsuda Limsila & Stephen O. Ogunlana (2007),

tentang Performance and Leadership Outcome Correlates of Leadership

Styles and Subordinate Commitment. Dalam jurnal tersebut dijelaskan

bahwa perilaku atau gaya kepemimpinan dapat mengoptimalkan komitmen

organisasi bawahan, optimalisasi kinerja, yang pada akhirnya dapat

menciptakan suasana operasional organisasi yang positif. Kepemimpinan

merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Dikatakan bahwa seorang

pemimpin harus dapat mengenali pengikutnya. Kebutuhan individu apa saja

yang diperlukan pengikutnya, bagaimana tujuan hidup mereka dan berusaha

untuk memfasilitasinya. Jika pengikut terpuaskan, maka akan cenderung loyal

terhadap sang pemimpin.

Artikel tersebut berfokus ingin mengidentifikasi tipe kepemimpinan yang

paling prospektif untuk warga Thailand di era modern ini. Gaya

22

kepemimpinan yang paling efektif berpengaruh pada pengorganisasian

pengikut, efesiensi dan semangat kinerja bawahan, yang pada akhirnya

bermanfaat untuk citra sang pemimpin. Tipe kepemimpinan yang tepat dapat

mendorong pengikut untuk melaksanakan perintah secara tepat waktu dan

sesuai pada tempatnya.

Gaya kepemimpinan terdiri dari gaya Laissez-Faire, gaya transaksional

dan tipe kepemimpinan transformasional. Gaya Laissesz Faire dicirikan

dengan adanya kesenjangan antara pimpinan dengan bawahan, atasan tidak

mau tahu akan proses kinerja pengikutnya, antara kepala kelompok dengan

pengikut hubungannya sangat jauh hanya sebatas proyek, hingga akhirnya

pengikut merasa tidak terpuaskan. Gaya transaksional dimulai adanya

negosiasi atau tawar-menawar antara pimpinan dengan pengikutnya,

terjadinya sistem pertukaran atau hadiah.

Gaya transformasional dicirikan dengan kepedulian pimpinan dalam

memotivasi kinerja pengikutnya, pimpinan menjadi bagian dari kinerja

pengikutnya, hingga akhirnya hubungan berjalan secara harmonis. Pengikut

merasa hormat, fokus terhadap kesepakatan tercapainya tujuan bersama dan

setia terhadap pimpinan. Tipe kepemimpinan transformasional dipengaruhi

oleh adanya karisma atau perilaku yang diidealkan. Pemimpin menunjukkan

tekad, keuletan, etika, moral yang baik, pengorbanan diri dalam memberikan

23

keuntungan terhadap orang lain. Kepemimpinan tipe transformasional

pemimpin selalu berusaha mempertimbangkan kebutuhan bawahannya.

Yukongdi (2004) mengungkapkan bahwa gaya manajemen yang paling

disukai oleh karyawan Thailand adalah manajemen konsultatif, diikuti oleh

partisipatif, paternalistik, sementara sebagian kecil karyawan lebih menyukai

manajer otokratis. Karyawan yang menganggap manajer mereka lebih

demokratis juga melaporkan tingkat pengaruh yang lebih tinggi dalam

pengambilan keputusan, kepuasan yang lebih besar dengan partisipasi dan

kepuasan kerja. Banyak sarjana telah memberikan bukti yang bertentangan

dengan hal di atas. Contohnya, Kumbanaruk (1987) mengamati bahwa

karyawan Thailand terbiasa dengan tradisi pendekatan top-down dengan

karyawan yang menerima pesanan daripada berpikir sendiri dan

mengekspresikan ide mereka sendiri.

Budaya Thailand dicirikan oleh sistem sosial hierarkis yang ketat,

menerima ketidaksetaraan eksistensial dan nilai hubungan yang kuat (Komin,

1990). Kumbanaruk (1987) dan Komin (1990) mengemukakan bahwa

karyawan Thailand mungkin merasa tidak nyaman bekerja di lingkungan

kerja yang partisipatif. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dapat

membawa tanggung jawab yang tidak diinginkan kepada bawahan

(Rohitratana, 1998).

24

Budaya Thailand, tidak mendorong bawahan untuk berani membuat

kesalahan atau mengambil inisiatif tetapi mendukung menghindari

mengambil risiko. Risiko berarti membawa pada situasi yang tidak pasti dan

meningkatkan tanggung jawab (Holmes dan Tangtongtavy, 1995). Oleh

karena itu, tampaknya masuk akal untuk mengungkapkan bahwa bekerja di

bawah pemimpin partisipatif belum tentu mengarah pada kepuasan kerja yang

lebih besar di antara karyawan Thailand. Hofstede (1980) mengatakan bahwa

di negara-negara di mana sebagian besar karyawan takut untuk tidak setuju

dengan manajer mereka (negara-negara dengan kekuatan tinggi); bawahan

lebih memilih manajer yang tersebar di seluruh gaya otokratis atau

paternalistik.

Akibatnya, logis untuk memprediksi bahwa proporsi yang lebih besar

dari karyawan Thailand akan lebih memilih manajer otokratik atau

paternalistik, sementara lebih sedikit karyawan akan lebih memilih manajer

konsultatif. Jika dikaitkan dengan konteks Padepokan Dimas Kanjeng,

follower Dimas Kanjeng sangat patuh akan gurunya tersebut. Salah satunya

dipengaruhi oleh penanaman atau internalisasi budaya paternalistik dari

Dimas Kanjeng terhadap follower-nya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan

santri berikut: “beliau kan guru kami, ya sudah sepantasnya kita untuk

mengikuti guru kami tanpa mengkritisinya, kita kan di padepokan ini dijamin

hidup kita sama mas kanjeng, ya dijamin hidup kita di dunia, maupun di

akhirat”.

25

Kesembilan, penelitian Christopher & Denny (2008) yang

berjudul One nation, three cultures: exploring dimensions that relate to

leadership in Malaysia. Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa Malaysia

merupakan negara multikultural, yang terdiri dari 3 gabungan ras besar

yang berbeda yaitu China, Indian dan Melayu. Artikel tersebut berfokus

pada studi eksplorasi pengaruh 3 kelompok etnis besar dalam

pembentukan tipe kepemimpinan di Malaysia. Dalam mempelajari tipe

kepemimpinan di 6 negara ASEAN (Brunei, Indonesia, Malaysia,

Filipina, Singapura dan Thailand) tidak lepas dari faktor kualitas pribadi

individu, perilaku manajerial, pengaruh lingkungan dan tuntutan

organisasi.

Hasil penelitian menegaskan bahwa manajer Malaysia

mempertahankan perilaku kepemimpinan yang khas sepanjang garis etnis.

Meskipun Malaysia dikenal sebagai Negara multikultural, namun

semangat kebersamaan, anti individual dan mengedepankan kemakmuran

organisasi menjadi motto hidup yang mendalam bagi warga Malaysia.

Itulah sebabnya mengapa faktor permintaan organisasi menjadi faktor

yang mendominasi pembentukan karakter kepemimpinan di Malaysia.

26

Jika dikaitkan dengan konteks kepemimpinan Dimas Kanjeng,

mengapa Dimas Kanjeng dikenal oleh santri maupun warga sekitarnya

merupakan sosok pemimpin yang murah hati dan suka memberi, sebab

visi-misi Padepokan Dimas Kanjeng tidak lain ialah untuk mewujudkan

kemaslahatan umat, padepokan Dimas Kanjeng itu satu tanpa membeda-

bedakan santri yang ada di dalamnya dan juga tidak menghilangkan

budaya asli yang dibawa oleh santri (membantah asimilasi).

1.6 KERANGKA PEMIKIRAN

1.6.1 Antropologi

Kebudayaan disetarakan dengan istilah “culture” yang dalam Bahasa

Inggris merupakan core dari kajian 2 cabang besar antropologi, yakni

antropologi budaya dan antropologi ragawi (Baal, 1987). Konsep

kebudayaan sebagai poin utama kajian antropologi telah lahir sejak ilmu

antropologi dirintis oleh E.B Tylor. Tylor menegaskan bahwa antropologi

merupakan the science of culture dan pada bukunya yang berjudul primitive

culture (1877), Tylor menterjemahkan kebudayaan dengan:

genre “is that complex whole which includes knowledge, belief art,

moral law, custom, and any other capabilities and habits acquired

by man as member of society”

Poin utama yang menjadi penekanan dalam definisi di atas yaitu

kebudayaan adalah hal-hal yang didapatkan melalui proses belajar dan

penyesuaian diri (acquired by man). Adapun perbedaan dengan cabang

27

antropologi ragawi yaitu antropologi ragawi memandang kebudayaan

bersumber atau terbentuk melalui “faktor keturunan”.

Menurut Roger M. Keesing dalam Syaiffuddin (2005) menegaskan

bahwa definisi antropologi begitu kaya. Dalam memudahkan pemahaman

pembaca terkait konsep kebudayaan dalam arti yang sederhana dan jelas,

maka Keesing membagi konsep “kebudayaan” menjadi 4 pemetaan sudut

pandang. Pendekatan pertama yaitu pendekatan yang menganggap bahwa

kebudayaan sebagai sistem yang mengadaptasi kepercayaan dan tingkah

laku manusia yang didapatkan dengan berlatih untuk beradaptasi dengan

lingkungannya. Pendekatan kedua yaitu menganggap kebudayaan sebagai

sistem kognitif, yang mana pada konteks pendekatan ini dikenal dengan

cabangnya yaitu mulai berkembangnya etnosains dan antropologi kognitif.

Pendekatan ketiga yaitu menganggap kebudayaan sebagai sistem pola dari

simbol-simbol yang dikembangkan secara komunal oleh masyarakat.

Pendekatan ke empat yaitu kebudayaan sebagai sistem simbol beserta

maknanya yang dikembangkan manusia secara bersama dan bersifat

publik. Kebudayaan bersifat publik yaitu pola pikir dan tindakan yang

bersifat komunal menurut kelompoknya masing-masing (relativisme

kebudayaan). Baik buruknya budaya tersebut hanya dapat dinilai dari

sudut pandang kelompok yang menekuni budaya tersebut. Adapun wujud

28

kebudayaan yang dipakai untuk alat analisis dalam tulisan ini ialah wujud

budaya sebagai sistem gagasan yang berkarakter khusus.

Dalam perspektif antropologi kognitif, sistem gagasan merupakan

hakikat dari kebudayaan itu sendiri. Kajian apapun yang berkaitan dengan

kebudayaan, baik yang wujudnya perilaku maupun artefak sebagai hasil

karsa cipta manusia, semua aspek tersebut bersumber dari sistem gagasan.

Berdasarkan ulasan 4 pendekatan di atas, menurut A.L. Kroeber dan C.

Kluckhohn (1952) dalam Koentjaraningrat (1990: 181), ilmu antropologi

memandang kebudayaan sebagai cara hidup „way of life‟.

1.6.2 Antropologi Kognitif

Antropologi kognitif disebut juga dengan “ethnoscience”, etnografi

baru, ethnographic semanticks. Pada dasarnya etnografi baru merupakan

penelitian terhadap sistem penggolongan masyarakat (folk classific).

Menurut Ward Goodenough (1961), budaya sebagai sistem kognisi.

Kebudayaan pada suatu masyarakat terdapat suatu hal yang menarik untuk

dipelajari dan diyakini. Individu agar dapat bertindak pada acara yang bisa

diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya tidak hanya soal

gejala material (benda-benda saja), namun budaya juga merupakan struktur

kelembagaan dari hal-hal di atas. Jadi budaya terdapat dalam otak manusia,

bentuk-bentuk yang dimiliki manusia untuk menerima, mempersatukan, lalu

mengirimkan gejala material di atas (Goodenough, 1921).

29

Kebudayaan terbentuk dari pedoman-pedoman untuk memutuskan

apa yang ia geluti, untuk memutuskan apa yang dapat menjadi

kehidupannya, untuk mengetahui apa yang dirasakan orang tentang

hal tersebut, untuk memutuskan bagaimana bertindak pada suatu hal,

untuk memutuskan bagaimana caranya menyikapi hal tersebut

(Goodenough, 1963).

Orang adaptionist memandang bahwa culture sebagai bentuk kehidupan

dalam 1 komunitas (susunan materi dan sosial) yang mana aktivitas di

dalamnya terjadi secara berulang kali dan kekal (Goodenough, 1963). Dapat

dipastikan bahwa menurut Ward Goodenough budaya secara logika berada

pada alam yang sama dengan bahasa. Jadi, aturan culture dapat diformalkan

seperti halnya tatanan bahasa (bersifat imajiner). Menurut American

Cultural Anthropologist, bentuk-bentuk tatanan sosial merupakan bagian

dari aspek kebudayaan. Menurut Ward Goodenough, budaya

direpresentasikan sebagai sistemasi proporsional dari dunia kognitif

individu. Kesimpulannya, apa yang menjadi kepemilikan bersama adalah

perspektif individu aktor sosial (sifatnya ideasional). Jadi konsep kognitif

Goodenough merupakan kombinasi dari wawasan kultural para individu

dalam lingkungan sosial yang berbeda.

30

Gambar 1. Skema Konsep Antropologi Kognitif (Goodenough, 1971).

Selama ini penelitian dengan pendekatan antropologi kognitif yang

dipelopori oleh Ward H. Goodenough yang menekankan bahwa budaya

sebagai sistem kognisi belum ada yang mengimplementasikan dalam

penelitiannya. Kajian terdahulu tentang kognitif justru yang banyak beredar

ialah teori perkembangan kognitif Jean Piaget dalam ranah kajian psikologi.

Salah satu judulnya yaitu “Implementasi Teori Perkembangan Kognitif di

TK Nafilah Malang”.

1.6.3 Religiusitas dan Tauhid Dalam Perspektif Antropologi

Menurut Clifford James Geertz (1969), sudut pandang agama terdiri

dari 2 hal, yaitu struktur agama sebagai model for untuk bidang evaluative-

normatif agama dan struktur agama sebagai model of yang berfungsi untuk

31

representasi agama dalam konteks realitas sosial. Geertz menegaskan bahwa

dalam perspektif antropologi, apa yang diyakini masyarakat lebih bersifat

homogen, terutama persoalan kepercayaan yang diyakini masyarakat Jawa.

Menurut analisis Geertz, dalam mengkaji agama tidak hanya dapat dikaji

dalam konteks doktrin atau aspek normatif, namun agama dapat dipandang

dalam realitas kebiasaan sehari-hari manusia.

Dalam kacamata Geertz, religiusitas kembali pada situasi yang

melingkupinya, yang menuntunnya, meyakininya dan yang menghayatinya.

Penekanan dalam religiusitas, bukan perihal pada doktrin apa yang diyakini,

benar tidaknya doktrin yang dianut. Lepas dari itu semua, religiusitas bicara

soal fakta yang sesungguhnya terjadi di masyarakat. Bagaimana agama

tersebut dihayati dan dipraktikkan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat

untuk menghargai kehadiran agama tersebut. Berdasarkan hasil kajian di

atas, maka Geertz menyimpulkan bahwa agama sebagai sistem budaya.

Dalam kacamata antropolog, manusia mempunyai otak atau akal

pikiran yang terbatas, sehingga sistem gagasan hanya dapat dipakai untuk

menterjemahkan fenomena dan tanda-tanda, serta dimanfaatkan untuk

merespon hal-hal yang datang di hadapannya. Manusia belum sepenuhnya

mampu mencapai hakikat yang sebenarnya dari ayat-ayat suci. Manusia

hanya dapat menerjemahkan ayat-ayat suci sesuai dengan potensi yang

dimiliki saja (Putra dan Shri, 1984).

32

Agama mempunyai aspek sudut pandang yang ganda. Pertama,

menunjukkan makna dalam berbagai realitas sosial dan psikologis bagi

para pemeluknya, yang hal tersebut dapat membentuk ruang konseptual

yang objektif dan kedua ketika waktu yang bersamaan dapat menjadikan

fakta sesuai dengan agama (Tibbi, 1996). Tauhid budaya dinilai sebagai

pendekatan yang mengakomordir 2 sudut pandang, yakni perspektif

normatif (ajaran) dan perspektif faktual. Gagasan tersebut senada dengan

konsep yang digagas oleh Akbar S. Ahmed perihal Antropologi Islam.

Akbar S. Ahmed (2005) menjelaskan definisi antropologi islam sebagai

kajian tentang prinsip-prinsip universalistik islam-humanistik.

Agama tidak hanya dapat dikaji secara aspek teologi, namun juga

dapat dikaji berdasarkan kacamata socio-cultural, sehingga definisinya

tidak bersifat eksklusif (Turner, 2013). Agama dan keyakinan sifatnya

universal, sebagai sesuatu yang tunggal, namun eksistensinya

terepresentasikan dalam kearifan lokal hidup pemeluk yang

beranekaragam. Sehingga aktualisasi tauhid manusia yaitu produk budaya,

outputnya berupa berbagai perilaku dan produk karsa budaya. Tauhid

merupakan proses penglihatan dunia terkait fakta, kebenaran, ruang,

waktu, serta perjalanan sejarah seseorang. Tauhid akhirnya menjadi idea

sistem atau pola pikir yang berlandaskan pada prinsip kenyataan (Al-

Faruqi dan Al-Faruqi, 1998).

33

1.6.4 Perilaku

Perilaku individu pada suatu komunitas tergantung pada beberapa

faktor seperti culture, ideologi dan kondisi kelompok. Seluruh faktor

tersebut adalah faktor eksternal. Perilaku juga tidak dipungkiri jika

ditentukan oleh kepribadian individu itu sendiri (Suyanto, 1984).

Komunikasi antara internal-eksternal diakui sebagai pembentuk perilaku.

Bagi Maramis, kepribadian adalah pola yang khas dari individu dalam

berperilaku dan berbagai karakteristiknya yang menyebabkan ia berbeda

dengan yang lain (Maramis, 1990). Alport memakai istilah sistem

psikhophisis yang artinya „jiwa dan raga‟ manusia merupakan satu

kesatuan sistem yang terintegrasi. Berdasarkan kedua entitas tersebut

selalu berkomunikasi dalam membentuk perilaku. Artinya setiap individu

berperilaku dan bertindak sesuai caranya sendiri yang disebabkan masing-

masing kepribadian individu juga berbeda.

1.6.5 Kepatuhan

Dalam Bahasa Inggris, kepatuhan disebut dengan “obedience” yang

berawal dari Bahasa Latin “obedire” yang artinya „untuk mendengar

pada‟. Maka dari itu, obedience bermakna „mematuhi‟, jadi kepatuhan

dapat dimaknai patuh terhadap aturan atau perintah otoritas dan bersedia

untuk melaksanakannya dengan penuh kesadaran (Sarbini, 2012). Dalam

Kusumadewi, dkk., (2012), Feldman (2003) menyatakan bahwa kepatuhan

diartikan sebagai “change behavior in response to the command of others”

34

(dinamika tindakan dan sikap seseorang guna memenuhi perintah atau

permintaan orang lain). Kepatuhan bisa terjadi dalam pola yang

beranekaragam, selama individu masih menerima, mempercayai dan

memperlihatkan ketaatannya pada seseorang terhadap guru atau kiai

misalnya.

Shaw menegaskan bahwa kepatuhan (compliance) berkorelasi

dengan prestise seseorang di mata orang lain. Orang yang meyakini bahwa

dirinya murah hati pasti akan malu jika memberontak orang lain,

khususnya tidak mematuhi orang yang memiliki otoritas yang tinggi

(Shaw, 1979). Jadi kepatuhan adalah ketaatan individu atau kelompok

untuk melakukan suatu hal guna memenuhi permintaan langsung dari

pihak yang mempunyai wewenang, otoritas, „pengaruh sosial‟. Selain itu,

kesediaan untuk taat terhadap pimpinan merupakan cara untuk bebas dari

sanksi yang telah disepakati dalam kelompok tersebut. Kepatuhan santri

berperan penting dalam mensukseskan visi misi padepokan.

Indikator penilaian kepatuhan santri Dimas Kanjeng terhadap

Padepokan Dimas Kanjeng terdiri dari:

1). Kepatuhan santri pada kode etik Padepokan Dimas Kanjeng terdiri dari

hak, kwajiban, kepribadian santri dan sanksi.

2). Kepatuhan santri dalam melakukan aktivitas di Padepokan Dimas

Kanjeng terdiri dari: istighosah, shalat 5 waktu berjamaah, shalat duha,

35

shalat malam, puasa senin kamis, tahlilan, kerja bakti membersihkan

padepokan, senam dan olahraga bersama, membuat kripik bersama,

mengaji bersama, menari tari Bali bersama oleh anak-anak dari santri

Dimas Kanjeng, saling berbagi rasa, cerita, tolong menolong satu sama

lain.

Persepsi kepemimpinan kiai „guru‟ sebagai sosok yang utama dan

berpengaruh yang distimulusi oleh otoritas kekuasaan yang ada pada kiai

bahwa ia (DK) sebagai pemimpin padepokan yang mempunyai karismatik.

Indikator yang dipakai untuk menganalisis persepsi kepemimpinan Yang

Mulia Dimas Kanjeng terdiri dari:

1. Kognisi yaitu bagaimana manusia memaknai stimulus dari luar yang

disalurkan ke dalam internal diri sendiri. Gagasan atau bahasa

individu yang didapatkan dari mempersepsikan suatu hal. Aspek yang

dipakai yaitu merencanakan, mengevaluasi, mendelegasikan dan

mengontrol. Bahasa yang dijadikan contoh oleh santri Padepokan

Dimas Kanjeng, tidak hanya soal isi dari apa yang dilontarkan oleh

Dimas Kanjeng, namun juga bagaimana cara Dimas Kanjeng bertutur

kata dan menyikapi suatu hal (kebijaksanaan Dimas Kanjeng).

2. Afeksi (perasaan) adalah gejala psikis yang identik dengan 3 karakter

yang khas, yaitu diilhami secara subjektif, secara umum berhubungan

dengan aspek pengenalan (kognisi), dirasakan oleh seseorang dengan

36

rasa bahagia atau tidak bahagia. Bicara soal perasaan seseorang dari

hasil mempersepsikan rangsangan yang telah didapatkan.

Orang yang ingin memperoleh pengakuan dan apresiasi dari

lingkungannya lebih dapat menyesuaikan dan menerima aturan-aturan di

lingkungannya. Dari adanya sikap patuh seseorang akan merasa menjadi

bagian dari kelompoknya (keanggotaan kelompok). Kepatuhan dapat

berlangsung apabila perintah dari otoritas diamini atau dilegitimasi oleh

pihak bawahannya dalam konteks nilai-nilai dan peraturan komunitas.

Dari berbagai definisi tentang kepatuhan, pada dasarnya terdapat 4

indikator utama, yakni:

(1) Terdapat subjek yang diminta untuk mematuhi perintah otoritas,

(2) Terdapat subjek yang „mempunyai otoritas‟ agar pihak anggota

dapat mematuhinya.

(3) Terdapat teks atau wacana dari pihak otoritas terhadap pihak lain.

(4) Terdapat sanksi dari hal yang dijalankan.

Dalam Planning Behaviour Theory dari Icek Ajzen (1980), secara istilah

konsep intensitas kepatuhan seseorang terhadap peraturan kelompok

didorong oleh 3 elemen utama, yaitu:

1. Sikap pada perilaku, didasarkan oleh kepercayaan individu yang

disebabkan oleh perilaku yang melibatkan 2 indikator:

37

a. Seberapa kuat keyakinan individu akan hasil atau hal yang

didapatkan dari memahami dan mengikuti peraturan yang ada.

b. Evaluasi terhadap hasil yang dicapai, apabila memperlihatkan

perilaku.

2. Norma Subyektif Individu

3. Kontrol Perilaku.

1.6.6. Kepemimpinan

Dalam pengertian secara luas, kepemimpinan terdiri dari mendorong

semangat tindakan pengikut dalam mencapai tujuan, proses

mempengaruhi dalam memutuskan tujuan organisasi, mempengaruhi

untuk menghidupkan kembali tradisi (Rizal, 2003). Pemimpin timbul

dari “persepsi” seorang bawahannya bahwa ia layak dijadikan sebagai

pemimpin. Pemimpin merupakan objek persepsi. Baik tidaknya suatu

bentuk kepemimpinan yang diajarkan tergantung pada bagaimana

anggotanya menilai, mengidentifikasi, menganalisis dan memaknai pesan

yang telah diberikan pemimpinnya.

1.6.7. Konformitas

Menurut para ahli psikologi, konformitas cenderung mengubah

persepsi individu, pendapat dan tindakan mereka agar sejalan dengan

aturan yang berkembang dalam kelompok (Brehm & Kassin dalam

Suryanto, dkk, 2012). Individu yang konformis cenderung tidak

38

mempunyai idealis yang kuat, sehingga ia hanya mengikuti otoritas orang

lain dan tradisi kelompok. R. A. Baron dan Byrne (2004), menyatakan

bahwa konformitas timbul karena dalam faktanya dalam berbagai

kesempatan terdapat aturan-aturan baik secara implisit maupun eksplisit

yang mengharuskan bagaimana individu bertindak yang semestinya.

