+ All Categories
Home > Documents > sosiologi masyarakat

sosiologi masyarakat

Date post: 30-Nov-2015
Category:
Upload: radya-laksana
View: 203 times
Download: 8 times
Share this document with a friend
Description:
komodifikasi perempuan
112
Transcript

J u r n a l S o s i o l o g i

MaSyarakatVo l . 16 , N o . 2 , J u l i 2 0 11

Daftar Isi

Pengantar Redaksi iii

The History of the Labour Movement in South Korea 1947-1997: The Role of Blue Collar and White Collar Workers 115Cahyo Pamungkas

Dinamika Otonomi Tubuh Perempuan:Antara Kuasa dan Negosiasi atas Tubuh 141Gabriella Devi Benedicta

Jaringan Sosial dan Variasi Pekerjaan Para Migran di Kota Samarinda 157Atiyatul Izzah

Eksklusi Sosial dalam Anggaran Publik Studi Kasus di Ngawi, Lamongan, dan Makasar 181Dzuriyatun Toyibah

Pengetahuan dan Relasi Kuasa Global 201Oki Rahadianto Sutopo

Indeks 207

Biodata Penulis 213

Jurnal Sosiologi MASYARAKAT berisi tulisan ilmiah sosiologi yang mencakup perkembangan teori dan metodologi, hasil-hasil penelitian, serta telaah kebijakan sosial.

J u r n a l S o s i o l o g i

MaSyarakatPenerbit

LabSosio - FISIP-UIISSN: 0852-8489

Penanggung JawabLinda Darmajanti (Ketua Departemen)

Pemimpin UmumIda Ruwaida Noor (Ketua Pusat Kajian)

Wakil Pemimpin UmumDiana Pakasi (Sekretaris Pusat Kajian)

ketua Dewan redaksiFrancisca SSE Seda

(Universitas Indonesia)

anggota Dewan redaksiDaniel Dhakidae (LP3ES)

Vedi R Hadiz (Murdoch University)Ariel Heryanto

(Australian National University)Fransisca SSE Seda

(Universitas Indonesia)Iwan Gardono Sujatmiko (Universitas Indonesia)

Meuthia Ganie-Rochman (Universitas Indonesia)

Mitra BestariHari Nugroho (Sosiologi, UI)

Irwan Hidayana (Antropologi, UI)Gadis Arivia Effendi (Filsafat, UI)

Syamsuddin Haris (Pusat Penelitian Politik, LIPI)

Andi Rahman Alamsyah (Sosiologi, UI)

redaktur PelaksanaAbdil Mughis Mudhoffir

asisten redaktur PelaksanaRahardhika Arista Utama

Rizki Yuli Adrian

Pemasaran/SirkulasiLabSosio - Pusat Kajian Sosiologi

FISIP-UI

alamat redaksi:Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio

FISIP-UI, Gedung C, Lantai 3, Kampus FISIP-UI, Depok 16424

tel. (62-21) 786-3425, Fax.(62-21) 787-0612

E-mail:[email protected]

Homepage:http://www.labsosio.org

Jurnal Sosiologi MaSyarakat diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media in formasi dan komunikasi dalam rangka pe ngembang an sosiologi di Indonesia. Redaksi MASyAR Ak AT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Kriteria penulisan: meru pakan karya sendiri maksimal 8.000 kata, belum pernah di-publikasikan, dapat dipertang gung jawabkan secara akademis dan memiliki relevansi untuk diterbitkan.

LabSosio merupakan sebuah pusat kajian di Departe men Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poli tik, Universitas Indonesia. LabSosio memfokuskan kegiatannya pada analisis masalah-masalah sosial dan berbagai isu yang melahirkan dampak perubahan masyarakat Indonesia pada masa kini, serta pengem bangan kebijakan-kebijakan sosia l. Wilayah kajian Labsosio mencakup isu demokrasi dan dinamika lokal, kualitas kehidupan sosial kelompok rentan, hubungan antar kelompok berbasis identitas, serta hubungan antara masyarakat dengan usaha-usaha ekonomi atau korporasi.

Kegiatan utama Labsosio meliputi penelitian, pu blikasi, pengelolaan data sosial, pelatihan dan peng abdian masyarakat yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kajian (research clusters). Labsosio juga membangun kemitraan dengan lembaga-lembaga uni versitas di Indonesia maupun di luar negeri, beberapa kementrian, badan-badan perencanaan tingkat lokal maupun nasional, organisasi-organisasi civil society, perusahaan-perusahaan serta lembaga-lembaga pem bangunan internasional.

Pengantar Redaksi

Jurnal Sosiologi MASYARAKAT edisi ini (Vol. 16, No. 2, Juli 2011) menghadirkan enam tulisan dengan topik yang beragam. Artikel pertama berjudul “The History of Labour Movement in South Korea 1947-1997: The Role of Blue Collar and White Collar Workers” ditulis oleh Cahyo Pamungkas membahas mengenai sejarah gerakan buruh di Korea Selatan dalam kurun waktu 1947-1999. Menurutnya, adanya gerakan buruh di sana turut memperkuat proses demokratisasi. Ini karena dalam sejarahnya, gerakan buruh senantiasa hadir sebagai elemen perlawanan, yang di masa lalu, perlawanan itu ditujukan kepada feodalisme dan imperialisme. Namun, hal itu menurut Pamungkas tidak berlaku sebaliknya; hadirnya rezim demokratis tidak lantas membuat kepentingan buruh dapat menjadi lebih terokomodasi. Pamungkas melihat kekuatan lainnya yang berperan memengaruhi hal itu adalah neo-liberalisme dan globalisasi. Kepentingan pemilik modal besar dapat menekan pemerintahan yang demokratis dalam memberlakukan sistem kerja kontrak. Hal ini tentu saja dianggap merugikan kepentingan buruh. Dengan demikian, di satu sisi hadirnya demokrasi memperkuat gerakan buruh, tetapi di sisi lain globalisasi yang menyertainya justru berlaku sebagai kekuatan yang berusaha mengontrolnya. Namun demikian, menurut Pamungkas, aliansi masyarakat sipil antara buruh, mahasiswa, dan gereja di Korea Selatan tetap dapat melahirkan perlawanan baik terhadap pemerintah maupun terhadap kekuatan neo-liberal.

Tulisan kedua oleh Gabriella Devi Benedicta berjudul “Dinamika Otonomi atas Tubuh Perempuan: Antara Kuasa dan Negosiasi atas Tubuh”. Artikel ini membahas mengenai otonomi perempuan dalam mendefinisikan dan mengatur tubuhnya melalui kajiannya terhadap para penari seksi di tempat-tempat hiburan malam di Malang. Menurut Benedicta, perempuan kini lebih otonom dalam mengatur dirinya; ia

i v

tidak begitu saja dapat diperlakukan sebagai objek yang dapat dikontrol tubuhnya oleh orang lain. Kasus para penari seksi dalam industri hiburan malam menjadi dasar argumentasi Benedicta di atas. Menurut Benedicta, perempuan penari seksi itu sesungguhnya menyadari potensi tubuhnya yang digunakannya untuk memperoleh keuntungan materiil bagi dirinya sendiri. Jadi, tubuh penari seksi itu tidak semata-mata dikontrol dan dieksploitasi oleh pemilik industri hiburan malam. Namun demikian, menurut Benedicta, otonomi perempuan atas tubuhnya itu bersifat relatif dan dinamis bergantung konteks relasi yang dibangunnya. Penari seksi memiliki posisi tawar yang lebih lemah terhadap pemilik industri hiburan malam, tetapi lebih tinggi terhadap konsumennya. Ia dapat memanfaatkan kontrol atas tubuhnya terhadap konsumennya untuk memperoleh keuntungan materiil bagi dirinya, tetapi itu hanya bisa dilakukannya karena ia dipekerjakan oleh pemilik industri hiburan malam. Sedangkan terhadap pasangan atau pacar perempuan penari seksi, relasi yang dibangun lebih setara.

Artikel yang ketiga dengan topik sosiologi perkotaan ditulis oleh Atiyatul Izzah dalam tulisannya yang berjudul “ Jaringan Sosial dan Variasi Pekerjaan Para Migran di Kota Samarinda”. Tulisan ini membahas mengenai dinamika kehidupan sosial-ekonomi para migran yang hadir di Kota Samarinda. Pertumbuhan Samarinda sebagai sebuah kota menghadirkan perkembangan jenis-jenis pekerjaan yang menjadi daya tarik bagi hadirnya para pendatang dengan beragam latar belakang etnis. Identitas kultural itu diyakini menjadi modal sosial penting bagi para migran untuk dapat bertahan hidup di daerah baru. Mereka juga membentuk kantung-kantung etnik permukiman di sana karena dianggap dapat lebih memberikan rasa aman. Dalam hal pekerjaan, variasinya juga pada akhirnya didasarkan atas kesamaan etnis. Suatu pekerjaan, menurut Izzah, biasanya didominasi oleh etnis tertentu dan begitu seterusnya untuk pekerjaan yang lain juga didominasi oleh etnis lainnya. Ini karena rekrutmen pekerjaan juga biasanya dilakukan berdasarkan kesamaan daerah dari yang pertama memegang pekerjaan itu. Ini tidak hanya berlaku pada sektor informal seperti menjadi kuli bangunan, misalnya, tetapi berlaku pula pada sektor pekerjaan formal seperti menjadi buruh pabrik. Namun demikian, menurut Izzah, jaringan sosial berdasarkan kesamaan etnis ini tidak selamanya menjadi kekuatan untuk dapat bertahan hidup di daerah baru. Ketika satu orang dianggap bermasalah dalam suatu pekerjaan, pekerja lainnya yang satu daerah dengannya akan terkena dampak yang sama, jika misalnya hal

v

itu berbuntut pemecatan. Berdasarkan temuan itu, Izzah bermaksud memberikan koreksi terhadap pandangan Furnival maupun Castells dalam menganalisis hubungan sosial dalam masyarakat perkotaan. Menurut Izzah, ekonomi tidak sepenuhnya bisa membuka masyarakat majemuk ala Furnival, terbukti adanya jaringan primordial dalam rekrutmen pekerjaan. Dan, tidak sepenuhnya pula berpagar ala Castells karena jaringan primordial menyebabkan munculnya kantong-kantong etnis.

Artikel keempat ditulis oleh Dzuriyatun Toyibah berjudul “Eksklusi Sosial dalam Anggaran Publik; Studi Kasus di Ngawi, Lamongan, dan Makasar”. Tulisan ini membahas ihwal proses eksklusi sosial dalam anggaran publik di tiga daerah. Menurut Toyibah, eksklusi sosial dalam anggaran publik terjadi manakala partisipasi publik dalam perencanaan anggaran dinilai rendah. Ini dapat terlihat dari adanya ketidakjelasan serta rendahnya transparansi dalam mekanisme pelibatan publik saat penyusunan anggaran. Sulitnya mengakses dokumen anggaran daerah juga menjadi indikator adanya eksklusi itu meskipun hal itu dikemukakan dengan alasan sebagai bagian dari rahasia negara. Menurut Toyibah, cara pandang aparat pemerintah yang mempertahankan ketertutupan anggaran itu menunjukkan kecenderungan model representasi pemerintahan yang masih tinggi. Padahal, menurutnya, minimnya partisipasi itu tidak menjamin terwujudnya kehidupan publik yang lebih baik. Namun demikian, kelompok masyarakat sipil di tiga daerah itu telah melakukan beberapa strategi untuk mengurangi terjadi eksklusi tersebut, di antaranya membuat forum anggaran, meskipun kurang masksimal. Menurut Toyibah, upaya yang dilakukan oleh masyarakat sipil masih dalam batasan mendemistifikasi dokumen-dokumen APBD untuk memberikan informasi bahwa terdapat indikasi proses dan alokasi anggaran yang merugikan kepentingan masyarakat. Meski demikian, menurut Toyibah hal itu dapat menjadi langkah awal untuk menunjukkan bahwa menjadikan dokumen anggaran semata-mata sebagai rahasia negara yang tidak bisa diakses oleh publik sebenarnya merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Sementara itu, artikel terakhir yang ditulis oleh Oki Rahadianto Sutopo berjudul “Pengetahuan dan Relasi Kuasa Global” merupakan telaah atas buku Syed Farid Alatas yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia pada tahun 2010 berjudul Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Euosentrisme. Menurut

v i

Sutopo, tulisan Alatas berusaha mempertanyakan adanya dominasi pengetahuan yang bias Eropa sebagai wujud dari imperialisme akademik yang pada akhirnya membelenggu para akademisi non-Barat. Keterbelengguan itu misalnya nampak dalam penggunaan secara membabi buta teori dan metode yang diproduksi oleh Barat tanpa memperhatikan konteks lokalnya. Ini disebut sebagai captive mind atau keterbelengguan pikiran. Menanggapi hal itu, Alatas, menurut Sutopo lantas mengajukan adanya diskursus alternatif yang lebih membebaskan dengan melakukan indigenisasi ilmu-ilmu sosial agar tidak terlepas dari konteksnya. Menurut Sutopo, tawaran alternatif dari Alatas itu perlu dipertimbangkan dalam agenda pembentukan sosiologi Indonesia.

Demikianlah lima tulisan yang disajikan dalam Jurnal Sosiologi MASYARAKAT edisi ini. Kami berharap, semoga tulisan-tulisan ini dapat memperkaya khasanah pengetahun dalam disiplin sosiologi. Selamat membaca!

