+ All Categories
Home > Documents > JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

Date post: 17-Jan-2022
Category:
Upload: others
View: 4 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
23
Transcript
Page 1: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI
Page 2: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

Diterbitkan oleh

Penanggung Jawab

Redaktur

Ketua

Anggota

Referee

JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Vol. 8 No. 2, Desember 2013

ISSN: 1907-9133

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan

Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

Ir. FaridaAriyani, M.Sc (Teknologi Pangan)

1. Prof. Dr. Hari Eko lrianto (Pengembangan Produk Perikanan) 2. Prof. Dr. Endang Sri Heruwati (Mikrobiologi Pangan) 3. Prof. Dr. Rosmawaty Peranginangin {Teknologi Pengolahan Hasil

Kelautan dan Perikanan) 4. Dr. Singgih Wibowo (Bioteknologi Kelautan dan Perikanan) 5. Dr. Bagus Sediadi Bandol Utomo (Mekanisasi Proses Pengolahan Hasil

Kelautan dan Perikanan) 6. Dr. Achmad Poernomo (Keamanan Pangan dan Lingkungan Kelautan

dan Penkanan) 7. Ir. Yusro Nuri Fawzya, MSi (Bioteknologi Kelautan dan Perikanan) 8. Dr. Supriyadi {Teknologi Pertanian)

1. Prof. Subagus Wahyuono, MSc., Apt (Farmasi) 2. Dr. Ekowati Chasanah (Bioteknologi Kelautan dan Perikanan) 3. Dr. Ir. Antonius Herry Cahyana (Kimia) 4. Dr. Wawan Hermawan (Mekanisasi Proses) 5. Prof. Dr. Nurul Huda (Teknologi Pengolahan Hasil

Kelautan dan Perikanan)

Redaktur Pe laksana 1. Ir Sugiyono. MSi

Alamat Redaksi

2. Dina Fransiska, MSi 3. Ora. Ninoek lndriati, MKM 4. Dr. Muhammad Nursid 5. Nurrahmi Dewi Fajarningsih, M.Biotech (Adv.) 6. Novalia Rachmawati, MSc

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan JI. K.S. Tubun Petamburan VI, Slipi, Jakarta Pusat 10260 Telp. : (021) 53650157, 53650158 Faks :(021)53650158 E-mail : [email protected]

Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan diterbitkan secara periodik dua kali setahun yaitu bulan Juni dan Desember. Perencanaan sampai penerbitan dikelola oleh

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Prociuk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.

Nomor Akreditasi : 366/AU1/P2MBl/07/2011

ISi DAPAT DIKUTIP DENGAN MENYEBUTKAN SUMBERNYA

Page 3: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

I SN. 1907 - 9133

DAN PERIKANAN NAN

JURNAL PASCAPANEN

DAN BIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Jakarta, Desember 2013 ISSN. 1907 - 9133

Page 4: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

Karakterisasi Enzim Selulase PMP 0126Y dari Umbah Pengolahan Agar (Ekowati Chasanah et al.)

KARAKTERISASI ENZIM SELULASE PMP 0126Y DARI LIMBAH PENGOLAHAN AGAR

Characterization of PMP 0126Y Cellu/ase Enzyme from Agar Processing Waste

Ekowati Chasanah1· , lsna Rahma Dini2, dan Nisa Rachmanla Mubarik3

1 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, KKP. JI. KS Tubun, Petamburan VI, Jakarta 10260

2 Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Riau, Riau 3 Program Studi Bioteknologi Pasca Sarjana IPB, Bogor Korespondensi Penulis: [email protected]

Oiterima: 29 April 2013 Disetujui: 10 Oktober 2013

ABSTRAK

Hasil penapisan bakteri penghasil enzim selulase terdahulu mendapatkan isolat PMP 0126 sebagai isolat yang berpotensi yang diisolasi dari limbah pengolahan agar skala UKM di Pamengpeuk, Garut. Isola! tersebut ternyata belum merupakan koloni tunggal, terdiri dari 2 1solat bakteri yaitu PMP 0126Y dan PMP 0126W. Isola! PMP 0126Y memiliki kemampuan mendegradasi selulosa yang lebih besar dibanding PMP 0126W. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memproduksi dan mengkarakterisasi enzim selulase dari isolat PMP 0126Y, serta mengidentifikasi isolat tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa enzim selulase diproduksi optimum pada hari ke-3 kultivasi menggunakan medium cair berisi CMC 1%. Enzim kasar yang diperoleh dapat bekerja optimal pada suhu 30 °C dan pH 5, dapat ditingkatkan aktivitasnya dengan ion logam dalam bentuk garam CaCl2 dan ZnCl2 5 mM .. Pemurnian dengan sistem penukar anion dapat meningkalkan aktivitas enzim 1 Sx dengan perolehan 20% . .Dari hasil SOS-PAGE terlihat bahwa ada 3 selulase dengan perkiraan berat molekul 39, 30, dan 14 kDa. Enzim kasar ini memiliki kemampuan menghidrolisis limbah pengolahan agar sebaik kelika memecah substrat CMC, yang mengindikasikan bahwa enzim dari isolat ini berpotensi sebagai kandidat agen sakarifikasi pada produksi bioetanol. ldentifikasi bakteri dengan 16S-rDNA menunjukkan bahwa isolat ini memiliki kemiripan 96% dengan bakteri Chryseobacterium indologenes McR-1 .

KATAKUNCI: limbah pengolahan agar, selulase, karakterisasi , isolat PMP 0126Y

ABSTRACT

From previous screening study, PMP 0126 has been identified as one of potentially isolate from medium scale agar processing industries in Pamengpeuk, Garut. However, PMP 0126 was not pure yet, containing 2 isolates PMP 0126 Y and PMP 0126W. PMP 0126 Y produced higher celullase compared to the PMP 0126W. Aims of this study was to produce and characterize PMP 0126Y ce/lulase and identify the isolate. Result showed that the cellulase was optimally produced on the third days of cultivation using 1% CMG medium. Crude enzyme worked optimally at temperature of 30 °C and pH 5, and the activity could be improved by addition of 5 mM CaCl

2 and

ZnCl2 Purification using anion exchanger could improve the activity 15 times with yield of 20%. PMP 0126Y produced 3 ce/lu/ases with estimated molecular weight of 39, 30 dan 14 kDa. The crude enzyme could degrade the agar processing waste as good as CMC, indicating that this enzyme could be used as saccharification agent for bioethanol processing from agar processing waste. Identification study showed that this isolate was 96% similar to Chryseobacterium indo/ogenes McR-1.

KEYWORDS: agar processing_ waste, ce/lu/ase, characterization, PMP 0126Y isolate

PENDAHULUAN

Ke:menterian Kelautan Periki:i11an telah mencanangkan produksi hasil kelautan dan perikanan tennasuk rumput laut, sebesar 353% sampai dengan

Tahun 2014. Pusat-pusat budidaya rumput laut telah dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia dan rencana pengembangan skala usaha industri pengolahan rumput laut baik yang telah ada maupun yang akan dikembangkan telah direncanakan oleh

103

Page 5: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

JPB Perikanan Vol. 8 No. 2 Tahun 2013: 103-114

Direktorat Pengolahan Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (Anon., 2012).

lndustri agar dilaporkan menghasilkan limbah sebesar 65-75%, yang masih memiliki selulosa sebesar 19,7% (Kim et al., 2008), selulosa merupakan jenis karbohidrat terbanyak nomor 2 selelah kitin. Salah satu alternatif pemanfaatan limbah rumput laut dari industri pengolahan rumput laut yaitu dengan memproses selulosa yang masih terkandung dalam limbah dengan jumlah yang cukup besar menjadi etanol. Pemanfaatan limbah selulosa dan bakteri penghasil enzim penghidrolisis selulosa dapat memberikan peluang pada pengembangan bioenergi dari bahan hayati laut.

Proses hidrolisis selulosa dapat dilakukan dengan menggunakan asam dan suhu tinggi. Proses ini relatif mahal karena membutuhkan energi yang besar serta dapat mengakibatkan degradasi produk monosakarida yang dihasilkan sehingga produk yang dihasilkan rendah. Selain itu, Riyanti (2008) melaporkan efisiensi proses hidrolisis dengan asam masih rendah karena proses yang dilakukan cukup panjang dan m~mbutuhkan banyak tahapan. Kekurangan lain dari proses ini antara lain yaitu penanganan limbah asam yang tidak mudah. Hidrolisis selulosa dengan menggunakan enzim selulase mulai dikembangkan pada tahun 1980-an (Coral et al. , 2002). Hidrolisis secara enzimatik melibatkan proses yang lebih ramah lingkungan, efisien, dan murah karena tidak memerlukan energi linggi.

Enzim selulase merupakan sistem enzim yang terdiri atas tiga tipe enzim utama yaitu endo-{3-glucanase (EC 3.2.1.4), exo-{3-glucanase (EC 3.2.1 .91) dan {3-glucosidase (EC 3.2 1.21 ). Endo-{3-glucanase, 1.4-/3-D glucan glucanohydrolase, CMCase. Cx: "random" memutus rantai pada selulosa dan menghasilkan glukosa dan oligosakarida . Exo-{3-glucanase , 1, 4-{J-D-glucan ce/lobiohydrolase , avicelase. C1 akan menghidrolisis selulosa dari sisi non reduksi, menghasilkan selobiosa sedangkan 13-glucosidase, cel/obiase akan menghidrolisis cellobiosa menjadi glukosa (Crueger & Crueger, 1984; Anon., 2013). Ketiga enzim ini bekerja secara sinergis mendegradasi selulosa dan melepaskan gula reduksi (selobiosa dan glukosa) sebagai produk akhirnya. Enzim selulase akan memutuskan ikatan glikosidik o.-1,4 di dalam selulosa yang memiliki ikatan a-1,4-glikosidik pada polimer glukosanya sehingga menjadi gula sederhana turunannya.

Penapisan selulase di Indonesia telah dilakukan di antaranya dari tanah (Meryandini et al., 2009; Lisdiyanti et al., 2012). Mangunwardoyo et al. {2011) telah melaporkan selulase dari yeast yang telah diisolasi dari tanah, air sungai dan sedimen Taman

104

Nasional Gunung Halimun (TNGH). lsolasi selulase bakteri dari lingkungan laut dari rumput laut Ulva lactuca telah dilaporkan oleh Trivedi et al. (201 1 ). Shanmunghapriya et al. (2010) telah mengisolasi selulase dari spans laut Dendrilla nigra, sedangkan Gao et al. (2010) melaporkan bakteri selulolitik dari tanah sekitar mangrove.