Aturan-aturan tersebut diistilahkan dengan norma sosial. Norma sosial

memberikan dampak terhadap kepribadian seseorang. David O‟Sear dan

Peplau (1985), menyatakan bahwa konformitas adalah tindakan seseorang

yang timbul akibat pengaruh kelompoknya untuk bertindak dan berkata-

kata (berbahasa) yang sama di antara anggota kelompok lainnya.

Konformitas (conformity), yaitu berubahnya perilaku atau

kepercayaan yang disebabkan oleh adanya tekanan dari komunitas

(Wrightsman dan Deaux, 1984). Berbeda halnya dengan kepatuhan

(compliance), berfokus pada perilaku yang timbul sebagai jawaban dari

yang diminta pihak lain. Dapat disimpulkan bahwa kepatuhan lain dari

conformity, sebab konformitas merupakan perilaku yang didorong secara

tidak langsung.

1.6.8. Prasyarat Terbentuknya Imitasi

Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2004), agar dapat menjalankan

proses imitasi, maka hal-hal yang harus dicapai ialah: adanya passion

39

terhadap subjek atau objek yang dirasanya menarik, pemujaan terhadap

idola yang dituju, adanya rasa menghormati dan menghargai sang idola,

memiliki wawasan yang cukup terkait seluk beluk kepribadian sang idola

dan yang terakhir mencontoh tindakan orang lain. Kharakter imitasi

menurut Gerungan (Walgito, 2006) merupakan tindakan mencontoh orang

lain. Tahapan imitasi berlangsung dalam waktu yang panjang dan yang

dicontoh tidak sekedar tanda-tanda, namun hampir mencakup seluruh watak

dan tampilannya.

Celebrity Worship adalah karakter seorang individu yang sangat

antusias dalam berpartisipasi terhadap kehidupan sosok artis yang

diidolakan. Celebrity worship terjadi akibat seringkali melihat, merasakan,

meraba, memahami dan mengkaji keseluruhan gaya hidup sang idola secara

mendalam yang akhirnya menciptidakan rasa empati, simpati, image diri,

saling bekerja sama yang pada akhirnya menimbulkan suatu kecocokan

(Maltby, 2005: 17-32). Imitasi adalah miniatur dari teori social learning

(Teori Pembelajaran Sosial). Hakikat dari teori pembelajaran sosial ialah

manusia mendapatkan sebuah pembelajaran dan pengalaman dari adanya

sebuah upaya tiru-meniru.

Dampak positif dari imitasi dapat memotivasi seseorang untuk

mentaati aturan dan norma-norma yang berlaku. Identifikasi yaitu hasrat

dari seseorang untuk menyamakan dengan orang lain. Karakteristik dari

40

identifikasi lebih dalam dari pada imitasi, sehingga melalui proses

identifikasi karakter seseorang dapat terbentuk. Proses terjadinya

identifikasi dapat muncul secara given ataupun dengan cara sengaja

disetting, yang mendorong manusia kerap kali membutuhkan tipe-tipe

ideal tertentu dalam proses perjalanan hidupnya, meskipun proses

identifikasi dapat muncul dan berjalan dengan sendirinya. Tahap

identifikasi terjadi tatkala seseorang yang beridentifikasi telah mengenali

dan memahami pihak lain yang menjadi idolanya. Oleh sebab itu,

paradigma perilaku hidup maupun norma-norma yang berlaku pada subjek

lain dapat mengorganisir dan bahkan dapat menghayatinya.

1.6.9. Solidaritas Sosial

Kata solidaritas dalam Bahasa Inggris berasal dari kata solidarity

yang artinya satu perjuangan, satu rasa, merasa satu nasib, setia kawan dan

adanya keterikatan, hubungan yang erat atau yang biasa disebut dengan

integrasi sosial (Soekanto, 1985). Solidaritas juga dimaknai sebagai rasa

berkelompok atau group feeling yang artinya sekelompok manusia yang

memiliki rasa kesatuan dan kesadaran kolektif. Pada umumnya konsep

tersebut dipelopori oleh Emile Durkheim, untuk mengeksplorasi berbagai

macam warna ikatan sosial (Abdullah dan Leeden, 1986).

41

Emile Durkheim membagi 2 macam solidaritas, yaitu solidaritas mekanis

dan solidaritas organis. Perbedaan diantara keduanya bersifat evolusionistis,

artinya solidaritas organis merupakan bentuk perkembangan dari konsep

solidaritas mekanis. Solidaritas mekanis dicirikan dengan adanya kesamaan-

kesamaan diantara individu-individu, sehingga diferensiasi atau

ketidaksetaraan dalam kelompok masih minim.

Menurut Durkheim, pada umumnya solidaritas mekanis berkembang

pada masyarakat yang romantis “kalem” dengan kata lain bersahaja yang

mana antara 1 individu dengan individu yang lain hubungannya amat rekat.

Sehingga jika terdapat 1 anggota yang terancam, maka ancaman tersebut

menjadi konsekuensi bersama. Berbeda halnya dengan solidaritas organis,

hubungan hanya sebatas projek (kontrak perjanjian), sehingga jika

kepentingan telah selesai, selesai pula interaksi sosial yang terjadi.

1.7 METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan selama 10 bulan dari Februari hingga bulan

November 2018. Dalam rentang waktu tersebut dilakukan proses pra observasi,

penulisan proposal penelitian, proses pengumpulan data, analisis data dan

penulisan laporan akhir. Proses pengumpulan data dilakukan dalam waktu yang

tidak menentu dengan menyesuaikan waktu yang dimiliki oleh informan dan juga

turut serta dalam kegiatannya. Untuk mempermudah pencarian data, peneliti

42

tinggal dan berpartisipasi langsung dengan kegiatan santri Padepokan Dimas

Kanjeng.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan etnografi dari David M.

Fetterman (2010: 18-24) yang terdiri dari beberapa poin yaitu:

(1) Holistic perspective, mendapatkan gambaran yang komprehensif dan

lengkap dari budaya kelompok sosial. Misalnya peneliti

menggambarkan segala aspek kehidupan santri Dimas Kanjeng Taat

Pribadi.

(2) Kontekstualisasi, membantu memberikan karakterisasi yang lebih

akurat terhadap lingkungan sosial yang diteliti. Kontekstualisasi

dilakukan terhadap fenomena yang sedang in (Dimas Kanjeng hits yang

mampu mengadakan uang melalui telapak tangannya), hal ini bertujuan

untuk mengetahui hal yang melatarbelakangi santri Dimas Kanjeng

hingga luluh bahkan tergila-gila akan Dimas Kanjeng.

(3) Perspektif emik, adalah jantung dari penelitian yang paling etnografi.

Perspektif dari santri Dimas Kanjeng membantu peneliti memahami

mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan.

(4) Perspektif etik, etnografi yang baik membutuhkan kedua perspektif emik

dan etik. Peneliti mengumpulkan data dari perspektif emik dan

kemudian mencoba memahami data yang didapatkan dari sudut

pandang santri Dimas Kanjeng dan menggunakan analisis ilmiah dari

pemikiran peneliti sendiri.

43

(5) Nonjugdmental orientation, peneliti tidak membuat kategori penilaian

perlu dan tidak perlu terhadap data yang didapatkan. Adapun bila data

yang ditulis terkesan negatif, semata-mata hal tersebut berasal dari

pendangan emik masyarakat yang diteliti. Berikut akan dijelaskan

tahapan-tahapan dalam metode penelitian ini:

1.7.1 Pemilihan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Desa

Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo. Lokasi penelitian ini

dipilih karena masih terdapat 700 santri yang masih tinggal menetap di Padepokan

Dimas Kanjeng Taat Pribadi, yang mana dari 700 santri tersebut masing-masing

memiliki pemikiran yang sama terhadap Dimas Kanjeng, yaitu Dimas Kanjeng

keturunan seorang sultan, walinya Allah di mana memiliki tangan yang halus

lembut bagaikan kapas, bijaksana, murah hati dan penyayang terhadap siapapun.

Menurut santri Dimas Kanjeng, semua santri yang masih terdapat di Padepokan

Dimas Kanjeng Taat Pribadi berpendapat bahwa Dimas Kanjeng tidak pernah

bersalah, Dimas Kanjeng tidak pernah membohongi santrinya tentang

penggandaan uang, yang ada dalam benak santri hanyalah “Dimas Kanjeng

mampu mengadakan uang maupun honda CBR melalui telapak tangannya, Dimas

Kanjeng merupakan sosok panutan umat”.

44

1.7.2 Pemilihan Informan

Menurut James Spradley (2007: 68-77), beberapa kategori untuk

menetapkan informan yang baik dalam penelitian etnografi yakni (1) enkulturasi

penuh, yang dimaksud di sini adalah informan yang mengetahui secara baik

budayanya, hingga akhirnya terbentuknya natural history guide. (2) Keterlibatan

langsung, informan harus terlibat secara langsung dengan budayanya. Jika

informan saat itu tidak terlibat, maka mereka bisa memberikan keterangan yang

menyimpang dari budaya yang berkembang. (3) Suasana budaya yang tidak

dikenal, peneliti diharapkan melakukan penelitian terhadap budaya yang tidak

dikenalnya.

Akan terjadi hubungan yang produktif antara informan yang terenkulturasi

penuh dengan peneliti yang tidak terenkulturasi penuh. (4) Waktu yang cukup,

peneliti harus mempertimbangkan apakah calon informan mempunyai waktu yang

cukup untuk berpartisipasi dengannya. (5) Non-analitis, peneliti harus memilih

informan yang tidak menganalisis kebudayaannya sendiri dari perspektif orang

luar.

Teknik pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan kombinasi

metode purposive sampling dan snowball sampling. Langkah pertama peneliti

memilih teknik purposive sampling. Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara

terhadap Kapolsek Gading Kabupaten Probolinggo yang mana kapolsek tersebut

mengetahui seluk beluk tentang kehidupan DK, mulai dari ayah Dimas Kanjeng

45

sebagai seorang kapolsek yang dulunya juga bertugas di Polsek Kecamatan

Gading, jadi DK merupakan keturunan dari seorang kapolsek. Kepala Desa

Wangkal Kecamatan Gading dipilih sebagai informan karena seorang pensiunan

polisi yang dulunya juga pernah merawat seorang DK pada masa kecilnya.

Saya memilih pengurus inti Padepokan Dimas Kanjeng „Taat Pribadi‟

sebagai informan kunci karena telah lama menjadi santri Dimas Kanjeng, yang

juga mengetahui sejarah terbentuk dan berkembangnya padepokan DK. Pengurus

inti padepokan DK pernah merasakan suka dukanya tinggal di Padepokan Dimas

Kanjeng yang telah bertahun-tahun, hingga sampai saat ini santri belum bisa

meninggalkan padepokan „terkasih‟ tersebut. Adapun nama informan utama di

atas (sebagai data primer) yang saya wawancarai tercantum pada tabel 1 di bawah

ini:

Tabel 1.1 Daftar Informan Penelitian

No. Nama Usia Pekerjaan

1. Pak Sugeng 51 tahun Kapolsek

2. Pak Heri A 43 tahun Polisi

3. Pak Marzuki 45 tahun Pengusaha, Pemilik Pondok

4. Pak Narto 44 tahun PNS

5. Bapak Toto 49 tahun Budayawan, seniman.

6. Pak Danu 29 tahun Pedagang

46

7. Pak Heri S 47 tahun Pemilik pondok, wirausaha

8. Ibu Lili 52 tahun Pensiunan

9. Ibu Tuti 40 tahun Pedagang

10. Mbak Siti 25 Tahun Bidan

11. Pak Solihin 38 Tahun Arsitek

12. Pak Dodi 39 Tahun Pemilik bank swasta dan pengusaha

13. Mas Dava 28 Tahun Santri ponpes salafi di kediri

14. Ibu Lamini 53 Tahun Pedagang

15. Ibu Nasekah 55 Tahun Pensiunan PNS

16. Bapak Soekarno 49 Tahun Petani

17. Bapak Zulfikar 36 Tahun Kontraktor

Dalam mendukung data primer di atas, saya juga melakukan wawancara

terhadap informan sekunder dengan menggunakan teknik pemilihan informan

snowball sampling dengan melakukan wawancara terhadap berbagai santri baru

yang tidak sengaja bertemu tatkala saya terlibat langsung dalam aktivitas santri

Padepokan Dimas Kanjeng. Keterlibatan saya dengan santri Dimas Kanjeng mulai

dari kegiatan shalat berjamaah, mengaji bersama, istighosah bersama, senam

bersama, menari bersama, masak bersama dan lain-lain. Selain itu, saya juga

melakukan wawancara terbuka dengan warga sekitar Padepokan Dimas Kanjeng

Taat Pribadi yang tidak sengaja ditemui tatkala saya jalan-jalan di sekitar

Padepokan Dimas Kanjeng.

47

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Terdapat dua metode utama dalam pengumpulan data. Terkadang data yang

diperlukan telah tersedia dan hanya perlu diambil dan dianalisis, data ini disebut

sebagai data sekunder. Data yang diperlukan tersebut harus dikumpulkan sendiri

oleh peneliti, yang disebut sebagai data primer (Widi, 2010: 235). Penelitian ini

menggunakan sumber data primer dan data sekunder. Sumber data primer

diperoleh melalui observasi partisipasi dan wawancara mendalam, sedangkan data

sekunder diperoleh melalui wawancara kepada publik relation dari Radar Bromo,

dokumentasi pribadi santri Dimas Kanjeng dan news yang beredar baik dari media

massa maupun media cetak lainnya terkait santri Dimas Kanjeng. Berikut adalah

tahapan yang akan dilakukan oleh peneliti dalam pengumpulan data:

a). Observasi atau pengamatan berperan serta. Dalam pengamatan berperan

serta, peneliti tidak hanya mengamati gejala yang ada dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat yang diteliti, melainkan juga melakukan wawancara,

mendengar dan merasakan. Dalam batas tertentu mengikuti kegiatan yang

dilakukan oleh mereka yang diteliti (Suparlan dikutip dari Gunawan, 2013:

151-153). Peneliti melakukan pengamatan berperan serta terhadap aktivitas

santri Dimas Kanjeng. Terutama yang berhubungan implementasi

kepatuhan santri Dimas Kanjeng dalam memperjuangkan dan mendukung

Dimas Kanjeng.

b). Peneliti melakukan wawancara dengan teknik wawancara tidak terstruktur

dan wawancara mendalam. Wawancara tidak terstruktur dimulai dari

pertanyaan umum dalam area penelitian. Diikuti oleh suatu kata kunci,

48

agenda, atau daftar topik yang akan dicakup dalam wawancara. Dalam

wawancara mendalam, berlangsung suatu diskusi terarah diantara peneliti

dan informan menyangkut masalah yang diteliti. Peneliti harus dapat

mengendalikan diri sehingga tidak menyimpang jauh dari pokok masalah,

serta tidak memberikan penilaian benar salah terhadap pendapat informan

(Gunawan, 2013: 163-165). Peneliti menggunakan pedoman wawancara

sebagai acuan untuk mendapatkan data, pedoman ini bukan berisi susunan

pertanyaan yang kaku.

Peneliti juga melakukan studi literatur dan dokumentasi mengenai

background dan pengalaman santri Dimas Kanjeng. Studi literatur ini

dilakukan untuk mengetahui gambaran umum asal-usul atau background

santri Dimas Kanjeng beserta kesehariannya. Studi literatur ini diambil dari

penelusuran keluarga santri dan pemberitaan tentang santri Dimas Kanjeng di

Radar Probolinggo, maupun surat kabar dan media elektronik lainnya.

1.7.4 Analisis Data

Peneliti menggunakan analisis data model Miles dan Huberman dalam

Usman dan Akbar (2009: 85-88) yang terdiri dari tiga tahapan yaitu reduksi

data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

1. Reduksi data dilakukan sejak pengumpulan data dimulai dengan membuat

ringkasan, mengkode, menelusuri tema dan lainnya dengan maksud

menyisihkan data yang tidak relevan. Reduksi merupakan suatu bentuk

analisis yang menajamkan, mengkategorisasikan, membuang data yang

tidak perlu dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya

49

data terkumpul dapat diverifikasi. Data-data yang dikumpulkan berkaitan

dengan perjuangan santri dalam menjaga komitmen kepatuhannya terhadap

segala ajaran yang telah diberikan oleh Dimas Kanjeng.

2. Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang

memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan. Penyajian data kualitatif dalam penelitian ini disajikan dalam

bentuk teks naratif.

3. Penarikan kesimpulan merupakan kegiatan diakhir penelitian kualitatif.

Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik dari

segi makna maupun kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh subjek

tempat penelitian dilaksanakan. Makna yang dirumuskan peneliti dari data

harus diuji kebenaran, kecocokan dan kekokohannya. Dalam mencari makna

harus menggunakan pendekatan emik, yaitu dari kaca mata key informan

dan bukan penafsiran makna menurut pandangan peneliti (pendekatan etik).

1.7.5 Keabsahan Data

Dalam penelitian ini upaya keabsahan data dilakukan dengan cara

triangulasi data. Peneliti menggunakan triangulasi sumber, yaitu menggali

kebenaran informasi tertentu melalui berbagai sumber memperoleh data.

Triangulasi sumber dilakukan dengan cara membandingkan informasi yang

telah diperoleh melalui sumber yang berbeda. Misalnya membandingkan

hasil pengamatan dengan wawancara, membandingkan apa yang dikatakan

masyarakat umum dengan apa yang dikatakan pribadi informan,

50

membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang ada (Gunawan,

2013: 219).

1.8 SISTEMATIKA PENULISAN

Berikut adalah sistematika penulisan skripsi, skripsi ini terdiri dari lima

bab, yang terdiri dari sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, kajian pustaka yang berisi tulisan penelitian terdahulu,

kerangka teori berisi tentang kerangka berpikir dalam penelitian ini.

Terdapat pula metode penelitian yang berisi cara dan teknis ketika

melakukan penelitian, mulai dari pemilihan lokasi penelitian, informan,

teknik pengumpulan data, validitas data serta analisis data. Dan diakhiri

dengan sistematika penulisan yang menjelaskan garis besar isi setiap bab

skripsi.

BAB II SETTING WILAYAH, BUDAYA DAN KEMASYARAKATAN

Bab ini terdiri dari sejarah kehidupan Dimas Kanjeng, asal-usul sejarah

terbentuknya Padepokan Dimas Kanjeng, visi-misi padepokan, beserta

suasana padepokan. Perkembangan jumlah santri dari tahun ke tahun, beserta

persepsi warga sekitar terkait padepokan maupun ritual kolektif santri yang

51

berkembang di Padepokan Dimas Kanjeng tersebut. Selain itu, saya juga

menyajikan aspek demografis, administrasi lokasi padepokan dan kehidupan

sosial budaya ekonomi masyarakat Desa Wangkal dan masyarakat Desa

Gading Wetan, sehingga warga sekitar Padepokan Dimas Kanjeng juga bisa

menerima kehadiran para santri Dimas Kanjeng yang lumayan banyak dari

berbagai latar belakang sosial. Apa saja faktornya, lebih lanjut dapat dibaca

pada bab 2.

BAB III TEMUAN LAPANG

Bab ketiga berisi temuan data observasi dan wawancara di lapangan.

Data yang dipaparkan dalam bab ini adalah faktor-faktor yang

menyebabkan santri Dimas Kanjeng memiliki persepsi atau pandangan

yang sama, sehingga terbentuknya pola perilaku atau tindakan yang sama

(kepatuhan santri Dimas Kanjeng yang begitu mendalam terhadap maha

gurunya „Dimas Kanjeng‟).

Saya dalam bab ini memaparkan data terkait wacana atau bahasa

yang diajarkan oleh keluarga santri dalam membentuk kepatuhan dan sikap

taat santri terhadap seorang guru. Bahasa yang digunakan oleh keluarga

santri yaitu menceritakan pengalaman nabi-nabi terdahulu dalam

memperjuangkan aqidah, ketaqwaan dan mempertahankan hidup di kala

susah. Selain menggunakan cerita-cerita nabi, bahasa yang digunakan oleh

keluarga santri untuk membentuk perilaku santri yaitu dengan

menceritakan pengalaman wali songo maupun pengalaman tokoh

52

pahlawan Bangsa Indonesia dalam mempertaruhkan nyawanya demi

kepentingan kemaslahatan atau kesejahteraan umat.

Namun sejatinya, poin penting dari bab ini, yaitu tidak terlepas dari

bahasa yang digunakan oleh Dimas Kanjeng dalam menuntun atau

membimbing “mendampingi” santrinya ke jalan yang benar, juga

merupakan indikator utama yang membuat santri teramat patuh. Bahasa

dalam konteks ini tidak hanya perihal bagaimana Dimas Kanjeng bertutur

kata, namun juga perilaku dan gesture Dimas Kanjeng yang menurut santri

DK penuh dengan “kelembutan, keluguan dan kebijaksanaan” yang

membuat santri rugi jika tidak tunduk atau patuh terhadap Dimas Kanjeng.

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan temuan lapang dengan dikomparasikan dengan

penelitian terdahulu terkait kepatuhan. Apakah dalam konteks ini, kepatuhan

santri terhadap gurunya juga dipengaruhi oleh adanya konformitas,

religiusitas, tauhid dalam perspektif antropologi, afeksi, keyakinan, kontrol

perilaku, persepsi, karismatik, solidaritas, otoritas atau kepemimpinan

seperti halnya teori-teori maupun penelitian terdahulu yang telah

menyatakan demikian atau justru kepatuhan santri Dimas Kanjeng

mempunyai definisi tersendiri yang dapat berpotensi membentuk teori baru,

sehingga dapat memunculkan beragam bentuk tindakan kepatuhan santri

Dimas Kanjeng yang tentunya juga dipengaruhi oleh banyak hal.

53

Pada intinya temuan lapang dikorelasikan dengan berbagai teori yang

ada dalam bab 1. Dalam konteks ini apakah temuan lapang tersebut sesuai

dengan teori yang dipaparkan pada bab 1, atau justru menolak dan

menghasilkan teori baru terkait kepatuhan santri terhadap maha gurunya,

mengingat jenis penelitian ini ialah penelitian studi kasus di Padepokan

Dimas Kanjeng. Dalam konteks ini saya menggunakan antropologi kognitif

sebagai alat analisis yang menyatakan bahwa bahasa dapat membentuk pola

pikir manusia. Bahasa sebagai keyword atau unsur utama terhadap

terbentuknya kebudayaan secara kolektif.

Pada bab ini juga diulas berbagai tindakan santri yang menunjukkan

kepatuhannya terhadap ajaran Dimas Kanjeng dengan dikorelasikan dengan

berbagai konsep yang terdapat pada bab 1. Pada akhirnya, sikap patuh yang

dilakukan oleh santri Dimas Kanjeng tidak lain adalah produk budaya yang

bersumber dari kognisi santri Dimas Kanjeng. Pada hakikatnya, seluruh

tingkah laku kepatuhan santri Dimas Kanjeng beserta materialnya dalam

mendukung sikap patuh tersebut tidak lain adalah akibat dari olah pikir atau

gagasan dari santri dalam berkreasi atau mengembangkan ide-idenya. Pada

bab ini, juga dijelaskan bagaimana santri Dimas Kanjeng berkontestasi

dengan segala ancaman yang hadir dalam menjaga rasa patuhannya terhadap

sang guru „Dimas Kanjeng‟ agar keharmonisan di Padepokan Taat Pribadi

selalu tumbuh dan mengakar dalam keseharian santri.

54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi jawaban dari rumusan pertanyaan penelitian, serta akan

ditulis saran dan rekomendasi terhadap penelitian selanjutnya. Penelitian ini

diharapkan bermanfaat bagi peneliti di bidang ilmu antropologi maupun

psikologi sebagai media implementasi dan aktualisasi diri terhadap teori-teori

yang sudah didapatkan pada saat perkuliahan. Sekian, terimakasih.

56

BAB II

SETTING WILAYAH, BUDAYA DAN KEMASYARAKATAN

Pada bab ini akan dipaparkan setting wilayah, budaya dan kemasyarakatan

dalam lingkup kompleks Padepokan Dimas Kanjeng. Bab ini terdiri dari sejarah

kehidupan Dimas Kanjeng, asal-usul sejarah terbentuknya Padepokan Dimas

Kanjeng, visi-misi padepokan, beserta suasana padepokan. Perkembangan jumlah

santri dari tahun ke tahun, beserta persepsi warga sekitar terkait padepokan

maupun ritual kolektif santri yang berkembang di Padepokan Dimas Kanjeng.

Selain itu, saya juga menyajikan aspek demografis, administrasi lokasi padepokan

dan kehidupan sosial budaya ekonomi masyarakat Desa Wangkal dan masyarakat

Desa Gading Wetan, sehingga warga sekitar Padepokan Dimas Kanjeng juga bisa

menerima kehadiran para santri Dimas Kanjeng yang lumayan banyak dari

berbagai latar belakang sosial.

2.1 Letak Geografis dan Administrasi Desa Wangkal Kecamatan Gading

Kabupaten Probolinggo

Desa Wangkal merupakan Ibu Kota dari Kecamatan Gading. Secara

geografis, Kecamatan Gading terletak di daerah Kabupaten Probolinggo bagian

tenggara di mana batas utara berbatasan dengan Kecamatan Krejengan dan Besuk,

sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pakuniran, sebelah selatan

berbatasan dengan Kecamatan Krucil dan Tiris. Sebelah barat berbatasan dengan

Kecamatan Maron. Jika dikaji dari perspektif ketinggian permukaan air laut,

Kecamatan Gading terletak pada ketinggian 70-400 M di atas permukaan air laut.

