Date post: | 19-Feb-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
TUGAS KELOMPOK
PSIKOLOGI EKSPERIMEN
DOSEN
ADI KRISTIAWAN, S.Psi., MM
DISUSUN OLEH
Dinda Faharani / 1824090095
Saidatul Hilmah / 1824090125
Marsya Sukma Ardini / 1824090127
Sabtu, 10:20 – 12:50
21
PENGARUH KATARSIS DALAM MENULIS EKSPRESIF SEBAGAI
INTERVENSI DEPRESI RINGAN PADA MAHASISWA
Novi Qonitatin*, Sri Widyawati**, Gusti Yuli Asih**
*Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
** Fakultas Psikologi Universitas Semarang
[email protected] ; [email protected]
Abstrak
Depresi ringan banyak dialami oleh orang dewasa muda, terutama dalam hal ini adalah mahasiswa dimana mereka
memiliki tuntutan peran dan tugas yang tidak mudah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh katarsis dalam
menulis ekspresif sebagai intervensi depresi ringan pada mahasiswa. Sebagai partisipan penelitian adalah mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Semarang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah BDI (Beck Depression
Inventory) untuk melihat tingkat depresi pada partisipan penelitian. Efektivitas atau pengaruh dari intervensi menulis
ekspresif sebagai variabel bebas terhadap depresi sebagai variabel terikat dilihat dari perbedaan antara pretest (O1)
dengan postest (O2). Analisis statistik yang digunakan adalah correlated data t-test / paired-sample t-test. Hasil
penelitian menunjukkan 84 mahasiswa yang terjaring sebagai subjek penelitian, 47 orang (55,95%) diantaranya
mengalami depresi, dimana sebagia besar berada pada taraf depresi ringan. Hasil analisis statistik memperoleh hasil t
hitung = 6,384 dan taraf signifikansi = 0,000. Berdasarkan hasil analisis data tersebut menunjukkan hipotesis penelitian
diterima, berarti katarsis dalam menulis ekspresif memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap depresi ringan
pada mahasiswa.
Kata kunci: katarsis, menulis ekspresif, depresi ringan
PENDAHULUAN
Depresi telah lama dikenali sebagai suatu
perhatian utama bagi pemberi layanan
kesehatan (Geisner, 2006). Seperti yang
dikemukakan Atkinson (1991), depresi
merupakan respon normal terhadap berbagai
stres kehidupan. Depresi dianggap abnormal
bila di luar kewajaran dan berlanjut terus
sampai saat-saat dimana kebanyakan orang
sudah dapat pulih kembali. Dalam kondisi dan
lingkungan yang semakin penuh dengan
peristiwa yang memberikan stres, mudah
sekali orang untuk mengalami gangguan
depresi.
Depresi dan berkurangnya kesejahteraan
psikologis merupakan permasalahan
kesehatan yang utama pada orang muda
(Allgower dkk, 2001). Ditambahkan oleh
Michael dkk (2006), menyatakan bahwa
perasaan depresi merupakan pengalaman yang
cukup umum di kalangan mahasiswa. Mereka
menemukan bahwa terdapat proporsi yang
substansif yang dilaporkan memiliki simpom-
simptom depresi yang signifikan. Mengutip
hasil penelitian Beck dan Young, dikatakan
tiga perempat dari seluruh mahasiswa merasa
depresi selama beberapa waktu pada masa
sekolah. Hal ini dapat terjadi mengingat
banyaknya masalah yang menghadang
keberhasilan mahasiswa dalam menyelesaikan
studinya dan terbukanya peluang bagi
mahasiswa untuk mengalami simtom-simtom
depresi karena berbagai masalah yang
mungkin timbul. Seperti adaptasi terhadap
situasi dan kondisi kampus, tugas yang
menumpuk, tuntutan akan nilai yang bagus,
dan lain sebagainya. Bahkan menurut
Reifman dan Dunkel-Schetter (dalam
Allgower dkk, 2001), simtom depresi dan
kecemasan menjadi perhatian khusus pada
mahasiswa dan dihubungkan dengan
performansi akademik yang rendah dan
partisipasi rendah dalam aktivitas kampus.
22 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
Mengutip pandangan Beck bahwa depresi
merupakan suatu kontinum, Geisner (2006)
menyatakan bahwa tritmen diperlukan dalam
semua tingkatan. Khususnya, simtom ringan
depresi kurang ditanggapi untuk ditangani,
kemudian akan menjadi resiko bagi
perkembangan episode depresi mayor dan
mengalami konsekuensi lain akibat dari
suasana hati yang depresif. Individu dengan
riwayat depresi yang rendah atau yang
memiliki depresi ringan dapat dibantu dengan
suatu pendekatan peningkatan motivasi.
Sebagai alternatif, dengan biaya rendah, terapi
menulis merupakan suatu cara dalam
menurunkan depresi, terutama pada
mahasiswa (Geisner, 2006). Aktivitas menulis
membuat seseorang berpikir tentang peristiwa
yang ia alami dan proses emosional serta
elemen objektif pada peristiwa tersebut, yang
akan meredakan renungan peristiwa tersebut.
Bukti empiris telah mendukung gagasan
bahwa ekspresi emosional meningkatkan
kemampuan seseorang untuk mengatasi
peristiwa-peristiwa kehidupan yang menekan.
Pada masa yang lalu, penelitian ekspresi
emosional difokuskan pada ekspresi verbal
pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan,
sebagaimana yang ditemukan pada
kebanyakan teori-teori psikoterapi tradisional.
Bagaimanapun, saat ini, penelitian yang
menyelidiki ekspresi tertulis pada pengalaman
hidup yang traumatis telah memperlihatkan
memberikan keuntungan kesehatan baik
secara psikologis maupun fisik (Graf, 2004).
Pennebaker (1997) menyatakan bahwa
menulis pengalaman emosional atau menulis
peristiwa yang penuh tekanan (stressful
events) telah menjadi kajian yang menarik
pada beberapa tahun belakangan ini. Beberapa
penelitian laboratorium telah mempelajari
kegunaan menulis atau berbicara mengenai
pengalaman emosional. Menghadapi atau
berkonfrontasi dengan isu-isu pribadi secara
mendalam telah mendapat penemuan akan
menghasilkan kesehatan fisik, kesejahteraan
subjektif dan tingkah laku adaptif tertentu.
Paez dkk (1999) mencatat bahwa menghadapi
atau berkonfrontasi dengan peristiwa-
peristiwa penuh tekanan dan traumatis yang
dilakukan dalam prosedur menulis dilaporkan
menghasilkan tingkat yang lebih tinggi dalam
kesehatan fisik (misalnya, lebih sedikit
mengunjungi fasilitas kesehatan), fungsi
fisiologis yang lebih tinggi (misal, reaksi
kekebalan tubuh yang lebih baik) dan
kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi
(misal, afek negatif yang lebih rendah dan
afek positif yang lebih tinggi). Kesimpulan
tersebut juga dapat dilihat pada Pennebaker
(1997) yang juga menyebutkan bahwa akibat
menulis mengenai topik tertentu, ternyata
berhubungan dengan perbaikan peringkat
mahasiswa pada bulan setelah penelitian
dilakukan dan mendapatkan pekerjaan baru
yang lebih cepat pada tingkat senior.
Secara jelas Pennebaker dan Beall (dalam
Baikie & Wilhelm, 2005) menyatakan bahwa
menulis tentang pengalaman traumatis
berhubungan dengan peningkatan efek
psikologis yang positif dan dalam jangka
panjang menurunkan masalah-masalah
kesehatan. Karena itu, proses katarsis yang
diperoleh ketika menulis ekspresif
pengalaman-pengalaman emosional pada
seseorang yang mengalami gangguan depresi
akan dapat memberikan keuntungan bagi
dirinya untuk menurunkan simtom-simtom
yang mengganggu dan meningkatkan
kesejahteraan psikologis maupun fisik.
Keuntungan ini terutama dapat diperoleh bagi
mereka yang memiliki gangguan depresi
dalam tingkat yang ringan.
Depresi
Depresi merupakan respon normal terhadap
berbagai stress kehidupan. Depresi dianggap
abnormal bila di luar kewajaran dan berlanjut
terus sampai saat-saat dimana kebanyakan
orang sudah dapat pulih kembali (Atkinson,
1991). Ciri-cirinya antara lain tidak ada
harapan, patah hati, mengalami
ketidakberdayaan berlebihan, selalu
Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 23
Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa
memikirkan kekurangan diri dan rasa tidak
berarti.
Menurut Beck (1985), depresi merupakan
suatu “primary mood disorder” atau sebagai
suatu “affective disorder”. Kemudian Beck
memandang depresi dalam komponen-
komponen sebagai berikut:
a. Depresi merupakan kesedihan yang
berkepanjangan dan keadaan jiwa yang
apatis (komponen afektif)
b. Depresi merupakan cara berpikir yang
salah dalam memandang realitas di luar
dan di dalam diri sendiri, sehingga
terbentuk konsep diri yang negatif yang
berlanjut pada perasaan rendah diri
(komponen kognitif)
c. Depresi merupakan gangguan terhadap
fungsi fisiologis yang antara lain
menyebabkan sukar tidur dan hilangnya
nafsu makan serta seksual (komponen
fisiologis)
d. Depresi merupakan hilangnya kemampuan
untuk berfungsinya secara wajar serta
hilangnya dorongan dan energi untuk
bertindak (komponen perilaku)
Simtom depresi
Beck (1985) mengungkapkan bahwa simptom
depresi tidak hanya berupa gangguan afek
saja, tetapi dapat muncul dalam bentuk
sebagai berikut:
a. Perubahan suasana hati yang spesifik,
seperti kesedihan, merasa sendiri dan
apatis.
b. Konsep diri yang negatif diikuti dengan
menyalahkan diri dan mencela diri sendiri.
c. Keinginan regresif dan menghukum diri
sendiri, keinginan untuk menghindar,
bersembunyi dan keinginan untuk mati.
d. Perubahan-perubahan vegetatif seperti
anoreksi, insomnia dan kehilangan nafsu
makan.
e. Perubahan dalam tingkat aktivitas seperti
retardasi dan agitasi.
Beck (1985) memandang gangguan depresi
sebagai kontinuitas, jadi lebih dipandang
secara kuantitatif (ada perbedaan tingkat dan
derajat simtomnya) daripada kualitatif (ada
tidaknya simtom). Perbedaan antara orang
yang menderita depresi dengan yang tidak
hanya pada rentang dan derajat ada tidaknya
simtom yang muncul.
Penyebab depresi
Menurut sudut pandang psikoanalisa
(Davison & Neale, 2001), timbulnya
gangguan depresi ditekankan pada konflik
yang tidak disadari dihubungkan dengan
kesedihan dan kehilangan. Freud (Davison &
Neale, 2001) menyatakan bahwa potensi
depresi dihasilkan sejak awal masa kanak-
kanak. Selama periode oral, kebutuhan
seorang anak kurang terpuaskan atau
terpuaskan secara berlebihan, menyebabkan
individu menjadi fiksasi pada tahap ini dan
tergantung pada pemenuhan khusus secara
instingtif. Fiksasi pada tahap oral akan
mengembangkan suatu kecenderungan untuk
tergantung pada orang lain dalam
mempertahankan self-esteem.
Dalam kasus depresi, menurut Freud,
penjelasan yang kompleks didasarkan pada
analisis kehilangan. Ide Freud adalah
kepribadian oral akan menjadi depresi ketika
diikuti kehilangan sesuatu atau seseorang
yang dicintai. Hampir mirip dengan ide
tersebut adalah depresi ditimbulkan oleh
peristiwa kehidupan yang menekan, dan hal
ini seringkali terkait dengan perasaan
kehilangan.
Katarsis dalam Menulis Ekspresif
Katarsis menurut sudut pandang psikoanalisa
merupakan ekspresi dan pelepasan emosi
yang ditekan. Kadangkala disinonimkan
dengan abreaksi yang didefinisikan sebagai
mengalami kembali pengalaman emosional
yang menyakitkan dalam psikoterapi,
biasanya melibatkan kesadaran pada materi
24 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
yang sebelumnya ditekan (Corsini &
Wedding, 1989).
Dalam Studies in Hysteria (1895, 1982), yang
ditulis Sigmund Freud dengan rekannya Josef
Breuer, Freud menganalisa kasus terkenal
“Anna O.” dan wanita-wanita lain yang
menderita histeria (Halgin & Whitbourne,
1994). Freud dan Breuer menggambarkan
bagaimana Anna O., disembuhkan dari
simtom-simtom histeria yang banyak dan
bervariasi dengan menggunakan hipnosis.
Sebagai tambahan, bagaimanapun, Anna O.
menurut Breuer, dibiarkan untuk ikut serta
dalam “membersihkan cerobong asap” yang
juga disebut dengan “talking cure”. Ketika dia
berbicara tentang masalah-masalahnya, ia
merasa lebih baik, dan simtom-simtomnya
pun menghilang. Freud dan Breuer
menyebutnya dengan “cathartic method”,
suatu pembersihan konflik emosional di
dalam diri melalui berbicara tentangnya.
Metode katarsis ini pelopor psikoterapi,
tritmen perilaku abnormal melalui teknik
psikologis. Penemuan ini akhirnya membawa
Freud untuk mengembangkan psikoanalisis,
suatu teori dan sistem praktis yang bersandar
pada konsep unconsciuous mind, hambatan
impuls-impuls seksual, perkembangan awal,
dan penggunaan teknik “free asociation” dan
analisa mimpi. Tujuan utama tritmen
psikoanalisa tradisional yang dikembangkan
oleh Freud adalah untuk membawa materi
bawah sadar yang ditekan menuju kepada
kesadaran.
Teori katarsis juga dikemukakan oleh Scheff
(Greenberg, dkk, 1996) yang memberikan
pandangan alternatif pada proses-proses yang
dapat memberikan keuntungan pada
kesehatan melalui penyingkapan emosional.
Menurut Scheff, penyingkapan secara verbal
tidak terlalu penting dan tidak cukup untuk
terapi, sedangkan pelepasan emosional
merupakan hal yang penting dan mencukupi
dalam terapi. Scheff mengusulkan bahwa
penyembuhan dengan pelepasan emosional
meliputi “jarak optimum” dari penekanan
emosi yang kemudian diekspresikan. Pada
suatu keadaan jarak optimum, partisipan
dapat secara jelas mengalami emosi namun
dalam suatu konteks “saat sekarang yang
aman”. Mereka dapat mengakhiri episode
emosional sebelum menjadi berlebihan. Oleh
karena itu penyembuhan katarsis tidaklah
sesederhana pembenaman ke dalam tekanan
emosional, akan tetapi meliputi persepsi
untuk dapat mengontrol dan menguasai
perasaan-perasaan menekan saat ini.
Beck (1985) mengemukakan bahwa hal yang
bermanfaat untuk memberikan pasien depresi
pada suatu diskusi situasi tentang kehidupan
dan relasi yang mengganggu baginya. Ada
kalanya, pasien terbantu dengan membuat ia
mampu untuk mengekspresikan masalah-
masalah dan perasaan-perasaannya pada
orang yang membebaskan dan mengerti
dirinya. Beberapa pasien terhambat dalam
mendiskusikan kesulitan mereka dengan
keluarga atau teman dekat, karena ketakutan
bahwa akan dicela karena keluhan-keluhan
yang disampaikan atau karena mereka
mengantisipasi rasa malu pada pengakuan
bahwa mereka memiliki masalah emosional.
Mereka cenderung untuk menyamakan
masalah emosional dengan kelemahan dan
karakter yang cacat.
Beberapa pasien depresi mengalami kelegaan
yang sangat setelah membeberkan perasaan
dan keprihatinan mereka pada terapis.
Pelepasan emosi dihasilkan dengan menangis
kadangkala menghasilkan suatu peringanan
simtom-simtom penting. Pasien depresi parah,
bagaimanapun, dapat bereaksi merugikan
pada pembeberan emosi. Setelah suatu diskusi
pada permasalahan mereka, mereka dapat
tidak hanya merasa lebih meluap-luap
emosinya dan tidak berdaya, tetapi mungkin,
sebagai tambahan, merasa malu atas
penyingkapan diri mereka sendiri (Beck,
1985).
Pada saat ini, terapi psikoanalisa telah
berkembang dalam berbagai bentuk terapi
Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 25
Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa
dimana aspek utama tritmen berisi self-
expression, pelepasan emosi, mengatasi
hambatan, dan mengeluarkan pikiran dalam
kata-kata dan tingkah laku fantasi atau
impuls-impuls sebelumnya disembunyikan.
Kebanyakan bentuk tritmen menampilkan
prinsip katarsis emosional yang Freud
kembangkan pada studi awalnya mengenai
histeria. Pada masa itu, Freud berpikir bahwa
pelepasan emosi yang tertahan dapat menjadi
suatu efek terapeutik yang menguntungkan
(Corsini & Wedding, 1989).
Ekspresif emosional merupakan ekspresi
natural dari emosi yang sebenarnya (Berry &
Pennebaker dalam Graf, 2004). Sedangkan
penyingkapan emosi merupakan proses yang
melibatkan perasaan alamiah atau emosi yang
sebenarnya dan mengubahnya menjadi bahasa
oral atau tertulis (Smyth & Pennebaker, dalam
Graf, 2004). Smyth dan Pennebaker
mengatakan proses ini dipercaya untuk
mengintegrasi proses kognitif dan emosional,
penyingkapan emosional memberikan
kesempatan untuk meningkatkan insight, self-
reflection, dan organisasi perspektif seseorang
terhadap masalah daripada hanya sekedar
mengeluarkan emosi.
Penelitian-penelitian saat ini mengusulkan
bahwa keuntungan ekspresi emosi tidak
dibatasi pada ekspresi emosi yang vokal,
kesehatan fisik dan psikologis dapat diperoleh
melalui penulisan ekspresif tentang
pengalaman hidup yang signifikan (Graf,
2004). Penelitian yang dilakukan Graf (2004)
menunjukkan hasil bahwa klien pada
kelompok written emotional disclosure
memperlihatkan penurunan yang signifikan
pada simtom-simtom kecemasan dan depresi;
sebaik peningkatan fungsi kehidupan dan
kepuasan yang lebih baik dengan tritmen
ketika dibandingkan dengan kelompok
kontrol.
Menulis merupakan suatu bentuk ekspresi
katarsis dan self-help yang telah dipraktekkan
selama bertahun-tahun (Riordan, 1996).
Menurut Riordan, Benjamin Rush yang
seorang dokter memberikan instruksi kepada
pasiennya untuk menulis simtom yang mereka
alami dan menemukan bahwa proses menulis
dapat menurunkan tegangan pada pasiennya
dan memberikan informasi yang lebih banyak
tentang masalah mereka.
Adanya penyingkapan emosi yang dialami
pada menulis pengalaman emosional
dianggap sebagai faktor yang menghasilkan
efek teraupetik. Sebaliknya, menulis hal-hal
yang tidak sampai melibatkan unsur emosi di
dalamnya, seperti membuat deskripsi
mengenai kegiatan sehari-hari atau deskripsi
suatu tempat misalnya, tidak menghasilkan
efek yang sama.
Mekanisme proses terapeutik menulis
pengalaman emosional sebenarnya sama
dengan mekanisme terapi-terapi yang lain.
Mekanisme proses terapeutiknya berpusat
pada penyingkapan (disclosure) pengalaman-
pengalaman emosional. Pengakuan dan
penyingkapan diri merupakan proses dasar
yang muncul dalam psikoterapi, dan secara
alamiah muncul dalam interaksi sosial yang
dianggap membawa manfaat secara
psikologis dan bahkan mungkin secara fisik
(Pennebaker,1997). Lebih lanjut Pennebaker
(1997) menyatakan bahwa hampir dapat
dipastikan psikoterapi membutuhkan dalam
derajat tertentu penyingkapan diri. Apakah
terapi tersebut adalah bersifat direktif atu
evokatif, orientasi insight atau behavioral,
pasien dan terapis harus bekerja bersama
untuk mendapatkan suatu cerita yang koheren
yang menjelaskan masalah dan secara
langsung maupun tidak untuk menghasilkan
suatu penyembuhan. Penyingkapan masalah
pribadi mungkin memiliki nilai terupetik yang
menakjubkan dalam dan pada dirinya sendiri.
METODE
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian
kuantitatif, dimana data yang diperoleh dalam
26 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
penelitian kuantitatif berupa angka, yang akan
dianalisa secara statistik (Seniati dkk, 2005).
Jenis penelitian yang diambil adalah
penelitian eksperimental yang akan meneliti
hubungan sebab-akibat dan bukan hanya
melihat hubungan antar variabel. Menurut
Solso dan MacLin (dalam Seniati dkk, 2005),
penelitian eksperimental merupakan
penyelidikan di mana minimal salah satu
variabel dimanipulasi untuk mempelajari
hubungan sebab-akibat.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Depresi Ringan sebagai variabel
tergantung, dan Katarsis dalam Menulis
Ekspresif sebagai variabel bebas. Depresi
Ringan merupakan gangguan afektif atau
suasana hati yang meliputi komponen afektif,
kognitif, fisiologis, dan perilaku, yang berada
pada tingkat ringan. Katarsis dalam Menulis
Ekspresif adalah proses penyingkapan emosi
yang alamiah dan sebenarnya dengan
mengubahnya menjadi bahasa tertulis melalui
pelepasan dan mengalami kembali
pengalaman emosional yang menyakitkan
yang selama ini ditekan.
Desain penelitian yang digunakan adalah
Pretest-Posttest One Group Design. Pada
desain ini, di awal penelitian, dilakukan
pengukuran terhadap variabel terikat yang
telah dimiliki subyek. Setelah diberikan
manipulasi, dilakukan pengukuran kembali
terhadap variabel terikat tersebut dengan alat
ukur yang sama (Seniati dkk, 2005). Hal ini
dapat digambarkan dalam bagan 1.
Pengukuran (O1) Manipulasi (X) Pengukuran (O2)
Bagan 1. Desain Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan
mengukur depresi pada awal penelitian
kemudian diukur lagi dengan alat ukur yang
sama setelah subjek penelitian memperoleh
intervensi berupa menulis ekspresif yang
menggunakan prinsip katarsis. Efektivitas
atau pengaruh dari intervensi tersebut sebagai
variabel bebas terhadap depresi sebagai
variabel terikat dilihat dari perbedaan antara
pretest (O1) dengan postest (O2). Untuk lebih
meyakinkan dalam kesimpulan, dapat
digunakan analisis statistik dengan correlated
data t-test / paired-sample t-test (Seniati dkk,
2005). Bila ada perbedaan antara skor pretest
dan skor posttest dimana skor posttest lebih
tinggi secara signifikan, maka dapat
disimpulkan bahwa intervensi berupa katarsis
dalam menulis ekspresif dapat menurunkan
simtom depresi ringan.
Desain seperti ini juga dikenal sebagai Within
Participants/Cross-Over Design (Carter &
Marks dalam Marks & Yardley, 2004) dimana
beberapa orang yang sama diukur lebih dari
satu kali dan dicatat perbedaan antara
pengukuran pada waktu-waktu yang berbeda,
yaitu pengukuran sebelum intervensi (Pre-
tritmen) dan pengukuran setelah intervensi
(Post-tritmen). Hanya saja kelemahan dalam
desain adalah tidak memperhatikan efek
perbedaan individual.
Partisipan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas
Psikologi Universitas Semarang yang
mengalami depresi ringan. Karena itu,
partisipan sebelumnya akan di-screening
terlebih dahulu untuk melihat tingkat
depresinya.
Metode pengumpulan data depresi
menggunakan skala pengukuran depresi yaitu
Beck Depression Inventory (BDI). Masing-
masing kategori menggambarkan manifestasi
depresi dan terdiri dari 4 pertanyaan yang
disusun berjenjang, merefleksikan beratnya
Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 27
Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa
simton dari netral sampai terberat dengan
nilai 0-3. Semakin tinggi skor yang diperoleh
oleh subyek penelitian menunjukkan semakin
tinggi depresi, begitu sebaliknya. Dalam
memilih setiap pernyataan, partisipan boleh
memilih lebih dari satu dan skor yang
diperoleh subjek adalah skor tertinggi yang
dipilih oleh subjek tersebut. Nilai total yang
diperoleh subjek bergerak dari 0-63.
Kategorisasi dari nilai BDI terlihat dalam
tabel1.
Tabel 1. Kategorisasi Total Nilai BDI
Total Nilai Tingkat Depresi
1-10 Normal
11-16 Gangguan depresi ringan
17-20 Depresi sudah mengarah ke klinis
21-30 Depresi sedang
31-40 Depresi berat
Di atas 40 Depresi ekstrim
Analisa data dilakukan dengan menggunakan
program komputer SPSS (Statistical Product
and Service Solutions), analisis statistik
correlated data t-test / paired-sample t-test.
Uji t pada satu populasi akan menguji apakah
rata-rata populasi sama dengan suatu harga
tertentu, dan uji t paired (uji t berpasangan)
justru mengharuskan dua sampel
berhubungan (Santoso, 2000). Karena itu
dalam penelitian ini akan digunakan uji t
paired untuk melihat apakah intervensi dapat
efektif, yaitu digunakan data sebelum dan
sesudah intervensi.
Ciri utama dari uji t adalah jumlah sampel
relatif kecil, di bawah 30. Sedangkan
asumsinya adalah t hitung bisa ditentukan
dengan dua kemungkinan, yaitu varians kedua
populasi yang diuji sama maupun berbeda.
Selain itu, sampel yang diambil berdistribusi
normal atau mendekati normal atau bisa
dianggap normal.
Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam
beberapa ketentuan sebagai berikut:
1. Diawali dengan menentukan partisipan,
yaitu mahasiswa yang mengalami depresi
ringan. Terkait dengan hal tersebut maka
sebelumnya dilakukan screening untuk
menentukan partisipan. Subjek penelitian
adalah mahasiswa Fakultas Psikologi USM
kelas reguler pagi. Setelah partisipan
ditentukan, dilakukan kesepakatan
persetujuan partisipan untuk mengikuti
intervensi dengan jaminan kerahasiaan.
Dari 84 skala yang terisi, diperoleh 47
mahasiswa yang dapat menjadi partisipan
penelitian. Partisipan yang memenuhi
undangan pra-intervensi sejumah 31 orang
dan hanya 23 partisipan yang dapat
mengikuti pelaksanaan ekpresimen secara
lengkap sampai dengan selesai.
2. Intervensi dilakukan selama dua minggu.
Sebelum intervensi dilakukan pengukuran
depresi sebagai baseline, dan kemudian
dilakukan pengukuran yang kedua yang
dilakukan setelah intervensi dilakukan.
Kedua data ini yang kemudian akan
dianalisa untuk memberikan kesimpulan
pada hipotetis yang telah diajukan.
3. Partisipan akan diberikan instruksi tertulis
di dalam amplop dimana di dalam instruksi
juga dijelaskan mengenai jumlah waktu
partisipan membuat tulisan ekspresif (20
menit). Berikut instruksi yang diberikan:
“Selama setiap minggu sesi terapi, kami
meminta Anda untuk menuliskan tentang
pengalaman-pengalaman sepanjang
kehidupan Anda yang paling menyusahkan
dan menjengkelkan selama 20 menit. Anda
28 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
dapat menulis topik yang berbeda ataupun
sama pada setiap minggu untuk dua
minggu. Usahakan menuliskan satu topik
dalam satu tulisan. Tulisan tersebut dapat
berupa pengalaman dari masa kecil atau
sesuatu yang terjadi baru-baru ini yang
mengganggu perasaan Anda. Hal yang
penting adalah Anda menuliskan tentang
piliran-pikiran dan perasaan-perasaan
terdalam tentang masalah emosional Anda.
Anda dapat atau tidak ingin mendiskusikan
tulisan Anda atau tema tulisan Anda
dengan terapis Anda. Ini adalah pilihan
Anda. Tulisan Anda akan dijaga
kerahasiaannya secara utuh. Jangan
khawatir tentang tata bahasa dan tata tulis.”
4. Partisipan dianjurkan mencari tempat
untuk menulis yang membebaskan
pengungkapan emosinya dan tidak
mengganggu proses menulisnya, seperti
bebas dari cahaya, suara dan bau yang
mengganggu.
5. Setiap minggu dalam dua minggu sesi
terapi akan dilakukan sesi umpan balik
dengan memperhatikan skema proses
mengatasi depresi yang sudah dipaparkan
sebelumnya. Sesi ini digunakan untuk
mengukur kepuasan partisipan dengan sesi
terapi, dan tingkat dimana mereka merasa
bahwa mereka mempelajari kecakapan
sesuai dengan tujuan terapi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Karakteristik subjek penelitian
Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas
Psikologi USM kelas reguler pagi.
Penyebaran skala BDI yang telah dilakukan
pada setiap angkatan menghasilkan 84 skala
yang terisi. Dengan perincian jumlah subjek
seperti yang terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Subjek Penelitian
No. Angkatan Jumlah Prosentase
1. Angkatan 2008 36 42,86 %
2. Angkatan 2007 25 29,76%
3. Angkatan 2006 15 17,86%
4. Angkatan 2005 4 4,76%
5. Angkatan 2004 3 3,57%
6. Angkatan 2002 1 1,19%
Total 84 100%
Melalui hasil screening tersebut, dilakukan
penentuan partisipan berdasarkan total nilai
BDI yang diperoleh oleh subjek di atas
berdasarkan kategori yang diberikan oleh
Beck, menghasilkan jumlah partisipan yang
dapat diambil dalam penelitian ini seperti
yang tercantum pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil BDI Subjek Penelitian
Total
Nilai
Tingkat Depresi Tingkat Depresi Prosentase
1 – 10 Normal 37 44,05%
11 – 16 Gangguan depresi ringan 22 26,19
17 – 20 Depresi sudah mengarah ke klinis 17 20,24
21 – 30 Depresi sedang 7 8,33
31 – 40 Depresi berat 1 1,19
Di atas 40 Depresi ekstrim 0 0
Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 29
Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa
Dari hasil tersebut ditentukan jumlah
partisipan sebanyak 47 orang, yaitu
mahasiswa yang memiliki total nilai 11 ke
atas. Setelah partisipan ditentukan, dilakukan
kesepakatan persetujuan partisipan untuk
mengikuti intervensi dengan jaminan
kerahasiaan. Jumlah partisipan penelitian
yang mengikuti secara lengkap sampai
dengan selesai adalah 23 orang.
Hasil analisa data
Melalui analisis statistik correlated data t-
test/paired-sample t-test diperoleh hasil t
hitung = 6,384 dan taraf signifikansi = 0,000.
Hal ini menunjukkan hipotesis penelitian
diterima, berarti katarsis dalam menulis
ekspresif memiliki pengaruh yang sangat
signifikan terhadap depresi ringan pada
mahasiswa. Hasil analisis tersebut didukung
pula dengan data rata-rata pre-test dan post-
test yang menunjukkan terjadi penurunan
tingkat depresi, yaitu yang semula 16,87
menjadi 7,53.
Ada sebagian partisipan yang tidak
menggunakan media diskusi untuk membahas
secara verbal mengenai pokok tulisan mereka,
yaitu 7 orang dari 23 partisipan. Dengan
demikian, perlu pula dilihat apakah ada
perbedaan antara kelompok partisipan yang
mengikuti diskusi dan yang tidak mengikuti
diskusi. Adapun hasil dari rata-rata selisih
nilai BDI dua kelompok tersebut ternyata
menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda,
yaitu rata-rata kelompok non-diskusi sebesar
9,1429 dan rata-rata kelompok diskusi
9,6875.
Hasil evaluasi eksperimen
Dari evaluasi yang diberikan kepada
partisipan setelah melakukan eksperimen
selama dua minggu menunjukkan
sebagaimana yang ditampilkan pada tabel 4.
Tabel 4. Prosentase Hasil Evaluasi Eksperimen
No. Pernyataan Prosentase terbesar
Tingkat %
1. Seberapa pribadi tulisan Sangat pribadi 43,48%
2. Sebelum eksperimen, sebarapa banyak bercerita pada
orang lain
Hampir tidak
sama sekali
39,13%
3. Seberapa banyak melepaskan emosi Sangat banyak 30,43%
4. Seberapa banyak menahan diri bercerita Agak banyak 21,74%
Banyak 21,74%
5. Sebelum eksperimen, seberapa banyak keinginan
berbicara dengan orang lain
Hampir tidak
sama sekali
21,74%
6. Seberapa sulit menulis sesuatu sebelum eksperimen Sedang 21,74%
7. Seberapa sedih perasaan sebelum eksperimen Sedang 26,09%
Sedih sekali 26,09%
8. Seberapa bahagia perasaan sebelum eksperimen Sedang 26,09%
9. Seberapa jauh memikirkan perasaan tersebut sebelum
eksperimen
Sangat banyak
34,78%
10. Seberapa jauh berpikir tentang topik tulisan selama
eksperimen
Banyak 34,78%
11. Seberapa penting tulisan Sangat penting 47,83%
12. Seberapa jauh kegunaan dan makna eksperimen Sangat
bermakna/berguna
52,17%
13. Seberapa jauh tulisan membantu menyingkap hal yang
menguasai pikiran
Sangat banyak 39,13%
30
Pembahasan
Hasil screening yang dilakukan pada
mahasiswa reguler pagi Fakultas Psikologi
USM ditemukan bahwa dari 84 mahasiswa
yang terjaring sebagai subjek penelitian, 47
(55,95%) diantaranya mengalami depresi. Hal
ini menunjukkan prevalensi yang cukup
mengkhawatirkan, karena lebih dari separuh
dari subjek penelitian mengalami gangguan
terutama dalam mood, yang tentunya akan
mempengaruhi bukan hanya akademik tetapi
juga pribadi mahasiswa yang bersangkutan
secara keseluruhan. Bahkan ada satu orang
mahasiswa yang sudah mengalami depresi
dalam tingkat yang berat. Hasil ini juga
mendukung pernyataan Michael dan kawan-
kawan (2006) yang menyatakan bahwa
perasaan depresi memang merupakan
pengalaman yang cukup umum di kalangan
mahasiswa. Bila tidak dapat diantisipasi sejak
dini akan menimbulkan masalah yang
semakin berat di kemudian hari.
Hasil analisis telah menunjukkan bahwa
terapi menulis ekspresif sebagai media
katarsis memiliki pengaruh meringankan
terhadap depresi ringan. Efek terapeutik
menulis dapat digambarkan oleh banyak dasar
teori. Salah satunya adalah teori inhibisi
psikosomatis, yang menjelaskan bahwa
represi pikiran, perasaan, atau perilaku
seseorang, khususnya pada hal-hal yang
traumatis atau menyusahkan, merupakan
suatu bentuk kerja fisiologis dan psikologis
(Riordan, 1996). Menyebut secara verbal atau
menggambarkan suatu trauma melalui tulisan
memberikan seorang individu melakukan
proses kognitif mengenai peristiwa tersebut
dan memperoleh suatu kontrol, kemudian
mengurangi inhibisi. Tepatnya, menulis
mengurangi perenungan obsesif internal dan
melanjutkan emosi negatif yang dapat
memperburuk kesehatan dan masalah
psikologis.
Graf (2004) menyatakan dalam penelitiannya
bahwa dalam teori inhibisi memberikan
penjelasan bahwa seseorang memperoleh
keuntungan baik fisik dan psikologis setelah
mengungkapkan suatu rahasia. Ekspresi
emosi dapat meningkatkan kemampuan
mengatasi persitiwa kehidupan yang
menekan, termasuk gagasan bahwa ekspresi
emosi meningkatkan insight dan self-
understanding, resolusi kognitif, dan melihat
pengalaman masa lalu dengan cara yang
berbeda. Pengalaman menceritakan kisah
hidup emosional, termasuk lewat tulisan,
memberikan kesempatan kepada individu
untuk mengatur dan membuat masuk akal
pengalaman-pengalaman mereka.
Partisipan penelitian yang telah mengikuti
terapi menulis ekspresif telah menunjukkan
terjadinya pelepasan emosi seperti apa yang
telah diungkapkan oleh Pennebaker dan Beall
(dalam Baikie & Wilhelm, 2005), bahwa
proses katarsis yang diperoleh ketika menulis
ekspresif pengalaman-pengalaman emosional
pada seseorang yang mengalami gangguan
depresi akan dapat memberikan keuntungan
bagi dirinya untuk menurunkan simtom-
simtom yang mengganggu dan meningkatkan
kesejahteraan psikologis maupun fisik.
Partisipan menjadi terbantu dengan membuat
ia mampu untuk mengekspresikan masalah-
masalah dan perasaan-perasaannya pada
orang yang membebaskan dan mengerti
dirinya sehingga kelegaan yang sangat setelah
membeberkan perasaan dan keprihatinan
mereka pada terapis. Adanya penyingkapan
emosi yang dialami pada menulis pengalaman
emosional inilah yang dianggap oleh Riordan
(1996) sebagai faktor yang menghasilkan efek
teraupetik.
Berdasarkan hasil dari perbandingan rata-rata
selisih nilai BDI pada kelompok partisipan
yang mengikuti sesi diskusi dan yang tidak
ternyata menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara dua
kelompok tersebut terhadap penurunan
tingkat depresi. Hal ini menunjukkan bahwa
terapi menulis ekspresif sebagai katarsis
memang memiliki pengaruh yang sangat
Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 31
Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa
signifikan terhadap penurunan tingkat depresi
ringan pada mahasiswa, walaupun tidak
menggunakan pelepasan emosional secara
verbal lewat sesi diskusi. Hasil ini semakin
menguatkan aplikasi menulis ekspresif
sebagai media terapi dalam penurunan tingkat
depresi ringan.
Hasil evaluasi eksperimen juga menunjukkan
data yang mendukung hasil penelitian bahwa
menulis ekspresif memberikan pengaruh yang
signifikan dalam menurunkan depresi ringan
pada mahasiswa. Hal ini tampak sekali dalam
pernyataan mengenai manfaat atau kegunaan
eksperimen pada partisipan yang memiliki
prosentase terbesar dalam evaluasi tersebut,
yaitu 52,17%. Sedangkan dari hasil evaluasi
eksperimen secara kuantitatif dan kualitatif
dapat disimpulkan bahwa permasalahan
emosional yang selama ini banyak mereka
pikirkan dan mengganggu perasaan dapat
dikeluarkan dalam proses eksperimen,
sehingga perasaan mereka setelah selesai
menulis menjadi lebih baik serta memberikan
pemahaman yang lebih dalam tentang diri
mereka sendiri dan yakin dapat mengambil
keputusan dalam menyelesaikan masalah
yang mereka hadapi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa terdapat pengaruh katarsis yang sangat
signifikan dalam menulis ekspresif terhadap
depresi ringan pada mahasiswa. Hal ini
menunjukkan bahwa pada mahasiswa yang
mengalami depresi ringan, melalui terapi
menulis ekspresif pengalaman-pengalaman
emosional sebagai katarsis atau pelepasan
emosi dapat menurunkan tingkat depresi
ringan mereka.
Saran
Untuk penelitian selanjutnya diharapkan
dapat memperhatikan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya depresi pada
mahasiswa. Penemuan dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa peran keluarga dan
teman menjadi faktor yang menentukan
terjadinya gangguan mood pada partisipan
penelitian. Diharapkan dengan penelitian-
penelitian lanjutan, terutama mengkaji faktor-
faktor lain yang berpengaruh terhadap depresi
dapat menambah khasanah wawasan
mengenai depresi pada mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Allgower, A., Wardle, J. & Steptoe, A. (2001)
Depressive symtoms, social support,
and personal health behaviors in
young men and women. Health
Psychology. 20. 3. 223 – 227.
Atkinson, R.I. (1991). Pengantar Psikologi
(alih bahasa : Nurjanah). Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Baikie, K.A. & Wilhelm, K. (2005).
Emotional and Physical Health
Benefits of Expressive Writing.
Advances in Psychiatric Treatment.
11. 338-346.
Beck, A.T. (1985). Depression: Causes and
Treatment. Philadeplhia: University of
Pennsylvania Press.
Carter, D.C. & Marks, D.F. (2004)
Intervention Studies: Design and
Analysis dalam Marks, D.F., Yardley,
L. 2004. Research Methods for
Clinical and Health Psychology.
London: SAGE Publications.
Corsini, R.J. & Wedding, D. (1989). Current
Psychotherapy. Fourth Edition.
Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc.
Davison, G.C. & Neale, J.M. (2001).
Abnormal Psychology. Eight Edition.
New York: John Wiley & Sons, Inc.
32 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
Geisner, I.M. (2006). Alternative Brief
Interventions for Mild Depression.
Psychiatrictimes. October 01, 2006
Vol. 23 No. 11.
http://www.psychiatrictimes.com
Graf, M.C. (2004). Written Emotional
Disclosure: What are the Benefits of
Expressive Writing in Psychotherapy?.
Thesis. Drexel University.
Greenberg, M.A., Wortman, C.B. & Stone,
A.A. (1996). Emotional expression
and physical health: Revising
traumatic memories or fostering self
regulatin? Journal of Personality and
Social Psychology. Vol 71, 588 – 602.
Halgin, R.P. & Whitbourne, S.K. (1994).
Abormal Psychology. The Human
Experience of Psychological
Disorders. Orlando: Harcourt Brace &
Company.
Michael, K.D., Huelsman, T.J., Gerard, C.,
Gilligan, T. M. & Gustafson, M.R.
(2006). Depression Among College
Students: Trends in Prevalence and
Treatment Seeking. Counseling and
Clinical Psychology Journal. 3. 2. 60-
70.
Paez, D., Velasco, C. & Gonzalez, J.L.
(1999). Expressive writing and the
role of alexythimia as a dispositional
deficit in self-disclosure and
psychological health. Journal of
Personality and Social Psychology.
77.3. 630-641.
Pennebaker, J.W. (1997). Opening Up: The
Healing Power of Expressing
Emotion. New York: Guilford Press.
Riordan, R.J. (1996). Scriptotherapy:
Therapeutic writing as a counseling
adjunct. Journal of Counseling and
Development. 74. 3. 263 – 269.
Santoso, S. (2000). Buku Latihan SPSS
Statistik Parametrik. Jakarta: Penerbit
PT. Elex Media Komputindo.
Seniati, L., Yulianto, A. & Setiadi, B.N.
(2005). Psikologi Eksperimen. Jakarta:
PT. Indeks.
REVIEW JURNAL
Nama Jurnal:
Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
1. Judul Penelitian :
PENGARUH KATARSIS DALAM MENULIS EKSPRESIF SEBAGAI
INTERVENSI DEPRESI RINGAN PADA MAHASISWA
2. Nama Peneliti :
Novi Qonitatin, Sri Widyawati, Gusti Yuli Asih
3. Abstrak :
Depresi ringan banyak dialami oleh orang dewasa muda, terutama dalam
hal ini adalah mahasiswa dimana mereka memiliki tuntutan peran dan tugas
yang tidak mudah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh katarsis
dalam menulis ekspresif sebagai intervensi depresi ringan pada mahasiswa.
Sebagai partisipan penelitian adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
Semarang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah BDI (Beck
Depression Inventory) untuk melihat tingkat depresi pada partisipan penelitian.
Efektivitas atau pengaruh dari intervensi menulis ekspresif sebagai variabel
bebas terhadap depresi sebagai variabel terikat dilihat dari perbedaan antara
pretest (O1) dengan postest (O2). Analisis statistik yang digunakan adalah
correlated data t-test / paired-sample t-test. Hasil penelitian menunjukkan 84
mahasiswa yang terjaring sebagai subjek penelitian, 47 orang (55,95%)
diantaranya mengalami depresi, dimana sebagian besar berada pada taraf
depresi ringan. Hasil analisis statistik memperoleh hasil t hitung = 6,384 dan
taraf signifikansi = 0,000. Berdasarkan hasil analisis data tersebut menunjukkan
hipotesis penelitian diterima, berarti katarsis dalam menulis ekspresif memiliki
pengaruh yang sangat signifikan terhadap depresi ringan pada mahasiswa.
4. Pendahuluan/latar belakang masalah :
Depresi telah lama dikenali sebagai suatu perhatian utama bagi pemberi
layanan kesehatan (Geisner, 2006). Seperti yang dikemukakan Atkinson
(1991), depresi merupakan respon normal terhadap berbagai stres kehidupan.
Depresi dianggap abnormal bila di luar kewajaran dan berlanjut terus sampai
saat-saat dimana kebanyakan orang sudah dapat pulih kembali. Dalam kondisi
dan lingkungan yang semakin penuh dengan peristiwa yang memberikan stres,
mudah sekali orang untuk mengalami gangguan depresi.
Depresi dan berkurangnya kesejahteraan psikologis merupakan
permasalahan kesehatan yang utama pada orang muda (Allgower dkk, 2001).
Ditambahkan oleh Michael dkk (2006), menyatakan bahwa perasaan depresi
merupakan pengalaman yang cukup umum di kalangan mahasiswa. Mereka
menemukan bahwa terdapat proporsi yang substansif yang dilaporkan memiliki
simpomsimptom depresi yang signifikan. Mengutip hasil penelitian Beck dan
Young, dikatakan tiga perempat dari seluruh mahasiswa merasa depresi selama
beberapa waktu pada masa sekolah. Hal ini dapat terjadi mengingat banyaknya
masalah yang menghadang keberhasilan mahasiswa dalam menyelesaikan
studinya dan terbukanya peluang bagi mahasiswa untuk mengalami simtom-
simtom depresi karena berbagai masalah yang mungkin timbul. Seperti adaptasi
terhadap situasi dan kondisi kampus, tugas yang menumpuk, tuntutan akan nilai
yang bagus, dan lain sebagainya. Bahkan menurut Reifman dan Dunkel-
Schetter (dalam Allgower dkk, 2001), simtom depresi dan kecemasan menjadi
perhatian khusus pada mahasiswa dan dihubungkan dengan performansi
akademik yang rendah dan partisipasi rendah dalam aktivitas kampus.
Mengutip pandangan Beck bahwa depresi merupakan suatu kontinum,
Geisner (2006) menyatakan bahwa tritmen diperlukan dalam semua tingkatan.
Khususnya, simtom ringan depresi kurang ditanggapi untuk ditangani,
kemudian akan menjadi resiko bagi perkembangan episode depresi mayor dan
mengalami konsekuensi lain akibat dari suasana hati yang depresif. Individu
dengan riwayat depresi yang rendah atau yang memiliki depresi ringan dapat
dibantu dengan suatu pendekatan peningkatan motivasi. Sebagai alternatif,
dengan biaya rendah, terapi menulis merupakan suatu cara dalam menurunkan
depresi, terutama pada mahasiswa (Geisner, 2006). Aktivitas menulis membuat
seseorang berpikir tentang peristiwa yang ia alami dan proses emosional serta
elemen objektif pada peristiwa tersebut, yang akan meredakan renungan
peristiwa tersebut.
Bukti empiris telah mendukung gagasan bahwa ekspresi emosional
meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengatasi peristiwa-peristiwa
kehidupan yang menekan. Pada masa yang lalu, penelitian ekspresi emosional
difokuskan pada ekspresi verbal pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan,
sebagaimana yang ditemukan pada kebanyakan teori-teori psikoterapi
tradisional. Bagaimanapun, saat ini, penelitian yang menyelidiki ekspresi
tertulis pada pengalaman hidup yang traumatis telah memperlihatkan
memberikan keuntungan kesehatan baik secara psikologis maupun fisik (Graf,
2004).
Pennebaker (1997) menyatakan bahwa menulis pengalaman emosional atau
menulis peristiwa yang penuh tekanan (stressful events) telah menjadi kajian
yang menarik pada beberapa tahun belakangan ini. Beberapa penelitian
laboratorium telah mempelajari kegunaan menulis atau berbicara mengenai
pengalaman emosional. Menghadapi atau berkonfrontasi dengan isu-isu pribadi
secara mendalam telah mendapat penemuan akan menghasilkan kesehatan fisik,
kesejahteraan subjektif dan tingkah laku adaptif tertentu.