Ketua Dewan RedaksiFransisca SSE Seda

The History of the Labour Movement in South Korea 1947-1997:

The Role of Blue Collar and White Collar Workers1

C a h y o P a m u n g k a s

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)Email: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini membahas mengenai perkembangan gerakan buruh di korea Selatan sejak awal kemerdekaan hingga masa kontemporer. Menurut saya, saat gerakan buruh kuat, ia memiliki efek yang lebih kuat pula pada proses demokratisasi karena adanya akar sejarah gerakan buruh dalam melawan feodalisme dan imperialisme. Temuan lainnya adalah bahwa kehadiran rezim demokratis tidak berarti bahwa aspirasi kelompok buruh dapat terakomodasi. kekuatan neo-liberal, dapat menekan pemerintahan yang demokratis untuk mengikuti kepentingan pemilik modal besar, khususnya dalam memaksakan sistem kerja kontrak. Namun, aliansi antara gerakan buruh dengan elemen masyarakat sipil dapat melawan dan menolak kebijakan ini. Faktor lain yang penting yang memengaruhi gerakan buruh adalah demokratisasi dan globalisasi. Jika demokratisasi memperkuat gerakan buruh, maka globalisasi berusaha mengontrolnya. Namun demikian, dinamika relasi antara pemerintah dan gerakan buruh di korea Selatan menunjukkan bahwa aliansi antara buruh, mahasiswa, dan gereja dapat mempersatukan masyarakat sipil melawan baik pemerintah maupun kekuatan neo-liberal.

Keywords: labour movement, democratization, political-economy, neoliberalism

1 This article is resulted from literature studies in LIPI in 2009 under research topic “The Industrial Relation in korea: Analysis on the Implementation of Employment Permit System”.

116 | C A H YO PA M U NGK A S

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

INTRODUC T ION

The labour movement in South Korea stood in the front line in the political struggle for democratization (Subono 2007). That struggle could force the authoritarian regime to step down in 1960 and 1980 although this was not followed directly by the formation of a democratic regime. We know that the general strike in 1960 contributed significantly to the end of President Syngman Rhee and the demonstration of labour-students-intellectuals-churches to pressure President Park Chung Hee. It points out that the bargaining position of labour against the government is relatively higher than in their counterparts in developed countries.

I would like to describe and explain the conflictuous relations between the labour movement and the national government in South Korea throughout in line with the history of transition to democracy in that country. My assumption is that what the labour unions have achieved contemporary South Korea, particularly in 1987 and 1997, has roots in the political history of Korea as they are part of civil society; especially the pro-democratic movement. Generally speaking, the question of this paper is to what extent the labour movement in South Korea related to the democratic reform , and how the role’s changes from blue collar to white collar.

CONCEP T UA L FR A MEWOR K

The issue of the labour union movement in this paper is laid down under the perspective of civil society and state relations. Referring to Max Weber (1978) in Economics and Society, political systems in the world in the 20th century indicate that democratic practices have spread widely to give people the right of citizenship to constitutionally choose their political leaders through democratic procedures. However, in reality, such democratic practices, which are embedded in the democratic political system, need a long social and political process to become entrenched. This means that civil society elements with pro democratic movements will fight against authoritarian political regimes either peacefully or violently, since no authoritarian regime would give their power to the people voluntarily.

T H E H I S T O R Y O F L A B O U R M O V E M E N T I N S O U T H K O R E A | 117

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

The relation between democracy and strong civil society has been explained by Schumpeter (1950, in Political Sociology 2009), in Capitalism, Socialism and Democracy. He refutes the idea that democracy is addressed to enlarge the power of the members of society to organize themselves in the field of politics. So, the pro-democratic movement could be understood as an expression of class struggle. It could be a manifestation of the bourgeois class in fighting against the feudalist and aristocratic groups or of the working class against the bourgeoisie. It is common for the first conflict to occur in a political condition that liberal democracy introduced in a market economy (ibid). Additionally, the second stage happens when there is transformation from a market economy to social democracy. It means that social democracy based on the idea that the dominant idea of governance including economic reform is the idea of the majority of the people including the labouring class.

We know from the experiences of South Korea, Taiwan, Thailand and Indonesia that democracy results from a long and bloody struggle of the people. Dictatorial regimes in those countries did not only give slowly the right to vote, but also prevented the people from organizing themselves, and imposed violence to repress pro-democratic movements. Valenzuela (1988) mentions that labours occupied special place among the forces of civil society which react with heighten mobilization to the possible initiation of transition to democracy. The heightened labour mobilization together with other social sector may step up democratization. However, refer to Brazil case, Payne (1991) reminds that the gradual transition to democracy may strengthen the big business to increase their bargaining in the process of negotiation among labour, new regime, and business. The study of Barret (2001) on Chile labour movement shows that the new democratic regime cooperate with the bug business to weaken labour movement as well as to limit the democratization.

The relation between democratization and labour movement in Taiwan and Indonesia are different from Korea. The democratization in Taiwan came from the middle and upper classes since the rule of the second government or after President Chiang Kai Shek. Labour have role in this democratization process, but they did not take leadership in the movement. Meanwhile, labour in Indonesia has risen since the end of the 1980s when the economic policy was

118 | C A H YO PA M U NGK A S

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

export oriented. Such a policy needs the exploitation of labour from the surplus of labour in the market

Schumpeter (2009) also says that the failure of labour based revolutionary movements in advanced capitalist countries and political systems resulting from Communist countries, encouraged a revision of political doctrines such as of Euro Communism, Dictatorship of the proletariat, and Leninism as universal demands for political actions (ibid). It is a part of the revision of Marxist theories in the contemporary period that the economy is not the only determining factor of social changes. As a result, democracy has been an objective of the labour movement and has been accepted broadly as an instrument of class struggle (ibid). But a further question is what the role of labour in the democratization process is?

William Liddle, Professor of Politics from USA, in his interview stated that labour and students in South Korea have a significant role in the democratization process (Liddle 1997). The labour movements were supported by the wider civil society including the student movement after the Kwangju Massacre in 1979. The civil society was angry with the military because of that incident, so they made a big alliance between labour, students, and other civil society elements in South Korea. The Study of Minn (2001) describes that the conflict between the labour and government attracted the popular support in between 1979 and 1987. A survey conducted in 1987 demonstrated that the most people in South Korea believe that the big business (56.9%) and the government (18.7%).

L A BOU R U NIONS IN SOU T H KOR E A

The structure of unions in Korea is relatively simple, since the state did not permit multiple unions until recently, and enterprise unions were the basic unit of national organization. Although the Federation of Korean Trade Unions (FKTU) was the only national centre which had official status, another group established the Korean Confederation of Trade Unions (KCTU) in 1995, which was recognized by the government as a legal organization in 1996 (ibid). Song (1999) also mentions that the labour unions at company levels (enterprise unions) had stronger affiliations with industrial federations than with the national centre. According to him, although the national centre regulates both industrial unions and enterprise unions,

T H E H I S T O R Y O F L A B O U R M O V E M E N T I N S O U T H K O R E A | 119

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

labour unions at workplaces tend to follow the industrial federation as their supreme organization. For example, relations between the industrial federation and enterprise unions are stronger in industries such as textiles and metals, which have had industry-wide collective bargaining for a long time.2

The growth of unions in South Korea can be measured by the number of industrial unions, local unions, membership of both of them and the organization rate of such unions as follows (Song 1999). The number of industrial unions in the period of 1967 until 1987 was around 16-17. However, in the period of 1987-1998 it was around 21-26. The trend is no different from the growth of local unions which in the period of 1963-1987 was around 2,150 – 2,742, and in the period of 1988-1997 achieved the number of 6,146 – 6,424 unions. The number of workers joining unions, in the first period (1963-1987), was from 224,420 workers to 1,088,061 workers with the peak in 1979. However, in the second period the number of workers was 1,932,415 with the peak in 1989.

The different number of unions and members of labour unions in different periods is related to structural conditions forged by the politics of labour implemented by every regime of South Korea. The fewer number of unions and their members in the period before 1987 is related to the policies of authoritarian regimes that restricted the labour union movement. In contrast, the greater number of unions after 1987 point to the open policies of transition governments in accommodating labour aspirations and democratization generally. Refers to Valenzuela (1989) explanation, the labour unions will be stronger and developed in the democratization period due to the government give is forced to give more space for civil society organizations.

First, five industrial federations were set up in 1987 by splitting the existing federations and establishing a new labour union for white collar labour. The new federations have a progressive orientation in relation to the FKTU, representing journalists, hospital workers, university employees, maintenance workers, researchers, professionals and technicians. Second, local unions grew during the 1970s, reaching 5,000 at the end of the decade, but then dropping sharply to 2,000

2 Another labor federation for white collar workers was set up in 1987. In addition, there were 12 independent labour federations established by the Korean Congress of Indepen-dent Industrial Trade Union Federations (KCIIF) in 1990 (Ho Keun Song 1999).

120 | C A H YO PA M U NGK A S

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

in the 1980s. Chun Do Hwan’s administration was unfavourable to union growth, but the labour dispute of 1987 precipitated an explosion of new activity and almost 1,500 unions rose within six months. Third, the proportion of organized workers culminated at 23.3 per cent in 1989 due to prolonged political opportunities, falling back to 13.5 per cent in 1997. It is important to note that the trends for male and female workers crossed in the mid1980s, when more men were joining unions but fewer women. This cross over was associated with the transformation of Korean industry from labour intensive to technology and capital intensive production.

table 1. The Growth of Unions in South Korea

Year Industrial Union

Local Union

Members Organizing Rate

1963 16 2,150 224,420 20.8 18.5 20.31965 16 2,634 301,522 23.5 19.1 22.41970 17 3,482 473,259 20.1 19.7 20.01971 17 3,507 497,221 20.1 18.4 19.71972 17 3,391 515,292 20.3 19.7 20.41973 17 3,268 548,054 20.3 20.0 20.41974 17 3,784 655,785 21.3 22.9 22.11975 17 4,073 750,235 21.4 26.6 23.01976 17 4,371 845,630 21.6 26.4 23.31977 17 4,580 954,727 22.6 27.9 24.31978 17 4,857 1,054,608 22.7 26.2 24.01979 17 4,947 1,088,061 22.7 25.0 23.61980 16 2,618 948,134 18.5 23.3 20.11981 16 2,141 966,738 18.5 21.6 19.61982 16 2,194 984,136 18.1 21.2 19.11984 16 2,365 1,010,522 16.5 17.2 16.81985 16 2,534 1,004,398 15.9 15.2 15.71986 16 2,658 1,035,890 16.2 14.2 15.51987 16 2,742 1,050,201 15.6 12.9 14.71987 16 4,103 1,267,457 18.5 15.0 17.31988 21 6,164 1,707,456 23.9 18.1 22.01989 21 7,883 1,932,415 25.8 18.5 23.31990 21 7,698 1,886,884 24.4 16.3 21.51991 21 7,656 1,803,408 22.8 14.2 19.71992 21 7,527 1,734,598 21.9 12.2 18.41993 26 7,147 1,667,373 20.5 11.3 17.21994 26 7,025 1,659,011 19.9 10.0 16.31995 26 6,606 1,614,800 18.7 9.3 15.31996 26 6,424 1,598,558 18.4 8.4 14.71997 26 17.5 7.0 13.5

Source: Korea Labour Institute, KLI Labour Statistics

T H E H I S T O R Y O F L A B O U R M O V E M E N T I N S O U T H K O R E A | 121

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

T HE HISTORY OF T HE L A BOU R MOV EMENT IN SOU T H KOR E A

Theoretically, the strong civil society movement is a product of the weakness of the authoritarian state. We see in South Korea that the strong labour movements are the result of the process of the weakening of the authoritarian government that achieved its peak in 1989.

table 2. The History of the Labour Movement in South Korea

No Period Political regime Historical events 1. After the Korean War

(1592-1598) until Japan’s imperialism

Feudal system Introduction of the market system and waged workers

2. Japan’s imperialism (1910-1945)

Japan’s governor generals

Establishment of Chosun Confederation of Workers and Peasants (CCWP) in 1924 and the Chosun Communist Party (CPP) in 1925

3. The first authoritarian regime until the democratic revolution (1945-1960)

President Syngman Rhee

Korean independence, Establishment of AKLU (All Korea Labour Union) and the SKLP (South Korean Labour Party),Establishment of the FKTU (Federation of Korean Trade Unions),Korean war,Strike in PushanDemocratic revolution

4. The second authoritarian regime (1961-1979)

President Park Chung Hee

Coup d’etat 16 May 1960The incident of Chon Taeil 1970The Kwangju Massacre 1980

5. The third authoritarian regime and the rule of (1980-1987)

President Chun Do Kwan

Transition to Democracy 1987Political liberalization,Rise of many labour unions and federations,

6. The democratic regime (since 1987)

President Roh Tae Woo President Kim Yong Sam

Beginning of migrant workers and Returning Korean Diaspora,Establishment of KCTU (Korean Confederation of Trade Unions) in 1995,General strike in 1996

Source: Kim Younkon (processed)

It can be observed that after President Chun Doo Hwan opened political liberalization and democratization on 29 June 1987, South Korean workers went into powerful collective action (Koo 2007). The

122 | C A H YO PA M U NGK A S

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

liberalization in politics encouraged workers to raise their problems and aspirations openly with the enterprises and the government.3

However, the democratic transition in Korea since 1987 has renewed the Korean labour movements when they became stronger and became the major social force for political liberalization and democratization, as mentioned before (ibid). In this paper, I do not mean to answer specifically whether the labour movement encourages the democratization process or vice versa. But, the fact is that labour unions and the student movement together with other elements of civil society contributed significantly to the fight against the authoritarian regime that culminated in the transition to democracy in 1987. Indeed, union membership increased from 1,004,000 in 1985 to 1,932,000 in 1989 or from 12.4 per cent of the labour force to 19.8 per cent (ibid). According to Kim Yongkon, historically there are six stages of capitalist development in Korea as shown in Table 2 .

Labour Movement under the Feudal i sm and Author i tar iani sm Reg imes 1924 - 1987

At the first stage, capitalism and waged workers as part of the economic system were introduced in the Korean peninsula at the beginning of 17th century. At that time, the peasants went from farming to becoming workers in fields such as mining, manual work, transportation, etc. Then, they started to organize themselves into cooperatives as a united instrument to fight against the feudal system and the imperial invasion of China (ibid). The amount of Korean employed in industry within Korea in 1932-1943 can be seen in the table 3.

tabel 3. Korean Employed in Industry within Korea, 1932-1943

Year Member 1932 384,9511936 594,7391940 702,8681943 1,321,713

Source: Minns in Labor History, No. 81 (Nov, 2001), pp. 175-195

3 He says that from July to September 1987, more than three thousand labour conflicts occurred, exceeding the total number of labour disputes that occurred during the two pre-ceding decades. Based on those phenomena, the labour struggle in 1987 often is regarded as a milestone in the struggle of the Korean labour movement (Koo 2007 ibid).