57

Cuaca di daerah Kecamatan Gading seperti halnya dengan kecamatan lain

yang terdapat di Kabupaten Probolinggo. Kecamatan Gading beriklim tropis yang

terbagi menjadi 2 musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim

kemarau terjadi pada bulan april hingga oktober, sedangkan musim penghujan

terjadi pada bulan Oktober sampai april. Temperatur udara di Kecamatan Gading

relatif panas, yaitu mencapai 280C-32

0C.

Curah hujan tertinggi mencapai 662 mHg, curah hujan terkecil 20 mmHg,

rata-rata hari hujan 10 hari. Desa Wangkal diapit oleh 4 desa, yang mana sebelah

utara berbatasan dengan Desa Mojolegi, sebelah timur berbatasan dengan Desa

Nogosaren, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Gading dan sebelah barat

berbatasan dengan Desa Kaliacar. Desa Wangkal terdapat 8 dusun, 12 RW, 30

RT, sedangkan Gading Wetan terdiri dari 4 dusun, 4RW dan 7 RT1.

1.2 KEHIDUPAN BUDAYA, SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT

DESA WANGKAL, KECAMATAN GADING, KABUPATEN

PROBOLINGGO.

1.2.1 Kehidupan Budaya Masyarakat Desa Wangkal

Masyarakat Desa Wangkal sejak dulu hingga sekarang terkenal

dengan tradisi Dul Kadiran. Dul Kadiran merupakan acara ritual

kerohanian yang prosesinya diadakan pada malam jumat legi, tepatnya

1 KSK Gading, Statistik daerah Kecamatan Gading, (Probolinggo : Badan Pusat Penelitian 2015),

2.

58

pada jam 12 malam ke atas. Ritual tersebut dilaksanakan yang

bertujuan untuk mencapai keselamatan rohani dan jasmani anak-

anaknya. Ritual tersebut dimulai dengan pembacaan surat yasin, surat

hadid dan berikutnya diselesaikan dengan istighosah bersama. Ritual

Dul Kadiran digemari warga Desa Wangkal agar anak-anaknya

memiliki kepribadian yang positif, yang nantinya dapat mencapai

karakter adiluhung, sehingga mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat,

melalui doa untuk mengharapkan barokah dari Syaikh Abdul Qadir

Jaelani.

Melalui ritual Dul Kadiran tersebut, masyarakat Desa Wangkal

sudah tidak asing lagi dengan yang namanya istighosah maupun

pengajian, sehingga jika culture yang berkembang di Padepokan

Dimas Kanjeng identik dengan semangat istighosah dan pengajian

akbar, masyarakat setempat dalam hal ini masyarakat Desa Wangkal

menerima saja, justru senang dengan budaya istighosah tersebut.

Padepokan Dimas Kanjeng jika mengadakan istighosah maupun

pengajian, warga setempat terkadang juga ikut berpartisipasi

meramaikan jalannya acara di padepokan, kendatipun identitasnya

bukan sebagai “santri Padepokan Dimas Kanjeng”.

1.2.2 Kehidupan Ekonomi dan Sosial Masyarakat Desa Wangkal

Kecamatan Gading terdiri dari 51.308 penduduk, yang mana jumlah

penduduk perempuan sebanyak 25.398 jiwa dan jumlah laki-laki terdiri dari

59

24.910 penduduk. Luas Kecamatan Gading sebesar 5258, 15 Ha yang terbagi

menjadi 19 desa. Kecamatan Gading merupakan salah satu kecamatan yang

terletak di kawasan gugusan pegunungan bagian timur. Mayoritas

matapencaharian warga di Kecamatan Gading Kabupaten Probolinggo

bekerja di bidang pertanian, meskipun daerah Gading sendiri berada di

Kawasan pegunungan yang cocok untuk ditanami kopi, palawija, dsb.

Sehingga pertanian menjadi leading sector di Kecamatan Gading

(mayoritas warga bertumpu pada ekonomi pertanian). Melalui keadaan lahan

yang subur dan mekanisme pertanian yang tepat dapat menghasilkan produksi

yang menggiurkan. Melalui hasil produksi yang telah dipanen tersebut dapat

memicu pertumbuhan perekonomian di sektor yang lain.

Tidak hanya sejahtera dalam konteks pertanian, Kecamatan Gading

Kabupaten Probolinggo mendadak terkenal sejak tahun 2016 berkat dari

popularitas seorang Dimas Kanjeng yang pada waktu itu setiap jam setiap

menit banyak diberitakan di media cetak maupun media elektronik.

Kecamatan Gading terletak kurang lebih 10 KM dari arah selatan Kota

Kraksaan. Dalam menuju lokasi Padepokan DK, dapat ditempuh dengan

kendaraan roda 2 maupun roda 4, jalanan menuju padepokan merupakan jalan

aspal yang lumayan halus, ditemani angin-angin sepoi karena sebelum

menuju padepokan melewati persawahan dengan pemandangan padi yang

menguning.

60

Padepokan Dimas Kanjeng tidak hanya dipenuhi dengan keramaian dan

kekompakan para santrinya. Padepokan tersebut menjadi destinasi wisata

baru yang membuat banyak orang penasaran untuk mengunjungi padepokan.

Tiap hari pengunjung datang dari luar daerah silih berganti hanya untuk

membuktikan kesaktian dari sosok DK. Padepokan DK tersebut terbentang di

antara Desa Wangkal dan Desa Gading Wetan (berada di persimpangan 2

desa).

Tidak mau kalah tenar dengan Padepokan DK, masyarakat sekitar

padepokan juga berdiskusi dan beraksi dalam mewujudkan Desa Wangkal

dan Desa Gading Wetan sebagai Desa Wisata dengan memanfaatkan potensi

alam yang ada. Warga memanfaatkan ketenaran Dimas Kanjeng dengan

menarik simpati para pengunjung yang hadir ke Padepokan Dimas Kanjeng

untuk mampir ke wahana wisata arung jeram yang dikembangkan oleh warga

setempat (warga Desa Wangkal dan warga Desa Gading Wetan). Warga

terlibat aktif dalam mengembangkan paket wisata river tubing. Jadi warga

sekitar padepokan DK hanya sebagian yang menjadi santri Dimas Kanjeng,

warga lebih menyibukkan diri untuk mengelola wisata pedesaan „arung

jeram‟. Ada yang menjadi guide, ada warga perempuan yang mempersiapkan

hidangan atau makanan khas pedesaannya dan ada pula warga yang giat

untuk mengelola ban-ban dan perlengkapan diving lainnya.

Warga setempat meskipun banyak yang tidak menjadi bagian dari

padepokan DK, namun warga setempat senang dengan hadirnya para santri

DK yang hadir dari berbagai macam daerah yang dapat menarik pangsa

61

wisata arung jeram dengan rute sepanjang 2,5 KM dan dapat diselancari

dengan durasi 1,5 jam. Banyak warga yang beramai-ramai terlibat dalam

pengelolaan wisata arung jeram tersebut, di wilayah timur Kecamatan Gading

terdapat Sentul Adventure, di wilayah tengah (di Desa Gading Wetan)

terdapat “Gading Wetan Water Sport” yang memanfaatkan derasnya arus

sungai Pandanlaras. Wisata arung jeram tersebut dapat menghidupi

perekonomian dan juga mengurangi tingkat pengangguran warga Desa

Wangkal maupun masyarakat Desa Gading Wetan.

Sebagai desa wisata, Desa Wangkal juga menunjukkan eksistensinya

dengan memanfaatkan aliran sungai Pandanlaras yang juga melewati

wilayahnya tersebut. Melalui brand “Nolo Branti River Tubing” sebagai

wisata olahraga air, warga menawarkan paket wisata perjalanan sejauh 4 KM

dengan durasi perjalanan selama 2 jam. Letak Gading Wetan Water Sport dan

Nolo Branti River Tubing amat dekat, karena bertetangga dan juga sama-sama

memanfaatkan aliran sungai yang sama sebagai komoditas pariwisata, yaitu

Sungai Pandanlaras.

Rute menuju lokasi basecamp Nolo Branti River Tubing, dari Kota

Kraksaan (pertigaan sebelah timur jembatan semampir), lalu belok kanan

sekitar 12 kilometer arah selatan. Jika perjalanan dilanjutkan sekitar 2 KM ke

arah selatan, maka akan menemui gerbang Padepokan Dimas Kanjeng Taat

Pribadi, kemudian jalan lagi dapat menemui basecamp Gading Wetan Water

Sport. Jadi, Desa Gading dan Desa Wangkal selain terkenal dengan

62

padepokan DK, juga dikenal dengan wisata pedesaan berbasiskan alam “river

tubing”. Kelurahan Desa Wangkal berkodepos 67292.

2.3 PERJALANAN DIMAS KANJENG DAN POPULARITASNYA

Dimas Kanjeng (DK) Taat Pribadi lahir di Dusun Sumber Cengkelek, Desa

Wangkal, Kecamatan Gading, Probolinggo pada 4 april 1970, sehingga sampai

saat ini usianya jika dihitung berumur 48 tahun. DK merupakan seorang big man,

tidak hanya terkenal dengan kewibawaannya (karismatiknya), namun juga

kekayaannya, gagah farasnya, kehebatannya, kesabarannya, ketawadhu‟annya dan

lain-lain. DK, pada awal mulanya dikenal sebagai masyarakat biasa pada

umumnya. DK merupakan anak kelima dari 6 bersaudara yang dilahirkan dari

seorang mantan Kapolsek Gading, Kabupaten Probolinggo. Ayah DK tersebut

bernama Mustain, yang istrinya bernama Angatri. DK sejak kecil tinggal bersama

orang tuanya di Jalan Mayjen Widodo, Desa Wangkal. Sejak usia belia, DK telah

dikenal oleh teman sebayanya sebagai pemuda yang hobinya memburu ilmu

kebatinan dan berdiam diri untuk menyepi dan mengasingkan diri.

Ayah DK „Mustain‟, meninggal pada tahun 1992, sedangkan istrinya

Angatri meninggal pada tahun 2002. Pada rumah kediaman orang tua DK

tersebut, hingga sekarang ditempati oleh saudara DK, yaitu Diah bersama

suaminya yang bernama Hidayat. Berdasarkan data dari Ibu Diah selaku adik dari

DK, Diyah mengakui bahwa tiga saudara lainnya tinggal di Jember. Satu saudara

lainnya lagi bernama Taufik Hakiki yang bekerja sebagai guru tinggal bersama

63

istrinya yang bernama Ibu Tutik yang tinggal satu desa dengan DK dan juga Ibu

Diyah di Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo.

Dimas Kanjeng dan 2 saudara lainnya meskipun tinggal dalam 1 desa dan

berdekatan, namun menurut saudaranya tersebut DK jarang untuk bertamu ke

rumah saudaranya tersebut. Pandangan tersebut justru berbanding terbalik dengan

pandangan para tetangga DK dan juga masyarakat di Desa Wangkal. Menurut

masyarakat Desa Wangkal justru DK dikenal sebagai sosok yang rendah hati,

senang menyapa sesama tanpa pandang bulu, tidak menyombongkan diri dan

pribadinya yang kalem serta sopan.

Menurut Diyah, DK sejak SMP telah menyukai aksi berburu ilmu kejawen.

Passion berburu ilmu kejawen tersebut semakin intensif, tatkala DK lulus SMA.

DK berguru terhadap Kiai Gung Selamet, cucu dari Raja Sumenep Bindoro Said,

yang mana merupakan sosok keturunan dari orang yang memiliki „linuweh‟ dari

Batuampar, Pamekasan. Berdasarkan rekomendasi dari Kiai Gung Selamet, DK

diutus agar berlanjut menimba ilmu kepada Abah Ilyas seorang pemimpin pondok

pesantren di Kawasan Brangkal, Kabupaten Mojokerto. Berkat pernah berguru

kepada Prabu Anom Kiai Gung Selamet, DK menjadi terinspirasi ingin menjadi

Raja Anom yang dapat mengentaskan kemiskinan umat dan juga mengangkat

dirinya sendiri dari rakyat biasa menjadi seorang bangsawan.

Berdasarkan pernyataan DK terhadap santrinya, DK bukan murid terpandai

Abah Ilyas, namun DK hanya berusaha untuk menuruti segala tutur kata Abah

Ilyas sebagai gurunya. DK menikah pada saat berumur 24 tahun, yang pada waktu

64

itu tahun 1994. DK menikahi Rahma Hidayati yang berumur 17 tahun, seorang

gadis yang berasal dari daerahnya sendiri dan juga sama sebagai murid dari Abah

Ilyas. Orang tua dari Rahma merupakan keluarga terpandang di Desa kelahiran

DK tersebut. DK pada awal mulanya bekerja dengan menggarap sawah yang

cukup luas milik mertuanya. DK pada akhirnya memiliki 3 anak, yang salah

satunya adalah Syarifatul Wahidah yang lahir pada tahun 1995. DK setelah itu

(pada tahun 2000), berlanjut mendirikan sebuah yayasan. Pada tahun berikutnya

(2001), istrinya melahirkan bayi kembar yang diberi nama Raderi dan Radeni.

Berdasarkan cerita dari Slamet Hariyanto, selaku Camat Gading yang

mengetahui benar perjalanan sejarah kehidupan DK, DK diakui pernah sempat

menghilang selama beberapa waktu untuk mendalami ilmu kebatinan terhadap

seorang guru di Banten. Setelah pulang dari menimba ilmu tersebut, DK merubah

yayasannya menjadi „padepokan‟, sebab di dalam yayasannya tidak hanya

terdapat santri muslim, namun juga beragam santri dari agama lain. Setelah DK

merubah yayasan menjadi Padepokan, DK-pun merekrut banyak orang untuk

menjadi santri padepokan tersebut, motif tersebut membuat masyarakat sekitar

padepokan bertanya-tanya, sebab DK juga membangun masjid dan rumah yang

mewah dalam padepokan tersebut.

DK juga membeli tanah milik warga sekitar padepokan dengan harga yang

menjulang tinggi, dengan harga pada umumnya di pasaran. Kabar tersebut yang

membuat warga sekitar padepokan merasa bahagia karena secara tidak langsung

diberdayakan dengan adanya padepokan DK tersebut. Menariknya lagi, setelah

padepokan tersebut semakin ramai santri yang mendaftar, DK dapat membangun

65

gapura pintu masuk yang berbentuk joglo dengan tulisan yang memantik

perhatian, yaitu “Selamat Datang di Padepokan Dimas Kanjeng”.

Santri DK mengakui bahwa, DK pernah dinobatkan sebagai pimpinan raja

se-Nusantara dengan gelar “Yang Mulia Sri Raja Prabu Rajasanagara” sejak

tahun 2016 awal yang diselenggarakan oleh pimpinan AKKI (Asosiasi Kerajaan

dan Kesultanan Indonesia). Beberapa santri menyatakan bahwa tujuan utama

menjadi santri padepokan DK, ingin membersihkan hatinya, ingin berdoa dan

beramal saleh. Setiap kamis malam jumat, di masjid padepokan

menyelenggarakan acara istighosah bersama dan beramal kepada warga yang

membutuhkan di sekitar pondok.

Santri DK tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat biasa, bahkan

sejumlah bangsawan nasional yang dikenal sebagai tokoh yang berintelektual

tinggi juga ada yang menjadi santri DK. Keberadaan Padepokan DK telah

didukung resmi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia (SK MENKUMHAM) RI Nomor: AHU-3632.AH.01.04 Tahun 2012.

Bagi para santri, sosok DK mampu mengadakan uang, bukan menggandakan

uang. Menurut para santri, berkah dari seorang DK tidak akan pernah ada

habisnya.

Dimas Kanjeng sering mengadakan event olahraga, seperti futsal, voli dan

sepak bola. Tidak hanya itu, padepokan DK juga sering mengadakan lomba gerak

jalan, tournament sepak bola dan voli antar RT se-Desa Wangkal Kecamatan

Gading dalam even Kanjeng Cup 2014 yang hadiahnya melimpah. Juara 1 lomba

66

sepak bola memperoleh hadiah sebesar 3,5 juta, juara 2 Rp 2,5 juta, juara iii Rp 2

juta dan juara iv Rp. 1,5 juta.. Untuk hadiah lomba voli juara 1 mendapatkan

hadiah Rp. 3 juta, juara 2 Rp 2 juta, juara 3 Rp. 1,5 juta dan juara iv Rp 1 juta.

Bagi pandangan Dimas Kanjeng, pemuda merupakan aset bangsa, yang

harus diberikan wadah untuk mengeksplorasi potensi dirinya melalui olahraga,

yang menurut DK dengan olahraga merupakan jalan kunci untuk mendapatkan

kesehatan. Menurut Kepala Desa Wangkal, Dimas Kanjeng sering memberikan

perhatian khusus pada urusan olahraga dan kepemudaan. Alhasil Desa Wangkal

sering dibantu DK jika akan mengadakan event yang berkaitan dengan pemuda

desa.

2.4 PADEPOKAN DIMAS KANJENG (DK)

Dalam pemberitaan media massa, tentu telah beredar informasi bahwa

pengikut atau yang lebih suka disebut dengan „santri‟ masih bertahan di

Padepokan Dimas Kanjeng (DK), meskipun DK telah ditahan. Para santri tinggal

tepat di belakang rumah DK dengan membangun tenda-tenda dari bambu dan ada

juga tenda yang bercorak arsitektur Bali. Mayoritas santri DK justru berasal dari

luar daerah Probolinggo, yaitu berasal dari Kalimantan, Jakarta, Papua, Malaysia,

Bandung, Cirebon, Makassar, Surabaya, Ponorogo, Madiun dan lain-lain.

Santri yang berasal dari Probolinggo justru kurang dari 5% dari seluruh total

santri yang ada. Santri DK terdiri dari beragam usia, ada yang muda-mudi dan

juga banyak yang orang tua. Mayoritas warga Desa Wangkal dan warga Desa

67

Gading welcome dengan adanya Padepokan DK tersebut, meskipun warga

setempat tidak banyak yang menjadi santri DK.

Padepokan resmi disahkan berdiri tahun 2006. Kegiatannya yaitu

melaksanakan istighosah sehabis subuh, lalu jam 9-10 diadakan istighosah lagi,

kemudian bakda luhur dan bakda ashar juga istighosah, lalu dilanjutkan lagi

setelah isya hingga jam 12 malam, jam 3 dini hari sudah dibangunkan untuk

shalat tahajud. Sehingga santrinya lebih memilih setia untuk menetap di masjid

Padepokan. “Jika tidak di masjid susah ibadahnya, di tenda juga terasa sepi”,

ujar santri.

Tanah lapang di belakang rumah DK disulap menjadi perkampungan kecil

tempat tinggal para santri. Dalam benak masyarakat awam, para santri yang

memilih tinggal di sana menempati tenda-tenda penampungan, namun dalam

realitasnya tatkala saya berada di sana tenda tersebut tidak „sejelek‟ yang

dipikirkan masyarakat awam. Tenda tersebut didesain dengan sedemikian rupa,

sehingga terdapat ruang tamu dan sekat kamar di setiap tenda. Ditata dengan

bunga-bunga yang menggugah hati dan tidak lupa tenda tersebut diberi nomor,

sehingga para santri bisa mengidentifikasi tenda tersebut dihuni siapa, dari

kalangan mana. Pemukiman tenda santri tersebut telah berubah menjadi

pemukiman yang dinamis.

Menurut keterangan para santri, meskipun mereka hidup tidak dengan

tembok yang menjadi dinding, namun mereka tetap nyaman sebab dapat hidup

bersama-sama. Makan bersama, membayar listrik bersama, berdiskusi bersama,

68

banyak hal yang mereka lewatkan bersama-sama. Pemukiman para santri juga

memiliki „aula‟ yang digunakan untuk ruang pertemuan, tempat belajar menari,

dan mengaji untuk anak-anak para santri. Tidak hanya itu, mereka bersama-sama

merencanakan program pemberdayaan bagi masyarakat di sekitar padepokan.

Padepokan DK, dalam rangka memperingati perayaan hari besar Islam,

padepokan berusaha untuk memberikan santunan sebesar Rp. 1 milliar terhadap

kaum duafa.

Ada santri yang memiliki keahlian dalam bidang pertanian dan

mengaplikasikan ilmunya dengan santri lain untuk membuat kegiatan yang

bermanfaat bagi sekitar dengan pembudidayaan cabai. Ada pula santri yang

berasal dari Bali yang memiliki keahlian menari dan dengan keahliannya itu, ia

mengajari anak-anak usia sekolah untuk melestarikan budaya lewat menari. Ada

juga santri yang pintar mengaji dan mengajari anak-anak setiap sore di aula.

Banyak hal positif yang santri DK lakukan sembari menunggu pemimpin mereka

kembali.

Dari situ terdapat hikmah di setiap peristiwa yang ada, sepahit apapun

peristiwa itu. Meskipun para santri ini dianggap hanya menghabiskan waktu yang

sia-sia saja di padepokan, namun mereka tetap berusaha menjadikan dirinya

menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Saya secara pribadi, dengan

melihat berbagai aktivitas yang ada dalam padepokan, akhirnya menyadari bahwa

manusia sejatinya harus bermanfaat bagi sekitarnya, apapun keahlian yang ia

punya dan bagaimana keadaan yang membelenggunya.

69

Masyarakat yang hadir sebagai penonton berita mungkin mengomentari

“ngapain sih nungguin nggak bermanfaat banget” atau ih “sia-sia banget deh

hidupnya menunggu”, namun di saat tersebut justru para santri sedang menyusun

program untuk aktivitas positif dan langkah selanjutnya. Sebagai makhluk yang

humanis, sudah sepantasnya mendahulukan untuk melihat ke dalam setelah

bercermin dari sekitar. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sesuatu yang

dianggap buruk, sebab masih banyak hal yang belum kita ketahui.

Dalam bukunya R.H Codrington yang berjudul The Melanesians (1891),

terdapat keyakinan mengenai suatu kekuatan gaib yang disebut dengan mana,

yang dipancarkan oleh roh-roh atau dewa-dewa, namun dapat juga dimiliki oleh

manusia. Orang yang memiliki mana adalah orang yang selalu berhasil dalam

pekerjaannya. Orang yang memiliki mana adalah orang yang mampu berkuasa

dan mampu memimpin orang lain.2

Berdasarkan teori di atas, dan juga dikombinasikan dengan berita yang

beredar di masyarakat, keterangan santri dan keterangan masyarakat sekitar

pondok, saya menyimpulkan bahwa DK memiliki kekuatan yang disebut mana.

Dari keterangan para santri, bahwa sosok DK dapat berada di tempat-tempat yang

berbeda dalam waktu yang bersamaan, selalu bersedekah, memiliki perusahaan,

mampu berkuasa dan memimpin padepokan dengan sebaik-baiknya.

2 R. Firth juga pernah meneliti tentang konsep mana di Tikopea. Dalam karangan mengenai topik

itu (Firth 1940) ia menyatakan bahwa kata mana hanya sering berati banyak, berlebihan dan luar

biasa (kata mana ada hubungannya dengan orang Indonesia menang), dan tidak selalu

dihubungkan dengan agama atau religi.

70

Berdasarkan dari keterangan warga sekitar padepokan, mengatakan bahwa

DK sekarang menjadi sosok pemimpin padepokan, namun di luar kemampuannya

tersebut banyak warga sekitar yang heran. Hal tersebut disebabkan sosok DK di

waktu kecil begitu pendiam dan senang belajar ilmu-ilmu “gaib”, justru sekarang

bisa menjadi pemimpin padepokan dan memiliki ribuan santri. Dapat diasumsikan

bahwa DK sukses melalui pekerjaannya. Hal terebut diperkuat oleh pernyataan

beberapa santri, jika DK memiliki perusahaan emas. Sehingga menurut teori di

atas jika ditarik kesimpulan, di zaman modern ini banyak terdapat seseorang

ataupun komunitas yang memiliki kekuatan, dikarenakan sukses dalam pekerjaan

maupun menjadi pemimpin yang sangat berkuasa.

Hampir semua bangunan di Padepokan DK masih terlihat kokoh berdiri.

Beberapa bangunan seperti rumah tempat tinggal DK, masjid, pendopo, asrama

putra dan putri, fitness center masih kokoh berdiri di area tanah seluas 7 hektar.

Lepas dari bangunan megah tersebut, yang menarik perhatian adalah tenda-tenda

yang letaknya di belakang rumah DK. Tenda-tenda tersebut memberikan ruang

dan kesempatan santri untuk bertahan hidup. Meskipun sebagian dari tenda-tenda

yang ada sudah rusak, usang, bahkan tidak layak pakai. Tenda-tenda santri

didirikan seiring dengan adanya penangkapan DK.

Paska penggerebekan, santri banyak yang dipulangkan oleh aparat penegak

hukum. Faktanya, santri tidak sedikit yang kembali lagi bertengger manja di

padepokan „Taat Pribadi‟. Santri mengatakan bahwa DK telah memberi

kehidupan yang lebih baik kepada para santri, sehingga perasaan itu membuat

para santri mencintai, setia terhadap DK dan juga padepokan hingga saat ini.

