Date post: | 28-Feb-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
i
STUDI ANTROPOLOGI KOGNITIF TERHADAP KEPATUHAN
SANTRI DIMAS KANJENG DI PADEPOKAN TAAT PRIBADI
DI DESA WANGKAL KECAMATAN GADING
KABUPATEN PROBOLINGGO
SKRIPSI
OLEH:
NURUL RODIYAH
NIM. 155110800111004
PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
ii
STUDI ANTROPOLOGI KOGNITIF TERHADAP KEPATUHAN SANTRI DIMAS
KANJENG DI PADEPOKAN TAAT PRIBADI DI DESA WANGKAL
KECAMATAN GADING KABUPATEN PROBOLINGGO
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Brawijaya
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
OLEH:
NURUL RODIYAH
NIM. 155110800111004
PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Penulisan skripsi ini diajukan
sebagai syarat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Brawijaya. Judul yang saya ajukan adalah “Studi Antropologi Kognitif
terhadap Kepatuhan Santri Dimas Kanjeng di Padepokan Taat Pribadi di Desa Wangkal
Kecamatan Gading Kabupaten Probolinggo”. Selain untuk kepentingan akademik, topik
skripsi ini dipilih karena kepatuhan santri Dimas Kanjeng begitu mendalam, sehingga penulis
terpantik untuk mengkajinya dari perspektif antropologi kognitif.
Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari dukungan, bimbingan serta bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel, S. Ag., M. Hum., Pak Nindyo Budi
Kumoro, M. A., Ibu Siti Zurinani, M.A., yang telah membimbing dan memberikan
saran selama saya menulis skripsi ini.
2. Pak Manggala, M. A., selaku Ketua Program Studi Antropologi yang telah
memberikan kesempatan dan kemudahan dalam proses skripsi ini.
3. Semua dosen dan kerabat Antropologi Universitas Brawijaya yang telah
memberikan dukungan.
4. Ibu Putri Kumala Dewi, M.Pd., Bapak M. Andhy Nurmansyah, M.Hum dan
segenap staf kemahasiswaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya yang
telah memudahkan proses skripsi ini.
5. Keluarga dan saudara di Ponorogo yang telah memberikan dukungan selama saya
melakukan studi.
vi
6. Bapak Imam yang telah banyak memberikan informasi seputar proses untuk
mencapai kelulusan dan membantu pendaftaran ujian seminar proposal, seminar
hasil, hingga pendaftaran ujian skripsi.
7. Santri Dimas Kanjeng yang telah banyak mengajari banyak hal tentang makna
kehidupan ini yang sebenarnya seperti apa, bahwa hidup tidak lain hanyalah
sebatas “mampir”. Terimakasih telah mengajarkan saya arti sebuah komitmen dan
kesetiaan, bahwa dalam keadaan seburuk apapun itu setidaknya kita masih bisa
melakukan aktivitas positif untuk menatap masa depan yang lebih menantang.
Intinya jangan sampai patah semangat. Semangat memulai dan mengakiri dengan
bakti tanpa menghianati. Enjoy your process.
Seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak, saya menyadari kekurangan
serta ketidaksempurnaan skripsi ini. Oleh karena itu saya mengharapkan adanya kritik
serta saran untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga skripsi ini dapat memberikan
sedikit manfaat dalam kajian antropologi kognitif. Terima kasih.
Malang, 10 Desember 2018
Nurul Rodiyah
viii
ABSTRAK
Rodiyah, Nurul. 2018. Studi Antropologi Kognitif terhadap Kepatuhan Santri Dimas
Kanjeng di Padepokan Taat Pribadi di Desa Wangkal Kecamatan Gading Kabupaten
Probolinggo. Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya.
Pembimbing: Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel, S.Ag., M. Hum
Kata Kunci: Antropologi Kognitif, Kepatuhan Santri, Kepemimpinan, Solidaritas.
Pemimpin padepokan menjadi tokoh yang beratributkan tuntunan moral masyarakat yang
berkarisma. Karisma yang dimiliki dapat menimbulkan asumsi dalam masyarakat bahwa
pemimpin padepokan mampu menanamkan akhlakul karimah dan mensejahterakan umat.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penyebab santri Dimas Kanjeng (DK)
patuh akan DK dan berbagai bentuk kepatuhan santri DK di Padepokan Taat Pribadi
berdasarkan perspektif antropologi kognitif. Metode penelitian ini menggunakan
pendekatan etnografi dan dideskripsikan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ajaran DK merupakan sistem kognisi sebagai struktur kelembagaan dalam otak
santri DK yang dapat membentuk kepatuhan santri terhadap DK. Ajaran DK meskipun
bersifat imajiner (ideasional), namun ajaran tersebut menjadi pedoman hidup para santri
untuk memutuskan dan menyikapi hal apa saja yang harus dilakukan demi kehidupannya
dan hal mana saja yang perlu ditinggalkan. Ajaran DK tentang makrifat dan paternalistik
yang disampaikan secara berulang kali dalam komunitas Padepokan DK dapat
membentuk culture kepatuhan santri. Meme altruisme resiprokal yang selalu diajarkan
oleh DK juga mempengaruhi pola pikir santri untuk selalu patuh dan tunduk terhadap DK.
Proses kognitif dijadikan santri sebagai alat untuk menganalisis kepribadiannya.
Pemikiran dan proses pendewasaan santri DK dapat berkembang dalam konteks sosial
Padepokan Taat Pribadi. Santri mengembangkan sistem evaluasi diri sesuai yang
diajarkan oleh DK dan peraturan Padepokan Taat Pribadi. Interaksi sosial yang
berlangsung di Padepokan DK, dapat mengeksplorasi potensi santri dalam
mengembangkan proses pemahaman dan penalaran sadarnya untuk menuntun segala
tingkah laku santri DK. Struktur kognitif para santri DK saling berinterelasi. Informasi
baru yang bersifat kompleks dan banyak beredar dalam kehidupan santri, diintegrasikan
oleh santri sesuai dengan skema ajaran yang telah disampaikan oleh DK. Santri DK
saling mengisi satu sama lain dalam kondisi apapun, baik yang sifatnya asimilasi maupun
akomodasi. Hal tersebut mendorong berkembangnya konsep konstruktivisme, yang berarti
bahwa santri tidak serta merta menerima wawasan dari DK secara pasif ‘otak kosong’.
Sistem budaya yang telah dibentuk DK mengingatkan santri untuk berpikir apa yang
seharusnya dilaksanakan. Perkembangan kognitif melahirkan proses sosio instruksional,
yang mendorong santri DK untuk saling terbuka dan tukar-menukar pengalamannya
dalam menyelesaikan permasalahan yang hadir di Padepokan Dimas Kanjeng. Santri DK
berusaha memahami dan mengkonstruk makna personal dari berbagai fenomena dalam
kehidupan santri berdasarkan keyakinan diri para santri yang telah terbawa struktur pola
pikir DK. Santri mengembangkan keterampilan kognisinya berbasis pedoman
motivasional –buku istighosah– terhadap perilaku yang diadaptasi sesuai dengan konteks
Padepokan DK. Kepatuhan menjadi skema dan peraturan kelompok yang selalu
dikukuhkan di Padepokan Dimas Kanjeng. Kepatuhan santri DK tidak hanya berhenti
pada tindakan santri yang mencerminkan ketaatannya dalam melaksanakan ajaran DK.
Santri selalu simpati, empati dan mengimajinasikan sosok DK dalam segala aspek
kehidupannya sebagai suri tauladan.
ix
ABSTRACT
Rodiyah, Nurul. 2018. A Cognitive Anthropology Study of Dimas Kanjeng Religious Pupil in
Padepokan Taat pribadi at Desa Wangkal Kecamatan Gading Kabupaten Probolinggo.
Anthropology Study Program, Faculty of Cultural Studies, Universitas Brawijaya
Advisor: Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel, S.Ag., M. Hum
Keyword: Cognitive Anthropology, Religious Pupil Obedience, Leadership, Solidarity.
The leader of a convent is a figure who shares the moral guidance of a charismatic society. Charisma
that is owned by the leader can lead to assumptions in the community that the leader is able to instill
morality and able to make prosperous the community itself. The purpose of the study is to describe the
causes of Dimas Kanjeng (DK) Religious Pupil (Santri) to be obedient to DK and various forms of the
obedience by DK religious pupil in Padepokan Taat Pribadi based on the perspective of cognitive
anthropology. The research method of this study is ethnographic approach and it describes
qualitatively. The result of the study shows that DK’s instruction is a cognition system as an
institutional structure in DK santri’s brain that construct their obedience toward DK. The instruction
is an imaginary, however the santri make the instruction as their life guidance in order to decide and
behave about what should they do and do not in their life. The instruction of DK about knowledge and
paternalistic which are delivered repeatedly in the community of Padepokan Taat Pribadi can
construct a santri obedience culture. The reciprocal altruism meme that is always taught by DK also
influence the mindset of the santri become always obedient and submissive to DK. The cognitive
process is used by santri as a tool to analyze his personality. The process of thinking and maturing of
the santri can develop into Padepokan Taat Pribadi social context. Santri develop a self-evaluation
system based on what has taught by DK and the rules at Padepokan Taat Pribadi. The social
interaction at Padepokan DK can explore the potential of santri in developing the process of
understanding and their logical thinking in order to conduct all the santri’s behavior. The cognitive
structure of DK santri interrelated. New information that is complex and widely circulated in santri’s
life is integrated by the santri in accordance with the teaching scheme that has been conveyed by DK.
The santri support each other in any conditions, whether in assimilation or accommodation. This
condition affecting the development concept of constructivism, it means the santri do not receive
knowledge from DK passively (don’t know at all). The cultural system which was formed by DK
reminds the santri to think what they should do. Cognitive development creates the socio-instructional
process, which encouraged the santri to be open to each other and share their experiences in problem
solving at Padepokan Dimas Kanjeng. The santri try to understand and construct the personal
meaning of various phenomena in santri’s life based on the self-confidence of santri who had carried
over the structure of the DK’s mindset. Santri develop their cognitive skills based on motivational
guidelines –istighosah books– towards behavior that is adapted according to the context of the
Padepokan Dimas Kanjeng. Obedience is a scheme and group regulation that is always confirmed in
Padepokan Dimas Kanjeng. The obedience of santri is not only proofed by the actions of them who
reflect their obedience in implementing DK's teachings. They are always sympathetic, empathetic and
imagine the figure of DK as a role model in all aspects of santri’s life.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................... I
HALAMAN PERSETUJUAN..................................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................... iv
KATA PENGANTAR.................................................................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN...................................................................................... vii
ABSTRAK..................................................................................................................... viii
ABSTRACT.................................................................................................................. ix
DAFTAR ISI................................................................................................................. x
DAFTAR TABEL......................................................................................................... Xi
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................... Xii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................ Xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................................... 7
1.5 Tinjauan Pustaka...................................................................................................... 8
1.6 Kerangka Teori......................................................................................................... 26
1.7 Metode Penelitian.................................................................................................... 41
1.8 Sistematika Penulisan............................................................................................... 50
BAB II SETTING WILAYAH, BUDAYA, DAN KEMASYARAKATAN.......... 56
2.1 Letak Geografis dan Administrasi Desa Wangkal Kecamatan Gading Kab.
Probolinggo………………………………………………………………………
56
2.2 Kehidupan Sosial, Budaya dan Ekonomi Masyarakat Desa Wangkal Kec. Gading
Kab. Probolinggo………………………………………………………................
57
2.3 Perjalanan Dimas Kanjeng dan Popularitasnya…………………………………… 62
2.4 Padepokan Dimas Kanjeng……………………………………………………… 66
BAB III TEMUAN LAPANG………………………………………………………. 79
3.1 Deskripsi Faktor-faktor Pemicu Santri Padepokan Dimas Kanjeng teramat Patuh
akan Dimas Kanjeng……………………………………………………………...
79
3.2 Berbagai Tindakan Santri Dimas Kanjeng yang Mencerminkan Kepatuhannya
terhadap gurunya paska Dimas Kanjeng tidak terdapat di Padepokan…………...
96
3.3 Persepsi Santri terhadap Dimas Kanjeng paska Dimas Kanjeng menjadi
Tersangka…………………………………………………………………………
105
3.4 Trik Santri dalam Menjaga Kepatuhannya terhadap Dimas Kanjeng melalui
Permainan Bahasa…………………………………………………………………
112
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN………………………………………… 116
4.1 Studi Antropologi Kognitif terhadap Faktor Pemicu Santri sangat Patuh terhadap
Dimas Kanjeng……………………………………………………………………
116
4.2 Kepemimpinan dan Konformitas dalam membentuk Budaya Patuh Santri
Padepokan Dimas Kanjeng……………………………………………………….
123
4.3 Faktor Imitasi dalam Menumbuhkembangkan Kepatuhan Santri terhadap
Dimas Kanjeng yang begitu mengakar.............................................................
130
4.4 Religiusitas sebagai Sistem Budaya di Padepokan Dimas Kanjeng........................ 133
BAB V PENUTUP 137
5.1 Simpulan................................................................................................................... 137
5.2 Saran......................................................................................................................... 138
xi
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 140
LAMPIRAN................................................................................................................... 152
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Daftar Informan Penelitian……………………………………………………45
Tabel 2. Faktor-faktor Penyebab Santri tetap Patuh terhadap Dimas Kanjeng……….. 95
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Konsep Antropologi Kognitif………………………………………...30
Gambar 2. Diagram Kuantitatif Penyebab Santri sangat Patuh terhadap Dimas Kanjeng117
Gambar 3. Peta administrasi Padepokan DK Taat Pribadi……………………………. 145
Gambar 4. Latar Belakang Ekonomi dan Pendidikan Santri Dimas Kanjeng………… 146
Gambar 5. Lukisan Santri terkait masterplan Padepokan Dimas Kanjeng ke Depannya.146
Gambar 6. Kondisi Tenda sebagai Tempat Tinggal salah 1 santri………………………146
Gambar 7. Tenda Tempat Tinggal Santri Dimas Kanjeng……………………………… 147
Gambar 8. Gerbang Pintu Masuk menuju Masjid Padepokan Dimas Kanjeng………... 147
Gambar 9. Wawancara dengan Santri Padepokan Dimas Kanjeng…………………….. 147
Gambar 10. Santriwan-santriwati Dimas Kanjeng beserta anaknya…………………… 148
Gambar 11. Santriwan-santriwati Dimas Kanjeng dalam membentuk Keterikatan,
Kekerabatan dengan Membuat Keripik Bersama di Aula Padepokan………….148
Gambar 12. Santri sedang menjalankan ajaran dari Dimas Kanjeng untuk selalu berfaedah
untuk sesama (altruisme: sikap mau berkorban demi kepentingan orang
lain)………………………………………………………………………...148
Gambar 13. Santriwan-santriwati DK beserta anak-anaknya seusai olahraga Senam Pagi
bersama sembari menanti kabar terkait Dimas Kanjeng kapan datangnya
kembali…………………………………………………………………….149
Gambar 14. Santri tatkala sedang menanti dan memberikan support DK di persidangan
dengan tak kenal menyerah………………………………………………..149
Gambar 15. Wawancara dengan Santri DK…………………………………………...…150
Gambar 16. Ketaatan Santri sedang melaksanakan perintah ajaran Dimas Kanjeng untuk
selalu menunaikan Shalat Berjamaah……………………………………...150
Gambar 17. Santri sedang melaksanakan ajaran dari Dimas Kanjeng untuk selalu istighosah,
pengajian dan berdoa bersama…………………………………157
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Pedoman Wawancara dan Analisis Data………………………………. 152
Lampiran 2. Berita Acara Seminar Proposal Skripsi……………………………….. 207
Lampiran 3. Berita Acara Seminar Hasil Skripsi………………………………….. 209
Lampiran 4. Perencanaan Pembimbingan Skripsi………………………………….. 211
Lampiran 5. Berita Acara Bimbingan Skripsi………………………………………. 212
Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian…………………………………………………….. 214
Lampiran 7. Surat Pernyataan……………………………………………………….. 215
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Padepokan adalah lokasi di mana para pujangga menggali ilmu dan mengasah
potensi diri pada sosok figur yang diyakini berpotensi „mendidik‟. Padepokan
merupakan nama lain dari pesantren dan pada umumnya pesantren adalah
lembaga pendidikan yang dihidupi dengan gejala sosio kultural yang „unik‟ untuk
dikaji. Salah satunya ialah penyebab santri sangat patuh terhadap kiai.
Karakteristik padepokan (pesantren) hampir mirip madrasah India dan Timur
Tengah, pada umumnya kiai pengasuhnya menyelesaikan tahap pendidikan akhir
di lembaga pusat pengajaran agama prestisius di Tanah Arab. Adapun komponen
bangunan pesantren terdiri dari masjid untuk tempat peribadatan bersama, rumah
kediaman kiai yang berada dalam kompleks pesantren dan asrama untuk tempat
tinggal santri (Wahid, 1980: Wahjoetomo, 1997).
Hal tersebut juga berlaku di Padepokan Dimas Kanjeng. Dimas Kanjeng
„Taat Pribadi‟ biasa dipanggil santrinya dengan sebutan “Mas Kanjeng”, “Yang
Mulia”, “Guru”, “Romo”, “Yai” dan lain-lain. Pada konteks Padepokan Dimas
Kanjeng, semua aspek tersebut juga terdapat di satu lingkup Padepokan Dimas
Kanjeng. Baik masjid yang besar, rumah kediaman Dimas Kanjeng yang mewah,
dan asrama putra-putri yang terlihat luas, besar dan kokoh semuanya berkumpul
menjadi satu dan saling mendukung satu sama lain. Padepokan tersebut berisi
beragam santri yang berasal dari berbagai asal-usul (daerah, agama, suku,
pendidikan) yang berbeda. Padepokan Dimas Kanjeng akhirnya identik dengan
2
pluralisme dan multikulturalisme, meskipun multikultural, namun jalinan
kekerabatan di antara santri begitu rekat dan harmonis. Selain itu, mayoritas santri
di Padepokan Dimas Kanjeng begitu sopan dan mematuhi segala petuah Dimas
Kanjeng, tanpa menangkal sedikitpun.
Bicara soal kepatuhan santri terhadap “Dimas Kanjeng”, pembicaraan
tersebut tidak luput dari konteks hubungan patron-klien antara santri dan kiai yang
mengakibatkan mencuatnya strata sosial dan ketergantungan yang mendalam dari
santri terhadap Kiai Dimas Kanjeng. Fenomena yang berkembang di Padepokan
Dimas Kanjeng, santri mengapresiasi “sang guru” tersebut sampai mengkultuskan
bahwa “Dimas Kanjeng seorang Nabi”. Landasan santri melakukan penghormatan
yang mendalam terhadap Dimas Kanjeng disebabkan adanya kewibawaan kiai
yang menurut para santri bersumber dari keturunan Nabi Muhammad SAW,
keturunan Sunan Kalijaga dan adanya kepercayaan yang dijadikan prinsip hidup
santri bahwa, menangkal sosok “Kiai atau Guru” mengakibatkan „kualat‟.
Tipe kepemimpinan patronase „dominasi Kiai terhadap santri‟ yang
berkembang di padepokan mengakibatkan kepemimpinan bersifat feodal yang
diselimuti oleh busana keagamaan atau wacana kerohanian sang guru (Nurhayati,
2000). Otoritas Dimas Kanjeng yang dominan terhadap santrinya mengakibatkan
santri merasa terikat dengan Dimas Kanjeng, minimal sebagai sumber inspirasi
dan tuntunan moral dalam kehidupan pribadinya. Kiai Dimas Kanjeng selalu
dipandang benar oleh santrinya yang membuat santri selalu merasa terkesima.
Fakta sosial tersebut juga diperkuat oleh penelitian terdahulu (Nurhayati: 2000),
3
yang mengatakan bahwa “kiai merupakan sosok panutan dan biduan, tidak
mungkin akan mengajarkan doktrin-doktrin yang salah”.
Santri menganggap kiai merupakan sosok seorang yang wajib dipatuhi,
dihargai, yang mana kiai dinilai mempunyai kekuatan supranatural yang dapat
memberi berkah, bahkan ujian „celaka‟ (Zakiyah, 2000). Potensi supranatural
pada diri seorang kiai yang dapat mengantarkan pada kesuksesan dikenal dengan
istilah barokah, yang diartikan sebagai the gift atau nikmat Tuhan (Dhofier, 1994).
Kekuatan supranatural yang terdapat pada pribadi kiai dapat meningkatkan pesona
atau citra potensi pribadi seorang kiai. Sebab seringkali syarat utama seorang kiai
dinilai mempunyai banyak barokah apabila mempunyai keistimewaan pribadinya.
Van Bruinessen (1999) mengatakan bahwa, peranan dan keistimewaan pribadi
kiai memiliki pengaruh yang besar dalam meningkatkan kepercayaan santri. Sikap
menghargai dan kepatuhan mutlak kepada kiai merupakan poin utama yang
diajarkan kepada seluruh santri sejak awal menjadi santri baik dari keluarga santri
maupun dari kiai.
Akhirnya santri selalu menjaga rasa patuh terhadap kiai dengan harapan agar
sang kiai juga dapat memenuhi fungsi dan tanggung jawabnya sebagai orang tua
dari santri yang sudah sepantasnya untuk memberikan tuntunan akhlak kepada
anak. Begitupun juga santri, sebagai anak sudah „selayaknya‟ menjalankan
tugasnya untuk mematuhi perintah dari atasannya (teori struktural fungsional,
yang juga dapat memicu berkembangnya budaya paternalistik). Kegigihan para
santri dalam mematuhi nasehat gurunya merupakan salah satu pendorong
sakralnya suatu padepokan.
4
Kesakralan suatu tempat merupakan salah 1 faktor yang membentuk
keyakinan dan kepatuhan santri begitu mendalam terhadap kiai (Sztompka, 1999).
Bagi santri Dimas Kanjeng sebagian besar santri merasakan aura sensasi yang
berbeda tatkala tinggal di Padepokan Dimas Kanjeng. Tatkala cuacanya panas,
begitupun juga dengan teriknya matahari di lingkungan sekitar pondok, namun
bagi santri di padepokan terasa sejuk, dingin. Bagi santri, Padepokan Dimas
Kanjeng tempat di mana para malaikat berkumpul, di padepokan terdapat harta
karun yang suatu saat harta tersebut menurut santri “akan cair” dan dapat
dikontribusikan untuk mengentaskan kemiskinan umat.
Pada umumnya, budaya yang berkembang di kehidupan pesantren atau
padepokan yaitu kental akan budaya asetisme (pengkultusan sosok pribadi kiai)
yang juga didukung adanya komitmen dan kesediaan melaksanakan segala yang
diperintah oleh kiai. Hal tersebut dilaksanakan oleh santri agar karomah sang kiai
dapat menular dan membekas dalam kepribadian santri (Wahid, 1980). Sehingga
kepribadian santri tidak lain merupakan hasil konstruksi yang dibentuk dari
seorang kiai, sebab kedekatan antara santri dan kiai begitu intim. Hal tersebut
salah satunya juga dipengaruhi oleh bahasa kiai yang begitu lembut dalam
mendidik para santri di Padepokan Dimas Kanjeng.
Menurut O‟dea (1987) padepokan atau kelembagaan agama terdiri atas tiga
tingkatan yang saling mempengaruhi, yaitu ibadah, doktrin dan organisasi.
Doktrin diberikan oleh pemimpin padepokan yang menjadi tokoh agamis dan
berkarisma. Dalam pengertian luas, doktrin adalah ajaran agama dan nasihat yang
diberikan pemimpin padepokan kepada pengikutnya. Namun makna doktrin
5
seolah menjadi menyempit dalam fenomena yang terjadi di Padepokan Dimas
Kanjeng. Padepokan Dimas Kanjeng yang terletak di Desa Wangkal, Kecamatan
Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur ini dipimpin oleh Taat Pribadi.
Karisma dan keterampilan Taat Pribadi menggunakan adat kerohanian
untuk “membentuk” akidah masyarakat, mengakibatkan padepokan Dimas
Kanjeng ini pernah memiliki hingga 23.000 pengikut. Para pengikutnya berasal
dari seluruh penjuru tanah air, menariknya adalah 70% pengikut merupakan kaum
terdidik yang sebelumnya berprofesi sebagai politisi, kepala sekolah, kepala dinas
dan dokter. Makna kata “doktrin” dikatakan menjadi “seolah” menyempit karena
menurut masyarakat awam, pemikiran para pengikut padepokan ini telah
diarahkan untuk mendapatkan kenyamanan hidup dengan memberikan mahar
kepada padepokan dan bisa dilipatgandakan.
Padahal menurut keyakinan para pengikut, mereka sangat yakin kepada
pemimpin padepokan yang suatu saat akan menuntunnya ke ridho Allah dan
mendapatkan rahmatan lil alamin. Jadi, menurut para santri mahar yang diberikan
kepada padepokan akan sepadan dengan kesejahteraan, ridho Allah dan rahmat
Allah SWT yang akan mereka dapatkan di kemudian hari. Secara teoritis,
kepatuhannya ini didukung oleh tingginya homogenitas dalam masyarakat
sehingga cenderung memiliki kepercayaan yang sama.
Pengikut dengan karakter di atas cenderung akan loyal dan “melupakan”
kekritisan dan kelogisan berpikirnya karena menganggap nasihat „bahasa‟
pemimpin padepokan berpengaruh besar terhadap hidupnya. Menurut Ennis
dalam Baron dan Stenberg (Eds, 1987), berpikir kritis adalah mampu mengatur
6
gagasan dan berpikir secara analitik untuk menganalisis serta mengklarifikasi
informasi berdasarkan bukti untuk menguji kebenarannya, kebaharuannya,
reliable dan konsisten tidaknya. Berpikir kritis disertai adanya keputusan untuk
melakukan suatu tindakan. Sementara itu, berpikir logis menurut Jujun
Suriasumantri (1996) adalah proses pembuatan kesimpulan dan penyataan
berdasarkan peluang yang ada menggunakan penalaran secara sistematis.
Selanjutnya, cara berpikir bahwa materi adalah sumber kebahagiaan di
kemudian hari inilah yang dimanfaatkan oleh sang pemimpin padepokan untuk
menjalankan aksinya dan memperoleh pengikut setia sebanyak-banyaknya. Para
pengikut tetap bertahan di padepokan ketika sang pemimpin „Dimas Kanjeng‟
telah ditahan oleh kepolisian karena kasus pembunuhan. Dimas Kanjeng
meskipun telah dipenjara, menariknya 700 santri masih bertengger manja menetap
di padepokan dengan semangat untuk mematuhi segala ajarannya. Realitas
tersebut dalam pandangan dunia, berkembang dalam ruang dan waktu. Hal
tersebut yang membuat saya tertarik untuk mengkaji fenomena kepatuhan santri
Dimas Kanjeng yang begitu membudaya di Padepokan Dimas Kanjeng.
Fenomena tersebut dianggap menarik, sebab santri tanpa pernah memandang
sedikitpun keburukan dari sang guru „Dimas Kanjeng‟. Dalam benak santri, yang
ada ialah bagaimana caranya tetap mematuhi Dimas Kanjeng sampai kapanpun,
meskipun orang lain tidak sepenuhnya percaya terhadap kehebatan Dimas
Kanjeng. Sejarah dan keberagaman cara hidup manusia yang bersifat lokal
tersebut merupakan salah 1 pertanda dari kebesaran Tuhan yang patut untuk dikaji
(Al Faruqi, I.R dan Al Faruqi, L.L., 1998).
7
1.2 RUMUSAN MASALAH
a. Apa saja penyebab santri sangat patuh terhadap Dimas Kanjeng?
b. Bagaimana bentuk kepatuhan santri Dimas Kanjeng di Padepokan Taat
Pribadi di Desa Wangkal, Kecamatan Gading jika dikaji berdasarkan
perspektif antropologi kognitif?
1.2 TUJUAN PENELITIAN
a. Untuk mendeskripsikan penyebab santri sangat patuh terhadap Dimas
Kanjeng.
b. Untuk mendeskripsikan berbagai bentuk kepatuhan santri Dimas Kanjeng
di Padepokan Taat Pribadi di Desa Wangkal, Kecamatan Gading,
Kabupaten Probolinggo berdasarkan perspektif antropologi kognitif.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
a. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi
dan referensi terkait yang dikaji, yaitu dari keilmuan antropologi kognitif
dan patron klien dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan
antropologi dan kajian tentang kepatuhan santri Dimas Kanjeng juga
berkontribusi dalam pengembangan ilmu psikologi sosial.
b. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
ilmu dan pengetahuan bagi masyarakat Indonesia tentang bagaimana
kepatuhan santri yang seharusnya terhadap gurunya. Dapat menghasilkan
rekomendasi budaya paternalistik dari sikap dan tindakan positif santri
8
dalam mengembangkan kepatuhan terhadap gurunya. Dalam hal ini
bagaimana kepatuhan dan kesetiaan santri Dimas Kanjeng terhadap maha
gurunya tanpa mengkhianati apa yang diajarkan oleh gurunya „Dimas
Kanjeng‟.
c. Manfaat bagi subjek penelitian. Penelitian ini dapat dijadikan bahan
renungan dan evaluasi bagi pengurus Padepokan Dimas Kanjeng terkait
dengan bagaimana sejauh ini tingkat kepatuhan santri (baik santri yang
baru maupun santri yang lama) dalam mematuhi segala ajaran yang telah
disampaikan oleh Dimas Kanjeng, yang dalam konteks ini ajaran Dimas
Kanjeng telah menjadi bagian tata tertib di Padepokan Dimas Kanjeng.
Penelitian ini berusaha mendeskripsikan bagaimana antusiasme dan
implementasi kepatuhan santri terhadap Dimas Kanjeng, sehingga dapat
mengakar pada kehidupan santri, yang mana melalui kepatuhan tersebut
dapat meningkatkan efikasi diri dan etika sosial santri.
1.5 TINJAUAN PUSTAKA
Tingkat kepatuhan santri yang begitu mendalam terhadap kiai merupakan
fakta sosial yang telah diketahui oleh khalayak umum. Penelitian terhadap
fenomena tersebut juga sudah banyak dikaji dalam studi kasus yang lain.
Akan tetapi, penelitian terkait studi antropologi kognitif terhadap kepatuhan
santri Dimas Kanjeng „Taat Pribadi‟ belum saya temukan dalam kajian lain.
Topik mengenai studi antropologi kognitif terhadap kepatuhan santri Dimas
Kanjeng dipilih karena sebagai upaya untuk menghindari tindakan plagiarism
9
dari penelitian yang telah ada sebelumnya. Adapun beberapa kajian yang
ditulis dalam skripsi maupun jurnal yang terkait dengan studi antropologi
kognitif terhadap kepatuhan santri Dimas Kanjeng terdiri dari sebagai berikut:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh St Ma‟rufah, dkk., (2014)
yang berjudul Persepsi terhadap Kepemimpinan Kiai, Konformitas dan
Kepatuhan Santri terhadap Peraturan Pesantren. Penelitiannya berfokus
untuk mengungkapkan pengaruh persepsi terhadap kepemimpinan kiai dan
konformitas dengan kepatuhan santri terhadap peraturan yang berlaku di
pesantren. Respondennya terdiri dari 115 santri Pondok Pesantren Raudhatul
Ulum Arrahmaniyah Sampang. Jenis penelitiannya yaitu deskriptif kuantitatif
yang diuji dengan memakai cara statistik.
Indikator penelitian yang dipakai ialah skala konformitas, skala persepsi
terhadap kepemimpinan kiai dan skala kepatuhan. Hasil analisis uji regresi
linier berganda di SPSS menunjukkan nilai F= 22,879 dan P= 0,000 (p<0,01).
