+ All Categories
Home > Documents > TUGAS KELOMPOK PSIKOLOGI EKSPERIMEN

TUGAS KELOMPOK PSIKOLOGI EKSPERIMEN

Date post: 19-Feb-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
155
TUGAS KELOMPOK PSIKOLOGI EKSPERIMEN DOSEN ADI KRISTIAWAN, S.Psi., MM DISUSUN OLEH Dinda Faharani / 1824090095 Saidatul Hilmah / 1824090125 Marsya Sukma Ardini / 1824090127 Sabtu, 10:20 12:50
Transcript

TUGAS KELOMPOK

PSIKOLOGI EKSPERIMEN

DOSEN

ADI KRISTIAWAN, S.Psi., MM

DISUSUN OLEH

Dinda Faharani / 1824090095

Saidatul Hilmah / 1824090125

Marsya Sukma Ardini / 1824090127

Sabtu, 10:20 – 12:50

JURNAL 1

21

PENGARUH KATARSIS DALAM MENULIS EKSPRESIF SEBAGAI

INTERVENSI DEPRESI RINGAN PADA MAHASISWA

Novi Qonitatin*, Sri Widyawati**, Gusti Yuli Asih**

*Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

** Fakultas Psikologi Universitas Semarang

[email protected] ; [email protected]

Abstrak

Depresi ringan banyak dialami oleh orang dewasa muda, terutama dalam hal ini adalah mahasiswa dimana mereka

memiliki tuntutan peran dan tugas yang tidak mudah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh katarsis dalam

menulis ekspresif sebagai intervensi depresi ringan pada mahasiswa. Sebagai partisipan penelitian adalah mahasiswa

Fakultas Psikologi Universitas Semarang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah BDI (Beck Depression

Inventory) untuk melihat tingkat depresi pada partisipan penelitian. Efektivitas atau pengaruh dari intervensi menulis

ekspresif sebagai variabel bebas terhadap depresi sebagai variabel terikat dilihat dari perbedaan antara pretest (O1)

dengan postest (O2). Analisis statistik yang digunakan adalah correlated data t-test / paired-sample t-test. Hasil

penelitian menunjukkan 84 mahasiswa yang terjaring sebagai subjek penelitian, 47 orang (55,95%) diantaranya

mengalami depresi, dimana sebagia besar berada pada taraf depresi ringan. Hasil analisis statistik memperoleh hasil t

hitung = 6,384 dan taraf signifikansi = 0,000. Berdasarkan hasil analisis data tersebut menunjukkan hipotesis penelitian

diterima, berarti katarsis dalam menulis ekspresif memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap depresi ringan

pada mahasiswa.

Kata kunci: katarsis, menulis ekspresif, depresi ringan

PENDAHULUAN

Depresi telah lama dikenali sebagai suatu

perhatian utama bagi pemberi layanan

kesehatan (Geisner, 2006). Seperti yang

dikemukakan Atkinson (1991), depresi

merupakan respon normal terhadap berbagai

stres kehidupan. Depresi dianggap abnormal

bila di luar kewajaran dan berlanjut terus

sampai saat-saat dimana kebanyakan orang

sudah dapat pulih kembali. Dalam kondisi dan

lingkungan yang semakin penuh dengan

peristiwa yang memberikan stres, mudah

sekali orang untuk mengalami gangguan

depresi.

Depresi dan berkurangnya kesejahteraan

psikologis merupakan permasalahan

kesehatan yang utama pada orang muda

(Allgower dkk, 2001). Ditambahkan oleh

Michael dkk (2006), menyatakan bahwa

perasaan depresi merupakan pengalaman yang

cukup umum di kalangan mahasiswa. Mereka

menemukan bahwa terdapat proporsi yang

substansif yang dilaporkan memiliki simpom-

simptom depresi yang signifikan. Mengutip

hasil penelitian Beck dan Young, dikatakan

tiga perempat dari seluruh mahasiswa merasa

depresi selama beberapa waktu pada masa

sekolah. Hal ini dapat terjadi mengingat

banyaknya masalah yang menghadang

keberhasilan mahasiswa dalam menyelesaikan

studinya dan terbukanya peluang bagi

mahasiswa untuk mengalami simtom-simtom

depresi karena berbagai masalah yang

mungkin timbul. Seperti adaptasi terhadap

situasi dan kondisi kampus, tugas yang

menumpuk, tuntutan akan nilai yang bagus,

dan lain sebagainya. Bahkan menurut

Reifman dan Dunkel-Schetter (dalam

Allgower dkk, 2001), simtom depresi dan

kecemasan menjadi perhatian khusus pada

mahasiswa dan dihubungkan dengan

performansi akademik yang rendah dan

partisipasi rendah dalam aktivitas kampus.

22 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

Mengutip pandangan Beck bahwa depresi

merupakan suatu kontinum, Geisner (2006)

menyatakan bahwa tritmen diperlukan dalam

semua tingkatan. Khususnya, simtom ringan

depresi kurang ditanggapi untuk ditangani,

kemudian akan menjadi resiko bagi

perkembangan episode depresi mayor dan

mengalami konsekuensi lain akibat dari

suasana hati yang depresif. Individu dengan

riwayat depresi yang rendah atau yang

memiliki depresi ringan dapat dibantu dengan

suatu pendekatan peningkatan motivasi.

Sebagai alternatif, dengan biaya rendah, terapi

menulis merupakan suatu cara dalam

menurunkan depresi, terutama pada

mahasiswa (Geisner, 2006). Aktivitas menulis

membuat seseorang berpikir tentang peristiwa

yang ia alami dan proses emosional serta

elemen objektif pada peristiwa tersebut, yang

akan meredakan renungan peristiwa tersebut.

Bukti empiris telah mendukung gagasan

bahwa ekspresi emosional meningkatkan

kemampuan seseorang untuk mengatasi

peristiwa-peristiwa kehidupan yang menekan.

Pada masa yang lalu, penelitian ekspresi

emosional difokuskan pada ekspresi verbal

pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan,

sebagaimana yang ditemukan pada

kebanyakan teori-teori psikoterapi tradisional.

Bagaimanapun, saat ini, penelitian yang

menyelidiki ekspresi tertulis pada pengalaman

hidup yang traumatis telah memperlihatkan

memberikan keuntungan kesehatan baik

secara psikologis maupun fisik (Graf, 2004).

Pennebaker (1997) menyatakan bahwa

menulis pengalaman emosional atau menulis

peristiwa yang penuh tekanan (stressful

events) telah menjadi kajian yang menarik

pada beberapa tahun belakangan ini. Beberapa

penelitian laboratorium telah mempelajari

kegunaan menulis atau berbicara mengenai

pengalaman emosional. Menghadapi atau

berkonfrontasi dengan isu-isu pribadi secara

mendalam telah mendapat penemuan akan

menghasilkan kesehatan fisik, kesejahteraan

subjektif dan tingkah laku adaptif tertentu.

Paez dkk (1999) mencatat bahwa menghadapi

atau berkonfrontasi dengan peristiwa-

peristiwa penuh tekanan dan traumatis yang

dilakukan dalam prosedur menulis dilaporkan

menghasilkan tingkat yang lebih tinggi dalam

kesehatan fisik (misalnya, lebih sedikit

mengunjungi fasilitas kesehatan), fungsi

fisiologis yang lebih tinggi (misal, reaksi

kekebalan tubuh yang lebih baik) dan

kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi

(misal, afek negatif yang lebih rendah dan

afek positif yang lebih tinggi). Kesimpulan

tersebut juga dapat dilihat pada Pennebaker

(1997) yang juga menyebutkan bahwa akibat

menulis mengenai topik tertentu, ternyata

berhubungan dengan perbaikan peringkat

mahasiswa pada bulan setelah penelitian

dilakukan dan mendapatkan pekerjaan baru

yang lebih cepat pada tingkat senior.

Secara jelas Pennebaker dan Beall (dalam

Baikie & Wilhelm, 2005) menyatakan bahwa

menulis tentang pengalaman traumatis

berhubungan dengan peningkatan efek

psikologis yang positif dan dalam jangka

panjang menurunkan masalah-masalah

kesehatan. Karena itu, proses katarsis yang

diperoleh ketika menulis ekspresif

pengalaman-pengalaman emosional pada

seseorang yang mengalami gangguan depresi

akan dapat memberikan keuntungan bagi

dirinya untuk menurunkan simtom-simtom

yang mengganggu dan meningkatkan

kesejahteraan psikologis maupun fisik.

Keuntungan ini terutama dapat diperoleh bagi

mereka yang memiliki gangguan depresi

dalam tingkat yang ringan.

Depresi

Depresi merupakan respon normal terhadap

berbagai stress kehidupan. Depresi dianggap

abnormal bila di luar kewajaran dan berlanjut

terus sampai saat-saat dimana kebanyakan

orang sudah dapat pulih kembali (Atkinson,

1991). Ciri-cirinya antara lain tidak ada

harapan, patah hati, mengalami

ketidakberdayaan berlebihan, selalu

Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 23

Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa

memikirkan kekurangan diri dan rasa tidak

berarti.

Menurut Beck (1985), depresi merupakan

suatu “primary mood disorder” atau sebagai

suatu “affective disorder”. Kemudian Beck

memandang depresi dalam komponen-

komponen sebagai berikut:

a. Depresi merupakan kesedihan yang

berkepanjangan dan keadaan jiwa yang

apatis (komponen afektif)

b. Depresi merupakan cara berpikir yang

salah dalam memandang realitas di luar

dan di dalam diri sendiri, sehingga

terbentuk konsep diri yang negatif yang

berlanjut pada perasaan rendah diri

(komponen kognitif)

c. Depresi merupakan gangguan terhadap

fungsi fisiologis yang antara lain

menyebabkan sukar tidur dan hilangnya

nafsu makan serta seksual (komponen

fisiologis)

d. Depresi merupakan hilangnya kemampuan

untuk berfungsinya secara wajar serta

hilangnya dorongan dan energi untuk

bertindak (komponen perilaku)

Simtom depresi

Beck (1985) mengungkapkan bahwa simptom

depresi tidak hanya berupa gangguan afek

saja, tetapi dapat muncul dalam bentuk

sebagai berikut:

a. Perubahan suasana hati yang spesifik,

seperti kesedihan, merasa sendiri dan

apatis.

b. Konsep diri yang negatif diikuti dengan

menyalahkan diri dan mencela diri sendiri.

c. Keinginan regresif dan menghukum diri

sendiri, keinginan untuk menghindar,

bersembunyi dan keinginan untuk mati.

d. Perubahan-perubahan vegetatif seperti

anoreksi, insomnia dan kehilangan nafsu

makan.

e. Perubahan dalam tingkat aktivitas seperti

retardasi dan agitasi.

Beck (1985) memandang gangguan depresi

sebagai kontinuitas, jadi lebih dipandang

secara kuantitatif (ada perbedaan tingkat dan

derajat simtomnya) daripada kualitatif (ada

tidaknya simtom). Perbedaan antara orang

yang menderita depresi dengan yang tidak

hanya pada rentang dan derajat ada tidaknya

simtom yang muncul.

Penyebab depresi

Menurut sudut pandang psikoanalisa

(Davison & Neale, 2001), timbulnya

gangguan depresi ditekankan pada konflik

yang tidak disadari dihubungkan dengan

kesedihan dan kehilangan. Freud (Davison &

Neale, 2001) menyatakan bahwa potensi

depresi dihasilkan sejak awal masa kanak-

kanak. Selama periode oral, kebutuhan

seorang anak kurang terpuaskan atau

terpuaskan secara berlebihan, menyebabkan

individu menjadi fiksasi pada tahap ini dan

tergantung pada pemenuhan khusus secara

instingtif. Fiksasi pada tahap oral akan

mengembangkan suatu kecenderungan untuk

tergantung pada orang lain dalam

mempertahankan self-esteem.

Dalam kasus depresi, menurut Freud,

penjelasan yang kompleks didasarkan pada

analisis kehilangan. Ide Freud adalah

kepribadian oral akan menjadi depresi ketika

diikuti kehilangan sesuatu atau seseorang

yang dicintai. Hampir mirip dengan ide

tersebut adalah depresi ditimbulkan oleh

peristiwa kehidupan yang menekan, dan hal

ini seringkali terkait dengan perasaan

kehilangan.

Katarsis dalam Menulis Ekspresif

Katarsis menurut sudut pandang psikoanalisa

merupakan ekspresi dan pelepasan emosi

yang ditekan. Kadangkala disinonimkan

dengan abreaksi yang didefinisikan sebagai

mengalami kembali pengalaman emosional

yang menyakitkan dalam psikoterapi,

biasanya melibatkan kesadaran pada materi

24 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

yang sebelumnya ditekan (Corsini &

Wedding, 1989).

Dalam Studies in Hysteria (1895, 1982), yang

ditulis Sigmund Freud dengan rekannya Josef

Breuer, Freud menganalisa kasus terkenal

“Anna O.” dan wanita-wanita lain yang

menderita histeria (Halgin & Whitbourne,

1994). Freud dan Breuer menggambarkan

bagaimana Anna O., disembuhkan dari

simtom-simtom histeria yang banyak dan

bervariasi dengan menggunakan hipnosis.

Sebagai tambahan, bagaimanapun, Anna O.

menurut Breuer, dibiarkan untuk ikut serta

dalam “membersihkan cerobong asap” yang

juga disebut dengan “talking cure”. Ketika dia

berbicara tentang masalah-masalahnya, ia

merasa lebih baik, dan simtom-simtomnya

pun menghilang. Freud dan Breuer

menyebutnya dengan “cathartic method”,

suatu pembersihan konflik emosional di

dalam diri melalui berbicara tentangnya.

Metode katarsis ini pelopor psikoterapi,

tritmen perilaku abnormal melalui teknik

psikologis. Penemuan ini akhirnya membawa

Freud untuk mengembangkan psikoanalisis,

suatu teori dan sistem praktis yang bersandar

pada konsep unconsciuous mind, hambatan

impuls-impuls seksual, perkembangan awal,

dan penggunaan teknik “free asociation” dan

analisa mimpi. Tujuan utama tritmen

psikoanalisa tradisional yang dikembangkan

oleh Freud adalah untuk membawa materi

bawah sadar yang ditekan menuju kepada

kesadaran.

Teori katarsis juga dikemukakan oleh Scheff

(Greenberg, dkk, 1996) yang memberikan

pandangan alternatif pada proses-proses yang

dapat memberikan keuntungan pada

kesehatan melalui penyingkapan emosional.

Menurut Scheff, penyingkapan secara verbal

tidak terlalu penting dan tidak cukup untuk

terapi, sedangkan pelepasan emosional

merupakan hal yang penting dan mencukupi

dalam terapi. Scheff mengusulkan bahwa

penyembuhan dengan pelepasan emosional

meliputi “jarak optimum” dari penekanan

emosi yang kemudian diekspresikan. Pada

suatu keadaan jarak optimum, partisipan

dapat secara jelas mengalami emosi namun

dalam suatu konteks “saat sekarang yang

aman”. Mereka dapat mengakhiri episode

emosional sebelum menjadi berlebihan. Oleh

karena itu penyembuhan katarsis tidaklah

sesederhana pembenaman ke dalam tekanan

emosional, akan tetapi meliputi persepsi

untuk dapat mengontrol dan menguasai

perasaan-perasaan menekan saat ini.

Beck (1985) mengemukakan bahwa hal yang

bermanfaat untuk memberikan pasien depresi

pada suatu diskusi situasi tentang kehidupan

dan relasi yang mengganggu baginya. Ada

kalanya, pasien terbantu dengan membuat ia

mampu untuk mengekspresikan masalah-

masalah dan perasaan-perasaannya pada

orang yang membebaskan dan mengerti

dirinya. Beberapa pasien terhambat dalam

mendiskusikan kesulitan mereka dengan

keluarga atau teman dekat, karena ketakutan

bahwa akan dicela karena keluhan-keluhan

yang disampaikan atau karena mereka

mengantisipasi rasa malu pada pengakuan

bahwa mereka memiliki masalah emosional.

Mereka cenderung untuk menyamakan

masalah emosional dengan kelemahan dan

karakter yang cacat.

Beberapa pasien depresi mengalami kelegaan

yang sangat setelah membeberkan perasaan

dan keprihatinan mereka pada terapis.

Pelepasan emosi dihasilkan dengan menangis

kadangkala menghasilkan suatu peringanan

simtom-simtom penting. Pasien depresi parah,

bagaimanapun, dapat bereaksi merugikan

pada pembeberan emosi. Setelah suatu diskusi

pada permasalahan mereka, mereka dapat

tidak hanya merasa lebih meluap-luap

emosinya dan tidak berdaya, tetapi mungkin,

sebagai tambahan, merasa malu atas

penyingkapan diri mereka sendiri (Beck,

1985).

Pada saat ini, terapi psikoanalisa telah

berkembang dalam berbagai bentuk terapi

Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 25

Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa

dimana aspek utama tritmen berisi self-

expression, pelepasan emosi, mengatasi

hambatan, dan mengeluarkan pikiran dalam

kata-kata dan tingkah laku fantasi atau

impuls-impuls sebelumnya disembunyikan.

Kebanyakan bentuk tritmen menampilkan

prinsip katarsis emosional yang Freud

kembangkan pada studi awalnya mengenai

histeria. Pada masa itu, Freud berpikir bahwa

pelepasan emosi yang tertahan dapat menjadi

suatu efek terapeutik yang menguntungkan

(Corsini & Wedding, 1989).

Ekspresif emosional merupakan ekspresi

natural dari emosi yang sebenarnya (Berry &

Pennebaker dalam Graf, 2004). Sedangkan

penyingkapan emosi merupakan proses yang

melibatkan perasaan alamiah atau emosi yang

sebenarnya dan mengubahnya menjadi bahasa

oral atau tertulis (Smyth & Pennebaker, dalam

Graf, 2004). Smyth dan Pennebaker

mengatakan proses ini dipercaya untuk

mengintegrasi proses kognitif dan emosional,

penyingkapan emosional memberikan

kesempatan untuk meningkatkan insight, self-

reflection, dan organisasi perspektif seseorang

terhadap masalah daripada hanya sekedar

mengeluarkan emosi.

Penelitian-penelitian saat ini mengusulkan

bahwa keuntungan ekspresi emosi tidak

dibatasi pada ekspresi emosi yang vokal,

kesehatan fisik dan psikologis dapat diperoleh

melalui penulisan ekspresif tentang

pengalaman hidup yang signifikan (Graf,

2004). Penelitian yang dilakukan Graf (2004)

menunjukkan hasil bahwa klien pada

kelompok written emotional disclosure

memperlihatkan penurunan yang signifikan

pada simtom-simtom kecemasan dan depresi;

sebaik peningkatan fungsi kehidupan dan

kepuasan yang lebih baik dengan tritmen

ketika dibandingkan dengan kelompok

kontrol.

Menulis merupakan suatu bentuk ekspresi

katarsis dan self-help yang telah dipraktekkan

selama bertahun-tahun (Riordan, 1996).

Menurut Riordan, Benjamin Rush yang

seorang dokter memberikan instruksi kepada

pasiennya untuk menulis simtom yang mereka

alami dan menemukan bahwa proses menulis

dapat menurunkan tegangan pada pasiennya

dan memberikan informasi yang lebih banyak

tentang masalah mereka.

Adanya penyingkapan emosi yang dialami

pada menulis pengalaman emosional

dianggap sebagai faktor yang menghasilkan

efek teraupetik. Sebaliknya, menulis hal-hal

yang tidak sampai melibatkan unsur emosi di

dalamnya, seperti membuat deskripsi

mengenai kegiatan sehari-hari atau deskripsi

suatu tempat misalnya, tidak menghasilkan

efek yang sama.

Mekanisme proses terapeutik menulis

pengalaman emosional sebenarnya sama

dengan mekanisme terapi-terapi yang lain.

Mekanisme proses terapeutiknya berpusat

pada penyingkapan (disclosure) pengalaman-

pengalaman emosional. Pengakuan dan

penyingkapan diri merupakan proses dasar

yang muncul dalam psikoterapi, dan secara

alamiah muncul dalam interaksi sosial yang

dianggap membawa manfaat secara

psikologis dan bahkan mungkin secara fisik

(Pennebaker,1997). Lebih lanjut Pennebaker

(1997) menyatakan bahwa hampir dapat

dipastikan psikoterapi membutuhkan dalam

derajat tertentu penyingkapan diri. Apakah

terapi tersebut adalah bersifat direktif atu

evokatif, orientasi insight atau behavioral,

pasien dan terapis harus bekerja bersama

untuk mendapatkan suatu cerita yang koheren

yang menjelaskan masalah dan secara

langsung maupun tidak untuk menghasilkan

suatu penyembuhan. Penyingkapan masalah

pribadi mungkin memiliki nilai terupetik yang

menakjubkan dalam dan pada dirinya sendiri.

METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode penelitian

kuantitatif, dimana data yang diperoleh dalam

26 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

penelitian kuantitatif berupa angka, yang akan

dianalisa secara statistik (Seniati dkk, 2005).

Jenis penelitian yang diambil adalah

penelitian eksperimental yang akan meneliti

hubungan sebab-akibat dan bukan hanya

melihat hubungan antar variabel. Menurut

Solso dan MacLin (dalam Seniati dkk, 2005),

penelitian eksperimental merupakan

penyelidikan di mana minimal salah satu

variabel dimanipulasi untuk mempelajari

hubungan sebab-akibat.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Depresi Ringan sebagai variabel

tergantung, dan Katarsis dalam Menulis

Ekspresif sebagai variabel bebas. Depresi

Ringan merupakan gangguan afektif atau

suasana hati yang meliputi komponen afektif,

kognitif, fisiologis, dan perilaku, yang berada

pada tingkat ringan. Katarsis dalam Menulis

Ekspresif adalah proses penyingkapan emosi

yang alamiah dan sebenarnya dengan

mengubahnya menjadi bahasa tertulis melalui

pelepasan dan mengalami kembali

pengalaman emosional yang menyakitkan

yang selama ini ditekan.

Desain penelitian yang digunakan adalah

Pretest-Posttest One Group Design. Pada

desain ini, di awal penelitian, dilakukan

pengukuran terhadap variabel terikat yang

telah dimiliki subyek. Setelah diberikan

manipulasi, dilakukan pengukuran kembali

terhadap variabel terikat tersebut dengan alat

ukur yang sama (Seniati dkk, 2005). Hal ini

dapat digambarkan dalam bagan 1.

Pengukuran (O1) Manipulasi (X) Pengukuran (O2)

Bagan 1. Desain Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan

mengukur depresi pada awal penelitian

kemudian diukur lagi dengan alat ukur yang

sama setelah subjek penelitian memperoleh

intervensi berupa menulis ekspresif yang

menggunakan prinsip katarsis. Efektivitas

atau pengaruh dari intervensi tersebut sebagai

variabel bebas terhadap depresi sebagai

variabel terikat dilihat dari perbedaan antara

pretest (O1) dengan postest (O2). Untuk lebih

meyakinkan dalam kesimpulan, dapat

digunakan analisis statistik dengan correlated

data t-test / paired-sample t-test (Seniati dkk,

2005). Bila ada perbedaan antara skor pretest

dan skor posttest dimana skor posttest lebih

tinggi secara signifikan, maka dapat

disimpulkan bahwa intervensi berupa katarsis

dalam menulis ekspresif dapat menurunkan

simtom depresi ringan.

Desain seperti ini juga dikenal sebagai Within

Participants/Cross-Over Design (Carter &

Marks dalam Marks & Yardley, 2004) dimana

beberapa orang yang sama diukur lebih dari

satu kali dan dicatat perbedaan antara

pengukuran pada waktu-waktu yang berbeda,

yaitu pengukuran sebelum intervensi (Pre-

tritmen) dan pengukuran setelah intervensi

(Post-tritmen). Hanya saja kelemahan dalam

desain adalah tidak memperhatikan efek

perbedaan individual.

Partisipan penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas

Psikologi Universitas Semarang yang

mengalami depresi ringan. Karena itu,

partisipan sebelumnya akan di-screening

terlebih dahulu untuk melihat tingkat

depresinya.

Metode pengumpulan data depresi

menggunakan skala pengukuran depresi yaitu

Beck Depression Inventory (BDI). Masing-

masing kategori menggambarkan manifestasi

depresi dan terdiri dari 4 pertanyaan yang

disusun berjenjang, merefleksikan beratnya

Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 27

Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa

simton dari netral sampai terberat dengan

nilai 0-3. Semakin tinggi skor yang diperoleh

oleh subyek penelitian menunjukkan semakin

tinggi depresi, begitu sebaliknya. Dalam

memilih setiap pernyataan, partisipan boleh

memilih lebih dari satu dan skor yang

diperoleh subjek adalah skor tertinggi yang

dipilih oleh subjek tersebut. Nilai total yang

diperoleh subjek bergerak dari 0-63.

Kategorisasi dari nilai BDI terlihat dalam

tabel1.

Tabel 1. Kategorisasi Total Nilai BDI

Total Nilai Tingkat Depresi

1-10 Normal

11-16 Gangguan depresi ringan

17-20 Depresi sudah mengarah ke klinis

21-30 Depresi sedang

31-40 Depresi berat

Di atas 40 Depresi ekstrim

Analisa data dilakukan dengan menggunakan

program komputer SPSS (Statistical Product

and Service Solutions), analisis statistik

correlated data t-test / paired-sample t-test.

Uji t pada satu populasi akan menguji apakah

rata-rata populasi sama dengan suatu harga

tertentu, dan uji t paired (uji t berpasangan)

justru mengharuskan dua sampel

berhubungan (Santoso, 2000). Karena itu

dalam penelitian ini akan digunakan uji t

paired untuk melihat apakah intervensi dapat

efektif, yaitu digunakan data sebelum dan

sesudah intervensi.

Ciri utama dari uji t adalah jumlah sampel

relatif kecil, di bawah 30. Sedangkan

asumsinya adalah t hitung bisa ditentukan

dengan dua kemungkinan, yaitu varians kedua

populasi yang diuji sama maupun berbeda.

Selain itu, sampel yang diambil berdistribusi

normal atau mendekati normal atau bisa

dianggap normal.

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam

beberapa ketentuan sebagai berikut:

1. Diawali dengan menentukan partisipan,

yaitu mahasiswa yang mengalami depresi

ringan. Terkait dengan hal tersebut maka

sebelumnya dilakukan screening untuk

menentukan partisipan. Subjek penelitian

adalah mahasiswa Fakultas Psikologi USM

kelas reguler pagi. Setelah partisipan

ditentukan, dilakukan kesepakatan

persetujuan partisipan untuk mengikuti

intervensi dengan jaminan kerahasiaan.

Dari 84 skala yang terisi, diperoleh 47

mahasiswa yang dapat menjadi partisipan

penelitian. Partisipan yang memenuhi

undangan pra-intervensi sejumah 31 orang

dan hanya 23 partisipan yang dapat

mengikuti pelaksanaan ekpresimen secara

lengkap sampai dengan selesai.

2. Intervensi dilakukan selama dua minggu.

Sebelum intervensi dilakukan pengukuran

depresi sebagai baseline, dan kemudian

dilakukan pengukuran yang kedua yang

dilakukan setelah intervensi dilakukan.

Kedua data ini yang kemudian akan

dianalisa untuk memberikan kesimpulan

pada hipotetis yang telah diajukan.

3. Partisipan akan diberikan instruksi tertulis

di dalam amplop dimana di dalam instruksi

juga dijelaskan mengenai jumlah waktu

partisipan membuat tulisan ekspresif (20

menit). Berikut instruksi yang diberikan:

“Selama setiap minggu sesi terapi, kami

meminta Anda untuk menuliskan tentang

pengalaman-pengalaman sepanjang

kehidupan Anda yang paling menyusahkan

dan menjengkelkan selama 20 menit. Anda

28 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

dapat menulis topik yang berbeda ataupun

sama pada setiap minggu untuk dua

minggu. Usahakan menuliskan satu topik

dalam satu tulisan. Tulisan tersebut dapat

berupa pengalaman dari masa kecil atau

sesuatu yang terjadi baru-baru ini yang

mengganggu perasaan Anda. Hal yang

penting adalah Anda menuliskan tentang

piliran-pikiran dan perasaan-perasaan

terdalam tentang masalah emosional Anda.

Anda dapat atau tidak ingin mendiskusikan

tulisan Anda atau tema tulisan Anda

dengan terapis Anda. Ini adalah pilihan

Anda. Tulisan Anda akan dijaga

kerahasiaannya secara utuh. Jangan

khawatir tentang tata bahasa dan tata tulis.”

4. Partisipan dianjurkan mencari tempat

untuk menulis yang membebaskan

pengungkapan emosinya dan tidak

mengganggu proses menulisnya, seperti

bebas dari cahaya, suara dan bau yang

mengganggu.

5. Setiap minggu dalam dua minggu sesi

terapi akan dilakukan sesi umpan balik

dengan memperhatikan skema proses

mengatasi depresi yang sudah dipaparkan

sebelumnya. Sesi ini digunakan untuk

mengukur kepuasan partisipan dengan sesi

terapi, dan tingkat dimana mereka merasa

bahwa mereka mempelajari kecakapan

sesuai dengan tujuan terapi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Karakteristik subjek penelitian

Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas

Psikologi USM kelas reguler pagi.

Penyebaran skala BDI yang telah dilakukan

pada setiap angkatan menghasilkan 84 skala

yang terisi. Dengan perincian jumlah subjek

seperti yang terlihat pada tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Subjek Penelitian

No. Angkatan Jumlah Prosentase

1. Angkatan 2008 36 42,86 %

2. Angkatan 2007 25 29,76%

3. Angkatan 2006 15 17,86%

4. Angkatan 2005 4 4,76%

5. Angkatan 2004 3 3,57%

6. Angkatan 2002 1 1,19%

Total 84 100%

Melalui hasil screening tersebut, dilakukan

penentuan partisipan berdasarkan total nilai

BDI yang diperoleh oleh subjek di atas

berdasarkan kategori yang diberikan oleh

Beck, menghasilkan jumlah partisipan yang

dapat diambil dalam penelitian ini seperti

yang tercantum pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil BDI Subjek Penelitian

Total

Nilai

Tingkat Depresi Tingkat Depresi Prosentase

1 – 10 Normal 37 44,05%

11 – 16 Gangguan depresi ringan 22 26,19

17 – 20 Depresi sudah mengarah ke klinis 17 20,24

21 – 30 Depresi sedang 7 8,33

31 – 40 Depresi berat 1 1,19

Di atas 40 Depresi ekstrim 0 0

Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 29

Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa

Dari hasil tersebut ditentukan jumlah

partisipan sebanyak 47 orang, yaitu

mahasiswa yang memiliki total nilai 11 ke

atas. Setelah partisipan ditentukan, dilakukan

kesepakatan persetujuan partisipan untuk

mengikuti intervensi dengan jaminan

kerahasiaan. Jumlah partisipan penelitian

yang mengikuti secara lengkap sampai

dengan selesai adalah 23 orang.

Hasil analisa data

Melalui analisis statistik correlated data t-

test/paired-sample t-test diperoleh hasil t

hitung = 6,384 dan taraf signifikansi = 0,000.

Hal ini menunjukkan hipotesis penelitian

diterima, berarti katarsis dalam menulis

ekspresif memiliki pengaruh yang sangat

signifikan terhadap depresi ringan pada

mahasiswa. Hasil analisis tersebut didukung

pula dengan data rata-rata pre-test dan post-

test yang menunjukkan terjadi penurunan

tingkat depresi, yaitu yang semula 16,87

menjadi 7,53.

Ada sebagian partisipan yang tidak

menggunakan media diskusi untuk membahas

secara verbal mengenai pokok tulisan mereka,

yaitu 7 orang dari 23 partisipan. Dengan

demikian, perlu pula dilihat apakah ada

perbedaan antara kelompok partisipan yang

mengikuti diskusi dan yang tidak mengikuti

diskusi. Adapun hasil dari rata-rata selisih

nilai BDI dua kelompok tersebut ternyata

menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda,

yaitu rata-rata kelompok non-diskusi sebesar

9,1429 dan rata-rata kelompok diskusi

9,6875.

Hasil evaluasi eksperimen

Dari evaluasi yang diberikan kepada

partisipan setelah melakukan eksperimen

selama dua minggu menunjukkan

sebagaimana yang ditampilkan pada tabel 4.

Tabel 4. Prosentase Hasil Evaluasi Eksperimen

No. Pernyataan Prosentase terbesar

Tingkat %

1. Seberapa pribadi tulisan Sangat pribadi 43,48%

2. Sebelum eksperimen, sebarapa banyak bercerita pada

orang lain

Hampir tidak

sama sekali

39,13%

3. Seberapa banyak melepaskan emosi Sangat banyak 30,43%

4. Seberapa banyak menahan diri bercerita Agak banyak 21,74%

Banyak 21,74%

5. Sebelum eksperimen, seberapa banyak keinginan

berbicara dengan orang lain

Hampir tidak

sama sekali

21,74%

6. Seberapa sulit menulis sesuatu sebelum eksperimen Sedang 21,74%

7. Seberapa sedih perasaan sebelum eksperimen Sedang 26,09%

Sedih sekali 26,09%

8. Seberapa bahagia perasaan sebelum eksperimen Sedang 26,09%

9. Seberapa jauh memikirkan perasaan tersebut sebelum

eksperimen

Sangat banyak

34,78%

10. Seberapa jauh berpikir tentang topik tulisan selama

eksperimen

Banyak 34,78%

11. Seberapa penting tulisan Sangat penting 47,83%

12. Seberapa jauh kegunaan dan makna eksperimen Sangat

bermakna/berguna

52,17%

13. Seberapa jauh tulisan membantu menyingkap hal yang

menguasai pikiran

Sangat banyak 39,13%

30

Pembahasan

Hasil screening yang dilakukan pada

mahasiswa reguler pagi Fakultas Psikologi

USM ditemukan bahwa dari 84 mahasiswa

yang terjaring sebagai subjek penelitian, 47

(55,95%) diantaranya mengalami depresi. Hal

ini menunjukkan prevalensi yang cukup

mengkhawatirkan, karena lebih dari separuh

dari subjek penelitian mengalami gangguan

terutama dalam mood, yang tentunya akan

mempengaruhi bukan hanya akademik tetapi

juga pribadi mahasiswa yang bersangkutan

secara keseluruhan. Bahkan ada satu orang

mahasiswa yang sudah mengalami depresi

dalam tingkat yang berat. Hasil ini juga

mendukung pernyataan Michael dan kawan-

kawan (2006) yang menyatakan bahwa

perasaan depresi memang merupakan

pengalaman yang cukup umum di kalangan

mahasiswa. Bila tidak dapat diantisipasi sejak

dini akan menimbulkan masalah yang

semakin berat di kemudian hari.

Hasil analisis telah menunjukkan bahwa

terapi menulis ekspresif sebagai media

katarsis memiliki pengaruh meringankan

terhadap depresi ringan. Efek terapeutik

menulis dapat digambarkan oleh banyak dasar

teori. Salah satunya adalah teori inhibisi

psikosomatis, yang menjelaskan bahwa

represi pikiran, perasaan, atau perilaku

seseorang, khususnya pada hal-hal yang

traumatis atau menyusahkan, merupakan

suatu bentuk kerja fisiologis dan psikologis

(Riordan, 1996). Menyebut secara verbal atau

menggambarkan suatu trauma melalui tulisan

memberikan seorang individu melakukan

proses kognitif mengenai peristiwa tersebut

dan memperoleh suatu kontrol, kemudian

mengurangi inhibisi. Tepatnya, menulis

mengurangi perenungan obsesif internal dan

melanjutkan emosi negatif yang dapat

memperburuk kesehatan dan masalah

psikologis.

Graf (2004) menyatakan dalam penelitiannya

bahwa dalam teori inhibisi memberikan

penjelasan bahwa seseorang memperoleh

keuntungan baik fisik dan psikologis setelah

mengungkapkan suatu rahasia. Ekspresi

emosi dapat meningkatkan kemampuan

mengatasi persitiwa kehidupan yang

menekan, termasuk gagasan bahwa ekspresi

emosi meningkatkan insight dan self-

understanding, resolusi kognitif, dan melihat

pengalaman masa lalu dengan cara yang

berbeda. Pengalaman menceritakan kisah

hidup emosional, termasuk lewat tulisan,

memberikan kesempatan kepada individu

untuk mengatur dan membuat masuk akal

pengalaman-pengalaman mereka.

Partisipan penelitian yang telah mengikuti

terapi menulis ekspresif telah menunjukkan

terjadinya pelepasan emosi seperti apa yang

telah diungkapkan oleh Pennebaker dan Beall

(dalam Baikie & Wilhelm, 2005), bahwa

proses katarsis yang diperoleh ketika menulis

ekspresif pengalaman-pengalaman emosional

pada seseorang yang mengalami gangguan

depresi akan dapat memberikan keuntungan

bagi dirinya untuk menurunkan simtom-

simtom yang mengganggu dan meningkatkan

kesejahteraan psikologis maupun fisik.

Partisipan menjadi terbantu dengan membuat

ia mampu untuk mengekspresikan masalah-

masalah dan perasaan-perasaannya pada

orang yang membebaskan dan mengerti

dirinya sehingga kelegaan yang sangat setelah

membeberkan perasaan dan keprihatinan

mereka pada terapis. Adanya penyingkapan

emosi yang dialami pada menulis pengalaman

emosional inilah yang dianggap oleh Riordan

(1996) sebagai faktor yang menghasilkan efek

teraupetik.

Berdasarkan hasil dari perbandingan rata-rata

selisih nilai BDI pada kelompok partisipan

yang mengikuti sesi diskusi dan yang tidak

ternyata menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan antara dua

kelompok tersebut terhadap penurunan

tingkat depresi. Hal ini menunjukkan bahwa

terapi menulis ekspresif sebagai katarsis

memang memiliki pengaruh yang sangat

Qonitatin,Widyawati, dan Asih, Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai 31

Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa

signifikan terhadap penurunan tingkat depresi

ringan pada mahasiswa, walaupun tidak

menggunakan pelepasan emosional secara

verbal lewat sesi diskusi. Hasil ini semakin

menguatkan aplikasi menulis ekspresif

sebagai media terapi dalam penurunan tingkat

depresi ringan.

Hasil evaluasi eksperimen juga menunjukkan

data yang mendukung hasil penelitian bahwa

menulis ekspresif memberikan pengaruh yang

signifikan dalam menurunkan depresi ringan

pada mahasiswa. Hal ini tampak sekali dalam

pernyataan mengenai manfaat atau kegunaan

eksperimen pada partisipan yang memiliki

prosentase terbesar dalam evaluasi tersebut,

yaitu 52,17%. Sedangkan dari hasil evaluasi

eksperimen secara kuantitatif dan kualitatif

dapat disimpulkan bahwa permasalahan

emosional yang selama ini banyak mereka

pikirkan dan mengganggu perasaan dapat

dikeluarkan dalam proses eksperimen,

sehingga perasaan mereka setelah selesai

menulis menjadi lebih baik serta memberikan

pemahaman yang lebih dalam tentang diri

mereka sendiri dan yakin dapat mengambil

keputusan dalam menyelesaikan masalah

yang mereka hadapi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan

bahwa terdapat pengaruh katarsis yang sangat

signifikan dalam menulis ekspresif terhadap

depresi ringan pada mahasiswa. Hal ini

menunjukkan bahwa pada mahasiswa yang

mengalami depresi ringan, melalui terapi

menulis ekspresif pengalaman-pengalaman

emosional sebagai katarsis atau pelepasan

emosi dapat menurunkan tingkat depresi

ringan mereka.

Saran

Untuk penelitian selanjutnya diharapkan

dapat memperhatikan faktor-faktor lain yang

mempengaruhi terjadinya depresi pada

mahasiswa. Penemuan dalam penelitian ini

menunjukkan bahwa peran keluarga dan

teman menjadi faktor yang menentukan

terjadinya gangguan mood pada partisipan

penelitian. Diharapkan dengan penelitian-

penelitian lanjutan, terutama mengkaji faktor-

faktor lain yang berpengaruh terhadap depresi

dapat menambah khasanah wawasan

mengenai depresi pada mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA

Allgower, A., Wardle, J. & Steptoe, A. (2001)

Depressive symtoms, social support,

and personal health behaviors in

young men and women. Health

Psychology. 20. 3. 223 – 227.

Atkinson, R.I. (1991). Pengantar Psikologi

(alih bahasa : Nurjanah). Jakarta:

Penerbit Erlangga.

Baikie, K.A. & Wilhelm, K. (2005).

Emotional and Physical Health

Benefits of Expressive Writing.

Advances in Psychiatric Treatment.

11. 338-346.

Beck, A.T. (1985). Depression: Causes and

Treatment. Philadeplhia: University of

Pennsylvania Press.

Carter, D.C. & Marks, D.F. (2004)

Intervention Studies: Design and

Analysis dalam Marks, D.F., Yardley,

L. 2004. Research Methods for

Clinical and Health Psychology.

London: SAGE Publications.

Corsini, R.J. & Wedding, D. (1989). Current

Psychotherapy. Fourth Edition.

Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc.

Davison, G.C. & Neale, J.M. (2001).

Abnormal Psychology. Eight Edition.

New York: John Wiley & Sons, Inc.

32 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

Geisner, I.M. (2006). Alternative Brief

Interventions for Mild Depression.

Psychiatrictimes. October 01, 2006

Vol. 23 No. 11.

http://www.psychiatrictimes.com

Graf, M.C. (2004). Written Emotional

Disclosure: What are the Benefits of

Expressive Writing in Psychotherapy?.

Thesis. Drexel University.

Greenberg, M.A., Wortman, C.B. & Stone,

A.A. (1996). Emotional expression

and physical health: Revising

traumatic memories or fostering self

regulatin? Journal of Personality and

Social Psychology. Vol 71, 588 – 602.

Halgin, R.P. & Whitbourne, S.K. (1994).

Abormal Psychology. The Human

Experience of Psychological

Disorders. Orlando: Harcourt Brace &

Company.

Michael, K.D., Huelsman, T.J., Gerard, C.,

Gilligan, T. M. & Gustafson, M.R.

(2006). Depression Among College

Students: Trends in Prevalence and

Treatment Seeking. Counseling and

Clinical Psychology Journal. 3. 2. 60-

70.

Paez, D., Velasco, C. & Gonzalez, J.L.

(1999). Expressive writing and the

role of alexythimia as a dispositional

deficit in self-disclosure and

psychological health. Journal of

Personality and Social Psychology.

77.3. 630-641.

Pennebaker, J.W. (1997). Opening Up: The

Healing Power of Expressing

Emotion. New York: Guilford Press.

Riordan, R.J. (1996). Scriptotherapy:

Therapeutic writing as a counseling

adjunct. Journal of Counseling and

Development. 74. 3. 263 – 269.

Santoso, S. (2000). Buku Latihan SPSS

Statistik Parametrik. Jakarta: Penerbit

PT. Elex Media Komputindo.

Seniati, L., Yulianto, A. & Setiadi, B.N.

(2005). Psikologi Eksperimen. Jakarta:

PT. Indeks.

REVIEW JURNAL

Nama Jurnal:

Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

1. Judul Penelitian :

PENGARUH KATARSIS DALAM MENULIS EKSPRESIF SEBAGAI

INTERVENSI DEPRESI RINGAN PADA MAHASISWA

2. Nama Peneliti :

Novi Qonitatin, Sri Widyawati, Gusti Yuli Asih

3. Abstrak :

Depresi ringan banyak dialami oleh orang dewasa muda, terutama dalam

hal ini adalah mahasiswa dimana mereka memiliki tuntutan peran dan tugas

yang tidak mudah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh katarsis

dalam menulis ekspresif sebagai intervensi depresi ringan pada mahasiswa.

Sebagai partisipan penelitian adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas

Semarang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah BDI (Beck

Depression Inventory) untuk melihat tingkat depresi pada partisipan penelitian.

Efektivitas atau pengaruh dari intervensi menulis ekspresif sebagai variabel

bebas terhadap depresi sebagai variabel terikat dilihat dari perbedaan antara

pretest (O1) dengan postest (O2). Analisis statistik yang digunakan adalah

correlated data t-test / paired-sample t-test. Hasil penelitian menunjukkan 84

mahasiswa yang terjaring sebagai subjek penelitian, 47 orang (55,95%)

diantaranya mengalami depresi, dimana sebagian besar berada pada taraf

depresi ringan. Hasil analisis statistik memperoleh hasil t hitung = 6,384 dan

taraf signifikansi = 0,000. Berdasarkan hasil analisis data tersebut menunjukkan

hipotesis penelitian diterima, berarti katarsis dalam menulis ekspresif memiliki

pengaruh yang sangat signifikan terhadap depresi ringan pada mahasiswa.

4. Pendahuluan/latar belakang masalah :

Depresi telah lama dikenali sebagai suatu perhatian utama bagi pemberi

layanan kesehatan (Geisner, 2006). Seperti yang dikemukakan Atkinson

(1991), depresi merupakan respon normal terhadap berbagai stres kehidupan.

Depresi dianggap abnormal bila di luar kewajaran dan berlanjut terus sampai

saat-saat dimana kebanyakan orang sudah dapat pulih kembali. Dalam kondisi

dan lingkungan yang semakin penuh dengan peristiwa yang memberikan stres,

mudah sekali orang untuk mengalami gangguan depresi.

Depresi dan berkurangnya kesejahteraan psikologis merupakan

permasalahan kesehatan yang utama pada orang muda (Allgower dkk, 2001).

Ditambahkan oleh Michael dkk (2006), menyatakan bahwa perasaan depresi

merupakan pengalaman yang cukup umum di kalangan mahasiswa. Mereka

menemukan bahwa terdapat proporsi yang substansif yang dilaporkan memiliki

simpomsimptom depresi yang signifikan. Mengutip hasil penelitian Beck dan

Young, dikatakan tiga perempat dari seluruh mahasiswa merasa depresi selama

beberapa waktu pada masa sekolah. Hal ini dapat terjadi mengingat banyaknya

masalah yang menghadang keberhasilan mahasiswa dalam menyelesaikan

studinya dan terbukanya peluang bagi mahasiswa untuk mengalami simtom-

simtom depresi karena berbagai masalah yang mungkin timbul. Seperti adaptasi

terhadap situasi dan kondisi kampus, tugas yang menumpuk, tuntutan akan nilai

yang bagus, dan lain sebagainya. Bahkan menurut Reifman dan Dunkel-

Schetter (dalam Allgower dkk, 2001), simtom depresi dan kecemasan menjadi

perhatian khusus pada mahasiswa dan dihubungkan dengan performansi

akademik yang rendah dan partisipasi rendah dalam aktivitas kampus.

Mengutip pandangan Beck bahwa depresi merupakan suatu kontinum,

Geisner (2006) menyatakan bahwa tritmen diperlukan dalam semua tingkatan.

Khususnya, simtom ringan depresi kurang ditanggapi untuk ditangani,

kemudian akan menjadi resiko bagi perkembangan episode depresi mayor dan

mengalami konsekuensi lain akibat dari suasana hati yang depresif. Individu

dengan riwayat depresi yang rendah atau yang memiliki depresi ringan dapat

dibantu dengan suatu pendekatan peningkatan motivasi. Sebagai alternatif,

dengan biaya rendah, terapi menulis merupakan suatu cara dalam menurunkan

depresi, terutama pada mahasiswa (Geisner, 2006). Aktivitas menulis membuat

seseorang berpikir tentang peristiwa yang ia alami dan proses emosional serta

elemen objektif pada peristiwa tersebut, yang akan meredakan renungan

peristiwa tersebut.

Bukti empiris telah mendukung gagasan bahwa ekspresi emosional

meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengatasi peristiwa-peristiwa

kehidupan yang menekan. Pada masa yang lalu, penelitian ekspresi emosional

difokuskan pada ekspresi verbal pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan,

sebagaimana yang ditemukan pada kebanyakan teori-teori psikoterapi

tradisional. Bagaimanapun, saat ini, penelitian yang menyelidiki ekspresi

tertulis pada pengalaman hidup yang traumatis telah memperlihatkan

memberikan keuntungan kesehatan baik secara psikologis maupun fisik (Graf,

2004).

Pennebaker (1997) menyatakan bahwa menulis pengalaman emosional atau

menulis peristiwa yang penuh tekanan (stressful events) telah menjadi kajian

yang menarik pada beberapa tahun belakangan ini. Beberapa penelitian

laboratorium telah mempelajari kegunaan menulis atau berbicara mengenai

pengalaman emosional. Menghadapi atau berkonfrontasi dengan isu-isu pribadi

secara mendalam telah mendapat penemuan akan menghasilkan kesehatan fisik,

kesejahteraan subjektif dan tingkah laku adaptif tertentu.

