+ All Categories
Home > Documents > Abstract - Institutional...

Abstract - Institutional...

Date post: 07-Mar-2019
Category:
Upload: haliem
View: 214 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
19
v Abstract There have been many studies conducted to explain large scale human genetic relationships within a wide range of areas of the world, as well as studies linking culture and genetic variation in the Asia and Pacific region, including Indonesia. Ethnic group of Minahasan tribe in North Celebes show similarity and diversity in their values and expression, such as language. They are recognized until now. Similar studies for many communities in eastern Indonesia have been conducted, but more attention needed, because of the diversity of cultures, genetic and historical trajectory. Study of genetic relationships using molecular markers provide a strong possible response to interpret what's behind the relations of human cultures and biodiversity in the Minahasa. This study aimed to describe of diversity and genetic relationships based on molecular marker searches for several family name in Minahasa that represent the names of families in this area. Molecular markers are used that have been identified for the M9 Austronesian region. M9 is a molecular marker haplotypes kromosome Y that can be used in tracing kinship relations based on the inheritance of men. Cultural markers in this study using the similarity and differences in certain basic words of several major ethnic sub is in Minahasa. The method used the determination of the respondent, the isolation of DNA from saliva, PCR amplification, sequencing DNA, data analysis with MEGA 4. The results obtained from the primary M9 Y chromosome can amplify target with size that can not be distinguished. The results of sequencing and alignment produces 127 bp with 5 non-consensus nucleotides. Genetically the closest relationships are the Tombulu and Toulour. The language and culture of the closest relationships are the Tombulu and Tonsea. Key Words: Austronesia, Y Chromosome, Molecular Marker M9, MEGA 4, Minahasa Pendahuluan Struktur genetik populasi manusia dan dinamikanya ditentukan oleh sejumlah hal, yakni: perkawinan yang tidak acak (non-random mating), migrasi individual-individual antar populasi, terbentuknya kelompok kecil yang terisolasi secara reproduktif di dalam atau terpisah dari kelompok besar ( genetik drift), diintroduksinya mutasi ke dalam suatu populasi melalui mutasi, seleksi alamiah, dan kombinasi kesemua gaya yang disebutkan (Mielke et al., 2006). Struktur genetik tersebut dapat dikonstruksi melalui analisis pohon asal-usul atau studi sebaran geografis (Cavalli-Sforsa, 1997). Analisis pohon penting untuk memahami pergerakan populasi dan perpisahannya. Pendekatan ini membutuhkan jumlah penanda yang sangat besar (Cavalli-Sforsa, 1997); sebaliknya, studi geografis lebih tepat diterapkan menggunakan gen atau alel tunggal. Pendekatan ini
Transcript

v

Abstract

There have been many studies conducted to explain large scale human genetic relationships within a wide range of areas of the world, as well as studies linking culture and genetic variation in the Asia and Pacific region, including Indonesia. Ethnic group of Minahasan tribe in North Celebes show similarity and diversity in their values and expression, such as language. They are recognized until now. Similar studies for many communities in eastern Indonesia have been conducted, but more attention needed, because of the diversity of cultures, genetic and historical trajectory. Study of genetic relationships using molecular markers provide a strong possible response to interpret what's behind the relations of human cultures and biodiversity in the Minahasa. This study aimed to describe of diversity and genetic relationships based on molecular marker searches for several family name in Minahasa that represent the names of families in this area. Molecular markers are used that have been identified for the M9 Austronesian region. M9 is a molecular marker haplotypes kromosome Y that can be used in tracing kinship relations based on the inheritance of men. Cultural markers in this study using the similarity and differences in certain basic words of several major ethnic sub is in Minahasa. The method used the determination of the respondent, the isolation of DNA from saliva, PCR amplification, sequencing DNA, data analysis with MEGA 4. The results obtained from the primary M9 Y chromosome can amplify target with size that can not be distinguished. The results of sequencing and alignment produces 127 bp with 5 non-consensus nucleotides. Genetically the closest relationships are the Tombulu and Toulour. The language and culture of the closest relationships are the Tombulu and Tonsea.

Key Words: Austronesia, Y Chromosome, Molecular Marker M9, MEGA 4,

Minahasa

Pendahuluan

Struktur genetik populasi manusia dan dinamikanya ditentukan oleh

sejumlah hal, yakni: perkawinan yang tidak acak (non-random mating), migrasi

individual-individual antar populasi, terbentuknya kelompok kecil yang terisolasi

secara reproduktif di dalam atau terpisah dari kelompok besar (genetik drift),

diintroduksinya mutasi ke dalam suatu populasi melalui mutasi, seleksi alamiah, dan

kombinasi kesemua gaya yang disebutkan (Mielke et al., 2006).

Struktur genetik tersebut dapat dikonstruksi melalui analisis pohon asal-usul

atau studi sebaran geografis (Cavalli-Sforsa, 1997). Analisis pohon penting untuk

memahami pergerakan populasi dan perpisahannya. Pendekatan ini membutuhkan

jumlah penanda yang sangat besar (Cavalli-Sforsa, 1997); sebaliknya, studi

geografis lebih tepat diterapkan menggunakan gen atau alel tunggal. Pendekatan ini

vi

dapat membantu menyingkap lokasi-lokasi asal-usul mutasi, kemungkinan kejadian

berulang, dan sifat-sifat faktor selektif yang terlibat di dalam penyebaran gen/alel

tersebut, jika ada. Dua pendekatan ini penting dalam mempelajari kejadian genetik

drift dan migrasi.

Menurut Rosenberg et al., (2002) banyak studi yang telah dilakukan untuk

memetahkan hubungan-hubungan genetik skala besar dan dalam kisaran wilayah

yang luas. Demikian pula penelitian-penelitian yang mengkaitkan kultur dan variasi

genetik di wilayah Asia dan Pasifik, termasuk Indonesia. Namun yang lebih nyata

adalah studi-studi yang bersifat lebih lokal lebih banyak diungkapkan secara kultural

melalui pendekatan antropologis seperti penelitian Belwood (1976, 2003) tentang

budaya Lapita, Collins (1997, 1982, 1996, 2010) tentang sejarah, diversitas dan

kompleksitas bahasa di Indonesia Timur dan Sneddon (1975, 1978); tentang Proto-

Minahasan.