T H E H I S T O R Y O F L A B O U R M O V E M E N T I N S O U T H K O R E A | 123

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

Meanwhile, the second stage was under the Japanese imperial system (1910-1945) during the War with China and the Pacific War. As a consequence, the labour movement formed their objectives to liberate Korea from Japanese colonialism and the feudal system.4 It can be called a dual function of the labour unions that the enemy was both an internal and an external power. This function proves that labour unions in South Korea are rooted in the national struggle against colonialism and imperialism long before Korean independence.5

The third stage was from 15 August 1945 to 19 April 1960. In this era, the Korean people launched the struggle for independence, the division of the Korean peninsula, the Korean War and the democratic revolution (ibid). Korean workers immediately after independence established the AKLU (All Korea Labour Union) and the SKLP (South Korean Labour Party) to fight against American rule in South Korea. Generally speaking, the existence of the AKLU was not suited to the political conditions indicated by the political conflict between North and South Korea. In response to the AKLU and the SKLP, President Syngman Rhee founded the pro government FKTU (Federation of Korean Trade Unions) in 1946 (ibid).

During the Korean War (1950-1953), workers launched a strike in Pusan harbour in demand for new labour laws (1953) (ibid). During that period, American capitalism started to develop well and it changed South Korea into an authoritarian-capitalist state. The presence of the USA in South Korea was needed by the Korean people at that time to defend their country against North Korea. However, it continued to place South Korea under the authoritarian government of President Syngman Rhee who had been in power since 1945. Finally, the Korean people forced President Rhee down and set up a democratic government, but it immediately fell due to the 16 May 1960 military coup.

4 The Japanese military began the Pacific War and mobilized people through compul-sory slavery including 4 million people representing 13% of all Koreans, So workers and peasants organized underground movements and fought against Japanese imperialism with arms in Manchuria (Kim Youngkon, 2005 ibid. )5 During that time, Korean workers had set up labour unions that had leftist political ori-entations. During that period, there was a historical moment for labour unions due to the Chosun Confederation of Workers and Peasants (CCWP) which was set up in 1924 and the Chosun Communist Party (CPP) which was founded in 1925 (Youngkon 2005, ibid.).

124 | C A H YO PA M U NGK A S

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

After the coup in 1960 in South Korea, there were many agreements between South Korea and Japan as well as USA. After 1965, the direct investment of American and Japanese business increased (ibid). Referring to Dependency theory (Selligson 1988) claims that the South Korean economy became peripheral to the world system of capitalism. However, we are always reappraising it by calling the economy of South Korea as of the New Industrializing Countries starting in 1970s.

The 4th and 5th stages occurred during the periods of the governments of President Park Chung Hee (1961-1979) and President Chun Do Kwan (1980-1987) (ibid). Although economically, South Korea is not underdeveloped countries, but these government regimes were basically no different from that of other underdeveloped countries, as an implication of the capitalist development model under authoritarian regimes; workers were oppressed, so they started to resist in the early1970s (Delahanty 2007). Almost like Taiwan and Indonesia, South Korea implemented Export Oriented Industrialization (EOI) through developing its industrialization process based on a comparative advantage. This was no different from their Asian counterparts when their comparative advantage was cheap labour although in different period. As a consequence, the South Korean government under President Park Chung-Hee determined labour policies as follows (ibid): First, paying workers low wages in the textile and shoe industries ranging from 1,500 won to 3,000 won per month; second, the typical working day averaged 15 hours, from 8 am until 11 pm.

This policy resulted in the suffering of South Korean workers (ibid), who, for example, only had 2 days off per month. If there was a lot of work, their companies forced them to work through the night by giving those amphetamines. At that time the majority (83%) of the workforce in textile factories was women of 14-20 years of age (ibid). This deep labour exploitation and the greatness of human suffering encouraged the need for the labour force to organize and to improve the conditions in the workplace at the factory level. Such suffering stimulated the emergence of the labour movement supported by other elements of the civil society such as the student movement and churches.

The trigger that encouraged the labour movement in South Korea at the 4th stage was the death of Chon Tae-Il who led the

T H E H I S T O R Y O F L A B O U R M O V E M E N T I N S O U T H K O R E A | 125

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

struggle of workers in 1970 (Youngkon 2005). It is often said that the first historical moment in the history of South Korea’s labour movement happened on November 13, 1970 in the garment district of Pyunghwa Market (Delahanty 2007) when some young workers demanding an improvement in their working conditions set up a demonstration under Chon Tae-Il (ibid). While the police used force to dissolve the demonstration, Chon disappeared for a few minutes then returned with a can of gasoline and burnt his body (ibid). The History of Labour in South Korea notes that until his body was completely burned by the f lames, he held a copy of the Labour Standard Laws in his hand and shouted: ‘We are not machines!’ ‘Let us rest on Sundays!’ ‘Abide by the Labour Standard Laws!’ ‘Don’t exploit workers!’ (Koo 2007).

The incident touched the hearts of the Korean people including students, as brutal and negative implications of an authoritarian regime. His dramatic death played an instrumental role in bringing students and intellectuals to assist the grassroots labour movement (ibid). During that time, we can find that the grassroots union movement generally was dominated by young female workers employed in labour intensive light manufacturing sector, especially in the textile, garment and electronic industries (ibid). The way they launched demonstrations f was inspired by Chon Tae-Il. They stood naked to prevent the police from approaching them, threatened to commit collective suicide with broken bottles and occupied the Opposition Party headquarters to get a safer place to continue their strike (ibid).

If we trace this further, the labour movement in South Korea started in the middle of the 1970s when South Koreans started to realize the importance of a more systematic and collective strategy to change oppressive conditions in their workplaces. I would like to give examples of where workers deposed their union leaders in factories and at local levels as manifestations of the labour movement. For example, the unions that existed before the union coups at Wonpoong and Dongil were under the rule of the textile companies (Delahanty 2007). The main objectives of the textile workers were to set up a new independent union and to transform company unions into representative unions, so that women workers at Wonpoong and Dongil launched a coup to take control of the company union (ibid).

126 | C A H YO PA M U NGK A S

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

They took over labour unions by legal and democratic ways, that is, through the election of floor delegates of the unions. The floor delegates function as a legislative body and select the leader of the factory unions. This is seen in the story of the labour movement in Wonpoong Textiles when (ibid) women workers elicited new union president through their domination of the floor delegates. With the help of Bang Yong-Suk, one of the few men who had the courage to participate in the women-dominated 1970s union movement, they developed the strongest company labour union at Wonpoong Textiles (ibid). Meanwhile the union movement at Dongil Textiles was led by a cadre of women workers who were active participants in small group activities (ibid). They launched a program to choose the first woman president in South Korea in 1972 (ibid).

Responding to the change of labour union leaders in Dongil and Wonpoong, the military government of South Korea started to see that these independent unions, under new women leaders, were a threat to the labour laws, economic growth and the power of the government (ibid). As a result, the South Korean government implemented all possible means to block workers from setting up independent unions by organizing male workers to destroy the female dominated independent unions (ibid).

Most of the members of the labour unions in the 1970s period were young women, and they fought for better working conditions and democracy (Youngkon 2005). Besides the labour protests, other lower class people in South Korea also launched demonstrations against the government in Seongnam, Pusan, and Masan city (1979) against poverty (ibid). The long and continuous protest of the labour movement and other riots contributed to the fall of the government of Park Chung Hee in 1979. Generally speaking, the labour movement inspired by the hero of Korean workers, Chon Tae-Il, contributed significantly at the grassroots level gathering other elements of civil society to dethrone the authoritarian regime. However, it resulted in the rise of another military government, of General Chun Doo Kwan.

It is important to note that the power of the people involved not only labour but also churches and students. For example, The Urban Industrial Mission (UIM) and the Young Catholic Workers (JOC), two church organizations, provided a variety of educational programs to workers and defended them from police prosecutions in

T H E H I S T O R Y O F L A B O U R M O V E M E N T I N S O U T H K O R E A | 127

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

the 1970s (Koo 2007). As a result of political education, the labour movement became more politicized in line with student activists entering the industrial arena in the 1980s. I think this is one factor for why the labour movement in South Korea is different from its counterparts in underdeveloped countries. For example, labour union in Indonesia as well as in Taiwan does not have larger support from student movement, although there is cooperation between them in a certain degree. As stated above, we know that Korean labour was born from the struggle of the Korean people against imperial power and feudalism. It is relatively different from other labour movement in Asia that labour movement in Korea take the leadership in national struggle.

The government of Park Chung Hee labelled the labour movement as similar to Communism both in discourse and practice. Before the 1980s, we can see that the labour movement in South Korea was identified with Communism, and the word class was prohibited due to several factors (Sonn 1997): (1) The exceptionally narrow ideological terrain resulting from the Korean War and the division of the nation; (2) State repression and ‘state corporatist’ control of labour unions; (3) The decentralization of the working class by the organization of industry predominantly in small factories; (4) High social mobility due to the strong nationwide passion for education and the consequent the strengthening of working class.

But it changed step by step in the early1980s after the fall of Park’s government. The Kwangju massacre in 1980 when the military officially killed about two hundred civilians after the assassination of President Park revived the radicalism among democratic movements in South Korea (ibid). We can understand that such tragedies as the death of Chon Tae-Il could increase and bind the solidarity of workers and other oppressed groups of people including intellectuals and churches. One of the significant results was the raising of political discourse of Marxism and radical movements, particularly among the students movements. We can say that this incident is a milestone of awakening political consciousness of intellectuals, mainly students, to become involved more deeply in the problems of injustices suffered by labour.

In other words, the Kwangju massacre in 1980 made the students realize that they could not bring down the military dictatorship without becoming allied with labour. As a consequence, they began to

128 | C A H YO PA M U NGK A S

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

make political alliance with the labour movement in giving political education. After that, the nohak yeondae, the labour student alliance, was implemented with a large number of dropped out students becoming factory workers to raise political consciousness (Koo 2007). However, these movements penetrated slowly into the newly emerging working class produced by the heavy industrialization of the 1970s (Sonn 1997). The industrial structure in South Korea changed in the early1980s indicated by the appearance of highly educated workers with strategic power but undergoing oppressive industrial relations (ibid). In other words, I would like to say that there is a new class of labour resulting from heavy industrialization since the 1970s that is more educated and skilled.

The 5th stage consisted of developments following the Spring of Seoul and Workers in the Kwang Ju People’s Riot. It also includes the Great Struggle of Workers in 1987 and the labour movement under President Roh Tae Woo (Youngkon 2005). Different from the period 1970-1980, the characteristics of labour in South Korea in the 1980s changed in line with the changes in the industrial structure. As I mentioned before, the male workers became the mainstream of the working class and led the Great Struggle in 1987. It happened since a large number of labour activists emerged both inside and outside the factories in the mid1980s (Koo 2007). It does not mean that male workers contribute to militancy but male workers took leadership and initiative in labour movement. We can see that it extended beyond the Seoul-Inchon region to the southern coastal industrial towns where heavy and chemical industries were concentrated (ibid).

However, after the Kwangju massacre, the second military government of President Chun Do Kwan suppressed the labour movements. I would like to describe one example in the YH Trading Company where workers were laid off without any compensation (Delahanty 2007). In August 1979, young female textile workers held a sit-down strike after YH lost its place in the wig market and closed its factory, dormitories and mess halls (ibid). Then, police intervened by brutal action against protesters that resulted in the eviction of 170 women from the dormitories. In January 1981, entering the 1980s, much of the progress of the labour movement achieved in the early1970s were rolled back by police force and administrative decree.

In line with the weakness of the authoritarian government, industrial workers repeated their activities when opportunities

T H E H I S T O R Y O F L A B O U R M O V E M E N T I N S O U T H K O R E A | 129

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

opened up in 1987 to take collective action to demand humane treatment and economic justice in their workplaces. The significance of the 1987 labour movement was the entry of new actors into the South Korean labour movement, that is, middle class workers as I mentioned before. One factor of this change was the shift in the structure of labour unions, dominated by educated and skilled labour in the heavy industry sectors. We can see that skilled and educated male workers in heavy and chemical industries emerged suddenly as the main actors in the South Korean labour movement, pushing aside women workers who had played an active role in the grassroots movements in the 1970s (Koo 2007). From 1980 on, the industrial structure began to change from light manufacturing into large scale, such as engineering, car manufacture, shipbuilding, and steel making. The new plants were larger than before and the workers are predominantly male.

Labour Movement under Democrat i c Reg ime 1987-1997

After the transition into democracy in 1987, the local unions began to unite among themselves at the national level instead of in the same federation based on a specific sector. Workers recognized the effectiveness and usefulness of regional cooperation among unions that had only depended on industrial union federation (Sonn 1997). As a result, some illegal democratic unions set up the Council of National Democratic Unions in 1989, a region-based organization to resist police repression (ibid). It was needed at that time to get more bargaining power against the state power and to strengthen civil society in dealing with political liberalization and democratization.

The labour movement in South Korea is often related with the existence of the Communist movement at the international level although there was no link between Communism and the labour movement. Although radical movements suffered as the Soviet Union began to fall in 1987, its effects in South Korea were insignificant. The collapse of the Soviet Union seemed to eliminate the spirit of labour in South Korea that had been dominated by radical political movements which tried to build an underground Marxist party (ibid). However, it did not destroy the militancy of the labour unions due to the spirit of the labour movement based on the conditions of Korean capitalism (ibid).