Dari kegiatan sebelumnya, penapisan bakteri selulolitik telah dilakukan utamanya dari rumput laut dan limbah pengolahan rumput laut (Munifah et al., 2011 ). Dari kegiatan tersebut didapatkan salah satu bakteri yang memiliki potensi sebagai bakteri selulolitik, yaitu isolat PMP 0126 yang berhasil diisolasi dari limbah pengolahan agar-agar rumput laut Glacilaria sp. dari daerah Pameungpeuk, Ga rut Jawa Barat (Munifah et al., 2011 ). Ide dilakukannya isolasi bakteri dari limbah rumput laut ini yaitu diperolehnya bakteri selulolitik hasil isolasi untuk mende9radasi selulosa dari limbah rumput laut ekonomis maupun rumput laut non ekonomis sebagai agen sakarifikasi untuk produksi bioetanol. Sebagair.iana dilaporkan oleh FAO (Anon., 2013) bahwa keberhasilan penggunaan selulosa untuk sumber karbon yang bersifat dapat diperbaharui (bioenergi) sangat tergantung dari teknologi proses yang secara ekonom1s menguntungkan untuk produksi selulase. Selulase yang diproduksi secara lokal diharapkan akan banyak mengurangi beban biaya produksi bioenergi/ bioetanol.

lsolat PMP 0126 ternyata belum murni, dan hasil pemisahan lanjutan mendapalkan 2 isolat bakteri dari isolat PMP 0126, yaitu 1solat bakteri 0126Y drin 0126W. Dari hasil pengujian kualitatif menunjukkan bahwa isolat PMP 0126Y memiliki kemampuan lebih besar dalam memecah selulosa, yaitu menghasilkan indeks selulolitik sebesar 1,9 dibanding isolat PMP 0126W yang menghasilkan indeks selulolitik sebesar 1. Berdasarkan hasil pengujian kualitatif tersebut, maka selanjutnya isolat PMP 0126Y digunakan untuk penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah memproduksi dan mengkarakterisasi enzim selulase yang dihasilkan oleh isolat PMP 0126Y serta melakukan identifikasi bakteri tersebut.

BAHAN DAN METODE

Penyegaran dan identifikasi isolat PMP 0126Y

lsolat PMP 0126Y disegarkan dengan cara menumbuhkan isolat pada media padat berisi nutrient agar(NA) dan diinkubasi pada suhu 37 °C (24 jam). ldentifikasi berdasar gen 16S-rDNA dilakukan mengikuti Suwanto et al. (2000). Analisis Cluster

Page 6: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

Karakterisasi Enzim Selulase PMP 0126Y dari Limbah Pengolahan Agar (Ekowati Chasanah et al.)

terhadap urutan (sekuens) basa pada gen hasil amplifikasi PCR dilakukan menggunakan European Bioinformatics Institute (http://www.ebi.ac.uk) dan National Center Biotechnology Information (NCBI), sedangkan pembuatan pohon kekerabatan (phylogenetic tree) dilakukan menggunakan program Treecon (Van de Peer & De Watcher, 1993).

Kurva pertumbuhan dan waktu produksi enzim

Kurva pertumbuhan isolat PMP 0126Y dilakukan mengikuti Lee (2006) dengan cara menumbuhkan 1solat ke datam 10 ml nutrient broth (NB) dan diinkubasi setama 12-14 jam. Kultur diinkubasi pada suhu 30°C di dalam penangas goyang (Shel Lab) dengan l·~ecepatan agitasi 150 rpm. Sampling dilakukan selama 27 jam dengan rentang waktu sampling 3 jam untuk diukur nilai Optical Density (OD) pada panjang ).._,.. 600 nm. Penghitungan jumlah koloni total pada cawa!" (TPC) juga dilakukan untuk memperkirakan jumlah sel bakteri psda satiap nilai OD yang dihas1lkan.

Penentuan waktu produksi enzim selu lase mengguna1<an starter 10% yang dilakukan pada skala 25 ml media cair yang mengandung CMC 1 % dalam 250 m1 erlenmeyer. Pengambilan sampel dilakukan setiap hari selama 6 hari waktu inkubasi. Larutan sampel disentrifugasi pada suhu 4 °C dengan kecepatan 9000 xg selama 1 O menit, dan supernatan yang dihasilkan berupa enzim kasar ekstraseluler yang kemud1ar diuji aktivitasnya

Pengu1ian aktivitas enzim

Penguji<m aktivitas enzim dilakukan cengan mengguna1<an metooe UN:::i vvooa l 1 ~tlts J da/ar1 Antin (2006) yang dimodifikasi. Substrat (1,8 ml) dalam 0, 1 M bufer sitrat fosfat pH 5 ditambah dengan 0,2 ml enzim kasar, dikocok kuat dengan vortex, selanjutnya diinkubasi selama 30 menit pada suhu 30 °C Reaksi enzim dihentikan dengan mencelupkan (10 rnenit) campuran reaksi ke dalam penangas berisi air mendidih. Setelah itu , diambtl campuran reaksi sebanyak 1 ml, ditambah dengan 1 ml ONS, dan dipanaskan dalam air mendidih selama 15 menit. Setelah dingin, absorbansi diukur pada A."" 575 nm. Perlakuan kontrol dan blanko dilakukan secara bersamaan dengan tahapan yang sama. Pada kontrol, enzim yang akan direaksikan dengan substrat telah diinaktivasi terlebih dahulu dengan memanaskan enzim selama 15 menit dalam air mendidih. Sedangkan pada blanko, larutan enzim diganti dengan akuades untuk direaksikan dengan substrat. Aktivitas seiuiase dinyatakan dalam satuan internasional yaitu U/ml. Satu unit merupakan jumlah enzim yang dibutuhkan untuk memecah 1 µmol selulosa menjadi

gula pereduksi per menit pada kondisi pengujian. Aktivitas enzim dihitung berdasarkan lrawan et al. (2008).

Pemurnian Enzim Selulase

Pemurnian enzim dilakukan dengan metode penukar ion mengikuti Li-Jung et al. (2010) dengan modifikasi. Pemurnian dilakukan dengan menggunakan Akta purifier. Sebagai fase diamnya adalah DEAE Sepharose1"' Fast Flow (Amersham­Bioscience, Upsalla Sweden), dan buferTris-HCI 0,05 M pH 8 dengan gradien konsentrasi NaCl dalam Tris­Cl 0,05 M pH 8 sebagai fase geraknya. Elusi protein enzim target dilakukan dengan mengalirkan gradien NaCl 0-0,SM.

Analisis Elektroforesis SOS-PAGE dan Zimogram

SOS-PAGE dilakukan menurut Bollag & Edelstein (1991) dengan menggunakan 10% poliakrilamida sebagai gel pem1sah dan 4% pohakrilam1da sebaqai gel pengumpul atau penahan. EleKtroforesis dilakukan pada tegangan 100 volt dan 50 mA di dalam p1rant1 elektroforesis (Amersham Bioscience, Swedia).

Zimogram dilakukan dengan mengembangkan metoda Nack-Shick et al. (2006). Substrat 0.1 % ditambahkan pada gel, dan setelah selesai proses elektrofores1s, renaturas1 dilakukan pada gel yang mengandung substrat tersebut dengan cara merendam gel di dalam 2,5% Triton X-100 sela1Ta satu jam sambil digoyang konstan. Gel ditiriskan dan direnaam dalam 0,05 M bufer sitrat posfat pH 5 selama 1,5-2 jam sambil digoyang perlahan dalam inkubator goyang pada suhu 30 °C. Kemudian gel diwarnai dengan 0 1 % congo red sel<-lma 30 menit, selanJutnya dir"'"d::1r' ri"' ., 1 r1 l'I r1.;;et;;n-c1• "'eni• 7o,.,~

bening disekitar pita menunjukkan adanya aktiv1tas enzim.

Pengukuran Kadar Protein

Pengukuran kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode Bradford (1976).

Karakterisasi Enzim

Penentuan pH optimum dtlakukan dengan mereaksikan enzim dan substrat yang memiliki berbagai tmgkatan pH yaitu pH 3, 4, 5 (0,05 M bufer asetat), pH 5, 6, 7 (0,05 M buffer sitrat fosfat), dan pH 7, 8, 9 (0,05 M bufer Tris HCI). Penentuan suhu optimum dilakukan dengan mereaksikan substrat dan enzim pada tingkatan suhu antara 30 °C sampai dengan 90 °C dengan selang 1 O °C selama 30 men it waktu inkubasi. Pengukuran stabilitas panas enzim dilakukan dengan memanaskan enz1m selulase selama 15, 30, 45, 60, 9Q, 120, dan 240 menit pada suhu optimum enzim.

105

Page 7: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

JPB Perikanan Vol. 8 No. 2 Tahun 2013: 103-114

Pengujian substrat spesifik dilakukan dengan menguji selulase PMP 0126Y pada berbagai substrat (CMC teknis dan CMC murni, avisel, kertas Wathman filter paper No. 1, limbah rumput laut pengolahan agar PT. Agarindo, limbah rumput laut pengolahan agar Pemeungpeuk dan limbah pengolahan alginat dari rumput laut Sargassum). Aktivitas diukur pada kondisi (suhu dan pH) optimal enzim tersebut. Kestabilan enzim pada bahan aditif dilakukan dengan menggunakan 5 mM dan 10 mM ion logam KCI, NaCl (monovalen), CaCl2 2H20, MgS04·7H20 , ZnCl

2 (divalen), dan FeS04·7Hp (trivalen).

HASIL DAN BAHASAN

lsolat PMP 0126Y yang digunakan pada penelitian merupakan hasil pemurnian ulang isolat PMP 0126 penghasil enzim selulase yang telah diisolasi dari limbah pengolahan rumput laut hasil penapisan sebelumnya (Munifah et al., 2011 ). Dari 2 hasil pemurnian ulang diperoleh 2 isolatyaitu PMP 0126Y dan PMP 0126P, selanjutnya isolat PMP 1026Y dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini dan dilakukan identifikasi ulang. Dari hasil pewarnaan gram, isolat PMP 1026Y adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek. Berdasarkan identifikasi menggunakan primer 16S r-DNA, isolat PMP 0126Y memiliki kemiripan sebesar 96% dari 1282 nukleotida yang overlapped (bertumpang tindih) dengan 1234

nukleotida dari bakteri Chryseobacterium indologenes galur McR-1. Gambar 1 memperlihatkan pohon filogenetik yang menggambarkan posisi isolat PMP 0 126Y dengan beberapa bakteri genus Chryseobacterium dan bakteri penghasil enzim selulase.

Y1-Tsung et al. (2010) melaporkan bahwa 6 species Chryseobacterium yang sebelumnya masuk dalam genus Flavobacterium merupakan bakteri yang non­motile, positif katalase, positif oksidase, positif penghasil indol dan tidak mampu menggunakan glukosa dalam fermentasi. Chryseobacterium indologenes dapat ditemukan di alam secara mudah, tetapi bukan termasuk bakteri yang keberadaannya normal dan jarang yang bersifat patogen pada manusia, tetapi bersifat patogen di ikan. Karena itu, keberadaan bakteri ini di limbah pengolahan agar bukan indikasi limbah tersebut sudah tercemar oleh kotoran ataupun penanganan manusia, tetapi lebih pada keberadaan bakteri ini yang mudah ditemukan di alam dan kebetulan sesuai dengan kondisi limbah tersebut. Sampai dengan saat ini belum diperoleh informasi tentang selulase dari bakteri tersebut. Chryseobacterium sp tel ah dilaporkan Riffel & Brandelli , 2002 dalam El-Ayouty et al. (2012) menghasilkan keratinase. Akan tetapi, selulase dari Flavobacterium sp. F 52 telah dilaporkan (Tsuji et al., 2013).

~ .----------------- £sc•trldli•<oU

106

4------------c~:~::::ftM•~ 61 .---------- Cl#Jlrl"""'IAmn0<tlJMm

100 C1riJlJ1Sp-11Ju

BedUJISJMblll.is

100 • &nlJJIS Olf9-oll.f 111t{llrif1U

Gambar 1. Puhon filogenetik isolat PMP 0126Y. Figure 1. Phylogenetic tree of iso/at PMP 0126Y.