Paez dkk (1999) mencatat bahwa menghadapi atau berkonfrontasi dengan
peristiwa-peristiwa penuh tekanan dan traumatis yang dilakukan dalam
prosedur menulis dilaporkan menghasilkan tingkat yang lebih tinggi dalam
kesehatan fisik (misalnya, lebih sedikit mengunjungi fasilitas kesehatan), fungsi
fisiologis yang lebih tinggi (misal, reaksi kekebalan tubuh yang lebih baik) dan
kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi (misal, afek negatif yang lebih
rendah dan afek positif yang lebih tinggi). Kesimpulan tersebut juga dapat
dilihat pada Pennebaker (1997) yang juga menyebutkan bahwa akibat menulis
mengenai topik tertentu, ternyata berhubungan dengan perbaikan peringkat
mahasiswa pada bulan setelah penelitian dilakukan dan mendapatkan pekerjaan
baru yang lebih cepat pada tingkat senior.
Secara jelas Pennebaker dan Beall (dalam Baikie & Wilhelm, 2005)
menyatakan bahwa menulis tentang pengalaman traumatis berhubungan dengan
peningkatan efek psikologis yang positif dan dalam jangka panjang
menurunkan masalah-masalah kesehatan. Karena itu, proses katarsis yang
diperoleh ketika menulis ekspresif pengalaman-pengalaman emosional pada
seseorang yang mengalami gangguan depresi akan dapat memberikan
keuntungan bagi dirinya untuk menurunkan simtom-simtom yang mengganggu
dan meningkatkan kesejahteraan psikologis maupun fisik. Keuntungan ini
terutama dapat diperoleh bagi mereka yang memiliki gangguan depresi dalam
tingkat yang ringan.
5. Teori/definisi dari variable yang terlibat :
Depresi
Depresi merupakan respon normal terhadap berbagai stress
kehidupan. Depresi dianggap abnormal bila di luar kewajaran dan berlanjut
terus sampai saat-saat dimana kebanyakan orang sudah dapat pulih kembali
(Atkinson, 1991). Ciri-cirinya antara lain tidak ada harapan, patah hati,
mengalami ketidakberdayaan berlebihan, selalu memikirkan kekurangan
diri dan rasa tidak berarti.
Menurut Beck (1985), depresi merupakan suatu “primary mood
disorder” atau sebagai suatu “affective disorder”. Kemudian Beck
memandang depresi dalam komponen-komponen sebagai berikut:
a. Depresi merupakan kesedihan yang berkepanjangan dan keadaan jiwa
yang apatis (komponen afektif)
b. Depresi merupakan cara berpikir yang salah dalam memandang realitas
di luar dan di dalam diri sendiri, sehingga terbentuk konsep diri yang
negatif yang berlanjut pada perasaan rendah diri (komponen kognitif)
c. Depresi merupakan gangguan terhadap fungsi fisiologis yang antara lain
menyebabkan sukar tidur dan hilangnya nafsu makan serta seksual
(komponen fisiologis)
d. Depresi merupakan hilangnya kemampuan untuk berfungsinya secara
wajar serta hilangnya dorongan dan energi untuk bertindak (komponen
perilaku)
Simtom depresi
Beck (1985) mengungkapkan bahwa simptom depresi tidak hanya
berupa gangguan afek saja, tetapi dapat muncul dalam bentuk sebagai
berikut:
a. Perubahan suasana hati yang spesifik, seperti kesedihan, merasa sendiri
dan apatis.
b. Konsep diri yang negatif diikuti dengan menyalahkan diri dan mencela
diri sendiri.
c. Keinginan regresif dan menghukum diri sendiri, keinginan untuk
menghindar, bersembunyi dan keinginan untuk mati.
d. Perubahan-perubahan vegetatif seperti anoreksi, insomnia dan
kehilangan nafsu makan.
e. Perubahan dalam tingkat aktivitas seperti retardasi dan agitasi.
Beck (1985) memandang gangguan depresi sebagai kontinuitas, jadi
lebih dipandang secara kuantitatif (ada perbedaan tingkat dan derajat
simtomnya) daripada kualitatif (ada tidaknya simtom). Perbedaan antara
orang yang menderita depresi dengan yang tidak hanya pada rentang dan
derajat ada tidaknya simtom yang muncul.
Penyebab depresi
Menurut sudut pandang psikoanalisa (Davison & Neale, 2001),
timbulnya gangguan depresi ditekankan pada konflik yang tidak disadari
dihubungkan dengan kesedihan dan kehilangan. Freud (Davison & Neale,
2001) menyatakan bahwa potensi depresi dihasilkan sejak awal masa
kanakkanak. Selama periode oral, kebutuhan seorang anak kurang
terpuaskan atau terpuaskan secara berlebihan, menyebabkan individu
menjadi fiksasi pada tahap ini dan tergantung pada pemenuhan khusus
secara instingtif. Fiksasi pada tahap oral akan mengembangkan suatu
kecenderungan untuk tergantung pada orang lain dalam mempertahankan
self-esteem.
Dalam kasus depresi, menurut Freud, penjelasan yang kompleks
didasarkan pada analisis kehilangan. Ide Freud adalah kepribadian oral akan
menjadi depresi ketika diikuti kehilangan sesuatu atau seseorang yang
dicintai. Hampir mirip dengan ide tersebut adalah depresi ditimbulkan oleh
peristiwa kehidupan yang menekan, dan hal ini seringkali terkait dengan
perasaan kehilangan.
Katarsis dalam Menulis Ekspresif
Katarsis menurut sudut pandang psikoanalisa merupakan ekspresi
dan pelepasan emosi yang ditekan. Kadangkala disinonimkan dengan
abreaksi yang didefinisikan sebagai mengalami kembali pengalaman
emosional yang menyakitkan dalam psikoterapi, biasanya melibatkan
kesadaran pada materi yang sebelumnya ditekan (Corsini & Wedding,
1989).
Dalam Studies in Hysteria (1895, 1982), yang ditulis Sigmund Freud
dengan rekannya Josef Breuer, Freud menganalisa kasus terkenal “Anna O.”
dan wanita-wanita lain yang menderita histeria (Halgin & Whitbourne,
1994). Freud dan Breuer menggambarkan bagaimana Anna O.,
disembuhkan dari simtom-simtom histeria yang banyak dan bervariasi
dengan menggunakan hipnosis. Sebagai tambahan, bagaimanapun, Anna O.
menurut Breuer, dibiarkan untuk ikut serta dalam “membersihkan cerobong
asap” yang juga disebut dengan “talking cure”. Ketika dia berbicara tentang
masalah-masalahnya, ia merasa lebih baik, dan simtom-simtomnya pun
menghilang. Freud dan Breuer menyebutnya dengan “cathartic method”,
suatu pembersihan konflik emosional di dalam diri melalui berbicara
tentangnya. Metode katarsis ini pelopor psikoterapi, tritmen perilaku
abnormal melalui teknik psikologis. Penemuan ini akhirnya membawa
Freud untuk mengembangkan psikoanalisis, suatu teori dan sistem praktis
yang bersandar pada konsep unconsciuous mind, hambatan impuls-impuls
seksual, perkembangan awal, dan penggunaan teknik “free asociation” dan
analisa mimpi. Tujuan utama tritmen psikoanalisa tradisional yang
dikembangkan oleh Freud adalah untuk membawa materi bawah sadar yang
ditekan menuju kepada kesadaran.
Teori katarsis juga dikemukakan oleh Scheff (Greenberg, dkk, 1996)
yang memberikan pandangan alternatif pada proses-proses yang dapat
memberikan keuntungan pada kesehatan melalui penyingkapan emosional.
Menurut Scheff, penyingkapan secara verbal tidak terlalu penting dan tidak
cukup untuk terapi, sedangkan pelepasan emosional merupakan hal yang
penting dan mencukupi dalam terapi. Scheff mengusulkan bahwa
penyembuhan dengan pelepasan emosional meliputi “jarak optimum” dari
penekanan emosi yang kemudian diekspresikan. Pada suatu keadaan jarak
optimum, partisipan dapat secara jelas mengalami emosi namun dalam
suatu konteks “saat sekarang yang aman”. Mereka dapat mengakhiri
episode emosional sebelum menjadi berlebihan. Oleh karena itu
penyembuhan katarsis tidaklah sesederhana pembenaman ke dalam tekanan
emosional, akan tetapi meliputi persepsi untuk dapat mengontrol dan
menguasai perasaan-perasaan menekan saat ini.
Beck (1985) mengemukakan bahwa hal yang bermanfaat untuk
memberikan pasien depresi pada suatu diskusi situasi tentang kehidupan dan
relasi yang mengganggu baginya. Ada kalanya, pasien terbantu dengan
membuat ia mampu untuk mengekspresikan masalah-masalah dan
perasaan-perasaannya pada orang yang membebaskan dan mengerti dirinya.
Beberapa pasien terhambat dalam mendiskusikan kesulitan mereka dengan
keluarga atau teman dekat, karena ketakutan bahwa akan dicela karena
keluhan-keluhan yang disampaikan atau karena mereka mengantisipasi rasa
malu pada pengakuan bahwa mereka memiliki masalah emosional. Mereka
cenderung untuk menyamakan masalah emosional dengan kelemahan dan
karakter yang cacat.
Beberapa pasien depresi mengalami kelegaan yang sangat setelah
membeberkan perasaan dan keprihatinan mereka pada terapis. Pelepasan
emosi dihasilkan dengan menangis kadangkala menghasilkan suatu
peringanan simtom-simtom penting. Pasien depresi parah, bagaimanapun,
dapat bereaksi merugikan pada pembeberan emosi. Setelah suatu diskusi
pada permasalahan mereka, mereka dapat tidak hanya merasa lebih meluap-
luap emosinya dan tidak berdaya, tetapi mungkin, sebagai tambahan,
merasa malu atas penyingkapan diri mereka sendiri (Beck, 1985).
Pada saat ini, terapi psikoanalisa telah berkembang dalam berbagai
bentuk terapi dimana aspek utama tritmen berisi selfexpression, pelepasan
emosi, mengatasi hambatan, dan mengeluarkan pikiran dalam kata-kata dan
tingkah laku fantasi atau impuls-impuls sebelumnya disembunyikan.
Kebanyakan bentuk tritmen menampilkan prinsip katarsis emosional yang
Freud kembangkan pada studi awalnya mengenai histeria. Pada masa itu,
Freud berpikir bahwa pelepasan emosi yang tertahan dapat menjadi suatu
efek terapeutik yang menguntungkan (Corsini & Wedding, 1989).
Ekspresif emosional merupakan ekspresi natural dari emosi yang
sebenarnya (Berry & Pennebaker dalam Graf, 2004). Sedangkan
penyingkapan emosi merupakan proses yang melibatkan perasaan alamiah
atau emosi yang sebenarnya dan mengubahnya menjadi bahasa oral atau
tertulis (Smyth & Pennebaker, dalam Graf, 2004). Smyth dan Pennebaker
mengatakan proses ini dipercaya untuk mengintegrasi proses kognitif dan
emosional, penyingkapan emosional memberikan kesempatan untuk
meningkatkan insight, selfreflection, dan organisasi perspektif seseorang
terhadap masalah daripada hanya sekedar mengeluarkan emosi.
Penelitian-penelitian saat ini mengusulkan bahwa keuntungan
ekspresi emosi tidak dibatasi pada ekspresi emosi yang vokal, kesehatan
fisik dan psikologis dapat diperoleh melalui penulisan ekspresif tentang
pengalaman hidup yang signifikan (Graf, 2004). Penelitian yang dilakukan
Graf (2004) menunjukkan hasil bahwa klien pada kelompok written
emotional disclosure memperlihatkan penurunan yang signifikan pada
simtom-simtom kecemasan dan depresi; sebaik peningkatan fungsi
kehidupan dan kepuasan yang lebih baik dengan tritmen ketika
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Menulis merupakan suatu bentuk ekspresi katarsis dan self-help
yang telah dipraktekkan selama bertahun-tahun (Riordan, 1996). Menurut
Riordan, Benjamin Rush yang seorang dokter memberikan instruksi kepada
pasiennya untuk menulis simtom yang mereka alami dan menemukan
bahwa proses menulis dapat menurunkan tegangan pada pasiennya dan
memberikan informasi yang lebih banyak tentang masalah mereka.
Adanya penyingkapan emosi yang dialami pada menulis
pengalaman emosional dianggap sebagai faktor yang menghasilkan efek
teraupetik. Sebaliknya, menulis hal-hal yang tidak sampai melibatkan unsur
emosi di dalamnya, seperti membuat deskripsi mengenai kegiatan sehari-
hari atau deskripsi suatu tempat misalnya, tidak menghasilkan efek yang
sama. Mekanisme proses terapeutik menulis pengalaman emosional
sebenarnya sama dengan mekanisme terapi-terapi yang lain.
Mekanisme proses terapeutiknya berpusat pada penyingkapan
(disclosure) pengalamanpengalaman emosional. Pengakuan dan
penyingkapan diri merupakan proses dasar yang muncul dalam psikoterapi,
dan secara alamiah muncul dalam interaksi sosial yang dianggap membawa
manfaat secara psikologis dan bahkan mungkin secara fisik
(Pennebaker,1997). Lebih lanjut Pennebaker (1997) menyatakan bahwa
hampir dapat dipastikan psikoterapi membutuhkan dalam derajat tertentu
penyingkapan diri. Apakah terapi tersebut adalah bersifat direktif atu
evokatif, orientasi insight atau behavioral, pasien dan terapis harus bekerja
bersama untuk mendapatkan suatu cerita yang koheren yang menjelaskan
masalah dan secara langsung maupun tidak untuk menghasilkan suatu
penyembuhan. Penyingkapan masalah pribadi mungkin memiliki nilai
terupetik yang menakjubkan dalam dan pada dirinya sendiri.
6. Hipotesis :
Katarsis dalam menulis ekspresif memiliki pengaruh yang sangat signifikan
terhadap depresi ringan pada mahasiswa.
7. Sampel/subjek penelitian :
Subjek penelitian adalah 84 mahasiswa Fakultas Psikologi USM kelas
reguler pagi. Dari 84 skala yang terisi, diperoleh 47 mahasiswa yang dapat
menjadi partisipan penelitian. Partisipan yang memenuhi undangan pra-
intervensi sejumah 31 orang dan hanya 23 partisipan yang dapat mengikuti
pelaksanaan ekpresimen secara lengkap sampai dengan selesai.
8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen :
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kuantitatif, dimana data yang diperoleh dalam penelitian kuantitatif
berupa angka, yang akan dianalisa secara statistik (Seniati dkk, 2005). Jenis
penelitian yang diambil adalah penelitian eksperimental yang akan meneliti
hubungan sebab-akibat dan bukan hanya melihat hubungan antar variabel.
Menurut Solso dan MacLin (dalam Seniati dkk, 2005), penelitian eksperimental
merupakan penyelidikan di mana minimal salah satu variabel dimanipulasi
untuk mempelajari hubungan sebab-akibat.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Depresi Ringan
sebagai variabel tergantung, dan Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai
variabel bebas. Depresi Ringan merupakan gangguan afektif atau suasana hati
yang meliputi komponen afektif, kognitif, fisiologis, dan perilaku, yang berada
pada tingkat ringan. Katarsis dalam Menulis Ekspresif adalah proses
penyingkapan emosi yang alamiah dan sebenarnya dengan mengubahnya
menjadi bahasa tertulis melalui pelepasan dan mengalami kembali pengalaman
emosional yang menyakitkan yang selama ini ditekan.
Desain penelitian yang digunakan adalah Pretest-Posttest One Group
Design. Pada desain ini, di awal penelitian, dilakukan pengukuran terhadap
variabel terikat yang telah dimiliki subyek. Setelah diberikan manipulasi,
dilakukan pengukuran kembali terhadap variabel terikat tersebut dengan alat
ukur yang sama (Seniati dkk, 2005). Hal ini dapat digambarkan dalam bagan 1.
Pengukuran (O1) ➔ Manipulasi (X) ➔ Pengukuran (O2)
Bagan 1. Desain Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan mengukur depresi pada awal
penelitian kemudian diukur lagi dengan alat ukur yang sama setelah subjek
penelitian memperoleh intervensi berupa menulis ekspresif yang menggunakan
prinsip katarsis. Efektivitas atau pengaruh dari intervensi tersebut sebagai
variabel bebas terhadap depresi sebagai variabel terikat dilihat dari perbedaan
antara pretest (O1) dengan postest (O2). Untuk lebih meyakinkan dalam
kesimpulan, dapat digunakan analisis statistik dengan correlated data t-test /
paired-sample t-test (Seniati dkk, 2005). Bila ada perbedaan antara skor pretest
dan skor posttest dimana skor posttest lebih tinggi secara signifikan, maka dapat
disimpulkan bahwa intervensi berupa katarsis dalam menulis ekspresif dapat
menurunkan simtom depresi ringan.
Desain seperti ini juga dikenal sebagai Within Participants/Cross-Over
Design (Carter & Marks dalam Marks & Yardley, 2004) dimana beberapa orang
yang sama diukur lebih dari satu kali dan dicatat perbedaan antara pengukuran
pada waktu-waktu yang berbeda, yaitu pengukuran sebelum intervensi (Pre-
tritmen) dan pengukuran setelah intervensi (Post-tritmen). Hanya saja
kelemahan dalam desain adalah tidak memperhatikan efek perbedaan
individual.
Partisipan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Semarang yang mengalami depresi ringan.
Karena itu, partisipan sebelumnya akan di-screening terlebih dahulu untuk
melihat tingkat depresinya.
9. Metode Pengambilan Data :
Metode pengumpulan data depresi menggunakan skala pengukuran depresi
yaitu Beck Depression Inventory (BDI). Masing-masing kategori
menggambarkan manifestasi depresi dan terdiri dari 4 pertanyaan yang disusun
berjenjang, merefleksikan beratnya simton dari netral sampai terberat dengan
nilai 0-3. Semakin tinggi skor yang diperoleh oleh subyek penelitian
menunjukkan semakin tinggi depresi, begitu sebaliknya. Dalam memilih setiap
pernyataan, partisipan boleh memilih lebih dari satu dan skor yang diperoleh
subjek adalah skor tertinggi yang dipilih oleh subjek tersebut. Nilai total yang
diperoleh subjek bergerak dari 0-63. Kategorisasi dari nilai BDI terlihat dalam
tabel 1.
Tabel 1. Kategorisasi Total Nilai BDI
Total Nilai Tingkat Depresi
1-10 Normal
11-16 Gangguan depresi ringan
17-20 Depresi sudah mengarah ke klinis
21-30 Depresi sedang
31-40 Depresi berat
Di atas 40 Depresi ekstrim
10. Pelaksanaan Penelitian :
Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam beberapa ketentuan sebagai
berikut:
1) Diawali dengan menentukan partisipan, yaitu mahasiswa yang mengalami
depresi ringan. Terkait dengan hal tersebut maka sebelumnya dilakukan
screening untuk menentukan partisipan. Subjek penelitian adalah
mahasiswa Fakultas Psikologi USM kelas reguler pagi. Setelah partisipan
ditentukan, dilakukan kesepakatan persetujuan partisipan untuk mengikuti
intervensi dengan jaminan kerahasiaan. Dari 84 skala yang terisi, diperoleh
47 mahasiswa yang dapat menjadi partisipan penelitian. Partisipan yang
memenuhi undangan pra-intervensi sejumah 31 orang dan hanya 23
partisipan yang dapat mengikuti pelaksanaan ekpresimen secara lengkap
sampai dengan selesai.
2) Intervensi dilakukan selama dua minggu. Sebelum intervensi dilakukan
pengukuran depresi sebagai baseline, dan kemudian dilakukan pengukuran
yang kedua yang dilakukan setelah intervensi dilakukan. Kedua data ini
yang kemudian akan dianalisa untuk memberikan kesimpulan pada hipotetis
yang telah diajukan.
3) Partisipan akan diberikan instruksi tertulis di dalam amplop dimana di
dalam instruksi juga dijelaskan mengenai jumlah waktu partisipan membuat
tulisan ekspresif (20 menit). Berikut instruksi yang diberikan:
“Selama setiap minggu sesi terapi, kami meminta Anda untuk
menuliskan tentang pengalaman-pengalaman sepanjang kehidupan Anda
yang paling menyusahkan dan menjengkelkan selama 20 menit. Anda dapat
menulis topik yang berbeda ataupun sama pada setiap minggu untuk dua
minggu. Usahakan menuliskan satu topik dalam satu tulisan. Tulisan
tersebut dapat berupa pengalaman dari masa kecil atau sesuatu yang terjadi
baru-baru ini yang mengganggu perasaan Anda. Hal yang penting adalah
Anda menuliskan tentang piliran-pikiran dan perasaan-perasaan terdalam
tentang masalah emosional Anda. Anda dapat atau tidak ingin
mendiskusikan tulisan Anda atau tema tulisan Anda dengan terapis Anda.
Ini adalah pilihan Anda. Tulisan Anda akan dijaga kerahasiaannya secara
utuh. Jangan khawatir tentang tata bahasa dan tata tulis.”
4) Partisipan dianjurkan mencari tempat untuk menulis yang membebaskan
pengungkapan emosinya dan tidak mengganggu proses menulisnya, seperti
bebas dari cahaya, suara dan bau yang mengganggu.
5) Setiap minggu dalam dua minggu sesi terapi akan dilakukan sesi umpan
balik dengan memperhatikan skema proses mengatasi depresi yang sudah
dipaparkan sebelumnya. Sesi ini digunakan untuk mengukur kepuasan
partisipan dengan sesi terapi, dan tingkat dimana mereka merasa bahwa
mereka mempelajari kecakapan sesuai dengan tujuan terapi.
11. Metode Analisis Data :
Analisa data dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS
(Statistical Product and Service Solutions), analisis statistik correlated data t-
test / paired-sample t-test. Uji t pada satu populasi akan menguji apakah rata-
rata populasi sama dengan suatu harga tertentu, dan uji t paired (uji t
berpasangan) justru mengharuskan dua sampel berhubungan (Santoso, 2000).
Karena itu dalam penelitian ini akan digunakan uji t paired untuk melihat
apakah intervensi dapat efektif, yaitu digunakan data sebelum dan sesudah
intervensi.
Ciri utama dari uji t adalah jumlah sampel relatif kecil, di bawah 30.
Sedangkan asumsinya adalah t hitung bisa ditentukan dengan dua
kemungkinan, yaitu varians kedua populasi yang diuji sama maupun berbeda.
Selain itu, sampel yang diambil berdistribusi normal atau mendekati normal
atau bisa dianggap normal.
12. Hasil Penelitian :
Karakteristik subjek penelitian
Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Psikologi USM kelas
reguler pagi. Penyebaran skala BDI yang telah dilakukan pada setiap
angkatan menghasilkan 84 skala yang terisi. Dengan perincian jumlah
subjek seperti yang terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Subjek Penelitian
No. Angkatan Jumlah Prosentase
1. Angkatan 2008 36 42,86%
2. Angkatan 2007 25 29,76%
3. Angkatan 2006 15 17,86%
4. Angkatan 2005 4 4,76%
5. Angkatan 2004 3 3,57%
6. Angkatan 2002 1 1,19%
TOTAL 84 100%
Melalui hasil screening tersebut, dilakukan penentuan partisipan
berdasarkan total nilai BDI yang diperoleh oleh subjek di atas berdasarkan
kategori yang diberikan oleh Beck, menghasilkan jumlah partisipan yang
dapat diambil dalam penelitian ini seperti yang tercantum pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil BDI Subjek Penelitian
Total
Nilai Tingkat Depresi Tingkat Depresi Prosentase
1-10 Normal 37 44,05%
11-16 Gangguan depresi ringan 22 26,19%
17-20 Depresi sudah mengarah ke klinis 17 20,24%
21-30 Depresi sedang 7 8,33%
31-40 Depresi berat 1 1,19%
Di atas 40 Depresi ekstrim 0 0%
Dari hasil tersebut ditentukan jumlah partisipan sebanyak 47 orang,
yaitu mahasiswa yang memiliki total nilai 11 ke atas. Setelah partisipan
ditentukan, dilakukan kesepakatan persetujuan partisipan untuk mengikuti
intervensi dengan jaminan kerahasiaan. Jumlah partisipan penelitian yang
mengikuti secara lengkap sampai dengan selesai adalah 23 orang.
Hasil analisa data
Melalui analisis statistik correlated data ttest/paired-sample t-test
diperoleh hasil t hitung = 6,384 dan taraf signifikansi = 0,000. Hal ini
menunjukkan hipotesis penelitian diterima, berarti katarsis dalam menulis
ekspresif memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap depresi ringan
pada mahasiswa. Hasil analisis tersebut didukung pula dengan data rata-rata
pre-test dan posttest yang menunjukkan terjadi penurunan tingkat depresi,
yaitu yang semula 16,87 menjadi 7,53.
Ada sebagian partisipan yang tidak menggunakan media diskusi
untuk membahas secara verbal mengenai pokok tulisan mereka, yaitu 7
orang dari 23 partisipan. Dengan demikian, perlu pula dilihat apakah ada
perbedaan antara kelompok partisipan yang mengikuti diskusi dan yang
tidak mengikuti diskusi. Adapun hasil dari rata-rata selisih nilai BDI dua
kelompok tersebut ternyata menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda,
yaitu rata-rata kelompok non-diskusi sebesar 9,1429 dan rata-rata kelompok
diskusi 9,6875.
Hasil evaluasi eksperimen
Dari evaluasi yang diberikan kepada partisipan setelah melakukan
eksperimen selama dua minggu menunjukkan sebagaimana yang
ditampilkan pada tabel 4.
Tabel 4. Prosentase Hasil Evaluasi Eksperimen
No. Pernyataan Prosentase terbesar
Tingkat %
1. Seberapa pribadi tulisan Sangat pribadi 43,48%
2. Sebelum eksperimen, sebarapa banyak
bercerita pada orang lain
Hampir tidak
sama sekali 39,13%
3. Seberapa banyak melepaskan emosi Sangat banyak 30,43%
4. Seberapa banyak menahan diri bercerita Agak banyak 21,74%
Banyak 21,74%
5. Sebelum eksperimen, seberapa banyak
keinginan berbicara dengan orang lain
Hampir tidak
sama sekali 21,74%
6. Seberapa sulit menulis sesuatu sebelum
eksperimen Sedang 21,74%
7. Seberapa sedih perasaan sebelum
eksperimen
Sedang 26,09%
Sedih sekali 26,09%
8. Seberapa bahagia perasaan sebelum
eksperimen Sedang 26,09%
9. Seberapa jauh memikirkan perasaan
tersebut sebelum eksperimen Sangat banyak 34,78%
10. Seberapa jauh berpikir tentang topik
tulisan selama eksperimen Banyak 34,78%
11. Seberapa penting tulisan Sangat penting 47,83%
12. Seberapa jauh kegunaan dan makna
eksperimen
Sangat
bermakna/berguna 52,17%
13. Seberapa jauh tulisan membantu
menyingkap hal yang menguasai pikiran Sangat banyak 39,13%
Pembahasan
Hasil screening yang dilakukan pada mahasiswa reguler pagi
Fakultas Psikologi USM ditemukan bahwa dari 84 mahasiswa yang
terjaring sebagai subjek penelitian, 47 (55,95%) diantaranya mengalami
depresi. Hal ini menunjukkan prevalensi yang cukup mengkhawatirkan,
karena lebih dari separuh dari subjek penelitian mengalami gangguan
terutama dalam mood, yang tentunya akan mempengaruhi bukan hanya
akademik tetapi juga pribadi mahasiswa yang bersangkutan secara
keseluruhan. Bahkan ada satu orang mahasiswa yang sudah mengalami
depresi dalam tingkat yang berat. Hasil ini juga mendukung pernyataan
Michael dan kawankawan (2006) yang menyatakan bahwa perasaan depresi
memang merupakan pengalaman yang cukup umum di kalangan
mahasiswa. Bila tidak dapat diantisipasi sejak dini akan menimbulkan
masalah yang semakin berat di kemudian hari.
Hasil analisis telah menunjukkan bahwa terapi menulis ekspresif
sebagai media katarsis memiliki pengaruh meringankan terhadap depresi
ringan. Efek terapeutik menulis dapat digambarkan oleh banyak dasar teori.
Salah satunya adalah teori inhibisi psikosomatis, yang menjelaskan bahwa
represi pikiran, perasaan, atau perilaku seseorang, khususnya pada hal-hal
yang traumatis atau menyusahkan, merupakan suatu bentuk kerja fisiologis
dan psikologis (Riordan, 1996). Menyebut secara verbal atau
menggambarkan suatu trauma melalui tulisan memberikan seorang individu
melakukan proses kognitif mengenai peristiwa tersebut dan memperoleh
suatu kontrol, kemudian mengurangi inhibisi. Tepatnya, menulis
mengurangi perenungan obsesif internal dan melanjutkan emosi negatif
yang dapat memperburuk kesehatan dan masalah psikologis.
Graf (2004) menyatakan dalam penelitiannya bahwa dalam teori
inhibisi memberikan penjelasan bahwa seseorang memperoleh keuntungan
baik fisik dan psikologis setelah mengungkapkan suatu rahasia. Ekspresi
emosi dapat meningkatkan kemampuan mengatasi persitiwa kehidupan
yang menekan, termasuk gagasan bahwa ekspresi emosi meningkatkan
insight dan self-understanding, resolusi kognitif, dan melihat pengalaman
masa lalu dengan cara yang berbeda. Pengalaman menceritakan kisah hidup
emosional, termasuk lewat tulisan, memberikan kesempatan kepada
individu untuk mengatur dan membuat masuk akal pengalaman-
pengalaman mereka.
Partisipan penelitian yang telah mengikuti terapi menulis ekspresif
telah menunjukkan terjadinya pelepasan emosi seperti apa yang telah
diungkapkan oleh Pennebaker dan Beall (dalam Baikie & Wilhelm, 2005),
bahwa proses katarsis yang diperoleh ketika menulis ekspresif pengalaman-
pengalaman emosional pada seseorang yang mengalami gangguan depresi
akan dapat memberikan keuntungan bagi dirinya untuk menurunkan
simtomsimtom yang mengganggu dan meningkatkan kesejahteraan
psikologis maupun fisik. Partisipan menjadi terbantu dengan membuat ia
mampu untuk mengekspresikan masalahmasalah dan perasaan-perasaannya
pada orang yang membebaskan dan mengerti dirinya sehingga kelegaan
yang sangat setelah membeberkan perasaan dan keprihatinan mereka pada
terapis. Adanya penyingkapan emosi yang dialami pada menulis
pengalaman emosional inilah yang dianggap oleh Riordan (1996) sebagai
faktor yang menghasilkan efek teraupetik.
Berdasarkan hasil dari perbandingan rata-rata selisih nilai BDI pada
kelompok partisipan yang mengikuti sesi diskusi dan yang tidak ternyata
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara dua
kelompok tersebut terhadap penurunan tingkat depresi. Hal ini
menunjukkan bahwa terapi menulis ekspresif sebagai katarsis memang
memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan tingkat
depresi ringan pada mahasiswa, walaupun tidak menggunakan pelepasan
emosional secara verbal lewat sesi diskusi. Hasil ini semakin menguatkan
aplikasi menulis ekspresif sebagai media terapi dalam penurunan tingkat
depresi ringan.
Hasil evaluasi eksperimen juga menunjukkan data yang mendukung
hasil penelitian bahwa menulis ekspresif memberikan pengaruh yang
signifikan dalam menurunkan depresi ringan pada mahasiswa. Hal ini
tampak sekali dalam pernyataan mengenai manfaat atau kegunaan
eksperimen pada partisipan yang memiliki prosentase terbesar dalam
evaluasi tersebut, yaitu 52,17%. Sedangkan dari hasil evaluasi eksperimen
secara kuantitatif dan kualitatif dapat disimpulkan bahwa permasalahan
emosional yang selama ini banyak mereka pikirkan dan mengganggu
perasaan dapat dikeluarkan dalam proses eksperimen, sehingga perasaan
mereka setelah selesai menulis menjadi lebih baik serta memberikan
pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri dan yakin dapat
mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
13. Kesimpulan :
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh katarsis
yang sangat signifikan dalam menulis ekspresif terhadap depresi ringan pada
mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa pada mahasiswa yang mengalami
depresi ringan, melalui terapi menulis ekspresif pengalaman-pengalaman
emosional sebagai katarsis atau pelepasan emosi dapat menurunkan tingkat
depresi ringan mereka.
Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....
PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN MENGGUNAKAN GROUP POSITIVE PSYCHOTHERAPY
IMPROVEMENT OF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN PATIENTS WITH TYPE 2
DIABETES MELLITUS USING GROUP POSITIVE PSYCHOTHERAPY
Rima Christine Sujana Hepi Wahyuningsih
Qurotul Uyun Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia
ABSTRACT
This study aims to determine the improvement of psychological well-being in patients with type 2 diabetes mellitus using group positive psychotherapy. Subjects in this study were 12 patients with type 2 diabetes mellitus (men and women) between the ages of 47-64 years, and divided into two groups, namely the experimental group and the control group. This study uses a scale of psychological well-being (22-item), which refers to the dimensions of psychological well-being by Ryff (1989). Quantitative data analysis using parametric analysis techniques one-way repeated measures anova to see the differences in psychological well-being of the experimental group after the subject therapy. The results show that there are differences in psychological well-being in the experimental group after therapy, with a value of Wilks' Lambda = 0.153, p = 0.00 (p <0.01). The conclusion from this study that the group positive psychotherapy can improve psychological well-being of people with type 2 diabetes mellitus. Key words: Group Positive Psychotherapy, Psychological Well Being, Type 2 Diabetes Mellitus.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan menggunakan group positive psychotherapy. Subjek dalam penelitian ini adalah 12 penderita diabetes mellitus tipe 2 berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan usia antara 47-64 tahun, dan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan skala kesejahteraan psikologis (22 aitem) yang mengacu pada dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Analisis data kuantitatif menggunakan teknik analisis parametrik one-way repeated measures anova untuk melihat perbedaan kesejahteraan psikologis kelompok eksperimen setelah subjek diberikan terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada kelompok eksperimen setelah diberikan terapi, dengan nilai Wilks’ Lambda = 0.153, p= 0.00 (p<0.01). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa group positive psychotherapy dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe 2. Kata Kunci: Psikoterapi Positif Kelompok, Kesejahteraan Psikologis, Diabetes Mellitus Tipe 2
Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 215
Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun
Kesehatan merupakan hal penting
dalam hidup manusia. Ketika terkena
penyakit, maka seseorang mulai menya-
dari bahwa kesehatan mahal harganya.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Dae-
rah Istimewa Yogyakarta tahun 2013
diketahui bahwa pola penyakit pada
semua golongan umur telah mulai
didominasi oleh penyakit-penyakit dege-
neratif, terutama penyakit yang disebab-
kan oleh kecelakaan, neoplasma, kardio-
vaskuler dan diabetes mellitus. Laporan
Survailans Terpadu Penyakit (STP) Pus-
kesmas di Daerah Istimewa Yogyakarta
pada tahun 2012 menunjukkan bahwa
penyakit diabetes mellitus (7.434 kasus)
masuk dalam urutan ke tiga dan ke lima
dari distribusi 10 besar penyakit berbasis
STP Puskesmas (DepKes, 2013).
Diabetes mellitus disebut the great
imitator karena diabetes mellitus ter-
masuk penyakit yang menyebabkan
komplikasi pada bagian tubuh yang jika
penanganannya tidak dilakukan dapat
menyebabkan kematian (Sam, 2007).
Menurut Tjokroprawiro (2006), penyakit
diabetes melitus dapat menyerang semua
organ tubuh berupa komplikasi penyakit,
seperti kebutaan, gagal ginjal, stroke, dan
jantung. Seseorang yang sudah dinyata-
kan memiliki diabetes mellitus harus
melakukan pengobatan seumur hidup.
Diabetes mellitus merupakan pe-
nyakit yang paling kompleks dan menun-
tut banyak perhatian maupun usaha
dalam pengelolaannya dibandingkan
dengan penyakit kronis lainnya, karena
penyakit diabetes tidak dapat diobati
namun hanya dapat dikelola (Kusuma-
dewi, 2011). Diabetes mellitus merupa-
kan kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya yang harus
dilakukan pengelolaan sehingga tidak
terjadi komplikasi lebih lanjut. Pengelo-
laan diabetes mellitus meliputi edukasi,
terapi gizi medis, latihan jasmani dan
intervensi farmakologis yang dapat dibe-
rikan melalui edukasi terpadu (Yulishati,
2014).
Hayes dan Ross (Temane &
Wissing, 2006) mengemukakan bahwa
kesejahteraan psikologis dapat dipredikisi
oleh kesehatan fisik yang baik. Apabila
kesehatan fisik berada dalam kondisi
rendah atau buruk, maka akan mening-
katkan perasaan sedih, patah semangat
terhadap masa depan, merasa sangat
letih, serta mengalami penurunan
kepercayaan diri dan disiplin diri. Dia-
betes mellitus tipe 2 sangat erat kaitannya
dengan gaya hidup penderita sebab
diabetes mellitus tipe 2 selain karena
faktor keturunan, penyebab utamanya
adalah gaya hidup mengenai makanan
216 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015
Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....
yang dikonsumsi dan olahraga (Buckman
& McLaughlin, 1999).
Dikemukakan oleh Karlsen (2002)
bahwa penyakit diabetes mellitus khusus-
nya tipe 2 menuntut seseorang untuk
melakukan perubahan dalam gaya hidup-
nya terkait dengan diet dan olahraga
yang harus dilakukan serta melakukan
pengobatan oral secara ruti. Menurut
Jacobson (Karlsen, 2002), penyakit
diabetes mellitus memberikan pengaruh
pada kesejahteraan psikologis seseorang
karena gejala dan perawatan yang
memberatkan penderita serta komplikasi
yang dapat melemahkan dan bahkan
dapat mengancam jiwa seseorang.
Apabila tidak dilakukan kontrol yang
tepat terhadap reaksi-reaksi psikologis
atau respon-respon secara emosional,
khususnya ketika tidak ada hal yang
dapat dilakukan penderita untuk meng-
ubah situasi, maka penderita cenderung
mengalami ketidakmampuan penyesuai-
an secara fisik dan kesejahteraan psiko-
logis (Sarafino, 1997).
Kesejahteraan psikologis merupa-
kan pencapaian penuh dari potensi
psikologis seseorang dan suatu keadaan
ketika individu dapat menerima kekuatan
dan kelemahan diri apa adanya, memiliki
tujuan hidup, mengembangkan relasi
yang positif dengan orang lain, menjadi
pribadi yang mandiri, mampu mengen-
dalikan lingkungan dan terus betumbuh
secara personal (Ryff, 1995). Kesehatan
fisik mempengaruhi kesejahteraan psiko-
logis individu. Hal ini senada dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi kese-
jahteraan psikologis yang dikemukakan
oleh Mirowsky dan Ross (1999) yang
meliputi emosi dan kesehatan serta
fungsi fisik, pekerjaan, pernikahan, anak-
anak, kondisi masa lalu seseorang
terutama pola asuh keluarga, dan faktor
kepercayaan.
Penelitian yang mendukung bahwa
penyakit fisik mempengaruhi kesejahte-
raan psikologis seseorang antara lain
Psychological Well-Being pada Penyan-
dang Gagal Ginjal oleh Aini (2012).
Penelitian ini menggambarkan bahwa
kondisi fisik yang terganggu membuat
mereka terbatas dalam melakukan
aktivitas yang berhubungan dengan diri
sendiri maupun aktivitas sosial. Hal ini
terkait dengan aspek otonomi dan
penguasaan lingkungan yang mereka
lakukan. Penyandang gagal ginjal yang
mengarahkan aktivitas pada tujuan
hidupnya dan memiliki keyakinan untuk
mencapainya maka mereka mampu
mengembangkan diri secara personal.
Hal ini menggambarkan bahwa penting
bagi individu yang memiliki penyakit
fisik untuk tetap memiliki tujuan hidup,
aktivitas yang terarah dan keyakinan diri
Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 217
Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun
sehingga mampu menemukan potensi
diri dan terus mengembangkannya untuk
meraih kebahagiaan.
Gambaran di atas seiring dengan
pendapat Papalia, Olds dan Feldman
(2009) yang mengemukakan bahwa
orang yang memiliki kesejahteraan
psikologis yang baik adalah orang yang
mampu merealisasikan potensi dirinya
secara kontinu, mampu membentuk hu-
bungan yang hangat dengan orang lain,
memiliki kemandirian terhadap tekanan
sosial, menerima diri apa adanya,
memiliki arti dalam hidup, serta mampu
mengontrol lingkungan eksternal. Kese-
jahteraan psikologis memiliki peranan
dalam pencegahan dan penyembuhan
suatu penyakit sehingga dapat mening-
katkan harapan hidup penderita (Vazques
dkk, 2009).
Beberapa penelitian yang telah
dilakukan dan berhasil untuk meningkat-
kan kesejahteraan psikologis di antaranya
yaitu Cognitive Behavior Therapy mam-
pu meningkatkan kesejahteraan psikolo-
gis remaja gay (Wardani, 2014), Konse-
ling “Kebermaknaan Hidup” mampu
mempengaruhi kesejahteraan psikologis
difabel yang dilakukan oleh Perwitasari
(2012), Dewi (2012) melakukan peneli-
tian yang membuktikan bahwa Pelatihan
Manajemen Distres Berbasis Mindfulness
(MDBM) dapat meningkatkan kesejah-
teraan psikologis pada orang dengan HIV
AIDS (ODHA). Group Positive Psycho-
therapy juga terbukti mampu meningkat-
kan kesejahteraan psikologis remaja yang
dilakukan oleh Wardiyah (2013). Demi-
kian pula Group Positive Psychotherapy
yang dilakukan oleh Prabowo (2011)
mampu meningkatkan Psychological
Well-Being Mahasiswa di Universitas
YARSI. Penelitian yang dilakukan oleh
Hidayah (2014) membuktikan bahwa
Group Positive Psychotherapy efektif
untuk meningkatkan kesejahteraan psiko-
logis pada orang dengan HIV/ AIDS
(ODHA) di Boyolali.
Beberapa penelitian sebelumnya
cukup banyak membuktikan group posi-
tive psychotherapy efektif dan berpe-
ngaruh signifikan untuk meningkatkan
kesejahteraan psikologis namun belum
pernah ada yang meneliti pengaruhnya
terhadap penderita Diabetes Mellitus.
Group positive psychotherapy adalah
suatu model terapi dengan pendekatan
kelompok yang menfokuskan upaya
membangun hidup yang menyenangkan,
hidup yang terikat kegiatan-kegiatan, dan
hidup yang bermakna.
Menurut Parks-Sheiner (2009),
Group positive psychotherapy merupa-
kan intervensi untuk mencapai target
hidup yang menyenangkan, keterlibatan
dalam aktivitas, dan kebermaknaan hidup.
218 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015
Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....
Group positive psychotherapy terdiri dari
beberapa teknik yaitu Tiga Hal Baik
(Three Good Things), Pergunakan
Kekuatanmu (Using Your Strenghts),
Kunjungan Terimakasih (The Gratitude
Visit), Biografi (Obituary), Respon Aktif/
Konstruktif (Active-Constructive Respon-
ding), Menikmati Kegiatan Sehari-hari
(Savoring). Keenam teknik ini digunakan
untuk mencapai tiga sasaran utama
dalam group positive psychotherapy
yaitu hidup yang menyenangkan, hidup
terikat pada kesibukan, hidup yang
bermakna (Seligman, 2006).
Oleh karena itu, peneliti ingin
mengetahui peningkatan kesejahteraan
psikologis pada penderita diabetes melli-
tus tipe 2 dengan menggunakan group
positive psychotherapy. Hipotesis pada
penelitian ini adalah group positive
psychotherapy mampu meningkatkan
kesejahteraan psikologis pada penderita
diabetes mellitus tipe 2 dan kelompok
yang mendapatkan intervensi group posi-
tive psychotherapy lebih tinggi tingkat
kesejahteraan psikologis dibandingkan
dengan kelompok yang tidak mendapat-
kan group positive psychotherapy.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan
pada penelitian ini adalah kuasi ekspe-
rimen. Partisipan yang diambil adalah
partisipan yang memenuhi salah satu
atau dua kriteria sekaligus, yaitu masuk
dalam kategori sedang, rendah, dan
sangat rendah di dalam skala kesejah-
teraan psikologis. Pada penelitian ini
metode eksperimen dilakukan dengan
memberikan perlakuan berupa group
positive psychotherapy untuk melihat
peningkatan kesejahteraan psikologis
pada penderita diabetes mellitus tipe 2.
Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini
adalah penderita diabetes mellitus tipe 2
yang berada di bawah wilayah kerja
Puskesmas Ngemplak 1 dan Ngemplak 2,
Sleman. Adapun kriteria subjek peneli-
tian adalah memiliki diagnosa penyakit
diabetes mellitus tipe 2, laki-laki atau
perempuan berusia 47-64 tahun dengan
alasan bahwa penyakit diabetes mellitus
tipe 2 diderita antara usia pertengahan
dan usia lanjut dengan serangan awal
terjadi setelah usia 40 tahun, memiliki
kemampuan baca dan tulis, tidak sedang
mengikuti intervensi psikologis apapun,
memiliki skor kesejahteraan psikologis
dengan kategori sedang, rendah dan
sangat rendah, serta bersedia mengikuti
rangkaian penelitian dari prates hingga
tindak lanjut.
Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 219
Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun
Metode Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan
dalam melakukan pengumpulan data
adalah dengan menggunakan observasi,
wawancara, dan skala kesejahteraan
psikologis. Skala yang digunakan meru-
pakan skala yang dimodifikasi dari skala
yang pernah ada dan dibuat oleh peneliti
sebelumnya. Skala kesejahteraan psikolo-
gis disusun berdasarkan dimensi-dimensi
kesejahteran psikologis yang dikemuka-
kan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan
diri, relasi positif dengan sesama, oto-
nomi, penguasaan lingkungan, tujuan
hidup, dan pertumbuhan pribadi.
Skala kesejahteraan psikologis ini
terdiri atas 29 aitem favorable dan un-
favorable. Setiap pernyataan dalam skala
kesejahteraan psikologis ini meminta
respon dari subjek dengan memilih salah
satu alternatif jawaban yang telah dise-
diakan. Skala ini disusun berdasarkan
skala Likert yang terdiri atas 4 alternatif
jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai
(S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak
sesuai (STS). Hasil uji coba skala
kesejahteraan psikologis menunjukkan
bahwa dari 29 butir pernyataan, 22 butir
dinyatakan sahih dan 7 butir dinyatakan
gugur. Koefisien korelasi untuk skala
yang sahih bergerak antara 0,319 hingga
0,682. Hasil uji coba reliabilitas skala
kesejahteraan psikologis menunjukkan
bahwa koefisien korelasi sebesar 0,855.
Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian pada
penelitian ini yaitu: Pertama, perijinan
tempat untuk melakukan screening.
Kedua, screening menggunakan skala
penelitian kepada orang dengan Diabetes
Mellitus Tipe 2. Hasil skala dengan
kategori sedang dan rendah serta
memenuhi kriteria dipilih menjadi subjek
penelitian. Data ini juga digunakan
sebagai prates. Ketiga, wawancara untuk
menggali permasalahan dan pemberian
Informed Consent kepada subjek pene-
litian. Keempat, penentuan kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen. Ke-
lima, seleksi fasilitator dan ko-fasilitator,
serta observer. Kelima, pelaksanaan
intervensi Group Positive Psychotherapy
pada kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol tidak mendapatkan
intervensi.
Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan bebe-
rapa teknik analisis data. Teknik analisis
data parametrik yang digunakan adalah
one-way repeated measures anova , yaitu
teknik analisis untuk melihat apakah ada
perubahan (prates-pascates-tindak lanjut)
pada kelompok eksperimen. Selain itu
dilakukan juga uji independent sample t-
220 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015
Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....
test untuk membandingkan kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Ana-
lisis dari variabel-variabel tersebut dilaku-
kan dengan program komputer SPSS
(Statistical Product and Service Solution)
for windows.
HASIL PENELITIAN
Jumlah subjek penelitian pada
kelompok eksperimen sebanyak 6 pen-
derita diabetes mellitus tipe 2, berjenis
kelamin laki-laki dan perempuan. Subjek
yang masuk ke dalam kelompok eksperi-
men merupakan anggota terapi yang
dilakukan selama 3 kali pertemuan.