130 | C A H YO PA M U NGK A S

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

In the period 1987-1997 the labour movement consolidated of its power in the midst of a transition to democracy. If this consolidation failed, this the democratization process would have been endangered. In spite of domination by capital and the new democratic government, the Korean labour movement after 1987 expanded its influence in key industries (ibid). Finally in 1995, the South Korean workers founded the KCTU (Korean Confederation of Trade Unions) in opposition to the pro government union federation of FKTU, with a platform to build a democratic society in South Korea (ibid). We can find that the KCTU consisted of many powerful unions in the automobile, shipbuilding, health care and telecommunications industries, as well as in education and various service sectors (Koo 2007).

The last part or the 6th stage consisted of the labour movement under President Kim Young Sam, the 1996-97 strike against Neo liberalism, and the labour movement against IMF conditions (Youngkon 2005). There has been a contradictory inf luence of democratization and globalization on the labour movement in South Korea after 1997. However in other cases, globalization of ideas also supports the idea of democratization in developed countries. If democratization opened the political space for the labour movement, globalization has made the labour unions weaker due to the imposition of a flexible labour force (Koo 2007). The problem is both of them came in the same period so that they disturbed and intervened indirectly in the labour movement. The spread and practices of neo-liberal fundamentalism, as impact of globalization, contributed to the weakening of deepened democratization.

At that time, Korean workers had their representatives in the national parliament to struggle against the national government through state institutions. This condition was different from that in the previous period when the Korean workers only fought through street protests. Currently, South Korean workers also fight for their rights through parliamentary ways. They have the Democratic Labour Party (DLP) that was set up in 2000 and was the third largest party in the National Assembly in the 2004 General Elections (Youngkon 2005). The common problem that often appears in the movement is the emergence of different orientations between the leaders and the masses, because of the bureaucratization of the movement. Referring to Robert Michels, there always is a distance between the masses and the elite in political organizations (Marger 1987).

T H E H I S T O R Y O F L A B O U R M O V E M E N T I N S O U T H K O R E A | 131

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

Nowadays, the irregular workers who represent more than half of all South Korean workers together with peasants and poor urban dwellers resist the capital power that is accompanying the emergence of a democratic government (ibid). It is a paradox since most of the regular workers united in formal labour unions have forgotten the solidarity with the poor that have no access to legal organizations. It points out that the working class is not monolithic but plural in ideology and movements. Nevertheless, the spirit of the labour movement is still well preserved by some of the dominant groups such as the KCTU. This union involved in demonstrations although the authoritarian regimes have fallen particularly in fighting against the deepening the neo-liberal economy in South Korea.

Entering 1997, the labour conditions were disturbed by the government influenced by the interests of capital owners. The Kim Young-Sam government passed controversial labour laws in the National Assembly session on December 26, 1996 (Koo 2007). In January 1997, controversial labour laws were passed giving employers more power to lay off workers and to hire temporary workers and to forbid the formation of other unions in a workplace (Delahanty 2007). The law disturbed job stability among Korean workers which became the main focus among labour activists and led to the great strike mobilizing millions of workers over three weeks in January 1997 to campaign for it, when South Korean people experienced job instability.6

The general strike consisting of 3 million workers closed production in the automobile, shipbuilding and other major industries for three weeks (Delahanty 2007). Finally, the protest ended in late January 1997 when the government agreed to revise the new labour law. Even though this general strike achieved only minimal concessions, it lifted awareness of labour militancy in South Korea.7 Historians call the general strike a victory of the labour movement in the 1990s period before the economic crisis.

6 The two biggest centres of unions in South Korea, The KCTU and FKTU, cooperated, based on the same issue, that is, job stability to set up the greatest general strike in South Korean history (Koo 2007, op cit.).7 The strike also encouraged the raising of international attention to change labour rela-tionships in South Korea according to labour union aspirations in the 1990s period sig-naled by a normal working day of 8 hours, overtime compensated for, and wages not set unilaterally by employers (Amy Delahanty 2007, op cit.).

132 | C A H YO PA M U NGK A S

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

One of its implications of the strike is that the KCTU was not only the de facto but also the de jure representative of the Korean working class. The leaders of the KCTU withdrew the plan for continuing strike action after the President’s promise (Sonn 1997). However, they also planned another strike as a threat if the re-amended labour law failed to satisfy the workers. Nevertheless, the final law was disappointing for the labour side (ibid). Political changes and the situation formed by the bankruptcy of a major conglomerate and the political defection of top ranking North Korean officials, forced the KCTU to withdraw its plan to strike (ibid).

The 1997 general strike is very important since for the first time in Korean history, the Korean labour class succeeded in defeating the powerful forces of big capital and the national government (ibid). This victory is more significant when we consider that it was achieved in a country where the labour movement has been extremely weak (ibid). The general strike has proven that the South Korean worker struggles were able to challenge the dominant opinion that national struggles are ineffective in the age of globalization (ibid).

Then, the labour movement decreased gradually after the Korean economy was knocked by the financial crisis in 1997 (Koo 2007). In order to overcome the crisis, President Kim Dae-Jung proposed to form a labour-management-government tripartite body. In February 1998, the Tripartite Commission produced a Tripartite Accord that allowed employers to implement redundancy layoffs in case of business failures (ibid). Although it was welcomed as a historical compromise, the rank members of the KCTU were upset by the result and forced the union leadership to resign. Subsequently, the KCTU withdrew from the Tripartite Commission (ibid). We can understand that such a compromise may well have been the best resolution for South Korean industry to avoid collapse. However, we also understand the KCTU decision since the unions keep to the spirit of the labour movement rooted deeply in the history of Korea long before the transition to democracy.

Generally speaking, the KCTU is still the representative of labour unions. At the time of the general strike, the KCTU had about half a million members from almost a thousand trade unions, while the FKTU had 1.2 million members (Sonn 1997). However, the KCTU had total control over the three vital industries in Korea such as the automobile, shipbuilding and heavy industries, as well as over

T H E H I S T O R Y O F L A B O U R M O V E M E N T I N S O U T H K O R E A | 133

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

public transportation and key white collar workers such as those in hospitals, mass media and research institutes (ibid). In the next part, I would like to trace the analysis of the political economy of the labour movement in South Korea.

T HE POLIT IC A L ECONOM Y CONTE X T

Historically, the significance of the labour movement in South Korea in the political liberalization and democratization process that achieved its peak in 1987 can be seen from the number of political prisoners in South Korea during 1974-1985. Chulhee (2002) mentions, that workers and peasants make up the second largest number of political prisoners after students and youth in the period 1974-1985. The labour movement cooperated with the students and youth, priests, teachers, politicians, businessmen, reporters and writers, teachers, members of religious and movement groups and some civil servants who became political prisoners in South Korea during the authoritarian regime.

I consider political economy context of the labour movement to answer the question: Why were labour unions in South Korea after the 1980s relatively stronger compared to their counterparts in Asia? Tracing this in more detail, South Korean workers’ historical struggle in the 1980s and 1990s changed the workers’ class, status and identity (Mappiase 2009). According to Mappiasse, this was not because South Korean workers have an aggressive role in development or there has been little attention given to the labour issues in East Asian countries (ibid). However, I think that it is problematic since the South Korean workers basically are the main pillars of development. So the question is: how do we define development?

According to Mappiase, Koo says that workers’ experiences of severe aggravation and excessive humiliation give rise to class consciousness (ibid). Mappiasse also explains that a repressive state that was in line with the rapid economic growth for the interest of the capitalists and politicians to control the majority of the resources in South Korea caused social resentment and depression both in working places and in the public sphere (ibid). The interaction between students and workers has changed the issue from the humanitarian to the democratic and political issues to obtain better life chances for South Korean citizens (ibid). This is why the labour

134 | C A H YO PA M U NGK A S

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

movement in South Korea obtained a higher level of strength and quality compared to other countries in Asia. However, of course, we could not compare directly the labour movements between South Korean labour and their counterparts without tracking their historical and social backgrounds and stages of capitalism under colonization.

tabel 4. Number of Political prisoners by Occupation

Occupations 1974-1979 1980-1985 Students and youths 986 678Workers and peasants 117 490Priests 78 6Members of religious groups 49 23Reporters and writers 74 35Teachers 59 53Politicians 50 46Businessmen and researchers 29 16Soldiers and Public servants 5 31Employers and self-employed 31 27Unemployed 37 6Poor people 0 17Members of movement groups 0 23Others 776 57

Source: Chulhee 2002: 240

If we trace this further, social movements in South Korea have acquired different goals and historical consciousness since the transition to democratization in 1987. We can differentiate between moderate and radical movements in the history of South Korea (Hyun 2007). The dominant social movements called the civil society movement (simin sahoe undong), distinguished themselves from the previous peoples’ movements (minjung). In the former, the fight was to reform society gradually, through legal and constitutional ways, the latter aimed to set up a new state and economy that would protect the rights of the subordinated people. The next question is: To what extent do they differ in political practices in fighting against the authoritarian government?

The dominant movement groups habitually request legal reforms, legislation of new laws and abolishment of repressive old ones (ibid). Meanwhile, the Minjung movement refused the social order under the authoritarian state and capitalist economy led by conglomerates and engaged primarily in street protests. The subjects of the two movements are also different (ibid). The former identify themselves as an NGO movement, in which citizens lead the expansion of civil

T H E H I S T O R Y O F L A B O U R M O V E M E N T I N S O U T H K O R E A | 135

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

society; obtaining relative autonomy from state intervention, while the latter are based on class and popular subjects as their constituents.

Changes in 1987 signalled a new phase for the economic and cultural globalization of South Korea where the raising of overseas investment and production needed the rise of labour in the production process. In 2004, about 400,000 foreign workers were hired in response to the shortage in the low wage employment sectors called 3D work (dirty, dangerous, and physically demanding) (ibid). After 1987, South Korean economic growth attracted new attention from the Korean Diaspora and migrant workers. After the 1988 Seoul Olympic Games, the migrant workers came to Korea and fought to keep their rights after 1995 (Youngkon 2005).

The improvement in the economy of South Korea in the late1980s needed more significant amounts of labour. The campaign for economic globalization by South Korea has transformed the Korean nation into an open state for migrants in whom the Korean Chinese community receives a greater priority than Korean Russians or Korean Japanese.8 This can be understood since they are able to communicate in Korean and their facial features resemble those of South Koreans. Hyun Ok Park (2004) says that migration from the Korean Diaspora and migrant workers into South Korea can be explained in these ways (ibid): The first is the supply and demand thesis that examines the ways that developing countries meet the demand for cheap labour in developed countries. The second is the thesis of the international flow of capital and labour to develop the ways that overseas capital investment attracts migrant workers.

Park (2004) also explains that during the economic miracle period from the early 1970s to the late1980s, the production of manufactured goods used labour power as the main sources for capital accumulation (ibid). However, in the late1980s, this type of production met its limits and raised the cost of production. Then, economic reforms in late 1980s used foreign investment, overseas production and the adoption of flexible measures to adapt to the world market. For example is subcontracting and replacing permanent full time employment with part time jobs. The use of

8 Korean Chinese are privileged by employers in South Korea for jobs in construction, restaurants, and domestic service while jobs in small factories are given to migrant workers (Hyun, Ok Park 2004, op cit.)

136 | C A H YO PA M U NGK A S

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

subcontract workers by big business has also expanded into small factories and resulted in labour shortage (ibid).

Lee Byoung Hoon (2008) says that under the present system of enterprise unionism, a majority of small firms and non regular workers remains unorganized and the large firm labour unions exclusively focus on their own welfare which has deepened the fragmentation of the labour market (Hoon 2008). He claims that labour unions in large firms whether pursuing militant activism or a cooperative line, have come to acquiesce to take all business practices of their employers as the exploitation of subcontractors and the non regular workforce. I think there is a change in orientation of labour unions in Korea if what Lee says is right.9

table 5. Trends of Industrial Disputes: 1966-1993

Year Disputes Participation (1,000 persons)

Work days lost (1,000 days)

Disputes by type

Sabotage Rally, sit in1966 104 121 40.6 - -1970 88 183 9.0 - -1975 133 10.3 13.6 49 541980 407 49.0 61.3 98 2511985 265 28.7 64.3 108 1571987 3,749 1,262 6,947 1,226 2,5161990 322 134 4,487 261 441993 144 109 1,308 142 2

Source: National Statistics Office, 1995: 401

The next question is: What is the real meaning of political liberalization and democratization in South Korea for the workers? Kim Kyong Dong and Lee On Jook (2003) state that democratization and liberalization for labour unions mean unlimited claims for rights without responsibilities. It means that democratization also has negative effect that causing violence in industrial relations. We know that after democratization in 1987, the labour movement instigated collective action of workers demanding a popular labour union movement and an increase in salaries in compensation for

9 Lee (2008) also mentions that the democratic government has served as another external factor that has worsened labour market dichotomy. According to him, they have not only been deprived of tools and enforcement capacity to regulate the monopolistic economic system dominated by the conglomerates, but also have been immersed in a policy discourse focused on economic growth rather than undertaking democratic reforms needed to attain peoples’ welfare (Lee Byoung Hoon 2008, ibid.)..

T H E H I S T O R Y O F L A B O U R M O V E M E N T I N S O U T H K O R E A | 137

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

past exploitation. But, widespread industrial disputes ensued, often entailing severe violence so many industries with strong radical labour unions began to bleed and some of them closed down. The trends of industrial disputes in South Korea in the period of 1966-1993 can be seen in the Table 5.

From the Table 5 we can see that the highest number of disputes was in the year 1987 coinciding with the milestone of transition to democracy. It is in line with the participants of industrial relation disputes involving 1,262,000 workers and working days lost of as many as 6,947,000 hours. The disputes were manifested by 1,222 strikes and 2,516 protests in the streets. It may be common in a new period of transition signalled by political liberalization by an authoritarian regime. Six years after that, the disputes decreased dramatically to 144 and the number of participants also declined to 109,000 workers with 1,308,000 working days lost.

table 6. Changing Class Structure: 1955-1992 (%)

Class 1955 1960 1970 1980 1990 1992Capitalist class 0.3 0.5 0.6 1.1 1,3 1.4Upper-Middle class

* 0.9 1.3 1.8 1.9 1.7

New Middle class

4.8 6.6 14.2 17.7 26.1 22.3

Old Middle class 7.5 13.0 14.8 20.8 19.6 22.3Working class 8.4 8.9 16.9 22.6 31.3 33.3Urban lower class

8.3 6.6 8.0 5.9 4.2 3.5

Self-employed class

70.6 40.0 28.0 23.2 13.0 11.6

Rural lower class ** 24.0 16.7 8.1 4.9 5.2Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0

Source: Dong and Jook 2002: 147.