71

Salah satu santri mengatakan bahwa ia sangat mencintai DK, bahkan cintanya

melebihi keluarganya sendiri. Berkat pertolongan DK, santri dapat memperoleh

kehidupan yang lebih mulia, baik untuk dunia maupun akhirat. Banyak santri

mengatakan bahwa sebelum berada di padepokan hidupnya kurang baik, namun

semenjak berada di padepokan untuk melakukan kegiatan keagamaan dan juga

saling berbagi satu sama lain, maka bagi santri kehidupan spiritualnya menjadi

lebih baik.

Meskipun mereka tinggal di tenda-tenda yang kurang nyaman, namun

mereka terlihat senang. Tinggal di tenda mengajarkan santri untuk hidup

sederhana dan saling berbagi antar tetangga. Berbagi suka dan duka di saat yang

lain kekurangan dan saat kita memiliki lebih, maka harus saling berbagi.

Lingkungan sekitar padepokan sangat hangat. Terlepas dari status padepokan dan

komentar buruk dari masyarakat serta pemerintah, santri tetap hidup dengan baik.

Santri percaya bahwa akan ada saatnya padepokan kembali berjaya seperti sedia

kala.

Di tengah keberagaman hidup para santri yang berasal dari berbagai daerah

dan negara lain, santri hidup untuk saling menghargai, tidak ada paksaan dalam

beribadah, ajaran untuk selalu berbuat baik dan saling membantu merupakan

ajaran yang selalu disampaikan DK. Sehingga santri selalu mengamalkannya dan

menghindari terjadinya konflik. Di dalam padepokan tidak hanya terdapat satu

agama, namun terdapat santri yang juga beragama lain. Tetapi, mereka selalu

berusaha untuk belajar hidup rukun.

72

Wujud kepatuhan santri yang lain terhadap padepokan juga ditunjukkan

para santri dalam memberi ide-ide mengenai kemajuan padepokan dan untuk umat

di sekitarnya. Para santri berusaha untuk saling berbagi di luar padepokan atau

para tetangga sekitar. Mereka membuat program untuk kemajuan padepokan ke

depannya. Para santri mengaku, akan terus menunggu DK hingga keluar, santri

percaya bahwa guru mereka tidak salah dalam proses hukum tersebut. Dalam

tindakan dan wujud cinta santri terhadap Padepokan memberi gambaran bahwa

cinta dan patuh itu membutakan, namun tidak bisa sepenuhnya dianggap

menyimpang. Sebab, santri sudah bertahun-tahun hidup dengan sosok DK yang

amat mereka cintai. Cinta memberi kekuatan para santri untuk terus bertahan.

Kepatuhan membuat santri kuat, nasehat yang melekat pada sosok DK akan terus

santri ingat. Sehingga para santri tetap bersikukuh untuk berada di Padepokan

DK.

Padepokan yang dahulunya selalu ramai, kini mulai menyepi. Santri yang

awalnya berjumlah kurang lebih 23.000 orang, kini menjadi sekitar 700 orang

yang menetap, lainnya pulang pergi (PP dari padepokan ke rumahnya masing-

masing secara bergulir dalam setiap minggunya, lalu kembali lagi ke padepokan).

Santri yang memilih menetap tanpa pulang menghadapi konsekuensi untuk hidup

seadanya.

Ada beberapa aset padepokan yang di sita, diantaranya rumah DK, asrama

santri putra dan putri, pusat fitness dan aula pertemuan. Tersisa masjid dan tenda

santri yang sengaja dibangun sebagai rumah untuk para santri. Mereka tinggal

secara berdampingan. Mayoritas santri benar adanya seorang muslim, namun juga

73

terdapat pemeluk agama non muslim yang juga menetap di padepokan. Berbagai

atribut ibadah keagamaan ada di dalam tenda santri.

Kebanyakan tenda sudah dalam keadaan yang memprihatinkan. Atap yang

bocor dan ketika tidur santri hanya beralaskan tikar tipis. Ada pula beberapa tenda

yang memang sudah tidak dapat dihuni lagi. Bahkah panggung yang dulunya

digunakan untuk acara besar padepokan, kini juga dijadikan tenda. Terpal yang

dijadikan alas juga dijadikan tembok sebagai penghadang panas dan hujan.

Namun juga terdapat sebagian tenda yang dihias dengan rapi dan menarik.

Ornamen-ornamen berbau kedaerahan dan agamis dipadukan menjadi satu.

Beberapa tenda di depannya juga dibudidayakan tanaman hias dan kolam ikan

kecil-kecilan.

Selain tempat ibadah dan tenda, di padepokan juga terdapat aula untuk

beraktivitas anak-anak. Anak-anak yang tumbuh di bawah tekanan dialihkan

untuk melakukan kegiatan layaknya anak-anak lain. Anak-anak diajarkan menari,

mengaji dan setiap hari minggu senam pagi bersama-sama yang diikuti oleh

seluruh santri, baik anak-anak santri, santri muda dan santri dewasa. Selain itu

sorenya, anak-anak juga berpartisipasi untuk menyiapkan makanan. Ketika

diwawancarai terkait DK, banyak di antara anak santri yang belum pernah

bertemu dengannya. Mayoritas hanya pernah mendengar dari orang tua mereka.

Akan tetapi orang tua mengonstruksikan sosok DK yang bisa dibilang berlawanan

dengan yang dikatakan oleh media massa. Anak-anak mayoritas tumbuh menjadi

pribadi yang patuh.

74

Santri dewasa sering menghabiskan waktu dengan kegiatan di dalam

ruangan, baik melakukan rapat ataupun diskusi. Beberapa santri adapula yang

terus menghabiskan waktunya untuk istikharah di masjid. Pengondisian sandang,

pangan dan papan dimusyawarahkan terlebih dahulu. Contohnya saja penempatan

pembagian beras pada tempat di mana orang tersebutlah yang mengoordinir

pembagiannya. Santri walaupun terlihat kekurangan, akan tetapi kebutuhan

pangan mereka terbilang cukup. Inilah yang mereka sebut sebagai ilmu laku.

Beberapa santri sebagai narasumber mengatakan, bahwa salah satu hal yang pasti

didapat di padepokan ini ialah ilmu laku, di mana mereka bisa jauh dari kehidupan

yang fana. Santri belajar untuk berbagi, sabar dan hidup berdampingan dengan

rukun tanpa mengenal batasan-batasan tertentu.

Kehidupan santri bertolak belakang dengan konsep hidup generasi milenial

di era sekarang. Santri hidup dengan cara tradisional, bukan dalam artian santri

tidak mengenal teknologi. Santri memupuk kebersamaan di bawah tekanan dari

masyarakat luas tentang kebenaran padepokan. Segala kata “prasangka” yang

dilontarkan dari luar ditepis oleh para santri dengan berpegang teguh pada ajaran-

ajaran yang disampaikan oleh DK. Salah satu santri bahkan mengungkapkan

ketika dihadapkan dengan orang lain yang menuduh ajaran DK sesat, ia

membantah secara langsung dan memperdebatkannya. Begitulah cara salah

seorang santri menghadapi tekanan ketika ia berada di luar padepokan dalam

membela sosok yang dianutnya.

Akan tetapi terdapat santri yang mengaku bahwa dengan jelas anggota

keluarganya tahu akan keputusannya untuk menjadi santri padepokan Taat

75

Pribadi. Ketika sedang diwawancarai ia memperjelas agar wajahnya tidak

dimasukkan ke media massa, sehingga ia tidak diketahui oleh anggota

keluarganya. Ketakutan-ketakutan beberapa santri masih saja terlihat, namun juga

ada beberapa santri yang tanpa peduli sekalipun dengan omongan dari luar,

sekalipun itu keluarganya sendiri. Prasyarat menjadi santri DK cukup dengan

membayar mahar semampunya dan juga mengikuti kegiatan keagamaan di setiap

harinya, seperti tahlil bersama.

Menariknya, meskipun santri lahir dari latar belakang ekonomi dan

pendidikan yang berbeda, namun mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk

kemaslahatan umat dan lagi-lagi untuk akhirat. Berdirinya Padepokan DK banyak

memberikan kebermanfatan bagi masyarakat di luar Padepokan. Banyaknya santri

yang berasal dari luar daerah, secara tidak langsung membantu perekonomian

masyarakat di luar padepokan, terutama di Pasar Wangkal dan toko-toko sekitar

yang menjual berbagai keperluan sehari-hari.

Setiap pagi hari, para santri terutama ibu-ibu selalu pergi ke pasar untuk

membeli sandang pangan. Semenjak berdirinya Padepokan DK, warung-warung,

dan toko semakin banyak. Hal tersebut dipandang oleh masyarakat di sekitar dan

luar padepokan sebagai wadah yang sangat menguntungkan masyarakat. Selain

bekerja sebagai petani, para warga dapat menambah pemasukan mereka dengan

berjualan.

Tidak hanya toko dan warung yang diuntungkan, transportasi umum

seperti becak, ojek dan angkutan juga merasa diuntungkan. Para santri biasanya

76

menggunakan transportasi umum untuk pergi ke Pasar Wangkal atau Pasar

Semampir yang menjual kebutuhan lebih lengkap dan banyak. Masyarakat di

sekitar dan di luar padepokan semakin memiliki kehidupan yang lebih baik,

karena dari segi perekonomian kehidupan masyarakat mengalami transformasi

ekonomi. Dari yang awal mulanya sepi kini telah menjadi tempat perekonomian

yang ramai.

Menurut pengurus padepokan, Padepokan DK bermula dari musala kecil

yang dapat menampung 20 santri pada tahun 2006. Seiring tersebarnya berita

terkait kesaktian DK, santrinya semakin banyak pula, bahkan sampai peristiwa

penangkapan DK, santri masih mencapai 23 ribu. Hal tersebut yang membuat

pembangunan infrastruktur di padepokan semakin berkembang pula.

Pembangunan di padepokan sebagai organisasi massa tidak berasal dari uang

gaib, namun berasal dari sumbangan para santri. Santri DK yang masih tinggal di

padepokan menyatakan bahwa tidak akan pulang dari padepokan, sebelum ada

perintah secara spiritual dari maha gurunya tersebut. Tidak sedikit dari kaum artis

dan politisi yang juga menjadi santri DK, bahkan juga tidak jarang manggung di

padepokan sebelum DK berada di lapas.

Padepokan DK tidak hanya terdapat masjid dan parkiran yang luas, namun

juga terdapat warung makan dan kopi di setiap sudut kompleks padepokan yang

dikembangkan oleh santri sendiri, sehingga santri tidak hanya mengaji, namun

juga mengembangkan perekonomiannya dengan berdagang (membuka warung,

membuat snack, keripik untuk disetorkan ke toko-toko sekitar pondok). Santri di

77

Padepokan Dimas Kanjeng tidak ada yang merasa kesusahan untuk makan, sebab

santri yang memiliki finansial lebih saling memberi, baik memberi makanan

secara langsung, maupun memberikan modal usaha untuk membuka warung atau

membuat jajanan. Santri DK tidak sedikit yang telah menetap di padepokan

selama bertahun-tahun (tidak hanya sehari 2 hari), sehingga tidak mudah jika

harus meninggalkan segala kenangan yang telah diukir di padepokan tercinta.

79

BAB III

TEMUAN LAPANG

Bab ketiga berisi temuan data observasi dan wawancara di lapangan.

Data yang dipaparkan dalam bab ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan

santri Dimas Kanjeng memiliki persepsi atau pandangan yang sama,

sehingga terbentuknya pola perilaku atau tindakan yang homogen

(kepatuhan santri Dimas Kanjeng yang begitu mendalam terhadap maha

gurunya „Dimas Kanjeng‟). Pada bab ini juga dijelaskan bagaimana santri

Dimas Kanjeng berkontestasi dengan berbagai tindakan kepatuhannya dalam

menghadapi segala ancaman yang hadir dalam menjaga rasa kepatuhannya

terhadap sang guru „Dimas Kanjeng‟ agar keharmonisan di Padepokan Taat

Pribadi selalu tumbuh dan mengakar dalam keseharian santri.

3.1 IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PEMICU SANTRI PADEPOKAN

DIMAS KANJENG TERAMAT PATUH AKAN DIMAS KANJENG

3.1.1 Faktor Ajaran

Dimas Kanjeng yang selalu mengajari santri untuk mengelola diri, menjaga

hati dan lisan membuat para santri menaruhkan hati tersendiri tehadap Dimas

Kanjeng. Bahkan menurut santri Dimas Kanjeng selalu terkenang dalam

hidupnya. Dimas Kanjeng yang selalu mengajari arti sebuah ketulusan dan tidak

membeda-mbedakan terhadap siapapun. Kehidupan di padepokan akhirnya

menjadi seperti taman yang begitu rindang nan sejuk. Hal tersebut sesuai dengan

penjelasan informan di bawah ini:

80

“Kepribadiannya yang tidak jauh dengan perkataannya mbak. Mas

kanjeng itu selalu mengajari kami untuk hidup susah dan senantiasa

tawakal pada Tuhan. Beliau mencontohkan kehidupan beliau waktu

berguru ditempatkan di lapangan yang tidak bisa untuk berteduh, sering

kehujanan dan sering dicambuk‟i menggunakan plecut. Dadi sek enak

mbak kami sebagai santri YM masih ditempatkan di tenda-tenda.

Kebutuhan pangan dijamin mas kanjeng. Sopo wonge sing gak luluh

mbak. Dadi mas kanjeng iku ora koyo KIAI sing keminter neng

JARKONI, ngerti JARKONI mbak, NGANDANI NENG JARANG

NGLAKONI (sering memberi tahu, namun ia sendiri tidak

melaksanakannya). Mas Kanjeng tidak terlalu banyak bacot mbak,

bicara seperlunya” (Ibu L, 03/09/2018).

Kehidupan di Padepokan Taat Pribadi penuh dengan nilai-nilai kesopanan

dan kebaikan sesuai dengan nilai dasar Pancasila yang dapat menjadi pedoman

hidup para santri dalam bertindak. Selain itu, Dimas Kanjeng juga mengajari

santri agar tetap semangat dan apapun yang terjadi jangan pernah sampai putus

asa, intinya semua adalah yakin dan berani. Berani berjuang, berani fokus, berani

mempertaruhkan, berani mengambil keputusan dan berani berpegang teguh

terhadap apa yang diyakini, jadi tidak mudah untuk diombang-ambingkan oleh

orang awam yang tidak jelas. Dimas Kanjeng selalu mengajari santrinya agar

selalu teguh dan setia terhadap janji ataupun hal yang diyakini dirinya, jangan

sampai serong..

Berdasarkan ajaran-ajaran yang telah diberikan Dimas Kanjeng di atas maka

dapat disimpulkan bahwa ajarannya hampir sesuai dengan indikator-indikator

pendidikan yang berbasiskan karakter. Pendidikan berbasis karakter diperlukan

dalam menyongsong Indonesia emas tahun 2025. Kesabaran Dimas Kanjeng

dalam membina karakter para santri membuat santri sulit untuk menghapuskan

81

sosok si Taat Pribadi. Selain ajaran yang berbau keagamaan, DK juga

menekankan pada para santri untuk tetap ingat akan statusnya sebagai Warga

Negara Indonesia harus tetap melakukan kewajibannya terhadap negara. Hal

tersebut sesuai dengan testimoni santri berikut ini:

“Guru maaf ni ya mbak tetap menekankan kepada kita sebagai seorang

muslim harus menaati peraturan sesuai agama kita.. kita selaku warga

negara tetap mengedepankan hukum yang berlaku di NKRI karena kita tetap

di bawah pemerintahan (Bapak DN, 02/08/2018)”

Kepatuhan informan timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng (segi moral). Di

saat saya bertanya “Bapak sayang sekali ya dengan yang mulia?”, informan lalu

menjawab:

“Pastilah, beliau kan juga guru bagi kami.”

“Di sini niatnya mencari ilmu. Kalau bicara soal ilmu, apapun

caranya akan diraih untuk mencapai itu” (Pak MZ, 20/09/2018).

Santri (ms DV) dulu telah belajar kesana kemari, namun yang tepat menurutnya

hanya di Yang Mulia Dimas Kanjeng. Dahulu mas DV memilih di padepokan

DK telah mendapatkan arahan dari gurunya terlebih dahulu yang di Pondok

Pesantren Lirboyo Kediri. Terlihat sesuai dengan pernyataan santri berikut:

“Mayoritas santri YM yang ada di tenda langsung mantap hatinya, tatkala

mengikuti DK awal mula ceritanya tidak ada yang namanya “tidak

percaya”. Berawal dari shalat istikharoh dan dalam melaksanakan shalat

istikharoh tidak sekedar sekali 2 kali, bahkan 2 tahun (Mas DV,

27/08/2018).

“Kan di sini itu sepemahaman saya ditanggung dunia dan akhirat. setiap

yang bisa ikut di sini dan bisa mengikuti di sin. Ibu di sini kan sudah tua,

kalau tidak mencari akhirat itu mencari apa ta nduk? (Ibu L, 13/08/2018)”.

Informan memberikan penjelasan tentang ketenanganannya berada di

padepokan.

“yang mulia terlihat sangat anteng dan sareh dalam mengajar”, (Mas

DV, 21/09/2018).

82

Selain itu, informan juga percaya tentang konsep ajaran dunia dan akhirat yang

diajarkan agama islam. Jadi kepatuhan santri juga disebabkan karena adanya

norma, yaitu buku istighosah yang dijadikan Dimas Kanjeng sebagai instrumen

utama dalam pembelajaran yang ditujukan kepada santri.

Alasan mayoritas santri Dimas Kanjeng bertahan di padepokan dan

tetap mematuhi segala nasehat Dimas Kanjeng yaitu ingin memiliki dan

mengembangkan ilmu laduni yang dapat menguji dirinya. Penekanan pada

ilmu laduni yaitu struktur manusia terdiri dari 4 elemen yang saling

berkesinambungan antara lahir dan batin. Elemen tersebut terdiri dari: 1)

api yang diartikan sebagai nafsu, 2) air disetarakan dengan jiwa, 3) udara

yang dapat mententramkan hati di mana tempat berseminya ruh, 4) tanah

adalah jasad atau makanan (Ancok dan Suroso, 2011: 152-154).

Api (Nar‟un) simbolnya adalah alif, udara (hawa‟un) simbolnya

adalah lam awal, air (ma‟un) simbolnya adalah lam akhir. Tanah (turubun)

simbolnya adalah He. Dari ke empat elemen tersebut, apabila nafsu dan

jasad dapat diarahkan untuk hal yang positif, maka dapat menghantarkan

diri ke ma‟rifat. Huruf-huruf di atas apabila dikombinasikan dapat menjadi

lafadz Allah (Ancok dan Suroso, 2011: 156-157).

Menurut santri, hal yang bisa didapatkan dari sosok DK, ialah harus

mencapai aktualisasi diri, ikhlas dan tenang saat menghadapi ujian kunci ajaran

yang selalu ditanamkan oleh DK. Orang harus mencapai tataran hakikat dan

ma‟rifat (transdimensi), sesuai dengan pernyataan santri berikut:

“Ya cita-citanya kita itu menjadi orang yang sukses. Sukses duniannya,

juga sukses akhiratnya, jangan sampai sukses dunia saja tapi akhiratnya

83

kita kalang kabut. Gak bisa kita gak amanah. Kita di sini dibelajari

dengan karakter yang seperti ini. Jangan sampai kita salah kaprah. Kita

hanya sibuk dunia, dunainya tidak bisa dikendalikan nantinya jadi

mudharat bagi diri kita. Kan ada juga hak-hak orang. Hak orang, hak

orang. Hak kita hak kita, jangan sampai kita makan hak orang.

Sepeserpun hak orang jangan sekali-kali kita ambil, ada karmanya (

10/09/18).

Adanya motivasi yang ditunjukkan dari ajaran-ajaran Dimas Kanjeng untuk

peduli terhadap sesama.

“Alhamdulillah setiap tahun guru memberikan contoh kepada santri

mengayomi, menyantuni anak yatim (21/09/18).

“Kitanya saling mengasihi saling menyayangi, ee untuk meraih suatu

program tapi dalam suatu batasan (21/09/18).

Pak Z merasa terilhami dari ajaran Dimas Kanjeng dalam hal ilmu. “Di sini

diajarkan pemahaman yang lebih tinggi. Ketika umpamanya dalam diri kita

terdiri dari segumpal daging, apabila daging itu baik niscaya baiklah segalanya.

Apabila itu rusak, maka rusaklah segalanya (18/09/18).

Adapun ajaran yang disampaikan DK terhadap santrinya perihal religiusitas

yaitu tidak pernah mengevaluasi agama itu benar atau salah tidaknya, namun apa

yang diajarkan DK sama halnya dengan pemikiran Emile Durkheim (1992: 80),

bahwa agama merupakan fenomena kemasyarakatan, sistem sosial. Agama

menurut gagasan Emile Durkheim tidak berasal dari pewahyuan dunia luar,

melainkan secara empiris berasal dari pengalaman di lingkungan sekitarnya (teori

sentimen kemasyarakatan). DK “angkat tangan” perihal baik buruknya agama

tertentu, namun DK selalu menegaskan apa agamamu jangan pernah lalai akan

tanggung jawabmu di agamamu masing-masing.

Santri patuh terhadap DK dengan menerima dan melaksanakannya perintah

Dimas Kanjeng begitu saja.

84

“Ilmu yang diajarkan oleh Dimas Kanjeng sudah bukan ilmu syari‟at

lagi. Ibaratnya ilmu lakon dalam bahasa Jawa. “Ini lakukan!” seperti

itu. Nah kalau sudah menginjak seperti itu ibarat dikata tidak boleh

ada pertanyaan “kok begini sih?” nggak boleh memang kalau kita

dulu menyantri di pesantren juga seperti itu. Tidak boleh banyak

bertanya, kan. Kalau diperintahkan “kamu ke utara!”, tidak boleh

bertanya “kenapa ke utara? Apa yang harus dicari? (Pak DN,

17/09/18).

3.1.2 Adanya Kesamaan Tujuan dan Kesadaran Kolektif

Kepatuhan informan dikarenakan adanya semangat bersama dalam

mencapai tujuan atau target padepokan yang lebih baik di masa depan. Adanya

kesadaran kolektif membuat santri tetap patuh yang mendalam pada seorang DK.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan santri berikut:

“Kita di sini punya satu pengertian bahwa kita berguru pada seorang

guru yang mengarahkan kita untuk mensejahterakan umat. Kepentingan

kita di sini sama”.

“Saat rasa kita bermain, bersimpati terhadap kesusahan orang, di

situlah yang menjadi eee apa.. menjadi patokannya. Di sini menyangkut

suatu hal kenapa di sini kita bisa memiliki toleransi yang tinggi”, (Bapak

MZ, 04/10/2018).

“Di antaranya visi misi padepokan kan seperti ini dari dulu.

Mengentaskan kemiskinan, mengangkat anak yatim, tracknya nanti

adalah membuat seribu pondok pesantren, seribu masjid, seribu panti

asuhan. Pokoknya seperti itu proyek kedepannya. Itu yang membuat kita

tetap bersemangat untuk di sini dan patuh akan yang mulia. Terus

kenapa kita kok masih bertahan di sini, kan gitu”, (Bapak MZ,

04/10/2018).

Kepatuhan informan dibuktikan dengan mengorbankan kepentingan pribadi.

Dalam hal ini, dia mengorbankan waktu hidupnya untuk bertahan di padepokan.

Saat saya menanyakan sampai kapan bertahan, ia menjawab:

“Ya tergantung perintah dari YM (Yang Mulia). Kita kan tawadhu‟ dan taat

pada beliau (Bapak MZ, 09/09/18).

85

Kepatuhan informan hingga rela meninggalkan pekerjaannya untuk kemaslahatan

umat.

“Saya ini bisa dibilang dari tahun 2010 bulan empat sampai saya

meninggalkan pekerjaan saya sebagai PNS demi umat. Bukan untuk

kepentingan. Kalau saya untuk kepentingan, ngapain saya ninggalkan

kerjaan saya.”

Di samping itu faktor yang membuat santri DK patuh terhadap DK ialah

tingginya intensitas pertemuan antara santri terhadap DK dan juga antara santri

terhadap santri yang lain. Jalinan komunikasi, maupun persaudaraan akan tercipta

karena adanya rasa saling memiliki satu sama lain, merasa dimanusiakan satu

sama lain. Jadi ketika yang satu sakit, maka semua menjadi terlilit. Kepatuhan

santri pada umumnya dipengaruhi oleh tingkat pengorbanan yang dilakukan.

Kategori pengorbanan itu sendiri terdapat pengorbanan material maupun non

material.

Dari konsepsi umum tersebut jika dikaitkan dengan kepatuhan santri

terhadap DK ialah, santri DK yang telah lama tinggal di Padepokan dan sudah

pernah merasakan asam pahitnya padepokan, jika terdapat kasus apapun yang

menyerbu dan menjerat padepokan, maka santri cenderung akan tetap patuh dan

bertahan tinggal di Padepokan Dimas Kanjeng, karena chemistry dan kenyamanan

telah terbentuk. Dalam membentuk kondisi yang solit tersebut memerlukan proses

yang tidak sebentar dan mengorbankan harga diri, kehormatan, perasaan, waktu,

tenaga, uang dan juga pikiran. Tingkat keyakinan diantara santri tidak sama,

namun sebagian besar memiliki komitmen bersama dan kesadaran kolektif yang

tinggi, sesuai dengan pernyataan santri berikut:

86

“Bu marwah juga bilang bahwa ini adalah miniatur Indonesia di mana kita

semua berada satu posisi di mana terdapat dari berbagai suku terus

kemudian ya Bhineka Tunggal Ika yang kita tekankan. Karena apa pada

saat kita berbicara tentang umat maka scup kecilnya adalah Indonesia.