Penelitian ini melakukan pengukuran
sebanyak tiga kali, yaitu sebelum
intervensi dilakukan (prates), setelah
intervensi diberikan (pascates) dan 2
minggu setelah intervensi diberikan
(tindak lanjut).
Hasil pengukuran pascates menun-
jukkan semua kelompok eksperimen
mengalami peningkatan skor kesejahte-
raan psikologis setelah diberikan inter-
vensi berupa group positive psycho-
therapy. Sedangkan pada kelompok
kontrol terdapat 1 subjek yang meng-
alami peningkatan skor, 2 subjek yang
mendapatkan skor tetap, dan 3 subjek
yang mengalami penurunan skor.
Berdasarkan tabel analisis statistik,
diketahui bahwa rata-rata skor pada
prates kelompok eksperimen sebesar
49.33 dan kelompok kontrol 50.67. Hal
ini berarti bahwa rata-rata skor pada
kelompok kontrol lebih tinggi dari
kelompok eksperimen. Sedangkan,
setelah terapi (pascates) diketahui bahwa
rata-rata skor kelompok eksperimen lebih
tinggi dibanding kelompok control, yaitu
58.33 berbanding 50.33. Hal ini juga
dialami pada tahap tindak lanjut, rata-rata
skor kelompok eksperimen (57.00) lebih
tinggi dibanding rata-rata skor kelompok
kontrol (49.33).
Hasil uji normalitas dari skala
kesejahteraan psikologis diperoleh nilai
K-SZ = 0.631 dan p = 0.821 sehingga
penyebaran data skala kesejahteraan
psikologis dapat dikatakan normal. Hasil
uji homogenitas pada kelompok ekspe-
rimen dan kelompok kontrol pada peneli-
tian ini memperoleh nilai levene statistic
= 0.833 dan nilai p = 0.383 berarti nilai
p>0.05 sehingga dapat dikatakan bahwa
proporsi kedua kelompok adalah
homogen.
Pada tabel analisis statistik, nilai
Wilks’ Lambda = 0.153, p= 0.00
(p<0.01) menunjukkan ada perubahan
secara sangat signifikan pada skor
kesejahteraan psikologis kelompok ekpe-
rimen dalam tiga kali pengukuran. Hal
ini berarti bahwa terdapat perbedaan
Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 221
Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun
yang signifikan antara skor prates dengan
pascates pada kelompok eksperimen, dan
juga terdapat perbedaan yang signifikan
antara skor prates dengan tindak lanjut
pada kelompok eksperimen. Perbedaan
antara skor prates-pascates-tindak lanjut
yang dimaksud yaitu terjadi perubahan
skor prates-pascates yang semakin me-
ningkat berdasarkan nilai Mean kelom-
pok eksperimen dari 49.33 menjadi
58.33. Pada tindak lanjut diperoleh
Mean 57.00. Kedua Mean terlihat lebih
tinggi jika dibandingkan dengan Mean
prates. Nilai Partial Eta Square pada baris
diperoleh nilai 0.847, hal ini berarti
bahwa sumbangan efektif sebesar 84,7.
Ada perbedaan kesejahteraan psi-
kologis pada kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol setelah terapi diberi-
kan, dengan nilai p=0.000 (p<0.01)
pada saat prates-pascates dan p=0.001
(p<0.01) pada saat prates-tindak lanjut.
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui peningkatan kesejahteraan
psikologis pada penderita diabetes melli-
tus tipe 2 dengan menggunakan group
positive psychotherapy. Berdasarkan
hasil analisis data yang telah dilakukan
diperoleh hasil bahwa group positive
psychotherapy dapat meningkatkan kese-
jahteraan psikologis pada penderita
diabetes mellitus tipe 2.
Group positive psychotherapy
disusun untuk mengarahkan subjek
penelitian pada kehidupan yang lebih
positif melalui beberapa teknik latihan,
seperti perkenalan positif dan mengenali
kekuatan diri, mampu menemukan tiga
hal baik setiap hari, kunjungan terima-
kasih melalui surat, savoring yang
melatih subjek untuk lebih menikmati
kehidupannya dimulai dari rutinitas yang
ada, tanggapan aktif/konstruktif bertujuan
untuk melatih subjek lebih positif dalam
berkomunikasi, dan pembuatan biografi
yang membantu subjek mengarahkan
perilakunya sesuai tujuan hidup yang
ingin dicapai.
Ketika subjek mendapat diagnosis
diabetes mellitus yang pengelolaan
penyakitnya dengan minum obat seumur
hidup, diet makanan dan sebagainya
cenderung membuat subjek merasa tidak
lagi memiliki potensi dalam diri untuk
melakukan berbagai aktivitas positif.
Pada awal pertemuan, subjek dihadapkan
pada kegiatan perkenalan positif dan
mengenali kekuatan diri. Subjek yang
mengalami kesulitan untuk melakukan
perkenalan positif dibantu oleh fasilitator
dan anggota kelompok untuk menemu-
kan hal positif yang ada pada masing-
masing subjek. Hal ini didasarkan pada
222 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015
Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....
asumsi bahwa perilaku patologis disebab-
kan oleh kurangnya kesadaran tentang
potensi positif dalam diri individu
(Magyar-Moe, 2009). Pengenalan potensi
positif ini seiring dengan pernyataan yang
tercantum dalam Al-Quran yaitu manusia
diciptakan oleh Allah SWT dengan
struktur yang paling baik di antara
makhluk Allah SWT yang lain.
Kesempurnaan unsur manusia disebutkan
dalam firman Allah SWT yang artinya :
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tin: 4).
Pada sesi kekuatanku, subjek pene-
litian dilatih untuk tetap fokus pada hal
positif yang ada di dalam diri sehingga
tetap menumbuhkan semangat dan
optimisme. Ryan dan Deci (2001)
mengungkapkan bahwa optimisme mem-
beri kontribusi terhadap kesejahteraan
atau kebahagiaan individu.
“Allah tidak akan membebani seseorang (hamba-Nya) melainkan sesuai dengan kemampuannya (QS. Al-Baqarah: 286).
Menurut perspektif Islam, meng-
arahkan subjek penelitian pada kehidup-
an yang lebih positif memiliki kesamaan
dengan berprasangka baik (khusnudzon).
Salah satu akhlak mahmudah (terpuji)
kepada Allah SWT adalah khusnudzon
(berbaik sangka atau berpikir positif)
kepada-Allah adalah Tuhan Yang Maha
Pengasih dan Penyayang. Ketika sese-
orang meyakini bahwa Allah mengasihi
seluruh makhluk-Nya dan menganuge-
rahkan rezeki kepada semua makhluk-
Nya. Tidak peduli makhluk-Nya taat atau
durhaka, muslim atau kafir. Bahkan,
binatang dan tumbuh-tumbuhan pun
dijamin rezekinya oleh Allah SWT maka
akan menimbulkan rasa optimis
menjalani hidup.
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (Q.S. Hud: 6).
Mengenali potensi positif dan me-
lakukan aktivitas-aktivitas positif meng-
hadirkan kesejahteraan pada dirinya
(Salami, 2010). Hal ini seiring dengan
pernyataan yang dikemukakan Frederick-
son dan Joiner (2002) bahwa seseorang
yang memiliki sifat positif dan optimis
berkorelasi positif dengan kesejahteraan
individu. Selain itu, sesi tiga hal baik,
kunjungan terimakasih dan savoring
mengajarkan subjek penelitian untuk
senantiasa lebih bersyukur terhadap
kebaikan yang telah diterima setiap hari.
“Dan jika kamu menghitung-hitung
Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 223
Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun
nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18).
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu kufur (mengingkari nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7).
Demikian pula dengan kegiatan
tanggapan aktif/konstruktif yang melatih
subjek penelitian tetap menjaga hu-
bungan interpersonal dengan baik. Ketika
individu mampu menjalin hubungan
interpersonal dengan lingkungan secara
aktif maka menurut Ryff (1995) individu
tersebut memiliki gambaran kesejahtera-
an psikologis pada aspek hubungan
positif dengan oranglain dan penguasaan
terhadap lingkungan. Hal ini juga
merupakan wujud syukur kepada Allah.
Manusia yang bersyukur kepada
manusia/makhluk lain adalah dia yang
memuji kebaikan serta membalasnya
dengan sesuatu yang lebih baik atau
lebih banyak dari apayang telah dilaku-
kan oleh yang disyukurinya itu. Syukur
yang demikian dapat juga merupakan
bagian dari syukur kepada Allah. Sebab,
berdasarkan hadis Nabi SAW yang
artinya:
“Siapa yang tidak mensyukuri manusia maka dia tidak mensyukuri Allah (HR. Abu Daud dan At-Turmuzi).
Evaluasi dari keseluruhan rangkai-
an terapi menunjukkan bahwa semua
subjek merasa senang karena mampu
bertukar cerita, berkeluh kesah dan
belajar dari anggota kelompok yang lain.
Subjek diminta untuk menceritakan situa-
si emosional dimana kondisi tersebut
membantu seseorang untuk meningkat-
kan rasa syukur yang berpengaruh pada
kondisi fisik dan psikologisnya. Menulis
dan atau membicarakan topik emosional
ditemukan mempengaruhi fungsi imun
termasuk perkembangan sel t-helper, dan
antibody (Pennebaker & Chung, 2007).
Beberapa penelitan mendukung
bahwa interaksi dengan orang terdekat
yang dilakukan secara aktif dan kon-
struktif dapat meningkatkan kebahagiaan,
kepuasan, kepercayaan, keakraban dan
mengurangi konflik (Magyar-Moe, 2009).
Group positive psychotherapy telah
terbukti mampu meningkatkan kesejah-
teraan psikologis penderita diabetes
mellitus tipe 2. Hal ini erat kaitannya
dengan optimisme subjek dalam
menghadapi penyakitnya. Seiring dengan
pendapat yang dikemukakan oleh
Vazques dkk (2009) bahwa kesejahteraan
psikologis memiliki peranan dalam
224 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015
Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....
pencegahan dan penyembuhan suatu
penyakit sehingga dapat meningkatkan
harapan hidup penderita.
Penelitian ini didukung oleh penu-
gasan-penugasan yang diberikan pada
akhir setiap pertemuan, yang kemudian
didiskusikan dalam kelompok. Tugas
rumah memberikan kesempatan kepada
subjek untuk dapat melatih dirinya
menerapkan teknik-teknik yang dipelajari
di dalam kelompok kepada kehidupan
sehari-hari. Kemudian diskusi tugas
rumah dapat memberikan umpan balik
dan penguatan terhadap aktivitas positif
yang telah dilakukan dengan baik oleh
setiap subjek.
Intervensi dalam penelitian ini
dipengaruhi juga oleh rancangan inter-
vensi dalam bentuk kelompok. Pendekat-
an kelompok dianggap memiliki manfaat
terapeutik terhadap kelompok, yaitu
sebagai faktor dukungan, faktor keter-
bukaan diri dan katarsis, faktor belajar
kebijaksanaan atau kearifan dari anggota
kelompok lainnya, serta faktor-faktor
psikologis yang berkaitan dengan
bagaimana menjalin hubungan dengan
orang lain dan bagaimana memahami
diri sendiri (Brabenden, Fallon, & Smolar,
2004). Seiring dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Jacobs dkk (2002)
bahwa keuntungan terapi yang meng-
gunakan pendekatan kelompok yaitu
lebih efisien karena menawarkan banyak
sudut pandang, perasaan senasib,
pengalaman terlibat dengan orang lain,
kesempatan belajar pengalaman-penga-
laman orang lain berdasarkan hasil men-
dengar dan mengobservasi, kesempatan
mendapat umpan balik sehingga akan
memegang teguh komitmennya selama
terapi.
Berdasarkan hasil kuantitatif setiap
subjek, ke enam subjek mengalami
peningkatan kesejahteraan psikologis
setelah mengikuti group positive psycho-
therapy meskipun pada tahap tindak
lanjut terjadi peningkatan dan penurunan
yang beragam antar subjek. Hasil
penelitian ini mendukung penelitian ter-
dahulu yang telah dilakukan oleh
Hidayah (2014) yang menunjukkan
bahwa ada pengaruh group positive
psychotherapy terhadap peningkatan
kesejahteraan psikologis pada orang
dengan HIV/AIDS. Hal ini juga sesuai
dengan penelitian Wardiyah pada tahun
2013 membuktikan bahwa kesejahteraan
psikologis mampi ditingkatkan dengan
group positive psychotherapy. Penelitian
yang dilakukan oleh Prabowo (2011)
membuktikan hal yang sama bahwa
group positive psychotherapy mampu
meningkatkan psychological well-being
pada mahasiswa.
Selain itu, perlu dilakukan sejum-
Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 225
Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun
lah evaluasi. Modul intervensi tidak
melalui uji coba sebelumnya. Fasilitator
cenderung sering menambahkan pen-
jelasan instruksi kepada subjek penelitian
agar subjek mampu melaksanakan
instruksi dengan baik. Modul diterapkan
secara runtut sesuai dengan rancangan
pelaksanaan meskipun terdapat modifi-
kasi seperti diberikannyaa ice breaking
ketika beberapa subjek terlihat bosan
atau kurang konsentrasi ketika proses
terapi yang sebelumnya tidak dituliskan
dalam modul terapi.
Evaluasi perubahan kesejahteraan
psikologis subjek penelitian ini belum
melalui wawancara dengan caregiver.
Peneliti melakukan evaluasi perubahan
kesejahteraan subjek melalui wawancara
langsung dengan subjek, baik sebelum
maupun sesudah intervensi. Hasil
evaluasi cenderung berpusat pada
pengakuan subjek penelitian saja.
Penelitian ini menggunakan data
dari Puskesmas yang tidak memiliki
komunitas khusus penderita diabetes
mellitus tipe 2 dan alamat lengkap
sehingga pengambilan data harus
dilakukan kunjungan ke rumah masing-
masing subjek.
SIMPULAN & SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa group positive psychotherapy
dapat meningkatkan kesejahteraan psiko-
logis pada penderita diabetes mellitus
tipe 2. Kelompok yang mendapatkan
intervensi group positive psychotherapy
lebih tinggi tingkat kesejahteraan psiko-
logis dibandingkan dengan kelompok
yang tidak mendapatkan group positive
psychotherapy.
Saran
Untuk penelitian selanjutnya: (1)
Penelitian ini menggunakan data dari
Puskesmas yang tidak memiliki komu-
nitas khusus penderita diabetes mellitus
tipe 2 dan alamat lengkap. Jika peneliti
selanjutnya menemukan keterbatasan
data yang sama, peneliti menyarankan
untuk menelusuri melalui kepala dusun
atau dukuh agar dapat mempermudah
melakukan kunjungan rumah; (2) Alat
ukur ini bisa digunakan kembali oleh
penelitian selanjutnya dengan kriteria
subjek yang sama; (3) Peneliti menyaran-
kan untuk melakukan uji coba modul
sehingga penggunaan lembar kerja,
waktu dan bahasa instruksi dapat lebih
sesuai dengan karakteristik subjek; (4)
226 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015
Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat
melakukan penelitian sejenis dengan
memperhatikan berbagai variabel lain
yang mempengaruhi kesejahteraan psiko-
logis penderita diabetes mellitus tipe 2,
serta dapat mengembangkan group
positive psychotherapy sebagai alternatif
intervensi untuk kasus psikologis
penyakit kronis lainnya.
Untuk subjek penelitian: (1) Subjek
penelitian diharapkan dapat menerapkan
pengetahuan dan cara-cara meningkatkan
kesejahteraan psikologis yang didapatkan
dari group positive psychotherapy dalam
kehidupan sehari-hari; (2) Subjek peneli-
tian bisa meningkatkan kemampuan
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar
sehingga tidak banyak berdiam diri di
rumah, tidak jenuh dan tidak terfokus
pada keterbatasan diri akan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, R.A., Ploubidis, G.B., Huppert,
F.A., Kuh, D., Wadsworth, M.E.J. & Croudace, T.J. (2006). Psycho-metric Evaluation and Predictive Validity of Ryff’s Psychological Well-Being Items in a UK Birth Cohort Sample of Women. Health and Quality of Life Outcomes. BioMed Central Ltd. 4: 76.
Aini, S. N., & Asiyah, S.N. (2013).
Psychological Well Being Penyan-
dang Gagal Ginjal. Jurnal Penelitian Psikologi, 4,(1), 35-45
Anantasari, M. L. (2004). Kesejahteraan
Psikologis Orang Tua dan Perlakuan Salah terhadap Anak. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogya-karta: Fakultas Psikologi Univer-sitas Gadjah Mada
Askandar, T. (1999). Diabetes Mellitus
Klasifikasi Diagnosis dan Terapi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Baron, J. (1988). Thinking and Deciding.
New York: Cambridge University Press
Bartram, D. & Boniwel, L. (2007). The
Science of Happiness: Achieving Sustained Psychological Well-Being. Positive Psychology in Practice, 29, 478-482
Bradburn, N. M. 1969. The Structure of
Psycholgical Well Being. Chicago: Aldine
Buckman,Dr. Robert & McLaughlin,
Chris. (1999). Apa yang seharusnya Anda ketahui tentang hidup dengan Diabetes. London: Marshall Publishing Ltd
Compton, W.C. (2005). Introduction to
Positive Psychology. Singapore: Thomson Wadsworth
Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 227
Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun
DepKes. (2013). Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2013. Yogyakarta: Departemen Kesehatan
Dewi, R.P. (2012). Pengaruh Pelatihan
Manajemen Distres Berbasis Mind-fulness (MDBM) terhadap Pening-katan Kesejahteraan Psikologis pada Orang dengan HIV/AIDS. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogya-karta: Fakultas Psikologi Univer-sitas Gadjah Mada
Eckhalm E.P. (1999). Masalah Kesehatan.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Feldman, R. S. (1997). Social Psychology.
New Jersey: Prentice Hall Frederickson, B.L. & Joiner, T. (2002).
Positive Emotions Triger Upwardn Spirals Toward Emotion Well Being. Psychological Science, 13, 172-175
Hidayah, N. (2014). Efektivitas Group
Positive Psychotherapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psiko-logis pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Tesis. Tidak diterbitkan. Surakarta: Program Pendidikan Magister Psikologi Profesi Univer-sitas Muhammadiyah Surakarta
Ingersoll-Dayton, B.S. (2004). Measuring
Psychological Well-Being: Insight
from Thai Elders. Journal of Gerontologist, 44(5), 596-604
Jacobs, E.E., Robert, L.M., & Riley, L.H.
(2002). Group Counseling: Strategies and Skills. Canada: The Wadsworth Group, a division of Thompson Learning,Inc.
Karlsen,B, Bru, E & Hanestad, R. (2002).
Self-Reported PWB and Disease-Related Strains among Adults with Diabetes. Psychological and Health. 17 (4), 459-473
Kartikasari, N.D. (2014). Hubungan
antara Religiusitas dengan Kesejah-teraan Psikologis pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Skripsi. Tidak diterbitkan. Surakarta: Fakul-tas Psikologi Universitas Muham-madiyah
Keyes, C.R. (2006). A Look at Children’s
Adjustment to Early Childhood Programs. Early Childhood Research & Practice, 8(2), 22-36
Kusumadewi, M.D. (2011). Peran
Stressor Harian, Optimisme dan Regulasi Diri terhadap Kualitas Hidup Individu dengan Diabetes Melitus Tipe 2. Psikoislamika Jurnal Psikologi Islam, (8), 1, 43-62
Latifah,N. (2014). Kesejahteraan Psikolo-
gis Pada Wanita Dewasa Muda Yang Belum Menikah. Skripsi.
228 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015
Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....
Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Yogyakarta
Lopez S. J., & Snyder C. R. (2003). The
Measurement and Utility of Adult Subjective Well-Being. Washington DC: American Psychological Association
Lumantobing. (2008). Psikologi Kesehat-
an. Yogyakarta: Mitra Cendikia Magyar-Moe, J. L. (2009). Therapist's
Guide to Positive Psychological Interventions. (1st Edition). Academic Press, pp. 79-133y 151-175
Mambangsari, C.W. (2012). Pengaruh
Program Edukasi Perawatan Kaki Berbasis Keluarga terhadap Pera-watan Kaki pada Pasien Diabetes Mellitus tipe 2. Tesis. Tidak diterbitkan. Bandung: Program Pendidikan Magister Program Studi Keperawatan
Martalena, B. P. (1999). Pengaturan
Makanan Diabetes. Pusat Diabetes Yogyakarta
Maulana, M. (2008). Mengenal Diabetes
Melitus. Jogjakarta: Katahati Miller, S.M. & Schnoll, R.A. (2000) When
Seeing Is Feeling: A Cognitive-
Emotional Approach to Coping with Health Status dalam Handbook of Emotions Second Edition. New York: The Guilford Press.
Mirowsky & Ross. (1999). Well-Being
Across the Life Course. Cambridge: Cambridge University Press
Neugarten, B.L., Havighurst, R., & Tobin,
S. (1961). The Measurement of Life Satisfaction. Journal of Geronto-logy. 16, 134-143
Notosoedirdjo dan Latipun. 2005.
Kesehatan Mental : Konsep dan Penerapan. Malang : UMM Press.
Nuryati, S. (2009). Gaya Hidup dan
Status Gizi serta Hubungannya dengan Hipertensi dan Diabetes Melitus Pada Pria dan Wanita Dewasa di DKI Jakarta. Tesis. Tidak diterbitkan. Bandung: Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Nussbaum, M.C., & Sen, A.K. (1993).
The Quality of Life. Oxford: Clarendon Press
Papalia, Olds, Feldman. (2009). Human
Development. Jakarta: Salemba Park-Shiner, A.C. (2009). Positive
Psychotherapy: Building a Model of Empirically Supported Self-Help. Dissertation. Pennsylvania: Facul-
Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 229
Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun
ties Psychology of the University Pennsylvania
Pebriartati, S. (2011). Pelatihan Pemaafan
untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Wanita Bercerai. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Pennebaker, J.W., & Chung, C.K. (2007).
Expressive Writing: connections to physical and mental health. The University of Texas at Austin
Perkeni. (2002). Konsesus Pengelolaan
Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Indonesia 2002. PB PERKENI.
Perwitasari, F. (2012). Pengaruh Konse-
ling “Kebermaknaan Hidup” ter-hadap Kesejahteraan Psikologis Difabel. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Peseschkian, N. And K. Triit. (1998).
Positive Psychotherapy: Effective-ness Study and Quality Assurance. The european journal of psychotherapy, counseling & health, 1, 42-53
Pouwer, F., Snoek, F. J., Ploeg, H. M.,
Ader, H. J. & Heine, R. J. (2001). Monitoring of Psychological Well-being in Outpatients with Diabetes. Diabetes Care, 24 (11) 1929-1935
Prabowo, A. & Yuniardi, M.S. (2011). Pengaruh Group Positive Psycho-therapy terhadap Psychological Well Being Mahasiswa. Dipresen-tasikan di Konferensi Nasional, Universitas YARSI, 5 November 2011
Prawitasari, J.E. (2011). Psikologi Klinis
Pengantar Terapan Mikro dan Makro. Jakarta: Penerbit Erlangga
Purnomosidi, I. (2014). Hubungan Inten-
sitas Olahraga terhadap Psycholo-gical Well-Being. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia
Ryan, R. M & Deci, E.L. 2001. On
Happines and Human Potentials: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-Being. Annual Reviews, 52, 141-166
Ryff, C.D. and Keyes, L.M. (1995). The
Structure of Psychological Well-Being revisited. Journal of Personality and Social Psychogy, 69 (4), 719-727
_________. (1995). Psychological well-
being in adult life. Current Directions in Psychological Science, 57(6), 99-104
_________. (1989). Happiness Is
Everything, or Is It? Explorations on
230 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015
Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....
the Meaning of Psychological Well Being. Journal of Personality and Social Psychology, 57 (6), 1069-1081
Salami, S. O. (2010). Emotional
Intelligence, Self-Efficacy, Psycho-logical Well-Being And Students’ Attitudes: Implivations For Quality Education. European Journal of Educational Studie, 2(3), 247-257
Sam, A.D.P. (2007). Epidemiologi DM
dan isu mutakhirnya. http://www. newparadigmforpublichealth.htm. Diakses 2 Mei 2015
Sarafino, E.P. 1997. Health Psycholoogy;
Biopsychological Interactions. Third Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Seligman, M.E.P., Rashid, T., & Parks,
A.C. (2006). Positive Psycho-therapy. Journal of American Psychologist, 61, 774-788
Shadish, W. R., Cook, T. D., & Campbell,
D. T. (2002). Experimental and Quasi-Experimental Designs for Generalized Causa Inference. Boston: Houghton Mifflin Company
Singh, B., & Udainiya R. (2009). Self-
Efficacy and Well-Being of Adolescents. Journal of the Indian
Academy of Applied Psychology, 35(2), 227-232
Skovlund, S.E., & Peyrot, M. (2005). The
Diabetes Attitudes, Wishes, and Needs (DAWN) program: A new approach to improving outcomes of diabetes care. Diabetes Spectrum. 18(3), 136-142
Taylor, S. E. 2006. Health Psychology.
New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Temane, Q.M & Wissing, M. P. 2006.
The Role of Subjective Perception of Health in The Dynamics of Context and PWB. South African Journal of Psychology. 36 (3), 564-581
Tjokroprawiro, A. (2006). Hidup Sehat
dan Bahagia Bersama Diabetes Militus. Edisi kesembilan. Jakarta : Gramedia Pustaka
Vazquez, dkk. (2009). Psychological
Well-Being and Health. Contri-butions of Positive Psychology. Annuary of Clinical and Health Psychology, (5) 15-27
Wardani, A. (2014). Cognitive Behavior
Therapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Remaja Gay. Tesis. Tidak diterbitkan. Medan: Fakultas Psikologi Univer-sitas Sumatera Utara
Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 231
Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun
Wardiyah, Malahatul. (2013). Group Positive Psychotherapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psiko-logis Remaja. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi, 1 (2), 139-152
Winasis, E. B. (2009). Hubungan antara
Konsep Diri dengan Depresi pada Penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Pracimantoro I Wono-giri. Skripsi. Tidak diterbitkan. Surakarta: Universitas Muham-madiyah Surakarta
World Health Organization. Definition
and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycemia. Amerika Serikat; 2006. Tersedia pada: URL: http://www.idf.org/
webdata/docs/WHO_IDF_definition_diagnosis_of_diabetes.pdf [diakses 7 April 2015].
Yalom, I.D. & Leszcz, Molyn. (2005).
The theory and practice of group psychotherapy. New York : Basic Books
Yulishati. (2014). Efektifitas Edukasi Dia-
betes Terpadu Untuk Meningkat-kan Efikasi Diri Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Tesis. Tidak diterbitkan. Sumatera Utara: Fakultas Keperawatan Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/ handle/ 123456789/42401 Diakses tanggal 8 April 2015
232 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015
REVIEW JURNAL
Nama Jurnal
Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015
1. Judul Penelitian :
PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA
PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN MENGGUNAKAN
GROUP POSITIVE PSYCHOTHERAPY
2. Nama Peneliti :
Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih, Qurotul Uyun
3. Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kesejahteraan
psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan menggunakan group
positive psychotherapy. Subjek dalam penelitian ini adalah 12 penderita
diabetes mellitus tipe 2 berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan usia
antara 47-64 tahun, dan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan skala
kesejahteraan psikologis (22 aitem) yang mengacu pada dimensi-dimensi
kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Analisis data kuantitatif
menggunakan teknik analisis parametrik one-way repeated measures anova
untuk melihat perbedaan kesejahteraan psikologis kelompok eksperimen
setelah subjek diberikan terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan
kesejahteraan psikologis pada kelompok eksperimen setelah diberikan terapi,
dengan nilai Wilks’ Lambda = 0.153, p= 0.00 (p<0.01). Kesimpulan dari
penelitian ini bahwa group positive psychotherapy dapat meningkatkan
kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe 2.
4. Pendahuluan/latar belakang masalah :
Kesehatan merupakan hal penting dalam hidup manusia. Ketika terkena
penyakit, maka seseorang mulai menyadari bahwa kesehatan mahal harganya.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2013
diketahui bahwa pola penyakit pada semua golongan umur telah mulai
didominasi oleh penyakit-penyakit degeneratif, terutama penyakit yang
disebabkan oleh kecelakaan, neoplasma, kardiovaskuler dan diabetes mellitus.
Laporan Survailans Terpadu Penyakit (STP) Puskesmas di Daerah Istimewa
Yogyakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa penyakit diabetes mellitus
(7.434 kasus) masuk dalam urutan ke tiga dan ke lima dari distribusi 10 besar
penyakit berbasis STP Puskesmas (DepKes, 2013).
Diabetes mellitus disebut the great imitator karena diabetes mellitus
termasuk penyakit yang menyebabkan komplikasi pada bagian tubuh yang jika
penanganannya tidak dilakukan dapat menyebabkan kematian (Sam, 2007).
Menurut Tjokroprawiro (2006), penyakit diabetes melitus dapat menyerang
semua organ tubuh berupa komplikasi penyakit, seperti kebutaan, gagal ginjal,
stroke, dan jantung. Seseorang yang sudah dinyatakan memiliki diabetes
mellitus harus melakukan pengobatan seumur hidup.
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang paling kompleks dan menuntut
banyak perhatian maupun usaha dalam pengelolaannya dibandingkan dengan
penyakit kronis lainnya, karena penyakit diabetes tidak dapat diobati namun
hanya dapat dikelola (Kusumadewi, 2011). Diabetes mellitus merupakan
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya yang harus
dilakukan pengelolaan sehingga tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.
Pengelolaan diabetes mellitus meliputi edukasi, terapi gizi medis, latihan
jasmani dan intervensi farmakologis yang dapat diberikan melalui edukasi
terpadu (Yulishati, 2014).
Hayes dan Ross (Temane & Wissing, 2006) mengemukakan bahwa
kesejahteraan psikologis dapat dipredikisi oleh kesehatan fisik yang baik.
Apabila kesehatan fisik berada dalam kondisi rendah atau buruk, maka akan
meningkatkan perasaan sedih, patah semangat terhadap masa depan, merasa
sangat letih, serta mengalami penurunan kepercayaan diri dan disiplin diri.
Diabetes mellitus tipe 2 sangat erat kaitannya dengan gaya hidup penderita
sebab diabetes mellitus tipe 2 selain karena faktor keturunan, penyebab
utamanya adalah gaya hidup mengenai makanan yang dikonsumsi dan olahraga
(Buckman & McLaughlin, 1999).
Dikemukakan oleh Karlsen (2002) bahwa penyakit diabetes mellitus
khususnya tipe 2 menuntut seseorang untuk melakukan perubahan dalam gaya
hidupnya terkait dengan diet dan olahraga yang harus dilakukan serta
melakukan pengobatan oral secara ruti. Menurut Jacobson (Karlsen, 2002),
penyakit diabetes mellitus memberikan pengaruh pada kesejahteraan psikologis
seseorang karena gejala dan perawatan yang memberatkan penderita serta
komplikasi yang dapat melemahkan dan bahkan dapat mengancam jiwa
seseorang. Apabila tidak dilakukan kontrol yang tepat terhadap reaksi-reaksi
psikologis atau respon-respon secara emosional, khususnya ketika tidak ada hal
yang dapat dilakukan penderita untuk mengubah situasi, maka penderita
cenderung mengalami ketidakmampuan penyesuaian secara fisik dan
kesejahteraan psikologis (Sarafino, 1997).
Kesejahteraan psikologis merupakan pencapaian penuh dari potensi
psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima
kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup,
mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang
mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan terus betumbuh secara
personal (Ryff, 1995). Kesehatan fisik mempengaruhi kesejahteraan psikologis
individu. Hal ini senada dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Mirowsky dan Ross (1999)
yang meliputi emosi dan kesehatan serta fungsi fisik, pekerjaan, pernikahan,
anakanak, kondisi masa lalu seseorang terutama pola asuh keluarga, dan faktor
kepercayaan.
Penelitian yang mendukung bahwa penyakit fisik mempengaruhi
kesejahteraan psikologis seseorang antara lain Psychological Well-Being pada
Penyandang Gagal Ginjal oleh Aini (2012). Penelitian ini menggambarkan
bahwa kondisi fisik yang terganggu membuat mereka terbatas dalam melakukan
aktivitas yang berhubungan dengan diri sendiri maupun aktivitas sosial. Hal ini
terkait dengan aspek otonomi dan penguasaan lingkungan yang mereka
lakukan. Penyandang gagal ginjal yang mengarahkan aktivitas pada tujuan
hidupnya dan memiliki keyakinan untuk mencapainya maka mereka mampu
mengembangkan diri secara personal. Hal ini menggambarkan bahwa penting
bagi individu yang memiliki penyakit fisik untuk tetap memiliki tujuan hidup,
aktivitas yang terarah dan keyakinan diri sehingga mampu menemukan potensi
diri dan terus mengembangkannya untuk meraih kebahagiaan.
Gambaran di atas seiring dengan pendapat Papalia, Olds dan Feldman
(2009) yang mengemukakan bahwa orang yang memiliki kesejahteraan
psikologis yang baik adalah orang yang mampu merealisasikan potensi dirinya
secara kontinu, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain,
memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, menerima diri apa adanya,
memiliki arti dalam hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal.
Kesejahteraan psikologis memiliki peranan dalam pencegahan dan
penyembuhan suatu penyakit sehingga dapat meningkatkan harapan hidup
penderita (Vazques dkk, 2009).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan berhasil untuk meningkatkan
kesejahteraan psikologis di antaranya yaitu Cognitive Behavior Therapy
mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja gay (Wardani, 2014),
Konseling “Kebermaknaan Hidup” mampu mempengaruhi kesejahteraan
psikologis difabel yang dilakukan oleh Perwitasari (2012), Dewi (2012)
melakukan penelitian yang membuktikan bahwa Pelatihan Manajemen Distres
Berbasis Mindfulness (MDBM) dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis
pada orang dengan HIV AIDS (ODHA). Group Positive Psychotherapy juga
terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja yang dilakukan
oleh Wardiyah (2013). Demikian pula Group Positive Psychotherapy yang
dilakukan oleh Prabowo (2011) mampu meningkatkan Psychological Well-
Being Mahasiswa di Universitas YARSI. Penelitian yang dilakukan oleh
Hidayah (2014) membuktikan bahwa Group Positive Psychotherapy efektif
untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada orang dengan HIV/ AIDS
(ODHA) di Boyolali.
Beberapa penelitian sebelumnya cukup banyak membuktikan group
positive psychotherapy efektif dan berpengaruh signifikan untuk meningkatkan
kesejahteraan psikologis namun belum pernah ada yang meneliti pengaruhnya
terhadap penderita Diabetes Mellitus. Group positive psychotherapy adalah
suatu model terapi dengan pendekatan kelompok yang menfokuskan upaya
membangun hidup yang menyenangkan, hidup yang terikat kegiatan-kegiatan,
dan hidup yang bermakna.
Menurut Parks-Sheiner (2009), Group positive psychotherapy merupakan
intervensi untuk mencapai target hidup yang menyenangkan, keterlibatan dalam
aktivitas, dan kebermaknaan hidup. Group positive psychotherapy terdiri dari
beberapa teknik yaitu Tiga Hal Baik (Three Good Things), Pergunakan
Kekuatanmu (Using Your Strenghts), Kunjungan Terimakasih (The Gratitude
Visit), Biografi (Obituary), Respon Aktif/ Konstruktif (Active-Constructive
Responding), Menikmati Kegiatan Sehari-hari (Savoring). Keenam teknik ini
digunakan untuk mencapai tiga sasaran utama dalam group positive
psychotherapy yaitu hidup yang menyenangkan, hidup terikat pada kesibukan,
hidup yang bermakna (Seligman, 2006). Oleh karena itu, peneliti ingin
mengetahui peningkatan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 dengan menggunakan group positive psychotherapy.
5. Teori/definisi dari variable yang terlibat :
Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus disebut the great imitator karena diabetes mellitus
termasuk penyakit yang menyebabkan komplikasi pada bagian tubuh yang
jika penanganannya tidak dilakukan dapat menyebabkan kematian (Sam,
2007). Menurut Tjokroprawiro (2006), penyakit diabetes melitus dapat
menyerang semua organ tubuh berupa komplikasi penyakit, seperti
kebutaan, gagal ginjal, stroke, dan jantung. Seseorang yang sudah
dinyatakan memiliki diabetes mellitus harus melakukan pengobatan seumur
hidup.
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang paling kompleks dan
menuntut banyak perhatian maupun usaha dalam pengelolaannya
dibandingkan dengan penyakit kronis lainnya, karena penyakit diabetes
tidak dapat diobati namun hanya dapat dikelola (Kusumadewi, 2011).
Diabetes mellitus merupakan kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya yang harus dilakukan pengelolaan sehingga
tidak terjadi komplikasi lebih lanjut. Pengelolaan diabetes mellitus meliputi
edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis yang
dapat diberikan melalui edukasi terpadu (Yulishati, 2014).
Dikemukakan oleh Karlsen (2002) bahwa penyakit diabetes mellitus
khususnya tipe 2 menuntut seseorang untuk melakukan perubahan dalam
gaya hidupnya terkait dengan diet dan olahraga yang harus dilakukan serta
melakukan pengobatan oral secara ruti. Menurut Jacobson (Karlsen, 2002),
penyakit diabetes mellitus memberikan pengaruh pada kesejahteraan
psikologis seseorang karena gejala dan perawatan yang memberatkan
penderita serta komplikasi yang dapat melemahkan dan bahkan dapat
mengancam jiwa seseorang. Apabila tidak dilakukan kontrol yang tepat
terhadap reaksi-reaksi psikologis atau respon-respon secara emosional,
khususnya ketika tidak ada hal yang dapat dilakukan penderita untuk
mengubah situasi, maka penderita cenderung mengalami ketidakmampuan
penyesuaian secara fisik dan kesejahteraan psikologis (Sarafino, 1997).
Kesejahteraan Psikologis
Hayes dan Ross (Temane & Wissing, 2006) mengemukakan bahwa
kesejahteraan psikologis dapat dipredikisi oleh kesehatan fisik yang baik.
Apabila kesehatan fisik berada dalam kondisi rendah atau buruk, maka akan
meningkatkan perasaan sedih, patah semangat terhadap masa depan, merasa
sangat letih, serta mengalami penurunan kepercayaan diri dan disiplin diri.
Kesejahteraan psikologis merupakan pencapaian penuh dari potensi
psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima
kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup,
mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi
yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan terus betumbuh
secara personal (Ryff, 1995). Kesehatan fisik mempengaruhi kesejahteraan
psikologis individu. Hal ini senada dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Mirowsky
dan Ross (1999) yang meliputi emosi dan kesehatan serta fungsi fisik,
pekerjaan, pernikahan, anakanak, kondisi masa lalu seseorang terutama pola
asuh keluarga, dan faktor kepercayaan,
Group Positive Psychotherapy
Group Positive Psychotherapy juga terbukti mampu meningkatkan
kesejahteraan psikologis remaja yang dilakukan oleh Wardiyah (2013).
Demikian pula Group Positive Psychotherapy yang dilakukan oleh
Prabowo (2011) mampu meningkatkan Psychological Well-Being
Mahasiswa di Universitas YARSI. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayah
(2014) membuktikan bahwa Group Positive Psychotherapy efektif untuk
meningkatkan kesejahteraan psikologis pada orang dengan HIV/ AIDS
(ODHA) di Boyolali.
Beberapa penelitian sebelumnya cukup banyak membuktikan group
positive psychotherapy efektif dan berpengaruh signifikan untuk
meningkatkan kesejahteraan psikologis namun belum pernah ada yang
meneliti pengaruhnya terhadap penderita Diabetes Mellitus. Group positive
psychotherapy adalah suatu model terapi dengan pendekatan kelompok
yang menfokuskan upaya membangun hidup yang menyenangkan, hidup
yang terikat kegiatan-kegiatan, dan hidup yang bermakna. Menurut Parks-
Sheiner (2009), Group positive psychotherapy merupakan intervensi untuk
mencapai target hidup yang menyenangkan, keterlibatan dalam aktivitas,
dan kebermaknaan hidup.
Group positive psychotherapy terdiri dari beberapa teknik yaitu Tiga
Hal Baik (Three Good Things), Pergunakan Kekuatanmu (Using Your
Strenghts), Kunjungan Terimakasih (The Gratitude Visit), Biografi
(Obituary), Respon Aktif/Konstruktif (Active-Constructive Responding),
Menikmati Kegiatan Sehari-hari (Savoring). Keenam teknik ini digunakan
untuk mencapai tiga sasaran utama dalam group positive psychotherapy
yaitu hidup yang menyenangkan, hidup terikat pada kesibukan, hidup yang
bermakna (Seligman, 2006).
6. Hipotesis :
Group positive psychotherapy mampu meningkatkan kesejahteraan
psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dan kelompok yang
mendapatkan intervensi group positive psychotherapy lebih tinggi tingkat
kesejahteraan psikologis dibandingkan dengan kelompok yang tidak
mendapatkan group positive psychotherapy.
7. Sampel/subjek penelitian :
Populasi dalam penelitian ini adalah penderita diabetes mellitus tipe 2 yang
berada di bawah wilayah kerja Puskesmas Ngemplak 1 dan Ngemplak 2,
Sleman. Adapun kriteria subjek penelitian adalah memiliki diagnosa penyakit
diabetes mellitus tipe 2, laki-laki atau perempuan berusia 47-64 tahun dengan
alasan bahwa penyakit diabetes mellitus tipe 2 diderita antara usia pertengahan
dan usia lanjut dengan serangan awal terjadi setelah usia 40 tahun, memiliki
kemampuan baca dan tulis, tidak sedang mengikuti intervensi psikologis
apapun, memiliki skor kesejahteraan psikologis dengan kategori sedang, rendah
dan sangat rendah, serta bersedia mengikuti rangkaian penelitian dari prates
hingga tindak lanjut.
8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen :
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kuasi
eksperimen. Partisipan yang diambil adalah partisipan yang memenuhi salah
satu atau dua kriteria sekaligus, yaitu masuk dalam kategori sedang, rendah, dan
sangat rendah di dalam skala kesejahteraan psikologis. Pada penelitian ini
metode eksperimen dilakukan dengan memberikan perlakuan berupa group
positive psychotherapy untuk melihat peningkatan kesejahteraan psikologis
pada penderita diabetes mellitus tipe 2.
9. Metode Pengambilan Data :
Metode penelitian yang digunakan dalam melakukan pengumpulan data
adalah dengan menggunakan observasi, wawancara, dan skala kesejahteraan
psikologis. Skala yang digunakan merupakan skala yang dimodifikasi dari skala
yang pernah ada dan dibuat oleh peneliti sebelumnya. Skala kesejahteraan
psikologis disusun berdasarkan dimensi-dimensi kesejahteran psikologis yang
dikemukakan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan diri, relasi positif dengan
sesama, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan
pribadi.
Skala kesejahteraan psikologis ini terdiri atas 29 aitem favorable dan
unfavorable. Setiap pernyataan dalam skala kesejahteraan psikologis ini
meminta respon dari subjek dengan memilih salah satu alternatif jawaban yang
telah disediakan. Skala ini disusun berdasarkan skala Likert yang terdiri atas 4
alternatif jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan
sangat tidak sesuai (STS). Hasil uji coba skala kesejahteraan psikologis
menunjukkan bahwa dari 29 butir pernyataan, 22 butir dinyatakan sahih dan 7
butir dinyatakan gugur. Koefisien korelasi untuk skala yang sahih bergerak
antara 0,319 hingga 0,682. Hasil uji coba reliabilitas skala kesejahteraan
psikologis menunjukkan bahwa koefisien korelasi sebesar 0,855.
10. Pelaksanaan Penelitian :
Adapun prosedur penelitian pada penelitian ini yaitu: Pertama, perijinan
tempat untuk melakukan screening. Kedua, screening menggunakan skala
penelitian kepada orang dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Hasil skala dengan
kategori sedang dan rendah serta memenuhi kriteria dipilih menjadi subjek
penelitian. Data ini juga digunakan sebagai prates. Ketiga, wawancara untuk
menggali permasalahan dan pemberian Informed Consent kepada subjek
penelitian. Keempat, penentuan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
Kelima, seleksi fasilitator dan ko-fasilitator, serta observer. Kelima,
pelaksanaan intervensi Group Positive Psychotherapy pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi.
11. Metode Analisis Data :
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik analisis data. Teknik analisis
data parametrik yang digunakan adalah one-way repeated measures anova,
yaitu teknik analisis untuk melihat apakah ada perubahan (prates-pascates-
tindak lanjut) pada kelompok eksperimen. Selain itu dilakukan juga uji
independent sample t-test untuk membandingkan kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Analisis dari variabel-variabel tersebut dilakukan dengan
program komputer SPSS (Statistical Product and Service Solution) for
windows.
12. Hasil Penelitian :
Jumlah subjek penelitian pada kelompok eksperimen sebanyak 6 penderita
diabetes mellitus tipe 2, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Subjek yang
masuk ke dalam kelompok eksperimen merupakan anggota terapi yang
dilakukan selama 3 kali pertemuan. Penelitian ini melakukan pengukuran
sebanyak tiga kali, yaitu sebelum intervensi dilakukan (prates), setelah
intervensi diberikan (pascates) dan 2 minggu setelah intervensi diberikan
(tindak lanjut).
Hasil pengukuran pascates menunjukkan semua kelompok eksperimen
mengalami peningkatan skor kesejahteraan psikologis setelah diberikan
intervensi berupa group positive psychotherapy. Sedangkan pada kelompok
kontrol terdapat 1 subjek yang mengalami peningkatan skor, 2 subjek yang
mendapatkan skor tetap, dan 3 subjek yang mengalami penurunan skor.
Berdasarkan tabel analisis statistik, diketahui bahwa rata-rata skor pada
prates kelompok eksperimen sebesar 49.33 dan kelompok kontrol 50.67. Hal ini
berarti bahwa rata-rata skor pada kelompok kontrol lebih tinggi dari kelompok
eksperimen. Sedangkan, setelah terapi (pascates) diketahui bahwa rata-rata skor
kelompok eksperimen lebih tinggi dibanding kelompok control, yaitu 58.33
berbanding 50.33. Hal ini juga dialami pada tahap tindak lanjut, rata-rata skor
kelompok eksperimen (57.00) lebih tinggi dibanding rata-rata skor kelompok
kontrol (49.33).
Hasil uji normalitas dari skala kesejahteraan psikologis diperoleh nilai K-
SZ = 0.631 dan p = 0.821 sehingga penyebaran data skala kesejahteraan
psikologis dapat dikatakan normal. Hasil uji homogenitas pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol pada penelitian ini memperoleh nilai levene
statistic = 0.833 dan nilai p = 0.383 berarti nilai p>0.05 sehingga dapat
dikatakan bahwa proporsi kedua kelompok adalah homogen.
Pada tabel analisis statistik, nilai Wilks’ Lambda = 0.153, p= 0.00 (p<0.01)
menunjukkan ada perubahan secara sangat signifikan pada skor kesejahteraan
psikologis kelompok ekperimen dalam tiga kali pengukuran. Hal ini berarti
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor prates dengan pascates
pada kelompok eksperimen, dan juga terdapat perbedaan yang signifikan antara
skor prates dengan tindak lanjut pada kelompok eksperimen. Perbedaan antara
skor prates-pascates-tindak lanjut yang dimaksud yaitu terjadi perubahan skor
prates-pascates yang semakin meningkat berdasarkan nilai Mean kelompok
eksperimen dari 49.33 menjadi 58.33. Pada tindak lanjut diperoleh Mean 57.00.
Kedua Mean terlihat lebih tinggi jika dibandingkan dengan Mean prates. Nilai
Partial Eta Square pada baris diperoleh nilai 0.847, hal ini berarti bahwa
sumbangan efektif sebesar 84,7.
Ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol setelah terapi diberikan, dengan nilai p=0.000 (p<0.01) pada
saat prates-pascates dan p=0.001 (p<0.01) pada saat prates-tindak lanjut.
13. Kesimpulan :
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa group positive psychotherapy dapat meningkatkan kesejahteraan
psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Kelompok yang
mendapatkan intervensi group positive psychotherapy lebih tinggi tingkat
kesejahteraan psikologis dibandingkan dengan kelompok yang tidak
mendapatkan group positive psychotherapy.