Page 8: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

Karakterisasi Enzim Se/u/ase PMP 0126Y dari Limbah Pengolahan Agar (Ekowati Chasanah et al.)

Has ii isolasi selulase dari tanah peat menghasilkan bakteri setutolitik Bacillus pumilus, Bacillus cereus, Paenibacillus e/gii, dan Bacillus sp. lainnya, di mana selulase yang dihasilkan dilaporkan bersifat thermozyme (Lisdiyanti eta/., 2012). Dokumen FAO Corporate Document Repository tentang Renewable biological systems for alternative sustainable energy production menyebutkan bahwa fungi, Actinomycetes dan bakteri merupakan mikroorganisme penghasil selulase yang representatif, dan untuk bakteri penghasil selulase maka jenis yang sudah tercatat adalah Clostridium thermocellum, Ruminococcus a/bus, Streptomyces sp. (Anon., 2013). Trivedi et al. (2011) melaporkan bakteri selulolitik dari rumput laut U/va lactuca yang memiliki kemiripan dengan Bacillus lectus strain SV6. Shanmunghapriya et al. (2010) telah mengisolasi bakteri selulolitik Marinobacter sp. (MSI032) dari spans laut Dendrilla nigra, sedangkan Gao et al. (2010) metaporkan Vibrio penghasit selulase dari tanah sekitar mangrove di perairan Cina.

Ketika ditumbuhkan pada media cair yang mengandung CMC 1%, isolat PMP 0126Y segera masuk pada fase logaritmik sampai dengan jam ke 21 (hari 1 ), yang dilanjutkan dengan fase stasioner dan fase declining (Gambar 2). Dari Gambar 2 terlihat bahwa enzim selulase diproduksi mulai dari fase logaritmik dan maksimum pada fase stationer. lni mengindikasikan bahwa isolat PMP 0126Y yang diperoleh dari limbah pengolahan agar memproduksi selulase sebagai alat untuk memecah selulosa yang ada di limbah tempat hidupnya untuk mendapatkan sumber C dan N sederhana yang bisa digunakan isolat tersebut untuk tumbuh. Produksi maksimal yang terdeteksi pada fase stationer diduga merupakan kumutatif dari produksi sebelumnya yang setanjutnya

0.140

C 12C

C lGO

O.C80

O.C60

0.040

pada fase stationer enzim tersebut akan dirombak oleh isolat PMP 0126Y untuk mempertahankan hidupnya diantaranya sebagai sumber energi. Pada waktu puncak tersebut, aktivitas enzim yang didapatkan adalah 0, 120 U/ml. Penelitian yang dilakukan oleh Lisdiyanti et al. (2012) yang mengisotasi selutase dari bakteri setutolitik dari tanah peat (gambut) menghasilkan selulase dengan aktivitas 0,021-3,082 U/ml. Jika dibandingkan dengan setulase dari tanah peat, selulase dari limbah pengotahan rumput taut untuk produksi agar masih dalam kisaran rendah , meskipun masih dalam kisaran aktivitas selulase yang didapat dari tanah gambut (peat). Produksi enzim ini selain ditentukan oleh jenis sumber enzim juga sangat ditentukan oleh komposisi medium (Deswal et al. 2011) dan konsentrasi substrat (Reczey et al. 1996).

Selanjutnya enzim diproduksi dengan menggunakan waktu produksi 3 hari (Gambar 2), suhu kultivasi 30 °C di dalam penangas goyang (Shel Lab) dengan kecepatan agitasi 150 rpm . Enzim ekstraseluter kasar yang diperoleh kemudian dimumikan. Pemumian dilakukan dengan penukar ion. dengan menggunakan matriks DEAE Sepharose Fast Flow sebagai fase diam, dan gradien NaCl sebagai fase geraknya. Gambar 3 memperlihatkan profit pemurnian enzim selulase PMP 0126Y, yang memperlihatkan 1 puncak protein pada fraksi 49-51 elusi NaCl 0,406M. Pengecekan dengan SOS-PAGE dan zimogram memperlihatkan bahwa hasil pemumian fraksi 49-51 , 52, dan 55 masih memiliki banyak pita protein, yang menandakan bahwa pemurnian dengan sistem tersebut masih belum mampu memurnikan secara maksimal. Secara umum, strategi pemurnian enzim metibatkan lebih dari 1 tahap pemumian. Pada

r : ~ t 8 9

r S.8

8.7

0 1 2 3 4 5 6

Waktu/Time (hari/days)

.,.._ Aktivitas Spesifik - Log Sel

Gambar 2. Kurva produksi setulase dan jumlah set bakteri PMP 0126Y selama pertumbuhan. Figure 2. Production curve and cell number of PMP 0126Y isolate during cultivation.

107

Page 9: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

·,

JPB Perikanan Vol. 8 No. 2 Tahun 2013: 103-114

sistem pemurnian yang dilakukan oleh Li-Jung et al. (2010), enzim selulase murni terlihat sebagai pita tunggal ketika digunakan 2 sistem pemurnian yaitu sistem penukar ion yang dilanjutkan dengan sistem gel filtrasi. Hasil pemurnian selulase dari isolat PMP 0126Y telah diringkas pada Tabel 1, yang menunjukkan bahwa pemurnian dengan tahap pemurnian tunggal DEAE Sepharose™ Fast Flow tersebut mampu meningkatkan aktivitas enzim sebesar 16x dengan perolehan 5%.

Hasil SOS-PAGE telah dikonfirmasi dengan analisis zimogram. Hasil zimogram ditandai dengan terbentuknya zona bening pada gel yang menunjukkan adanya aktivitas selulase yang dihasilkan pada gel akrilamida yang mengandung O, 1 % CMC. Hasil optimasi untuk mendapatkan visualisasi yang baik

.....

menunjukkan bahwa waktu inkubasi gel terbaik adalah 60 menit dengan menggunakan bufer sitrat fosfat pH 5, setelah tahapan renaturasi dengan larutan 2,5% Triton X-100 selama 1 jam. Hasil zimogram menunjukkan adanya tiga molekul protein yang memiliki aktivitas selulolitik dengan perkiraan berat molekul 39, 30, 14 kOa yang dihitung berdasarkan mobilitas relatif terhadap standar protein (Garn bar 5 ). Hasil penelitian tentang selulase dari Bacillus subtilis Y J1 melaporkan berat molekul selulase 32,5 kDa. Selulase dari Bacillus subtilis Y J1 dilaporkan telah dimurnikan dengan sistem yang sama yaitu penukar ion, dengan Macro-Prep yang dilanjutkan dengan sistem pemurnian dengan gel filtrasi Bio-Gel P-100 kromatografi dan berhasil mendapatkan satu pita protein mumi. Perolehan yang didapat dengan sistem tersebut adalah 9,7% (Li-Jung et al. , 2010) .

r \_ -··-- -- ·- -- ~'-----. L ;+,hfili iili i\i{ij ii ii ti r\ii ilii iiiUP i ;;., ifil• iii 1 iiiji i ;;;;iii jj1 i ti

Gambar 3. Profil elusi selulase menggunakan penukar ion dengan matriks DEAE Sepharose. Figure 3. Elution profile of cel/u/ase using ion exchange of DEAE Sepharose matrix.

Tabel 1. Pemurnian partial selulase PMP 0126Y Table 1. Partial purification of PMP 0126Y Celulase

Aktivitas Konsentrasi Aktivitas Aktivitas/

Total/ Protein/ spesifik/ Hasi/I Ta hap/Steps

Volume Activity Total Protein Specific

Kemurnianl Yield

(ml) (Ulm/) Activity Concentration Activity

Purity (%)

(U) (mg/ml) (Ulmg)

Ekstrak kasar/ 500 0.064 32.00

Crude Extract 0.750 0.086 1.000 100

Ultrafiltrasi/ 50 0.112 5.60

Ultrafiltration 0.822 0.136 1.581 17.5

Penukar ion/Ion exchanger (fraksi/ 12 0.143 1.72 0.105 1.362 15.84 5.4 fraction 49,50,51)

108

Page 10: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

Karakterisasi Enzim Selulase PMP 0126Y dari Limbah Pengo/ahan Agar (Ekowati Chasanah et al.)

li>a

kD3 9--; -

97,0 66

66 0

45.0 ~( ~-

30,0 :1) .... -

-~0. 1 :O.l -t- -

H,~ I I .~--.-

A B c D E A B (' !) £

Gambar4. Hasil elekroforesis SOS PAGE enzim dari PMP 0126Y. (A: Penanda berat protein rendah, B: Ultrafiltrasi, C: Fraksi 55, D: Fraksi 49-51 , E: Fraksi 52).

Figure 4. Result of SOS-PAGE of PMP 0126Y cellulase crude enzyme. (A: Protein low molecular weight marker, B: Ultrafiltrasi , C: Fraksi 55, D: Fraksi 49-51 , E: Fraksi 52).

Hasil karakterisasi enzim selulase menunjukkan bahwa enzim kasar dan enzim murni dari isolat PMP 0126Y menunjukkan pH optimum yang sama yaitu pH 5 dengan bufer yang sesuai untuk selulase ini adalah bufer fosfat (Gambar 6). Namun demikian, terdapat pergeseran suhu optimal; enzim kasar memiliki suhu optimal untuk aktif pada 30°C, sedangkan enzim yang telah dimurnikan secara parsial dengan kromatografi penukar anion memiliki suhu optimum 40°C (Gambar 7). Perbedaan ini disebabkan oleh masih terdapatnya materi-materi lain seperti garam, protein non enzim dan lain-lain, yang dapat berfungsi sebagai pelindung enzim.

Hasil uji stabilitas pada variasi suhu 30, 40, dan 50°C yang diperlakukan pada enzim selulase PMP 0126Y memperlihatkan bahwa sampai dengan 4 jam pengamatan enzim selulase relatif stab ii pada ketiga suhu tersebut yang diperlihatkan dengan hasil bahwa ketiga perlakuan panas tidak menyebabkan penurunan aktivitas dibawah 50% aktivitas awal (Gambar 8).

Dibandingkan dengan selulase dari Bacillus flexus NT yang diisolasi dari rumput laut Ulva flexus yang dibusukkan, terdapat perbedaan karakter seperti berat molekul , pH dan suhu optimal enz1m. Selulase dari limbah pengolahan agar yang diproduksi dari isolat PMP 012Y memiliki pH optimal 5dan bekerja optimal

Gambar 5. Hasil zimogram PMP 0126Y (M: Marker protein rendah A : Enzim hasil ultrafiltrasi, B : Fraksi KPA.

Figures. Zymogram analysis of PMP 0126Y ce/lulase (Note : M =marker; A =crude enzyme; B =enzyme from partial purification).