Hasil penelitiannya menegaskan bahwa secara bersamaan persepsi terhadap
kepemimpinan kiai dan konformitas dengan kepatuhan santri terhadap tata
tertib pesantren terdapat hubungan yang signifikan (positif).
Hasil analisis uji koefisien determinasi memaparkan bahwa persepsi
kepada kepemimpinan kiai dan konformitas mampu mempengaruhi tingkat
kepatuhan santri pada tata tertib pesantren. Persamaan penelitian tersebut
dengan penelitian saya ialah sama-sama menggunakan variabel kepatuhan
sebagai objek utama yang diteliti. Selain itu, hasil penelitian saya dengan St
Ma‟rufah, dkk., (2014) sama-sama menunjukkan bahwa adanya konformitas
10
dan persepsi yang positif terhadap kepemimpinan kiai berpengaruh terhadap
peningkatan kepatuhan santri kepada gurunya.
Adapun perbedaan penelitian saya dengan penelitian St Ma‟rufah, dkk.
(2014) yaitu cara pendekatan saya dalam menilai tingkat kepatuhan santri
terhadap kiai. Penelitian terdahulu menggunakan pendekatan psikologi untuk
melihat sejauh mana tingkat kepatuhan santri dengan menyebarkan angket
sebagai instrumen penelitiannya (metode penelitian survei) dan diuji melalui
analisis regresi linier berganda untuk mengetahui seberapa besar hubungan
antara adanya sikap konformis dan persepsi yang positif terhadap
kepemimpinan sang „kiai‟ dalam meningkatkan kepatuhan santri.
Saya menggunakan pendekatan antropologi dalam mengetahui dan
menilai tingkat kepatuhan santri dengan live in di Padepokan Dimas Kanjeng
untuk mengetahui tindakan santri dalam kesehariannya. Saya melakukan
observasi partisipasi dengan mengikuti segala kegiatan santri mulai bangun
tidur, hingga menjelang tidur kembali. Mulai dari melihat antusiasme santri
tatkala mengikuti istighosah pagi, shalat jamaah subuh di masjid padepokan,
hingga bagaimana sikap santri untuk membangunkan kawannya tatkala
melihat temannya (santri lain) masih tertidur nyenyak belum mengikuti shalat
berjamaah.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Fathul Lubabin Nuqul (2007)
yang berjudul Perbedaan Kepatuhan terhadap Aturan Tinjauan
Kepribadian Introvert-Ekstrovert, Jenis Kelamin dan Lama Tinggal di
Ma‟had Ali Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Penelitian Fathul
11
Lubabin Nuqul (2007) bertujuan untuk mengetahui perbedaan intensitas
kepatuhan terhadap aturan pada santri Ma‟had Sunan Ampel Al Aly yang
dinilai dari aspek karakteristik kepribadian (baik introvert ataupun
ekstrovert), jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) dan waktu tinggal
(rentang lama tidaknya). Harapan peneliti dari hasil penelitiannya yaitu
dapat berkontribusi praktis pada peningkatan manajemen pola pendidikan di
Ma‟had Sunan Ampel Al Aly. Berdasarkan hasil risetnya, Nuqul
menegaskan bahwa tindakan manusia tidak pure ditentukan oleh
kepribadian diri sendiri saja (introvert atau ekstrovert), namun aspek
eksternal juga dapat mendominasi dalam pembentukan karakter.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Baron dan Byrne (2005) yang
mengatakan bahwa terdapat 5 faktor yang mengintervensi karakter
seseorang, yaitu lingkungan fisik, faktor biologis, karakter orang lain, proses
kognisi dan pengaruh tradisi atau culture. Individu yang ekstrovert dapat
mudah beradaptasi dengan komunitasnya (konformis), namun hal tersebut
juga menjadi tantangan jika komunitas atau lingkungannya justru
mendorongnya untuk melakukan hal yang menyimpang dari tatanan norma
sosial yang telah berlaku di masyarakat dan “dianggap benar”. Dalam
mematuhi tidaknya norma, juga dipengaruhi oleh sejauh mana dukungan
sosial yang oleh Icek Ajzen (1980) disebut dengan kontrol sosial.
Jadi individu yang mematuhi aturan dengan baik tentunya didukung
oleh komunitas yang mendukung di belakangnya. Rasa nyaman dan aman
juga dapat mendorong kepercayaan terhadap komunitas, sehingga individu
12
secara ikhlas semangat untuk mematuhi otoritas. Berbanding terbalik
dengan statement di atas, adanya rasa cemas mengakibatkan individu
menjadi takut dan akhirnya patuh.
Dari hasil pengujian intensitas kepatuhan terhadap norma-norma
antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki diketahui bahwa tingkat
intensitas perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Hal tersebut
disebabkan perempuan memiliki jiwa lebih lembut (feminin). Hasil
penelitian Nuqul juga memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan intensitas
kepatuhan terhadap norma-norma antara santri yang baru dengan santri yang
sudah menetap dalam kurun waktu yang lama.
Hasil penelitian Nuqul mengukuhkan bahwa santri baru justru tingkat
kepatuhannya lebih tinggi dari pada santri yang telah berguru lebih lama.
Hal tersebut justru berbanding terbalik dengan studi kasus santri Dimas
Kanjeng. Santri Dimas Kanjeng yang telah menetap di padepokan lebih
lama, cenderung sangat mendewa-dewakan Dimas Kanjeng,
menyayanginya secara mendalam, mengilhami semua gerakan yang telah
diperagakan oleh Dimas Kanjeng, bahkan bagi santri hidup ini terasa sepi
tanpa adanya Dimas Kanjeng. Santri Dimas Kanjeng yang lebih baru, juga
patuh terhadap Dimas Kanjeng, namun rasa sayangnya lebih mendalam
santri yang lama.
Rasa patuh santri Dimas Kanjeng dibuktikan dengan santri tetap
menjalankan rutinitas yang selama ini telah diajarkan oleh Dimas Kanjeng
seperti, mengadakan pengajian 3x sehari di masjid padepokan, menyantuni
13
anak-anak yatim di sekitar padepokan, memberi sembako untuk warga yang
kurang mampu di lingkungan padepokan, melayani tamu secara baik yang
berkunjung di padepokan, senyum untuk menyayangi yang muda, sopan
santun pada yang tua (mengedepankan budaya paternalistik) dan lain-lain.
Semua tindakan tersebut dikerjakan santri dengan penuh semangat, tanpa
keluh kesah meskipun Dimas Kanjeng telah dipenjara.
Bagi santri meskipun secara raga Dimas Kanjeng tidak ada, namun
secara psikis menurutnya Dimas Kanjeng selalu menuntun hati dan tingkah
lakunya dalam berbuat. Tidak jarang santri Dimas Kanjeng selalu
memimpikan Dimas Kanjeng hadir kembali di padepokan dan kembali
menuntunnya. Bahkan santri yakin, setiap tindakan yang dilakukan
bertentengan dengan nasehat atau tuntunan yang telah diberikan Dimas
Kanjeng, maka karma selalu terjadi pada hidupnya.
Ketiga, penelitian Asep Kurniawan (2017) yang berjudul Loyalitas
Santri (teamwork) terhadap Kepemimpinan Kiai Dalam Manajemen
Pesantren. Berdasarkan penelitian Kurniawan, menurutnya teamwork
(loyalitas) yang bagus menjadi pendorong kesuksesan manajemen pondok
pesantren. Kondisi tersebut menurutnya by design, yang dipengaruhi oleh
faktor visi lembaga yang jelas dan masing-masing individu tujuannya juga
sesuai dengan goal yang ingin dicapai oleh lembaga yang dinaungi.
Komitmen individu diperlukan untuk berpartisipasi dalam menjaga
kekompakan (teamwork) dan toleran satu sama lain di pondok pesantren.
Teamwork dalam dunia pesantren merupakan satu kesatuan dari pengelolaan
14
pondok dalam pimpinan kiai, jadi dapat disimpulkan bahwa loyalitas identik
dengan sebuah pondok pesantren maupun padepokan. Berbagai gaya dan pola
kepemimpinan kiai selalu disertai dengan tingginya sikap loyalitas dari
bawahan.
Loyalitas teamwork pondok pesantren lahir dari kepemimpinan kiai
yang menerapkan model mitra-kolegial, keteladanan kiainya dan potensi
kepemimpinan spiritual kiainya yang meliputi esensi dari kepemimpinan
adalah ujian, amanah dari Tuhan dan manusia. Seorang pemimpin hakikatnya
ialah mengayomi, mendorong semangat, memberdayakan, memanusiakan dan
mengilhami. Goal dari kepemimpinan yaitu menebar kasih, mengajak
kebaikan dan menyalurkan rahmat Tuhan.
Keempat, penelitian yang dilaksanakan oleh Umar Anwar (2016), yang
berjudul “Tindak Pidana Penggandaan Uang dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (Tinjauan Kasus Penggandaan Uang Dimas Kanjeng Taat
Pribadi). Hasil penelitiannya menegaskan bahwa analisis pembuktian tindak
pidana penggandaan uang yang digeluti dan digencarkan oleh Dimas Kanjeng
tidak termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
namun kasus penggandaan uang tersebut dapat dikaji dengan mengadopsi
pendekatan „modus operandi‟ yang mengatakan bahwa tindakan
menggelapkan dan membohongi santrinya untuk membayar sejumlah mahar
agar suatu saat dapat berubah berlipat ganda merupakan tindakan „modus‟
untuk mengelabui para santrinya. Alhasil masih terkena pidana Pasal 378
KUHP penipuan, Pasal 374 KUHP penggelapan, melanggar Undang-Undang
15
Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang pasal 2 ayat 1, serta Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan.
Persamaan penelitian Umar Anwar (2016), dengan saya yaitu sama-
sama meneliti tentang Dimas Kanjeng. Umar Anwar mengkaji fenomena
Dimas Kanjeng dari segi hukum dengan memakai Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana sebagai alat analisisnya. Saya mengkaji fenomena Dimas
Kanjeng dari sudut pandang proses kognisi santri Dimas Kanjeng hingga
akhirnya membentuk perilaku patuh yang begitu mendalam terhadap Dimas
Kanjeng dan stereotipe yang terbentuk apabila mendengar Padepokan Dimas
Kanjeng ialah padepokan yang kental akan budaya paternalistiknya.
Kelima, artikel yang berjudul Postmodern patriotism: teachers’
perceptions of loyalty to Singapore (Chua and Sim, 2017). Singapore telah
dilembagai oleh Partai Aksi Rakyat (PAR) sejak kemerdekaan,
mengakibatkan proses peradaban bangsa yang semakin maju pesat.
Pemerintah PAR memiliki power yang dapat dijadikan standar hidup dan
wawasan bangsa Singapore seakan kualitas bangsa di dunia pertama. Warga
Singapore yang tidak patriot disebut dengan individu yang egois. Dalam
jurnal tersebut dijelaskan bahwa definisi atau konsepsi patriotisme di
Singapore mengalami perkembangan (sikap patriotism yang beragam), yang
mengakibatkan pandangan mengenai patriotisme tidak hanya soal kesetiaan
pada suatu Negara, namun patriotism juga identik dengan kebutaan,
16
indoktrinasi dan pengkultusan seseorang. Sebab Patriotisme juga soal
hubungan antara warga dengan warga lainnya (patriotisme konservatif,
liberal, dll).
Patriotisme terkait dengan adat istiadat, konstruksi sosial, kognisi,
kepedulian sosial, dst. Dalam artikel ini juga dijelaskan bahwa macam-
macam patriotisme, ada patriotism kosmopolitan, patriotism berbasis
masyarakat, patriotisme pada seorang guru, dll. Seorang warga Negara wajib
menjadi seorang patriot, sebab sifat kewarganegaraan yang baik adalah
patriotisme dan berkorban demi kebaikan kolektif (Ellis dan Brown, 2005).
Patriotisme nasionalistik merupakan patriotisme yang berkontribusi terhadap
masyarakat setempat, warga Negara tidak dapat melampaui batas, harus
menghormati otoritas dan bersedia menanggung beban.
Gerakan sosial patriotisme dicirikan dengan adanya semangat publik,
perjuangan kolektif dan pengorbanan diri untuk tujuan bersama (Dietz, 2002:
208). Kewarganegaraan yang peduli sosial dicirikan dengan terlibat langsung
dalam isu-isu lokal (advokasi sosial). Hasil kajian (Chua and Sim, 2017) di
atas, juga hampir mirip dengan studi kasus yang terdapat di Padepokan Dimas
Kanjeng, yang mana Dimas Kanjeng juga mengajari santrinya untuk menjadi
warga NKRI yang tauladan dan patuh, selain taat pada Negara, santri selalu
diajari untuk menghormati dan sedia berkorban terhadap orang tua maupun
gurunya. Dalam konteks ini Dimas Kanjeng (DK) juga menanamkan nilai-
nilai patriotisme terhadap santrinya, hingga akhirnya budaya kepatuhan
begitu mengakar atau menjiwai santri-santri Padepokan Dimas Kanjeng.
17
Itulah sebabnya, mengapa faktor ajaran dari Dimas Kanjeng memegang
peranan yang vital atau mendominasi yang mendorong rasa patuh santri
terhadap DK begitu mengakar.
Keenam, tulisan E Cunha, MP., dkk. (2010) yang berjudul Obedience
and Evil: From Milgram and Kampuchea to Normal Organizations. Jurnal
ini berbicara tentang bagaimana rezim Khmer Merah membentuk dan
mengorganisasikan pasukan tentara yang masih anak-anak untuk taat dan
patuh tanpa syarat. Jadi pada artikel ini mengatakan bahwa kepatuhan
merupakan konstruksi sosial, yang dapat dilegitimasi, ditumbuhkembangkan,
bahkan juga dipatahkan. Kepatuhan yang ekstrem dapat dibentuk dan
dilembagai dalam konteks kelembagaan yang total.
Penulis artikel ini memaparkan bahwa kepatuhan erat kaitannya dengan
kepemimpinan, sistem politik, organisasi sosial, human right, etika sosial.
Selain itu kepatuhan di Negara Kamboja juga dipengaruhi oleh indoktrinasi
untuk mencapai wacana yang dinilai “utopis”, yaitu masyarakat tanpa kelas.
Kondisi yang saklek dengan adanya dominasi yang kuat mendorong perilaku
seseorang mudah ditebak dengan melihat pada kepentingan-kepentingan
agensi yang dinaungi. Sehingga orang yang patuh dapat saja melakukan
tindak kekerasan dengan dalih “mematuhi perintah otoritas”.
Sifat dari organisasi yang eksklusif terkadang mengikis rasa tanggung
jawab individu terhadap kepribadian dan moralnya sendiri. Jadi faktor karena
18
mematuhi perintah atasan terkadang dijadikan alasan atau kedok untuk lari
dari sanksi dan tanggung jawab atas perbuatan atau tindakan yang mereka
lakukan sendiri. Kepatuhan terjadi karena adanya permintaan, internalisasi
dan sosialisasi untuk mentaati sejumlah figur otoritas seperti orang tua, guru,
petugas polisi, yang terkadang diyakini memiliki kebaikan tertentu yang
mana orang yang mematuhi terindikasi “miskin alternatif perlindungan dari
pihak lain”.
Kepatuhan yang ekstrim dapat dimotori oleh negara melalui sistem
ideologi, seperti halnya di Kamboja yang terkenal dengan kediktatorannya
memanfaatkan partai komunis untuk melanggengkan kekuasaan atau alat
hegemmoni bagi anak-anak di bawah umur untuk menjalankan wajib militer
demi tercapainya tujuan organisasi yang totaliter, sehingga kebebasan
individu di Kamboja dibatasi. Kepatuhan dapat dikontrol atau diteror, yang
salah satunya menggunakan dalih mengurangi kelaparan sebagai mekanisme
kontrol yang utuh untuk menghancurkan doktrin dan perlawanan otonom.
Dalam artikel ini dijelaskan bahwa kehidupan orang yang patuh, seperti
dipenjara atau tahanan. Hal tersebut berbeda halnya dengan studi kasus di
Padepokan Dimas Kanjeng yang mana santri yang patuh cenderung sangat
bahagia meskipun harus meninggalkan keluarganya sendiri baginya tidak
masalah (padepokan tetap yang utama).
Adapun di Kamboja, rezim digunakan untuk memanfaatkan tentara
anak untuk mendorong agar revolusi dapat berhasil di negara tersebut. Khmer
Merah memanfaatkan anak-anak untuk kepentingan militer yang
19
beranekaragam (pertempuran, transportasi amunisi, pasokan, kontrol pos
pemeriksaan, mata-mata, layanan di wilayah desa, dll). Kebijakan tersebut
sengaja dipraktikkan guna mewujudkan masyarakat yang sederajat tanpa ada
perbedaan stratifikasi (negara komunis). Secara teoritis, Khmer Merah sangat
cerdas dengan melihat anak-anak sebagai agen monopoli yang masih lugu
„belum rusak‟ oleh stimulus-stimulus kapitalis dan borjuis dan yang paling
luwes untuk dipimpin secara leluasa baik untuk kepentingan praktis,
ideologis, maupun fungsional.
Ketuju penelitian Timothy Steffensmeier (2016), yang berjudul
Developing Citizen Leaderhip in Myanmar: the Deboer Fellowship. Dalam
jurnal tersebut berfokus pada bagaimana pengembangan karakter
kepemimpinan warga Myanmar yang selama ini bangsa Myanmar dikenal
dengan bangsa yang tertinggal dengan pola kepimimpinannya yang
autokratis, di negaranya yang otoriter, terpusat, dll. Penulis menegaskan
bahwa kepemimpinan bukan merupakan “posisi, atau kedudukan, bahkan
jabatan”, namun kepemimpinan tidak lain ialah suatu kegiatan untuk merubah
keadaan yang semula tidak tertata menjadi lebih baik, lebih maju dan
terkonsep. Jaringan atau komunitas dapat memperkuat warga untuk turut
berpartisipasi dalam otomatisasi.
Penyelesaian masalah pada isu-isu publik, manajemen diri untuk
pemecahan masalah publik dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis.
20
Tujuan dari artikel (Steffensmeier, 2016), untuk menganalisis peran dan
dampak persekutuan Doboer terhadap pengembangan kharakter
kepemimpinan warga Myanmar dalam mewujudkan civil society. Selain itu,
ingin mengetahui kapasitas kepemimpinan warga Negara Myanmar di daerah
dan di Negara dalam konteks sistem ekonomi dan politik yang sama. Pada
bagian penutup artikel tersebut dijelaskan terkait dampak kepemimpinan
adaptif.
Dalam artikel tersebut R.A. Heifetz (2014), kepemimpinan tidak hanya
soal diskusi dan negosiasi antara pemimpin dengan pengikut, namun yang
lebih esensial ialah bagaimana menyikapi masalah dan tantangan yang
kompleks yang dihadapi oleh suatu kelompok, memobilisasi, bagaimana ber-
transformasi, bagaimana menghadapi realitas yang menantang? Dijelaskan
bahwa kepemimpinan yang adaptif tidak hanya bisa diselesaikan oleh seorang
yang memiliki otoritas yang dapat mengarahkan orang lain untuk
menyempurnakannya. Dengan kata lain, semua harus terlibat dan
bekerjasama, berdedikasi untuk mencari alternatif solusi pemecahan masalah
sosial yang kompleks.
Karakter pemimpin yang adaptif fokus pada tujuan bersama, mampu
beradaptasi dalam setiap permasalahan yang hadir tanpa terencana dan
meskipun juga tanpa adanya kepastian kapan selesainya. Heifetz dan Linsky
(2004), menjelaskan bahwa kemauan dan kecakapan beradaptasi dicirikan
dengan adanya kesediaan bermanfaat bagi siapapun, terutama dalam
komunitasnya, baik dalam tugas bidang apapun, yang terpenting dapat
21
berkontribusi untuk kemajuan kelompoknya, meskipun di hadapannya
terdapat ujian dan ancaman yang rumit sekalipun. Fenomena tersebut jika
dikorelasikan dengan yang terjadi di Padepokan Dimas Kanjeng memiliki
relevansi, di mana santri tetap bertahan di padepokan untuk menjalankan
ajaran-ajaran Dimas Kanjeng seperti istighosah dan pengajian bersama,
meskipun ancaman eksternal seperti keluarga, saudara, maupun masyarakat
awam banyak yang melarang, mencibirnya, tanpa dihiraukan sekalipun oleh
santri. Menariknya santri sampai kapanpun akan menanti kedatangan Dimas
Kanjeng.
Kedelapan, penelitian Kedsuda Limsila & Stephen O. Ogunlana (2007),
tentang Performance and Leadership Outcome Correlates of Leadership
Styles and Subordinate Commitment. Dalam jurnal tersebut dijelaskan
bahwa perilaku atau gaya kepemimpinan dapat mengoptimalkan komitmen
organisasi bawahan, optimalisasi kinerja, yang pada akhirnya dapat
menciptakan suasana operasional organisasi yang positif. Kepemimpinan
merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Dikatakan bahwa seorang
pemimpin harus dapat mengenali pengikutnya. Kebutuhan individu apa saja
yang diperlukan pengikutnya, bagaimana tujuan hidup mereka dan berusaha
untuk memfasilitasinya. Jika pengikut terpuaskan, maka akan cenderung loyal
terhadap sang pemimpin.
Artikel tersebut berfokus ingin mengidentifikasi tipe kepemimpinan yang
paling prospektif untuk warga Thailand di era modern ini. Gaya
22
kepemimpinan yang paling efektif berpengaruh pada pengorganisasian
pengikut, efesiensi dan semangat kinerja bawahan, yang pada akhirnya
bermanfaat untuk citra sang pemimpin. Tipe kepemimpinan yang tepat dapat
mendorong pengikut untuk melaksanakan perintah secara tepat waktu dan
sesuai pada tempatnya.
Gaya kepemimpinan terdiri dari gaya Laissez-Faire, gaya transaksional
dan tipe kepemimpinan transformasional. Gaya Laissesz Faire dicirikan
dengan adanya kesenjangan antara pimpinan dengan bawahan, atasan tidak
mau tahu akan proses kinerja pengikutnya, antara kepala kelompok dengan
pengikut hubungannya sangat jauh hanya sebatas proyek, hingga akhirnya
pengikut merasa tidak terpuaskan. Gaya transaksional dimulai adanya
negosiasi atau tawar-menawar antara pimpinan dengan pengikutnya,
terjadinya sistem pertukaran atau hadiah.
Gaya transformasional dicirikan dengan kepedulian pimpinan dalam
memotivasi kinerja pengikutnya, pimpinan menjadi bagian dari kinerja
pengikutnya, hingga akhirnya hubungan berjalan secara harmonis. Pengikut
merasa hormat, fokus terhadap kesepakatan tercapainya tujuan bersama dan
setia terhadap pimpinan. Tipe kepemimpinan transformasional dipengaruhi
oleh adanya karisma atau perilaku yang diidealkan. Pemimpin menunjukkan
tekad, keuletan, etika, moral yang baik, pengorbanan diri dalam memberikan
23
keuntungan terhadap orang lain. Kepemimpinan tipe transformasional
pemimpin selalu berusaha mempertimbangkan kebutuhan bawahannya.
Yukongdi (2004) mengungkapkan bahwa gaya manajemen yang paling
disukai oleh karyawan Thailand adalah manajemen konsultatif, diikuti oleh
partisipatif, paternalistik, sementara sebagian kecil karyawan lebih menyukai
manajer otokratis. Karyawan yang menganggap manajer mereka lebih
demokratis juga melaporkan tingkat pengaruh yang lebih tinggi dalam
pengambilan keputusan, kepuasan yang lebih besar dengan partisipasi dan
kepuasan kerja. Banyak sarjana telah memberikan bukti yang bertentangan
dengan hal di atas. Contohnya, Kumbanaruk (1987) mengamati bahwa
karyawan Thailand terbiasa dengan tradisi pendekatan top-down dengan
karyawan yang menerima pesanan daripada berpikir sendiri dan
mengekspresikan ide mereka sendiri.
Budaya Thailand dicirikan oleh sistem sosial hierarkis yang ketat,
menerima ketidaksetaraan eksistensial dan nilai hubungan yang kuat (Komin,
1990). Kumbanaruk (1987) dan Komin (1990) mengemukakan bahwa
karyawan Thailand mungkin merasa tidak nyaman bekerja di lingkungan
kerja yang partisipatif. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dapat
membawa tanggung jawab yang tidak diinginkan kepada bawahan
(Rohitratana, 1998).
24
Budaya Thailand, tidak mendorong bawahan untuk berani membuat
kesalahan atau mengambil inisiatif tetapi mendukung menghindari
mengambil risiko. Risiko berarti membawa pada situasi yang tidak pasti dan
meningkatkan tanggung jawab (Holmes dan Tangtongtavy, 1995). Oleh
karena itu, tampaknya masuk akal untuk mengungkapkan bahwa bekerja di
bawah pemimpin partisipatif belum tentu mengarah pada kepuasan kerja yang
lebih besar di antara karyawan Thailand. Hofstede (1980) mengatakan bahwa
di negara-negara di mana sebagian besar karyawan takut untuk tidak setuju
dengan manajer mereka (negara-negara dengan kekuatan tinggi); bawahan
lebih memilih manajer yang tersebar di seluruh gaya otokratis atau
paternalistik.
Akibatnya, logis untuk memprediksi bahwa proporsi yang lebih besar
dari karyawan Thailand akan lebih memilih manajer otokratik atau
paternalistik, sementara lebih sedikit karyawan akan lebih memilih manajer
konsultatif. Jika dikaitkan dengan konteks Padepokan Dimas Kanjeng,
follower Dimas Kanjeng sangat patuh akan gurunya tersebut. Salah satunya
dipengaruhi oleh penanaman atau internalisasi budaya paternalistik dari
Dimas Kanjeng terhadap follower-nya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
santri berikut: “beliau kan guru kami, ya sudah sepantasnya kita untuk
mengikuti guru kami tanpa mengkritisinya, kita kan di padepokan ini dijamin
hidup kita sama mas kanjeng, ya dijamin hidup kita di dunia, maupun di
akhirat”.
25
Kesembilan, penelitian Christopher & Denny (2008) yang
berjudul One nation, three cultures: exploring dimensions that relate to
leadership in Malaysia. Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa Malaysia
merupakan negara multikultural, yang terdiri dari 3 gabungan ras besar
yang berbeda yaitu China, Indian dan Melayu. Artikel tersebut berfokus
pada studi eksplorasi pengaruh 3 kelompok etnis besar dalam
pembentukan tipe kepemimpinan di Malaysia. Dalam mempelajari tipe
kepemimpinan di 6 negara ASEAN (Brunei, Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura dan Thailand) tidak lepas dari faktor kualitas pribadi
individu, perilaku manajerial, pengaruh lingkungan dan tuntutan
organisasi.
Hasil penelitian menegaskan bahwa manajer Malaysia
mempertahankan perilaku kepemimpinan yang khas sepanjang garis etnis.
Meskipun Malaysia dikenal sebagai Negara multikultural, namun
semangat kebersamaan, anti individual dan mengedepankan kemakmuran
organisasi menjadi motto hidup yang mendalam bagi warga Malaysia.
Itulah sebabnya mengapa faktor permintaan organisasi menjadi faktor
yang mendominasi pembentukan karakter kepemimpinan di Malaysia.
26
Jika dikaitkan dengan konteks kepemimpinan Dimas Kanjeng,
mengapa Dimas Kanjeng dikenal oleh santri maupun warga sekitarnya
merupakan sosok pemimpin yang murah hati dan suka memberi, sebab
visi-misi Padepokan Dimas Kanjeng tidak lain ialah untuk mewujudkan
kemaslahatan umat, padepokan Dimas Kanjeng itu satu tanpa membeda-
bedakan santri yang ada di dalamnya dan juga tidak menghilangkan
budaya asli yang dibawa oleh santri (membantah asimilasi).
1.6 KERANGKA PEMIKIRAN
1.6.1 Antropologi
Kebudayaan disetarakan dengan istilah “culture” yang dalam Bahasa
Inggris merupakan core dari kajian 2 cabang besar antropologi, yakni
antropologi budaya dan antropologi ragawi (Baal, 1987). Konsep
kebudayaan sebagai poin utama kajian antropologi telah lahir sejak ilmu
antropologi dirintis oleh E.B Tylor. Tylor menegaskan bahwa antropologi
merupakan the science of culture dan pada bukunya yang berjudul primitive
culture (1877), Tylor menterjemahkan kebudayaan dengan:
genre “is that complex whole which includes knowledge, belief art,
moral law, custom, and any other capabilities and habits acquired
by man as member of society”
Poin utama yang menjadi penekanan dalam definisi di atas yaitu
kebudayaan adalah hal-hal yang didapatkan melalui proses belajar dan
penyesuaian diri (acquired by man). Adapun perbedaan dengan cabang
27
antropologi ragawi yaitu antropologi ragawi memandang kebudayaan
bersumber atau terbentuk melalui “faktor keturunan”.
Menurut Roger M. Keesing dalam Syaiffuddin (2005) menegaskan
bahwa definisi antropologi begitu kaya. Dalam memudahkan pemahaman
pembaca terkait konsep kebudayaan dalam arti yang sederhana dan jelas,
maka Keesing membagi konsep “kebudayaan” menjadi 4 pemetaan sudut
pandang. Pendekatan pertama yaitu pendekatan yang menganggap bahwa
kebudayaan sebagai sistem yang mengadaptasi kepercayaan dan tingkah
laku manusia yang didapatkan dengan berlatih untuk beradaptasi dengan
lingkungannya. Pendekatan kedua yaitu menganggap kebudayaan sebagai
sistem kognitif, yang mana pada konteks pendekatan ini dikenal dengan
cabangnya yaitu mulai berkembangnya etnosains dan antropologi kognitif.
Pendekatan ketiga yaitu menganggap kebudayaan sebagai sistem pola dari
simbol-simbol yang dikembangkan secara komunal oleh masyarakat.
Pendekatan ke empat yaitu kebudayaan sebagai sistem simbol beserta
maknanya yang dikembangkan manusia secara bersama dan bersifat
publik. Kebudayaan bersifat publik yaitu pola pikir dan tindakan yang
bersifat komunal menurut kelompoknya masing-masing (relativisme
kebudayaan). Baik buruknya budaya tersebut hanya dapat dinilai dari
sudut pandang kelompok yang menekuni budaya tersebut. Adapun wujud
28
kebudayaan yang dipakai untuk alat analisis dalam tulisan ini ialah wujud
budaya sebagai sistem gagasan yang berkarakter khusus.
Dalam perspektif antropologi kognitif, sistem gagasan merupakan
hakikat dari kebudayaan itu sendiri. Kajian apapun yang berkaitan dengan
kebudayaan, baik yang wujudnya perilaku maupun artefak sebagai hasil
karsa cipta manusia, semua aspek tersebut bersumber dari sistem gagasan.
Berdasarkan ulasan 4 pendekatan di atas, menurut A.L. Kroeber dan C.
Kluckhohn (1952) dalam Koentjaraningrat (1990: 181), ilmu antropologi
memandang kebudayaan sebagai cara hidup „way of life‟.
1.6.2 Antropologi Kognitif
Antropologi kognitif disebut juga dengan “ethnoscience”, etnografi
baru, ethnographic semanticks. Pada dasarnya etnografi baru merupakan
penelitian terhadap sistem penggolongan masyarakat (folk classific).
Menurut Ward Goodenough (1961), budaya sebagai sistem kognisi.
Kebudayaan pada suatu masyarakat terdapat suatu hal yang menarik untuk
dipelajari dan diyakini. Individu agar dapat bertindak pada acara yang bisa
diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya tidak hanya soal
gejala material (benda-benda saja), namun budaya juga merupakan struktur
kelembagaan dari hal-hal di atas. Jadi budaya terdapat dalam otak manusia,
bentuk-bentuk yang dimiliki manusia untuk menerima, mempersatukan, lalu
mengirimkan gejala material di atas (Goodenough, 1921).