JURNAL PSIKOLOGI
VOLUME 38, NO. 1, JUNI 2011: 92 – 107
Pengaruh Terapi Menulis Pengalaman Emosional
Terhadap Penurunan Depresi pada
Mahasiswa Tahun Pertama
Theresia Genduk Susilowati1
Nida Ul Hasanat2
Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada
Abstract
In the first year, college students will get the stressful events which related to leave
parents and friends, also the transition of educational system and new home stay. The stressful
events can cause negative of cognitive and emotional responses to college students. Therefore,
it can cause depression on college student self. This research aims to test the effect writing
about emotional experiences therapy on reducing depression for the first year college students.
Research design uses two matched groups design. Subjects (N=12) were divided into
experimental group (n=6) or control group (n=6). The experimental group was instructed to
write about emotional experiences in four writing sessions lasting ± 30 minutes. Outcomes
were measured at pretest, posttest, and follow up by Mixed ANOVA Design. Between Group
ANOVA indicated the groups differed significantly on depression (F=25.88, p=.001). Within
Group ANOVA indicated that experimental group reported significantly reduced depression
at pretest, posttest, and follow up (F=33.72, p=.001). Post hoc test revealed that the repeat
experimental group reported significantly reduced depression at pretest-posttest (p=.003),
posttest-follow up (p>0,33), and pretest-follow up (p<0,01). This result indicated that writing
about emotional experience therapy can reduce depression for first year college students.
Keywords: writing about emotional experiences therapy, depression, first year college students
Memasuki pendidikan tinggi merupa-
kan masa transisi dari pendidikan sekolah
menengah ke pendidikan tinggi. Masa tran-
sisi ini merupakan periode yang menekan
bagi mahasiswa karena dihadapkan de-
ngan situasi-situasi dan tuntutan baru
(Duffy & Atwater, 2002; Wei, Russell, &
Zakalik, 2005).
Kejadian-kejadian menekan yang dia-
lami mahasiswa adalah perpisahan dengan
1
Korespondesi dengan penulis dapat dilakukan
melalui: [email protected] 2 Atau dengan menghubungi: [email protected]
orang tua, perpisahan dengan sahabat,
perpindahan tempat tinggal, perubahan sis-
tem pendidikan, dan pertentangan sistem
nilai (Pennebaker, Colder, & Sharp, 1990).
Selain itu, mahasiswa yang sedang berada
pada masa remaja juga dapat dihadapkan
dengan kejadian-kejadian menekan lainnya
seperti konflik hubungan dengan pacar,
rendahnya prestasi akademik, konflik de-
ngan orang tua atau teman sebaya (Blau,
1996), dan masalah keuangan (Furr, Conell,
Westefeld, dan Jenkins, 2001).
Pada tahun pertama kuliah, mahasiswa
dituntut untuk mengatasi semua masalah
92
dan konflik yang dialami serta melakukan
penyesuaian terhadap lingkungan baru.
Kegagalan mahasiswa untuk mengatasi
permasalahan dan melakukan penyesuaian
terhadap kejadian-kejadian yang menekan
tersebut akan memicu timbulnya depresi
dalam diri mahasiswa (Fisher, 1988;
Mazure, 1998; Rey, 1995).
Menurut pandangan kognitif, reaksi
emosi muncul ketika individu menghadapi
situasi tertentu. Reaksi emosi seseorang
ditentukan oleh bagaimana individu meng-
interpretasikan pengalaman-pengalaman-
nya terhadap situasi tersebut (Beck, 1985;
Burns, 1988). Pemikiran individu terhadap
situasi menekan yang dihadapi akan
menentukan kualitas dan intensitas reaksi
emosi (Lazarus, 1991). Martin dan Dahlen
(2005) dalam penelitiannya menemukan
bahwa pemikiran-pemikiran negatif dapat
memunculkan reaksi emosi yang negatif
pada diri seseorang. Pemikiran-pemikiran
tersebut adalah menyalahkan diri sendiri,
menyalahkan orang lain dan lingkungan,
ruminasi, dan katastrofi. Keempat pemi-
kiran negatif tersebut menurunkan peni-
laian positif dan penerimaan akan situasi
yang dihadapi. Selain itu, pemikiran-pemi-
kiran negatif tersebut berhubungan dengan
depresi.
Reaksi emosi juga melibatkan dua sis-
tem afektif, yaitu afek positif dan afek
negatif. Berkaitan dengan sistem afektif
tersebut, depresi melibatkan rendahnya
afek positif dan tingginya afek negatif
(Clark, Watson, & Mineka, 1994).
Beck (1985; Dowd, 2004; Greenberger &
Padesky, 1995) mengemukakan bahwa
depresi ditandai dengan pandangan negatif
mengenai diri sendiri, dunia, dan masa
depan. Individu dapat mengalami depresi
karena ia memiliki skema kognitif yang
negatif. Skema kognitif ini dikembangkan
dari masa kanak-kanak atau remaja dan
bersifat disfungsional. Skema kognitif yang
negatif tersebut dapat mengantarai mun-
culnya depresi ketika individu mengalami
kejadian-kejadian yang menekan dengan
cara menginterpretasikan dan memberikan
pandangan yang negatif terhadap kejadian-
kejadian yang menekan (Beck, 1985; Dowd,
2004).
Dari penjelasan di atas, depresi meru-
pakan suatu gangguan emosional atau
perasaan. Depresi yang dibiarkan terus
berlanjut akan berdampak buruk pada
individu yang mengalaminya sehingga
perlu adanya intervensi untuk mengata-
sinya. Beberapa intervensi telah dilakukan
untuk mengatasi atau menurunkan sim-
tom-simtom depresi. Salah satu intervensi
yang dapat dilakukan untuk mengatasi
atau menurunkan simtom-simtom depresi
adalah Terapi Menulis Ekspresif atau
Menulis Pengalaman Emosional (Lepore,
1997; Purwandari, 2004; Sloan & Marx,
2004).
Metode menulis ekspresif atau menulis
pengalaman emosional telah menjadi kajian
yang menarik pada dua dekade belakangan
ini. Menurut Poerwadarminta (1976), me-
nulis adalah suatu aktivitas melahirkan
pikiran dan perasaan dengan tulisan.
Menulis berbeda dengan berbicara. Menu-
lis memiliki suatu kekuatan tersendiri kare-
na menulis adalah suatu bentuk eksplorasi
dan ekspresi area pemikiran, emosi dan
spiritual yang dapat dijadikan sebagai
suatu sarana untuk berkomunikasi dengan
diri sendiri dan mengembangkan suatu
pemikiran serta kesadaran akan suatu
peristiwa (Bolton, 2004).
Terapi Menulis adalah suatu aktivitas
menulis yang mencerminkan refleksi dan
ekspresi klien baik itu karena inisiatif sen-
diri atau sugesti dari seorang terapis atau
peneliti (Wright, 2004). Pusat dari terapi
menulis lebih pada proses selama menulis
daripada hasil dari menulis itu sendiri
sehingga penting bahwa menulis adalah
suatu aktivitas yang personal, bebas kritik,
dan bebas dari aturan bahasa seperti tata
bahasa, sintaksis, dan bentuk (Bolton,
2004). Oleh karena itu, menulis dapat
disebut sebagai bentuk terapi yang meng-
gunakan teknik sederhana, murah, dan
tidak membutuhkan umpan balik (Penne-
baker, 1997; Pennebaker & Chung, 2007).
Dalam seting klinis, Terapi Menulis Penga-
laman Emosional atau Menulis Ekspresif
dapat diartikan sebagai suatu terapi de-
ngan aktivitas menulis mengenai pikiran
dan perasaan yang mendalam terhadap
pengalaman-pengalaman yang berkaitan
dengan kejadian-kejadian yang menekan
atau bersifat traumatik (Pennebaker, 1997;
Pennebaker & Chung, 2007).
Lepore et al. (2002) dalam kajiannya
menunjukkan bahwa menulis ekspresif
atau menulis mengenai pengalaman-penga-
laman emosional dapat memfasilitasi regu-
lasi emosi melalui tiga mekanisme, yaitu:
(a) mengarahkan perhatian, (b) memfasili-
tasi habituasi (pembiasaan), dan (c) mem-
bantu restrukturisasi kognitif.
Pennebaker et al. (1990) dalam pene-
litiannya menunjukkan bahwa masa tran-
sisi yang dialami mahasiswa baru meng-
akibatkan mahasiswa mengalami mood
negatif dan hambatan untuk melakukan
penyesuaian psikologis sampai akhir
semester pertama. Mahasiswa seringkali
menghadapi konflik dan perasaan takut
berkaitan dengan meninggalkan rumah,
perubahan peraturan, dan memasuki per-
kuliahan. Dengan menuliskan pikiran dan
perasaan mengenai pengalaman minggu
pertama kuliah, mahasiswa memperoleh
perubahan persepsi, perasaan, dan kese-
hatan.
Penelitian mengenai efektivitas terapi
untuk menurunkan simtom-simtom de-
presi pada mahasiswa telah dilakukan oleh
Lepore (1997). Lepore menggunakan Terapi
Menulis Ekspresif atau Menulis Penga-
laman Emosional untuk menurunkan
simtom-simtom depresi pada mahasiswa
sebelum menghadapi ujian. Penurunan
simtom-simtom depresi tersebut dapat
terjadi karena diantarai oleh menurunnya
tingkat emosional negatif yang diakibatkan
oleh pikiran-pikiran yang mengganggu
(instrusive thoughts).
Efektivitas menulis pengalaman emo-
sional untuk menurunkan depresi telah
dibuktikan oleh penelitian Purwandari
(2004) pada remaja yang mengalami
rehabilitasi NAPZA. Purwandari menge-
mukakan bahwa pemikiran positif terjadi
karena adanya penurunan bias memori
otobiografi. Memori otobiografi adalah
muatan emosi peristiwa-peristiwa yang
pernah dilalui remaja, baik yang bersifat
menyenangkan (positif) atau menyedihkan
(negatif). Pada saat remaja mengalami
depresi, mereka akan mengalami distorsi
kognitif sehingga mengalami bias karena
perasaan-perasaan negatif saja yang dii-
ngat. Pemikiran positif dapat terjadi setelah
satu minggu intervensi menulis penga-
laman emosional dilaksanakan. Dari pene-
litian tersebut dapat diketahui bahwa
pemikiran positif yang paling besar terjadi
pada subjek dengan tingkat depresi berat.
Penelitian lain mengenai menulis
pengalaman emosional dan depresi juga
dilakukan oleh Sloan dan Marx (2004) pada
subjek yang mengalami simtom-simtom
Post Traumatic Stress Disorder dengan meng-
gunakan metode eksperimen. Menulis
pengalaman emosional berlangsung selama
tiga sesi menulis selama tiga hari berturut-
turut dan setiap sesi berlangsung selama 20
menit. Selain itu, follow up dilakukan pada
minggu ke dua dan ke empat. Penelitian
Sloan dan Marx ini menunjukkan bahwa
menulis pengalaman emosional secara
klinis dapat menurunkan simtom-simtom
depresi. Subjek dalam kelompok menulis
pengalaman emosional melaporkan menu-
runnya simtom-simtom depresi setelah me-
nulis pengalaman emosional dan follow up.
Pada penelitian ini, peneliti ingin meli-
hat pengaruh menulis pengalaman emo-
sional terhadap penurunan depresi pada
mahasiswa tahun pertama. Hipotesis yang
diajukan adalah Terapi Menulis Pengala-
man Emosional dapat menurunkan depresi
pada mahasiswa tahun pertama.
Depresi pada mahasiswa tahun perta-
ma dapat menurun karena adanya restruk-
turisasi kognitif yang difasilitasi oleh me-
nulis pengalaman emosional. Restrukturi-
sasi kognitif dapat dilakukan dengan me-
ngevaluasi pikiran-pikiran negatif terhadap
stresor. Dengan melakukan evaluasi, akan
terjadi perubahan kognitif mahasiswa da-
lam memandang diri sendiri dan ling-
kungan berkaitan dengan stresor atau
perubahan reaksi emosi mereka terhadap
stresor.
Metode
Subjek
Subjek dalam penelitian ini adalah 12
mahasiswa tahun pertama Fakultas Psiko-
logi Universitas Gadjah Mada dengan ren-
tang usia 18-19 tahun. Karakteristik subjek
adalah mahasiswa tahun pertama yang
berasal dari luar daerah Yogyakarta dan
tinggal tidak bersama orang tua atau
tinggal di kos atau asrama. Subjek diseleksi
berdasarkan hasil skrining yang menunjuk-
kan skor depresi lebih dari 17 berdasarkan
Beck Depression Inventory (BDI)
Alat atau materi
Alat atau materi yang diberikan
pada subjek dalam penelitian ini adalah:
1. Beck Depression Inventory (BDI)
Beck Depression Inventory merupakan
skala untuk mengukur tingkat depresi
subjek. Pada penelitian ini, skala BDI
yang digunakan adalah skala BDI yang
telah diadaptasi ke dalam bahasa Indo-
nesia. Uji validitas dan reliabilitas skala
adaptasi BDI telah dilakukan oleh Ret-
nowati dengan subjek mahasiswa baru
(Susilowati, 2008). Dari uji validitas,
skala BDI sahih pada koefisien korelasi
sebesar 0,1936 sampai 0,6317 pada taraf
signifikansi 5 persen dan dari uji relia-
bilitas menggunakan tehnik analisis
Hoyt diperoleh koefisien keandalan
sebesar 0,844.
Beck Depression Inventory terdiri dari 21
aitem yang mengambarkan simtom-
simtom depresi, yaitu simtom afektif,
simtom kognitif, simtom motivasional,
dan simtom vegetatif-fisik. Skor total
dihitung dengan cara menjumlahkan
seluruh skor yang diperoleh untuk
masing-masing aitem. Skor total yang
didapatkan dari skala ini adalah antara
0 sampai 63. Subjek yang dinyatakan
depresi dalam penelitian ini adalah sub-
jek yang mengikuti klasifikasi Burns
(1988) yaitu dengan skor total 17 ke
atas.
2. The Positive and Negative Affect Schedule
(PANAS)
The Positive and Negative Affect Schedule
(PANAS) merupakan skala untuk
mengukur perasaan positif dan negatif.
Masing-masing skala perasaan positif
dan perasaan negatif terdiri dari 10
aitem. Skala ini menggunakan format
jawaban 5 poin skala Likert, yaitu: 1
(hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3
(kadang-kadang), 4 (sering), dan 5
(hampir selalu). Skor skala didapatkan
dengan menjumlahkan 10 aitem untuk
merefleksikan lebih tinggi perasaan
positif atau perasaan negatif.
Pada penelitian ini, skala PANAS yang
digunakan adalah PANAS yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indo-
nesia. Pada uji reliabilitas dan validitas
10 aitem perasaan negatif dan 10 aitem
perasaan positif adaptasi yang dilaku-
kan peneliti terhadap 60 orang maha-
siswa tahun pertama Fakultas Kegu-
ruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sanata Dharma ditemukan korelasi
aitem total sebesar 0,207-0,707 untuk
perasaan negatif dan 0,237-0,630 untuk
perasaan positif. Dari uji reliabilitas
diperoleh koefisien alfa Cronbach sebe-
sar 0,788 untuk perasaan negatif dan
0,775 untuk perasaan positif.
3. Cognitive-Emotion Regulation Question-
naire (CERQ).
Cognitive-Emotion Regulation Question-
naire (CERQ) digunakan untuk menge-
tahui pemikiran seseorang pada saat
atau setelah mengalami kejadian yang
mengancam atau menekan.
Cognitive-Emotion Regulation Question-
naire (CERQ) terdiri dari sembilan subs-
kala yaitu menyalahkan diri sendiri,
menyalahkan orang lain dan lingkung-
an, ruminasi (seringkali berpikir ten-
tang perasaan yang berkaitan dengan
kejadian-kejadian negatif), katastrofi
(pikiran pada teror yang dirasakan),
menyusun persfektif, memusatkan pi-
kiran pada hal positif, menilai adanya
hal yang positif, menerima situasi, dan
menyusun rencana (Garnefski et al.,
2002).
Masing-masing sub skala dalam CERQ
terdiri dari 4 aitem dengan format
jawaban 5 point skala Likert yaitu 1
(hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3
(kadang-kadang), 4 (sering), dan 5
(hampir selalu).
Penelitian ini menggunakan Skala
CERQ yang telah diterjemahkan ke da-
lam bahasa Indonesia. Pada penelitian
ini, uji reliabilitas dan validitas terha-
dap 60 mahasiswa tahun pertama
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendi-
dikan Universitas Sanata Dharma. Uji
validitas 16 aitem pemikiran negatif
dan 20 aitem pemikiran positif, dite-
mukan 15 aitem pemikiran negatif
sahih dengan korelasi aitem total
sebesar 0,321-0,720 dan 19 aitem pemi-
kiran positif sahih dengan korelasi
aitem total sebesar 0,260-0,674 dengan
aitem yang gugur adalah 10 dan 33. Uji
reliabilitas ditemukan koefisien reliabi-
litas Alfa Cronbach sebesar 0,863 untuk
pemikiran negatif dan 0,854 untuk
pemikiran positif.
4. Lembar kesediaan menjadi subjek pene-
litian (informed consent).
Lembar kesediaan subjek berisi penje-
lasan tentang penelitian, perjanjian
tentang pelaksanaan terapi, ketentuan,
manfaat, konsekuensi, jaminan keraha-
siaan identitas, dan komitmen untuk
mengikuti seluruh tahapan terapi.
5. Modul menulis pengalaman emosional
Modul menulis pengalaman emosional
disusun oleh peneliti sebagai panduan
dalam pelaksanaan terapi.
6. Buku harian
Buku harian ini disusun oleh peneliti
sebagai media untuk menulis penga-
laman emosional oleh subjek. Setiap
subjek diminta untuk menulis penga-
laman emosionalnya pada buku harian
selama 4 kali pertemuan. Setiap sesi
menulis berdurasi kurang lebih selama
30 menit.
Validitas buku harian ini ditentukan
berdasarkan validitas tampang (face
validity) dengan mengacu pada format
penampilan. Validitas tampang ditentu-
kan berdasarkan profesional judgment
bahwa buku ini layak digunakan seba-
gai alat intervensi. Buku harian dengan
desain dan tata letak yang baik dapat
memotivasi subjek untuk menulis de-
ngan baik (Kaloeti, 2007).
7. Lembar Kerja (Worksheet)
Lembar kerja ini berisi pernyataan ten-
tang hal-hal yang didapatkan oleh
subjek selama menulis pengalaman
emosional. Pernyataan yang diberikan
dalam lembar kerja ini adalah:
a. Tema kejadian yang dituliskan
b. Emosi-emosi yang muncul selama
menulis
c. Emosi yang dirasakan setelah me-
nulis
d. Hal-hal yang didapatkan selama
menulis
8. Alat tulis
Alat tulis berupa pulpen yang diberikan
kepada subjek.
Rancangan eksperimen
Rancangan penelitian yang digunakan
adalah two matched group design. Pengu-
kuran dalam penelitian ini menggunakan
desain pretest, posttest, dan follow up. Subjek
diberikan pretest sebelum pelaksanaan
tritmen dengan skala BDI, PANAS, dan
CERQ. Kemudian setelah pelaksanaan
tritmen dilakukan posttest dengan meng-
gunakan skala yang sama sebagai evaluasi
hasil tritmen, sehingga akan terlihat perbe-
daannya sebelum dan sesudah dilakukan
tritmen. Selanjutnya rentang waktu satu
minggu setelah semua sesi tritmen berakhir
dan dilakukan posttest, akan dilakukan
follow up untuk melihat efektivitas tritmen
lebih lanjut.
- X : Tanpa perlakuan
Y2 : Postest
Y3 : Follow up satu minggu setelah semua sesi
terapi dilakukan
Gambar 1. Rancangan eksperimen
Prosedur Penelitian
Secara garis besar prosedur penelitian
yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. hipotesisMelakukan uji coba modul. Uji
kelayak- an modul telah dilakukan
dengan melakukan simulasi sebanyak
empat kali simulasi terhadap lima
mahasiswa yaitu pada tanggal 15 Mei
2009 seba- nyak dua kali uji coba dan 26
Mei 2009 sebanyak dua kali uji coba.
2. Melakukan uji coba PANAS dan CERQ
pada tanggal 11-15 Mei 2009.
3. Melakukan skrining subjek berdasarkan
kriteria yang telah dibuat oleh peneliti
yaitu pada tanggal 22 Mei 2009. Skrin-
ing dilakukan pada 100 mahasiswa
semester II tahun pertama Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada. Ber-
dasarkan skrining yang dilakukan
didapatkan 24 mahasiswa yang sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan.
4. Peneliti membagi 24 mahasiswa terse-
but menjadi dua kelompok, 12 maha-
siswa untuk kelompok eksperimen dan
12 mahasiswa untuk kelompok kontrol
dengan matched skor depresi.
5. Meminta persetujuan subjek untuk
mengikuti penelitian dilakukan dengan Post
Pre test Perlakuan Follow penandatanganan lembar persetujuan
test up
KE Y1 X Y2 Y3
KK Y1 - X Y2 Y3
Keterangan:
KE : Kelompok eksperimen yang mendapat
perlakuan menulis pengalaman emosional
KK : Kelompok kontrol
Y1 : Pretest
X : Perlakuan menulis pengalaman emosional
menjadi subjek atau informed consent
pada tanggal 29 Mei 2009 untuk kelom-
pok eksperimen dan 3 Juni 2009 untuk
kelompok kontrol. Pada tahap ini,
mahasiswa yang bersedia mengikuti
penelitian adalah 9 untuk kelompok
eksperimen dan 10 untuk kelompok
kontrol.
6. Pemberian pretest yaitu berupa PANAS
dan CERQ pada 3 Juni 2009.
7. Proses terapi dimulai pada tanggal 3
sampai 10 Juni 2009. Pada pelaksanaan
terapi, subjek yang datang pada hari
pertama terapi adalah enam subjek dan
tiga subjek lainnya menyatakan meng-
undurkan diri. Sebelum memulai tera-
pi, subjek terlebih dahulu diberikan
informasi mengenai hal–hal yang ber-
hubungan dengan proses terapi seperti
aturan yang harus ditaati bersama dan
kegiatan yang dilakukan selama empat
kali pertemuan. Subjek diberikan terapi
berupa menulis pengalaman emosional
dengan menggunakan buku harian.
Terapi dilakukan selama empat kali
pertemuan yaitu pada tanggal 3, 5, 8,
dan 10 Juni 2009. Sebelum menulis,
subjek diberikan instruksi terlebih da-
hulu. Observer dilibatkan sebagai peng-
amat dalam setiap proses intervensi
dengan panduan lembar observasi.
8. Pemberian posttest berupa BDI, PANAS,
dan CERQ dilakukan pada tanggal 10
Juni 2009. Untuk kelompok eksperimen,
posttest diberikan pada akhir pertemuan
ke empat. Posttest ini diikuti oleh enam
subjek dari kelompok eksperimen dan
enam subjek dari kelompok kontrol.
Empat subjek dalam kelompok kontrol
gugur karena tidak bersedia mengikuti
posttest.
9. Follow up berupa pemberian BDI,
pemikiran subjek setelah mengikuti
Terapi Menulis Pengalaman Emosional.
11. Melakukan analisis kualitatif yaitu de-
ngan analisis naratif berdasarkan cerita
yang ditulis untuk mengetahui dina-
mika yang terjadi dalam Terapi Menulis
Pengalaman Emosional.
Hasil
Pada penelitian ini, analisis dilakukan
dalam dua cara, yaitu analisis kuantitatif
dan analisis kualitatif.
Analisis Kuantitatif
Pengujian hipotesis dilakukan dengan
membandingkan skor pretest, posttest, dan
follow up hasil pengukuran skala Beck
Depression Inventory (BDI) dengan meng-
gunakan Design Anava Campuran yang
terdiri Anava Antar Kelompok dan Anava
Amatan Ulang.
Hasil Anava Amatan Antar Kelompok
Depresi antara Kelompok Eksperimen dan
Kelompok Kontrol menunjukkan nilai F
hitung=25,88 dan p=0,001 (p<0,05), yang
berarti ada perbedaan yang signifikan an-
tara kelompok eksperimen dengan kelom-
pok kontrol.
Tabel 1
Rerata Skor Depresi pada Kelompok
Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Rerata PANAS, dan CERQ dilakukan setelah
satu minggu pemberian terapi menulis
pengalaman emosional pada buku
Kelompok
Penelitian
Kelompok
Rerata
pretest
Rerata
posttest follow
up
harian yaitu pada tanggal 17 Juni 2009.
Pada tahap follow up diikuti oleh enam
mahasiswa dari kelompok eksperimen
dan enam mahasiswa dari kelompok
kontrol.
10. Melakukan analisis kuantitatif, yaitu
untuk melihat apakah ada penurunan
depresi dan perubahan emosi serta
18,17 9 5,5 Eksperimen Kelompok
18,33 17,83 15,83 kontrol
Tabel 1 diatas memperlihatkan bahwa ada
penurunan depresi pada kelompok eks-
perimen dan kelompok kontrol. Penurunan
depresi terjadi lebih banyak pada kelom-
pok eksperimen dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
Dari pengujian Anava Amatan Ulang
untuk mengetahui penurunan depresi
pretest, posttest, dan follow up pada subjek
kelompok eksperimendiketahui nilai F
hitung=33,72 dan p=0,001 (p<0,05) yang
berarti ada perbedaan depresi pada setiap
pengukuran pretest, posttest, dan follow up.
Hal ini menunjukkan adanya penurunan
depresi pada setiap pengukuran.
Untuk mengetahui perbedaan depresi
pada pretest, posttest, dan follow up dilaku-
kan pengujian Post Hoc. Hasil pengujian
Post Hoc memperlihatkan adanya penu-
runan yang signifikan depresi subjek antara
pretest, posttest, dan follow up. Pada peng-
ukuran pretest dan posttest terdapat perbe-
daan dengan p=0,003 (p<0,05) dan pada
pengukuran posttest dan follow up dengan
p=0,033 (p<0,05). Pada pengukuran pretest
dan follow up dengan p=0,001 (p<0,05).
Selanjutnya juga dilakukan analisis
dengan Anava Campuran untuk menge-
tahui perbedaan perubahan pemikiran dan
emosi pada setiap kelompok dan pada
setiap pengukuran.
Dari tabel 2 di atas dapat diketahui
adanya perubahan berupa peningkatan
maupun penurunan skor pretest, posttest,
dan follow up pada kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol.
Hasil anava amatan antar kelompok
pemikiran pada kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol menunjukkan bahwa
pada pemikiran positif dihasilkan nilai
F=3,16 dan p=0,106 (p>0,05) yang berarti
tidak ada perbedaan yang signifikan peru-
bahan pemikiran positif pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan pemi-
kiran positif pada kelompok eksperimen
tidak menunjukkan perbedaan yang signi-
fikan dengan kelompok kontrol. Demikian
pula dengan pemikiran negatif yang meng-
hasilkan nilai F=0,551 dan p=0,475 (p>0,05).
Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang
signifikan perubahan pemikiran negatif
pada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Dengan demikian, penurunan
pemikiran negatif pada kelompok ekspe-
rimen tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan dengan kelompok kontrol. De-
ngan demikian, dapat disimpulkan bahwa
menulis pengalaman emosional kurang
efektif untuk meningkatkan pemikiran
positif dan menurunkan pemikiran negatif
pada subjek.
Hasil anava amatan ulang pemikiran
positif dan negatif pada kelompok eks-
perimen menunjukkan bahwa terdapt nilai
Tabel 2
Rerata Pemikiran Positif, Pemikiran Negatif, Emosi Positif, dan Emosi Negatif
Rerata Rerata Rerata Variabel Kelompok Penelitian pretest posttest follow up
Pemikiran Positif Kelompok Eksperimen 74,50 75,83 77,50 Kelompok kontrol 70,67 69,50 71,67
Pemikiran Kelompok Eksperimen 41,83 41,00 39,33
Negatif Kelompok kontrol 43,33 42,83 44,67
Emosi Positif Kelompok Eksperimen 34,67 34,33 36,33 Kelompok kontrol 34,17 34,33 34,50
Emosi Negatif Kelompok Eksperimen 29,17 27,00 24,00 Kelompok kontrol 29,50 29,00 27,67
F=3,16 dan p=0,106 (p>0,05) untuk pemi-
kiran positif dan F=0,551 dan p=0,475
(p>0,05) untuk pemikiran negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan pemikiran positif maupun
pemikiran negatif pada pengukuran pretest,
posttest, dan follow up.
Hasil anava amatan antar kelompok
emosi positif dan emosi negatif pada
kelompok eksperimen dan kelompok kon-
trol memperlihatkan nilai F=0,171 dan
p=0,688 (p>0,05) untuk emosi positif dan
F=0,797 dan p=0,393 (p>0,05) untuk emosi
negatif. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan perubahan
emosi positif dan negatif pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa me-
nulis pengalaman emosional kurang efektif
untuk meningkatkan emosi positif dan
mengurangi emosi negatif pada diri subjek.
Dari hasil Anava Amatan Ulang pada
kelompok eksperimen didapatkan nilai
F=0,171 dan p=0,688 (p>0,05) untuk emosi
positif dan F=0,797 dan p=0,393 (p>0,05)
untuk emosi negatif yang berarti tidak ada
perbedaan yang signifikan emosi positif
maupun emosi negatif pada pengukuran
pretest, posttest, dan follow up. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan emosi
positif dan penurunan emosi negatif pada
setiap pengukuran tidak signifikan.
Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif dilakukan dengan
analisis naratif dengan sistem koding dari
cerita yang dituliskan subjek pada buku
harian dan jawaban yang diberikan subjek
pada lembar kerja setelah menulis penga-
laman emosional. Dari analisis naratif ini,
akan diketahui dinamika subjek dalam
menghadapi kejadian-kejadian menekan.
Dalam penelitian ini, topik-topik yang
dituliskan oleh subjek adalah topik menge-
nai konflik dengan diri sendiri, konflik
dengan teman lawan jenis, konflik dengan
teman sebaya, konflik dengan pacar, kon-
flik dengan orang tua, konflik dengan
pemilik kost, permasalahan yang berhu-
bungan dengan aktivitas akademik di
kampus, dan kurangnya dukungan sosial
yang diterimanya. Selain itu, menulis
pengalaman emosional juga dapat menjadi
sarana bagi subjek untuk mengekspresikan
emosi-emosi yang dirasakan berkaitan
dengan kejadian yang dialami oleh subjek.
Dari analisis naratif yang telah dike-
mukakan juga dapat dilihat bahwa per-
masalahan-permasalahan yang dialami
subjek dapat menimbulkan perasaan sedih,
putus asa, tidak berminat untuk melakukan
aktivitas, perasaan bersalah, menyalahkan
diri sendiri, dan menyalahkan orang lain.
Semua simtom – simtom ini merupakan
simtom dari depresi.
Dari analisi juga dapat diketahui bah-
wa terapi menulis pengalaman emosional
dapat memfasilitasi subjek untuk mengem-
bangkan pemikiran-pemikiran tertentu ber-
kaitan dengan kejadian-kejadian yang
dialami. Dengan menulis, subjek dapat
mengembangkan pemikiran untuk meneri-
ma situasi yang ada, memusatkan pemi-
kiran pada hal-hal yang positif dan menilai
hal-hal positif dari kejadian yang dialami.
Selain itu, menulis pengalaman emosional
juga mendorong subjek untuk memperoleh
suatu pemahaman atau insight, mengem-
bangkan motivasi dalam diri sendiri, serta
mendorong munculnya rasa optimis de-
ngan mengembangkan harapan–harapan
dan keyakinan.
Dari lembar kerja subjek dapat dike-
tahui bahwa selama menulis pengalaman
emosional, subjek mengalami emosi-emosi
yang sama dengan ketika subjek menga-
lami kejadian-kejadian yang dituliskan.
Ketika menuliskan pengalaman yang tidak
menyenangkan, subjek merasakan emosi-
emosi negatif seperti sedih, marah, jijik,
takut, menyesal, dan benci. Sebaliknya,
subjek yang menuliskan pengalaman yang
menyenangkan akan merasakan emosi-
emosi positif, seperti senang, bahagia, dan
lucu.
Emosi–emosi yang dirasakan tersebut
pada umumnya masih terasa pada saat
setelah sesi menulis. Akan tetapi, para sub-
jek mengemukakan bahwa setelah menulis
pengalaman emosional mereka merasa lega
karena telah mengemukakan emosi-emosi
dan pemikirannya.
Diskusi
Berdasarkan pelaksanaan Terapi
Menulis Pengalaman Emosional diperoleh
hasil bahwa Terapi Menulis Pengalaman
Emosional pada penelitian ini terbukti
dapat menurunkan depresi pada maha-
siswa tahun pertama. Penurunan depresi
terjadi segera setelah pelaksanaan seluruh
terapi (posttest) dan pada satu minggu
setelah pelaksanaan terapi selesai (follow
up). Hasil penelitian ini mendukung hasil
penelitian yang telah dilakukan Lepore
(1997) bahwa penurunan depresi terjadi
pada akhir terapi menulis pengalaman
emosional dan Sloan dan Marx (2004) yang
mengemukakan penurunan depresi terjadi
pada posttest dan follow up. Akan tetapi, hal
ini tidak sama dengan hasil penelitian yang
dikemukakan oleh Purwandari (2004) yang
mengemukakan bahwa penurunan depresi
hanya terjadi pada tindak lanjut (follow up)
atau satu minggu setelah Terapi Menulis
Pengalaman Emosional selesai.
Berdasarkan skor BDI, sebelum meng-
ikuti Terapi Menulis Pengalaman Emo-
sional, tingkat depresi subjek termasuk
sedang. Setelah mengikuti Terapi Menulis
Pengalaman Emosional, tingkat depresi
subjek menurun ke depresi ringan sampai
normal. Pada penelitian ini terlihat bahwa
semua subjek mengalami penurunan
depresi segera setelah terapi selesai. Pada
satu minggu setelah terapi selesai (follow
up), penurunan depresi kembali terjadi
pada 4 subjek penelitian (66,6%).
Dari pengukuran emosi dapat dilihat
bahwa 3 subjek (50%) mengalami penu-
runan emosi positif pada posttest namun 4
subjek (83%) mengalami peningkatan emo-
si positif pada follow up. Hasil penelitian ini
mendukung hasil penelitian yang dilaku-
kan oleh Pennebaker et al. (1990); Shiffield
et al. (2002); dan Paez, Velasco, & Gonzalez
(1999) bahwa terjadi penurunan emosi
positif pada postest dan peningkatan emosi
positif pada follow up. Akan tetapi, pada
penelitian ini penurunan emosi positif ini
tidak disertai dengan peningkatan emosi
negatif melainkan disertai penurunan
emosi negatif sebesar 66% pada posttest dan
83% pada follow up.
Hal yang berbeda dialami oleh subjek
ketika menuliskan pengalaman-pengala-
man yang menyenangkan seperti pergi ke
suatu tempat bersama teman-teman atau
ayah dan pertemuan dengan teman atau
sahabat. Dengan menuliskan pengalaman-
pengalaman yang positif atau menyenang-
kan maka subjek akan mengalami pening-
katan emosi-emosi positif setelah menulis
pengalaman emosional (Burton & King,
2004).
Pada penelitian ini, ditemukan tidak
adanya perbedaan emosi positif yang sig-
nifikan antara kelompok eksperimen de-
ngan kelompok kontrol pada pengukuran
posttest dan follow up. Demikian juga
dengan perubahan emosi negatif yang me-
nunjukkan tidak adanya perbedaan emosi
negatif yang signifikan antara kelompok
eksperimen dan kontrol. Hal ini kemung-
kinan karena (1) Pada saat menulis penga-
laman emosional, beberapa subjek cende-
rung menuliskan pengalaman-pengalaman
yang menyenangkan daripada menuliskan
pengalaman-pengalaman tentang kejadian
yang menekan dan permasalah-permasa-
lahannya. Menulis pengalaman emosional
yang menyenangkan dapat meningkatkan
emosi positif jangka pendek (Burton &
King, 2004; Pennebaker & Chung, 2007).
Namun, menulis pengalaman emosional
yang menyenangkan kurang memfasilitasi
subjek untuk menguasai permasalahan-
permasalahan yang terjadi di lingkungan-
nya dibandingkan dengan menulis penga-
laman-pengalaman yang menekan (Lyubo-
mirsky, Sousa, & Dickerhoof, 2006). Disam-
ping itu, subjek yang menuliskan penga-
laman-pengalaman yang menyenangkan
cenderung untuk menghindari kejadian-
kejadian yang menekan sehingga masih
mengalami pikiran-pikiran yang meng-
ganggu (Lepore,1997). (2) Ketika subjek
melakukan posttest dan follow up subjek
berada dalam kondisi dihadapkan oleh
banyak tugas akademik dan mempersiap-
kan diri untuk menghadapi ujian akhir
semester. Kondisi ini membuat beberapa
subjek seringkali mengalami emosi-emosi
negatif namun tidak mempengaruhi terja-
dinya depresi dalam diri subjek.
Pada penelitian ini, subjek juga menge-
mukakan bahwa dengan menulis penga-
laman emosional pada buku harian, subjek
dapat memberikan pendapat secara spon-
tan terhadap hal-hal yang dituliskan,
evaluasi pada diri sendiri, pertimbangan
untuk melakukan sesuatu, dan mendapat-
kan suatu pemahaman (insight). Pemaham-
an (insight) ini dapat terjadi karena adanya
proses kognitif selama menulis. Dengan
menulis, subjek menghadirkan kembali
peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian
melakukan penilaian kembali peristiwa-
peristiwa tersebut sehingga terjadi dialog
internal dalam diri subjek. Dalam dialog
internal tersebut, subjek akan memperoleh
insight dan kesadaran (Burns, 1988;
Purwandari, 2004). Hal ini juga mendu-
kung pendapat Singer (2004) bahwa menu-
lis pengalaman emosional merupakan sua-
tu aktivitas yang melibatkan suatu usaha
mengorganisasi, mengintegrasi, dan meng-
analisis suatu masalah untuk mengem-
bangkan suatu solusi.
Dari analisis kualitatif dengan sistem
koding berdasarkan cerita yang dibuat dan
lembar kerja dapat dilihat bahwa Terapi
Menulis Pengalaman Emosional dapat
memfasilitasi subjek untuk mengembang-
kan pemikiran-pemikiran yang positif dari
kejadian-kejadian menekan yang dialami-
nya. Pemikiran-pemikiran positif terhadap
kejadian-kejadian menekan ini dapat mun-
cul karena adanya restrukturisasi atau
perubahan kognitif selama menulis penga-
laman emosional. Restrukturisai kognitif
ini dapat memfasilitasi perubahan pemi-
kiran dan emosi yang dirasakan dengan
mengevaluasi stresor-stresor yang ada
(Lepore, 2002; Sloan, Marx, & Epstein,
2005). Namun, penelitian ini menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
pemikiran positif antara kelompok ekspe-
rimen dengan kelompok kontrol. Demikian
juga dengan pemikiran negatif yang
menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan pemikiran negatif antara kelom-
pok eksperimen maupun kelompok kon-
trol.
Secara teoritis, dengan menulis penga-
laman emosional akan terjadi proses kog-
nitif sehingga terjadi peningkatan pemi-
kiran-pemikiran positif (Paez, et al.,1999).
Namun, penelitian ini kurang memfasilitasi
subjek untuk mengembangkan pemikiran-
pemikiran positif. Hal ini kemungkinan
dikarenakan: (1) dalam setiap pertemuan,
subjek menuliskan topik yang berbeda-
beda ketika menulis sehingga kurang mem-
berikan penilaian terhadap kejadian-keja-
dian yang menekan secara menyeluruh dan
perubahan atau restrukturisasi kognitif
belum begitu nampak pada subjek (Paez, et
al., 1999; Sloan et al., 2005). (2) Berkaitan
dengan pelaksanaan terapi, pelaksanaan
terapi selama empat hari dirasa kurang
untuk memfasilitasi perubahan kognitif
pada diri subjek. (3) Berkaitan dengan alat
ukur perubahan kognitif atau CERQ,
kemungkinan alat ukur ini tidak sesuai
dengan budaya Indonesia.
Dari sesi sharing dalam setiap perte-
muan didapatkan bahwa menulis penga-
laman emosional lebih bermanfaat ketika
subjek berada dalam emosi negatif seperti
sedih, marah, dan kecewa. Dalam keadaan
emosi negatif, subjek dapat menuliskan
pengalaman-pengalamannya dengan lebih
cepat, lebih panjang, dan lebih ekspresif.
Dari proses terapi juga terlihat bahwa
durasi waktu untuk menulis selama 30
menit dirasa kurang untuk menuliskan
semua pemikiran dan emosi mengenai
kejadian-kejadian yang dituliskan sehingga
subjek kurang dapat menuliskan penga-
lamannya secara tuntas. Selain itu, adanya
jarak hari dari pertemuan 1 ke pertemuan 2
mengakibatkan subjek berada dalam
suasana hati yang berbeda sehingga subjek
mengalami kesulitan untuk melanjutkan
pengalaman yang telah dituliskan dan
ingin dilanjutkan pada hari sebelumnya
serta kesulitan untuk mencari tema cerita
yang baru.
Pelaksanaan terapi secara terjadwal
membuat subjek harus menuliskan penga-
laman emosionalnya pada waktu yang
telah ditentukan dengan kondisi suasana
hati yang belum tentu ingin menulis. Oleh
karena itu, subjek seringkali kesulitan
untuk mencari tema-tema cerita untuk
dituliskan.
Pada penelitian ini, pemberian terapi
pada subjek waiting list atau kelompok
kontrol setelah pelaksanaan terapi pada
kelompok eksperimen belum dapat dilak-
sanakan karena (1) pelaksanaan terapi
bertepatan dengan waktu ujian dan libur
akhir semester, (2) beberapa subjek meno-
lak untuk mengikuti terapi.
Keterbatasan dalam Penelitian ini
Keterbatasan dalam penelitian ini
adalah tidak adanya randomized assignment
terhadap subjek pada kelompok eksperi-
men dan kelompok kontrol setelah dila-
kukan matched skor subjek. Oleh karena itu,
penelitian ini dapat dikategorikan sebagai
Quasi Experiment yaitu eksperimen yang
disertai dengan pemberian tritmen, pengu-
kuran outcome, dan unit eksperimental
namun tidak menggunakan random assign-
ment untuk menciptakan perbandingan
perubahan akibat tritmen. Tidak adanya
randomized assignment tersebut dapat meng-
ancam validitas internal penelitian karena
randomized assignment berfungsi untuk (1)
menggambarkan sampel dapat mewakili
populasi, (2) menggambarkan sampel da-
pat diperbandingkan satu sama lain, (3)
mengurangi bias perbedaan antar kelom-
pok. Perbandingan pada kelompok yang
nonekuivalen yang ditujukan pada perbe-
daan masing-masing kelompok lebih terja-
di karena berbagai cara daripada pengaruh
tritmen yang dilakukan (Cook & Campbell,
1979).
Kelemahan dalam Penelitian ini
Ada beberapa kelemahan dalam pene-
litian ini, yaitu:
1. Subjek pada penelitian ini mengguna-
kan subjek mahasiswa tahun pertama
pada semester II sehingga subjek telah
melakukan penyesuaian terhadap per-
masalahan-permasalahan yang dihada-
pi berkaitan dengan masa transisi. Ada
kemungkinan apabila menggunakan
subjek mahasiswa tahun pertama
semester I akan memperoleh hasil yang
berbeda.
2. Instruksi pada modul menulis penga-
laman emosional kurang dapat meng-
arahkan subjek untuk mengemukakan
pengalaman-pengalaman pada keja-
dian-kejadian yang menekan dalam
kehidupannya sehingga terkadang sub-
jek cenderung menuliskan pengalaman
yang bersifat menyenangkan atau
netral.
3. Waktu menulis 30 menit dirasa kurang
untuk menulis pengalaman emosional
yang dirasakan sehingga subjek kurang
dapat mengemukakan perasaan dan
pemikirannya secara tuntas.
4. Adanya jarak hari pertemuan untuk
menulis pengalaman emosional menga-
kibatkan subjek mengalami suasana
hati yang berbeda-beda pada setiap
pertemuan sehingga subjek mengalami
kesulitan untuk melanjutkan menulis-
kan pengalaman dari pertemuan sebe-
lumnya.
5. Pelaksanaan Terapi Menulis Penga-
laman Emosional secara terjadwal pada
waktu tertentu mengakibatkan subjek
harus menulis pengalaman emosional
pada kondisi saat itu juga baik itu
sedang berminat untuk menulis
ataupun tidak.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil, proses, dan hal-hal
yang sangat memperngaruhi pelaksanaan
terapi, didapatkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Pada penelitian ini, Terapi Menulis
Pengalaman Emosional merupakan
sarana bantu diri yang terbukti efektif
menurunkan depresi pada mahasiswa
tahun pertama. Simtom-simtom dan
tingkat depresi pada semua subjek
mengalami penurunan. Sebelum meng-
ikuti terapi subjek berada pada kategori
sedang dan setelah mengikuti terapi
subjek berada pada kategori depresi
ringan dan normal.
2. Penurunan depresi terjadi karena me-
nulis pengalaman emosional memfasi-
litasi subjek untuk mengevaluasi,
menganalisis, dan menilai kembali
kejadian-kejadian menekan yang diala-
minya sehingga subjek mendapatkan
suatu pemahaman, mengembangkan
suatu solusi, memotivasi diri, menerima
keadaan yang ada, belajar dari apa
yang dialami, memusatkan pemikiran
pada hal-hal yang positif, dan menilai
hal-hal positif dari suatu kejadian.
Saran
Berdasarkan hasil dan proses terapi
yang dilaksanakan maka saran yang dia-
jukan adalah sebagai berikut:
1. Untuk kalangan profesional,
Terapi ini disarankan menjadi salah
satu program bagi mahasiswa baru se-
bagai sarana bantu diri untuk meng-
atasi depresi.
2. Kepada peneliti selanjutnya
a. Pada penelitian berikutnya perlu
untuk menggunakan mahasiswa ba-
ru semester pertama untuk menda-
patkan perbandingan hasil efekti-
vitas Terapi Menulis Pengalaman
Emosional pada mahasiswa semes-
ter pertama dan ke dua.
b. Pada penelitian berikutnya instruksi
dalam Terapi Menulis Pengalaman
Emosional lebih ditekankan untuk
menuliskan pengalaman-pengalam-
an negatif seperti pengalaman yang
membuat sedih atau marah.
c. Pada penelitian selanjutnya perlu
untuk memperpanjang durasi wak-
tu menulis. Hal ini bertujuan untuk
memberikan kesempatan bagi sub-
jek untuk mengemukakan semua
emosi dan pemikiran-pemikiran
yang muncul ketika menulis secara
tuntas.
d. Disarankan hari pelaksanaan yang
berlangsung secara berturut-turut.
Hal ini dimaksudkan agar subjek
masih mempunyai ingatan dan sua-
sana hati yang sama untuk melan-
jutkan topik tulisannya pada perte-
muan sebelumnya. Dengan demi-
kian, subjek dapat mengemukakan
semua pemikirannya secara menye-
luruh.
e. Disarankan pelaksanaan Terapi
Menulis Pengalaman Emosional di-
lakukan secara individu di rumah.
Hal ini dimaksudkan agar subjek
menulis ketika ia benar-benar da-
lam kondisi berminat untuk menu-
lis.
Kepustakaan
Antony, A. (2004). Therapy online: The
therapeutic relationship in typed text.
Dalam G. Bolton, S. Howlett, C. Lago,
& J. K. Wright (Ed.) Writing Cures: An
Introductory Handbook of Writing in
Counselling and Therapy (h. 133-141).
New York: Brunner Routledge.
Beck, A. T. (1985). Depression: Causes and
treatment. Philadelphia: University of
Pennsylvania Press.
Blau, G.M. (1996). Adolescent suicide and
depression. Dalam B. M. Blau &
Thomas P. Gultotta (Ed.), Adolescent
dysfunctional behavior: Causes, inter-
ventions, and prevention (h. 187 – 205).