Paez dkk (1999) mencatat bahwa menghadapi atau berkonfrontasi dengan

peristiwa-peristiwa penuh tekanan dan traumatis yang dilakukan dalam

prosedur menulis dilaporkan menghasilkan tingkat yang lebih tinggi dalam

kesehatan fisik (misalnya, lebih sedikit mengunjungi fasilitas kesehatan), fungsi

fisiologis yang lebih tinggi (misal, reaksi kekebalan tubuh yang lebih baik) dan

kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi (misal, afek negatif yang lebih

rendah dan afek positif yang lebih tinggi). Kesimpulan tersebut juga dapat

dilihat pada Pennebaker (1997) yang juga menyebutkan bahwa akibat menulis

mengenai topik tertentu, ternyata berhubungan dengan perbaikan peringkat

mahasiswa pada bulan setelah penelitian dilakukan dan mendapatkan pekerjaan

baru yang lebih cepat pada tingkat senior.

Secara jelas Pennebaker dan Beall (dalam Baikie & Wilhelm, 2005)

menyatakan bahwa menulis tentang pengalaman traumatis berhubungan dengan

peningkatan efek psikologis yang positif dan dalam jangka panjang

menurunkan masalah-masalah kesehatan. Karena itu, proses katarsis yang

diperoleh ketika menulis ekspresif pengalaman-pengalaman emosional pada

seseorang yang mengalami gangguan depresi akan dapat memberikan

keuntungan bagi dirinya untuk menurunkan simtom-simtom yang mengganggu

dan meningkatkan kesejahteraan psikologis maupun fisik. Keuntungan ini

terutama dapat diperoleh bagi mereka yang memiliki gangguan depresi dalam

tingkat yang ringan.

5. Teori/definisi dari variable yang terlibat :

Depresi

Depresi merupakan respon normal terhadap berbagai stress

kehidupan. Depresi dianggap abnormal bila di luar kewajaran dan berlanjut

terus sampai saat-saat dimana kebanyakan orang sudah dapat pulih kembali

(Atkinson, 1991). Ciri-cirinya antara lain tidak ada harapan, patah hati,

mengalami ketidakberdayaan berlebihan, selalu memikirkan kekurangan

diri dan rasa tidak berarti.

Menurut Beck (1985), depresi merupakan suatu “primary mood

disorder” atau sebagai suatu “affective disorder”. Kemudian Beck

memandang depresi dalam komponen-komponen sebagai berikut:

a. Depresi merupakan kesedihan yang berkepanjangan dan keadaan jiwa

yang apatis (komponen afektif)

b. Depresi merupakan cara berpikir yang salah dalam memandang realitas

di luar dan di dalam diri sendiri, sehingga terbentuk konsep diri yang

negatif yang berlanjut pada perasaan rendah diri (komponen kognitif)

c. Depresi merupakan gangguan terhadap fungsi fisiologis yang antara lain

menyebabkan sukar tidur dan hilangnya nafsu makan serta seksual

(komponen fisiologis)

d. Depresi merupakan hilangnya kemampuan untuk berfungsinya secara

wajar serta hilangnya dorongan dan energi untuk bertindak (komponen

perilaku)

Simtom depresi

Beck (1985) mengungkapkan bahwa simptom depresi tidak hanya

berupa gangguan afek saja, tetapi dapat muncul dalam bentuk sebagai

berikut:

a. Perubahan suasana hati yang spesifik, seperti kesedihan, merasa sendiri

dan apatis.

b. Konsep diri yang negatif diikuti dengan menyalahkan diri dan mencela

diri sendiri.

c. Keinginan regresif dan menghukum diri sendiri, keinginan untuk

menghindar, bersembunyi dan keinginan untuk mati.

d. Perubahan-perubahan vegetatif seperti anoreksi, insomnia dan

kehilangan nafsu makan.

e. Perubahan dalam tingkat aktivitas seperti retardasi dan agitasi.

Beck (1985) memandang gangguan depresi sebagai kontinuitas, jadi

lebih dipandang secara kuantitatif (ada perbedaan tingkat dan derajat

simtomnya) daripada kualitatif (ada tidaknya simtom). Perbedaan antara

orang yang menderita depresi dengan yang tidak hanya pada rentang dan

derajat ada tidaknya simtom yang muncul.

Penyebab depresi

Menurut sudut pandang psikoanalisa (Davison & Neale, 2001),

timbulnya gangguan depresi ditekankan pada konflik yang tidak disadari

dihubungkan dengan kesedihan dan kehilangan. Freud (Davison & Neale,

2001) menyatakan bahwa potensi depresi dihasilkan sejak awal masa

kanakkanak. Selama periode oral, kebutuhan seorang anak kurang

terpuaskan atau terpuaskan secara berlebihan, menyebabkan individu

menjadi fiksasi pada tahap ini dan tergantung pada pemenuhan khusus

secara instingtif. Fiksasi pada tahap oral akan mengembangkan suatu

kecenderungan untuk tergantung pada orang lain dalam mempertahankan

self-esteem.

Dalam kasus depresi, menurut Freud, penjelasan yang kompleks

didasarkan pada analisis kehilangan. Ide Freud adalah kepribadian oral akan

menjadi depresi ketika diikuti kehilangan sesuatu atau seseorang yang

dicintai. Hampir mirip dengan ide tersebut adalah depresi ditimbulkan oleh

peristiwa kehidupan yang menekan, dan hal ini seringkali terkait dengan

perasaan kehilangan.

Katarsis dalam Menulis Ekspresif

Katarsis menurut sudut pandang psikoanalisa merupakan ekspresi

dan pelepasan emosi yang ditekan. Kadangkala disinonimkan dengan

abreaksi yang didefinisikan sebagai mengalami kembali pengalaman

emosional yang menyakitkan dalam psikoterapi, biasanya melibatkan

kesadaran pada materi yang sebelumnya ditekan (Corsini & Wedding,

1989).

Dalam Studies in Hysteria (1895, 1982), yang ditulis Sigmund Freud

dengan rekannya Josef Breuer, Freud menganalisa kasus terkenal “Anna O.”

dan wanita-wanita lain yang menderita histeria (Halgin & Whitbourne,

1994). Freud dan Breuer menggambarkan bagaimana Anna O.,

disembuhkan dari simtom-simtom histeria yang banyak dan bervariasi

dengan menggunakan hipnosis. Sebagai tambahan, bagaimanapun, Anna O.

menurut Breuer, dibiarkan untuk ikut serta dalam “membersihkan cerobong

asap” yang juga disebut dengan “talking cure”. Ketika dia berbicara tentang

masalah-masalahnya, ia merasa lebih baik, dan simtom-simtomnya pun

menghilang. Freud dan Breuer menyebutnya dengan “cathartic method”,

suatu pembersihan konflik emosional di dalam diri melalui berbicara

tentangnya. Metode katarsis ini pelopor psikoterapi, tritmen perilaku

abnormal melalui teknik psikologis. Penemuan ini akhirnya membawa

Freud untuk mengembangkan psikoanalisis, suatu teori dan sistem praktis

yang bersandar pada konsep unconsciuous mind, hambatan impuls-impuls

seksual, perkembangan awal, dan penggunaan teknik “free asociation” dan

analisa mimpi. Tujuan utama tritmen psikoanalisa tradisional yang

dikembangkan oleh Freud adalah untuk membawa materi bawah sadar yang

ditekan menuju kepada kesadaran.

Teori katarsis juga dikemukakan oleh Scheff (Greenberg, dkk, 1996)

yang memberikan pandangan alternatif pada proses-proses yang dapat

memberikan keuntungan pada kesehatan melalui penyingkapan emosional.

Menurut Scheff, penyingkapan secara verbal tidak terlalu penting dan tidak

cukup untuk terapi, sedangkan pelepasan emosional merupakan hal yang

penting dan mencukupi dalam terapi. Scheff mengusulkan bahwa

penyembuhan dengan pelepasan emosional meliputi “jarak optimum” dari

penekanan emosi yang kemudian diekspresikan. Pada suatu keadaan jarak

optimum, partisipan dapat secara jelas mengalami emosi namun dalam

suatu konteks “saat sekarang yang aman”. Mereka dapat mengakhiri

episode emosional sebelum menjadi berlebihan. Oleh karena itu

penyembuhan katarsis tidaklah sesederhana pembenaman ke dalam tekanan

emosional, akan tetapi meliputi persepsi untuk dapat mengontrol dan

menguasai perasaan-perasaan menekan saat ini.

Beck (1985) mengemukakan bahwa hal yang bermanfaat untuk

memberikan pasien depresi pada suatu diskusi situasi tentang kehidupan dan

relasi yang mengganggu baginya. Ada kalanya, pasien terbantu dengan

membuat ia mampu untuk mengekspresikan masalah-masalah dan

perasaan-perasaannya pada orang yang membebaskan dan mengerti dirinya.

Beberapa pasien terhambat dalam mendiskusikan kesulitan mereka dengan

keluarga atau teman dekat, karena ketakutan bahwa akan dicela karena

keluhan-keluhan yang disampaikan atau karena mereka mengantisipasi rasa

malu pada pengakuan bahwa mereka memiliki masalah emosional. Mereka

cenderung untuk menyamakan masalah emosional dengan kelemahan dan

karakter yang cacat.

Beberapa pasien depresi mengalami kelegaan yang sangat setelah

membeberkan perasaan dan keprihatinan mereka pada terapis. Pelepasan

emosi dihasilkan dengan menangis kadangkala menghasilkan suatu

peringanan simtom-simtom penting. Pasien depresi parah, bagaimanapun,

dapat bereaksi merugikan pada pembeberan emosi. Setelah suatu diskusi

pada permasalahan mereka, mereka dapat tidak hanya merasa lebih meluap-

luap emosinya dan tidak berdaya, tetapi mungkin, sebagai tambahan,

merasa malu atas penyingkapan diri mereka sendiri (Beck, 1985).

Pada saat ini, terapi psikoanalisa telah berkembang dalam berbagai

bentuk terapi dimana aspek utama tritmen berisi selfexpression, pelepasan

emosi, mengatasi hambatan, dan mengeluarkan pikiran dalam kata-kata dan

tingkah laku fantasi atau impuls-impuls sebelumnya disembunyikan.

Kebanyakan bentuk tritmen menampilkan prinsip katarsis emosional yang

Freud kembangkan pada studi awalnya mengenai histeria. Pada masa itu,

Freud berpikir bahwa pelepasan emosi yang tertahan dapat menjadi suatu

efek terapeutik yang menguntungkan (Corsini & Wedding, 1989).

Ekspresif emosional merupakan ekspresi natural dari emosi yang

sebenarnya (Berry & Pennebaker dalam Graf, 2004). Sedangkan

penyingkapan emosi merupakan proses yang melibatkan perasaan alamiah

atau emosi yang sebenarnya dan mengubahnya menjadi bahasa oral atau

tertulis (Smyth & Pennebaker, dalam Graf, 2004). Smyth dan Pennebaker

mengatakan proses ini dipercaya untuk mengintegrasi proses kognitif dan

emosional, penyingkapan emosional memberikan kesempatan untuk

meningkatkan insight, selfreflection, dan organisasi perspektif seseorang

terhadap masalah daripada hanya sekedar mengeluarkan emosi.

Penelitian-penelitian saat ini mengusulkan bahwa keuntungan

ekspresi emosi tidak dibatasi pada ekspresi emosi yang vokal, kesehatan

fisik dan psikologis dapat diperoleh melalui penulisan ekspresif tentang

pengalaman hidup yang signifikan (Graf, 2004). Penelitian yang dilakukan

Graf (2004) menunjukkan hasil bahwa klien pada kelompok written

emotional disclosure memperlihatkan penurunan yang signifikan pada

simtom-simtom kecemasan dan depresi; sebaik peningkatan fungsi

kehidupan dan kepuasan yang lebih baik dengan tritmen ketika

dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Menulis merupakan suatu bentuk ekspresi katarsis dan self-help

yang telah dipraktekkan selama bertahun-tahun (Riordan, 1996). Menurut

Riordan, Benjamin Rush yang seorang dokter memberikan instruksi kepada

pasiennya untuk menulis simtom yang mereka alami dan menemukan

bahwa proses menulis dapat menurunkan tegangan pada pasiennya dan

memberikan informasi yang lebih banyak tentang masalah mereka.

Adanya penyingkapan emosi yang dialami pada menulis

pengalaman emosional dianggap sebagai faktor yang menghasilkan efek

teraupetik. Sebaliknya, menulis hal-hal yang tidak sampai melibatkan unsur

emosi di dalamnya, seperti membuat deskripsi mengenai kegiatan sehari-

hari atau deskripsi suatu tempat misalnya, tidak menghasilkan efek yang

sama. Mekanisme proses terapeutik menulis pengalaman emosional

sebenarnya sama dengan mekanisme terapi-terapi yang lain.

Mekanisme proses terapeutiknya berpusat pada penyingkapan

(disclosure) pengalamanpengalaman emosional. Pengakuan dan

penyingkapan diri merupakan proses dasar yang muncul dalam psikoterapi,

dan secara alamiah muncul dalam interaksi sosial yang dianggap membawa

manfaat secara psikologis dan bahkan mungkin secara fisik

(Pennebaker,1997). Lebih lanjut Pennebaker (1997) menyatakan bahwa

hampir dapat dipastikan psikoterapi membutuhkan dalam derajat tertentu

penyingkapan diri. Apakah terapi tersebut adalah bersifat direktif atu

evokatif, orientasi insight atau behavioral, pasien dan terapis harus bekerja

bersama untuk mendapatkan suatu cerita yang koheren yang menjelaskan

masalah dan secara langsung maupun tidak untuk menghasilkan suatu

penyembuhan. Penyingkapan masalah pribadi mungkin memiliki nilai

terupetik yang menakjubkan dalam dan pada dirinya sendiri.

6. Hipotesis :

Katarsis dalam menulis ekspresif memiliki pengaruh yang sangat signifikan

terhadap depresi ringan pada mahasiswa.

7. Sampel/subjek penelitian :

Subjek penelitian adalah 84 mahasiswa Fakultas Psikologi USM kelas

reguler pagi. Dari 84 skala yang terisi, diperoleh 47 mahasiswa yang dapat

menjadi partisipan penelitian. Partisipan yang memenuhi undangan pra-

intervensi sejumah 31 orang dan hanya 23 partisipan yang dapat mengikuti

pelaksanaan ekpresimen secara lengkap sampai dengan selesai.

8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen :

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kuantitatif, dimana data yang diperoleh dalam penelitian kuantitatif

berupa angka, yang akan dianalisa secara statistik (Seniati dkk, 2005). Jenis

penelitian yang diambil adalah penelitian eksperimental yang akan meneliti

hubungan sebab-akibat dan bukan hanya melihat hubungan antar variabel.

Menurut Solso dan MacLin (dalam Seniati dkk, 2005), penelitian eksperimental

merupakan penyelidikan di mana minimal salah satu variabel dimanipulasi

untuk mempelajari hubungan sebab-akibat.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Depresi Ringan

sebagai variabel tergantung, dan Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai

variabel bebas. Depresi Ringan merupakan gangguan afektif atau suasana hati

yang meliputi komponen afektif, kognitif, fisiologis, dan perilaku, yang berada

pada tingkat ringan. Katarsis dalam Menulis Ekspresif adalah proses

penyingkapan emosi yang alamiah dan sebenarnya dengan mengubahnya

menjadi bahasa tertulis melalui pelepasan dan mengalami kembali pengalaman

emosional yang menyakitkan yang selama ini ditekan.

Desain penelitian yang digunakan adalah Pretest-Posttest One Group

Design. Pada desain ini, di awal penelitian, dilakukan pengukuran terhadap

variabel terikat yang telah dimiliki subyek. Setelah diberikan manipulasi,

dilakukan pengukuran kembali terhadap variabel terikat tersebut dengan alat

ukur yang sama (Seniati dkk, 2005). Hal ini dapat digambarkan dalam bagan 1.

Pengukuran (O1) ➔ Manipulasi (X) ➔ Pengukuran (O2)

Bagan 1. Desain Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan mengukur depresi pada awal

penelitian kemudian diukur lagi dengan alat ukur yang sama setelah subjek

penelitian memperoleh intervensi berupa menulis ekspresif yang menggunakan

prinsip katarsis. Efektivitas atau pengaruh dari intervensi tersebut sebagai

variabel bebas terhadap depresi sebagai variabel terikat dilihat dari perbedaan

antara pretest (O1) dengan postest (O2). Untuk lebih meyakinkan dalam

kesimpulan, dapat digunakan analisis statistik dengan correlated data t-test /

paired-sample t-test (Seniati dkk, 2005). Bila ada perbedaan antara skor pretest

dan skor posttest dimana skor posttest lebih tinggi secara signifikan, maka dapat

disimpulkan bahwa intervensi berupa katarsis dalam menulis ekspresif dapat

menurunkan simtom depresi ringan.

Desain seperti ini juga dikenal sebagai Within Participants/Cross-Over

Design (Carter & Marks dalam Marks & Yardley, 2004) dimana beberapa orang

yang sama diukur lebih dari satu kali dan dicatat perbedaan antara pengukuran

pada waktu-waktu yang berbeda, yaitu pengukuran sebelum intervensi (Pre-

tritmen) dan pengukuran setelah intervensi (Post-tritmen). Hanya saja

kelemahan dalam desain adalah tidak memperhatikan efek perbedaan

individual.

Partisipan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa

Fakultas Psikologi Universitas Semarang yang mengalami depresi ringan.

Karena itu, partisipan sebelumnya akan di-screening terlebih dahulu untuk

melihat tingkat depresinya.

9. Metode Pengambilan Data :

Metode pengumpulan data depresi menggunakan skala pengukuran depresi

yaitu Beck Depression Inventory (BDI). Masing-masing kategori

menggambarkan manifestasi depresi dan terdiri dari 4 pertanyaan yang disusun

berjenjang, merefleksikan beratnya simton dari netral sampai terberat dengan

nilai 0-3. Semakin tinggi skor yang diperoleh oleh subyek penelitian

menunjukkan semakin tinggi depresi, begitu sebaliknya. Dalam memilih setiap

pernyataan, partisipan boleh memilih lebih dari satu dan skor yang diperoleh

subjek adalah skor tertinggi yang dipilih oleh subjek tersebut. Nilai total yang

diperoleh subjek bergerak dari 0-63. Kategorisasi dari nilai BDI terlihat dalam

tabel 1.

Tabel 1. Kategorisasi Total Nilai BDI

Total Nilai Tingkat Depresi

1-10 Normal

11-16 Gangguan depresi ringan

17-20 Depresi sudah mengarah ke klinis

21-30 Depresi sedang

31-40 Depresi berat

Di atas 40 Depresi ekstrim

10. Pelaksanaan Penelitian :

Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam beberapa ketentuan sebagai

berikut:

1) Diawali dengan menentukan partisipan, yaitu mahasiswa yang mengalami

depresi ringan. Terkait dengan hal tersebut maka sebelumnya dilakukan

screening untuk menentukan partisipan. Subjek penelitian adalah

mahasiswa Fakultas Psikologi USM kelas reguler pagi. Setelah partisipan

ditentukan, dilakukan kesepakatan persetujuan partisipan untuk mengikuti

intervensi dengan jaminan kerahasiaan. Dari 84 skala yang terisi, diperoleh

47 mahasiswa yang dapat menjadi partisipan penelitian. Partisipan yang

memenuhi undangan pra-intervensi sejumah 31 orang dan hanya 23

partisipan yang dapat mengikuti pelaksanaan ekpresimen secara lengkap

sampai dengan selesai.

2) Intervensi dilakukan selama dua minggu. Sebelum intervensi dilakukan

pengukuran depresi sebagai baseline, dan kemudian dilakukan pengukuran

yang kedua yang dilakukan setelah intervensi dilakukan. Kedua data ini

yang kemudian akan dianalisa untuk memberikan kesimpulan pada hipotetis

yang telah diajukan.

3) Partisipan akan diberikan instruksi tertulis di dalam amplop dimana di

dalam instruksi juga dijelaskan mengenai jumlah waktu partisipan membuat

tulisan ekspresif (20 menit). Berikut instruksi yang diberikan:

“Selama setiap minggu sesi terapi, kami meminta Anda untuk

menuliskan tentang pengalaman-pengalaman sepanjang kehidupan Anda

yang paling menyusahkan dan menjengkelkan selama 20 menit. Anda dapat

menulis topik yang berbeda ataupun sama pada setiap minggu untuk dua

minggu. Usahakan menuliskan satu topik dalam satu tulisan. Tulisan

tersebut dapat berupa pengalaman dari masa kecil atau sesuatu yang terjadi

baru-baru ini yang mengganggu perasaan Anda. Hal yang penting adalah

Anda menuliskan tentang piliran-pikiran dan perasaan-perasaan terdalam

tentang masalah emosional Anda. Anda dapat atau tidak ingin

mendiskusikan tulisan Anda atau tema tulisan Anda dengan terapis Anda.

Ini adalah pilihan Anda. Tulisan Anda akan dijaga kerahasiaannya secara

utuh. Jangan khawatir tentang tata bahasa dan tata tulis.”

4) Partisipan dianjurkan mencari tempat untuk menulis yang membebaskan

pengungkapan emosinya dan tidak mengganggu proses menulisnya, seperti

bebas dari cahaya, suara dan bau yang mengganggu.

5) Setiap minggu dalam dua minggu sesi terapi akan dilakukan sesi umpan

balik dengan memperhatikan skema proses mengatasi depresi yang sudah

dipaparkan sebelumnya. Sesi ini digunakan untuk mengukur kepuasan

partisipan dengan sesi terapi, dan tingkat dimana mereka merasa bahwa

mereka mempelajari kecakapan sesuai dengan tujuan terapi.

11. Metode Analisis Data :

Analisa data dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS

(Statistical Product and Service Solutions), analisis statistik correlated data t-

test / paired-sample t-test. Uji t pada satu populasi akan menguji apakah rata-

rata populasi sama dengan suatu harga tertentu, dan uji t paired (uji t

berpasangan) justru mengharuskan dua sampel berhubungan (Santoso, 2000).

Karena itu dalam penelitian ini akan digunakan uji t paired untuk melihat

apakah intervensi dapat efektif, yaitu digunakan data sebelum dan sesudah

intervensi.

Ciri utama dari uji t adalah jumlah sampel relatif kecil, di bawah 30.

Sedangkan asumsinya adalah t hitung bisa ditentukan dengan dua

kemungkinan, yaitu varians kedua populasi yang diuji sama maupun berbeda.

Selain itu, sampel yang diambil berdistribusi normal atau mendekati normal

atau bisa dianggap normal.

12. Hasil Penelitian :

Karakteristik subjek penelitian

Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Psikologi USM kelas

reguler pagi. Penyebaran skala BDI yang telah dilakukan pada setiap

angkatan menghasilkan 84 skala yang terisi. Dengan perincian jumlah

subjek seperti yang terlihat pada tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Subjek Penelitian

No. Angkatan Jumlah Prosentase

1. Angkatan 2008 36 42,86%

2. Angkatan 2007 25 29,76%

3. Angkatan 2006 15 17,86%

4. Angkatan 2005 4 4,76%

5. Angkatan 2004 3 3,57%

6. Angkatan 2002 1 1,19%

TOTAL 84 100%

Melalui hasil screening tersebut, dilakukan penentuan partisipan

berdasarkan total nilai BDI yang diperoleh oleh subjek di atas berdasarkan

kategori yang diberikan oleh Beck, menghasilkan jumlah partisipan yang

dapat diambil dalam penelitian ini seperti yang tercantum pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil BDI Subjek Penelitian

Total

Nilai Tingkat Depresi Tingkat Depresi Prosentase

1-10 Normal 37 44,05%

11-16 Gangguan depresi ringan 22 26,19%

17-20 Depresi sudah mengarah ke klinis 17 20,24%

21-30 Depresi sedang 7 8,33%

31-40 Depresi berat 1 1,19%

Di atas 40 Depresi ekstrim 0 0%

Dari hasil tersebut ditentukan jumlah partisipan sebanyak 47 orang,

yaitu mahasiswa yang memiliki total nilai 11 ke atas. Setelah partisipan

ditentukan, dilakukan kesepakatan persetujuan partisipan untuk mengikuti

intervensi dengan jaminan kerahasiaan. Jumlah partisipan penelitian yang

mengikuti secara lengkap sampai dengan selesai adalah 23 orang.

Hasil analisa data

Melalui analisis statistik correlated data ttest/paired-sample t-test

diperoleh hasil t hitung = 6,384 dan taraf signifikansi = 0,000. Hal ini

menunjukkan hipotesis penelitian diterima, berarti katarsis dalam menulis

ekspresif memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap depresi ringan

pada mahasiswa. Hasil analisis tersebut didukung pula dengan data rata-rata

pre-test dan posttest yang menunjukkan terjadi penurunan tingkat depresi,

yaitu yang semula 16,87 menjadi 7,53.

Ada sebagian partisipan yang tidak menggunakan media diskusi

untuk membahas secara verbal mengenai pokok tulisan mereka, yaitu 7

orang dari 23 partisipan. Dengan demikian, perlu pula dilihat apakah ada

perbedaan antara kelompok partisipan yang mengikuti diskusi dan yang

tidak mengikuti diskusi. Adapun hasil dari rata-rata selisih nilai BDI dua

kelompok tersebut ternyata menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda,

yaitu rata-rata kelompok non-diskusi sebesar 9,1429 dan rata-rata kelompok

diskusi 9,6875.

Hasil evaluasi eksperimen

Dari evaluasi yang diberikan kepada partisipan setelah melakukan

eksperimen selama dua minggu menunjukkan sebagaimana yang

ditampilkan pada tabel 4.

Tabel 4. Prosentase Hasil Evaluasi Eksperimen

No. Pernyataan Prosentase terbesar

Tingkat %

1. Seberapa pribadi tulisan Sangat pribadi 43,48%

2. Sebelum eksperimen, sebarapa banyak

bercerita pada orang lain

Hampir tidak

sama sekali 39,13%

3. Seberapa banyak melepaskan emosi Sangat banyak 30,43%

4. Seberapa banyak menahan diri bercerita Agak banyak 21,74%

Banyak 21,74%

5. Sebelum eksperimen, seberapa banyak

keinginan berbicara dengan orang lain

Hampir tidak

sama sekali 21,74%

6. Seberapa sulit menulis sesuatu sebelum

eksperimen Sedang 21,74%

7. Seberapa sedih perasaan sebelum

eksperimen

Sedang 26,09%

Sedih sekali 26,09%

8. Seberapa bahagia perasaan sebelum

eksperimen Sedang 26,09%

9. Seberapa jauh memikirkan perasaan

tersebut sebelum eksperimen Sangat banyak 34,78%

10. Seberapa jauh berpikir tentang topik

tulisan selama eksperimen Banyak 34,78%

11. Seberapa penting tulisan Sangat penting 47,83%

12. Seberapa jauh kegunaan dan makna

eksperimen

Sangat

bermakna/berguna 52,17%

13. Seberapa jauh tulisan membantu

menyingkap hal yang menguasai pikiran Sangat banyak 39,13%

Pembahasan

Hasil screening yang dilakukan pada mahasiswa reguler pagi

Fakultas Psikologi USM ditemukan bahwa dari 84 mahasiswa yang

terjaring sebagai subjek penelitian, 47 (55,95%) diantaranya mengalami

depresi. Hal ini menunjukkan prevalensi yang cukup mengkhawatirkan,

karena lebih dari separuh dari subjek penelitian mengalami gangguan

terutama dalam mood, yang tentunya akan mempengaruhi bukan hanya

akademik tetapi juga pribadi mahasiswa yang bersangkutan secara

keseluruhan. Bahkan ada satu orang mahasiswa yang sudah mengalami

depresi dalam tingkat yang berat. Hasil ini juga mendukung pernyataan

Michael dan kawankawan (2006) yang menyatakan bahwa perasaan depresi

memang merupakan pengalaman yang cukup umum di kalangan

mahasiswa. Bila tidak dapat diantisipasi sejak dini akan menimbulkan

masalah yang semakin berat di kemudian hari.

Hasil analisis telah menunjukkan bahwa terapi menulis ekspresif

sebagai media katarsis memiliki pengaruh meringankan terhadap depresi

ringan. Efek terapeutik menulis dapat digambarkan oleh banyak dasar teori.

Salah satunya adalah teori inhibisi psikosomatis, yang menjelaskan bahwa

represi pikiran, perasaan, atau perilaku seseorang, khususnya pada hal-hal

yang traumatis atau menyusahkan, merupakan suatu bentuk kerja fisiologis

dan psikologis (Riordan, 1996). Menyebut secara verbal atau

menggambarkan suatu trauma melalui tulisan memberikan seorang individu

melakukan proses kognitif mengenai peristiwa tersebut dan memperoleh

suatu kontrol, kemudian mengurangi inhibisi. Tepatnya, menulis

mengurangi perenungan obsesif internal dan melanjutkan emosi negatif

yang dapat memperburuk kesehatan dan masalah psikologis.

Graf (2004) menyatakan dalam penelitiannya bahwa dalam teori

inhibisi memberikan penjelasan bahwa seseorang memperoleh keuntungan

baik fisik dan psikologis setelah mengungkapkan suatu rahasia. Ekspresi

emosi dapat meningkatkan kemampuan mengatasi persitiwa kehidupan

yang menekan, termasuk gagasan bahwa ekspresi emosi meningkatkan

insight dan self-understanding, resolusi kognitif, dan melihat pengalaman

masa lalu dengan cara yang berbeda. Pengalaman menceritakan kisah hidup

emosional, termasuk lewat tulisan, memberikan kesempatan kepada

individu untuk mengatur dan membuat masuk akal pengalaman-

pengalaman mereka.

Partisipan penelitian yang telah mengikuti terapi menulis ekspresif

telah menunjukkan terjadinya pelepasan emosi seperti apa yang telah

diungkapkan oleh Pennebaker dan Beall (dalam Baikie & Wilhelm, 2005),

bahwa proses katarsis yang diperoleh ketika menulis ekspresif pengalaman-

pengalaman emosional pada seseorang yang mengalami gangguan depresi

akan dapat memberikan keuntungan bagi dirinya untuk menurunkan

simtomsimtom yang mengganggu dan meningkatkan kesejahteraan

psikologis maupun fisik. Partisipan menjadi terbantu dengan membuat ia

mampu untuk mengekspresikan masalahmasalah dan perasaan-perasaannya

pada orang yang membebaskan dan mengerti dirinya sehingga kelegaan

yang sangat setelah membeberkan perasaan dan keprihatinan mereka pada

terapis. Adanya penyingkapan emosi yang dialami pada menulis

pengalaman emosional inilah yang dianggap oleh Riordan (1996) sebagai

faktor yang menghasilkan efek teraupetik.

Berdasarkan hasil dari perbandingan rata-rata selisih nilai BDI pada

kelompok partisipan yang mengikuti sesi diskusi dan yang tidak ternyata

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara dua

kelompok tersebut terhadap penurunan tingkat depresi. Hal ini

menunjukkan bahwa terapi menulis ekspresif sebagai katarsis memang

memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap penurunan tingkat

depresi ringan pada mahasiswa, walaupun tidak menggunakan pelepasan

emosional secara verbal lewat sesi diskusi. Hasil ini semakin menguatkan

aplikasi menulis ekspresif sebagai media terapi dalam penurunan tingkat

depresi ringan.

Hasil evaluasi eksperimen juga menunjukkan data yang mendukung

hasil penelitian bahwa menulis ekspresif memberikan pengaruh yang

signifikan dalam menurunkan depresi ringan pada mahasiswa. Hal ini

tampak sekali dalam pernyataan mengenai manfaat atau kegunaan

eksperimen pada partisipan yang memiliki prosentase terbesar dalam

evaluasi tersebut, yaitu 52,17%. Sedangkan dari hasil evaluasi eksperimen

secara kuantitatif dan kualitatif dapat disimpulkan bahwa permasalahan

emosional yang selama ini banyak mereka pikirkan dan mengganggu

perasaan dapat dikeluarkan dalam proses eksperimen, sehingga perasaan

mereka setelah selesai menulis menjadi lebih baik serta memberikan

pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri dan yakin dapat

mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

13. Kesimpulan :

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh katarsis

yang sangat signifikan dalam menulis ekspresif terhadap depresi ringan pada

mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa pada mahasiswa yang mengalami

depresi ringan, melalui terapi menulis ekspresif pengalaman-pengalaman

emosional sebagai katarsis atau pelepasan emosi dapat menurunkan tingkat

depresi ringan mereka.

JURNAL 2

Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN MENGGUNAKAN GROUP POSITIVE PSYCHOTHERAPY

IMPROVEMENT OF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN PATIENTS WITH TYPE 2

DIABETES MELLITUS USING GROUP POSITIVE PSYCHOTHERAPY

Rima Christine Sujana Hepi Wahyuningsih

Qurotul Uyun Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

[email protected]

ABSTRACT

This study aims to determine the improvement of psychological well-being in patients with type 2 diabetes mellitus using group positive psychotherapy. Subjects in this study were 12 patients with type 2 diabetes mellitus (men and women) between the ages of 47-64 years, and divided into two groups, namely the experimental group and the control group. This study uses a scale of psychological well-being (22-item), which refers to the dimensions of psychological well-being by Ryff (1989). Quantitative data analysis using parametric analysis techniques one-way repeated measures anova to see the differences in psychological well-being of the experimental group after the subject therapy. The results show that there are differences in psychological well-being in the experimental group after therapy, with a value of Wilks' Lambda = 0.153, p = 0.00 (p <0.01). The conclusion from this study that the group positive psychotherapy can improve psychological well-being of people with type 2 diabetes mellitus. Key words: Group Positive Psychotherapy, Psychological Well Being, Type 2 Diabetes Mellitus.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan menggunakan group positive psychotherapy. Subjek dalam penelitian ini adalah 12 penderita diabetes mellitus tipe 2 berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan usia antara 47-64 tahun, dan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan skala kesejahteraan psikologis (22 aitem) yang mengacu pada dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Analisis data kuantitatif menggunakan teknik analisis parametrik one-way repeated measures anova untuk melihat perbedaan kesejahteraan psikologis kelompok eksperimen setelah subjek diberikan terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada kelompok eksperimen setelah diberikan terapi, dengan nilai Wilks’ Lambda = 0.153, p= 0.00 (p<0.01). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa group positive psychotherapy dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe 2. Kata Kunci: Psikoterapi Positif Kelompok, Kesejahteraan Psikologis, Diabetes Mellitus Tipe 2

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 215

Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

Kesehatan merupakan hal penting

dalam hidup manusia. Ketika terkena

penyakit, maka seseorang mulai menya-

dari bahwa kesehatan mahal harganya.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Dae-

rah Istimewa Yogyakarta tahun 2013

diketahui bahwa pola penyakit pada

semua golongan umur telah mulai

didominasi oleh penyakit-penyakit dege-

neratif, terutama penyakit yang disebab-

kan oleh kecelakaan, neoplasma, kardio-

vaskuler dan diabetes mellitus. Laporan

Survailans Terpadu Penyakit (STP) Pus-

kesmas di Daerah Istimewa Yogyakarta

pada tahun 2012 menunjukkan bahwa

penyakit diabetes mellitus (7.434 kasus)

masuk dalam urutan ke tiga dan ke lima

dari distribusi 10 besar penyakit berbasis

STP Puskesmas (DepKes, 2013).

Diabetes mellitus disebut the great

imitator karena diabetes mellitus ter-

masuk penyakit yang menyebabkan

komplikasi pada bagian tubuh yang jika

penanganannya tidak dilakukan dapat

menyebabkan kematian (Sam, 2007).

Menurut Tjokroprawiro (2006), penyakit

diabetes melitus dapat menyerang semua

organ tubuh berupa komplikasi penyakit,

seperti kebutaan, gagal ginjal, stroke, dan

jantung. Seseorang yang sudah dinyata-

kan memiliki diabetes mellitus harus

melakukan pengobatan seumur hidup.

Diabetes mellitus merupakan pe-

nyakit yang paling kompleks dan menun-

tut banyak perhatian maupun usaha

dalam pengelolaannya dibandingkan

dengan penyakit kronis lainnya, karena

penyakit diabetes tidak dapat diobati

namun hanya dapat dikelola (Kusuma-

dewi, 2011). Diabetes mellitus merupa-

kan kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang

terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin atau keduanya yang harus

dilakukan pengelolaan sehingga tidak

terjadi komplikasi lebih lanjut. Pengelo-

laan diabetes mellitus meliputi edukasi,

terapi gizi medis, latihan jasmani dan

intervensi farmakologis yang dapat dibe-

rikan melalui edukasi terpadu (Yulishati,

2014).

Hayes dan Ross (Temane &

Wissing, 2006) mengemukakan bahwa

kesejahteraan psikologis dapat dipredikisi

oleh kesehatan fisik yang baik. Apabila

kesehatan fisik berada dalam kondisi

rendah atau buruk, maka akan mening-

katkan perasaan sedih, patah semangat

terhadap masa depan, merasa sangat

letih, serta mengalami penurunan

kepercayaan diri dan disiplin diri. Dia-

betes mellitus tipe 2 sangat erat kaitannya

dengan gaya hidup penderita sebab

diabetes mellitus tipe 2 selain karena

faktor keturunan, penyebab utamanya

adalah gaya hidup mengenai makanan

216 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015

Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

yang dikonsumsi dan olahraga (Buckman

& McLaughlin, 1999).

Dikemukakan oleh Karlsen (2002)

bahwa penyakit diabetes mellitus khusus-

nya tipe 2 menuntut seseorang untuk

melakukan perubahan dalam gaya hidup-

nya terkait dengan diet dan olahraga

yang harus dilakukan serta melakukan

pengobatan oral secara ruti. Menurut

Jacobson (Karlsen, 2002), penyakit

diabetes mellitus memberikan pengaruh

pada kesejahteraan psikologis seseorang

karena gejala dan perawatan yang

memberatkan penderita serta komplikasi

yang dapat melemahkan dan bahkan

dapat mengancam jiwa seseorang.

Apabila tidak dilakukan kontrol yang

tepat terhadap reaksi-reaksi psikologis

atau respon-respon secara emosional,

khususnya ketika tidak ada hal yang

dapat dilakukan penderita untuk meng-

ubah situasi, maka penderita cenderung

mengalami ketidakmampuan penyesuai-

an secara fisik dan kesejahteraan psiko-

logis (Sarafino, 1997).

Kesejahteraan psikologis merupa-

kan pencapaian penuh dari potensi

psikologis seseorang dan suatu keadaan

ketika individu dapat menerima kekuatan

dan kelemahan diri apa adanya, memiliki

tujuan hidup, mengembangkan relasi

yang positif dengan orang lain, menjadi

pribadi yang mandiri, mampu mengen-

dalikan lingkungan dan terus betumbuh

secara personal (Ryff, 1995). Kesehatan

fisik mempengaruhi kesejahteraan psiko-

logis individu. Hal ini senada dengan

faktor-faktor yang mempengaruhi kese-

jahteraan psikologis yang dikemukakan

oleh Mirowsky dan Ross (1999) yang

meliputi emosi dan kesehatan serta

fungsi fisik, pekerjaan, pernikahan, anak-

anak, kondisi masa lalu seseorang

terutama pola asuh keluarga, dan faktor

kepercayaan.

Penelitian yang mendukung bahwa

penyakit fisik mempengaruhi kesejahte-

raan psikologis seseorang antara lain

Psychological Well-Being pada Penyan-

dang Gagal Ginjal oleh Aini (2012).

Penelitian ini menggambarkan bahwa

kondisi fisik yang terganggu membuat

mereka terbatas dalam melakukan

aktivitas yang berhubungan dengan diri

sendiri maupun aktivitas sosial. Hal ini

terkait dengan aspek otonomi dan

penguasaan lingkungan yang mereka

lakukan. Penyandang gagal ginjal yang

mengarahkan aktivitas pada tujuan

hidupnya dan memiliki keyakinan untuk

mencapainya maka mereka mampu

mengembangkan diri secara personal.

Hal ini menggambarkan bahwa penting

bagi individu yang memiliki penyakit

fisik untuk tetap memiliki tujuan hidup,

aktivitas yang terarah dan keyakinan diri

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 217

Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

sehingga mampu menemukan potensi

diri dan terus mengembangkannya untuk

meraih kebahagiaan.

Gambaran di atas seiring dengan

pendapat Papalia, Olds dan Feldman

(2009) yang mengemukakan bahwa

orang yang memiliki kesejahteraan

psikologis yang baik adalah orang yang

mampu merealisasikan potensi dirinya

secara kontinu, mampu membentuk hu-

bungan yang hangat dengan orang lain,

memiliki kemandirian terhadap tekanan

sosial, menerima diri apa adanya,

memiliki arti dalam hidup, serta mampu

mengontrol lingkungan eksternal. Kese-

jahteraan psikologis memiliki peranan

dalam pencegahan dan penyembuhan

suatu penyakit sehingga dapat mening-

katkan harapan hidup penderita (Vazques

dkk, 2009).

Beberapa penelitian yang telah

dilakukan dan berhasil untuk meningkat-

kan kesejahteraan psikologis di antaranya

yaitu Cognitive Behavior Therapy mam-

pu meningkatkan kesejahteraan psikolo-

gis remaja gay (Wardani, 2014), Konse-

ling “Kebermaknaan Hidup” mampu

mempengaruhi kesejahteraan psikologis

difabel yang dilakukan oleh Perwitasari

(2012), Dewi (2012) melakukan peneli-

tian yang membuktikan bahwa Pelatihan

Manajemen Distres Berbasis Mindfulness

(MDBM) dapat meningkatkan kesejah-

teraan psikologis pada orang dengan HIV

AIDS (ODHA). Group Positive Psycho-

therapy juga terbukti mampu meningkat-

kan kesejahteraan psikologis remaja yang

dilakukan oleh Wardiyah (2013). Demi-

kian pula Group Positive Psychotherapy

yang dilakukan oleh Prabowo (2011)

mampu meningkatkan Psychological

Well-Being Mahasiswa di Universitas

YARSI. Penelitian yang dilakukan oleh

Hidayah (2014) membuktikan bahwa

Group Positive Psychotherapy efektif

untuk meningkatkan kesejahteraan psiko-

logis pada orang dengan HIV/ AIDS

(ODHA) di Boyolali.

Beberapa penelitian sebelumnya

cukup banyak membuktikan group posi-

tive psychotherapy efektif dan berpe-

ngaruh signifikan untuk meningkatkan

kesejahteraan psikologis namun belum

pernah ada yang meneliti pengaruhnya

terhadap penderita Diabetes Mellitus.

Group positive psychotherapy adalah

suatu model terapi dengan pendekatan

kelompok yang menfokuskan upaya

membangun hidup yang menyenangkan,

hidup yang terikat kegiatan-kegiatan, dan

hidup yang bermakna.

Menurut Parks-Sheiner (2009),

Group positive psychotherapy merupa-

kan intervensi untuk mencapai target

hidup yang menyenangkan, keterlibatan

dalam aktivitas, dan kebermaknaan hidup.

218 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015

Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

Group positive psychotherapy terdiri dari

beberapa teknik yaitu Tiga Hal Baik

(Three Good Things), Pergunakan

Kekuatanmu (Using Your Strenghts),

Kunjungan Terimakasih (The Gratitude

Visit), Biografi (Obituary), Respon Aktif/

Konstruktif (Active-Constructive Respon-

ding), Menikmati Kegiatan Sehari-hari

(Savoring). Keenam teknik ini digunakan

untuk mencapai tiga sasaran utama

dalam group positive psychotherapy

yaitu hidup yang menyenangkan, hidup

terikat pada kesibukan, hidup yang

bermakna (Seligman, 2006).

Oleh karena itu, peneliti ingin

mengetahui peningkatan kesejahteraan

psikologis pada penderita diabetes melli-

tus tipe 2 dengan menggunakan group

positive psychotherapy. Hipotesis pada

penelitian ini adalah group positive

psychotherapy mampu meningkatkan

kesejahteraan psikologis pada penderita

diabetes mellitus tipe 2 dan kelompok

yang mendapatkan intervensi group posi-

tive psychotherapy lebih tinggi tingkat

kesejahteraan psikologis dibandingkan

dengan kelompok yang tidak mendapat-

kan group positive psychotherapy.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan

pada penelitian ini adalah kuasi ekspe-

rimen. Partisipan yang diambil adalah

partisipan yang memenuhi salah satu

atau dua kriteria sekaligus, yaitu masuk

dalam kategori sedang, rendah, dan

sangat rendah di dalam skala kesejah-

teraan psikologis. Pada penelitian ini

metode eksperimen dilakukan dengan

memberikan perlakuan berupa group

positive psychotherapy untuk melihat

peningkatan kesejahteraan psikologis

pada penderita diabetes mellitus tipe 2.

Subjek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini

adalah penderita diabetes mellitus tipe 2

yang berada di bawah wilayah kerja

Puskesmas Ngemplak 1 dan Ngemplak 2,

Sleman. Adapun kriteria subjek peneli-

tian adalah memiliki diagnosa penyakit

diabetes mellitus tipe 2, laki-laki atau

perempuan berusia 47-64 tahun dengan

alasan bahwa penyakit diabetes mellitus

tipe 2 diderita antara usia pertengahan

dan usia lanjut dengan serangan awal

terjadi setelah usia 40 tahun, memiliki

kemampuan baca dan tulis, tidak sedang

mengikuti intervensi psikologis apapun,

memiliki skor kesejahteraan psikologis

dengan kategori sedang, rendah dan

sangat rendah, serta bersedia mengikuti

rangkaian penelitian dari prates hingga

tindak lanjut.

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 219

Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan

dalam melakukan pengumpulan data

adalah dengan menggunakan observasi,

wawancara, dan skala kesejahteraan

psikologis. Skala yang digunakan meru-

pakan skala yang dimodifikasi dari skala

yang pernah ada dan dibuat oleh peneliti

sebelumnya. Skala kesejahteraan psikolo-

gis disusun berdasarkan dimensi-dimensi

kesejahteran psikologis yang dikemuka-

kan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan

diri, relasi positif dengan sesama, oto-

nomi, penguasaan lingkungan, tujuan

hidup, dan pertumbuhan pribadi.

Skala kesejahteraan psikologis ini

terdiri atas 29 aitem favorable dan un-

favorable. Setiap pernyataan dalam skala

kesejahteraan psikologis ini meminta

respon dari subjek dengan memilih salah

satu alternatif jawaban yang telah dise-

diakan. Skala ini disusun berdasarkan

skala Likert yang terdiri atas 4 alternatif

jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai

(S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak

sesuai (STS). Hasil uji coba skala

kesejahteraan psikologis menunjukkan

bahwa dari 29 butir pernyataan, 22 butir

dinyatakan sahih dan 7 butir dinyatakan

gugur. Koefisien korelasi untuk skala

yang sahih bergerak antara 0,319 hingga

0,682. Hasil uji coba reliabilitas skala

kesejahteraan psikologis menunjukkan

bahwa koefisien korelasi sebesar 0,855.

Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian pada

penelitian ini yaitu: Pertama, perijinan

tempat untuk melakukan screening.

Kedua, screening menggunakan skala

penelitian kepada orang dengan Diabetes

Mellitus Tipe 2. Hasil skala dengan

kategori sedang dan rendah serta

memenuhi kriteria dipilih menjadi subjek

penelitian. Data ini juga digunakan

sebagai prates. Ketiga, wawancara untuk

menggali permasalahan dan pemberian

Informed Consent kepada subjek pene-

litian. Keempat, penentuan kelompok

kontrol dan kelompok eksperimen. Ke-

lima, seleksi fasilitator dan ko-fasilitator,

serta observer. Kelima, pelaksanaan

intervensi Group Positive Psychotherapy

pada kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol tidak mendapatkan

intervensi.

Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan bebe-

rapa teknik analisis data. Teknik analisis

data parametrik yang digunakan adalah

one-way repeated measures anova , yaitu

teknik analisis untuk melihat apakah ada

perubahan (prates-pascates-tindak lanjut)

pada kelompok eksperimen. Selain itu

dilakukan juga uji independent sample t-

220 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015

Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

test untuk membandingkan kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Ana-

lisis dari variabel-variabel tersebut dilaku-

kan dengan program komputer SPSS

(Statistical Product and Service Solution)

for windows.

HASIL PENELITIAN

Jumlah subjek penelitian pada

kelompok eksperimen sebanyak 6 pen-

derita diabetes mellitus tipe 2, berjenis

kelamin laki-laki dan perempuan. Subjek

yang masuk ke dalam kelompok eksperi-

men merupakan anggota terapi yang

dilakukan selama 3 kali pertemuan.