29
Kebudayaan terbentuk dari pedoman-pedoman untuk memutuskan
apa yang ia geluti, untuk memutuskan apa yang dapat menjadi
kehidupannya, untuk mengetahui apa yang dirasakan orang tentang
hal tersebut, untuk memutuskan bagaimana bertindak pada suatu hal,
untuk memutuskan bagaimana caranya menyikapi hal tersebut
(Goodenough, 1963).
Orang adaptionist memandang bahwa culture sebagai bentuk kehidupan
dalam 1 komunitas (susunan materi dan sosial) yang mana aktivitas di
dalamnya terjadi secara berulang kali dan kekal (Goodenough, 1963). Dapat
dipastikan bahwa menurut Ward Goodenough budaya secara logika berada
pada alam yang sama dengan bahasa. Jadi, aturan culture dapat diformalkan
seperti halnya tatanan bahasa (bersifat imajiner). Menurut American
Cultural Anthropologist, bentuk-bentuk tatanan sosial merupakan bagian
dari aspek kebudayaan. Menurut Ward Goodenough, budaya
direpresentasikan sebagai sistemasi proporsional dari dunia kognitif
individu. Kesimpulannya, apa yang menjadi kepemilikan bersama adalah
perspektif individu aktor sosial (sifatnya ideasional). Jadi konsep kognitif
Goodenough merupakan kombinasi dari wawasan kultural para individu
dalam lingkungan sosial yang berbeda.
30
Gambar 1. Skema Konsep Antropologi Kognitif (Goodenough, 1971).
Selama ini penelitian dengan pendekatan antropologi kognitif yang
dipelopori oleh Ward H. Goodenough yang menekankan bahwa budaya
sebagai sistem kognisi belum ada yang mengimplementasikan dalam
penelitiannya. Kajian terdahulu tentang kognitif justru yang banyak beredar
ialah teori perkembangan kognitif Jean Piaget dalam ranah kajian psikologi.
Salah satu judulnya yaitu “Implementasi Teori Perkembangan Kognitif di
TK Nafilah Malang”.
1.6.3 Religiusitas dan Tauhid Dalam Perspektif Antropologi
Menurut Clifford James Geertz (1969), sudut pandang agama terdiri
dari 2 hal, yaitu struktur agama sebagai model for untuk bidang evaluative-
normatif agama dan struktur agama sebagai model of yang berfungsi untuk
31
representasi agama dalam konteks realitas sosial. Geertz menegaskan bahwa
dalam perspektif antropologi, apa yang diyakini masyarakat lebih bersifat
homogen, terutama persoalan kepercayaan yang diyakini masyarakat Jawa.
Menurut analisis Geertz, dalam mengkaji agama tidak hanya dapat dikaji
dalam konteks doktrin atau aspek normatif, namun agama dapat dipandang
dalam realitas kebiasaan sehari-hari manusia.
Dalam kacamata Geertz, religiusitas kembali pada situasi yang
melingkupinya, yang menuntunnya, meyakininya dan yang menghayatinya.
Penekanan dalam religiusitas, bukan perihal pada doktrin apa yang diyakini,
benar tidaknya doktrin yang dianut. Lepas dari itu semua, religiusitas bicara
soal fakta yang sesungguhnya terjadi di masyarakat. Bagaimana agama
tersebut dihayati dan dipraktikkan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat
untuk menghargai kehadiran agama tersebut. Berdasarkan hasil kajian di
atas, maka Geertz menyimpulkan bahwa agama sebagai sistem budaya.
Dalam kacamata antropolog, manusia mempunyai otak atau akal
pikiran yang terbatas, sehingga sistem gagasan hanya dapat dipakai untuk
menterjemahkan fenomena dan tanda-tanda, serta dimanfaatkan untuk
merespon hal-hal yang datang di hadapannya. Manusia belum sepenuhnya
mampu mencapai hakikat yang sebenarnya dari ayat-ayat suci. Manusia
hanya dapat menerjemahkan ayat-ayat suci sesuai dengan potensi yang
dimiliki saja (Putra dan Shri, 1984).
32
Agama mempunyai aspek sudut pandang yang ganda. Pertama,
menunjukkan makna dalam berbagai realitas sosial dan psikologis bagi
para pemeluknya, yang hal tersebut dapat membentuk ruang konseptual
yang objektif dan kedua ketika waktu yang bersamaan dapat menjadikan
fakta sesuai dengan agama (Tibbi, 1996). Tauhid budaya dinilai sebagai
pendekatan yang mengakomordir 2 sudut pandang, yakni perspektif
normatif (ajaran) dan perspektif faktual. Gagasan tersebut senada dengan
konsep yang digagas oleh Akbar S. Ahmed perihal Antropologi Islam.
Akbar S. Ahmed (2005) menjelaskan definisi antropologi islam sebagai
kajian tentang prinsip-prinsip universalistik islam-humanistik.
Agama tidak hanya dapat dikaji secara aspek teologi, namun juga
dapat dikaji berdasarkan kacamata socio-cultural, sehingga definisinya
tidak bersifat eksklusif (Turner, 2013). Agama dan keyakinan sifatnya
universal, sebagai sesuatu yang tunggal, namun eksistensinya
terepresentasikan dalam kearifan lokal hidup pemeluk yang
beranekaragam. Sehingga aktualisasi tauhid manusia yaitu produk budaya,
outputnya berupa berbagai perilaku dan produk karsa budaya. Tauhid
merupakan proses penglihatan dunia terkait fakta, kebenaran, ruang,
waktu, serta perjalanan sejarah seseorang. Tauhid akhirnya menjadi idea
sistem atau pola pikir yang berlandaskan pada prinsip kenyataan (Al-
Faruqi dan Al-Faruqi, 1998).
33
1.6.4 Perilaku
Perilaku individu pada suatu komunitas tergantung pada beberapa
faktor seperti culture, ideologi dan kondisi kelompok. Seluruh faktor
tersebut adalah faktor eksternal. Perilaku juga tidak dipungkiri jika
ditentukan oleh kepribadian individu itu sendiri (Suyanto, 1984).
Komunikasi antara internal-eksternal diakui sebagai pembentuk perilaku.
Bagi Maramis, kepribadian adalah pola yang khas dari individu dalam
berperilaku dan berbagai karakteristiknya yang menyebabkan ia berbeda
dengan yang lain (Maramis, 1990). Alport memakai istilah sistem
psikhophisis yang artinya „jiwa dan raga‟ manusia merupakan satu
kesatuan sistem yang terintegrasi. Berdasarkan kedua entitas tersebut
selalu berkomunikasi dalam membentuk perilaku. Artinya setiap individu
berperilaku dan bertindak sesuai caranya sendiri yang disebabkan masing-
masing kepribadian individu juga berbeda.
1.6.5 Kepatuhan
Dalam Bahasa Inggris, kepatuhan disebut dengan “obedience” yang
berawal dari Bahasa Latin “obedire” yang artinya „untuk mendengar
pada‟. Maka dari itu, obedience bermakna „mematuhi‟, jadi kepatuhan
dapat dimaknai patuh terhadap aturan atau perintah otoritas dan bersedia
untuk melaksanakannya dengan penuh kesadaran (Sarbini, 2012). Dalam
Kusumadewi, dkk., (2012), Feldman (2003) menyatakan bahwa kepatuhan
diartikan sebagai “change behavior in response to the command of others”
34
(dinamika tindakan dan sikap seseorang guna memenuhi perintah atau
permintaan orang lain). Kepatuhan bisa terjadi dalam pola yang
beranekaragam, selama individu masih menerima, mempercayai dan
memperlihatkan ketaatannya pada seseorang terhadap guru atau kiai
misalnya.
Shaw menegaskan bahwa kepatuhan (compliance) berkorelasi
dengan prestise seseorang di mata orang lain. Orang yang meyakini bahwa
dirinya murah hati pasti akan malu jika memberontak orang lain,
khususnya tidak mematuhi orang yang memiliki otoritas yang tinggi
(Shaw, 1979). Jadi kepatuhan adalah ketaatan individu atau kelompok
untuk melakukan suatu hal guna memenuhi permintaan langsung dari
pihak yang mempunyai wewenang, otoritas, „pengaruh sosial‟. Selain itu,
kesediaan untuk taat terhadap pimpinan merupakan cara untuk bebas dari
sanksi yang telah disepakati dalam kelompok tersebut. Kepatuhan santri
berperan penting dalam mensukseskan visi misi padepokan.
Indikator penilaian kepatuhan santri Dimas Kanjeng terhadap
Padepokan Dimas Kanjeng terdiri dari:
1). Kepatuhan santri pada kode etik Padepokan Dimas Kanjeng terdiri dari
hak, kwajiban, kepribadian santri dan sanksi.
2). Kepatuhan santri dalam melakukan aktivitas di Padepokan Dimas
Kanjeng terdiri dari: istighosah, shalat 5 waktu berjamaah, shalat duha,
35
shalat malam, puasa senin kamis, tahlilan, kerja bakti membersihkan
padepokan, senam dan olahraga bersama, membuat kripik bersama,
mengaji bersama, menari tari Bali bersama oleh anak-anak dari santri
Dimas Kanjeng, saling berbagi rasa, cerita, tolong menolong satu sama
lain.
Persepsi kepemimpinan kiai „guru‟ sebagai sosok yang utama dan
berpengaruh yang distimulusi oleh otoritas kekuasaan yang ada pada kiai
bahwa ia (DK) sebagai pemimpin padepokan yang mempunyai karismatik.
Indikator yang dipakai untuk menganalisis persepsi kepemimpinan Yang
Mulia Dimas Kanjeng terdiri dari:
1. Kognisi yaitu bagaimana manusia memaknai stimulus dari luar yang
disalurkan ke dalam internal diri sendiri. Gagasan atau bahasa
individu yang didapatkan dari mempersepsikan suatu hal. Aspek yang
dipakai yaitu merencanakan, mengevaluasi, mendelegasikan dan
mengontrol. Bahasa yang dijadikan contoh oleh santri Padepokan
Dimas Kanjeng, tidak hanya soal isi dari apa yang dilontarkan oleh
Dimas Kanjeng, namun juga bagaimana cara Dimas Kanjeng bertutur
kata dan menyikapi suatu hal (kebijaksanaan Dimas Kanjeng).
2. Afeksi (perasaan) adalah gejala psikis yang identik dengan 3 karakter
yang khas, yaitu diilhami secara subjektif, secara umum berhubungan
dengan aspek pengenalan (kognisi), dirasakan oleh seseorang dengan
36
rasa bahagia atau tidak bahagia. Bicara soal perasaan seseorang dari
hasil mempersepsikan rangsangan yang telah didapatkan.
Orang yang ingin memperoleh pengakuan dan apresiasi dari
lingkungannya lebih dapat menyesuaikan dan menerima aturan-aturan di
lingkungannya. Dari adanya sikap patuh seseorang akan merasa menjadi
bagian dari kelompoknya (keanggotaan kelompok). Kepatuhan dapat
berlangsung apabila perintah dari otoritas diamini atau dilegitimasi oleh
pihak bawahannya dalam konteks nilai-nilai dan peraturan komunitas.
Dari berbagai definisi tentang kepatuhan, pada dasarnya terdapat 4
indikator utama, yakni:
(1) Terdapat subjek yang diminta untuk mematuhi perintah otoritas,
(2) Terdapat subjek yang „mempunyai otoritas‟ agar pihak anggota
dapat mematuhinya.
(3) Terdapat teks atau wacana dari pihak otoritas terhadap pihak lain.
(4) Terdapat sanksi dari hal yang dijalankan.
Dalam Planning Behaviour Theory dari Icek Ajzen (1980), secara istilah
konsep intensitas kepatuhan seseorang terhadap peraturan kelompok
didorong oleh 3 elemen utama, yaitu:
1. Sikap pada perilaku, didasarkan oleh kepercayaan individu yang
disebabkan oleh perilaku yang melibatkan 2 indikator:
37
a. Seberapa kuat keyakinan individu akan hasil atau hal yang
didapatkan dari memahami dan mengikuti peraturan yang ada.
b. Evaluasi terhadap hasil yang dicapai, apabila memperlihatkan
perilaku.
2. Norma Subyektif Individu
3. Kontrol Perilaku.
1.6.6. Kepemimpinan
Dalam pengertian secara luas, kepemimpinan terdiri dari mendorong
semangat tindakan pengikut dalam mencapai tujuan, proses
mempengaruhi dalam memutuskan tujuan organisasi, mempengaruhi
untuk menghidupkan kembali tradisi (Rizal, 2003). Pemimpin timbul
dari “persepsi” seorang bawahannya bahwa ia layak dijadikan sebagai
pemimpin. Pemimpin merupakan objek persepsi. Baik tidaknya suatu
bentuk kepemimpinan yang diajarkan tergantung pada bagaimana
anggotanya menilai, mengidentifikasi, menganalisis dan memaknai pesan
yang telah diberikan pemimpinnya.
1.6.7. Konformitas
Menurut para ahli psikologi, konformitas cenderung mengubah
persepsi individu, pendapat dan tindakan mereka agar sejalan dengan
aturan yang berkembang dalam kelompok (Brehm & Kassin dalam
Suryanto, dkk, 2012). Individu yang konformis cenderung tidak
38
mempunyai idealis yang kuat, sehingga ia hanya mengikuti otoritas orang
lain dan tradisi kelompok. R. A. Baron dan Byrne (2004), menyatakan
bahwa konformitas timbul karena dalam faktanya dalam berbagai
kesempatan terdapat aturan-aturan baik secara implisit maupun eksplisit
yang mengharuskan bagaimana individu bertindak yang semestinya.
Aturan-aturan tersebut diistilahkan dengan norma sosial. Norma sosial
memberikan dampak terhadap kepribadian seseorang. David O‟Sear dan
Peplau (1985), menyatakan bahwa konformitas adalah tindakan seseorang
yang timbul akibat pengaruh kelompoknya untuk bertindak dan berkata-
kata (berbahasa) yang sama di antara anggota kelompok lainnya.
Konformitas (conformity), yaitu berubahnya perilaku atau
kepercayaan yang disebabkan oleh adanya tekanan dari komunitas
(Wrightsman dan Deaux, 1984). Berbeda halnya dengan kepatuhan
(compliance), berfokus pada perilaku yang timbul sebagai jawaban dari
yang diminta pihak lain. Dapat disimpulkan bahwa kepatuhan lain dari
conformity, sebab konformitas merupakan perilaku yang didorong secara
tidak langsung.
1.6.8. Prasyarat Terbentuknya Imitasi
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2004), agar dapat menjalankan
proses imitasi, maka hal-hal yang harus dicapai ialah: adanya passion
39
terhadap subjek atau objek yang dirasanya menarik, pemujaan terhadap
idola yang dituju, adanya rasa menghormati dan menghargai sang idola,
memiliki wawasan yang cukup terkait seluk beluk kepribadian sang idola
dan yang terakhir mencontoh tindakan orang lain. Kharakter imitasi
menurut Gerungan (Walgito, 2006) merupakan tindakan mencontoh orang
lain. Tahapan imitasi berlangsung dalam waktu yang panjang dan yang
dicontoh tidak sekedar tanda-tanda, namun hampir mencakup seluruh watak
dan tampilannya.
Celebrity Worship adalah karakter seorang individu yang sangat
antusias dalam berpartisipasi terhadap kehidupan sosok artis yang
diidolakan. Celebrity worship terjadi akibat seringkali melihat, merasakan,
meraba, memahami dan mengkaji keseluruhan gaya hidup sang idola secara
mendalam yang akhirnya menciptidakan rasa empati, simpati, image diri,
saling bekerja sama yang pada akhirnya menimbulkan suatu kecocokan
(Maltby, 2005: 17-32). Imitasi adalah miniatur dari teori social learning
(Teori Pembelajaran Sosial). Hakikat dari teori pembelajaran sosial ialah
manusia mendapatkan sebuah pembelajaran dan pengalaman dari adanya
sebuah upaya tiru-meniru.
Dampak positif dari imitasi dapat memotivasi seseorang untuk
mentaati aturan dan norma-norma yang berlaku. Identifikasi yaitu hasrat
dari seseorang untuk menyamakan dengan orang lain. Karakteristik dari
40
identifikasi lebih dalam dari pada imitasi, sehingga melalui proses
identifikasi karakter seseorang dapat terbentuk. Proses terjadinya
identifikasi dapat muncul secara given ataupun dengan cara sengaja
disetting, yang mendorong manusia kerap kali membutuhkan tipe-tipe
ideal tertentu dalam proses perjalanan hidupnya, meskipun proses
identifikasi dapat muncul dan berjalan dengan sendirinya. Tahap
identifikasi terjadi tatkala seseorang yang beridentifikasi telah mengenali
dan memahami pihak lain yang menjadi idolanya. Oleh sebab itu,
paradigma perilaku hidup maupun norma-norma yang berlaku pada subjek
lain dapat mengorganisir dan bahkan dapat menghayatinya.
1.6.9. Solidaritas Sosial
Kata solidaritas dalam Bahasa Inggris berasal dari kata solidarity
yang artinya satu perjuangan, satu rasa, merasa satu nasib, setia kawan dan
adanya keterikatan, hubungan yang erat atau yang biasa disebut dengan
integrasi sosial (Soekanto, 1985). Solidaritas juga dimaknai sebagai rasa
berkelompok atau group feeling yang artinya sekelompok manusia yang
memiliki rasa kesatuan dan kesadaran kolektif. Pada umumnya konsep
tersebut dipelopori oleh Emile Durkheim, untuk mengeksplorasi berbagai
macam warna ikatan sosial (Abdullah dan Leeden, 1986).
41
Emile Durkheim membagi 2 macam solidaritas, yaitu solidaritas mekanis
dan solidaritas organis. Perbedaan diantara keduanya bersifat evolusionistis,
artinya solidaritas organis merupakan bentuk perkembangan dari konsep
solidaritas mekanis. Solidaritas mekanis dicirikan dengan adanya kesamaan-
kesamaan diantara individu-individu, sehingga diferensiasi atau
ketidaksetaraan dalam kelompok masih minim.
Menurut Durkheim, pada umumnya solidaritas mekanis berkembang
pada masyarakat yang romantis “kalem” dengan kata lain bersahaja yang
mana antara 1 individu dengan individu yang lain hubungannya amat rekat.
Sehingga jika terdapat 1 anggota yang terancam, maka ancaman tersebut
menjadi konsekuensi bersama. Berbeda halnya dengan solidaritas organis,
hubungan hanya sebatas projek (kontrak perjanjian), sehingga jika
kepentingan telah selesai, selesai pula interaksi sosial yang terjadi.
1.7 METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama 10 bulan dari Februari hingga bulan
November 2018. Dalam rentang waktu tersebut dilakukan proses pra observasi,
penulisan proposal penelitian, proses pengumpulan data, analisis data dan
penulisan laporan akhir. Proses pengumpulan data dilakukan dalam waktu yang
tidak menentu dengan menyesuaikan waktu yang dimiliki oleh informan dan juga
turut serta dalam kegiatannya. Untuk mempermudah pencarian data, peneliti
42
tinggal dan berpartisipasi langsung dengan kegiatan santri Padepokan Dimas
Kanjeng.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan etnografi dari David M.
Fetterman (2010: 18-24) yang terdiri dari beberapa poin yaitu:
(1) Holistic perspective, mendapatkan gambaran yang komprehensif dan
lengkap dari budaya kelompok sosial. Misalnya peneliti
menggambarkan segala aspek kehidupan santri Dimas Kanjeng Taat
Pribadi.
(2) Kontekstualisasi, membantu memberikan karakterisasi yang lebih
akurat terhadap lingkungan sosial yang diteliti. Kontekstualisasi
dilakukan terhadap fenomena yang sedang in (Dimas Kanjeng hits yang
mampu mengadakan uang melalui telapak tangannya), hal ini bertujuan
untuk mengetahui hal yang melatarbelakangi santri Dimas Kanjeng
hingga luluh bahkan tergila-gila akan Dimas Kanjeng.
(3) Perspektif emik, adalah jantung dari penelitian yang paling etnografi.
Perspektif dari santri Dimas Kanjeng membantu peneliti memahami
mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan.
(4) Perspektif etik, etnografi yang baik membutuhkan kedua perspektif emik
dan etik. Peneliti mengumpulkan data dari perspektif emik dan
kemudian mencoba memahami data yang didapatkan dari sudut
pandang santri Dimas Kanjeng dan menggunakan analisis ilmiah dari
pemikiran peneliti sendiri.
43
(5) Nonjugdmental orientation, peneliti tidak membuat kategori penilaian
perlu dan tidak perlu terhadap data yang didapatkan. Adapun bila data
yang ditulis terkesan negatif, semata-mata hal tersebut berasal dari
pendangan emik masyarakat yang diteliti. Berikut akan dijelaskan
tahapan-tahapan dalam metode penelitian ini:
1.7.1 Pemilihan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Desa
Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo. Lokasi penelitian ini
dipilih karena masih terdapat 700 santri yang masih tinggal menetap di Padepokan
Dimas Kanjeng Taat Pribadi, yang mana dari 700 santri tersebut masing-masing
memiliki pemikiran yang sama terhadap Dimas Kanjeng, yaitu Dimas Kanjeng
keturunan seorang sultan, walinya Allah di mana memiliki tangan yang halus
lembut bagaikan kapas, bijaksana, murah hati dan penyayang terhadap siapapun.
Menurut santri Dimas Kanjeng, semua santri yang masih terdapat di Padepokan
Dimas Kanjeng Taat Pribadi berpendapat bahwa Dimas Kanjeng tidak pernah
bersalah, Dimas Kanjeng tidak pernah membohongi santrinya tentang
penggandaan uang, yang ada dalam benak santri hanyalah “Dimas Kanjeng
mampu mengadakan uang maupun honda CBR melalui telapak tangannya, Dimas
Kanjeng merupakan sosok panutan umat”.
44
1.7.2 Pemilihan Informan
Menurut James Spradley (2007: 68-77), beberapa kategori untuk
menetapkan informan yang baik dalam penelitian etnografi yakni (1) enkulturasi
penuh, yang dimaksud di sini adalah informan yang mengetahui secara baik
budayanya, hingga akhirnya terbentuknya natural history guide. (2) Keterlibatan
langsung, informan harus terlibat secara langsung dengan budayanya. Jika
informan saat itu tidak terlibat, maka mereka bisa memberikan keterangan yang
menyimpang dari budaya yang berkembang. (3) Suasana budaya yang tidak
dikenal, peneliti diharapkan melakukan penelitian terhadap budaya yang tidak
dikenalnya.
Akan terjadi hubungan yang produktif antara informan yang terenkulturasi
penuh dengan peneliti yang tidak terenkulturasi penuh. (4) Waktu yang cukup,
peneliti harus mempertimbangkan apakah calon informan mempunyai waktu yang
cukup untuk berpartisipasi dengannya. (5) Non-analitis, peneliti harus memilih
informan yang tidak menganalisis kebudayaannya sendiri dari perspektif orang
luar.
Teknik pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan kombinasi
metode purposive sampling dan snowball sampling. Langkah pertama peneliti
memilih teknik purposive sampling. Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara
terhadap Kapolsek Gading Kabupaten Probolinggo yang mana kapolsek tersebut
mengetahui seluk beluk tentang kehidupan DK, mulai dari ayah Dimas Kanjeng
45
sebagai seorang kapolsek yang dulunya juga bertugas di Polsek Kecamatan
Gading, jadi DK merupakan keturunan dari seorang kapolsek. Kepala Desa
Wangkal Kecamatan Gading dipilih sebagai informan karena seorang pensiunan
polisi yang dulunya juga pernah merawat seorang DK pada masa kecilnya.
Saya memilih pengurus inti Padepokan Dimas Kanjeng „Taat Pribadi‟
sebagai informan kunci karena telah lama menjadi santri Dimas Kanjeng, yang
juga mengetahui sejarah terbentuk dan berkembangnya padepokan DK. Pengurus
inti padepokan DK pernah merasakan suka dukanya tinggal di Padepokan Dimas
Kanjeng yang telah bertahun-tahun, hingga sampai saat ini santri belum bisa
meninggalkan padepokan „terkasih‟ tersebut. Adapun nama informan utama di
atas (sebagai data primer) yang saya wawancarai tercantum pada tabel 1 di bawah
ini:
Tabel 1.1 Daftar Informan Penelitian
No. Nama Usia Pekerjaan
1. Pak Sugeng 51 tahun Kapolsek
2. Pak Heri A 43 tahun Polisi
3. Pak Marzuki 45 tahun Pengusaha, Pemilik Pondok
4. Pak Narto 44 tahun PNS
5. Bapak Toto 49 tahun Budayawan, seniman.
6. Pak Danu 29 tahun Pedagang
46
7. Pak Heri S 47 tahun Pemilik pondok, wirausaha
8. Ibu Lili 52 tahun Pensiunan
9. Ibu Tuti 40 tahun Pedagang
10. Mbak Siti 25 Tahun Bidan
11. Pak Solihin 38 Tahun Arsitek
12. Pak Dodi 39 Tahun Pemilik bank swasta dan pengusaha
13. Mas Dava 28 Tahun Santri ponpes salafi di kediri
14. Ibu Lamini 53 Tahun Pedagang
15. Ibu Nasekah 55 Tahun Pensiunan PNS
16. Bapak Soekarno 49 Tahun Petani
17. Bapak Zulfikar 36 Tahun Kontraktor
Dalam mendukung data primer di atas, saya juga melakukan wawancara
terhadap informan sekunder dengan menggunakan teknik pemilihan informan
snowball sampling dengan melakukan wawancara terhadap berbagai santri baru
yang tidak sengaja bertemu tatkala saya terlibat langsung dalam aktivitas santri
Padepokan Dimas Kanjeng. Keterlibatan saya dengan santri Dimas Kanjeng mulai
dari kegiatan shalat berjamaah, mengaji bersama, istighosah bersama, senam
bersama, menari bersama, masak bersama dan lain-lain. Selain itu, saya juga
melakukan wawancara terbuka dengan warga sekitar Padepokan Dimas Kanjeng
Taat Pribadi yang tidak sengaja ditemui tatkala saya jalan-jalan di sekitar
Padepokan Dimas Kanjeng.
47
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Terdapat dua metode utama dalam pengumpulan data. Terkadang data yang
diperlukan telah tersedia dan hanya perlu diambil dan dianalisis, data ini disebut
sebagai data sekunder. Data yang diperlukan tersebut harus dikumpulkan sendiri
oleh peneliti, yang disebut sebagai data primer (Widi, 2010: 235). Penelitian ini
menggunakan sumber data primer dan data sekunder. Sumber data primer
diperoleh melalui observasi partisipasi dan wawancara mendalam, sedangkan data
sekunder diperoleh melalui wawancara kepada publik relation dari Radar Bromo,
dokumentasi pribadi santri Dimas Kanjeng dan news yang beredar baik dari media
massa maupun media cetak lainnya terkait santri Dimas Kanjeng. Berikut adalah
tahapan yang akan dilakukan oleh peneliti dalam pengumpulan data:
a). Observasi atau pengamatan berperan serta. Dalam pengamatan berperan
serta, peneliti tidak hanya mengamati gejala yang ada dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat yang diteliti, melainkan juga melakukan wawancara,
mendengar dan merasakan. Dalam batas tertentu mengikuti kegiatan yang
dilakukan oleh mereka yang diteliti (Suparlan dikutip dari Gunawan, 2013:
151-153). Peneliti melakukan pengamatan berperan serta terhadap aktivitas
santri Dimas Kanjeng. Terutama yang berhubungan implementasi
kepatuhan santri Dimas Kanjeng dalam memperjuangkan dan mendukung
Dimas Kanjeng.
b). Peneliti melakukan wawancara dengan teknik wawancara tidak terstruktur
dan wawancara mendalam. Wawancara tidak terstruktur dimulai dari
pertanyaan umum dalam area penelitian. Diikuti oleh suatu kata kunci,
48
agenda, atau daftar topik yang akan dicakup dalam wawancara. Dalam
wawancara mendalam, berlangsung suatu diskusi terarah diantara peneliti
dan informan menyangkut masalah yang diteliti. Peneliti harus dapat
mengendalikan diri sehingga tidak menyimpang jauh dari pokok masalah,
serta tidak memberikan penilaian benar salah terhadap pendapat informan
(Gunawan, 2013: 163-165). Peneliti menggunakan pedoman wawancara
sebagai acuan untuk mendapatkan data, pedoman ini bukan berisi susunan
pertanyaan yang kaku.
Peneliti juga melakukan studi literatur dan dokumentasi mengenai
background dan pengalaman santri Dimas Kanjeng. Studi literatur ini
dilakukan untuk mengetahui gambaran umum asal-usul atau background
santri Dimas Kanjeng beserta kesehariannya. Studi literatur ini diambil dari
penelusuran keluarga santri dan pemberitaan tentang santri Dimas Kanjeng di
Radar Probolinggo, maupun surat kabar dan media elektronik lainnya.
1.7.4 Analisis Data
Peneliti menggunakan analisis data model Miles dan Huberman dalam
Usman dan Akbar (2009: 85-88) yang terdiri dari tiga tahapan yaitu reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
1. Reduksi data dilakukan sejak pengumpulan data dimulai dengan membuat
ringkasan, mengkode, menelusuri tema dan lainnya dengan maksud
menyisihkan data yang tidak relevan. Reduksi merupakan suatu bentuk
analisis yang menajamkan, mengkategorisasikan, membuang data yang
tidak perlu dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya
49
data terkumpul dapat diverifikasi. Data-data yang dikumpulkan berkaitan
dengan perjuangan santri dalam menjaga komitmen kepatuhannya terhadap
segala ajaran yang telah diberikan oleh Dimas Kanjeng.
2. Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian data kualitatif dalam penelitian ini disajikan dalam
bentuk teks naratif.
3. Penarikan kesimpulan merupakan kegiatan diakhir penelitian kualitatif.
Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik dari
segi makna maupun kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh subjek
tempat penelitian dilaksanakan. Makna yang dirumuskan peneliti dari data
harus diuji kebenaran, kecocokan dan kekokohannya. Dalam mencari makna
harus menggunakan pendekatan emik, yaitu dari kaca mata key informan
dan bukan penafsiran makna menurut pandangan peneliti (pendekatan etik).
1.7.5 Keabsahan Data
Dalam penelitian ini upaya keabsahan data dilakukan dengan cara
triangulasi data. Peneliti menggunakan triangulasi sumber, yaitu menggali
kebenaran informasi tertentu melalui berbagai sumber memperoleh data.
Triangulasi sumber dilakukan dengan cara membandingkan informasi yang
telah diperoleh melalui sumber yang berbeda. Misalnya membandingkan
hasil pengamatan dengan wawancara, membandingkan apa yang dikatakan
masyarakat umum dengan apa yang dikatakan pribadi informan,
50
membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang ada (Gunawan,
2013: 219).
1.8 SISTEMATIKA PENULISAN
Berikut adalah sistematika penulisan skripsi, skripsi ini terdiri dari lima
bab, yang terdiri dari sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kajian pustaka yang berisi tulisan penelitian terdahulu,
kerangka teori berisi tentang kerangka berpikir dalam penelitian ini.
Terdapat pula metode penelitian yang berisi cara dan teknis ketika
melakukan penelitian, mulai dari pemilihan lokasi penelitian, informan,
teknik pengumpulan data, validitas data serta analisis data. Dan diakhiri
dengan sistematika penulisan yang menjelaskan garis besar isi setiap bab
skripsi.