Penggunaan penanda molekuler, yang jumlahnya sangat banyak,

merupakan pendekatan alternatif yang tepat untuk menyingkap struktur genetik dan

dinamika populasi manusia. Pemanfaatannya untuk mempelajari struktur populasi

sejumlah etnis di Indonesia yang telah dan sedang intensif dilakukan, antara lain:

penelitian menggunakan penanda molekuker untuk daerah Nias, Sumba, dan

Papua. Pendekatan ini menjadi sangat sinergis dengan pendekatan antropologis

dalam menyingkap sejarah suatu populasi khas (Jobling & Tyler-Smith, 2003,

Lansing et al, 2007; dan Mona et al, 2009). Penelitian ini akan memberi perhatian

pada studi variasi genetik menggunakan penanda molekuler dan mengkaitkannya

dengan variasi kultural-bahasa di daerah Minahasa, Sulawesi Utara.

Etnis Minahasa awalnya terdiri atas empat sub etnis: Tombulu, Tonsea,

Tontemboan, Tontumaratas termasuk Toulour. Suku Tombulu mendiami daerah

northwestern, Tonsea mendiami daerah northeast, Tontemboan mendiami

southwest, dan Tontumaratas di tenggara Minahasa. Daerah-daerah ini oleh

pemerintah Belanda kemudian dipisahkan menjadi distrik (walak) yang berbeda-

beda. Orang Tombulu terdiri atas Sarongsong, Tombariri, Kakaskasen, dan

Manado. Orang Tonsea menjadi distrik Tonsea dan daerah Kelabat atas dan

Kelabat bawah. Orang Tontemboan atau orang Tompakewa menjadi asal-usul

Kawangkoan, Langowan, Rumoong, Sonder, dan Tompaso. Orang Tumaratas dan

vii

Toulour mendiami distrik-distrik Kakas, Remboken, Touliang, dan Toulimambot

yang mengelilingi Danau Tondano (Makaliwe, 1981).

Gambar 1. Peta Lokasi Sub Etnis Minahasa

Kehadiran beberapa sub etnis, masyarakat suku Minahasa menunjukkan

kesamaman-kesamaan nilai tertentu, tetapi juga menunjukkan keanekaragamannya

yang diakui sampai sekarang. Oleh sebab itu, daerah yang terletak di ujung jazirah

Sulawesi ini, dalam perspektif human diversity dan human genetiks adalah tempat

yang strategis untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia telah menyebar ke

berbagai tempat di Indonesia dan Pasifik (Arif dkk, 2012; Belwood, 1976). Apakah

kesamaan dan perbedaan kebudayaan, dan posisi strategis ini tergambar pula di

dalam bangunan genetik populasi sub-suku sub-suku yang mendiami daerah ini,

menjadi penting dipahami.

Dengan demikian, dalam mengkaji studi ini, dilakukan kajian studi

antropologi molekuler, yakni analisis molekuler yang digunakan untuk menentukan

viii

hubungan dalam suatu populasi dimana kesamaan dan perbedaan genetik akan

menentukan apakah populasi itu berasal dari asal geografis yang sama atau berada

dalam haplogropup yang sama. Kajian ini penting juga dalam menelusuri pola

migrasi dan pemukiman suatu populasi dan berkembang dari waktu ke waktu.

Dalam studi molekuler ini, digunakan penanda molekuler M9. Penanda

molekuler M9 adalah penanda molekuler haplotipe kromosome Y yang dapat

dimanfaatkan dalam menelusuri hubungan hubungan kekerabatan berdasarkan

pewarisan laki-laki. Haplotipe (Haplotipe adalah potongan DNA yang berbeda

dengan runutan homologinya pada satu atau lebih pasangan basa) SNP –single

nucleotide polymorphism-- M9 (M9 CG). urutan primer forward 5‟

GCAGCATATAAAACTTTCAGG 3‟ dan reverse 5‟GAAATGCATAATGAAGTAAGCG

3‟.

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran

keanekaragaman dan hubungan genetik berdasarkan penelusuran penanda

molekuler untuk beberapa marga di Minahasa yang mewakili nama-nama keluarga

di daerah ini.

Bahan dan Metode

Bahan Penelitian

Bahan penelitian berupa Genomic DNA Mini Kit GB100 (Geneaid), PCR Kit

2G Fast Ready Mix (Kapa Biosystem), primer M9 (forward:

GCAGCATATAAAACTTTCAGG, reverse: GAAATGCATAATGAAGTAAGCG), H2O

terdeionisasi, etanol absolut, etanol 95%, agarose (Vivantis), etidium bromida, 100

bp DNA ladder (Geneaid), dan sampel yang digunakan adalah air liur dari manusia.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah microcentrifuge (Sigma

Sartorius), mikropipet, tips mikropipet 1000 μl, 100 μl, 10 μl dan 20 μl dan tabung

eppendorf (1,5 ml dan 2 ml), tabung reaksi, tabung PCR 0,2 ml, neraca analitik,

mesin PCR Biometra T-personal, termoblok (Biometra), pemanas (hot plate), beaker

glass, stirrer bar, vorteks, alat elektroforesis, UV transiluminator, sarung tangan dan

kamera digital (Samsung, 14 megapixel).

Metode

Pengambilan dan Preservasi Sampel

Sampel DNA diambil dari air liur orang Minahasa yang tinggal di sub-suku

Tontemboan, Tonsea, Toulour, Tombulu, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik

ix

dan Siau yang sudah mendapat persetujuan dari yang bersangkutan (lihat tabel 1.).

Yang bersangkutan diminta meludah di tempat yang sudah disediakan ± 5-10 ml.

Tonsea Tolour Tombulu Tontemboan Tonsawang Ponosakan Pasan Bantik Siau

Lengkong

Mantiri

Rumimpunu

Korengkeng Pangemanan

Supit

Mamesah Wanga

Kading

Malingkas Tulandi

Langi

Rumambi Amar

Tabel 1. Marga-Marga Sub-etnik Masyarakat Suku Minahasa Sebagai Responden

Penelitian

Sampel air liur dikumpulkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan ethanol

95% sebanyak 4-6 ml untuk preservasi, dan disimpan dalam ice box dengan suhu

40C. Sampel dibawah ke Lab.Biologi FMIPA UNSRAT Manado, dan disimpan dalam

freezer dengan suhu -200C. Setelah itu, sampel disentrifus dengan kecepatan 6000

x g selama 30 detik kemudian dibuang etanolnya. Supernatan yang terbentuk

digunakan untuk ekstraksi DNA menggunakan Genomic DNA Mini Kit Geneaid

(Blood / Cultured cell).