Penelitian ini melakukan pengukuran

sebanyak tiga kali, yaitu sebelum

intervensi dilakukan (prates), setelah

intervensi diberikan (pascates) dan 2

minggu setelah intervensi diberikan

(tindak lanjut).

Hasil pengukuran pascates menun-

jukkan semua kelompok eksperimen

mengalami peningkatan skor kesejahte-

raan psikologis setelah diberikan inter-

vensi berupa group positive psycho-

therapy. Sedangkan pada kelompok

kontrol terdapat 1 subjek yang meng-

alami peningkatan skor, 2 subjek yang

mendapatkan skor tetap, dan 3 subjek

yang mengalami penurunan skor.

Berdasarkan tabel analisis statistik,

diketahui bahwa rata-rata skor pada

prates kelompok eksperimen sebesar

49.33 dan kelompok kontrol 50.67. Hal

ini berarti bahwa rata-rata skor pada

kelompok kontrol lebih tinggi dari

kelompok eksperimen. Sedangkan,

setelah terapi (pascates) diketahui bahwa

rata-rata skor kelompok eksperimen lebih

tinggi dibanding kelompok control, yaitu

58.33 berbanding 50.33. Hal ini juga

dialami pada tahap tindak lanjut, rata-rata

skor kelompok eksperimen (57.00) lebih

tinggi dibanding rata-rata skor kelompok

kontrol (49.33).

Hasil uji normalitas dari skala

kesejahteraan psikologis diperoleh nilai

K-SZ = 0.631 dan p = 0.821 sehingga

penyebaran data skala kesejahteraan

psikologis dapat dikatakan normal. Hasil

uji homogenitas pada kelompok ekspe-

rimen dan kelompok kontrol pada peneli-

tian ini memperoleh nilai levene statistic

= 0.833 dan nilai p = 0.383 berarti nilai

p>0.05 sehingga dapat dikatakan bahwa

proporsi kedua kelompok adalah

homogen.

Pada tabel analisis statistik, nilai

Wilks’ Lambda = 0.153, p= 0.00

(p<0.01) menunjukkan ada perubahan

secara sangat signifikan pada skor

kesejahteraan psikologis kelompok ekpe-

rimen dalam tiga kali pengukuran. Hal

ini berarti bahwa terdapat perbedaan

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 221

Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

yang signifikan antara skor prates dengan

pascates pada kelompok eksperimen, dan

juga terdapat perbedaan yang signifikan

antara skor prates dengan tindak lanjut

pada kelompok eksperimen. Perbedaan

antara skor prates-pascates-tindak lanjut

yang dimaksud yaitu terjadi perubahan

skor prates-pascates yang semakin me-

ningkat berdasarkan nilai Mean kelom-

pok eksperimen dari 49.33 menjadi

58.33. Pada tindak lanjut diperoleh

Mean 57.00. Kedua Mean terlihat lebih

tinggi jika dibandingkan dengan Mean

prates. Nilai Partial Eta Square pada baris

diperoleh nilai 0.847, hal ini berarti

bahwa sumbangan efektif sebesar 84,7.

Ada perbedaan kesejahteraan psi-

kologis pada kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol setelah terapi diberi-

kan, dengan nilai p=0.000 (p<0.01)

pada saat prates-pascates dan p=0.001

(p<0.01) pada saat prates-tindak lanjut.

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui peningkatan kesejahteraan

psikologis pada penderita diabetes melli-

tus tipe 2 dengan menggunakan group

positive psychotherapy. Berdasarkan

hasil analisis data yang telah dilakukan

diperoleh hasil bahwa group positive

psychotherapy dapat meningkatkan kese-

jahteraan psikologis pada penderita

diabetes mellitus tipe 2.

Group positive psychotherapy

disusun untuk mengarahkan subjek

penelitian pada kehidupan yang lebih

positif melalui beberapa teknik latihan,

seperti perkenalan positif dan mengenali

kekuatan diri, mampu menemukan tiga

hal baik setiap hari, kunjungan terima-

kasih melalui surat, savoring yang

melatih subjek untuk lebih menikmati

kehidupannya dimulai dari rutinitas yang

ada, tanggapan aktif/konstruktif bertujuan

untuk melatih subjek lebih positif dalam

berkomunikasi, dan pembuatan biografi

yang membantu subjek mengarahkan

perilakunya sesuai tujuan hidup yang

ingin dicapai.

Ketika subjek mendapat diagnosis

diabetes mellitus yang pengelolaan

penyakitnya dengan minum obat seumur

hidup, diet makanan dan sebagainya

cenderung membuat subjek merasa tidak

lagi memiliki potensi dalam diri untuk

melakukan berbagai aktivitas positif.

Pada awal pertemuan, subjek dihadapkan

pada kegiatan perkenalan positif dan

mengenali kekuatan diri. Subjek yang

mengalami kesulitan untuk melakukan

perkenalan positif dibantu oleh fasilitator

dan anggota kelompok untuk menemu-

kan hal positif yang ada pada masing-

masing subjek. Hal ini didasarkan pada

222 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015

Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

asumsi bahwa perilaku patologis disebab-

kan oleh kurangnya kesadaran tentang

potensi positif dalam diri individu

(Magyar-Moe, 2009). Pengenalan potensi

positif ini seiring dengan pernyataan yang

tercantum dalam Al-Quran yaitu manusia

diciptakan oleh Allah SWT dengan

struktur yang paling baik di antara

makhluk Allah SWT yang lain.

Kesempurnaan unsur manusia disebutkan

dalam firman Allah SWT yang artinya :

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tin: 4).

Pada sesi kekuatanku, subjek pene-

litian dilatih untuk tetap fokus pada hal

positif yang ada di dalam diri sehingga

tetap menumbuhkan semangat dan

optimisme. Ryan dan Deci (2001)

mengungkapkan bahwa optimisme mem-

beri kontribusi terhadap kesejahteraan

atau kebahagiaan individu.

“Allah tidak akan membebani seseorang (hamba-Nya) melainkan sesuai dengan kemampuannya (QS. Al-Baqarah: 286).

Menurut perspektif Islam, meng-

arahkan subjek penelitian pada kehidup-

an yang lebih positif memiliki kesamaan

dengan berprasangka baik (khusnudzon).

Salah satu akhlak mahmudah (terpuji)

kepada Allah SWT adalah khusnudzon

(berbaik sangka atau berpikir positif)

kepada-Allah adalah Tuhan Yang Maha

Pengasih dan Penyayang. Ketika sese-

orang meyakini bahwa Allah mengasihi

seluruh makhluk-Nya dan menganuge-

rahkan rezeki kepada semua makhluk-

Nya. Tidak peduli makhluk-Nya taat atau

durhaka, muslim atau kafir. Bahkan,

binatang dan tumbuh-tumbuhan pun

dijamin rezekinya oleh Allah SWT maka

akan menimbulkan rasa optimis

menjalani hidup.

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (Q.S. Hud: 6).

Mengenali potensi positif dan me-

lakukan aktivitas-aktivitas positif meng-

hadirkan kesejahteraan pada dirinya

(Salami, 2010). Hal ini seiring dengan

pernyataan yang dikemukakan Frederick-

son dan Joiner (2002) bahwa seseorang

yang memiliki sifat positif dan optimis

berkorelasi positif dengan kesejahteraan

individu. Selain itu, sesi tiga hal baik,

kunjungan terimakasih dan savoring

mengajarkan subjek penelitian untuk

senantiasa lebih bersyukur terhadap

kebaikan yang telah diterima setiap hari.

“Dan jika kamu menghitung-hitung

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 223

Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18).

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu kufur (mengingkari nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7).

Demikian pula dengan kegiatan

tanggapan aktif/konstruktif yang melatih

subjek penelitian tetap menjaga hu-

bungan interpersonal dengan baik. Ketika

individu mampu menjalin hubungan

interpersonal dengan lingkungan secara

aktif maka menurut Ryff (1995) individu

tersebut memiliki gambaran kesejahtera-

an psikologis pada aspek hubungan

positif dengan oranglain dan penguasaan

terhadap lingkungan. Hal ini juga

merupakan wujud syukur kepada Allah.

Manusia yang bersyukur kepada

manusia/makhluk lain adalah dia yang

memuji kebaikan serta membalasnya

dengan sesuatu yang lebih baik atau

lebih banyak dari apayang telah dilaku-

kan oleh yang disyukurinya itu. Syukur

yang demikian dapat juga merupakan

bagian dari syukur kepada Allah. Sebab,

berdasarkan hadis Nabi SAW yang

artinya:

“Siapa yang tidak mensyukuri manusia maka dia tidak mensyukuri Allah (HR. Abu Daud dan At-Turmuzi).

Evaluasi dari keseluruhan rangkai-

an terapi menunjukkan bahwa semua

subjek merasa senang karena mampu

bertukar cerita, berkeluh kesah dan

belajar dari anggota kelompok yang lain.

Subjek diminta untuk menceritakan situa-

si emosional dimana kondisi tersebut

membantu seseorang untuk meningkat-

kan rasa syukur yang berpengaruh pada

kondisi fisik dan psikologisnya. Menulis

dan atau membicarakan topik emosional

ditemukan mempengaruhi fungsi imun

termasuk perkembangan sel t-helper, dan

antibody (Pennebaker & Chung, 2007).

Beberapa penelitan mendukung

bahwa interaksi dengan orang terdekat

yang dilakukan secara aktif dan kon-

struktif dapat meningkatkan kebahagiaan,

kepuasan, kepercayaan, keakraban dan

mengurangi konflik (Magyar-Moe, 2009).

Group positive psychotherapy telah

terbukti mampu meningkatkan kesejah-

teraan psikologis penderita diabetes

mellitus tipe 2. Hal ini erat kaitannya

dengan optimisme subjek dalam

menghadapi penyakitnya. Seiring dengan

pendapat yang dikemukakan oleh

Vazques dkk (2009) bahwa kesejahteraan

psikologis memiliki peranan dalam

224 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015

Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

pencegahan dan penyembuhan suatu

penyakit sehingga dapat meningkatkan

harapan hidup penderita.

Penelitian ini didukung oleh penu-

gasan-penugasan yang diberikan pada

akhir setiap pertemuan, yang kemudian

didiskusikan dalam kelompok. Tugas

rumah memberikan kesempatan kepada

subjek untuk dapat melatih dirinya

menerapkan teknik-teknik yang dipelajari

di dalam kelompok kepada kehidupan

sehari-hari. Kemudian diskusi tugas

rumah dapat memberikan umpan balik

dan penguatan terhadap aktivitas positif

yang telah dilakukan dengan baik oleh

setiap subjek.

Intervensi dalam penelitian ini

dipengaruhi juga oleh rancangan inter-

vensi dalam bentuk kelompok. Pendekat-

an kelompok dianggap memiliki manfaat

terapeutik terhadap kelompok, yaitu

sebagai faktor dukungan, faktor keter-

bukaan diri dan katarsis, faktor belajar

kebijaksanaan atau kearifan dari anggota

kelompok lainnya, serta faktor-faktor

psikologis yang berkaitan dengan

bagaimana menjalin hubungan dengan

orang lain dan bagaimana memahami

diri sendiri (Brabenden, Fallon, & Smolar,

2004). Seiring dengan pendapat yang

dikemukakan oleh Jacobs dkk (2002)

bahwa keuntungan terapi yang meng-

gunakan pendekatan kelompok yaitu

lebih efisien karena menawarkan banyak

sudut pandang, perasaan senasib,

pengalaman terlibat dengan orang lain,

kesempatan belajar pengalaman-penga-

laman orang lain berdasarkan hasil men-

dengar dan mengobservasi, kesempatan

mendapat umpan balik sehingga akan

memegang teguh komitmennya selama

terapi.

Berdasarkan hasil kuantitatif setiap

subjek, ke enam subjek mengalami

peningkatan kesejahteraan psikologis

setelah mengikuti group positive psycho-

therapy meskipun pada tahap tindak

lanjut terjadi peningkatan dan penurunan

yang beragam antar subjek. Hasil

penelitian ini mendukung penelitian ter-

dahulu yang telah dilakukan oleh

Hidayah (2014) yang menunjukkan

bahwa ada pengaruh group positive

psychotherapy terhadap peningkatan

kesejahteraan psikologis pada orang

dengan HIV/AIDS. Hal ini juga sesuai

dengan penelitian Wardiyah pada tahun

2013 membuktikan bahwa kesejahteraan

psikologis mampi ditingkatkan dengan

group positive psychotherapy. Penelitian

yang dilakukan oleh Prabowo (2011)

membuktikan hal yang sama bahwa

group positive psychotherapy mampu

meningkatkan psychological well-being

pada mahasiswa.

Selain itu, perlu dilakukan sejum-

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 225

Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

lah evaluasi. Modul intervensi tidak

melalui uji coba sebelumnya. Fasilitator

cenderung sering menambahkan pen-

jelasan instruksi kepada subjek penelitian

agar subjek mampu melaksanakan

instruksi dengan baik. Modul diterapkan

secara runtut sesuai dengan rancangan

pelaksanaan meskipun terdapat modifi-

kasi seperti diberikannyaa ice breaking

ketika beberapa subjek terlihat bosan

atau kurang konsentrasi ketika proses

terapi yang sebelumnya tidak dituliskan

dalam modul terapi.

Evaluasi perubahan kesejahteraan

psikologis subjek penelitian ini belum

melalui wawancara dengan caregiver.

Peneliti melakukan evaluasi perubahan

kesejahteraan subjek melalui wawancara

langsung dengan subjek, baik sebelum

maupun sesudah intervensi. Hasil

evaluasi cenderung berpusat pada

pengakuan subjek penelitian saja.

Penelitian ini menggunakan data

dari Puskesmas yang tidak memiliki

komunitas khusus penderita diabetes

mellitus tipe 2 dan alamat lengkap

sehingga pengambilan data harus

dilakukan kunjungan ke rumah masing-

masing subjek.

SIMPULAN & SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan maka dapat disimpulkan

bahwa group positive psychotherapy

dapat meningkatkan kesejahteraan psiko-

logis pada penderita diabetes mellitus

tipe 2. Kelompok yang mendapatkan

intervensi group positive psychotherapy

lebih tinggi tingkat kesejahteraan psiko-

logis dibandingkan dengan kelompok

yang tidak mendapatkan group positive

psychotherapy.

Saran

Untuk penelitian selanjutnya: (1)

Penelitian ini menggunakan data dari

Puskesmas yang tidak memiliki komu-

nitas khusus penderita diabetes mellitus

tipe 2 dan alamat lengkap. Jika peneliti

selanjutnya menemukan keterbatasan

data yang sama, peneliti menyarankan

untuk menelusuri melalui kepala dusun

atau dukuh agar dapat mempermudah

melakukan kunjungan rumah; (2) Alat

ukur ini bisa digunakan kembali oleh

penelitian selanjutnya dengan kriteria

subjek yang sama; (3) Peneliti menyaran-

kan untuk melakukan uji coba modul

sehingga penggunaan lembar kerja,

waktu dan bahasa instruksi dapat lebih

sesuai dengan karakteristik subjek; (4)

226 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015

Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

Peneliti selanjutnya diharapkan dapat

melakukan penelitian sejenis dengan

memperhatikan berbagai variabel lain

yang mempengaruhi kesejahteraan psiko-

logis penderita diabetes mellitus tipe 2,

serta dapat mengembangkan group

positive psychotherapy sebagai alternatif

intervensi untuk kasus psikologis

penyakit kronis lainnya.

Untuk subjek penelitian: (1) Subjek

penelitian diharapkan dapat menerapkan

pengetahuan dan cara-cara meningkatkan

kesejahteraan psikologis yang didapatkan

dari group positive psychotherapy dalam

kehidupan sehari-hari; (2) Subjek peneli-

tian bisa meningkatkan kemampuan

bersosialisasi dengan lingkungan sekitar

sehingga tidak banyak berdiam diri di

rumah, tidak jenuh dan tidak terfokus

pada keterbatasan diri akan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Abbott, R.A., Ploubidis, G.B., Huppert,

F.A., Kuh, D., Wadsworth, M.E.J. & Croudace, T.J. (2006). Psycho-metric Evaluation and Predictive Validity of Ryff’s Psychological Well-Being Items in a UK Birth Cohort Sample of Women. Health and Quality of Life Outcomes. BioMed Central Ltd. 4: 76.

Aini, S. N., & Asiyah, S.N. (2013).

Psychological Well Being Penyan-

dang Gagal Ginjal. Jurnal Penelitian Psikologi, 4,(1), 35-45

Anantasari, M. L. (2004). Kesejahteraan

Psikologis Orang Tua dan Perlakuan Salah terhadap Anak. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogya-karta: Fakultas Psikologi Univer-sitas Gadjah Mada

Askandar, T. (1999). Diabetes Mellitus

Klasifikasi Diagnosis dan Terapi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Baron, J. (1988). Thinking and Deciding.

New York: Cambridge University Press

Bartram, D. & Boniwel, L. (2007). The

Science of Happiness: Achieving Sustained Psychological Well-Being. Positive Psychology in Practice, 29, 478-482

Bradburn, N. M. 1969. The Structure of

Psycholgical Well Being. Chicago: Aldine

Buckman,Dr. Robert & McLaughlin,

Chris. (1999). Apa yang seharusnya Anda ketahui tentang hidup dengan Diabetes. London: Marshall Publishing Ltd

Compton, W.C. (2005). Introduction to

Positive Psychology. Singapore: Thomson Wadsworth

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 227

Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

DepKes. (2013). Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2013. Yogyakarta: Departemen Kesehatan

Dewi, R.P. (2012). Pengaruh Pelatihan

Manajemen Distres Berbasis Mind-fulness (MDBM) terhadap Pening-katan Kesejahteraan Psikologis pada Orang dengan HIV/AIDS. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogya-karta: Fakultas Psikologi Univer-sitas Gadjah Mada

Eckhalm E.P. (1999). Masalah Kesehatan.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Feldman, R. S. (1997). Social Psychology.

New Jersey: Prentice Hall Frederickson, B.L. & Joiner, T. (2002).

Positive Emotions Triger Upwardn Spirals Toward Emotion Well Being. Psychological Science, 13, 172-175

Hidayah, N. (2014). Efektivitas Group

Positive Psychotherapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psiko-logis pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Tesis. Tidak diterbitkan. Surakarta: Program Pendidikan Magister Psikologi Profesi Univer-sitas Muhammadiyah Surakarta

Ingersoll-Dayton, B.S. (2004). Measuring

Psychological Well-Being: Insight

from Thai Elders. Journal of Gerontologist, 44(5), 596-604

Jacobs, E.E., Robert, L.M., & Riley, L.H.

(2002). Group Counseling: Strategies and Skills. Canada: The Wadsworth Group, a division of Thompson Learning,Inc.

Karlsen,B, Bru, E & Hanestad, R. (2002).

Self-Reported PWB and Disease-Related Strains among Adults with Diabetes. Psychological and Health. 17 (4), 459-473

Kartikasari, N.D. (2014). Hubungan

antara Religiusitas dengan Kesejah-teraan Psikologis pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Skripsi. Tidak diterbitkan. Surakarta: Fakul-tas Psikologi Universitas Muham-madiyah

Keyes, C.R. (2006). A Look at Children’s

Adjustment to Early Childhood Programs. Early Childhood Research & Practice, 8(2), 22-36

Kusumadewi, M.D. (2011). Peran

Stressor Harian, Optimisme dan Regulasi Diri terhadap Kualitas Hidup Individu dengan Diabetes Melitus Tipe 2. Psikoislamika Jurnal Psikologi Islam, (8), 1, 43-62

Latifah,N. (2014). Kesejahteraan Psikolo-

gis Pada Wanita Dewasa Muda Yang Belum Menikah. Skripsi.

228 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015

Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Yogyakarta

Lopez S. J., & Snyder C. R. (2003). The

Measurement and Utility of Adult Subjective Well-Being. Washington DC: American Psychological Association

Lumantobing. (2008). Psikologi Kesehat-

an. Yogyakarta: Mitra Cendikia Magyar-Moe, J. L. (2009). Therapist's

Guide to Positive Psychological Interventions. (1st Edition). Academic Press, pp. 79-133y 151-175

Mambangsari, C.W. (2012). Pengaruh

Program Edukasi Perawatan Kaki Berbasis Keluarga terhadap Pera-watan Kaki pada Pasien Diabetes Mellitus tipe 2. Tesis. Tidak diterbitkan. Bandung: Program Pendidikan Magister Program Studi Keperawatan

Martalena, B. P. (1999). Pengaturan

Makanan Diabetes. Pusat Diabetes Yogyakarta

Maulana, M. (2008). Mengenal Diabetes

Melitus. Jogjakarta: Katahati Miller, S.M. & Schnoll, R.A. (2000) When

Seeing Is Feeling: A Cognitive-

Emotional Approach to Coping with Health Status dalam Handbook of Emotions Second Edition. New York: The Guilford Press.

Mirowsky & Ross. (1999). Well-Being

Across the Life Course. Cambridge: Cambridge University Press

Neugarten, B.L., Havighurst, R., & Tobin,

S. (1961). The Measurement of Life Satisfaction. Journal of Geronto-logy. 16, 134-143

Notosoedirdjo dan Latipun. 2005.

Kesehatan Mental : Konsep dan Penerapan. Malang : UMM Press.

Nuryati, S. (2009). Gaya Hidup dan

Status Gizi serta Hubungannya dengan Hipertensi dan Diabetes Melitus Pada Pria dan Wanita Dewasa di DKI Jakarta. Tesis. Tidak diterbitkan. Bandung: Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Nussbaum, M.C., & Sen, A.K. (1993).

The Quality of Life. Oxford: Clarendon Press

Papalia, Olds, Feldman. (2009). Human

Development. Jakarta: Salemba Park-Shiner, A.C. (2009). Positive

Psychotherapy: Building a Model of Empirically Supported Self-Help. Dissertation. Pennsylvania: Facul-

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 229

Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

ties Psychology of the University Pennsylvania

Pebriartati, S. (2011). Pelatihan Pemaafan

untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Wanita Bercerai. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

Pennebaker, J.W., & Chung, C.K. (2007).

Expressive Writing: connections to physical and mental health. The University of Texas at Austin

Perkeni. (2002). Konsesus Pengelolaan

Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Indonesia 2002. PB PERKENI.

Perwitasari, F. (2012). Pengaruh Konse-

ling “Kebermaknaan Hidup” ter-hadap Kesejahteraan Psikologis Difabel. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

Peseschkian, N. And K. Triit. (1998).

Positive Psychotherapy: Effective-ness Study and Quality Assurance. The european journal of psychotherapy, counseling & health, 1, 42-53

Pouwer, F., Snoek, F. J., Ploeg, H. M.,

Ader, H. J. & Heine, R. J. (2001). Monitoring of Psychological Well-being in Outpatients with Diabetes. Diabetes Care, 24 (11) 1929-1935

Prabowo, A. & Yuniardi, M.S. (2011). Pengaruh Group Positive Psycho-therapy terhadap Psychological Well Being Mahasiswa. Dipresen-tasikan di Konferensi Nasional, Universitas YARSI, 5 November 2011

Prawitasari, J.E. (2011). Psikologi Klinis

Pengantar Terapan Mikro dan Makro. Jakarta: Penerbit Erlangga

Purnomosidi, I. (2014). Hubungan Inten-

sitas Olahraga terhadap Psycholo-gical Well-Being. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia

Ryan, R. M & Deci, E.L. 2001. On

Happines and Human Potentials: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-Being. Annual Reviews, 52, 141-166

Ryff, C.D. and Keyes, L.M. (1995). The

Structure of Psychological Well-Being revisited. Journal of Personality and Social Psychogy, 69 (4), 719-727

_________. (1995). Psychological well-

being in adult life. Current Directions in Psychological Science, 57(6), 99-104

_________. (1989). Happiness Is

Everything, or Is It? Explorations on

230 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015

Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

the Meaning of Psychological Well Being. Journal of Personality and Social Psychology, 57 (6), 1069-1081

Salami, S. O. (2010). Emotional

Intelligence, Self-Efficacy, Psycho-logical Well-Being And Students’ Attitudes: Implivations For Quality Education. European Journal of Educational Studie, 2(3), 247-257

Sam, A.D.P. (2007). Epidemiologi DM

dan isu mutakhirnya. http://www. newparadigmforpublichealth.htm. Diakses 2 Mei 2015

Sarafino, E.P. 1997. Health Psycholoogy;

Biopsychological Interactions. Third Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Seligman, M.E.P., Rashid, T., & Parks,

A.C. (2006). Positive Psycho-therapy. Journal of American Psychologist, 61, 774-788

Shadish, W. R., Cook, T. D., & Campbell,

D. T. (2002). Experimental and Quasi-Experimental Designs for Generalized Causa Inference. Boston: Houghton Mifflin Company

Singh, B., & Udainiya R. (2009). Self-

Efficacy and Well-Being of Adolescents. Journal of the Indian

Academy of Applied Psychology, 35(2), 227-232

Skovlund, S.E., & Peyrot, M. (2005). The

Diabetes Attitudes, Wishes, and Needs (DAWN) program: A new approach to improving outcomes of diabetes care. Diabetes Spectrum. 18(3), 136-142

Taylor, S. E. 2006. Health Psychology.

New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Temane, Q.M & Wissing, M. P. 2006.

The Role of Subjective Perception of Health in The Dynamics of Context and PWB. South African Journal of Psychology. 36 (3), 564-581

Tjokroprawiro, A. (2006). Hidup Sehat

dan Bahagia Bersama Diabetes Militus. Edisi kesembilan. Jakarta : Gramedia Pustaka

Vazquez, dkk. (2009). Psychological

Well-Being and Health. Contri-butions of Positive Psychology. Annuary of Clinical and Health Psychology, (5) 15-27

Wardani, A. (2014). Cognitive Behavior

Therapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Remaja Gay. Tesis. Tidak diterbitkan. Medan: Fakultas Psikologi Univer-sitas Sumatera Utara

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 231

Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

Wardiyah, Malahatul. (2013). Group Positive Psychotherapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psiko-logis Remaja. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi, 1 (2), 139-152

Winasis, E. B. (2009). Hubungan antara

Konsep Diri dengan Depresi pada Penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Pracimantoro I Wono-giri. Skripsi. Tidak diterbitkan. Surakarta: Universitas Muham-madiyah Surakarta

World Health Organization. Definition

and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycemia. Amerika Serikat; 2006. Tersedia pada: URL: http://www.idf.org/

webdata/docs/WHO_IDF_definition_diagnosis_of_diabetes.pdf [diakses 7 April 2015].

Yalom, I.D. & Leszcz, Molyn. (2005).

The theory and practice of group psychotherapy. New York : Basic Books

Yulishati. (2014). Efektifitas Edukasi Dia-

betes Terpadu Untuk Meningkat-kan Efikasi Diri Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Tesis. Tidak diterbitkan. Sumatera Utara: Fakultas Keperawatan Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/ handle/ 123456789/42401 Diakses tanggal 8 April 2015

232 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015

REVIEW JURNAL

Nama Jurnal

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015

1. Judul Penelitian :

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA

PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN MENGGUNAKAN

GROUP POSITIVE PSYCHOTHERAPY

2. Nama Peneliti :

Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih, Qurotul Uyun

3. Abstrak :

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kesejahteraan

psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan menggunakan group

positive psychotherapy. Subjek dalam penelitian ini adalah 12 penderita

diabetes mellitus tipe 2 berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan usia

antara 47-64 tahun, dan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan skala

kesejahteraan psikologis (22 aitem) yang mengacu pada dimensi-dimensi

kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Analisis data kuantitatif

menggunakan teknik analisis parametrik one-way repeated measures anova

untuk melihat perbedaan kesejahteraan psikologis kelompok eksperimen

setelah subjek diberikan terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan

kesejahteraan psikologis pada kelompok eksperimen setelah diberikan terapi,

dengan nilai Wilks’ Lambda = 0.153, p= 0.00 (p<0.01). Kesimpulan dari

penelitian ini bahwa group positive psychotherapy dapat meningkatkan

kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe 2.

4. Pendahuluan/latar belakang masalah :

Kesehatan merupakan hal penting dalam hidup manusia. Ketika terkena

penyakit, maka seseorang mulai menyadari bahwa kesehatan mahal harganya.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2013

diketahui bahwa pola penyakit pada semua golongan umur telah mulai

didominasi oleh penyakit-penyakit degeneratif, terutama penyakit yang

disebabkan oleh kecelakaan, neoplasma, kardiovaskuler dan diabetes mellitus.

Laporan Survailans Terpadu Penyakit (STP) Puskesmas di Daerah Istimewa

Yogyakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa penyakit diabetes mellitus

(7.434 kasus) masuk dalam urutan ke tiga dan ke lima dari distribusi 10 besar

penyakit berbasis STP Puskesmas (DepKes, 2013).

Diabetes mellitus disebut the great imitator karena diabetes mellitus

termasuk penyakit yang menyebabkan komplikasi pada bagian tubuh yang jika

penanganannya tidak dilakukan dapat menyebabkan kematian (Sam, 2007).

Menurut Tjokroprawiro (2006), penyakit diabetes melitus dapat menyerang

semua organ tubuh berupa komplikasi penyakit, seperti kebutaan, gagal ginjal,

stroke, dan jantung. Seseorang yang sudah dinyatakan memiliki diabetes

mellitus harus melakukan pengobatan seumur hidup.

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang paling kompleks dan menuntut

banyak perhatian maupun usaha dalam pengelolaannya dibandingkan dengan

penyakit kronis lainnya, karena penyakit diabetes tidak dapat diobati namun

hanya dapat dikelola (Kusumadewi, 2011). Diabetes mellitus merupakan

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi

karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya yang harus

dilakukan pengelolaan sehingga tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.

Pengelolaan diabetes mellitus meliputi edukasi, terapi gizi medis, latihan

jasmani dan intervensi farmakologis yang dapat diberikan melalui edukasi

terpadu (Yulishati, 2014).

Hayes dan Ross (Temane & Wissing, 2006) mengemukakan bahwa

kesejahteraan psikologis dapat dipredikisi oleh kesehatan fisik yang baik.

Apabila kesehatan fisik berada dalam kondisi rendah atau buruk, maka akan

meningkatkan perasaan sedih, patah semangat terhadap masa depan, merasa

sangat letih, serta mengalami penurunan kepercayaan diri dan disiplin diri.

Diabetes mellitus tipe 2 sangat erat kaitannya dengan gaya hidup penderita

sebab diabetes mellitus tipe 2 selain karena faktor keturunan, penyebab

utamanya adalah gaya hidup mengenai makanan yang dikonsumsi dan olahraga

(Buckman & McLaughlin, 1999).

Dikemukakan oleh Karlsen (2002) bahwa penyakit diabetes mellitus

khususnya tipe 2 menuntut seseorang untuk melakukan perubahan dalam gaya

hidupnya terkait dengan diet dan olahraga yang harus dilakukan serta

melakukan pengobatan oral secara ruti. Menurut Jacobson (Karlsen, 2002),

penyakit diabetes mellitus memberikan pengaruh pada kesejahteraan psikologis

seseorang karena gejala dan perawatan yang memberatkan penderita serta

komplikasi yang dapat melemahkan dan bahkan dapat mengancam jiwa

seseorang. Apabila tidak dilakukan kontrol yang tepat terhadap reaksi-reaksi

psikologis atau respon-respon secara emosional, khususnya ketika tidak ada hal

yang dapat dilakukan penderita untuk mengubah situasi, maka penderita

cenderung mengalami ketidakmampuan penyesuaian secara fisik dan

kesejahteraan psikologis (Sarafino, 1997).

Kesejahteraan psikologis merupakan pencapaian penuh dari potensi

psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima

kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup,

mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang

mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan terus betumbuh secara

personal (Ryff, 1995). Kesehatan fisik mempengaruhi kesejahteraan psikologis

individu. Hal ini senada dengan faktor-faktor yang mempengaruhi

kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Mirowsky dan Ross (1999)

yang meliputi emosi dan kesehatan serta fungsi fisik, pekerjaan, pernikahan,

anakanak, kondisi masa lalu seseorang terutama pola asuh keluarga, dan faktor

kepercayaan.

Penelitian yang mendukung bahwa penyakit fisik mempengaruhi

kesejahteraan psikologis seseorang antara lain Psychological Well-Being pada

Penyandang Gagal Ginjal oleh Aini (2012). Penelitian ini menggambarkan

bahwa kondisi fisik yang terganggu membuat mereka terbatas dalam melakukan

aktivitas yang berhubungan dengan diri sendiri maupun aktivitas sosial. Hal ini

terkait dengan aspek otonomi dan penguasaan lingkungan yang mereka

lakukan. Penyandang gagal ginjal yang mengarahkan aktivitas pada tujuan

hidupnya dan memiliki keyakinan untuk mencapainya maka mereka mampu

mengembangkan diri secara personal. Hal ini menggambarkan bahwa penting

bagi individu yang memiliki penyakit fisik untuk tetap memiliki tujuan hidup,

aktivitas yang terarah dan keyakinan diri sehingga mampu menemukan potensi

diri dan terus mengembangkannya untuk meraih kebahagiaan.

Gambaran di atas seiring dengan pendapat Papalia, Olds dan Feldman

(2009) yang mengemukakan bahwa orang yang memiliki kesejahteraan

psikologis yang baik adalah orang yang mampu merealisasikan potensi dirinya

secara kontinu, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain,

memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, menerima diri apa adanya,

memiliki arti dalam hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal.

Kesejahteraan psikologis memiliki peranan dalam pencegahan dan

penyembuhan suatu penyakit sehingga dapat meningkatkan harapan hidup

penderita (Vazques dkk, 2009).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan berhasil untuk meningkatkan

kesejahteraan psikologis di antaranya yaitu Cognitive Behavior Therapy

mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja gay (Wardani, 2014),

Konseling “Kebermaknaan Hidup” mampu mempengaruhi kesejahteraan

psikologis difabel yang dilakukan oleh Perwitasari (2012), Dewi (2012)

melakukan penelitian yang membuktikan bahwa Pelatihan Manajemen Distres

Berbasis Mindfulness (MDBM) dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis

pada orang dengan HIV AIDS (ODHA). Group Positive Psychotherapy juga

terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja yang dilakukan

oleh Wardiyah (2013). Demikian pula Group Positive Psychotherapy yang

dilakukan oleh Prabowo (2011) mampu meningkatkan Psychological Well-

Being Mahasiswa di Universitas YARSI. Penelitian yang dilakukan oleh

Hidayah (2014) membuktikan bahwa Group Positive Psychotherapy efektif

untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada orang dengan HIV/ AIDS

(ODHA) di Boyolali.

Beberapa penelitian sebelumnya cukup banyak membuktikan group

positive psychotherapy efektif dan berpengaruh signifikan untuk meningkatkan

kesejahteraan psikologis namun belum pernah ada yang meneliti pengaruhnya

terhadap penderita Diabetes Mellitus. Group positive psychotherapy adalah

suatu model terapi dengan pendekatan kelompok yang menfokuskan upaya

membangun hidup yang menyenangkan, hidup yang terikat kegiatan-kegiatan,

dan hidup yang bermakna.

Menurut Parks-Sheiner (2009), Group positive psychotherapy merupakan

intervensi untuk mencapai target hidup yang menyenangkan, keterlibatan dalam

aktivitas, dan kebermaknaan hidup. Group positive psychotherapy terdiri dari

beberapa teknik yaitu Tiga Hal Baik (Three Good Things), Pergunakan

Kekuatanmu (Using Your Strenghts), Kunjungan Terimakasih (The Gratitude

Visit), Biografi (Obituary), Respon Aktif/ Konstruktif (Active-Constructive

Responding), Menikmati Kegiatan Sehari-hari (Savoring). Keenam teknik ini

digunakan untuk mencapai tiga sasaran utama dalam group positive

psychotherapy yaitu hidup yang menyenangkan, hidup terikat pada kesibukan,

hidup yang bermakna (Seligman, 2006). Oleh karena itu, peneliti ingin

mengetahui peningkatan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes

mellitus tipe 2 dengan menggunakan group positive psychotherapy.

5. Teori/definisi dari variable yang terlibat :

Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus disebut the great imitator karena diabetes mellitus

termasuk penyakit yang menyebabkan komplikasi pada bagian tubuh yang

jika penanganannya tidak dilakukan dapat menyebabkan kematian (Sam,

2007). Menurut Tjokroprawiro (2006), penyakit diabetes melitus dapat

menyerang semua organ tubuh berupa komplikasi penyakit, seperti

kebutaan, gagal ginjal, stroke, dan jantung. Seseorang yang sudah

dinyatakan memiliki diabetes mellitus harus melakukan pengobatan seumur

hidup.

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang paling kompleks dan

menuntut banyak perhatian maupun usaha dalam pengelolaannya

dibandingkan dengan penyakit kronis lainnya, karena penyakit diabetes

tidak dapat diobati namun hanya dapat dikelola (Kusumadewi, 2011).

Diabetes mellitus merupakan kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin atau keduanya yang harus dilakukan pengelolaan sehingga

tidak terjadi komplikasi lebih lanjut. Pengelolaan diabetes mellitus meliputi

edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis yang

dapat diberikan melalui edukasi terpadu (Yulishati, 2014).

Dikemukakan oleh Karlsen (2002) bahwa penyakit diabetes mellitus

khususnya tipe 2 menuntut seseorang untuk melakukan perubahan dalam

gaya hidupnya terkait dengan diet dan olahraga yang harus dilakukan serta

melakukan pengobatan oral secara ruti. Menurut Jacobson (Karlsen, 2002),

penyakit diabetes mellitus memberikan pengaruh pada kesejahteraan

psikologis seseorang karena gejala dan perawatan yang memberatkan

penderita serta komplikasi yang dapat melemahkan dan bahkan dapat

mengancam jiwa seseorang. Apabila tidak dilakukan kontrol yang tepat

terhadap reaksi-reaksi psikologis atau respon-respon secara emosional,

khususnya ketika tidak ada hal yang dapat dilakukan penderita untuk

mengubah situasi, maka penderita cenderung mengalami ketidakmampuan

penyesuaian secara fisik dan kesejahteraan psikologis (Sarafino, 1997).

Kesejahteraan Psikologis

Hayes dan Ross (Temane & Wissing, 2006) mengemukakan bahwa

kesejahteraan psikologis dapat dipredikisi oleh kesehatan fisik yang baik.

Apabila kesehatan fisik berada dalam kondisi rendah atau buruk, maka akan

meningkatkan perasaan sedih, patah semangat terhadap masa depan, merasa

sangat letih, serta mengalami penurunan kepercayaan diri dan disiplin diri.

Kesejahteraan psikologis merupakan pencapaian penuh dari potensi

psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima

kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup,

mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi

yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan terus betumbuh

secara personal (Ryff, 1995). Kesehatan fisik mempengaruhi kesejahteraan

psikologis individu. Hal ini senada dengan faktor-faktor yang

mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Mirowsky

dan Ross (1999) yang meliputi emosi dan kesehatan serta fungsi fisik,

pekerjaan, pernikahan, anakanak, kondisi masa lalu seseorang terutama pola

asuh keluarga, dan faktor kepercayaan,

Group Positive Psychotherapy

Group Positive Psychotherapy juga terbukti mampu meningkatkan

kesejahteraan psikologis remaja yang dilakukan oleh Wardiyah (2013).

Demikian pula Group Positive Psychotherapy yang dilakukan oleh

Prabowo (2011) mampu meningkatkan Psychological Well-Being

Mahasiswa di Universitas YARSI. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayah

(2014) membuktikan bahwa Group Positive Psychotherapy efektif untuk

meningkatkan kesejahteraan psikologis pada orang dengan HIV/ AIDS

(ODHA) di Boyolali.

Beberapa penelitian sebelumnya cukup banyak membuktikan group

positive psychotherapy efektif dan berpengaruh signifikan untuk

meningkatkan kesejahteraan psikologis namun belum pernah ada yang

meneliti pengaruhnya terhadap penderita Diabetes Mellitus. Group positive

psychotherapy adalah suatu model terapi dengan pendekatan kelompok

yang menfokuskan upaya membangun hidup yang menyenangkan, hidup

yang terikat kegiatan-kegiatan, dan hidup yang bermakna. Menurut Parks-

Sheiner (2009), Group positive psychotherapy merupakan intervensi untuk

mencapai target hidup yang menyenangkan, keterlibatan dalam aktivitas,

dan kebermaknaan hidup.

Group positive psychotherapy terdiri dari beberapa teknik yaitu Tiga

Hal Baik (Three Good Things), Pergunakan Kekuatanmu (Using Your

Strenghts), Kunjungan Terimakasih (The Gratitude Visit), Biografi

(Obituary), Respon Aktif/Konstruktif (Active-Constructive Responding),

Menikmati Kegiatan Sehari-hari (Savoring). Keenam teknik ini digunakan

untuk mencapai tiga sasaran utama dalam group positive psychotherapy

yaitu hidup yang menyenangkan, hidup terikat pada kesibukan, hidup yang

bermakna (Seligman, 2006).

6. Hipotesis :

Group positive psychotherapy mampu meningkatkan kesejahteraan

psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dan kelompok yang

mendapatkan intervensi group positive psychotherapy lebih tinggi tingkat

kesejahteraan psikologis dibandingkan dengan kelompok yang tidak

mendapatkan group positive psychotherapy.

7. Sampel/subjek penelitian :

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita diabetes mellitus tipe 2 yang

berada di bawah wilayah kerja Puskesmas Ngemplak 1 dan Ngemplak 2,

Sleman. Adapun kriteria subjek penelitian adalah memiliki diagnosa penyakit

diabetes mellitus tipe 2, laki-laki atau perempuan berusia 47-64 tahun dengan

alasan bahwa penyakit diabetes mellitus tipe 2 diderita antara usia pertengahan

dan usia lanjut dengan serangan awal terjadi setelah usia 40 tahun, memiliki

kemampuan baca dan tulis, tidak sedang mengikuti intervensi psikologis

apapun, memiliki skor kesejahteraan psikologis dengan kategori sedang, rendah

dan sangat rendah, serta bersedia mengikuti rangkaian penelitian dari prates

hingga tindak lanjut.

8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen :

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kuasi

eksperimen. Partisipan yang diambil adalah partisipan yang memenuhi salah

satu atau dua kriteria sekaligus, yaitu masuk dalam kategori sedang, rendah, dan

sangat rendah di dalam skala kesejahteraan psikologis. Pada penelitian ini

metode eksperimen dilakukan dengan memberikan perlakuan berupa group

positive psychotherapy untuk melihat peningkatan kesejahteraan psikologis

pada penderita diabetes mellitus tipe 2.

9. Metode Pengambilan Data :

Metode penelitian yang digunakan dalam melakukan pengumpulan data

adalah dengan menggunakan observasi, wawancara, dan skala kesejahteraan

psikologis. Skala yang digunakan merupakan skala yang dimodifikasi dari skala

yang pernah ada dan dibuat oleh peneliti sebelumnya. Skala kesejahteraan

psikologis disusun berdasarkan dimensi-dimensi kesejahteran psikologis yang

dikemukakan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan diri, relasi positif dengan

sesama, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan

pribadi.

Skala kesejahteraan psikologis ini terdiri atas 29 aitem favorable dan

unfavorable. Setiap pernyataan dalam skala kesejahteraan psikologis ini

meminta respon dari subjek dengan memilih salah satu alternatif jawaban yang

telah disediakan. Skala ini disusun berdasarkan skala Likert yang terdiri atas 4

alternatif jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan

sangat tidak sesuai (STS). Hasil uji coba skala kesejahteraan psikologis

menunjukkan bahwa dari 29 butir pernyataan, 22 butir dinyatakan sahih dan 7

butir dinyatakan gugur. Koefisien korelasi untuk skala yang sahih bergerak

antara 0,319 hingga 0,682. Hasil uji coba reliabilitas skala kesejahteraan

psikologis menunjukkan bahwa koefisien korelasi sebesar 0,855.

10. Pelaksanaan Penelitian :

Adapun prosedur penelitian pada penelitian ini yaitu: Pertama, perijinan

tempat untuk melakukan screening. Kedua, screening menggunakan skala

penelitian kepada orang dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Hasil skala dengan

kategori sedang dan rendah serta memenuhi kriteria dipilih menjadi subjek

penelitian. Data ini juga digunakan sebagai prates. Ketiga, wawancara untuk

menggali permasalahan dan pemberian Informed Consent kepada subjek

penelitian. Keempat, penentuan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.

Kelima, seleksi fasilitator dan ko-fasilitator, serta observer. Kelima,

pelaksanaan intervensi Group Positive Psychotherapy pada kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi.

11. Metode Analisis Data :

Penelitian ini menggunakan beberapa teknik analisis data. Teknik analisis

data parametrik yang digunakan adalah one-way repeated measures anova,

yaitu teknik analisis untuk melihat apakah ada perubahan (prates-pascates-

tindak lanjut) pada kelompok eksperimen. Selain itu dilakukan juga uji

independent sample t-test untuk membandingkan kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol. Analisis dari variabel-variabel tersebut dilakukan dengan

program komputer SPSS (Statistical Product and Service Solution) for

windows.

12. Hasil Penelitian :

Jumlah subjek penelitian pada kelompok eksperimen sebanyak 6 penderita

diabetes mellitus tipe 2, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Subjek yang

masuk ke dalam kelompok eksperimen merupakan anggota terapi yang

dilakukan selama 3 kali pertemuan. Penelitian ini melakukan pengukuran

sebanyak tiga kali, yaitu sebelum intervensi dilakukan (prates), setelah

intervensi diberikan (pascates) dan 2 minggu setelah intervensi diberikan

(tindak lanjut).

Hasil pengukuran pascates menunjukkan semua kelompok eksperimen

mengalami peningkatan skor kesejahteraan psikologis setelah diberikan

intervensi berupa group positive psychotherapy. Sedangkan pada kelompok

kontrol terdapat 1 subjek yang mengalami peningkatan skor, 2 subjek yang

mendapatkan skor tetap, dan 3 subjek yang mengalami penurunan skor.

Berdasarkan tabel analisis statistik, diketahui bahwa rata-rata skor pada

prates kelompok eksperimen sebesar 49.33 dan kelompok kontrol 50.67. Hal ini

berarti bahwa rata-rata skor pada kelompok kontrol lebih tinggi dari kelompok

eksperimen. Sedangkan, setelah terapi (pascates) diketahui bahwa rata-rata skor

kelompok eksperimen lebih tinggi dibanding kelompok control, yaitu 58.33

berbanding 50.33. Hal ini juga dialami pada tahap tindak lanjut, rata-rata skor

kelompok eksperimen (57.00) lebih tinggi dibanding rata-rata skor kelompok

kontrol (49.33).

Hasil uji normalitas dari skala kesejahteraan psikologis diperoleh nilai K-

SZ = 0.631 dan p = 0.821 sehingga penyebaran data skala kesejahteraan

psikologis dapat dikatakan normal. Hasil uji homogenitas pada kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol pada penelitian ini memperoleh nilai levene

statistic = 0.833 dan nilai p = 0.383 berarti nilai p>0.05 sehingga dapat

dikatakan bahwa proporsi kedua kelompok adalah homogen.

Pada tabel analisis statistik, nilai Wilks’ Lambda = 0.153, p= 0.00 (p<0.01)

menunjukkan ada perubahan secara sangat signifikan pada skor kesejahteraan

psikologis kelompok ekperimen dalam tiga kali pengukuran. Hal ini berarti

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor prates dengan pascates

pada kelompok eksperimen, dan juga terdapat perbedaan yang signifikan antara

skor prates dengan tindak lanjut pada kelompok eksperimen. Perbedaan antara

skor prates-pascates-tindak lanjut yang dimaksud yaitu terjadi perubahan skor

prates-pascates yang semakin meningkat berdasarkan nilai Mean kelompok

eksperimen dari 49.33 menjadi 58.33. Pada tindak lanjut diperoleh Mean 57.00.

Kedua Mean terlihat lebih tinggi jika dibandingkan dengan Mean prates. Nilai

Partial Eta Square pada baris diperoleh nilai 0.847, hal ini berarti bahwa

sumbangan efektif sebesar 84,7.

Ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol setelah terapi diberikan, dengan nilai p=0.000 (p<0.01) pada

saat prates-pascates dan p=0.001 (p<0.01) pada saat prates-tindak lanjut.