Indonesia yang kondisinya berbagai macam itu sudah tidak bisa kita

pungkiri lagi kan, artinya di mana rasa dipermainkan rasa kita yang

diutamakan bahwa kita semua di sini sama. Semua jabatan semua title

lepas. Kita di sini punya satu pengertian bahwa kita berguru pada

seorang guru yang mengarahkan kita untuk mensejahterakan umat” (Pak

SK, 27/09/18).

Padepokan Dimas Kanjeng mempunyai pranata alternatif (kesamaan

tujuan) yang bermanfaat sebagai cara untuk mengakomordir segala

keberagaman (Suparlan, 1995). Lepas dari pengklasifikasian masyarakat,

suatu komunitas dapat tercipta dan terjalin sangat intim apabila adanya

konsesus dan solidaritas sosial. Solidaritas merupakan pondasi atau dasar

bagi berlangsungnya kehidupan berkelompok dan membuat komunitas

tersebut seakan utuh. Adapun konsesus atau kesepakatan bersama terhadap

aturan yang ingin disetujui dapat mendorong komunitas lebih solid.

Antara konsesus dengan solidaritas merupakan pengikat sosial dalam

kehidupan berkelompok. Apabila antara konsesus dengan solidaritas salah

satunya rapuh, maka sistem sosial yang telah terstruktur dapat merapuh.

Apabila konsesus dan solidaritas dalam suatu komunitas masyarakat dinilai

sebagai bagian dari unsur budaya yang berfungsi sebagai pijakan hidup

setiap hari berlandaskan dari doktrin suatu agama, maka kegunaan agama

sebagai rasa, dorongan atau motivasi dan semangat kinerja masyarakat.

Adanya rasa fanatisme komunitas tertentu dalam masyarakat heterogen,

dapat mendorong terciptanya konsesus bersama dan solidaritas. Solidaritas

87

yang berkembang di kehidupan Dimas Kanjeng ialah solidaritas mekanik.

Solidaritas organik tidak berkembang di kehidupan Padepokan Dimas

Kanjeng, sebab meskipun santri Dimas Kanjeng terdiri dari berbagai kelas

sosial, namun bagi DK dan juga santri semua santri yang terdapat di

padepokan semua setara, tidak ada yang namanya spesialisasi kelompok-

kelompok professional (anti diferensiasi sosial).

Akhirnya semangat kebersamaan dalam memenuhi kebutuhan hidup,

beribadah, bersama-sama dalam mengunjungi tempat orang meninggal di

sekitar padepokan dengan iyuran bersama dan ritual kolektif selalu tercipta.

Kesatuan, kekompakan dan keutuhan sosial keluarga besar Padepokan

Dimas Kanjeng tidak terjadi secara spontan, namun melalui kesepakatan

bersama yang terjadi secara sadar disertai tekat yang bulat. Karena adanya

solidaritas dalam mewujudkan tujuan bersama, maka di Padepokan Dimas

Kanjeng eksistensi norma-norma serasa hidup. Motto yang selalu

dikembangkan di Padepokan Dimas Kanjeng yaitu anti mindlessly (anti

manusia tanpa perasaan) dan anti anomie (anti suasana tanpa norma).

Secara logika padepokan dengan visi bersama yang berorientasi pada

kemajuan maka akan lebih memikat kepatuhan santri, termasuk pak Z.

“Visi misi padepokan untuk umat didasari atas kebinekaragaman kita

berdasarkan suku dan berbagai provinsi dan tujuan kita untuk

kemaslahatan umat dan akhirnya adalah rahmatan lil alamin, di sini di

padepokan ini semua unsur agama ada, jadi kitanya memaknai rasa dan

meningkatkan pemahanaman tentang ilmu syariat”.

“Rasa saat kita melihat teman kita kesulitan materi, minimal kita

memberikan suatu support. Bahwa apa kesulitannya tidak ia hadapi sendiri

seperti itu prinsip dasarnya di sini (Pak H, 26/09/18).

88

3.1.3 Faktor Kenyamanan

Dari hasil lapang yang telah didapatkan tingkat kepatuhan santri Dimas

Kanjeng hadir karena sosoknya yang mampu menggambarkan seorang figur guru

yang didambakan dan dijadikan junjungan. Figur Dimas Kanjeng akhirnya dapat

memenuhi prinsip naluriah manusia, yaitu kenyamanan. Sosok yang memberikan

rasa aman yang pada akhirnya membuat seseorang enggan untuk beralih.

Kenyamanan yang santri rasakan semakin memperkuatnya untuk tetap tinggal di

padepokan. Menurut santri, Dimas Kanjeng selain dikenal dengan sosoknya yang

karismatik, Dimas Kanjeng juga memiliki karakter yang arif dan dapat dijadikan

contoh bagi santri-santrinya. Dalam memimpin padepokan, Dimas Kanjeng tidak

ingin dipanggil dengan sebutan “guru ataupun yang mulia”. Bagi Dimas Kanjeng,

dirinya ialah teman sejawat bagi santri-santrinya.

Alhasil Dimas Kanjeng selalu ada dan mendampingi santri-santrinya

dalam menuju jalan kebaikan. Menurut santri, Dimas Kanjeng dalam mendidik

tidak memakai karakter yang otoriter. Dimas Kanjeng mampu mengamalkan nilai-

nilai Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.

Menurut pandangan santri, Dimas Kanjeng layaknya seorang ibu yang selalu

menyampaikan budi pekerti terhadap santrinya dengan penuh perhatian,

ketabahan dan keuletan. Sedangkan di tengah perjalanan, tatkala santri berproses

guna membentuk perilaku yang adiluhung, Dimas Kanjeng selalu follow up guna

menggugah semangat para santri. Begitu halnya tatkala fisik Dimas Kanjeng jauh

dari santri, menurut santri sosok Dimas Kanjeng selalu memberinya dorongan dan

semangat juang di hati.

89

Padepokan bukan hanya sekedar wahana perang ataupun balapan yang

mudah pudar. Padepokan tidak hanya terdiri dari kepingan batu ataupun desiran

pasir, namun bagi santri mengandung makna tersendiri yang tidak sedikit dan juga

susah untuk diinterpretasikan melalui dongeng sebelum tidur. Luka, canda, tawa,

bahu membahu bersama dan masih banyak kenangan maupun harapan lainnya

yang tertanam di Padepokan Dimas Kanjeng. Belaiannya yang lembut membuat

para santri semakin termehek-mehek.

Adanya rasa senang dan nyaman akan sosok Dimas Kanjeng membuat cinta

santri akan DK semakin sulit untuk dibendung. Menurut santri senyuman DK

manis, semanis madu dengan segala kepiawaiannya. Selain itu, sosok gurunya

tersebut diyakini memiliki hati yang bersih, jernih dari segala dendam dan

kebencian. Dimas Kanjeng selalu dinilai santri memiliki hati yang murah,

semurah garam dapur.

Kepatuhan informan akan padepokan dikarenakan merasakan hal yang

tidak bisa diceritakan (ketentraman), yang diinterpretasikan dalam kutipan

berikut:

“Kami patuh di sini dengan padepokan karena, kalau kita bicara secara

logika, mungkin terjadi irasional ya. Akan tetapi, anda percaya nggak akan

adanya trans-rasional? Di sini kami patuh karena ada hal-hal yang sulit

diceritakan. Ada ketenteraman batin bagi yang yakin di sini. Ya ketenangan

aja. Semoga Allah akan selalu memberkati dan apa yang dicita-citakan

tercapai”, (Bapak Z, 15/09/2018).

Pak Z merasa sosok Dimas Kanjeng mampu menjadi teladan bagi dirinya, hal

tersebut menjadi alasan kepatuhan para santri yang berawal dari kesantunan

90

Dimas Kanjeng dalam bertindak dan bertutur kata, sesuai dengan penilaian santri

di bawah ini:

“Jadi yang perlu kami pahami sebegitu arifnya yang mulia”

“Insya Allah dengan rangkulan ini nantinya akan muncul. Muncul suatu

sosok, muncul suatu tokoh, muncul suatu panglima”, (Bapak TT,

29/08/2018).

Banyak dari santri sebagai pegawai negeri sipil dan bekerja kantoran,

meninggalkan pekerjaan dan keluarganya hanya demi Taat Pribadi. Menurut

santri, hal tersebut jelas tanpa kepentingan, karena santri merasakan ketentraman

batin dari adanya sosok yang mulia Mas Kanjeng tersebut. Dan kenyamanan yang

dirasakan santri tidak dapat terbendung dan juga tidak cukup jika hanya diuraikan

melalui kata-kata.

1.1.4 Faktor Keyakinan

Selain itu saya menemukan adanya kepercayaan askriptif yang akhirnya

menjadi keyakinan kolektif dan suatu kebenaran yang diyakini. Saya memiliki

argumen tersebut karena beberapa dari santri Dimas Kanjeng mengatakan bahwa

seorang Ibu Marwah Daud yang sampai bersekolah keluar negeri dan mendapat

gelar akademik yang cemerlang saja juga turut mempercayai kemampuan Dimas

Kanjeng yang kata orang “banyak tidak masuk akal”. Sosok Marwah Daud yang

memiliki figur sebagai cendekiawan dan mengutamakan kelogisan berpikir

dijadikan patokan untuk menaruh kepercayaan dan kepatuhan santri terhadap

Dimas Kanjeng. Dikarenakan banyak yang berpikir demikian, tentu akan ada

kesamaan persepsi yang pada akhirnya menjadi kebenaran yang diakui bahwa

kepatuhan pada sosok Dimas Kanjeng merupakan hal yang mutlak.

91

Rasa patuh santri terhadap padepokan semakin mengukuhkan rasa

persaudaraan dan persatuan terhadap sesama santri. Dilecehkan orang awam

membuat solidaritas diantara santri semakin kuat dalam mempertahankan

mahkoda padepokan tersebut. Menurut santri padepokan merupakan jalan menuju

kebaikan dan ketakwaan, maka harus dijaga benar. Kuncinya yang membuat

bapak H tetap patuh dan bertahan di Padepokan DK ialah “yaqqin ditata dulu

niatnya, lalu bersihkan segala fikiran dan prasangka buruk, maka keyakinan akan

tercipta. Proses mencari ilmu rasa itu mbak yang tidak akan pernah didapatkan

di manapun”, (tutur Bapak H yang berambut perang, 13/09/2018).

Informan mengakui bahwa semenjak berada di padepokan informan

menjadi lebih baik dalam beribadah, sekaligus percaya bahwa bila informan

meninggal akan ditanggung padepokan, seperti yang disampaikan oleh santri

berikut:

“Aku orang bodoh, gak pernah mengaji, gak pernah baca sholawat nariyah.

Jadi, aku 100% yakin di padepokan. Seumpama Meninggal ditanggung di

padepokan. Contohnya sudah ada nduk, orang sakit meninggal itu kemarin

masih utuh padahal sudah 2 tahun setengah. Orangnya masih putih masih

utuh”, (Ibu L, 28/09/2018).

“Yak memang begitu karena keyakinan kami. Keyakinan kami tidak berasal

dari hipnotis, kepercayaan kami, keyakinan kami itu karena keseharian

kami (Pak MZ, 27/09/18).

“Kami yang bertahan, kami yang selalu punya kepercayaan melalui proses

melalui saringan yang tidak tampak tentunya (Pak H, 06/09/18).

1.1.5 Motif Ekonomi (Benefit)

Kepatuhan informan timbul karena demi mendapatkan keuntungan ekonomi.

92

“Yang mulia itu orangnya pemurah. Ada orang datang pasti dikasih duit.

Siapapun yang datang pasti dikasih duit. Murah banget yang mulia itu di

manapun, di lembaga manapun (Ibu LM, 28/10/2018).

“Suasana yang nyaman, di sini enak mbak, rata-rata orang di sini kelas

menengah ke atas. Jadi kalau untuk makan saja sampai sisa-sisa, karena

selalu dikasih dan di sini susah seneng bareng dalam naungan sebuah

padepokan dan juga belajar merintis komitmen & usaha bareng-bareng.

Listrik tidak membayar, air juga tidak membayar, tatkala ingin ikut menjenguk

YM waktu proses persidangan di Pengadilan Kraksaan juga tidak membayar.

Masalah transport sudah ada yang mengkoordinir, keamanan pun juga terjaga

(Ibu T, 04/10/2018).

Menurut Situmorang dalam Wulandari (2005: 13), kesetiaan secara umum

dipengaruhi oleh 3 unsur yaitu karena situasi terdesak atau terpaksa, karena ajaran

(moral), karena mendapatkan keuntungan (ekonomi). Kepatuhan informan kepada

Dimas Kanjeng juga dipengaruhi oleh keuntungan berupa uang yang diberikan

oleh Dimas Kanjeng. Selain kepercayaan yang besar terhadap Dimas Kanjeng,

dukungan material juga menjadi penyemangat santri untuk mempertahankan

kehidupannya di padepokan. Sehingga informan menjadi sangat percaya terhadap

Dimas Kanjeng. Hal tersebut diperkuat dengan cerita yang disampaikan oleh

informan berikut:

“Mas Kanjeng itu penipu uang palsu, emas palsu. Aku yang untuk contoh

nduk. Saya sudah pernah dikasih uang Mas Kanjeng itu 200 dolar tak

tukarkan dapat uang 2.600.000. ya gak ditanya darimana ya gak, langsung

ditukar. Makanya kalau ada penipuan uang palsu saya gak terima. Uang

barokahnya Mas Kanjeng besar nduk. Aku di sini sudah 4 tahun hampir 5

tahun, kerjaan ku ya begini ya bantu santri yang kurang mampu. Saya juga

masih punya cucu 3, ah aku begini makan aja kurang, ah gak ada. Sampai

sekarang tak puter uang 2.600.000 itu coba. Semisal utang aku bisa lancar,

gak pernah aku dimarahin orang ta. Sebab janji ku tepat. Maka dari itulah

aku percaya, 100% tentang padepokan. Kalau orang yang tidak paham

meskipun dia santri dan gak paham kok begitu-begitu terus hm, maka Mas

Kanjeng itu kerjaannya sendiri gak dibantu sama siapa-siapa. Diibaratkan

nandur padi, aku memang yang sudah paham nak”, (Ibu LMN, 30/09/2018).

93

Akhirnya santripun patuh dan masih setia bertahan di padepokan karena

merasa sangat yakin bahwa hanya di Padepokan Dimas Kanjeng harta karun, uang

dan mas batangan disimpan. “Uang aman hidup pun nyaman”, tutur seorang

santri. Menurut salah 1 santri di sana, santri DK mayoritas berasal dari kalangan

menengah ke atas (borjuis), sehingga untuk keperluan sandang pangan tidak perlu

bingung lagi.

3.1.6 Kepiwaian Dimas Kanjeng dan Karismatiknya

Dua informan memiliki argumen yang sama, yaitu terdapat suatu hal yang

berada di luar jangkauan berpikir manusia, dua informan tersebut menyadari

terdapat availibility bias dalam konsep berpikir kita sehari-hari dan menyediakan

ruang toleransi untuk hal-hal yang kita pikir tidak logis. Dua informan lainnya

berpikir bahwa kehidupan akan ditanggung padepokan dan mempercayai hal-hal

gaib begitu saja tanpa menyediakan ruang nalarnya untuk meragukan itu.

Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan logis yang

ada dalam diri santri Dimas Kanjeng memang sengaja dihilangkan secara sadar

oleh santri. Santri memiliki alasan bahwa terdapat ruang dari akal manusia yang

tidak dapat menjangkau hal-hal yang terdapat di padepokan. Mereka menyadari

terdapat availbility bias yang mungkin dapat terjadi. Hal-hal yang tidak dapat

dijangkau oleh akal tersebut didefinisikan sebagai hal ghaib, seperti kemampuan

Dimas Kanjeng yang ramai diperbincangkan.

94

Santri menyampaikan bukti-bukti yang hanya mendukung argumen mereka

demi ketaatannya terhadap yang mulia Mas Kanjeng. Seperti dalam prinsip

pseudoscience yang hanya mengambil bukti-bukti yang mendukung kelogisan

mereka. Aktivitas tersebut bagi kita orang awam menyebutnya sebagai fenomena

bias konfirmasi. Berbeda di mata santri, yang mana bagi santri kepatuhan harus

selalu diperjuangkan dengan melihat sisi positif sosok yang dipuja dari celah

negatif yang selama ini diperdebatkan umat.

Santri Dimas Kanjeng tetap bertahan karena mereka telah melihat kehebatan

Dimas Kanjeng secara langsung dengan mata kepalanya sendiri, yang menurut

santri fenomena tersebut dapat diistilahkan dengan “see is believing”. Dalam hal

ini para santri meyakini bahwa para santri yang menjadi pengikut setia Dimas

Kanjeng ialah umat keturunan wali, termasuk dirinya sendiri dan juga Bunda

Marwah merupakan keturunan wali. Sehingga menurut para santri, santri yang

masih patuh terhadap Dimas Kanjeng tersebut merupakan sosok orang yang

mendapatkan hidayah, inayah, berkah never ending. Selain itu menurut santri,

Dimas Kanjeng merupakan sosok 1001 di dunia ini, yang juga diperkuat melalui

pernyataan santri berikut:

“anggota DPR kalau ditangkap, paling yang lihat dan mengurusi hanya 10

orang, kenapa DK dijemput dengan pasukan lengkap dengan senjata dan

berkuda ya kan (Pak DN, 06/09/2018).

“Mas Kanjeng farasnya yang rupawan, alisnya begitu menawan, idaman

wanita yang badannya begitu gagah”, (Pak DN, 06/09/2018).

Jika diskemakan, berikut adalah tabel faktor-faktor pemicu santri tetap

patuh terhadap Dimas Kanjeng:

95

Tabel 2. Faktor-faktor penyebab Santri tetap Patuh terhadap

Dimas Kanjeng

No. Inisial

Informan

Faktor Pemicu Santri Patuh

1. Pak MZ 1. Adanya semangat dalam mencapai tujuan atau

target padepokan yang lebih baik di masa depan.

2. Timbul karena untuk mendapat keuntungan

(ekonomi).

3. Timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng (segi

moral)

2. Pak NT 1. Merasakan hal yang tidak bisa diceritakan

(ketentraman)

3 Mas DV 1. Timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng (segi

moral).

4 Bu LL 1. Timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng (segi

moral).

2. Timbul karena kepribadian Dimas Kanjeng

5 Bu LM 1. Timbul karena untuk mendapat keuntungan

(secara ekonomi).

2. Timbul karena kepribadian Dimas Kanjeng

7 Pak SK 1. Timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng (segi

moral)

8 Pak H 1. Timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng ( segi

moral)

9 Pak SH 1. Timbul karena kepercayaannya dari orang yang

berpengaruh (bunda marwah)

10 Pak TT 1. Karena telah melihat sendiri kemampuan Dimas

Kanjeng

11 Pak DN 1. Karena telah melihat sendiri kemampuan Dimas

Kanjeng

12 Pak ZF 1. Timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng ( segi

moral)

2. Biaya operasional tinggal di padepokan

ditanggung bersama.

3.2 TINDAKAN SANTRI YANG MENCERMINKAN KEPATUHANNYA

TERHADAP DIMAS KANJENG TATKALA DIMAS KANJENG

TIDAK ADA DI PADEPOKAN.

96

3.2.1. Tindakan Santri yang Mencerminkan Kepatuhannya dengan

Mematuhi Ajaran Dimas Kanjeng.

Bagi santri Dimas Kanjeng, dengan mematuhi amanah sang guru

„Dimas Kanjeng‟ dapat meningkatkan nafsu mulhamah dan nafsu

muthma‟innah. Nafsu mulhamah atau sufiyah adalah meminimalisir

perbuatan yang tercela dengan mengembangkan sikap-sikap yang positif

melalui ilham dan keberkahan Allah seperti qona‟ah, tawadhu, dan murah

senyum. Nafsu muthma‟innah menurut santri Dimas Kanjeng adalah

ketenangan batin, lepas dari watak yang buruk, keterbukaan terhadap

sesama (tidak acuh), peka terhadap masalah yang ada di lingkungan

sekitar padepokan dalam menuju proses manusia yang sempurna perilaku

dan tutur katanya.

Menjaga kepercayaan dan berpegang teguh pada tekad merupakan

buah tangan dari ajaran Dimas Kanjeng terhadap santri-santrinya. Alhasil

karena Dimas Kanjeng selalu mengiringi langkah santri, maka diri santri

seakan termotivasi dan selalu dirangkul yang membuat pribadi santri seakan

tidak pernah lara. Bagi santri, kesedihan jika dipikirkan tidak akan pernah

ada habisnya dan tiada guna. Kebahagiaan harus selalu diperjuangkan,

dengan semangat dan tetap kuat.

Qona‟ah dan istiqomah selalu dikedepankan oleh santri dalam

menghadapi setiap ujian yang menerpa sesuai dengan nasehat Dimas

Kanjeng. Menurut santri, Dimas Kanjeng selalu mengajari bahwa dalam

hidup ini jangan sampai kita memperlihatkan kesombongan kita, kesedihan

97

kita, seberapapun sedih kita tidak akan sebanding dengan kesedihan yang

dirasakan oleh keluarga Rasul terdahulu.

Dimas Kanjeng selalu mendorong santrinya agar bersikap lapang,

terbuka dan ikhlas dalam menghadapi segala celaan. Bagi Dimas Kanjeng dan

santrinya yang terpenting ialah selalu mencoba bahagia dan berpikir untuk

umat, jadi jangan sampai larut dalam kegalauan, hati harus bersih, cemerlang

dan terang. Agar orang yang dihadapi juga bisa tenang. Selalu jadilah orang

yang bermanfaat, jangan lemah. Kebencian tidak akan bisa menghapus luka,

hanya cinta yang dapat menenangkan dan menerangkan suasana. Mas

Kanjeng selalu mengajari santri akan indahnya menuai kesabaran tatkala

kepatuhan santri dipertaruhkan dan dipertanyakan.

Akhirat adalah orientasi hidupnya, maka santri menetap di masjid

padepokan tidak pernah khawatir jika kehilangan terhadap barang-barangnya

yang terdapat di tenda. Harapan para santri, dengan menetapnya di masjid

padepokan tersebut agar shalat malamnya bisa terjaga. Shalat wajibnya

diupayakan agar tidak bolong, kemudian di masjid juga selalu termotivasi

untuk mengaji, ikut pengajian, ataupun istighosah lainnya. Selain itu, dengan

berkumpulnya santri di masjid untuk mempererat tali persaudaraan satu sama

lain yang dapat menciptakan suatu keterikatan.

Menurut santri setiap perbuatannya selalu bisa dilihat oleh Dimas

Kanjeng dan Dimas Kanjeng menurutnya juga tidak segan-segan selalu

memberi santri arahan dan petunjuk. Sehingga santri selalu berhati-hati dalam

98

bertingkah laku maupun dalam ucapan. Santri selalu diajari Dimas Kanjeng

untuk menjadi pribadi yang tidak sombong dan berbakti terhadap sesama.

Sehingga santri selalu berusaha untuk menjadi pribadi yang rendah hati,

mereka sadar bahwa semua hanya titipan Tuhan, maka dari itu amanah adalah

kunci jalan ke akhirat. Dalam kehidupan sosial santri banyak ditemui sebuah

kemesraan yang harmonis, sesama santri saling mengajari ngaji satu lain,

mengajarkan Bahasa Arab, senam, bercocok tanam, menata desain ruang dan

lain-lain di Padepokan.

Bagi santri sesuai dengan ajaran DK, hidup sendiri itu nestapa,

“ngelu”, maka untuk mencapai kata „bahagia‟ harus saling mengerti dan

memahami satu sama lain, kesadaran akan tanggung jawab sosial bagi santri

sangat penting dalam kehidupan bersama di Padepokan Dimas Kanjeng. Hal

tersebut senada dengan pendapat Emile Durkheim (1858-1917), yang

menyatakan bahwa: “the only power that can decrease the egoism is the

strength of the group. Kepatuhan para santri diuji paska penggrebekan

Dimas Kanjeng. Mereka dipulangkan ke rumah masing-masing oleh

kepolisian.

Realitasnya, mereka banyak yang kembali lagi. Bagi mereka yang

patuh tentu saja mereka akan kembali dengan alasan ajaran yang telah

diajarkan Dimas Kanjeng masih melekat pada diri mereka dan para santri

ingin berjuang untuk kemaslahatan umat. Bagi mereka yang tidak kembali,

karena tidak memiliki kepercayaan terhadap Dimas Kanjeng dan

99

padepokan, pasti akan terseleksi alam. Realitasnya masih banyak para santri

yang bertahan di padepokan.