Isolasi DNA

Sebanyak 200 µL PBS Buffer (buffer resuspensi) ditambahkan dalam pellet

kemudian divorteks selama 5 detik. Selanjutnya, ditambahkan 200 µL GB Buffer

(buffer lisis) dan divorteks sampai homogen. Sampel diinkubasi selama 15 menit

pada suhu 700C menggunakan termoblok dan setiap 3 menit dibolak-balik agar

homogen. Setelah diinkubasi, sampel disentrifus dengan kecepatan 6000 x g

selama 1 menit. Pelet dibuang dan supernatan dituang ke kolom silika yang tersedia

kemudian disentrifus dengan kecepatan 6000 x g selama 30 detik, filtratnya di

buang. Selanjutnya ditambahkan 400 µL W1 Buffer (untuk pencuci protein),

disentrifus dengan kecepatan 14000 x g selama 30 detik. Filtratnya dibuang

kemudian ditambahkan Wash buffer (untuk mencuci garam-garam dalam buffer

sebelumnya) sebanyak 600 µL, sentrifus dengan kecepatan 14000 x g selama 30

detik. Kolom silika kemudian disentrifus selama 2 menit untuk proses pengeringan,

sisa filtrat dibuang. Kolom silika dipindahkan ke microtube 1,5 ml kemudian

ditambahkan Elution Buffer (EB) pada membran sebanyak 100 µL. Sebelumnya,

Elution Buffer sudah dipanaskan sebelumnya pada suhu 700C. Inkubasi selama 3

x

menit kemudian disentrifus dengan kecepatan 14000 x g selama 1 menit. Setelah

itu filtrate disimpan dalam frezer untuk proses PCR.

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Setiap sampel diambil 4 µL kemudian dicampur dengan 25 µL 2X Kapa 2G

Fast Ready Mix, 2 µL, primer M9-R (10 µM), 2 µL primer M9-F (10 µM) dan 19 µL

H2O sehingga total volume akhir 50 µL. Volume akhir tersebut dibagi dalam 2

tabung PCR masing-masing 25 µL untuk memenuhi batas maksimum tiap reaksi

yang disyaratkan produsen PCR kit. Dalam tiap reaksi PCR mengandung: 1X Kapa

2G Fast Ready Mix buffer, 1X loading dye, 1,25 Unit DNA Polimerase (2G), 1,5 mM

MgCl2, 0,2 mM masing-masing dNTPs, 0,4 µM primer M9 forward, 0,4 µM primer

M9 reverse dan 2 µL Template DNA

Sampel di proses dengan mesin PCR Biometra T-Personal pada suhu 940C

selama 2 menit (tahap denaturasi awal) dan dilanjutkan dengan 40 siklus PCR;

denaturasi (940C, 15 detik) – perlekatan primer (53

0C, 15 detik) – ekstensi DNA

(720C, 5 detik). Di akhir reaksi ditambahkan tahap ekstensi DNA akhir 72

0C selama

1 menit.

Visualisasi produk PCR dilakukan melalui elektroforesis dengan cara

memasukkan 9,5 µL produk PCR dalam sumur elektroforesis ditambah 100 bp DNA

ladder dengan volume yang sama, kemudian dirunning dalam gel agarosa 1,5%

selama 30-40 menit pada tegangan 100 volt. Setelah itu, dilakukan perendaman

dalam EtBr dengan konsentrasi 0,01269 mM selama 5 menit. Hasil elektroforesis

lalu dilihat dengan UV transiluminator untuk melihat pita yang terbentuk. Produk

PCR yang tersisa sebanyak 40,5 µL dipakai untuk proses perunutan (sequencing).

Beberapa sampel seperti sampel 6A dan ampel Papua merupakan rePCR

yang diambil sebanyak 1 µL dari hasil PCR yang pertama dan dicampurkan ke

dalam reaksi PCR dengan volume akhir 50 µL.

Analisis Data

Analisis data menggunakan MEGA 4. MEGA 4 (Molecular Evolutionary

Genetiks Analysis Version 4) (Tamura,K., et.all., 2008) merupakan sebuah software

yang berfungsi sebagai pengambil data dari biologi dari web NCBI dan data hasil

sekuensing, di mana data-data tersebut akan diolah untuk menyelidiki, menemukan

dan meneliti DNA dan urutan protein. MEGA 4 memiliki urutan analisis yang berisi

suatu array inputan data dan berbagai hasil explorer akan disajikan dalam bentuk

xi

visual. MEGA 4 pun dapat menangani dan mengedit dari sequence data, sequence

alignment, inferred phylogenetik trees dan memperkirakan jarak terjadinya evolusi

(Tamura dkk., 2008).

Analisis Data menggunakan teknik BLAST (Basic Local Alignment Search

Tool). BLAST merupakan program untuk membandingkan urutan nukleotida atau

protein ke database dan menghitung signifikansi statistik dari urutan tersebut.

BLAST dapat digunakan juga untuk menyimpulkan hubungan fungsional dan

evolusioner antara urutan DNA serta membantu mengidentifikasi anggota keluarga

gen (http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi).

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Penentuan Responden dan Isolasi DNA

Isolasi DNA dilakukan dengan mengambil sampel ±8 ml air liur responden

laki-laki yang mewakili anak suku / sub-suku tersebut. Adapun sub-suku yang

dijadikan sampel yakni, Tontemboan, Tonsea, Tombulu, Toulour, Tonsawang,

Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siau. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan

Genomic DNA Mini Kit GB100 (Geneaid). Hasil visualisasi isolasi DNA melalui

elektroforesis. Hasil elektroforesis menghasilkan pita DNA yang sangat lemah. Oleh

sebab itu, hasil isolasi tetap diteruskan ke tahap amplifikasi dengan PCR.