I have a strong supposition that the strength of the labour movement in South Korea can be explained well by the changing class structure that experienced dramatic changes in 1987 as explained by Dong and Jook (2002):10 The first, the most drastic change, took place in rural areas, diminished by one quarter over the span of a half century. The second was accompanied by increasing

10 According to them, the new middle class is composed of the professional-technical, managerial, and clerical occupations. If the old-middle class is self-employed professionals and owners, the working class is the production workers.

138 | C A H YO PA M U NGK A S

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

the new middle class (5 times), capitalist class (4.7), working class (4 times), and old middle class (2.9). Dong and Jook (2002) say that it points out that class structure has become more plural and open to the process of industrialization being signalled by the growth of significant middle and working classes. They also mention that it indicated the growing basis of civil society that was supposed to provide the ground for the democratic movement in 1987. The above explanation of change in class structure can be seen in the Table 6.

CONCLUSION

The high growth of the economy and in industrialization made the bargaining position of labour also high. The orientation to the industrial sector impacted on the concentration of labour and trade unions in the industrial sector in which the workers became skilled labour. So, structurally, labour’s position in South Korea is high relatively and less dependent on the government. This is the answer why labour movement in South Korea is stronger than their counterpart from other developed countries such as Indonesia and Taiwan. If it is traced in detail, the key success of the pro democracy movement in South Korea comes from a big coalition among labour, students and the middle class. Finally, let us cast a critical reflection to answer the main question of this paper.

The first is the strength and militancy of the labour movements in South Korea when compared with their counterparts in Asia rooted deeply in their history of power relations between the state and civil society. We can see that the first labour unions in South Korea addressed their objective to liberate Korean people from both feudalism and Japanese colonialism. However, the military coup on 16 May 1960 brought the capitalist development model based on export orientation industry with the condition of low wages for workers and political stability. The death of Chon Tae-Il was a milestone that encouraged the awakening of the labour movement in South Korea that had alliance with student movements and churches. The transition to democracy in 1987 was a significant moment and one of the results that prolonged the labour movement since the 1970s although it has many changed characteristics.

Second, the political economic context of the labour movements in Korea basically could not be separated from changes in structural

T H E H I S T O R Y O F L A B O U R M O V E M E N T I N S O U T H K O R E A | 139

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

conditions that are class and modernization, advanced economic development, and globalization. As we know, the success of the capitalist model of development has reduced the composition of the rural people and creates the rising of middle class. However, it is not a causal relation since there is another social process influencing the transition to democracy. For example, there is a strong alliance between labour, students and churches which has increased the bargaining power of the civil society against the national government and big business. Political democratization has strengthened the institutionalization of the labour movements, but globalization of ideas and practices of market fundamentalism tends to make them weak. In the future, the practices of market fundamentalism may threaten the labour movement as well as the whole civil society.

REFERENCES

Amy, Delahanty. 2007. Modern korean History: The Democratization of the Labour Force. Retrieved August 1, 2009 (http://amsikle.vox.com).

Barrets, Patrick S. 2001. “Labour Policy, Labour Business Relations and the transition to Democracy in Chile.” Journal of Latin American Studies, 33:561-397.

Choon, Chulhee. 2002. Social Movement Organization and the June Uprising. Seoul: Hollym Corporation.

Hochul, Sonn. 1997. “The Late Blooming of the South Korean Labor Movement.” Monthly Review, July-August, 1997. Retrieved August 1, 2009 (http://findarticles.com).

Ho, Keun Song. 1999. “Labour unions in the Republic of Korea: Challenge and Choice,” Discussion Papers, DP/107/1999, Labour and Society. Seoul: Seoul National University.

Hyun, Ok Park. 2004. “Democracy, History, and Migrant Labour in South Korea: Korean Chinese, North Koreans, and Guest Workers.” New York University. Paper presented at the Korean Studies of Stanford University and the East Asian Studies of the University of Pennsylvania in Spring 2004. Retrieved August 1, 2009 (http://fsi.stanford.edu).

“Interview with William Liddle on Politics after Election 11 June and 14 August 1997.” 1997. Retrieved August 1, 2009 (http://www.library.ohiou.edu)

140 | C A H YO PA M U NGK A S

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 115-140

Kim, Kyong-Dong and Lee On-Jook. 2003. The Two koreas: Social Change and National Integration. Seoul: Jimoondang International.

Youngkon, Kim. “A History of Korean Labor and Its Future.” Retrieved August 1, 2009 (www.locoa.net).

Koo, Hagen. 2007. “South Korean Labor Movement.” Retrieved August 1, 2009 (www.suninanet.blogspot.com).

Lee, Byoung Hoon. 2008. “Labor Market Polarization: Damages Social Cohesion.” In Social Change in korea, Insight into korea Series Vol. 2, edited by Kim Kyong Dong and The Korea Herald et al. Seoul: Jimoondang International.

Mappiasse, Sulaiman. 2009. “Korean Workers: the Culture and Politics of Class Formation.” Retrieved August 1, 2009 (http://www.palioijayabiz.com).

Marger, Martin N. 1987. Elites and Masses: An Introduction to Political Sociology. Wadsworth.

Minns, John. 2001. “The Labor Movement in South Korea” in Labour History, No. 81, Nov. 2001:175-195.

Payne, Leigh A. 1991 “Industrialist, Labor relations, and the transition to democracy in Brazil.” Working Paper #158 - April 1991. The Helen Kelogg Institute for International Studies.

“Political Sociology.” Retrieved August 1, 2009 (http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/1854039-political-sociology/).

Selligson, Mitchell A et. al, ed. 1998. Development and Under-Development: The Political Economy of Global Inequality, 2nd edition. Boulder: Lynne Rienner Publisher Inc.

Schumpeter, J.A. 1950. Capitalism, Socialism and Democracy. New York: Harper-Collins.

Subono, Nur Imam. 2007. “Demokrasi dan Buruh (Pelajaran dari Meksiko, Korea Selatan dan Indonesia),” Pikiran kritis, Edisi II Th. VII September 2007. Retrieved August 1, 2009 (http://www.solidaritasburuh.org).

Valenzuela, J. Samuel. 1988. “Labor movements in transitions to democracy: a framework for analysis,” working paper #104 - June 1988, The Helen Kelogg Institute for International Studies.

Weber, Max. 1978. Economy and Society (eds.) Guenther Roth and Claus Wittich, University of California Press, Berkeley.

Dinamika Otonomi Tubuh Perempuan: Antara Kuasa dan Negosiasi atas Tubuh

G a b r i e l l a D e v i B e n e d i c t a

Peneliti Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI Email: [email protected]

Abstract

This paper discusses sexuality and autonomy of woman’s body through a study of sexy dancers in entertainment industry in Malang, East Java. Entertainment industry, including night club industry is capital manifestation and a contested arena of any kind of ideology like capitalism and patriarchy. However, a woman still can show her autonomy of her body instead of being a commodity object. She can make her body as a subject. In this case, she, herself, becomes a doer which is controlling her own body. The dynamic of woman’s authority of her body is influenced by a certain setting and context. It can be seen in social relation involved sexy dancers and other actors. She can have high bargaining position and negotiation of her body when she relates to a certain actor, but on the other side she may not have an autonomy of her body when she relates to another actor. The autonomy of her body is multi dimension and not absolute.

Kata kunci: tubuh perempuan, seksualitas, otonomi tubuh, penari seksi, kekuasaan

142 | G A B R I E L L A D E V I B E N E D I C T A

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

PENDA HU LUA N

Sebagai ideologi, kapitalisme dan patriarkat dapat termanifestasikan melalui perempuan dan tubuhnya. Ini terlihat misalnya, melalui komodifikasi para sexy dancers (penari seksi) dalam dunia industri hiburan malam. Mayoritas penari seksi tersebut adalah perempuan muda yang tubuhnya dibalut kostum minimalis. Tidak seperti penari pada umumnya yang menampilkan keindahan gerakan tarian, penari seksi menyajikan keindahan tubuh. Perempuan dalam kasus ini, terutama tubuhnya, dianggap tidak hanya lebih memikat tetapi juga lebih mudah dikontrol oleh para pemilik modal dibandingkan dengan laki-laki (Surur dan Anoegrajekti 2004).

Dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, industri hiburan malam menyajikan perempuan bertubuh ‘ideal’. Konsekuensinya, ada intervensi terhadap wilayah privat individu, yaitu tubuh. Tubuh perempuan dibentuk, dipoles, dan dikontrol untuk dihadirkan kepada para konsumen laki-laki dalam rupa yang sempurna sesuai dengan imajinasi mereka. Tubuh perempuan dijadikan locus bagi terjadinya kontestasi kekuasaan. Dalam kontestasi tersebut, perempuan dijadikan objek hegemoni dan kontrol ideologi patriarkat dan kapitalisme. Namun, bukan berarti perempuan tidak dapat menempatkan diri mereka sebagai subjek yang memiliki otonomi atas dirinya sendiri.

Beberapa peneliti telah melakukan kajian yang membahas mengenai seksualitas dan tubuh perempuan. Salah satu di antaranya adalah tulisan Aquarini Priyatna Prabasmoro (2003) mengenai “Representasi Seksualitas Perempuan dalam Tiga Novel karya N. H. Dini”. Konstruksi seksualitas dan subjektivitas perempuan dalam budaya patriarkat dianalisis melalui kajian struktur dan wacana pada tiga novel karya N.H Dini, yaitu Pada Sebuah kapal, La Barka, dan Namaku Hiroko. Isu utama yang diangkat dalam tulisan tersebut adalah isu tubuh dan penubuhan, serta wacana berahi, seks, dan cinta. Tokoh-tokoh perempuan pada novel tersebut dapat memainkan peranannya, baik sebagai subjek maupun objek. Mereka otonom dan dapat menentukan arah diri dan tubuhnya sendiri. Tokoh-tokoh tersebut menunjukkan transendensi subjek perempuan terhadap tubuh perempuannya melalui resistensi terhadap apa yang didefinisikan oleh budaya patriarkat sebagai ruang tubuh perempuan. Tokoh Sri dalam novel Pada Sebuah kapal misalnya, menolak menjadi objek

D I N A M I K A O T O N O M I T U B U H P E R E M P U A N | 143

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

pasif dari pandangan seorang subjek yang menyituasikannya dalam kanvas. Sedangkan tokoh Hiroko, melalui tarian erotisnya, mampu mengubah situasi objektif menjadi subjektif yang menempatkan dirinya sebagai subjek. Tidak berbeda dengan kedua tokoh utama lainnya, tokoh Sophie diceritakan sebagai perempuan yang mampu menyadari potensi seksualitas tubuhnya dan menikmati objektivitas tubuhnya terhadap pandangan laki-laki. Tubuh dan seksualitas tersebut yang menjadi bagian penting yang menentukan bagaimana konstruksi diri perempuan dibentuk.

Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Rachmah Ida (2004) mengenai Tubuh Perempuan dalam Goyang Dangdut menunjukan bahwa tubuh perempuan dianggap mengandung ‘sensualitas’ yang menggugah berahi laki-laki. Kenikmatan yang diperoleh para lelaki sangat bergantung pada persepsi individual. Kenikmatan adalah ranah privat yang dimiliki individu, tetapi ‘produk’ yang dinikmati (penari dangdut) adalah ranah publik, milik siapa saja karena itu wajar atau sudah sepantasnya mendapat cercaan atau kritikan. Wilayah privat dan publik mengalami perpendaran makna. Wilayah privat menjadi hak pribadi, sedangkan wilayah publik tak pernah boleh menjadi milik pribadi.

Berdasarkan kajian di atas, tulisan ini menguatkan studi yang ada sebelumnya mengenai subjektivitas dan objektivitas tubuh perempuan. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana perempuan yang berprofesi sebagai penari seksi memberi pemaknaan atas seksualitas tubuhnya; apakah ia menjadi objek yang dikuasai oleh pihak lain atau ia menjadi subjek yang otonom dapat menentukan arah diri dan tubuhnya sendiri. Keindahan tubuh perempuan dalam diri penari seksi yang memuat cita rasa estetis yang unik tersebut seringkali dilihat dalam konteks yang berbeda. Tubuh merupakan awal pemaknaan seksualitas dan bahkan pemaknaan atas diri perempuan. Beauvoir dalam Tong (2004) menyebutkan bahwa semua berawal dari tubuh. Penilaian dan pemaknaan atas kualifikasi tubuh perempuan yang digambarkan dalam diri penari seksi selama ini lebih banyak didominasi oleh sistem penilaian dan pemaknaan laki-laki. Suara para penari seksi ini sendiri dalam memaknai seksualitas tubuhnya serta pekerjaannya kurang terangkat. Tulisan ini akan menunjukkan bagaimana interaksi antara kapitalisme, patriarkat, dan aktor-aktor di dalamnya bekerja sama menghadirkan industri hiburan malam. Dari beberapa penelitian dan studi yang telah dilakukan

14 4 | G A B R I E L L A D E V I B E N E D I C T A

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

sebelumnya, tulisan ini ingin mengangkat sisi lain tubuh perempuan; penari seksi sebagai aktor melihat dan memaknai tubuhnya sendiri.