13. Kesimpulan :

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan

bahwa group positive psychotherapy dapat meningkatkan kesejahteraan

psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Kelompok yang

mendapatkan intervensi group positive psychotherapy lebih tinggi tingkat

kesejahteraan psikologis dibandingkan dengan kelompok yang tidak

mendapatkan group positive psychotherapy.

JURNAL 3

JURNAL PSIKOLOGI

VOLUME 38, NO. 1, JUNI 2011: 92 – 107

Pengaruh Terapi Menulis Pengalaman Emosional

Terhadap Penurunan Depresi pada

Mahasiswa Tahun Pertama

Theresia Genduk Susilowati1

Nida Ul Hasanat2

Fakultas Psikologi

Universitas Gadjah Mada

Abstract

In the first year, college students will get the stressful events which related to leave

parents and friends, also the transition of educational system and new home stay. The stressful

events can cause negative of cognitive and emotional responses to college students. Therefore,

it can cause depression on college student self. This research aims to test the effect writing

about emotional experiences therapy on reducing depression for the first year college students.

Research design uses two matched groups design. Subjects (N=12) were divided into

experimental group (n=6) or control group (n=6). The experimental group was instructed to

write about emotional experiences in four writing sessions lasting ± 30 minutes. Outcomes

were measured at pretest, posttest, and follow up by Mixed ANOVA Design. Between Group

ANOVA indicated the groups differed significantly on depression (F=25.88, p=.001). Within

Group ANOVA indicated that experimental group reported significantly reduced depression

at pretest, posttest, and follow up (F=33.72, p=.001). Post hoc test revealed that the repeat

experimental group reported significantly reduced depression at pretest-posttest (p=.003),

posttest-follow up (p>0,33), and pretest-follow up (p<0,01). This result indicated that writing

about emotional experience therapy can reduce depression for first year college students.

Keywords: writing about emotional experiences therapy, depression, first year college students

Memasuki pendidikan tinggi merupa-

kan masa transisi dari pendidikan sekolah

menengah ke pendidikan tinggi. Masa tran-

sisi ini merupakan periode yang menekan

bagi mahasiswa karena dihadapkan de-

ngan situasi-situasi dan tuntutan baru

(Duffy & Atwater, 2002; Wei, Russell, &

Zakalik, 2005).

Kejadian-kejadian menekan yang dia-

lami mahasiswa adalah perpisahan dengan

1

Korespondesi dengan penulis dapat dilakukan

melalui: [email protected] 2 Atau dengan menghubungi: [email protected]

orang tua, perpisahan dengan sahabat,

perpindahan tempat tinggal, perubahan sis-

tem pendidikan, dan pertentangan sistem

nilai (Pennebaker, Colder, & Sharp, 1990).

Selain itu, mahasiswa yang sedang berada

pada masa remaja juga dapat dihadapkan

dengan kejadian-kejadian menekan lainnya

seperti konflik hubungan dengan pacar,

rendahnya prestasi akademik, konflik de-

ngan orang tua atau teman sebaya (Blau,

1996), dan masalah keuangan (Furr, Conell,

Westefeld, dan Jenkins, 2001).

Pada tahun pertama kuliah, mahasiswa

dituntut untuk mengatasi semua masalah

92

dan konflik yang dialami serta melakukan

penyesuaian terhadap lingkungan baru.

Kegagalan mahasiswa untuk mengatasi

permasalahan dan melakukan penyesuaian

terhadap kejadian-kejadian yang menekan

tersebut akan memicu timbulnya depresi

dalam diri mahasiswa (Fisher, 1988;

Mazure, 1998; Rey, 1995).

Menurut pandangan kognitif, reaksi

emosi muncul ketika individu menghadapi

situasi tertentu. Reaksi emosi seseorang

ditentukan oleh bagaimana individu meng-

interpretasikan pengalaman-pengalaman-

nya terhadap situasi tersebut (Beck, 1985;

Burns, 1988). Pemikiran individu terhadap

situasi menekan yang dihadapi akan

menentukan kualitas dan intensitas reaksi

emosi (Lazarus, 1991). Martin dan Dahlen

(2005) dalam penelitiannya menemukan

bahwa pemikiran-pemikiran negatif dapat

memunculkan reaksi emosi yang negatif

pada diri seseorang. Pemikiran-pemikiran

tersebut adalah menyalahkan diri sendiri,

menyalahkan orang lain dan lingkungan,

ruminasi, dan katastrofi. Keempat pemi-

kiran negatif tersebut menurunkan peni-

laian positif dan penerimaan akan situasi

yang dihadapi. Selain itu, pemikiran-pemi-

kiran negatif tersebut berhubungan dengan

depresi.

Reaksi emosi juga melibatkan dua sis-

tem afektif, yaitu afek positif dan afek

negatif. Berkaitan dengan sistem afektif

tersebut, depresi melibatkan rendahnya

afek positif dan tingginya afek negatif

(Clark, Watson, & Mineka, 1994).

Beck (1985; Dowd, 2004; Greenberger &

Padesky, 1995) mengemukakan bahwa

depresi ditandai dengan pandangan negatif

mengenai diri sendiri, dunia, dan masa

depan. Individu dapat mengalami depresi

karena ia memiliki skema kognitif yang

negatif. Skema kognitif ini dikembangkan

dari masa kanak-kanak atau remaja dan

bersifat disfungsional. Skema kognitif yang

negatif tersebut dapat mengantarai mun-

culnya depresi ketika individu mengalami

kejadian-kejadian yang menekan dengan

cara menginterpretasikan dan memberikan

pandangan yang negatif terhadap kejadian-

kejadian yang menekan (Beck, 1985; Dowd,

2004).

Dari penjelasan di atas, depresi meru-

pakan suatu gangguan emosional atau

perasaan. Depresi yang dibiarkan terus

berlanjut akan berdampak buruk pada

individu yang mengalaminya sehingga

perlu adanya intervensi untuk mengata-

sinya. Beberapa intervensi telah dilakukan

untuk mengatasi atau menurunkan sim-

tom-simtom depresi. Salah satu intervensi

yang dapat dilakukan untuk mengatasi

atau menurunkan simtom-simtom depresi

adalah Terapi Menulis Ekspresif atau

Menulis Pengalaman Emosional (Lepore,

1997; Purwandari, 2004; Sloan & Marx,

2004).

Metode menulis ekspresif atau menulis

pengalaman emosional telah menjadi kajian

yang menarik pada dua dekade belakangan

ini. Menurut Poerwadarminta (1976), me-

nulis adalah suatu aktivitas melahirkan

pikiran dan perasaan dengan tulisan.

Menulis berbeda dengan berbicara. Menu-

lis memiliki suatu kekuatan tersendiri kare-

na menulis adalah suatu bentuk eksplorasi

dan ekspresi area pemikiran, emosi dan

spiritual yang dapat dijadikan sebagai

suatu sarana untuk berkomunikasi dengan

diri sendiri dan mengembangkan suatu

pemikiran serta kesadaran akan suatu

peristiwa (Bolton, 2004).

Terapi Menulis adalah suatu aktivitas

menulis yang mencerminkan refleksi dan

ekspresi klien baik itu karena inisiatif sen-

diri atau sugesti dari seorang terapis atau

peneliti (Wright, 2004). Pusat dari terapi

menulis lebih pada proses selama menulis

daripada hasil dari menulis itu sendiri

sehingga penting bahwa menulis adalah

suatu aktivitas yang personal, bebas kritik,

dan bebas dari aturan bahasa seperti tata

bahasa, sintaksis, dan bentuk (Bolton,

2004). Oleh karena itu, menulis dapat

disebut sebagai bentuk terapi yang meng-

gunakan teknik sederhana, murah, dan

tidak membutuhkan umpan balik (Penne-

baker, 1997; Pennebaker & Chung, 2007).

Dalam seting klinis, Terapi Menulis Penga-

laman Emosional atau Menulis Ekspresif

dapat diartikan sebagai suatu terapi de-

ngan aktivitas menulis mengenai pikiran

dan perasaan yang mendalam terhadap

pengalaman-pengalaman yang berkaitan

dengan kejadian-kejadian yang menekan

atau bersifat traumatik (Pennebaker, 1997;

Pennebaker & Chung, 2007).

Lepore et al. (2002) dalam kajiannya

menunjukkan bahwa menulis ekspresif

atau menulis mengenai pengalaman-penga-

laman emosional dapat memfasilitasi regu-

lasi emosi melalui tiga mekanisme, yaitu:

(a) mengarahkan perhatian, (b) memfasili-

tasi habituasi (pembiasaan), dan (c) mem-

bantu restrukturisasi kognitif.

Pennebaker et al. (1990) dalam pene-

litiannya menunjukkan bahwa masa tran-

sisi yang dialami mahasiswa baru meng-

akibatkan mahasiswa mengalami mood

negatif dan hambatan untuk melakukan

penyesuaian psikologis sampai akhir

semester pertama. Mahasiswa seringkali

menghadapi konflik dan perasaan takut

berkaitan dengan meninggalkan rumah,

perubahan peraturan, dan memasuki per-

kuliahan. Dengan menuliskan pikiran dan

perasaan mengenai pengalaman minggu

pertama kuliah, mahasiswa memperoleh

perubahan persepsi, perasaan, dan kese-

hatan.

Penelitian mengenai efektivitas terapi

untuk menurunkan simtom-simtom de-

presi pada mahasiswa telah dilakukan oleh

Lepore (1997). Lepore menggunakan Terapi

Menulis Ekspresif atau Menulis Penga-

laman Emosional untuk menurunkan

simtom-simtom depresi pada mahasiswa

sebelum menghadapi ujian. Penurunan

simtom-simtom depresi tersebut dapat

terjadi karena diantarai oleh menurunnya

tingkat emosional negatif yang diakibatkan

oleh pikiran-pikiran yang mengganggu

(instrusive thoughts).

Efektivitas menulis pengalaman emo-

sional untuk menurunkan depresi telah

dibuktikan oleh penelitian Purwandari

(2004) pada remaja yang mengalami

rehabilitasi NAPZA. Purwandari menge-

mukakan bahwa pemikiran positif terjadi

karena adanya penurunan bias memori

otobiografi. Memori otobiografi adalah

muatan emosi peristiwa-peristiwa yang

pernah dilalui remaja, baik yang bersifat

menyenangkan (positif) atau menyedihkan

(negatif). Pada saat remaja mengalami

depresi, mereka akan mengalami distorsi

kognitif sehingga mengalami bias karena

perasaan-perasaan negatif saja yang dii-

ngat. Pemikiran positif dapat terjadi setelah

satu minggu intervensi menulis penga-

laman emosional dilaksanakan. Dari pene-

litian tersebut dapat diketahui bahwa

pemikiran positif yang paling besar terjadi

pada subjek dengan tingkat depresi berat.

Penelitian lain mengenai menulis

pengalaman emosional dan depresi juga

dilakukan oleh Sloan dan Marx (2004) pada

subjek yang mengalami simtom-simtom

Post Traumatic Stress Disorder dengan meng-

gunakan metode eksperimen. Menulis

pengalaman emosional berlangsung selama

tiga sesi menulis selama tiga hari berturut-

turut dan setiap sesi berlangsung selama 20

menit. Selain itu, follow up dilakukan pada

minggu ke dua dan ke empat. Penelitian

Sloan dan Marx ini menunjukkan bahwa

menulis pengalaman emosional secara

klinis dapat menurunkan simtom-simtom

depresi. Subjek dalam kelompok menulis

pengalaman emosional melaporkan menu-

runnya simtom-simtom depresi setelah me-

nulis pengalaman emosional dan follow up.

Pada penelitian ini, peneliti ingin meli-

hat pengaruh menulis pengalaman emo-

sional terhadap penurunan depresi pada

mahasiswa tahun pertama. Hipotesis yang

diajukan adalah Terapi Menulis Pengala-

man Emosional dapat menurunkan depresi

pada mahasiswa tahun pertama.

Depresi pada mahasiswa tahun perta-

ma dapat menurun karena adanya restruk-

turisasi kognitif yang difasilitasi oleh me-

nulis pengalaman emosional. Restrukturi-

sasi kognitif dapat dilakukan dengan me-

ngevaluasi pikiran-pikiran negatif terhadap

stresor. Dengan melakukan evaluasi, akan

terjadi perubahan kognitif mahasiswa da-

lam memandang diri sendiri dan ling-

kungan berkaitan dengan stresor atau

perubahan reaksi emosi mereka terhadap

stresor.

Metode

Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah 12

mahasiswa tahun pertama Fakultas Psiko-

logi Universitas Gadjah Mada dengan ren-

tang usia 18-19 tahun. Karakteristik subjek

adalah mahasiswa tahun pertama yang

berasal dari luar daerah Yogyakarta dan

tinggal tidak bersama orang tua atau

tinggal di kos atau asrama. Subjek diseleksi

berdasarkan hasil skrining yang menunjuk-

kan skor depresi lebih dari 17 berdasarkan

Beck Depression Inventory (BDI)

Alat atau materi

Alat atau materi yang diberikan

pada subjek dalam penelitian ini adalah:

1. Beck Depression Inventory (BDI)

Beck Depression Inventory merupakan

skala untuk mengukur tingkat depresi

subjek. Pada penelitian ini, skala BDI

yang digunakan adalah skala BDI yang

telah diadaptasi ke dalam bahasa Indo-

nesia. Uji validitas dan reliabilitas skala

adaptasi BDI telah dilakukan oleh Ret-

nowati dengan subjek mahasiswa baru

(Susilowati, 2008). Dari uji validitas,

skala BDI sahih pada koefisien korelasi

sebesar 0,1936 sampai 0,6317 pada taraf

signifikansi 5 persen dan dari uji relia-

bilitas menggunakan tehnik analisis

Hoyt diperoleh koefisien keandalan

sebesar 0,844.

Beck Depression Inventory terdiri dari 21

aitem yang mengambarkan simtom-

simtom depresi, yaitu simtom afektif,

simtom kognitif, simtom motivasional,

dan simtom vegetatif-fisik. Skor total

dihitung dengan cara menjumlahkan

seluruh skor yang diperoleh untuk

masing-masing aitem. Skor total yang

didapatkan dari skala ini adalah antara

0 sampai 63. Subjek yang dinyatakan

depresi dalam penelitian ini adalah sub-

jek yang mengikuti klasifikasi Burns

(1988) yaitu dengan skor total 17 ke

atas.

2. The Positive and Negative Affect Schedule

(PANAS)

The Positive and Negative Affect Schedule

(PANAS) merupakan skala untuk

mengukur perasaan positif dan negatif.

Masing-masing skala perasaan positif

dan perasaan negatif terdiri dari 10

aitem. Skala ini menggunakan format

jawaban 5 poin skala Likert, yaitu: 1

(hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3

(kadang-kadang), 4 (sering), dan 5

(hampir selalu). Skor skala didapatkan

dengan menjumlahkan 10 aitem untuk

merefleksikan lebih tinggi perasaan

positif atau perasaan negatif.

Pada penelitian ini, skala PANAS yang

digunakan adalah PANAS yang telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indo-

nesia. Pada uji reliabilitas dan validitas

10 aitem perasaan negatif dan 10 aitem

perasaan positif adaptasi yang dilaku-

kan peneliti terhadap 60 orang maha-

siswa tahun pertama Fakultas Kegu-

ruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sanata Dharma ditemukan korelasi

aitem total sebesar 0,207-0,707 untuk

perasaan negatif dan 0,237-0,630 untuk

perasaan positif. Dari uji reliabilitas

diperoleh koefisien alfa Cronbach sebe-

sar 0,788 untuk perasaan negatif dan

0,775 untuk perasaan positif.

3. Cognitive-Emotion Regulation Question-

naire (CERQ).

Cognitive-Emotion Regulation Question-

naire (CERQ) digunakan untuk menge-

tahui pemikiran seseorang pada saat

atau setelah mengalami kejadian yang

mengancam atau menekan.

Cognitive-Emotion Regulation Question-

naire (CERQ) terdiri dari sembilan subs-

kala yaitu menyalahkan diri sendiri,

menyalahkan orang lain dan lingkung-

an, ruminasi (seringkali berpikir ten-

tang perasaan yang berkaitan dengan

kejadian-kejadian negatif), katastrofi

(pikiran pada teror yang dirasakan),

menyusun persfektif, memusatkan pi-

kiran pada hal positif, menilai adanya

hal yang positif, menerima situasi, dan

menyusun rencana (Garnefski et al.,

2002).

Masing-masing sub skala dalam CERQ

terdiri dari 4 aitem dengan format

jawaban 5 point skala Likert yaitu 1

(hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3

(kadang-kadang), 4 (sering), dan 5

(hampir selalu).

Penelitian ini menggunakan Skala

CERQ yang telah diterjemahkan ke da-

lam bahasa Indonesia. Pada penelitian

ini, uji reliabilitas dan validitas terha-

dap 60 mahasiswa tahun pertama

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendi-

dikan Universitas Sanata Dharma. Uji

validitas 16 aitem pemikiran negatif

dan 20 aitem pemikiran positif, dite-

mukan 15 aitem pemikiran negatif

sahih dengan korelasi aitem total

sebesar 0,321-0,720 dan 19 aitem pemi-

kiran positif sahih dengan korelasi

aitem total sebesar 0,260-0,674 dengan

aitem yang gugur adalah 10 dan 33. Uji

reliabilitas ditemukan koefisien reliabi-

litas Alfa Cronbach sebesar 0,863 untuk

pemikiran negatif dan 0,854 untuk

pemikiran positif.

4. Lembar kesediaan menjadi subjek pene-

litian (informed consent).

Lembar kesediaan subjek berisi penje-

lasan tentang penelitian, perjanjian

tentang pelaksanaan terapi, ketentuan,

manfaat, konsekuensi, jaminan keraha-

siaan identitas, dan komitmen untuk

mengikuti seluruh tahapan terapi.

5. Modul menulis pengalaman emosional

Modul menulis pengalaman emosional

disusun oleh peneliti sebagai panduan

dalam pelaksanaan terapi.

6. Buku harian

Buku harian ini disusun oleh peneliti

sebagai media untuk menulis penga-

laman emosional oleh subjek. Setiap

subjek diminta untuk menulis penga-

laman emosionalnya pada buku harian

selama 4 kali pertemuan. Setiap sesi

menulis berdurasi kurang lebih selama

30 menit.

Validitas buku harian ini ditentukan

berdasarkan validitas tampang (face

validity) dengan mengacu pada format

penampilan. Validitas tampang ditentu-

kan berdasarkan profesional judgment

bahwa buku ini layak digunakan seba-

gai alat intervensi. Buku harian dengan

desain dan tata letak yang baik dapat

memotivasi subjek untuk menulis de-

ngan baik (Kaloeti, 2007).

7. Lembar Kerja (Worksheet)

Lembar kerja ini berisi pernyataan ten-

tang hal-hal yang didapatkan oleh

subjek selama menulis pengalaman

emosional. Pernyataan yang diberikan

dalam lembar kerja ini adalah:

a. Tema kejadian yang dituliskan

b. Emosi-emosi yang muncul selama

menulis

c. Emosi yang dirasakan setelah me-

nulis

d. Hal-hal yang didapatkan selama

menulis

8. Alat tulis

Alat tulis berupa pulpen yang diberikan

kepada subjek.

Rancangan eksperimen

Rancangan penelitian yang digunakan

adalah two matched group design. Pengu-

kuran dalam penelitian ini menggunakan

desain pretest, posttest, dan follow up. Subjek

diberikan pretest sebelum pelaksanaan

tritmen dengan skala BDI, PANAS, dan

CERQ. Kemudian setelah pelaksanaan

tritmen dilakukan posttest dengan meng-

gunakan skala yang sama sebagai evaluasi

hasil tritmen, sehingga akan terlihat perbe-

daannya sebelum dan sesudah dilakukan

tritmen. Selanjutnya rentang waktu satu

minggu setelah semua sesi tritmen berakhir

dan dilakukan posttest, akan dilakukan

follow up untuk melihat efektivitas tritmen

lebih lanjut.

- X : Tanpa perlakuan

Y2 : Postest

Y3 : Follow up satu minggu setelah semua sesi

terapi dilakukan

Gambar 1. Rancangan eksperimen

Prosedur Penelitian

Secara garis besar prosedur penelitian

yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. hipotesisMelakukan uji coba modul. Uji

kelayak- an modul telah dilakukan

dengan melakukan simulasi sebanyak

empat kali simulasi terhadap lima

mahasiswa yaitu pada tanggal 15 Mei

2009 seba- nyak dua kali uji coba dan 26

Mei 2009 sebanyak dua kali uji coba.

2. Melakukan uji coba PANAS dan CERQ

pada tanggal 11-15 Mei 2009.

3. Melakukan skrining subjek berdasarkan

kriteria yang telah dibuat oleh peneliti

yaitu pada tanggal 22 Mei 2009. Skrin-

ing dilakukan pada 100 mahasiswa

semester II tahun pertama Fakultas

Psikologi Universitas Gajah Mada. Ber-

dasarkan skrining yang dilakukan

didapatkan 24 mahasiswa yang sesuai

dengan kriteria yang ditetapkan.

4. Peneliti membagi 24 mahasiswa terse-

but menjadi dua kelompok, 12 maha-

siswa untuk kelompok eksperimen dan

12 mahasiswa untuk kelompok kontrol

dengan matched skor depresi.

5. Meminta persetujuan subjek untuk

mengikuti penelitian dilakukan dengan Post

Pre test Perlakuan Follow penandatanganan lembar persetujuan

test up

KE Y1 X Y2 Y3

KK Y1 - X Y2 Y3

Keterangan:

KE : Kelompok eksperimen yang mendapat

perlakuan menulis pengalaman emosional

KK : Kelompok kontrol

Y1 : Pretest

X : Perlakuan menulis pengalaman emosional

menjadi subjek atau informed consent

pada tanggal 29 Mei 2009 untuk kelom-

pok eksperimen dan 3 Juni 2009 untuk

kelompok kontrol. Pada tahap ini,

mahasiswa yang bersedia mengikuti

penelitian adalah 9 untuk kelompok

eksperimen dan 10 untuk kelompok

kontrol.

6. Pemberian pretest yaitu berupa PANAS

dan CERQ pada 3 Juni 2009.

7. Proses terapi dimulai pada tanggal 3

sampai 10 Juni 2009. Pada pelaksanaan

terapi, subjek yang datang pada hari

pertama terapi adalah enam subjek dan

tiga subjek lainnya menyatakan meng-

undurkan diri. Sebelum memulai tera-

pi, subjek terlebih dahulu diberikan

informasi mengenai hal–hal yang ber-

hubungan dengan proses terapi seperti

aturan yang harus ditaati bersama dan

kegiatan yang dilakukan selama empat

kali pertemuan. Subjek diberikan terapi

berupa menulis pengalaman emosional

dengan menggunakan buku harian.

Terapi dilakukan selama empat kali

pertemuan yaitu pada tanggal 3, 5, 8,

dan 10 Juni 2009. Sebelum menulis,

subjek diberikan instruksi terlebih da-

hulu. Observer dilibatkan sebagai peng-

amat dalam setiap proses intervensi

dengan panduan lembar observasi.

8. Pemberian posttest berupa BDI, PANAS,

dan CERQ dilakukan pada tanggal 10

Juni 2009. Untuk kelompok eksperimen,

posttest diberikan pada akhir pertemuan

ke empat. Posttest ini diikuti oleh enam

subjek dari kelompok eksperimen dan

enam subjek dari kelompok kontrol.

Empat subjek dalam kelompok kontrol

gugur karena tidak bersedia mengikuti

posttest.

9. Follow up berupa pemberian BDI,

pemikiran subjek setelah mengikuti

Terapi Menulis Pengalaman Emosional.

11. Melakukan analisis kualitatif yaitu de-

ngan analisis naratif berdasarkan cerita

yang ditulis untuk mengetahui dina-

mika yang terjadi dalam Terapi Menulis

Pengalaman Emosional.

Hasil

Pada penelitian ini, analisis dilakukan

dalam dua cara, yaitu analisis kuantitatif

dan analisis kualitatif.

Analisis Kuantitatif

Pengujian hipotesis dilakukan dengan

membandingkan skor pretest, posttest, dan

follow up hasil pengukuran skala Beck

Depression Inventory (BDI) dengan meng-

gunakan Design Anava Campuran yang

terdiri Anava Antar Kelompok dan Anava

Amatan Ulang.

Hasil Anava Amatan Antar Kelompok

Depresi antara Kelompok Eksperimen dan

Kelompok Kontrol menunjukkan nilai F

hitung=25,88 dan p=0,001 (p<0,05), yang

berarti ada perbedaan yang signifikan an-

tara kelompok eksperimen dengan kelom-

pok kontrol.

Tabel 1

Rerata Skor Depresi pada Kelompok

Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Rerata PANAS, dan CERQ dilakukan setelah

satu minggu pemberian terapi menulis

pengalaman emosional pada buku

Kelompok

Penelitian

Kelompok

Rerata

pretest

Rerata

posttest follow

up

harian yaitu pada tanggal 17 Juni 2009.

Pada tahap follow up diikuti oleh enam

mahasiswa dari kelompok eksperimen

dan enam mahasiswa dari kelompok

kontrol.

10. Melakukan analisis kuantitatif, yaitu

untuk melihat apakah ada penurunan

depresi dan perubahan emosi serta

18,17 9 5,5 Eksperimen Kelompok

18,33 17,83 15,83 kontrol

Tabel 1 diatas memperlihatkan bahwa ada

penurunan depresi pada kelompok eks-

perimen dan kelompok kontrol. Penurunan

depresi terjadi lebih banyak pada kelom-

pok eksperimen dibandingkan dengan

kelompok kontrol.

Dari pengujian Anava Amatan Ulang

untuk mengetahui penurunan depresi

pretest, posttest, dan follow up pada subjek

kelompok eksperimendiketahui nilai F

hitung=33,72 dan p=0,001 (p<0,05) yang

berarti ada perbedaan depresi pada setiap

pengukuran pretest, posttest, dan follow up.

Hal ini menunjukkan adanya penurunan

depresi pada setiap pengukuran.

Untuk mengetahui perbedaan depresi

pada pretest, posttest, dan follow up dilaku-

kan pengujian Post Hoc. Hasil pengujian

Post Hoc memperlihatkan adanya penu-

runan yang signifikan depresi subjek antara

pretest, posttest, dan follow up. Pada peng-

ukuran pretest dan posttest terdapat perbe-

daan dengan p=0,003 (p<0,05) dan pada

pengukuran posttest dan follow up dengan

p=0,033 (p<0,05). Pada pengukuran pretest

dan follow up dengan p=0,001 (p<0,05).

Selanjutnya juga dilakukan analisis

dengan Anava Campuran untuk menge-

tahui perbedaan perubahan pemikiran dan

emosi pada setiap kelompok dan pada

setiap pengukuran.

Dari tabel 2 di atas dapat diketahui

adanya perubahan berupa peningkatan

maupun penurunan skor pretest, posttest,

dan follow up pada kelompok eksperimen

dan kelompok kontrol.

Hasil anava amatan antar kelompok

pemikiran pada kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol menunjukkan bahwa

pada pemikiran positif dihasilkan nilai

F=3,16 dan p=0,106 (p>0,05) yang berarti

tidak ada perbedaan yang signifikan peru-

bahan pemikiran positif pada kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini

menunjukkan bahwa peningkatan pemi-

kiran positif pada kelompok eksperimen

tidak menunjukkan perbedaan yang signi-

fikan dengan kelompok kontrol. Demikian

pula dengan pemikiran negatif yang meng-

hasilkan nilai F=0,551 dan p=0,475 (p>0,05).

Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang

signifikan perubahan pemikiran negatif

pada kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol. Dengan demikian, penurunan

pemikiran negatif pada kelompok ekspe-

rimen tidak menunjukkan perbedaan yang

signifikan dengan kelompok kontrol. De-

ngan demikian, dapat disimpulkan bahwa

menulis pengalaman emosional kurang

efektif untuk meningkatkan pemikiran

positif dan menurunkan pemikiran negatif

pada subjek.

Hasil anava amatan ulang pemikiran

positif dan negatif pada kelompok eks-

perimen menunjukkan bahwa terdapt nilai

Tabel 2

Rerata Pemikiran Positif, Pemikiran Negatif, Emosi Positif, dan Emosi Negatif

Rerata Rerata Rerata Variabel Kelompok Penelitian pretest posttest follow up

Pemikiran Positif Kelompok Eksperimen 74,50 75,83 77,50 Kelompok kontrol 70,67 69,50 71,67

Pemikiran Kelompok Eksperimen 41,83 41,00 39,33

Negatif Kelompok kontrol 43,33 42,83 44,67

Emosi Positif Kelompok Eksperimen 34,67 34,33 36,33 Kelompok kontrol 34,17 34,33 34,50

Emosi Negatif Kelompok Eksperimen 29,17 27,00 24,00 Kelompok kontrol 29,50 29,00 27,67

F=3,16 dan p=0,106 (p>0,05) untuk pemi-

kiran positif dan F=0,551 dan p=0,475

(p>0,05) untuk pemikiran negatif. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan

yang signifikan pemikiran positif maupun

pemikiran negatif pada pengukuran pretest,

posttest, dan follow up.

Hasil anava amatan antar kelompok

emosi positif dan emosi negatif pada

kelompok eksperimen dan kelompok kon-

trol memperlihatkan nilai F=0,171 dan

p=0,688 (p>0,05) untuk emosi positif dan

F=0,797 dan p=0,393 (p>0,05) untuk emosi

negatif. Hal ini menunjukkan bahwa tidak

ada perbedaan yang signifikan perubahan

emosi positif dan negatif pada kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa me-

nulis pengalaman emosional kurang efektif

untuk meningkatkan emosi positif dan

mengurangi emosi negatif pada diri subjek.

Dari hasil Anava Amatan Ulang pada

kelompok eksperimen didapatkan nilai

F=0,171 dan p=0,688 (p>0,05) untuk emosi

positif dan F=0,797 dan p=0,393 (p>0,05)

untuk emosi negatif yang berarti tidak ada

perbedaan yang signifikan emosi positif

maupun emosi negatif pada pengukuran

pretest, posttest, dan follow up. Hal ini

menunjukkan bahwa peningkatan emosi

positif dan penurunan emosi negatif pada

setiap pengukuran tidak signifikan.

Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan dengan

analisis naratif dengan sistem koding dari

cerita yang dituliskan subjek pada buku

harian dan jawaban yang diberikan subjek

pada lembar kerja setelah menulis penga-

laman emosional. Dari analisis naratif ini,

akan diketahui dinamika subjek dalam

menghadapi kejadian-kejadian menekan.

Dalam penelitian ini, topik-topik yang

dituliskan oleh subjek adalah topik menge-

nai konflik dengan diri sendiri, konflik

dengan teman lawan jenis, konflik dengan

teman sebaya, konflik dengan pacar, kon-

flik dengan orang tua, konflik dengan

pemilik kost, permasalahan yang berhu-

bungan dengan aktivitas akademik di

kampus, dan kurangnya dukungan sosial

yang diterimanya. Selain itu, menulis

pengalaman emosional juga dapat menjadi

sarana bagi subjek untuk mengekspresikan

emosi-emosi yang dirasakan berkaitan

dengan kejadian yang dialami oleh subjek.

Dari analisis naratif yang telah dike-

mukakan juga dapat dilihat bahwa per-

masalahan-permasalahan yang dialami

subjek dapat menimbulkan perasaan sedih,

putus asa, tidak berminat untuk melakukan

aktivitas, perasaan bersalah, menyalahkan

diri sendiri, dan menyalahkan orang lain.

Semua simtom – simtom ini merupakan

simtom dari depresi.

Dari analisi juga dapat diketahui bah-

wa terapi menulis pengalaman emosional

dapat memfasilitasi subjek untuk mengem-

bangkan pemikiran-pemikiran tertentu ber-

kaitan dengan kejadian-kejadian yang

dialami. Dengan menulis, subjek dapat

mengembangkan pemikiran untuk meneri-

ma situasi yang ada, memusatkan pemi-

kiran pada hal-hal yang positif dan menilai

hal-hal positif dari kejadian yang dialami.

Selain itu, menulis pengalaman emosional

juga mendorong subjek untuk memperoleh

suatu pemahaman atau insight, mengem-

bangkan motivasi dalam diri sendiri, serta

mendorong munculnya rasa optimis de-

ngan mengembangkan harapan–harapan

dan keyakinan.

Dari lembar kerja subjek dapat dike-

tahui bahwa selama menulis pengalaman

emosional, subjek mengalami emosi-emosi

yang sama dengan ketika subjek menga-

lami kejadian-kejadian yang dituliskan.

Ketika menuliskan pengalaman yang tidak

menyenangkan, subjek merasakan emosi-

emosi negatif seperti sedih, marah, jijik,

takut, menyesal, dan benci. Sebaliknya,

subjek yang menuliskan pengalaman yang

menyenangkan akan merasakan emosi-

emosi positif, seperti senang, bahagia, dan

lucu.

Emosi–emosi yang dirasakan tersebut

pada umumnya masih terasa pada saat

setelah sesi menulis. Akan tetapi, para sub-

jek mengemukakan bahwa setelah menulis

pengalaman emosional mereka merasa lega

karena telah mengemukakan emosi-emosi

dan pemikirannya.

Diskusi

Berdasarkan pelaksanaan Terapi

Menulis Pengalaman Emosional diperoleh

hasil bahwa Terapi Menulis Pengalaman

Emosional pada penelitian ini terbukti

dapat menurunkan depresi pada maha-

siswa tahun pertama. Penurunan depresi

terjadi segera setelah pelaksanaan seluruh

terapi (posttest) dan pada satu minggu

setelah pelaksanaan terapi selesai (follow

up). Hasil penelitian ini mendukung hasil

penelitian yang telah dilakukan Lepore

(1997) bahwa penurunan depresi terjadi

pada akhir terapi menulis pengalaman

emosional dan Sloan dan Marx (2004) yang

mengemukakan penurunan depresi terjadi

pada posttest dan follow up. Akan tetapi, hal

ini tidak sama dengan hasil penelitian yang

dikemukakan oleh Purwandari (2004) yang

mengemukakan bahwa penurunan depresi

hanya terjadi pada tindak lanjut (follow up)

atau satu minggu setelah Terapi Menulis

Pengalaman Emosional selesai.

Berdasarkan skor BDI, sebelum meng-

ikuti Terapi Menulis Pengalaman Emo-

sional, tingkat depresi subjek termasuk

sedang. Setelah mengikuti Terapi Menulis

Pengalaman Emosional, tingkat depresi

subjek menurun ke depresi ringan sampai

normal. Pada penelitian ini terlihat bahwa

semua subjek mengalami penurunan

depresi segera setelah terapi selesai. Pada

satu minggu setelah terapi selesai (follow

up), penurunan depresi kembali terjadi

pada 4 subjek penelitian (66,6%).

Dari pengukuran emosi dapat dilihat

bahwa 3 subjek (50%) mengalami penu-

runan emosi positif pada posttest namun 4

subjek (83%) mengalami peningkatan emo-

si positif pada follow up. Hasil penelitian ini

mendukung hasil penelitian yang dilaku-

kan oleh Pennebaker et al. (1990); Shiffield

et al. (2002); dan Paez, Velasco, & Gonzalez

(1999) bahwa terjadi penurunan emosi

positif pada postest dan peningkatan emosi

positif pada follow up. Akan tetapi, pada

penelitian ini penurunan emosi positif ini

tidak disertai dengan peningkatan emosi

negatif melainkan disertai penurunan

emosi negatif sebesar 66% pada posttest dan

83% pada follow up.

Hal yang berbeda dialami oleh subjek

ketika menuliskan pengalaman-pengala-

man yang menyenangkan seperti pergi ke

suatu tempat bersama teman-teman atau

ayah dan pertemuan dengan teman atau

sahabat. Dengan menuliskan pengalaman-

pengalaman yang positif atau menyenang-

kan maka subjek akan mengalami pening-

katan emosi-emosi positif setelah menulis

pengalaman emosional (Burton & King,

2004).

Pada penelitian ini, ditemukan tidak

adanya perbedaan emosi positif yang sig-

nifikan antara kelompok eksperimen de-

ngan kelompok kontrol pada pengukuran

posttest dan follow up. Demikian juga

dengan perubahan emosi negatif yang me-

nunjukkan tidak adanya perbedaan emosi

negatif yang signifikan antara kelompok

eksperimen dan kontrol. Hal ini kemung-

kinan karena (1) Pada saat menulis penga-

laman emosional, beberapa subjek cende-

rung menuliskan pengalaman-pengalaman

yang menyenangkan daripada menuliskan

pengalaman-pengalaman tentang kejadian

yang menekan dan permasalah-permasa-

lahannya. Menulis pengalaman emosional

yang menyenangkan dapat meningkatkan

emosi positif jangka pendek (Burton &

King, 2004; Pennebaker & Chung, 2007).

Namun, menulis pengalaman emosional

yang menyenangkan kurang memfasilitasi

subjek untuk menguasai permasalahan-

permasalahan yang terjadi di lingkungan-

nya dibandingkan dengan menulis penga-

laman-pengalaman yang menekan (Lyubo-

mirsky, Sousa, & Dickerhoof, 2006). Disam-

ping itu, subjek yang menuliskan penga-

laman-pengalaman yang menyenangkan

cenderung untuk menghindari kejadian-

kejadian yang menekan sehingga masih

mengalami pikiran-pikiran yang meng-

ganggu (Lepore,1997). (2) Ketika subjek

melakukan posttest dan follow up subjek

berada dalam kondisi dihadapkan oleh

banyak tugas akademik dan mempersiap-

kan diri untuk menghadapi ujian akhir

semester. Kondisi ini membuat beberapa

subjek seringkali mengalami emosi-emosi

negatif namun tidak mempengaruhi terja-

dinya depresi dalam diri subjek.

Pada penelitian ini, subjek juga menge-

mukakan bahwa dengan menulis penga-

laman emosional pada buku harian, subjek

dapat memberikan pendapat secara spon-

tan terhadap hal-hal yang dituliskan,

evaluasi pada diri sendiri, pertimbangan

untuk melakukan sesuatu, dan mendapat-

kan suatu pemahaman (insight). Pemaham-

an (insight) ini dapat terjadi karena adanya

proses kognitif selama menulis. Dengan

menulis, subjek menghadirkan kembali

peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian

melakukan penilaian kembali peristiwa-

peristiwa tersebut sehingga terjadi dialog

internal dalam diri subjek. Dalam dialog

internal tersebut, subjek akan memperoleh

insight dan kesadaran (Burns, 1988;

Purwandari, 2004). Hal ini juga mendu-

kung pendapat Singer (2004) bahwa menu-

lis pengalaman emosional merupakan sua-

tu aktivitas yang melibatkan suatu usaha

mengorganisasi, mengintegrasi, dan meng-

analisis suatu masalah untuk mengem-

bangkan suatu solusi.

Dari analisis kualitatif dengan sistem

koding berdasarkan cerita yang dibuat dan

lembar kerja dapat dilihat bahwa Terapi

Menulis Pengalaman Emosional dapat

memfasilitasi subjek untuk mengembang-

kan pemikiran-pemikiran yang positif dari

kejadian-kejadian menekan yang dialami-

nya. Pemikiran-pemikiran positif terhadap

kejadian-kejadian menekan ini dapat mun-

cul karena adanya restrukturisasi atau

perubahan kognitif selama menulis penga-

laman emosional. Restrukturisai kognitif

ini dapat memfasilitasi perubahan pemi-

kiran dan emosi yang dirasakan dengan

mengevaluasi stresor-stresor yang ada

(Lepore, 2002; Sloan, Marx, & Epstein,

2005). Namun, penelitian ini menunjukkan

bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan

pemikiran positif antara kelompok ekspe-

rimen dengan kelompok kontrol. Demikian

juga dengan pemikiran negatif yang

menunjukkan tidak ada perbedaan yang

signifikan pemikiran negatif antara kelom-

pok eksperimen maupun kelompok kon-

trol.

Secara teoritis, dengan menulis penga-

laman emosional akan terjadi proses kog-

nitif sehingga terjadi peningkatan pemi-

kiran-pemikiran positif (Paez, et al.,1999).

Namun, penelitian ini kurang memfasilitasi

subjek untuk mengembangkan pemikiran-

pemikiran positif. Hal ini kemungkinan

dikarenakan: (1) dalam setiap pertemuan,

subjek menuliskan topik yang berbeda-

beda ketika menulis sehingga kurang mem-

berikan penilaian terhadap kejadian-keja-

dian yang menekan secara menyeluruh dan

perubahan atau restrukturisasi kognitif

belum begitu nampak pada subjek (Paez, et

al., 1999; Sloan et al., 2005). (2) Berkaitan

dengan pelaksanaan terapi, pelaksanaan

terapi selama empat hari dirasa kurang

untuk memfasilitasi perubahan kognitif

pada diri subjek. (3) Berkaitan dengan alat

ukur perubahan kognitif atau CERQ,

kemungkinan alat ukur ini tidak sesuai

dengan budaya Indonesia.

Dari sesi sharing dalam setiap perte-

muan didapatkan bahwa menulis penga-

laman emosional lebih bermanfaat ketika

subjek berada dalam emosi negatif seperti

sedih, marah, dan kecewa. Dalam keadaan

emosi negatif, subjek dapat menuliskan

pengalaman-pengalamannya dengan lebih

cepat, lebih panjang, dan lebih ekspresif.

Dari proses terapi juga terlihat bahwa

durasi waktu untuk menulis selama 30

menit dirasa kurang untuk menuliskan

semua pemikiran dan emosi mengenai

kejadian-kejadian yang dituliskan sehingga

subjek kurang dapat menuliskan penga-

lamannya secara tuntas. Selain itu, adanya

jarak hari dari pertemuan 1 ke pertemuan 2

mengakibatkan subjek berada dalam

suasana hati yang berbeda sehingga subjek

mengalami kesulitan untuk melanjutkan

pengalaman yang telah dituliskan dan

ingin dilanjutkan pada hari sebelumnya

serta kesulitan untuk mencari tema cerita

yang baru.

Pelaksanaan terapi secara terjadwal

membuat subjek harus menuliskan penga-

laman emosionalnya pada waktu yang

telah ditentukan dengan kondisi suasana

hati yang belum tentu ingin menulis. Oleh

karena itu, subjek seringkali kesulitan

untuk mencari tema-tema cerita untuk

dituliskan.

Pada penelitian ini, pemberian terapi

pada subjek waiting list atau kelompok

kontrol setelah pelaksanaan terapi pada

kelompok eksperimen belum dapat dilak-

sanakan karena (1) pelaksanaan terapi

bertepatan dengan waktu ujian dan libur

akhir semester, (2) beberapa subjek meno-

lak untuk mengikuti terapi.

Keterbatasan dalam Penelitian ini

Keterbatasan dalam penelitian ini

adalah tidak adanya randomized assignment

terhadap subjek pada kelompok eksperi-

men dan kelompok kontrol setelah dila-

kukan matched skor subjek. Oleh karena itu,

penelitian ini dapat dikategorikan sebagai

Quasi Experiment yaitu eksperimen yang

disertai dengan pemberian tritmen, pengu-

kuran outcome, dan unit eksperimental

namun tidak menggunakan random assign-

ment untuk menciptakan perbandingan

perubahan akibat tritmen. Tidak adanya

randomized assignment tersebut dapat meng-

ancam validitas internal penelitian karena

randomized assignment berfungsi untuk (1)

menggambarkan sampel dapat mewakili

populasi, (2) menggambarkan sampel da-

pat diperbandingkan satu sama lain, (3)

mengurangi bias perbedaan antar kelom-

pok. Perbandingan pada kelompok yang

nonekuivalen yang ditujukan pada perbe-

daan masing-masing kelompok lebih terja-

di karena berbagai cara daripada pengaruh

tritmen yang dilakukan (Cook & Campbell,

1979).

Kelemahan dalam Penelitian ini

Ada beberapa kelemahan dalam pene-

litian ini, yaitu:

1. Subjek pada penelitian ini mengguna-

kan subjek mahasiswa tahun pertama

pada semester II sehingga subjek telah

melakukan penyesuaian terhadap per-

masalahan-permasalahan yang dihada-

pi berkaitan dengan masa transisi. Ada

kemungkinan apabila menggunakan

subjek mahasiswa tahun pertama

semester I akan memperoleh hasil yang

berbeda.

2. Instruksi pada modul menulis penga-

laman emosional kurang dapat meng-

arahkan subjek untuk mengemukakan

pengalaman-pengalaman pada keja-

dian-kejadian yang menekan dalam

kehidupannya sehingga terkadang sub-

jek cenderung menuliskan pengalaman

yang bersifat menyenangkan atau

netral.

3. Waktu menulis 30 menit dirasa kurang

untuk menulis pengalaman emosional

yang dirasakan sehingga subjek kurang

dapat mengemukakan perasaan dan

pemikirannya secara tuntas.

4. Adanya jarak hari pertemuan untuk

menulis pengalaman emosional menga-

kibatkan subjek mengalami suasana

hati yang berbeda-beda pada setiap

pertemuan sehingga subjek mengalami

kesulitan untuk melanjutkan menulis-

kan pengalaman dari pertemuan sebe-

lumnya.

5. Pelaksanaan Terapi Menulis Penga-

laman Emosional secara terjadwal pada

waktu tertentu mengakibatkan subjek

harus menulis pengalaman emosional

pada kondisi saat itu juga baik itu

sedang berminat untuk menulis

ataupun tidak.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil, proses, dan hal-hal

yang sangat memperngaruhi pelaksanaan

terapi, didapatkan beberapa hal sebagai

berikut:

1. Pada penelitian ini, Terapi Menulis

Pengalaman Emosional merupakan

sarana bantu diri yang terbukti efektif

menurunkan depresi pada mahasiswa

tahun pertama. Simtom-simtom dan

tingkat depresi pada semua subjek

mengalami penurunan. Sebelum meng-

ikuti terapi subjek berada pada kategori

sedang dan setelah mengikuti terapi

subjek berada pada kategori depresi

ringan dan normal.

2. Penurunan depresi terjadi karena me-

nulis pengalaman emosional memfasi-

litasi subjek untuk mengevaluasi,

menganalisis, dan menilai kembali

kejadian-kejadian menekan yang diala-

minya sehingga subjek mendapatkan

suatu pemahaman, mengembangkan

suatu solusi, memotivasi diri, menerima

keadaan yang ada, belajar dari apa

yang dialami, memusatkan pemikiran

pada hal-hal yang positif, dan menilai

hal-hal positif dari suatu kejadian.

Saran

Berdasarkan hasil dan proses terapi

yang dilaksanakan maka saran yang dia-

jukan adalah sebagai berikut:

1. Untuk kalangan profesional,

Terapi ini disarankan menjadi salah

satu program bagi mahasiswa baru se-

bagai sarana bantu diri untuk meng-

atasi depresi.

2. Kepada peneliti selanjutnya

a. Pada penelitian berikutnya perlu

untuk menggunakan mahasiswa ba-

ru semester pertama untuk menda-

patkan perbandingan hasil efekti-

vitas Terapi Menulis Pengalaman

Emosional pada mahasiswa semes-

ter pertama dan ke dua.

b. Pada penelitian berikutnya instruksi

dalam Terapi Menulis Pengalaman

Emosional lebih ditekankan untuk

menuliskan pengalaman-pengalam-

an negatif seperti pengalaman yang

membuat sedih atau marah.

c. Pada penelitian selanjutnya perlu

untuk memperpanjang durasi wak-

tu menulis. Hal ini bertujuan untuk

memberikan kesempatan bagi sub-

jek untuk mengemukakan semua

emosi dan pemikiran-pemikiran

yang muncul ketika menulis secara

tuntas.

d. Disarankan hari pelaksanaan yang

berlangsung secara berturut-turut.

Hal ini dimaksudkan agar subjek

masih mempunyai ingatan dan sua-

sana hati yang sama untuk melan-

jutkan topik tulisannya pada perte-

muan sebelumnya. Dengan demi-

kian, subjek dapat mengemukakan

semua pemikirannya secara menye-

luruh.

e. Disarankan pelaksanaan Terapi

Menulis Pengalaman Emosional di-

lakukan secara individu di rumah.

Hal ini dimaksudkan agar subjek

menulis ketika ia benar-benar da-

lam kondisi berminat untuk menu-

lis.

Kepustakaan

Antony, A. (2004). Therapy online: The

therapeutic relationship in typed text.

Dalam G. Bolton, S. Howlett, C. Lago,

& J. K. Wright (Ed.) Writing Cures: An

Introductory Handbook of Writing in

Counselling and Therapy (h. 133-141).

New York: Brunner Routledge.

Beck, A. T. (1985). Depression: Causes and

treatment. Philadelphia: University of

Pennsylvania Press.