109

Page 11: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

JPB Perikanan Vol. 8 No. 2 Tahun 2013: 103-114

- 0.16 E -... 0.14 2

~ ::>

:;:: 0.12

(.) 0.10 ~ Cl>

0.08 ~ "' 0.06 Jj -... 0.04 E .N

0.02 c w

"' 0 ~ ·z 3 4 5 5 6 ~ <( AsetaVAcetat FosfaV

phosphate

7 7 8

SitraVCitrate

9

• Enzim kasar/ Crude enzyme

Enzimmumi/ Pure enzyme

pH dan Bufer yang Oigunakan/pH and Buffer Used

Gambar 6. Pengaruh pH terhadap aktivitas selulase PMP 0126Y. Figure 6. Effect of pH to PMP 0126Y cel/ulase.

pada suhu 30°C, mampu ditingkatkan aktivitasnya oleh ca2• dan Mg2• pada konsentrasi 5 mM dan sedikit aitingkatkan oleh adanya Fe2• dalam bentuk garam klorida. Selulase dari rumput laut Viva nexus memiliki ketahanan terhadap alkali dan garam, pH dan suhu optimal 10 dan 45°C, serta dapat ditingkatkan aktivitasnya oleh ion logam Cd2' dan u2•dan dihambat oleh adanya Cr2+, Co2•, Zn2 (Trivedi et al. 2010). Perbedaan karakter tersebut disebabkan oleh ban yak hal , diantaranya oleh sumber mikrobanya, serta lingkungan tempat mikroba tersebut diisolasi. Pada se:utase yang diperoleh dari limbah pengolahan agar, tampaknya proses pengolahan mempengaruhi karakter dari selulasenya. Peningkatan aktivitas oleh ion Ca diduga karena dalam proses pengolahan agar,

:::::--~ 0160

~ ~ 0.140 ·:;; ·-... <..> 0.120 ~ Q) (/) O. l CO

~ ::::: 0080

Cl> (.) Q; 0060 (J)

co "S Qj

o C.10

(/)

(J) 0020

~ ·:;: ooco ~ <(

terdapat ta ha pan penambahan Cao (5%) yang ditujukan sebagai agen pemucat rumput laut, yang dilakukan pada tahap awal pengolahan. Selanjutnya dalam proses ekstraksi agar, pH yang digunakan adalah pH 5-6 yang ditujukan untuk mempermudah proses tersebut dengan penambahan asam asetat atau fosfat. Karena itu dapat dimengerti bahwa bakteri yang tumbuh di limbah pengolahan agar akan beradaptasi dengan kondisi ini dan mengeluarkan enzim yang beke~a yang sesuai dengan kondisi yang ada, diantaranya bekerja dengan baik pada pH 5 dan adanya ion kalsium. Selain Ca, ion Mg juga mampu meningkatkan aktivitas selulase yang diisolasi dari limbah pengolahan agar ini.

SC 6C 80 90

_.,. Ultrafil trasi/ Ultraf1/tration

Enzim murni/ Pure enzyme

Suhu/Temperature (°C)

Gambar 7. Pengaruh suhu terhadap aktivitas selulase kasar dan murni dari PMP 0126Y. Figure 7. Effect of temperature on crude and relatively pure PMP 0126Y ceflulase.

110

Page 12: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

Karakterisasi Enzim Se/ulase PMP 0126Y dari Limbah Pengo/ahan Agar (Ekowati Chasanah et al.)

......... ';$!. 0 - ::ri

~ :;:; ~i::c 0 <{

'"' ~ !'° >...·

:;:;

I .!11 s~ Q)

ct

L. ~ -ro •' Q) a:: 5J t/)

2 ·;; 5~

~ -, ;:: <{ ' •V

Perlakuan Pemanasan/Heat Treatment (meniUminute)

-.-30 -.-40 -.-so

Gambar 8. Stabilitas panas selulase PMP 0126Y pada suhu 30°C, 40°C, so•c. Figure 8. Heat stability of PMP 0126Y cellulase on 30°C, 40°C, so•c.

~ ---200

.0 ·s ·.c 0 150 <{ Q) ::::. :;:; .!11 (l,) 10[1 ct --!!::: -ro Q)

50 0::: t/)

2 ·;; ·;:;

iJ .:x -::{

Control KCI tJaCI l.;1gCl2 FeCl3 CaCl2 ZnCl2 EDT.A

Ion logam/Metal ion

D 5mM • 10 mM

Gambar 9. Penambahan ion logam (5 mM dan 10 mM) dan pengaruhnya terhadap akltvitas relatif selulase kasar dari isolat PMP 0126Y.

Figure 9. Addition of ion metal (5 mM dan 10 mM) and its effect to relative activity crude PMP 0126Y cellulase.

Pengujian aktivitas selu lase PMP 012Y pada berbagai substrat menunjukkan bahwa aktivitas tertmggi dihasilkan ketika substrat yang aigunakan adalah limbah rumput laut dari pengolahan agar yang diikuti dengan limbah rumput laut dari pengolahan agar­agar PT. Agarindo, keduanya tefah di pretreatment dengan NaOH 6% (Gambar 10). Pre treatment ditujukan untuk menyiapkan substrat agar lebih mudah diakses oleh enzim selulase. Dibanding dengan biomassa lignoselulosa dari limbah pertanian,

biomasa dari makroalga atau rumput laut memiliki keuntungan dengan rendahnya lign1n dan hemiselulosa. Dafam peneliltan ini terhhat bahwa selulase PMP 0126Y mampu menggunakan limbah rumput laut yang tefah diperlakukan dengan NaOH 6% sebagai substrat sebaik CMC murni dan teknis (Gambar 10).

Hasif penelitian ini rnenunjukkan bahwa sefulase PMP 0126Y ini memifiki potensi untuk menjadi agen pendegradasi substrat limbah pengolahan rumput laut,

111

Page 13: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

JPB Perikanan Vol. 8 No. 2 Tahun 2013: 103-114

0.160 .,

:::::- 0.140

-- ~ 0 120 Q) ::::> C/) -~ :E- 0.100 :J a> :::.. ·- 0.080 Cl) .....

(.) C/) ~ ro Cl> 0.060 ...... ·;; Cl)

:;:; ~ 0.040 .:.:. <{ ~

Cl> 0 020 (.)

0.000 a b c d e g h

Substrat Selulosa/Ce//u/osa Substrate

Gambar 10. Aktivitas selulase PMP 0126Ypada berbagai substrat (a. CMC murni, b. CMC teknis, c. Avisel , d. kertas Whatman No.1, e. limbah agar-agar PT Agarindo NaOH 6%, f. limbah alginat, g. limbah agar-agar Pameungpeuk NaOH 4%, h. limbah agar-agar Pameungpeuk NaOH 6%, dan i. limbah agar-agar Pameungpeuk H

2S0

4 1 %).

Figure 10. PMP 0126Y cel/u/ase activity toward various substrate (a. pure CMC, b. technical CMC, c . A vise/, d. Whatman No. 1, e. PT Agarindo waste treated with Na OH 6%, f. Alginat processing waste, g. Waste from Pameungpeuk agar processing treated with Na OH 4%, h. Waste from Pameungpeuk agar processing treated with Na OH 6%, dan i. Waste from Pameungpeuk agar processing treated with H 2SO, 1%).

yang terlebih dulu di perlakukan dengan NaOH 6%. Aplikasi enzim ini dalam skala lebih besar diperlukan untuk pengecekan efisiensi enzim tersebut sebagai agen biologi dalam proses sakarifikasi limbah rumput laut pengolahan agar.

KESIMPULAN

Dari isolat PMP 0126Y yang memiliki kemiripan 96% dengan Chryseobacterium indologenes galur McR-1 telah d1dapatkan enzim selulase yang dapat bekerja optimal pada pH 5 dan suhu 30°C. Enzim selulase tersebut mampu ditingkatkan aktivitasnya oleh Ca2• dan Mg2• pada konsentrasi 5 mM dalam bentuk garam klorida. Keberadaan ZnCl2 baik pada konsentrasi 5 maupun 10 mM dapat menghambat aktivitas enzim. lsolat PMP 0126Y memproduksi paling sedikit 3 selulase dengan perkiraan berat molekul 39, 30, dan 14 kDa yang dapat dideteksi dari analisis zimogram. Selulase PMP 0126Y ini memiliki potensi sebagai agen sakarifikasi selulosa yang ada pada limbah pengolahan rumput laut karena mampu menghidrolisis limbah rumput laut sebaik substrat CMC.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 201i Roadmap Rumput Laut. Dirjen P2HP, KKP I

Anonymous. 2013~ FAO Corporate document Repository onRenewable biological systems for alternative

112

sustainable energy production.nttp: www. Publikasir/ 2013/bioethanol/3. 2%20Cellulase%20production. htm. Diakses pada tanggal 26 Juli 2013.

Arifin, H. 2006. Bacterial Cel/ulase from A Local Isolate Bacillus pumilus EB3. Tesis. Universitas Putra Malaysia, Kuala Lumpur.

Bollag, M.D. and Edelstein, S.J. 1991 . Protein Method. New York: Wiley-Liss.

Bradford, M.M. 1976. A Rapid and sensitive methode for the quantitation of micogram quantitaties of protein in utilizing the principle of protein-dye Binding. J. Anal Biochem. 72: 248-254.

Choi, Chung, N.S.D.M., Ryu, C.H. , Yoon, K.S., Maeng, P.J ., and Kim, S.H. 2006!' Identification of Three Extracellular Proteases from Bacillus subtilis KCTC 3014. J. Microbial. Biotechnol. 16(3): 457-464.

Coral. G., Arikan, B .. Nisa, U.M.,and Guvenmez, H. 2002. Some properties of crude carboxylmethyl cellulase of Asperglllus niger Z10 wild-type strain. Turk. J. Biol. 26: 209-213.

Crueger. W. and Crueger, A 1984. Biotechnology In Brock T.D. (ed.). Textbook of Industrial Microbiology. Sunderland: Minuaer Associates. 267-276 pp. v

Oeswal, 0., Khasa , Y.P., and Kuhad, R.C. 2011 . Optimization of cellulase production by a brown rot fungus Fomitopsis sp. RCK2010 under solid state fermentation. Bioresour. Technol. 102: 6065-607~

Gao, Z., Ruan, L. , Chen, X., Zhang, Y., and Xu, X. 2010. A novel salt-tolerant endo-beta-1,4-glucanase Cel5A in Vibrio sp. G21 isolated from mangrove soil. Appl. Microbiol. Biotechnol. 87(4): 1373-1382-.

lrawan, B., Sutihat, dan Sumardi. 2008~Uji aktivitas selulase dan lipase pada mikrofungi selama proses

Page 14: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

Karakterisasi Enzim Selulase PMP 0126Y dari Limbah Pengolahan Agar {Ekowati Chasanah et al.)

dekomposisi limbah cair kelapa sawit dengan Reczey, K., Szengyel, Z., Eklund, R., and Zacchi, G. 1996. pengujian kultur murni . Prosiding Seminar Hasil Cellulase production by Trichodermareesei. Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Bioresour. Technol. 57: 25-30. Lampung: Universitas Lampung. 284- 291 pp. Riyanti , E.I. 2008YBiomassa sebagai bahan baku

Kim, GS., Myung, K.S., Kim, Y.J . .J.:h, K.K., Kim, J.S. , Ryu, Bioetanol. Balai Besar Penelitian dan H.J .. and Kim, K.H. 2008. Methode of Producing Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Biofuel Using Sea Algae. World lntelectual Property Genetika Pertanian, lnstitut Pertanian 8ogor, 8ogor. Organization~eoul. Shanmunghapriya, S., Kira, G.S., Selvin, J., Thomas, T.A ..

Lee, Y.K. 2006. Bioprocess technology Jn Microbial and Rani C. 201 OYOptimization, Purification, and Biotechnology: Principles and Application, Edited by Characterization of Extracellular Mesophilic Alkaline Yun Kun Lee. World Scientific Publishing, sec.ed. Cellulase from Sponge-Associated Marinobacter sp. 23-72 pp. MSI032. Applied Biochemistry & Biotechnology.