Menurut saya, kontrol atas tubuh penari seksi perempuan bersifat dinamis karena posisi tawar mereka dapat berubah-ubah, tergantung dengan siapa perempuan membangun relasi. Oleh karena itu, perempuan tidak hanya dapat dipandang sebagai objek, namun dapat pula sebagai subjek. Pada satu sisi, perempuan penari seksi dalam industri hiburan diposisikan menjadi objek dan kendaraan ekonomi berbagai kepentingan lain di luar tubuh mereka, namun pada sisi lain mereka memiliki potensi menjadi subjek yang dapat dengan otonom menentukan arah dan kontrol tubuh mereka. Kemampuan atau ketidakmampuan untuk memiliki kontrol atas tubuh perempuan yang diangkat melalui kehidupan para penari seksi tersebut menunjukkan bagaimana otonomi atas tubuh mereka. Tulisan ini ingin mengangkat sisi lain dari tubuh perempuan yang unik, di satu sisi cenderung lekat dengan kontrol oleh kapitalisme dan patriarkat, namun di sisi lain dapat pula menjadi pemilik yang menentukan kuasa atas tubuhnya.

Subjek utama studi ini adalah salah satu kelompok penari seksi yang ada di kota Malang, Jawa Timur pada saat penelitian ini dilakukan (tahun 2009). Untuk mengkaji lebih jauh mengenai dinamika otonomi tubuh subjek penelitian utama, dilihat pula relasi yang terjadi antara penari seksi dengan aktor lainnya (pemilik industri hiburan malam tempat penari seksi bekerja, konsumen industri hiburan malam, dan pemerintah daerah terkait).

KONSEPSI T U BU H DA N OTONOMI T U BU H

Menurut Bartky, Lee, dan Foucault (2003 dalam Ida 2005) dalam karya mereka yang berjudul Feminity and the Modernization of Patriarchal Power, dikatakan bahwa “woman’s body is an ornamented surface too, and there is much discipline involved in this production as well” tubuh perempuan dianggap ornamen; maka penggunaan make-up dan pemilihan pakaian semuanya terlibat dalam pemaknaan tubuh perempuan. Melihat tubuh perempuan, tidak dapat melepaskan konteks budaya dan tubuh yang didefinisikan. Salah satu budaya yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia adalah budaya patriarkat. Budaya ini didasarkan pada suatu pandangan yang mengangap bahwa norma laki-laki yang menjadi pusat (center)

D I N A M I K A O T O N O M I T U B U H P E R E M P U A N | 145

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

dari relasi-relasi sosial yang ada (Ida, 2005). Karena dibudayakan, tubuh juga memiliki hierarki pemaknaan; tubuh yang indah dan tidak indah, normal dan tidak normal, ideal dan tidak ideal, dan seterusnya (Prabasmoro, 2006).

Dalam kajian mengenai tubuh, terdapat pula konsep mengenai otonomi atas tubuh. Otonomi tubuh tersebut adalah upaya sistematis-berkelanjutan dari setiap perempuan untuk mau dan mampu menjadikan tubuhnya sendiri otonom, utuh dari penjajahan siapa dan pihak mana pun dan di mata siapa pun (Harper, 2002). Upaya ini membutuhkan pemaknaan akan nilai-nilai hidup dan makna eksistensi diri perempuan itu sendiri, sehingga dirinya bebas menentukan dan independen untuk menerjemahkan realitas yang dihadapinya. Kemerdekaan dan otonomi tubuh perempuan harus dilakukan bersamaan dengan upaya perempuan memaknai eksistensi dirinya di tengah gerusan dan gempuran berbagai gempuran kepentingan di luar tubuh perempuan (Suara Merdeka, 29/04/2009).

Otonomi atas tubuh perempuan selalu berhubungan dengan kekuasaan. Seorang perempuan dikatakan dapat memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri jika ia dapat melakukan kontrol atas tubuhnya. Jika seorang perempuan memiliki kemampuan kontrol tersebut, ia dapat menentukan arah tubuhnya. Tubuh perempuan yang indah dan menarik bagi laki-laki dapat digunakan secara sadar oleh perempuan untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Namun, tidak semua perempuan dapat memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri. Ketidakmampuan perempuan dalam menentukan arah atas tubuhnya tersebut dapat dilihat ketika tubuh perempuan dijadikan komoditas oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak tersebut.

Foucault (1983) menunjukkan bahwa wacana seksualitas tidak mungkin dilepaskan dari wacana kekuasaan dan pengetahuan, yang di dalamnya termasuk bagaimana budaya dikonstruksi untuk melanggengkan tatanan kekuasaan yang patriarkal. Dalam membahas keterkaitan antara seksualitas dan kekuasaan, Foucault menulis beberapa buku, salah satu yang paling terkenal adalah History of Sexuality (1983). Salah satu poin penting buku ini adalah bahwa seksualitas lebih merupakan produk positif kekuasaan. Seksualitas bukanlah realitas alamiah melainkan produk sistem wacana dan praktik yang membentuk bagian-bagian pengawasan dan kontrol individu yang semakin intensif.

146 | G A B R I E L L A D E V I B E N E D I C T A

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

EKONOMI-POLIT IK T U BU H PER EMPUA N DI ER A K A PITA LISME

Terdapat tiga persoalan yang menyangkut eksistensi perempuan di dalam wacana ekonomi-politik (political economy), khususnya dalam dunia komoditi. Pertama , persoalan ‘ekonomi-politik tubuh’ (political-economy of the body), yaitu bagaimana aktivitas tubuh perempuan digunakan dalam berbagai aktivitas ekonomi, berdasarkan pada konstruksi sosial atau ‘ideologi’ tertentu. Kedua, persoalan ‘ekonomi-politik tanda’ (political-economy of sign), yaitu bagaimana perempuan ‘diproduksi’ sebagai tanda-tanda (signs) di dalam sebuah sistem pertandaan (sign system) —khususnya di dalam masyarakat kapitalis— yang membentuk citra (image), makna (meaning) dan identitas (identity) diri mereka di dalamnya. Ketiga, persoalan ‘ekonomi-politik hasrat’ (political-economy of desire), yaitu bagaimana ‘hasrat perempuan disalurkan atau ‘direpresi’ di dalam berbagai bentuk komoditi, khususnya komoditi hiburan dan tontonan (Piliang, 2003).

Persoalan ‘ekonomi-politik tubuh’, berkaitan dengan sejauh mana eksistensi perempuan di dalam kegiatan ekonomi-politik, khususnya dalam proses produksi komoditi; persoalan ‘ekonomi-politik tanda’ berkaitan dengan eksistensi perempuan sebagai ‘citra di dalam berbagai media (televisi, film, video, musik, majalah, koran, komik, seni lukis, fashion); sementara ‘ekonomi-politik hasrat’ berkaitan dengan bagaimana ‘tubuh’ dan ‘citra’ berkaitan dengan ‘pembebasan’ dan ‘represi’ hasrat. Yang pertama melukiskan eksistensi perempuan dalam ‘dunia fisik’, yang kedua di dalam ‘dunia citra’, dan yang ketiga di dalam ‘dunia psikis’, meskipun ketiga dunia tersebut saling berkaitan satu-sama lainnya (Piliang, 2003).

Penggunaan ‘tubuh’ dan ‘representasi tubuh’ (body sign) sebagai komoditi (komodifikasi) di dalam berbagai media hiburan masyarakat kapitalis, telah mengangkat berbagai persoalan yang tidak saja menyangkut ‘relasi ekonomi’ (peran ekonomi perempuan), akan tetapi lebih jauh ‘relasi ideologi’, yaitu bagaimana penggunaan tubuh dan citra tersebut menandakan sebuah relasi sosial—khususnya relasi gender—yang dikonstruksi berdasarkan sistem ideologi tertentu. Komodifikasi perempuan di dalam berbagai media hiburan dan tontonan menjadi sebuah persoalan ‘ideologi’, ketika penggambaran mereka di dalamnya dilandasi oleh sebuah relasi, yang di dalamnya

D I N A M I K A O T O N O M I T U B U H P E R E M P U A N | 147

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

mereka berada pada posisi subordinasi, serta semata menjadi objek eksploitasi kelompok dominan, yaitu laki-laki—inilah ideologi ‘patriarkat’ (patriarchy). Komoditi—khususnya media hiburan televisi, film, musik, lawak, video—di sini menjadi wahana bagi sebuah proses ‘pengalamiahan’ (naturalisation) berbagai posisi ‘ketimpangan’, ‘subordinasi’, ‘marjinalisasi’, dan ‘seksisme’ di dalam relasi gender. Inilah yang dikatakan oleh Antonio Gramsci sebagai penciptaan ‘consent’ atau ‘common sense’ di dalam masyarakat, untuk dijadikan sebuah kendaraan dalam rangka mempertahankan ‘hegemoni’ sebuah kelas lainnya di dalam masyarakat—hegemoni laki-laki (Piliang, 2003).

KOMODIFIK A SI T U BU H PER EMPUA N

Komodifikasi tubuh perempuan menghasilkan objektivikasi sekaligus subjektivikasi. Sebagai objek, perempuan mengalami objektivikasi atas tubuhnya, namun sebagai subjek, ia dapat mengomodifikasi tubuhnya untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri. Penggunaan pakaian minim yang memperlihatkan bagian dada, perut, paha, dan betis oleh penari seksi adalah bentuk komodifikasi atas keindahan tubuh perempuan. Namun, komodifikasi tidak akan terjadi tanpa rasionalisasi tindakan laki-laki kepada perempuan dan tubuhnya. Tidak hanya melalui pandangan dan rasionalisasi tindakan laki-laki, komodifikasi terhadap tubuh perempuan dapat dilakukan dengan basis modal/kapital.

Namun, profesi yang dijalankan oleh seorang perempuan tidak selalu menjadi faktor penentu apakah tubuh perempuan tersebut dikomodifikasi. Faktor lainnya yang dapat digunakan untuk menentukan apakah tubuh perempuan terkomodif ikasi oleh kepentingan kapitalis atau tidak adalah penggunaan tubuh perempuan dengan tujuan untuk menarik perhatian konsumen laki-laki semata, intervensi atas pakaian, sikap, ataupun gerakan perempuan dengan tujuan untuk penjualan suatu produk. Namun demikian, di sisi lain perempuan sadar bahwa tubuh mereka adalah realitas dari keindahan manusia; mereka menjadikan tubuhnya sebagai aset. Aset ini tentu saja dapat ‘dijual’ atau digunakan untuk mendapatkan keuntungan tertentu.

Komodifikasi terhadap tubuh perempuan dalam hal ini dapat dilihat dalam dua sisi, sebagai objek ataupun subjek. Sebagai objek,

148 | G A B R I E L L A D E V I B E N E D I C T A

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

perempuan mengalami objektivikasi atas tubuhnya sedangkan sebagai subjek, perempuan melakukan subjektivikasi atas tubuhnya. Sebagai objek, tubuh perempuan adalah korban komodifikasi dari kekuatan lain di luar tubuh si perempuan itu sendiri, tetapi sebagai subjek, perempuan justru menjadi pelaku komodifikasi. Sebagai pelaku, perempuan melakukan hal tersebut secara sadar. Ia tidak lagi berada dalam posisi yang lemah seperti ketika perempuan menjadi objek dan dikomodifikasikan, tetapi perempuan dalam hal ini memiliki posisi yang kuat untuk menjadi pelaku komodifikasi atas tubuhnya sendiri.

Dalam dunia hiburan malam, konsumen menjadi salah satu pihak yang memiliki peran signifikan dalam menentukan penampilan penghibur. Penampilan yang dipertontonkan oleh penari seksi lebih menonjolkan penampilan fisik dalam balutan pakaian minim dengan gerakan-gerakan erotis. Penampilan fisik para penari seksi tersebut dikonstruksi melalui definisi tubuh yang cantik dan seksi dari para pemilik dan konsumen tempat hiburan malam. Konsumen industri hiburan malam yang sebagian besar laki-laki ini mengakui bahwa perempuan menjadi komoditas yang sengaja dijual untuk menarik perhatian mereka.

”Sexy dancer dari namanya aja udah seksi, dari wajah oke lah, bisa dijual. Kita pernah pakai lebih bagus, lebih liar, lebih berani dari JD (kelompok penari seksi) tapi mukanya ancur-ancur. Jelek-jelek, item-item. Dancer ancur-ancur, ambil dari mana? Dari gunung ya? Dancer itu pertama dari face, kedua performance. Putih-putih juga. Jadi lebih ke fisik.” (wawancara dengan Informan BC dan IN [pihak manajemen café], 24 September 2009)

Tubuh perempuan yang memuat cita rasa estetis bagi laki-laki dikomodifikasikan sesuai dengan tuntutan laki-laki sebagai konsumen utama industri hiburan malam. Di sinilah kapitalisme mengomodifikasi tubuh perempuan. Pencitraan dan penggunaan tubuh perempuan sejak dahulu hingga kini telah mengalami evolusi yang mencengangkan. Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari alasan ritual hingga komoditas. Namun sepertinya motif komoditas masih terus bertahan hingga kini. Komoditas menurut W.F. Haug (Piliang 1998: xv) merupakan wacana pengendalian selera, gaya, gaya hidup, tingkah laku, aspirasi, serta imajinasi kolektif masyarakat oleh para elite (kapitalis). Menurutnya, untuk mendominasi selera

D I N A M I K A O T O N O M I T U B U H P E R E M P U A N | 149

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

masyarakat para elite menciptakan ilusi dan manipulasi. Salah satu bentuknya adalah penggunaan efek sensualitas pada organ-organ tubuh perempuan (atau representasinya) di dalam berbagai wujud komoditas. Sejak lama tubuh perempuan adalah komoditas yang mempunyai nilai jual yang tidak pernah surut sampai saat ini (Piliang 1998).

Tubuh perempuan adalah locus ekonomi dan politik tempat ideologi dikontestasikan dan ekonomi dipromosikan. Penggunaan tubuh perempuan yang diwujudkan dalam penggunaan penari seksi dalam industri hiburan malam menunjukkan bagaimana persoalan mengenai ‘ekonomi-politik tubuh’ (political-economy of the body) bermain. Tubuh penari seksi perempuan yang indah dan seksi digunakan oleh kepentingan modal dalam aktivitas ekonomi industri hiburan malam melalui tanda-tanda yang terfragmen dan melalui hasrat laki-laki atas tubuh perempuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi.