Blau, G.M. (1996). Adolescent suicide and

depression. Dalam B. M. Blau &

Thomas P. Gultotta (Ed.), Adolescent

dysfunctional behavior: Causes, inter-

ventions, and prevention (h. 187 – 205).

London: Sage Publications.

Bolton, G. (2004). Introduction: Writing

cures. Dalam G. Bolton, S. Howlett, C.

Lago, & J. K. Wright (Ed.) Writing

Cures: An Introductory Handbook of

Writing in Counselling and Therapy (h. 1-

3). New York: Brunner Routledge.

Burns, D.D. (1988). Feeling good: The new

mood therapy [Terapi kognitif: Pende-

katan baru bagi penanganan depresi]

Jakarta: Erlangga.

Burton, C.M. & King, L. A. (2004). The

health benefits of writing about inten-

sely positive experiences. Journal of

Research in Personality, 38, 150-163.

Cook, T. D. & Campbell, D. T. (1979). Quasi

experimentation: Design and analysis

issues for field settings. Illinois: Hough-

ton Mifflin.

Clark, L.A., Watson, D., & Mineka, S.

(1994). Temperament, personality, and

the mood and anxiety disorder. Journal

of Abnormal Psychology, 103, 103-116.

Dowd, E. T. (2004). Depression: Theory,

assesment, and new directions in

practice. International Journal of Clinical

and Health Psychology, 413-423.

Duffy, K.G. & Atwater, E. (2002). Psychology

for living: Adjustment, growth, and

behavior today (7th ed.) New Jersey: Pren-

tice Hall.

Fisher, S. (1988). Leaving home: Home-

sickness and the psychological effects

of change and transition. Dalam S.

Fisher & J. Reason (Ed.), Handbook of life

stress, cognition, and health (h. 41-59).

England: Wiley.

Furr, S.R., Mc Connel, G.N., Westefeld, J.S.,

& Jenkins J.M. (2001). Suicide and

depression among college students: A

decade later. Professional Psychology:

Research and Practice, 32, 97-100.

Greenberger, D. & Padesky, C.A. (1995).

Mind over mood: Change how you feel by

changing the way you think. New York:

The Guilford Press.

Lazarus, R. S., (1991). Emotion and adap-

tation. New York: Oxford University

Press.

Lepore, S. J. (1997). Expressive writing

moderates the relation between intru-

sive thoughts and depressive symp-

toms. Journal of Personality and Social

Psychology, 73, 1030-1037.

Lepore, S.J. Greenberg, M.A., Bruno, M., &

Smyth, J.M., (2002). Expressive writting

and health: Self-regulation of emotion

related experience, physiology, and

behavior. Dalam Lepore & Smyth.The

writing cure: How expressive writing

promotes health and emotional well-being.

Washington, DC: American Psycholo-

gical Association press. Diunduh 13

Agustus 2008, dari http://www.faculty.

tc.columbia.edu/

upload/sl2201/Writing_Cure_Ch_6.pdf

Lyubomirsky, S., Sousa, L., & Dickerhoof,

R., (2006). The cost and benefits of

writing, talking, and thinking about

life’s triumphs and defeats. Journal of

Personality and Social Psychology, 90, 692-

708.

Martin, R.C., & Dahlen, E. R. (2005). Cog-

nitive emotion regulation in prediction

of depression, anxiety, stress, and

anger. Personality & Individual Diffe-

rences, 39, 1249-1260.

Mazure, M.M. (1998). Life stressors as risk

factors in depression. Clinical Psycho-

logy: Science and Practice, 5 , 291-313.

Paez, D., Velasco, C., & Gonzales, J.E. (1999)

Expressive writing and the role of

alexythimia as dispositional deficit in

self-disclosure and psychological

health. Jornal of Personality anf Social

Psychology, 77, 630-641.

Pennebaker, J. W. (1997). Writing about

emotional experiences as a therapeutic

process. Psychological Science, 8, 162-166

Pennebaker, J. W., & Chung, C.K. (2007).

Expressive writing, emotional uphea-

vals, and health. In H. Friedman and R.

Silver (Ed.), Handbook of Health Psy-

chology (h. 263 – 284). New York:

Oxford University Press.

Pennebaker, J.W., Colder, M., & Sharp, L.K.

(1990). Accelerating the coping process.

Journal of Personality and Social Psy-

chology, 58, 528-537.

Poerwadarminto, W. J. S. (1976). Kamus

Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai

Pustaka

Purwandari, E. (2004), Pengaruh menulis

pengalaman emosional terhadap memori

otobiografi dan depresi pada remaja yang

menjalani rehabilitasi napza. Tesis tidak

diterbitkan, Fakultas Psikologi Univer-

sitas Gadjah Mada Yogyakarta Indo-

nesia.

Rey, J. (2002). More than just the Blues:

Understanding serious teenage problems.

New South Wales: Simon and Schuster.

Sheffield, D., Duncan, E., Thomson, K., &

Johal, S. S. (2002). Written emotional

expression and well-being: Result from

a home-based study. The Australasian

Journal of Disaster and Trauma Studies,

2001. Diunduh 4 February 2008, dari

http://www.massey.ac.nz/~trauma/issu

es/2002-1/sheffield.htm

Singer, J. A. (2004). Narrative identity and

meaning making across the adult

lifespan: An introduction. Journal of

Personality, 72, 437-459.

Sloan, D. M., & Marx, B. P. (2004). A closer

examination of the structured written

disclosure procedure. Journal of Con-

sulting and Clinical Psychology, 72, 165-

175.

Sloan D. M., Marx, B.P., & Epstein, E.M.

(2005). Further examination of the

exposure model underlying the efficacy

of written emotional disclosure. Journal

of Consulting and Clinical Psychology, 73,

549-554.

Susilowati, L. (2008). Pelatihan berpikir positif

untuk mengelola depresi pada penyandang

cacat tubuh. Tesis tidak diterbitkan.

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta Indonesia.

Wei, M., Russell, D. W., & Zakalik, R. A.

(2005). Adult attachment, sosial self –

efficacy, self-disclosure, loneliness, and

subsequent depression for Freshman

College Students: A longitudinal study.

Journal of Counseling Psychology, 52, 602-

614.

Wright, J. K. (2004). The passion of science,

the precision of poetry: therapeutic

writing-a review of the literature.

Dalam G. Bolton, S. Howlett, C. Lago,

& J. K. Wright (Ed.) Writing Cures: An

Introductory Handbook of Writing in

Counselling and Therapy (h. 7-17). New

York: Brunner Routledge.

REVIEW JURNAL

1. Judul Penelitian :

Pengaruh Terapi Menulis Pengalaman Emosional Terhadap Penurunan Depresi pada

Mahasiswa Tahun Pertama

2. Nama Peneliti : Theresia Genduk Susilowati, Nida Ul Hasanat

3. Abstrak :

In the first year, college students will get the stressful events which related to leave

parents and friends, also the transition of educational system and new home stay. The

stressful events can cause negative of cognitive and emotional responses to college

students. Therefore, it can cause depression on college student self. This research

aims to test the effect writing about emotional experiences therapy on reducing

depression for the first year college students. Research design uses two matched

groups design. Subjects (N=12) were divided into experimental group (n=6) or

control group (n=6). The experimental group was instructed to write about emotional

experiences in four writing sessions lasting ± 30 minutes. Outcomes were measured at

pretest, posttest, and follow up by Mixed ANOVA Design. Between Group ANOVA

indicated the groups differed significantly on depression (F=25.88, p=.001). Within

Group ANOVA indicated that experimental group reported significantly reduced

depression at pretest, posttest, and follow up (F=33.72, p=.001). Post hoc test revealed

that the repeat experimental group reported significantly reduced depression at

pretest-posttest (p=.003), posttest-follow up (p>0,33), and pretest-follow up (p<0,01).

This result indicated that writing about emotional experience therapy can reduce

depression for first year collage student.

4. Pendahuluan/latar belakang masalah :

Memasuki1 pendidikan tinggi merupakan masa transisi dari pendidikan

sekolah menengah ke pendidikan tinggi. Masa transisi ini merupakan periode yang

menekan bagi mahasiswa karena dihadapkan dengan situasi-situasi dan tuntutan baru

(Duffy & Atwater, 2002; Wei, Russell, & Zakalik, 2005). Kejadian-kejadian menekan

yang dialami mahasiswa adalah perpisahan dengan orang tua, perpisahan dengan

sahabat, perpindahan tempat tinggal, perubahan sistem pendidikan, dan pertentangan

sistem nilai (Pennebaker, Colder, & Sharp, 1990). Selain itu, mahasiswa yang sedang

berada pada masa remaja juga dapat dihadapkan dengan kejadian-kejadian menekan

lainnya seperti konflik hubungan dengan pacar, rendahnya prestasi akademik, konflik

dengan orang tua atau teman sebaya (Blau, 1996), dan masalah keuangan (Furr,

Conell, Westefeld, dan Jenkins, 2001).

Pada tahun pertama kuliah, mahasiswa dituntut untuk mengatasi semua

masalah dan konflik yang dialami serta melakukan penyesuaian terhadap lingkungan

baru. Kegagalan mahasiswa untuk mengatasi permasalahan dan melakukan

penyesuaian terhadap kejadian-kejadian yang menekan tersebut akan memicu

timbulnya depresi dalam diri mahasiswa (Fisher, 1988; Mazure, 1998; Rey, 1995).

Menurut pandangan kognitif, reaksi emosi muncul ketika individu menghadapi situasi

tertentu. Reaksi emosi seseorang ditentukan oleh bagaimana individu

menginterpretasikan pengalaman-pengalamannya terhadap situasi tersebut (Beck,

1985; Burns, 1988). Pemikiran individu terhadap situasi menekan yang dihadapi akan

menentukan kualitas dan intensitas reaksi emosi (Lazarus, 1991). Martin dan Dahlen

(2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa pemikiran-pemikiran negatif dapat

memunculkan reaksi emosi yang negatif pada diri seseorang.

Pemikiran-pemikiran tersebut adalah menyalahkan diri sendiri, menyalahkan

orang lain dan lingkungan, ruminasi, dan katastrofi. Keempat pemikiran negatif

tersebut menurunkan penilaian positif dan penerimaan akan situasi yang dihadapi.

Selain itu, pemikiran-pemikiran negatif tersebut berhubungan dengan depresi. Reaksi

emosi juga melibatkan dua sistem afektif, yaitu afek positif dan afek negatif.

Berkaitan dengan sistem afektif tersebut, depresi melibatkan rendahnya afek positif

dan tingginya afek negatif (Clark, Watson, & Mineka, 1994). Beck (1985; Dowd,

2004; Greenberger & Padesky, 1995) mengemukakan bahwa depresi ditandai dengan

pandangan negatif mengenai diri sendiri, dunia, dan masa depan. Individu dapat

mengalami depresi karena ia memiliki skema kognitif yang negatif. Skema kognitif

ini dikembangkan dari masa kanak-kanak atau remaja dan bersifat disfungsional.

Skema kognitif yang negatif tersebut dapat mengantarai munculnya depresi ketika

individu mengalami kejadian-kejadian yang menekan dengan cara

menginterpretasikan dan memberikan pandangan yang negatif terhadap

kejadiankejadian yang menekan (Beck, 1985; Dowd, 2004). Dari penjelasan di atas,

depresi merupakan suatu gangguan emosional atau perasaan. Depresi yang dibiarkan

terus berlanjut akan berdampak buruk pada individu yang mengalaminya sehingga

perlu adanya intervensi untuk mengatasinya. Beberapa intervensi telah dilakukan

untuk mengatasi atau menurunkan simtom-simtom depresi. Salah satu intervensi yang

dapat dilakukan untuk mengatasi atau menurunkan simtom-simtom depresi adalah

Terapi Menulis Ekspresif atau Menulis Pengalaman Emosional (Lepore, 1997;

Purwandari, 2004; Sloan & Marx, 2004).

Metode menulis ekspresif atau menulis pengalaman emosional telah menjadi

kajian yang menarik pada dua dekade belakangan ini. Menurut Poerwadarminta

(1976), menulis adalah suatu aktivitas melahirkan pikiran dan perasaan dengan

tulisan. Menulis berbeda dengan berbicara. Menulis memiliki suatu kekuatan

tersendiri karena menulis adalah suatu bentuk eksplorasi dan ekspresi area pemikiran,

emosi dan spiritual yang dapat dijadikan sebagai suatu sarana untuk berkomunikasi

dengan diri sendiri dan mengembangkan suatu pemikiran serta kesadaran akan suatu

peristiwa (Bolton, 2004). Terapi Menulis adalah suatu aktivitas menulis yang

mencerminkan refleksi dan ekspresi klien baik itu karena inisiatif sendiri atau sugesti

dari seorang terapis atau peneliti (Wright, 2004). Pusat dari terapi menulis lebih pada

proses selama menulis daripada hasil dari menulis itu sendiri sehingga penting bahwa

menulis adalah suatu aktivitas yang personal, bebas kritik, dan bebas dari aturan

bahasa seperti tata bahasa, sintaksis, dan bentuk (Bolton, 2004). Oleh karena itu,

menulis dapat disebut sebagai bentuk terapi yang menggunakan teknik sederhana,

murah, dan tidak membutuhkan umpan balik (Pennebaker, 1997; Pennebaker &

Chung, 2007).

Dalam seting klinis, Terapi Menulis Pengalaman Emosional atau Menulis

Ekspresif dapat diartikan sebagai suatu terapi dengan aktivitas menulis mengenai

pikiran dan perasaan yang mendalam terhadap pengalaman-pengalaman yang

berkaitan dengan kejadian-kejadian yang menekan atau bersifat traumatik

(Pennebaker, 1997; Pennebaker & Chung, 2007). Lepore et al. (2002) dalam

kajiannya menunjukkan bahwa menulis ekspresif atau menulis mengenai pengalaman-

pengalaman emosional dapat memfasilitasi regulasi emosi melalui tiga mekanisme,

yaitu: (a) mengarahkan perhatian, (b) memfasilitasi habituasi (pembiasaan), dan (c)

membantu restrukturisasi kognitif. Pennebaker et al. (1990) dalam penelitiannya

menunjukkan bahwa masa transisi yang dialami mahasiswa baru mengakibatkan

mahasiswa mengalami mood negatif dan hambatan untuk melakukan penyesuaian

psikologis sampai akhir semester pertama. Mahasiswa seringkali menghadapi konflik

dan perasaan takut berkaitan dengan meninggalkan rumah, perubahan peraturan, dan

memasuki perkuliahan. Dengan menuliskan pikiran dan perasaan mengenai

pengalaman minggu pertama kuliah, mahasiswa memperoleh perubahan persepsi,

perasaan, dan kesehatan. Penelitian mengenai efektivitas terapi untuk menurunkan

simtom-simtom depresi pada mahasiswa telah dilakukan oleh Lepore (1997).

Lepore menggunakan Terapi Menulis Ekspresif atau Menulis Pengalaman

Emosional untuk menurunkan simtom-simtom depresi pada mahasiswa sebelum

menghadapi ujian. Penurunan simtom-simtom depresi tersebut dapat terjadi karena

diantarai oleh menurunnya tingkat emosional negatif yang diakibatkan oleh pikiran-

pikiran yang mengganggu (instrusive thoughts). Efektivitas menulis pengalaman

emosional untuk menurunkan depresi telah dibuktikan oleh penelitian Purwandari

(2004) pada remaja yang mengalami rehabilitasi NAPZA. Purwandari

mengemukakan bahwa pemikiran positif terjadi karena adanya penurunan bias

memori otobiografi. Memori otobiografi adalah muatan emosi peristiwa-peristiwa

yang pernah dilalui remaja, baik yang bersifat menyenangkan (positif) atau

menyedihkan (negatif). Pada saat remaja mengalami depresi, mereka akan mengalami

distorsi kognitif sehingga mengalami bias karena perasaan-perasaan negatif saja yang

diingat. Pemikiran positif dapat terjadi setelah satu minggu intervensi menulis

pengalaman emosional dilaksanakan.

Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pemikiran positif yang paling

besar terjadi pada subjek dengan tingkat depresi berat. Penelitian lain mengenai

menulis pengalaman emosional dan depresi juga dilakukan oleh Sloan dan Marx

(2004) pada subjek yang mengalami simtom-simtom Post Traumatic Stress Disorder

dengan menggunakan metode eksperimen. Menulis pengalaman emosional

berlangsung selama tiga sesi menulis selama tiga hari berturutturut dan setiap sesi

berlangsung selama 20 menit. Selain itu, follow up dilakukan pada minggu ke dua dan

ke empat. Penelitian Sloan dan Marx ini menunjukkan bahwa menulis pengalaman

emosional secara klinis dapat menurunkan simtom-simtom depresi. Subjek dalam

kelompok menulis pengalaman emosional melaporkan menu runnya simtom-simtom

depresi setelah menulis pengalaman emosional dan follow up. Pada penelitian ini,

peneliti ingin melihat pengaruh menulis pengalaman emosional terhadap penurunan

depresi pada mahasiswa tahun pertama. Hipotesis yang diajukan adalah Terapi

Menulis Pengalaman Emosional dapat menurunkan depresi pada mahasiswa tahun

pertama. Depresi pada mahasiswa tahun pertama dapat menurun karena adanya

restrukturisasi kognitif yang difasilitasi oleh menulis pengalaman emosional.

Restrukturisasi kognitif dapat dilakukan dengan mengevaluasi pikiran-pikiran negatif

terhadap stresor. Dengan melakukan evaluasi, akan terjadi perubahan kognitif

mahasiswa dalam memandang diri sendiri dan lingkungan berkaitan dengan stresor

atau perubahan reaksi emosi mereka terhadap stresor.

5. Teori/definisi dari variable yang terlibat :

Secara teoritis, dengan menulis pengalaman emosional akan terjadi proses kognitif

sehingga terjadi peningkatan pemikiran-pemikiran positif (Paez, et al.,1999). Namun,

penelitian ini kurang memfasilitasi subjek untuk mengembangkan pemikiran-

pemikiran positif. Hal ini kemungkinan dikarenakan: (1) dalam setiap pertemuan,

subjek menuliskan topik yang berbeda- beda ketika menulis sehingga kurang mem-

berikan penilaian terhadap kejadian-keja- dian yang menekan secara menyeluruh dan

perubahan atau restrukturisasi kognitif belum begitu nampak pada subjek (Paez, et al.,

1999; Sloan et al., 2005). (2) Berkaitan dengan pelaksanaan terapi, pelaksanaan terapi

selama empat hari dirasa kurang untuk memfasilitasi perubahan kognitif pada diri

subjek. (3) Berkaitan dengan alat ukur perubahan kognitif atau CERQ, kemungkinan

alat ukur ini tidak sesuai dengan budaya Indonesia.

Dari sesi sharing dalam setiap perte- muan didapatkan bahwa menulis penga- laman

emosional lebih bermanfaat ketika subjek berada dalam emosi negatif seperti sedih,

marah, dan kecewa. Dalam keadaan emosi negatif, subjek dapat menuliskan

pengalaman-pengalamannya dengan lebih cepat, lebih panjang, dan lebih ekspresif.

Dari proses terapi juga terlihat bahwa durasi waktu untuk menulis selama 30 menit

dirasa kurang untuk menuliskan semua pemikiran dan emosi mengenai kejadian-

kejadian yang dituliskan sehingga subjek kurang dapat menuliskan penga- lamannya

secara tuntas. Selain itu, adanya jarak hari dari pertemuan 1 ke pertemuan 2

mengakibatkan subjek berada dalam suasana hati yang berbeda sehingga subjek

mengalami kesulitan untuk melanjutkan pengalaman yang telah dituliskan dan ingin

dilanjutkan pada hari sebelumnya serta kesulitan untuk mencari tema cerita yang baru.

Pelaksanaan terapi secara terjadwal membuat subjek harus menuliskan penga- laman

emosionalnya pada waktu yang telah ditentukan dengan kondisi suasana hati yang

belum tentu ingin menulis. Oleh karena itu, subjek seringkali kesulitan untuk mencari

tema-tema cerita untuk dituliskan.

6. Hipotesis :

Terapi Menulis Pengalaman Emosional memiliki pengeruh terhadap penurunan

depresi pada mahasiswa tahun pertama

7. Sampel/subjek penelitian :

Subjek dalam penelitian ini adalah 12 mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi

Universitas Gadjah Mada dengan rentang usia 18-19 tahun. Karakteristik subjek

adalah mahasiswa tahun pertama yang berasal dari luar daerah Yogyakarta dan

tinggal tidak bersama orang tua atau tinggal di kos atau asrama. Subjek diseleksi

berdasarkan hasil skrining yang menunjukkan skor depresi lebih dari 17 berdasarkan

Beck Depression Inventory (BDI)

8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen :

Rancangan penelitian yang digunakan adalah two matched group design. Pengu-

kuran dalam penelitian ini menggunakan desain pretest, posttest, dan follow up.

Subjek diberikan pretest sebelum pelaksanaan tritmen dengan skala BDI, PANAS,

dan CERQ. Kemudian setelah pelaksanaan tritmen dilakukan posttest dengan meng-

gunakan skala yang sama sebagai evaluasi hasil tritmen, sehingga akan terlihat perbe-

daannya sebelum dan sesudah dilakukan tritmen. Selanjutnya rentang waktu satu

minggu setelah semua sesi tritmen berakhir dan dilakukan posttest, akan dilakukan

follow up untuk melihat efektivitas tritmen lebih lanjut.

Keterangan:

KE : Kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan menulis pengalaman emosional

KK : Kelompok kontrol

Y1 : Pretest

X : Perlakuan menulis pengalaman emosional

- X : Tanpa perlakuan Y2 : Postest

Y3 : Follow up satu minggu setelah semua sesi terapi dilakukan

9. Metode Pengambilan Data :

1. Beck Depression Inventory (BDI) Beck Depression Inventory merupakan skala

untuk mengukur tingkat depresi subjek. Pada penelitian ini, skala BDI yang

digunakan adalah skala BDI yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Uji

validitas dan reliabilitas skala adaptasi BDI telah dilakukan oleh Retnowati

dengan subjek mahasiswa baru (Susilowati, 2008). Dari uji validitas, skala BDI

sahih pada koefisien korelasi sebesar 0,1936 sampai 0,6317 pada taraf signifikansi

5 persen dan dari uji reliabilitas menggunakan tehnik analisis Hoyt diperoleh

koefisien keandalan sebesar 0,844. Beck Depression Inventory terdiri dari 21

aitem yang mengambarkan simtomsimtom depresi, yaitu simtom afektif, simtom

kognitif, simtom motivasional, dan simtom vegetatif-fisik. Skor total dihitung

dengan cara menjumlahkan seluruh skor yang diperoleh untuk masing-masing

aitem. Skor total yang didapatkan dari skala ini adalah antara 0 sampai 63. Subjek

yang dinyatakan depresi dalam penelitian ini adalah subjek yang mengikuti

klasifikasi Burns (1988) yaitu dengan skor total 17 ke atas.

2. The Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) The Positive and Negative

Affect Schedule (PANAS) merupakan skala untuk mengukur perasaan positif dan

negatif. Masing-masing skala perasaan positif dan perasaan negatif terdiri dari 10

aitem. Skala ini menggunakan format jawaban 5 poin skala Likert, yaitu: 1

(hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (hampir

selalu). Skor skala didapatkan dengan menjumlahkan 10 aitem untuk

merefleksikan lebih tinggi perasaan positif atau perasaan negatif. Pada penelitian

ini, skala PANAS yang digunakan adalah PANAS yang telah diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia. Pada uji reliabilitas dan validitas 10 aitem perasaan

negatif dan 10 aitem perasaan positif adaptasi yang dilaku- kan peneliti terhadap

60 orang maha- siswa tahun pertama Fakultas Kegu- ruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma ditemukan korelasi aitem total sebesar 0,207-0,707

untuk perasaan negatif dan 0,237-0,630 untuk perasaan positif. Dari uji reliabilitas

diperoleh koefisien alfa Cronbach sebe- sar 0,788 untuk perasaan negatif dan

0,775 untuk perasaan positif.

3. Cognitive-Emotion Regulation Question- naire (CERQ).

Cognitive-Emotion Regulation Question- naire (CERQ) digunakan untuk menge-

tahui pemikiran seseorang pada saat atau setelah mengalami kejadian yang

mengancam atau menekan. Cognitive-Emotion Regulation Question- naire

(CERQ) terdiri dari sembilan subs- kala yaitu menyalahkan diri sendiri,

menyalahkan orang lain dan lingkung- an, ruminasi (seringkali berpikir ten- tang

perasaan yang berkaitan dengan kejadian-kejadian negatif), katastrofi (pikiran

pada teror yang dirasakan), menyusun persfektif, memusatkan pi- kiran pada hal

positif, menilai adanya hal yang positif, menerima situasi, dan menyusun rencana

(Garnefski et al., 2002). Masing-masing sub skala dalam CERQ terdiri dari 4

aitem dengan format jawaban 5 point skala Likert yaitu 1 (hampir tidak pernah), 2

(jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (hampir selalu). Penelitian ini

menggunakan Skala CERQ yang telah diterjemahkan ke da- lam Bahasa

Indonesia. Pada penelitian ini, uji reliabilitas dan validitas terhadap 60 mahasiswa

tahun pertama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata

Dharma. Uji validitas 16 aitem pemikiran negatif dan 20 aitem pemikiran positif,

dite- mukan 15 aitem pemikiran negatif sahih dengan korelasi aitem total sebesar

0,321-0,720 dan 19 aitem pemi- kiran positif sahih dengan korelasi aitem total

sebesar 0,260-0,674 dengan aitem yang gugur adalah 10 dan 33. Uji reliabilitas

ditemukan koefisien reliabi- litas Alfa Cronbach sebesar 0,863 untuk pemikiran

negatif dan 0,854 untuk pemikiran positif.

10. Pelaksanaan Penelitian :

Melakukan uji coba modul. Uji kelayakan modul telah dilakukan dengan

melakukan simulasi sebanyak empat kali simulasi terhadap lima mahasiswa

yaitu pada tanggal 15 Mei 2009 sebanyak dua kali uji coba dan 26 Mei 2009

sebanyak dua kali uji coba.

Melakukan uji coba PANAS dan CERQ pada tanggal 11-15 Mei 2009.

Melakukan skrining subjek berdasarkan kriteria yang telah dibuat oleh peneliti

yaitu pada tanggal 22 Mei 2009. Skrining dilakukan pada 100 mahasiswa

semester II tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Berdasarkan skrining yang dilakukan didapatkan 24 mahasiswa yang sesuai

dengan kriteria yang ditetapkan.

Peneliti membagi 24 mahasiswa tersebut menjadi dua kelompok, 12 mahasiswa

untuk kelompok eksperimen dan 12 mahasiswa untuk kelompok kontrol dengan

matched skor depresi.

Meminta persetujuan subjek untuk mengikuti penelitian dilakukan dengan

penandatanganan lembar persetujuan menjadi subjek atau informed consent

pada tanggal 29 Mei 2009 untuk kelompok eksperimen dan 3 Juni 2009 untuk

kelompok kontrol. Pada tahap ini, mahasiswa yang bersedia mengikuti

penelitian adalah 9 untuk kelompok eksperimen dan 10 untuk kelompok

kontrol.

Pemberian pretest yaitu berupa PANAS dan CERQ pada 3 Juni 2009.

Proses terapi dimulai pada tanggal 3 sampai 10 Juni 2009. Pada pelaksanaan

terapi, subjek yang datang pada hari pertama terapi adalah enam subjek dan tiga

subjek lainnya menyatakan mengundurkan diri. Sebelum memulai terapi, subjek

terlebih dahulu diberikan informasi mengenai hal–hal yang berhubungan

dengan proses terapi seperti aturan yang harus ditaati bersama dan kegiatan

yang dilakukan selama empat kali pertemuan. Subjek diberikan terapi berupa

menulis pengalaman emosional dengan menggunakan buku harian. Terapi

dilakukan selama empat kali pertemuan yaitu pada tanggal 3, 5, 8, dan 10 Juni

2009. Sebelum menulis, subjek diberikan instruksi terlebih dahulu. Observer

dilibatkan sebagai pengamat dalam setiap proses intervensi dengan panduan

lembar observasi.

Pemberian posttest berupa BDI, PANAS, dan CERQ dilakukan pada tanggal 10

Juni 2009. Untuk kelompok eksperimen, posttest diberikan pada akhir

pertemuan ke empat. Posttest ini diikuti oleh enam subjek dari kelompok

eksperimen dan enam subjek dari kelompok kontrol. Empat subjek dalam

kelompok kontrol gugur karena tidak bersedia mengikuti posttest.

Follow up berupa pemberian BDI, PANAS, dan CERQ dilakukan setelah satu

minggu pemberian terapi menulis pengalaman emosional pada buku harian

yaitu pada tanggal 17 Juni 2009. Pada tahap follow up diikuti oleh enam

mahasiswa dari kelompok eksperimen dan enam mahasiswa dari kelompok

kontrol.

Melakukan analisis kuantitatif, yaitu untuk melihat apakah ada penurunan

depresi dan perubahan emosi serta pemikiran subjek setelah mengikuti Terapi

Menulis Pengalaman Emosional.

Melakukan analisis kualitatif yaitu dengan analisis naratif berdasarkan cerita

yang ditulis untuk mengetahui dinamika yang terjadi dalam Terapi Menulis

Pengalaman Emosional.

11. Metode Analisis Data :

Pada penelitian ini, analisis dilakukan dalam dua cara, yaitu analisis kuantitatif dan

analisis kualitatif.

12. Penelitian :

1. Hasil Analisis Kuantitatif

Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan skor pretest, posttest,

dan follow up hasil pengukuran skala Beck Depression Inventory (BDI) dengan

menggunakan Design Anava Campuran yang terdiri Anava Antar Kelompok

dan Anava Amatan Ulang. Hasil Anava Amatan Antar Kelompok Depresi

antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol menunjukkan nilai F

hitung=25,88 dan p=0,001 (p<0,05), yang berarti ada perbedaan yang signifikan

antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol

.

Tabel 1 diatas memperlihatkan bahwa ada penurunan depresi pada kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Penurunan depresi terjadi lebih banyak pada

kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari pengujian

Anava Amatan Ulang untuk mengetahui penurunan depresi pretest, posttest, dan

follow up pada subjek kelompok eksperimendiketahui nilai F hitung=33,72 dan

p=0,001 (p<0,05) yang berarti ada perbedaan depresi pada setiap pengukuran

pretest, posttest, dan follow up. Hal ini menunjukkan adanya penurunan depresi

pada setiap pengukuran. Untuk mengetahui perbedaan depresi pada pretest,

posttest, dan follow up dilaku kan pengujian Post Hoc. Hasil pengujian Post

Hoc memperlihatkan adanya penurunan yang signifikan depresi subjek antara

pretest, posttest, dan follow up. Pada pengukuran pretest dan posttest terdapat

perbedaan dengan p=0,003 (p<0,05) dan pada pengukuran posttest dan follow

up dengan p=0,033 (p<0,05). Pada pengukuran pretest dan follow up dengan

p=0,001 (p<0,05).Selanjutnya juga dilakukan analisis dengan Anava Campuran

untuk mengetahui perbedaan perubahan pemikiran dan emosi pada setiap

kelompok dan pada setiap pengukuran.

Dari tabel 2 di atas dapat diketahui adanya perubahan berupa peningkatan

maupun penurunan skor pretest, posttest, dan follow up pada kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil anava amatan antar kelompok

pemikiran pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan

bahwa pada pemikiran positif dihasilkan nilai F=3,16 dan p=0,106 (p>0,05)

yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan perubahan pemikiran positif

pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa

peningkatan pemikiran positif pada kelompok eksperimen tidak menunjukkan

perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Demikian pula dengan

pemikiran negatif yang menghasilkan nilai F=0,551 dan p=0,475 (p>0,05). Hal

ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan perubahan pemikiran negatif

pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan demikian,

penurunan pemikiran negatif pada kelompok eksperimen tidak menunjukkan

perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa menulis pengalaman emosional kurang efektif untuk

meningkatkan pemikiran positif dan menurunkan pemikiran negatif pada

subjek. Hasil anava amatan ulang pemikiran positif dan negatif pada kelompok

eksperimen menunjukkan bahwa terdapt nilai

2. Analisis kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan dengan analisis naratif dengan sistem

koding dari cerita yang dituliskan subjek pada buku harian dan jawaban yang

diberikan subjek pada lembar kerja setelah menulis pengalaman emosional.

Dari analisis naratif ini, akan diketahui dinamika subjek dalam menghadapi

kejadian-kejadian menekan.

Dalam penelitian ini, topik-topik yang dituliskan oleh subjek adalah

topik mengenai konflik dengan diri sendiri, konflik dengan teman lawan jenis,

konflik dengan teman sebaya, konflik dengan pacar, konflik dengan orang tua,

konflik dengan pemilik kost, permasalahan yang berhubungan dengan aktivitas

akademik di kampus, dan kurangnya dukungan sosial yang diterimanya. Selain

itu, menulis pengalaman emosional juga dapat menjadi sarana bagi subjek untuk

mengekspresikan emosi-emosi yang dirasakan berkaitan dengan kejadian yang

dialami oleh subjek.Dari analisis naratif yang telah dikemukakan juga dapat

dilihat bahwa permasalahan-permasalahan yang dialami subjek dapat

menimbulkan perasaan sedih, putus asa, tidak berminat untuk melakukan

aktivitas, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan menyalahkan orang

lain. Semua simtom – simtom ini merupakan simtom dari depresi.

Dari analisi juga dapat diketahui bahwa terapi menulis pengalaman

emosional dapat memfasilitasi subjek untuk mengembangkan pemikiran-

pemikiran tertentu berkaitan dengan kejadian-kejadian yang dialami. Dengan

menulis, subjek dapat mengembangkan pemikiran untuk menerima situasi yang

ada, memusatkan pemikiran pada hal-hal yang positif dan menilai hal-hal positif

dari kejadian yang dialami. Selain itu, menulis pengalaman emosional juga

mendorong subjek untuk memperoleh suatu pemahaman atau insight,

mengembangkan motivasi dalam diri sendiri, serta mendorong munculnya rasa

optimis de- ngan mengembangkan harapan–harapan dan keyakinan.

Dari lembar kerja subjek dapat diketahui bahwa selama menulis

pengalaman emosional, subjek mengalami emosi-emosi yang sama dengan

ketika subjek menga- lami kejadian-kejadian yang dituliskan. Ketika

menuliskan pengalaman yang tidak menyenangkan, subjek merasakan emosi-

emosi negatif seperti sedih, marah, jijik, takut, menyesal, dan benci. Sebaliknya,

subjek yang menuliskan pengalaman yang menyenangkan akan merasakan

emosi- emosi positif, seperti senang, bahagia, dan lucu. Emosi–emosi yang

dirasakan tersebut pada umumnya masih terasa pada saat setelah sesi menulis.

Akan tetapi, para subjek mengemukakan bahwa setelah menulis pengalaman

emosional mereka merasa lega karena telah mengemukakan emosi-emosi dan

pemikirannya.

13. Kesimpulan :

Berdasarkan hasil, proses, dan hal-hal yang sangat memperngaruhi pelaksanaan

terapi, didapatkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Pada penelitian ini, Terapi Menulis Pengalaman Emosional merupakan sarana

bantu diri yang terbukti efektif menurunkan depresi pada mahasiswa tahun

pertama. Simtom-simtom dan tingkat depresi pada semua subjek mengalami

penurunan. Sebelum meng- ikuti terapi subjek berada pada kategori sedang dan

setelah mengikuti terapi subjek berada pada kategori depresi ringan dan normal.

2. Penurunan depresi terjadi karena me- nulis pengalaman emosional memfasi- litasi

subjek untuk mengevaluasi, menganalisis, dan menilai kembali kejadian-kejadian

menekan yang diala- minya sehingga subjek mendapatkan suatu pemahaman,

mengembangkan suatu solusi, memotivasi diri, menerima keadaan yang ada,

belajar dari apa yang dialami, memusatkan pemikiran pada hal-hal yang positif,

dan menilai hal-hal positif dari suatu kejadian.

JURNAL 4

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

587

PENGARUH KONFORMITAS TERHADAP PENGAMBILAN

KEPUTUSAN PADA PRODUK MINUMAN COKLAT MAHASISWI

PSIKOLOGI DI UNIVERSITAS SURABAYA

Jilly Lukito

Psikologi

[email protected]

Abstrak- Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh konformitas terhadap

pengambilan keputusan pada produk minuman coklat pada mahasiswi Psikologi

di Universitas Surabaya. Sampel untuk penelitian ini berjumlah 60 orang yang

terbagi menjadi dua kelompok yaitu kontrol dan kelompok eksperimen.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan skala yaitu skala preferensi

atas produk minuman coklat dan angket terbuka yang bertujuan untuk mengetahui

faktor yang memengaruhi dalam pengambilan keputusan. Aktor yang diambil

adalah teman sebaya. Analisis data yang digunakan adalah teknis analisis tabulasi

silang dan Chi Square test. Hasil analisis tersebut menunjukkan tidak ada asosiasi

yang signifikan sehingga tidak adanya pengaruh konformitas terhadap

pengambilan keputusan (0.313 > 0.05). Berdasarkan kuesioner yang telah

diberikan, diketahui bahwa faktor mayoritas atau yang paling banyak

mempengaruhi pengambilan keputusan adalah faktor psikologikal yaitu persepsi

(100%), komparasi (36,6%) dan preferensi (33,3%). Bagi peneliti selanjutnya

mungkin bisa menggunakan alat ukur yang terstandarisasi untuk mengukur

efektivitas dan tingkat konformitas , tipe kepribadian dan menggunakan alat ukur

untuk mengetahui seberapa besar faktor-faktor yang dapat memengaruhi

pengambilan keputusan selain faktor sosial (lingkungan). Saran penelitian

sebaiknya melakukan pengembangan produk dengan memperhatikan karakeristik

konsumen.

Kata kunci: Konformitas, Pengambilan Keputusan, Minuman Coklat, Indonesia,

Mahasiswi

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

588

Abstract- This experimental studies is a research to show how conformity can

affect to desicion making on chocolate drinks with female college student in

Surabaya University. The sample 60 participant that divide into two group

which is experiment group and control group. The researcher used preference

to screening with open questionaire aim to show what factor that affect desicion

making. Actor that used is their peer group. Data analysis used chi Square test

and crostab. From the analysis shown that there is not asociation between

conformity and desicion making by square test (0.313 > 0.05). The result shown

from open questionaire that majority used their psychologist which is their

perception (100%), compare (26.6%) and preference to decide their choices. To

another research suggest to used measuring instrument for personality type and

conformity. These research could be implement into workplace that always

produce product that suit for consumen’s characteristic.

Keyword: conformity, chocolate drink, desicion making, female college student

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

589

PENDAHULUAN

Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu memberikan

kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Komoditas Kakao

menempati peringkat ketiga ekspor sektor perkebunan dalam menyumbang devisa

negara, setelah komoditas CPO dan karet (Suryani dan Zuldebriansyah, 2007).

Pada tahun 2010 Indonesia menjadi produsen kakao terbesar ke-2 di dunia dengan

produksi 844.650 ton, dibawah Negara Pantai Gading dengan produksi 1,38 juta

ton. Volume ekspor kakao Indonesia tahun 2009 sebesar 535.240 ton dengan nilai

Rp. 1.413.535.000 dan volume impor sebesar 46.356 ton senilai 119,32 ribu US$

(Direktorat Jendral Perkebunan, 2010). Menurut Ketua Asosiasi Industri Kakao

Indonesia (AIKI), Piter Jasman mengatakan pengolahan biji kakao nasional akan

mencapai 500 ton pada akhir 2013. Data AIKI menyebutkan, produksi biji kakao

nasional pada 2012-2013 mencapai 310 ribu dan 400 ribu ton. AIKI

memperkirakan produksi kakao olahan nasional dapat dapat naik hingga 800 ribu

ton pada 2014. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa penyerapan

pasar tidak seimbang dengan hasil produksi nasional karena selisih 200 ribu ton

dengan kemampuan penyerapan konsumen.

Salah satu faktor eksternal yaitu konformitas. Konformitas ialah

suatu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap

anggotanya tetapi memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan

munculnya perilaku-perilaku tertentu pada anggota kelompok (Zebua dan

Nurdjayadi,2001). Melalui studi yang telah dilakukan ditunjukkan bahwa tekanan

grup mungkin terjadi memberikan pengaruh dalam bagaimana individu dalam

meyakini dan pandangannya (Venkatesan, 1966). Pada eksperimen lainnya,

mengatakan bahwa adanya ketidakhadiran standard objektif dalam bagaimana

individu berubah mengikuti pertimbangan dan evaluasi orang lain

(Venkatesan,1966). Hasil dari eksperimen tersebut menunjukkan bahwa dalam

mengambil keputusan, Individu cenderung untuk menyesuaikan dengan keputusan

norma kelompok.

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

590

Tujuan dari penelitian adalah melakukan modifikasi mengenai

pengaruh konformitas terhapad perilaku konsumen yaitu pengambilan keputusan

dan sumbangan efektif konformitas terhadap pengambilan keputusan konsumen.

METODE PENELITIAN

Desain penelitian menggunakan true experiment (eksperimen

murni) dengan posttest control group design. Desain eksperimen tersebut

merupakan desain eksperimen dengan adanya pembagian partisipan menjadi

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Setelah pembagian menjadi dua

kelompok yang setara, dilakukan treatment pada kelompok eksperimen. Adanya

pengukuran post-test memungkinkan peneliti untuk membandingkan kondisi

kelompok eksperimen dan kontrol sehingga peneliti dapat membuat kesimpulan

tentang keefektifan treatment dengan lebih baik.

Peneliti memilih desain eksperimen tersebut karena jenis eksperimen

tersebut berpeluang untuk dilakukan dalam waktu yang terbatas (cukup satu kali

eksperimen) dan mempunyai kontrol validitas internal yang paling kuat dibanding

dua desain eksperimen lainnya. Untuk menghindari risiko terkontaminsasi dengan

variabel lain , maka eksperimen mengontrol beberapa variabel yaitu merek,

gender, kemasan, dan selera. Berikut adalah beberapa upaya yang telah dilakukan

untuk menjaga variabel yang dapat mengganggu jalannya penelitian:

1. Menghilangkan merek pada produk untuk mengurangi bias pada

merek.

2. Melakukan seleksi pada calon partisipan dengan screening

menggunakan skala preferensi sehingga penyebaran partisipan

merata antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.

3. Kemasan produk pada tiap sample menggunakan kemasan yang

sama.

Kelompok kontrol terdiri dari mahasiswi Psikologi yang

mengikuti mata kuliah Psikologi Ekonomi dan Bisnis.

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

591

Pengambilan data dilakukan pada pukul 08.30 – 9.30 pada hari

Selasa Tanggal 29 November 2016.

Berikut adalah prosedur pelaksanaan penelitian:

a. Sebelum memulai eksperimen, peneliti memperkenalkan diri

terlebih dahulu dan pemberian penjelasan kegiatan yaitu

meminta para mahasiswi untuk memilih minuman yang paling

enak atau terbaik. Pertama, dilakukan screening terlebih dahulu

untuk menyeimbangkan kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol. Setiap partisipan yang terpilih adalah Dalam kegiatan

ini peneliti berhasil menentukan sebanyak 30 partisipan yang

merupakan wanita yang memiliki perwakilan tiap skala

preferensi yaitu masing-masing sebanyak 10 orang.

b. Pengaturan posisi menggunakan variasi latin square design

sehingga setiap posisi memiliki frekuensi yang sama.

c. Memberikan intruksi bahwa: (1) ketiga sample adalah berasal

dari tempat yang berbeda, (2) setiap produk memiliki kualitas

yang berbeda-beda, (3) eksperimen ini sudah pernah dilakukan

sebelumnya dalam studi bisnis untuk mengindikasi minuman

mana yang terbaik, (4) studi yang akan dilakukan adalah untuk

menemukan manakah minuman yang paling terbaik.

d. Membagikan tiap label minuman kepada partisipan secara

individu yang dalam percobaan diberi jeda bagi partisipan

untuk meminum air putih untuk menetralkan rasa.

e. Setelah mencoba dan menentukan pilihan, peneliti

membagikan angket dan inform consent kepada tiap partisipan

yang terpilih dan mengumpulkan seluruh lembar angket yang

telah diisi.

f. Langkah terakhir adalah menjelaskan arti tujuan dari

eksperimen yang sebenarnya yang sudah tercantum di dalam

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

592

inform consent yaitu untuk merupakan penelitian mengenai

pengaruh konformitas dalam pengambilan keputusan.

g. Untuk menjaga jalannya eksperimen, peneliti menyampaikan

kepada seluruh partisipan yang ada di dalam ruangan tersebut

untuk merahasiakan tujuan eksperimen yang sebenarnya

dikarenakan peneliti akan melakukan penelitian pada kelompok

eksperimen dalam beberapa hari ke depan sehingga tidak

menganggu partisipan yang sudah berada di dalam daftar

kelompok eksperimen.

h. Sebagai hadiah atas partisipasi kelompok kontrol peneliti

membagikan masing-masing kepada partisipan berupa

minuman cokelat yang merupakan produk eksperimen.

Teknik analisis data merupakan kegiatan mengolah data yang sudah

terkumpul. Pengolahan data tersebut dilakukan menggunakan bantuan software

SPSS 22. Analisis data dengan beberapa langkah yaitu uji hipotesis guna

mengetahui pengaruh tratment. Hal ini dilihat dari hasil nilai 0 dan 1 (Pada

partisipan yang mengubah pilihannya. Kemudian memperhatikan nilai

signifikansi pada uji hipotesis dengan menggunakan taraf signifikansi 5% (α=

0.05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini, kedua kelompok yang digunakan sebagai kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu

dilihat dari skala preferensi yang sama yaitu memiliki perwakilan 10 partisipan

dalam tiap tingkatan skala rendah, sedang dan tinggi serta jumlah partisipan di

tiap kelompok adalah sama yaitu masing-masing 30 orang. Dalam memilih

partisipan, peneliti mengatur dan memberikan syarat utama yaitu setiap partisipan

dalam kelompok eksperimen adalah teman atau mahasiswi yang berinteraksi

dalam kehidupan sehari-hari experimentee. Setelah di lakukan screening, peneliti

berhasil mendapatkan setiap perwakilan dari masing-masing skala preferensi yaitu

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

593

sebanyak 10 partisipan pada tiap kelompok kontrol dan eksperimen. Total

partisipan adalah sebanyak 60 orang.

No Hari, Tanggal Waktu Lokasi Jumlah

partisipan

1 Selasa, 29

November 2016

13:00 – 18.00 SGFP dan PD

1.2

12

2 Rabu, 30

November 2016

14:00 – 18:00 PD 3.2 14

3 Kamis, 1

Desember 2016

11:00 – 13:00 PD 1.3 4

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Berdasarkan waktu penelitian yang disebutkan, pengambilan data

dilakukan selama 3 hari dengan jumlah partisipan yang berbeda-beda bergantung

pada waktu yang dikehendaki oleh experimentee dan partisipan yang ada. Masing-

masing waktu yang diperlukan tiap eksperimen yaitu 1x 25 menit terdiri dari

perkenalan diri, penyampaian tujuan, pencobaan minuman, perlakuan, dan

penutup.

Kelompok A B C N

Eksperimen 6 13* 11 30

Kontrol 8 7 15 30

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pilihan Partisipan

* Pada kelompok eksperimen partisipan yang merubah pilihannya adalah 1 orang dengan

pereferensi 2 yaitu subjek nomor 8

Distribusi skor pilihan pada kedua kelompok tersebut seperti yang telah

ditunjukkan oleh tabel tersebut adalah terdapat perbedaan distribusi pada

pilihan B yaitu selisih 6 orang yaitu sebanyak 13 orang pada kelompok

eksperimen. Meski telah menunjukkan jumlah yang lebih banyak daripada

kelompok eksperimen namun partisipan yang mengaku merubah pilihannya

karena pengaruh temannya adalah sebanyak 1 orang.

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

594

Kelompok Conform Non-Conform Total Sig (2-sided)

Eksperimen 1 29 30 .313

Kontrol 0 30 30

Tabel 3. Hasil Tabulasi Silang dan Chi-Square Test

Berdasarkan hasil yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa

pengaruh tekanan kelompok tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan

seseorang. Hal ini diperkuat dengan data pengujian hipotesis dengan tabulasi

silang dan sig pada Chi-Square terhadap pengambilan keputusan pada seluruh

jumlah partisipan sebanyak 60 orang. Berdasarkan tabel 4.4 terlihat dari data

output SPSS adalah nilai sig 0.313 > 0.05 maka tidak signifikan sehingga H1

ditolak. Artinya adalah tidak ada asosiasi antara konformitas dengan pengambilan

keputusan.