Li-Jung Yin, Lin, H.H., and Xiao, Z.R. 2010~Purification 162(3): 625-640. and Characterization of A Cellulase from Bacillus Suwanto, Yogiana, Suryanto, D., Tan, I., and Puspitasari, Sub ti/is Yj 1. Journal of Marine Science and E. 2000. Se/ectes Protocols Training Course on Technology. 18(3): 466-471. Advances in Molecular Biology Techniques to Asses

Lisdiyanti, P.,;uyanto, E. , Gusmawati, N.F. , and Rahayu, Microbial Diversity. Bogor: SEAMEO-BIOTROP. p. 22-W. 2012. Isolation and characterization of cellulase 31 . produced by cellulolytic bacteria from peat soil of Trivedi, N., Gupta, V .. JSi;mar, M. , Kumari, P., Reddy, CRK., Ogan Komering llir, South Sumatera. International and Jha, 8. 2011.~n alkali-halotolerant cellulase from Journal of Environment and Bioenergy. 3(3): 145- Bacillus flexus Isolated from green seaweed Viva 153. lactuca. Carbohyd Polym. 83: 891-897.

Mangunwardoyo, W., AP.rilismulan, Oetari , A. , and Tsuji, A .. Tominaga, K., Nishiyama, N., and Yuasa, K. Sjamsuridzal W. 2011.\ Screening Cellulose Activity 201 3°'." Comprehensive enzymatic analysis of the of Yeast Isolated from Soil, Sediment and Water cellulolytic system in digestive fluid of the sea hare Riverfrom Taman Nasional Gunung Halimun, West Aplysia kurodai. Efficient Glucose Release from Sea Java, Indonesia. Malaysian Journal of Microbiology. Lettuce by Synergistic Action of 45 kDa 7(4): 210- 216. Endoglucanase and 210 kDa r..-Glucosidase. Plos

Meryandini, A., Widosari, W. , Maranatha, 8., Sunarti, T.C., One Journal. 8(6): e65418. Rachmania N., dan Satria, H. 2009.Visolasi bakteri Van de Peer Y. and De Watcher. 1993. TREECON: a selulolitik dan karakterisasi enzimnya. Makara Sains. software package for the construction and drawing 13(1 ): 33- 38. of evolutionary trees. Comput. Applic Biosci. 9: 177-

Munifah, I ., Chasanah, E. and Fawzya, Y.N. 2011.V 182· Screening of cellulolytic bacteria from Indonesia's Yassin, ~El-Ayouty, Amira EL-said, and Salama, A.M. marine environment. Di dalam: Prosiding Seminar 2012. Purification and characterization of a keratinase IS/SM (International Seminar of Indonesian Society from the feather-degrading cultures of Aspergil/us for Microbiology) ; Bog or, 26 Juni 2011 . Perhimpunan flavipes . African Journal of Biotechnology. 11 (9 ): Mikrobiologi Cabang Boger, 8ogor. 2313- 2319.

Choi, N.S .. Chung, D.M .. Ryu, C,H., Yoon, K.S., Maeng, Lina, Yi-Tsung .. Jeng Yuan-Yu ., Lin, M.L., Yua, KW., P.J., and Kim, S.H. 20067"1dentification of three Wang , F.D .. and Liu , C.Y. 201 0 . ....... Clinical and extracellular proteases from Bacillus subtilis KCTC microbiological characteristics of Chryseobacterium 3014. J. Microbio/. Biotechnol. 16(3): 457-464 indologenes bacteremia. J. Microbiol lmmunol Infect

43(6): 498-505.

11; ', '1 \ l / 1~

113

Page 15: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

Determinasi Konsentrasi Saksitoksin pada Kerang Hijau dari Pasar ........................ (Haryoto Kusnoputranto et al.)

DETERMINASI KONSENTRASI SAKSITOKSIN PADA KERANG HIJAU DARI PASAR DI SEKITAR TELUK JAKARTA

SERTA BAGAN DI TELUK LAMPUNG DAN TELUK PANIMBANG

Determination of Saxitoxin Concentration of Green Mussel Collected from Markets Around Jakarta, and from Original Sources at

Lampung Bay and Panimbang Bays

Haryoto Kusnoputranto1, Setyo S. Moersidik2, Murdahayu Makmur3·, dan Owiyitno4

1 Departemen Kesehatan Lingkungan FKM dan Program Studi l lmu Llngkungan PPS Unlversitas Indonesia. Gedung C Lt. 2 Kampus FKMUI Depok

z Departemen Teknik Lingkungan FT dan Program Studi llmu Lingkungan PPS Unlversitas Indonesia Gedung GK Lantai 1, Fakultas Teknik Kampus UI Depok 16424

3 Sadan Tenaga Nuklir Nasional, Kawasan PUSPIPTEK Gedung 20 & 65,Serpong Tangerang 15314 ' Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Penkanan. KKP.

JI. K.S. Tubun Petamburan VI, Jakarta Pusat 10260 • Korespondensi Penulis: [email protected]

Diterima: 6 Juh 2012. Oisetujui: 11 November 2013

ABSTRAK

Telah dilakukan determinasi konsentrasi saksitoksin (STX) dari 9 sarnpel kerang hijau yang dikumpulkan dari beberapa pasar di Jakarta (Cilincing, Dadap dan Muara Karang), Teluk Lampung dan Teluk Panimbang. Penentuan konsentrasi saksitoksin dilakukan dengan menggunakan detektor fluoresensi HPLC. Dari hasil pengukuran didapatkan bahwa konsentrasi saksitoksin pada sampel kerang Pasar Cilincing berkisar antara 6,9165-17,3387 µg STXeq per 100 g daging kerang, Pasar Dadap berkisar antara 7, 7 466-11, 7575 µg STXeq. per 100 g. Pasar Muara Ka rang sebesar 4,9280 µg STXeq. per 100 g, Teluk Lampung sekitar 7,2946 µg STXeq. per 100 g dan Teluk Panimbang sekitar 6,3876 µg STXeq. per 100 g. Mengacu SNI 3460.1 :2009 tentang Spesifikasi Daging Kerang Beku, konsentrasi saksitoksin dalam kerang hijau di daerah tersebut masih di bawah ambang yang diperbolehkan yaitu 80 µg STXeq. per 100 g daging kerang.

KATAKUNCI: saksitoksin, kerang hijau, HPLC

ABSTRACTS

Determination of saxitoxin (STX) concentration of 9 samples of green mussel collected from several markets in Jakarta (Cilincing, Dadap and Muara Karang), and from original sources at Lampung Bay and Panimbang Bay has been carried out using HPLC fluorescence detector. Results showed that the saxitoxin concentration of shellfish samples from Ci/incmg Market ranged from 6.9165-17.3387 µg STXeq. per 100 g, Dadap Market ranged from 7.7466-11.7575µg STXeq. per 100 g, Muara Karang Market approximately 4.9280 µg STXeq. per 100 g, Lampung Bay approximately 7.2946 µg STXeq. per 100 g, and Panimbang Bay approximately 6.3876 µg STXeq. per 100 g. Referred to SN/ 3460.1:2009 concerning with Frozen Shellfish Meat Specifications, the saxitoxin level in green mussels in these area is still below the threshold limit of 80 µg STXeq. per 100g.

KEYWORDS: sax/toxin, green mussel, HPLC

PENDAHULUAN

Kejadian ledakan alga (algal bloom), yang biasa dikenal dengan red tide meningkat sangat pesat akhir­akhir ini hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang menyebabkan rusaknya tatanan lingkungan perairan laut dan juga mengancam kesehatan

manusia melalui rantai makanan. Dari 5000 jenis alga yang diketahui, 300 diantaranya berpotensi untuk tumbuh dengan sangat pesat dan 40% diantaranya mempunyai kemampuan untuk menghasilkan toksin yang beris iko terhad.ap manusia melalui ikan , kekerangan atau jalur makanan lainnya (Hallegraeff, 1993).

115

Page 16: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

JPB Perikanan Vol. 8 No. 2 Tahun 2013: 11~123

Pada umumnya, toksin yang dihasilkan oleh alga terbagi dalam lima grup berdasarkan gejala yang dihasilkan, yaitu Paralytic Shellfish Poisoning (PSP), Diarhetic Shellfis/1 Poisoning (DSP), Amnesic Shellfish Poisoning (ASP), Ciguatera Shellfish Poisoning {CSP) dan Neurotoxic Shellfish Poisoning (NSP) (FAO), 2004 ). Toksin PSP, yang dikenal dengan nama saksitoksin (STX) dihasilkan oleh alga toksik seperti Alexandrium tamarense, Pyrodinium bahamense var Compressum (PbC), Gymnodinium catenatum dan beberapa dinoflagelata lain (Dam et al., 2009).

Alga toksik yang menghasilkan saksitoksin di Asia Pasifik didominasi oleh Alexandrium spp, dan di Australia didominasi oleh Gymnodium catenatum. Pyrodinium bahemense dominan di Asia Tenggara dan Pasifik Selatan termasuk Philipina, Malaysia dan Brunei. Di Jepang, Alexandrium catenella ditemukan pertama kali di Owase Bay, dan secara luas terdistribusi di sebagian besar bagian utara sampai selatan Jepang (Ashley et al., 2005). Saksitoksin banyak ditemukan di bivalva dan gastropoda (yang 111emangsa bivalva) dan melalui rantai makanan akan sampai ke manusia yang mengkonsumsi produk perikanan laut yang telah terkontaminasi oleh saksitoksin.

Saksitoksin dengan 20 derivatnya merupakan jenis toksin yang paling aktif dalam menghambat (blocking) saluran-saluran dari susunan saraf dan membran, menyebabkan mulai dari sensasi tebal di sekitar mulut sampai terjadi paralisis atau kelumpuhan pada otot jantung yang memicu kematian (EFSA, 2009). Saksitoksin berikatan dengan saluran sodium pada sel syaraf, kemudian menghambat jalur ion sodium. Satu molekul saksitoksin tunggal cukup untuk menghambat satu saluran ion sodium dan lebih beracun dibandingkan dengan gas syaraf sarin sehingga digolongkan ke dalam senjata biologi (Cbwinfo, 2009).

Saksitoksin berupa cairan tidak berwarna dengan bau menyengat (seperti asam cuka), dan mempunyai berat jenis 1 ,0 g/ml. Saksitoksin bersifat racun dan menyebabkan iritasi jika kontak dengan kulit, mata, pernafasan dan mulut. Senyawa ini mempunyai nilai LD

50 sebesar 263 g/kg bobot badan (oral mencit).

Saksitoksin mempunyai sifat fisik la rut dalam air dan metil alkohol, sedikit larut dalam etil alkohol dan asam asetat tetapi tidak larut dalam pela~ut organik (nonpolar). Senyawa ini mudah terhidrolisis dalam larutan basa dan toksinnya tidak aktif setelah dididihkan selama 3 sampai dengan 4 jam pada pH 3. Saksitoksin tidak dapat dihilangkan dari makanan laut baik melalui proses pemanasan maupun hidrolisis (Cbwinfo, 2009). .

116

Sampai pertengahan 1994, sebanyak 3.164 kasus keracunan toksin alga dilaporkan dan 148 orang meninggal dari kawasan Asia Pasifik (Corrales & Maclean, 2000). Sedangkan Ashley (2005) melaporkan bahwa pada tahun 1989, di Dongshan China, karena mengkonsumsi kerang toksik Venerupis philippinarum, menyebabkan satu orang meninggal dan 136 lainnya sakit serius. Pada tahun 1991, dua kejadian fatal dilaporkan karena mengkonsumsi Perna viridis yang mengandung toksin dari perikanan laut di Daya Bay, Provinsi Gandong. Dari 24 spesies kerang yang ditemukan, Chlamys nobilis dan P viridis yang paling toksik (Ashley et al., 2005).