Santri patuh terhadap DK dengan menerima dan melaksanakan

perintah Dimas Kanjeng begitu saja, sesuai dengan pernyataan santri

berikut:

“Ilmu yang diajarkan oleh Dimas Kanjeng sudah bukan ilmu syari‟at lagi.

Ibaratnya ilmu lakon dalam bahasa Jawa. “Ini lakukan!” seperti itu. Nah

kalau sudah menginjak seperti itu ibarat dikata tidak boleh ada pertanyaan

“kok begini sih?” nggak boleh memang kalau kita dulu menyantri di

pesantren juga seperti itu. Tidak boleh banyak bertanya kan. Kalau

diperintahkan “kamu ke utara!”, tidak boleh bertanya “kenapa ke utara?

Apa yang harus dicari? (Pak DN, 17/09/18).

Kepatuhan santri terhadap DK dicirikan dengan rasa taat santri pada semua

ajaran Dimas Kanjeng tanpa menimbang resikonya, seperti pernyataan

santri berikut:

“Karena tadi dasarnya kalau bicara logika, di sini bukan logika yang

dibicarakan. Jadi di padepokan sini, intinya kami betah karena kepatuhan.

Apapun kegiatannya dan resikonya, itu adalah sebuah kepatuhan.

Kepatuhan tidak mengenal ngeluh dengan alasan apapun“

Kepatuhan santri terhadap DK membuat kepribadian santri menjadi

lebih eksklusif. Hal tersebut sesuai dengan kutipan wawancara berikut:

“Saya itu kagumi alhamdulillah punya guru mas Kanjeng ini, seolah-olah

dikatakan sebagai walinya Allah ini, artinya bener-bener bisa

dimanfaatkan. Biar pun kata orang dihina, dicaci, dicemooh segala macem,

kami bangga. Daripada kita dipuji lebih baik kita dihina (Pak DN,

17/09/18).”

Informan patuh terhadap padepokan dan meyakini segala ajaran

(moral) yang diberikan oleh Dimas Kanjeng. Informan percaya bahwa

setiap ucapan Dimas Kanjeng pasti terjadi, seperti halnya pada pernyataan

santri berikut:

100

“Iya dulukan sampean pernah denger di tv kan hebatnya gimana. Dimas

Kanjeng gimana, gimana.. Biarin aja. Dia dulu juga ada cerita nanti

padepokan akan ramai, banyak dikunjungi orang. Tapi, kita gak ngerti

maknanya, tapi kalau dipelajari yang mana, ya seperti ini ramai dikunjungi

orang gara-gara ada kejadian seperti ini. Ini ada hikmahnya kejadian

seperti ini supaya dunia itu tau bahwa padepokan itu ada. Ini memang

sejarahnya, dalam sejarah hidup Islam seperti ini. Memang perjalanan

perjuangan seperti ini. Nah supaya dunia itu tau. Kalau gak gitu gimana

dunia tau kalau masalah di padepokan ada hikmahnya (Pak ZF, 21/09/18).

“Kita juga sudah diajarkan umpama dalam batasan agama „Lakum

dinukum waliyadin‟ sekalipun kawan kita di sini ada yang Nasrani ada

yang Hindu, tetap mejalankan ibadahnya sesuai keyakinan mereka. Berdoa

tetap bersama tapi masalah ke masjid kan ada batasannya (Pak ZF,

24/09/18).

3.2.2. Tindakan Santri yang Mensuport Dimas Kanjeng setelah Dimas

Kanjeng menjadi Tersangka.

Santri tatkala mengunjungi Dimas Kanjeng, tidak hanya dengan

tangan hampa, namun santri selalu berusaha untuk merebus kentang kecil-

kecil dan ketela untuk diberikan kepada pujaan hatinya tersebut.

Berdasarkan cerita santri, makanan yang direbus seperti singkong rebus

merupakan makanan yang disukai Dimas Kanjeng. Dimas Kanjeng kurang

menyukai makanan yang digoreng, terlebih lagi junk food.

Selain itu santri selalu melakukan berbagai upaya dalam mewujudkan

cita-citanya, yaitu Dimas Kanjeng kembali. Berkat perjuangan santri dan

kuasa hukum Dimas Kanjeng yang tidak kenal mundur dan lelah, Dimas

Kanjeng yang awalnya divonis hukuman seumur hidup, menjadi divonis

hukuman penjara 18 tahun. Kemudian berkat kerja keras santri dan kuasa

hukum Dimas Kanjeng, akhirnya menjadi hanya divonis hukuman 4 tahun

penjara.

101

3.2.3 Kehidupan Sosial dan Ekonomi Santri setelah Dimas Kanjeng menjadi

Tersangka

Siapa yang tidak mengenal santri si Taat Pribadi. Tatkala menurut

orang hartanya telah habis-habisan, rumahnya sudah tergadaikan, hutangnya

sana-sini. Santri Taat Pribadi tetap berdiri dengan gagahnya. Santri yakin

akan sayap yang menjadi kekuatannya. Santri selalu tabah dan

membebaskan dirinya dari kecemasan-kecemasan yang menerpa.

Kehidupan santri bagaikan jejak si elang yang selalu semangat dalam

menerbangkan sayapnya. Sebagian santri di setiap harinya selalu berkeliling

menggunakan sepeda onthel untuk berjualan es dung-dung, kue, keripik dan

makanan ringan lainnya untuk menyambung hidupnya di padepokan. Selain

itu sebagian santri jika keluar kemana-mana lebih suka jalan kaki dari pada

naik ojek ataupun naik mobil pribadi, hal tersebut menurutnya sebagai salah

satu upaya untuk berlatih hidup sederhana seperti apa yang telah diajarkan

oleh gurunya “Dimas Kanjeng”.

Dermawan adalah suatu kehormatan dan keabadian yang teramat

mengesankan. Bagi santri keikhlasan adalah kekuatan dan ketabahan adalah

suatu pilihan. Ya begitulah roda kehidupan santri, dengan segala kemelut

hidup dan kegundahan hatinya, namun santri selalu berusaha berdiri

kembali dan melawan nasib buruk yang membelenggunya. Intinya, santri

tidak pernah mau dikalahkan oleh “ujian”. Santri selalu memiliki alternatif

rencana lain, tatkala menghadapi sepak terjang permasalahan.

102

Santri selalu siap baik dari segi mental, batin, maupun kepercayaan

diri yang matang. Salah satu kunci yang selalu dipegang oleh santri adalah

yakin saja semua pasti bisa terlampaui, santri selalu mencintai setiap proses

jalan hidupnya. Tatkala menjalani di setiap proses kegiatan di Padepokan

Dimas Kanjeng, santri selalu berupaya untuk bisa menerima semuanya dan

berupaya berdaptasi di setiap kondisi apapun (mengkondisikan diri di

padepokan). Always be happy and take it easy, begitulah komitmen para

santri si Taat Pribadi. Santri selalu menyambut dengan ikhlas dan senyuman

dari setiap ujian yang menghampiri.

Sekitar 700 santri masih berada di padepokan. Para santri ini tinggal di

tenda-tenda belakang rumah Dimas Kanjeng yang telah di sita dan ada juga

yang ngekos di sekitar padepokan. Bagi santri meskipun uang yang

dijanjikan oleh DK dan harta karun yang berada di padepokan misalnya

nanti tidak cair akan tetap berjuang demi umat, dengan membangun 1000

universitas, 1000 pondok dan 1000 rumah sakit gratis bagi umat dengan

dana yang diperoleh dari iyuran pribadi para santri. Bagi santri, santri masih

tetap 100% yakin bahwa uang yang dijanjikan DK tersebut bakalan cair,

hanya saja harus sabar menanti terlebih dahulu, selain itu juga harus tirakat

terlebih dahulu, agar segera cair.

Bahkan tatkala DK telah divonis hukuman seumur hidup, santri selalu

yakin bahwa suatu saat DK akan kembali memimpin padepokan lagi dan

padepokan berjaya kembali. Dalam menunggu uang yang menurutnya akan

segera cair tersebut santri tetap lapang dan selalu berpikir positif. Menurut

103

santri segalanya tentang DK tanpa perlu ada yang diragukan lagi. Santri

menyamakan kisahnya dengan kisah Nabi Musa A.S., yang selalu sabar

menunggu tongkatnya hingga akhirnya membuahkan hasil, kuncinya adalah

qona‟ah.

Padepokan menjadi tempat santri untuk menimba ilmu agama,

mengamalkan dan bertanggung jawab atas ilmu yang mereka miliki. Kesan

pertama ketika mendengar kata “padepokan” pasti identik dengan sesuatu

yang berbau agamis. Pembelajaran yang juga identik dengan prioritas

menyempurnakan hubungan vertikal santri dengan Sang Pencipta. Kesan

memperdalam ilmu agama lebih dari sekedar lekat ketika pendidikan

bertajuk padepokan digemborkan.

Akan tetapi agama rupanya telah ikut mendorong terciptanya

kewajiban-kewajiban sosial dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi

menyalurkan sikap para anggota masyarakat dalam menetapkan kewajiban-

kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu

menciptakan sistem nilai sosial yang terpadu (Nottingham, 1970). Sistem

sosial yang dimaksud ialah lebih pada sistem pembagian kerja antara santri

putra dan putri di padepokan.

Pembagian kerja antara santri putra dan putri dikonstruksi dengan

menguatkan nilai-nilai maskulinitas. Hal tersebut telah terjadi seperti halnya

di Padepokan Dimas Kanjeng. Konstruksi nilai-nilai maskulinitas

melemahkan feminisme dengan telak. Pembawaan nilai agama Islam yang

104

kuat dengan dalil dominan bahwa “laki-laki ialah imam dan pemimpin

dalam keluarga”.

Fakta yang tidak lagi mengejutkan ialah bahwa pemimpin Padepokan

Dimas Kanjeng ialah seorang laki-laki. Realisasi lain dalam kehidupan

nyata di padepokan dapat dilihat setiap shalat lima waktu, imam dalam

ibadah shalat mereka adalah laki-laki. Benar adanya, budaya tersebut tidak

dapat ditawar dan diganggu gugat karena memang sudah dituliskan dalam

ayat suci Al-Qur‟an juga demikian. Faktanya perempuan masih saja identik

dengan tempat yang akrab disebut dengan dapur.

Setiap pagi dan sore santri putri sebagian memasak di bagian belakang

tenda santri. Sebagian lagi berkumpul di belakang aula bersama, tentu

menjamah tempat yang bernama dapur. Bukan hanya santri ibu-ibu bahkan

santri anak-anak juga diajari untuk memasak. Bahkan salah satu narasumber

kecil saya bercerita bahwa setiap hari Minggu sore ia diajari untuk memasak

berbagai makanan yang salah satunya ialah membuat kue.

Santri laki-laki memegang kendali dengan mengordinasi padepokan.

Jajaran kursi petinggi Padepokan Dimas Kanjeng juga didominasi oleh

santri laki-laki. Selain itu penjaga pintu depan padepokan juga santri laki-

laki. Hal tersebut menunjukkan bagaimana sudut pandang bahwa santri laki-

laki ialah yang lebih mampu dikenal sebagai penjaga dan pengordinasi telah

105

dikonstruksi secara sosial di padepokan. Penanaman nilai-nilai maskulinitas

yang tanpa disadari telah tumbuh di setiap lapisan usia dan situasi.

Gender memang sesuatu yang abstrak dan pengaplikasiannya

tergantung pada masyarakat pembawanya. Padahal Agama Islam

mengonstruksikan bahwa perempuan dan laki-laki itu sejajar. Telah

ditegaskan dalam Al-Qur‟an (Q.S Al Hujurat :13) yang menyebutkan bahwa

dari asal kejadiannya. Islam tidak percaya kemuliaan berdasarkan faktor-

faktor, seperti suku, keturunan atau jenis kelamin. Realitas lapang yang

harus diterima dengan lapang dada akan terus terjadi tanpa ada keinginan

dari santri sendiri untuk mensukseskan perubahan bertajuk kesetaraan

gender dalam nafas Padepokan Dimas Kanjeng. Selalu memuliakan laki-laki

menjadi budaya yang dipatui oleh para santri.

3.3 Persepsi Santri terhadap Dimas Kanjeng paska Dimas Kanjeng di Lapas

Santri Dimas Kanjeng menganggap Dimas Kanjeng bagaikan Sunan

Kalijaga yang terepresentasikan sebagai tokoh yang dapat beradaptasi

secara lahir maupun batin di tempat yang baru dengan tetap menjaga

kesucian hatinya. Tatkala Dimas Kanjeng di tahanan, Dimas Kanjeng tetap

berbesar hati untuk menerima kenyataan dan tetap tersenyum untuk

menyapa santri tatkala santri mengunjunginya di lapas. Hal tersebut yang

menguatkan santri Dimas Kanjeng untuk tetap patuh terhadap ajarannya

dan semangat untuk menjenguk Dimas Kanjeng di lapas dalam setiap

minggunya (tiap hari kamis).

106

Ketika banyak sekali cibiran dari masyarakat luar yang mengatakan bahwa

padepokan itu sesat, Dimas Kanjeng penipu, informan menjawab:

“Kita enjoy saja, cuek saja. Seiring berjalannya waktu nanti pasti

akan terjawab kok. Kalau bisa tetap kita jelaskan (Pak MZ, 06/08/18).

“Sampai kita tantang, ayo kalau mengatakan sesat, kita

komunikasikan di masjid. Sesatnya di mana. Siapa kiai nya (Pak MZ,

06/08/18).

Dengan semangatnya yang menggebu untuk mendukung DK, santri

tidak akan pernah mau untuk menyerah. Selain itu, santri selalu

menggambarkan sosok Dimas Kanjeng seperti kepribadian Semar. Hal

tersebut juga termanivestasikan dalam bentuk bangunan patung Semar yang

terdapat di pendopo agung Padepokan Dimas Kanjeng. Semar dijuluki

sebagai Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya yang diartikan memiliki sikap

yang sederhana, kalem, tenang, tidak sombong, tulus, murah senyum,

berwawasan, genius, apa adanya (tidak munafik) dan memiliki rangsangan

qolbu yang tajam (Hermawan, 2013: 13-14).

Semar merupakan konstruksi pujangga lokal nusantara. Semar

berperan sebagai orang tua dari golongan ksatria. Bentuk fisik dari sosok

semar dinilai sangat artistik. Peran semar sebagai penasehat, penglipur lara

yang bijak. Dalam permainan pewayangan, Semar menunjukkan dirinya

bahwa budi pekerti yang adiluhung dapat mendorong kehidupan manusia

yang lebih sejahtera untuk mencapai derajat yang lebih baik. Sosok Semar

yang paling diistimewakan dibandingkan tokoh yang lain (Hermawan,

2013: 11-12). Hal tersebut yang memicu tingkat kepercayaan santri akan

107

kekuatan Dimas Kanjeng semakin mendalam dan takut jika dirinya tidak

patuh terhadap gurunya tersebut.

Menurut santri, petuah sosok figur „Dimas Kanjeng‟ harus selalu menjadi

panutan bagi santri di setiap langkah dalam menghadapi segala ujian di setiap

haluan. Selain itu yang membuat santri tetap tangguh bertahan di Padepokan

Taat Pribadi dengan segala cibiran yang ada, santri selalu ingat akan komitmen

bersama para santri dalam mewujudkan padepokan yang bervisi misi

“rahmatan lil alamin”. Bagi santri setiap amanah sekecil apapun harus segera

dituntaskan dan diupayakan, tanpa memperhatikan perasaan diri kita sendiri.

Meskipun santri telah kehilangan panutannya, yaitu “Dimas Kanjeng”

untuk sementara waktu setelah ditetapkannya vonis hukuman untuk Dimas

Kanjeng atas kasus pembunuhan. Santri tetap merasa bahwa gurunya tidak

pernah pergi dalam hidupnya, justru menurut santri sang guru „Dimas Kanjeng‟

selalu ada di alam pikiran “ideasional”, di hati dan membimbingnya melalui

mimpi. Santri yakin jika kepergian Dimas Kanjeng hanya untuk sementara

waktu “pergi untuk kembali”. Bagi santri tetap yakin adalah kunci ketaatan dan

keberhasilan dalam menghapus duka.

Santri tidak lelah-lelahnya menerima hujatan sana-sini yang mengatakan

bahwa santri Padepokan Dimas Kanjeng sesat, bodoh, tolol mau diperdaya

sana-sini. Namun santri tidak pernah merasa tersakiti dan juga tidak merasa

bahwa dirinya ialah korban. Selain itu santri selalu menggunakan kemampuan

108

berpikir kritisnya untuk menyongsong masa depan yang cerah demi jayanya

padepokan kembali dan menghiraukan segala duri yang ingin menusuknya.

Bagi santri seberat apapun masalah hidup yang terlihat, masih banyak hal

positif yang dapat dilakukan dalam menuju kesuksesan, yang terpenting ialah

tidak menyerah akan kenyataan ataupun ujian.

Menurut santri, dirinya telah berguru kemana-mana, namun hanya

dengan Dimas Kanjeng yang menurutnya cocok. Pencarian makna dan nilai-

nilai bagi santri memerlukan waktu yang tidak sebentar. Jadi bagi santri,

menemukan sosok Dimas Kanjeng bagaikan menemukan jodoh di tengah jalan

yang abu-abu. Jika sebagian orang berkata bahwa ajaran Dimas Kanjeng sesat,

mungkin hal tersebut bagi persepsi santri adalah sebuah ketidakbenaran.

Padepokan menurutnya telah berdiri sekitar 11 tahun yang lalu dan sudah

dikenal di seluruh Indonesia. Banyak santri berpendidikan tinggi dan hidup

mapan justru memilih Padepokan Taat pribadi untuk belajar arti kehidupan.

“Tentunya orang-orang yang berpendidikan tinggi ini memiliki pemikiran yang

sangat cerdas dan maju”, ucap seorang santri.

Santri Dimas Kanjeng memiliki segudang cerita terkait panutannya

tersebut, yaitu Dimas Kanjeng. Bagi santri Dimas Kanjeng merupakan wali

Allah, keturunan Rasulullah, titisan Raja Salman dan lain-lain, “pokok

segalanya yang baik-baik ada di dalam diri Dimas Kanjeng seorang”, ucap

santri. Bahkan sosok Ibunda Marwah Daud Ibrahim, tatkala mengurusi

penyelesaian kasus hukum Dimas Kanjeng, meskipun memiliki mobil pribadi,

namun Probolinggo-Surabaya dilaluinya dengan mengendarai bus ekonomis

109

hanya demi Dimas Kanjeng tidak menjadi masalah. Hal tersebut menurutnya

sebagai salah satu upaya untuk membagikan rejekinya terhadap umat seperti

halnya yang diajarkan oleh Dimas Kanjeng. “jika semua naik taksi, lantas

siapa yang akan mengasih rejeki para sopir bus”, begitulah ujarnya. Belajarlah

mengasihi sejak hari ini untuk esok yang lebih baik lagi (delaying-

gratification).

Santri yakin bahwa Dimas Kanjeng merupakan wali ghoni yang

nantinya diberikan amanah untuk mensejahterakan umat di dunia ini, dan juga

yang dapat mewariskan seluruh harta dari kekayaan almarhum Bung Karno.

Santri percaya akan hal itu semua, menurutnya hanya Dimas Kanjeng yang

nantinya dapat mengentaskan kemiskinan di dunia ini. Langit seakan tanpa

bintang tatkala padepokan tanpa ada binaan dari Taat Pribadi. Menurut santri,

senyuman yang ditampilkan sehari-harinya hanyalah kebohongan palsu dari

santri. Karena sejatinya santri merasa sepi dan pudar tanpa adanya sosok

panutannya yaitu Mas Kanjeng Taat Pribadi.

Bagi santri, Dimas Kanjeng tidak henti-hentinya untuk selalu men-suport

santri-santrinya dan juga menginspirasinya. Bagi Dimas Kanjeng kebahagiaan

santri dan juga umat di seluruh dunia ini jauh lebih utama dibandingkan dengan

keluarganya sendiri. Dimas Kanjeng selalu mengajarkan santrinya untuk

berbuat baik terhadap siapapun dan juga tidak memihak siapapun.

Mengajarkan santri untuk selalu let it out ketika santri menghadapi suatu

permasalahan agar tidak memendamnya sendiri, namun saling diutarakan,

110

dikomunikasikan dengan teman-teman terdekat dan menyikapi segala

persoalan dengan kepala dingin, tetap bersyukur, berusaha melihat hikmahnya.

Bagi Dimas Kanjeng, pencarian anugrah dalam keadaan yang tidak

menyenangkan memerlukan waktu dan kesabaran yang tiada batas. Dimas

Kanjeng juga mengajarrkan santrinya untuk menumbuhkembangkan growth

mindset dan menjauhi kepribadian yang impulsif, naïf, apalagi manipulatif.

Berusaha menerima kenyataan dan sadar diri bahwa penderitaan merupakan

sebuah gerbang awal memasuki proses pembelajaran adalah sikap yang selalu

ditekankan Dimas Kanjeng untuk para santrinya. Dimas Kanjeng menegaskan

ke santri bahwa empati, penderitaan merupakan pondasi awal dalam

membangun kepribadian yang berkualitas dan optimis.

Alhasil santri merasa terpesona dengan niat baik Dimas Kanjeng

tersebut. Dimas Kanjeng tidak ingin disebut guru ataupun yang mulia. Bagi

Dimas Kanjeng dirinya tidak lebih dari teman santri sendiri yang sudah

seharusnya saling mengingatkan. Bagi Dimas Kanjeng tidak perlu title atau

sebutan yang mulia bagi dirinya. Bagi Dimas Kanjeng yang terpenting ialah

santri selalu mengingat Dimas Kanjeng. Dimas Kanjeng berharap agar santri

selalu semangat dan berbuat baik dalam keadaan apapun.

“Mas Kanjeng itu walillah (walinya Allah), keturunan Wali, tapi apa

pernah mbak Mas Kanjeng itu minta dipanggil wali, guru, ataupun

syech, ora pernah mbak, “panggil saja saya mas saja yah”, gitu kata

mas kanjeng mbak. Ora gemen-gemen mbak, Mas kanjeng itu keturunan

Raja Salman, orang-orang hebat saja pada berdatangan kesini mbak.

Artis saja pada banyak yang menjadi santrinya, hanya saja sementara

mereka menutup diri terlebih dahulu agar tidak terkena sanksi

administratif. Didi Kempot saja pernah manggung di sini mbak, Siti

111

Nurhaliza juga menjadi salah satu dari santri DK. Didi Kempot, Siti

Nurhaliza, Prabowo dan masih banyak artis lainnya yang menjadi santri

DK mbak. Pokoknya to sebentar lagi kalian pasti tau siapa Mas Kanjeng

sebenarnya, dunia pasti bertekuk lutut padanya”, cerita Ibu L dengan

rasa fanatis dan kekagumannya yang begitu mendalam terhadap DK.

“Guru kita diberi mandat karena guru kita sendiri tidak boleh menikmati,

coba bayangkan bisa segitu..diberikan amanah sebegitu besarnya

sebegitu beratnya untuk diri sendiri dan keluarga saja tidak

diperbolehkan gimana kira-kira ada yang mau nggak orang-orang

seperti itu? tidak mau yang penting keluarga kita kaya, keluarga kita

sendiri nyaman tapi tidak seperti itu yang diajarkan di sini penuh dengan

nilai yang terpuji” (Pak MZ, 27/08/18).

Narasumber memaparkan kelebihan dari DK sebagai seorang guru

di matanya. Jika dikaji dari teori otoritas Max Weber sosok DK masuk ke

dalam otoritas karismatik karena tipe kepemimpinan yang keabsahannya

diakui oleh kualitas, keistimewaan, keunggulan. Narasumber

membandingkan sosok DK dengan orang kebanyakan yang menurutnya

tidak akan bisa menerima amanah seberat itu. DK adalah sosok yang

tepat untuk mengemban amanah itu (kemampuannya menghasilkan uang

lewat tangannya)

“sejarah presiden kita soekarno juga dipenjara, pernah kan? Ya

kan? Pernah diceritakan kan? presiden kita siapa lagi Pengeran

Dipenogoro pahlawan-pahlawan nasional kita pernah dipenjara.

Begitu pula rasulullah pernah diasingkan pernah kan? Sampai 40

hari di Gua Hira ber-khalwah untuk apa semuanya itu? Ya mikirin

umat. Coba kalau nggak untuk itu bersembunyi di Gua Hira

mending ke sana ke mekkah tidur nyaman ada istri. Di padepokan

juga seperti itu”

“Intinya di sini memahami karakter adat istiadat bagaimana dan

lain sebagainya, di sini kebersamaan. Jadi di sini orangnya semua

elemen ada ( 18/09/18)

112

Kesetiaan Pak H terhadap DK ditunjukkan dengan penilaiannya terhadap

sosok DK. Selain itu juga peran DK dalam menuntun jalan hidupnya.

“Oke aaaa.. sosok yang mulia orang yang bersahaja kemudian dia tidak

pernah menampilkan emosinya, dia selalu menghadapi suatu persoalan itu

dengan..ee..ee dengan dengan apa ya..kasarannya dengan kepala dingin

gitu ya”

“Jadi sosok beliau seperti sosok seorang bapak bagi kita, sebagai orang tua

di mana ia mendidik kita seperti anak yang tidak tahu apa-apa, tapi dia

tidak menjajalkan kita dengan sebuah teori, namun menjejalkan kita dengan

sebuah contoh saat dia menghadapi orang yang bermasalah dengan dia.