Fragmen-fragmen tubuh perempuan melalui pose dan gerakan yang menantang menjadi objek yang ‘dipuja’ dan memiliki pesona tersendiri dalam menghasilkan rangsangan, hasrat, dan citra tertentu. Keseksian dan sensualitas tubuh para penari seksi menjadi atribut bisnis hiburan malam. Ketika tubuh, bagian tubuh, atau fungsi seksual dari tubuh dipisahkan dari totalitas kedirian seorang perempuan, maka praktik objektivikasi seksual atas tubuh perempuan itu dilakukan.

Namun, tidak selamanya perempuan dijadikan komoditas oleh pihak laki-laki. Perempuan dapat pula secara sadar memahami bahwa tubuh mereka yang indah adalah komoditas yang bisa digunakan justru untuk pemenuhan berbagai kepentingan mereka.1 Keindahan

1 Dalam buku ‘Perempuan di Titik Nol’ yang ditulis oleh Nawal El-Saadawi, diungkapkan dengan sangat baik, bagaimana tubuh perempuan sebagai bentuk seksualitas dapat men-jadi komoditas bagi dirinya sendiri. Perempuan dapat dengan tegas menentukan pengua-saan atas tubuhnya. Walaupun pada awalnya digambarkan bagaimana tubuh perempuan, melalui tubuh Firdaus sebagai tokoh sentral dalam cerita tersebut, dikuasai oleh ideologi dominan di negara Mesir, yaitu patriarkat, namun di akhir cerita Firdaus digambarkan sebagai sosok yang dapat menentukan kuasa atas tubuhnya sendiri. Di awal cerita digam-barkan bagaimana hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan bukan lagi didasarkan atas keinginan kedua belah pihak tetapi didasarkan atas bentuk penguasaan struktural laki-laki terhadap perempuan. Bahkan Firdaus yang dijual oleh pamannya untuk dinikahkan dengan laki-laki tua kaya, memiliki anggapan bahwa istri hanyalah budak seks yang tidak pernah dibayar dalam belenggu ikatan pernikahan yang melegalkan hubungan seksual an-tara suami-istri dilakukan. Ayahnya, pamannya, bahkan suaminya membuat ia tumbuh

150 | G A B R I E L L A D E V I B E N E D I C T A

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

dan kemolekan tubuh perempuan justru digunakan untuk menarik perhatian pasangan/konsumen. Tidak sedikit dari pasangan/konsumen memenuhi kebutuhan para penari seksi tersebut dengan berbagai kemewahan seperti pakaian, perhiasan, mobil bahkan rumah mewah. Memang, para penari seksi tersebut selalu saja memiliki cara untuk memanfaatkan perhatian dari para laki-laki yang mengagumi keindahan fisik mereka. Mereka sadar memiliki tubuh indah yang dikagumi banyak lelaki, tetapi tidak begitu saja mau menerima setiap ajakan yang ditawarkan para lelaki yang umumnya berasal dari kalangan menengah ke atas. Dengan cara yang cerdik, para penari seksi memperoleh barang-barang konsumtif tanpa perlu memberikan imbalan kepada para lelaki pengagumnya.

“Kalo mobil dari pacar, iya dong. Kita udah dandan kaya gini, tinggal menikmati.. udah dandan keren gini.. Kaya R tuh, banyak yang mau tapi dia-nya mau-mau engga. Kalo aku ga bisa tuh mau-mau engga gitu. Kalo aku dideketin sama cowok yang dihajar duluan itu cowonya duluan baru aku (oleh pacar informan), makanya ga berani aku. Kita paling suka yang Cina-Cina gitu. Kasat mata aja deh, setidaknya mereka itu di atas orang pribumi dikit. Kita matre udah biasa. Kita ga mau rugi soalnya. Kita aja perawatan mukanya udah berapa, bukan gaya ya, tapi anak-anak juga mikir kalo punya pacar pas-pasan. Masa sih punya pacar kita juga yang bayarin makan, tas, bayarin baju.” (wawancara dengan Informan NS [salah satu penari seksi dalam kelompok JD] , 26 September 2009)

Dengan mengomodifikasi tubuhnya, para penari seksi memperoleh berbagai previlese berupa fasilitas mewah maupun kebutuhan hidup yang mereka perlukan. Mereka ‘menjual’ tubuh kepada para pengusaha kaya, konglomerat ataupun para pejabat sebagai perempuan simpanan, ataupun perempuan yang dapat di-‘ booking’ atau ‘dibawa’.

“Ada lah, aku ga bisa sebut nama ya.. dua.. eh tiga dancer-ku.. ada yang emang cewek booking-an, ada yang simpenan anggota DPR,

menjadi seorang perempuan yang bahkan tidak dapat memiliki tubuhnya sendiri. Sering-kali tubuh sebagai bentuk seksualitas perempuan dimanfaatkan sebagai alat politisasi dan ekonomisasi oleh kepentingan lain di luar tubuhnya.

D I N A M I K A O T O N O M I T U B U H P E R E M P U A N | 151

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

ada yang simpenan pengusaha Cina.. dan mereka dapet fasilitas yang wah.. aku tau.. tapi aku ga pernah nanya..tapi ya wes itu urusan kamu.. aku tau lah.. Mereka juga ga cerita-cerita.. tapi aku tau lah.. ya berapa sih gaji dancer, tapi mereka bawa mobil.. tiba-tiba ada yang bawa jazz.. atau tiba-tiba handphone-nya ganti iphone.. paling aku bilang.. oh handphone-mu baru.. aku juga ga pernah nanya-nanya..” (wawancara dengan Informan PM [leader penari seksi dalam kelompok JD, 21 Juni 2009)

Ada yang dipertukarkan di sini. Di satu sisi, perempuan dapat memaksimalkan tubuhnya yang indah untuk menarik perhatian lawan jenis mereka agar memberikan fasilitas mewah. Namun, di sisi lain tubuh mereka harus diserahkan kepada laki-laki sebagai sang pemilik modal. Tetapi yang perlu digarisbawahi terkait dengan hal ini adalah mereka sesungguhnya menyadari menggunakan tubuhnya sebagai komoditas untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. “Kalo aku cuma ngeliat ga megang ga masalah, kalo udah megang itu lain cerita. Boleh diliat ga boleh dipegang. It’s mine, under my control; you can see, but you can not touch (ini milikku, di bawah kendaliku; kau dapat melihat, tapi tak dapat menyentuhnya.” (wawancara dengan Informan AWM [salah satu penari seksi dari kelompok JD], 25 September 2009). Itulah pernyataan yang menggambarkan penegasan kontrol yang mereka lakukan atas tubuh mereka sendiri. Ketika kontrol atas tubuh mereka dapat dilakukan, mereka menunjukkan bahwa mereka bukanlah objek yang terkomodifikasi dalam suatu konteks tertentu.

KONTROL ATA S T U BU H PENA R I SEK SI PER EMPUA N

Tubuh merupakan ranah hakiki setiap manusia yang menjadi ajang ekspresi diri atas kreativitasnya. Kontrol atas tubuh ini menjadi hal yang penting bagi penari seksi karena tubuh adalah satu-satunya milik perempuan. Dalam konteks relasi yang dilakukan penari seksi dengan pihak industri hiburan malam, mereka cenderung diposisikan sebagai objek yang dikuasai dan dikontrol oleh kepentingan modal. Walaupun pengelola industri hiburan malam dengan penari seksi menyatakan hubungan yang terjalin di antara mereka adalah hubungan yang saling membutuhkan dan melengkapi, namun relasi kekuasaan timpang tetap terjadi. Posisi tawar penari seksi cenderung

152 | G A B R I E L L A D E V I B E N E D I C T A

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

lebih lemah. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya berbagai intervensi pemilik industri hiburan malam kepada penari seksi.

“Iya.. ada beberapa café yang bilang.. aku ga mau anak yang ini, kurang cantik.. dan mereka ngomongnya terang-terangan ya.. Aku ga mau si A, badannya jelek.. Aku ga mau si B, ga ada toketnya.. Aku ga mau si ini.. Kalo event itu kita bisa jual gerakan, kalo sexy dancer itu bisa ga bisa nari itu ke seratus, yang penting cantik.. Orang mabok juga yang liat.. masa mereka mau liat gerakan.. kan engga.. yang penting cantik..” (wawancara dengan Informan PM [leader penari seksi dalam kelompok JD], 21 Juni 2009)

Dalam relasi yang dijalin dengan konsumen, penari seksi berada dalam relasi yang dinamis. Konsumen laki-laki memiliki andil yang besar dalam menentukan siapa penari seksi yang disukai ataupun bagaimana standar penampilan fisik dan penunjangnya. Para konsumen tersebut (khususnya mereka yang memiliki kedekatan personal dengan pemilik café) dapat menjadi pihak yang menentukan siapa penampil yang diinginkan. Terkait dengan hal tersebut, dapat dipahami bahwa seksualitas tubuh perempuan berada dalam konteks maskulinitas. Laki-laki diposisikan sebagai subjek yang memiliki peran dominan untuk menentukan siapa dan apa yang ditampilkan. Perempuan lebih ditempatkan sebagai objek seksual untuk memenuhi hasrat para konsumen laki-laki tersebut dalam industri hiburan malam. Namun, dalam konteks lainnya, para penari seksi dapat menunjukan kuasa atas tubuhnya sendiri. Hal ini nyata ketika para penari seksi menghadapi konsumen laki-laki yang ‘iseng’.

“Kalo nyolek aku ga banyak ngomong.. boot itu sudah banyak banget makan korban.. langsung aku tendang..Kalo ga muka, kena jidatnya.. Kalo aku pribadi kaya gitu, kalo mereka udah nyolek, trus tendang. Tapi susahnya kalo udah nyolek, ga tau orangnya yang mana.. itu yang sebel.. Iya kaya gitu..Kalo ngobrol aku pribadi cuma nanggepin kaya gitu, apa yang ditanya ya apa yang dijawab. Kalo ga mau jangan maksa, kalo udah gitu, tinggal pergi, tinggal ke back stage.” (wawancara dengan Informan AWM [salah satu penari seksi dalam kelompok JD], 23 September 2009)

D I N A M I K A O T O N O M I T U B U H P E R E M P U A N | 153

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

Mereka dapat menempatkan diri sebagai subjek yang memiliki otonomi dan otoritas penuh atas tubuh. Dengan tegas mereka berani mengambil sikap atas perlakuan konsumen laki-laki yang mereka anggap tidak pantas tersebut.

Sementara itu, relasi dengan pasangannya menempatkan penari seksi dengan posisi tawar yang lebih seimbang. Dengan bekerja sebagai penari seksi, mereka memiliki penghasilan sendiri sehingga posisi tawar terhadap pasangannya pun menjadi meningkat. Hal ini disebabkan perempuan yang berada dalam status sosial maupun ekonomi yang lebih rendah daripada sang pasangan memiliki kerentanan untuk dieksploitasi tubuhnya. Jika mandiri secara ekonomi, perempuan bisa mengaktualisasi tubuhnya sebagai kekuatan, persepsi yang secara otonom memberi makna dan bentuk kepada objek di sekitarnya (Lie, 2005). Perempuan dalam hal ini terbukti dapat melakukan proses perlawanan terhadap ideologi patriarkat. Hal ini sesuai dengan kritik teori Foucault yang menyatakan bahwa ketidakmungkinan keluar dari struktur kuasa justru memungkinkan terjadinya perlawanan. Struktur kekuasaan patriarkat yang melanggengkan dominasi laki-laki justru menempatkan perempuan pada posisi subordinat (Herdiansyah 2006). Dalam hal ini, perempuan tidak mungkin keluar dari struktur kekuasaan yang terus diproduksi oleh masyarakat yang patriarkal tersebut. Namun, justru inilah yang membuat mereka dapat melakukan perlawanan dalam bentuk penentuan otonomi tubuh mereka sendiri. Mereka dapat dengan tegas menentukan arah dan otoritas tubuhnya sendiri.

Relasi yang dilakukan oleh penari seksi dengan industri hiburan malam, konsumen laki-laki maupun dengan pasangan mereka diwarnai oleh relasi kekuasaan yang berbeda-beda. Kadar kekuasaan yang ditunjukkan melalui posisi tawar di antara dua belah pihak dapat berbeda. Dalam satu konteks, salah satu pihak dapat memiliki posisi tawar lebih tinggi dari pihak lainnya, namun di lain konteks, pihak yang memiliki posisi tawar lebih tinggi daripada pihak lainnya pada konteks berbeda mungkin saja memiliki posisi tawar yang lebih rendah dari pihak kedua. Penari seksi dalam relasi dengan konsumen laki-laki di dalam industri hiburan malam misalnya, cenderung memiliki posisi tawar atas tubuh yang lebih besar daripada konsumen industri hiburan malam dalam suatu konteks tertentu. Namun, dalam relasi dengan pasangannya, para penari seksi dapat memiliki posisi tawar yang lebih seimbang.

154 | G A B R I E L L A D E V I B E N E D I C T A

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

Otonomi atas tubuh yang diperlihatkan penari seksi melalui relasi-relasi yang mereka jalin dengan pihak lain memang dinamis. Otonomi atas tubuh tersebut ditentukan oleh kemampuan melakukan kontrol atas tubuh. Pihak yang memiliki kuasa untuk melakukan kontrol tersebut adalah pihak yang lebih memiliki otonomi atas tubuh. Otonomi tersebut berada dalam kerangka konteks relasi sosial yang dilakukan para aktornya. Otonomi tersebut bersifat multidimensi dan tidak absolut. Dalam konteks tertentu misalnya, perempuan dapat memiliki kemampuan kontrol dan posisi tawar yang tinggi secara ekonomi, tetapi tidak secara kultural. Otonomi tersebut selalu berada di dalam dinamika otoritas yang menarik karena tidak ada suatu otonomi yang ajeg yang dimiliki oleh pihak tertentu.