PCR Amplification DNA Genomik Menggunakan Primer M9

Ket: IC (Tonsea); 4C (Tombulu); 6C (Toulour); 9B (Tonsawang); 7C (Tontemboan); 12B (Pasan); 10 C

(Ponosakan); 13C (Bantik); S2(Siau); C+ (Kontrol + dari Papua).

Gambar 2. Visualisasi produk PCR dari Sampel DNA Sub-etnik Minahasa dalam gel 1,5%

agarose

xii

Hasil visualisasi produk PCR menunjukkan pita-pita DNA hasil PCR dari

sub-etnis Tonsea, Tombulu, Toulour, Tonsawang, Tontemboan, Pasan, Bantik, Siau

dan Papua (sebagai kontrol +). Dari 14 sampel yang diisolasi, ada 10 sampel yang

diambil secara random untuk PCR sampel dari marga Rumimpunu (Tonsea), marga

Supit (Tombulu), marga Korengkeng (Toulour), marga Wanga (Tonsawang), Marga

Mamesah (Tontemboan), Marga Tulandi (Pasan), marga Rumambi (Bantik) dan

marga Amar (Siau). Hasil pita DNA yang ditunjukkan oleh semua sampel tidak

dapat diperbedakan ukurannya, yakni pada ukuran 100 pb – 200 pb. Hal yang sama

dengan kontrol positif dari wilayah Papua. Hasil amplifikasi PCR yang positif dengan

primer M9 mengungkapkan bahwa, primer M9 mampu menempel pada target

(sampel DNA). Tentunya, hal ini mengindikasikan bahwa sampel-sampel tersebut

berasal dari laki-laki Ras Austronesia karena penanda molekuler yang digunakan

adalal penanda molekuler dari kromosom Y wilayah Austronesia. Bukan hanya

sampel-sampel dari sub-etnik dari suku Minahasa saja, tetapi termasuk kontrol

positif dari suku Dani di Papua juga.

Perunutan (Sequencing) DNA

Hasil amplifikasi PCR hanya memberikan informasi mengenai ukuran DNA

sampel yang ada tetapi belum mampu memberikan informasi mengenai perbedaan

dan persamaan pada tingkat nukleotida. Oleh karena itu, sampel DNA dirunutkan

dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 2.

Keterangan: n adalah jumlah nukleotida

Tabel 1. Hasil sekuensing DNA dari Sub-etnik di Minahasa dan Kontrol positif dari Suku Dani

di Papua

Kode/Nama Sub-suku

Sekuens DNA

2A (Tonsea) NNNNNNNNNACTGCAAGAACGGCCTAAGATGGTTGAATCCTCTTTATTTTTCTTTAATTTAGACATGTTCAAACGCTCAATGTCTTACATACTTAGTTATGTAAGTAAGGTAGCGCTTACTTCATTATGCATTTCCA (n=137)

5A (Tombulu) NCNNNNNANNNNCTGCAAGAACGGCCTAAGATGGTTGAATGCTCTTTATTTTTCTTTAATTTAGACATGTTCAAACGTTCAATGTCTTACATACTTACTTATGTAAGTAAGGTAGCGCTTACTTCATTATGCATTTCATG (n=140)

6A (Toulour) #6a_F CCCCAAAAAAGACTGCAAGAACGGCCTAAGATGGTTGAATGCTCTTTATTTTTCTTTAATTTAGACATGTTCAAACGTTCAATGTCTTACATACTTAGTTATGTAAGTAAGGTAGCGCTTACTTCATTATGCATTTCAGGGGG (n=143)

PA (Papua) #Pa_F CCCCCAAAAAAAATGCAAGAACGGCCTAAGATGGTTGAATCCTCTTTATTTTTCTTTAATTTAGACATGTTCAAACGTTCAATGTCTTACATACTTAGTTATGTAAGTAAGGTAGCGCTTACTTCATTATGCATTTCAAA (n=140)

xiii

Dari ke-10 sampel yang telah di-PCR, hanya 4 sampel saja yang

terkualifikasi untuk proses sekuensing. Keempat sampel tersebut adalah sampel 2A

dari sub-suku Tonsea, sampel 5A dari sub-suku Tombulu, sampel 6A dari sub-suku

Toulour dan sampel PA dari Papua sebagai kontrol positif. Panjang basa nukleotida

sampel mulai dari 134-146 basa.

Ket: A=Adenin, T=Timin, G=Guanin, C=Sitosin

Gambar 3. Hasil Sekuensing DNA Sub-etnik Tolour (6a_F), Tombulu (5A), Tonsea (2A)

setelah dipotong dalam proses alignment (jumlah site ke-1 sampai site ke-127)

Dari hasil penjajaran dari ke empat potongan DNA tersebut (Lihat gambar

3.) menjadi jelas mengenai lokasi homologi dan daerah-daerah yang memiliki

perbedaan identitas nukleotida. Penilikan terhadap persaman dan perbedaan dari

ke-empat runutan yang ada didapati bahwa ke-empat runutan tersebut memiliki

tingkat homologi yang tinggi, namun dari ke 127 nukleotida yang ada didapat 5

lokasi yang memiliki perbedaan identitas nukleotida, dalam bentuk mutasi titik.

Kelima perbedaan tersebut terdapat pada lokasi-lokasi site 1, site 29, site 86, site

126 dan site 127.

Pada posisi site 1, terdapat tiga basa nukelotida C untuk sub-suku Toulour

(6A_F), Tonsea (2A) dan Tombulu (5A) sedangkan 1 basa nukleotida A untuk suku

Papua (Pa_F). Pada posisi site ke-29, untuk sub-suku Toulour (6A_F) dan sub-suku

Tombulu (5A) sama-sama memiliki basa nukleotida G sedangkan sub-suku Tonsea

(2A) dan suku Papua (Pa_F) memiliki basa nukelotida C. Pada posisi site ke-86,

terdapat 3 basa nukelotida G pada sub-suku Toulour (6A_F), Tonsea (2A) dan suku

Papua (Pa-F) sedangkan sub-suku Tombulu (5A) terdapat 1 basa nukleotida G.