Dia hadapi dengan senyuman pada saat kita memberi masukan (Pak H,

5/09/18)

“Yang mulia hanya mau dipanggil mas kanjeng, sementara sebutan „yang

mulia‟ itu kita memaksakan diri untuk menyebut beliau seperti itu, karena

penghormatan kita. Sehingga kalau yang mulia menolak untuk disebut itu.

Bagi kita masa bodoh ah yang mulia mau marah atau apapun itu tapi yang

penting aku mau memuliakannya dengan sebutan itu (Pak H, 07/09/18).

3.4 Trik Santri dalam Menjaga Kepatuhannya terhadap Dimas Kanjeng

melalui Permainan Bahasa.

Santri dalam merealisasikan kepatuhannya terhadap gurunya salah

satunya dengan trik menghubung-hubungkan segala hal dengan kekuatan

trans-rasional.

“Ada salah satu santri di sini namanya Pak Hendrik dari Padang. 4

tahun sudah di sini. Yang mulia bertanya pada Pak Hendrik, “Hendrik,

kamu disini yakin ndak? Kalau memang yakin, di sini tidak akan

kelaparan.” Sampai hari ini, ia tidak pernah kesulitan. Selalu ada saja

secara ghaib orang telfon, kirim uang (Pak H, 07/09/18).”

“Dari Kejaksaan Kraksaan sudah tahu apa yang dikerjakan yang mulia,

yang katanya dikatakan sesat, yang dibilang penipu. Yang mulia proses

begini aja, uang keluar (tuturnya sambil menggesekkan tangan).”

113

Mayoritas santri DK merupakan seseorang yang kukuh dengan

kepatuhannya terhadap gurunya tanpa peduli banyak pihak yang berlawanan

dengan tetap mempertahankan argumennya untuk melindungi sosok yang

menjadi panutan. Kepatuhan santri terhadap DK juga dicirikan dengan

sikap santri yang begitu mengagumi bahwa DK merupakan sosok BIG

MAN. Bapak Toto, memperlihatkan segala akik yang telah diberikan oleh

DK dan akik tersebut katanya ingin dibeli orang luar berapapun tidak

dikasihkan.

“akik dari pemberian Yang Mulia itu tidak sembarangan akik, pernah ada

santri lain yang meminjam salah satu akik ini untuk dipakai ke pasar

Wangkal, namun disertai rasa ria dalam memakainya, ya sampailah akik

ini di Padepokan lagi. Lhoh teman saya yang pinjam akik tadi bingung

mbak, kok tiba-tiba akiknya menghilang. Ternyata balik kembali ke

padepokan tanpa sepengetahuannya. Ya itulah mbak kehebatan Yang

Mulia (Bapak T, 19/08/18).

“tiap malam sebenarnya tidak pernah ada yang mengabsensi mbak, santri

A shalat malam tidaknya, istighosah tidaknya, karena sangking banyaknya

santri jadi ya kesadaran kolektif masing-masing mbak, ngoten niku sopo

sebenere mbak ingkang ngabsensi, tidak ada, anehnya yang mulia ngertos

mbak kami sebagai santri berbuat apa saja dan anehnya kami selalu

dibimbing lewat mimpi mbak” (Ibu L, 19/08/18).

“Ayoh sopo wonge sing ngelek-elek Mas Kanjeng uripe bakal ciloko. MUI

iku sesama orang islam kok menghujat sini. Jika sudah seperti itu, menteri

agama sudah seharusnya hadir di tengah-tengah polemik yang ada”,

papar Ibu LM dengan suara yang menggebu-nggebu dengan wajah yang

kesal dan terlihat menyimpan benci yang mendalam terhadap orang-orang

yang menghujat DK.

Pak Z merasa mampu berkembang dengan menangkap maksud implisit dari

bimbingan Dimas Kanjeng.

“Jadi sebagai santri ini sebenarnya diberikan sebuah kebebasan untuk

membuat program yang menyangkut umat itu seperti apa, tetapi tetap ada

rambu-rambunya, itu yang selalu kita perhatikan yang terus kita jadikan

dasar untuk melangkah (Pak ZF, 5/09/18)

114

“Ya katanya kita di sini seperti awal tadi kita di sini hanya meningkatkan

pemahaman dan rasa, jadi di sini itu dari keberagaman kita. Kita di sini

disuruh untuk menata hati, nah memperbaiki, menata hati dan kita kembali

membaca jati diri kita sebenarnya” (Pak ZF, 5/09/18).

“Kita memahami perjalanan bagaimana kita menjadi hamba yang benar,

bagaimana bermakrifat yang benar, bagaimana kita bersyariat yang benar,

bagaimana kita berbudaya ketimuran, kita kembalikan kepada wadah yang

benar (Pak ZF, 28/09/18).

Pak ZF mampu memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai ajaran agama yang

benar dari Dimas Kanjeng.

“ilmu belajar menata hati ya katanya kan barangsiapa yang telah mengenal

dirinya maka ia akan mengenal Allah. Apabila seseorang mengenal Allah

maka hidup ini nggak ada hanya semata-mata hidup, ini kita sembahkan

pada Allah ( Pak ZF, 26/09/18).

“Memaafkan itu lebih mulia daripada memberi maaf, kemudian setiap

kesalahan pada saat orang bertaubat atau menyesali perbuatannya adalah

cikal bakal orang bertaubat dan harus diterima harus dirangkul (Pak H,

18/09/18).

“sampeyan belum ketemu sama Nabi Muhammad kenapa masuk Islam?

karena kita melihat jadi yakin. Kalau kita di sini ya logika harus

ditangkalkan (Pak DN, 18/09/18).

Narasumber ingin menjelaskan bahwa ia telah melihat DK mengeluarkan uang

dari tangannya dan tidak ada pilihan lagi selain untuk percaya dan patuh sepatuh-

patuhnya.

116

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan mengulas berbagai temuan lapang yang terdapat pada

bab 3 yang dianalisis dengan berbagai konsep dan teori yang terdapat pada

bab 1. Pada akhirnya, sikap patuh yang dilakukan oleh santri Dimas Kanjeng

tidak lain adalah produk budaya yang bersumber dari kognisi santri Dimas

Kanjeng. Pada hakikatnya, seluruh tingkah laku kepatuhan santri Dimas

Kanjeng beserta materialnya dalam mendukung sikap patuh tersebut tidak

lain adalah akibat dari olah pikir atau gagasan dari santri dalam berkreasi

atau mengembangkan ide-idenya.

Pada bab ini, pada intinya akan dijelaskan apakah faktor-faktor

penyebab budaya kepatuhan yang tumbuh di Padepokan Dimas Kanjeng

sesuai dengan teori yang telah ada sebelumnya, atau justru menentang dan

menghasilkan teori baru. Dalam konteks ini saya menggunakan antropologi

kognitif sebagai alat analisis yang menyatakan bahwa bahasa dapat

mempengaruhi pola pikir manusia. Bahasa sebagai keyword atau unsur

utama terhadap terbentuknya kebudayaan secara kolektif.

4.1 Studi Antropologi Kognitif terhadap Faktor Pemicu Santri sangat

Patuh terhadap Dimas Kanjeng.

Dari 12 narasumber serta kedelapan informan lainnya dapat disimpulkan

bahwa Ajaran Dimas Kanjeng tentang makrifat merupakan faktor utama

117

pemicu santri enggan berkhianat (patuh) terhadap Dimas Kanjeng. Hal

tersebut sesuai dengan diagram yang terdapat pada gambar 1 di bawah ini:

Gambar 2. Diagram Kuantifikasi Penyebab Santri sangat Patuh terhadap Dimas

Kanjeng

Berdasarkan hasil temuan lapang di atas, jika dikaji berdasarkan perspektif

antropologi kognitif (proses berpikir manusia), ajaran DK merupakan sistem

kognisi sebagai struktur kelembagaan dalam otak santri Dimas Kanjeng yang

dapat membentuk kepatuhan santri terhadap Dimas Kanjeng. Hal tersebut senada

dengan konsep antropologi kognitif oleh Ward Goodenough. Pada konteks ini

ditegaskan bahwa ajaran Dimas Kanjeng meskipun bersifat imajiner (ideasional),

namun ajaran tersebut menjadi pedoman hidup para santri untuk memutuskan dan

menyikapi hal-hal apa saja yang harus dilakukan demi kehidupannya dan hal

mana saja yang perlu ditinggalkan. Melalui ajaran DK, santri dapat merasakan

kehidupan yang sesungguhnya yang membuat dirinya merasa nyaman. Kelekatan

dan keintiman yang diberikan Dimas Kanjeng kepada santrinya membuat santri

selalu merasa terlindungi “aman”.

0%5%

10%15%20%25%30%35%40%

Kenyamanan

Kesamaan Tujuan

Ajaran

Magic

Motif Ekonomi

Keyakinan Askriptif

Faktor Pemicu Santri Patuh terhadap

118

Menurut Ward Goodenough (1963) seorang pelopor antropologi kognitif,

menekankan bahwa ajaran Dimas Kanjeng tentang makrifat dan paternalistik yang

disampaikan secara berulang kali dalam komunitas Padepokan Dimas Kanjeng

dapat membentuk culture kepatuhan santri terhadap gurunya. Meme altruisme

resiprokal yang selalu diajarkan oleh Dimas Kanjeng juga mempengaruhi pola

pikir santri untuk selalu patuh dan tunduk terhadap Dimas Kanjeng. Santri

akhirnya menyebarkan dan mengembangkan sikap altruisnya dengan berbuat baik

terhadap sesama dengan melayani masyarakat sekitarnya dan tamu sepenuh hati

tanpa pamrih. Hal tersebut saya rasakan sendiri tatkala saya melebur di

padepokan.

Proses kognitif dijadikan santri sebagai alat untuk menganalisis

kepribadiannya. Pemikiran dan proses pendewasaan santri Dimas Kanjeng dapat

berkembang dalam konteks sosial Padepokan Taat Pribadi selama proses

perjalanan hidupnya. Santri mengembangkan sistem evaluasi diri sesuai yang

diajarkan oleh Dimas Kanjeng dan peraturan Padepokan Taat Pribadi.

Interaksi sosial yang berlangsung di Padepokan Dimas Kanjeng, dapat

mengeksplorasi potensi santri dalam mengembangkan proses pemahaman dan

penalaran sadarnya untuk menuntun segala tingkah laku santri Dimas Kanjeng.

Berbeda halnya dengan teori behaviorisme dalam perspektif psikologi yang lebih

menekankan pada individu sebagai pihak yang dikontrol oleh sanksi dan reward

dari lingkungan sekitar. Antropologi kognitif berpandangan bahwa individu tidak

sepenuhnya “dikontrol”, namun kecerdasan seseorang dalam berpikir memiliki

119

pengaruh kepada santri Dimas Kanjeng untuk “memotivasi” dan mengarahkan

segala perilaku dan pengalaman diri santri sendiri.

Semua struktur kognitif para santri Dimas Kanjeng saling berinterelasi dan

berbagai pengetahuan baru disetarakan dengan pola yang selama ini telah

diajarkan oleh Dimas Kanjeng. Beragam ancaman yang masuk, tidak membuat

santri lengah dalam beradaptasi di Padepokan Dimas Kanjeng. Santri cenderung

memahami pengalaman hidup yang bertebaran muncul terhadap dirinya, dengan

tetap mengacu pada pengetahuan yang telah diajarkan oleh Dimas Kanjeng dan

dipatrikan oleh santri. Informasi baru yang bersifat kompleks dan banyak beredar

dalam kehidupan santri, diintegrasikan oleh santri sesuai dengan skema ajaran

yang telah disampaikan oleh Dimas Kanjeng.

Santri Dimas Kanjeng saling mengisi satu sama lain dalam kondisi apapun,

baik yang sifatnya asimilasi maupun akomodasi. Hal tersebut mendorong

berkembangnya konsep konstruktivisme, yang berarti bahwa santri Dimas

Kanjeng tidak serta merta menerima wawasan dari Dimas Kanjeng secara pasif

„otak kosong‟. Sistem budaya yang telah dibentuk Dimas Kanjeng mengingatkan

santri untuk melakukan dan berpikir apa yang seharusnya dipikirkan, lalu cara

berpikir yang semestinya dalam mencapai keyakinan dan tujuan kolektif. Lev

Vygotsky (1886-1934), menegaskan bahwa perkembangan kognitif melahirkan

proses sosio instruksional, yang mendorong santri Dimas Kanjeng untuk saling

terbuka dan tukar menukar pengalamannya dalam menyelesaikan suatu masalah

yang hadir di Padepokan Dimas Kanjeng. Kedamaian tersebut yang membuat

120

santri merasa tercukupi, dihargai dan diakui hanya dengan tinggal di kompleks

komunitas Padepokan Dimas Kanjeng.

Antropologi kognitif pada dasarnya berfokus pada potensi dan pertahanan

diri yang unik dari pribadi santri Dimas Kanjeng untuk mengarahkan diri atau

agensi personal (Bandura, 1997, 2001), meskipun masyarakat di luar padepokan

ada yang menganggap Dimas Kanjeng sesat dan penipu. Hal tersebut tidak

mempengaruhi atau mengurangi rasa patuh santri terhadap Dimas Kanjeng.

Dalam perspektif antropologi kognitif, santri Dimas Kanjeng berusaha memahami

dan mengkonstruk makna personal dari berbagai fenomena dalam kehidupan

santri berdasarkan keyakinan diri para santri yang telah terbawa struktur pola pikir

Dimas Kanjeng.

Antropologi kognitif juga mempertimbangkan sisi humanisme (Bandura,

2001). Dalam konteks Padepokan Dimas Kanjeng, santri berusaha mengarungi

nasib mereka dan berusaha mengembangkan potensi diri mereka untuk mencapai

puncak aktualisasi diri dengan berusaha bersama santri yang lain untuk

mewujudkan program kemaslahatan umat dan produk budaya ala Padepokan

Dimas Kanjeng. Santri bebas dalam melakukan pilihan untuk mencapai rasa aman

di padepokan dan mengantisipasi diri dalam menjauhi larangan agama.

Dimas Kanjeng selalu mempersepsikan konsep diri dan kesan baiknya

kepada santrinya (proses input). Manusia dapat menumbuhkan sikap

altruismenya, maka orang tersebut dapat dikenal sebagai manusia yang

humanis oleh manusia di sekelilingnya (citra diri yang baik, self esteem). Riset

121

psikologi juga menunjukkan bahwa ketertarikan manusia lebih ditentukan oleh

bujuk rayu. Manusia cenderung suka dibujuk seorang yang “altruis”, daripada

orang yang “selfish”. Sikap Dimas Kanjeng yang lugu dan penuh perhatian,

dengan bahasanya yang so sweet, membuat hati santri terpanah akan sosok

Dimas Kanjeng (simpatik). Santri memroses rangsangan yang dihadirkan oleh

Dimas Kanjeng, hingga terbentuknya perasaan yakin akan Dimas Kanjeng.

Santri memiliki konstruksi personal dalam menterjemahkan,

mengorganisir dan memprediksi nasib masa depan peristiwa-peristiwa yang

berlangsung di Padepokan Dimas Kanjeng. Santri Dimas Kanjeng memiliki

kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kontruks alternatif guna

mempersepsikan ulang sebuah fenomena sosial yang sedang terjadi dalam

hidupnya. Hal tersebut disebabkan, dalam perpektif sosio-kognitif tidak ada

kebenaran yang mutlak (Sechrest, 1963). Santri Dimas Kanjeng merupakan

sekelompok individu yang aktif yang mampu mengantisipasi permasalahan

dalam suatu peristiwa dan berusaha memprediksi masa depan (keberlanjutan)

Padepokan Dimas Kanjeng.

Proses kognitif santri Dimas Kanjeng berkaitan perihal kemampuan atau

keterampilan santri dalam menyikapi dan menyelesaikan permasalahan

kehidupan di padepokan. Selain bersandarkan pada pengalaman langsung, teori

sosial kognitif menitikberatkan pada proses pembelajaran melalui modeling dan

observasional pada perkembangan kepribadian santri Dimas Kanjeng. Santri

merasakan respons emosional dan perilaku melalui pengamatan terhadap

perilaku dari sang model “Dimas Kanjeng”. Perilaku santri dapat dikuasai oleh

122

Dimas Kanjeng. Santri telah merasakan konsekuensinya sendiri tatkala

mematuhi Dimas Kanjeng, kepatuhan tersebut berguna dalam meningkatkan

keimanan dan ketaqwaan santri terhadap agamanya masing-masing.

Hasil perkembangan kompetensi kognitif santri, dapat berfungsi dalam

mempersiapkan masa depan dunia akhiratnya untuk me-regulasi diri demi

sebuah kemajuan dalam mencapai tujuan. Berdasarkan teori sosio-kognitif,

santri Dimas Kanjeng mengembangkan kemampuan proses berpikirnya dalam

aspek-aspek tertentu, yang tidak hanya bersumber dari suara hati yang sehat.

Santri mengembangkan keterampilan kognisinya berbasis pedoman

motivasional –buku istighosah– terhadap perilaku yang diadaptasi sesuai

dengan konteks Padepokan Dimas Kanjeng. Konstruksi tersebut mendorong

kekuatan santri untuk dapat mengidentifikasi keadaan dan mengatur moralnya

berdasarkan permintaan kondisional dan goal internal kelompok secara

fleksibel. Kognisi dengan emosional santri Dimas Kanjeng menunjukkan saling

keterkaitan yang pada akhirnya menimbulkan sebuah sistem kepatuhan.

Sistem kepatuhan menjadi skema dan peraturan kelompok yang selalu

dikukuhkan di Padepokan Dimas Kanjeng. Kepatuhan santri Dimas Kanjeng

tidak hanya berhenti pada tindakan santri yang mencerminkan ketaatannya

dalam melaksanakan ajaran Dimas Kanjeng. Santri selalu simpati dan

mengimajinasikan sosok Dimas Kanjeng dalam segala aspek kehidupannya

sebagai suri tauladan.

123

Adapun proses simpati yaitu proses tatkala orang merasa terkesima pada

pihak lain, merasa memiliki tugas yang amat penting, meskipun motivasi utama

simpati yaitu kemauan untuk menghayati pihak lain dan berkoordinasi

dengannya. Hal tersebut merupakan perbedaan nyata antara simpati dengan

identifikasi yang dipicu oleh kemauan untuk belajar dengan pihak lain yang

posisinya dianggap lebih tinggi dan perlu dihargai sebab memiliki

keistimewaan-keistimewaan tertentu yang pantas untuk dijadikan panutan.

Berdasarkan penjelasan definisi di atas, santri Dimas Kanjeng dalam

menjaga kepatuhannya terhadap DK juga dipengaruhi oleh rasa simpati dan

identifikasi santri terhadap DK. Dalam konteks Padepokan DK, dominasi-

dominasi politik suku bangsa telah dipatahkan oleh ideologi nusantara melalui

pelembagaan yang berlandaskan pada solidaritas mekanik. Bagi santri Dimas

Kanjeng, adanya rasa toleransi terhadap manusia di sekitarnya merupakan

kesan diri yang baik yang dapat mencerminkan kecerdasan dan keterampilan

sosial seseorang.

4.2 Kepemimpinan dan Konformitas dalam membentuk Budaya Patuh

Santri Padepokan Dimas Kanjeng.

Fenomena kepatuhan santri Padepokan Dimas Kanjeng jika dikorelasikan

dengan teori kepatuhan, maka santri merupakan subjek yang diminta untuk

mematuhi perintah otoritas. Dimas Kanjeng merupakan subjek yang

124

mempunyai otoritas agar pihak anggota dapat mematuhinya. Adapun teks atau

wacana yang digunakan oleh Dimas Kanjeng dalam mendorong santrinya agar

patuh, Dimas Kanjeng tidak hanya modal „omong doang’, namun Dimas

Kanjeng langsung mempraktikkan „memberi contoh‟ santri untuk selalu

berbuat kebajikan dengan mematuhi segala ajaran dan norma kelompok yang

telah disepakati.

Selain itu, kepatuhan santri juga dipicu oleh adanya sanksi yang membuat

santri takut jika tidak mematuhi ajaran Dimas Kanjeng maka santri takut

dirinya terjadi apa-apa, sebab Dimas Kanjeng diyakini memiliki kekuatan

supranatural. Santri juga selalu takut jika harus kehilangan Dimas Kanjeng

untuk selamanya. Akhirnya, santri selalu mempersepsikan sosok Dimas

Kanjeng sebagai Wali Allah, hamba Allah pilihan, dsb.

Berbagai tindakan Santri Dimas Kanjeng yang mencerminkan

ketaatannya untuk mematuhi segala ajaran Dimas Kanjeng yang menurut santri

sebagai sumber akidah dan tuntunan moral sesuai dengan gagasan Feldmen

(2003) yang mengatakan bahwa kepatuhan diartikan sebagai “change

behaviour in response to the command of others”. Dalam konteks Padepokan

Dimas Kanjeng, mengapa segala tindakan santri mencerminkan kepatuhannya

terhadap Dimas Kanjeng (membudaya), sebab Dimas Kanjeng sebagai otoritas

telah diamini dan dilegitimasi oleh semua santri tanpa terkecuali dalam nilai-

nilai dan peraturan komunitas.

Fenomena kepatuhan santri Dimas Kanjeng jika dianalisis berdasarkan

planning behavior theory dari Icek Ajzen (1980), intensitas kepatuhan

125

seseorang terhadap peraturan kelompok dipengaruhi oleh 3 elemen utama,

yaitu:

1. Sikap terhadap perilaku, kepercayaan individu terbentuk dari seberapa

kuat keyakinan individu akan hasil atau manfaat yang dapat diperoleh

dengan mengikuti peraturan yang ada. Dalam konteks ini, santri Dimas

Kanjeng telah merasakan ketenangan akibat tidak menentang dari

ajaran Dimas Kanjeng. Sesama santri saling menghidupi, akhirnya

kebutuhan ekonomi para santri tercukupi.

Kepiawaian Dimas Kanjeng dalam menghadirkan rejeki secara

tiba-tiba tidak perlu ditangkal lagi oleh santri. Ketika kebutuhan

jasmani dan rohani para santri telah tercukupi dan diberdayakan oleh

Dimas Kanjeng, maka tiada kata lain lagi selain “patuh”. Sebab santri

selalu mengingat dan mengevaluasi manfaat yang diperoleh akibat taat

terhadap sang guru.

2. Selain itu, kepatuhan santri didorong oleh kontrol perilaku kelompok

santri dalam keluarga besar Padepokan Dimas Kanjeng. Di antara santri

saling memberi satiran, apabila tiba waktunya istighosah. “Ayo

istighosah biar pikiran tenang, hati jadi riang”, ajak santri pada santri

lainnya.

3. Norma subjektif individu, santri selalu mempersepsikan bahwa semua

ajaran Dimas Kanjeng mengajarkan hal-hal yang mulia untuk menuju

akhlak yang terpuji. Maka santri tidak meragukan lagi akan

keyakinannya terhadap Dimas Kanjeng. Menurut persepsi santri, tidak

126

perlu bawa perasaan “baper” tatkala orang lain tidak suka dengan

junjungan kita merupakan hal yang wajar, yang terpenting bagi santri di

manapun harus menunjukkan budaya kepatuhannya pada orang tua

„orang yang dipujanya‟. “jangan sampai belok, lurus di jalan yang

benar sesuai dari perintah guru”, ucap santi.

Kepemimpinan kiai Dimas Kaneng di padepokan lahir karena

kepercayaan santri bahwa guru merupakan kaki tangan Tuhan dalam

mengabulkan ajaran-Nya. Kepercayaan tersebut diwujudkan dalam sikap

taklid oleh santri (mengikuti tanpa adanya usaha untuk mencari tahu atau

mengkritisi ajaran yang telah disampaikan oleh gurunya). Adanya rasa

percaya yang mendalam, maka timbullah berbagai persepsi yang baik

terhadap sosok yang diistimewakan.

Dalam masyarakat Jawa, santri mengamini kepemimpinan kiai

disebabkan oleh kepercayaannya yang tinggi terhadap konsep berkah yang

didasarkan dari doktrin bahwa orang tersebut sebagaimana seorang wali

yang alim dan memiliki keistimewaan. Unsur-unsur dari persepsi santri

terhadap Kiai Mas Kanjeng terdiri dari aspek afektif dan kognitif. Segi

afektif berfokus pada hal yang dirasakan oleh santri Dimas Kanjeng

setelah membentuk persepsi terhadap maha gurunya „Dimas Kanjeng‟.

Santri merasa puas dan bangga setelah mempersepsikan bahwa

Dimas Kanjeng seorang malaikat tanpa sayap dalam hidupnya. Segi

kognitif lebih concern pada hasil analisis santri terhadap subjek yang

127

dipersepsikan (Mas Kanjeng). Dalam konteks ini, santri selalu membawa

citra Dimas Kanjeng di manapun berada dan juga kapan pun.

Setiap ngobrol santai dengan orang lain, santri selalu

membicarakan kehebatan Dimas Kanjeng, keramah tamahannya. Jadi,

santri selalu memuji “mendewa-dewakan” Dimas Kanjeng dalam kondisi

apapun. Selain itu, santri selalu memegang teguh citra atau kepribadian

positif Dimas Kanjeng untuk pedoman hidupnya dalam bertingkah dan

berkomunikasi di setiap harinya (proses mengimitasi).