BAB II SETTING WILAYAH, BUDAYA DAN KEMASYARAKATAN
Bab ini terdiri dari sejarah kehidupan Dimas Kanjeng, asal-usul sejarah
terbentuknya Padepokan Dimas Kanjeng, visi-misi padepokan, beserta
suasana padepokan. Perkembangan jumlah santri dari tahun ke tahun, beserta
persepsi warga sekitar terkait padepokan maupun ritual kolektif santri yang
51
berkembang di Padepokan Dimas Kanjeng tersebut. Selain itu, saya juga
menyajikan aspek demografis, administrasi lokasi padepokan dan kehidupan
sosial budaya ekonomi masyarakat Desa Wangkal dan masyarakat Desa
Gading Wetan, sehingga warga sekitar Padepokan Dimas Kanjeng juga bisa
menerima kehadiran para santri Dimas Kanjeng yang lumayan banyak dari
berbagai latar belakang sosial. Apa saja faktornya, lebih lanjut dapat dibaca
pada bab 2.
BAB III TEMUAN LAPANG
Bab ketiga berisi temuan data observasi dan wawancara di lapangan.
Data yang dipaparkan dalam bab ini adalah faktor-faktor yang
menyebabkan santri Dimas Kanjeng memiliki persepsi atau pandangan
yang sama, sehingga terbentuknya pola perilaku atau tindakan yang sama
(kepatuhan santri Dimas Kanjeng yang begitu mendalam terhadap maha
gurunya „Dimas Kanjeng‟).
Saya dalam bab ini memaparkan data terkait wacana atau bahasa
yang diajarkan oleh keluarga santri dalam membentuk kepatuhan dan sikap
taat santri terhadap seorang guru. Bahasa yang digunakan oleh keluarga
santri yaitu menceritakan pengalaman nabi-nabi terdahulu dalam
memperjuangkan aqidah, ketaqwaan dan mempertahankan hidup di kala
susah. Selain menggunakan cerita-cerita nabi, bahasa yang digunakan oleh
keluarga santri untuk membentuk perilaku santri yaitu dengan
menceritakan pengalaman wali songo maupun pengalaman tokoh
52
pahlawan Bangsa Indonesia dalam mempertaruhkan nyawanya demi
kepentingan kemaslahatan atau kesejahteraan umat.
Namun sejatinya, poin penting dari bab ini, yaitu tidak terlepas dari
bahasa yang digunakan oleh Dimas Kanjeng dalam menuntun atau
membimbing “mendampingi” santrinya ke jalan yang benar, juga
merupakan indikator utama yang membuat santri teramat patuh. Bahasa
dalam konteks ini tidak hanya perihal bagaimana Dimas Kanjeng bertutur
kata, namun juga perilaku dan gesture Dimas Kanjeng yang menurut santri
DK penuh dengan “kelembutan, keluguan dan kebijaksanaan” yang
membuat santri rugi jika tidak tunduk atau patuh terhadap Dimas Kanjeng.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan temuan lapang dengan dikomparasikan dengan
penelitian terdahulu terkait kepatuhan. Apakah dalam konteks ini, kepatuhan
santri terhadap gurunya juga dipengaruhi oleh adanya konformitas,
religiusitas, tauhid dalam perspektif antropologi, afeksi, keyakinan, kontrol
perilaku, persepsi, karismatik, solidaritas, otoritas atau kepemimpinan
seperti halnya teori-teori maupun penelitian terdahulu yang telah
menyatakan demikian atau justru kepatuhan santri Dimas Kanjeng
mempunyai definisi tersendiri yang dapat berpotensi membentuk teori baru,
sehingga dapat memunculkan beragam bentuk tindakan kepatuhan santri
Dimas Kanjeng yang tentunya juga dipengaruhi oleh banyak hal.
53
Pada intinya temuan lapang dikorelasikan dengan berbagai teori yang
ada dalam bab 1. Dalam konteks ini apakah temuan lapang tersebut sesuai
dengan teori yang dipaparkan pada bab 1, atau justru menolak dan
menghasilkan teori baru terkait kepatuhan santri terhadap maha gurunya,
mengingat jenis penelitian ini ialah penelitian studi kasus di Padepokan
Dimas Kanjeng. Dalam konteks ini saya menggunakan antropologi kognitif
sebagai alat analisis yang menyatakan bahwa bahasa dapat membentuk pola
pikir manusia. Bahasa sebagai keyword atau unsur utama terhadap
terbentuknya kebudayaan secara kolektif.
Pada bab ini juga diulas berbagai tindakan santri yang menunjukkan
kepatuhannya terhadap ajaran Dimas Kanjeng dengan dikorelasikan dengan
berbagai konsep yang terdapat pada bab 1. Pada akhirnya, sikap patuh yang
dilakukan oleh santri Dimas Kanjeng tidak lain adalah produk budaya yang
bersumber dari kognisi santri Dimas Kanjeng. Pada hakikatnya, seluruh
tingkah laku kepatuhan santri Dimas Kanjeng beserta materialnya dalam
mendukung sikap patuh tersebut tidak lain adalah akibat dari olah pikir atau
gagasan dari santri dalam berkreasi atau mengembangkan ide-idenya. Pada
bab ini, juga dijelaskan bagaimana santri Dimas Kanjeng berkontestasi
dengan segala ancaman yang hadir dalam menjaga rasa patuhannya terhadap
sang guru „Dimas Kanjeng‟ agar keharmonisan di Padepokan Taat Pribadi
selalu tumbuh dan mengakar dalam keseharian santri.
54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi jawaban dari rumusan pertanyaan penelitian, serta akan
ditulis saran dan rekomendasi terhadap penelitian selanjutnya. Penelitian ini
diharapkan bermanfaat bagi peneliti di bidang ilmu antropologi maupun
psikologi sebagai media implementasi dan aktualisasi diri terhadap teori-teori
yang sudah didapatkan pada saat perkuliahan. Sekian, terimakasih.
56
BAB II
SETTING WILAYAH, BUDAYA DAN KEMASYARAKATAN
Pada bab ini akan dipaparkan setting wilayah, budaya dan kemasyarakatan
dalam lingkup kompleks Padepokan Dimas Kanjeng. Bab ini terdiri dari sejarah
kehidupan Dimas Kanjeng, asal-usul sejarah terbentuknya Padepokan Dimas
Kanjeng, visi-misi padepokan, beserta suasana padepokan. Perkembangan jumlah
santri dari tahun ke tahun, beserta persepsi warga sekitar terkait padepokan
maupun ritual kolektif santri yang berkembang di Padepokan Dimas Kanjeng.
Selain itu, saya juga menyajikan aspek demografis, administrasi lokasi padepokan
dan kehidupan sosial budaya ekonomi masyarakat Desa Wangkal dan masyarakat
Desa Gading Wetan, sehingga warga sekitar Padepokan Dimas Kanjeng juga bisa
menerima kehadiran para santri Dimas Kanjeng yang lumayan banyak dari
berbagai latar belakang sosial.
2.1 Letak Geografis dan Administrasi Desa Wangkal Kecamatan Gading
Kabupaten Probolinggo
Desa Wangkal merupakan Ibu Kota dari Kecamatan Gading. Secara
geografis, Kecamatan Gading terletak di daerah Kabupaten Probolinggo bagian
tenggara di mana batas utara berbatasan dengan Kecamatan Krejengan dan Besuk,
sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pakuniran, sebelah selatan
berbatasan dengan Kecamatan Krucil dan Tiris. Sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Maron. Jika dikaji dari perspektif ketinggian permukaan air laut,
Kecamatan Gading terletak pada ketinggian 70-400 M di atas permukaan air laut.
57
Cuaca di daerah Kecamatan Gading seperti halnya dengan kecamatan lain
yang terdapat di Kabupaten Probolinggo. Kecamatan Gading beriklim tropis yang
terbagi menjadi 2 musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim
kemarau terjadi pada bulan april hingga oktober, sedangkan musim penghujan
terjadi pada bulan Oktober sampai april. Temperatur udara di Kecamatan Gading
relatif panas, yaitu mencapai 280C-32
0C.
Curah hujan tertinggi mencapai 662 mHg, curah hujan terkecil 20 mmHg,
rata-rata hari hujan 10 hari. Desa Wangkal diapit oleh 4 desa, yang mana sebelah
utara berbatasan dengan Desa Mojolegi, sebelah timur berbatasan dengan Desa
Nogosaren, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Gading dan sebelah barat
berbatasan dengan Desa Kaliacar. Desa Wangkal terdapat 8 dusun, 12 RW, 30
RT, sedangkan Gading Wetan terdiri dari 4 dusun, 4RW dan 7 RT1.
1.2 KEHIDUPAN BUDAYA, SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT
DESA WANGKAL, KECAMATAN GADING, KABUPATEN
PROBOLINGGO.
1.2.1 Kehidupan Budaya Masyarakat Desa Wangkal
Masyarakat Desa Wangkal sejak dulu hingga sekarang terkenal
dengan tradisi Dul Kadiran. Dul Kadiran merupakan acara ritual
kerohanian yang prosesinya diadakan pada malam jumat legi, tepatnya
1 KSK Gading, Statistik daerah Kecamatan Gading, (Probolinggo : Badan Pusat Penelitian 2015),
2.
58
pada jam 12 malam ke atas. Ritual tersebut dilaksanakan yang
bertujuan untuk mencapai keselamatan rohani dan jasmani anak-
anaknya. Ritual tersebut dimulai dengan pembacaan surat yasin, surat
hadid dan berikutnya diselesaikan dengan istighosah bersama. Ritual
Dul Kadiran digemari warga Desa Wangkal agar anak-anaknya
memiliki kepribadian yang positif, yang nantinya dapat mencapai
karakter adiluhung, sehingga mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat,
melalui doa untuk mengharapkan barokah dari Syaikh Abdul Qadir
Jaelani.
Melalui ritual Dul Kadiran tersebut, masyarakat Desa Wangkal
sudah tidak asing lagi dengan yang namanya istighosah maupun
pengajian, sehingga jika culture yang berkembang di Padepokan
Dimas Kanjeng identik dengan semangat istighosah dan pengajian
akbar, masyarakat setempat dalam hal ini masyarakat Desa Wangkal
menerima saja, justru senang dengan budaya istighosah tersebut.
Padepokan Dimas Kanjeng jika mengadakan istighosah maupun
pengajian, warga setempat terkadang juga ikut berpartisipasi
meramaikan jalannya acara di padepokan, kendatipun identitasnya
bukan sebagai “santri Padepokan Dimas Kanjeng”.
1.2.2 Kehidupan Ekonomi dan Sosial Masyarakat Desa Wangkal
Kecamatan Gading terdiri dari 51.308 penduduk, yang mana jumlah
penduduk perempuan sebanyak 25.398 jiwa dan jumlah laki-laki terdiri dari
59
24.910 penduduk. Luas Kecamatan Gading sebesar 5258, 15 Ha yang terbagi
menjadi 19 desa. Kecamatan Gading merupakan salah satu kecamatan yang
terletak di kawasan gugusan pegunungan bagian timur. Mayoritas
matapencaharian warga di Kecamatan Gading Kabupaten Probolinggo
bekerja di bidang pertanian, meskipun daerah Gading sendiri berada di
Kawasan pegunungan yang cocok untuk ditanami kopi, palawija, dsb.
Sehingga pertanian menjadi leading sector di Kecamatan Gading
(mayoritas warga bertumpu pada ekonomi pertanian). Melalui keadaan lahan
yang subur dan mekanisme pertanian yang tepat dapat menghasilkan produksi
yang menggiurkan. Melalui hasil produksi yang telah dipanen tersebut dapat
memicu pertumbuhan perekonomian di sektor yang lain.
Tidak hanya sejahtera dalam konteks pertanian, Kecamatan Gading
Kabupaten Probolinggo mendadak terkenal sejak tahun 2016 berkat dari
popularitas seorang Dimas Kanjeng yang pada waktu itu setiap jam setiap
menit banyak diberitakan di media cetak maupun media elektronik.
Kecamatan Gading terletak kurang lebih 10 KM dari arah selatan Kota
Kraksaan. Dalam menuju lokasi Padepokan DK, dapat ditempuh dengan
kendaraan roda 2 maupun roda 4, jalanan menuju padepokan merupakan jalan
aspal yang lumayan halus, ditemani angin-angin sepoi karena sebelum
menuju padepokan melewati persawahan dengan pemandangan padi yang
menguning.
60
Padepokan Dimas Kanjeng tidak hanya dipenuhi dengan keramaian dan
kekompakan para santrinya. Padepokan tersebut menjadi destinasi wisata
baru yang membuat banyak orang penasaran untuk mengunjungi padepokan.
Tiap hari pengunjung datang dari luar daerah silih berganti hanya untuk
membuktikan kesaktian dari sosok DK. Padepokan DK tersebut terbentang di
antara Desa Wangkal dan Desa Gading Wetan (berada di persimpangan 2
desa).
Tidak mau kalah tenar dengan Padepokan DK, masyarakat sekitar
padepokan juga berdiskusi dan beraksi dalam mewujudkan Desa Wangkal
dan Desa Gading Wetan sebagai Desa Wisata dengan memanfaatkan potensi
alam yang ada. Warga memanfaatkan ketenaran Dimas Kanjeng dengan
menarik simpati para pengunjung yang hadir ke Padepokan Dimas Kanjeng
untuk mampir ke wahana wisata arung jeram yang dikembangkan oleh warga
setempat (warga Desa Wangkal dan warga Desa Gading Wetan). Warga
terlibat aktif dalam mengembangkan paket wisata river tubing. Jadi warga
sekitar padepokan DK hanya sebagian yang menjadi santri Dimas Kanjeng,
warga lebih menyibukkan diri untuk mengelola wisata pedesaan „arung
jeram‟. Ada yang menjadi guide, ada warga perempuan yang mempersiapkan
hidangan atau makanan khas pedesaannya dan ada pula warga yang giat
untuk mengelola ban-ban dan perlengkapan diving lainnya.
Warga setempat meskipun banyak yang tidak menjadi bagian dari
padepokan DK, namun warga setempat senang dengan hadirnya para santri
DK yang hadir dari berbagai macam daerah yang dapat menarik pangsa
61
wisata arung jeram dengan rute sepanjang 2,5 KM dan dapat diselancari
dengan durasi 1,5 jam. Banyak warga yang beramai-ramai terlibat dalam
pengelolaan wisata arung jeram tersebut, di wilayah timur Kecamatan Gading
terdapat Sentul Adventure, di wilayah tengah (di Desa Gading Wetan)
terdapat “Gading Wetan Water Sport” yang memanfaatkan derasnya arus
sungai Pandanlaras. Wisata arung jeram tersebut dapat menghidupi
perekonomian dan juga mengurangi tingkat pengangguran warga Desa
Wangkal maupun masyarakat Desa Gading Wetan.
Sebagai desa wisata, Desa Wangkal juga menunjukkan eksistensinya
dengan memanfaatkan aliran sungai Pandanlaras yang juga melewati
wilayahnya tersebut. Melalui brand “Nolo Branti River Tubing” sebagai
wisata olahraga air, warga menawarkan paket wisata perjalanan sejauh 4 KM
dengan durasi perjalanan selama 2 jam. Letak Gading Wetan Water Sport dan
Nolo Branti River Tubing amat dekat, karena bertetangga dan juga sama-sama
memanfaatkan aliran sungai yang sama sebagai komoditas pariwisata, yaitu
Sungai Pandanlaras.
Rute menuju lokasi basecamp Nolo Branti River Tubing, dari Kota
Kraksaan (pertigaan sebelah timur jembatan semampir), lalu belok kanan
sekitar 12 kilometer arah selatan. Jika perjalanan dilanjutkan sekitar 2 KM ke
arah selatan, maka akan menemui gerbang Padepokan Dimas Kanjeng Taat
Pribadi, kemudian jalan lagi dapat menemui basecamp Gading Wetan Water
Sport. Jadi, Desa Gading dan Desa Wangkal selain terkenal dengan
62
padepokan DK, juga dikenal dengan wisata pedesaan berbasiskan alam “river
tubing”. Kelurahan Desa Wangkal berkodepos 67292.
2.3 PERJALANAN DIMAS KANJENG DAN POPULARITASNYA
Dimas Kanjeng (DK) Taat Pribadi lahir di Dusun Sumber Cengkelek, Desa
Wangkal, Kecamatan Gading, Probolinggo pada 4 april 1970, sehingga sampai
saat ini usianya jika dihitung berumur 48 tahun. DK merupakan seorang big man,
tidak hanya terkenal dengan kewibawaannya (karismatiknya), namun juga
kekayaannya, gagah farasnya, kehebatannya, kesabarannya, ketawadhu‟annya dan
lain-lain. DK, pada awal mulanya dikenal sebagai masyarakat biasa pada
umumnya. DK merupakan anak kelima dari 6 bersaudara yang dilahirkan dari
seorang mantan Kapolsek Gading, Kabupaten Probolinggo. Ayah DK tersebut
bernama Mustain, yang istrinya bernama Angatri. DK sejak kecil tinggal bersama
orang tuanya di Jalan Mayjen Widodo, Desa Wangkal. Sejak usia belia, DK telah
dikenal oleh teman sebayanya sebagai pemuda yang hobinya memburu ilmu
kebatinan dan berdiam diri untuk menyepi dan mengasingkan diri.
Ayah DK „Mustain‟, meninggal pada tahun 1992, sedangkan istrinya
Angatri meninggal pada tahun 2002. Pada rumah kediaman orang tua DK
tersebut, hingga sekarang ditempati oleh saudara DK, yaitu Diah bersama
suaminya yang bernama Hidayat. Berdasarkan data dari Ibu Diah selaku adik dari
DK, Diyah mengakui bahwa tiga saudara lainnya tinggal di Jember. Satu saudara
lainnya lagi bernama Taufik Hakiki yang bekerja sebagai guru tinggal bersama
63
istrinya yang bernama Ibu Tutik yang tinggal satu desa dengan DK dan juga Ibu
Diyah di Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo.
Dimas Kanjeng dan 2 saudara lainnya meskipun tinggal dalam 1 desa dan
berdekatan, namun menurut saudaranya tersebut DK jarang untuk bertamu ke
rumah saudaranya tersebut. Pandangan tersebut justru berbanding terbalik dengan
pandangan para tetangga DK dan juga masyarakat di Desa Wangkal. Menurut
masyarakat Desa Wangkal justru DK dikenal sebagai sosok yang rendah hati,
senang menyapa sesama tanpa pandang bulu, tidak menyombongkan diri dan
pribadinya yang kalem serta sopan.
Menurut Diyah, DK sejak SMP telah menyukai aksi berburu ilmu kejawen.
Passion berburu ilmu kejawen tersebut semakin intensif, tatkala DK lulus SMA.
DK berguru terhadap Kiai Gung Selamet, cucu dari Raja Sumenep Bindoro Said,
yang mana merupakan sosok keturunan dari orang yang memiliki „linuweh‟ dari
Batuampar, Pamekasan. Berdasarkan rekomendasi dari Kiai Gung Selamet, DK
diutus agar berlanjut menimba ilmu kepada Abah Ilyas seorang pemimpin pondok
pesantren di Kawasan Brangkal, Kabupaten Mojokerto. Berkat pernah berguru
kepada Prabu Anom Kiai Gung Selamet, DK menjadi terinspirasi ingin menjadi
Raja Anom yang dapat mengentaskan kemiskinan umat dan juga mengangkat
dirinya sendiri dari rakyat biasa menjadi seorang bangsawan.
Berdasarkan pernyataan DK terhadap santrinya, DK bukan murid terpandai
Abah Ilyas, namun DK hanya berusaha untuk menuruti segala tutur kata Abah
Ilyas sebagai gurunya. DK menikah pada saat berumur 24 tahun, yang pada waktu
64
itu tahun 1994. DK menikahi Rahma Hidayati yang berumur 17 tahun, seorang
gadis yang berasal dari daerahnya sendiri dan juga sama sebagai murid dari Abah
Ilyas. Orang tua dari Rahma merupakan keluarga terpandang di Desa kelahiran
DK tersebut. DK pada awal mulanya bekerja dengan menggarap sawah yang
cukup luas milik mertuanya. DK pada akhirnya memiliki 3 anak, yang salah
satunya adalah Syarifatul Wahidah yang lahir pada tahun 1995. DK setelah itu
(pada tahun 2000), berlanjut mendirikan sebuah yayasan. Pada tahun berikutnya
(2001), istrinya melahirkan bayi kembar yang diberi nama Raderi dan Radeni.
Berdasarkan cerita dari Slamet Hariyanto, selaku Camat Gading yang
mengetahui benar perjalanan sejarah kehidupan DK, DK diakui pernah sempat
menghilang selama beberapa waktu untuk mendalami ilmu kebatinan terhadap
seorang guru di Banten. Setelah pulang dari menimba ilmu tersebut, DK merubah
yayasannya menjadi „padepokan‟, sebab di dalam yayasannya tidak hanya
terdapat santri muslim, namun juga beragam santri dari agama lain. Setelah DK
merubah yayasan menjadi Padepokan, DK-pun merekrut banyak orang untuk
menjadi santri padepokan tersebut, motif tersebut membuat masyarakat sekitar
padepokan bertanya-tanya, sebab DK juga membangun masjid dan rumah yang
mewah dalam padepokan tersebut.
DK juga membeli tanah milik warga sekitar padepokan dengan harga yang
menjulang tinggi, dengan harga pada umumnya di pasaran. Kabar tersebut yang
membuat warga sekitar padepokan merasa bahagia karena secara tidak langsung
diberdayakan dengan adanya padepokan DK tersebut. Menariknya lagi, setelah
padepokan tersebut semakin ramai santri yang mendaftar, DK dapat membangun
65
gapura pintu masuk yang berbentuk joglo dengan tulisan yang memantik
perhatian, yaitu “Selamat Datang di Padepokan Dimas Kanjeng”.
Santri DK mengakui bahwa, DK pernah dinobatkan sebagai pimpinan raja
se-Nusantara dengan gelar “Yang Mulia Sri Raja Prabu Rajasanagara” sejak
tahun 2016 awal yang diselenggarakan oleh pimpinan AKKI (Asosiasi Kerajaan
dan Kesultanan Indonesia). Beberapa santri menyatakan bahwa tujuan utama
menjadi santri padepokan DK, ingin membersihkan hatinya, ingin berdoa dan
beramal saleh. Setiap kamis malam jumat, di masjid padepokan
menyelenggarakan acara istighosah bersama dan beramal kepada warga yang
membutuhkan di sekitar pondok.
Santri DK tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat biasa, bahkan
sejumlah bangsawan nasional yang dikenal sebagai tokoh yang berintelektual
tinggi juga ada yang menjadi santri DK. Keberadaan Padepokan DK telah
didukung resmi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (SK MENKUMHAM) RI Nomor: AHU-3632.AH.01.04 Tahun 2012.
Bagi para santri, sosok DK mampu mengadakan uang, bukan menggandakan
uang. Menurut para santri, berkah dari seorang DK tidak akan pernah ada
habisnya.
Dimas Kanjeng sering mengadakan event olahraga, seperti futsal, voli dan
sepak bola. Tidak hanya itu, padepokan DK juga sering mengadakan lomba gerak
jalan, tournament sepak bola dan voli antar RT se-Desa Wangkal Kecamatan
Gading dalam even Kanjeng Cup 2014 yang hadiahnya melimpah. Juara 1 lomba
66
sepak bola memperoleh hadiah sebesar 3,5 juta, juara 2 Rp 2,5 juta, juara iii Rp 2
juta dan juara iv Rp. 1,5 juta.. Untuk hadiah lomba voli juara 1 mendapatkan
hadiah Rp. 3 juta, juara 2 Rp 2 juta, juara 3 Rp. 1,5 juta dan juara iv Rp 1 juta.
Bagi pandangan Dimas Kanjeng, pemuda merupakan aset bangsa, yang
harus diberikan wadah untuk mengeksplorasi potensi dirinya melalui olahraga,
yang menurut DK dengan olahraga merupakan jalan kunci untuk mendapatkan
kesehatan. Menurut Kepala Desa Wangkal, Dimas Kanjeng sering memberikan
perhatian khusus pada urusan olahraga dan kepemudaan. Alhasil Desa Wangkal
sering dibantu DK jika akan mengadakan event yang berkaitan dengan pemuda
desa.
2.4 PADEPOKAN DIMAS KANJENG (DK)
Dalam pemberitaan media massa, tentu telah beredar informasi bahwa
pengikut atau yang lebih suka disebut dengan „santri‟ masih bertahan di
Padepokan Dimas Kanjeng (DK), meskipun DK telah ditahan. Para santri tinggal
tepat di belakang rumah DK dengan membangun tenda-tenda dari bambu dan ada
juga tenda yang bercorak arsitektur Bali. Mayoritas santri DK justru berasal dari
luar daerah Probolinggo, yaitu berasal dari Kalimantan, Jakarta, Papua, Malaysia,
Bandung, Cirebon, Makassar, Surabaya, Ponorogo, Madiun dan lain-lain.
Santri yang berasal dari Probolinggo justru kurang dari 5% dari seluruh total
santri yang ada. Santri DK terdiri dari beragam usia, ada yang muda-mudi dan
juga banyak yang orang tua. Mayoritas warga Desa Wangkal dan warga Desa
67
Gading welcome dengan adanya Padepokan DK tersebut, meskipun warga
setempat tidak banyak yang menjadi santri DK.
Padepokan resmi disahkan berdiri tahun 2006. Kegiatannya yaitu
melaksanakan istighosah sehabis subuh, lalu jam 9-10 diadakan istighosah lagi,
kemudian bakda luhur dan bakda ashar juga istighosah, lalu dilanjutkan lagi
setelah isya hingga jam 12 malam, jam 3 dini hari sudah dibangunkan untuk
shalat tahajud. Sehingga santrinya lebih memilih setia untuk menetap di masjid
Padepokan. “Jika tidak di masjid susah ibadahnya, di tenda juga terasa sepi”,
ujar santri.
Tanah lapang di belakang rumah DK disulap menjadi perkampungan kecil
tempat tinggal para santri. Dalam benak masyarakat awam, para santri yang
memilih tinggal di sana menempati tenda-tenda penampungan, namun dalam
realitasnya tatkala saya berada di sana tenda tersebut tidak „sejelek‟ yang
dipikirkan masyarakat awam. Tenda tersebut didesain dengan sedemikian rupa,
sehingga terdapat ruang tamu dan sekat kamar di setiap tenda. Ditata dengan
bunga-bunga yang menggugah hati dan tidak lupa tenda tersebut diberi nomor,
sehingga para santri bisa mengidentifikasi tenda tersebut dihuni siapa, dari
kalangan mana. Pemukiman tenda santri tersebut telah berubah menjadi
pemukiman yang dinamis.
Menurut keterangan para santri, meskipun mereka hidup tidak dengan
tembok yang menjadi dinding, namun mereka tetap nyaman sebab dapat hidup
bersama-sama. Makan bersama, membayar listrik bersama, berdiskusi bersama,
68
banyak hal yang mereka lewatkan bersama-sama. Pemukiman para santri juga
memiliki „aula‟ yang digunakan untuk ruang pertemuan, tempat belajar menari,
dan mengaji untuk anak-anak para santri. Tidak hanya itu, mereka bersama-sama
merencanakan program pemberdayaan bagi masyarakat di sekitar padepokan.
Padepokan DK, dalam rangka memperingati perayaan hari besar Islam,
padepokan berusaha untuk memberikan santunan sebesar Rp. 1 milliar terhadap
kaum duafa.
Ada santri yang memiliki keahlian dalam bidang pertanian dan
mengaplikasikan ilmunya dengan santri lain untuk membuat kegiatan yang
bermanfaat bagi sekitar dengan pembudidayaan cabai. Ada pula santri yang
berasal dari Bali yang memiliki keahlian menari dan dengan keahliannya itu, ia
mengajari anak-anak usia sekolah untuk melestarikan budaya lewat menari. Ada
juga santri yang pintar mengaji dan mengajari anak-anak setiap sore di aula.
Banyak hal positif yang santri DK lakukan sembari menunggu pemimpin mereka
kembali.
Dari situ terdapat hikmah di setiap peristiwa yang ada, sepahit apapun
peristiwa itu. Meskipun para santri ini dianggap hanya menghabiskan waktu yang
sia-sia saja di padepokan, namun mereka tetap berusaha menjadikan dirinya
menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Saya secara pribadi, dengan
melihat berbagai aktivitas yang ada dalam padepokan, akhirnya menyadari bahwa
manusia sejatinya harus bermanfaat bagi sekitarnya, apapun keahlian yang ia
punya dan bagaimana keadaan yang membelenggunya.
69
Masyarakat yang hadir sebagai penonton berita mungkin mengomentari
“ngapain sih nungguin nggak bermanfaat banget” atau ih “sia-sia banget deh
hidupnya menunggu”, namun di saat tersebut justru para santri sedang menyusun
program untuk aktivitas positif dan langkah selanjutnya. Sebagai makhluk yang
humanis, sudah sepantasnya mendahulukan untuk melihat ke dalam setelah
bercermin dari sekitar. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sesuatu yang
dianggap buruk, sebab masih banyak hal yang belum kita ketahui.
Dalam bukunya R.H Codrington yang berjudul The Melanesians (1891),
terdapat keyakinan mengenai suatu kekuatan gaib yang disebut dengan mana,
yang dipancarkan oleh roh-roh atau dewa-dewa, namun dapat juga dimiliki oleh
manusia. Orang yang memiliki mana adalah orang yang selalu berhasil dalam
pekerjaannya. Orang yang memiliki mana adalah orang yang mampu berkuasa
dan mampu memimpin orang lain.2
Berdasarkan teori di atas, dan juga dikombinasikan dengan berita yang
beredar di masyarakat, keterangan santri dan keterangan masyarakat sekitar
pondok, saya menyimpulkan bahwa DK memiliki kekuatan yang disebut mana.
Dari keterangan para santri, bahwa sosok DK dapat berada di tempat-tempat yang
berbeda dalam waktu yang bersamaan, selalu bersedekah, memiliki perusahaan,
mampu berkuasa dan memimpin padepokan dengan sebaik-baiknya.
2 R. Firth juga pernah meneliti tentang konsep mana di Tikopea. Dalam karangan mengenai topik
itu (Firth 1940) ia menyatakan bahwa kata mana hanya sering berati banyak, berlebihan dan luar
biasa (kata mana ada hubungannya dengan orang Indonesia menang), dan tidak selalu
dihubungkan dengan agama atau religi.
70
Berdasarkan dari keterangan warga sekitar padepokan, mengatakan bahwa
DK sekarang menjadi sosok pemimpin padepokan, namun di luar kemampuannya
tersebut banyak warga sekitar yang heran. Hal tersebut disebabkan sosok DK di
waktu kecil begitu pendiam dan senang belajar ilmu-ilmu “gaib”, justru sekarang
bisa menjadi pemimpin padepokan dan memiliki ribuan santri. Dapat diasumsikan
bahwa DK sukses melalui pekerjaannya. Hal terebut diperkuat oleh pernyataan
beberapa santri, jika DK memiliki perusahaan emas. Sehingga menurut teori di
atas jika ditarik kesimpulan, di zaman modern ini banyak terdapat seseorang
ataupun komunitas yang memiliki kekuatan, dikarenakan sukses dalam pekerjaan
maupun menjadi pemimpin yang sangat berkuasa.
Hampir semua bangunan di Padepokan DK masih terlihat kokoh berdiri.
Beberapa bangunan seperti rumah tempat tinggal DK, masjid, pendopo, asrama
putra dan putri, fitness center masih kokoh berdiri di area tanah seluas 7 hektar.