Pada posisi site ke 126 terdapat 3 basa nukelotida A untuk sub etnis Toulour

(6A_F), Tombulu (5A) dan suku Papua (Pa_F) dan sub-suku Tonsea (2A) memiliki 1

xiv

basa nukleotida C. Pada posisi akhir site yaitu site ke-127, sub-suku Tonsea (2A)

dan suku Papua (Pa_F) memiliki basa nukleotida A, sub-suku Toulour (6A_F)

memiliki basa nukelotida G dan sub-suku Tombulu (5A) memiliki basa nukelotida T.

Analisis Filogenetik Berdasarkan Kesamaan dan Perbedaan Nukleotida

Perbedaan dan persamaan nukleotida dapat dilihat menggunakan analisis

pohon filogeni. Seberapa besar persamaan dan perbedaan antara sub etnis

Tonsea, Toulour dan Tombulu dalam jumlah nukleotida dapat dilihat pada Gambar

4. Nukleotida-nukelotida dari sub-suku tersebut diinput ke Mega 4 dan dianalisis

menggunakan Phylogeny Reconstruction.

Analisis pohon filogeni menggunakan MEGA 4, dapat dilihat pada Gambar

4. Dalam gambar ini, jumlah persamaan nukleotida yang paling banyak adalah sub

etnis Toulour dan sub etnis Tombulu yang berjumlah 125 pb dari 127 pb. Sub etnis

Toulour dan sub etnis Tombulu dengan sub etnis Tonsea berjumlah 124 pb

sedangkan dengan Suku Dani (Papua) berjumlah 122 pb. Hasil akhir dari proses ini

dapat diketahui tingkat kekerabatan yang paling dekat yakni antara Tombulu dan

Toulour.

Gambar 4. Hubungan Kekerabatan berdasarkan Kesamaan Jumlah Nukleotida dari

DNA Sub-etnik Tolour (6a_F), Tombulu (5A), Tonsea (2A) pada Suku Minahasa

dan Suku Dani (Pa_F) di Papua (kontrol luar)

Pembahasan

Menurut penelitian Su, et al,.(2008), jumlah kandungan DNA dalam air liur lebih

sedikit daripada kandungan DNA dalam darah. Hal ini dibuktikan dengan

pengukuran kadar DNA melalui uji spektrofotometri, yakni dari salah satu sampel

yang diambil panjang peak rata-rata dari darah adalah 1.447 sedangkan panjang

peak dari air liur adalah 842. Kurangnya kadar DNA dalam sampel dapat

mempengaruhi hasil viualisasi dari isolasi DNA. Saat dielektroforesis, tidak

munculnya pita DNA tetapi bisa diamplifikasi melalui proses PCR dan bisa

xv

dirunutkan. Dalam pengambilan sampel air liur juga bisa dikatakan lebih efisien

ditinjau dari kajian etika, manusia sebagai objek dalam penelitian.

Penelitian yang sama di suku Papua (Numberi, 2012), menggunakan darah

sebagai material hayati dengan primer M9 sebagai penanda molekuler memberikan

hasil yang positif, dalam artian primer M9 dan DNA-nya mampu diamplifikasi melalui

PCR sehingga salah satu sampel dari suku Papua ini, menjadi kontrol positif dalam

penelitian ini.

Hasil amplifikasi PCR sangat ditentukan oleh suhu perlekatan primernya

(annealing temperature). Menurut Kayser et al., (2001), suhu perlekatan primer M9

adalah 540C. Dalam penelitian ini, suhu perlekatan primer yang digunakan adalah

530C selama 15 detik dalam 40x siklus. Hasil visualisasi PCR dapat dilihat pada

gambar 2. (Lihat bagian hasil). Semua sampel menunjukkan kesamaan ukuran DNA

sekitar 100-200 pb.

Elektroforesis produk akhir hasil PCR yang positif yang ditunjukkan dengan

terbentuknya berkas DNA atau pita-pita DNA efektif dalam membedakan ukuran

DNA puluhan atau ratusan basa nukleotida, tetapi tidak dapat membedakan

perbedaan-perbedaan urutan DNA pada tingkat nukleotida. Oleh sebab itu, telah

dilakukan perunutan DNA (DNA sequencing) hasil PCR dari sub etnis Tonsea,

Toulour, Tombulu dan Papua untuk mengetahui perbedaan-perbedaan DNA dari

orang-orang dari sub-etnis yang berbeda. DNA hasil PCR mewakili materil hayati

dari sub-suku sub-suku tersebut dirunut menggunakan fasilitas perunutan DNA

Genetik Science Lab. Jakarta, dengan primer M9 (Forward dan Reverse). Produk

PCR awal yang dikirim untuk dirunut masing-masing sampel 50 µL.

Hasil perunutan DNA dari keempat sampel diedit menggunakan perangkat

lunak MEGA versi ke-4. Dalam pengeditan ini, jumlah runutan DNA dipotong kurang

lebih 10 basa nukelotida di bagian awal dan akhir site. Hal ini dimaksudkan agar

terjadinya pensejajaran (alignment) antara ke-4 sampel. Jumlah nukelotida setelah

mengalami pensejajaran yaitu 127 pb. Diantara 127 pb terdapat 5 mutasi titik. Ke-5

mutasi titik ini mengintepretasikan bahwa secara genetik 100% tidak sama, tetapi

hubungan kekerabatan antar sub-etnis di Minahasa bisa dikatakan cukup tinggi

tingkat homologinya.

Menilik identitas budaya dan tingkat kekerabatan hubungan budaya dapat

ditunjukkan penanda-pendanda budaya yang mendefinisikan siapa mereka dan

siapa yang bukan anggota dari masyarakat itu. Hubungan etnis selain karena

identitas genetik, juga diperkuat atau memiliki kesamaan-kesamaan identitas

xvi

budaya. Bahasa, khusus kata-kata dasar tertentu, dishare sesama anggota etnis

tertentu, merupakan salah satu petunjuk identitas budaya dari suatu etnis.

Gambar 5. Hubungan kekerabatan beberapa Sub-etnik di Suku Minahasa dilihat dari

persentase jumlah kata dasar yang sama (Tamura K, 2007).

Dalam penelitian ini, untuk membandingkan dan melengkapi studi hubungan

genetik diantara sub-suku etnis di Minahasa menggunakan penanda molekuler,

dilakukakan penilaian kesamaan fonologi dan penulisan dari kata-kata dasar.