London: Sage Publications.
Bolton, G. (2004). Introduction: Writing
cures. Dalam G. Bolton, S. Howlett, C.
Lago, & J. K. Wright (Ed.) Writing
Cures: An Introductory Handbook of
Writing in Counselling and Therapy (h. 1-
3). New York: Brunner Routledge.
Burns, D.D. (1988). Feeling good: The new
mood therapy [Terapi kognitif: Pende-
katan baru bagi penanganan depresi]
Jakarta: Erlangga.
Burton, C.M. & King, L. A. (2004). The
health benefits of writing about inten-
sely positive experiences. Journal of
Research in Personality, 38, 150-163.
Cook, T. D. & Campbell, D. T. (1979). Quasi
experimentation: Design and analysis
issues for field settings. Illinois: Hough-
ton Mifflin.
Clark, L.A., Watson, D., & Mineka, S.
(1994). Temperament, personality, and
the mood and anxiety disorder. Journal
of Abnormal Psychology, 103, 103-116.
Dowd, E. T. (2004). Depression: Theory,
assesment, and new directions in
practice. International Journal of Clinical
and Health Psychology, 413-423.
Duffy, K.G. & Atwater, E. (2002). Psychology
for living: Adjustment, growth, and
behavior today (7th ed.) New Jersey: Pren-
tice Hall.
Fisher, S. (1988). Leaving home: Home-
sickness and the psychological effects
of change and transition. Dalam S.
Fisher & J. Reason (Ed.), Handbook of life
stress, cognition, and health (h. 41-59).
England: Wiley.
Furr, S.R., Mc Connel, G.N., Westefeld, J.S.,
& Jenkins J.M. (2001). Suicide and
depression among college students: A
decade later. Professional Psychology:
Research and Practice, 32, 97-100.
Greenberger, D. & Padesky, C.A. (1995).
Mind over mood: Change how you feel by
changing the way you think. New York:
The Guilford Press.
Lazarus, R. S., (1991). Emotion and adap-
tation. New York: Oxford University
Press.
Lepore, S. J. (1997). Expressive writing
moderates the relation between intru-
sive thoughts and depressive symp-
toms. Journal of Personality and Social
Psychology, 73, 1030-1037.
Lepore, S.J. Greenberg, M.A., Bruno, M., &
Smyth, J.M., (2002). Expressive writting
and health: Self-regulation of emotion
related experience, physiology, and
behavior. Dalam Lepore & Smyth.The
writing cure: How expressive writing
promotes health and emotional well-being.
Washington, DC: American Psycholo-
gical Association press. Diunduh 13
Agustus 2008, dari http://www.faculty.
tc.columbia.edu/
upload/sl2201/Writing_Cure_Ch_6.pdf
Lyubomirsky, S., Sousa, L., & Dickerhoof,
R., (2006). The cost and benefits of
writing, talking, and thinking about
life’s triumphs and defeats. Journal of
Personality and Social Psychology, 90, 692-
708.
Martin, R.C., & Dahlen, E. R. (2005). Cog-
nitive emotion regulation in prediction
of depression, anxiety, stress, and
anger. Personality & Individual Diffe-
rences, 39, 1249-1260.
Mazure, M.M. (1998). Life stressors as risk
factors in depression. Clinical Psycho-
logy: Science and Practice, 5 , 291-313.
Paez, D., Velasco, C., & Gonzales, J.E. (1999)
Expressive writing and the role of
alexythimia as dispositional deficit in
self-disclosure and psychological
health. Jornal of Personality anf Social
Psychology, 77, 630-641.
Pennebaker, J. W. (1997). Writing about
emotional experiences as a therapeutic
process. Psychological Science, 8, 162-166
Pennebaker, J. W., & Chung, C.K. (2007).
Expressive writing, emotional uphea-
vals, and health. In H. Friedman and R.
Silver (Ed.), Handbook of Health Psy-
chology (h. 263 – 284). New York:
Oxford University Press.
Pennebaker, J.W., Colder, M., & Sharp, L.K.
(1990). Accelerating the coping process.
Journal of Personality and Social Psy-
chology, 58, 528-537.
Poerwadarminto, W. J. S. (1976). Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai
Pustaka
Purwandari, E. (2004), Pengaruh menulis
pengalaman emosional terhadap memori
otobiografi dan depresi pada remaja yang
menjalani rehabilitasi napza. Tesis tidak
diterbitkan, Fakultas Psikologi Univer-
sitas Gadjah Mada Yogyakarta Indo-
nesia.
Rey, J. (2002). More than just the Blues:
Understanding serious teenage problems.
New South Wales: Simon and Schuster.
Sheffield, D., Duncan, E., Thomson, K., &
Johal, S. S. (2002). Written emotional
expression and well-being: Result from
a home-based study. The Australasian
Journal of Disaster and Trauma Studies,
2001. Diunduh 4 February 2008, dari
http://www.massey.ac.nz/~trauma/issu
es/2002-1/sheffield.htm
Singer, J. A. (2004). Narrative identity and
meaning making across the adult
lifespan: An introduction. Journal of
Personality, 72, 437-459.
Sloan, D. M., & Marx, B. P. (2004). A closer
examination of the structured written
disclosure procedure. Journal of Con-
sulting and Clinical Psychology, 72, 165-
175.
Sloan D. M., Marx, B.P., & Epstein, E.M.
(2005). Further examination of the
exposure model underlying the efficacy
of written emotional disclosure. Journal
of Consulting and Clinical Psychology, 73,
549-554.
Susilowati, L. (2008). Pelatihan berpikir positif
untuk mengelola depresi pada penyandang
cacat tubuh. Tesis tidak diterbitkan.
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta Indonesia.
Wei, M., Russell, D. W., & Zakalik, R. A.
(2005). Adult attachment, sosial self –
efficacy, self-disclosure, loneliness, and
subsequent depression for Freshman
College Students: A longitudinal study.
Journal of Counseling Psychology, 52, 602-
614.
Wright, J. K. (2004). The passion of science,
the precision of poetry: therapeutic
writing-a review of the literature.
Dalam G. Bolton, S. Howlett, C. Lago,
& J. K. Wright (Ed.) Writing Cures: An
Introductory Handbook of Writing in
Counselling and Therapy (h. 7-17). New
York: Brunner Routledge.
REVIEW JURNAL
1. Judul Penelitian :
Pengaruh Terapi Menulis Pengalaman Emosional Terhadap Penurunan Depresi pada
Mahasiswa Tahun Pertama
2. Nama Peneliti : Theresia Genduk Susilowati, Nida Ul Hasanat
3. Abstrak :
In the first year, college students will get the stressful events which related to leave
parents and friends, also the transition of educational system and new home stay. The
stressful events can cause negative of cognitive and emotional responses to college
students. Therefore, it can cause depression on college student self. This research
aims to test the effect writing about emotional experiences therapy on reducing
depression for the first year college students. Research design uses two matched
groups design. Subjects (N=12) were divided into experimental group (n=6) or
control group (n=6). The experimental group was instructed to write about emotional
experiences in four writing sessions lasting ± 30 minutes. Outcomes were measured at
pretest, posttest, and follow up by Mixed ANOVA Design. Between Group ANOVA
indicated the groups differed significantly on depression (F=25.88, p=.001). Within
Group ANOVA indicated that experimental group reported significantly reduced
depression at pretest, posttest, and follow up (F=33.72, p=.001). Post hoc test revealed
that the repeat experimental group reported significantly reduced depression at
pretest-posttest (p=.003), posttest-follow up (p>0,33), and pretest-follow up (p<0,01).
This result indicated that writing about emotional experience therapy can reduce
depression for first year collage student.
4. Pendahuluan/latar belakang masalah :
Memasuki1 pendidikan tinggi merupakan masa transisi dari pendidikan
sekolah menengah ke pendidikan tinggi. Masa transisi ini merupakan periode yang
menekan bagi mahasiswa karena dihadapkan dengan situasi-situasi dan tuntutan baru
(Duffy & Atwater, 2002; Wei, Russell, & Zakalik, 2005). Kejadian-kejadian menekan
yang dialami mahasiswa adalah perpisahan dengan orang tua, perpisahan dengan
sahabat, perpindahan tempat tinggal, perubahan sistem pendidikan, dan pertentangan
sistem nilai (Pennebaker, Colder, & Sharp, 1990). Selain itu, mahasiswa yang sedang
berada pada masa remaja juga dapat dihadapkan dengan kejadian-kejadian menekan
lainnya seperti konflik hubungan dengan pacar, rendahnya prestasi akademik, konflik
dengan orang tua atau teman sebaya (Blau, 1996), dan masalah keuangan (Furr,
Conell, Westefeld, dan Jenkins, 2001).
Pada tahun pertama kuliah, mahasiswa dituntut untuk mengatasi semua
masalah dan konflik yang dialami serta melakukan penyesuaian terhadap lingkungan
baru. Kegagalan mahasiswa untuk mengatasi permasalahan dan melakukan
penyesuaian terhadap kejadian-kejadian yang menekan tersebut akan memicu
timbulnya depresi dalam diri mahasiswa (Fisher, 1988; Mazure, 1998; Rey, 1995).
Menurut pandangan kognitif, reaksi emosi muncul ketika individu menghadapi situasi
tertentu. Reaksi emosi seseorang ditentukan oleh bagaimana individu
menginterpretasikan pengalaman-pengalamannya terhadap situasi tersebut (Beck,
1985; Burns, 1988). Pemikiran individu terhadap situasi menekan yang dihadapi akan
menentukan kualitas dan intensitas reaksi emosi (Lazarus, 1991). Martin dan Dahlen
(2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa pemikiran-pemikiran negatif dapat
memunculkan reaksi emosi yang negatif pada diri seseorang.
Pemikiran-pemikiran tersebut adalah menyalahkan diri sendiri, menyalahkan
orang lain dan lingkungan, ruminasi, dan katastrofi. Keempat pemikiran negatif
tersebut menurunkan penilaian positif dan penerimaan akan situasi yang dihadapi.
Selain itu, pemikiran-pemikiran negatif tersebut berhubungan dengan depresi. Reaksi
emosi juga melibatkan dua sistem afektif, yaitu afek positif dan afek negatif.
Berkaitan dengan sistem afektif tersebut, depresi melibatkan rendahnya afek positif
dan tingginya afek negatif (Clark, Watson, & Mineka, 1994). Beck (1985; Dowd,
2004; Greenberger & Padesky, 1995) mengemukakan bahwa depresi ditandai dengan
pandangan negatif mengenai diri sendiri, dunia, dan masa depan. Individu dapat
mengalami depresi karena ia memiliki skema kognitif yang negatif. Skema kognitif
ini dikembangkan dari masa kanak-kanak atau remaja dan bersifat disfungsional.
Skema kognitif yang negatif tersebut dapat mengantarai munculnya depresi ketika
individu mengalami kejadian-kejadian yang menekan dengan cara
menginterpretasikan dan memberikan pandangan yang negatif terhadap
kejadiankejadian yang menekan (Beck, 1985; Dowd, 2004). Dari penjelasan di atas,
depresi merupakan suatu gangguan emosional atau perasaan. Depresi yang dibiarkan
terus berlanjut akan berdampak buruk pada individu yang mengalaminya sehingga
perlu adanya intervensi untuk mengatasinya. Beberapa intervensi telah dilakukan
untuk mengatasi atau menurunkan simtom-simtom depresi. Salah satu intervensi yang
dapat dilakukan untuk mengatasi atau menurunkan simtom-simtom depresi adalah
Terapi Menulis Ekspresif atau Menulis Pengalaman Emosional (Lepore, 1997;
Purwandari, 2004; Sloan & Marx, 2004).
Metode menulis ekspresif atau menulis pengalaman emosional telah menjadi
kajian yang menarik pada dua dekade belakangan ini. Menurut Poerwadarminta
(1976), menulis adalah suatu aktivitas melahirkan pikiran dan perasaan dengan
tulisan. Menulis berbeda dengan berbicara. Menulis memiliki suatu kekuatan
tersendiri karena menulis adalah suatu bentuk eksplorasi dan ekspresi area pemikiran,
emosi dan spiritual yang dapat dijadikan sebagai suatu sarana untuk berkomunikasi
dengan diri sendiri dan mengembangkan suatu pemikiran serta kesadaran akan suatu
peristiwa (Bolton, 2004). Terapi Menulis adalah suatu aktivitas menulis yang
mencerminkan refleksi dan ekspresi klien baik itu karena inisiatif sendiri atau sugesti
dari seorang terapis atau peneliti (Wright, 2004). Pusat dari terapi menulis lebih pada
proses selama menulis daripada hasil dari menulis itu sendiri sehingga penting bahwa
menulis adalah suatu aktivitas yang personal, bebas kritik, dan bebas dari aturan
bahasa seperti tata bahasa, sintaksis, dan bentuk (Bolton, 2004). Oleh karena itu,
menulis dapat disebut sebagai bentuk terapi yang menggunakan teknik sederhana,
murah, dan tidak membutuhkan umpan balik (Pennebaker, 1997; Pennebaker &
Chung, 2007).
Dalam seting klinis, Terapi Menulis Pengalaman Emosional atau Menulis
Ekspresif dapat diartikan sebagai suatu terapi dengan aktivitas menulis mengenai
pikiran dan perasaan yang mendalam terhadap pengalaman-pengalaman yang
berkaitan dengan kejadian-kejadian yang menekan atau bersifat traumatik
(Pennebaker, 1997; Pennebaker & Chung, 2007). Lepore et al. (2002) dalam
kajiannya menunjukkan bahwa menulis ekspresif atau menulis mengenai pengalaman-
pengalaman emosional dapat memfasilitasi regulasi emosi melalui tiga mekanisme,
yaitu: (a) mengarahkan perhatian, (b) memfasilitasi habituasi (pembiasaan), dan (c)
membantu restrukturisasi kognitif. Pennebaker et al. (1990) dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa masa transisi yang dialami mahasiswa baru mengakibatkan
mahasiswa mengalami mood negatif dan hambatan untuk melakukan penyesuaian
psikologis sampai akhir semester pertama. Mahasiswa seringkali menghadapi konflik
dan perasaan takut berkaitan dengan meninggalkan rumah, perubahan peraturan, dan
memasuki perkuliahan. Dengan menuliskan pikiran dan perasaan mengenai
pengalaman minggu pertama kuliah, mahasiswa memperoleh perubahan persepsi,
perasaan, dan kesehatan. Penelitian mengenai efektivitas terapi untuk menurunkan
simtom-simtom depresi pada mahasiswa telah dilakukan oleh Lepore (1997).
Lepore menggunakan Terapi Menulis Ekspresif atau Menulis Pengalaman
Emosional untuk menurunkan simtom-simtom depresi pada mahasiswa sebelum
menghadapi ujian. Penurunan simtom-simtom depresi tersebut dapat terjadi karena
diantarai oleh menurunnya tingkat emosional negatif yang diakibatkan oleh pikiran-
pikiran yang mengganggu (instrusive thoughts). Efektivitas menulis pengalaman
emosional untuk menurunkan depresi telah dibuktikan oleh penelitian Purwandari
(2004) pada remaja yang mengalami rehabilitasi NAPZA. Purwandari
mengemukakan bahwa pemikiran positif terjadi karena adanya penurunan bias
memori otobiografi. Memori otobiografi adalah muatan emosi peristiwa-peristiwa
yang pernah dilalui remaja, baik yang bersifat menyenangkan (positif) atau
menyedihkan (negatif). Pada saat remaja mengalami depresi, mereka akan mengalami
distorsi kognitif sehingga mengalami bias karena perasaan-perasaan negatif saja yang
diingat. Pemikiran positif dapat terjadi setelah satu minggu intervensi menulis
pengalaman emosional dilaksanakan.
Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pemikiran positif yang paling
besar terjadi pada subjek dengan tingkat depresi berat. Penelitian lain mengenai
menulis pengalaman emosional dan depresi juga dilakukan oleh Sloan dan Marx
(2004) pada subjek yang mengalami simtom-simtom Post Traumatic Stress Disorder
dengan menggunakan metode eksperimen. Menulis pengalaman emosional
berlangsung selama tiga sesi menulis selama tiga hari berturutturut dan setiap sesi
berlangsung selama 20 menit. Selain itu, follow up dilakukan pada minggu ke dua dan
ke empat. Penelitian Sloan dan Marx ini menunjukkan bahwa menulis pengalaman
emosional secara klinis dapat menurunkan simtom-simtom depresi. Subjek dalam
kelompok menulis pengalaman emosional melaporkan menu runnya simtom-simtom
depresi setelah menulis pengalaman emosional dan follow up. Pada penelitian ini,
peneliti ingin melihat pengaruh menulis pengalaman emosional terhadap penurunan
depresi pada mahasiswa tahun pertama. Hipotesis yang diajukan adalah Terapi
Menulis Pengalaman Emosional dapat menurunkan depresi pada mahasiswa tahun
pertama. Depresi pada mahasiswa tahun pertama dapat menurun karena adanya
restrukturisasi kognitif yang difasilitasi oleh menulis pengalaman emosional.
Restrukturisasi kognitif dapat dilakukan dengan mengevaluasi pikiran-pikiran negatif
terhadap stresor. Dengan melakukan evaluasi, akan terjadi perubahan kognitif
mahasiswa dalam memandang diri sendiri dan lingkungan berkaitan dengan stresor
atau perubahan reaksi emosi mereka terhadap stresor.
5. Teori/definisi dari variable yang terlibat :
Secara teoritis, dengan menulis pengalaman emosional akan terjadi proses kognitif
sehingga terjadi peningkatan pemikiran-pemikiran positif (Paez, et al.,1999). Namun,
penelitian ini kurang memfasilitasi subjek untuk mengembangkan pemikiran-
pemikiran positif. Hal ini kemungkinan dikarenakan: (1) dalam setiap pertemuan,
subjek menuliskan topik yang berbeda- beda ketika menulis sehingga kurang mem-
berikan penilaian terhadap kejadian-keja- dian yang menekan secara menyeluruh dan
perubahan atau restrukturisasi kognitif belum begitu nampak pada subjek (Paez, et al.,
1999; Sloan et al., 2005). (2) Berkaitan dengan pelaksanaan terapi, pelaksanaan terapi
selama empat hari dirasa kurang untuk memfasilitasi perubahan kognitif pada diri
subjek. (3) Berkaitan dengan alat ukur perubahan kognitif atau CERQ, kemungkinan
alat ukur ini tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Dari sesi sharing dalam setiap perte- muan didapatkan bahwa menulis penga- laman
emosional lebih bermanfaat ketika subjek berada dalam emosi negatif seperti sedih,
marah, dan kecewa. Dalam keadaan emosi negatif, subjek dapat menuliskan
pengalaman-pengalamannya dengan lebih cepat, lebih panjang, dan lebih ekspresif.
Dari proses terapi juga terlihat bahwa durasi waktu untuk menulis selama 30 menit
dirasa kurang untuk menuliskan semua pemikiran dan emosi mengenai kejadian-
kejadian yang dituliskan sehingga subjek kurang dapat menuliskan penga- lamannya
secara tuntas. Selain itu, adanya jarak hari dari pertemuan 1 ke pertemuan 2
mengakibatkan subjek berada dalam suasana hati yang berbeda sehingga subjek
mengalami kesulitan untuk melanjutkan pengalaman yang telah dituliskan dan ingin
dilanjutkan pada hari sebelumnya serta kesulitan untuk mencari tema cerita yang baru.
Pelaksanaan terapi secara terjadwal membuat subjek harus menuliskan penga- laman
emosionalnya pada waktu yang telah ditentukan dengan kondisi suasana hati yang
belum tentu ingin menulis. Oleh karena itu, subjek seringkali kesulitan untuk mencari
tema-tema cerita untuk dituliskan.
6. Hipotesis :
Terapi Menulis Pengalaman Emosional memiliki pengeruh terhadap penurunan
depresi pada mahasiswa tahun pertama
7. Sampel/subjek penelitian :
Subjek dalam penelitian ini adalah 12 mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada dengan rentang usia 18-19 tahun. Karakteristik subjek
adalah mahasiswa tahun pertama yang berasal dari luar daerah Yogyakarta dan
tinggal tidak bersama orang tua atau tinggal di kos atau asrama. Subjek diseleksi
berdasarkan hasil skrining yang menunjukkan skor depresi lebih dari 17 berdasarkan
Beck Depression Inventory (BDI)
8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen :
Rancangan penelitian yang digunakan adalah two matched group design. Pengu-
kuran dalam penelitian ini menggunakan desain pretest, posttest, dan follow up.
Subjek diberikan pretest sebelum pelaksanaan tritmen dengan skala BDI, PANAS,
dan CERQ. Kemudian setelah pelaksanaan tritmen dilakukan posttest dengan meng-
gunakan skala yang sama sebagai evaluasi hasil tritmen, sehingga akan terlihat perbe-
daannya sebelum dan sesudah dilakukan tritmen. Selanjutnya rentang waktu satu
minggu setelah semua sesi tritmen berakhir dan dilakukan posttest, akan dilakukan
follow up untuk melihat efektivitas tritmen lebih lanjut.
Keterangan:
KE : Kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan menulis pengalaman emosional
KK : Kelompok kontrol
Y1 : Pretest
X : Perlakuan menulis pengalaman emosional
- X : Tanpa perlakuan Y2 : Postest
Y3 : Follow up satu minggu setelah semua sesi terapi dilakukan
9. Metode Pengambilan Data :
1. Beck Depression Inventory (BDI) Beck Depression Inventory merupakan skala
untuk mengukur tingkat depresi subjek. Pada penelitian ini, skala BDI yang
digunakan adalah skala BDI yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Uji
validitas dan reliabilitas skala adaptasi BDI telah dilakukan oleh Retnowati
dengan subjek mahasiswa baru (Susilowati, 2008). Dari uji validitas, skala BDI
sahih pada koefisien korelasi sebesar 0,1936 sampai 0,6317 pada taraf signifikansi
5 persen dan dari uji reliabilitas menggunakan tehnik analisis Hoyt diperoleh
koefisien keandalan sebesar 0,844. Beck Depression Inventory terdiri dari 21
aitem yang mengambarkan simtomsimtom depresi, yaitu simtom afektif, simtom
kognitif, simtom motivasional, dan simtom vegetatif-fisik. Skor total dihitung
dengan cara menjumlahkan seluruh skor yang diperoleh untuk masing-masing
aitem. Skor total yang didapatkan dari skala ini adalah antara 0 sampai 63. Subjek
yang dinyatakan depresi dalam penelitian ini adalah subjek yang mengikuti
klasifikasi Burns (1988) yaitu dengan skor total 17 ke atas.
2. The Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) The Positive and Negative
Affect Schedule (PANAS) merupakan skala untuk mengukur perasaan positif dan
negatif. Masing-masing skala perasaan positif dan perasaan negatif terdiri dari 10
aitem. Skala ini menggunakan format jawaban 5 poin skala Likert, yaitu: 1
(hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (hampir
selalu). Skor skala didapatkan dengan menjumlahkan 10 aitem untuk
merefleksikan lebih tinggi perasaan positif atau perasaan negatif. Pada penelitian
ini, skala PANAS yang digunakan adalah PANAS yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Pada uji reliabilitas dan validitas 10 aitem perasaan
negatif dan 10 aitem perasaan positif adaptasi yang dilaku- kan peneliti terhadap
60 orang maha- siswa tahun pertama Fakultas Kegu- ruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma ditemukan korelasi aitem total sebesar 0,207-0,707
untuk perasaan negatif dan 0,237-0,630 untuk perasaan positif. Dari uji reliabilitas
diperoleh koefisien alfa Cronbach sebe- sar 0,788 untuk perasaan negatif dan
0,775 untuk perasaan positif.
3. Cognitive-Emotion Regulation Question- naire (CERQ).
Cognitive-Emotion Regulation Question- naire (CERQ) digunakan untuk menge-
tahui pemikiran seseorang pada saat atau setelah mengalami kejadian yang
mengancam atau menekan. Cognitive-Emotion Regulation Question- naire
(CERQ) terdiri dari sembilan subs- kala yaitu menyalahkan diri sendiri,
menyalahkan orang lain dan lingkung- an, ruminasi (seringkali berpikir ten- tang
perasaan yang berkaitan dengan kejadian-kejadian negatif), katastrofi (pikiran
pada teror yang dirasakan), menyusun persfektif, memusatkan pi- kiran pada hal
positif, menilai adanya hal yang positif, menerima situasi, dan menyusun rencana
(Garnefski et al., 2002). Masing-masing sub skala dalam CERQ terdiri dari 4
aitem dengan format jawaban 5 point skala Likert yaitu 1 (hampir tidak pernah), 2
(jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (hampir selalu). Penelitian ini
menggunakan Skala CERQ yang telah diterjemahkan ke da- lam Bahasa
Indonesia. Pada penelitian ini, uji reliabilitas dan validitas terhadap 60 mahasiswa
tahun pertama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata
Dharma. Uji validitas 16 aitem pemikiran negatif dan 20 aitem pemikiran positif,
dite- mukan 15 aitem pemikiran negatif sahih dengan korelasi aitem total sebesar
0,321-0,720 dan 19 aitem pemi- kiran positif sahih dengan korelasi aitem total
sebesar 0,260-0,674 dengan aitem yang gugur adalah 10 dan 33. Uji reliabilitas
ditemukan koefisien reliabi- litas Alfa Cronbach sebesar 0,863 untuk pemikiran
negatif dan 0,854 untuk pemikiran positif.
10. Pelaksanaan Penelitian :
Melakukan uji coba modul. Uji kelayakan modul telah dilakukan dengan
melakukan simulasi sebanyak empat kali simulasi terhadap lima mahasiswa
yaitu pada tanggal 15 Mei 2009 sebanyak dua kali uji coba dan 26 Mei 2009
sebanyak dua kali uji coba.
Melakukan uji coba PANAS dan CERQ pada tanggal 11-15 Mei 2009.
Melakukan skrining subjek berdasarkan kriteria yang telah dibuat oleh peneliti
yaitu pada tanggal 22 Mei 2009. Skrining dilakukan pada 100 mahasiswa
semester II tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Berdasarkan skrining yang dilakukan didapatkan 24 mahasiswa yang sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan.
Peneliti membagi 24 mahasiswa tersebut menjadi dua kelompok, 12 mahasiswa
untuk kelompok eksperimen dan 12 mahasiswa untuk kelompok kontrol dengan
matched skor depresi.
Meminta persetujuan subjek untuk mengikuti penelitian dilakukan dengan
penandatanganan lembar persetujuan menjadi subjek atau informed consent
pada tanggal 29 Mei 2009 untuk kelompok eksperimen dan 3 Juni 2009 untuk
kelompok kontrol. Pada tahap ini, mahasiswa yang bersedia mengikuti
penelitian adalah 9 untuk kelompok eksperimen dan 10 untuk kelompok
kontrol.
Pemberian pretest yaitu berupa PANAS dan CERQ pada 3 Juni 2009.
Proses terapi dimulai pada tanggal 3 sampai 10 Juni 2009. Pada pelaksanaan
terapi, subjek yang datang pada hari pertama terapi adalah enam subjek dan tiga
subjek lainnya menyatakan mengundurkan diri. Sebelum memulai terapi, subjek
terlebih dahulu diberikan informasi mengenai hal–hal yang berhubungan
dengan proses terapi seperti aturan yang harus ditaati bersama dan kegiatan
yang dilakukan selama empat kali pertemuan. Subjek diberikan terapi berupa
menulis pengalaman emosional dengan menggunakan buku harian. Terapi
dilakukan selama empat kali pertemuan yaitu pada tanggal 3, 5, 8, dan 10 Juni
2009. Sebelum menulis, subjek diberikan instruksi terlebih dahulu. Observer
dilibatkan sebagai pengamat dalam setiap proses intervensi dengan panduan
lembar observasi.
Pemberian posttest berupa BDI, PANAS, dan CERQ dilakukan pada tanggal 10
Juni 2009. Untuk kelompok eksperimen, posttest diberikan pada akhir
pertemuan ke empat. Posttest ini diikuti oleh enam subjek dari kelompok
eksperimen dan enam subjek dari kelompok kontrol. Empat subjek dalam
kelompok kontrol gugur karena tidak bersedia mengikuti posttest.
Follow up berupa pemberian BDI, PANAS, dan CERQ dilakukan setelah satu
minggu pemberian terapi menulis pengalaman emosional pada buku harian
yaitu pada tanggal 17 Juni 2009. Pada tahap follow up diikuti oleh enam
mahasiswa dari kelompok eksperimen dan enam mahasiswa dari kelompok
kontrol.
Melakukan analisis kuantitatif, yaitu untuk melihat apakah ada penurunan
depresi dan perubahan emosi serta pemikiran subjek setelah mengikuti Terapi
Menulis Pengalaman Emosional.
Melakukan analisis kualitatif yaitu dengan analisis naratif berdasarkan cerita
yang ditulis untuk mengetahui dinamika yang terjadi dalam Terapi Menulis
Pengalaman Emosional.
11. Metode Analisis Data :
Pada penelitian ini, analisis dilakukan dalam dua cara, yaitu analisis kuantitatif dan
analisis kualitatif.
12. Penelitian :
1. Hasil Analisis Kuantitatif
Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan skor pretest, posttest,
dan follow up hasil pengukuran skala Beck Depression Inventory (BDI) dengan
menggunakan Design Anava Campuran yang terdiri Anava Antar Kelompok
dan Anava Amatan Ulang. Hasil Anava Amatan Antar Kelompok Depresi
antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol menunjukkan nilai F
hitung=25,88 dan p=0,001 (p<0,05), yang berarti ada perbedaan yang signifikan
antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
.
Tabel 1 diatas memperlihatkan bahwa ada penurunan depresi pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Penurunan depresi terjadi lebih banyak pada
kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari pengujian
Anava Amatan Ulang untuk mengetahui penurunan depresi pretest, posttest, dan
follow up pada subjek kelompok eksperimendiketahui nilai F hitung=33,72 dan
p=0,001 (p<0,05) yang berarti ada perbedaan depresi pada setiap pengukuran
pretest, posttest, dan follow up. Hal ini menunjukkan adanya penurunan depresi
pada setiap pengukuran. Untuk mengetahui perbedaan depresi pada pretest,
posttest, dan follow up dilaku kan pengujian Post Hoc. Hasil pengujian Post
Hoc memperlihatkan adanya penurunan yang signifikan depresi subjek antara
pretest, posttest, dan follow up. Pada pengukuran pretest dan posttest terdapat
perbedaan dengan p=0,003 (p<0,05) dan pada pengukuran posttest dan follow
up dengan p=0,033 (p<0,05). Pada pengukuran pretest dan follow up dengan
p=0,001 (p<0,05).Selanjutnya juga dilakukan analisis dengan Anava Campuran
untuk mengetahui perbedaan perubahan pemikiran dan emosi pada setiap
kelompok dan pada setiap pengukuran.
Dari tabel 2 di atas dapat diketahui adanya perubahan berupa peningkatan
maupun penurunan skor pretest, posttest, dan follow up pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil anava amatan antar kelompok
pemikiran pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan
bahwa pada pemikiran positif dihasilkan nilai F=3,16 dan p=0,106 (p>0,05)
yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan perubahan pemikiran positif
pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan pemikiran positif pada kelompok eksperimen tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Demikian pula dengan
pemikiran negatif yang menghasilkan nilai F=0,551 dan p=0,475 (p>0,05). Hal
ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan perubahan pemikiran negatif
pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan demikian,
penurunan pemikiran negatif pada kelompok eksperimen tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa menulis pengalaman emosional kurang efektif untuk
meningkatkan pemikiran positif dan menurunkan pemikiran negatif pada
subjek. Hasil anava amatan ulang pemikiran positif dan negatif pada kelompok
eksperimen menunjukkan bahwa terdapt nilai
2. Analisis kualitatif
Analisis kualitatif dilakukan dengan analisis naratif dengan sistem
koding dari cerita yang dituliskan subjek pada buku harian dan jawaban yang
diberikan subjek pada lembar kerja setelah menulis pengalaman emosional.
Dari analisis naratif ini, akan diketahui dinamika subjek dalam menghadapi
kejadian-kejadian menekan.
Dalam penelitian ini, topik-topik yang dituliskan oleh subjek adalah
topik mengenai konflik dengan diri sendiri, konflik dengan teman lawan jenis,
konflik dengan teman sebaya, konflik dengan pacar, konflik dengan orang tua,
konflik dengan pemilik kost, permasalahan yang berhubungan dengan aktivitas
akademik di kampus, dan kurangnya dukungan sosial yang diterimanya. Selain
itu, menulis pengalaman emosional juga dapat menjadi sarana bagi subjek untuk
mengekspresikan emosi-emosi yang dirasakan berkaitan dengan kejadian yang
dialami oleh subjek.Dari analisis naratif yang telah dikemukakan juga dapat
dilihat bahwa permasalahan-permasalahan yang dialami subjek dapat
menimbulkan perasaan sedih, putus asa, tidak berminat untuk melakukan
aktivitas, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan menyalahkan orang
lain. Semua simtom – simtom ini merupakan simtom dari depresi.
Dari analisi juga dapat diketahui bahwa terapi menulis pengalaman
emosional dapat memfasilitasi subjek untuk mengembangkan pemikiran-
pemikiran tertentu berkaitan dengan kejadian-kejadian yang dialami. Dengan
menulis, subjek dapat mengembangkan pemikiran untuk menerima situasi yang
ada, memusatkan pemikiran pada hal-hal yang positif dan menilai hal-hal positif
dari kejadian yang dialami. Selain itu, menulis pengalaman emosional juga
mendorong subjek untuk memperoleh suatu pemahaman atau insight,
mengembangkan motivasi dalam diri sendiri, serta mendorong munculnya rasa
optimis de- ngan mengembangkan harapan–harapan dan keyakinan.
Dari lembar kerja subjek dapat diketahui bahwa selama menulis
pengalaman emosional, subjek mengalami emosi-emosi yang sama dengan
ketika subjek menga- lami kejadian-kejadian yang dituliskan. Ketika
menuliskan pengalaman yang tidak menyenangkan, subjek merasakan emosi-
emosi negatif seperti sedih, marah, jijik, takut, menyesal, dan benci. Sebaliknya,
subjek yang menuliskan pengalaman yang menyenangkan akan merasakan
emosi- emosi positif, seperti senang, bahagia, dan lucu. Emosi–emosi yang
dirasakan tersebut pada umumnya masih terasa pada saat setelah sesi menulis.
Akan tetapi, para subjek mengemukakan bahwa setelah menulis pengalaman
emosional mereka merasa lega karena telah mengemukakan emosi-emosi dan
pemikirannya.
13. Kesimpulan :
Berdasarkan hasil, proses, dan hal-hal yang sangat memperngaruhi pelaksanaan
terapi, didapatkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pada penelitian ini, Terapi Menulis Pengalaman Emosional merupakan sarana
bantu diri yang terbukti efektif menurunkan depresi pada mahasiswa tahun
pertama. Simtom-simtom dan tingkat depresi pada semua subjek mengalami
penurunan. Sebelum meng- ikuti terapi subjek berada pada kategori sedang dan
setelah mengikuti terapi subjek berada pada kategori depresi ringan dan normal.
2. Penurunan depresi terjadi karena me- nulis pengalaman emosional memfasi- litasi
subjek untuk mengevaluasi, menganalisis, dan menilai kembali kejadian-kejadian
menekan yang diala- minya sehingga subjek mendapatkan suatu pemahaman,
mengembangkan suatu solusi, memotivasi diri, menerima keadaan yang ada,
belajar dari apa yang dialami, memusatkan pemikiran pada hal-hal yang positif,
dan menilai hal-hal positif dari suatu kejadian.
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
587
PENGARUH KONFORMITAS TERHADAP PENGAMBILAN
KEPUTUSAN PADA PRODUK MINUMAN COKLAT MAHASISWI
PSIKOLOGI DI UNIVERSITAS SURABAYA
Jilly Lukito
Psikologi
Abstrak- Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh konformitas terhadap
pengambilan keputusan pada produk minuman coklat pada mahasiswi Psikologi
di Universitas Surabaya. Sampel untuk penelitian ini berjumlah 60 orang yang
terbagi menjadi dua kelompok yaitu kontrol dan kelompok eksperimen.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan skala yaitu skala preferensi
atas produk minuman coklat dan angket terbuka yang bertujuan untuk mengetahui
faktor yang memengaruhi dalam pengambilan keputusan. Aktor yang diambil
adalah teman sebaya. Analisis data yang digunakan adalah teknis analisis tabulasi
silang dan Chi Square test. Hasil analisis tersebut menunjukkan tidak ada asosiasi
yang signifikan sehingga tidak adanya pengaruh konformitas terhadap
pengambilan keputusan (0.313 > 0.05). Berdasarkan kuesioner yang telah
diberikan, diketahui bahwa faktor mayoritas atau yang paling banyak
mempengaruhi pengambilan keputusan adalah faktor psikologikal yaitu persepsi
(100%), komparasi (36,6%) dan preferensi (33,3%). Bagi peneliti selanjutnya
mungkin bisa menggunakan alat ukur yang terstandarisasi untuk mengukur
efektivitas dan tingkat konformitas , tipe kepribadian dan menggunakan alat ukur
untuk mengetahui seberapa besar faktor-faktor yang dapat memengaruhi
pengambilan keputusan selain faktor sosial (lingkungan). Saran penelitian
sebaiknya melakukan pengembangan produk dengan memperhatikan karakeristik
konsumen.
Kata kunci: Konformitas, Pengambilan Keputusan, Minuman Coklat, Indonesia,
Mahasiswi
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
588
Abstract- This experimental studies is a research to show how conformity can
affect to desicion making on chocolate drinks with female college student in
Surabaya University. The sample 60 participant that divide into two group
which is experiment group and control group. The researcher used preference
to screening with open questionaire aim to show what factor that affect desicion
making. Actor that used is their peer group. Data analysis used chi Square test
and crostab. From the analysis shown that there is not asociation between
conformity and desicion making by square test (0.313 > 0.05). The result shown
from open questionaire that majority used their psychologist which is their
perception (100%), compare (26.6%) and preference to decide their choices. To
another research suggest to used measuring instrument for personality type and
conformity. These research could be implement into workplace that always
produce product that suit for consumen’s characteristic.
Keyword: conformity, chocolate drink, desicion making, female college student
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
589
PENDAHULUAN
Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu memberikan
kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Komoditas Kakao
menempati peringkat ketiga ekspor sektor perkebunan dalam menyumbang devisa
negara, setelah komoditas CPO dan karet (Suryani dan Zuldebriansyah, 2007).
Pada tahun 2010 Indonesia menjadi produsen kakao terbesar ke-2 di dunia dengan
produksi 844.650 ton, dibawah Negara Pantai Gading dengan produksi 1,38 juta
ton. Volume ekspor kakao Indonesia tahun 2009 sebesar 535.240 ton dengan nilai
Rp. 1.413.535.000 dan volume impor sebesar 46.356 ton senilai 119,32 ribu US$
(Direktorat Jendral Perkebunan, 2010). Menurut Ketua Asosiasi Industri Kakao
Indonesia (AIKI), Piter Jasman mengatakan pengolahan biji kakao nasional akan
mencapai 500 ton pada akhir 2013. Data AIKI menyebutkan, produksi biji kakao
nasional pada 2012-2013 mencapai 310 ribu dan 400 ribu ton. AIKI
memperkirakan produksi kakao olahan nasional dapat dapat naik hingga 800 ribu
ton pada 2014. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa penyerapan
pasar tidak seimbang dengan hasil produksi nasional karena selisih 200 ribu ton
dengan kemampuan penyerapan konsumen.
Salah satu faktor eksternal yaitu konformitas. Konformitas ialah
suatu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap
anggotanya tetapi memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan
munculnya perilaku-perilaku tertentu pada anggota kelompok (Zebua dan
Nurdjayadi,2001). Melalui studi yang telah dilakukan ditunjukkan bahwa tekanan
grup mungkin terjadi memberikan pengaruh dalam bagaimana individu dalam
meyakini dan pandangannya (Venkatesan, 1966). Pada eksperimen lainnya,
mengatakan bahwa adanya ketidakhadiran standard objektif dalam bagaimana
individu berubah mengikuti pertimbangan dan evaluasi orang lain
(Venkatesan,1966). Hasil dari eksperimen tersebut menunjukkan bahwa dalam
mengambil keputusan, Individu cenderung untuk menyesuaikan dengan keputusan
norma kelompok.
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
590
Tujuan dari penelitian adalah melakukan modifikasi mengenai
pengaruh konformitas terhapad perilaku konsumen yaitu pengambilan keputusan
dan sumbangan efektif konformitas terhadap pengambilan keputusan konsumen.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian menggunakan true experiment (eksperimen
murni) dengan posttest control group design. Desain eksperimen tersebut
merupakan desain eksperimen dengan adanya pembagian partisipan menjadi
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Setelah pembagian menjadi dua
kelompok yang setara, dilakukan treatment pada kelompok eksperimen. Adanya
pengukuran post-test memungkinkan peneliti untuk membandingkan kondisi
kelompok eksperimen dan kontrol sehingga peneliti dapat membuat kesimpulan
tentang keefektifan treatment dengan lebih baik.
Peneliti memilih desain eksperimen tersebut karena jenis eksperimen
tersebut berpeluang untuk dilakukan dalam waktu yang terbatas (cukup satu kali
eksperimen) dan mempunyai kontrol validitas internal yang paling kuat dibanding
dua desain eksperimen lainnya. Untuk menghindari risiko terkontaminsasi dengan
variabel lain , maka eksperimen mengontrol beberapa variabel yaitu merek,
gender, kemasan, dan selera. Berikut adalah beberapa upaya yang telah dilakukan
untuk menjaga variabel yang dapat mengganggu jalannya penelitian:
1. Menghilangkan merek pada produk untuk mengurangi bias pada
merek.
2. Melakukan seleksi pada calon partisipan dengan screening
menggunakan skala preferensi sehingga penyebaran partisipan
merata antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
3. Kemasan produk pada tiap sample menggunakan kemasan yang
sama.
Kelompok kontrol terdiri dari mahasiswi Psikologi yang
mengikuti mata kuliah Psikologi Ekonomi dan Bisnis.
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
591
Pengambilan data dilakukan pada pukul 08.30 – 9.30 pada hari
Selasa Tanggal 29 November 2016.
Berikut adalah prosedur pelaksanaan penelitian:
a. Sebelum memulai eksperimen, peneliti memperkenalkan diri
terlebih dahulu dan pemberian penjelasan kegiatan yaitu
meminta para mahasiswi untuk memilih minuman yang paling
enak atau terbaik. Pertama, dilakukan screening terlebih dahulu
untuk menyeimbangkan kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Setiap partisipan yang terpilih adalah Dalam kegiatan
ini peneliti berhasil menentukan sebanyak 30 partisipan yang
merupakan wanita yang memiliki perwakilan tiap skala
preferensi yaitu masing-masing sebanyak 10 orang.
b. Pengaturan posisi menggunakan variasi latin square design
sehingga setiap posisi memiliki frekuensi yang sama.
c. Memberikan intruksi bahwa: (1) ketiga sample adalah berasal
dari tempat yang berbeda, (2) setiap produk memiliki kualitas
yang berbeda-beda, (3) eksperimen ini sudah pernah dilakukan
sebelumnya dalam studi bisnis untuk mengindikasi minuman
mana yang terbaik, (4) studi yang akan dilakukan adalah untuk
menemukan manakah minuman yang paling terbaik.
d. Membagikan tiap label minuman kepada partisipan secara
individu yang dalam percobaan diberi jeda bagi partisipan
untuk meminum air putih untuk menetralkan rasa.
e. Setelah mencoba dan menentukan pilihan, peneliti
membagikan angket dan inform consent kepada tiap partisipan
yang terpilih dan mengumpulkan seluruh lembar angket yang
telah diisi.
f. Langkah terakhir adalah menjelaskan arti tujuan dari
eksperimen yang sebenarnya yang sudah tercantum di dalam
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
592
inform consent yaitu untuk merupakan penelitian mengenai
pengaruh konformitas dalam pengambilan keputusan.
g. Untuk menjaga jalannya eksperimen, peneliti menyampaikan
kepada seluruh partisipan yang ada di dalam ruangan tersebut
untuk merahasiakan tujuan eksperimen yang sebenarnya
dikarenakan peneliti akan melakukan penelitian pada kelompok
eksperimen dalam beberapa hari ke depan sehingga tidak
menganggu partisipan yang sudah berada di dalam daftar
kelompok eksperimen.
h. Sebagai hadiah atas partisipasi kelompok kontrol peneliti
membagikan masing-masing kepada partisipan berupa
minuman cokelat yang merupakan produk eksperimen.
Teknik analisis data merupakan kegiatan mengolah data yang sudah
terkumpul. Pengolahan data tersebut dilakukan menggunakan bantuan software
SPSS 22. Analisis data dengan beberapa langkah yaitu uji hipotesis guna
mengetahui pengaruh tratment. Hal ini dilihat dari hasil nilai 0 dan 1 (Pada
partisipan yang mengubah pilihannya. Kemudian memperhatikan nilai
signifikansi pada uji hipotesis dengan menggunakan taraf signifikansi 5% (α=
0.05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, kedua kelompok yang digunakan sebagai kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu
dilihat dari skala preferensi yang sama yaitu memiliki perwakilan 10 partisipan
dalam tiap tingkatan skala rendah, sedang dan tinggi serta jumlah partisipan di
tiap kelompok adalah sama yaitu masing-masing 30 orang. Dalam memilih
partisipan, peneliti mengatur dan memberikan syarat utama yaitu setiap partisipan
dalam kelompok eksperimen adalah teman atau mahasiswi yang berinteraksi
dalam kehidupan sehari-hari experimentee. Setelah di lakukan screening, peneliti
berhasil mendapatkan setiap perwakilan dari masing-masing skala preferensi yaitu
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
593
sebanyak 10 partisipan pada tiap kelompok kontrol dan eksperimen. Total
partisipan adalah sebanyak 60 orang.
No Hari, Tanggal Waktu Lokasi Jumlah
partisipan
1 Selasa, 29
November 2016
13:00 – 18.00 SGFP dan PD
1.2
12
2 Rabu, 30
November 2016
14:00 – 18:00 PD 3.2 14
3 Kamis, 1
Desember 2016
11:00 – 13:00 PD 1.3 4
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Berdasarkan waktu penelitian yang disebutkan, pengambilan data
dilakukan selama 3 hari dengan jumlah partisipan yang berbeda-beda bergantung
pada waktu yang dikehendaki oleh experimentee dan partisipan yang ada. Masing-
masing waktu yang diperlukan tiap eksperimen yaitu 1x 25 menit terdiri dari
perkenalan diri, penyampaian tujuan, pencobaan minuman, perlakuan, dan
penutup.
Kelompok A B C N
Eksperimen 6 13* 11 30
Kontrol 8 7 15 30
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pilihan Partisipan
* Pada kelompok eksperimen partisipan yang merubah pilihannya adalah 1 orang dengan
pereferensi 2 yaitu subjek nomor 8
Distribusi skor pilihan pada kedua kelompok tersebut seperti yang telah
ditunjukkan oleh tabel tersebut adalah terdapat perbedaan distribusi pada
pilihan B yaitu selisih 6 orang yaitu sebanyak 13 orang pada kelompok
eksperimen. Meski telah menunjukkan jumlah yang lebih banyak daripada
kelompok eksperimen namun partisipan yang mengaku merubah pilihannya
karena pengaruh temannya adalah sebanyak 1 orang.
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
594
Kelompok Conform Non-Conform Total Sig (2-sided)
Eksperimen 1 29 30 .313
Kontrol 0 30 30
Tabel 3. Hasil Tabulasi Silang dan Chi-Square Test
Berdasarkan hasil yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa
pengaruh tekanan kelompok tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan
seseorang. Hal ini diperkuat dengan data pengujian hipotesis dengan tabulasi
silang dan sig pada Chi-Square terhadap pengambilan keputusan pada seluruh
jumlah partisipan sebanyak 60 orang. Berdasarkan tabel 4.4 terlihat dari data
output SPSS adalah nilai sig 0.313 > 0.05 maka tidak signifikan sehingga H1
ditolak. Artinya adalah tidak ada asosiasi antara konformitas dengan pengambilan
keputusan.