Lepas dari bangunan megah tersebut, yang menarik perhatian adalah tenda-tenda
yang letaknya di belakang rumah DK. Tenda-tenda tersebut memberikan ruang
dan kesempatan santri untuk bertahan hidup. Meskipun sebagian dari tenda-tenda
yang ada sudah rusak, usang, bahkan tidak layak pakai. Tenda-tenda santri
didirikan seiring dengan adanya penangkapan DK.
Paska penggerebekan, santri banyak yang dipulangkan oleh aparat penegak
hukum. Faktanya, santri tidak sedikit yang kembali lagi bertengger manja di
padepokan „Taat Pribadi‟. Santri mengatakan bahwa DK telah memberi
kehidupan yang lebih baik kepada para santri, sehingga perasaan itu membuat
para santri mencintai, setia terhadap DK dan juga padepokan hingga saat ini.
71
Salah satu santri mengatakan bahwa ia sangat mencintai DK, bahkan cintanya
melebihi keluarganya sendiri. Berkat pertolongan DK, santri dapat memperoleh
kehidupan yang lebih mulia, baik untuk dunia maupun akhirat. Banyak santri
mengatakan bahwa sebelum berada di padepokan hidupnya kurang baik, namun
semenjak berada di padepokan untuk melakukan kegiatan keagamaan dan juga
saling berbagi satu sama lain, maka bagi santri kehidupan spiritualnya menjadi
lebih baik.
Meskipun mereka tinggal di tenda-tenda yang kurang nyaman, namun
mereka terlihat senang. Tinggal di tenda mengajarkan santri untuk hidup
sederhana dan saling berbagi antar tetangga. Berbagi suka dan duka di saat yang
lain kekurangan dan saat kita memiliki lebih, maka harus saling berbagi.
Lingkungan sekitar padepokan sangat hangat. Terlepas dari status padepokan dan
komentar buruk dari masyarakat serta pemerintah, santri tetap hidup dengan baik.
Santri percaya bahwa akan ada saatnya padepokan kembali berjaya seperti sedia
kala.
Di tengah keberagaman hidup para santri yang berasal dari berbagai daerah
dan negara lain, santri hidup untuk saling menghargai, tidak ada paksaan dalam
beribadah, ajaran untuk selalu berbuat baik dan saling membantu merupakan
ajaran yang selalu disampaikan DK. Sehingga santri selalu mengamalkannya dan
menghindari terjadinya konflik. Di dalam padepokan tidak hanya terdapat satu
agama, namun terdapat santri yang juga beragama lain. Tetapi, mereka selalu
berusaha untuk belajar hidup rukun.
72
Wujud kepatuhan santri yang lain terhadap padepokan juga ditunjukkan
para santri dalam memberi ide-ide mengenai kemajuan padepokan dan untuk umat
di sekitarnya. Para santri berusaha untuk saling berbagi di luar padepokan atau
para tetangga sekitar. Mereka membuat program untuk kemajuan padepokan ke
depannya. Para santri mengaku, akan terus menunggu DK hingga keluar, santri
percaya bahwa guru mereka tidak salah dalam proses hukum tersebut. Dalam
tindakan dan wujud cinta santri terhadap Padepokan memberi gambaran bahwa
cinta dan patuh itu membutakan, namun tidak bisa sepenuhnya dianggap
menyimpang. Sebab, santri sudah bertahun-tahun hidup dengan sosok DK yang
amat mereka cintai. Cinta memberi kekuatan para santri untuk terus bertahan.
Kepatuhan membuat santri kuat, nasehat yang melekat pada sosok DK akan terus
santri ingat. Sehingga para santri tetap bersikukuh untuk berada di Padepokan
DK.
Padepokan yang dahulunya selalu ramai, kini mulai menyepi. Santri yang
awalnya berjumlah kurang lebih 23.000 orang, kini menjadi sekitar 700 orang
yang menetap, lainnya pulang pergi (PP dari padepokan ke rumahnya masing-
masing secara bergulir dalam setiap minggunya, lalu kembali lagi ke padepokan).
Santri yang memilih menetap tanpa pulang menghadapi konsekuensi untuk hidup
seadanya.
Ada beberapa aset padepokan yang di sita, diantaranya rumah DK, asrama
santri putra dan putri, pusat fitness dan aula pertemuan. Tersisa masjid dan tenda
santri yang sengaja dibangun sebagai rumah untuk para santri. Mereka tinggal
secara berdampingan. Mayoritas santri benar adanya seorang muslim, namun juga
73
terdapat pemeluk agama non muslim yang juga menetap di padepokan. Berbagai
atribut ibadah keagamaan ada di dalam tenda santri.
Kebanyakan tenda sudah dalam keadaan yang memprihatinkan. Atap yang
bocor dan ketika tidur santri hanya beralaskan tikar tipis. Ada pula beberapa tenda
yang memang sudah tidak dapat dihuni lagi. Bahkah panggung yang dulunya
digunakan untuk acara besar padepokan, kini juga dijadikan tenda. Terpal yang
dijadikan alas juga dijadikan tembok sebagai penghadang panas dan hujan.
Namun juga terdapat sebagian tenda yang dihias dengan rapi dan menarik.
Ornamen-ornamen berbau kedaerahan dan agamis dipadukan menjadi satu.
Beberapa tenda di depannya juga dibudidayakan tanaman hias dan kolam ikan
kecil-kecilan.
Selain tempat ibadah dan tenda, di padepokan juga terdapat aula untuk
beraktivitas anak-anak. Anak-anak yang tumbuh di bawah tekanan dialihkan
untuk melakukan kegiatan layaknya anak-anak lain. Anak-anak diajarkan menari,
mengaji dan setiap hari minggu senam pagi bersama-sama yang diikuti oleh
seluruh santri, baik anak-anak santri, santri muda dan santri dewasa. Selain itu
sorenya, anak-anak juga berpartisipasi untuk menyiapkan makanan. Ketika
diwawancarai terkait DK, banyak di antara anak santri yang belum pernah
bertemu dengannya. Mayoritas hanya pernah mendengar dari orang tua mereka.
Akan tetapi orang tua mengonstruksikan sosok DK yang bisa dibilang berlawanan
dengan yang dikatakan oleh media massa. Anak-anak mayoritas tumbuh menjadi
pribadi yang patuh.
74
Santri dewasa sering menghabiskan waktu dengan kegiatan di dalam
ruangan, baik melakukan rapat ataupun diskusi. Beberapa santri adapula yang
terus menghabiskan waktunya untuk istikharah di masjid. Pengondisian sandang,
pangan dan papan dimusyawarahkan terlebih dahulu. Contohnya saja penempatan
pembagian beras pada tempat di mana orang tersebutlah yang mengoordinir
pembagiannya. Santri walaupun terlihat kekurangan, akan tetapi kebutuhan
pangan mereka terbilang cukup. Inilah yang mereka sebut sebagai ilmu laku.
Beberapa santri sebagai narasumber mengatakan, bahwa salah satu hal yang pasti
didapat di padepokan ini ialah ilmu laku, di mana mereka bisa jauh dari kehidupan
yang fana. Santri belajar untuk berbagi, sabar dan hidup berdampingan dengan
rukun tanpa mengenal batasan-batasan tertentu.
Kehidupan santri bertolak belakang dengan konsep hidup generasi milenial
di era sekarang. Santri hidup dengan cara tradisional, bukan dalam artian santri
tidak mengenal teknologi. Santri memupuk kebersamaan di bawah tekanan dari
masyarakat luas tentang kebenaran padepokan. Segala kata “prasangka” yang
dilontarkan dari luar ditepis oleh para santri dengan berpegang teguh pada ajaran-
ajaran yang disampaikan oleh DK. Salah satu santri bahkan mengungkapkan
ketika dihadapkan dengan orang lain yang menuduh ajaran DK sesat, ia
membantah secara langsung dan memperdebatkannya. Begitulah cara salah
seorang santri menghadapi tekanan ketika ia berada di luar padepokan dalam
membela sosok yang dianutnya.
Akan tetapi terdapat santri yang mengaku bahwa dengan jelas anggota
keluarganya tahu akan keputusannya untuk menjadi santri padepokan Taat
75
Pribadi. Ketika sedang diwawancarai ia memperjelas agar wajahnya tidak
dimasukkan ke media massa, sehingga ia tidak diketahui oleh anggota
keluarganya. Ketakutan-ketakutan beberapa santri masih saja terlihat, namun juga
ada beberapa santri yang tanpa peduli sekalipun dengan omongan dari luar,
sekalipun itu keluarganya sendiri. Prasyarat menjadi santri DK cukup dengan
membayar mahar semampunya dan juga mengikuti kegiatan keagamaan di setiap
harinya, seperti tahlil bersama.
Menariknya, meskipun santri lahir dari latar belakang ekonomi dan
pendidikan yang berbeda, namun mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk
kemaslahatan umat dan lagi-lagi untuk akhirat. Berdirinya Padepokan DK banyak
memberikan kebermanfatan bagi masyarakat di luar Padepokan. Banyaknya santri
yang berasal dari luar daerah, secara tidak langsung membantu perekonomian
masyarakat di luar padepokan, terutama di Pasar Wangkal dan toko-toko sekitar
yang menjual berbagai keperluan sehari-hari.
Setiap pagi hari, para santri terutama ibu-ibu selalu pergi ke pasar untuk
membeli sandang pangan. Semenjak berdirinya Padepokan DK, warung-warung,
dan toko semakin banyak. Hal tersebut dipandang oleh masyarakat di sekitar dan
luar padepokan sebagai wadah yang sangat menguntungkan masyarakat. Selain
bekerja sebagai petani, para warga dapat menambah pemasukan mereka dengan
berjualan.
Tidak hanya toko dan warung yang diuntungkan, transportasi umum
seperti becak, ojek dan angkutan juga merasa diuntungkan. Para santri biasanya
76
menggunakan transportasi umum untuk pergi ke Pasar Wangkal atau Pasar
Semampir yang menjual kebutuhan lebih lengkap dan banyak. Masyarakat di
sekitar dan di luar padepokan semakin memiliki kehidupan yang lebih baik,
karena dari segi perekonomian kehidupan masyarakat mengalami transformasi
ekonomi. Dari yang awal mulanya sepi kini telah menjadi tempat perekonomian
yang ramai.
Menurut pengurus padepokan, Padepokan DK bermula dari musala kecil
yang dapat menampung 20 santri pada tahun 2006. Seiring tersebarnya berita
terkait kesaktian DK, santrinya semakin banyak pula, bahkan sampai peristiwa
penangkapan DK, santri masih mencapai 23 ribu. Hal tersebut yang membuat
pembangunan infrastruktur di padepokan semakin berkembang pula.
Pembangunan di padepokan sebagai organisasi massa tidak berasal dari uang
gaib, namun berasal dari sumbangan para santri. Santri DK yang masih tinggal di
padepokan menyatakan bahwa tidak akan pulang dari padepokan, sebelum ada
perintah secara spiritual dari maha gurunya tersebut. Tidak sedikit dari kaum artis
dan politisi yang juga menjadi santri DK, bahkan juga tidak jarang manggung di
padepokan sebelum DK berada di lapas.
Padepokan DK tidak hanya terdapat masjid dan parkiran yang luas, namun
juga terdapat warung makan dan kopi di setiap sudut kompleks padepokan yang
dikembangkan oleh santri sendiri, sehingga santri tidak hanya mengaji, namun
juga mengembangkan perekonomiannya dengan berdagang (membuka warung,
membuat snack, keripik untuk disetorkan ke toko-toko sekitar pondok). Santri di
77
Padepokan Dimas Kanjeng tidak ada yang merasa kesusahan untuk makan, sebab
santri yang memiliki finansial lebih saling memberi, baik memberi makanan
secara langsung, maupun memberikan modal usaha untuk membuka warung atau
membuat jajanan. Santri DK tidak sedikit yang telah menetap di padepokan
selama bertahun-tahun (tidak hanya sehari 2 hari), sehingga tidak mudah jika
harus meninggalkan segala kenangan yang telah diukir di padepokan tercinta.
79
BAB III
TEMUAN LAPANG
Bab ketiga berisi temuan data observasi dan wawancara di lapangan.
Data yang dipaparkan dalam bab ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan
santri Dimas Kanjeng memiliki persepsi atau pandangan yang sama,
sehingga terbentuknya pola perilaku atau tindakan yang homogen
(kepatuhan santri Dimas Kanjeng yang begitu mendalam terhadap maha
gurunya „Dimas Kanjeng‟). Pada bab ini juga dijelaskan bagaimana santri
Dimas Kanjeng berkontestasi dengan berbagai tindakan kepatuhannya dalam
menghadapi segala ancaman yang hadir dalam menjaga rasa kepatuhannya
terhadap sang guru „Dimas Kanjeng‟ agar keharmonisan di Padepokan Taat
Pribadi selalu tumbuh dan mengakar dalam keseharian santri.
3.1 IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PEMICU SANTRI PADEPOKAN
DIMAS KANJENG TERAMAT PATUH AKAN DIMAS KANJENG
3.1.1 Faktor Ajaran
Dimas Kanjeng yang selalu mengajari santri untuk mengelola diri, menjaga
hati dan lisan membuat para santri menaruhkan hati tersendiri tehadap Dimas
Kanjeng. Bahkan menurut santri Dimas Kanjeng selalu terkenang dalam
hidupnya. Dimas Kanjeng yang selalu mengajari arti sebuah ketulusan dan tidak
membeda-mbedakan terhadap siapapun. Kehidupan di padepokan akhirnya
menjadi seperti taman yang begitu rindang nan sejuk. Hal tersebut sesuai dengan
penjelasan informan di bawah ini:
80
“Kepribadiannya yang tidak jauh dengan perkataannya mbak. Mas
kanjeng itu selalu mengajari kami untuk hidup susah dan senantiasa
tawakal pada Tuhan. Beliau mencontohkan kehidupan beliau waktu
berguru ditempatkan di lapangan yang tidak bisa untuk berteduh, sering
kehujanan dan sering dicambuk‟i menggunakan plecut. Dadi sek enak
mbak kami sebagai santri YM masih ditempatkan di tenda-tenda.
Kebutuhan pangan dijamin mas kanjeng. Sopo wonge sing gak luluh
mbak. Dadi mas kanjeng iku ora koyo KIAI sing keminter neng
JARKONI, ngerti JARKONI mbak, NGANDANI NENG JARANG
NGLAKONI (sering memberi tahu, namun ia sendiri tidak
melaksanakannya). Mas Kanjeng tidak terlalu banyak bacot mbak,
bicara seperlunya” (Ibu L, 03/09/2018).
Kehidupan di Padepokan Taat Pribadi penuh dengan nilai-nilai kesopanan
dan kebaikan sesuai dengan nilai dasar Pancasila yang dapat menjadi pedoman
hidup para santri dalam bertindak. Selain itu, Dimas Kanjeng juga mengajari
santri agar tetap semangat dan apapun yang terjadi jangan pernah sampai putus
asa, intinya semua adalah yakin dan berani. Berani berjuang, berani fokus, berani
mempertaruhkan, berani mengambil keputusan dan berani berpegang teguh
terhadap apa yang diyakini, jadi tidak mudah untuk diombang-ambingkan oleh
orang awam yang tidak jelas. Dimas Kanjeng selalu mengajari santrinya agar
selalu teguh dan setia terhadap janji ataupun hal yang diyakini dirinya, jangan
sampai serong..
Berdasarkan ajaran-ajaran yang telah diberikan Dimas Kanjeng di atas maka
dapat disimpulkan bahwa ajarannya hampir sesuai dengan indikator-indikator
pendidikan yang berbasiskan karakter. Pendidikan berbasis karakter diperlukan
dalam menyongsong Indonesia emas tahun 2025. Kesabaran Dimas Kanjeng
dalam membina karakter para santri membuat santri sulit untuk menghapuskan
81
sosok si Taat Pribadi. Selain ajaran yang berbau keagamaan, DK juga
menekankan pada para santri untuk tetap ingat akan statusnya sebagai Warga
Negara Indonesia harus tetap melakukan kewajibannya terhadap negara. Hal
tersebut sesuai dengan testimoni santri berikut ini:
“Guru maaf ni ya mbak tetap menekankan kepada kita sebagai seorang
muslim harus menaati peraturan sesuai agama kita.. kita selaku warga
negara tetap mengedepankan hukum yang berlaku di NKRI karena kita tetap
di bawah pemerintahan (Bapak DN, 02/08/2018)”
Kepatuhan informan timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng (segi moral). Di
saat saya bertanya “Bapak sayang sekali ya dengan yang mulia?”, informan lalu
menjawab:
“Pastilah, beliau kan juga guru bagi kami.”
“Di sini niatnya mencari ilmu. Kalau bicara soal ilmu, apapun
caranya akan diraih untuk mencapai itu” (Pak MZ, 20/09/2018).
Santri (ms DV) dulu telah belajar kesana kemari, namun yang tepat menurutnya
hanya di Yang Mulia Dimas Kanjeng. Dahulu mas DV memilih di padepokan
DK telah mendapatkan arahan dari gurunya terlebih dahulu yang di Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri. Terlihat sesuai dengan pernyataan santri berikut:
“Mayoritas santri YM yang ada di tenda langsung mantap hatinya, tatkala
mengikuti DK awal mula ceritanya tidak ada yang namanya “tidak
percaya”. Berawal dari shalat istikharoh dan dalam melaksanakan shalat
istikharoh tidak sekedar sekali 2 kali, bahkan 2 tahun (Mas DV,
27/08/2018).
“Kan di sini itu sepemahaman saya ditanggung dunia dan akhirat. setiap
yang bisa ikut di sini dan bisa mengikuti di sin. Ibu di sini kan sudah tua,
kalau tidak mencari akhirat itu mencari apa ta nduk? (Ibu L, 13/08/2018)”.
Informan memberikan penjelasan tentang ketenanganannya berada di
padepokan.
“yang mulia terlihat sangat anteng dan sareh dalam mengajar”, (Mas
DV, 21/09/2018).
82
Selain itu, informan juga percaya tentang konsep ajaran dunia dan akhirat yang
diajarkan agama islam. Jadi kepatuhan santri juga disebabkan karena adanya
norma, yaitu buku istighosah yang dijadikan Dimas Kanjeng sebagai instrumen
utama dalam pembelajaran yang ditujukan kepada santri.
Alasan mayoritas santri Dimas Kanjeng bertahan di padepokan dan
tetap mematuhi segala nasehat Dimas Kanjeng yaitu ingin memiliki dan
mengembangkan ilmu laduni yang dapat menguji dirinya. Penekanan pada
ilmu laduni yaitu struktur manusia terdiri dari 4 elemen yang saling
berkesinambungan antara lahir dan batin. Elemen tersebut terdiri dari: 1)
api yang diartikan sebagai nafsu, 2) air disetarakan dengan jiwa, 3) udara
yang dapat mententramkan hati di mana tempat berseminya ruh, 4) tanah
adalah jasad atau makanan (Ancok dan Suroso, 2011: 152-154).
Api (Nar‟un) simbolnya adalah alif, udara (hawa‟un) simbolnya
adalah lam awal, air (ma‟un) simbolnya adalah lam akhir. Tanah (turubun)
simbolnya adalah He. Dari ke empat elemen tersebut, apabila nafsu dan
jasad dapat diarahkan untuk hal yang positif, maka dapat menghantarkan
diri ke ma‟rifat. Huruf-huruf di atas apabila dikombinasikan dapat menjadi
lafadz Allah (Ancok dan Suroso, 2011: 156-157).
Menurut santri, hal yang bisa didapatkan dari sosok DK, ialah harus
mencapai aktualisasi diri, ikhlas dan tenang saat menghadapi ujian kunci ajaran
yang selalu ditanamkan oleh DK. Orang harus mencapai tataran hakikat dan
ma‟rifat (transdimensi), sesuai dengan pernyataan santri berikut:
“Ya cita-citanya kita itu menjadi orang yang sukses. Sukses duniannya,
juga sukses akhiratnya, jangan sampai sukses dunia saja tapi akhiratnya
83
kita kalang kabut. Gak bisa kita gak amanah. Kita di sini dibelajari
dengan karakter yang seperti ini. Jangan sampai kita salah kaprah. Kita
hanya sibuk dunia, dunainya tidak bisa dikendalikan nantinya jadi
mudharat bagi diri kita. Kan ada juga hak-hak orang. Hak orang, hak
orang. Hak kita hak kita, jangan sampai kita makan hak orang.
Sepeserpun hak orang jangan sekali-kali kita ambil, ada karmanya (
10/09/18).
Adanya motivasi yang ditunjukkan dari ajaran-ajaran Dimas Kanjeng untuk
peduli terhadap sesama.
“Alhamdulillah setiap tahun guru memberikan contoh kepada santri
mengayomi, menyantuni anak yatim (21/09/18).
“Kitanya saling mengasihi saling menyayangi, ee untuk meraih suatu
program tapi dalam suatu batasan (21/09/18).
Pak Z merasa terilhami dari ajaran Dimas Kanjeng dalam hal ilmu. “Di sini
diajarkan pemahaman yang lebih tinggi. Ketika umpamanya dalam diri kita
terdiri dari segumpal daging, apabila daging itu baik niscaya baiklah segalanya.
Apabila itu rusak, maka rusaklah segalanya (18/09/18).
Adapun ajaran yang disampaikan DK terhadap santrinya perihal religiusitas
yaitu tidak pernah mengevaluasi agama itu benar atau salah tidaknya, namun apa
yang diajarkan DK sama halnya dengan pemikiran Emile Durkheim (1992: 80),
bahwa agama merupakan fenomena kemasyarakatan, sistem sosial. Agama
menurut gagasan Emile Durkheim tidak berasal dari pewahyuan dunia luar,
melainkan secara empiris berasal dari pengalaman di lingkungan sekitarnya (teori
sentimen kemasyarakatan). DK “angkat tangan” perihal baik buruknya agama
tertentu, namun DK selalu menegaskan apa agamamu jangan pernah lalai akan
tanggung jawabmu di agamamu masing-masing.
Santri patuh terhadap DK dengan menerima dan melaksanakannya perintah
Dimas Kanjeng begitu saja.
84
“Ilmu yang diajarkan oleh Dimas Kanjeng sudah bukan ilmu syari‟at
lagi. Ibaratnya ilmu lakon dalam bahasa Jawa. “Ini lakukan!” seperti
itu. Nah kalau sudah menginjak seperti itu ibarat dikata tidak boleh
ada pertanyaan “kok begini sih?” nggak boleh memang kalau kita
dulu menyantri di pesantren juga seperti itu. Tidak boleh banyak
bertanya, kan. Kalau diperintahkan “kamu ke utara!”, tidak boleh
bertanya “kenapa ke utara? Apa yang harus dicari? (Pak DN,
17/09/18).
3.1.2 Adanya Kesamaan Tujuan dan Kesadaran Kolektif
Kepatuhan informan dikarenakan adanya semangat bersama dalam
mencapai tujuan atau target padepokan yang lebih baik di masa depan. Adanya
kesadaran kolektif membuat santri tetap patuh yang mendalam pada seorang DK.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan santri berikut:
“Kita di sini punya satu pengertian bahwa kita berguru pada seorang
guru yang mengarahkan kita untuk mensejahterakan umat. Kepentingan
kita di sini sama”.
“Saat rasa kita bermain, bersimpati terhadap kesusahan orang, di
situlah yang menjadi eee apa.. menjadi patokannya. Di sini menyangkut
suatu hal kenapa di sini kita bisa memiliki toleransi yang tinggi”, (Bapak
MZ, 04/10/2018).
“Di antaranya visi misi padepokan kan seperti ini dari dulu.
Mengentaskan kemiskinan, mengangkat anak yatim, tracknya nanti
adalah membuat seribu pondok pesantren, seribu masjid, seribu panti
asuhan. Pokoknya seperti itu proyek kedepannya. Itu yang membuat kita
tetap bersemangat untuk di sini dan patuh akan yang mulia. Terus
kenapa kita kok masih bertahan di sini, kan gitu”, (Bapak MZ,
04/10/2018).
Kepatuhan informan dibuktikan dengan mengorbankan kepentingan pribadi.
Dalam hal ini, dia mengorbankan waktu hidupnya untuk bertahan di padepokan.
Saat saya menanyakan sampai kapan bertahan, ia menjawab:
“Ya tergantung perintah dari YM (Yang Mulia). Kita kan tawadhu‟ dan taat
pada beliau (Bapak MZ, 09/09/18).
85
Kepatuhan informan hingga rela meninggalkan pekerjaannya untuk kemaslahatan
umat.
“Saya ini bisa dibilang dari tahun 2010 bulan empat sampai saya
meninggalkan pekerjaan saya sebagai PNS demi umat. Bukan untuk
kepentingan. Kalau saya untuk kepentingan, ngapain saya ninggalkan
kerjaan saya.”
Di samping itu faktor yang membuat santri DK patuh terhadap DK ialah
tingginya intensitas pertemuan antara santri terhadap DK dan juga antara santri
terhadap santri yang lain. Jalinan komunikasi, maupun persaudaraan akan tercipta
karena adanya rasa saling memiliki satu sama lain, merasa dimanusiakan satu
sama lain. Jadi ketika yang satu sakit, maka semua menjadi terlilit. Kepatuhan
santri pada umumnya dipengaruhi oleh tingkat pengorbanan yang dilakukan.
Kategori pengorbanan itu sendiri terdapat pengorbanan material maupun non
material.
Dari konsepsi umum tersebut jika dikaitkan dengan kepatuhan santri
terhadap DK ialah, santri DK yang telah lama tinggal di Padepokan dan sudah
pernah merasakan asam pahitnya padepokan, jika terdapat kasus apapun yang
menyerbu dan menjerat padepokan, maka santri cenderung akan tetap patuh dan
bertahan tinggal di Padepokan Dimas Kanjeng, karena chemistry dan kenyamanan
telah terbentuk. Dalam membentuk kondisi yang solit tersebut memerlukan proses
yang tidak sebentar dan mengorbankan harga diri, kehormatan, perasaan, waktu,
tenaga, uang dan juga pikiran. Tingkat keyakinan diantara santri tidak sama,
namun sebagian besar memiliki komitmen bersama dan kesadaran kolektif yang
tinggi, sesuai dengan pernyataan santri berikut:
86
“Bu marwah juga bilang bahwa ini adalah miniatur Indonesia di mana kita
semua berada satu posisi di mana terdapat dari berbagai suku terus
kemudian ya Bhineka Tunggal Ika yang kita tekankan. Karena apa pada
saat kita berbicara tentang umat maka scup kecilnya adalah Indonesia.
Indonesia yang kondisinya berbagai macam itu sudah tidak bisa kita
pungkiri lagi kan, artinya di mana rasa dipermainkan rasa kita yang
diutamakan bahwa kita semua di sini sama. Semua jabatan semua title
lepas. Kita di sini punya satu pengertian bahwa kita berguru pada
seorang guru yang mengarahkan kita untuk mensejahterakan umat” (Pak
SK, 27/09/18).
Padepokan Dimas Kanjeng mempunyai pranata alternatif (kesamaan
tujuan) yang bermanfaat sebagai cara untuk mengakomordir segala
keberagaman (Suparlan, 1995). Lepas dari pengklasifikasian masyarakat,
suatu komunitas dapat tercipta dan terjalin sangat intim apabila adanya
konsesus dan solidaritas sosial. Solidaritas merupakan pondasi atau dasar
bagi berlangsungnya kehidupan berkelompok dan membuat komunitas
tersebut seakan utuh. Adapun konsesus atau kesepakatan bersama terhadap
aturan yang ingin disetujui dapat mendorong komunitas lebih solid.
Antara konsesus dengan solidaritas merupakan pengikat sosial dalam
kehidupan berkelompok. Apabila antara konsesus dengan solidaritas salah
satunya rapuh, maka sistem sosial yang telah terstruktur dapat merapuh.
Apabila konsesus dan solidaritas dalam suatu komunitas masyarakat dinilai
sebagai bagian dari unsur budaya yang berfungsi sebagai pijakan hidup
setiap hari berlandaskan dari doktrin suatu agama, maka kegunaan agama
sebagai rasa, dorongan atau motivasi dan semangat kinerja masyarakat.
Adanya rasa fanatisme komunitas tertentu dalam masyarakat heterogen,
dapat mendorong terciptanya konsesus bersama dan solidaritas. Solidaritas
87
yang berkembang di kehidupan Dimas Kanjeng ialah solidaritas mekanik.
Solidaritas organik tidak berkembang di kehidupan Padepokan Dimas
Kanjeng, sebab meskipun santri Dimas Kanjeng terdiri dari berbagai kelas
sosial, namun bagi DK dan juga santri semua santri yang terdapat di
padepokan semua setara, tidak ada yang namanya spesialisasi kelompok-
kelompok professional (anti diferensiasi sosial).
Akhirnya semangat kebersamaan dalam memenuhi kebutuhan hidup,
beribadah, bersama-sama dalam mengunjungi tempat orang meninggal di
sekitar padepokan dengan iyuran bersama dan ritual kolektif selalu tercipta.
Kesatuan, kekompakan dan keutuhan sosial keluarga besar Padepokan
Dimas Kanjeng tidak terjadi secara spontan, namun melalui kesepakatan
bersama yang terjadi secara sadar disertai tekat yang bulat. Karena adanya
solidaritas dalam mewujudkan tujuan bersama, maka di Padepokan Dimas
Kanjeng eksistensi norma-norma serasa hidup. Motto yang selalu
dikembangkan di Padepokan Dimas Kanjeng yaitu anti mindlessly (anti
manusia tanpa perasaan) dan anti anomie (anti suasana tanpa norma).
Secara logika padepokan dengan visi bersama yang berorientasi pada
kemajuan maka akan lebih memikat kepatuhan santri, termasuk pak Z.
“Visi misi padepokan untuk umat didasari atas kebinekaragaman kita
berdasarkan suku dan berbagai provinsi dan tujuan kita untuk
kemaslahatan umat dan akhirnya adalah rahmatan lil alamin, di sini di
padepokan ini semua unsur agama ada, jadi kitanya memaknai rasa dan
meningkatkan pemahanaman tentang ilmu syariat”.
“Rasa saat kita melihat teman kita kesulitan materi, minimal kita
memberikan suatu support. Bahwa apa kesulitannya tidak ia hadapi sendiri
seperti itu prinsip dasarnya di sini (Pak H, 26/09/18).
88
3.1.3 Faktor Kenyamanan
Dari hasil lapang yang telah didapatkan tingkat kepatuhan santri Dimas
Kanjeng hadir karena sosoknya yang mampu menggambarkan seorang figur guru
yang didambakan dan dijadikan junjungan. Figur Dimas Kanjeng akhirnya dapat
memenuhi prinsip naluriah manusia, yaitu kenyamanan. Sosok yang memberikan
rasa aman yang pada akhirnya membuat seseorang enggan untuk beralih.
Kenyamanan yang santri rasakan semakin memperkuatnya untuk tetap tinggal di
padepokan. Menurut santri, Dimas Kanjeng selain dikenal dengan sosoknya yang
karismatik, Dimas Kanjeng juga memiliki karakter yang arif dan dapat dijadikan
contoh bagi santri-santrinya. Dalam memimpin padepokan, Dimas Kanjeng tidak
ingin dipanggil dengan sebutan “guru ataupun yang mulia”. Bagi Dimas Kanjeng,
dirinya ialah teman sejawat bagi santri-santrinya.