Tingkat persamaan budaya dan bahasa yang sangat tinggi diantara sub-etnis di

Minahasa lebih khususnya untuk sub etnis Tonsea-Tombulu-Toulour dapat dilihat

dari lokasi sub-etnis ini yang saling berdekatan. Kemungkinan terjadinya integrasi

budaya dan bahasa yang sangat cepat. Beberapa suku kata dasar yang

menyatakan tingkat kesamaan yang sangat tinggi diantara sub-etnis ini dapat dilihat

pada tabel 3.

Indonesia Ttb Tdo Tbl Tsa Tswg

manusia tou tou tou tou tou

bapa amang ama‟ ama‟ ama‟ amang

mata weren weren eeren weren wellen

kepala ro‟kos kokong ulu udu kohong

babi wawi tiéy wawi wawi tiéy

anjing asu asu asu asu balle‟

belut kosei kasili kasili kasidi kasili

monyet wolai woléi wale‟ angko‟ bakayu

rambut wu‟uk wu‟uk wu‟uk wu‟uk utah

Tabel 3. Persamaan dan Perbedaan Kata Dasar Sub Etnis Minahasa (Sneddon, 1978)

Tonsea

Tombulu

Tolour

Tontemboan

Tonsawang

89

58

051015

xvii

Hubungan kekerabatan antar bangsa dapat dbuktikan dengan rekonstruksi

unsur-unsur retensi (kesamaan atau pemertahanan) maupun inovasi (perubahan)

dari bahasa asal yang disebut proto bahasa baik pada tataran fonologi, leksikon,

maupun gramatikalnya (Masrukhi, 2002). Demikian halnya dengan hubungan

kekerabatan antar sub-suku di Minahasa. Beberapa kata yang penulisannya sama

dan intonasinya sama, seperti pada kata “Tou” dibaca “Tou” (akhiran “ou” dibaca

“ow”). Adapun pada beberapa kata yang penulisannya sama tetapi penyebutannya

berbeda seperti pada kata, “walé” dibaca “em bale” (tontemboan), “walé” (e dibaca

seperti jahe)(tonsea).

Secara kultural ataupun genetik dalam konsep keanekaragaman manusia

Indonesia khususnya “Tou” Minahasa (Orang Minahasa) sangat penting disingkap

sebagai sejarah masa lalu untuk membuat pertimbangan-pertimbangan kebijakan

mengenai cultural justice, dan pendefinisian apa itu “Manusia Indonesia”. Oleh

sebab itu, upaya untuk menyingkap sifat dasar keanekaragaman kultur dan hayati

manusia Indonesia, telah dipelajari oleh banyak kalangan, antara lain Belwood,

(1976), Sneddon, (1978) Collins (1982, 1996b, 2010).

Dalam proses migrasi manusia dari daratan Asia ke Asia Tenggara, Kepulauan

Pasifik dan Australia, posisi Pulau Sulawesi berada di jalur yang strategis karena

berada di zona Wallacea, zona yang terletak antara daratan Sunda di sebelah

barat dan daratan Sahul serta gugusan pulau Pacifik di sebelah timur, dan Australia

di sebelah selatan. Dengan posisi geografis tersebut, pulau Sulawesi menjadi

wilayah lintas budaya (cross culture) dari masa plestosen sampai masa holosen.

(Simanjuntak,2008)

Di Sulawesi Utara yakni Minahasa termasuk kepulauan Talaud, kawasan ini

sangat penting hingga disebut oleh Bellwood (1976) a junction-zone antara pulau-

pulau di Philipina, Indonesia Timur (Borneo, Sulawesi, Halmahera), dan Mikronesia

Barat dan Melanesia. Sedangkan di Sulawesi bagian Selatan, posisinya juga

penting karena menjanjikan jawaban tentang rute migrasi manusia prasejarah ke

kawasan Nusa Tenggara dan Australia. Perjalanan migrasi ini penting dalam

menelusuri siapakah orang minahasa dalam pendekatan antropologi molekuler.

Ada dua teori dalam pembahasan ini yang digunakan untuk menjelaskan

bagaimana ras austronesia (minahasa termasuk dalam ras ini) berada di Indonesia

dalam menjelaskan “kehadiran” orang minahasa. Teori yang pertama, yang dikenal

xviii

dengan teori “Out of Taiwan”, dan karena teori ini menjelaskan, melalui bukti

arkeologi – pembuatan pottery, budaya bertanam padi, dan benda-benda Neolithic

(Early Holocene) serta bahasa yang dipakai/dibawahnya, yakni bahasa Austronesia,

(yakni the family of languages spoken in the region of Southeast Asia and Oceania,

stretching as far as Easter Island on the east and including Madagascar on the

west)- berlangsung sangat cepat dari Taiwan, ke selatan di Filipina dan Sangir-

Thalaud, daratan Sulawesi, Nusa Tenggara, menyebar ke arah timur di Indonesia

bagian timur dan Pasifik, dan ke Barat di Jawa dan Madagaskar, serta jauh ke

selatan di New Zealand (Diamond & Belwood, 2003). Diduga bahwa masyarakat

pendatang ini menggantikan atau berhibridisasi dengan masyarakat yang

sebelumnya mendiami daerah ini, yakni Austromelanesid, diduga mengalami

hentakan perubahan bahasa (language shift).

Dalam kaitannya dengan pembuktian kehadiran budaya Pottery, Bellwood

(1975) untuk pertama kali melakukan eskavasi dan penelitian arkeologis daerah

Sulawesi Utara, yakni Minahasa dan Sangir Thalaud. Studi mereka menyimpulkan

urutan sejarah panjang 8000 prasejarah. Daerah ini oleh Bellwood dipelajari karena

lokasinya yang sangat strategik, yakni bahwa kedua daerah ini merupakan daerah

penyambung antara rantai pulau-pulau di Filipina dengan utara Indonesia

(Kalimantan, Sulawesi, dan Halmahera) serta sebelahy barat Mikronesia dan

Melanesia. Sejumlah bukti arkeologis di daerah sekitarnya menunjukkan bahwa

fakta-fakta ini dapat dirunut balik ke jaman Pleistocene: Gua Niah di Sarawak, Gua

Tabon di Palawan dan Gua-gua di Timor bagian timur, serta daerah Tolean di

Sulawesi Selatan. Di Melanesia, jaman Pleistocene dapat ditelusuri di dararan tinggi

Papua, serta kebudayaan keramik suku Lapita dalam periode 1500 BC sampai

tahun 1.Semua ini diyakini berasal dari pulau di Asia Tenggara (Bellwood, 1975).