Kepatuhan tidak hanya bicara soal persepsi, namun juga memiliki

relasi yang kuat dengan konformitas. Santri Dimas Kanjeng yang tingkat

konformitasnya tinggi cenderung memberi tempat yang utama pada

kelompoknya „memiliki rasa ketergantungan pada kelompok‟. Santri

Dimas Kanjeng yang demikian mengatribusikan setiap tindakannya agar

bermanfaat untuk kelompok terlebih dahulu „tidak memikirkan

kepentingan pribadinya, urusan pribadi pikir belakangan‟. Begitu juga

sebaliknya, santri Dimas Kanjeng yang tingkat konformitasnya rendah

maka intensitas kepatuhan terhadap gurunya juga lemah.

Fenomena yang berkembang di Padepokan Dimas Kanjeng, tingkat

konformitas santri sangat tinggi yang berdampak terhadap budaya patuh

terhadap maha gurunya sangat kuat dan tidak bisa diganggu gugat.

Sehingga, dalam kasus di Padepokan Dimas Kanjeng sesuai dengan teori

128

terdahulu (Baron & Byrne, 2004), bahwa kepatuhan tidak lepas dari

adanya konformitas (berhubungan positif). Bagi santri Dimas Kanjeng,

lebih baik tidak hidup jika harus menentang gurunya. Bagi santri Dimas

Kanjeng, apapun yang terjadi guru harus selalu dihargai dan ditaati, bukan

untuk dikhianati.

Budaya kepatuhan santri Padepokan Dimas Kanjeng tidak hanya

dipengaruhi oleh dorongan kepemimpinan „dari permintaan atasan‟,

namun juga konformitas (pengaruh kelompok sosial). Santri selalu

menasehati santri lainnya agar tidak menyimpang dari aturan kelompok

„keluarga besar Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi‟. Fenomena

kepatuhan santri di Padepokan Dimas Kanjeng tidak hanya bicara soal

ranah vertikal, namun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor horisontal

(kesadaran kelompok).

Mengapa santri patuh yang teramat mendalam, karena santri selalu

meyakini bahwa apa yang diajarkan Dimas Kanjeng merupakan hal-hal

yang positif, terpuji, bukan karena santri patuh terhadap hal-hal yang

merusak ataupun menyakiti orang lain. Jadi secara sadar, bentuk

kepatuhan santri bukan tipikal destructive obedience.

Teori Konformitas menekankan pada 3 unsur utama yaitu

kesepakatan, kekompakan dan ketaatan. Kesepakatan adalah gagasan

kolektif yang telah disepakati mempunyai pengaruh besar hingga akhirnya

129

santri Dimas Kanjeng menjadi loyal dan beradaptasi dengan gagasan

kolektif yang terdiri dari persamaan ide dan keyakinan. Kemaslahatan

umat menjadi kesepakatan bersama keluarga besar Padepokan Dimas

Kanjeng yang dijadikan sebagai alat pemersatu santri oleh Dimas Kanjeng.

Kekompakan dicirikan dengan adanya interested, respect terhadap

kelompok, dan adaptasi diri dengan Padepokan Dimas Kanjeng.

Ketaatan, yaitu tuntutan kelompok yang memicu Santri Dimas

Kanjeng ikhlas melakukan tindakan apapun, tanpa memikirkan keinginan

atau perasannya sendiri. Namun santri masih memikirkan harapan orang

lain dan ganjaran yang akan didapatkan nantinya. Wrightsman dan Deaux

(1984) menyatakan jika ketaatan (obedience) adalah salah satu aksi khusus

dari kepatuhan karena adanya tuntutan untuk melaksanakan suatu perilaku

ketaatan, yang dimanifestasikan dalam bentuk perintah.

Peneliti pada kesempatan ini memakai indikator secara kontekstual

terhadap padepokan yang diteliti. Indikator dirumuskan sesuai dengan hasil

observasi dan wawancara terbuka terhadap para santri. Kesimpulan indikator

didapatkan melalui penelitian studi antropologi kognitif terhadap kepatuhan

santri Dimas Kanjeng. Aspek-aspek yang diteliti meliputi, kepatuhan santri

terhadap ajaran moral yang disampaikan Dimas Kanjeng, kepatuhan santri

terhadap tingkat keamanan di pesantren dan kepatuhan santri pada kode etik

pesantren. Dari semua variabel yang diamati tersebut, bahasa yang disampaikan

130

oleh Dimas Kanjeng mampu “meninabobokan” santri untuk mematuhi

segalanya perihal kejayaan Dimas Kanjeng.

4.3 Faktor Imitasi dalam Menumbuhkembangkan Kepatuhan Santri

terhadap Dimas Kanjeng yang begitu mengakar.

Berdasarkan Sarlito Wirawan Sarwono (2004), imitasi dapat

terbentuk karena adanya antusias dan passion, jika dikaitkan dengan studi

kasus Santri Padepokan Dimas Kanjeng, maka budaya patuh menjadi

suatu kebutuhan. Santri memiliki ketertarikan akan penampilan maupun

watak Dimas Kanjeng dalam mengajar di majelis ilmu, maupun dalam

bersosial dan bermasyarakat. Santri mengaplikasikan watak sosok Dimas

Kanjeng yang dipuja, yang dirasa santri dapat membawa karunia

tersendiri.

Akhirnya santri selalu menghormati dan menghargai setiap

perkataan yang disampaikan oleh Dimas Kanjeng. Bagi santri agar

membentuk kepribadian yang adiluhung seperti gurunya “Dimas

Kanjeng” memerlukan waktu penyesuaian diri yang tidak sebentar. Santri

selalu menyadari dirinya siapa, menyandang status sebagai “santri”,

maka peran atau tindakan sosial yang paling tepat menurutnya ialah

mematuhi segala ajaran yang disampaikan gurunya di atas kepentingan

dan kebutuhan apapun, serta dalam kondisi bagaimanapun guru tersebut.

131

Santri selalu berusaha mengenali dan memahami maksud dari apa

yang disampaikan Dimas Kanjeng. Santri selalu mencari hikmah dari

apapun kejadian yang menimpa Dimas Kanjeng, karena di balik masalah

yang ada, di luar sana menurut santri juga masih banyak yang jauh lebih

tersiksa ketimbang masalah yang membelenggu keluarga besar

Padepokan Dimas Kanjeng. Akhirnya santri merasa terpanggil untuk

tetap patuh dan bersimpati (menyamakan perasaan dan kondisinya

dengan apa yang dirasakan Dimas Kanjeng sekarang yang harus bertahan

seorang diri di tahanan).

Santri rela hidup dalam keadaan apapun di tenda, asalkan

padepokan yang telah didirikan bersama Dimas Kanjeng tersebut tetap

berjaya gemilang dengan mempertahankan budaya komunitarian dan

paternalistik yang telah diajarkan oleh Dimas Kanjeng. Santri tanpa

memikirkan hujatan sana-sini tentang keburukan padepokan tersebut,

yang terpenting bagi santri tetap melaksanakan kehidupan bareng-bareng

bersama santri lainnya (mengaji bersama, shalat berjamaah, makan

bersama, olahraga bersama, gotong royong dalam membersihkan

kompleks padepokan dan membuat aneka snack bersama-sama).

Dimas Kanjeng memberikan contoh dan tindakan untuk hadir tepat

waktu dalam memimpin istighosah dan shalat para santrinya. Hal

tersebut yang membuat santri menaruh hati dan meneladani Dimas

Kanjeng. Hal tersebut didukung oleh pernyataan populer dalam dunia

132

pendidikan yang disampaikan oleh Pemeo bahwa “guru kencing berdiri,

siswa kencing berlari”, artinya segala tindakan guru berpotensi untuk

ditiru oleh siswanya. Senada dengan gagasan Hatten, et al (2001, P. 12)

mempertegas bahwa “ethics is primaliry a matter of positive role

modeling. Quite simply, good teachers produce good students”. Bandura

juga menekankan kembali bahwa:

“Learning would be exceedingly laborious, not to mention hazardous, if

people had to rely solely on the effects of their own actions to inform

them what to do. Fortunately, most human behaviour is learned

observationally through modelling: from observing others one forms an

idea of how new behaviours are performed, and on later occasions this

coded information serves as a guide for action (Bandura, 1977, p.22).”

“Modelling can be increased by reinforcing matching behaviour....”,

“Facility in observational learning is increased by acquiring and

improving skills in selective observation, in memory encoding, in

coordinating sensory motor and idea motor sistems, and by the

ability to foresee probable consequences of matching another’s

behaviour.”

Manusia belajar pada ruang konteks sosial melalui imitasi,

observasional dan modeling (Bandura, 977). Dalam teori pembelajaran

sosial, dijelaskan bahwa dalam interaksi yang intens, tindakan seseorang

dapat mempengaruhi satu sama lain yang dapat berpotensi merubah

kognitif dan watak itu sendiri. Jika dikaitkan dengan fenomena kepatuhan

santri Padepokan Dimas Kanjeng, ruang padepokan semakin mempererat

hubungan di antara santri dan memperkuat proses internalisasi diri untuk

semakin patuh terhadap nilai-nilai religius dan solidaritas yang

ditanamkan oleh Dimas Kanjeng.

133

4.4 Religiusitas sebagai Sistem Budaya di Padepokan Dimas Kanjeng.

Tulisan ini berfokus mengkaji korelasi agama dengan solidaritas sosial

dalam kerangka gagasan Emile Durkheim yang dihubungkan dengan

fenomena yang terjadi di Padepokan Dimas Kanjeng. Kehidupan agama

dalam konteks komunitas “kolektif” difokuskan terhadap bagaimana

manfaat agama dalam mendorong perkembangan atau hambatan

kelangsungan hidup dan penjagaan komunitas masyarakat. Fokus

pembahasannya diarahkan terhadap agama sebagai salah 1 indikator dari

perilaku kelompok dan tugasnya yang diimplementasikan dari dulu hingga

sekarang.

Berdasarkan realitas di atas, dapat dikatakan bahwa kegiatan religiusitas

yang terdapat dalam diri manusia tidak disebabkan oleh alam pikiran yang

telah ada bayangan-bayangan semu tentang jiwa atau roh, namun stimulus

keagamaan dapat disebabkan dari alam jiwa manusia terdahulu, akibat

rangsangan atau sentimen kemasyarakatan. Sentimen kemasyarakatan dalam

roh manusia terdahulu terdiri dari beragam perasaan yang memuat rasa bakti,

cinta, keterikatan dan fenomena lainnya di mana ia menjalankan kehidupan.

Sentimen kemasyarakatan mengakibatkan lahirnya emosi keagamaan

dan merupakan pusat dari segala perilaku keagamaan manusia tersebut.

Namun jika tidak dijaga, maka sentimen kemasyarakatan tersebut menjadi

rapuh dan laten, sehingga perlu dikembangkan sentimen kemasyarakatan

dengan mengagendakan suatu kontraksi masyarakat yang berarti

134

mengumpulkan orang-orang dalam suatu komunitas dalam forum-forum

besar.

Kesimpulan yang diberikan oleh Durkheim, bahwa agama berasal dari

budaya masyarakat itu sendiri, tanpa adanya intervensi unsur pewahyuan dari

sang kuasa. Agama merupakan jelmaan dari masyarakat itu sendiri,

kehidupan masyarakat dapat hidup tatkala agama mengakar dalam

kehidupannya, agama terlupakan maka masyarakat tumbang. Hal tersebut

juga berlaku di Padepokan Dimas Kanjeng, kehidupan padepokan masih

berjalan hingga sekarang disebabkan oleh kepatuhan santri dalam memenuhi

ajaran DK untuk selalu taat dalam beribadah secara kolektif.

Istighosah bersama-sama di setiap pagi dan malam merupakan simbol atau

identitas dari Padepokan Dimas Kanjeng sebagai mekanisme pertahanan diri

yang dewasa. Jadi ajaran perihal religiusitas di Padepokan DK memegang

peranan yang vital, di samping santri juga menyibukkan diri dengan alternatif

aktivitas positif lainnya (pengalihan diri pada kebiasan-kebiasaan yang lebih

bermanfaat atau yang biasa disebut dengan sublimasi. Ritual-ritual religius

(pengajian dan istighosah bersama) yang membuat rasa guyup dan solidaritas

santri semakin kompak dan menyatu (adanya rasa berkelompok). Melalui

agama sebagai kontruksi sosial dan sistem simbol, mendorong masyarakat

menjadi memahami atau menyadari akan kekurangan dirinya sendiri. Sebab

hidup harus keluar dari tempurung keegoisan diri. Corak kehidupan santri di

Padepokan DK yaitu saling introspeksi diri sendiri, saling simpati,

135

menumbuhkan rasa kasih, senang terhadap kawan di sekelilingnya, yang pada

akhirnya menumbuhkan kepercayaan bersama (Turner, 2003).

Dalam hal ini ritual kolektif dapat menumbuhkan kebahagiaan

kolektif, sentimen kolektif dan pada akhirnya dapat membentuk keyakinan

kolektif. Menurut Soerjono Soekanto, suatu komunitas akan semakin

menyatu jika terdapat suatu “faktor yang dimiliki dan diamini bersama”.

Faktor tersebut diantaranya ialah kesamaan nasib, kebutuhan yang sama,

tujuan atau keinginan yang sama. Dalam konteks padepokan DK,

meskipun berbeda ideologi dan agama, namun santri memiliki tujuan yang

sama, yaitu kebahagiaan dunia akhirat yang dapat dicapai dengan

mewujudkan kemaslahatan umat. Menurut Khaldun (2000), kekuatan

solidaritas yang dibangun dari keyakinan yang sama, lebih kuat dari pada

solidaritas yang dibangun dari hubungan darah atau klen.

137

BAB V PENUTUP:

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi jawaban dari rumusan pertanyaan penelitian, serta akan

ditulis saran dan rekomendasi terhadap penelitian selanjutnya. Penelitian ini

diharapkan bermanfaat bagi peneliti di bidang ilmu antropologi maupun

psikologi sebagai media implementasi dan aktualisasi diri terhadap teori-teori

yang sudah didapatkan pada saat perkuliahan.

5.1 KESIMPULAN

a. Faktor yang mendominasi santri patuh terhadap DK disebabkan oleh,

santri mampu memahami bahasa Dimas Kanjeng, baik mampu memahami

pesan secara implisit dari yang diucapkan DK maupun dapat memahami

bahasa tubuh DK dalam memberikan ajaran-ajaran spiritual kepada santri

hingga membuat santri nyaman dari bahasa yang direpresentasikan oleh

DK. Jika dikaji berdasarkan perspektif antropologi kognitif, bahasa Dimas

Kanjeng dapat mendorong terbentuknya budaya patuh itu sendiri. Dalam

hal ini, budaya patuh dari santri terhadap Dimas Kanjeng.

b. Bentuk kepatuhan santri DK dibuktikan dengan aktivitas ‘habitus’ santri

yang masih semangat dalam mematuhi ajaran DK, meskipun DK tidak ada

di padepokan. Santri setiap harinya masih rajin mengamalkan semua yang

diperintahkan oleh DK, seperti istighosah, pengajian, shalat malam, puasa

senin kamis, menyantuni anak yatim di sekitar padepokan sebagai

138

c. aktualisasi dari untuk mewujudkan visi misi Padepokan Dimas Kanjeng

yang ingin menegakkan kemaslahatan umat.

Habitus ‘patuh’ jika dikaji dari perspektif antropologi kognitif

tumbuh hasil olah rasa dan olah pikir dari wacana atau bahasa yang sering

disampaikan oleh DK terhadap santrinya. Selain itu, DK juga memberikan

contoh tindakan dan perilaku positif secara langsung dengan penuh

kesabaran dan kasih sayang. Santri sering melihat dan mendengarkan,

akhirnya santri meniru segala tindakan yang dipraktikkan langsung oleh

DK (dalam perspektif antropologi kognitif, bahasa atau wacana dapat

membentuk kebiasaan atau cara hidup). Contoh bahasa yang pernah

dilontarkan oleh DK yaitu, “dunia itu fana, yang terang hanyalah senyum

dan rasa kasih kita terhadap sesama”.

5.2 SARAN

Potensi penelitian ini juga dapat menjadi pijakan bagi peneliti lain yang

berfokus dalam bidang:

A. ANTROPOLOGI.

Bagi peneliti yang concern dalam bidang antropologi dapat mengkaji

tentang kearifan lokal yang berkembang dalam Padepokan Dimas Kanjeng

Taat Pribadi. Peneliti lain juga dapat meneliti tentang manajemen konflik

dan studi antropologi bencana dalam menyikapi fenomena paska

penangkapan DK di Padepokan Dimas Kanjeng. Pada konteks ini, peneliti

bidang antropologi dapat mengkaji bagaimana santri memulihkan rasa

139

traumanya dari peristiwa penangkapan Dimas Kanjeng (peristiwa besar 22

September 2016). Peneliti selanjutnya juga dapat mengkaji perihal

multikulturalisme dan kajian gender yang berkembang di Padepokan

Dimas Kanjeng ‘Taat Pribadi’.

B. PSIKOLOGI.

Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat menjadi pijakan

atau bahan referensi untuk penelitian tentang kajian sosial kognitif,

psikoanalisis, kesetiaan, behaviorisme dan fenomenologis. Bagi

peneliti selanjutnya, saya menyarankan untuk mengkaji tentang place

attachment dalam kasus pengikut setia Padepokan Dimas Kanjeng

Taat Pribadi dengan argumentasi bahwa keterikatan terhadap suatu

tempat dan komunitas juga dapat menjadi faktor pendorong kesetiaan

dan kepatuhan yang membabi buta.

140

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. dan Vander A.C.L (Penyunting). (1986). Durkheim dan Pengantar

Sosiologi Moralitas. Jakarta: Yayasan Obor indonesia.

Ahmed, A. S. (2005). “Islam di Era Media Barat”, dalam Idi Subandy Ibrahim

(ed.), Media dan Citra Muslim. Yogyakarta: Jalasutra.

Ajzen, I. and Fishbein M. 1980. Understanding Attitude and Predicting Social

Al Faruqi, I.R dan Al Faruqi, Lousi Lamnya 1998. Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas

Hasan. Jakarta: Mizan.

Ancok, D., dan Suroso, F. N. (2011). Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anwar, U. Tindak Pidana Penggandaan Uang Dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (Tinjauan Kasus Penggandaan Uang Dimas Kanjeng Taat

Pribadi. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 13, No. 04- Desember 2016:369-

378.

Baal, J.V. (1987). Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga

Dekade 1970), terj. J. Pery. Jakarta: Gramedia.

Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Englewood Cliffs, New Jersey:

Pertinence- Hall.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The Exercise of Control. New York: Freeman.

Bandura, A. (2001). Social Cognitive Theory an Agentic Perspective. Annual

Review of Psychology, 52, 126.

Baron, RA. dan Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial Jilid 2 (Edisi Kesepuluh).

Jakarta: Erlangga.

141

Baron, R. dan Byrne, D., (2005). Psikologi Sosial (terjemahan). Jakarta. Penerbit

Erlangga.

Baron, J.B. dan Sternberg, R.J. (Editor), (1987). Teaching Thinking Skill. W.H.

Freeman and Company. New York.

Behaviour. New York: Prentice Hall Inc.

Bruinessen, V. M. 1999. Kitab Kuning (Pesantren dan Tarekat). Bandung:

Penerbit Mizan.

Dhofier, Z. 1982. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai.

Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan

Sosial (LP3ES).

Durkheim, E. (1992). The Elementary Form Of The Religious Life. New York:

Free Press.

Faesol, A. (2012). Kyai, Otoritas Keilmuan dan Perkembangan Tradisi Keilmuan

Pesantren. Jurnal Volume 15 Nomor 1.

Fetterman, D. M. (2010). Ethnography Step-by-Step Third Edition. London:

SAGE.

Geertz, C. 1969. “Religion as a Cultural Sistem”, dalam Michael Banton (ed.),

Anthropological Approach to the Study of Religion, London: Tavistocck

Publikations,

Gerungan. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Goodenough, W.H. (1961). Comment on Cultural Evolution Daedalus Go: 521-

28.

142

Goodenough, W.H. (1963). Cooperation in Changes. New York: Russell Sage

Found.

Goodenough, W.H., (1971). Culture, Language, and Society. McCaleb Module in

Anthropology. Reading, Mass: Addison- Wesley.

Gunawan, Imam. (2013). Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik. Jakarta:

Bumi Aksara.

Hermawan, D. (2013). Semar dan Kentut Kesayangannya. Yogyakarta: Diva

Press.

Khaldun, I. (2000). Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Kurniawan, A. Loyalitas Santri (Teamwork) terhadap Kepemimpinan Kiai Dalam

Manajemen Pesantren. Journal of Empirical Research in Islamic

Education. http://journal.stainkudus.ac.id/. Diakses 8 September 2018.

Kusumadewi, Septi, Hardjajani, Tuti dan Priyatama, Aditiya Nada. (2012).

Hubungan antara dukungan ssosial peer group dan control diri dengan

kepatuhan terhadap peraturan pada remaja putrid di pondok pesantren

Modern Assalaam Sukoharjo.

Ma’rufah, dkk. Persepsi terhadap Kepemimpinan Kiai, Konformitas, dan

Kepatuhan Santri terhadap Peraturan Pesantren. Persona, Jurnal Psikologi

Indonesia mei 2014, Vol. 3, No. 02, hl.97-113.

Maltby, J., Giles, D.C, Barber, L., dan McCutcheon, L.E. (2005). Intense

Personal Celebrity Worship and Body Image: Evidence of a Link Among

Female Adolescents, British Journal of Health Psychology Vol. 10.

143

Maramis, W. F. (1990). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Jakarta: Erlangga.

Nottingham, E.K. (1970). Agama dan Masyarakat, Suatu Pengantar Sosiologi

Agama. Jakarta: Rajawali Press.

Nuqul, F.L. Perbedaan Kepatuhan terhadap Aturan Tinjauan Kepribadian

Introvert-Ekstrovert, Jenis Kelamin dan Lama Tinggal di Ma’had Ali

Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Psikoislamika, Vol. 4, No.2, Th

2007.

Putra, A., dan Shri, H. “Penutup”, dalam J.W.M. Bakker SJ, Filsafat

Kebudayaan: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius, 1984.

Rahmat, J. (2004). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosada karya.

Rizal, R. (2003). Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi. Jakarta: Rajawali Press.

Santrock, J.W. (1995). Life-span developmentperkembangan masa hidup (5th

edition). Jakarta: Gelora Aksara Pratama.

Sarbini. (2012). Pengembangan Model Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik

terhadap Norma Ketertiban Sebagai Upaya Menyiapkan Warga Negara

Demokrtis di Sekolah. Disertasi, tidak diterbitkan, Universitas Pendidikan

Indonesia.

Sarwono, S. W. (2004). Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Sechrest, L. (1963). The Psychology of Personal Constructs. In J. M. Wepman &

R. W. Heine (Eds.), Consepts of Personality (pp. 206-233). Chicago:

Aldine.

144

Shaw. M.E. (1979). Group Dynamic: The Psychology of Small Group Behaviour.

New Delhi Mc Grow Hill Publishing Company Ltd.

Shihab, Q. (1996). Wawasan Al-Qur’an, Cet 3. Bandung: Mizan.

Soekanto, S. (1985). Kamus Sosiologi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

_________. (2001). Sosiologi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Spradley, James P. (2006). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Suparlan, P. (1995). Orang Sakai Di Riau, Masyarakat Terasing Dalam

Masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Suryanto, Putra, M.G.B.A, Herdiana.I, Alfian. I.N. (2012). Pengantar Psikologi

Sosial. Surabaya: UAP.

Suriasumantri. (1996). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan.

Suyanto, A. (1984). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Aksara Baru. H. 4

Syaifuddin, Achmad Fedyani. (2005). Antropologi Kontemporer: Suatu

Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Prenada.

Sztompka, P. (1999). Trust, a Sociological Theory. Cambridge: Cambridge

University Press.

Tibbi, B. (1996). Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Misbah Zulfa

Elizabeth, Yogyakarta: Tiara Wacana,.

Turner, B. S. (2003). Agama dan Teori Sosial (Rangka-Pikir Sosiologi Dalam

Membaca Eksistensi Tuhan di Antara Gelegar Idiologi Kontemporer), alih

Bahasa, Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.

145

________ (1994). Sosiologi Islam, Suatu Telaah analitis Atas Tesa Sosiologi

Weber, alih bahasa, G.A.Ticoalu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Wahid, A. (1980). Bunga Rampai Pesantren. Jakarta: CV. Dharma Bakti.

Wahjoetomo. (1997). Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa

Depan. Jakarta: Gema Insani Press.

Widi, R. K. (2010). Asas Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Wrightsman dan Deaux (1981), Social Psychology in the 80. Monterey

California: Brooks/ColePublishing Co. definisi ini juga dikutip oleh, serta

Baron & Byrne (2005).

Zakiyah, L. (2000). Hubungan antara Persepsi Santri terhadap Barokah Kiai

dengan Motivasi Belajar di Pondok Pesantren Darussalam, Watucongol,

Muntilan. Skripsi. Jogjakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.


Recommended