Perpindahan dan penyebaran alga toksik di perairan biasanya melalui arus laut dan air ballast kapal. Penyebaran alga toksik di Indonesia bagian timur diperkirakan karena arus laut, sedangkan di Teluk Jakarta dan Teluk Lampung yang mempunyai aktifitas pelayaran yang tinggi , diasumsikan berasal dari dari air ballast kapal yang masuk ke pelabuhan.

Beberapa spesies alga toksik dijumpai di perairan Teluk Jakarta, seperti Protoperidinium spp, Gymnodinium spp, dan Alexandrium spp, walaupun masih dalamjumlah sedikit (Sutomo, 1993). Kematian puluhan ribu ekor ikan, udang, kepiting, kerang, dan remis yang terjadi di perairan Ancol Jakarta, pada bulan Mei dan November tahun 2004 diduga disebabkan karena ledakan alga sehingga ikan kekurangan oksigen atau tersumbatnya insang karena tingginya kelimpahan fitoplankton. Kelimpahan tercatat pada saat bulan Mei 2004 antara 2,5-4,2x1 as sel/I dengan 12 spesies, terdiri atas 4 spesies diatom and 8 spesies dinoflagelata. Pada November 2004, kelimpahan dinoflagelata sekitar 2,8x106 sel/I, dengan dominasi oleh Prorocentrum micans (2,3x10b sel/I) (Thoha et al., 2007). Sedangkan di Teluk Lampung pada tahun 1999 ditemukan alga PbC sebesar 8,9x104

sel/L dan meningkat lebih dari 2 kali lipatnya menjadi 2,3x109 sel/L pad a bu Ian April 2003 (Widiarti, 2004 ).

Kondisi perairan yang subur di teluk Jakarta perlu diwaspadai terhadap kemungkinan terjadinya blooming alga toksik terutama dinoflagelata. Saksitoksin dari alga dapat berpindah ke manusia melalui biomarker spesifik di perairan tersebut, seperti kerang hijau yang banyak di budidayakan di perairan Teluk Jakarta. Budidaya kerang hijau di Cilincing pada tahun 2006 menghasilkan 200.000 ton kerang hijau dari 1.396 bagan (BPS, 2011 ).

Penelitian mengenai kandungan saksitoksin pada kekerangan masih jarang dilakukan, walaupun kejadian keracunan kerang beberapa kali terjadi di Indonesia. Lusiastuti (2003) melaporkan bahwa kandungan saksitoksin pada sampel kerang yang diambil dari pesisir timur Sumatera dan Teluk Jakarta

Page 17: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

Oeterrninasi Konsentrasi Saksitoksin pada Kerang Hijau dari Pasar ........................ (Haryoto Kusnoputranto et al.)

berkisar antara 24-70 µg STXeq. per 100 g. Penentuan konsentrasi saksitoksin dilakukan dengan Elisa Reader(Lusiastuti, 2003). Sementara Mutyasari (2003) menyatakan bahwa konsentrasi saksitoksin dari sampel kerang hijau dan kerang dara dari perairan Tanjung Pasir Tangerang dan Cilincing pada tahun 2001 berkisar antara 2,1-2,3 µg STXeq. per 100 g. Penentuan kandungan saksitoksin dilakukan dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography Fluorescence Detection (HPLC-FD) dan Mouse Bio Assay(MBA) (Mulyasari, et al., 2003).

Riset ini bertujuan untuk meneliti konsentrasi saksitoksin pada kerang hijau yang di jual di pasar dan di habitat tempat hidupnya. Penentuan konsentrasi saksitoksin pada kerang hijau merupakan critical point dalam melindungi kesehatan masyarakat dari kerentanan jejaring makanan. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar informasi untuk kajian risiko toksin alga terutama saksitoksin yang dapat digunakan dalam manajemen dan komunikasi risiko.

BAHAN DAN METODE

Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini tidak dilakukan validasi recovery, karena keterbatasan standar yang dimiliki, sehingga hilangnya saksitoksin selama proses preparasi dan ekstraksi tidak diketahui. Sebagai contoh , untuk mendapatkan konsentrasi 0,8 ug/g, dibutuhkan 4 µg standar saksitoksin untuk setiap 5 g sampel, apalagi bila dilakukan duplikasi atau triplikasi karena standar tidak tersedia komersial dan sulit untuk mendapatkannya. Namun, diharapkan, hasil penelitian ini dapat memberikan kisaran konsentrasi saksitoksin di dalam kerang hijau yang ada di beberapa daerah.

Bahan dan Peralatan

Sistem HPLC yang dipakai menggunakan pompa 1enis Water 1523 Binary HPLC pump, dilengkapi dengan pengatur suhu (water temperature control module). Untuk monitoring, digunakan detektor fluoresensi jenis water 2475 multi I fluorescence detector dari Milford dengan panjang gelombang eksitasi 340 nm dan panjang gelombang emisi 395 nm. Software Empower2 Quick Stars Interface digunakan untuk analisis data dan report. Kolom yang digunakan adalah Agilent zorbax Rx-C18 (4,6 mm id x 250 mm, 5µm) dari Agilent Tech, USA:

Produk oksidasi STX dielusi menggunakan gradien linear dari 2 fasa gerak, yaitu: (a), amonium format 0, 1 M dan (b ), amonium format 0, 1 M dalam 5% asetonitril yang diset pada pH 6 dengan menambahkan asam asetat 0.1 M.

Peralatan lain yang digunakan adalah penangas, vortex mixer, kertas pH, sentrifus {Beckman model J2-21), tabung sentrifus polipropilen 50 ml, tabung reaksi berskala 5dan15ml, dan cartridgeC18-Agilent C18-0DS-Cartrigde (500 mg/3 ml volume) dariAgilent Tech, USA.

Standar saksitoksin didapatkan dari hibah kerjasama SATAN pada kegiatan RCA-RAS/7/017. Rentang konsentrasi yang digunakan adalah 1-5 ppb yang diencerkan dari larutan induk 20 ppb. Reagen lain yang digunakan adalah air, asetonitril, dan metanol ( JT Baker Analyzed @HPLC Solvent), amonium format (Sigma Aldrich}, asam asetat glasial , sodium hidroksida, dan peroksida.

Metode

Pengumpulan Sampel dan Preparasi

Kerang hijau dibeli di pasar Cilincing pada 2 Juni 201 O (kode sc:impel: Cil 1 ), 25 Januari 2011 (Cil 2) dan 25 Maret 2011(Cil 3). Sampel Oadap diambil pada tanggal 2 Juni 201 O (kode sampel: Ddp 1 ), 25 Januari 2011 (Odp 2) dan 18 Maret 2011 (Ddp 3), sedangkan sampel Muara Karang (Mkr) diamb1I pada 19 Maret 2011. Sampel Teluk Panimbang di La bu an Banten diambil dari bagan kerang milik Unit Depurasi Kekerangan yang terletak di laut dekat unit depurasi pada 14 Maret 2011 (kode sampel: Pnb), dimana di lokasi yang sama juga terdapat bag an bagan kerang nelayan kerang hijau. Sedangkan sampel Teluk Lampung diambil dari tiang pancang dermaga kapal di Pelabuhan Panjang pada tanggal 24 Maret 2011 (kode sampel Lmp ). Sampel kerang hijau dengan kode Cil 1 dan Ddp 1, yang diambil pada bulan Juni 2010 mewakili sampel pada musim kemarau seda11gkan sampel lainnya yang diambil pada Januari sampai Maret 2011 mewakili musin hujan.

Sampel dikumpulkan dan dipilih yang mempunyai ukuran hampir sama, yaitu dengan panjang cangkang ±7 cm sebanyak 20-30 ekor. Sampel dibawa ke laboratorium untuk dipreparasi dan d1ekstraksi. Sampel kemudian disimpan pada suhu -20°C sebelum diukur kadar STXnya. Prosedur preparasi, ekstraksi, pemurnian, oks1dasi dan pengukuran dengan HPLC mengikuti prosedur AOAC Official Method 2005.06 (AOAC, 2006).

Ekstraksi Sampel

Sampel kerang dicuci dengan air bersih , dibuka dan diambil semua bagian lunaknya sebanyak 100 g. Sampel dihomogenkan dengan blender dan kemudian ditimbang sebanyak 5±0, 1 g dalam tabung reaksi poli propilen 50 ml, dan ditambahkan 3 ml asam asetat 1 %. Sampel kemudian dihomogenkan dengan vortex

117

Page 18: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

JPB Perikanan Vol. 8 No. 2 Tahun 2013: 11 fr-123

mixer kemudian ditempatkan pad a water bath 100°C selama 5 menit. Permukaan larutan sampel dijaga tetap di bawah permukaan air water bath dan temperatur dijaga tidak turun lebih dari 30 detik. Sampel kemudian dikeluarkan dari water bath, dihomogenkan lagi dengan vortex mixer dan ditempatkan dalam refrigeratoratau dalam potongan es selama 5 menit. Sampel dihomogenkan dengan vortex mixerdan dilanjutkan dengan sentrifus selama 10 menit pada 4.500 rpm dan supernatant diambil. Residu yang tersisa ditambahkan 3 ml asam asetat 1 % dan dihomogenkan lagi dengan vortex mixerdan sentrifus. Kedua supernatan digabung dan ditepatkan volumenya menjadi 10 ml dengan air (AOAC, 2006).

SPE C18 Cleanup

Cartridge SPE C18 (3 ml, 500 mg sorbent) dikondisikan dengan 6 ml metanol, diikuti dengan 6 ml air. Kemudian 1 ml (setara dengan 0,5 g) ekstrak kerang ditambahkan ke dalam cartridge. Kecepatan alir dijaga kira-kira 2-3 ml per menit. Efluen ditampung dan ditambahkan 2 ml air ke dalam cartridge dan efluennya digabung. pH dijadikan 6,5 dengan penambahan NaOH 1 % Volume sampel ditepatkan 4 ml dengan air (AOAC, 2006).

Oksidasi Peroksida

Sebanyak 25 µI Hp2 10% dan 250 µI NaOH 1 M dicampur dalam tabung sentrifus 1.5 ml, kemudian dihomogenkan dengan vortex mixer Sebanyak 100 µI standar atau sampel (setelah C18 cleanup) ditambahkan dan dihomogenkan dengan vortex mixer Sampel dibiarkan selama 2 menit pada suhu kamar. !<ernudian ditambahkan 20 µI asam asetat pekat, di:.omogen\;nr. kcmbali dengar. :·ortex mixer dan dibiarkan lebih kurang 30 menit untuk kestabilan larutan sebelum di injek ke HPLC

Pengukuran dengan HPLC

Gradien yang digunakan untuk mengelus1 saksitoksin adalah sebagai berikut: 0-5% B selama 5 menit, 5-70% B selama 4 menit, kembali ke 0% B selama 2 menit dan 0% B selama 7 menit sebelum injek berikutnya. Kecepatan allr yang digunakan adalah 1 ml/menit.

Perhitungan

Perhitungan konsentrasi saksitoksin dalam µg/kg (edible part).