Teori yang kedua adalah teori yang dikemukakan oleh Solheim, yang

disebut teori Nusantao Maritime Trading and Communication Network (NMTCN). Inti

dari hipotesis ini adalah konsep Nusantao. Istilah Nusantao berasal dari bahasa

Austronesia dengan akar kata “nusa” yang berarti selatan dan tau/tao yang berarti

„orang”. Jadi Nusantao berarti orang-orang yang berasal dari pulau-pulau di selatan.

Pandangan NMTCN nampaknya juga didukung oleh laporan Farads (2004),

yang menunjukkan gen FMRI, yakni penanda molekuler pada lengan panjang

kromosom X, yang menunjukkan ciri khusus wilayah timur garis Wallacea; serta

xix

lokus fragile-X nya menunjukkan tingkat keragaman yang lebih tinggi dibandingkan

dengan mereka yang ada di daratan China dan Jepang. Hal ini memberi dugaan

sumbangan genetik masyarakat kawasan Timur Indonesia dari orang-orang asli,

sebelum kedatangan Austronesia. Kedua teori migrasi ini, masih dalam konteks

antropologi dimana keduanya masih menggunakan bukti sejarah.

Dari kedua teori ini, pola orang Minahasa lebih mengikuti teori Out Of

Taiwan, bukti-bukti sejarah seperti budaya Jar di Taiwan dan Filiphina, budaya

Kurek di Minahasa, dan budaya Lapita di Polinesia dan Melanesia memperkuat

bahwa terjadinya pergerakan budaya dari Taiwan ke bagian timur Indonesia hingga

ke pasifik. Beberapa kata dasar di Minahasa masih sama dengan di Filiphina. Tentu

saja hal ini, mengindikasikan hubungan kekerabatan antara filiphina dan minahasa

masih dekat. Hal ini juga didukung dengan keadaan demografis Minahasa dan

Filiphina yang relativ dekat.

Merujuk pada hasil penelitian ini, primer M9 yang digunakan masih terlalu

umum untuk kawasan Austronesia. Penelitian dengan 4 sampel belum mampu

menjelaskan siapkah orang minahasa dalam konsep genetika populasi tetapi

apakah mereka memiliki persamaan dan perbedaan secara genetik dan kultural, itu

bisa dipastikan ada dengan melihat hasil perunutan DNA yang mengalami 5 mutasi

titik dan hasil persamaan dan perbedaan suku kata dasar diantara sub-etnis

Minahasa.

Kedekatan secara budaya dan bahasa, belum tentu secara genetik juga

dekat. Dapat dilihat dari hasil penelitian ini, dimana secara genetik yang paling

dekat adalah Tombulu dan Toulour. Hal ini diduga karena lokasi geografis yang

relativ dekat antar kedua sub-etnis ini dan dengan lokasi yang relativ dekat ini

menyebabkan terjadinya percampuran pernikahan (intermarriage). Dari tinjauan

bahasa yang paling dekat adalah Tonsea dan Tombulu. Hal ini diduga karena

persebaran pengguna bahasa Tonsea lebih banyak tersebar di sub etnis tombulu

daripada sub etnis Toulour.

Kesimpulan

Berdasarkan studi penelitian ini dapat disimpulkan bahwa isolasi DNA

dengan material air liur orang Minahasa berhasil dilakukan. Hasil isolasi

diamplifikasi melalui PCR dengan primer M9 menunjukkan terbentuknya pita DNA

xx

yang berukuran 100-200pb mengindikasikan primer M9 positif terhadap suku

Minahasa dan Minahasa positif tergolong Ras Austronesia. Ada 4 produk PCR yang

disekuensing yaitu, sampel dari sub-suku Tonsea, Toulour, Tombulu dan kontrol

positif dari Papua dan diperoleh 127 pb yang sudah bersih (setelah dialignment dan

dipotong) dan terdapat 5 posisi yang tidak konsensus di tingkat nukleotida. Secara

genetik yang paling dekat hubungan kekerabatannya yaitu Tombulu dan Toulour.

Secara bahasa yang paling dekat hubungan kekerabatannya yaitu Tombulu dan

Tonsea.

Saran

Dalam penelitian ini masih ada kekurangan-kekurangan sehingga, beberapa

pertimbangan untuk penelitian selanjutnya adalah sekuensing dapat dilakukan lebih

dari 1 kali untuk menghindari kesalahan pengkodean. Air liur sebagai material hayati

lebih efisien dalam menggunakan manusia sebagai objek penelitian ditinjau dari

segi etika. Jumlah sampel perlu diperbanyak tetapi tetap memperhatikan galur

murni sampel. Jumlah air liur dapat lebih diperbanyak sehingga visualisasi dengan

elektroforesis bisa maksimal. Perlu adanya marker spesifik untuk daerah minahasa

atau wilayah sulawesi secara umum.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yesus berkat kasih dan

penyertaan-Nya, skripsi ini boleh terselesaikan. Penulis juga menyampaikan terima

kasih kepada Beasiswa Unggulan P3SWOT yang sudah memberikan dana hibah

dalam penelitian ini. Terima kasih juga buat pembimbing skripsi Jubhar Ch.

Mangimbulude, M.Sc., yang sudah membimbing penulis baik dalam penelitian dan

penulisan skripsi dan Ir. Ferry F. Karwur, Ph.D yang sudah membantu penulis

dalam penelitian dan penulisan skripsi. Tak lupa juga ucapan terima kasih yang tak

terhingga buat semua responden sub-etnis Minahasa yang sudah bersedia menjadi

sampel penelitian dan Beivy J. Kolondam, M.Sc yang sudah membantu dalam

penelitian di Lab. Biologi Unsrat Manado. Yang terakhir, terima kasih juga buat

Keluarga Besar Sompie-Lenzun yang sudah memberikan support baik lewat doa

dan finansial, serta kepada teman-teman dan semua pihak yang sudah membantu

baik dalam penelitian dan penulisan skripsi. “Karena Tuhanlah yang memberikan

hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian. Ia menyediakan

pertolongan bagi orang jujur dan memlihara jalan orang-orang-Nya yang

setia.” (Amsal 2:6,7a dan 8b)

xxi

Daftar Pustaka

Arif, dkk., 2012. Ekspedisi Cincin Api dalam Kompas Tanggal1 September 2012.