No Faktor yang memengaruhi Persen Pernyataan No subjek
1 Persepsi
Tahap:
Pengenalan
Perhatian
Interpretasi
100 % (30 subjek) “rasa, warna dan kekentalan”
“rasa dan tekstur”
“ tidak terlalu asam”
“Coklatnya terasa”
1
22
30
27
2 Komparasi 36,6 %
(11 subjek)
“Menurut saya, sample A tidak
terlalu pahit dan tidak terlalu
manis dibandingkan yang
lainnya, sample A terasa paling
enak meskipun yg lainnya juga
enak”
“ Karena menurut saya yang
paling manis”
12
3
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
595
3 Penguatan teman 20%
(6 subjek)
“ Pilihan saya sudah tetap dari
awal, karena teman saya yakin”
“teman saya suka B jadi saya
semakin yakin”
2
7
4 Preferensi
Selera kesukaan terhadap
produk
Pembelajaran dari
pengalaman masa lalu
33,6 %
(10 subjek)
“Manisnya menurut saya pas,
mungkin karena saya tidak suka
terlalu manis maka dari itu
rasanya pas”
“Karena sudah pas di hati coklat
B (Saya suka)”
“ Karena sample C pahit seperti
dark choco yang seharusnya”
22
25
23
Tabel 4. Hasil angket terbuka
Berikut akan dibahas hasil penelitian pada masing-masing faktor yang
memengaruhi pengambilan keputusan.
1. Penguatan teman
Berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan, diketahui bahwa
sebanyak 6 (20%) subjek nomor 2, 3, 6, 7, 9, 17, (tabel 4.5) menyatakan
bahwa adanya pengaruh teman dalam mempertimbangkan pilihan
walaupun sedikit dan tidak merubah pilihan jika berbeda namun dapat
memberikan penguatan pada pilihannya jika memiliki pilihan jawaban
yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam mengambil keputusan,
seseorang akan memperhatikan keputusan orang lain dan dapat
menjadikan keputusan orang lain sebagai penguat dalam pilihannya jika
memiliki pilihan yang sama.
Subjek menggunakan informasi dan respon teman dalam
pengambilan keputusannya ditunjukkan melalui pernyataan subjek yaitu “
Pilihan saya sudah tetap dari awal, karena teman saya yakin” pdada subjek
nomor 2 dan pernyataan “teman saya suka B jadi saya semakin yakin
pada subjek nomor 7 (Tabel 4.5). Dari contoh pernyataan subjek tersebut
menunjukkan bahwa subjek pada tahap evaluasi alternatif yaitu melakukan
evaluasi berdasarkan sikap orang lain atau teman sebaya berupa sikap
positif dari experimentee berupa opini sikap persetujuan dengan pilihan
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
596
subjek. Sikap experimentee tersebut memberikan pengaruh dalam
mengambil keputusan yaitu kehadiran teman tersebut memengaruhi subjek
untuk dapat meyakini dan sebagai penguatan pada pilihan yang telah
dipilih subjek. Sikap teman yang positif terhadap suatu sample yaitu
menyukai hasil dari evaluasi subjek memengaruhi keyakinan dan motivasi
pada pilihan subjek tersebut.
2. Persepsi
Dalam proses mengambil keputusan, individu akan mengumpulkan
informasi, memproses, dan menyimpan sebagian informasi serta
menambah dan menggabungkan informasi yang baru dengan informasi
yang lama sehinga akan menghasilkan suatu pemecahan masalah dalam
bentuk adanya keputusan. Menurut Engel (1995) terdapat tiga langkah
utama dalam proses menghasilkan informasi dari persepsi yaitu
a. Pengenalan (exposure)
Persepsi dimulai pada tahap ini yaitu muncul ketika stimulus
datang melalui salah satu reseptor sensori utama. Pada
penelitian ini terlihat dalam reseptor sensori utama yaitu pada
pengenalan produk pertama kali pada prosedur penelitian.
Pengenalan dilakukan dengan menyampaikan produk secara
singkat dengan menghadirkan produk secara langsung dan juga
melalui penyampaian secara verbal oleh peneliti.
b. Perhatian (attention)
Tahap berikut ini yaitu adanya perhatian yang muncul ketika
stimulus mengaktifkan satu atau lebih sensori dan sensasi yang
terbentuk bergerak menuju otak dan diproses. Banyaknya
stimulus yang hadir akan menimbulkan perhatian pada stimulus
yang menarik. Faktor stimulus adalah karakteristik fisik dari
stimulus seperti warna, rasa, intensitas kekentalan, dan
kuantitas yang ada para produk minuman coklat. Dalam
penelitian ini dapat ditunjukan pada sensori indera perasa (rasa,
tekstur, dan kekentalan) dan penglihatan (warna). Hal ini
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
597
ditunjukkan dengan kemampuan subjek dalam memperhatikan
beberapa aspek tersebut yang kemudian dijadikan
pertimbangan terlihat dalam beberapa pernyataan yaitu “rasa,
warna dan kekentalan” pada subjek nomor 1, dan “rasa dan
tekstur” pada subjek nomor 22 (Tabel 4.5). Hal ini
menunjukkan bahwa subjek merasakan adanya stimulus
karakteristik fisik dari produk tersebut.
c. Interpretasi (interpretation)
Langkah berikutnya adalah interpretasi yaitu menentukan
makna dari sensasi atau proses pada saat stimulus baru
ditempatkan dalam salah satu kategori makna dari sensasi atau
proses dimana stimulus baru ditempatkan dalam salah satu dari
makna kategori yang ada. Dalam penelitian ini, subjek akan
memproses dan menginterpretasikan dan mengelolah seperti
rasa yang pahit atau manis, tingkat intensitas kental atau cari
dan warna yang terang atau lebih gelap. Subjek akan
mengkategorikan makna dari sensasi atau proses yang
diterimanya pada makna kategori seperti mengkategorikan rasa
pada produk yang akan dipilih dengan sample yang tidak
seperti dengan makna pada tingkat rasa manis dan asam serta
tekstur pada produk minuman coklat tersebut. Hal ini
ditunjukkan pernyataan subjek yaitu “ tidak terlalu asam”
subjek nomor 30 dan “Coklatnya terasa” pada subjek nomor 27
(Tabel 4.5). Pernyataan tersebut membuktikan bahwa dalam
mengambil keputusan, subjek akan memiliki interpretasi
terhadap produk dan interpretasi yang dimiliki tersebut
memengaruhi keputusan yang akan dipilih. Subjek akan
menginterpretasikan dan mengkategorikan makna yang
diperoleh dari proses interpretasi.
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
598
3. Komparasi
Komparasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai perbandingan. Komparasi adalah suatu metode yang digunakan
untuk membandingkan data-data yang ditarik ke dalam konklusi baru.
Komparasi sendiri dari bahasa inggris yaitu compare, yang artunya
membandingkan untuk menemukan persamaan atau perbedaan dari
beberapa konsep atau lebih. Berdasarkan Kotler (2008) proses
pengambilan keputusan terdiri dari lima tahap. Salah satu tahap tersebut
adalah tahap pencarian informasi. Pada tahap ini individu akan mencari
informasi mengenai suatu produk. Pencarian informasi tersebut dapat
berupa pencarian informasi yang bersifat aktif yaitu melakukan berbagai
perbandingan dari spesifikasi produk yang telah ditawarkan. Komparasi
atau perbandingan tersebut dapat dilakukan dengan membandingkan
kelebihan dan penawaran produk yang paling sesuai.
4. Preferensi
Preferensi pada makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan
atau ketidaksukaan terhadap suatu jenis makanan dan preferensi tersebut
dapat memengaruhi pilihan individu. Preferensi merupakan pilihan suka
atau tidak suka oleh seseorang terhadap produk yang dikonsumsi. Dalam
mengambil keputusan, menurut Engel (1995) seseorang harus mempelajari
semua hal yang berkaitan dengan performa, keberadaan, nilai, pilihan
produk, kemudian menyimpan informasi tersebut dalam ingatan. Perilaku
konsumen dipengaruh oleh penngalaman belajar yang menentukan
tindakan dan pengambilan keputusan yaitu bersumber dari pembelajaran
pada pengalaman yang serupa. Pengalaman masa lalu yang pernah
mengkonsumsi produk sejenis yaitu produk minuman dark chocolate dan
hasil interpretasi dari produk tersebut dapat menjadi standard dalam
mengambil keputusan.
Adanya pengaruh pengalaman masa lalu tersebut dapat
ditunjukkan pada pernyataan subjek “ Karena sample C pahit seperti dark
choco yang seharusnya” pada subjek nomor 23. Pernyataan tersebut
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
599
menunjukkan bahwa subjek sudah pernah mencoba minuman dark
chocolate sebelumnya dan sudah memiliki standart yang harus dicapai.
Subjek akan memilih dari beberapa sample yang sesuai dan mencapai
standard rasa tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam
pengambilan keputusan, individu dipengaruhi oleh beberapa faktor selain
lingkungan (konformitas) tetapi lebih banyak oleh faktor persepsi, komparasi, dan
preferensi.
Saran bagi individu adalah para Individu diharapkan untuk dapat
mengevaluasi opsi-opsi dengan karakteristik diri dan juga mempertimbangkan
opini dan sikap orang lain. Individu dapat mengambil keputusan seperti
mengevaluasi opsi-opsi yang ada, melakukan komparasi terhadap pilihan produk
yang ada dan juga sesuai dengan selera ketika dihadapkan pada situasi yang
membutuhkan pengambilan keputusan.
Melalui hasil penelitian diketahui bahwa konsumen menentukan
pilihannya berdasarkan persepsi mereka dalam kualitas produk tersebut dan
preferensi (selera). Diharapkan hasil penelitian ini dapat di implementasikan
dalam strategi pemasaran produk tersebut dengan menyesuaikan karakteristik
konsumen. Disarankan untuk melakukan pengembangan produk dengan
mempertimbangkan faktor-faktor psikologi yang berkaitan dengan karakteristik
konsumen.
Berikut adalah saran bagi penelitian selanjutnya:
1. Penelitian ini mengungkap pengaruh konformitas terhadap
pengambilan keputusan. Disarankan untuk peneliti selanjutnya
menambahkan alat ukur konformitas untuk melihat apakah situasi
atau perlakuan yang dihadirkan sudah mampu menimbulkan adanya
tekanan kelompok.
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
600
2. Peneliti sebaiknya memastikan adanya kondisi konformitas dalam
situasi eksperimen dengan memperhatikan indikator konformitas
Sebaiknya dalam menganalisa pengaruh konformitas dilakukan
dengan nilai interval daripada dengan nominal. Diharapkan dengan
nilai interval penelitian selanjutnya dapat mengidentifikasi dan
menentukan mengelompokkan pengaruh konformitas dengan lebih
jelas dan detail.
3. Sebaiknya penelitian dilakukan dengan menggunakan angket
dengan alat ukur yang sudah dilakukan uji realibilitas dan validitas
untuk melihat secara akurat dan mampu menguji seberapa besar
pengaruh lingkungan (sosial) dan pengaruh psikologikal dalam
mengambil keputusan konsumen. Sebelum melakukan eksperimen
sebaiknya melakukan screening terlebih dahulu dengan
memperhatikan faktor psikologis subjek yaitu dengan memberikan
tes kepribadian untuk menentukan tipe kepribadian subjek sebagai
variabel yang dikontrol.
4. Penelitian ini sudah dapat mengungkapkan minat, pengalaman
sebelumnya, dan referensi orang lain tetapi belum mengungkap
karakteristik kepribadian.
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)
601
DAFTAR PUSTAKA
Aronson, E. (1972). The social animal. San Fransisco : Freeman.
Asch, S. E., (1951). Effects of group pressure upon the modification and
distortion of judgments. In H. Guetzkow (Ed.), Groups, leadership and men.
Oxford, England: Carnegie Press
Berger, J., Rosenholtz, S. J., & Zelditch, M. (1980). Status organizing processes.
Annual Review of Sociology. From Libraries Texas A & M University.
Retrieved from http://hdl.handle.net/1969.1/154809
Deutch, M., & Gerard, H. B. (1955). A study of normative and informational
social influences upon individual judgement. The Journal of Abnormal and
Social Psychology.
Gerard, H. B., Wilhelmy., & Conolley, E.S. (1968). Conformity and group size.
Journal of Personality and Social Psychology. DOI: 10.1037/h0025325
Kotler., & Amstrong. (2008). Prinsip-prinsip Pemasaran. Jilid 1 dan 2.Edisi 12.
Alih bahasa: Bob Sabran. Jakarta: Erlangga.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2007). Manajemen Pemasaran edisi 12. Alih bahasa:
Benyamin Molan. Jakarta: Indeks
Madrigal, R. (2001). Social identity effects in a belief-attitude-intentions
hierarchy: Implications for corporate sponsorship. Psychology & marketing
(Vol. 18). New York: Wiley.
Morissan, M.A. (2010). Psikologi Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Myers, D. G. (2005). Social Psychology. New York : McGraw Hill, Higher
Education.
Olahan Cokelat Indonesia Capai 500 Ribu Ton | bisnis | tempo.co. (n.d.).
Retrieved June 5, 2016, from
https://m.tempo.co/read/news/2013/07/23/090498959/olahan-cokelat-
indonesia-capai-500-ribu-ton.
Profitability and health. a recipe for success. 52nd Biscuit, Cake, Chocolate and
Confectionery Association (Vol. 35). (2005). Hilton Birmingham
Metropole.
Swastha, B. D., Handoko, H. (2008). Manajemen pemasaran analisis perilaku
konsumen. Yogyakarta: BPFE
Schiffman & Kanuk. 2008. Perilaku konsumen. Edisi 7. Jakarta: Indeks
Sherif, M. (1935). A study of some social factors in perception. Archives of
Psychology, 27(187) .
Tanner, R, J., Ferraro, R., Chartrand, T, L., Bettman, J, R., & Van, B., (2008). Of
chameleons and consumption: The impact of mimicry on choice and
preferences (Vols 34). Journal of Consumer Research. DOI:
http://dx.doi.org/10.1086/522322 754-766
Venkatesan, M. (1966). Experimental study of consumer behavior conformity and
independence (Vols 3). DOI: 10.2307/3149855
Volume dan Nilai Ekspor, Indonesia. (2010). Retrieved June 5, 2016, from
http://ditjenbun.deptan.go.id/ciragraph/index.php/viewstat/exportimport/1
Zebua, A. & Nurdjayadi, R. (2001). Hubungan antara konformitas dan konsep diri
dengan perilaku konsumtif pada remaja putri. Retrieved from
https://philpapers.org/rec/ZEBHA
REVIEW JURNAL
Nama Jurnal :
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol. 6, No.2, 2017
1. Judul Penelitian :
PENGARUH KONFORMITAS TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN PADA
PRODUK MINUMAN COKLAT MAHASISWI PSIKOLOGI DI UNIVERSITAS
SURABAYA
2. Nama Peneliti :
Jilly Lukito
3. Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh konformitas terhadap
pengambilan keputusan pada produk minuman coklat pada mahasiswi Psikologi di
Universitas Surabaya. Sampel untuk penelitian ini berjumlah 60 orang yang terbagi
menjadi dua kelompok yaitu kontrol dan kelompok eksperimen. Pengambilan sampel
dilakukan dengan menggunakan skala yaitu skala preferensi atas produk minuman
coklat dan angket terbuka yang bertujuan untuk mengetahui faktor yang memengaruhi
dalam pengambilan keputusan. Aktor yang diambil adalah teman sebaya. Analisis data
yang digunakan adalah teknis analisis tabulasi silang dan Chi Square test. Hasil analisis
tersebut menunjukkan tidak ada asosiasi yang signifikan sehingga tidak adanya
pengaruh konformitas terhadap pengambilan keputusan (0.313 > 0.05). Berdasarkan
kuesioner yang telah diberikan, diketahui bahwa faktor mayoritas atau yang paling
banyak mempengaruhi pengambilan keputusan adalah faktor psikologikal yaitu
persepsi (100%), komparasi (36,6%) dan preferensi (33,3%). Bagi peneliti selanjutnya
mungkin bisa menggunakan alat ukur yang terstandarisasi untuk mengukur efektivitas
dan tingkat konformitas , tipe kepribadian dan menggunakan alat ukur untuk
mengetahui seberapa besar faktor-faktor yang dapat memengaruhi pengambilan
keputusan selain faktor sosial (lingkungan). Saran penelitian sebaiknya melakukan
pengembangan produk dengan memperhatikan karakeristik konsumen.
4. Pendahuluan/latar belakang masalah :
Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu memberikan
kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Komoditas Kakao menempati
peringkat ketiga ekspor sektor perkebunan dalam menyumbang devisa negara, setelah
komoditas CPO dan karet (Suryani dan Zuldebriansyah, 2007). Pada tahun 2010
Indonesia menjadi produsen kakao terbesar ke-2 di dunia dengan produksi 844.650 ton,
dibawah Negara Pantai Gading dengan produksi 1,38 juta ton. Volume ekspor kakao
Indonesia tahun 2009 sebesar 535.240 ton dengan nilai Rp. 1.413.535.000 dan volume
impor sebesar 46.356 ton senilai 119,32 ribu US$ (Direktorat Jendral Perkebunan,
2010). Menurut Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman
mengatakan pengolahan biji kakao nasional akan mencapai 500 ton pada akhir 2013.
Data AIKI menyebutkan, produksi biji kakao nasional pada 2012-2013 mencapai 310
ribu dan 400 ribu ton. AIKI memperkirakan produksi kakao olahan nasional dapat
dapat naik hingga 800 ribu ton pada 2014. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan
bahwa penyerapan pasar tidak seimbang dengan hasil produksi nasional karena selisih
200 ribu ton dengan kemampuan penyerapan konsumen.
Salah satu faktor eksternal yaitu konformitas. Konformitas ialah suatu tuntutan
yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya tetapi memiliki
pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada
anggota kelompok (Zebua dan Nurdjayadi,2001). Melalui studi yang telah dilakukan
ditunjukkan bahwa tekanan grup mungkin terjadi memberikan pengaruh dalam
bagaimana individu dalam meyakini dan pandangannya (Venkatesan, 1966). Pada
eksperimen lainnya, mengatakan bahwa adanya ketidakhadiran standard objektif dalam
bagaimana individu berubah mengikuti pertimbangan dan evaluasi orang lain
(Venkatesan,1966). Hasil dari eksperimen tersebut menunjukkan bahwa dalam
mengambil keputusan, Individu cenderung untuk menyesuaikan dengan keputusan
norma kelompok.
Tujuan dari penelitian adalah melakukan modifikasi mengenai pengaruh
konformitas terhapad perilaku konsumen yaitu pengambilan keputusan dan sumbangan
efektif konformitas terhadap pengambilan keputusan konsumen.
5. Teori/definisi dari variable yang terlibat :
Konformitas
Konformitas ialah suatu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok
teman sebaya terhadap anggotanya tetapi memiliki pengaruh yang kuat dan
dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada anggota
kelompok (Zebua dan Nurdjayadi,2001).
Persepsi
Dalam proses mengambil keputusan, individu akan mengumpulkan
informasi, memproses, dan menyimpan sebagian informasi serta menambah dan
menggabungkan informasi yang baru dengan informasi yang lama sehinga akan
menghasilkan suatu pemecahan masalah dalam bentuk adanya keputusan.
Komparasi
Komparasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
perbandingan. Komparasi adalah suatu metode yang digunakan untuk
membandingkan data-data yang ditarik ke dalam konklusi baru. Komparasi
sendiri dari bahasa inggris yaitu compare, yang artinya membandingkan untuk
menemukan persamaan atau perbedaan dari beberapa konsep atau lebih.
Preferensi
Preferensi pada makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau
ketidaksukaan terhadap suatu jenis makanan dan preferensi tersebut dapat
memengaruhi pilihan individu. Preferensi merupakan pilihan suka atau tidak
suka oleh seseorang terhadap produk yang dikonsumsi. Dalam mengambil
keputusan, menurut Engel (1995) seseorang harus mempelajari semua hal yang
berkaitan dengan performa, keberadaan, nilai, pilihan produk, kemudian
menyimpan informasi tersebut dalam ingatan.
6. Hipotesis :
Dalam pengambilan keputusan, individu dipengaruhi oleh beberapa faktor
selain lingkungan (konformitas) tetapi lebih banyak oleh faktor persepsi, komparasi,
dan preferensi.
7. Sampel/subjek penelitian :
Sampel untuk penelitian ini berjumlah 60 orang mahasiswi psikologi di
Universitas Surabaya yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kontrol dan kelompok
eksperimen. Kelompok kontrol terdiri dari mahasiswi Psikologi yang mengikuti mata
kuliah Psikologi Ekonomi dan Bisnis.
8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen :
Desain penelitian menggunakan true experiment (eksperimen murni) dengan
posttest control group design. Desain eksperimen tersebut merupakan desain
eksperimen dengan adanya pembagian partisipan menjadi kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Setelah pembagian menjadi dua kelompok yang setara, dilakukan
treatment pada kelompok eksperimen. Adanya pengukuran post-test memungkinkan
peneliti untuk membandingkan kondisi kelompok eksperimen dan kontrol sehingga
peneliti dapat membuat kesimpulan tentang keefektifan treatment dengan lebih baik.
Peneliti memilih desain eksperimen tersebut karena jenis eksperimen tersebut
berpeluang untuk dilakukan dalam waktu yang terbatas (cukup satu kali eksperimen)
dan mempunyai kontrol validitas internal yang paling kuat dibanding dua desain
eksperimen lainnya. Untuk menghindari risiko terkontaminsasi dengan variabel lain,
maka eksperimen mengontrol beberapa variabel yaitu merek, gender, kemasan, dan
selera. Berikut adalah beberapa upaya yang telah dilakukan untuk menjaga variabel
yang dapat mengganggu jalannya penelitian:
1. Menghilangkan merek pada produk untuk mengurangi bias pada merek.
2. Melakukan seleksi pada calon partisipan dengan screening menggunakan skala
preferensi sehingga penyebaran partisipan merata antara kelompok kontrol dan
kelompok eksperimen.
3. Kemasan produk pada tiap sample menggunakan kemasan yang sama.
9. Metode Pengambilan Data :
Pengambilan data dilakukan pada pukul 08.30 – 9.30 pada hari Selasa Tanggal
29 November 2016. Dalam memilih partisipan, peneliti mengatur dan memberikan
syarat utama yaitu setiap partisipan dalam kelompok eksperimen adalah teman atau
mahasiswi yang berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari experimentee. Setelah di
lakukan screening, peneliti berhasil mendapatkan setiap perwakilan dari masing-masing
skala preferensi yaitu sebanyak 10 partisipan pada tiap kelompok kontrol dan
eksperimen. Total partisipan adalah sebanyak 60 orang.
No Hari, Tanggal Waktu Lokasi Jumlah
partisipan
1 Selasa, 29
November 2016
13:00 – 18.00 SGFP dan PD
1.2
12
2 Rabu, 30
November 2016
14:00 – 18:00 PD 3.2 14
3 Kamis, 1
Desember 2016
11:00 – 13:00 PD 1.3 4
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Berdasarkan waktu penelitian yang disebutkan, pengambilan data
dilakukan selama 3 hari dengan jumlah partisipan yang berbeda-beda bergantung
pada waktu yang dikehendaki oleh experimentee dan partisipan yang ada. Masing-
masing waktu yang diperlukan tiap eksperimen yaitu 1x 25 menit terdiri dari
perkenalan diri, penyampaian tujuan, pencobaan minuman, perlakuan, dan
penutup.
Kelompok A B C N
Eksperimen 6 13* 11 30
Kontrol 8 7 15 30
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pilihan Partisipan
* Pada kelompok eksperimen partisipan yang merubah pilihannya adalah 1 orang dengan
pereferensi 2 yaitu subjek nomor 8
Distribusi skor pilihan pada kedua kelompok tersebut seperti yang telah
ditunjukkan oleh tabel tersebut adalah terdapat perbedaan distribusi pada
pilihan B yaitu selisih 6 orang yaitu sebanyak 13 orang pada kelompok
eksperimen. Meski telah menunjukkan jumlah yang lebih banyak daripada
kelompok eksperimen namun partisipan yang mengaku merubah pilihannya
karena pengaruh temannya adalah sebanyak 1 orang.
Tabel 3. Hasil Tabulasi Silang dan Chi-Square Test
Kelompok Conform Non-Conform Total Sig (2-sided)
Eksperimen 1 29 30 .313
Kontrol 0 30 30
10. Pelaksanaan Penelitian :
Berikut adalah prosedur pelaksanaan penelitian:
a. Sebelum memulai eksperimen, peneliti memperkenalkan diri terlebih dahulu
dan pemberian penjelasan kegiatan yaitu meminta para mahasiswi untuk
memilih minuman yang paling enak atau terbaik. Pertama, dilakukan
screening terlebih dahulu untuk menyeimbangkan kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol. Setiap partisipan yang terpilih adalah Dalam kegiatan
ini peneliti berhasil menentukan sebanyak 30 partisipan yang merupakan
wanita yang memiliki perwakilan tiap skala preferensi yaitu masing-masing
sebanyak 10 orang.
b. Pengaturan posisi menggunakan variasi latin square design sehingga setiap
posisi memiliki frekuensi yang sama.
c. Memberikan intruksi bahwa: (1) ketiga sample adalah berasal dari tempat
yang berbeda, (2) setiap produk memiliki kualitas yang berbeda-beda, (3)
eksperimen ini sudah pernah dilakukan sebelumnya dalam studi bisnis untuk
mengindikasi minuman mana yang terbaik, (4) studi yang akan dilakukan
adalah untuk menemukan manakah minuman yang paling terbaik.
d. Membagikan tiap label minuman kepada partisipan secara individu yang
dalam percobaan diberi jeda bagi partisipan untuk meminum air putih untuk
menetralkan rasa.
e. Setelah mencoba dan menentukan pilihan, peneliti membagikan angket dan
inform consent kepada tiap partisipan yang terpilih dan mengumpulkan
seluruh lembar angket yang telah diisi.
f. Langkah terakhir adalah menjelaskan arti tujuan dari eksperimen yang
sebenarnya yang sudah tercantum di dalam inform consent yaitu untuk
merupakan penelitian mengenai pengaruh konformitas dalam pengambilan
keputusan.
g. Untuk menjaga jalannya eksperimen, peneliti menyampaikan kepada seluruh
partisipan yang ada di dalam ruangan tersebut untuk merahasiakan tujuan
eksperimen yang sebenarnya dikarenakan peneliti akan melakukan
penelitian pada kelompok eksperimen dalam beberapa hari ke depan
sehingga tidak menganggu partisipan yang sudah berada di dalam daftar
kelompok eksperimen.
h. Sebagai hadiah atas partisipasi kelompok kontrol peneliti membagikan
masing-masing kepada partisipan berupa minuman cokelat yang merupakan
produk eksperimen.
11. Metode Analisis Data :
Teknik analisis data merupakan kegiatan mengolah data yang sudah terkumpul.
Pengolahan data tersebut dilakukan menggunakan bantuan software SPSS 22. Analisis
data dengan beberapa langkah yaitu uji hipotesis guna mengetahui pengaruh tratment.
Hal ini dilihat dari hasil nilai 0 dan 1 (Pada partisipan yang mengubah pilihannya.
Kemudian memperhatikan nilai signifikansi pada uji hipotesis dengan menggunakan
taraf signifikansi 5% (α= 0.05).
Analisis data yang digunakan adalah teknis analisis tabulasi silang dan Chi
Square test. Hasil analisis tersebut menunjukkan tidak ada asosiasi yang signifikan
sehingga tidak adanya pengaruh konformitas terhadap pengambilan keputusan (0.313 >
0.05). Berdasarkan kuesioner yang telah diberikan, diketahui bahwa faktor mayoritas
atau yang paling banyak mempengaruhi pengambilan keputusan adalah faktor
psikologikal yaitu persepsi (100%), komparasi (36,6%) dan preferensi (33,3%).
12. Hasil Penelitian :
Berdasarkan hasil yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa
pengaruh tekanan kelompok tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan
seseorang. Hal ini diperkuat dengan data pengujian hipotesis dengan tabulasi
silang dan sig pada Chi-Square terhadap pengambilan keputusan pada seluruh
jumlah partisipan sebanyak 60 orang. Berdasarkan tabel 4.4 terlihat dari data
output SPSS adalah nilai sig 0.313 > 0.05 maka tidak signifikan sehingga H1
ditolak. Artinya adalah tidak ada asosiasi antara konformitas dengan pengambilan
keputusan.
No Faktor yang memengaruhi Persen Pernyataan No subjek
1 Persepsi
Tahap:
Pengenalan
Perhatian
Interpretasi
100 % (30 subjek) “rasa, warna dan kekentalan”
“rasa dan tekstur”
“ tidak terlalu asam”
“Coklatnya terasa”
1
22
30
27
2 Komparasi 36,6 %
(11 subjek)
“Menurut saya, sample A tidak
terlalu pahit dan tidak terlalu
manis dibandingkan yang
lainnya, sample A terasa paling
enak meskipun yg lainnya juga
enak”
“ Karena menurut saya yang
paling manis”
12
3
3 Penguatan teman 20%
(6 subjek)
“ Pilihan saya sudah tetap dari
awal, karena teman saya yakin”
“teman saya suka B jadi saya
semakin yakin”
2
7
4 Preferensi
Selera kesukaan terhadap
produk
Pembelajaran dari
pengalaman masa lalu
33,6 %
(10 subjek)
“Manisnya menurut saya pas,
mungkin karena saya tidak suka
terlalu manis maka dari itu
rasanya pas”
“Karena sudah pas di hati coklat
B (Saya suka)”
“ Karena sample C pahit seperti
dark choco yang seharusnya”
22
25
23
Tabel 4. Hasil angket terbuka
Berikut akan dibahas hasil penelitian pada masing-masing faktor yang
memengaruhi pengambilan keputusan.
1. Penguatan teman
Berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan, diketahui bahwa
sebanyak 6 (20%) subjek nomor 2, 3, 6, 7, 9, 17, (tabel 4.5) menyatakan
bahwa adanya pengaruh teman dalam mempertimbangkan pilihan
walaupun sedikit dan tidak merubah pilihan jika berbeda namun dapat
memberikan penguatan pada pilihannya jika memiliki pilihan jawaban
yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam mengambil keputusan,
seseorang akan memperhatikan keputusan orang lain dan dapat
menjadikan keputusan orang lain sebagai penguat dalam pilihannya jika
memiliki pilihan yang sama.
Subjek menggunakan informasi dan respon teman dalam
pengambilan keputusannya ditunjukkan melalui pernyataan subjek yaitu “
Pilihan saya sudah tetap dari awal, karena teman saya yakin” pdada subjek
nomor 2 dan pernyataan “teman saya suka B jadi saya semakin yakin
pada subjek nomor 7 (Tabel 4.5). Dari contoh pernyataan subjek tersebut
menunjukkan bahwa subjek pada tahap evaluasi alternatif yaitu melakukan
evaluasi berdasarkan sikap orang lain atau teman sebaya berupa sikap
positif dari experimentee berupa opini sikap persetujuan dengan pilihan
subjek. Sikap experimentee tersebut memberikan pengaruh dalam
mengambil keputusan yaitu kehadiran teman tersebut memengaruhi subjek
untuk dapat meyakini dan sebagai penguatan pada pilihan yang telah
dipilih subjek. Sikap teman yang positif terhadap suatu sample yaitu
menyukai hasil dari evaluasi subjek memengaruhi keyakinan dan motivasi
pada pilihan subjek tersebut.
2. Persepsi
Dalam proses mengambil keputusan, individu akan mengumpulkan
informasi, memproses, dan menyimpan sebagian informasi serta
menambah dan menggabungkan informasi yang baru dengan informasi
yang lama sehinga akan menghasilkan suatu pemecahan masalah dalam
bentuk adanya keputusan. Menurut Engel (1995) terdapat tiga langkah
utama dalam proses menghasilkan informasi dari persepsi yaitu
a. Pengenalan (exposure)
Persepsi dimulai pada tahap ini yaitu muncul ketika stimulus
datang melalui salah satu reseptor sensori utama. Pada
penelitian ini terlihat dalam reseptor sensori utama yaitu pada
pengenalan produk pertama kali pada prosedur penelitian.
Pengenalan dilakukan dengan menyampaikan produk secara
singkat dengan menghadirkan produk secara langsung dan juga
melalui penyampaian secara verbal oleh peneliti.
b. Perhatian (attention)
Tahap berikut ini yaitu adanya perhatian yang muncul ketika
stimulus mengaktifkan satu atau lebih sensori dan sensasi yang
terbentuk bergerak menuju otak dan diproses. Banyaknya
stimulus yang hadir akan menimbulkan perhatian pada stimulus
yang menarik. Faktor stimulus adalah karakteristik fisik dari
stimulus seperti warna, rasa, intensitas kekentalan, dan
kuantitas yang ada para produk minuman coklat. Dalam
penelitian ini dapat ditunjukan pada sensori indera perasa (rasa,
tekstur, dan kekentalan) dan penglihatan (warna). Hal ini
ditunjukkan dengan kemampuan subjek dalam memperhatikan
beberapa aspek tersebut yang kemudian dijadikan
pertimbangan terlihat dalam beberapa pernyataan yaitu “rasa,
warna dan kekentalan” pada subjek nomor 1, dan “rasa dan
tekstur” pada subjek nomor 22 (Tabel 4.5). Hal ini
menunjukkan bahwa subjek merasakan adanya stimulus
karakteristik fisik dari produk tersebut.
c. Interpretasi (interpretation)
Langkah berikutnya adalah interpretasi yaitu menentukan
makna dari sensasi atau proses pada saat stimulus baru
ditempatkan dalam salah satu kategori makna dari sensasi atau
proses dimana stimulus baru ditempatkan dalam salah satu dari
makna kategori yang ada. Dalam penelitian ini, subjek akan
memproses dan menginterpretasikan dan mengelolah seperti
rasa yang pahit atau manis, tingkat intensitas kental atau cari
dan warna yang terang atau lebih gelap. Subjek akan
mengkategorikan makna dari sensasi atau proses yang
diterimanya pada makna kategori seperti mengkategorikan rasa
pada produk yang akan dipilih dengan sample yang tidak
seperti dengan makna pada tingkat rasa manis dan asam serta
tekstur pada produk minuman coklat tersebut. Hal ini
ditunjukkan pernyataan subjek yaitu “ tidak terlalu asam”
subjek nomor 30 dan “Coklatnya terasa” pada subjek nomor 27
(Tabel 4.5). Pernyataan tersebut membuktikan bahwa dalam
mengambil keputusan, subjek akan memiliki interpretasi
terhadap produk dan interpretasi yang dimiliki tersebut
memengaruhi keputusan yang akan dipilih. Subjek akan
menginterpretasikan dan mengkategorikan makna yang
diperoleh dari proses interpretasi.
3. Komparasi
Komparasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai perbandingan. Komparasi adalah suatu metode yang digunakan
untuk membandingkan data-data yang ditarik ke dalam konklusi baru.
Komparasi sendiri dari bahasa inggris yaitu compare, yang artinya
membandingkan untuk menemukan persamaan atau perbedaan dari
beberapa konsep atau lebih. Berdasarkan Kotler (2008) proses
pengambilan keputusan terdiri dari lima tahap. Salah satu tahap tersebut
adalah tahap pencarian informasi. Pada tahap ini individu akan mencari
informasi mengenai suatu produk. Pencarian informasi tersebut dapat
berupa pencarian informasi yang bersifat aktif yaitu melakukan berbagai
perbandingan dari spesifikasi produk yang telah ditawarkan. Komparasi
atau perbandingan tersebut dapat dilakukan dengan membandingkan
kelebihan dan penawaran produk yang paling sesuai.
4. Preferensi
Preferensi pada makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan
atau ketidaksukaan terhadap suatu jenis makanan dan preferensi tersebut
dapat memengaruhi pilihan individu. Preferensi merupakan pilihan suka
atau tidak suka oleh seseorang terhadap produk yang dikonsumsi. Dalam
mengambil keputusan, menurut Engel (1995) seseorang harus mempelajari
semua hal yang berkaitan dengan performa, keberadaan, nilai, pilihan
produk, kemudian menyimpan informasi tersebut dalam ingatan. Perilaku
konsumen dipengaruh oleh penngalaman belajar yang menentukan
tindakan dan pengambilan keputusan yaitu bersumber dari pembelajaran
pada pengalaman yang serupa. Pengalaman masa lalu yang pernah
mengkonsumsi produk sejenis yaitu produk minuman dark chocolate dan
hasil interpretasi dari produk tersebut dapat menjadi standard dalam
mengambil keputusan.
Adanya pengaruh pengalaman masa lalu tersebut dapat
ditunjukkan pada pernyataan subjek “ Karena sample C pahit seperti dark
choco yang seharusnya” pada subjek nomor 23. Pernyataan tersebut
menunjukkan bahwa subjek sudah pernah mencoba minuman dark
chocolate sebelumnya dan sudah memiliki standart yang harus dicapai.
Subjek akan memilih dari beberapa sample yang sesuai dan mencapai
standard rasa tersebut.
13. Kesimpulan :
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam
pengambilan keputusan, individu dipengaruhi oleh beberapa faktor selain lingkungan
(konformitas) tetapi lebih banyak oleh faktor persepsi, komparasi, dan preferensi.
Saran bagi individu adalah para Individu diharapkan untuk dapat mengevaluasi
opsi-opsi dengan karakteristik diri dan juga mempertimbangkan opini dan sikap orang
lain. Individu dapat mengambil keputusan seperti mengevaluasi opsi-opsi yang ada,
melakukan komparasi terhadap pilihan produk yang ada dan juga sesuai dengan selera
ketika dihadapkan pada situasi yang membutuhkan pengambilan keputusan.
Melalui hasil penelitian diketahui bahwa konsumen menentukan pilihannya
berdasarkan persepsi mereka dalam kualitas produk tersebut dan preferensi (selera).
Diharapkan hasil penelitian ini dapat di implementasikan dalam strategi pemasaran
produk tersebut dengan menyesuaikan karakteristik konsumen. Disarankan untuk
melakukan pengembangan produk dengan mempertimbangkan faktor-faktor psikologi
yang berkaitan dengan karakteristik konsumen.
73
PENGARUH TERAPI MUSIK DAN GERAK TERHADAP PENURUNAN
KESULITAN PERILAKU SISWA SEKOLAH DASAR
DENGAN GANGGUAN ADHD
Diana Rusmawati, Endah Kumala Dewi
Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Jl. Prof Sudharto. SH, Kampus Tembalang, Semarang, 50275
[email protected] ; [email protected]
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh terapi musik dan gerak terhadap penurunan kesulitan berperilaku
pada siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD. Kesulitan berperilaku ditunjukkan melalui perilaku berlari dan
melompat tanpa tujuan yang pasti merupakan salah satu gejala yang spesifik dari gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktifitas atau gangguan hiperkinetik atau“attention deficit/hyperactivity disorder” (ADHD). Seorang ahli dari hasil
penelitiannya memberikan rekomendasi bahwa terapi musik dapat dikembangkan untuk formulasi strategi treatmen
untuk anak-anak dengan ADHD (Jackson, Nancy 2003).Yudarwanto, W (2006) mengatakan, terapi yang diberikan
terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistic dan menyeluruh. Ada beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki
gangguan perkembangan dan perilaku pada penderita ADHD diantaranya adalah terapi musik dan gerak. Penelitian
ini adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan mempergunakan metode eksperimen. Disain eksperimen
yang dipilih adalah disain subjek tunggal dengan disain A-B-A. Dengan variabel tergantung (target behavior) kesulitan
berperilaku dan varibel bebas yaitu terapi music dan gerak. Alat yang digunakan untuk melakukan tritmen adalah lagu-
lagu Serenade dengan alat musik angklung, lagu Satu-satu aku sayang ibu karangan AT Mahmud , berbagai alat musik
anak-anak dan bantal aneka warna. Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan kriteria: usia, skor Skala
Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan mempergunakan observasi
langsung, video kamera dan behavioral check list. Waktu yang dipergunakan untuk fase baseline I dilakukan selama
enam hari (6) dengan durasi waktu 50 menit, waktu diberikannya tritmen adalah lima belas (15) menit dan selama dua
belas (12) hari yang dilanjutkan dengan observasi di kelas selama lima puluh menit (50) menit, dan fase baseline II
yaitu observasi di kelas setelah tritmen tidak lagi diberikan masing-masing lima puluh (50) menit. Analisis data
menggunakan teknik analisis grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan terapi musik dan gerak dapat
menurunkan frekuensi kesulitan berperilaku pada siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD.
Kata kunci: terapi musik dan gerak, kesulitan berperilaku, ADHD.
PENDAHULUAN
Gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktifitas atau gangguan hiperkinetik atau
“attention deficit/ hyperactivity disorder”
(ADHD) adalah gangguan psikiatrik atau
gangguan perilaku yang paling banyak
dijumpai, baik di sekolah ataupun di rumah.
Gangguan ini merupakan salah satu kelainan
yang sering dijumpai pada gangguan perilaku
anak. Dalam tahun terakhir ini gangguan
ADHD menjadi masalah yang mendapat
banyak sorotan dan perhatian utama
dikalangan medis ataupun masyarakat umum
(Saputro, 2005).
Bradley dan Golden (Jeffrey, Nevid dkk,
2005) mengatakan hal yang sama, yaitu
ADHD merupakan masalah psikologis yang
paling banyak terjadi akhir-akhir ini, sekitar
3-10% terjadi di Amerika Serikat, 3-7% di
Jerman, 5-10% di Kanada dan Selandia Baru.
Di Indonesia angka kejadiannya masih belum
ditemukan angka yang pasti, meskipun
kelainan ini tampak cukup banyak terjadi dan
sering dijumpai pada anak usia pra sekolah
dan usia sekolah (Judarwanto, W, 2006).
74 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
Sedangkan menurut Saputro (2005) di
Indonesia, populasi anak Sekolah Dasar
adalah 16,3% dari total populasi yaitu 25,85
juta anak. Berdasarkan data tersebut
diperkirakan tambahan kasus baru ADHD
sebanyak 9000 kasus. Sebagian besar orang
tua ataupun guru masih menganggap anak
dengan gangguan tersebut sebagai anak
“nakal” atau “malas”. Padahal anak dengan
gangguan tersebut apabila tidak mendapat
pertolongan yang tepat, akan mengalami
kesulitan belajar, prestasi belajar buruk, gagal
sekolah, tingkah lakunya menganggu,
sikapnya tampak sulit diterima oleh
lingkungannya dan bahkan cenderung tidak
disukai oleh orang tua ataupun guru.
Anak-anak ADHD di sekolah sering kali tidak
berada di kursi mereka saat seharusnya
duduk. Atau jika mereka duduk di kursi,
mereka tidak akan bertahan lama. Mereka
akan berbicara terus menerus, berteriak
mengganggu teman-teman lain, berlari dan
melompat tanpa tujuan yang jelas dan tidak
ada satupun tugas akademis yang dapat
diselesaikan.
Penanggulangan kasus penderita ADHD
adalah melalui terapi medikasi atau
farmakologi. Namun para ahli umumnya tidak
menyarankan obat-obatan sebagai terapi
tunggal. Obat stimulan syaraf yang umumnya
diberikan pada anak hiperaktif antara lain
metilfenidat, dekstro, amfetamin dan pemolin
magbesium. Hasilnya anak bisa tenang dan
berkonsentrasi beberapa jam. Walaupun
efektif, obat memiliki efek sampingan yang
merugikan, yaitu timbul kantuk, nafsu makan
berkurang atau sebaliknya sulit tidur, tic,
nyeri perut, sakit kepala, cemas, perasaan
tidak nyaman, kreativitas terhambat. Dalam
jangka panjang menyebabkan kecanduan,
ketergantungan obat bahkan sampai ia
dewasa. Perkembangan jiwa anakpun ikut
mempengaruhi munculnya perilaku adiktif
(Intisari, 2001)
Yudarwanto (2006) mengatakan, terapi yang
diberikan terhadap penderita ADHD haruslah
bersifat holistik dan menyeluruh. Ada
beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki
gangguan perkembangan dan perilaku pada
penderita ADHD diantaranya adalah sensory
integration, snozelen, neuro development
treatment, modifikasi perilaku, terapi
bermain.
Penatalaksanaan ADHD harus merupakan
penatalaksanaan yang multimodal.
Penatalaksanaan ADHD dirancang dapat
memenuhi harapan orang tua di rumah dan
guru di sekolah, yaitu adanya perbaikan
prestasi/ penampilan akademis dan tingkah
lakunya.
Musik memberikan nuansa yang bersifat
menghibur. Sifat menghibur ini
menumbuhkan suasana yang
menggembirakan dan menyenangkan bagi
seorang anak. Apalagi jika lagu-lagu yang
diperdengarkan sesuai dengan suasananya.
Lagu gembira memberikan rangsangan
aktivitas psikofisik pada anak (Satiadarna &
Roswiyani, 2004).
Pada umumnya, anak-anak merupakan
mahluk yang multiritmik. Sebagai mahluk
yang multiritmik, anak-anak mudah memberi
respon fisik terhadap ritme musik, bahkan
responnya relatif spontan dan anak-anak
cenderung bebas menggerakkan tubuh dan
anggota tubuhnya. Aktivitas motorik ini
merangsang pertumbuhan anak, khususnya
pada awal masa perkembangan. Irama musik
yang didengar pada awal kehidupan akan
menjadi irama musik yang sangat bermakna
dalam kehidupan selanjutnya. Irama musik
tertentu akan mempengaruhi detak nadi
mereka, sehingga menjadi selaras dengan
musik tersebut.
Hasanah (2008) dari hasil penelitiannya
ditemukan bahwa musik lembut berpengaruh
dalam menurunkan kecemasan menghadapi
persalinan pertama. Musik lembut membawa
Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 75
Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD
efek relaksasi sehingga bisa menurunkan
tingkat kecemasan ibu hamil pada trisemester
ketiga. Chandra (2007) dari hasil
penelitiannya ditemukan bahwa terapi musik
dapat mengurangi perilaku repetitif pada
anak-anak autis. Dengan mendengarkan
musik anak autis merasa lebih tenang.
Seorang ahli dari hasil penelitiannya
memberikan rekomendasi bahwa terapi musik
dan gerak dapat dikembangkan untuk
formulasi strategi treatmen untuk anak-anak
dengan ADHD (Jackson, 2003). Sedangkan
Wheeler dan Stultz (2007) untuk membantu
anak-anak dalam merespon musik tadi maka
ditambahkan gerakan dengan menyanyi dan
instrumen, sehingga anak-anak lebih trampil
dalam merespon, lebih spontan dalam
mengikuti irama dengan menggerak-gerakkan
bagian tubuhnya. Pada anak-anak yang
mengalami disability maka menunjukkan
hasil bahwa terapi musik dan gerakan dapat
membantu anak-anak belajar untuk mengatur
diri dan dalam berhubungan dengan orang
lain serta mengatur emosinya.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa musik dan gerakan
berpotensi untuk menyembuhkan berbagai
penyakit. Musik dan gerakan berpengaruh
langsung ke otak dan berakibat ke proses
kerja tubuh. Terapi musik dan gerak juga
mampu mempengaruhi kondisi mental, sebab
ada keterkaitan antara musik dengan emosi
atau mental seseorang. Oleh karena itu
peneliti tertarik untuk memanfaatkan musik
dan gerak sebagai salah satu alternatif terapi
untuk menurunkan kesulitan berperilaku pada
anak dengan gangguan ADHD.
Kesulitan Perilaku pada Anak dengan
Gangguan ADHD
Peters dan Douglas (Goldstein, 1995)
mendiskripsikan “attention deficit
hyperactivity disorder” (ADHD), sebagai
gangguan yang menyebabkan individu
memiliki kecenderungan untuk mengalami
masalah pemusatan perhatian, kontrol diri,
dan kebutuhan untuk selalu mencari stimulasi.
Barkley (2006) menggambarkan ADHD
sebagai hambatan untuk mengatur dan
mempertahankan perilaku sesuai peraturan
dan akibat dari perilaku itu sendiri. Gangguan
tersebut berdampak pada munculnya masalah
untuk menghambat, mengawali, maupun
mempertahankan respon pada suatu situasi.