No Faktor yang memengaruhi Persen Pernyataan No subjek

1 Persepsi

Tahap:

Pengenalan

Perhatian

Interpretasi

100 % (30 subjek) “rasa, warna dan kekentalan”

“rasa dan tekstur”

“ tidak terlalu asam”

“Coklatnya terasa”

1

22

30

27

2 Komparasi 36,6 %

(11 subjek)

“Menurut saya, sample A tidak

terlalu pahit dan tidak terlalu

manis dibandingkan yang

lainnya, sample A terasa paling

enak meskipun yg lainnya juga

enak”

“ Karena menurut saya yang

paling manis”

12

3

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

595

3 Penguatan teman 20%

(6 subjek)

“ Pilihan saya sudah tetap dari

awal, karena teman saya yakin”

“teman saya suka B jadi saya

semakin yakin”

2

7

4 Preferensi

Selera kesukaan terhadap

produk

Pembelajaran dari

pengalaman masa lalu

33,6 %

(10 subjek)

“Manisnya menurut saya pas,

mungkin karena saya tidak suka

terlalu manis maka dari itu

rasanya pas”

“Karena sudah pas di hati coklat

B (Saya suka)”

“ Karena sample C pahit seperti

dark choco yang seharusnya”

22

25

23

Tabel 4. Hasil angket terbuka

Berikut akan dibahas hasil penelitian pada masing-masing faktor yang

memengaruhi pengambilan keputusan.

1. Penguatan teman

Berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan, diketahui bahwa

sebanyak 6 (20%) subjek nomor 2, 3, 6, 7, 9, 17, (tabel 4.5) menyatakan

bahwa adanya pengaruh teman dalam mempertimbangkan pilihan

walaupun sedikit dan tidak merubah pilihan jika berbeda namun dapat

memberikan penguatan pada pilihannya jika memiliki pilihan jawaban

yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam mengambil keputusan,

seseorang akan memperhatikan keputusan orang lain dan dapat

menjadikan keputusan orang lain sebagai penguat dalam pilihannya jika

memiliki pilihan yang sama.

Subjek menggunakan informasi dan respon teman dalam

pengambilan keputusannya ditunjukkan melalui pernyataan subjek yaitu “

Pilihan saya sudah tetap dari awal, karena teman saya yakin” pdada subjek

nomor 2 dan pernyataan “teman saya suka B jadi saya semakin yakin

pada subjek nomor 7 (Tabel 4.5). Dari contoh pernyataan subjek tersebut

menunjukkan bahwa subjek pada tahap evaluasi alternatif yaitu melakukan

evaluasi berdasarkan sikap orang lain atau teman sebaya berupa sikap

positif dari experimentee berupa opini sikap persetujuan dengan pilihan

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

596

subjek. Sikap experimentee tersebut memberikan pengaruh dalam

mengambil keputusan yaitu kehadiran teman tersebut memengaruhi subjek

untuk dapat meyakini dan sebagai penguatan pada pilihan yang telah

dipilih subjek. Sikap teman yang positif terhadap suatu sample yaitu

menyukai hasil dari evaluasi subjek memengaruhi keyakinan dan motivasi

pada pilihan subjek tersebut.

2. Persepsi

Dalam proses mengambil keputusan, individu akan mengumpulkan

informasi, memproses, dan menyimpan sebagian informasi serta

menambah dan menggabungkan informasi yang baru dengan informasi

yang lama sehinga akan menghasilkan suatu pemecahan masalah dalam

bentuk adanya keputusan. Menurut Engel (1995) terdapat tiga langkah

utama dalam proses menghasilkan informasi dari persepsi yaitu

a. Pengenalan (exposure)

Persepsi dimulai pada tahap ini yaitu muncul ketika stimulus

datang melalui salah satu reseptor sensori utama. Pada

penelitian ini terlihat dalam reseptor sensori utama yaitu pada

pengenalan produk pertama kali pada prosedur penelitian.

Pengenalan dilakukan dengan menyampaikan produk secara

singkat dengan menghadirkan produk secara langsung dan juga

melalui penyampaian secara verbal oleh peneliti.

b. Perhatian (attention)

Tahap berikut ini yaitu adanya perhatian yang muncul ketika

stimulus mengaktifkan satu atau lebih sensori dan sensasi yang

terbentuk bergerak menuju otak dan diproses. Banyaknya

stimulus yang hadir akan menimbulkan perhatian pada stimulus

yang menarik. Faktor stimulus adalah karakteristik fisik dari

stimulus seperti warna, rasa, intensitas kekentalan, dan

kuantitas yang ada para produk minuman coklat. Dalam

penelitian ini dapat ditunjukan pada sensori indera perasa (rasa,

tekstur, dan kekentalan) dan penglihatan (warna). Hal ini

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

597

ditunjukkan dengan kemampuan subjek dalam memperhatikan

beberapa aspek tersebut yang kemudian dijadikan

pertimbangan terlihat dalam beberapa pernyataan yaitu “rasa,

warna dan kekentalan” pada subjek nomor 1, dan “rasa dan

tekstur” pada subjek nomor 22 (Tabel 4.5). Hal ini

menunjukkan bahwa subjek merasakan adanya stimulus

karakteristik fisik dari produk tersebut.

c. Interpretasi (interpretation)

Langkah berikutnya adalah interpretasi yaitu menentukan

makna dari sensasi atau proses pada saat stimulus baru

ditempatkan dalam salah satu kategori makna dari sensasi atau

proses dimana stimulus baru ditempatkan dalam salah satu dari

makna kategori yang ada. Dalam penelitian ini, subjek akan

memproses dan menginterpretasikan dan mengelolah seperti

rasa yang pahit atau manis, tingkat intensitas kental atau cari

dan warna yang terang atau lebih gelap. Subjek akan

mengkategorikan makna dari sensasi atau proses yang

diterimanya pada makna kategori seperti mengkategorikan rasa

pada produk yang akan dipilih dengan sample yang tidak

seperti dengan makna pada tingkat rasa manis dan asam serta

tekstur pada produk minuman coklat tersebut. Hal ini

ditunjukkan pernyataan subjek yaitu “ tidak terlalu asam”

subjek nomor 30 dan “Coklatnya terasa” pada subjek nomor 27

(Tabel 4.5). Pernyataan tersebut membuktikan bahwa dalam

mengambil keputusan, subjek akan memiliki interpretasi

terhadap produk dan interpretasi yang dimiliki tersebut

memengaruhi keputusan yang akan dipilih. Subjek akan

menginterpretasikan dan mengkategorikan makna yang

diperoleh dari proses interpretasi.

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

598

3. Komparasi

Komparasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan

sebagai perbandingan. Komparasi adalah suatu metode yang digunakan

untuk membandingkan data-data yang ditarik ke dalam konklusi baru.

Komparasi sendiri dari bahasa inggris yaitu compare, yang artunya

membandingkan untuk menemukan persamaan atau perbedaan dari

beberapa konsep atau lebih. Berdasarkan Kotler (2008) proses

pengambilan keputusan terdiri dari lima tahap. Salah satu tahap tersebut

adalah tahap pencarian informasi. Pada tahap ini individu akan mencari

informasi mengenai suatu produk. Pencarian informasi tersebut dapat

berupa pencarian informasi yang bersifat aktif yaitu melakukan berbagai

perbandingan dari spesifikasi produk yang telah ditawarkan. Komparasi

atau perbandingan tersebut dapat dilakukan dengan membandingkan

kelebihan dan penawaran produk yang paling sesuai.

4. Preferensi

Preferensi pada makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan

atau ketidaksukaan terhadap suatu jenis makanan dan preferensi tersebut

dapat memengaruhi pilihan individu. Preferensi merupakan pilihan suka

atau tidak suka oleh seseorang terhadap produk yang dikonsumsi. Dalam

mengambil keputusan, menurut Engel (1995) seseorang harus mempelajari

semua hal yang berkaitan dengan performa, keberadaan, nilai, pilihan

produk, kemudian menyimpan informasi tersebut dalam ingatan. Perilaku

konsumen dipengaruh oleh penngalaman belajar yang menentukan

tindakan dan pengambilan keputusan yaitu bersumber dari pembelajaran

pada pengalaman yang serupa. Pengalaman masa lalu yang pernah

mengkonsumsi produk sejenis yaitu produk minuman dark chocolate dan

hasil interpretasi dari produk tersebut dapat menjadi standard dalam

mengambil keputusan.

Adanya pengaruh pengalaman masa lalu tersebut dapat

ditunjukkan pada pernyataan subjek “ Karena sample C pahit seperti dark

choco yang seharusnya” pada subjek nomor 23. Pernyataan tersebut

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

599

menunjukkan bahwa subjek sudah pernah mencoba minuman dark

chocolate sebelumnya dan sudah memiliki standart yang harus dicapai.

Subjek akan memilih dari beberapa sample yang sesuai dan mencapai

standard rasa tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam

pengambilan keputusan, individu dipengaruhi oleh beberapa faktor selain

lingkungan (konformitas) tetapi lebih banyak oleh faktor persepsi, komparasi, dan

preferensi.

Saran bagi individu adalah para Individu diharapkan untuk dapat

mengevaluasi opsi-opsi dengan karakteristik diri dan juga mempertimbangkan

opini dan sikap orang lain. Individu dapat mengambil keputusan seperti

mengevaluasi opsi-opsi yang ada, melakukan komparasi terhadap pilihan produk

yang ada dan juga sesuai dengan selera ketika dihadapkan pada situasi yang

membutuhkan pengambilan keputusan.

Melalui hasil penelitian diketahui bahwa konsumen menentukan

pilihannya berdasarkan persepsi mereka dalam kualitas produk tersebut dan

preferensi (selera). Diharapkan hasil penelitian ini dapat di implementasikan

dalam strategi pemasaran produk tersebut dengan menyesuaikan karakteristik

konsumen. Disarankan untuk melakukan pengembangan produk dengan

mempertimbangkan faktor-faktor psikologi yang berkaitan dengan karakteristik

konsumen.

Berikut adalah saran bagi penelitian selanjutnya:

1. Penelitian ini mengungkap pengaruh konformitas terhadap

pengambilan keputusan. Disarankan untuk peneliti selanjutnya

menambahkan alat ukur konformitas untuk melihat apakah situasi

atau perlakuan yang dihadirkan sudah mampu menimbulkan adanya

tekanan kelompok.

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

600

2. Peneliti sebaiknya memastikan adanya kondisi konformitas dalam

situasi eksperimen dengan memperhatikan indikator konformitas

Sebaiknya dalam menganalisa pengaruh konformitas dilakukan

dengan nilai interval daripada dengan nominal. Diharapkan dengan

nilai interval penelitian selanjutnya dapat mengidentifikasi dan

menentukan mengelompokkan pengaruh konformitas dengan lebih

jelas dan detail.

3. Sebaiknya penelitian dilakukan dengan menggunakan angket

dengan alat ukur yang sudah dilakukan uji realibilitas dan validitas

untuk melihat secara akurat dan mampu menguji seberapa besar

pengaruh lingkungan (sosial) dan pengaruh psikologikal dalam

mengambil keputusan konsumen. Sebelum melakukan eksperimen

sebaiknya melakukan screening terlebih dahulu dengan

memperhatikan faktor psikologis subjek yaitu dengan memberikan

tes kepribadian untuk menentukan tipe kepribadian subjek sebagai

variabel yang dikontrol.

4. Penelitian ini sudah dapat mengungkapkan minat, pengalaman

sebelumnya, dan referensi orang lain tetapi belum mengungkap

karakteristik kepribadian.

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.6 No.2 (2017)

601

DAFTAR PUSTAKA

Aronson, E. (1972). The social animal. San Fransisco : Freeman.

Asch, S. E., (1951). Effects of group pressure upon the modification and

distortion of judgments. In H. Guetzkow (Ed.), Groups, leadership and men.

Oxford, England: Carnegie Press

Berger, J., Rosenholtz, S. J., & Zelditch, M. (1980). Status organizing processes.

Annual Review of Sociology. From Libraries Texas A & M University.

Retrieved from http://hdl.handle.net/1969.1/154809

Deutch, M., & Gerard, H. B. (1955). A study of normative and informational

social influences upon individual judgement. The Journal of Abnormal and

Social Psychology.

Gerard, H. B., Wilhelmy., & Conolley, E.S. (1968). Conformity and group size.

Journal of Personality and Social Psychology. DOI: 10.1037/h0025325

Kotler., & Amstrong. (2008). Prinsip-prinsip Pemasaran. Jilid 1 dan 2.Edisi 12.

Alih bahasa: Bob Sabran. Jakarta: Erlangga.

Kotler, P., & Keller, K. L. (2007). Manajemen Pemasaran edisi 12. Alih bahasa:

Benyamin Molan. Jakarta: Indeks

Madrigal, R. (2001). Social identity effects in a belief-attitude-intentions

hierarchy: Implications for corporate sponsorship. Psychology & marketing

(Vol. 18). New York: Wiley.

Morissan, M.A. (2010). Psikologi Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Myers, D. G. (2005). Social Psychology. New York : McGraw Hill, Higher

Education.

Olahan Cokelat Indonesia Capai 500 Ribu Ton | bisnis | tempo.co. (n.d.).

Retrieved June 5, 2016, from

https://m.tempo.co/read/news/2013/07/23/090498959/olahan-cokelat-

indonesia-capai-500-ribu-ton.

Profitability and health. a recipe for success. 52nd Biscuit, Cake, Chocolate and

Confectionery Association (Vol. 35). (2005). Hilton Birmingham

Metropole.

Swastha, B. D., Handoko, H. (2008). Manajemen pemasaran analisis perilaku

konsumen. Yogyakarta: BPFE

Schiffman & Kanuk. 2008. Perilaku konsumen. Edisi 7. Jakarta: Indeks

Sherif, M. (1935). A study of some social factors in perception. Archives of

Psychology, 27(187) .

Tanner, R, J., Ferraro, R., Chartrand, T, L., Bettman, J, R., & Van, B., (2008). Of

chameleons and consumption: The impact of mimicry on choice and

preferences (Vols 34). Journal of Consumer Research. DOI:

http://dx.doi.org/10.1086/522322 754-766

Venkatesan, M. (1966). Experimental study of consumer behavior conformity and

independence (Vols 3). DOI: 10.2307/3149855

Volume dan Nilai Ekspor, Indonesia. (2010). Retrieved June 5, 2016, from

http://ditjenbun.deptan.go.id/ciragraph/index.php/viewstat/exportimport/1

Zebua, A. & Nurdjayadi, R. (2001). Hubungan antara konformitas dan konsep diri

dengan perilaku konsumtif pada remaja putri. Retrieved from

https://philpapers.org/rec/ZEBHA

REVIEW JURNAL

Nama Jurnal :

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol. 6, No.2, 2017

1. Judul Penelitian :

PENGARUH KONFORMITAS TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN PADA

PRODUK MINUMAN COKLAT MAHASISWI PSIKOLOGI DI UNIVERSITAS

SURABAYA

2. Nama Peneliti :

Jilly Lukito

3. Abstrak :

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh konformitas terhadap

pengambilan keputusan pada produk minuman coklat pada mahasiswi Psikologi di

Universitas Surabaya. Sampel untuk penelitian ini berjumlah 60 orang yang terbagi

menjadi dua kelompok yaitu kontrol dan kelompok eksperimen. Pengambilan sampel

dilakukan dengan menggunakan skala yaitu skala preferensi atas produk minuman

coklat dan angket terbuka yang bertujuan untuk mengetahui faktor yang memengaruhi

dalam pengambilan keputusan. Aktor yang diambil adalah teman sebaya. Analisis data

yang digunakan adalah teknis analisis tabulasi silang dan Chi Square test. Hasil analisis

tersebut menunjukkan tidak ada asosiasi yang signifikan sehingga tidak adanya

pengaruh konformitas terhadap pengambilan keputusan (0.313 > 0.05). Berdasarkan

kuesioner yang telah diberikan, diketahui bahwa faktor mayoritas atau yang paling

banyak mempengaruhi pengambilan keputusan adalah faktor psikologikal yaitu

persepsi (100%), komparasi (36,6%) dan preferensi (33,3%). Bagi peneliti selanjutnya

mungkin bisa menggunakan alat ukur yang terstandarisasi untuk mengukur efektivitas

dan tingkat konformitas , tipe kepribadian dan menggunakan alat ukur untuk

mengetahui seberapa besar faktor-faktor yang dapat memengaruhi pengambilan

keputusan selain faktor sosial (lingkungan). Saran penelitian sebaiknya melakukan

pengembangan produk dengan memperhatikan karakeristik konsumen.

4. Pendahuluan/latar belakang masalah :

Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu memberikan

kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Komoditas Kakao menempati

peringkat ketiga ekspor sektor perkebunan dalam menyumbang devisa negara, setelah

komoditas CPO dan karet (Suryani dan Zuldebriansyah, 2007). Pada tahun 2010

Indonesia menjadi produsen kakao terbesar ke-2 di dunia dengan produksi 844.650 ton,

dibawah Negara Pantai Gading dengan produksi 1,38 juta ton. Volume ekspor kakao

Indonesia tahun 2009 sebesar 535.240 ton dengan nilai Rp. 1.413.535.000 dan volume

impor sebesar 46.356 ton senilai 119,32 ribu US$ (Direktorat Jendral Perkebunan,

2010). Menurut Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman

mengatakan pengolahan biji kakao nasional akan mencapai 500 ton pada akhir 2013.

Data AIKI menyebutkan, produksi biji kakao nasional pada 2012-2013 mencapai 310

ribu dan 400 ribu ton. AIKI memperkirakan produksi kakao olahan nasional dapat

dapat naik hingga 800 ribu ton pada 2014. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan

bahwa penyerapan pasar tidak seimbang dengan hasil produksi nasional karena selisih

200 ribu ton dengan kemampuan penyerapan konsumen.

Salah satu faktor eksternal yaitu konformitas. Konformitas ialah suatu tuntutan

yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya tetapi memiliki

pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada

anggota kelompok (Zebua dan Nurdjayadi,2001). Melalui studi yang telah dilakukan

ditunjukkan bahwa tekanan grup mungkin terjadi memberikan pengaruh dalam

bagaimana individu dalam meyakini dan pandangannya (Venkatesan, 1966). Pada

eksperimen lainnya, mengatakan bahwa adanya ketidakhadiran standard objektif dalam

bagaimana individu berubah mengikuti pertimbangan dan evaluasi orang lain

(Venkatesan,1966). Hasil dari eksperimen tersebut menunjukkan bahwa dalam

mengambil keputusan, Individu cenderung untuk menyesuaikan dengan keputusan

norma kelompok.

Tujuan dari penelitian adalah melakukan modifikasi mengenai pengaruh

konformitas terhapad perilaku konsumen yaitu pengambilan keputusan dan sumbangan

efektif konformitas terhadap pengambilan keputusan konsumen.

5. Teori/definisi dari variable yang terlibat :

Konformitas

Konformitas ialah suatu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok

teman sebaya terhadap anggotanya tetapi memiliki pengaruh yang kuat dan

dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada anggota

kelompok (Zebua dan Nurdjayadi,2001).

Persepsi

Dalam proses mengambil keputusan, individu akan mengumpulkan

informasi, memproses, dan menyimpan sebagian informasi serta menambah dan

menggabungkan informasi yang baru dengan informasi yang lama sehinga akan

menghasilkan suatu pemecahan masalah dalam bentuk adanya keputusan.

Komparasi

Komparasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

perbandingan. Komparasi adalah suatu metode yang digunakan untuk

membandingkan data-data yang ditarik ke dalam konklusi baru. Komparasi

sendiri dari bahasa inggris yaitu compare, yang artinya membandingkan untuk

menemukan persamaan atau perbedaan dari beberapa konsep atau lebih.

Preferensi

Preferensi pada makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau

ketidaksukaan terhadap suatu jenis makanan dan preferensi tersebut dapat

memengaruhi pilihan individu. Preferensi merupakan pilihan suka atau tidak

suka oleh seseorang terhadap produk yang dikonsumsi. Dalam mengambil

keputusan, menurut Engel (1995) seseorang harus mempelajari semua hal yang

berkaitan dengan performa, keberadaan, nilai, pilihan produk, kemudian

menyimpan informasi tersebut dalam ingatan.

6. Hipotesis :

Dalam pengambilan keputusan, individu dipengaruhi oleh beberapa faktor

selain lingkungan (konformitas) tetapi lebih banyak oleh faktor persepsi, komparasi,

dan preferensi.

7. Sampel/subjek penelitian :

Sampel untuk penelitian ini berjumlah 60 orang mahasiswi psikologi di

Universitas Surabaya yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kontrol dan kelompok

eksperimen. Kelompok kontrol terdiri dari mahasiswi Psikologi yang mengikuti mata

kuliah Psikologi Ekonomi dan Bisnis.

8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen :

Desain penelitian menggunakan true experiment (eksperimen murni) dengan

posttest control group design. Desain eksperimen tersebut merupakan desain

eksperimen dengan adanya pembagian partisipan menjadi kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol. Setelah pembagian menjadi dua kelompok yang setara, dilakukan

treatment pada kelompok eksperimen. Adanya pengukuran post-test memungkinkan

peneliti untuk membandingkan kondisi kelompok eksperimen dan kontrol sehingga

peneliti dapat membuat kesimpulan tentang keefektifan treatment dengan lebih baik.

Peneliti memilih desain eksperimen tersebut karena jenis eksperimen tersebut

berpeluang untuk dilakukan dalam waktu yang terbatas (cukup satu kali eksperimen)

dan mempunyai kontrol validitas internal yang paling kuat dibanding dua desain

eksperimen lainnya. Untuk menghindari risiko terkontaminsasi dengan variabel lain,

maka eksperimen mengontrol beberapa variabel yaitu merek, gender, kemasan, dan

selera. Berikut adalah beberapa upaya yang telah dilakukan untuk menjaga variabel

yang dapat mengganggu jalannya penelitian:

1. Menghilangkan merek pada produk untuk mengurangi bias pada merek.

2. Melakukan seleksi pada calon partisipan dengan screening menggunakan skala

preferensi sehingga penyebaran partisipan merata antara kelompok kontrol dan

kelompok eksperimen.

3. Kemasan produk pada tiap sample menggunakan kemasan yang sama.

9. Metode Pengambilan Data :

Pengambilan data dilakukan pada pukul 08.30 – 9.30 pada hari Selasa Tanggal

29 November 2016. Dalam memilih partisipan, peneliti mengatur dan memberikan

syarat utama yaitu setiap partisipan dalam kelompok eksperimen adalah teman atau

mahasiswi yang berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari experimentee. Setelah di

lakukan screening, peneliti berhasil mendapatkan setiap perwakilan dari masing-masing

skala preferensi yaitu sebanyak 10 partisipan pada tiap kelompok kontrol dan

eksperimen. Total partisipan adalah sebanyak 60 orang.

No Hari, Tanggal Waktu Lokasi Jumlah

partisipan

1 Selasa, 29

November 2016

13:00 – 18.00 SGFP dan PD

1.2

12

2 Rabu, 30

November 2016

14:00 – 18:00 PD 3.2 14

3 Kamis, 1

Desember 2016

11:00 – 13:00 PD 1.3 4

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Berdasarkan waktu penelitian yang disebutkan, pengambilan data

dilakukan selama 3 hari dengan jumlah partisipan yang berbeda-beda bergantung

pada waktu yang dikehendaki oleh experimentee dan partisipan yang ada. Masing-

masing waktu yang diperlukan tiap eksperimen yaitu 1x 25 menit terdiri dari

perkenalan diri, penyampaian tujuan, pencobaan minuman, perlakuan, dan

penutup.

Kelompok A B C N

Eksperimen 6 13* 11 30

Kontrol 8 7 15 30

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pilihan Partisipan

* Pada kelompok eksperimen partisipan yang merubah pilihannya adalah 1 orang dengan

pereferensi 2 yaitu subjek nomor 8

Distribusi skor pilihan pada kedua kelompok tersebut seperti yang telah

ditunjukkan oleh tabel tersebut adalah terdapat perbedaan distribusi pada

pilihan B yaitu selisih 6 orang yaitu sebanyak 13 orang pada kelompok

eksperimen. Meski telah menunjukkan jumlah yang lebih banyak daripada

kelompok eksperimen namun partisipan yang mengaku merubah pilihannya

karena pengaruh temannya adalah sebanyak 1 orang.

Tabel 3. Hasil Tabulasi Silang dan Chi-Square Test

Kelompok Conform Non-Conform Total Sig (2-sided)

Eksperimen 1 29 30 .313

Kontrol 0 30 30

10. Pelaksanaan Penelitian :

Berikut adalah prosedur pelaksanaan penelitian:

a. Sebelum memulai eksperimen, peneliti memperkenalkan diri terlebih dahulu

dan pemberian penjelasan kegiatan yaitu meminta para mahasiswi untuk

memilih minuman yang paling enak atau terbaik. Pertama, dilakukan

screening terlebih dahulu untuk menyeimbangkan kelompok eksperimen

dan kelompok kontrol. Setiap partisipan yang terpilih adalah Dalam kegiatan

ini peneliti berhasil menentukan sebanyak 30 partisipan yang merupakan

wanita yang memiliki perwakilan tiap skala preferensi yaitu masing-masing

sebanyak 10 orang.

b. Pengaturan posisi menggunakan variasi latin square design sehingga setiap

posisi memiliki frekuensi yang sama.

c. Memberikan intruksi bahwa: (1) ketiga sample adalah berasal dari tempat

yang berbeda, (2) setiap produk memiliki kualitas yang berbeda-beda, (3)

eksperimen ini sudah pernah dilakukan sebelumnya dalam studi bisnis untuk

mengindikasi minuman mana yang terbaik, (4) studi yang akan dilakukan

adalah untuk menemukan manakah minuman yang paling terbaik.

d. Membagikan tiap label minuman kepada partisipan secara individu yang

dalam percobaan diberi jeda bagi partisipan untuk meminum air putih untuk

menetralkan rasa.

e. Setelah mencoba dan menentukan pilihan, peneliti membagikan angket dan

inform consent kepada tiap partisipan yang terpilih dan mengumpulkan

seluruh lembar angket yang telah diisi.

f. Langkah terakhir adalah menjelaskan arti tujuan dari eksperimen yang

sebenarnya yang sudah tercantum di dalam inform consent yaitu untuk

merupakan penelitian mengenai pengaruh konformitas dalam pengambilan

keputusan.

g. Untuk menjaga jalannya eksperimen, peneliti menyampaikan kepada seluruh

partisipan yang ada di dalam ruangan tersebut untuk merahasiakan tujuan

eksperimen yang sebenarnya dikarenakan peneliti akan melakukan

penelitian pada kelompok eksperimen dalam beberapa hari ke depan

sehingga tidak menganggu partisipan yang sudah berada di dalam daftar

kelompok eksperimen.

h. Sebagai hadiah atas partisipasi kelompok kontrol peneliti membagikan

masing-masing kepada partisipan berupa minuman cokelat yang merupakan

produk eksperimen.

11. Metode Analisis Data :

Teknik analisis data merupakan kegiatan mengolah data yang sudah terkumpul.

Pengolahan data tersebut dilakukan menggunakan bantuan software SPSS 22. Analisis

data dengan beberapa langkah yaitu uji hipotesis guna mengetahui pengaruh tratment.

Hal ini dilihat dari hasil nilai 0 dan 1 (Pada partisipan yang mengubah pilihannya.

Kemudian memperhatikan nilai signifikansi pada uji hipotesis dengan menggunakan

taraf signifikansi 5% (α= 0.05).

Analisis data yang digunakan adalah teknis analisis tabulasi silang dan Chi

Square test. Hasil analisis tersebut menunjukkan tidak ada asosiasi yang signifikan

sehingga tidak adanya pengaruh konformitas terhadap pengambilan keputusan (0.313 >

0.05). Berdasarkan kuesioner yang telah diberikan, diketahui bahwa faktor mayoritas

atau yang paling banyak mempengaruhi pengambilan keputusan adalah faktor

psikologikal yaitu persepsi (100%), komparasi (36,6%) dan preferensi (33,3%).

12. Hasil Penelitian :

Berdasarkan hasil yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa

pengaruh tekanan kelompok tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan

seseorang. Hal ini diperkuat dengan data pengujian hipotesis dengan tabulasi

silang dan sig pada Chi-Square terhadap pengambilan keputusan pada seluruh

jumlah partisipan sebanyak 60 orang. Berdasarkan tabel 4.4 terlihat dari data

output SPSS adalah nilai sig 0.313 > 0.05 maka tidak signifikan sehingga H1

ditolak. Artinya adalah tidak ada asosiasi antara konformitas dengan pengambilan

keputusan.

No Faktor yang memengaruhi Persen Pernyataan No subjek

1 Persepsi

Tahap:

Pengenalan

Perhatian

Interpretasi

100 % (30 subjek) “rasa, warna dan kekentalan”

“rasa dan tekstur”

“ tidak terlalu asam”

“Coklatnya terasa”

1

22

30

27

2 Komparasi 36,6 %

(11 subjek)

“Menurut saya, sample A tidak

terlalu pahit dan tidak terlalu

manis dibandingkan yang

lainnya, sample A terasa paling

enak meskipun yg lainnya juga

enak”

“ Karena menurut saya yang

paling manis”

12

3

3 Penguatan teman 20%

(6 subjek)

“ Pilihan saya sudah tetap dari

awal, karena teman saya yakin”

“teman saya suka B jadi saya

semakin yakin”

2

7

4 Preferensi

Selera kesukaan terhadap

produk

Pembelajaran dari

pengalaman masa lalu

33,6 %

(10 subjek)

“Manisnya menurut saya pas,

mungkin karena saya tidak suka

terlalu manis maka dari itu

rasanya pas”

“Karena sudah pas di hati coklat

B (Saya suka)”

“ Karena sample C pahit seperti

dark choco yang seharusnya”

22

25

23

Tabel 4. Hasil angket terbuka

Berikut akan dibahas hasil penelitian pada masing-masing faktor yang

memengaruhi pengambilan keputusan.

1. Penguatan teman

Berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan, diketahui bahwa

sebanyak 6 (20%) subjek nomor 2, 3, 6, 7, 9, 17, (tabel 4.5) menyatakan

bahwa adanya pengaruh teman dalam mempertimbangkan pilihan

walaupun sedikit dan tidak merubah pilihan jika berbeda namun dapat

memberikan penguatan pada pilihannya jika memiliki pilihan jawaban

yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam mengambil keputusan,

seseorang akan memperhatikan keputusan orang lain dan dapat

menjadikan keputusan orang lain sebagai penguat dalam pilihannya jika

memiliki pilihan yang sama.

Subjek menggunakan informasi dan respon teman dalam

pengambilan keputusannya ditunjukkan melalui pernyataan subjek yaitu “

Pilihan saya sudah tetap dari awal, karena teman saya yakin” pdada subjek

nomor 2 dan pernyataan “teman saya suka B jadi saya semakin yakin

pada subjek nomor 7 (Tabel 4.5). Dari contoh pernyataan subjek tersebut

menunjukkan bahwa subjek pada tahap evaluasi alternatif yaitu melakukan

evaluasi berdasarkan sikap orang lain atau teman sebaya berupa sikap

positif dari experimentee berupa opini sikap persetujuan dengan pilihan

subjek. Sikap experimentee tersebut memberikan pengaruh dalam

mengambil keputusan yaitu kehadiran teman tersebut memengaruhi subjek

untuk dapat meyakini dan sebagai penguatan pada pilihan yang telah

dipilih subjek. Sikap teman yang positif terhadap suatu sample yaitu

menyukai hasil dari evaluasi subjek memengaruhi keyakinan dan motivasi

pada pilihan subjek tersebut.

2. Persepsi

Dalam proses mengambil keputusan, individu akan mengumpulkan

informasi, memproses, dan menyimpan sebagian informasi serta

menambah dan menggabungkan informasi yang baru dengan informasi

yang lama sehinga akan menghasilkan suatu pemecahan masalah dalam

bentuk adanya keputusan. Menurut Engel (1995) terdapat tiga langkah

utama dalam proses menghasilkan informasi dari persepsi yaitu

a. Pengenalan (exposure)

Persepsi dimulai pada tahap ini yaitu muncul ketika stimulus

datang melalui salah satu reseptor sensori utama. Pada

penelitian ini terlihat dalam reseptor sensori utama yaitu pada

pengenalan produk pertama kali pada prosedur penelitian.

Pengenalan dilakukan dengan menyampaikan produk secara

singkat dengan menghadirkan produk secara langsung dan juga

melalui penyampaian secara verbal oleh peneliti.

b. Perhatian (attention)

Tahap berikut ini yaitu adanya perhatian yang muncul ketika

stimulus mengaktifkan satu atau lebih sensori dan sensasi yang

terbentuk bergerak menuju otak dan diproses. Banyaknya

stimulus yang hadir akan menimbulkan perhatian pada stimulus

yang menarik. Faktor stimulus adalah karakteristik fisik dari

stimulus seperti warna, rasa, intensitas kekentalan, dan

kuantitas yang ada para produk minuman coklat. Dalam

penelitian ini dapat ditunjukan pada sensori indera perasa (rasa,

tekstur, dan kekentalan) dan penglihatan (warna). Hal ini

ditunjukkan dengan kemampuan subjek dalam memperhatikan

beberapa aspek tersebut yang kemudian dijadikan

pertimbangan terlihat dalam beberapa pernyataan yaitu “rasa,

warna dan kekentalan” pada subjek nomor 1, dan “rasa dan

tekstur” pada subjek nomor 22 (Tabel 4.5). Hal ini

menunjukkan bahwa subjek merasakan adanya stimulus

karakteristik fisik dari produk tersebut.

c. Interpretasi (interpretation)

Langkah berikutnya adalah interpretasi yaitu menentukan

makna dari sensasi atau proses pada saat stimulus baru

ditempatkan dalam salah satu kategori makna dari sensasi atau

proses dimana stimulus baru ditempatkan dalam salah satu dari

makna kategori yang ada. Dalam penelitian ini, subjek akan

memproses dan menginterpretasikan dan mengelolah seperti

rasa yang pahit atau manis, tingkat intensitas kental atau cari

dan warna yang terang atau lebih gelap. Subjek akan

mengkategorikan makna dari sensasi atau proses yang

diterimanya pada makna kategori seperti mengkategorikan rasa

pada produk yang akan dipilih dengan sample yang tidak

seperti dengan makna pada tingkat rasa manis dan asam serta

tekstur pada produk minuman coklat tersebut. Hal ini

ditunjukkan pernyataan subjek yaitu “ tidak terlalu asam”

subjek nomor 30 dan “Coklatnya terasa” pada subjek nomor 27

(Tabel 4.5). Pernyataan tersebut membuktikan bahwa dalam

mengambil keputusan, subjek akan memiliki interpretasi

terhadap produk dan interpretasi yang dimiliki tersebut

memengaruhi keputusan yang akan dipilih. Subjek akan

menginterpretasikan dan mengkategorikan makna yang

diperoleh dari proses interpretasi.

3. Komparasi

Komparasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan

sebagai perbandingan. Komparasi adalah suatu metode yang digunakan

untuk membandingkan data-data yang ditarik ke dalam konklusi baru.

Komparasi sendiri dari bahasa inggris yaitu compare, yang artinya

membandingkan untuk menemukan persamaan atau perbedaan dari

beberapa konsep atau lebih. Berdasarkan Kotler (2008) proses

pengambilan keputusan terdiri dari lima tahap. Salah satu tahap tersebut

adalah tahap pencarian informasi. Pada tahap ini individu akan mencari

informasi mengenai suatu produk. Pencarian informasi tersebut dapat

berupa pencarian informasi yang bersifat aktif yaitu melakukan berbagai

perbandingan dari spesifikasi produk yang telah ditawarkan. Komparasi

atau perbandingan tersebut dapat dilakukan dengan membandingkan

kelebihan dan penawaran produk yang paling sesuai.

4. Preferensi

Preferensi pada makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan

atau ketidaksukaan terhadap suatu jenis makanan dan preferensi tersebut

dapat memengaruhi pilihan individu. Preferensi merupakan pilihan suka

atau tidak suka oleh seseorang terhadap produk yang dikonsumsi. Dalam

mengambil keputusan, menurut Engel (1995) seseorang harus mempelajari

semua hal yang berkaitan dengan performa, keberadaan, nilai, pilihan

produk, kemudian menyimpan informasi tersebut dalam ingatan. Perilaku

konsumen dipengaruh oleh penngalaman belajar yang menentukan

tindakan dan pengambilan keputusan yaitu bersumber dari pembelajaran

pada pengalaman yang serupa. Pengalaman masa lalu yang pernah

mengkonsumsi produk sejenis yaitu produk minuman dark chocolate dan

hasil interpretasi dari produk tersebut dapat menjadi standard dalam

mengambil keputusan.

Adanya pengaruh pengalaman masa lalu tersebut dapat

ditunjukkan pada pernyataan subjek “ Karena sample C pahit seperti dark

choco yang seharusnya” pada subjek nomor 23. Pernyataan tersebut

menunjukkan bahwa subjek sudah pernah mencoba minuman dark

chocolate sebelumnya dan sudah memiliki standart yang harus dicapai.

Subjek akan memilih dari beberapa sample yang sesuai dan mencapai

standard rasa tersebut.

13. Kesimpulan :

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam

pengambilan keputusan, individu dipengaruhi oleh beberapa faktor selain lingkungan

(konformitas) tetapi lebih banyak oleh faktor persepsi, komparasi, dan preferensi.

Saran bagi individu adalah para Individu diharapkan untuk dapat mengevaluasi

opsi-opsi dengan karakteristik diri dan juga mempertimbangkan opini dan sikap orang

lain. Individu dapat mengambil keputusan seperti mengevaluasi opsi-opsi yang ada,

melakukan komparasi terhadap pilihan produk yang ada dan juga sesuai dengan selera

ketika dihadapkan pada situasi yang membutuhkan pengambilan keputusan.

Melalui hasil penelitian diketahui bahwa konsumen menentukan pilihannya

berdasarkan persepsi mereka dalam kualitas produk tersebut dan preferensi (selera).

Diharapkan hasil penelitian ini dapat di implementasikan dalam strategi pemasaran

produk tersebut dengan menyesuaikan karakteristik konsumen. Disarankan untuk

melakukan pengembangan produk dengan mempertimbangkan faktor-faktor psikologi

yang berkaitan dengan karakteristik konsumen.

JURNAL 5

73

PENGARUH TERAPI MUSIK DAN GERAK TERHADAP PENURUNAN

KESULITAN PERILAKU SISWA SEKOLAH DASAR

DENGAN GANGGUAN ADHD

Diana Rusmawati, Endah Kumala Dewi

Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Jl. Prof Sudharto. SH, Kampus Tembalang, Semarang, 50275

[email protected] ; [email protected]

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh terapi musik dan gerak terhadap penurunan kesulitan berperilaku

pada siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD. Kesulitan berperilaku ditunjukkan melalui perilaku berlari dan

melompat tanpa tujuan yang pasti merupakan salah satu gejala yang spesifik dari gangguan pemusatan perhatian dan

hiperaktifitas atau gangguan hiperkinetik atau“attention deficit/hyperactivity disorder” (ADHD). Seorang ahli dari hasil

penelitiannya memberikan rekomendasi bahwa terapi musik dapat dikembangkan untuk formulasi strategi treatmen

untuk anak-anak dengan ADHD (Jackson, Nancy 2003).Yudarwanto, W (2006) mengatakan, terapi yang diberikan

terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistic dan menyeluruh. Ada beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki

gangguan perkembangan dan perilaku pada penderita ADHD diantaranya adalah terapi musik dan gerak. Penelitian

ini adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan mempergunakan metode eksperimen. Disain eksperimen

yang dipilih adalah disain subjek tunggal dengan disain A-B-A. Dengan variabel tergantung (target behavior) kesulitan

berperilaku dan varibel bebas yaitu terapi music dan gerak. Alat yang digunakan untuk melakukan tritmen adalah lagu-

lagu Serenade dengan alat musik angklung, lagu Satu-satu aku sayang ibu karangan AT Mahmud , berbagai alat musik

anak-anak dan bantal aneka warna. Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan kriteria: usia, skor Skala

Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan mempergunakan observasi

langsung, video kamera dan behavioral check list. Waktu yang dipergunakan untuk fase baseline I dilakukan selama

enam hari (6) dengan durasi waktu 50 menit, waktu diberikannya tritmen adalah lima belas (15) menit dan selama dua

belas (12) hari yang dilanjutkan dengan observasi di kelas selama lima puluh menit (50) menit, dan fase baseline II

yaitu observasi di kelas setelah tritmen tidak lagi diberikan masing-masing lima puluh (50) menit. Analisis data

menggunakan teknik analisis grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan terapi musik dan gerak dapat

menurunkan frekuensi kesulitan berperilaku pada siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD.

Kata kunci: terapi musik dan gerak, kesulitan berperilaku, ADHD.

PENDAHULUAN

Gangguan pemusatan perhatian dan

hiperaktifitas atau gangguan hiperkinetik atau

“attention deficit/ hyperactivity disorder”

(ADHD) adalah gangguan psikiatrik atau

gangguan perilaku yang paling banyak

dijumpai, baik di sekolah ataupun di rumah.

Gangguan ini merupakan salah satu kelainan

yang sering dijumpai pada gangguan perilaku

anak. Dalam tahun terakhir ini gangguan

ADHD menjadi masalah yang mendapat

banyak sorotan dan perhatian utama

dikalangan medis ataupun masyarakat umum

(Saputro, 2005).

Bradley dan Golden (Jeffrey, Nevid dkk,

2005) mengatakan hal yang sama, yaitu

ADHD merupakan masalah psikologis yang

paling banyak terjadi akhir-akhir ini, sekitar

3-10% terjadi di Amerika Serikat, 3-7% di

Jerman, 5-10% di Kanada dan Selandia Baru.

Di Indonesia angka kejadiannya masih belum

ditemukan angka yang pasti, meskipun

kelainan ini tampak cukup banyak terjadi dan

sering dijumpai pada anak usia pra sekolah

dan usia sekolah (Judarwanto, W, 2006).

74 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

Sedangkan menurut Saputro (2005) di

Indonesia, populasi anak Sekolah Dasar

adalah 16,3% dari total populasi yaitu 25,85

juta anak. Berdasarkan data tersebut

diperkirakan tambahan kasus baru ADHD

sebanyak 9000 kasus. Sebagian besar orang

tua ataupun guru masih menganggap anak

dengan gangguan tersebut sebagai anak

“nakal” atau “malas”. Padahal anak dengan

gangguan tersebut apabila tidak mendapat

pertolongan yang tepat, akan mengalami

kesulitan belajar, prestasi belajar buruk, gagal

sekolah, tingkah lakunya menganggu,

sikapnya tampak sulit diterima oleh

lingkungannya dan bahkan cenderung tidak

disukai oleh orang tua ataupun guru.

Anak-anak ADHD di sekolah sering kali tidak

berada di kursi mereka saat seharusnya

duduk. Atau jika mereka duduk di kursi,

mereka tidak akan bertahan lama. Mereka

akan berbicara terus menerus, berteriak

mengganggu teman-teman lain, berlari dan

melompat tanpa tujuan yang jelas dan tidak

ada satupun tugas akademis yang dapat

diselesaikan.

Penanggulangan kasus penderita ADHD

adalah melalui terapi medikasi atau

farmakologi. Namun para ahli umumnya tidak

menyarankan obat-obatan sebagai terapi

tunggal. Obat stimulan syaraf yang umumnya

diberikan pada anak hiperaktif antara lain

metilfenidat, dekstro, amfetamin dan pemolin

magbesium. Hasilnya anak bisa tenang dan

berkonsentrasi beberapa jam. Walaupun

efektif, obat memiliki efek sampingan yang

merugikan, yaitu timbul kantuk, nafsu makan

berkurang atau sebaliknya sulit tidur, tic,

nyeri perut, sakit kepala, cemas, perasaan

tidak nyaman, kreativitas terhambat. Dalam

jangka panjang menyebabkan kecanduan,

ketergantungan obat bahkan sampai ia

dewasa. Perkembangan jiwa anakpun ikut

mempengaruhi munculnya perilaku adiktif

(Intisari, 2001)

Yudarwanto (2006) mengatakan, terapi yang

diberikan terhadap penderita ADHD haruslah

bersifat holistik dan menyeluruh. Ada

beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki

gangguan perkembangan dan perilaku pada

penderita ADHD diantaranya adalah sensory

integration, snozelen, neuro development

treatment, modifikasi perilaku, terapi

bermain.

Penatalaksanaan ADHD harus merupakan

penatalaksanaan yang multimodal.

Penatalaksanaan ADHD dirancang dapat

memenuhi harapan orang tua di rumah dan

guru di sekolah, yaitu adanya perbaikan

prestasi/ penampilan akademis dan tingkah

lakunya.

Musik memberikan nuansa yang bersifat

menghibur. Sifat menghibur ini

menumbuhkan suasana yang

menggembirakan dan menyenangkan bagi

seorang anak. Apalagi jika lagu-lagu yang

diperdengarkan sesuai dengan suasananya.

Lagu gembira memberikan rangsangan

aktivitas psikofisik pada anak (Satiadarna &

Roswiyani, 2004).

Pada umumnya, anak-anak merupakan

mahluk yang multiritmik. Sebagai mahluk

yang multiritmik, anak-anak mudah memberi

respon fisik terhadap ritme musik, bahkan

responnya relatif spontan dan anak-anak

cenderung bebas menggerakkan tubuh dan

anggota tubuhnya. Aktivitas motorik ini

merangsang pertumbuhan anak, khususnya

pada awal masa perkembangan. Irama musik

yang didengar pada awal kehidupan akan

menjadi irama musik yang sangat bermakna

dalam kehidupan selanjutnya. Irama musik

tertentu akan mempengaruhi detak nadi

mereka, sehingga menjadi selaras dengan

musik tersebut.

Hasanah (2008) dari hasil penelitiannya

ditemukan bahwa musik lembut berpengaruh

dalam menurunkan kecemasan menghadapi

persalinan pertama. Musik lembut membawa

Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 75

Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD

efek relaksasi sehingga bisa menurunkan

tingkat kecemasan ibu hamil pada trisemester

ketiga. Chandra (2007) dari hasil

penelitiannya ditemukan bahwa terapi musik

dapat mengurangi perilaku repetitif pada

anak-anak autis. Dengan mendengarkan

musik anak autis merasa lebih tenang.

Seorang ahli dari hasil penelitiannya

memberikan rekomendasi bahwa terapi musik

dan gerak dapat dikembangkan untuk

formulasi strategi treatmen untuk anak-anak

dengan ADHD (Jackson, 2003). Sedangkan

Wheeler dan Stultz (2007) untuk membantu

anak-anak dalam merespon musik tadi maka

ditambahkan gerakan dengan menyanyi dan

instrumen, sehingga anak-anak lebih trampil

dalam merespon, lebih spontan dalam

mengikuti irama dengan menggerak-gerakkan

bagian tubuhnya. Pada anak-anak yang

mengalami disability maka menunjukkan

hasil bahwa terapi musik dan gerakan dapat

membantu anak-anak belajar untuk mengatur

diri dan dalam berhubungan dengan orang

lain serta mengatur emosinya.

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik

kesimpulan bahwa musik dan gerakan

berpotensi untuk menyembuhkan berbagai

penyakit. Musik dan gerakan berpengaruh

langsung ke otak dan berakibat ke proses

kerja tubuh. Terapi musik dan gerak juga

mampu mempengaruhi kondisi mental, sebab

ada keterkaitan antara musik dengan emosi

atau mental seseorang. Oleh karena itu

peneliti tertarik untuk memanfaatkan musik

dan gerak sebagai salah satu alternatif terapi

untuk menurunkan kesulitan berperilaku pada

anak dengan gangguan ADHD.

Kesulitan Perilaku pada Anak dengan

Gangguan ADHD

Peters dan Douglas (Goldstein, 1995)

mendiskripsikan “attention deficit

hyperactivity disorder” (ADHD), sebagai

gangguan yang menyebabkan individu

memiliki kecenderungan untuk mengalami

masalah pemusatan perhatian, kontrol diri,

dan kebutuhan untuk selalu mencari stimulasi.

Barkley (2006) menggambarkan ADHD

sebagai hambatan untuk mengatur dan

mempertahankan perilaku sesuai peraturan

dan akibat dari perilaku itu sendiri. Gangguan

tersebut berdampak pada munculnya masalah

untuk menghambat, mengawali, maupun

mempertahankan respon pada suatu situasi.