Cavalli-Sforza LL. 1997. Genes, Peoples, and Languages. Proc. Natl. Acad. Sci.

USA. 94, 7719-7724.

Collins, J. T. 1982. Linguistic research in Maluku: A report of recent fielwork.

Oceanic

Linguistics, 21: 73-146.

Collins, J. T. 1996. Bibliografi dialek Melayu di Indonesia Timur. Kuala Lumpur:

Dewan

Bahasa dan Pustaka

Collins, J. T. 2010. Sejarah, Diversitas dan Kompleksitas Bahasa Melayu di

Indonesia Timur. Dlm. James T. Collins & Chong Shin (Ed.), Bahasa di

Selat Makassar dan Samudera Pasifik. Bangi: Institut Alam dan Tamadun

Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Bellwood, P. 1976. Archaeological Research in Minahasa and the Talaud Islands,

Northeastern Indonesia. Asian Perspectives, XIX(2): 240-288.

Diamond J & Bellwood, P. 2003. Farmers and Their Languages: The First

Expansions. Science 300: 597-603.

Henley, David E. F. 1996. Nationalism and Regionalism in a Colonial Context:

Minahasa in the Dutch East Indies. Verhandelingen. Leiden: KITLV Press.

Hurles, M.E. et al., 2002. Y Chromosomal evidence for the origins of Oceanic-

speaking peoples. Genetics 160, 289-303.

Lansing, J.S., Murray P. Cox, Sean S. Downey, Brandon M. Gabler, Brian

Hallmark, Tatiana M. Karafet, Peter Norquest, John W. Schoenfelder,

Herawati Sudoyo, Joseph C. Watkins, and Michael F. Hammer, 2007.

Coevolution of languages and genes on the island of Sumba, eastern

Indonesia. PNAS 104, 16022-16026.

Jobling MA & Tyler-Smith C, 2003. The human Y Chromosome: An Evolutionary

Marker Comes of Age. Nature Reviews 4:598-612.

xxii

Karafet, T.M., Hallmark, B., Coxl. M.P., Sudoyo, H., Downey, S., Lansing, J.S.,

Hammer, M.F. 2010. Major East-West Division Underlies Y Chromosome

Stratification across Indonesia. Mol Biol Evol 27 (8): 1833-1844

Kayser M, Brauer S, Weiss G, Schiefenhovel W, Underhill PA, Stoneking M, 2001.

Independent Histories of Human Y Chromosomes from Melanesia and

Australia. Am. J. Genet. 68:173-190.

Makaliwe, W.H. 1981. A preliminary note on genealogy and intermarriage in the

Minahasa regency, North Sulawesi Bijdragen tot de Taal-, Land- en

Volkenkunde 137, p. 245

Masrukhi, 2002. Refleksi Fonologis Protobahasa Austronesia (PAN) Pada Bahasa

Lubu (LB). Humaniora Vol XIV No.1 tahun 2002. UGM

Mielke JH, Konigsberg LW, Relethford JH, 2006. Human Biological Variation.

Oxford University Press, 2006; 418p.

Numberi, Y. 2012. Amplifikasi PCR kromosom Y dari Beberapa Suku di Papua

dengan Penanda Molekuler Primer M9G. Thesis. Universitas Kristen Satya

Wacana. Salatiga

NCBI. (http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi).

Rosenberg NA, Pritchard JK, Weber JL, Cann HM, Kidd KK, Zhivotovsky LA,

Feldman MW, 2002. Genetik structure of human population. Science

298:2381-2385.

Simanjuntak, Truman, 2008, Austronesian in Sulawesi: its origin, Diaspora, and

living tradition, dalam Truman Simanjuntak (edt.) Austronesian in Sulawesi.

CPAS, hal: 215-251

Sneddon, J. N. 1975. Tondano Phonology and Grammar. Canberra: Dept. of

Linguistics, ResearchSchool of Pasific Studies, Australian National

University.

Sneddon, J.N., (1978). Proto-minahasan: Phonology, Morfology and Wordlist.

Canberra: Dept. of Linguistics, ResearchSchool of Pasific Studies,

Australian National University.

Stefano Mona, Katharina E. Grunz, Silke Brauer, Brigitte Pakendorf, Loredana

Castrı, Herawati Sudoyo, Sangkot Marzuki, Robert H. Barnes, Jorg

Schmidtke, Mark Stoneking, and Manfred Kayser, 2009. Genetik Admixture

xxiii

History of Eastern Indonesia as Revealed by Y-Chromosome and

Mitochondrial DNA Analysis. Mol. Biol. Evol. 26(8):1865–1877. 2009.

Su Jeong Park,1 Ph.D.; Jong Yeol Kim,2 M.S.; Young Geun Yang,2 Ph.D.; and

Seung Hwan Lee,1 Ph.D. 2008. Direct STR Amplification from Whole Blood

and Blood- or Saliva-Spotted FTA_ without DNA Purification*. J Forensic

Sci, March 2008, Vol. 53, No. 2

Tamura, K., Dudley, J., Nei, M., & Kumar, S., 2008, MEGA4, Arizona: Center of

Evolutionary Functional Genomics Biodesign Institute Arizona State

University.

Underhill PA, Jin L, Lin AA, Mehdi SQ, Jenkins T, Vollrath D, Davis RW, Cavalli-

Sforza LL, and Oefner PJ, 1997. Detection of Numerous Y Chromosome

Biallelic Polymorphisms by Denaturing High-Performance Liquid

Chromatography. Genome Researh 7:996-1005.

Watuseke, F. S. 1985. En Tinatéran e Lelila'an (Kamus) Walanda-Toudano.

Jakarta: [s. n.],

Watuseke, F.S. 1985. Sketsa Tatabahasa Tondano. Jakarta: [s. n.],.

Wijsman EM & Cavalli-Sforza, LL, 1984. Migration and Genetik Population

Structure with Special Reference to Human. Ann. Rev. Ecol. Syst 15:279-

301


Recommended