Alhasil Dimas Kanjeng selalu ada dan mendampingi santri-santrinya
dalam menuju jalan kebaikan. Menurut santri, Dimas Kanjeng dalam mendidik
tidak memakai karakter yang otoriter. Dimas Kanjeng mampu mengamalkan nilai-
nilai Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Menurut pandangan santri, Dimas Kanjeng layaknya seorang ibu yang selalu
menyampaikan budi pekerti terhadap santrinya dengan penuh perhatian,
ketabahan dan keuletan. Sedangkan di tengah perjalanan, tatkala santri berproses
guna membentuk perilaku yang adiluhung, Dimas Kanjeng selalu follow up guna
menggugah semangat para santri. Begitu halnya tatkala fisik Dimas Kanjeng jauh
dari santri, menurut santri sosok Dimas Kanjeng selalu memberinya dorongan dan
semangat juang di hati.
89
Padepokan bukan hanya sekedar wahana perang ataupun balapan yang
mudah pudar. Padepokan tidak hanya terdiri dari kepingan batu ataupun desiran
pasir, namun bagi santri mengandung makna tersendiri yang tidak sedikit dan juga
susah untuk diinterpretasikan melalui dongeng sebelum tidur. Luka, canda, tawa,
bahu membahu bersama dan masih banyak kenangan maupun harapan lainnya
yang tertanam di Padepokan Dimas Kanjeng. Belaiannya yang lembut membuat
para santri semakin termehek-mehek.
Adanya rasa senang dan nyaman akan sosok Dimas Kanjeng membuat cinta
santri akan DK semakin sulit untuk dibendung. Menurut santri senyuman DK
manis, semanis madu dengan segala kepiawaiannya. Selain itu, sosok gurunya
tersebut diyakini memiliki hati yang bersih, jernih dari segala dendam dan
kebencian. Dimas Kanjeng selalu dinilai santri memiliki hati yang murah,
semurah garam dapur.
Kepatuhan informan akan padepokan dikarenakan merasakan hal yang
tidak bisa diceritakan (ketentraman), yang diinterpretasikan dalam kutipan
berikut:
“Kami patuh di sini dengan padepokan karena, kalau kita bicara secara
logika, mungkin terjadi irasional ya. Akan tetapi, anda percaya nggak akan
adanya trans-rasional? Di sini kami patuh karena ada hal-hal yang sulit
diceritakan. Ada ketenteraman batin bagi yang yakin di sini. Ya ketenangan
aja. Semoga Allah akan selalu memberkati dan apa yang dicita-citakan
tercapai”, (Bapak Z, 15/09/2018).
Pak Z merasa sosok Dimas Kanjeng mampu menjadi teladan bagi dirinya, hal
tersebut menjadi alasan kepatuhan para santri yang berawal dari kesantunan
90
Dimas Kanjeng dalam bertindak dan bertutur kata, sesuai dengan penilaian santri
di bawah ini:
“Jadi yang perlu kami pahami sebegitu arifnya yang mulia”
“Insya Allah dengan rangkulan ini nantinya akan muncul. Muncul suatu
sosok, muncul suatu tokoh, muncul suatu panglima”, (Bapak TT,
29/08/2018).
Banyak dari santri sebagai pegawai negeri sipil dan bekerja kantoran,
meninggalkan pekerjaan dan keluarganya hanya demi Taat Pribadi. Menurut
santri, hal tersebut jelas tanpa kepentingan, karena santri merasakan ketentraman
batin dari adanya sosok yang mulia Mas Kanjeng tersebut. Dan kenyamanan yang
dirasakan santri tidak dapat terbendung dan juga tidak cukup jika hanya diuraikan
melalui kata-kata.
1.1.4 Faktor Keyakinan
Selain itu saya menemukan adanya kepercayaan askriptif yang akhirnya
menjadi keyakinan kolektif dan suatu kebenaran yang diyakini. Saya memiliki
argumen tersebut karena beberapa dari santri Dimas Kanjeng mengatakan bahwa
seorang Ibu Marwah Daud yang sampai bersekolah keluar negeri dan mendapat
gelar akademik yang cemerlang saja juga turut mempercayai kemampuan Dimas
Kanjeng yang kata orang “banyak tidak masuk akal”. Sosok Marwah Daud yang
memiliki figur sebagai cendekiawan dan mengutamakan kelogisan berpikir
dijadikan patokan untuk menaruh kepercayaan dan kepatuhan santri terhadap
Dimas Kanjeng. Dikarenakan banyak yang berpikir demikian, tentu akan ada
kesamaan persepsi yang pada akhirnya menjadi kebenaran yang diakui bahwa
kepatuhan pada sosok Dimas Kanjeng merupakan hal yang mutlak.
91
Rasa patuh santri terhadap padepokan semakin mengukuhkan rasa
persaudaraan dan persatuan terhadap sesama santri. Dilecehkan orang awam
membuat solidaritas diantara santri semakin kuat dalam mempertahankan
mahkoda padepokan tersebut. Menurut santri padepokan merupakan jalan menuju
kebaikan dan ketakwaan, maka harus dijaga benar. Kuncinya yang membuat
bapak H tetap patuh dan bertahan di Padepokan DK ialah “yaqqin ditata dulu
niatnya, lalu bersihkan segala fikiran dan prasangka buruk, maka keyakinan akan
tercipta. Proses mencari ilmu rasa itu mbak yang tidak akan pernah didapatkan
di manapun”, (tutur Bapak H yang berambut perang, 13/09/2018).
Informan mengakui bahwa semenjak berada di padepokan informan
menjadi lebih baik dalam beribadah, sekaligus percaya bahwa bila informan
meninggal akan ditanggung padepokan, seperti yang disampaikan oleh santri
berikut:
“Aku orang bodoh, gak pernah mengaji, gak pernah baca sholawat nariyah.
Jadi, aku 100% yakin di padepokan. Seumpama Meninggal ditanggung di
padepokan. Contohnya sudah ada nduk, orang sakit meninggal itu kemarin
masih utuh padahal sudah 2 tahun setengah. Orangnya masih putih masih
utuh”, (Ibu L, 28/09/2018).
“Yak memang begitu karena keyakinan kami. Keyakinan kami tidak berasal
dari hipnotis, kepercayaan kami, keyakinan kami itu karena keseharian
kami (Pak MZ, 27/09/18).
“Kami yang bertahan, kami yang selalu punya kepercayaan melalui proses
melalui saringan yang tidak tampak tentunya (Pak H, 06/09/18).
1.1.5 Motif Ekonomi (Benefit)
Kepatuhan informan timbul karena demi mendapatkan keuntungan ekonomi.
92
“Yang mulia itu orangnya pemurah. Ada orang datang pasti dikasih duit.
Siapapun yang datang pasti dikasih duit. Murah banget yang mulia itu di
manapun, di lembaga manapun (Ibu LM, 28/10/2018).
“Suasana yang nyaman, di sini enak mbak, rata-rata orang di sini kelas
menengah ke atas. Jadi kalau untuk makan saja sampai sisa-sisa, karena
selalu dikasih dan di sini susah seneng bareng dalam naungan sebuah
padepokan dan juga belajar merintis komitmen & usaha bareng-bareng.
Listrik tidak membayar, air juga tidak membayar, tatkala ingin ikut menjenguk
YM waktu proses persidangan di Pengadilan Kraksaan juga tidak membayar.
Masalah transport sudah ada yang mengkoordinir, keamanan pun juga terjaga
(Ibu T, 04/10/2018).
Menurut Situmorang dalam Wulandari (2005: 13), kesetiaan secara umum
dipengaruhi oleh 3 unsur yaitu karena situasi terdesak atau terpaksa, karena ajaran
(moral), karena mendapatkan keuntungan (ekonomi). Kepatuhan informan kepada
Dimas Kanjeng juga dipengaruhi oleh keuntungan berupa uang yang diberikan
oleh Dimas Kanjeng. Selain kepercayaan yang besar terhadap Dimas Kanjeng,
dukungan material juga menjadi penyemangat santri untuk mempertahankan
kehidupannya di padepokan. Sehingga informan menjadi sangat percaya terhadap
Dimas Kanjeng. Hal tersebut diperkuat dengan cerita yang disampaikan oleh
informan berikut:
“Mas Kanjeng itu penipu uang palsu, emas palsu. Aku yang untuk contoh
nduk. Saya sudah pernah dikasih uang Mas Kanjeng itu 200 dolar tak
tukarkan dapat uang 2.600.000. ya gak ditanya darimana ya gak, langsung
ditukar. Makanya kalau ada penipuan uang palsu saya gak terima. Uang
barokahnya Mas Kanjeng besar nduk. Aku di sini sudah 4 tahun hampir 5
tahun, kerjaan ku ya begini ya bantu santri yang kurang mampu. Saya juga
masih punya cucu 3, ah aku begini makan aja kurang, ah gak ada. Sampai
sekarang tak puter uang 2.600.000 itu coba. Semisal utang aku bisa lancar,
gak pernah aku dimarahin orang ta. Sebab janji ku tepat. Maka dari itulah
aku percaya, 100% tentang padepokan. Kalau orang yang tidak paham
meskipun dia santri dan gak paham kok begitu-begitu terus hm, maka Mas
Kanjeng itu kerjaannya sendiri gak dibantu sama siapa-siapa. Diibaratkan
nandur padi, aku memang yang sudah paham nak”, (Ibu LMN, 30/09/2018).
93
Akhirnya santripun patuh dan masih setia bertahan di padepokan karena
merasa sangat yakin bahwa hanya di Padepokan Dimas Kanjeng harta karun, uang
dan mas batangan disimpan. “Uang aman hidup pun nyaman”, tutur seorang
santri. Menurut salah 1 santri di sana, santri DK mayoritas berasal dari kalangan
menengah ke atas (borjuis), sehingga untuk keperluan sandang pangan tidak perlu
bingung lagi.
3.1.6 Kepiwaian Dimas Kanjeng dan Karismatiknya
Dua informan memiliki argumen yang sama, yaitu terdapat suatu hal yang
berada di luar jangkauan berpikir manusia, dua informan tersebut menyadari
terdapat availibility bias dalam konsep berpikir kita sehari-hari dan menyediakan
ruang toleransi untuk hal-hal yang kita pikir tidak logis. Dua informan lainnya
berpikir bahwa kehidupan akan ditanggung padepokan dan mempercayai hal-hal
gaib begitu saja tanpa menyediakan ruang nalarnya untuk meragukan itu.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan logis yang
ada dalam diri santri Dimas Kanjeng memang sengaja dihilangkan secara sadar
oleh santri. Santri memiliki alasan bahwa terdapat ruang dari akal manusia yang
tidak dapat menjangkau hal-hal yang terdapat di padepokan. Mereka menyadari
terdapat availbility bias yang mungkin dapat terjadi. Hal-hal yang tidak dapat
dijangkau oleh akal tersebut didefinisikan sebagai hal ghaib, seperti kemampuan
Dimas Kanjeng yang ramai diperbincangkan.
94
Santri menyampaikan bukti-bukti yang hanya mendukung argumen mereka
demi ketaatannya terhadap yang mulia Mas Kanjeng. Seperti dalam prinsip
pseudoscience yang hanya mengambil bukti-bukti yang mendukung kelogisan
mereka. Aktivitas tersebut bagi kita orang awam menyebutnya sebagai fenomena
bias konfirmasi. Berbeda di mata santri, yang mana bagi santri kepatuhan harus
selalu diperjuangkan dengan melihat sisi positif sosok yang dipuja dari celah
negatif yang selama ini diperdebatkan umat.
Santri Dimas Kanjeng tetap bertahan karena mereka telah melihat kehebatan
Dimas Kanjeng secara langsung dengan mata kepalanya sendiri, yang menurut
santri fenomena tersebut dapat diistilahkan dengan “see is believing”. Dalam hal
ini para santri meyakini bahwa para santri yang menjadi pengikut setia Dimas
Kanjeng ialah umat keturunan wali, termasuk dirinya sendiri dan juga Bunda
Marwah merupakan keturunan wali. Sehingga menurut para santri, santri yang
masih patuh terhadap Dimas Kanjeng tersebut merupakan sosok orang yang
mendapatkan hidayah, inayah, berkah never ending. Selain itu menurut santri,
Dimas Kanjeng merupakan sosok 1001 di dunia ini, yang juga diperkuat melalui
pernyataan santri berikut:
“anggota DPR kalau ditangkap, paling yang lihat dan mengurusi hanya 10
orang, kenapa DK dijemput dengan pasukan lengkap dengan senjata dan
berkuda ya kan (Pak DN, 06/09/2018).
“Mas Kanjeng farasnya yang rupawan, alisnya begitu menawan, idaman
wanita yang badannya begitu gagah”, (Pak DN, 06/09/2018).
Jika diskemakan, berikut adalah tabel faktor-faktor pemicu santri tetap
patuh terhadap Dimas Kanjeng:
95
Tabel 2. Faktor-faktor penyebab Santri tetap Patuh terhadap
Dimas Kanjeng
No. Inisial
Informan
Faktor Pemicu Santri Patuh
1. Pak MZ 1. Adanya semangat dalam mencapai tujuan atau
target padepokan yang lebih baik di masa depan.
2. Timbul karena untuk mendapat keuntungan
(ekonomi).
3. Timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng (segi
moral)
2. Pak NT 1. Merasakan hal yang tidak bisa diceritakan
(ketentraman)
3 Mas DV 1. Timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng (segi
moral).
4 Bu LL 1. Timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng (segi
moral).
2. Timbul karena kepribadian Dimas Kanjeng
5 Bu LM 1. Timbul karena untuk mendapat keuntungan
(secara ekonomi).
2. Timbul karena kepribadian Dimas Kanjeng
7 Pak SK 1. Timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng (segi
moral)
8 Pak H 1. Timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng ( segi
moral)
9 Pak SH 1. Timbul karena kepercayaannya dari orang yang
berpengaruh (bunda marwah)
10 Pak TT 1. Karena telah melihat sendiri kemampuan Dimas
Kanjeng
11 Pak DN 1. Karena telah melihat sendiri kemampuan Dimas
Kanjeng
12 Pak ZF 1. Timbul karena ajaran dari Dimas Kanjeng ( segi
moral)
2. Biaya operasional tinggal di padepokan
ditanggung bersama.
3.2 TINDAKAN SANTRI YANG MENCERMINKAN KEPATUHANNYA
TERHADAP DIMAS KANJENG TATKALA DIMAS KANJENG
TIDAK ADA DI PADEPOKAN.
96
3.2.1. Tindakan Santri yang Mencerminkan Kepatuhannya dengan
Mematuhi Ajaran Dimas Kanjeng.
Bagi santri Dimas Kanjeng, dengan mematuhi amanah sang guru
„Dimas Kanjeng‟ dapat meningkatkan nafsu mulhamah dan nafsu
muthma‟innah. Nafsu mulhamah atau sufiyah adalah meminimalisir
perbuatan yang tercela dengan mengembangkan sikap-sikap yang positif
melalui ilham dan keberkahan Allah seperti qona‟ah, tawadhu, dan murah
senyum. Nafsu muthma‟innah menurut santri Dimas Kanjeng adalah
ketenangan batin, lepas dari watak yang buruk, keterbukaan terhadap
sesama (tidak acuh), peka terhadap masalah yang ada di lingkungan
sekitar padepokan dalam menuju proses manusia yang sempurna perilaku
dan tutur katanya.
Menjaga kepercayaan dan berpegang teguh pada tekad merupakan
buah tangan dari ajaran Dimas Kanjeng terhadap santri-santrinya. Alhasil
karena Dimas Kanjeng selalu mengiringi langkah santri, maka diri santri
seakan termotivasi dan selalu dirangkul yang membuat pribadi santri seakan
tidak pernah lara. Bagi santri, kesedihan jika dipikirkan tidak akan pernah
ada habisnya dan tiada guna. Kebahagiaan harus selalu diperjuangkan,
dengan semangat dan tetap kuat.
Qona‟ah dan istiqomah selalu dikedepankan oleh santri dalam
menghadapi setiap ujian yang menerpa sesuai dengan nasehat Dimas
Kanjeng. Menurut santri, Dimas Kanjeng selalu mengajari bahwa dalam
hidup ini jangan sampai kita memperlihatkan kesombongan kita, kesedihan
97
kita, seberapapun sedih kita tidak akan sebanding dengan kesedihan yang
dirasakan oleh keluarga Rasul terdahulu.
Dimas Kanjeng selalu mendorong santrinya agar bersikap lapang,
terbuka dan ikhlas dalam menghadapi segala celaan. Bagi Dimas Kanjeng dan
santrinya yang terpenting ialah selalu mencoba bahagia dan berpikir untuk
umat, jadi jangan sampai larut dalam kegalauan, hati harus bersih, cemerlang
dan terang. Agar orang yang dihadapi juga bisa tenang. Selalu jadilah orang
yang bermanfaat, jangan lemah. Kebencian tidak akan bisa menghapus luka,
hanya cinta yang dapat menenangkan dan menerangkan suasana. Mas
Kanjeng selalu mengajari santri akan indahnya menuai kesabaran tatkala
kepatuhan santri dipertaruhkan dan dipertanyakan.
Akhirat adalah orientasi hidupnya, maka santri menetap di masjid
padepokan tidak pernah khawatir jika kehilangan terhadap barang-barangnya
yang terdapat di tenda. Harapan para santri, dengan menetapnya di masjid
padepokan tersebut agar shalat malamnya bisa terjaga. Shalat wajibnya
diupayakan agar tidak bolong, kemudian di masjid juga selalu termotivasi
untuk mengaji, ikut pengajian, ataupun istighosah lainnya. Selain itu, dengan
berkumpulnya santri di masjid untuk mempererat tali persaudaraan satu sama
lain yang dapat menciptakan suatu keterikatan.
Menurut santri setiap perbuatannya selalu bisa dilihat oleh Dimas
Kanjeng dan Dimas Kanjeng menurutnya juga tidak segan-segan selalu
memberi santri arahan dan petunjuk. Sehingga santri selalu berhati-hati dalam
98
bertingkah laku maupun dalam ucapan. Santri selalu diajari Dimas Kanjeng
untuk menjadi pribadi yang tidak sombong dan berbakti terhadap sesama.
Sehingga santri selalu berusaha untuk menjadi pribadi yang rendah hati,
mereka sadar bahwa semua hanya titipan Tuhan, maka dari itu amanah adalah
kunci jalan ke akhirat. Dalam kehidupan sosial santri banyak ditemui sebuah
kemesraan yang harmonis, sesama santri saling mengajari ngaji satu lain,
mengajarkan Bahasa Arab, senam, bercocok tanam, menata desain ruang dan
lain-lain di Padepokan.
Bagi santri sesuai dengan ajaran DK, hidup sendiri itu nestapa,
“ngelu”, maka untuk mencapai kata „bahagia‟ harus saling mengerti dan
memahami satu sama lain, kesadaran akan tanggung jawab sosial bagi santri
sangat penting dalam kehidupan bersama di Padepokan Dimas Kanjeng. Hal
tersebut senada dengan pendapat Emile Durkheim (1858-1917), yang
menyatakan bahwa: “the only power that can decrease the egoism is the
strength of the group. Kepatuhan para santri diuji paska penggrebekan
Dimas Kanjeng. Mereka dipulangkan ke rumah masing-masing oleh
kepolisian.
Realitasnya, mereka banyak yang kembali lagi. Bagi mereka yang
patuh tentu saja mereka akan kembali dengan alasan ajaran yang telah
diajarkan Dimas Kanjeng masih melekat pada diri mereka dan para santri
ingin berjuang untuk kemaslahatan umat. Bagi mereka yang tidak kembali,
karena tidak memiliki kepercayaan terhadap Dimas Kanjeng dan
99
padepokan, pasti akan terseleksi alam. Realitasnya masih banyak para santri
yang bertahan di padepokan.
Santri patuh terhadap DK dengan menerima dan melaksanakan
perintah Dimas Kanjeng begitu saja, sesuai dengan pernyataan santri
berikut:
“Ilmu yang diajarkan oleh Dimas Kanjeng sudah bukan ilmu syari‟at lagi.
Ibaratnya ilmu lakon dalam bahasa Jawa. “Ini lakukan!” seperti itu. Nah
kalau sudah menginjak seperti itu ibarat dikata tidak boleh ada pertanyaan
“kok begini sih?” nggak boleh memang kalau kita dulu menyantri di
pesantren juga seperti itu. Tidak boleh banyak bertanya kan. Kalau
diperintahkan “kamu ke utara!”, tidak boleh bertanya “kenapa ke utara?
Apa yang harus dicari? (Pak DN, 17/09/18).
Kepatuhan santri terhadap DK dicirikan dengan rasa taat santri pada semua
ajaran Dimas Kanjeng tanpa menimbang resikonya, seperti pernyataan
santri berikut:
“Karena tadi dasarnya kalau bicara logika, di sini bukan logika yang
dibicarakan. Jadi di padepokan sini, intinya kami betah karena kepatuhan.
Apapun kegiatannya dan resikonya, itu adalah sebuah kepatuhan.
Kepatuhan tidak mengenal ngeluh dengan alasan apapun“
Kepatuhan santri terhadap DK membuat kepribadian santri menjadi
lebih eksklusif. Hal tersebut sesuai dengan kutipan wawancara berikut:
“Saya itu kagumi alhamdulillah punya guru mas Kanjeng ini, seolah-olah
dikatakan sebagai walinya Allah ini, artinya bener-bener bisa
dimanfaatkan. Biar pun kata orang dihina, dicaci, dicemooh segala macem,
kami bangga. Daripada kita dipuji lebih baik kita dihina (Pak DN,
17/09/18).”
Informan patuh terhadap padepokan dan meyakini segala ajaran
(moral) yang diberikan oleh Dimas Kanjeng. Informan percaya bahwa
setiap ucapan Dimas Kanjeng pasti terjadi, seperti halnya pada pernyataan
santri berikut:
100
“Iya dulukan sampean pernah denger di tv kan hebatnya gimana. Dimas
Kanjeng gimana, gimana.. Biarin aja. Dia dulu juga ada cerita nanti
padepokan akan ramai, banyak dikunjungi orang. Tapi, kita gak ngerti
maknanya, tapi kalau dipelajari yang mana, ya seperti ini ramai dikunjungi
orang gara-gara ada kejadian seperti ini. Ini ada hikmahnya kejadian
seperti ini supaya dunia itu tau bahwa padepokan itu ada. Ini memang
sejarahnya, dalam sejarah hidup Islam seperti ini. Memang perjalanan
perjuangan seperti ini. Nah supaya dunia itu tau. Kalau gak gitu gimana
dunia tau kalau masalah di padepokan ada hikmahnya (Pak ZF, 21/09/18).
“Kita juga sudah diajarkan umpama dalam batasan agama „Lakum
dinukum waliyadin‟ sekalipun kawan kita di sini ada yang Nasrani ada
yang Hindu, tetap mejalankan ibadahnya sesuai keyakinan mereka. Berdoa
tetap bersama tapi masalah ke masjid kan ada batasannya (Pak ZF,
24/09/18).
3.2.2. Tindakan Santri yang Mensuport Dimas Kanjeng setelah Dimas
Kanjeng menjadi Tersangka.
Santri tatkala mengunjungi Dimas Kanjeng, tidak hanya dengan
tangan hampa, namun santri selalu berusaha untuk merebus kentang kecil-
kecil dan ketela untuk diberikan kepada pujaan hatinya tersebut.
Berdasarkan cerita santri, makanan yang direbus seperti singkong rebus
merupakan makanan yang disukai Dimas Kanjeng. Dimas Kanjeng kurang
menyukai makanan yang digoreng, terlebih lagi junk food.
Selain itu santri selalu melakukan berbagai upaya dalam mewujudkan
cita-citanya, yaitu Dimas Kanjeng kembali. Berkat perjuangan santri dan
kuasa hukum Dimas Kanjeng yang tidak kenal mundur dan lelah, Dimas
Kanjeng yang awalnya divonis hukuman seumur hidup, menjadi divonis
hukuman penjara 18 tahun. Kemudian berkat kerja keras santri dan kuasa
hukum Dimas Kanjeng, akhirnya menjadi hanya divonis hukuman 4 tahun
penjara.
101
3.2.3 Kehidupan Sosial dan Ekonomi Santri setelah Dimas Kanjeng menjadi
Tersangka
Siapa yang tidak mengenal santri si Taat Pribadi. Tatkala menurut
orang hartanya telah habis-habisan, rumahnya sudah tergadaikan, hutangnya
sana-sini. Santri Taat Pribadi tetap berdiri dengan gagahnya. Santri yakin
akan sayap yang menjadi kekuatannya. Santri selalu tabah dan
membebaskan dirinya dari kecemasan-kecemasan yang menerpa.
Kehidupan santri bagaikan jejak si elang yang selalu semangat dalam
menerbangkan sayapnya. Sebagian santri di setiap harinya selalu berkeliling
menggunakan sepeda onthel untuk berjualan es dung-dung, kue, keripik dan
makanan ringan lainnya untuk menyambung hidupnya di padepokan. Selain
itu sebagian santri jika keluar kemana-mana lebih suka jalan kaki dari pada
naik ojek ataupun naik mobil pribadi, hal tersebut menurutnya sebagai salah
satu upaya untuk berlatih hidup sederhana seperti apa yang telah diajarkan
oleh gurunya “Dimas Kanjeng”.
Dermawan adalah suatu kehormatan dan keabadian yang teramat
mengesankan. Bagi santri keikhlasan adalah kekuatan dan ketabahan adalah
suatu pilihan. Ya begitulah roda kehidupan santri, dengan segala kemelut
hidup dan kegundahan hatinya, namun santri selalu berusaha berdiri
kembali dan melawan nasib buruk yang membelenggunya. Intinya, santri
tidak pernah mau dikalahkan oleh “ujian”. Santri selalu memiliki alternatif
rencana lain, tatkala menghadapi sepak terjang permasalahan.
102
Santri selalu siap baik dari segi mental, batin, maupun kepercayaan
diri yang matang. Salah satu kunci yang selalu dipegang oleh santri adalah
yakin saja semua pasti bisa terlampaui, santri selalu mencintai setiap proses
jalan hidupnya. Tatkala menjalani di setiap proses kegiatan di Padepokan
Dimas Kanjeng, santri selalu berupaya untuk bisa menerima semuanya dan
berupaya berdaptasi di setiap kondisi apapun (mengkondisikan diri di
padepokan). Always be happy and take it easy, begitulah komitmen para
santri si Taat Pribadi. Santri selalu menyambut dengan ikhlas dan senyuman
dari setiap ujian yang menghampiri.
Sekitar 700 santri masih berada di padepokan. Para santri ini tinggal di
tenda-tenda belakang rumah Dimas Kanjeng yang telah di sita dan ada juga
yang ngekos di sekitar padepokan. Bagi santri meskipun uang yang
dijanjikan oleh DK dan harta karun yang berada di padepokan misalnya
nanti tidak cair akan tetap berjuang demi umat, dengan membangun 1000
universitas, 1000 pondok dan 1000 rumah sakit gratis bagi umat dengan
dana yang diperoleh dari iyuran pribadi para santri. Bagi santri, santri masih
tetap 100% yakin bahwa uang yang dijanjikan DK tersebut bakalan cair,
hanya saja harus sabar menanti terlebih dahulu, selain itu juga harus tirakat
terlebih dahulu, agar segera cair.
Bahkan tatkala DK telah divonis hukuman seumur hidup, santri selalu
yakin bahwa suatu saat DK akan kembali memimpin padepokan lagi dan
padepokan berjaya kembali. Dalam menunggu uang yang menurutnya akan
segera cair tersebut santri tetap lapang dan selalu berpikir positif. Menurut
103
santri segalanya tentang DK tanpa perlu ada yang diragukan lagi. Santri
menyamakan kisahnya dengan kisah Nabi Musa A.S., yang selalu sabar
menunggu tongkatnya hingga akhirnya membuahkan hasil, kuncinya adalah
qona‟ah.
Padepokan menjadi tempat santri untuk menimba ilmu agama,
mengamalkan dan bertanggung jawab atas ilmu yang mereka miliki. Kesan
pertama ketika mendengar kata “padepokan” pasti identik dengan sesuatu
yang berbau agamis. Pembelajaran yang juga identik dengan prioritas
menyempurnakan hubungan vertikal santri dengan Sang Pencipta. Kesan
memperdalam ilmu agama lebih dari sekedar lekat ketika pendidikan
bertajuk padepokan digemborkan.
Akan tetapi agama rupanya telah ikut mendorong terciptanya
kewajiban-kewajiban sosial dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi
menyalurkan sikap para anggota masyarakat dalam menetapkan kewajiban-
kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu
menciptakan sistem nilai sosial yang terpadu (Nottingham, 1970). Sistem
sosial yang dimaksud ialah lebih pada sistem pembagian kerja antara santri
putra dan putri di padepokan.
Pembagian kerja antara santri putra dan putri dikonstruksi dengan
menguatkan nilai-nilai maskulinitas. Hal tersebut telah terjadi seperti halnya
di Padepokan Dimas Kanjeng. Konstruksi nilai-nilai maskulinitas
melemahkan feminisme dengan telak. Pembawaan nilai agama Islam yang
104
kuat dengan dalil dominan bahwa “laki-laki ialah imam dan pemimpin
dalam keluarga”.
Fakta yang tidak lagi mengejutkan ialah bahwa pemimpin Padepokan
Dimas Kanjeng ialah seorang laki-laki. Realisasi lain dalam kehidupan
nyata di padepokan dapat dilihat setiap shalat lima waktu, imam dalam
ibadah shalat mereka adalah laki-laki. Benar adanya, budaya tersebut tidak
dapat ditawar dan diganggu gugat karena memang sudah dituliskan dalam
ayat suci Al-Qur‟an juga demikian. Faktanya perempuan masih saja identik
dengan tempat yang akrab disebut dengan dapur.
Setiap pagi dan sore santri putri sebagian memasak di bagian belakang
tenda santri. Sebagian lagi berkumpul di belakang aula bersama, tentu
menjamah tempat yang bernama dapur. Bukan hanya santri ibu-ibu bahkan
santri anak-anak juga diajari untuk memasak. Bahkan salah satu narasumber
kecil saya bercerita bahwa setiap hari Minggu sore ia diajari untuk memasak
berbagai makanan yang salah satunya ialah membuat kue.
Santri laki-laki memegang kendali dengan mengordinasi padepokan.
Jajaran kursi petinggi Padepokan Dimas Kanjeng juga didominasi oleh
santri laki-laki. Selain itu penjaga pintu depan padepokan juga santri laki-
laki. Hal tersebut menunjukkan bagaimana sudut pandang bahwa santri laki-
laki ialah yang lebih mampu dikenal sebagai penjaga dan pengordinasi telah
105
dikonstruksi secara sosial di padepokan. Penanaman nilai-nilai maskulinitas
yang tanpa disadari telah tumbuh di setiap lapisan usia dan situasi.
Gender memang sesuatu yang abstrak dan pengaplikasiannya
tergantung pada masyarakat pembawanya. Padahal Agama Islam
mengonstruksikan bahwa perempuan dan laki-laki itu sejajar. Telah
ditegaskan dalam Al-Qur‟an (Q.S Al Hujurat :13) yang menyebutkan bahwa
dari asal kejadiannya. Islam tidak percaya kemuliaan berdasarkan faktor-
faktor, seperti suku, keturunan atau jenis kelamin. Realitas lapang yang
harus diterima dengan lapang dada akan terus terjadi tanpa ada keinginan
dari santri sendiri untuk mensukseskan perubahan bertajuk kesetaraan
gender dalam nafas Padepokan Dimas Kanjeng. Selalu memuliakan laki-laki
menjadi budaya yang dipatui oleh para santri.