Berdasarkan uraian diatas maka ADHD dapat

dipahami sebagai gangguan neurologis yang

menyebabkan masalah pemusatan perhatian,

kontrol diri, dan hiperaktifitas/ impulsivitas

pada anak, sehingga anak sulit untuk

menghambat, mengawali, atau

mempertahankan respon pada satu situasi.

Karakteristik kesulitan berperilaku anak

dengan ADHD

Anak-anak yang banyak bergerak tapi masih

dalam batas normal biasanya gerakannya

diarahkan oleh suatu tujuan dan dapat

mengontrol perilaku mereka. Namun ada

sebagian anak yang menunjukkan gerakan

tanpa diarahkan oleh suatu tujuan dan tanpa

alasan yang jelas serta terlihat tidak bisa

menyesuaikan perilaku mereka terhadap

tuntutan, guru dan orangtua. Anak yang

menunjukkan gambaran tersebut diatas adalah

anak-anak dengan gangguan pemusatan

perhatian dan hiperaktifitas atau gangguan

hiperkinetik atau “attention deficit

hyperactivity disorder” (ADHD).

Gangguan pemusatan perhatian atau

gangguan hiperkinetik adalah gangguan

psikiatrik atau gangguan perilaku anak yang

paling banyak dijumpai, baik di sekolah

maupun di rumah. Tampilan klinis ADHD

sudah bisa dideteksi sejak dini yaitu sejak usia

bayi. Pada usia bayi, terlihat sangat sensitif

terhadap suara dan cahaya, menangis,

menjerit, sulit untuk diam, waktu tidur sangat

kurang dan sering terbangun. Anak juga

sering mengalami kolik, sulit makan atau

minum baik ASI atau susu botol, tidak bisa

76 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

ditenangkan atau digendong, menolak untuk

disayang, berlebihan air liur, kadang seperti

kehausan sering minta minum, “head

banging” (membentur kepala, memukul

kepala, menjatuhkan kepala ke belakang) dan

sering marah berlebihan (Judarwanto, 2006;

Barkley,2006, h.76).

Anak-anak yang mengidap ADHD

menunjukkan sikap tangan dan kaki bergerak

gelisah atau menggeliat-geliat di kursi,

meninggalkan kursi pada situasi yang

menuntut duduk tenang, berlarian atau

memanjat, kesulitan untuk bermain dengan

tenang (Kaplan, 1997, h.731; Nevid dkk,

2005, h.60; Barkley, 2006, h.76; Hughes &

Cooper, 2007, h.165; Martin, 2008, h.29).

Anak cenderung mengambil resiko yang tidak

akan dilakukan oleh sebagian besar anak-anak

normal. Mereka selalu terluka, tetapi tidak

pernah belajar dari pengalaman. Selain itu

mereka akan berbicara terus menerus,

berteriak, mengganggu teman. Mereka

menjadi tidak teratur, sering melupakan atau

kehilangan perlengkapan dan barang-barang

penting. Sebagian besar orangtua ataupun

guru masih menganggap anak dengan

gangguan tersebut sebagai anak “nakal” atau

“malas”.

Tanda lain dari gejala pada anak yang lebih

besar adalah tindakan yang hanya terfokus

pada satu hal saja dan cenderung bertindak

ceroboh, mudah bingung, lupa pelajaran

sekolah dan tugas di rumah. Kesulitan

mengerjakan tugas di sekolah maupun di

rumah, kesulitan dalam menyimak, kesulitan

dalam menjalankan beberapa perintah. Ia juga

sering keceplosan bicara, tidak sabaran, gaduh

dan bicara berbelit-belit, gelisah dan bertindak

berlebihan, terburu-buru, banyak omong dan

suka membuat keributan dan suka memotong

pembicaraan dan ikut campur pembicaraan

orang lain (Judarwanto, 2009; Saputra, 2009

h.38; Barkley,2006, h.299).

Dari gambaran tersebut diatas maka dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

kesulitan berperilaku adalah aktivitas yang

sangat berlebihan atau tidak sesuai dengan

tingkat perkembangannya terutama aktivitas

motorik dan atau vokal.

Etiologi

Penyebab ADHD dipahami sebagai

disregulasi neurotransmiter tertentu didalam

otak yang membuat seseorang lebih sulit

untuk memiliki atau mengatur stimulus-

stimulus internal dan eksternal. Beberapa

neuorotransmiter, termasuk dopamine dan

norepinephrine, mempengaruhi produksi,

pemakaian, pengaturan neurotransmiter lain

juga beberapa struktur otak. Masalah pada

pengaturan fungsi tertentu otak ini tampak

terpusat pada cuping depan yang membuat

seorang anak ADHD lebih sulit

mengendalikan masukan dari bagian-bagian

lain otak. Daerah depan otak yang berada

tepat dibelakang dahi dikatakan

mengendalikan fungsi eksekutif perilaku.

Fungsi eksekutif bertanggung jawab pada

ingatan, pengorganisasian, menghambat

perilaku, mempertahankan perhatian,

pengendalian diri dan membuat perencanaan

masa depan. Tanpa dopamine dan

neurotransmitter yang cukup, cuping-cuping

depan kurang terstimulasi dan tidak dapat

melaksanakan fungsi-fungsinya yang

kompleks secara efektif. Kemudahan

mengalami gangguan dan ketiadaan perhatian

dari sudut pandang fungsi otak adalah

kegagalan untuk “menghentikan” atau

menghilangkan pikiran-pikiran internal yang

tidak diinginkan atau stimulus-stimulus kuat

(Martin, 2008, h.78; Wiebe, 2007, h.15;

Saputro 2009, h.63).

Perubahan suasana hati yang cepat dan

kepekaan berlebihan merupakan akibat dari

otak yang bermasalah dalam meredam

bagian-bagian otak yang mengatur gerakan-

gerakan motorik dan respon-respon

emosional. Hal itulah yang membuat anak

tidak dapat menunggu, menunda pemuasan

dan menghambat tindakan.

Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 77

Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD

Hasil penelitian oleh Cantwell (1975) dan

Morrison dan Stewart (1973) melaporkan

bahwa pada orangtua biologis anak ADHD

lebih banyak mengalami hiperaktivitas

dibandingkan dengan orangtua adopsi anak

ADHD. Hal ini menunjukkan bahwa peran

herediter sangat besar sebagai salah satu

faktor penyebab gangguan ini (Kaplan, 1997,

h.729; Nevid, 2005, h.16; Saputro, 2009,

h.58).

Brown mengatakan ADHD diduga dasarnya

adalah masalah kimia dalam sistem

manajemen otak. Daerah otak yang mengatur

dorongan perhatian dan perilaku dianggap

tidak aktif dibandingkan dengan anak-anak

tanpa gangguan. Dari pengamatan lesi

prefrontal pada individu dengan cedera otak

traumatis juga cenderung menunjukkan

perilaku hiperaktif, distracbility atau impulsif

serta defisit pada fungsi eksekutif (Wiebe,

2007, h.13).

Penelitian neuropsikologis menunjukkan

korteks frontal dan sirkuit yang

menghubungkan fungsi eksekutif bangsal

ganglia. Katekolamin adalah fungsi

neurotransmiter utama yang berkaitan dengan

fungsi otak lobus frontalis Pada penderita

ADHD terdapat kelemahan aktifitas otak

bagian korteks prefrontal kanan bawah dan

kaudatus kiri yang berkaitan dengan pengaruh

keterlambatan waktu terhadap respon motorik

terhadap rangsangan sensoris.

Perilaku ADHD adalah efek dari kecemasan

yang tinggi yang dialami oleh anak sewaktu

kecil, karena anak cemas maka pikirannya

bekerja sangat aktif, memunculkan berbagai

mental atau buah pikir, dengan tujuan agar

anak bisa sibuk memikirkan gambar mental

atau buah pikir itu sehingga dengan

sendirinya kecemasan mereka akan

berkurang.

Berdasarkan gambaran diatas, maka nampak

bahwa penyebab ADHD cukup kompleks,

antara lain neurologis, herediter dan

lingkungan.

Terapi Musik dan Gerak

Terapi musik dan gerak adalah terapi yang

bersifat non verbal. Johan (2006, h.24)

mengatakan bahwa dengan bantuan alat

musik, klien juga didorong untuk berinteraksi,

berimprovisasi, mendengarkan atau aktif

bermain musik. Terapi musik dilakukan

dengan tujuan utama untuk perubahan

perilaku, diikuti tujuan psikososial dan

kognitif.

Terapi musik terdiri dari dua kata, yaitu

“terapi” dan “musik”. Kata “terapi” berkaitan

dengan serangkaian upaya yang dirancang

untuk membantu atau menolong orang lain.

Kata “musik” dalam terapi musik digunakan

untuk menjelaskan media yang digunakan

secara khusus dalam rangkaian terapi.

Terapi musik memanfaatkan kekuatan musik

untuk membantu klien menata dirinya

sehingga mereka mampu mencari jalan

keluar, mengalami perubahan dan akhirnya

sembuh dari gangguan yang diderita. Keadaan

tersebut menggambarkan bahwa terapi musik

bersifat humanistik (Johan, 2006, h.57). Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Loewy (1990)

menunjukkan bahwa musik berpengaruh

langsung ke otak dan berakibat ke proses

kerja tubuh.

Hasil penelitian Jackson (2003), terhadap

anak-anak SD yang mengalami ADHD

menunjukkan bahwa intervensi terapi

behavioral dan strategi manajemen diri tidak

efektif dipopulasi ADHD dan neuroterapeutic.

Terapi seni lebih disarankan untuk anak

ADHD termasuk mempergunakan musik.

Terapi seni ini disamping untuk mendukung

berkembangnya kreativitas, juga merupakan

bagian pendekatan multimodal untuk

masalah-masalah interpersonal dan sosial

yang berhubungan dengan hiperaktifitas.

78 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

Bermain musik dipilih sebagai metode

treatmen kesulitan berperilaku karena unsur-

unsur gerak memberikan dampak pada

aktivitas hemisfer otak. Musik dan gerakan,

improvisasi instrumental, bermain musik dan

kelompok menyanyi sering melibatkan

gerakan sisi-sisi badan dan aktivitas di

hemisphere otak. Musik dan gerakan

merupakan pasangan yang bisa meningkatkan

kesadaran emosi atau meningkatkan sebagian

kesadaran. Kemampuan musik meningkatkan

fungsi memori dan persepsi pendengaran

(auditory) untuk mengembangkan belajar dan

kemampuan suara yang spesifik atau nada

bisa mengembangkan perasaan (affecy brain).

Musik dan gerakan, improvisasi instrumental,

bermain musik dan kelompok menyanyi

sering melibatkan gerakan fisik dan badan.

Keadaan ini bisa meningkatkan kesadaran

emosi atau meningkatkan sebagian dari

kesadaran (auditory perception dan memory).

Berdasarkan gambaran tersebut diatas dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud terapi

musik dan gerak adalah pemberian bantuan

untuk meningkatkan ketrampilan kognitif

(perhatian dan memori), ketrampilan

mengatur diri dan berhubungan dengan orang

lain dengan memanfaatkan kekuatan musik

dan gerakan.

Elemen dasar musik

Enam elemen dasar musik yang penting

adalah irama (rythem), melodi, harmoni,

dinamika, timbre dan bentuk. Irama adalah

suatu organizer fisiologis, pemersatu sosial

yang tidak memerlukan „perhatian‟ khusus.

Internalisasi irama merupakan kunci utama

dalam terapi musik untuk sensori integrasi,

yaitu suatu proses aplikasi rangsangan

eksternal yang berirama persisten dapat

membantu mempola kembali dan mengatur

keselarasan berirama naluriah dalam

lingkungan internal fisiologis (denyut nadi,

otot, detak jantung, tekanan darah,

pernafasan) (Berger,2002, h.112)

Melodi adalah komunikasi naluriah yang

berhubungan langsung dengan keadaan

emosional manusia. Melodi yang tidak

menentu bisa membuat kegelisahan di otak,

yang umumnya lebih menyukai pola teratur

lagu. Sedangkan harmoni sebagai sumber

daya untuk terapi musik memiliki

kemampuan untuk merangsang persepsi

auditori dapat digunakan untuk memperkuat

fokus pendengaran.

Perseveration atau pengulangan irama adalah

kekuatan dibalik irama dan tenaga pendorong

yang membuat manusia memperhatikan dan

akhirnya beradaptasi. Otak menerima

pengulangan ini selama dibutuhkan untuk

mendapatkan pesan, karena pesan berirama

akan berubah melalui proses evolusi musik.

Sedangkan tempo menentukan efektivitas

musik dalam memunculkan psiko-emosional

serta respon sensoris fisiologis dari musik

(Berger, 2002, h. 117).

Pengajaran sistem untuk bergerak dengan

modulasi dinamis tertentu didukung oleh

dinamika musik adalah tujuan dari terapi

musik untuk integrasi sensori dan

perencanaan motor. Musik lembut

menenangkan pikiran; crescendo dan

decresendo mempengaruhi perhatian, mood,

dan gairah. Dinamika juga memegang peran

kunci dalam ekspresi emosi diri dan

pengakuan perasaan.

Premis terapi musik dan gerak

1. Otak dapat didorong pada tingkat sub-

kortikal melalui tugas sensorik motorik

spesifik untuk mengembangkan fungsi

tanggapan terhadap suasana,

2. Kognitif dan intuitif, respon adaptif

emosional pada kedua sub-kortikal dan

tingkat kortikal dapat berkembang dengan

baik,

3. Terapi musik bekerja dengan apa yang ada

(bukan apa yang hilang), bagian yang

sudah berfungsi memberikan masukan

Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 79

Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD

baru kepada otak untuk memperluas

pengetahuan,

4. Kerja terapi musik adalah menggunakan

musik untuk kesenangan, tetapi secara

spesial mengubah cara kerja otak yang

„lama‟ ke cara kerja yang baru dan tidak

mengganggu (Berger, 2002, h.136).

Pengaruh Terapi Musik dan Gerak

terhadap Kesulitan Perilaku Anak dengan

ADHD

Pada umumnya anak-anak merupakan mahluk

yang multiritmik. Sebagai mahluk yang

multiritmik, anak-anak mudah memberi

respon fisik terhadap ritme musik, bahkan

responnya relatif spontan dan anak-anak

cenderung bebas menggerakkan tubuh dan

anggota tubuhnya.

Musik memberikan nuansa yang bersifat

menghibur. Sifat menghibur ini

menumbuhkan suasana yang menyenangkan

dan menggembirakan bagi seorang anak.

Nuansa hiburan ini memberikan dukungan

positif bagi anak dalam menjalankan

aktivitasnya (Satiadarma & Zahra, 2004,

h.17). Musik potensial untuk meningkatkan

kerja otak, minat, aktivitas, perilaku sosial

dan belajar, mengarahkan ketegangan,

mengatur perilaku dan mengekspresikan

emosi. Musik secara langsung diproses

melalui sistem limbik (amigdala, talamus,

cerebal hypothalamus, hippocampus) (Berger,

2002, h.130). Melalui sistem pendengaran

suara masuk ke dalam otak, memicu faktor

emosional yang mendorong motivasi dan

kemauan untuk membuat pilihan dan

melakukan pola sensorik baru. Pada dasarnya

musik adalah aktivitas whole brain, two

brain, yang mendorong kognisi otak kiri

dengan menggunakan otak kanan untuk

merangsang belahan otak kiri sehingga bisa

bekerjasama (Berger, 2002, h.135).

Kegiatan musik yang meliputi komponen

berirama kuat dapat berdampak pada

perencanaan adaptasi motorik, sensori

integrasi, proses kognitif dan gerakan

fisiologis umum. Individu yang telah

menginternalisasi irama cenderung

mengembangkan perilaku penuh perhatian,

dengan gerakan tubuh lebih fungsional

terorganisir, tubuh bagian atas dan bawah

terkoordinasi, fokus visual dan pendengaran

dan adaptasi perencanaan motorik. Ketika

tubuh berirama terorganisir, tampak bahwa

respon fisiologis lain menjadi lebih mudah

dikelola (Berger, 2002, h.114).

Hasil penelitian efek musik dan suara dalam

produksi alpha brain wave pada anak-anak,

menjelaskan bahwa efek mendengarkan

musik adalah meningkatkan memori jangka

pendek, mengurangi kebingungan dan

meningkatkan proses informasi (Morton,

Kershner & Siegel, 1990).

Aspek sensorik yang dapat diamati dalam

enam minggu pertama terapi musik adalah

reaksi terhadap suara, body atributes untuk

informasi tentang otot dan fungsi

proprioseptif, dan gerakan yang

mengindikasikan masalah vestikular,

proprioseptif dan taktil yang berdampak pada

perencanaan motor, keseimbangan dan pusat

rasa (Berger, 2002, h.133-134).

Gerakan dilakukan oleh anak karena gerakan

juga dapat memperkuat fungsi ingatan, yang

membantu penguasaan dan perkembangan

kesadaran akan dirinya sendiri. Eurythmicz

(Sheppard, 2002, h.62) mengatakan bahwa

emosi bisa dirasakan melalui gerakan dan

emosi juga bisa diungkapkan melalui gerakan,

suara, sikap tubuh serta bentuk tubuh. Dengan

membantu anak-anak melatih gerakan yang

sesuai dengan musik, maka akan tersedia

penyaluran ekspresi emosi. Gerakan sesuai

musik juga dapat meredam emosi yang

negatif diubah secara positif. Aktif secara

fisik akan membantu memperhalus

kemampuan motorik dan koordinasi tubuh

yang pada akhirnya memperhalus refleks

mental dan mendorong perkembangannya.

Apabila anak mampu mengendalikan diri

80 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

mereka maka anak akan bisa memusatkan diri

dalam aktivitas belajar dengan waktu lebih

lama.

Sensori integrasi dikatakan sebagai unsur

yang penting dalam terapi musik didalam

treatment untuk anak ADHD. Multi sensory

mudah dikembangan dengan musik melalui

pendengaran, sentuhan melalui getaran,

melalui kesadaran tentang arti ritme dan

gerakan, melalui ingatan dapat diaktifkan

dengan mudah dengan musik. Hal tersebut

menggambarkan bahwa bagaimanapun

penggunaan musik sebagai sensory penting.

Kebanyakan anak ADHD juga memiliki

masalah pendengaran (Barkley,2006, h.154).

Bisa mendengar tetapi kesulitan mengerti apa

yang didengarnya, karena telinga dan otak

tidak bekerja efisien dalam memproses suara.

Ada kesulitan memilih suara dari banyak

sumber suara yang ada. Juga kesuiitan

memusatkan pendengaran pada suara tertentu.

Akibatnya ia sulit berkonsentrasi pada satu

hal beberapa saat. Anak menjadi terganggu

oleh semua bunyi disekitarnya.

Terapi musik dan gerak memulihkan

kapasitas pendengaran/ penerimaan suara

sehingga anak dapat belajar terfokus dan

menangkap suara yang diinginkan langsung

ke pusat bahasa di otak. Masalah persepsi

suara disebabkan oleh penutupan pendengaran

untuk beberapa frekuensi suara. Otot telinga

menjadi „malas‟ dan tidak tanggap, karena itu

perlu dilatih dan distimulasi agar mencapai

kapasitas normal untuk memperbaiki

pendengaran dan mengorganisasikan

transmisi pendengaran dalam otak. Proses ini

akan mengurangi stress dan ketegangan saraf,

sehingga anak akan dapat mengikuti mana

suara yang diinginkan.

Pada terapi musik anak harus mendengarkan

musik setiap hari selama 30-60 menit. Jika

anak sulit untuk duduk diam, kaset dapat

diperdengarkan ketika anak tidur. Hasil

efektif umumnya terlihat selama 100 jam

pasca terapi. Aktivitas fisiknya akan tampak

menurun sementara daya konsentrasinya

meningkat.

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik

kesimpulan bahwa musik dan gerakan

berpengaruh langsung ke otak dan berakibat

ke proses kerja tubuh. Sebagai mahluk

multiritmik, anak-anak mudah memberi

respon fisik terhadap ritme musik, bahkan

responnya relatif spontan dan anak-anak

cenderung bebas menggerakkan tubuh dan

anggota tubuhnya. Pada anak-anak yang

terlalu aktif, terapi musik dan gerakan yang

diberikan intinya harus bisa memuaskan

emosi yang sering berlebihan.

Berdasarkan dari hal-hal tersebut di atas pula

peneliti memiliki suatu ketertarikan mencari

alternatif intervensi untuk menurunkan

kesulitan berperilaku anak-anak yang

mengalami ADHD. Peneliti tertarik untuk

menggunakan terapi musik dan gerakan

sebagai salah satu bentuk intervensi

menurunkan kesulitan berperilaku karena

musik berpengaruh langsung ke otak dan

berakibat ke proses kerja tubuh.

METODE

Definisi Operasional

1. Kesulitan berperilaku: hambatan dalam

melakukan pengendalian diri terhadap

tingkah laku yang terjadi ketika subjek

berada pada kondisi formal. Perilaku

tersebut ditunjukkan melalui perilaku

belari dan melompat tanpa tujuan yang

pasti.

2. Terapi musik dan gerak: pemberian

tritmen berupa suara alunan musik yang

harmonis yang diikuti dengan gerakan-

gerakan yang terstruktur sesuai dengan

irama musik.

Subyek dan Tempat Penelitian

Penelitian ini melibatkan seorang siswa kelas

satu sekolah dasar yang bersekolah di

Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 81

Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD

Semarang sebagai subjek penelitian. Pada

masa ini subjek sebagai siswa sudah dituntut

untuk bisa menunjukkan perilaku kesiapan

belajar, terutama kedisiplinan yang berbeda

ketika ia duduk di Taman Kanak-Kanak.

Adanya tuntutan untuk yang pertama kali di

situasi formal menuntut anak siap dengan

ketekunan dan ketertiban mengikutinya.

Kesiapan inilah yang mendasari

keberhasilannya mengikuti pendidikan di

tingkat yang lebih lanjut di Sekolah Dasar.

Karakteristik subjek penelitian adalah sebagai

berikut: laki-laki, usia 6 sampai 7 tahun dan

didiagnosis Attention Deficit/ Hyperactivity

Disorder oleh seorang psikolog.

Rancangan Eksperimen

Intervensi didesain secara eksperimen yaitu

dengan menggunakan Single Subject

Experimental Design dengan A-B-A. Desain

A-B-A ini menunjukkan adanya hubungan

sebab akibat antara variabel terikat dan

variabel bebas. Target behavioral diukur

secara kontinyu pada kondisi baseline (A1)

dengan periode waktu tertentu kemudian pada

kondisi intervensi (B), pengukuran diulang

pada kondisi baseline kedua (A2).

Penambahan kondisi baseline yang ke 2 (A2)

dimaksudkan sebagai kontrol untuk fase

intervensi sehingga memungkinkan untuk

menarik kesimpulan adanya hubungan

fungsional antara variabel bebas dan variabel

terikat (Sunanto, Takeuchi & Nakata, 2005,

h.59; Tillman & Burns, 2009, h.40).

Design A-B-A adalah strategi analisis

eksperimental dengan memperkenalkan suatu

tritmen kemudian ditiadakan sehingga lebih

dikenal dengan withdrawl design. Apabila

setelah pengukuran baseline, penerapan

tritmen membawa perkembangan positif dan

hasil akhirnya setelah tritmen ditiadakan

kembali terjadi penurunan maka dapat

disimpulkan bahwa tritmen itulah yang

menyebabkan perkembangan perilaku target.

Komponen ABA adalah sebagai berikut:

A= Baseline I selama lima (5) sesi masing-

masing lebih kurang 50 menit.

B= Tritmen mengikuti latihan dengan iringan

musik yang dilakukan selama dua belas (12)

sesi masing-masing lebih kurang 15-20 menit.

Instruktur meminta subjek untuk mengikuti

latihan yang sesuai dengan manual yang

disusun oleh peneliti.

A= Baseline II selama lima (5) sesi masing-

masing lebih kurang 50 menit.

Penelitian dilakukan selama dua puluh empat

(24) sesi dan dirancang sesuai kalender

akademik sekolah. Pengumpulan data dimulai

dengan fase baseline I, yaitu observasi kelas

selama enam sesi berturut-turut dengan durasi

lebih kurang 50 menit mulai dari pukul 07:30-

08:20. Pengamatan dilakukan oleh tiga (3)

orang observer dengan mendasarkan pada

tabel penilaian perilaku hiperaktif (check list)

sampai kemudian didapatkan perilaku yang

muncul secara stabil. Hal ini dilakukan untuk

mendapatkan target perilaku yang akan

direduksi.

Wawancara semi terstruktur dilakukan dengan

tujuan untuk mengetahui perilaku hiperaktif

subjek sebelum dan sesudah terapi.

Wawancara dalam penelitian ini adalah semi

terstruktur karena dituntun oleh guide

interview. Yin (2003) menyatakan bahwa

wawancara adalah salah satu sumber yang

paling penting. Pelaksanaan wawancara

sebelum dan sesudah latihan dengan iringan

musik terfokus pada kesan-kesan guru yang

berkaitan dengan perilaku berlari dan

melompat tanpa tujuan dan kualitas pekerjaan

yang bisa diselesaikan oleh subjek.

Sedangkan tujuan dari pelaksanaan

wawancara dengan orang tua sebelum

mengikuti latihan dengan iringan musik

adalah untuk memperoleh gambaran tentang

pemahaman mereka tentang anaknya,

bagaimana kelainan tersebut mempengaruhi

perilaku di rumah, bagaimana sikap mereka

tentang pendidikan anak mereka dan apa

82 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

penyesuaian yang telah mereka lakukan di

rumah.

Sesi latihan dengan mendengarkan musik

berlangsung selama 12 kali berturut-turut,

setelah diperoleh data target perilaku yang

akan direduksi. Durasi tiap sesi kurang lebih

dilakukan selama 15 menit. Waktu 12 kali

ditetapkan karena berdasarkan penelitian

tentang pengaruh terapi musik terhadap

perilaku repetitif pada anak autis yang

dilakukan oleh Chandra (2007) diperoleh

gambaran bahwa perlakukan yang diberikan

selama 6 kali dengan waktu 30 menit setiap

kali tritmen diberikan, membawa perubahan

terhadap perilaku repetitif. Sedangkan

penelitian tentang pengaruh musik terhadap

penderita ADHD yang dilakukan oleh Wiebe

(2007), dengan diberikannya perlakuan

selama 48 minggu menunjukkan perilaku

hiperaktifitas mengalami penurunan.

Berdasarkan gambaran tersebut peneliti

memutuskan perlakukan diberikan selama 12

kali dan waktu yang dibutuhkan 15 menit-20

menit dengan dasar pertimbangan waktu 6

kali nampak terlalu singkat untuk mereduksi

perilaku hiperaktif dan 48 minggu terlalu

panjang. Selain itu untuk menghindari

kebosanan karena anak-anak hiperaktif mudah

teralihkan perhatiannya dan salah satu ciri

anak hiperaktif adalah sulit mengendalikan

dan mengorganisasikan dorongan-

dorongannya (Barkley. 2006, h.155).

Setelah selesai mengikuti setiap sesi tritmen,

kembali dilakukan observasi untuk

mengetahui pengaruh tritmen terhadap target

perilaku yang akan direduksi. Observasi

dilakukan dengan mendasarkan pada tabel

pencatatan perilaku (behavior check list).

Waktu yang dibutuhkan lebih kurang 50

menit, di dalam kelas dan ketika subjek

mengikuti proses belajar mengajar.

Fase baseline II dilakukan dengan melakukan

pengamatan oleh tiga (3) orang observer

untuk mengetahui apakah target perilaku yang

akan direduksi menunjukkan situasi yang

stabil meskipun tidak lagi diberikan tritmen.

Pengamatan dilakukan dengan

mempergunakan tabel pencatatan perilaku

(check list) selama lebih kurang 50 menit

dimulai pukul 07:30-08:20.

Modul Eksperimen.

Modul terapi musik dalam penelitian ini

disusun oleh peneliti sebagai pedoman dalam

melaksanakan proses intervensi, dengan

mengadaptasi modul dari Sheppard (2002).

Alat Permainan

Penelitian ini menggunakan alat permainan

berupa bantal berbagai bentuk dan warna

berjumlah lima buah, permainan alat musik

anak berupa genderang kecil, gitar kecil,

organ kecil yang berisi macam-macam bunyi

seperti anjing menggonggong, ayam

berkokok, burung berkicau, kucing

mengeong, sapi mengaum, katak, kambing

mengembik, dua buah kerincingan, terompet

kecil, belira kecil. Permainan motorik kasar

yang berupa rangsangan suara ini selain

membuat anak gembira dan santai, juga bisa

meningkatkan kemampuan anak

berkonsentrasi dan memusatkan perhatiannya

pada tugas tertentu. Alat yang dipergunakan

sangat sederhana dan tidak mahal.

Anak juga melakukan gerakan-gerakan

mengikuti musik yang diperdengarkan

melalui CD player. Musik yang

diperdengarkan adalah musik instrumentalia

dengan mempergunakan alat musik angklung

yang terdapat dalam CD Indonesian Bamboo

Music, aransemen oleh Tjoek Soeparlan. Lagu

yang diperdengarkan adalah Serenade. Selain

lagu Serenade, lagu yang mengiringi adalah

Satu-Satu Aku Sayang Ibu, aransemen AT

Mahmud. Dalam lagu anak-anak, kontur frasa

melodis mengikuti suatu rangkaian berbentuk

lengkungan yang disebut ancrusis (Sheppard,

2002, h.81). Anak-anak sangat menyukai

frasa berbentuk lengkungan. Fungsinya

adalah untuk membantu perkembangan fisik,

Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 83

Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD

karena membantu menanamkan konsep atas

dan bawah. Gerakan membantu pengendalian

tubuh dan kemampuan gerakan motorik anak-

anak. Pengendalian impuls ini merupakan

kemampuan memicu dan mengikuti perintah

yang berasal dari dalam diri.

Pada usia ini anak biasanya menikmati

penginterpretasian musik secara bebas melalui

gerakan. Ada banyak cara untuk menciptakan

suara-suara yang efektif menggunakan tubuh,

dari hanya tepukan tangan sederhana sampai

pengucapan pola suara yang kompleks.

Aktvitas-aktivitas tersebut membantu

pengembangan kepekaan terhadap ketukan

internal. Semakin baik kepekaan terhadap

ketukan internal, semakin besar manfaat

untuk bermusik.

Pengukuran

Pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan observasi langsung dan video

rekaman (tritmen dan baseline), kemudian

diukur dengan tabel observasi (behavior

check list) dengan target berlari dan melompat

tanpa tujuan. Problem utama anak yang

mengalami hiperaktivitas adalah problem

perencanaan motorik dan pengorganisasian

(Horowitz, 2007, h.24; Barkley, 200, h.154).

Tabel observasi (behavior check list) diisi

berdasarkan observasi langsung dan rekaman

oleh tiga (3) orang observer. Apabila perilaku

muncul maka observer harus menuliskan

jumlah frekuensinya sesuai dengan frequency

tallies.

Analisis Data

Setelah semua data terkumpul peneliti

membuat grafik untuk dianalisis berdasarkan

data salah seorang observer. Efek dari tritmen

dinilai dari pengukuran frekuensi tidak bisa

duduk tenang, dan keluar dari kursi yang

muncul pada subjek selama observasi.

Analisis data menggunakan teknik analisis

grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Baseline I

Pengumpulan data baseline dilakukan dengan

mempergunakan observasi/ pengamatan

langsung dan video rekaman selama 50 menit

dengan event sampling. Yang diobservasi

adalah perilaku subjek selama pelajaran di

sekolah dengan target hiperaktifitas. Observer

menilai dengan menggunakan tabel observasi

(check list ).

Tritmen

Tritmen dilakukan 15-20 menit di ruang

kesenian di sekolah dengan penerangan cukup

dan bebas distraksi. Di ruangan tersebut

tersedia meja, kursi, TV,VCD player, kipas

angin, karpet dan lemari yang tertutup.

Pertimbangan durasi waktu 15-20 menit

berdasarkan penelitian pendahuluan yang

dilakukan oleh peneliti.

Tritmen dipandu oleh seorang instruktur.

Subjek diminta untuk melakukan gerakan-

gerakan sesuai dengan modul yang telah

disusun sebelumnya. Pada pertemuan pertama

subjek dibimbing oleh instruktur, hingga

pertemuan yang yang ke tiga. Setelahnya

hingga pertemuan yang ke dua belas subjek

diminta untuk melakukannya sendiri.

Meskipun bimbingan tetap masih diberikan

hingga pertemuan ke enam. Setelah itu subjek

telah benar-benar hafal dengan gerakan yang

diberikan. Setelah mendapatkan tritmen,

kembali dilakukan pengamatan selama 50

menit di kelas, yaitu ketka subjek mengikuti

pelajaran.

Baseline II

Setelah subjek tidak lagi mendapatkan tritmen

(perlakuan) tetap dilakukan pengamatan

selama 50 menit di kelas, yaitu ketika subjek

mengikuti pelajaran. Pengumpulan data

84 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

dilakukan dengan pengamatan langsung dan

video rekaman pada jam pelajaran pagi hari

yaitu jam 07:30-08:20 WIB. Penilaian oleh

tiga (3) observer dengan menggunakan tabel

observasi (check list ).

Tabel 1. Hasil Penelitian

BASELINE 1 (A1) TREATMENT (B) BASELINE (A2)

Hari Berlari & Melompat Hari Berlari & Melompat Hari Berlari & Melompat

1 6 1 3 1 0

2 10 2 0 2 0

3 8 3 4 3 1

4 7 4 0 4 0

5 10 5 1 5 0

6 7 6 4 6 2

7 4

8 2

9 2

10 1

11 0

12 0

Grafik 1 menunjukkan perubahan perilaku melari dan melompat pada subjek.

Grafik 1. Perubahan Perilaku Berlari dan Melompat

Grafik 1 menunjukkan bahwa pada fase

baseline pertama ini frekuensi perilaku berlari

dan melompat tanpa tujuan yang jelas di kelas

cukup tinggi. Observasi pada fase baseline

pertama ini dilakukan selama lima hari sesuai

kalender akademik, dimulai pukul 07:30-

08:20. Observasi dilakukan dilakukan di

dalam ruang kelas dan ketika ada proses

Baseline 1 Treatment Baseline II

Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 85

Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD

belajar mengajar, karena pada situasi formal,

perilaku hiperahtif anak akan semakin

kelihatan dan menunjukkan bahwa perilaku

tersebut merugikan tidak hanya subjek tetapi

juga teman-teman disekitarnya ketika belajar.

Kondisi ini berkaitan dengan kesulitannya

mengontrol dirinya, yang ditunjukkan melalui

perilaku yang berlebihan. Mereka memang

nampak penuh energi ( Horowitz; 2007, h.17).

Pada hari pertama baseline pertama subjek

duduk diurutan ke empat dan baris kedua di

sebelah kiri meja guru. Ruang kelas subjek

berukuran 6mx5m. Di dalam ruang kelas

tersebut terdapat bangku yang disusun terdiri

dari lima lajur dan masing-masing lajur terdiri

dari delapan bangku ke belakang. Meja guru

terletak di sudut kanan papan tulis dan

menempel di dinding. Subjek duduk sebangku

dengan teman laki-lakinya. Selama dilakukan

pengamatan (50 menit), terlihat subjek tidak

mengerjakan tugas yang diberikan oleh bapak

guru agama ataupun ibu guru kelas. Ia lebih

disibukkan dengan kegiatannya sendiri,

melihat ke luar jendela, berjalan, berlari,

menggeliat-geliatkan badannya, mengajak

berbicara teman, melihat-lihat poster

kesehatan di dinding belakang kelas. Menurut

bapak guru agama, subjek adalah murid yang

“istimewa”, sehingga ia mendapatkan

perhatian khusus. Tidak jarang bapak guru

harus mendekati subjek, mengingatkan untuk

kembali duduk di bangkunya dengan

mengelus-elus kepala subjek. Kegiatan yang

dilakukan subjek adalah mengganggu teman

disebelahnya dengan mengajak bicara, kursi

di goyang-goyang, bermain adu kepala

dengan teman sebangku, masuk kolong meja

dan keluar dari bangku untuk kemudian

berjalan-jalan mengitari kelas. Beberapa

teman merespon gerakan subjek, dengan ikut

berbicara, terutama teman-teman disekitar

bangku subjek. Namun sebagian lagi tidak

memperdulikannya.

Pada hari kedua baseline pertama (I), subjek

lebih banyak melihat ke luar jendela. Ia duduk

sendirian diurutan ke tiga dan persis di

sebelah jendela. Pada saat ibu guru memberi

tugas menulis dengan contoh tulisan dari

papan tulis, subjek terlihat asyik melihat

keluar jendela, kemudian jalan-jalan melihat

poster kesehatan di dinding belakang. Ia tidak

memperhatikan tugas dari ibu guru dan tiba-

tiba berteriak untuk tujuan yang tidak jelas

dari kegiatan tersebut. Ketika teman-teman

menulis, subjek duduk dibawah bangku

(kolong meja), ia tidak mengumpulkan tugas,

dan berjalan-jalan mengelilingi kelas.

Kegiatan subjek yang lain adalah bermain

hiasan-hiasan (prakarya) yang digantung tepat

diatas meja subjek. Selama tugas menyalin

tersebut, subjek hanya bermain-main, antara

lain mengetuk-getuk pensil ke meja,

memukul-mukul hiasan diatas meja, keluar

dari bangku, berlari dan melompat-lompat

tanpa tujuan yang jelas. Selain itu tidak jarang

apabila subjek bosan, ia akan masuk ke

kolong meja dan kemudian muncul dari

bawah meja guru. Hal tersebut dilakukan

berulang kali.

Pada hari ketiga, keempat dan kelima pada

baseline pertama subjek nampak tetap duduk

sendirian dibangku urutan ke tiga dari depan

dan disebelah jendela. Kegiatan yang

dilakukan tidak jauh berbeda dengan kegiatan

yang dilakukan pada hari pertama dan kedua.

Subjek berdiri melihat ke luar jendela, meraut

pensil, masuk kolong meja, keluar kelas

berkali-kali, membuat temannya menangis,

adu mulut dengan teman-temannya, berteriak-

teriak, berlari dan melompat untuk tujuan

yang tidak jelas, memukul-mukul meja dan

menengok kebelakang berkali-kali. Keluar

dari bangku kemudain berlari tanpa tujuan

yang jelas dilakukan oleh subjek berulang

kali. Tugas yang diberikan oleh ibu guru tidak

pernah diselesaikan, dan subjek baru akan

mengerjakan ketika ibu guru menunggunya.

Perilaku tersebut diatas mengalami penurunan

setelah subjek mengikuti tritmen yang

diberikan. Gambaran tersebut terlihat dari

grafik yang menunjukkan penurunan yang

86 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

cukup berarti. Ketika tritmen diberikan pada

hari pertama, subjek nampak cukup terbuka

dan bersedia mengikuti instruksi yang

diberikan. Ia terbuka terhadap orang lain,

tidak malu-malu dan tidak ada kecurigaan

terhadap orang yang baru dikenalnya. Ia

bersedia menerima kehadiran orang baru dan

banyak bercerita tentang kejadian yang

dialami pagi hari di rumahnya. Pada saat itu

sebelum bercerita ia berkeliling ruangan

terlebih dahulu.

Berdasarkan prosedur yang sudah ditetapkan

dalam modul terapi musik, instruktur

melakukan ice breaking terlebih dahulu

sebelum tritmen diberikan.Tujuan

diberikannya ice breaking adalah agar subjek

merasa nyaman dan bersedia melaksanakan

instruksi-instruksi yang diberikan. Ice

breaking berupa permainan tangkap jari dan

cerita binatang. Subjek nampak cukup tertarik

dan senang. Ice breaking dilakukan selama

lebih kurang lima menit. Setelah subjek

merasa nyaman, maka subjek mulai berlatih

gerakan-gerakan dengan diiringi musik yang

diperdengarkan.

Saat mengikuti latihan subjek bersedia

mengikuti latihan dan melaksanakan gerakan-

gerakan mengikuti instruksi yang diberikan

dan contoh yang dilakukan oleh instruktur.

Subjek nampak kelihatan bingung, terutama

untuk gerakan pertama dan ketiga. Karena

bingung subjek nampak putus asa, lalu bilang

“sudah akh”. Gerakan kedua dan keempat

bisa dilakukan oleh subjek dengan contoh.

Untuk tugas yang ke lima yaitu subjek

diminta untuk memilih dan memainkan alat

musik, nampak ia mencoba semua alat musik.

Terlihat perhatiannya yang mudah teralihkan

dalam waktu kurang lebih lima detik. Sambil

memainkan alat musik ia bertanya, bercerita

dan tidak henti berbicara. Ia menanyakan

dimana membeli alat-alat permainannya dan

mengatakan ia senang memainkan alat musik.

Alat musik yang menarik perhatiannya adalah

pianika dengan suara-suara binatang. Ketika

mendengar suara sapi subjek bercerita tentang

sapi dan mengatakan pernah melihat sapi

disembelih. Ketika melaksanakan sesi

menyanyi yang diselingi dengan melakukan

gerakan yang diminta oleh instruktur, subjek

mau melaksanakan perintah tersebut tanpa

membantah dan menyanyi dengan suara yang

keras dan penuh percaya diri. Setelah

mengikuti sesi latihan selama lima belas

menit, pada sesi penutup subjek bersama

instruktur kembali bermain tangkap jari

dengan cerita binatang. Setelah mengikuti

latihan, subjek kembali ke kelas. Observasi di

kelas dilakukan setelah subjek beristirahat.

Pada hari pertama belum nampak perubahan

yang berarti meskipun sudah ada penurunan

frekuensi terutama perilaku berlari dan

melompat tanpa tujuan yang jelas. Ia masih

sering keluar dari banhgku dan tiba-tiba

berlari ke depan kelas ke arah papan tulis dan

kemudian berlari ke arah belakang.

Pada hari kedua tritmen, latihan dilakukan

setelah subjek mengikuti pelajaran olah raga.

Pada saat mengikuti pelajaran olah raga

subjek terlihat banyak bergerak meskipun

pada saat ibu guru meminta semua murid

untuk duduk di lapangan. Terlihat subjek

justru berlari-lari mengelilingi lapangan

dengan salah seorang temannya. Tritmen

dimulai pukul 07:55 dan setelah subjek

beristirahat. Tritmen diawali dengan ice

breaking. Subjek bersedia untuk mengikuti

semua perintah. Secara umum kepatuhan

yang ditunjukkan pada hari kedua tidak

seperti yang ditunjukkan pada hari pertama.

Urutan pelaksanaan sesuai dengan modul

yang telah disiapkan sebelumnya.

Observasi di kelas menunjukkan adanya

penurunan frekuensi berlari dan melompat

tanpa tujuan yang jelas. Hal ini diperkirakan

subjek mengalami kelelahan setelah

mengikuti pelajaran olah raga dan sesi

tritmen. Ia terlihat nampak tenang dan hanya

mengamati kegiatan yang dilakukan oleh

teman-temannya.

Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 87

Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD

Kegiatan subjek berlari dan melompat tanpa

tujuan yang jelas kembali ditunjukkan oleh

subjek dengan frekuensi yang hampir sama

dengan ketika tritmen pertama diberikan yaitu

setelah subjek selesai mengikuti tritmen ke

tiga.

Setelah mengikuti tritmen ke empat, subjek

kembali menunjukkan sikap yang tenang dan

nampak sdh mulai bisa mengendalikan diri

untuk tidak berlari dan melompat tanpa tujuan

yang jelas. Hasil observasi di kelas terlihat

bahwa subjek lebih banyak meletakkan

kepalanya diatas meja. Latihan diikuti secara

teratur sesuai instruksi dan mengikuti irama

musik. Ekspresi subjek nampak gembira, ice

breaking dilakukan dengan bermain boneka

dinosaurus dan subjek mengidentifikasikan

boneka sebagai teman-temannya. Boneka

diatur sesuai tatanan kursi di kelas dan

menyebutkan nama teman-temannya. Ketika

mengikuti tritmen ia mulai menghitung

sendiri dengan suara keras, dan melantunkan

takbir dengan memukul genderang, terlihat

iramanya nampak teratur.

Kondisi yang ditunjukkan setelah subjek

mengikuti tritmen keenam adalah subjek

kembali menunjukkan kegiatan berlari dan

melompat tanpa tujuan yang jelas dan

semakin meningkat ketika subjek selesai

mengikuti tritmen ke tujuh. Pada tritmen yang

ketujuh, subjek tetap terlihat mengikuti

alunan musik, dan bersuara pada ketukan

keempat. Namun pada menit kesatu tiga puluh

tiga detik ia mulai menguap dan terlihat

malas-malasan. Ia menata sendiri bantalnya,

mengikuti musik, melompat, berjalan

sepanjang musik berjalan. Namun ketika

gerakan keempat yang seharusnya gerakan

menaikkan tangan, subjek justru melompat.

Pada sesi ke tujuh ini, subjek nampak kurang

memperhatikan instruksi dari instruktur. Ia

bermain sendiri, masak-masakan sate,

bermain pianika selama 1 menit, pindah ke

drum selama 20 detik, kembali ke pianika

selama 1 menit.

Dari grafik nampak bahwa frekuensi berlari

dan melompat tanpa tujuan yang jelas

mengalami penurunan setelah subjek

mengikuti tritmen kesepuluh. Setelah

mengikuti tritmen kesebelas dan dua belas,

subjek kembali bisa mengendalikan diri untuk

tidak berlari dan melompat tanpa tujuan yang

jelas, hingga ia tidak melakukannya sama

sekali. Ia memang masih menunjukkan

kegiatan-kegiatan yang lain seperti

menggeliat, menengok ke belakang,

mengganggu teman-temannya.

Dari grafik yang ditunjukkan, setelah tritmen

tidak diberikan lagi, yaitu pada fase baseline

kedua (II) situasinya menunjukkan adanya

penurunan yang cukup berarti. Subjek

memang masih sesesekali menunjukkan

kegiatan berlari dan melompat tanpa tujuan

yang pasti. Namun kegiatan tersebut

dilakukan pada hari kelima setelah tritmen

ditiadakan. Observasi dilakukan didalam

kelas pada saat proses belajar mengajar

berlangsung. Pelajaran yang bisa membuatnya

tenang adalah pelajaran menggambar. Subjek

cukup menyenangi tugas tersebut dan ia bisa

melakukannya dengan baik.

Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh terapi musik dan gerak terhadap

penurunan kesulitan perilaku siswa sekolah

dasar yang memiliki gangguan ADHD.

Berdasarkan hipotesis yang diajukan bahwa

ada pengaruh terapi musik dan gerak terhadap

penurunan kesulitan perilaku siswa sekolah

dasar dengan gangguan ADHD.

Hal tersebut telah terlihat pada grafik yang

menunjukkan adanya perbedaan frekuensi

perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan

yang jelas. Keadaan ini secara teoritis dapat

dijelaskan sesuai dengan premis terapi musik

sensorik integrasi yaitu:

1. Otak dapat didorong pada tingkat sub-

kortikal melalui tugas sensorik motorik

88 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

spesifik untuk mengembangkan fungsi

tanggapan terhadap suasana.

2. Kognitif dan intuitif, respon adaptif

emosional pada kedua sub-kortikal dan

tingkat kortikal dapat berkembang dengan

baik.

3. Terapi musik bekerja dengan apa yang ada

(bukan apa yang hilang), bagian yang

sudah berfungsi memberikan masukan

baru kepada otak untuk memperluas

pengetahuan.

4. Kerja terapi musik adalah menggunakan

musik untuk kesenangan, tetapi secara

spesial mengubah cara kerja otak yang

„lama‟ ke cara kerja yang baru dan tidak

mengganggu (Berger, 2002, h.136).

Gambaran terjadinya premis tersebut sesuai

dengan kondisi anak yang pada umumnya

merupakan mahluk yang multiritmik. Sebagai

mahluk yang multiritmik, anak-anak mudah

memberi respon fisik terhadap ritme musik,

bahkan responnya relatif spontan dan anak-

anak cenderung bebas menggerakkan tubuh

dan anggota tubuhnya.