µgy A.,C,V,0 Konsentrasi STX ( kg) = AsM

Ax = peak area toksin yang dianalisis

118

As = peak area standar c. = konsentrasi standar (µg/I) Vx =volume final dari ekstrak yang dianalisis (ml) D = faktor pengenceran M = jumlah yang dilewatkan melalui C18 cleanup

(g)

HASIL DAN BAHASAN

Pemilihan Daerah Sampling

Ci lincing dan Dadap dipilih sebagai tempat pengambilan sampel karena kedua daerah tersebut merupakan lokasi budidaya kerang hijau yang terbesar di Jakarta, sedangkan Pasar Muara Karang dipilih karena merupakan TPI yang menjual hasil laut termasuk kerang hijau dari daerah sekitar, walaupun sumber terbesar kerang hijau berasal dari Dadap dan Cilincing. Sampel Pasar Muara Karang yang dicuplik ini ternyata berasal dari Dadap, yang dipanen sehari sebelumnya.

Sampel kerang hijau yang diambil dari Teluk Panimbang-Banten digunakan sebagai pembanding, karena Teluk Panimbang merupakan perairan yang relatif bersih dan tidak banyak mengandung limbah (Panggabean, 2009). apalagi Pemprov Banten telah menetapkan daerah Panimbang sebagai daerah untuk budidaya kerang hijau dan telah membangun unit sanitasi kekerangan di daerah tersebut. Selain hal tersebut, Panimbang merupakan salah satu daerah tujuan relokasi budidaya kerang hijau dari Teluk Jakarta yang digulirkan oleh PemProv OKI Jakarta yang diaJukan dalam kajian eksistensi budidaya kerang hijau di Teluk Jakarta pada Tahun 2006 (Dinas Nakala. 2006).

Pada waktu pengambilan sampel Panimbang, tidak ditemukan kerang hijau yang dijual di pasar karena memang tidak sedang musim panen sehingga sampel diambil dari bagan kerang hijau milik Unit Sanitasi Kekerangan yang berada persis di laut depan unit sanitasi. Hal ini berbeda dengan pengambilari sampel di Cilincing dan Dadap yang dilakukan di pasar, karena budidaya kerang di kedua tempat tersebut mempunyai masa panen yang panjang dan hampir setiap waktu.

Sampel Teluk Lampung diambil berdasarkan hasil penelitian Widiarti (2004) tentang ditemukan alga PbC di Teluk Lampung dengan kelimpahan yang tinggi. Keberadaan Pyrodinium di perairan Teluk Lampung pertama kali diketahui pada tahun 1999, di Desa Hanura. Pada saat ditemukan, terdapat 8,9x104 sel dalam tiap liter air laut. Jumlah tersebut meningkat lebih dari 2 kali lipat menjadi 2,3x109 sel per liter air laut pada bulan April 2003. Dengan demikian, kerang hijau yang dibudidayakan di perairan Teluk Lampung

j, I

Page 19: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

,_

Determinasi Konsentrasi Saksitoksin pada Kerang Hijau dari Pasar ........................ (Haryoto Kusnoputranto et al.)

diduga mengandung saksitoksin. Namun pada saat survei untuk pengambilan sampel, tidak ditemukan kerang hijau yang dijual di Teluk Lampung sehingga akhirnya pengambilan sampel dilakukan di dermaga kapal Pelabuhan Panjang.

Penentuan Konsentrasi Saksitoksin menggunakan HPLC Detektor Fluoresensi

Deteksi kandungan konsentrasi saksitoksin dilakukan menggunakan HPLC Detektor fluoresensi dengan cara membandingkan waktu retensi standar dengan waktu retensi sampel. Gambar 1 menunjukkan bahwa untuk spektrum standar 5 ppb, puncak saksitoksin keluar pada menit ke 2-3, demikian juga untuk sampel Teluk Lampung pada Gambar 2, puncak saksitoksin juga keluar pada menit ke 2-3. Dengan demikian, sampel teluk Lampung dipastikan mengandung saksitoksin.

..,~

<I> (.) )I (0

c: ~ iom Cl)

~ 0

l-)00

::J a: :ix :::: !/) c I)~

Q) !/)

10~" ~ 0 :J tm u::

)OC

Konsentrasi saksitoksin dalam sampel ditentukan dengan membandingkan peak area standar dengan peak area sampel dengan menggunakan persamaan seperti yang telah dijabarkan pada metodologi. Spektrum standar yang dijadikan sebagai pembanding adalah spektrum standar yang mempunyai konsentrasi yang berdekatan dengan sampel yang ditandai dengan jumlah peak area kedua spektrum yang hampir sama. Spektrum standar yang digunakan dalam menentukan konsentrasi saksitoksin dalam sampel adalah spektrum standar dengan konsentrasi 5 ppb, karena hampir semua sampel mempunyai jumlah peak area yang mendekati spektrum 5 ppb atau lebih.

Kandungan Saksitoksin dalam Sampel Kerang Hijau

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa konsentrasi saksitoksin berkisar dari 4,928 µg STXeq. per 100 g

MeniVMinutes

Gambar 1. Spektrum HPLC untuk standar saksitoksin 5 ppb. Figure 1. HPLC spectrum for saxitoxin standar at 5 ppb.

tr:(CI

<I> 'l::Jll (.) c: ~ Ci) •:IO e? 0 ::J a: ::::

l'i"P

!/) c Q) 10• !/)

~ 0 :J "(0

u:: ·a ~---------------

MeniVMinutes

Gambar 2. Spektrum HPLC untuk Sampel Teluk Lampung. Figure 2. HPLC spectrum for saxitoxin in Lampung Bay Sample.

119

'

Page 20: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

JPB Perikanan Vol. 8 No. 2 Tahun 2013: 115-123

daging kerang (sampel Muara Karang) sampai dengan 17 ,3378 µg STXeq. per 100 g daging kerang (pada sampel Cilincing 1 ).

Dari data hasil analisis, ditemukan bahwa konsentrasi saksitoksin pada kerang hijau masih di bawah tingkat toleransi saksitoksin yang ditetapkan. Indonesia menetapkan konsentrasi 80 µg STXeq. per 100 g, yang diatur pada SNI 3460.1 :2009 tentang daging kerang beku (BSN, 2009). Dengan terpenuhinya persyaratan mutu tersebut , maka diharapkan masyarakat yang mengkonsumsi produk kekerangan dapat terhindar dari resiko gangguan kesehatan. Sebaran data konsentrasi saksitoksin pada kerang hijau dan baku mutu sebagai pembanding dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.

konsumen. Seperti pada sampel kerang hijau yang diperoleh dari Cilincing pada tanggal 2 Juni 2010, mengandung STXsebesar 17,3387 µg STXeq. per 100 g dan dengan menggunakan porsi sekali makan yang disepakati European Food Safety Authority (EFSA) yaitu sejumlah porsi 400 g, maka akan didapat J pajanan terhadap konsumen dengan berat badan 60 kg sebesar 1, 16 µg STXeq. per kg.bb. Hal ini masih di bawah tingkat toleransi yang disepakati EFSA yaitu 5,33 µg STXeq. per kg.bb yang merupakan batas pajanan yang tidak memberikan risiko terhadap konsumen yang mengkonsumsi kerang.

Konsentrasi saksitoksin di dalam daging kerang berhubungan erat dengan kelimpahan alga penghasil PSP toksin yang ada di perairan dimana kerang hijau

= .lO c w ._

• 'Tl~ 33 ug S'-aq. ;:;r-103 Q

90

so ~ ·-· 1 o~

-"' 01

.-0 c:o ro--ro ..... "O 0 ~

~ 'CF" ff) 0 x

-1-~ ' f) ~LI

Ol

35 30

25

20

15 Cil1

- Ol

70 ~ 0 -o 60 2 ::: x~ 50 I-i/) cT

40 ·c;; ~ 30 ~I-~ ";:! (.f)

E Q) ..=: 10 l'l

5 c

Dd~Ddp3 + Cil~ Cilf Dd~1 Pn + 1.1r:r+ Lmlf

20 0 ;:>; (') :i c: -~

10 ~ 0 ~

~ .... "~ ·

0 0

.: , I. 2. 3 : C111nc1ng 1. .2. 3. ::op 1. 2. 3 = ::ada~ 1. 2 .3. r f..r = ".tuara -.arang . ... m~ "Lampung. ;:,,t = 0 ari ,.,..c ar11

Gambar 3. Konsentrasi saksitoksin pada sampel kerang hijau dan baku mutu sebagai pembanding. Figure 3. Saxitoxin concentration of green mussel and the threshold limit as a comparator.

Banyak negara menetapkan 80 µg STXeq. per 100 g sebagai batas konsentrasi yang diizinkan dalam daging kerang yang dipasarkan, walaupun ada negara yang menetapkan limit yang lebih rendah. Contohnya Filipina yang menetapkan besaran 40 µg STXeq. per 100 g sebagai batas konsentrasi yang diizinkan. Tabel 1 memuat peraturan batas konsentrasi saksitoksin pada kekerangan di beberapa negara. Dalam SNI 460.1 :2009 disebutkan bahwa syarat mutu keamanan pangan untuk kekerangan meliputi cemaran biologi (ALT, E. coli, Salmonella, Vibrio parahaemolyticus dan Staphylococcus aureus), cemaran kimia·(kadmium, merkuri dan timbal) dan hayati (PSP, DSP dan ASP) (BSN, 2009).

Kebiasaan makan kerang dan konsentrasi saksitoksin dalam daging kerang akan memberikan jumlah pajanan (exposure) yang berbeda dari tiap

120

tersebut hidup (Ashley, et al., 2005). Namun data kelimpahan alga pada waktu tersebut tidak tersedia, sehingga tidak bisa dicari korelasi antara konsentrasi saksitoksin dalam daging kerang dangan kelimpahan alganya.

Hasil penelitian Siregar (2002) menyatakan bahwa pada musim hujan, yang biasa lerjadi pada bulan Desember, Januari dan Pebruari, kandungan organik di perairan Teluk Jakarta tinggi karena terbawa melalui sungai masuk ke perairan teluk. Memasuki musim peralihan dari hujan ke panas, yaitu Bulan April, biasanya kelimpahan fitoplankton menjadi lebih tinggi di bandingkan dengan musim hujan. Lebih tingginya kelimpahan fitoplankton disebabkan karena pada waktu-waktu tersebut, unsur hara di perairan tinggi dengan perairan yang lebih hangat, sehingga produktivitas fitoplankton pun meningkat. Selain itu,

Page 21: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

Determinasi Konsentrasi Saksitoksin pada Kerang Hijau dari Pasar ..................... .. (Haryoto Kusnoputranto et al.)