3.3 Persepsi Santri terhadap Dimas Kanjeng paska Dimas Kanjeng di Lapas
Santri Dimas Kanjeng menganggap Dimas Kanjeng bagaikan Sunan
Kalijaga yang terepresentasikan sebagai tokoh yang dapat beradaptasi
secara lahir maupun batin di tempat yang baru dengan tetap menjaga
kesucian hatinya. Tatkala Dimas Kanjeng di tahanan, Dimas Kanjeng tetap
berbesar hati untuk menerima kenyataan dan tetap tersenyum untuk
menyapa santri tatkala santri mengunjunginya di lapas. Hal tersebut yang
menguatkan santri Dimas Kanjeng untuk tetap patuh terhadap ajarannya
dan semangat untuk menjenguk Dimas Kanjeng di lapas dalam setiap
minggunya (tiap hari kamis).
106
Ketika banyak sekali cibiran dari masyarakat luar yang mengatakan bahwa
padepokan itu sesat, Dimas Kanjeng penipu, informan menjawab:
“Kita enjoy saja, cuek saja. Seiring berjalannya waktu nanti pasti
akan terjawab kok. Kalau bisa tetap kita jelaskan (Pak MZ, 06/08/18).
“Sampai kita tantang, ayo kalau mengatakan sesat, kita
komunikasikan di masjid. Sesatnya di mana. Siapa kiai nya (Pak MZ,
06/08/18).
Dengan semangatnya yang menggebu untuk mendukung DK, santri
tidak akan pernah mau untuk menyerah. Selain itu, santri selalu
menggambarkan sosok Dimas Kanjeng seperti kepribadian Semar. Hal
tersebut juga termanivestasikan dalam bentuk bangunan patung Semar yang
terdapat di pendopo agung Padepokan Dimas Kanjeng. Semar dijuluki
sebagai Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya yang diartikan memiliki sikap
yang sederhana, kalem, tenang, tidak sombong, tulus, murah senyum,
berwawasan, genius, apa adanya (tidak munafik) dan memiliki rangsangan
qolbu yang tajam (Hermawan, 2013: 13-14).
Semar merupakan konstruksi pujangga lokal nusantara. Semar
berperan sebagai orang tua dari golongan ksatria. Bentuk fisik dari sosok
semar dinilai sangat artistik. Peran semar sebagai penasehat, penglipur lara
yang bijak. Dalam permainan pewayangan, Semar menunjukkan dirinya
bahwa budi pekerti yang adiluhung dapat mendorong kehidupan manusia
yang lebih sejahtera untuk mencapai derajat yang lebih baik. Sosok Semar
yang paling diistimewakan dibandingkan tokoh yang lain (Hermawan,
2013: 11-12). Hal tersebut yang memicu tingkat kepercayaan santri akan
107
kekuatan Dimas Kanjeng semakin mendalam dan takut jika dirinya tidak
patuh terhadap gurunya tersebut.
Menurut santri, petuah sosok figur „Dimas Kanjeng‟ harus selalu menjadi
panutan bagi santri di setiap langkah dalam menghadapi segala ujian di setiap
haluan. Selain itu yang membuat santri tetap tangguh bertahan di Padepokan
Taat Pribadi dengan segala cibiran yang ada, santri selalu ingat akan komitmen
bersama para santri dalam mewujudkan padepokan yang bervisi misi
“rahmatan lil alamin”. Bagi santri setiap amanah sekecil apapun harus segera
dituntaskan dan diupayakan, tanpa memperhatikan perasaan diri kita sendiri.
Meskipun santri telah kehilangan panutannya, yaitu “Dimas Kanjeng”
untuk sementara waktu setelah ditetapkannya vonis hukuman untuk Dimas
Kanjeng atas kasus pembunuhan. Santri tetap merasa bahwa gurunya tidak
pernah pergi dalam hidupnya, justru menurut santri sang guru „Dimas Kanjeng‟
selalu ada di alam pikiran “ideasional”, di hati dan membimbingnya melalui
mimpi. Santri yakin jika kepergian Dimas Kanjeng hanya untuk sementara
waktu “pergi untuk kembali”. Bagi santri tetap yakin adalah kunci ketaatan dan
keberhasilan dalam menghapus duka.
Santri tidak lelah-lelahnya menerima hujatan sana-sini yang mengatakan
bahwa santri Padepokan Dimas Kanjeng sesat, bodoh, tolol mau diperdaya
sana-sini. Namun santri tidak pernah merasa tersakiti dan juga tidak merasa
bahwa dirinya ialah korban. Selain itu santri selalu menggunakan kemampuan
108
berpikir kritisnya untuk menyongsong masa depan yang cerah demi jayanya
padepokan kembali dan menghiraukan segala duri yang ingin menusuknya.
Bagi santri seberat apapun masalah hidup yang terlihat, masih banyak hal
positif yang dapat dilakukan dalam menuju kesuksesan, yang terpenting ialah
tidak menyerah akan kenyataan ataupun ujian.
Menurut santri, dirinya telah berguru kemana-mana, namun hanya
dengan Dimas Kanjeng yang menurutnya cocok. Pencarian makna dan nilai-
nilai bagi santri memerlukan waktu yang tidak sebentar. Jadi bagi santri,
menemukan sosok Dimas Kanjeng bagaikan menemukan jodoh di tengah jalan
yang abu-abu. Jika sebagian orang berkata bahwa ajaran Dimas Kanjeng sesat,
mungkin hal tersebut bagi persepsi santri adalah sebuah ketidakbenaran.
Padepokan menurutnya telah berdiri sekitar 11 tahun yang lalu dan sudah
dikenal di seluruh Indonesia. Banyak santri berpendidikan tinggi dan hidup
mapan justru memilih Padepokan Taat pribadi untuk belajar arti kehidupan.
“Tentunya orang-orang yang berpendidikan tinggi ini memiliki pemikiran yang
sangat cerdas dan maju”, ucap seorang santri.
Santri Dimas Kanjeng memiliki segudang cerita terkait panutannya
tersebut, yaitu Dimas Kanjeng. Bagi santri Dimas Kanjeng merupakan wali
Allah, keturunan Rasulullah, titisan Raja Salman dan lain-lain, “pokok
segalanya yang baik-baik ada di dalam diri Dimas Kanjeng seorang”, ucap
santri. Bahkan sosok Ibunda Marwah Daud Ibrahim, tatkala mengurusi
penyelesaian kasus hukum Dimas Kanjeng, meskipun memiliki mobil pribadi,
namun Probolinggo-Surabaya dilaluinya dengan mengendarai bus ekonomis
109
hanya demi Dimas Kanjeng tidak menjadi masalah. Hal tersebut menurutnya
sebagai salah satu upaya untuk membagikan rejekinya terhadap umat seperti
halnya yang diajarkan oleh Dimas Kanjeng. “jika semua naik taksi, lantas
siapa yang akan mengasih rejeki para sopir bus”, begitulah ujarnya. Belajarlah
mengasihi sejak hari ini untuk esok yang lebih baik lagi (delaying-
gratification).
Santri yakin bahwa Dimas Kanjeng merupakan wali ghoni yang
nantinya diberikan amanah untuk mensejahterakan umat di dunia ini, dan juga
yang dapat mewariskan seluruh harta dari kekayaan almarhum Bung Karno.
Santri percaya akan hal itu semua, menurutnya hanya Dimas Kanjeng yang
nantinya dapat mengentaskan kemiskinan di dunia ini. Langit seakan tanpa
bintang tatkala padepokan tanpa ada binaan dari Taat Pribadi. Menurut santri,
senyuman yang ditampilkan sehari-harinya hanyalah kebohongan palsu dari
santri. Karena sejatinya santri merasa sepi dan pudar tanpa adanya sosok
panutannya yaitu Mas Kanjeng Taat Pribadi.
Bagi santri, Dimas Kanjeng tidak henti-hentinya untuk selalu men-suport
santri-santrinya dan juga menginspirasinya. Bagi Dimas Kanjeng kebahagiaan
santri dan juga umat di seluruh dunia ini jauh lebih utama dibandingkan dengan
keluarganya sendiri. Dimas Kanjeng selalu mengajarkan santrinya untuk
berbuat baik terhadap siapapun dan juga tidak memihak siapapun.
Mengajarkan santri untuk selalu let it out ketika santri menghadapi suatu
permasalahan agar tidak memendamnya sendiri, namun saling diutarakan,
110
dikomunikasikan dengan teman-teman terdekat dan menyikapi segala
persoalan dengan kepala dingin, tetap bersyukur, berusaha melihat hikmahnya.
Bagi Dimas Kanjeng, pencarian anugrah dalam keadaan yang tidak
menyenangkan memerlukan waktu dan kesabaran yang tiada batas. Dimas
Kanjeng juga mengajarrkan santrinya untuk menumbuhkembangkan growth
mindset dan menjauhi kepribadian yang impulsif, naïf, apalagi manipulatif.
Berusaha menerima kenyataan dan sadar diri bahwa penderitaan merupakan
sebuah gerbang awal memasuki proses pembelajaran adalah sikap yang selalu
ditekankan Dimas Kanjeng untuk para santrinya. Dimas Kanjeng menegaskan
ke santri bahwa empati, penderitaan merupakan pondasi awal dalam
membangun kepribadian yang berkualitas dan optimis.
Alhasil santri merasa terpesona dengan niat baik Dimas Kanjeng
tersebut. Dimas Kanjeng tidak ingin disebut guru ataupun yang mulia. Bagi
Dimas Kanjeng dirinya tidak lebih dari teman santri sendiri yang sudah
seharusnya saling mengingatkan. Bagi Dimas Kanjeng tidak perlu title atau
sebutan yang mulia bagi dirinya. Bagi Dimas Kanjeng yang terpenting ialah
santri selalu mengingat Dimas Kanjeng. Dimas Kanjeng berharap agar santri
selalu semangat dan berbuat baik dalam keadaan apapun.
“Mas Kanjeng itu walillah (walinya Allah), keturunan Wali, tapi apa
pernah mbak Mas Kanjeng itu minta dipanggil wali, guru, ataupun
syech, ora pernah mbak, “panggil saja saya mas saja yah”, gitu kata
mas kanjeng mbak. Ora gemen-gemen mbak, Mas kanjeng itu keturunan
Raja Salman, orang-orang hebat saja pada berdatangan kesini mbak.
Artis saja pada banyak yang menjadi santrinya, hanya saja sementara
mereka menutup diri terlebih dahulu agar tidak terkena sanksi
administratif. Didi Kempot saja pernah manggung di sini mbak, Siti
111
Nurhaliza juga menjadi salah satu dari santri DK. Didi Kempot, Siti
Nurhaliza, Prabowo dan masih banyak artis lainnya yang menjadi santri
DK mbak. Pokoknya to sebentar lagi kalian pasti tau siapa Mas Kanjeng
sebenarnya, dunia pasti bertekuk lutut padanya”, cerita Ibu L dengan
rasa fanatis dan kekagumannya yang begitu mendalam terhadap DK.
“Guru kita diberi mandat karena guru kita sendiri tidak boleh menikmati,
coba bayangkan bisa segitu..diberikan amanah sebegitu besarnya
sebegitu beratnya untuk diri sendiri dan keluarga saja tidak
diperbolehkan gimana kira-kira ada yang mau nggak orang-orang
seperti itu? tidak mau yang penting keluarga kita kaya, keluarga kita
sendiri nyaman tapi tidak seperti itu yang diajarkan di sini penuh dengan
nilai yang terpuji” (Pak MZ, 27/08/18).
Narasumber memaparkan kelebihan dari DK sebagai seorang guru
di matanya. Jika dikaji dari teori otoritas Max Weber sosok DK masuk ke
dalam otoritas karismatik karena tipe kepemimpinan yang keabsahannya
diakui oleh kualitas, keistimewaan, keunggulan. Narasumber
membandingkan sosok DK dengan orang kebanyakan yang menurutnya
tidak akan bisa menerima amanah seberat itu. DK adalah sosok yang
tepat untuk mengemban amanah itu (kemampuannya menghasilkan uang
lewat tangannya)
“sejarah presiden kita soekarno juga dipenjara, pernah kan? Ya
kan? Pernah diceritakan kan? presiden kita siapa lagi Pengeran
Dipenogoro pahlawan-pahlawan nasional kita pernah dipenjara.
Begitu pula rasulullah pernah diasingkan pernah kan? Sampai 40
hari di Gua Hira ber-khalwah untuk apa semuanya itu? Ya mikirin
umat. Coba kalau nggak untuk itu bersembunyi di Gua Hira
mending ke sana ke mekkah tidur nyaman ada istri. Di padepokan
juga seperti itu”
“Intinya di sini memahami karakter adat istiadat bagaimana dan
lain sebagainya, di sini kebersamaan. Jadi di sini orangnya semua
elemen ada ( 18/09/18)
112
Kesetiaan Pak H terhadap DK ditunjukkan dengan penilaiannya terhadap
sosok DK. Selain itu juga peran DK dalam menuntun jalan hidupnya.
“Oke aaaa.. sosok yang mulia orang yang bersahaja kemudian dia tidak
pernah menampilkan emosinya, dia selalu menghadapi suatu persoalan itu
dengan..ee..ee dengan dengan apa ya..kasarannya dengan kepala dingin
gitu ya”
“Jadi sosok beliau seperti sosok seorang bapak bagi kita, sebagai orang tua
di mana ia mendidik kita seperti anak yang tidak tahu apa-apa, tapi dia
tidak menjajalkan kita dengan sebuah teori, namun menjejalkan kita dengan
sebuah contoh saat dia menghadapi orang yang bermasalah dengan dia.
Dia hadapi dengan senyuman pada saat kita memberi masukan (Pak H,
5/09/18)
“Yang mulia hanya mau dipanggil mas kanjeng, sementara sebutan „yang
mulia‟ itu kita memaksakan diri untuk menyebut beliau seperti itu, karena
penghormatan kita. Sehingga kalau yang mulia menolak untuk disebut itu.
Bagi kita masa bodoh ah yang mulia mau marah atau apapun itu tapi yang
penting aku mau memuliakannya dengan sebutan itu (Pak H, 07/09/18).
3.4 Trik Santri dalam Menjaga Kepatuhannya terhadap Dimas Kanjeng
melalui Permainan Bahasa.
Santri dalam merealisasikan kepatuhannya terhadap gurunya salah
satunya dengan trik menghubung-hubungkan segala hal dengan kekuatan
trans-rasional.
“Ada salah satu santri di sini namanya Pak Hendrik dari Padang. 4
tahun sudah di sini. Yang mulia bertanya pada Pak Hendrik, “Hendrik,
kamu disini yakin ndak? Kalau memang yakin, di sini tidak akan
kelaparan.” Sampai hari ini, ia tidak pernah kesulitan. Selalu ada saja
secara ghaib orang telfon, kirim uang (Pak H, 07/09/18).”
“Dari Kejaksaan Kraksaan sudah tahu apa yang dikerjakan yang mulia,
yang katanya dikatakan sesat, yang dibilang penipu. Yang mulia proses
begini aja, uang keluar (tuturnya sambil menggesekkan tangan).”
113
Mayoritas santri DK merupakan seseorang yang kukuh dengan
kepatuhannya terhadap gurunya tanpa peduli banyak pihak yang berlawanan
dengan tetap mempertahankan argumennya untuk melindungi sosok yang
menjadi panutan. Kepatuhan santri terhadap DK juga dicirikan dengan
sikap santri yang begitu mengagumi bahwa DK merupakan sosok BIG
MAN. Bapak Toto, memperlihatkan segala akik yang telah diberikan oleh
DK dan akik tersebut katanya ingin dibeli orang luar berapapun tidak
dikasihkan.
“akik dari pemberian Yang Mulia itu tidak sembarangan akik, pernah ada
santri lain yang meminjam salah satu akik ini untuk dipakai ke pasar
Wangkal, namun disertai rasa ria dalam memakainya, ya sampailah akik
ini di Padepokan lagi. Lhoh teman saya yang pinjam akik tadi bingung
mbak, kok tiba-tiba akiknya menghilang. Ternyata balik kembali ke
padepokan tanpa sepengetahuannya. Ya itulah mbak kehebatan Yang
Mulia (Bapak T, 19/08/18).
“tiap malam sebenarnya tidak pernah ada yang mengabsensi mbak, santri
A shalat malam tidaknya, istighosah tidaknya, karena sangking banyaknya
santri jadi ya kesadaran kolektif masing-masing mbak, ngoten niku sopo
sebenere mbak ingkang ngabsensi, tidak ada, anehnya yang mulia ngertos
mbak kami sebagai santri berbuat apa saja dan anehnya kami selalu
dibimbing lewat mimpi mbak” (Ibu L, 19/08/18).
“Ayoh sopo wonge sing ngelek-elek Mas Kanjeng uripe bakal ciloko. MUI
iku sesama orang islam kok menghujat sini. Jika sudah seperti itu, menteri
agama sudah seharusnya hadir di tengah-tengah polemik yang ada”,
papar Ibu LM dengan suara yang menggebu-nggebu dengan wajah yang
kesal dan terlihat menyimpan benci yang mendalam terhadap orang-orang
yang menghujat DK.
Pak Z merasa mampu berkembang dengan menangkap maksud implisit dari
bimbingan Dimas Kanjeng.
“Jadi sebagai santri ini sebenarnya diberikan sebuah kebebasan untuk
membuat program yang menyangkut umat itu seperti apa, tetapi tetap ada
rambu-rambunya, itu yang selalu kita perhatikan yang terus kita jadikan
dasar untuk melangkah (Pak ZF, 5/09/18)
114
“Ya katanya kita di sini seperti awal tadi kita di sini hanya meningkatkan
pemahaman dan rasa, jadi di sini itu dari keberagaman kita. Kita di sini
disuruh untuk menata hati, nah memperbaiki, menata hati dan kita kembali
membaca jati diri kita sebenarnya” (Pak ZF, 5/09/18).
“Kita memahami perjalanan bagaimana kita menjadi hamba yang benar,
bagaimana bermakrifat yang benar, bagaimana kita bersyariat yang benar,
bagaimana kita berbudaya ketimuran, kita kembalikan kepada wadah yang
benar (Pak ZF, 28/09/18).
Pak ZF mampu memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai ajaran agama yang
benar dari Dimas Kanjeng.
“ilmu belajar menata hati ya katanya kan barangsiapa yang telah mengenal
dirinya maka ia akan mengenal Allah. Apabila seseorang mengenal Allah
maka hidup ini nggak ada hanya semata-mata hidup, ini kita sembahkan
pada Allah ( Pak ZF, 26/09/18).
“Memaafkan itu lebih mulia daripada memberi maaf, kemudian setiap
kesalahan pada saat orang bertaubat atau menyesali perbuatannya adalah
cikal bakal orang bertaubat dan harus diterima harus dirangkul (Pak H,
18/09/18).
“sampeyan belum ketemu sama Nabi Muhammad kenapa masuk Islam?
karena kita melihat jadi yakin. Kalau kita di sini ya logika harus
ditangkalkan (Pak DN, 18/09/18).
Narasumber ingin menjelaskan bahwa ia telah melihat DK mengeluarkan uang
dari tangannya dan tidak ada pilihan lagi selain untuk percaya dan patuh sepatuh-
patuhnya.
116
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan mengulas berbagai temuan lapang yang terdapat pada
bab 3 yang dianalisis dengan berbagai konsep dan teori yang terdapat pada
bab 1. Pada akhirnya, sikap patuh yang dilakukan oleh santri Dimas Kanjeng
tidak lain adalah produk budaya yang bersumber dari kognisi santri Dimas
Kanjeng. Pada hakikatnya, seluruh tingkah laku kepatuhan santri Dimas
Kanjeng beserta materialnya dalam mendukung sikap patuh tersebut tidak
lain adalah akibat dari olah pikir atau gagasan dari santri dalam berkreasi
atau mengembangkan ide-idenya.
Pada bab ini, pada intinya akan dijelaskan apakah faktor-faktor
penyebab budaya kepatuhan yang tumbuh di Padepokan Dimas Kanjeng
sesuai dengan teori yang telah ada sebelumnya, atau justru menentang dan
menghasilkan teori baru. Dalam konteks ini saya menggunakan antropologi
kognitif sebagai alat analisis yang menyatakan bahwa bahasa dapat
mempengaruhi pola pikir manusia. Bahasa sebagai keyword atau unsur
utama terhadap terbentuknya kebudayaan secara kolektif.
4.1 Studi Antropologi Kognitif terhadap Faktor Pemicu Santri sangat
Patuh terhadap Dimas Kanjeng.
Dari 12 narasumber serta kedelapan informan lainnya dapat disimpulkan
bahwa Ajaran Dimas Kanjeng tentang makrifat merupakan faktor utama
117
pemicu santri enggan berkhianat (patuh) terhadap Dimas Kanjeng. Hal
tersebut sesuai dengan diagram yang terdapat pada gambar 1 di bawah ini:
Gambar 2. Diagram Kuantifikasi Penyebab Santri sangat Patuh terhadap Dimas
Kanjeng
Berdasarkan hasil temuan lapang di atas, jika dikaji berdasarkan perspektif
antropologi kognitif (proses berpikir manusia), ajaran DK merupakan sistem
kognisi sebagai struktur kelembagaan dalam otak santri Dimas Kanjeng yang
dapat membentuk kepatuhan santri terhadap Dimas Kanjeng. Hal tersebut senada
dengan konsep antropologi kognitif oleh Ward Goodenough. Pada konteks ini
ditegaskan bahwa ajaran Dimas Kanjeng meskipun bersifat imajiner (ideasional),
namun ajaran tersebut menjadi pedoman hidup para santri untuk memutuskan dan
menyikapi hal-hal apa saja yang harus dilakukan demi kehidupannya dan hal
mana saja yang perlu ditinggalkan. Melalui ajaran DK, santri dapat merasakan
kehidupan yang sesungguhnya yang membuat dirinya merasa nyaman. Kelekatan
dan keintiman yang diberikan Dimas Kanjeng kepada santrinya membuat santri
selalu merasa terlindungi “aman”.
0%5%
10%15%20%25%30%35%40%
Kenyamanan
Kesamaan Tujuan
Ajaran
Magic
Motif Ekonomi
Keyakinan Askriptif
Faktor Pemicu Santri Patuh terhadap
118
Menurut Ward Goodenough (1963) seorang pelopor antropologi kognitif,
menekankan bahwa ajaran Dimas Kanjeng tentang makrifat dan paternalistik yang
disampaikan secara berulang kali dalam komunitas Padepokan Dimas Kanjeng
dapat membentuk culture kepatuhan santri terhadap gurunya. Meme altruisme
resiprokal yang selalu diajarkan oleh Dimas Kanjeng juga mempengaruhi pola
pikir santri untuk selalu patuh dan tunduk terhadap Dimas Kanjeng. Santri
akhirnya menyebarkan dan mengembangkan sikap altruisnya dengan berbuat baik
terhadap sesama dengan melayani masyarakat sekitarnya dan tamu sepenuh hati
tanpa pamrih. Hal tersebut saya rasakan sendiri tatkala saya melebur di
padepokan.
Proses kognitif dijadikan santri sebagai alat untuk menganalisis
kepribadiannya. Pemikiran dan proses pendewasaan santri Dimas Kanjeng dapat
berkembang dalam konteks sosial Padepokan Taat Pribadi selama proses
perjalanan hidupnya. Santri mengembangkan sistem evaluasi diri sesuai yang
diajarkan oleh Dimas Kanjeng dan peraturan Padepokan Taat Pribadi.
Interaksi sosial yang berlangsung di Padepokan Dimas Kanjeng, dapat
mengeksplorasi potensi santri dalam mengembangkan proses pemahaman dan
penalaran sadarnya untuk menuntun segala tingkah laku santri Dimas Kanjeng.
Berbeda halnya dengan teori behaviorisme dalam perspektif psikologi yang lebih
menekankan pada individu sebagai pihak yang dikontrol oleh sanksi dan reward
dari lingkungan sekitar. Antropologi kognitif berpandangan bahwa individu tidak
sepenuhnya “dikontrol”, namun kecerdasan seseorang dalam berpikir memiliki
119
pengaruh kepada santri Dimas Kanjeng untuk “memotivasi” dan mengarahkan
segala perilaku dan pengalaman diri santri sendiri.
Semua struktur kognitif para santri Dimas Kanjeng saling berinterelasi dan
berbagai pengetahuan baru disetarakan dengan pola yang selama ini telah
diajarkan oleh Dimas Kanjeng. Beragam ancaman yang masuk, tidak membuat
santri lengah dalam beradaptasi di Padepokan Dimas Kanjeng. Santri cenderung
memahami pengalaman hidup yang bertebaran muncul terhadap dirinya, dengan
tetap mengacu pada pengetahuan yang telah diajarkan oleh Dimas Kanjeng dan
dipatrikan oleh santri. Informasi baru yang bersifat kompleks dan banyak beredar
dalam kehidupan santri, diintegrasikan oleh santri sesuai dengan skema ajaran
yang telah disampaikan oleh Dimas Kanjeng.
Santri Dimas Kanjeng saling mengisi satu sama lain dalam kondisi apapun,
baik yang sifatnya asimilasi maupun akomodasi. Hal tersebut mendorong
berkembangnya konsep konstruktivisme, yang berarti bahwa santri Dimas
Kanjeng tidak serta merta menerima wawasan dari Dimas Kanjeng secara pasif
„otak kosong‟. Sistem budaya yang telah dibentuk Dimas Kanjeng mengingatkan
santri untuk melakukan dan berpikir apa yang seharusnya dipikirkan, lalu cara
berpikir yang semestinya dalam mencapai keyakinan dan tujuan kolektif. Lev
Vygotsky (1886-1934), menegaskan bahwa perkembangan kognitif melahirkan
proses sosio instruksional, yang mendorong santri Dimas Kanjeng untuk saling
terbuka dan tukar menukar pengalamannya dalam menyelesaikan suatu masalah
yang hadir di Padepokan Dimas Kanjeng. Kedamaian tersebut yang membuat
120
santri merasa tercukupi, dihargai dan diakui hanya dengan tinggal di kompleks
komunitas Padepokan Dimas Kanjeng.
Antropologi kognitif pada dasarnya berfokus pada potensi dan pertahanan
diri yang unik dari pribadi santri Dimas Kanjeng untuk mengarahkan diri atau
agensi personal (Bandura, 1997, 2001), meskipun masyarakat di luar padepokan
ada yang menganggap Dimas Kanjeng sesat dan penipu. Hal tersebut tidak
mempengaruhi atau mengurangi rasa patuh santri terhadap Dimas Kanjeng.
Dalam perspektif antropologi kognitif, santri Dimas Kanjeng berusaha memahami
dan mengkonstruk makna personal dari berbagai fenomena dalam kehidupan
santri berdasarkan keyakinan diri para santri yang telah terbawa struktur pola pikir
Dimas Kanjeng.
Antropologi kognitif juga mempertimbangkan sisi humanisme (Bandura,
2001). Dalam konteks Padepokan Dimas Kanjeng, santri berusaha mengarungi
nasib mereka dan berusaha mengembangkan potensi diri mereka untuk mencapai
puncak aktualisasi diri dengan berusaha bersama santri yang lain untuk
mewujudkan program kemaslahatan umat dan produk budaya ala Padepokan
Dimas Kanjeng. Santri bebas dalam melakukan pilihan untuk mencapai rasa aman
di padepokan dan mengantisipasi diri dalam menjauhi larangan agama.
Dimas Kanjeng selalu mempersepsikan konsep diri dan kesan baiknya
kepada santrinya (proses input). Manusia dapat menumbuhkan sikap
altruismenya, maka orang tersebut dapat dikenal sebagai manusia yang
humanis oleh manusia di sekelilingnya (citra diri yang baik, self esteem). Riset
121
psikologi juga menunjukkan bahwa ketertarikan manusia lebih ditentukan oleh
bujuk rayu. Manusia cenderung suka dibujuk seorang yang “altruis”, daripada
orang yang “selfish”. Sikap Dimas Kanjeng yang lugu dan penuh perhatian,
dengan bahasanya yang so sweet, membuat hati santri terpanah akan sosok
Dimas Kanjeng (simpatik). Santri memroses rangsangan yang dihadirkan oleh
Dimas Kanjeng, hingga terbentuknya perasaan yakin akan Dimas Kanjeng.
Santri memiliki konstruksi personal dalam menterjemahkan,
mengorganisir dan memprediksi nasib masa depan peristiwa-peristiwa yang
berlangsung di Padepokan Dimas Kanjeng. Santri Dimas Kanjeng memiliki
kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kontruks alternatif guna
mempersepsikan ulang sebuah fenomena sosial yang sedang terjadi dalam
hidupnya. Hal tersebut disebabkan, dalam perpektif sosio-kognitif tidak ada
kebenaran yang mutlak (Sechrest, 1963). Santri Dimas Kanjeng merupakan
sekelompok individu yang aktif yang mampu mengantisipasi permasalahan
dalam suatu peristiwa dan berusaha memprediksi masa depan (keberlanjutan)
Padepokan Dimas Kanjeng.
Proses kognitif santri Dimas Kanjeng berkaitan perihal kemampuan atau
keterampilan santri dalam menyikapi dan menyelesaikan permasalahan
kehidupan di padepokan. Selain bersandarkan pada pengalaman langsung, teori
sosial kognitif menitikberatkan pada proses pembelajaran melalui modeling dan
observasional pada perkembangan kepribadian santri Dimas Kanjeng. Santri
merasakan respons emosional dan perilaku melalui pengamatan terhadap
perilaku dari sang model “Dimas Kanjeng”. Perilaku santri dapat dikuasai oleh
122
Dimas Kanjeng. Santri telah merasakan konsekuensinya sendiri tatkala
mematuhi Dimas Kanjeng, kepatuhan tersebut berguna dalam meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan santri terhadap agamanya masing-masing.
Hasil perkembangan kompetensi kognitif santri, dapat berfungsi dalam
mempersiapkan masa depan dunia akhiratnya untuk me-regulasi diri demi
sebuah kemajuan dalam mencapai tujuan. Berdasarkan teori sosio-kognitif,
santri Dimas Kanjeng mengembangkan kemampuan proses berpikirnya dalam
aspek-aspek tertentu, yang tidak hanya bersumber dari suara hati yang sehat.
Santri mengembangkan keterampilan kognisinya berbasis pedoman
motivasional –buku istighosah– terhadap perilaku yang diadaptasi sesuai
dengan konteks Padepokan Dimas Kanjeng. Konstruksi tersebut mendorong
kekuatan santri untuk dapat mengidentifikasi keadaan dan mengatur moralnya
berdasarkan permintaan kondisional dan goal internal kelompok secara
fleksibel. Kognisi dengan emosional santri Dimas Kanjeng menunjukkan saling
keterkaitan yang pada akhirnya menimbulkan sebuah sistem kepatuhan.
Sistem kepatuhan menjadi skema dan peraturan kelompok yang selalu
dikukuhkan di Padepokan Dimas Kanjeng. Kepatuhan santri Dimas Kanjeng
tidak hanya berhenti pada tindakan santri yang mencerminkan ketaatannya
dalam melaksanakan ajaran Dimas Kanjeng. Santri selalu simpati dan
mengimajinasikan sosok Dimas Kanjeng dalam segala aspek kehidupannya
sebagai suri tauladan.
123
Adapun proses simpati yaitu proses tatkala orang merasa terkesima pada
pihak lain, merasa memiliki tugas yang amat penting, meskipun motivasi utama
simpati yaitu kemauan untuk menghayati pihak lain dan berkoordinasi
dengannya. Hal tersebut merupakan perbedaan nyata antara simpati dengan
identifikasi yang dipicu oleh kemauan untuk belajar dengan pihak lain yang
posisinya dianggap lebih tinggi dan perlu dihargai sebab memiliki
keistimewaan-keistimewaan tertentu yang pantas untuk dijadikan panutan.