Berdasarkan uraian diatas maka ADHD dapat
dipahami sebagai gangguan neurologis yang
menyebabkan masalah pemusatan perhatian,
kontrol diri, dan hiperaktifitas/ impulsivitas
pada anak, sehingga anak sulit untuk
menghambat, mengawali, atau
mempertahankan respon pada satu situasi.
Karakteristik kesulitan berperilaku anak
dengan ADHD
Anak-anak yang banyak bergerak tapi masih
dalam batas normal biasanya gerakannya
diarahkan oleh suatu tujuan dan dapat
mengontrol perilaku mereka. Namun ada
sebagian anak yang menunjukkan gerakan
tanpa diarahkan oleh suatu tujuan dan tanpa
alasan yang jelas serta terlihat tidak bisa
menyesuaikan perilaku mereka terhadap
tuntutan, guru dan orangtua. Anak yang
menunjukkan gambaran tersebut diatas adalah
anak-anak dengan gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktifitas atau gangguan
hiperkinetik atau “attention deficit
hyperactivity disorder” (ADHD).
Gangguan pemusatan perhatian atau
gangguan hiperkinetik adalah gangguan
psikiatrik atau gangguan perilaku anak yang
paling banyak dijumpai, baik di sekolah
maupun di rumah. Tampilan klinis ADHD
sudah bisa dideteksi sejak dini yaitu sejak usia
bayi. Pada usia bayi, terlihat sangat sensitif
terhadap suara dan cahaya, menangis,
menjerit, sulit untuk diam, waktu tidur sangat
kurang dan sering terbangun. Anak juga
sering mengalami kolik, sulit makan atau
minum baik ASI atau susu botol, tidak bisa
76 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
ditenangkan atau digendong, menolak untuk
disayang, berlebihan air liur, kadang seperti
kehausan sering minta minum, “head
banging” (membentur kepala, memukul
kepala, menjatuhkan kepala ke belakang) dan
sering marah berlebihan (Judarwanto, 2006;
Barkley,2006, h.76).
Anak-anak yang mengidap ADHD
menunjukkan sikap tangan dan kaki bergerak
gelisah atau menggeliat-geliat di kursi,
meninggalkan kursi pada situasi yang
menuntut duduk tenang, berlarian atau
memanjat, kesulitan untuk bermain dengan
tenang (Kaplan, 1997, h.731; Nevid dkk,
2005, h.60; Barkley, 2006, h.76; Hughes &
Cooper, 2007, h.165; Martin, 2008, h.29).
Anak cenderung mengambil resiko yang tidak
akan dilakukan oleh sebagian besar anak-anak
normal. Mereka selalu terluka, tetapi tidak
pernah belajar dari pengalaman. Selain itu
mereka akan berbicara terus menerus,
berteriak, mengganggu teman. Mereka
menjadi tidak teratur, sering melupakan atau
kehilangan perlengkapan dan barang-barang
penting. Sebagian besar orangtua ataupun
guru masih menganggap anak dengan
gangguan tersebut sebagai anak “nakal” atau
“malas”.
Tanda lain dari gejala pada anak yang lebih
besar adalah tindakan yang hanya terfokus
pada satu hal saja dan cenderung bertindak
ceroboh, mudah bingung, lupa pelajaran
sekolah dan tugas di rumah. Kesulitan
mengerjakan tugas di sekolah maupun di
rumah, kesulitan dalam menyimak, kesulitan
dalam menjalankan beberapa perintah. Ia juga
sering keceplosan bicara, tidak sabaran, gaduh
dan bicara berbelit-belit, gelisah dan bertindak
berlebihan, terburu-buru, banyak omong dan
suka membuat keributan dan suka memotong
pembicaraan dan ikut campur pembicaraan
orang lain (Judarwanto, 2009; Saputra, 2009
h.38; Barkley,2006, h.299).
Dari gambaran tersebut diatas maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kesulitan berperilaku adalah aktivitas yang
sangat berlebihan atau tidak sesuai dengan
tingkat perkembangannya terutama aktivitas
motorik dan atau vokal.
Etiologi
Penyebab ADHD dipahami sebagai
disregulasi neurotransmiter tertentu didalam
otak yang membuat seseorang lebih sulit
untuk memiliki atau mengatur stimulus-
stimulus internal dan eksternal. Beberapa
neuorotransmiter, termasuk dopamine dan
norepinephrine, mempengaruhi produksi,
pemakaian, pengaturan neurotransmiter lain
juga beberapa struktur otak. Masalah pada
pengaturan fungsi tertentu otak ini tampak
terpusat pada cuping depan yang membuat
seorang anak ADHD lebih sulit
mengendalikan masukan dari bagian-bagian
lain otak. Daerah depan otak yang berada
tepat dibelakang dahi dikatakan
mengendalikan fungsi eksekutif perilaku.
Fungsi eksekutif bertanggung jawab pada
ingatan, pengorganisasian, menghambat
perilaku, mempertahankan perhatian,
pengendalian diri dan membuat perencanaan
masa depan. Tanpa dopamine dan
neurotransmitter yang cukup, cuping-cuping
depan kurang terstimulasi dan tidak dapat
melaksanakan fungsi-fungsinya yang
kompleks secara efektif. Kemudahan
mengalami gangguan dan ketiadaan perhatian
dari sudut pandang fungsi otak adalah
kegagalan untuk “menghentikan” atau
menghilangkan pikiran-pikiran internal yang
tidak diinginkan atau stimulus-stimulus kuat
(Martin, 2008, h.78; Wiebe, 2007, h.15;
Saputro 2009, h.63).
Perubahan suasana hati yang cepat dan
kepekaan berlebihan merupakan akibat dari
otak yang bermasalah dalam meredam
bagian-bagian otak yang mengatur gerakan-
gerakan motorik dan respon-respon
emosional. Hal itulah yang membuat anak
tidak dapat menunggu, menunda pemuasan
dan menghambat tindakan.
Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 77
Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD
Hasil penelitian oleh Cantwell (1975) dan
Morrison dan Stewart (1973) melaporkan
bahwa pada orangtua biologis anak ADHD
lebih banyak mengalami hiperaktivitas
dibandingkan dengan orangtua adopsi anak
ADHD. Hal ini menunjukkan bahwa peran
herediter sangat besar sebagai salah satu
faktor penyebab gangguan ini (Kaplan, 1997,
h.729; Nevid, 2005, h.16; Saputro, 2009,
h.58).
Brown mengatakan ADHD diduga dasarnya
adalah masalah kimia dalam sistem
manajemen otak. Daerah otak yang mengatur
dorongan perhatian dan perilaku dianggap
tidak aktif dibandingkan dengan anak-anak
tanpa gangguan. Dari pengamatan lesi
prefrontal pada individu dengan cedera otak
traumatis juga cenderung menunjukkan
perilaku hiperaktif, distracbility atau impulsif
serta defisit pada fungsi eksekutif (Wiebe,
2007, h.13).
Penelitian neuropsikologis menunjukkan
korteks frontal dan sirkuit yang
menghubungkan fungsi eksekutif bangsal
ganglia. Katekolamin adalah fungsi
neurotransmiter utama yang berkaitan dengan
fungsi otak lobus frontalis Pada penderita
ADHD terdapat kelemahan aktifitas otak
bagian korteks prefrontal kanan bawah dan
kaudatus kiri yang berkaitan dengan pengaruh
keterlambatan waktu terhadap respon motorik
terhadap rangsangan sensoris.
Perilaku ADHD adalah efek dari kecemasan
yang tinggi yang dialami oleh anak sewaktu
kecil, karena anak cemas maka pikirannya
bekerja sangat aktif, memunculkan berbagai
mental atau buah pikir, dengan tujuan agar
anak bisa sibuk memikirkan gambar mental
atau buah pikir itu sehingga dengan
sendirinya kecemasan mereka akan
berkurang.
Berdasarkan gambaran diatas, maka nampak
bahwa penyebab ADHD cukup kompleks,
antara lain neurologis, herediter dan
lingkungan.
Terapi Musik dan Gerak
Terapi musik dan gerak adalah terapi yang
bersifat non verbal. Johan (2006, h.24)
mengatakan bahwa dengan bantuan alat
musik, klien juga didorong untuk berinteraksi,
berimprovisasi, mendengarkan atau aktif
bermain musik. Terapi musik dilakukan
dengan tujuan utama untuk perubahan
perilaku, diikuti tujuan psikososial dan
kognitif.
Terapi musik terdiri dari dua kata, yaitu
“terapi” dan “musik”. Kata “terapi” berkaitan
dengan serangkaian upaya yang dirancang
untuk membantu atau menolong orang lain.
Kata “musik” dalam terapi musik digunakan
untuk menjelaskan media yang digunakan
secara khusus dalam rangkaian terapi.
Terapi musik memanfaatkan kekuatan musik
untuk membantu klien menata dirinya
sehingga mereka mampu mencari jalan
keluar, mengalami perubahan dan akhirnya
sembuh dari gangguan yang diderita. Keadaan
tersebut menggambarkan bahwa terapi musik
bersifat humanistik (Johan, 2006, h.57). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Loewy (1990)
menunjukkan bahwa musik berpengaruh
langsung ke otak dan berakibat ke proses
kerja tubuh.
Hasil penelitian Jackson (2003), terhadap
anak-anak SD yang mengalami ADHD
menunjukkan bahwa intervensi terapi
behavioral dan strategi manajemen diri tidak
efektif dipopulasi ADHD dan neuroterapeutic.
Terapi seni lebih disarankan untuk anak
ADHD termasuk mempergunakan musik.
Terapi seni ini disamping untuk mendukung
berkembangnya kreativitas, juga merupakan
bagian pendekatan multimodal untuk
masalah-masalah interpersonal dan sosial
yang berhubungan dengan hiperaktifitas.
78 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
Bermain musik dipilih sebagai metode
treatmen kesulitan berperilaku karena unsur-
unsur gerak memberikan dampak pada
aktivitas hemisfer otak. Musik dan gerakan,
improvisasi instrumental, bermain musik dan
kelompok menyanyi sering melibatkan
gerakan sisi-sisi badan dan aktivitas di
hemisphere otak. Musik dan gerakan
merupakan pasangan yang bisa meningkatkan
kesadaran emosi atau meningkatkan sebagian
kesadaran. Kemampuan musik meningkatkan
fungsi memori dan persepsi pendengaran
(auditory) untuk mengembangkan belajar dan
kemampuan suara yang spesifik atau nada
bisa mengembangkan perasaan (affecy brain).
Musik dan gerakan, improvisasi instrumental,
bermain musik dan kelompok menyanyi
sering melibatkan gerakan fisik dan badan.
Keadaan ini bisa meningkatkan kesadaran
emosi atau meningkatkan sebagian dari
kesadaran (auditory perception dan memory).
Berdasarkan gambaran tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud terapi
musik dan gerak adalah pemberian bantuan
untuk meningkatkan ketrampilan kognitif
(perhatian dan memori), ketrampilan
mengatur diri dan berhubungan dengan orang
lain dengan memanfaatkan kekuatan musik
dan gerakan.
Elemen dasar musik
Enam elemen dasar musik yang penting
adalah irama (rythem), melodi, harmoni,
dinamika, timbre dan bentuk. Irama adalah
suatu organizer fisiologis, pemersatu sosial
yang tidak memerlukan „perhatian‟ khusus.
Internalisasi irama merupakan kunci utama
dalam terapi musik untuk sensori integrasi,
yaitu suatu proses aplikasi rangsangan
eksternal yang berirama persisten dapat
membantu mempola kembali dan mengatur
keselarasan berirama naluriah dalam
lingkungan internal fisiologis (denyut nadi,
otot, detak jantung, tekanan darah,
pernafasan) (Berger,2002, h.112)
Melodi adalah komunikasi naluriah yang
berhubungan langsung dengan keadaan
emosional manusia. Melodi yang tidak
menentu bisa membuat kegelisahan di otak,
yang umumnya lebih menyukai pola teratur
lagu. Sedangkan harmoni sebagai sumber
daya untuk terapi musik memiliki
kemampuan untuk merangsang persepsi
auditori dapat digunakan untuk memperkuat
fokus pendengaran.
Perseveration atau pengulangan irama adalah
kekuatan dibalik irama dan tenaga pendorong
yang membuat manusia memperhatikan dan
akhirnya beradaptasi. Otak menerima
pengulangan ini selama dibutuhkan untuk
mendapatkan pesan, karena pesan berirama
akan berubah melalui proses evolusi musik.
Sedangkan tempo menentukan efektivitas
musik dalam memunculkan psiko-emosional
serta respon sensoris fisiologis dari musik
(Berger, 2002, h. 117).
Pengajaran sistem untuk bergerak dengan
modulasi dinamis tertentu didukung oleh
dinamika musik adalah tujuan dari terapi
musik untuk integrasi sensori dan
perencanaan motor. Musik lembut
menenangkan pikiran; crescendo dan
decresendo mempengaruhi perhatian, mood,
dan gairah. Dinamika juga memegang peran
kunci dalam ekspresi emosi diri dan
pengakuan perasaan.
Premis terapi musik dan gerak
1. Otak dapat didorong pada tingkat sub-
kortikal melalui tugas sensorik motorik
spesifik untuk mengembangkan fungsi
tanggapan terhadap suasana,
2. Kognitif dan intuitif, respon adaptif
emosional pada kedua sub-kortikal dan
tingkat kortikal dapat berkembang dengan
baik,
3. Terapi musik bekerja dengan apa yang ada
(bukan apa yang hilang), bagian yang
sudah berfungsi memberikan masukan
Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 79
Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD
baru kepada otak untuk memperluas
pengetahuan,
4. Kerja terapi musik adalah menggunakan
musik untuk kesenangan, tetapi secara
spesial mengubah cara kerja otak yang
„lama‟ ke cara kerja yang baru dan tidak
mengganggu (Berger, 2002, h.136).
Pengaruh Terapi Musik dan Gerak
terhadap Kesulitan Perilaku Anak dengan
ADHD
Pada umumnya anak-anak merupakan mahluk
yang multiritmik. Sebagai mahluk yang
multiritmik, anak-anak mudah memberi
respon fisik terhadap ritme musik, bahkan
responnya relatif spontan dan anak-anak
cenderung bebas menggerakkan tubuh dan
anggota tubuhnya.
Musik memberikan nuansa yang bersifat
menghibur. Sifat menghibur ini
menumbuhkan suasana yang menyenangkan
dan menggembirakan bagi seorang anak.
Nuansa hiburan ini memberikan dukungan
positif bagi anak dalam menjalankan
aktivitasnya (Satiadarma & Zahra, 2004,
h.17). Musik potensial untuk meningkatkan
kerja otak, minat, aktivitas, perilaku sosial
dan belajar, mengarahkan ketegangan,
mengatur perilaku dan mengekspresikan
emosi. Musik secara langsung diproses
melalui sistem limbik (amigdala, talamus,
cerebal hypothalamus, hippocampus) (Berger,
2002, h.130). Melalui sistem pendengaran
suara masuk ke dalam otak, memicu faktor
emosional yang mendorong motivasi dan
kemauan untuk membuat pilihan dan
melakukan pola sensorik baru. Pada dasarnya
musik adalah aktivitas whole brain, two
brain, yang mendorong kognisi otak kiri
dengan menggunakan otak kanan untuk
merangsang belahan otak kiri sehingga bisa
bekerjasama (Berger, 2002, h.135).
Kegiatan musik yang meliputi komponen
berirama kuat dapat berdampak pada
perencanaan adaptasi motorik, sensori
integrasi, proses kognitif dan gerakan
fisiologis umum. Individu yang telah
menginternalisasi irama cenderung
mengembangkan perilaku penuh perhatian,
dengan gerakan tubuh lebih fungsional
terorganisir, tubuh bagian atas dan bawah
terkoordinasi, fokus visual dan pendengaran
dan adaptasi perencanaan motorik. Ketika
tubuh berirama terorganisir, tampak bahwa
respon fisiologis lain menjadi lebih mudah
dikelola (Berger, 2002, h.114).
Hasil penelitian efek musik dan suara dalam
produksi alpha brain wave pada anak-anak,
menjelaskan bahwa efek mendengarkan
musik adalah meningkatkan memori jangka
pendek, mengurangi kebingungan dan
meningkatkan proses informasi (Morton,
Kershner & Siegel, 1990).
Aspek sensorik yang dapat diamati dalam
enam minggu pertama terapi musik adalah
reaksi terhadap suara, body atributes untuk
informasi tentang otot dan fungsi
proprioseptif, dan gerakan yang
mengindikasikan masalah vestikular,
proprioseptif dan taktil yang berdampak pada
perencanaan motor, keseimbangan dan pusat
rasa (Berger, 2002, h.133-134).
Gerakan dilakukan oleh anak karena gerakan
juga dapat memperkuat fungsi ingatan, yang
membantu penguasaan dan perkembangan
kesadaran akan dirinya sendiri. Eurythmicz
(Sheppard, 2002, h.62) mengatakan bahwa
emosi bisa dirasakan melalui gerakan dan
emosi juga bisa diungkapkan melalui gerakan,
suara, sikap tubuh serta bentuk tubuh. Dengan
membantu anak-anak melatih gerakan yang
sesuai dengan musik, maka akan tersedia
penyaluran ekspresi emosi. Gerakan sesuai
musik juga dapat meredam emosi yang
negatif diubah secara positif. Aktif secara
fisik akan membantu memperhalus
kemampuan motorik dan koordinasi tubuh
yang pada akhirnya memperhalus refleks
mental dan mendorong perkembangannya.
Apabila anak mampu mengendalikan diri
80 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
mereka maka anak akan bisa memusatkan diri
dalam aktivitas belajar dengan waktu lebih
lama.
Sensori integrasi dikatakan sebagai unsur
yang penting dalam terapi musik didalam
treatment untuk anak ADHD. Multi sensory
mudah dikembangan dengan musik melalui
pendengaran, sentuhan melalui getaran,
melalui kesadaran tentang arti ritme dan
gerakan, melalui ingatan dapat diaktifkan
dengan mudah dengan musik. Hal tersebut
menggambarkan bahwa bagaimanapun
penggunaan musik sebagai sensory penting.
Kebanyakan anak ADHD juga memiliki
masalah pendengaran (Barkley,2006, h.154).
Bisa mendengar tetapi kesulitan mengerti apa
yang didengarnya, karena telinga dan otak
tidak bekerja efisien dalam memproses suara.
Ada kesulitan memilih suara dari banyak
sumber suara yang ada. Juga kesuiitan
memusatkan pendengaran pada suara tertentu.
Akibatnya ia sulit berkonsentrasi pada satu
hal beberapa saat. Anak menjadi terganggu
oleh semua bunyi disekitarnya.
Terapi musik dan gerak memulihkan
kapasitas pendengaran/ penerimaan suara
sehingga anak dapat belajar terfokus dan
menangkap suara yang diinginkan langsung
ke pusat bahasa di otak. Masalah persepsi
suara disebabkan oleh penutupan pendengaran
untuk beberapa frekuensi suara. Otot telinga
menjadi „malas‟ dan tidak tanggap, karena itu
perlu dilatih dan distimulasi agar mencapai
kapasitas normal untuk memperbaiki
pendengaran dan mengorganisasikan
transmisi pendengaran dalam otak. Proses ini
akan mengurangi stress dan ketegangan saraf,
sehingga anak akan dapat mengikuti mana
suara yang diinginkan.
Pada terapi musik anak harus mendengarkan
musik setiap hari selama 30-60 menit. Jika
anak sulit untuk duduk diam, kaset dapat
diperdengarkan ketika anak tidur. Hasil
efektif umumnya terlihat selama 100 jam
pasca terapi. Aktivitas fisiknya akan tampak
menurun sementara daya konsentrasinya
meningkat.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa musik dan gerakan
berpengaruh langsung ke otak dan berakibat
ke proses kerja tubuh. Sebagai mahluk
multiritmik, anak-anak mudah memberi
respon fisik terhadap ritme musik, bahkan
responnya relatif spontan dan anak-anak
cenderung bebas menggerakkan tubuh dan
anggota tubuhnya. Pada anak-anak yang
terlalu aktif, terapi musik dan gerakan yang
diberikan intinya harus bisa memuaskan
emosi yang sering berlebihan.
Berdasarkan dari hal-hal tersebut di atas pula
peneliti memiliki suatu ketertarikan mencari
alternatif intervensi untuk menurunkan
kesulitan berperilaku anak-anak yang
mengalami ADHD. Peneliti tertarik untuk
menggunakan terapi musik dan gerakan
sebagai salah satu bentuk intervensi
menurunkan kesulitan berperilaku karena
musik berpengaruh langsung ke otak dan
berakibat ke proses kerja tubuh.
METODE
Definisi Operasional
1. Kesulitan berperilaku: hambatan dalam
melakukan pengendalian diri terhadap
tingkah laku yang terjadi ketika subjek
berada pada kondisi formal. Perilaku
tersebut ditunjukkan melalui perilaku
belari dan melompat tanpa tujuan yang
pasti.
2. Terapi musik dan gerak: pemberian
tritmen berupa suara alunan musik yang
harmonis yang diikuti dengan gerakan-
gerakan yang terstruktur sesuai dengan
irama musik.
Subyek dan Tempat Penelitian
Penelitian ini melibatkan seorang siswa kelas
satu sekolah dasar yang bersekolah di
Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 81
Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD
Semarang sebagai subjek penelitian. Pada
masa ini subjek sebagai siswa sudah dituntut
untuk bisa menunjukkan perilaku kesiapan
belajar, terutama kedisiplinan yang berbeda
ketika ia duduk di Taman Kanak-Kanak.
Adanya tuntutan untuk yang pertama kali di
situasi formal menuntut anak siap dengan
ketekunan dan ketertiban mengikutinya.
Kesiapan inilah yang mendasari
keberhasilannya mengikuti pendidikan di
tingkat yang lebih lanjut di Sekolah Dasar.
Karakteristik subjek penelitian adalah sebagai
berikut: laki-laki, usia 6 sampai 7 tahun dan
didiagnosis Attention Deficit/ Hyperactivity
Disorder oleh seorang psikolog.
Rancangan Eksperimen
Intervensi didesain secara eksperimen yaitu
dengan menggunakan Single Subject
Experimental Design dengan A-B-A. Desain
A-B-A ini menunjukkan adanya hubungan
sebab akibat antara variabel terikat dan
variabel bebas. Target behavioral diukur
secara kontinyu pada kondisi baseline (A1)
dengan periode waktu tertentu kemudian pada
kondisi intervensi (B), pengukuran diulang
pada kondisi baseline kedua (A2).
Penambahan kondisi baseline yang ke 2 (A2)
dimaksudkan sebagai kontrol untuk fase
intervensi sehingga memungkinkan untuk
menarik kesimpulan adanya hubungan
fungsional antara variabel bebas dan variabel
terikat (Sunanto, Takeuchi & Nakata, 2005,
h.59; Tillman & Burns, 2009, h.40).
Design A-B-A adalah strategi analisis
eksperimental dengan memperkenalkan suatu
tritmen kemudian ditiadakan sehingga lebih
dikenal dengan withdrawl design. Apabila
setelah pengukuran baseline, penerapan
tritmen membawa perkembangan positif dan
hasil akhirnya setelah tritmen ditiadakan
kembali terjadi penurunan maka dapat
disimpulkan bahwa tritmen itulah yang
menyebabkan perkembangan perilaku target.
Komponen ABA adalah sebagai berikut:
A= Baseline I selama lima (5) sesi masing-
masing lebih kurang 50 menit.
B= Tritmen mengikuti latihan dengan iringan
musik yang dilakukan selama dua belas (12)
sesi masing-masing lebih kurang 15-20 menit.
Instruktur meminta subjek untuk mengikuti
latihan yang sesuai dengan manual yang
disusun oleh peneliti.
A= Baseline II selama lima (5) sesi masing-
masing lebih kurang 50 menit.
Penelitian dilakukan selama dua puluh empat
(24) sesi dan dirancang sesuai kalender
akademik sekolah. Pengumpulan data dimulai
dengan fase baseline I, yaitu observasi kelas
selama enam sesi berturut-turut dengan durasi
lebih kurang 50 menit mulai dari pukul 07:30-
08:20. Pengamatan dilakukan oleh tiga (3)
orang observer dengan mendasarkan pada
tabel penilaian perilaku hiperaktif (check list)
sampai kemudian didapatkan perilaku yang
muncul secara stabil. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan target perilaku yang akan
direduksi.
Wawancara semi terstruktur dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui perilaku hiperaktif
subjek sebelum dan sesudah terapi.
Wawancara dalam penelitian ini adalah semi
terstruktur karena dituntun oleh guide
interview. Yin (2003) menyatakan bahwa
wawancara adalah salah satu sumber yang
paling penting. Pelaksanaan wawancara
sebelum dan sesudah latihan dengan iringan
musik terfokus pada kesan-kesan guru yang
berkaitan dengan perilaku berlari dan
melompat tanpa tujuan dan kualitas pekerjaan
yang bisa diselesaikan oleh subjek.
Sedangkan tujuan dari pelaksanaan
wawancara dengan orang tua sebelum
mengikuti latihan dengan iringan musik
adalah untuk memperoleh gambaran tentang
pemahaman mereka tentang anaknya,
bagaimana kelainan tersebut mempengaruhi
perilaku di rumah, bagaimana sikap mereka
tentang pendidikan anak mereka dan apa
82 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
penyesuaian yang telah mereka lakukan di
rumah.
Sesi latihan dengan mendengarkan musik
berlangsung selama 12 kali berturut-turut,
setelah diperoleh data target perilaku yang
akan direduksi. Durasi tiap sesi kurang lebih
dilakukan selama 15 menit. Waktu 12 kali
ditetapkan karena berdasarkan penelitian
tentang pengaruh terapi musik terhadap
perilaku repetitif pada anak autis yang
dilakukan oleh Chandra (2007) diperoleh
gambaran bahwa perlakukan yang diberikan
selama 6 kali dengan waktu 30 menit setiap
kali tritmen diberikan, membawa perubahan
terhadap perilaku repetitif. Sedangkan
penelitian tentang pengaruh musik terhadap
penderita ADHD yang dilakukan oleh Wiebe
(2007), dengan diberikannya perlakuan
selama 48 minggu menunjukkan perilaku
hiperaktifitas mengalami penurunan.
Berdasarkan gambaran tersebut peneliti
memutuskan perlakukan diberikan selama 12
kali dan waktu yang dibutuhkan 15 menit-20
menit dengan dasar pertimbangan waktu 6
kali nampak terlalu singkat untuk mereduksi
perilaku hiperaktif dan 48 minggu terlalu
panjang. Selain itu untuk menghindari
kebosanan karena anak-anak hiperaktif mudah
teralihkan perhatiannya dan salah satu ciri
anak hiperaktif adalah sulit mengendalikan
dan mengorganisasikan dorongan-
dorongannya (Barkley. 2006, h.155).
Setelah selesai mengikuti setiap sesi tritmen,
kembali dilakukan observasi untuk
mengetahui pengaruh tritmen terhadap target
perilaku yang akan direduksi. Observasi
dilakukan dengan mendasarkan pada tabel
pencatatan perilaku (behavior check list).
Waktu yang dibutuhkan lebih kurang 50
menit, di dalam kelas dan ketika subjek
mengikuti proses belajar mengajar.
Fase baseline II dilakukan dengan melakukan
pengamatan oleh tiga (3) orang observer
untuk mengetahui apakah target perilaku yang
akan direduksi menunjukkan situasi yang
stabil meskipun tidak lagi diberikan tritmen.
Pengamatan dilakukan dengan
mempergunakan tabel pencatatan perilaku
(check list) selama lebih kurang 50 menit
dimulai pukul 07:30-08:20.
Modul Eksperimen.
Modul terapi musik dalam penelitian ini
disusun oleh peneliti sebagai pedoman dalam
melaksanakan proses intervensi, dengan
mengadaptasi modul dari Sheppard (2002).
Alat Permainan
Penelitian ini menggunakan alat permainan
berupa bantal berbagai bentuk dan warna
berjumlah lima buah, permainan alat musik
anak berupa genderang kecil, gitar kecil,
organ kecil yang berisi macam-macam bunyi
seperti anjing menggonggong, ayam
berkokok, burung berkicau, kucing
mengeong, sapi mengaum, katak, kambing
mengembik, dua buah kerincingan, terompet
kecil, belira kecil. Permainan motorik kasar
yang berupa rangsangan suara ini selain
membuat anak gembira dan santai, juga bisa
meningkatkan kemampuan anak
berkonsentrasi dan memusatkan perhatiannya
pada tugas tertentu. Alat yang dipergunakan
sangat sederhana dan tidak mahal.
Anak juga melakukan gerakan-gerakan
mengikuti musik yang diperdengarkan
melalui CD player. Musik yang
diperdengarkan adalah musik instrumentalia
dengan mempergunakan alat musik angklung
yang terdapat dalam CD Indonesian Bamboo
Music, aransemen oleh Tjoek Soeparlan. Lagu
yang diperdengarkan adalah Serenade. Selain
lagu Serenade, lagu yang mengiringi adalah
Satu-Satu Aku Sayang Ibu, aransemen AT
Mahmud. Dalam lagu anak-anak, kontur frasa
melodis mengikuti suatu rangkaian berbentuk
lengkungan yang disebut ancrusis (Sheppard,
2002, h.81). Anak-anak sangat menyukai
frasa berbentuk lengkungan. Fungsinya
adalah untuk membantu perkembangan fisik,
Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 83
Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD
karena membantu menanamkan konsep atas
dan bawah. Gerakan membantu pengendalian
tubuh dan kemampuan gerakan motorik anak-
anak. Pengendalian impuls ini merupakan
kemampuan memicu dan mengikuti perintah
yang berasal dari dalam diri.
Pada usia ini anak biasanya menikmati
penginterpretasian musik secara bebas melalui
gerakan. Ada banyak cara untuk menciptakan
suara-suara yang efektif menggunakan tubuh,
dari hanya tepukan tangan sederhana sampai
pengucapan pola suara yang kompleks.
Aktvitas-aktivitas tersebut membantu
pengembangan kepekaan terhadap ketukan
internal. Semakin baik kepekaan terhadap
ketukan internal, semakin besar manfaat
untuk bermusik.
Pengukuran
Pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan observasi langsung dan video
rekaman (tritmen dan baseline), kemudian
diukur dengan tabel observasi (behavior
check list) dengan target berlari dan melompat
tanpa tujuan. Problem utama anak yang
mengalami hiperaktivitas adalah problem
perencanaan motorik dan pengorganisasian
(Horowitz, 2007, h.24; Barkley, 200, h.154).
Tabel observasi (behavior check list) diisi
berdasarkan observasi langsung dan rekaman
oleh tiga (3) orang observer. Apabila perilaku
muncul maka observer harus menuliskan
jumlah frekuensinya sesuai dengan frequency
tallies.
Analisis Data
Setelah semua data terkumpul peneliti
membuat grafik untuk dianalisis berdasarkan
data salah seorang observer. Efek dari tritmen
dinilai dari pengukuran frekuensi tidak bisa
duduk tenang, dan keluar dari kursi yang
muncul pada subjek selama observasi.
Analisis data menggunakan teknik analisis
grafik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Baseline I
Pengumpulan data baseline dilakukan dengan
mempergunakan observasi/ pengamatan
langsung dan video rekaman selama 50 menit
dengan event sampling. Yang diobservasi
adalah perilaku subjek selama pelajaran di
sekolah dengan target hiperaktifitas. Observer
menilai dengan menggunakan tabel observasi
(check list ).
Tritmen
Tritmen dilakukan 15-20 menit di ruang
kesenian di sekolah dengan penerangan cukup
dan bebas distraksi. Di ruangan tersebut
tersedia meja, kursi, TV,VCD player, kipas
angin, karpet dan lemari yang tertutup.
Pertimbangan durasi waktu 15-20 menit
berdasarkan penelitian pendahuluan yang
dilakukan oleh peneliti.
Tritmen dipandu oleh seorang instruktur.
Subjek diminta untuk melakukan gerakan-
gerakan sesuai dengan modul yang telah
disusun sebelumnya. Pada pertemuan pertama
subjek dibimbing oleh instruktur, hingga
pertemuan yang yang ke tiga. Setelahnya
hingga pertemuan yang ke dua belas subjek
diminta untuk melakukannya sendiri.
Meskipun bimbingan tetap masih diberikan
hingga pertemuan ke enam. Setelah itu subjek
telah benar-benar hafal dengan gerakan yang
diberikan. Setelah mendapatkan tritmen,
kembali dilakukan pengamatan selama 50
menit di kelas, yaitu ketka subjek mengikuti
pelajaran.
Baseline II
Setelah subjek tidak lagi mendapatkan tritmen
(perlakuan) tetap dilakukan pengamatan
selama 50 menit di kelas, yaitu ketika subjek
mengikuti pelajaran. Pengumpulan data
84 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
dilakukan dengan pengamatan langsung dan
video rekaman pada jam pelajaran pagi hari
yaitu jam 07:30-08:20 WIB. Penilaian oleh
tiga (3) observer dengan menggunakan tabel
observasi (check list ).
Tabel 1. Hasil Penelitian
BASELINE 1 (A1) TREATMENT (B) BASELINE (A2)
Hari Berlari & Melompat Hari Berlari & Melompat Hari Berlari & Melompat
1 6 1 3 1 0
2 10 2 0 2 0
3 8 3 4 3 1
4 7 4 0 4 0
5 10 5 1 5 0
6 7 6 4 6 2
7 4
8 2
9 2
10 1
11 0
12 0
Grafik 1 menunjukkan perubahan perilaku melari dan melompat pada subjek.
Grafik 1. Perubahan Perilaku Berlari dan Melompat
Grafik 1 menunjukkan bahwa pada fase
baseline pertama ini frekuensi perilaku berlari
dan melompat tanpa tujuan yang jelas di kelas
cukup tinggi. Observasi pada fase baseline
pertama ini dilakukan selama lima hari sesuai
kalender akademik, dimulai pukul 07:30-
08:20. Observasi dilakukan dilakukan di
dalam ruang kelas dan ketika ada proses
Baseline 1 Treatment Baseline II
Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 85
Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD
belajar mengajar, karena pada situasi formal,
perilaku hiperahtif anak akan semakin
kelihatan dan menunjukkan bahwa perilaku
tersebut merugikan tidak hanya subjek tetapi
juga teman-teman disekitarnya ketika belajar.
Kondisi ini berkaitan dengan kesulitannya
mengontrol dirinya, yang ditunjukkan melalui
perilaku yang berlebihan. Mereka memang
nampak penuh energi ( Horowitz; 2007, h.17).
Pada hari pertama baseline pertama subjek
duduk diurutan ke empat dan baris kedua di
sebelah kiri meja guru. Ruang kelas subjek
berukuran 6mx5m. Di dalam ruang kelas
tersebut terdapat bangku yang disusun terdiri
dari lima lajur dan masing-masing lajur terdiri
dari delapan bangku ke belakang. Meja guru
terletak di sudut kanan papan tulis dan
menempel di dinding. Subjek duduk sebangku
dengan teman laki-lakinya. Selama dilakukan
pengamatan (50 menit), terlihat subjek tidak
mengerjakan tugas yang diberikan oleh bapak
guru agama ataupun ibu guru kelas. Ia lebih
disibukkan dengan kegiatannya sendiri,
melihat ke luar jendela, berjalan, berlari,
menggeliat-geliatkan badannya, mengajak
berbicara teman, melihat-lihat poster
kesehatan di dinding belakang kelas. Menurut
bapak guru agama, subjek adalah murid yang
“istimewa”, sehingga ia mendapatkan
perhatian khusus. Tidak jarang bapak guru
harus mendekati subjek, mengingatkan untuk
kembali duduk di bangkunya dengan
mengelus-elus kepala subjek. Kegiatan yang
dilakukan subjek adalah mengganggu teman
disebelahnya dengan mengajak bicara, kursi
di goyang-goyang, bermain adu kepala
dengan teman sebangku, masuk kolong meja
dan keluar dari bangku untuk kemudian
berjalan-jalan mengitari kelas. Beberapa
teman merespon gerakan subjek, dengan ikut
berbicara, terutama teman-teman disekitar
bangku subjek. Namun sebagian lagi tidak
memperdulikannya.
Pada hari kedua baseline pertama (I), subjek
lebih banyak melihat ke luar jendela. Ia duduk
sendirian diurutan ke tiga dan persis di
sebelah jendela. Pada saat ibu guru memberi
tugas menulis dengan contoh tulisan dari
papan tulis, subjek terlihat asyik melihat
keluar jendela, kemudian jalan-jalan melihat
poster kesehatan di dinding belakang. Ia tidak
memperhatikan tugas dari ibu guru dan tiba-
tiba berteriak untuk tujuan yang tidak jelas
dari kegiatan tersebut. Ketika teman-teman
menulis, subjek duduk dibawah bangku
(kolong meja), ia tidak mengumpulkan tugas,
dan berjalan-jalan mengelilingi kelas.
Kegiatan subjek yang lain adalah bermain
hiasan-hiasan (prakarya) yang digantung tepat
diatas meja subjek. Selama tugas menyalin
tersebut, subjek hanya bermain-main, antara
lain mengetuk-getuk pensil ke meja,
memukul-mukul hiasan diatas meja, keluar
dari bangku, berlari dan melompat-lompat
tanpa tujuan yang jelas. Selain itu tidak jarang
apabila subjek bosan, ia akan masuk ke
kolong meja dan kemudian muncul dari
bawah meja guru. Hal tersebut dilakukan
berulang kali.
Pada hari ketiga, keempat dan kelima pada
baseline pertama subjek nampak tetap duduk
sendirian dibangku urutan ke tiga dari depan
dan disebelah jendela. Kegiatan yang
dilakukan tidak jauh berbeda dengan kegiatan
yang dilakukan pada hari pertama dan kedua.
Subjek berdiri melihat ke luar jendela, meraut
pensil, masuk kolong meja, keluar kelas
berkali-kali, membuat temannya menangis,
adu mulut dengan teman-temannya, berteriak-
teriak, berlari dan melompat untuk tujuan
yang tidak jelas, memukul-mukul meja dan
menengok kebelakang berkali-kali. Keluar
dari bangku kemudain berlari tanpa tujuan
yang jelas dilakukan oleh subjek berulang
kali. Tugas yang diberikan oleh ibu guru tidak
pernah diselesaikan, dan subjek baru akan
mengerjakan ketika ibu guru menunggunya.
Perilaku tersebut diatas mengalami penurunan
setelah subjek mengikuti tritmen yang
diberikan. Gambaran tersebut terlihat dari
grafik yang menunjukkan penurunan yang
86 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
cukup berarti. Ketika tritmen diberikan pada
hari pertama, subjek nampak cukup terbuka
dan bersedia mengikuti instruksi yang
diberikan. Ia terbuka terhadap orang lain,
tidak malu-malu dan tidak ada kecurigaan
terhadap orang yang baru dikenalnya. Ia
bersedia menerima kehadiran orang baru dan
banyak bercerita tentang kejadian yang
dialami pagi hari di rumahnya. Pada saat itu
sebelum bercerita ia berkeliling ruangan
terlebih dahulu.
Berdasarkan prosedur yang sudah ditetapkan
dalam modul terapi musik, instruktur
melakukan ice breaking terlebih dahulu
sebelum tritmen diberikan.Tujuan
diberikannya ice breaking adalah agar subjek
merasa nyaman dan bersedia melaksanakan
instruksi-instruksi yang diberikan. Ice
breaking berupa permainan tangkap jari dan
cerita binatang. Subjek nampak cukup tertarik
dan senang. Ice breaking dilakukan selama
lebih kurang lima menit. Setelah subjek
merasa nyaman, maka subjek mulai berlatih
gerakan-gerakan dengan diiringi musik yang
diperdengarkan.
Saat mengikuti latihan subjek bersedia
mengikuti latihan dan melaksanakan gerakan-
gerakan mengikuti instruksi yang diberikan
dan contoh yang dilakukan oleh instruktur.
Subjek nampak kelihatan bingung, terutama
untuk gerakan pertama dan ketiga. Karena
bingung subjek nampak putus asa, lalu bilang
“sudah akh”. Gerakan kedua dan keempat
bisa dilakukan oleh subjek dengan contoh.
Untuk tugas yang ke lima yaitu subjek
diminta untuk memilih dan memainkan alat
musik, nampak ia mencoba semua alat musik.
Terlihat perhatiannya yang mudah teralihkan
dalam waktu kurang lebih lima detik. Sambil
memainkan alat musik ia bertanya, bercerita
dan tidak henti berbicara. Ia menanyakan
dimana membeli alat-alat permainannya dan
mengatakan ia senang memainkan alat musik.
Alat musik yang menarik perhatiannya adalah
pianika dengan suara-suara binatang. Ketika
mendengar suara sapi subjek bercerita tentang
sapi dan mengatakan pernah melihat sapi
disembelih. Ketika melaksanakan sesi
menyanyi yang diselingi dengan melakukan
gerakan yang diminta oleh instruktur, subjek
mau melaksanakan perintah tersebut tanpa
membantah dan menyanyi dengan suara yang
keras dan penuh percaya diri. Setelah
mengikuti sesi latihan selama lima belas
menit, pada sesi penutup subjek bersama
instruktur kembali bermain tangkap jari
dengan cerita binatang. Setelah mengikuti
latihan, subjek kembali ke kelas. Observasi di
kelas dilakukan setelah subjek beristirahat.
Pada hari pertama belum nampak perubahan
yang berarti meskipun sudah ada penurunan
frekuensi terutama perilaku berlari dan
melompat tanpa tujuan yang jelas. Ia masih
sering keluar dari banhgku dan tiba-tiba
berlari ke depan kelas ke arah papan tulis dan
kemudian berlari ke arah belakang.
Pada hari kedua tritmen, latihan dilakukan
setelah subjek mengikuti pelajaran olah raga.
Pada saat mengikuti pelajaran olah raga
subjek terlihat banyak bergerak meskipun
pada saat ibu guru meminta semua murid
untuk duduk di lapangan. Terlihat subjek
justru berlari-lari mengelilingi lapangan
dengan salah seorang temannya. Tritmen
dimulai pukul 07:55 dan setelah subjek
beristirahat. Tritmen diawali dengan ice
breaking. Subjek bersedia untuk mengikuti
semua perintah. Secara umum kepatuhan
yang ditunjukkan pada hari kedua tidak
seperti yang ditunjukkan pada hari pertama.
Urutan pelaksanaan sesuai dengan modul
yang telah disiapkan sebelumnya.
Observasi di kelas menunjukkan adanya
penurunan frekuensi berlari dan melompat
tanpa tujuan yang jelas. Hal ini diperkirakan
subjek mengalami kelelahan setelah
mengikuti pelajaran olah raga dan sesi
tritmen. Ia terlihat nampak tenang dan hanya
mengamati kegiatan yang dilakukan oleh
teman-temannya.
Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 87
Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD
Kegiatan subjek berlari dan melompat tanpa
tujuan yang jelas kembali ditunjukkan oleh
subjek dengan frekuensi yang hampir sama
dengan ketika tritmen pertama diberikan yaitu
setelah subjek selesai mengikuti tritmen ke
tiga.
Setelah mengikuti tritmen ke empat, subjek
kembali menunjukkan sikap yang tenang dan
nampak sdh mulai bisa mengendalikan diri
untuk tidak berlari dan melompat tanpa tujuan
yang jelas. Hasil observasi di kelas terlihat
bahwa subjek lebih banyak meletakkan
kepalanya diatas meja. Latihan diikuti secara
teratur sesuai instruksi dan mengikuti irama
musik. Ekspresi subjek nampak gembira, ice
breaking dilakukan dengan bermain boneka
dinosaurus dan subjek mengidentifikasikan
boneka sebagai teman-temannya. Boneka
diatur sesuai tatanan kursi di kelas dan
menyebutkan nama teman-temannya. Ketika
mengikuti tritmen ia mulai menghitung
sendiri dengan suara keras, dan melantunkan
takbir dengan memukul genderang, terlihat
iramanya nampak teratur.
Kondisi yang ditunjukkan setelah subjek
mengikuti tritmen keenam adalah subjek
kembali menunjukkan kegiatan berlari dan
melompat tanpa tujuan yang jelas dan
semakin meningkat ketika subjek selesai
mengikuti tritmen ke tujuh. Pada tritmen yang
ketujuh, subjek tetap terlihat mengikuti
alunan musik, dan bersuara pada ketukan
keempat. Namun pada menit kesatu tiga puluh
tiga detik ia mulai menguap dan terlihat
malas-malasan. Ia menata sendiri bantalnya,
mengikuti musik, melompat, berjalan
sepanjang musik berjalan. Namun ketika
gerakan keempat yang seharusnya gerakan
menaikkan tangan, subjek justru melompat.
Pada sesi ke tujuh ini, subjek nampak kurang
memperhatikan instruksi dari instruktur. Ia
bermain sendiri, masak-masakan sate,
bermain pianika selama 1 menit, pindah ke
drum selama 20 detik, kembali ke pianika
selama 1 menit.
Dari grafik nampak bahwa frekuensi berlari
dan melompat tanpa tujuan yang jelas
mengalami penurunan setelah subjek
mengikuti tritmen kesepuluh. Setelah
mengikuti tritmen kesebelas dan dua belas,
subjek kembali bisa mengendalikan diri untuk
tidak berlari dan melompat tanpa tujuan yang
jelas, hingga ia tidak melakukannya sama
sekali. Ia memang masih menunjukkan
kegiatan-kegiatan yang lain seperti
menggeliat, menengok ke belakang,
mengganggu teman-temannya.
Dari grafik yang ditunjukkan, setelah tritmen
tidak diberikan lagi, yaitu pada fase baseline
kedua (II) situasinya menunjukkan adanya
penurunan yang cukup berarti. Subjek
memang masih sesesekali menunjukkan
kegiatan berlari dan melompat tanpa tujuan
yang pasti. Namun kegiatan tersebut
dilakukan pada hari kelima setelah tritmen
ditiadakan. Observasi dilakukan didalam
kelas pada saat proses belajar mengajar
berlangsung. Pelajaran yang bisa membuatnya
tenang adalah pelajaran menggambar. Subjek
cukup menyenangi tugas tersebut dan ia bisa
melakukannya dengan baik.
Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh terapi musik dan gerak terhadap
penurunan kesulitan perilaku siswa sekolah
dasar yang memiliki gangguan ADHD.
Berdasarkan hipotesis yang diajukan bahwa
ada pengaruh terapi musik dan gerak terhadap
penurunan kesulitan perilaku siswa sekolah
dasar dengan gangguan ADHD.
Hal tersebut telah terlihat pada grafik yang
menunjukkan adanya perbedaan frekuensi
perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan
yang jelas. Keadaan ini secara teoritis dapat
dijelaskan sesuai dengan premis terapi musik
sensorik integrasi yaitu:
1. Otak dapat didorong pada tingkat sub-
kortikal melalui tugas sensorik motorik
88 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
spesifik untuk mengembangkan fungsi
tanggapan terhadap suasana.
2. Kognitif dan intuitif, respon adaptif
emosional pada kedua sub-kortikal dan
tingkat kortikal dapat berkembang dengan
baik.
3. Terapi musik bekerja dengan apa yang ada
(bukan apa yang hilang), bagian yang
sudah berfungsi memberikan masukan
baru kepada otak untuk memperluas
pengetahuan.
4. Kerja terapi musik adalah menggunakan
musik untuk kesenangan, tetapi secara
spesial mengubah cara kerja otak yang
„lama‟ ke cara kerja yang baru dan tidak
mengganggu (Berger, 2002, h.136).
Gambaran terjadinya premis tersebut sesuai
dengan kondisi anak yang pada umumnya
merupakan mahluk yang multiritmik. Sebagai
mahluk yang multiritmik, anak-anak mudah
memberi respon fisik terhadap ritme musik,
bahkan responnya relatif spontan dan anak-
anak cenderung bebas menggerakkan tubuh
dan anggota tubuhnya.