Tabel 1. Peraturan batas yang dizinkan untuk konsentrasi saksitoksin pada kekerangan di beberapa negara Table 1. Saxitoxin permitted limit regulation for mussel at various state

No/ Negara/ Batas saksitoksin yang dizinkanl Metoda Deteksi/

Number State Saxitoxin permitted limit Detection Method

1 Uni Eropa 80 µg STXeq per 100 g MBA

2 Afrika (Moroko) 80 µg STXeq per 100 g MBA

3 Kanada 80 µg STXeq per 100 g MBA

4 Amerika Serikat 80 µg STXeq per 100 g MBA

5 Argentina 400 MU per 100 g MBA

6 Chile 80 µg STXeq per 100 g MBA

7 Guatemala 80 µg STXeq per 100 g MBA

8 Mexico 80 µg STXeq per 100 g MBA

9 Panama 400 MU per 100 g MBA

10 Uruguay 400 MU per100 g MBA

11 Venezuela 80 µg STXeq per 100 g MBA

12 China (Hongkong) 400 MU per 100 g MBA

13 Jepang 400 MU per100 g MBA

14 Plilipina 40 µg STXeq per 100 g MBA, HPLC

15 Singapura 80 µg· STXeq per 100 g MBA

16 Korea 400 MU per 100 g MBA. LC

17 Australia 80 µg STXeq per 100 g MBA

18 New Zealand 80 µg STXeq per 100 g MBA

19 Indonesia 80 µg STXeq per 100 g

Oisarikan dari FAO 2004, kecuali Indonesia dari BSN, 20091 Summary from FAO, 2004 except Indonesia from BSN 2009.

juga terjadi kenaikan persentase jumlah dinoflagelata, namun masih dalam komposisi kurang dari 10% (Siregar, 2002).

Sampel Cilincing 1 dan Dadap 1 yang mewak1li musim kemarau mengandung saksitoksin yang hampir sama dengan sampel lainnya yang diambil pada musim hujan. Bahkan untuk sampel Cilincing, sampel yang diambil pada musim kemarau jauh lebih tinggi (17,3 µg STXeq. per 100 g dibandingkan dengan sampel pada musim hujan pada kisaran 6,9- 8,8 µg STXeq. per 100 g ). Dengan demikian, pengaruh musim tidak memberikan kecenderungan tertentu terhadap kandungan saksitoksin pada kerang hijau. Namun perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan langsung antara konsentrasi alga jenis dinoflagelata dengan konsentrasi saksitoksin pada kerang hijau yang dilakukan pada waktu dan tempat yang sama. ·

Kejadian kematian massal ikan di Teluk Jakarta pada bulan Mei 2004 juga terjadi karena tingginya produktivitas primer perairan, yang pada saat kejadian. ditemukan 5 jenis dinoflagelata dengan kelimpahan 2,3x106 sel/I (Thoha et al., 2007). Pada saat kejadian

ledakan alga, diperkirakan konsentrasi saksitoksin pada kerang hijau bisa jauh leb1h tinggi dibandingkan pada kondisi biasa. Dengan demikian, pencuplikan sarnpel dari µa~ar atau dod habitat ternpat llidupnyd harus secara rutin, baik pada saat ada kejad1an ledakan alga atau tidak, sehingga dapat menjadi satu indikator aman atau tidaknya kerang hijau untuk dikonsumsi.

Sampel dari Teluk Lampung yang diperkirakan mempunyai konsentrasi STX lebih tinggi, karena tingginya kelimpahan alga PbC di Teluk Lampung (Wid1arti, 2004 ). temyata mengandung toksin yang tidak terlalu tinggi dan hampir sama dengan sampel dari Teluk Panimbang, Dadap 1 dan Cilincing 3 yaitu pada kisaran 6.3-7,7 µg STXeq. per 1009.

Lusiastut1 (2003) meneliti kandungan saksitoksin dalam 100 sampel kerang (kerang bulu, kerang dara dan kerang hiJau) yang diambil dari Tanjung Balai (Sumut), Bagan Siapi api (Riau), Mentol (Bangka belitung), Lampung dan Teluk Jakarta. Penentuan konsentrasi saksitoksin dilakukan dengan Elisa Readerdan didapatkan bahwa dari total 100 sampel, 6 di antaranya mengandung saksitoksin dengan

121

,,...

J

Page 22: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

JPB Perikanan Vol. 8 No. 2 Tahun 2013: 115-123

rentang to ks in mulai dari 24-70 µg STXeq. per 100 g. Dari ketiga jenis kerang, kerang bulu menempati urutan pertama, dikuti oleh kerang dara dan kerang hijau.

Penelitian yang pemah dilakukan oleh Mulyasari et al. (2003) menemukan konsentrasi saksitoksin sebesar 2, 1-2,3 µg STXeq. per 100 g dalam sampel kerang hijau dan kerang dara asal perairan Tanjung Pasir Tangerang dan Cilincing pada tahun 2001, dengan uji MBA negatif, yaitu mencit yang digunakan untuk percobaan tidak mati.

Penentuan toksin PSP dalam kerang hijau pada sampel pasar juga secara rulin dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Pertanian OKI Jakarta, namun hasil analisis menunjukkan not detected atau tidak terdeteksi (Komunikasi pribadi).

Penentuan konsentrasi saksitoksin dari 44 sampel yang terdiri dari gastropoda, clams, remis (mussel), tiram (oyster) dan kerang simping (scallops) yang diambil dari beberapa pasar di Shanghai dilaporkan oleh Wang & Wu (2006). Hasil pengujian menggunakan metoda HPLC dan MBA, menunjukkan bahwa saksitoksin dalam sampel-sampel tersebut berkisar antara 42,0-78,5 µg STXeq. per 100 g.

Penentuan konsentrasi saksitoksin pada kekerangan yang dikumpulkan dari pasar maupun dari habitat tempat hidupnya dimaksudkan untuk mengontrol peredaran toksin hayati dari kerang tersebut ke manusia melalui rantai makanan. Karena saksitoksin berdampak akut, yang memberikan reaksi langsung setelah mengkonsumsi kerang yang mengandung saksitoksin , maka mengetahui konsentrasi saksitoksin pada sampel terutama pada sampel pasar akan sangat membantu dalam menjamin keamanan pangan, khususnya produk kekerangan.

KESIMPULAN

Konsentrasi saksitoksin pada kerang hijau di Pasar Cilincing, Pasar Muara Karang dan Pasar Dadap serta Teluk Lampung dan Teluk Panimbang berkisar antara 4,928-17,3378 µg STXeq. per 100 g daging kerang dan masih di bawah ambang yang dipersyaratkan yaitu 80 µg STXeq. per 100g. Konsentrasi saksitoksin pada kerang hijau ini dapat digunakan sebagai critical point

dalam melindungi kesehatan masyarakat dari kerentanan jejaring makanan dan sebagai dasar informasi untuk kajian risiko toksin alga terutama saksitoksin dalam manajemen dan komunikasi risiko kepada masyarakat terutama untuk konsumen kerang.

122

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini merupakan salah satu dari rangkaian penelitian untuk disertasi yang berjudul "Trasnformasi Saksitoksin dalam Jejaring Makanan (Foodwebs Transfer) dan lmplikasinya Temadap Kesehatan, Studi Kasus T ransformasi Toksin Dinoflagelata dari Ledakan Alga di Teluk Jakarta)" dan terlaksana atas biaya dari Dana Riset DRPM Universitas Indonesia Tahun anggaran 2010 dalam bentuk Hibah Pascasarjana Universitas Indonesia dengan Nomor Kontrak 2665/ H2.R12/PPM.00.01. Bantuan standar saksitoksin dari Sadan Tenaga Nuklir Nasional, c.q. lbu Winarti dan kerjasama yang baik dengan BBP4B-KP yang mendukung dengan peralatan HPLC Detektor Fluoresensi dan bahan bahan pendukungnya.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC lnll. 2006.AOAC Official Method 2005.06. Paralytic shellfish poisoning toxins 1n shellfish, prechromatographic oxidation and liquid chromatography with Fluorescence Detection, First Action 2005. J. AOAC Int. 88: 1714.

Ashley M. Y L., Peter K. N. Y., Dennis P. H. H., Wang W. X., RudoO S. S. W., and Paul K. S. M. 2005. Uptake and depuration of paralytic shellfish toxins in the green-1 ipped mussel, Perna virid1s: a dynamic model. Environ. Toxycol. Chem. 24(1): 129-135.

Sadan Standardisasi Nasional (BSN). 2009. Standar Nasional Indonesia, SNI 3460.1 :2009. Ten tang Oaging Ke rang Beku Bagian 1: Spesifikasi.

Cbwinfo. 2009 . Saxitoxin Essential Data. http:// www.cbwinfo.com/Biological/Toxins!Saxitoxin. html. Diakses pada tanggal 5 Juni 2009.

Corrales, RA. and Maclean, J.L. 2000. Receptor binding assay technique for harmful algal bloom toxins quantification· Reference manual UNDP!IAEA!RCA! Subproject 2.4. application of nuclear techniques to address specific harmful algal bloom concerns. RRU­Phi lippi ne Nuclear Research Institute PNRI, Philippines.

Dam H., Colin S., Haley S., Avery D .. Chen L. , and Zhang H. 2009. Copepod resistance to toxic Pyhtoplankton. h ttp://www. pices. i nt/publica tions/presen tatio ns/ Zoopl%202007 I Zoop%202007%20S3/S3 _Dam .pdf. Dlakses pada tanggal 28 April 2010.

Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan OKI Jakarta (Dmas Nakala). 2006. Kajian Eksistensi Budidaya Kerang Hijau di Teluk Jakarta. CV. Srikandi Utama Konsultan, Jakarta

EFSA (European Food Safety Authority). 2009. Scientific Opinion of the Panel on Contamination in the Food Chain, Marine biotoxin in shellfish- Saxitoxin Group. http://www.efsa.europa.eu/EFSA/Scientific _Opinion I contam-op-ej 1019-saxitoxm-marine-saxitoxin . pdf. Diakses pada tanggal 3 Desember 2009

FAO. 2004. Marine Toxin. Food and agriculture organization of the United Nations. httpi/www.fao.org/ docrepl. Diakses pada tanggal 11 April 2011.

]

Page 23: JURNAL PASCAPANEN DAN BIOTEKNOLOGI

Detenninasi Konsentrasi Saksitoksin pada Kerang Hijau dari Pasar ........................ (Haryoto Kusnoputranto et al.)

Hallegraeff, G. 1993. A review of harmful alga blooms and their apparent global increase. Phycologia. 32: 79- 99.

Lusiastuti, A.M. 2003. Metode Deteksi Toksin Alga Laut dan Kejadiannya pada Kekerangan dan lkan . Disertasi Sekolah Pascasa~ana IPB. Bogor.

Mulyasari, Peranginangin, R. , Suryaningrum, T.D. dan Sari, A. 2003. Penelitian mengenal keberadaan biotoksin pada biota dan lingkungan perairan Teluk Jakarta. Jumal Penelitian Perikanan Indonesia. 9(5): 39--64.

Siregar, 8.A. 2002. Studi kelimpahan, distribusi, dan struktur komunitas fitoplankton di perairan Teluk Jakarta. Skripsi lnstltut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.

Sutomo. 1993. Kejadian red tide dan kematian massal udang jerbung dan udang windu dalam budidaya

jaring apung di muara Sungai Kramat Kebo, Teluk Naga, Tangerang. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia Satu, Bldang Sumber Daya Perikanan dan Penangkapan. Jakarta.

Thoha, H., Adnan, Q., Sidabutar, T., and Sugestiningsih. 2007. Note on the occurrence of phytoplankton and its relation with mass mortality in the Jakarta Bay, May and November 2004. Makara Sains. 11(2): 63-67.

Wang, J. H. and Wu, J. Y. 2006. Marine algal toxins in shellfish from Shanghai markets and original sources following a large scale red tide occurrence. Bull. Environ. Contam. Toxicol. 77: 164-170

Widiarti, R. 2004. Keberadaan kista dari jenis mikroalga berbahaya di Teluk Lampung. http://cdc.eng.ui.ac.idl article/articleprint/1505/ -1/251. Diakses pada 23 Januari 2009.

123


Recommended