Berdasarkan penjelasan definisi di atas, santri Dimas Kanjeng dalam
menjaga kepatuhannya terhadap DK juga dipengaruhi oleh rasa simpati dan
identifikasi santri terhadap DK. Dalam konteks Padepokan DK, dominasi-
dominasi politik suku bangsa telah dipatahkan oleh ideologi nusantara melalui
pelembagaan yang berlandaskan pada solidaritas mekanik. Bagi santri Dimas
Kanjeng, adanya rasa toleransi terhadap manusia di sekitarnya merupakan
kesan diri yang baik yang dapat mencerminkan kecerdasan dan keterampilan
sosial seseorang.
4.2 Kepemimpinan dan Konformitas dalam membentuk Budaya Patuh
Santri Padepokan Dimas Kanjeng.
Fenomena kepatuhan santri Padepokan Dimas Kanjeng jika dikorelasikan
dengan teori kepatuhan, maka santri merupakan subjek yang diminta untuk
mematuhi perintah otoritas. Dimas Kanjeng merupakan subjek yang
124
mempunyai otoritas agar pihak anggota dapat mematuhinya. Adapun teks atau
wacana yang digunakan oleh Dimas Kanjeng dalam mendorong santrinya agar
patuh, Dimas Kanjeng tidak hanya modal „omong doang’, namun Dimas
Kanjeng langsung mempraktikkan „memberi contoh‟ santri untuk selalu
berbuat kebajikan dengan mematuhi segala ajaran dan norma kelompok yang
telah disepakati.
Selain itu, kepatuhan santri juga dipicu oleh adanya sanksi yang membuat
santri takut jika tidak mematuhi ajaran Dimas Kanjeng maka santri takut
dirinya terjadi apa-apa, sebab Dimas Kanjeng diyakini memiliki kekuatan
supranatural. Santri juga selalu takut jika harus kehilangan Dimas Kanjeng
untuk selamanya. Akhirnya, santri selalu mempersepsikan sosok Dimas
Kanjeng sebagai Wali Allah, hamba Allah pilihan, dsb.
Berbagai tindakan Santri Dimas Kanjeng yang mencerminkan
ketaatannya untuk mematuhi segala ajaran Dimas Kanjeng yang menurut santri
sebagai sumber akidah dan tuntunan moral sesuai dengan gagasan Feldmen
(2003) yang mengatakan bahwa kepatuhan diartikan sebagai “change
behaviour in response to the command of others”. Dalam konteks Padepokan
Dimas Kanjeng, mengapa segala tindakan santri mencerminkan kepatuhannya
terhadap Dimas Kanjeng (membudaya), sebab Dimas Kanjeng sebagai otoritas
telah diamini dan dilegitimasi oleh semua santri tanpa terkecuali dalam nilai-
nilai dan peraturan komunitas.
Fenomena kepatuhan santri Dimas Kanjeng jika dianalisis berdasarkan
planning behavior theory dari Icek Ajzen (1980), intensitas kepatuhan
125
seseorang terhadap peraturan kelompok dipengaruhi oleh 3 elemen utama,
yaitu:
1. Sikap terhadap perilaku, kepercayaan individu terbentuk dari seberapa
kuat keyakinan individu akan hasil atau manfaat yang dapat diperoleh
dengan mengikuti peraturan yang ada. Dalam konteks ini, santri Dimas
Kanjeng telah merasakan ketenangan akibat tidak menentang dari
ajaran Dimas Kanjeng. Sesama santri saling menghidupi, akhirnya
kebutuhan ekonomi para santri tercukupi.
Kepiawaian Dimas Kanjeng dalam menghadirkan rejeki secara
tiba-tiba tidak perlu ditangkal lagi oleh santri. Ketika kebutuhan
jasmani dan rohani para santri telah tercukupi dan diberdayakan oleh
Dimas Kanjeng, maka tiada kata lain lagi selain “patuh”. Sebab santri
selalu mengingat dan mengevaluasi manfaat yang diperoleh akibat taat
terhadap sang guru.
2. Selain itu, kepatuhan santri didorong oleh kontrol perilaku kelompok
santri dalam keluarga besar Padepokan Dimas Kanjeng. Di antara santri
saling memberi satiran, apabila tiba waktunya istighosah. “Ayo
istighosah biar pikiran tenang, hati jadi riang”, ajak santri pada santri
lainnya.
3. Norma subjektif individu, santri selalu mempersepsikan bahwa semua
ajaran Dimas Kanjeng mengajarkan hal-hal yang mulia untuk menuju
akhlak yang terpuji. Maka santri tidak meragukan lagi akan
keyakinannya terhadap Dimas Kanjeng. Menurut persepsi santri, tidak
126
perlu bawa perasaan “baper” tatkala orang lain tidak suka dengan
junjungan kita merupakan hal yang wajar, yang terpenting bagi santri di
manapun harus menunjukkan budaya kepatuhannya pada orang tua
„orang yang dipujanya‟. “jangan sampai belok, lurus di jalan yang
benar sesuai dari perintah guru”, ucap santi.
Kepemimpinan kiai Dimas Kaneng di padepokan lahir karena
kepercayaan santri bahwa guru merupakan kaki tangan Tuhan dalam
mengabulkan ajaran-Nya. Kepercayaan tersebut diwujudkan dalam sikap
taklid oleh santri (mengikuti tanpa adanya usaha untuk mencari tahu atau
mengkritisi ajaran yang telah disampaikan oleh gurunya). Adanya rasa
percaya yang mendalam, maka timbullah berbagai persepsi yang baik
terhadap sosok yang diistimewakan.
Dalam masyarakat Jawa, santri mengamini kepemimpinan kiai
disebabkan oleh kepercayaannya yang tinggi terhadap konsep berkah yang
didasarkan dari doktrin bahwa orang tersebut sebagaimana seorang wali
yang alim dan memiliki keistimewaan. Unsur-unsur dari persepsi santri
terhadap Kiai Mas Kanjeng terdiri dari aspek afektif dan kognitif. Segi
afektif berfokus pada hal yang dirasakan oleh santri Dimas Kanjeng
setelah membentuk persepsi terhadap maha gurunya „Dimas Kanjeng‟.
Santri merasa puas dan bangga setelah mempersepsikan bahwa
Dimas Kanjeng seorang malaikat tanpa sayap dalam hidupnya. Segi
kognitif lebih concern pada hasil analisis santri terhadap subjek yang
127
dipersepsikan (Mas Kanjeng). Dalam konteks ini, santri selalu membawa
citra Dimas Kanjeng di manapun berada dan juga kapan pun.
Setiap ngobrol santai dengan orang lain, santri selalu
membicarakan kehebatan Dimas Kanjeng, keramah tamahannya. Jadi,
santri selalu memuji “mendewa-dewakan” Dimas Kanjeng dalam kondisi
apapun. Selain itu, santri selalu memegang teguh citra atau kepribadian
positif Dimas Kanjeng untuk pedoman hidupnya dalam bertingkah dan
berkomunikasi di setiap harinya (proses mengimitasi).
Kepatuhan tidak hanya bicara soal persepsi, namun juga memiliki
relasi yang kuat dengan konformitas. Santri Dimas Kanjeng yang tingkat
konformitasnya tinggi cenderung memberi tempat yang utama pada
kelompoknya „memiliki rasa ketergantungan pada kelompok‟. Santri
Dimas Kanjeng yang demikian mengatribusikan setiap tindakannya agar
bermanfaat untuk kelompok terlebih dahulu „tidak memikirkan
kepentingan pribadinya, urusan pribadi pikir belakangan‟. Begitu juga
sebaliknya, santri Dimas Kanjeng yang tingkat konformitasnya rendah
maka intensitas kepatuhan terhadap gurunya juga lemah.
Fenomena yang berkembang di Padepokan Dimas Kanjeng, tingkat
konformitas santri sangat tinggi yang berdampak terhadap budaya patuh
terhadap maha gurunya sangat kuat dan tidak bisa diganggu gugat.
Sehingga, dalam kasus di Padepokan Dimas Kanjeng sesuai dengan teori
128
terdahulu (Baron & Byrne, 2004), bahwa kepatuhan tidak lepas dari
adanya konformitas (berhubungan positif). Bagi santri Dimas Kanjeng,
lebih baik tidak hidup jika harus menentang gurunya. Bagi santri Dimas
Kanjeng, apapun yang terjadi guru harus selalu dihargai dan ditaati, bukan
untuk dikhianati.
Budaya kepatuhan santri Padepokan Dimas Kanjeng tidak hanya
dipengaruhi oleh dorongan kepemimpinan „dari permintaan atasan‟,
namun juga konformitas (pengaruh kelompok sosial). Santri selalu
menasehati santri lainnya agar tidak menyimpang dari aturan kelompok
„keluarga besar Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi‟. Fenomena
kepatuhan santri di Padepokan Dimas Kanjeng tidak hanya bicara soal
ranah vertikal, namun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor horisontal
(kesadaran kelompok).
Mengapa santri patuh yang teramat mendalam, karena santri selalu
meyakini bahwa apa yang diajarkan Dimas Kanjeng merupakan hal-hal
yang positif, terpuji, bukan karena santri patuh terhadap hal-hal yang
merusak ataupun menyakiti orang lain. Jadi secara sadar, bentuk
kepatuhan santri bukan tipikal destructive obedience.
Teori Konformitas menekankan pada 3 unsur utama yaitu
kesepakatan, kekompakan dan ketaatan. Kesepakatan adalah gagasan
kolektif yang telah disepakati mempunyai pengaruh besar hingga akhirnya
129
santri Dimas Kanjeng menjadi loyal dan beradaptasi dengan gagasan
kolektif yang terdiri dari persamaan ide dan keyakinan. Kemaslahatan
umat menjadi kesepakatan bersama keluarga besar Padepokan Dimas
Kanjeng yang dijadikan sebagai alat pemersatu santri oleh Dimas Kanjeng.
Kekompakan dicirikan dengan adanya interested, respect terhadap
kelompok, dan adaptasi diri dengan Padepokan Dimas Kanjeng.
Ketaatan, yaitu tuntutan kelompok yang memicu Santri Dimas
Kanjeng ikhlas melakukan tindakan apapun, tanpa memikirkan keinginan
atau perasannya sendiri. Namun santri masih memikirkan harapan orang
lain dan ganjaran yang akan didapatkan nantinya. Wrightsman dan Deaux
(1984) menyatakan jika ketaatan (obedience) adalah salah satu aksi khusus
dari kepatuhan karena adanya tuntutan untuk melaksanakan suatu perilaku
ketaatan, yang dimanifestasikan dalam bentuk perintah.
Peneliti pada kesempatan ini memakai indikator secara kontekstual
terhadap padepokan yang diteliti. Indikator dirumuskan sesuai dengan hasil
observasi dan wawancara terbuka terhadap para santri. Kesimpulan indikator
didapatkan melalui penelitian studi antropologi kognitif terhadap kepatuhan
santri Dimas Kanjeng. Aspek-aspek yang diteliti meliputi, kepatuhan santri
terhadap ajaran moral yang disampaikan Dimas Kanjeng, kepatuhan santri
terhadap tingkat keamanan di pesantren dan kepatuhan santri pada kode etik
pesantren. Dari semua variabel yang diamati tersebut, bahasa yang disampaikan
130
oleh Dimas Kanjeng mampu “meninabobokan” santri untuk mematuhi
segalanya perihal kejayaan Dimas Kanjeng.
4.3 Faktor Imitasi dalam Menumbuhkembangkan Kepatuhan Santri
terhadap Dimas Kanjeng yang begitu mengakar.
Berdasarkan Sarlito Wirawan Sarwono (2004), imitasi dapat
terbentuk karena adanya antusias dan passion, jika dikaitkan dengan studi
kasus Santri Padepokan Dimas Kanjeng, maka budaya patuh menjadi
suatu kebutuhan. Santri memiliki ketertarikan akan penampilan maupun
watak Dimas Kanjeng dalam mengajar di majelis ilmu, maupun dalam
bersosial dan bermasyarakat. Santri mengaplikasikan watak sosok Dimas
Kanjeng yang dipuja, yang dirasa santri dapat membawa karunia
tersendiri.
Akhirnya santri selalu menghormati dan menghargai setiap
perkataan yang disampaikan oleh Dimas Kanjeng. Bagi santri agar
membentuk kepribadian yang adiluhung seperti gurunya “Dimas
Kanjeng” memerlukan waktu penyesuaian diri yang tidak sebentar. Santri
selalu menyadari dirinya siapa, menyandang status sebagai “santri”,
maka peran atau tindakan sosial yang paling tepat menurutnya ialah
mematuhi segala ajaran yang disampaikan gurunya di atas kepentingan
dan kebutuhan apapun, serta dalam kondisi bagaimanapun guru tersebut.
131
Santri selalu berusaha mengenali dan memahami maksud dari apa
yang disampaikan Dimas Kanjeng. Santri selalu mencari hikmah dari
apapun kejadian yang menimpa Dimas Kanjeng, karena di balik masalah
yang ada, di luar sana menurut santri juga masih banyak yang jauh lebih
tersiksa ketimbang masalah yang membelenggu keluarga besar
Padepokan Dimas Kanjeng. Akhirnya santri merasa terpanggil untuk
tetap patuh dan bersimpati (menyamakan perasaan dan kondisinya
dengan apa yang dirasakan Dimas Kanjeng sekarang yang harus bertahan
seorang diri di tahanan).
Santri rela hidup dalam keadaan apapun di tenda, asalkan
padepokan yang telah didirikan bersama Dimas Kanjeng tersebut tetap
berjaya gemilang dengan mempertahankan budaya komunitarian dan
paternalistik yang telah diajarkan oleh Dimas Kanjeng. Santri tanpa
memikirkan hujatan sana-sini tentang keburukan padepokan tersebut,
yang terpenting bagi santri tetap melaksanakan kehidupan bareng-bareng
bersama santri lainnya (mengaji bersama, shalat berjamaah, makan
bersama, olahraga bersama, gotong royong dalam membersihkan
kompleks padepokan dan membuat aneka snack bersama-sama).
Dimas Kanjeng memberikan contoh dan tindakan untuk hadir tepat
waktu dalam memimpin istighosah dan shalat para santrinya. Hal
tersebut yang membuat santri menaruh hati dan meneladani Dimas
Kanjeng. Hal tersebut didukung oleh pernyataan populer dalam dunia
132
pendidikan yang disampaikan oleh Pemeo bahwa “guru kencing berdiri,
siswa kencing berlari”, artinya segala tindakan guru berpotensi untuk
ditiru oleh siswanya. Senada dengan gagasan Hatten, et al (2001, P. 12)
mempertegas bahwa “ethics is primaliry a matter of positive role
modeling. Quite simply, good teachers produce good students”. Bandura
juga menekankan kembali bahwa:
“Learning would be exceedingly laborious, not to mention hazardous, if
people had to rely solely on the effects of their own actions to inform
them what to do. Fortunately, most human behaviour is learned
observationally through modelling: from observing others one forms an
idea of how new behaviours are performed, and on later occasions this
coded information serves as a guide for action (Bandura, 1977, p.22).”
“Modelling can be increased by reinforcing matching behaviour....”,
“Facility in observational learning is increased by acquiring and
improving skills in selective observation, in memory encoding, in
coordinating sensory motor and idea motor sistems, and by the
ability to foresee probable consequences of matching another’s
behaviour.”
Manusia belajar pada ruang konteks sosial melalui imitasi,
observasional dan modeling (Bandura, 977). Dalam teori pembelajaran
sosial, dijelaskan bahwa dalam interaksi yang intens, tindakan seseorang
dapat mempengaruhi satu sama lain yang dapat berpotensi merubah
kognitif dan watak itu sendiri. Jika dikaitkan dengan fenomena kepatuhan
santri Padepokan Dimas Kanjeng, ruang padepokan semakin mempererat
hubungan di antara santri dan memperkuat proses internalisasi diri untuk
semakin patuh terhadap nilai-nilai religius dan solidaritas yang
ditanamkan oleh Dimas Kanjeng.
133
4.4 Religiusitas sebagai Sistem Budaya di Padepokan Dimas Kanjeng.
Tulisan ini berfokus mengkaji korelasi agama dengan solidaritas sosial
dalam kerangka gagasan Emile Durkheim yang dihubungkan dengan
fenomena yang terjadi di Padepokan Dimas Kanjeng. Kehidupan agama
dalam konteks komunitas “kolektif” difokuskan terhadap bagaimana
manfaat agama dalam mendorong perkembangan atau hambatan
kelangsungan hidup dan penjagaan komunitas masyarakat. Fokus
pembahasannya diarahkan terhadap agama sebagai salah 1 indikator dari
perilaku kelompok dan tugasnya yang diimplementasikan dari dulu hingga
sekarang.
Berdasarkan realitas di atas, dapat dikatakan bahwa kegiatan religiusitas
yang terdapat dalam diri manusia tidak disebabkan oleh alam pikiran yang
telah ada bayangan-bayangan semu tentang jiwa atau roh, namun stimulus
keagamaan dapat disebabkan dari alam jiwa manusia terdahulu, akibat
rangsangan atau sentimen kemasyarakatan. Sentimen kemasyarakatan dalam
roh manusia terdahulu terdiri dari beragam perasaan yang memuat rasa bakti,
cinta, keterikatan dan fenomena lainnya di mana ia menjalankan kehidupan.
Sentimen kemasyarakatan mengakibatkan lahirnya emosi keagamaan
dan merupakan pusat dari segala perilaku keagamaan manusia tersebut.
Namun jika tidak dijaga, maka sentimen kemasyarakatan tersebut menjadi
rapuh dan laten, sehingga perlu dikembangkan sentimen kemasyarakatan
dengan mengagendakan suatu kontraksi masyarakat yang berarti
134
mengumpulkan orang-orang dalam suatu komunitas dalam forum-forum
besar.
Kesimpulan yang diberikan oleh Durkheim, bahwa agama berasal dari
budaya masyarakat itu sendiri, tanpa adanya intervensi unsur pewahyuan dari
sang kuasa. Agama merupakan jelmaan dari masyarakat itu sendiri,
kehidupan masyarakat dapat hidup tatkala agama mengakar dalam
kehidupannya, agama terlupakan maka masyarakat tumbang. Hal tersebut
juga berlaku di Padepokan Dimas Kanjeng, kehidupan padepokan masih
berjalan hingga sekarang disebabkan oleh kepatuhan santri dalam memenuhi
ajaran DK untuk selalu taat dalam beribadah secara kolektif.
Istighosah bersama-sama di setiap pagi dan malam merupakan simbol atau
identitas dari Padepokan Dimas Kanjeng sebagai mekanisme pertahanan diri
yang dewasa. Jadi ajaran perihal religiusitas di Padepokan DK memegang
peranan yang vital, di samping santri juga menyibukkan diri dengan alternatif
aktivitas positif lainnya (pengalihan diri pada kebiasan-kebiasaan yang lebih
bermanfaat atau yang biasa disebut dengan sublimasi. Ritual-ritual religius
(pengajian dan istighosah bersama) yang membuat rasa guyup dan solidaritas
santri semakin kompak dan menyatu (adanya rasa berkelompok). Melalui
agama sebagai kontruksi sosial dan sistem simbol, mendorong masyarakat
menjadi memahami atau menyadari akan kekurangan dirinya sendiri. Sebab
hidup harus keluar dari tempurung keegoisan diri. Corak kehidupan santri di
Padepokan DK yaitu saling introspeksi diri sendiri, saling simpati,
135
menumbuhkan rasa kasih, senang terhadap kawan di sekelilingnya, yang pada
akhirnya menumbuhkan kepercayaan bersama (Turner, 2003).
Dalam hal ini ritual kolektif dapat menumbuhkan kebahagiaan
kolektif, sentimen kolektif dan pada akhirnya dapat membentuk keyakinan
kolektif. Menurut Soerjono Soekanto, suatu komunitas akan semakin
menyatu jika terdapat suatu “faktor yang dimiliki dan diamini bersama”.
Faktor tersebut diantaranya ialah kesamaan nasib, kebutuhan yang sama,
tujuan atau keinginan yang sama. Dalam konteks padepokan DK,
meskipun berbeda ideologi dan agama, namun santri memiliki tujuan yang
sama, yaitu kebahagiaan dunia akhirat yang dapat dicapai dengan
mewujudkan kemaslahatan umat. Menurut Khaldun (2000), kekuatan
solidaritas yang dibangun dari keyakinan yang sama, lebih kuat dari pada
solidaritas yang dibangun dari hubungan darah atau klen.
137
BAB V PENUTUP:
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi jawaban dari rumusan pertanyaan penelitian, serta akan
ditulis saran dan rekomendasi terhadap penelitian selanjutnya. Penelitian ini
diharapkan bermanfaat bagi peneliti di bidang ilmu antropologi maupun
psikologi sebagai media implementasi dan aktualisasi diri terhadap teori-teori
yang sudah didapatkan pada saat perkuliahan.
5.1 KESIMPULAN
a. Faktor yang mendominasi santri patuh terhadap DK disebabkan oleh,
santri mampu memahami bahasa Dimas Kanjeng, baik mampu memahami
pesan secara implisit dari yang diucapkan DK maupun dapat memahami
bahasa tubuh DK dalam memberikan ajaran-ajaran spiritual kepada santri
hingga membuat santri nyaman dari bahasa yang direpresentasikan oleh
DK. Jika dikaji berdasarkan perspektif antropologi kognitif, bahasa Dimas
Kanjeng dapat mendorong terbentuknya budaya patuh itu sendiri. Dalam
hal ini, budaya patuh dari santri terhadap Dimas Kanjeng.
b. Bentuk kepatuhan santri DK dibuktikan dengan aktivitas ‘habitus’ santri
yang masih semangat dalam mematuhi ajaran DK, meskipun DK tidak ada
di padepokan. Santri setiap harinya masih rajin mengamalkan semua yang
diperintahkan oleh DK, seperti istighosah, pengajian, shalat malam, puasa
senin kamis, menyantuni anak yatim di sekitar padepokan sebagai
138
c. aktualisasi dari untuk mewujudkan visi misi Padepokan Dimas Kanjeng
yang ingin menegakkan kemaslahatan umat.
Habitus ‘patuh’ jika dikaji dari perspektif antropologi kognitif
tumbuh hasil olah rasa dan olah pikir dari wacana atau bahasa yang sering
disampaikan oleh DK terhadap santrinya. Selain itu, DK juga memberikan
contoh tindakan dan perilaku positif secara langsung dengan penuh
kesabaran dan kasih sayang. Santri sering melihat dan mendengarkan,
akhirnya santri meniru segala tindakan yang dipraktikkan langsung oleh
DK (dalam perspektif antropologi kognitif, bahasa atau wacana dapat
membentuk kebiasaan atau cara hidup). Contoh bahasa yang pernah
dilontarkan oleh DK yaitu, “dunia itu fana, yang terang hanyalah senyum
dan rasa kasih kita terhadap sesama”.
5.2 SARAN
Potensi penelitian ini juga dapat menjadi pijakan bagi peneliti lain yang
berfokus dalam bidang:
A. ANTROPOLOGI.
Bagi peneliti yang concern dalam bidang antropologi dapat mengkaji
tentang kearifan lokal yang berkembang dalam Padepokan Dimas Kanjeng
Taat Pribadi. Peneliti lain juga dapat meneliti tentang manajemen konflik
dan studi antropologi bencana dalam menyikapi fenomena paska
penangkapan DK di Padepokan Dimas Kanjeng. Pada konteks ini, peneliti
bidang antropologi dapat mengkaji bagaimana santri memulihkan rasa
139
traumanya dari peristiwa penangkapan Dimas Kanjeng (peristiwa besar 22
September 2016). Peneliti selanjutnya juga dapat mengkaji perihal
multikulturalisme dan kajian gender yang berkembang di Padepokan
Dimas Kanjeng ‘Taat Pribadi’.
B. PSIKOLOGI.
Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat menjadi pijakan
atau bahan referensi untuk penelitian tentang kajian sosial kognitif,
psikoanalisis, kesetiaan, behaviorisme dan fenomenologis. Bagi
peneliti selanjutnya, saya menyarankan untuk mengkaji tentang place
attachment dalam kasus pengikut setia Padepokan Dimas Kanjeng
Taat Pribadi dengan argumentasi bahwa keterikatan terhadap suatu
tempat dan komunitas juga dapat menjadi faktor pendorong kesetiaan
dan kepatuhan yang membabi buta.
140
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. dan Vander A.C.L (Penyunting). (1986). Durkheim dan Pengantar
Sosiologi Moralitas. Jakarta: Yayasan Obor indonesia.
Ahmed, A. S. (2005). “Islam di Era Media Barat”, dalam Idi Subandy Ibrahim
(ed.), Media dan Citra Muslim. Yogyakarta: Jalasutra.
Ajzen, I. and Fishbein M. 1980. Understanding Attitude and Predicting Social
Al Faruqi, I.R dan Al Faruqi, Lousi Lamnya 1998. Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas
Hasan. Jakarta: Mizan.
Ancok, D., dan Suroso, F. N. (2011). Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anwar, U. Tindak Pidana Penggandaan Uang Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (Tinjauan Kasus Penggandaan Uang Dimas Kanjeng Taat
Pribadi. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 13, No. 04- Desember 2016:369-
378.
Baal, J.V. (1987). Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga
Dekade 1970), terj. J. Pery. Jakarta: Gramedia.
Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Englewood Cliffs, New Jersey:
Pertinence- Hall.
Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The Exercise of Control. New York: Freeman.
Bandura, A. (2001). Social Cognitive Theory an Agentic Perspective. Annual
Review of Psychology, 52, 126.
Baron, RA. dan Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial Jilid 2 (Edisi Kesepuluh).
Jakarta: Erlangga.
141
Baron, R. dan Byrne, D., (2005). Psikologi Sosial (terjemahan). Jakarta. Penerbit
Erlangga.
Baron, J.B. dan Sternberg, R.J. (Editor), (1987). Teaching Thinking Skill. W.H.
Freeman and Company. New York.
Behaviour. New York: Prentice Hall Inc.
Bruinessen, V. M. 1999. Kitab Kuning (Pesantren dan Tarekat). Bandung:
Penerbit Mizan.
Dhofier, Z. 1982. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai.
Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial (LP3ES).
Durkheim, E. (1992). The Elementary Form Of The Religious Life. New York:
Free Press.
Faesol, A. (2012). Kyai, Otoritas Keilmuan dan Perkembangan Tradisi Keilmuan
Pesantren. Jurnal Volume 15 Nomor 1.
Fetterman, D. M. (2010). Ethnography Step-by-Step Third Edition. London:
SAGE.
Geertz, C. 1969. “Religion as a Cultural Sistem”, dalam Michael Banton (ed.),
Anthropological Approach to the Study of Religion, London: Tavistocck
Publikations,
Gerungan. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Goodenough, W.H. (1961). Comment on Cultural Evolution Daedalus Go: 521-
28.
142
Goodenough, W.H. (1963). Cooperation in Changes. New York: Russell Sage
Found.
Goodenough, W.H., (1971). Culture, Language, and Society. McCaleb Module in
Anthropology. Reading, Mass: Addison- Wesley.
Gunawan, Imam. (2013). Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik. Jakarta:
Bumi Aksara.
Hermawan, D. (2013). Semar dan Kentut Kesayangannya. Yogyakarta: Diva
Press.
Khaldun, I. (2000). Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kurniawan, A. Loyalitas Santri (Teamwork) terhadap Kepemimpinan Kiai Dalam
Manajemen Pesantren. Journal of Empirical Research in Islamic
Education. http://journal.stainkudus.ac.id/. Diakses 8 September 2018.
Kusumadewi, Septi, Hardjajani, Tuti dan Priyatama, Aditiya Nada. (2012).
Hubungan antara dukungan ssosial peer group dan control diri dengan
kepatuhan terhadap peraturan pada remaja putrid di pondok pesantren
Modern Assalaam Sukoharjo.
Ma’rufah, dkk. Persepsi terhadap Kepemimpinan Kiai, Konformitas, dan
Kepatuhan Santri terhadap Peraturan Pesantren. Persona, Jurnal Psikologi
Indonesia mei 2014, Vol. 3, No. 02, hl.97-113.
Maltby, J., Giles, D.C, Barber, L., dan McCutcheon, L.E. (2005). Intense
Personal Celebrity Worship and Body Image: Evidence of a Link Among
Female Adolescents, British Journal of Health Psychology Vol. 10.
143
Maramis, W. F. (1990). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Jakarta: Erlangga.
Nottingham, E.K. (1970). Agama dan Masyarakat, Suatu Pengantar Sosiologi
Agama. Jakarta: Rajawali Press.
Nuqul, F.L. Perbedaan Kepatuhan terhadap Aturan Tinjauan Kepribadian
Introvert-Ekstrovert, Jenis Kelamin dan Lama Tinggal di Ma’had Ali
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Psikoislamika, Vol. 4, No.2, Th
2007.
Putra, A., dan Shri, H. “Penutup”, dalam J.W.M. Bakker SJ, Filsafat
Kebudayaan: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Rahmat, J. (2004). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosada karya.
Rizal, R. (2003). Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi. Jakarta: Rajawali Press.
Santrock, J.W. (1995). Life-span developmentperkembangan masa hidup (5th
edition). Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
Sarbini. (2012). Pengembangan Model Pembinaan Kepatuhan Peserta Didik
terhadap Norma Ketertiban Sebagai Upaya Menyiapkan Warga Negara
Demokrtis di Sekolah. Disertasi, tidak diterbitkan, Universitas Pendidikan
Indonesia.
Sarwono, S. W. (2004). Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sechrest, L. (1963). The Psychology of Personal Constructs. In J. M. Wepman &
R. W. Heine (Eds.), Consepts of Personality (pp. 206-233). Chicago:
Aldine.
144
Shaw. M.E. (1979). Group Dynamic: The Psychology of Small Group Behaviour.
New Delhi Mc Grow Hill Publishing Company Ltd.
Shihab, Q. (1996). Wawasan Al-Qur’an, Cet 3. Bandung: Mizan.
Soekanto, S. (1985). Kamus Sosiologi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
_________. (2001). Sosiologi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Spradley, James P. (2006). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suparlan, P. (1995). Orang Sakai Di Riau, Masyarakat Terasing Dalam
Masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suryanto, Putra, M.G.B.A, Herdiana.I, Alfian. I.N. (2012). Pengantar Psikologi
Sosial. Surabaya: UAP.
Suriasumantri. (1996). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Suyanto, A. (1984). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Aksara Baru. H. 4
Syaifuddin, Achmad Fedyani. (2005). Antropologi Kontemporer: Suatu
Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Prenada.
Sztompka, P. (1999). Trust, a Sociological Theory. Cambridge: Cambridge
University Press.
Tibbi, B. (1996). Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Misbah Zulfa
Elizabeth, Yogyakarta: Tiara Wacana,.
Turner, B. S. (2003). Agama dan Teori Sosial (Rangka-Pikir Sosiologi Dalam
Membaca Eksistensi Tuhan di Antara Gelegar Idiologi Kontemporer), alih
Bahasa, Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.
145
________ (1994). Sosiologi Islam, Suatu Telaah analitis Atas Tesa Sosiologi
Weber, alih bahasa, G.A.Ticoalu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Wahid, A. (1980). Bunga Rampai Pesantren. Jakarta: CV. Dharma Bakti.
Wahjoetomo. (1997). Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa
Depan. Jakarta: Gema Insani Press.
Widi, R. K. (2010). Asas Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Wrightsman dan Deaux (1981), Social Psychology in the 80. Monterey
California: Brooks/ColePublishing Co. definisi ini juga dikutip oleh, serta
Baron & Byrne (2005).
Zakiyah, L. (2000). Hubungan antara Persepsi Santri terhadap Barokah Kiai
dengan Motivasi Belajar di Pondok Pesantren Darussalam, Watucongol,
Muntilan. Skripsi. Jogjakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.