Dari grafik terlihat terjadi penurunan

kesulitan perilaku pada subjek dari fase

baseline I hingga subjek mengikuti tritmen

sebanyak dua belas kali. Hanya saja pada saat

subjek mengikuti tritmen penurunan frekuensi

kesulitan perilaku masih fluktuatif. Hal ini

menggambarkan bahwa perubahan suasana

hati yang cepat dan kepekaan berlebihan

merupakan akibat otak yang bermasalah

dalam meredam bagian-bagian otak yang

mengatur gerakan-gerakan motorik dan

respon-respon emosional. Hal itulah yang

membuat anak tidak dapat menunggu, tidak

dapat menunda pemuasan dan tidak dapat

menghambat tindakan. Dari hasil wawancara

dengan orang tua subjek pada malam

sebelumnya melakukan suatu kegiatan yang

menguras energi dan emosinya sehingga ia

mengalami kelelahan. Efek berikutnya adalah

subjek kembali harus memberikan tanggapan

terhadap situasinya dan melakukan adaptasi

emosional secara kuat. Berdasarkan pendapat

dari para ahli bahwa pada anak dengan

ADHD terjadi disregulasi neurotransmitter

yang menyebabkan seseorang sulit untuk

memiliki atau mengatur stimulus internal dan

eksternal. Beberapa neurotransmitter

termasuk dopamin dan norepineprin

mempengaruhi produksi, pemakaian,

pengaturan neurotransmitter lain, juga

beberapa struktur otak. Masalah pada

pengaturan fungsi otak ini tampak terpusat

pada cuping depan yang membuat seorang

anak ADHD lebih sulit mengendalikan

masukan dari bagian-bagian lain otak. Daerah

otak bagian depan yang berada tepat di

belakang dahi itulah yang mengendalikan

fungsi eksekutif perilaku. Tanpa dopamin dan

neurotransmitter yang cukup, cuping-cuping

depan kurang terstimulasi dan tidak dapat

melaksanakan fungsi-fungsinya yang

kompleks secara efektif (Martin, 2008, h.78;

Wiebe, 2007, h.15; Saputro, 2009, h.63).

Penurunan frekuensi semakin tajam dan

nampak cukup konsisten terlihat pada saat

subjek tidak lagi mengikuti tritmen. Pada hari

pertama dan kedua setelah subjek tidak lagi

mendapatkan tritmen (terlihat pada fase

baseline II) subjek nampak cukup bisa

mengendalikan diri untuk tidak berlari dan

melompat untuk tujuan yang tidak jelas. Pada

hari ketiga observasi frekuensi subjek

menunjukkan perilaku berlari dan melompat

tanpa tujuan yang jelas hanya satu kali.

Sedangkan pada hari ke empat dan kelima

subjek tidak melakukannya. Subjek kembali

menunjukkan perilaku berlari dan melompat

tanpa tujuan yang jelas pada hari keenam

dengan frekuensi sebanyak dua kali. Keadaan

ini menggambarkan bahwa terapi musik bisa

menurunkan kesulitan perilaku subjek.

Keadaan tersebut menggambarkan bahwa

musik dan gerakan merupakan kombinasi

tritmen yang bisa meningkatkan kesadaran

emosi atau meningkatkan sebagian kesadaran.

Musik mampu meningkatkan fungsi memori

dan persepsi pendengaran (auditory) untuk

mengembangkan belajar dan kemampuan

Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 89

Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD

suara yang spesifik atau nada bisa

mengembangkan perasaan (affecy brain).

Keadaan ini bisa meningkatkan kesadaran

emosi atau meningkatkan sebagian dari

kesadaran (auditory perception dan memory).

Barkley (2006, h.154), mengatakan

kebanyakan anak ADHD juga memiliki

masalah pendengaran (Barkley, 2006, h.154).

Bisa mendengar tetapi kesulitan mengerti apa

yang didengarnya, karena telinga dan otak

tidak bekerja efisien dalam memproses suara.

Ada kesulitan memilih suara dari banyak

sumber suara yang ada. Juga kesulitan

memusatkan pendengaran pada suara tertentu.

Akibatnya ia sulit berkonsentrasi pada satu

hal beberapa saat. Anak menjadi terganggu

oleh semua bunyi disekitarnya.

Kegiatan musik yang meliputi komponen

berirama kuat dapat berdampak pada

perencanaan adaptasi motorik, sensori

integrasi, proses kognitif dan gerakan

fisiologis umum. Individu yang telah

menginternalisasi irama cenderung

mengembangkan perilaku penuh perhatian,

dengan gerakan tubuh lebih fungsional

terorganisir, tubuh bagian atas dan bawah

terkoordinasi, fokus visual dan pendengaran

dan adaptasi perencanaan motorik. Ketika

tubuh berirama terorganisir, tampak bahwa

respon fisiologis lain menjadi lebih mudah

dikelola (Berger, 2002, h.114).

Hasil penelitian efek musik dan suara dalam

produksi alpha brain wave pada anak-anak,

menjelaskan bahwa efek mendengarkan

musik adalah meningkatkan memori jangka

pendek, mengurangi kebingungan dan

meningkatkan proses informasi (Morton,

Kershner & Siegel 1990).

Gerakan yang dilakukan oleh anak dapat

memperkuat fungsi ingatan, yang membantu

penguasaan dan perkembangan kesadaran

akan dirinya sendiri. Eurythmicz, Dalcroze

(Sheppard, 2002, h.62) mengatakan bahwa

emosi bisa dirasakan melalui gerakan dan

emosi juga bisa diungkapkan melalui gerakan,

suara, sikap tubuh serta bentuk tubuh.

Gerakan sesuai musik juga dapat meredam

emosi yang negatif diubah secara positif.

Aktif secara fisik akan membantu

memperhalus kemampuan motorik dan

koordinasi tubuh yang pada akhirnya

memperhalus refleks mental dan mendorong

perkembangannya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Terapi terhadap kesulitan berperilaku pada

anak yang mengalami ADHD dimaksudkan

untuk mengurangi frekuensi munculnya

perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Utamanya adalah memperbaiki fungsi yang

mengalami kegagalan (perilaku, kognitif,

sosio emosional). Seperti yang diutarakan

oleh Yudarwanto (2009) yaitu terapi yang

diberikan kepada penderita ADHD haruslah

bersifat holistic dan menyeluruh. Modifikasi

perilaku merupakan pola penanganan yang

paling efektif dengan pendekatan positif dan

dapat menghindarkan anak dari perasaan

frustasi, marah, dan berkecil hati menjadi

suatu perasaan yang penuh percaya diri.

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang

telah dilakukan maka dapat disimpulkan

bahwa penerapan terapi musik dan gerak

dapat mereduksi kesulitan berperilaku pada

siswa sekolah dasar yang menderita ADHD.

Dengan demikian hipotesis terbukti.

Saran

1. Bagi sekolah.

a. Memperdengarkan musik lagu anak-

anak dengan irama moderate di

lingkungan sekolah secara rutin pada

pagi hari menjelang dimulainya proses

belajar mengajar, siang hari pada saat

siswa istirahat, dan pulang sekolah yang

mengiringi anak-anak meninggalkan

kelas.

90 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

b. Meningkatkan frekuensi dilakukannya

senam pagi secara rutin (setiap hari,

lebih kurang 15 menit) diiringi dengan

musik sebelum pelajaran dimulai.

c. Meningkatkan kepekaan guru terhadap

gejala-gejala perilaku siswanya dan

apabila ditemukan siswa yang

bermasalah dalam kesulitan berperilaku

diberikan tambahan pelajaran musik

yang diikuti dengan gerak.

d. Menyediakan guru yang dilatih secara

khusus untuk melaksanakan modul

terapi musik dan gerak yang telah

disusun.

2. Bagi orang tua.

a. Lebih terbuka terhadap informasi dari

sekolah mengenai kesulitan berperilaku

anaknya.

b. Memberi kesempatan kepada anaknya

untuk mengikuti pelajaran tambahan

musik dan gerak yang diselenggarakan

di sekolah.

c. Bersedia memperdengarkan musik dan

melatih gerakan-gerakan yang diajarkan

di sekolah pada waktu anak di rumah

secara rutin (setiap hari, selama 15

menit).

3. Bagi peneliti selanjutnya.

Penelitian lanjutan mengenai tritmen

dalam mereduksi kesulitan berperilaku

pada siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Barkley. (2006). Handbook Attention Deficit

Hyperactivity Disorder: Third Edition.

London: The Guiford Press.

Barlow, D. & Hersen, M. Single Case

Experimental Design: Strategies for

Studying Behavior Change Second

Edition. Pennsylvania: Pergamon

Press.

Berger, D. (2002). Music Therapy, and The

Autistic Child Sensory Integration.

London dan Philadelphia: Jessica

Kingsley Publisher.

DePorter, B, dkk. (2002). Quantum Teaching:

Mempraktekkan Quantum Learning di

Ruang-Ruang Kelas, Penerjemah: Ary

Nilandari, Cetakan ketujuh. Bandung:

Penerbit Kaifa.

Djohan. (2009). Psikologi Musik. Yogyakarta:

Percetakan Galang Press.

----------. 2006. Terapi Musik; Teori dan

Aplikasi. Yogyakarta: Percetakan

Galangpress.

Durand, V.M. & Barlow, D.H. (2007).

Pskologii. Abnormal. Buku kedua.

Penerjemah: Drs. Helly Prajitno

Soetjipto, MA dan Dra. Sri Mulyantini

Soetjipto. Edisi keempat. Yogyakarta:

Pustaka pelajar.

Feldman,W. (2002). Mengatasi Gangguan

Belajar Pada Anak. Jakarta: Prestasi

Pustaka Publisher.

Gold, C., Wigram, T. & Voracek, M. (2007).

Effectiveness Of Music Therapy For

Children and Adolescents with

Psychopathology: A Quasi

Experimental Study. Psychotherapy

Research.

Horowitz, L. & Rost, C. (2007). Helping

Hyperactive Kids-A Sensory

Integration Approach, Techniques and

Tips for Parents and Professionals.

Alameda: Hunter House Inc Publisher.

Hughes, L. & Cooper, P. 2007.

Understanding and Supporting

Children with ADHD Strategies for

Teacher, Parent and other

Professionals. London: Paul Chapman

Publishing A Sage Publication

Company.

Kaplan, H. (2007). Sinopsis Psikiatri

Rusmawati dan Dewi, Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku 91

Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD

Jackson, N. (2003). A Survey of Music

Therapy Methods and Their Role in

the Treatment of Early Elementary

School Children with ADHD. Journal

of Music Therapy. Proquest Education

Journals: Temple University.

________Intisari 1999. Ampuhnya Musik

Sebagai Terapi. Edisi bulan Januari.

Jefry, N., Rathus, S. & Greene, B. (2005).

Psikologi Abnormal Jilid 2, Edisi

kelima. Alih bahasa: Tim Fakultas.

Psikologi UI. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Kim, J., Wigram,T. & Gold, C. (2008). The

Effect Of Improvisational Music

Therapy On Joint Attention Behaviors

In Autistic Children; A Randomized

Controlled Study. Journal Autism

Development Disorder.

Martin, G.L. (2008). Terapi Untuk Anak

ADHD. Jakarta: PT. Buana Ilmu

Populer.

Meier, D. (2003). The Accelerated Learning

Handbook: Panduan Kreatif dan

Efektif Merancang Program

Pendidikan dan Pelatihan,

Penerjemah: Rahmani Astuti, Cetakan

ketiga. Bandung: Penerbit Kaifa.

Ormrod, J.E. (2009). Psikologi Pendidikan

Membantu Siswa Tumbuh dan

Berkembang Edisi ke enam. Jakarta:

Penerbit Erlangga.

Ortiz, J,M. (2002). Nurturing Your Chlid with

Music: Menumbuhkan Anak-anak

yang Bahagia, Cerdas & Percaya Diri

dengan Musik, alih bahasa: Juni

Prakoso, Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Rilley, C. & Burns, M.K. (2009). Evaluating

Educational Interventions-Single Case

Design For Measuring Response to

Intervention. London: The Guilford

Press.

Saputro, D. (2009). ADHD (Attention Deficit

/Hiperactivity Disorder): Cetakan I.

Jakarta: CV.Sagung Seto

Satiadarma, M.P. & Zahra, R.P. (2004).

Cerdas Dengan Musik. Cetakan

kesatu. Jakarta: Puspa Swara.

-----------. (2002). Terapi Musik. Jakarta:

Milenia Populer.

Shaughnessy, J., Zechmeister, E., &

Zechmeister, J. 2007. Metodologi

Penelitian Psikologi (Penerjemah

Helly Prayitno, Soetjipto, Sri Mulyani

Sortjipto) cetakan 1. Yogyakarta:

Pustaka Belajar.

Sheppard, P. (2007). Music Makes Your Child

Smarter-Peran Musik Dalam

Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit

PT. Gramedia Pustaka Umum.

Sunanto, J., Takeuchi, K. & Nakata, H.

(2005). Pengantar Penelitian Dengan

Subyek Tunggal. Tokyo: University of

Tsukuba.

Wheeler, B.L. & Stultz, S. (2008). Using

Typical Infant Development To Inform

Music Therapy With Children With

Disabilities. Early Childhood Education

Journal.

Wiebe, J.E. (2007). ADHD The Classroom

And Music: A.Case Study. Thesis.

Saskatoon: Departement of Educational

Psychology and Special Education

University of Saskatchewan, Saskatoon.

Wingram, T., Pedersen, I.N.,& Bonde, L.O.

(2002). A Comprehensive Guide to

Music Therapy: Theory, Clinical

Practice, Research and Training.

London & Philadelphia: Jessica

Kingsley Publishers.

92 Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, No.1, April 2011

1. Judul Penelitian : PENGARUH TERAPI MUSIK DAN GERAK TERHADAP

PENURUNAN KESULITAN PERILAKU SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN

GANGGUAN ADHD

2. Nama Peneliti : Diana Rusmawati, Endah Kumala Dewi

3. Abstrak :

Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh terapi musik dan gerak terhadap

penurunan kesulitan berperilaku pada siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD.

Kesulitan berperilaku ditunjukkan melalui perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan

yang pasti merupakan salah satu gejala yang spesifik dari gangguan pemusatan

perhatian dan hiperaktifitas atau gangguan hiperkinetik atau“attention

deficit/hyperactivity disorder” (ADHD). Seorang ahli dari hasil penelitiannya

memberikan rekomendasi bahwa terapi musik dapat dikembangkan untuk formulasi

strategi treatmen untuk anak-anak dengan ADHD (Jackson, Nancy 2003).Yudarwanto,

W (2006) mengatakan, terapi yang diberikan terhadap penderita ADHD haruslah

bersifat holistic dan menyeluruh. Ada beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki

gangguan perkembangan dan perilaku pada penderita ADHD diantaranya adalah terapi

musik dan gerak. Penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan

mempergunakan metode eksperimen. Disain eksperimen yang dipilih adalah disain

subjek tunggal dengan disain A-B-A. Dengan variabel tergantung (target behavior)

kesulitan berperilaku dan varibel bebas yaitu terapi music dan gerak. Alat yang

digunakan untuk melakukan tritmen adalah lagulagu Serenade dengan alat musik

angklung, lagu Satu-satu aku sayang ibu karangan AT Mahmud , berbagai alat musik

anak-anak dan bantal aneka warna. Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan

kriteria: usia, skor Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia. Pengumpulan

data dilakukan dengan mempergunakan observasi langsung, video kamera dan

behavioral check list. Waktu yang dipergunakan untuk fase baseline I dilakukan selama

enam hari (6) dengan durasi waktu 50 menit, waktu diberikannya tritmen adalah lima

belas (15) menit dan selama dua belas (12) hari yang dilanjutkan dengan observasi di

kelas selama lima puluh menit (50) menit, dan fase baseline II yaitu observasi di kelas

setelah tritmen tidak lagi diberikan masing-masing lima puluh (50) menit. Analisis data

menggunakan teknik analisis grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan

terapi musik dan gerak dapat menurunkan frekuensi kesulitan berperilaku pada siswa

sekolah dasar dengan gangguan ADHD.

4. Pendahuluan/latar belakang masalah :

Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas atau gangguan hiperkinetik

atau “attention deficit/ hyperactivity disorder” (ADHD) adalah gangguan psikiatrik

atau gangguan perilaku yang paling banyak dijumpai, baik di sekolah ataupun di rumah.

Gangguan ini merupakan salah satu kelainan yang sering dijumpai pada gangguan

perilaku anak. Dalam tahun terakhir ini gangguan ADHD menjadi masalah yang

mendapat banyak sorotan dan perhatian utama dikalangan medis ataupun masyarakat

umum (Saputro, 2005). Bradley dan Golden (Jeffrey, Nevid dkk, 2005) mengatakan hal

yang sama, yaitu ADHD merupakan masalah psikologis yang paling banyak terjadi

akhir-akhir ini, sekitar 3-10% terjadi di Amerika Serikat, 3-7% di Jerman, 5-10% di

Kanada dan Selandia Baru. Di Indonesia angka kejadiannya masih belum ditemukan

angka yang pasti, meskipun kelainan ini tampak cukup banyak terjadi dan sering

dijumpai pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah (Judarwanto, W, 2006).

Sedangkan menurut Saputro (2005) di Indonesia, populasi anak Sekolah Dasar adalah

16,3% dari total populasi yaitu 25,85 juta anak. Berdasarkan data tersebut diperkirakan

tambahan kasus baru ADHD sebanyak 9000 kasus. Sebagian besar orang tua ataupun

guru masih menganggap anak dengan gangguan tersebut sebagai anak “nakal” atau

“malas”. Padahal anak dengan gangguan tersebut apabila tidak mendapat pertolongan

yang tepat, akan mengalami kesulitan belajar, prestasi belajar buruk, gagal sekolah,

tingkah lakunya menganggu, sikapnya tampak sulit diterima oleh lingkungannya dan

bahkan cenderung tidak disukai oleh orang tua ataupun guru. Anak-anak ADHD di

sekolah sering kali tidak berada di kursi mereka saat seharusnya duduk. Atau jika

mereka duduk di kursi, mereka tidak akan bertahan lama.

Mereka akan berbicara terus menerus, berteriak mengganggu teman-teman lain,

berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas dan tidak ada satupun tugas akademis

yang dapat diselesaikan. Penanggulangan kasus penderita ADHD adalah melalui terapi

medikasi atau farmakologi. Namun para ahli umumnya tidak menyarankan obat-obatan

sebagai terapi tunggal. Obat stimulan syaraf yang umumnya diberikan pada anak

hiperaktif antara lain metilfenidat, dekstro, amfetamin dan pemolin magbesium.

Hasilnya anak bisa tenang dan berkonsentrasi beberapa jam. Walaupun efektif, obat

memiliki efek sampingan yang merugikan, yaitu timbul kantuk, nafsu makan berkurang

atau sebaliknya sulit tidur, tic, nyeri perut, sakit kepala, cemas, perasaan tidak nyaman,

kreativitas terhambat. Dalam jangka panjang menyebabkan kecanduan, ketergantungan

obat bahkan sampai ia dewasa. Perkembangan jiwa anakpun ikut mempengaruhi

munculnya perilaku adiktif (Intisari, 2001) Yudarwanto (2006) mengatakan, terapi

yang diberikan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan menyeluruh.

Ada beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki gangguan perkembangan dan perilaku

pada penderita ADHD diantaranya adalah sensory integration, snozelen, neuro

development treatment, modifikasi perilaku, terapi bermain. Penatalaksanaan ADHD

harus merupakan penatalaksanaan yang multimodal. Penatalaksanaan ADHD

dirancang dapat memenuhi harapan orang tua di rumah dan guru di sekolah, yaitu

adanya perbaikan prestasi/ penampilan akademis dan tingkah lakunya. Musik

memberikan nuansa yang bersifat menghibur. Sifat menghibur ini menumbuhkan

suasana yang menggembirakan dan menyenangkan bagi seorang anak. Apalagi jika

lagu-lagu yang diperdengarkan sesuai dengan suasananya. Lagu gembira memberikan

rangsangan aktivitas psikofisik pada anak (Satiadarna & Roswiyani, 2004). Pada

umumnya, anak-anak merupakan mahluk yang multiritmik. Sebagai mahluk yang

multiritmik, anak-anak mudah memberi respon fisik terhadap ritme musik, bahkan

responnya relatif spontan dan anak-anak cenderung bebas menggerakkan tubuh dan

anggota tubuhnya.

Aktivitas motorik ini merangsang pertumbuhan anak, khususnya pada awal

masa perkembangan. Irama musik yang didengar pada awal kehidupan akan menjadi

irama musik yang sangat bermakna dalam kehidupan selanjutnya. Irama musik tertentu

akan mempengaruhi detak nadi mereka, sehingga menjadi selaras dengan musik

tersebut. Hasanah (2008) dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa musik lembut

berpengaruh dalam menurunkan kecemasan menghadapi persalinan pertama. Musik

lembut membawa efek relaksasi sehingga bisa menurunkan tingkat kecemasan ibu

hamil pada trisemester ketiga. Chandra (2007) dari hasil penelitiannya ditemukan

bahwa terapi musik dapat mengurangi perilaku repetitif pada anak-anak autis. Dengan

mendengarkan musik anak autis merasa lebih tenang. Seorang ahli dari hasil

penelitiannya memberikan rekomendasi bahwa terapi musik dan gerak dapat

dikembangkan untuk formulasi strategi treatmen untuk anak-anak dengan ADHD

(Jackson, 2003). Sedangkan Wheeler dan Stultz (2007) untuk membantu anak-anak

dalam merespon musik tadi maka ditambahkan gerakan dengan menyanyi dan

instrumen, sehingga anak-anak lebih trampil dalam merespon, lebih spontan dalam

mengikuti irama dengan menggerak-gerakkan bagian tubuhnya. Pada anak-anak yang

mengalami disability maka menunjukkan hasil bahwa terapi musik dan gerakan dapat

membantu anak-anak belajar untuk mengatur diri dan dalam berhubungan dengan

orang lain serta mengatur emosinya. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik

kesimpulan bahwa musik dan gerakan berpotensi untuk menyembuhkan berbagai

penyakit. Musik dan gerakan berpengaruh langsung ke otak dan berakibat ke proses

kerja tubuh. Terapi musik dan gerak juga mampu mempengaruhi kondisi mental, sebab

ada keterkaitan antara musik dengan emosi atau mental seseorang. Oleh karena itu

peneliti tertarik untuk memanfaatkan musik dan gerak sebagai salah satu alternatif

terapi untuk menurunkan kesulitan berperilaku pada anak dengan gangguan ADHD.

5. Teori/definisi dari variable yang terlibat :

Kesulitan berperilaku: hambatan dalam melakukan pengendalian diri terhadap tingkah

laku yang terjadi ketika subjek berada pada kondisi formal. Perilaku tersebut

ditunjukkan melalui perilaku belari dan melompat tanpa tujuan yang pasti. Terapi

musik dan gerak: pemberian tritmen berupa suara alunan musik yang harmonis yang

diikuti dengan gerakangerakan yang terstruktur sesuai dengan irama musik.

6. Hipotesis :

Terapi music dan gerak memiliki pengaruh terhadap penurunan kesulitan perilaku

siswa sekolah dasar dengan gangguan ADHD

7. Sampel/subjek penelitian :

Penelitian ini melibatkan seorang siswa kelas satu sekolah dasar yang bersekolah di

Semarang sebagai subjek penelitian. Pada masa ini subjek sebagai siswa sudah dituntut

untuk bisa menunjukkan perilaku kesiapan belajar, terutama kedisiplinan yang berbeda

ketika ia duduk di Taman Kanak-Kanak. Adanya tuntutan untuk yang pertama kali di

situasi formal menuntut anak siap dengan ketekunan dan ketertiban mengikutinya.

Kesiapan inilah yang mendasari keberhasilannya mengikuti pendidikan di tingkat yang

lebih lanjut di Sekolah Dasar. Karakteristik subjek penelitian adalah sebagai berikut:

laki-laki, usia 6 sampai 7 tahun dan didiagnosis Attention Deficit/ Hyperactivity

Disorder oleh seorang psikolog.

8. Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen

Intervensi didesain secara eksperimen yaitu dengan menggunakan Single

Subject Experimental Design dengan A-B-A. Desain A-B-A ini menunjukkan adanya

hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas. Target behavioral

diukur secara kontinyu pada kondisi baseline (A1) dengan periode waktu tertentu

kemudian pada kondisi intervensi (B), pengukuran diulang pada kondisi baseline kedua

(A2). Penambahan kondisi baseline yang ke 2 (A2) dimaksudkan sebagai kontrol untuk

fase intervensi sehingga memungkinkan untuk menarik kesimpulan adanya hubungan

fungsional antara variabel bebas dan variabel terikat (Sunanto, Takeuchi & Nakata,

2005, h.59; Tillman & Burns, 2009, h.40).

Design A-B-A adalah strategi analisis eksperimental dengan memperkenalkan

suatu tritmen kemudian ditiadakan sehingga lebih dikenal dengan withdrawl design.

Apabila setelah pengukuran baseline, penerapan tritmen membawa perkembangan

positif dan hasil akhirnya setelah tritmen ditiadakan kembali terjadi penurunan maka

dapat disimpulkan bahwa tritmen itulah yang menyebabkan perkembangan perilaku

target. Komponen ABA adalah sebagai berikut: A= Baseline I selama lima (5) sesi

masingmasing lebih kurang 50 menit. B= Tritmen mengikuti latihan dengan iringan

musik yang dilakukan selama dua belas (12) sesi masing-masing lebih kurang 15-20

menit. Instruktur meminta subjek untuk mengikuti latihan yang sesuai dengan manual

yang disusun oleh peneliti. A= Baseline II selama lima (5) sesi masingmasing lebih

kurang 50 menit.

Penelitian dilakukan selama dua puluh empat (24) sesi dan dirancang sesuai

kalender akademik sekolah. Pengumpulan data dimulai dengan fase baseline I, yaitu

observasi kelas selama enam sesi berturut-turut dengan durasi lebih kurang 50 menit

mulai dari pukul 07:30- 08:20. Pengamatan dilakukan oleh tiga (3) orang observer

dengan mendasarkan pada tabel penilaian perilaku hiperaktif (check list) sampai

kemudian didapatkan perilaku yang muncul secara stabil. Hal ini dilakukan untuk

mendapatkan target perilaku yang akan direduksi. Wawancara semi terstruktur

dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perilaku hiperaktif subjek sebelum dan

sesudah terapi. Wawancara dalam penelitian ini adalah semi terstruktur karena dituntun

oleh guide interview. Yin (2003) menyatakan bahwa wawancara adalah salah satu

sumber yang paling penting. Pelaksanaan wawancara sebelum dan sesudah latihan

dengan iringan musik terfokus pada kesan-kesan guru yang berkaitan dengan perilaku

berlari dan melompat tanpa tujuan dan kualitas pekerjaan yang bisa diselesaikan oleh

subjek. Sedangkan tujuan dari pelaksanaan wawancara dengan orang tua sebelum

mengikuti latihan dengan iringan musik adalah untuk memperoleh gambaran tentang

pemahaman mereka tentang anaknya, bagaimana kelainan tersebut mempengaruhi

perilaku di rumah, bagaimana sikap mereka tentang pendidikan anak mereka dan apa

penyesuaian yang telah mereka lakukan di rumah. Sesi latihan dengan mendengarkan

musik berlangsung selama 12 kali berturut-turut, setelah diperoleh data target perilaku

yang akan direduksi. Durasi tiap sesi kurang lebih dilakukan selama 15 menit.

Waktu 12 kali ditetapkan karena berdasarkan penelitian tentang pengaruh terapi

musik terhadap perilaku repetitif pada anak autis yang dilakukan oleh Chandra (2007)

diperoleh gambaran bahwa perlakukan yang diberikan selama 6 kali dengan waktu 30

menit setiap kali tritmen diberikan, membawa perubahan terhadap perilaku repetitif.

Sedangkan penelitian tentang pengaruh musik terhadap penderita ADHD yang

dilakukan oleh Wiebe (2007), dengan diberikannya perlakuan selama 48 minggu

menunjukkan perilaku hiperaktifitas mengalami penurunan. Berdasarkan gambaran

tersebut peneliti memutuskan perlakukan diberikan selama 12 kali dan waktu yang

dibutuhkan 15 menit-20 menit dengan dasar pertimbangan waktu 6 kali nampak terlalu

singkat untuk mereduksi perilaku hiperaktif dan 48 minggu terlalu panjang. Selain itu

untuk menghindari kebosanan karena anak-anak hiperaktif mudah teralihkan

perhatiannya dan salah satu ciri anak hiperaktif adalah sulit mengendalikan dan

mengorganisasikan dorongandorongannya (Barkley. 2006, h.155). Setelah selesai

mengikuti setiap sesi tritmen, kembali dilakukan observasi untuk mengetahui pengaruh

tritmen terhadap target perilaku yang akan direduksi. Observasi dilakukan dengan

mendasarkan pada tabel pencatatan perilaku (behavior check list). Waktu yang

dibutuhkan lebih kurang 50 menit, di dalam kelas dan ketika subjek mengikuti proses

belajar mengajar. Fase baseline II dilakukan dengan melakukan pengamatan oleh tiga

(3) orang observer untuk mengetahui apakah target perilaku yang akan direduksi

menunjukkan situasi yang stabil meskipun tidak lagi diberikan tritmen. Pengamatan

dilakukan dengan mempergunakan tabel pencatatan perilaku (check list) selama lebih

kurang 50 menit dimulai pukul 07:30-08:20.

9. Metode Pengambilan Data :

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi langsung dan video

rekaman (tritmen dan baseline), kemudian diukur dengan tabel observasi (behavior

check list) dengan target berlari dan melompat tanpa tujuan. Problem utama anak yang

mengalami hiperaktivitas adalah problem perencanaan motorik dan pengorganisasian

(Horowitz, 2007, h.24; Barkley, 200, h.154). Tabel observasi (behavior check list) diisi

berdasarkan observasi langsung dan rekaman oleh tiga (3) orang observer. Apabila

perilaku muncul maka observer harus menuliskan jumlah frekuensinya sesuai dengan

frequency tallies.

10. Pelaksanaan Penelitian :

Penelitian dilakukan selama dua puluh empat (24) sesi dan dirancang sesuai

kalender akademik sekolah. Pengumpulan data dimulai dengan fase baseline I, yaitu

observasi kelas selama enam sesi berturut-turut dengan durasi lebih kurang 50 menit

mulai dari pukul 07:30- 08:20. Pengamatan dilakukan oleh tiga (3) orang observer

dengan mendasarkan pada tabel penilaian perilaku hiperaktif (check list) sampai

kemudian didapatkan perilaku yang muncul secara stabil. Hal ini dilakukan untuk

mendapatkan target perilaku yang akan direduksi. Wawancara semi terstruktur

dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perilaku hiperaktif subjek sebelum dan

sesudah terapi. Wawancara dalam penelitian ini adalah semi terstruktur karena dituntun

oleh guide interview. Yin (2003) menyatakan bahwa wawancara adalah salah satu

sumber yang paling penting. Pelaksanaan wawancara sebelum dan sesudah latihan

dengan iringan musik terfokus pada kesan-kesan guru yang berkaitan dengan perilaku

berlari dan melompat tanpa tujuan dan kualitas pekerjaan yang bisa diselesaikan oleh

subjek. Sedangkan tujuan dari pelaksanaan wawancara dengan orang tua sebelum

mengikuti latihan dengan iringan musik adalah untuk memperoleh gambaran tentang

pemahaman mereka tentang anaknya, bagaimana kelainan tersebut mempengaruhi

perilaku di rumah, bagaimana sikap mereka tentang pendidikan anak mereka dan apa

penyesuaian yang telah mereka lakukan di rumah. Sesi latihan dengan mendengarkan

musik berlangsung selama 12 kali berturut-turut, setelah diperoleh data target perilaku

yang akan direduksi. Durasi tiap sesi kurang lebih dilakukan selama 15 menit.

Waktu 12 kali ditetapkan karena berdasarkan penelitian tentang pengaruh terapi

musik terhadap perilaku repetitif pada anak autis yang dilakukan oleh Chandra (2007)

diperoleh gambaran bahwa perlakukan yang diberikan selama 6 kali dengan waktu 30

menit setiap kali tritmen diberikan, membawa perubahan terhadap perilaku repetitif.

Sedangkan penelitian tentang pengaruh musik terhadap penderita ADHD yang

dilakukan oleh Wiebe (2007), dengan diberikannya perlakuan selama 48 minggu

menunjukkan perilaku hiperaktifitas mengalami penurunan. Berdasarkan gambaran

tersebut peneliti memutuskan perlakukan diberikan selama 12 kali dan waktu yang

dibutuhkan 15 menit-20 menit dengan dasar pertimbangan waktu 6 kali nampak terlalu

singkat untuk mereduksi perilaku hiperaktif dan 48 minggu terlalu panjang. Selain itu

untuk menghindari kebosanan karena anak-anak hiperaktif mudah teralihkan

perhatiannya dan salah satu ciri anak hiperaktif adalah sulit mengendalikan dan

mengorganisasikan dorongandorongannya (Barkley. 2006, h.155). Setelah selesai

mengikuti setiap sesi tritmen, kembali dilakukan observasi untuk mengetahui pengaruh

tritmen terhadap target perilaku yang akan direduksi. Observasi dilakukan dengan

mendasarkan pada tabel pencatatan perilaku (behavior check list). Waktu yang

dibutuhkan lebih kurang 50 menit, di dalam kelas dan ketika subjek mengikuti proses

belajar mengajar. Fase baseline II dilakukan dengan melakukan pengamatan oleh tiga

(3) orang observer untuk mengetahui apakah target perilaku yang akan direduksi

menunjukkan situasi yang stabil meskipun tidak lagi diberikan tritmen. Pengamatan

dilakukan dengan mempergunakan tabel pencatatan perilaku (check list) selama lebih

kurang 50 menit dimulai pukul 07:30-08:20.

11. Metode Analisis Data :

Setelah semua data terkumpul peneliti membuat grafik untuk dianalisis berdasarkan

data salah seorang observer. Efek dari tritmen dinilai dari pengukuran frekuensi tidak

bisa duduk tenang, dan keluar dari kursi yang muncul pada subjek selama observasi.

Analisis data menggunakan teknik analisis grafik.

12. Hasil Penelitian :

Baseline I Pengumpulan data baseline dilakukan dengan mempergunakan

observasi/ pengamatan langsung dan video rekaman selama 50 menit dengan event

sampling. Yang diobservasi adalah perilaku subjek selama pelajaran di sekolah dengan

target hiperaktifitas. Observer menilai dengan menggunakan tabel observasi (check

list). Tritmen Tritmen dilakukan 15-20 menit di ruang kesenian di sekolah dengan

penerangan cukup dan bebas distraksi. Di ruangan tersebut tersedia meja, kursi,

TV,VCD player, kipas angin, karpet dan lemari yang tertutup. Pertimbangan durasi

waktu 15-20 menit berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti.

Tritmen dipandu oleh seorang instruktur. Subjek diminta untuk melakukan

gerakangerakan sesuai dengan modul yang telah disusun sebelumnya. Pada pertemuan

pertama subjek dibimbing oleh instruktur, hingga pertemuan yang yang ke tiga.

Setelahnya hingga pertemuan yang ke dua belas subjek diminta untuk melakukannya

sendiri. Meskipun bimbingan tetap masih diberikan hingga pertemuan ke enam. Setelah

itu subjek telah benar-benar hafal dengan gerakan yang diberikan. Setelah mendapatkan

tritmen, kembali dilakukan pengamatan selama 50 menit di kelas, yaitu ketka subjek

mengikuti pelajaran. Baseline II Setelah subjek tidak lagi mendapatkan tritmen

(perlakuan) tetap dilakukan pengamatan selama 50 menit di kelas, yaitu ketika subjek

mengikuti pelajaran. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung dan

video rekaman pada jam pelajaran pagi hari yaitu jam 07:30-08:20 WIB. Penilaian oleh

tiga (3) observer dengan menggunakan tabel observasi (check list ).

Grafik 1 menunjukkan bahwa pada fase baseline pertama ini frekuensi perilaku

berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas di kelas cukup tinggi. Observasi pada fase

baseline pertama ini dilakukan selama lima hari sesuai kalender akademik, dimulai

pukul 07:30- 08:20. Observasi dilakukan dilakukan di dalam ruang kelas dan ketika ada

proses belajar mengajar, karena pada situasi formal, perilaku hiperahtif anak akan

semakin kelihatan dan menunjukkan bahwa perilaku tersebut merugikan tidak hanya

subjek tetapi juga teman-teman disekitarnya ketika belajar. Kondisi ini berkaitan

dengan kesulitannya mengontrol dirinya, yang ditunjukkan melalui perilaku yang

berlebihan. Mereka memang nampak penuh energi ( Horowitz; 2007, h.17). Pada hari

pertama baseline pertama subjek duduk diurutan ke empat dan baris kedua di sebelah

kiri meja guru. Ruang kelas subjek berukuran 6mx5m. Di dalam ruang kelas tersebut

terdapat bangku yang disusun terdiri dari lima lajur dan masing-masing lajur terdiri dari

delapan bangku ke belakang. Meja guru terletak di sudut kanan papan tulis dan

menempel di dinding. Subjek duduk sebangku dengan teman laki-lakinya. Selama

dilakukan pengamatan (50 menit), terlihat subjek tidak mengerjakan tugas yang

diberikan oleh bapak guru agama ataupun ibu guru kelas. Ia lebih disibukkan dengan

kegiatannya sendiri, melihat ke luar jendela, berjalan, berlari, menggeliat-geliatkan

badannya, mengajak berbicara teman, melihat-lihat poster kesehatan di dinding

belakang kelas. Menurut bapak guru agama, subjek adalah murid yang “istimewa”,

sehingga ia mendapatkan perhatian khusus. Tidak jarang bapak guru harus mendekati

subjek, mengingatkan untuk kembali duduk di bangkunya dengan mengelus-elus

kepala subjek. Kegiatan yang dilakukan subjek adalah mengganggu teman

disebelahnya dengan mengajak bicara, kursi di goyang-goyang, bermain adu kepala

dengan teman sebangku, masuk kolong meja dan keluar dari bangku untuk kemudian

berjalan-jalan mengitari kelas. Beberapa teman merespon gerakan subjek, dengan ikut

berbicara, terutama teman-teman disekitar bangku subjek. Namun sebagian lagi tidak

memperdulikannya. Pada hari kedua baseline pertama (I), subjek lebih banyak melihat

ke luar jendela. Ia duduk sendirian diurutan ke tiga dan persis di sebelah jendela. Pada

saat ibu guru memberi tugas menulis dengan contoh tulisan dari papan tulis, subjek

terlihat asyik melihat keluar jendela, kemudian jalan-jalan melihat poster kesehatan di

dinding belakang. Ia tidak memperhatikan tugas dari ibu guru dan tibatiba berteriak

untuk tujuan yang tidak jelas dari kegiatan tersebut. Ketika teman-teman menulis,

subjek duduk dibawah bangku (kolong meja), ia tidak mengumpulkan tugas, dan

berjalan-jalan mengelilingi kelas.

Kegiatan subjek yang lain adalah bermain hiasan-hiasan (prakarya) yang

digantung tepat diatas meja subjek. Selama tugas menyalin tersebut, subjek hanya

bermain-main, antara lain mengetuk-getuk pensil ke meja, memukul-mukul hiasan

diatas meja, keluar dari bangku, berlari dan melompat-lompat tanpa tujuan yang jelas.

Selain itu tidak jarang apabila subjek bosan, ia akan masuk ke kolong meja dan

kemudian muncul dari bawah meja guru. Hal tersebut dilakukan berulang kali. Pada

hari ketiga, keempat dan kelima pada baseline pertama subjek nampak tetap duduk

sendirian dibangku urutan ke tiga dari depan dan disebelah jendela. Kegiatan yang

dilakukan tidak jauh berbeda dengan kegiatan yang dilakukan pada hari pertama dan

kedua. Subjek berdiri melihat ke luar jendela, meraut pensil, masuk kolong meja, keluar

kelas berkali-kali, membuat temannya menangis, adu mulut dengan teman-temannya,

berteriakteriak, berlari dan melompat untuk tujuan yang tidak jelas, memukul-mukul

meja dan menengok kebelakang berkali-kali. Keluar dari bangku kemudain berlari

tanpa tujuan yang jelas dilakukan oleh subjek berulang kali. Tugas yang diberikan oleh

ibu guru tidak pernah diselesaikan, dan subjek baru akan mengerjakan ketika ibu guru

menunggunya. Perilaku tersebut diatas mengalami penurunan setelah subjek mengikuti

tritmen yang diberikan. Gambaran tersebut terlihat dari grafik yang menunjukkan

penurunan yang cukup berarti. Ketika tritmen diberikan pada hari pertama, subjek

nampak cukup terbuka dan bersedia mengikuti instruksi yang diberikan. Ia terbuka

terhadap orang lain, tidak malu-malu dan tidak ada kecurigaan terhadap orang yang

baru dikenalnya. Ia bersedia menerima kehadiran orang baru dan banyak bercerita

tentang kejadian yang dialami pagi hari di rumahnya. Pada saat itu sebelum bercerita ia

berkeliling ruangan terlebih dahulu. Berdasarkan prosedur yang sudah ditetapkan

dalam modul terapi musik, instruktur melakukan ice breaking terlebih dahulu sebelum

tritmen diberikan.Tujuan diberikannya ice breaking adalah agar subjek merasa nyaman

dan bersedia melaksanakan instruksi-instruksi yang diberikan. Ice breaking berupa

permainan tangkap jari dan cerita binatang. Subjek nampak cukup tertarik dan senang.

Ice breaking dilakukan selama lebih kurang lima menit. Setelah subjek merasa nyaman,

maka subjek mulai berlatih gerakan-gerakan dengan diiringi musik yang

diperdengarkan. Saat mengikuti latihan subjek bersedia mengikuti latihan dan

melaksanakan gerakangerakan mengikuti instruksi yang diberikan dan contoh yang

dilakukan oleh instruktur. Subjek nampak kelihatan bingung, terutama untuk gerakan

pertama dan ketiga. Karena bingung subjek nampak putus asa, lalu bilang “sudah akh”.

Gerakan kedua dan keempat bisa dilakukan oleh subjek dengan contoh. Untuk tugas

yang ke lima yaitu subjek diminta untuk memilih dan memainkan alat musik, nampak

ia mencoba semua alat musik. Terlihat perhatiannya yang mudah teralihkan dalam

waktu kurang lebih lima detik. Sambil memainkan alat musik ia bertanya, bercerita dan

tidak henti berbicara. Ia menanyakan dimana membeli alat-alat permainannya dan

mengatakan ia senang memainkan alat musik. Alat musik yang menarik perhatiannya

adalah pianika dengan suara-suara binatang. Ketika mendengar suara sapi subjek

bercerita tentang sapi dan mengatakan pernah melihat sapi disembelih. Ketika

melaksanakan sesi menyanyi yang diselingi dengan melakukan gerakan yang diminta

oleh instruktur, subjek mau melaksanakan perintah tersebut tanpa membantah dan

menyanyi dengan suara yang keras dan penuh percaya diri.

Setelah mengikuti sesi latihan selama lima belas menit, pada sesi penutup

subjek bersama instruktur kembali bermain tangkap jari dengan cerita binatang. Setelah

mengikuti latihan, subjek kembali ke kelas. Observasi di kelas dilakukan setelah subjek

beristirahat. Pada hari pertama belum nampak perubahan yang berarti meskipun sudah

ada penurunan frekuensi terutama perilaku berlari dan melompat tanpa tujuan yang

jelas. Ia masih sering keluar dari banhgku dan tiba-tiba berlari ke depan kelas ke arah

papan tulis dan kemudian berlari ke arah belakang. Pada hari kedua tritmen, latihan

dilakukan setelah subjek mengikuti pelajaran olah raga. Pada saat mengikuti pelajaran

olah raga subjek terlihat banyak bergerak meskipun pada saat ibu guru meminta semua

murid untuk duduk di lapangan. Terlihat subjek justru berlari-lari mengelilingi

lapangan dengan salah seorang temannya. Tritmen dimulai pukul 07:55 dan setelah

subjek beristirahat. Tritmen diawali dengan ice breaking. Subjek bersedia untuk

mengikuti semua perintah. Secara umum kepatuhan yang ditunjukkan pada hari kedua

tidak seperti yang ditunjukkan pada hari pertama. Urutan pelaksanaan sesuai dengan

modul yang telah disiapkan sebelumnya. Observasi di kelas menunjukkan adanya

penurunan frekuensi berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas. Hal ini diperkirakan

subjek mengalami kelelahan setelah mengikuti pelajaran olah raga dan sesi tritmen. Ia

terlihat nampak tenang dan hanya mengamati kegiatan yang dilakukan oleh teman-

temannya. Kegiatan subjek berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas kembali

ditunjukkan oleh subjek dengan frekuensi yang hampir sama dengan ketika tritmen

pertama diberikan yaitu setelah subjek selesai mengikuti tritmen ke tiga. Setelah

mengikuti tritmen ke empat, subjek kembali menunjukkan sikap yang tenang dan

nampak sdh mulai bisa mengendalikan diri untuk tidak berlari dan melompat tanpa

tujuan yang jelas. Hasil observasi di kelas terlihat bahwa subjek lebih banyak

meletakkan kepalanya diatas meja. Latihan diikuti secara teratur sesuai instruksi dan

mengikuti irama musik. Ekspresi subjek nampak gembira, ice breaking dilakukan

dengan bermain boneka dinosaurus dan subjek mengidentifikasikan boneka sebagai

teman-temannya. Boneka diatur sesuai tatanan kursi di kelas dan menyebutkan nama

teman-temannya. Ketika mengikuti tritmen ia mulai menghitung sendiri dengan suara

keras, dan melantunkan takbir dengan memukul genderang, terlihat iramanya nampak

teratur. Kondisi yang ditunjukkan setelah subjek mengikuti tritmen keenam adalah

subjek kembali menunjukkan kegiatan berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas

dan semakin meningkat ketika subjek selesai mengikuti tritmen ke tujuh. Pada tritmen

yang ketujuh, subjek tetap terlihat mengikuti alunan musik, dan bersuara pada ketukan

keempat. Namun pada menit kesatu tiga puluh tiga detik ia mulai menguap dan terlihat

malas-malasan. Ia menata sendiri bantalnya, mengikuti musik, melompat, berjalan

sepanjang musik berjalan. Namun ketika gerakan keempat yang seharusnya gerakan

menaikkan tangan, subjek justru melompat. Pada sesi ke tujuh ini, subjek nampak

kurang memperhatikan instruksi dari instruktur. Ia bermain sendiri, masak-masakan

sate, bermain pianika selama 1 menit, pindah ke drum selama 20 detik, kembali ke

pianika selama 1 menit. Dari grafik nampak bahwa frekuensi berlari dan melompat

tanpa tujuan yang jelas mengalami penurunan setelah subjek mengikuti tritmen

kesepuluh. Setelah mengikuti tritmen kesebelas dan dua belas, subjek kembali bisa

mengendalikan diri untuk tidak berlari dan melompat tanpa tujuan yang jelas, hingga

ia tidak melakukannya sama sekali. Ia memang masih menunjukkan kegiatan-kegiatan

yang lain seperti menggeliat, menengok ke belakang, mengganggu teman-temannya.

Dari grafik yang ditunjukkan, setelah tritmen tidak diberikan lagi, yaitu pada fase

baseline kedua (II) situasinya menunjukkan adanya penurunan yang cukup berarti.

Subjek memang masih sesesekali menunjukkan kegiatan berlari dan melompat tanpa

tujuan yang pasti. Namun kegiatan tersebut dilakukan pada hari kelima setelah tritmen

ditiadakan. Observasi dilakukan didalam kelas pada saat proses belajar mengajar

berlangsung. Pelajaran yang bisa membuatnya tenang adalah pelajaran menggambar.

Subjek cukup menyenangi tugas tersebut dan ia bisa melakukannya dengan baik.

13. Kesimpulan :

Terapi terhadap kesulitan berperilaku pada anak yang mengalami ADHD dimaksudkan

untuk mengurangi frekuensi munculnya perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Utamanya adalah memperbaiki fungsi yang mengalami kegagalan (perilaku, kognitif,

sosio emosional). Seperti yang diutarakan oleh Yudarwanto (2009) yaitu terapi yang

diberikan kepada penderita ADHD haruslah bersifat holistic dan menyeluruh.

Modifikasi perilaku merupakan pola penanganan yang paling efektif dengan

pendekatan positif dan dapat menghindarkan anak dari perasaan frustasi, marah, dan

berkecil hati menjadi suatu perasaan yang penuh percaya diri. Dari hasil penelitian dan

pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa penerapan terapi

musik dan gerak dapat mereduksi kesulitan berperilaku pada siswa sekolah dasar yang

menderita ADHD. Dengan demikian hipotesis terbukti.


Recommended