Dari grafik terlihat terjadi penurunan
kesulitan perilaku pada subjek dari fase
baseline I hingga subjek mengikuti tritmen
sebanyak dua belas kali. Hanya saja pada saat
subjek mengikuti tritmen penurunan frekuensi
kesulitan perilaku masih fluktuatif. Hal ini
menggambarkan bahwa perubahan suasana
hati yang cepat dan kepekaan berlebihan
merupakan akibat otak yang bermasalah
dalam meredam bagian-bagian otak yang
mengatur gerakan-gerakan motorik dan
respon-respon emosional. Hal itulah yang
membuat anak tidak dapat menunggu, tidak
dapat menunda pemuasan dan tidak dapat
menghambat tindakan. Dari hasil wawancara
dengan orang tua subjek pada malam
sebelumnya melakukan suatu kegiatan yang
menguras energi dan emosinya sehingga ia
mengalami kelelahan. Efek berikutnya adalah
subjek kembali harus memberikan tanggapan
terhadap situasinya dan melakukan adaptasi
emosional secara kuat. Berdasarkan pendapat
dari para ahli bahwa pada anak dengan
ADHD terjadi disregulasi neurotransmitter
yang menyebabkan seseorang sulit untuk
memiliki atau mengatur stimulus internal dan
eksternal. Beberapa neurotransmitter
termasuk dopamin dan norepineprin
mempengaruhi produksi, pemakaian,
pengaturan neurotransmitter lain, juga
beberapa struktur otak. Masalah pada
pengaturan fungsi otak ini tampak terpusat
pada cuping depan yang membuat seorang
anak ADHD lebih sulit mengendalikan
masukan dari bagian-bagian lain otak. Daerah
otak bagian depan yang berada tepat di
belakang dahi itulah yang mengendalikan
fungsi eksekutif perilaku. Tanpa dopamin dan
neurotransmitter yang cukup, cuping-cuping
depan kurang terstimulasi dan tidak dapat
melaksanakan fungsi-fungsinya yang
kompleks secara efektif (Martin, 2008, h.78;
Wiebe, 2007, h.15; Saputro, 2009, h.63).
Penurunan frekuensi semakin tajam dan
nampak cukup konsisten terlihat pada saat
subjek tidak lagi mengikuti tritmen. Pada hari
pertama dan kedua setelah subjek tidak lagi
mendapatkan tritmen (terlihat pada fase
baseline II) subjek nampak cukup bisa
mengendalikan diri untuk tidak berlari dan
melompat untuk tujuan yang tidak jelas. Pada
hari ketiga observasi frekuensi subjek
menunjukkan perilaku berlari dan melompat
tanpa tujuan yang jelas hanya satu kali.
Sedangkan pada hari ke empat dan kelima
subjek tidak melakukannya. Subjek kembali
menunjukkan perilaku berlari dan melompat
tanpa tujuan yang jelas pada hari keenam
dengan frekuensi sebanyak dua kali. Keadaan
ini menggambarkan bahwa terapi musik bisa
menurunkan kesulitan perilaku subjek.
Keadaan tersebut menggambarkan bahwa
musik dan gerakan merupakan kombinasi
tritmen yang bisa meningkatkan kesadaran
emosi atau meningkatkan sebagian kesadaran.
Musik mampu meningkatkan fungsi memori
dan persepsi pendengaran (auditory) untuk
mengembangkan belajar dan kemampuan
Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 89
Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD
suara yang spesifik atau nada bisa
mengembangkan perasaan (affecy brain).
Keadaan ini bisa meningkatkan kesadaran
emosi atau meningkatkan sebagian dari
kesadaran (auditory perception dan memory).
Barkley (2006, h.154), mengatakan
kebanyakan anak ADHD juga memiliki
masalah pendengaran (Barkley, 2006, h.154).
Bisa mendengar tetapi kesulitan mengerti apa
yang didengarnya, karena telinga dan otak
tidak bekerja efisien dalam memproses suara.
Ada kesulitan memilih suara dari banyak
sumber suara yang ada. Juga kesulitan
memusatkan pendengaran pada suara tertentu.
Akibatnya ia sulit berkonsentrasi pada satu
hal beberapa saat. Anak menjadi terganggu
oleh semua bunyi disekitarnya.
Kegiatan musik yang meliputi komponen
berirama kuat dapat berdampak pada
perencanaan adaptasi motorik, sensori
integrasi, proses kognitif dan gerakan
fisiologis umum. Individu yang telah
menginternalisasi irama cenderung
mengembangkan perilaku penuh perhatian,
dengan gerakan tubuh lebih fungsional
terorganisir, tubuh bagian atas dan bawah
terkoordinasi, fokus visual dan pendengaran
dan adaptasi perencanaan motorik. Ketika
tubuh berirama terorganisir, tampak bahwa
respon fisiologis lain menjadi lebih mudah
dikelola (Berger, 2002, h.114).
Hasil penelitian efek musik dan suara dalam
produksi alpha brain wave pada anak-anak,
menjelaskan bahwa efek mendengarkan
musik adalah meningkatkan memori jangka
pendek, mengurangi kebingungan dan
meningkatkan proses informasi (Morton,
Kershner & Siegel 1990).
Gerakan yang dilakukan oleh anak dapat
memperkuat fungsi ingatan, yang membantu
penguasaan dan perkembangan kesadaran
akan dirinya sendiri. Eurythmicz, Dalcroze
(Sheppard, 2002, h.62) mengatakan bahwa
emosi bisa dirasakan melalui gerakan dan
emosi juga bisa diungkapkan melalui gerakan,
suara, sikap tubuh serta bentuk tubuh.
Gerakan sesuai musik juga dapat meredam
emosi yang negatif diubah secara positif.
Aktif secara fisik akan membantu
memperhalus kemampuan motorik dan
koordinasi tubuh yang pada akhirnya
memperhalus refleks mental dan mendorong
perkembangannya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Terapi terhadap kesulitan berperilaku pada
anak yang mengalami ADHD dimaksudkan
untuk mengurangi frekuensi munculnya
perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Utamanya adalah memperbaiki fungsi yang
mengalami kegagalan (perilaku, kognitif,
sosio emosional). Seperti yang diutarakan
oleh Yudarwanto (2009) yaitu terapi yang
diberikan kepada penderita ADHD haruslah
bersifat holistic dan menyeluruh. Modifikasi
perilaku merupakan pola penanganan yang
paling efektif dengan pendekatan positif dan
dapat menghindarkan anak dari perasaan
frustasi, marah, dan berkecil hati menjadi
suatu perasaan yang penuh percaya diri.
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang
telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa penerapan terapi musik dan gerak
dapat mereduksi kesulitan berperilaku pada
siswa sekolah dasar yang menderita ADHD.
Dengan demikian hipotesis terbukti.
Saran
1. Bagi sekolah.
a. Memperdengarkan musik lagu anak-
anak dengan irama moderate di
lingkungan sekolah secara rutin pada
pagi hari menjelang dimulainya proses
belajar mengajar, siang hari pada saat
siswa istirahat, dan pulang sekolah yang
mengiringi anak-anak meninggalkan
kelas.
90 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011
b. Meningkatkan frekuensi dilakukannya
senam pagi secara rutin (setiap hari,
lebih kurang 15 menit) diiringi dengan
musik sebelum pelajaran dimulai.
c. Meningkatkan kepekaan guru terhadap
gejala-gejala perilaku siswanya dan
apabila ditemukan siswa yang
bermasalah dalam kesulitan berperilaku
diberikan tambahan pelajaran musik
yang diikuti dengan gerak.
d. Menyediakan guru yang dilatih secara
khusus untuk melaksanakan modul
terapi musik dan gerak yang telah
disusun.
2. Bagi orang tua.
a. Lebih terbuka terhadap informasi dari
sekolah mengenai kesulitan berperilaku
anaknya.
b. Memberi kesempatan kepada anaknya
untuk mengikuti pelajaran tambahan
musik dan gerak yang diselenggarakan
di sekolah.
c. Bersedia memperdengarkan musik dan
melatih gerakan-gerakan yang diajarkan
di sekolah pada waktu anak di rumah
secara rutin (setiap hari, selama 15
menit).
3. Bagi peneliti selanjutnya.
Penelitian lanjutan mengenai tritmen
dalam mereduksi kesulitan berperilaku
pada siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Barkley. (2006). Handbook Attention Deficit
Hyperactivity Disorder: Third Edition.
London: The Guiford Press.
Barlow, D. & Hersen, M. Single Case
Experimental Design: Strategies for
Studying Behavior Change Second
Edition. Pennsylvania: Pergamon
Press.
Berger, D. (2002). Music Therapy, and The
Autistic Child Sensory Integration.
London dan Philadelphia: Jessica
Kingsley Publisher.
DePorter, B, dkk. (2002). Quantum Teaching:
Mempraktekkan Quantum Learning di
Ruang-Ruang Kelas, Penerjemah: Ary
Nilandari, Cetakan ketujuh. Bandung:
Penerbit Kaifa.
Djohan. (2009). Psikologi Musik. Yogyakarta:
Percetakan Galang Press.
----------. 2006. Terapi Musik; Teori dan
Aplikasi. Yogyakarta: Percetakan
Galangpress.
Durand, V.M. & Barlow, D.H. (2007).
Pskologii. Abnormal. Buku kedua.
Penerjemah: Drs. Helly Prajitno
Soetjipto, MA dan Dra. Sri Mulyantini
Soetjipto. Edisi keempat. Yogyakarta:
Pustaka pelajar.
Feldman,W. (2002). Mengatasi Gangguan
Belajar Pada Anak. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher.
Gold, C., Wigram, T. & Voracek, M. (2007).
Effectiveness Of Music Therapy For
Children and Adolescents with
Psychopathology: A Quasi
Experimental Study. Psychotherapy
Research.
Horowitz, L. & Rost, C. (2007). Helping
Hyperactive Kids-A Sensory
Integration Approach, Techniques and
Tips for Parents and Professionals.
Alameda: Hunter House Inc Publisher.
Hughes, L. & Cooper, P. 2007.
Understanding and Supporting
Children with ADHD Strategies for
Teacher, Parent and other
Professionals. London: Paul Chapman
Publishing A Sage Publication
Company.
Kaplan, H. (2007). Sinopsis Psikiatri
Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 91
Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD
Jackson, N. (2003). A Survey of Music
Therapy Methods and Their Role in
the Treatment of Early Elementary
School Children with ADHD. Journal
of Music Therapy. Proquest Education
Journals: Temple University.
________Intisari 1999. Ampuhnya Musik
Sebagai Terapi. Edisi bulan Januari.
Jefry, N., Rathus, S. & Greene, B. (2005).
Psikologi Abnormal Jilid 2, Edisi
kelima. Alih bahasa: Tim Fakultas.
Psikologi UI. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Kim, J., Wigram,T. & Gold, C. (2008). The
Effect Of Improvisational Music
Therapy On Joint Attention Behaviors
In Autistic Children; A Randomized
Controlled Study. Journal Autism
Development Disorder.
Martin, G.L. (2008). Terapi Untuk Anak
ADHD. Jakarta: PT. Buana Ilmu
Populer.
Meier, D. (2003). The Accelerated Learning
Handbook: Panduan Kreatif dan
Efektif Merancang Program
Pendidikan dan Pelatihan,
Penerjemah: Rahmani Astuti, Cetakan
ketiga. Bandung: Penerbit Kaifa.
Ormrod, J.E. (2009). Psikologi Pendidikan
Membantu Siswa Tumbuh dan
Berkembang Edisi ke enam. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Ortiz, J,M. (2002). Nurturing Your Chlid with
Music: Menumbuhkan Anak-anak
yang Bahagia, Cerdas & Percaya Diri
dengan Musik, alih bahasa: Juni
Prakoso, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Rilley, C. & Burns, M.K. (2009). Evaluating
Educational Interventions-Single Case
Design For Measuring Response to
Intervention. London: The Guilford
Press.
Saputro, D. (2009). ADHD (Attention Deficit
/Hiperactivity Disorder): Cetakan I.
Jakarta: CV.Sagung Seto
Satiadarma, M.P. & Zahra, R.P. (2004).
Cerdas Dengan Musik. Cetakan
kesatu. Jakarta: Puspa Swara.
-----------. (2002). Terapi Musik. Jakarta:
Milenia Populer.
Shaughnessy, J., Zechmeister, E., &
Zechmeister, J. 2007. Metodologi
Penelitian Psikologi (Penerjemah
Helly Prayitno, Soetjipto, Sri Mulyani
Sortjipto) cetakan 1. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Sheppard, P. (2007). Music Makes Your Child
Smarter-Peran Musik Dalam
Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Umum.
Sunanto, J., Takeuchi, K. & Nakata, H.
(2005). Pengantar Penelitian Dengan
Subyek Tunggal. Tokyo: University of
Tsukuba.
Wheeler, B.L. & Stultz, S. (2008). Using
Typical Infant Development To Inform
Music Therapy With Children With
Disabilities. Early Childhood Education
Journal.
Wiebe, J.E. (2007). ADHD The Classroom
And Music: A.Case Study. Thesis.
Saskatoon: Departement of Educational
Psychology and Special Education
University of Saskatchewan, Saskatoon.
Wingram, T., Pedersen, I.N.,& Bonde, L.O.
(2002). A Comprehensive Guide to
Music Therapy: Theory, Clinical
Practice, Research and Training.
London & Philadelphia: Jessica
Kingsley Publishers.
1. Judul Penelitian : PENGARUH TERAPI MUSIK DAN GERAK TERHADAP
PENURUNAN KESULITAN PERILAKU SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN
GANGGUAN ADHD
2. Nama Peneliti : Diana Rusmawati, Endah Kumala Dewi
3. Abstrak :
Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh terapi musik dan gerak terhadap
penurunan kesulitan berperilaku pada siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD.
Kesulitan berperilaku ditunjukkan melalui perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan
yang pasti merupakan salah satu gejala yang spesifik dari gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktifitas atau gangguan hiperkinetik atau“attention
deficit/hyperactivity disorder” (ADHD). Seorang ahli dari hasil penelitiannya
memberikan rekomendasi bahwa terapi musik dapat dikembangkan untuk formulasi
strategi treatmen untuk anak-anak dengan ADHD (Jackson, Nancy 2003).Yudarwanto,
W (2006) mengatakan, terapi yang diberikan terhadap penderita ADHD haruslah
bersifat holistic dan menyeluruh. Ada beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki
gangguan perkembangan dan perilaku pada penderita ADHD diantaranya adalah terapi
musik dan gerak. Penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan
mempergunakan metode eksperimen. Disain eksperimen yang dipilih adalah disain
subjek tunggal dengan disain A-B-A. Dengan variabel tergantung (target behavior)
kesulitan berperilaku dan varibel bebas yaitu terapi music dan gerak. Alat yang
digunakan untuk melakukan tritmen adalah lagulagu Serenade dengan alat musik
angklung, lagu Satu-satu aku sayang ibu karangan AT Mahmud , berbagai alat musik
anak-anak dan bantal aneka warna. Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan
kriteria: usia, skor Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia. Pengumpulan
data dilakukan dengan mempergunakan observasi langsung, video kamera dan
behavioral check list. Waktu yang dipergunakan untuk fase baseline I dilakukan selama
enam hari (6) dengan durasi waktu 50 menit, waktu diberikannya tritmen adalah lima
belas (15) menit dan selama dua belas (12) hari yang dilanjutkan dengan observasi di
kelas selama lima puluh menit (50) menit, dan fase baseline II yaitu observasi di kelas
setelah tritmen tidak lagi diberikan masing-masing lima puluh (50) menit. Analisis data
menggunakan teknik analisis grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan
terapi musik dan gerak dapat menurunkan frekuensi kesulitan berperilaku pada siswa
sekolah dasar dengan gangguan ADHD.
4. Pendahuluan/latar belakang masalah :
Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas atau gangguan hiperkinetik
atau “attention deficit/ hyperactivity disorder” (ADHD) adalah gangguan psikiatrik
atau gangguan perilaku yang paling banyak dijumpai, baik di sekolah ataupun di rumah.
Gangguan ini merupakan salah satu kelainan yang sering dijumpai pada gangguan
perilaku anak. Dalam tahun terakhir ini gangguan ADHD menjadi masalah yang
mendapat banyak sorotan dan perhatian utama dikalangan medis ataupun masyarakat
umum (Saputro, 2005). Bradley dan Golden (Jeffrey, Nevid dkk, 2005) mengatakan hal
yang sama, yaitu ADHD merupakan masalah psikologis yang paling banyak terjadi
akhir-akhir ini, sekitar 3-10% terjadi di Amerika Serikat, 3-7% di Jerman, 5-10% di
Kanada dan Selandia Baru. Di Indonesia angka kejadiannya masih belum ditemukan
angka yang pasti, meskipun kelainan ini tampak cukup banyak terjadi dan sering
dijumpai pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah (Judarwanto, W, 2006).
Sedangkan menurut Saputro (2005) di Indonesia, populasi anak Sekolah Dasar adalah
16,3% dari total populasi yaitu 25,85 juta anak. Berdasarkan data tersebut diperkirakan
tambahan kasus baru ADHD sebanyak 9000 kasus. Sebagian besar orang tua ataupun
guru masih menganggap anak dengan gangguan tersebut sebagai anak “nakal” atau
“malas”. Padahal anak dengan gangguan tersebut apabila tidak mendapat pertolongan
yang tepat, akan mengalami kesulitan belajar, prestasi belajar buruk, gagal sekolah,
tingkah lakunya menganggu, sikapnya tampak sulit diterima oleh lingkungannya dan
bahkan cenderung tidak disukai oleh orang tua ataupun guru. Anak-anak ADHD di
sekolah sering kali tidak berada di kursi mereka saat seharusnya duduk. Atau jika
mereka duduk di kursi, mereka tidak akan bertahan lama.
Mereka akan berbicara terus menerus, berteriak mengganggu teman-teman lain,
berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas dan tidak ada satupun tugas akademis
yang dapat diselesaikan. Penanggulangan kasus penderita ADHD adalah melalui terapi
medikasi atau farmakologi. Namun para ahli umumnya tidak menyarankan obat-obatan
sebagai terapi tunggal. Obat stimulan syaraf yang umumnya diberikan pada anak
hiperaktif antara lain metilfenidat, dekstro, amfetamin dan pemolin magbesium.
Hasilnya anak bisa tenang dan berkonsentrasi beberapa jam. Walaupun efektif, obat
memiliki efek sampingan yang merugikan, yaitu timbul kantuk, nafsu makan berkurang
atau sebaliknya sulit tidur, tic, nyeri perut, sakit kepala, cemas, perasaan tidak nyaman,
kreativitas terhambat. Dalam jangka panjang menyebabkan kecanduan, ketergantungan
obat bahkan sampai ia dewasa. Perkembangan jiwa anakpun ikut mempengaruhi
munculnya perilaku adiktif (Intisari, 2001) Yudarwanto (2006) mengatakan, terapi
yang diberikan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan menyeluruh.
Ada beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki gangguan perkembangan dan perilaku
pada penderita ADHD diantaranya adalah sensory integration, snozelen, neuro
development treatment, modifikasi perilaku, terapi bermain. Penatalaksanaan ADHD
harus merupakan penatalaksanaan yang multimodal. Penatalaksanaan ADHD
dirancang dapat memenuhi harapan orang tua di rumah dan guru di sekolah, yaitu
adanya perbaikan prestasi/ penampilan akademis dan tingkah lakunya. Musik
memberikan nuansa yang bersifat menghibur. Sifat menghibur ini menumbuhkan
suasana yang menggembirakan dan menyenangkan bagi seorang anak. Apalagi jika
lagu-lagu yang diperdengarkan sesuai dengan suasananya. Lagu gembira memberikan
rangsangan aktivitas psikofisik pada anak (Satiadarna & Roswiyani, 2004). Pada
umumnya, anak-anak merupakan mahluk yang multiritmik. Sebagai mahluk yang
multiritmik, anak-anak mudah memberi respon fisik terhadap ritme musik, bahkan
responnya relatif spontan dan anak-anak cenderung bebas menggerakkan tubuh dan
anggota tubuhnya.
Aktivitas motorik ini merangsang pertumbuhan anak, khususnya pada awal
masa perkembangan. Irama musik yang didengar pada awal kehidupan akan menjadi
irama musik yang sangat bermakna dalam kehidupan selanjutnya. Irama musik tertentu
akan mempengaruhi detak nadi mereka, sehingga menjadi selaras dengan musik
tersebut. Hasanah (2008) dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa musik lembut
berpengaruh dalam menurunkan kecemasan menghadapi persalinan pertama. Musik
lembut membawa efek relaksasi sehingga bisa menurunkan tingkat kecemasan ibu
hamil pada trisemester ketiga. Chandra (2007) dari hasil penelitiannya ditemukan
bahwa terapi musik dapat mengurangi perilaku repetitif pada anak-anak autis. Dengan
mendengarkan musik anak autis merasa lebih tenang. Seorang ahli dari hasil
penelitiannya memberikan rekomendasi bahwa terapi musik dan gerak dapat
dikembangkan untuk formulasi strategi treatmen untuk anak-anak dengan ADHD
(Jackson, 2003). Sedangkan Wheeler dan Stultz (2007) untuk membantu anak-anak
dalam merespon musik tadi maka ditambahkan gerakan dengan menyanyi dan
instrumen, sehingga anak-anak lebih trampil dalam merespon, lebih spontan dalam
mengikuti irama dengan menggerak-gerakkan bagian tubuhnya. Pada anak-anak yang
mengalami disability maka menunjukkan hasil bahwa terapi musik dan gerakan dapat
membantu anak-anak belajar untuk mengatur diri dan dalam berhubungan dengan
orang lain serta mengatur emosinya. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa musik dan gerakan berpotensi untuk menyembuhkan berbagai
penyakit. Musik dan gerakan berpengaruh langsung ke otak dan berakibat ke proses
kerja tubuh. Terapi musik dan gerak juga mampu mempengaruhi kondisi mental, sebab
ada keterkaitan antara musik dengan emosi atau mental seseorang. Oleh karena itu
peneliti tertarik untuk memanfaatkan musik dan gerak sebagai salah satu alternatif
terapi untuk menurunkan kesulitan berperilaku pada anak dengan gangguan ADHD.
5. Teori/definisi dari variable yang terlibat :
Kesulitan berperilaku: hambatan dalam melakukan pengendalian diri terhadap tingkah
laku yang terjadi ketika subjek berada pada kondisi formal. Perilaku tersebut
ditunjukkan melalui perilaku belari dan melompat tanpa tujuan yang pasti. Terapi
musik dan gerak: pemberian tritmen berupa suara alunan musik yang harmonis yang
diikuti dengan gerakangerakan yang terstruktur sesuai dengan irama musik.
6. Hipotesis :
Terapi music dan gerak memiliki pengaruh terhadap penurunan kesulitan perilaku
siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD
7. Sampel/subjek penelitian :
Penelitian ini melibatkan seorang siswa kelas satu sekolah dasar yang bersekolah di
Semarang sebagai subjek penelitian. Pada masa ini subjek sebagai siswa sudah dituntut
untuk bisa menunjukkan perilaku kesiapan belajar, terutama kedisiplinan yang berbeda
ketika ia duduk di Taman Kanak-Kanak. Adanya tuntutan untuk yang pertama kali di
situasi formal menuntut anak siap dengan ketekunan dan ketertiban mengikutinya.
Kesiapan inilah yang mendasari keberhasilannya mengikuti pendidikan di tingkat yang
lebih lanjut di Sekolah Dasar. Karakteristik subjek penelitian adalah sebagai berikut:
laki-laki, usia 6 sampai 7 tahun dan didiagnosis Attention Deficit/ Hyperactivity
Disorder oleh seorang psikolog.
8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen
Intervensi didesain secara eksperimen yaitu dengan menggunakan Single
Subject Experimental Design dengan A-B-A. Desain A-B-A ini menunjukkan adanya
hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas. Target behavioral
diukur secara kontinyu pada kondisi baseline (A1) dengan periode waktu tertentu
kemudian pada kondisi intervensi (B), pengukuran diulang pada kondisi baseline kedua
(A2). Penambahan kondisi baseline yang ke 2 (A2) dimaksudkan sebagai kontrol untuk
fase intervensi sehingga memungkinkan untuk menarik kesimpulan adanya hubungan
fungsional antara variabel bebas dan variabel terikat (Sunanto, Takeuchi & Nakata,
2005, h.59; Tillman & Burns, 2009, h.40).
Design A-B-A adalah strategi analisis eksperimental dengan memperkenalkan
suatu tritmen kemudian ditiadakan sehingga lebih dikenal dengan withdrawl design.
Apabila setelah pengukuran baseline, penerapan tritmen membawa perkembangan
positif dan hasil akhirnya setelah tritmen ditiadakan kembali terjadi penurunan maka
dapat disimpulkan bahwa tritmen itulah yang menyebabkan perkembangan perilaku
target. Komponen ABA adalah sebagai berikut: A= Baseline I selama lima (5) sesi
masingmasing lebih kurang 50 menit. B= Tritmen mengikuti latihan dengan iringan
musik yang dilakukan selama dua belas (12) sesi masing-masing lebih kurang 15-20
menit. Instruktur meminta subjek untuk mengikuti latihan yang sesuai dengan manual
yang disusun oleh peneliti. A= Baseline II selama lima (5) sesi masingmasing lebih
kurang 50 menit.
Penelitian dilakukan selama dua puluh empat (24) sesi dan dirancang sesuai
kalender akademik sekolah. Pengumpulan data dimulai dengan fase baseline I, yaitu
observasi kelas selama enam sesi berturut-turut dengan durasi lebih kurang 50 menit
mulai dari pukul 07:30- 08:20. Pengamatan dilakukan oleh tiga (3) orang observer
dengan mendasarkan pada tabel penilaian perilaku hiperaktif (check list) sampai
kemudian didapatkan perilaku yang muncul secara stabil. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan target perilaku yang akan direduksi. Wawancara semi terstruktur
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perilaku hiperaktif subjek sebelum dan
sesudah terapi. Wawancara dalam penelitian ini adalah semi terstruktur karena dituntun
oleh guide interview. Yin (2003) menyatakan bahwa wawancara adalah salah satu
sumber yang paling penting. Pelaksanaan wawancara sebelum dan sesudah latihan
dengan iringan musik terfokus pada kesan-kesan guru yang berkaitan dengan perilaku
berlari dan melompat tanpa tujuan dan kualitas pekerjaan yang bisa diselesaikan oleh
subjek. Sedangkan tujuan dari pelaksanaan wawancara dengan orang tua sebelum
mengikuti latihan dengan iringan musik adalah untuk memperoleh gambaran tentang
pemahaman mereka tentang anaknya, bagaimana kelainan tersebut mempengaruhi
perilaku di rumah, bagaimana sikap mereka tentang pendidikan anak mereka dan apa
penyesuaian yang telah mereka lakukan di rumah. Sesi latihan dengan mendengarkan
musik berlangsung selama 12 kali berturut-turut, setelah diperoleh data target perilaku
yang akan direduksi. Durasi tiap sesi kurang lebih dilakukan selama 15 menit.
Waktu 12 kali ditetapkan karena berdasarkan penelitian tentang pengaruh terapi
musik terhadap perilaku repetitif pada anak autis yang dilakukan oleh Chandra (2007)
diperoleh gambaran bahwa perlakukan yang diberikan selama 6 kali dengan waktu 30
menit setiap kali tritmen diberikan, membawa perubahan terhadap perilaku repetitif.
Sedangkan penelitian tentang pengaruh musik terhadap penderita ADHD yang
dilakukan oleh Wiebe (2007), dengan diberikannya perlakuan selama 48 minggu
menunjukkan perilaku hiperaktifitas mengalami penurunan. Berdasarkan gambaran
tersebut peneliti memutuskan perlakukan diberikan selama 12 kali dan waktu yang
dibutuhkan 15 menit-20 menit dengan dasar pertimbangan waktu 6 kali nampak terlalu
singkat untuk mereduksi perilaku hiperaktif dan 48 minggu terlalu panjang. Selain itu
untuk menghindari kebosanan karena anak-anak hiperaktif mudah teralihkan
perhatiannya dan salah satu ciri anak hiperaktif adalah sulit mengendalikan dan
mengorganisasikan dorongandorongannya (Barkley. 2006, h.155). Setelah selesai
mengikuti setiap sesi tritmen, kembali dilakukan observasi untuk mengetahui pengaruh
tritmen terhadap target perilaku yang akan direduksi. Observasi dilakukan dengan
mendasarkan pada tabel pencatatan perilaku (behavior check list). Waktu yang
dibutuhkan lebih kurang 50 menit, di dalam kelas dan ketika subjek mengikuti proses
belajar mengajar. Fase baseline II dilakukan dengan melakukan pengamatan oleh tiga
(3) orang observer untuk mengetahui apakah target perilaku yang akan direduksi
menunjukkan situasi yang stabil meskipun tidak lagi diberikan tritmen. Pengamatan
dilakukan dengan mempergunakan tabel pencatatan perilaku (check list) selama lebih
kurang 50 menit dimulai pukul 07:30-08:20.
9. Metode Pengambilan Data :
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi langsung dan video
rekaman (tritmen dan baseline), kemudian diukur dengan tabel observasi (behavior
check list) dengan target berlari dan melompat tanpa tujuan. Problem utama anak yang
mengalami hiperaktivitas adalah problem perencanaan motorik dan pengorganisasian
(Horowitz, 2007, h.24; Barkley, 200, h.154). Tabel observasi (behavior check list) diisi
berdasarkan observasi langsung dan rekaman oleh tiga (3) orang observer. Apabila
perilaku muncul maka observer harus menuliskan jumlah frekuensinya sesuai dengan
frequency tallies.
10. Pelaksanaan Penelitian :
Penelitian dilakukan selama dua puluh empat (24) sesi dan dirancang sesuai
kalender akademik sekolah. Pengumpulan data dimulai dengan fase baseline I, yaitu
observasi kelas selama enam sesi berturut-turut dengan durasi lebih kurang 50 menit
mulai dari pukul 07:30- 08:20. Pengamatan dilakukan oleh tiga (3) orang observer
dengan mendasarkan pada tabel penilaian perilaku hiperaktif (check list) sampai
kemudian didapatkan perilaku yang muncul secara stabil. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan target perilaku yang akan direduksi. Wawancara semi terstruktur
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perilaku hiperaktif subjek sebelum dan
sesudah terapi. Wawancara dalam penelitian ini adalah semi terstruktur karena dituntun
oleh guide interview. Yin (2003) menyatakan bahwa wawancara adalah salah satu
sumber yang paling penting. Pelaksanaan wawancara sebelum dan sesudah latihan
dengan iringan musik terfokus pada kesan-kesan guru yang berkaitan dengan perilaku
berlari dan melompat tanpa tujuan dan kualitas pekerjaan yang bisa diselesaikan oleh
subjek. Sedangkan tujuan dari pelaksanaan wawancara dengan orang tua sebelum
mengikuti latihan dengan iringan musik adalah untuk memperoleh gambaran tentang
pemahaman mereka tentang anaknya, bagaimana kelainan tersebut mempengaruhi
perilaku di rumah, bagaimana sikap mereka tentang pendidikan anak mereka dan apa
penyesuaian yang telah mereka lakukan di rumah. Sesi latihan dengan mendengarkan
musik berlangsung selama 12 kali berturut-turut, setelah diperoleh data target perilaku
yang akan direduksi. Durasi tiap sesi kurang lebih dilakukan selama 15 menit.
Waktu 12 kali ditetapkan karena berdasarkan penelitian tentang pengaruh terapi
musik terhadap perilaku repetitif pada anak autis yang dilakukan oleh Chandra (2007)
diperoleh gambaran bahwa perlakukan yang diberikan selama 6 kali dengan waktu 30
menit setiap kali tritmen diberikan, membawa perubahan terhadap perilaku repetitif.
Sedangkan penelitian tentang pengaruh musik terhadap penderita ADHD yang
dilakukan oleh Wiebe (2007), dengan diberikannya perlakuan selama 48 minggu
menunjukkan perilaku hiperaktifitas mengalami penurunan. Berdasarkan gambaran
tersebut peneliti memutuskan perlakukan diberikan selama 12 kali dan waktu yang
dibutuhkan 15 menit-20 menit dengan dasar pertimbangan waktu 6 kali nampak terlalu
singkat untuk mereduksi perilaku hiperaktif dan 48 minggu terlalu panjang. Selain itu
untuk menghindari kebosanan karena anak-anak hiperaktif mudah teralihkan
perhatiannya dan salah satu ciri anak hiperaktif adalah sulit mengendalikan dan
mengorganisasikan dorongandorongannya (Barkley. 2006, h.155). Setelah selesai
mengikuti setiap sesi tritmen, kembali dilakukan observasi untuk mengetahui pengaruh
tritmen terhadap target perilaku yang akan direduksi. Observasi dilakukan dengan
mendasarkan pada tabel pencatatan perilaku (behavior check list). Waktu yang
dibutuhkan lebih kurang 50 menit, di dalam kelas dan ketika subjek mengikuti proses
belajar mengajar. Fase baseline II dilakukan dengan melakukan pengamatan oleh tiga
(3) orang observer untuk mengetahui apakah target perilaku yang akan direduksi
menunjukkan situasi yang stabil meskipun tidak lagi diberikan tritmen. Pengamatan
dilakukan dengan mempergunakan tabel pencatatan perilaku (check list) selama lebih
kurang 50 menit dimulai pukul 07:30-08:20.
11. Metode Analisis Data :
Setelah semua data terkumpul peneliti membuat grafik untuk dianalisis berdasarkan
data salah seorang observer. Efek dari tritmen dinilai dari pengukuran frekuensi tidak
bisa duduk tenang, dan keluar dari kursi yang muncul pada subjek selama observasi.
Analisis data menggunakan teknik analisis grafik.
12. Hasil Penelitian :
Baseline I Pengumpulan data baseline dilakukan dengan mempergunakan
observasi/ pengamatan langsung dan video rekaman selama 50 menit dengan event
sampling. Yang diobservasi adalah perilaku subjek selama pelajaran di sekolah dengan
target hiperaktifitas. Observer menilai dengan menggunakan tabel observasi (check
list). Tritmen Tritmen dilakukan 15-20 menit di ruang kesenian di sekolah dengan
penerangan cukup dan bebas distraksi. Di ruangan tersebut tersedia meja, kursi,
TV,VCD player, kipas angin, karpet dan lemari yang tertutup. Pertimbangan durasi
waktu 15-20 menit berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti.
Tritmen dipandu oleh seorang instruktur. Subjek diminta untuk melakukan
gerakangerakan sesuai dengan modul yang telah disusun sebelumnya. Pada pertemuan
pertama subjek dibimbing oleh instruktur, hingga pertemuan yang yang ke tiga.
Setelahnya hingga pertemuan yang ke dua belas subjek diminta untuk melakukannya
sendiri. Meskipun bimbingan tetap masih diberikan hingga pertemuan ke enam. Setelah
itu subjek telah benar-benar hafal dengan gerakan yang diberikan. Setelah mendapatkan
tritmen, kembali dilakukan pengamatan selama 50 menit di kelas, yaitu ketka subjek
mengikuti pelajaran. Baseline II Setelah subjek tidak lagi mendapatkan tritmen
(perlakuan) tetap dilakukan pengamatan selama 50 menit di kelas, yaitu ketika subjek
mengikuti pelajaran. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung dan
video rekaman pada jam pelajaran pagi hari yaitu jam 07:30-08:20 WIB. Penilaian oleh
tiga (3) observer dengan menggunakan tabel observasi (check list ).
Grafik 1 menunjukkan bahwa pada fase baseline pertama ini frekuensi perilaku
berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas di kelas cukup tinggi. Observasi pada fase
baseline pertama ini dilakukan selama lima hari sesuai kalender akademik, dimulai
pukul 07:30- 08:20. Observasi dilakukan dilakukan di dalam ruang kelas dan ketika ada
proses belajar mengajar, karena pada situasi formal, perilaku hiperahtif anak akan
semakin kelihatan dan menunjukkan bahwa perilaku tersebut merugikan tidak hanya
subjek tetapi juga teman-teman disekitarnya ketika belajar. Kondisi ini berkaitan
dengan kesulitannya mengontrol dirinya, yang ditunjukkan melalui perilaku yang
berlebihan. Mereka memang nampak penuh energi ( Horowitz; 2007, h.17). Pada hari
pertama baseline pertama subjek duduk diurutan ke empat dan baris kedua di sebelah
kiri meja guru. Ruang kelas subjek berukuran 6mx5m. Di dalam ruang kelas tersebut
terdapat bangku yang disusun terdiri dari lima lajur dan masing-masing lajur terdiri dari
delapan bangku ke belakang. Meja guru terletak di sudut kanan papan tulis dan
menempel di dinding. Subjek duduk sebangku dengan teman laki-lakinya. Selama
dilakukan pengamatan (50 menit), terlihat subjek tidak mengerjakan tugas yang
diberikan oleh bapak guru agama ataupun ibu guru kelas. Ia lebih disibukkan dengan
kegiatannya sendiri, melihat ke luar jendela, berjalan, berlari, menggeliat-geliatkan
badannya, mengajak berbicara teman, melihat-lihat poster kesehatan di dinding
belakang kelas. Menurut bapak guru agama, subjek adalah murid yang “istimewa”,
sehingga ia mendapatkan perhatian khusus. Tidak jarang bapak guru harus mendekati
subjek, mengingatkan untuk kembali duduk di bangkunya dengan mengelus-elus
kepala subjek. Kegiatan yang dilakukan subjek adalah mengganggu teman
disebelahnya dengan mengajak bicara, kursi di goyang-goyang, bermain adu kepala
dengan teman sebangku, masuk kolong meja dan keluar dari bangku untuk kemudian
berjalan-jalan mengitari kelas. Beberapa teman merespon gerakan subjek, dengan ikut
berbicara, terutama teman-teman disekitar bangku subjek. Namun sebagian lagi tidak
memperdulikannya. Pada hari kedua baseline pertama (I), subjek lebih banyak melihat
ke luar jendela. Ia duduk sendirian diurutan ke tiga dan persis di sebelah jendela. Pada
saat ibu guru memberi tugas menulis dengan contoh tulisan dari papan tulis, subjek
terlihat asyik melihat keluar jendela, kemudian jalan-jalan melihat poster kesehatan di
dinding belakang. Ia tidak memperhatikan tugas dari ibu guru dan tibatiba berteriak
untuk tujuan yang tidak jelas dari kegiatan tersebut. Ketika teman-teman menulis,
subjek duduk dibawah bangku (kolong meja), ia tidak mengumpulkan tugas, dan
berjalan-jalan mengelilingi kelas.
Kegiatan subjek yang lain adalah bermain hiasan-hiasan (prakarya) yang
digantung tepat diatas meja subjek. Selama tugas menyalin tersebut, subjek hanya
bermain-main, antara lain mengetuk-getuk pensil ke meja, memukul-mukul hiasan
diatas meja, keluar dari bangku, berlari dan melompat-lompat tanpa tujuan yang jelas.
Selain itu tidak jarang apabila subjek bosan, ia akan masuk ke kolong meja dan
kemudian muncul dari bawah meja guru. Hal tersebut dilakukan berulang kali. Pada
hari ketiga, keempat dan kelima pada baseline pertama subjek nampak tetap duduk
sendirian dibangku urutan ke tiga dari depan dan disebelah jendela. Kegiatan yang
dilakukan tidak jauh berbeda dengan kegiatan yang dilakukan pada hari pertama dan
kedua. Subjek berdiri melihat ke luar jendela, meraut pensil, masuk kolong meja, keluar
kelas berkali-kali, membuat temannya menangis, adu mulut dengan teman-temannya,
berteriakteriak, berlari dan melompat untuk tujuan yang tidak jelas, memukul-mukul
meja dan menengok kebelakang berkali-kali. Keluar dari bangku kemudain berlari
tanpa tujuan yang jelas dilakukan oleh subjek berulang kali. Tugas yang diberikan oleh
ibu guru tidak pernah diselesaikan, dan subjek baru akan mengerjakan ketika ibu guru
menunggunya. Perilaku tersebut diatas mengalami penurunan setelah subjek mengikuti
tritmen yang diberikan. Gambaran tersebut terlihat dari grafik yang menunjukkan
penurunan yang cukup berarti. Ketika tritmen diberikan pada hari pertama, subjek
nampak cukup terbuka dan bersedia mengikuti instruksi yang diberikan. Ia terbuka
terhadap orang lain, tidak malu-malu dan tidak ada kecurigaan terhadap orang yang
baru dikenalnya. Ia bersedia menerima kehadiran orang baru dan banyak bercerita
tentang kejadian yang dialami pagi hari di rumahnya. Pada saat itu sebelum bercerita ia
berkeliling ruangan terlebih dahulu. Berdasarkan prosedur yang sudah ditetapkan
dalam modul terapi musik, instruktur melakukan ice breaking terlebih dahulu sebelum
tritmen diberikan.Tujuan diberikannya ice breaking adalah agar subjek merasa nyaman
dan bersedia melaksanakan instruksi-instruksi yang diberikan. Ice breaking berupa
permainan tangkap jari dan cerita binatang. Subjek nampak cukup tertarik dan senang.
Ice breaking dilakukan selama lebih kurang lima menit. Setelah subjek merasa nyaman,
maka subjek mulai berlatih gerakan-gerakan dengan diiringi musik yang
diperdengarkan. Saat mengikuti latihan subjek bersedia mengikuti latihan dan
melaksanakan gerakangerakan mengikuti instruksi yang diberikan dan contoh yang
dilakukan oleh instruktur. Subjek nampak kelihatan bingung, terutama untuk gerakan
pertama dan ketiga. Karena bingung subjek nampak putus asa, lalu bilang “sudah akh”.
Gerakan kedua dan keempat bisa dilakukan oleh subjek dengan contoh. Untuk tugas
yang ke lima yaitu subjek diminta untuk memilih dan memainkan alat musik, nampak
ia mencoba semua alat musik. Terlihat perhatiannya yang mudah teralihkan dalam
waktu kurang lebih lima detik. Sambil memainkan alat musik ia bertanya, bercerita dan
tidak henti berbicara. Ia menanyakan dimana membeli alat-alat permainannya dan
mengatakan ia senang memainkan alat musik. Alat musik yang menarik perhatiannya
adalah pianika dengan suara-suara binatang. Ketika mendengar suara sapi subjek
bercerita tentang sapi dan mengatakan pernah melihat sapi disembelih. Ketika
melaksanakan sesi menyanyi yang diselingi dengan melakukan gerakan yang diminta
oleh instruktur, subjek mau melaksanakan perintah tersebut tanpa membantah dan
menyanyi dengan suara yang keras dan penuh percaya diri.
Setelah mengikuti sesi latihan selama lima belas menit, pada sesi penutup
subjek bersama instruktur kembali bermain tangkap jari dengan cerita binatang. Setelah
mengikuti latihan, subjek kembali ke kelas. Observasi di kelas dilakukan setelah subjek
beristirahat. Pada hari pertama belum nampak perubahan yang berarti meskipun sudah
ada penurunan frekuensi terutama perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan yang
jelas. Ia masih sering keluar dari banhgku dan tiba-tiba berlari ke depan kelas ke arah
papan tulis dan kemudian berlari ke arah belakang. Pada hari kedua tritmen, latihan
dilakukan setelah subjek mengikuti pelajaran olah raga. Pada saat mengikuti pelajaran
olah raga subjek terlihat banyak bergerak meskipun pada saat ibu guru meminta semua
murid untuk duduk di lapangan. Terlihat subjek justru berlari-lari mengelilingi
lapangan dengan salah seorang temannya. Tritmen dimulai pukul 07:55 dan setelah
subjek beristirahat. Tritmen diawali dengan ice breaking. Subjek bersedia untuk
mengikuti semua perintah. Secara umum kepatuhan yang ditunjukkan pada hari kedua
tidak seperti yang ditunjukkan pada hari pertama. Urutan pelaksanaan sesuai dengan
modul yang telah disiapkan sebelumnya. Observasi di kelas menunjukkan adanya
penurunan frekuensi berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas. Hal ini diperkirakan
subjek mengalami kelelahan setelah mengikuti pelajaran olah raga dan sesi tritmen. Ia
terlihat nampak tenang dan hanya mengamati kegiatan yang dilakukan oleh teman-
temannya. Kegiatan subjek berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas kembali
ditunjukkan oleh subjek dengan frekuensi yang hampir sama dengan ketika tritmen
pertama diberikan yaitu setelah subjek selesai mengikuti tritmen ke tiga. Setelah
mengikuti tritmen ke empat, subjek kembali menunjukkan sikap yang tenang dan
nampak sdh mulai bisa mengendalikan diri untuk tidak berlari dan melompat tanpa
tujuan yang jelas. Hasil observasi di kelas terlihat bahwa subjek lebih banyak
meletakkan kepalanya diatas meja. Latihan diikuti secara teratur sesuai instruksi dan
mengikuti irama musik. Ekspresi subjek nampak gembira, ice breaking dilakukan
dengan bermain boneka dinosaurus dan subjek mengidentifikasikan boneka sebagai
teman-temannya. Boneka diatur sesuai tatanan kursi di kelas dan menyebutkan nama
teman-temannya. Ketika mengikuti tritmen ia mulai menghitung sendiri dengan suara
keras, dan melantunkan takbir dengan memukul genderang, terlihat iramanya nampak
teratur. Kondisi yang ditunjukkan setelah subjek mengikuti tritmen keenam adalah
subjek kembali menunjukkan kegiatan berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas
dan semakin meningkat ketika subjek selesai mengikuti tritmen ke tujuh. Pada tritmen
yang ketujuh, subjek tetap terlihat mengikuti alunan musik, dan bersuara pada ketukan
keempat. Namun pada menit kesatu tiga puluh tiga detik ia mulai menguap dan terlihat
malas-malasan. Ia menata sendiri bantalnya, mengikuti musik, melompat, berjalan
sepanjang musik berjalan. Namun ketika gerakan keempat yang seharusnya gerakan
menaikkan tangan, subjek justru melompat. Pada sesi ke tujuh ini, subjek nampak
kurang memperhatikan instruksi dari instruktur. Ia bermain sendiri, masak-masakan
sate, bermain pianika selama 1 menit, pindah ke drum selama 20 detik, kembali ke
pianika selama 1 menit. Dari grafik nampak bahwa frekuensi berlari dan melompat
tanpa tujuan yang jelas mengalami penurunan setelah subjek mengikuti tritmen
kesepuluh. Setelah mengikuti tritmen kesebelas dan dua belas, subjek kembali bisa
mengendalikan diri untuk tidak berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas, hingga
ia tidak melakukannya sama sekali. Ia memang masih menunjukkan kegiatan-kegiatan
yang lain seperti menggeliat, menengok ke belakang, mengganggu teman-temannya.
Dari grafik yang ditunjukkan, setelah tritmen tidak diberikan lagi, yaitu pada fase
baseline kedua (II) situasinya menunjukkan adanya penurunan yang cukup berarti.
Subjek memang masih sesesekali menunjukkan kegiatan berlari dan melompat tanpa
tujuan yang pasti. Namun kegiatan tersebut dilakukan pada hari kelima setelah tritmen
ditiadakan. Observasi dilakukan didalam kelas pada saat proses belajar mengajar
berlangsung. Pelajaran yang bisa membuatnya tenang adalah pelajaran menggambar.
Subjek cukup menyenangi tugas tersebut dan ia bisa melakukannya dengan baik.
13. Kesimpulan :
Terapi terhadap kesulitan berperilaku pada anak yang mengalami ADHD dimaksudkan
untuk mengurangi frekuensi munculnya perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Utamanya adalah memperbaiki fungsi yang mengalami kegagalan (perilaku, kognitif,
sosio emosional). Seperti yang diutarakan oleh Yudarwanto (2009) yaitu terapi yang
diberikan kepada penderita ADHD haruslah bersifat holistic dan menyeluruh.
Modifikasi perilaku merupakan pola penanganan yang paling efektif dengan
pendekatan positif dan dapat menghindarkan anak dari perasaan frustasi, marah, dan
berkecil hati menjadi suatu perasaan yang penuh percaya diri. Dari hasil penelitian dan
pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa penerapan terapi
musik dan gerak dapat mereduksi kesulitan berperilaku pada siswa sekolah dasar yang
menderita ADHD. Dengan demikian hipotesis terbukti.