NEGOSI A SI ATA S T U BU H OLEH PENA R I SEK SI

Tidak hanya kemampuan untuk melakukan kontrol atas tubuh yang penting untuk diperhatikan oleh seorang perempuan, kemampuan untuk melakukan negosiasi atas tubuh juga menjadi hal yang tidak kalah pentingnya. Tubuh diatur, dibentuk, dan dikontrol atas kepentingan kekuasaan, baik disadari maupun tidak disadari oleh perempuan. Namun, kadangkala perempuan justru tidak dapat melakukan negosiasi atas tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan dibentuk, dipoles, dan dimanipulasi untuk mengikuti mitos kecantikan dalam rangka memperoleh tubuh ‘ideal’ sesuai pandangan laki-laki dan pasar. Bahkan, ketika perempuan tidak dibuat puas dengan tubuhnya sendiri, banyak cara yang dilakukannya untuk memperoleh tubuh yang sesuai dengan konsepsi tubuh ‘ideal’ bagi perempuan yang ada di masyarakat.

Tidak sedikit perempuan yang melakukan diet ketat karena ingin menyesuaikan dengan standardisasi bentuk tubuh langsing yang dianggap ‘ideal’, tetapi justru mengidap suatu penyakit seperti bulimia ataupun anorexia. Menjadi langsing sesuai konsepsi tubuh yang ‘ideal’ bagi perempuan memiliki konsekuensi tersendiri. Salah satu konsekuensi logis yang dipilih oleh tidak sedikit perempuan adalah mengurangi asupan makan mereka. Jika tidak bisa dikontrol dengan baik, tidak jarang ketakutan akan bentuk tubuh yang tidak ‘ideal’ tersebut justru melahirkan penyakit anorexia nervosa. Tujuan awal adalah mendapat bentuk tubuh ‘ideal’ sesuai dengan konstruksi sosial yang ada tetapi justru berakhir pada penyakit yang memiliki

D I N A M I K A O T O N O M I T U B U H P E R E M P U A N | 155

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

banyak akibat yang sangat negatif bagi tubuh mereka sendiri. Tubuh perempuan tidak dihargai oleh pemiliknya sendiri.

PENU T U P

Tubuh seksi yang dilekatkan kepada penari seksi perempuan, menjadi wacana tentang tubuh yang diinginkan laki-laki. Imajinasi mengenai tubuh ’ideal’ yang terbangun secara diskursif itu justru merugikan mereka sebagai perempuan. Apakah perempuan dinilai cantik atau tidak, seksi atau tidak, atau merasa bertubuh ‘ideal’ ataupun kurang ‘ideal’, ia manusia berharga. Perempuan seharusnya tidak dibelenggu oleh berbagai tuntutan masyarakat patriarkat dan kapitalis yang mengonstruksi perempuan untuk tampil cantik dan seksi demi kepuasan kaum adam saja. Seksualitas yang dimiliki perempuan seharusnya tidak hanya dilihat dari penampilan luar saja, tetapi seharusnya lebih diarahkan pada perasaan nyaman terhadap dirinya sendiri, walaupun itu berarti tampil apa adanya. Perempuan harus dapat mengonseptualisasikan seksualitas dan tubuhnya sendiri sehingga konseptualisasi atas seksualitas dan tubuh perempuan tidak didominasi sudut pandang laki-laki semata.

Perempuan seharusnya dapat menjadi produsen da lam mengonstruksi makna seksualitas perempuan, termasuk tubuhnya. Manusia, termasuk perempuan memiliki hak dan kebebasan atas tubuhnya sendiri. Ia berhak mengapresiasi dan mengekspresikan tubuhnya sendiri tanpa harus dicampuri kekuasaan-kekuasaan lain di luar tubuhnya.

DA F TA R PUSTA K A

Herdiansyah, Herdis. 2006. Seksualitas Postmodernis Refleksi kritis dan Landasan Filosofis atas keragaman Seksualitas Masyarakat Posmodernis. Tesis. Program Magister Ilmu Filsafat FIB. Depok: FIB UI.

Ida, Rachmah. 2004. “Tubuh Perempuan dalam Goyang Dangdut.” Jurnal Perempuan 41: Seksualitas. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Pakasi, Diana Teresa. 2006. Teks dan Pembaca: konstruksi Tubuh, Hasrat, dan Relasi Seksual Perempuan dalam Fitur Majalah

156 | G A B R I E L L A D E V I B E N E D I C T A

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 141-156

Popular. Tesis. Jakarta: Program Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia.

Piliang, Yasraf Amir. 1998. Hiper-Realitas kebudayaan. Yogyakarta: LKiS.

-----. 2003. “Perempuan dan Mesin Hasrat Kapitalisme: Komodifikasi Perempuan dalam Program Hiburan Media Televisi” dalam Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan. LP3Y dan Ford Foundation.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2003. Representasi Seksualitas Perempuan dalam Tiga Novel karya N. H. Dini. Tesis. Jakarta: Program Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia.

------. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra dan Budaya Pop. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.

Saadawi, Nawal El. 2006. Perempuan di Titik Nol. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Shirley, Lie. 2005. Pembebasan Tubuh Perempuan: Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya Patriarkat. Jakarta: Grasindo.

Surur, Miftahus dan Novi Anoegrajekti. 2004. Politik Tubuh: Seksualitas Perempuan Seni, dalam Srinthil mengenai Politik Tubuh Perempuan. Depok: Kajian Perempuan Desantara.

Tong, Rosemarie Putnam. 2004. Feminist Thought: Pengantar Paling komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.

Jaringan Sosial dan Variasi Pekerjaan Para Migran di Kota Samarinda

A t i y a t u l I z z a h

Rural Urban Migration China Indonesia (RIMCI), Universitas Gajah Mada Email: [email protected]

Abstract

Migration in Samarinda has always had an important role in long-term changes within social processes; corresponding to historical and political trends rather than just to short-term economic calculation. In Indonesia, migration was seen as a crucial survival strategy. Migration has been a crucial factor contributing to economic growth and poverty reduction either in the origin and the destination. Moreover, it has been known that within Samarinda, peasants tend to keep social ties with the place of their origin using circular migration as a transitional step to explore opportunities in urban settings and to expand livelihood security during the transitional periods before possible permanent migration is established. Samarinda growthits as represent of new city character In Indonesia.

Kata kunci: Samarinda, migrasi desa-kota, pekerja migran, ikatan sosial

158 | A T I Y A T U L I Z Z A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

PENDA HU LUA N

Samarinda merupakan salah satu kota baru1 di Indonesia yang berkembang pesat sejak dekade 197-0an. Ia menjadi kota penting di Kalimantan karena kaya dengan sumberdaya alam dan sekaligus sebagai pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur. Jumlah penduduk kota Samarinda pada tahun 2010 sekitar 726 ribu dengan laju pertumbuhan penduduk dalam periode 2000-2010 sekitar 3,36% per tahun (pertumbuhan penduduk nasional hanya sekitar 1,49% per tahun) (BPS, 2010). Kota ini banyak memikat para migran (terutama desa-kota) dari berbagai pulau di Indonesia. Seperti dilaporkan Dinas Kependudukan Kota Samarinda 2, pertambahan penduduk kota Samarinda kebanyakan berasal dari para migran dari luar daerah.

Para migran memberi warna kebudayaan dan dinamika sosial ekonomi beragam bagi perkembangan Samarinda sebagai sebuah kota. Sudah menjadi pengetahuan bersama jika pembentukan sebuah kota dipengaruhi oleh para migran (lihat Gilbert dan Gugler 1996; Evers dan Korff 2002; Castles 1967: 153-204). Akan tetapi, sebagai sebuah kota, Samarinda memiliki proses tersendiri. Terutama strategi para migran beradaptasi dengan dinamika perkembangan kota. Jaringan sosial para migran mendukung proses interaksi dan hubungan sosial di kota Samarinda. Implikasi dari interaksi itu memunculkan kantong-kantong komunitas dan pengelompokan berdasarkan etnis dan pekerjaan. Ini yang menjadi fokus tulisan ini.

Migrasi desa-kota seringkali mengindikasikan salah satu gejala pertumbuhan ekonomi perkotaan terutama di negara-negara berkembang (lihat Gugler dan Gilbert 1996:46). Keberadaanya menjadi simbol bagi konsentrasi modernitas, paradoks gedung-gedung tinggi maupun kantong-kantong pekampungan kumuh di perkotaan atau ekonomi tradisional dan ekonomi modern.

1 Kota Baru biasa disebut dalam sejarah pembentukan kota. Pembangunan kota baru dari waktu ke waktu tentunya sesuai kebutuhan masyarakat yang terus meningkat, baik macamnya, jumlahnya maupun kualitasnya. Ada kota baru yang diperlukan karena berkembangnya pemerintahan, ada yang diperlukan untuk menunjang pemanfaatan sumber daya alam, ada yang diperlukan untuk menunjang perkembangan industri manu-faktur dan ada pula yang bertujuan mengatasi persoalan kota besar. Lihat lebih lanjut dalam Colombijn, Freek, et al, (2005, X-XXX).2 Diunduh dari http://samarindakota.go.id/index.php?&page=10&id=1552. Tanggal akses 10 Oktober 2010.

J A R I N G A N S O S I A L D A N V A R I A S I P E K E R J A A N M I G R A N | 159

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

Pembangunan ekonomi perkotaan berpengaruh pada perubahan sosial, politik, dan budaya. Di Indonesia, rangkaian proses transformasi budaya dari kehidupan agraris ke industri, kemudian ke dalam era industri jasa dapat diamati pada kota-kota besar, seringkali berlangsung secara simultan, dan terutama terjadi pasca kemerdekaan dalam kurun waktu tiga dekade terakhir (lihat Gugler dan Gilbert, 1996:46). Kesenjangan ekonomi desa dan kota, disebut-sebut sebagai alasan kuat para migran datang ke kota (lihat ibid:55).

Perkembangan kota-kota modern memperkena lkan dan menempatkan moda-moda ekonomi sebagai faktor yang begitu determinan. Ini sekaligus telah mengangkut motif modernisasi dalam pelbagai fasetnya: industri, birokratisasi, dan kosmopolitanisme. Industri menyebabkan hubungan antarmanusia lebih fungsional daripada sebelumnya. Adanya birokrasi mendorong perencanaan suatu wilayah lebih tertata, terprediksi, dan terkontrol. Ia mengatur yang privat dan yang publik, mewujudkan suatu lingkup administratif, merapikan segala sesuatu yang tadinya karut-marut. Sedangkan kosmopolitanisme berarti bahwa kota sebagai tempat bertemu dan proses berbaurnya berbagai kebudayaan. Akibatnya, kota mengaburkan berbagai batas-batas kebudayaan.

Perkembangan kota Samarinda agak berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia. Perbedaan tersebut disebabkan oleh proses pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur, yang tidak dimulai dari pengembangan agraria laiknya kota-kota di Jawa. Penduduk di Kalimantan Timur lebih banyak terkonsentrasi di perkotaan karena potensi industri dan kekayaan alam yang menyebar di pedalaman, sehingga merangsang muncul kota-kota, seperti Balikpapan, Bontang, Sangata, dan Tenggarong. Kota-kota itu berfungsi sebagai pendukung kegiatan eksplorasi sumberdaya alam. Itu yang menyebabkan di Kalimantan Timur proporsi penduduk yang bermukim di perkotaan lebih besar dibanding dengan di perdesaan. Menurut Data Supas BPS tahun 2005, Populasi Desa Kota Indonesia menunjukkan angka populasi lebih besar di desa daripada di kota (kota 43,1 persen, sedangkan desa 56,9 persen). Sedangkan Kalimantan Timur memiliki populasi sebaliknya yaitu kota 56,4 persen, sementara desa 43,6 persen (lihat Gambar 1). Kota-kota di Kalimantan Timur bermunculan untuk menunjang pemanfaatan sumber daya alam, terutama setelah dibukanya lahan sebagai tempat-tempat industri tambang dan perkebunan. Ini kemudian memunculkan sistem ekonomi kota-kota

160 | A T I Y A T U L I Z Z A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

baru di provinsi tersebut. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan kota, proses migrasi penduduk dari desa ke kota juga terus berlangsung. Kota Samarinda memiliki daya tarik bagi para pendatang terutama karena statusnya sebagai pusat administratif dan pendidikan.

Tulisan ini memfokuskan analisis pembentukan Kota Samarinda sebagai kota yang “dibesarkan” oleh para migran. Gelombang migrasi ke Kota Samarinda memiliki beberapa karakteristik sesuai kontekstualisasi sosial politik di zamannya. Studi ini menunjukkan bahwa migrasi penduduk membawa implikasi luas bagi pertumbuhan sebuah kota. Penekanan ditujukan kepada migran sebagai aktor yang banyak mewarnai, terutama karakteristik jaringan sosial dan implikasinya bagi eksistensi para migran di Kota Samarinda.

Grafik 1. Jumlah Penduduk Desa-Kota Indonesia danKalimantan Timur Tahun 2005

Sumber: Supas BPS, 2005

SI A PA K A H MIGR A N DI SA M A R INDA ?

Sejarah migrasi ke Samarinda tidak berbeda dengan sejarah migrasi di kota-kota lain di Indonesia. Awal mulanya, sejarah pembentukan sebuah kota diawali oleh pendatang baru. Mereka membuka lahan dan mengembangkan usaha. Para pendatang tersebut bertemu untuk kepentingan ekonomi ataupun lainnya hingga muncul bentuk kualitas interaksi yang lain. Hubungan-hubungan dalam organisasi sosial sampai kepada bentuk pernikahan, sehingga secara perlahan terjadi proses asimilasi sosial dan kultural. Para pendatang membangun jaringan sosial berdasarkan hubungan sosial yang

J A R I N G A N S O S I A L D A N V A R I A S I P E K E R J A A N M I G R A N | 161

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

terjalin lama dari daerahnya. Mereka kemudian membentuk kantong-kantong di daerah-daerah baru yang mereka datangi.

Samarinda, pertama kali dibangun oleh para pendatang yang berasal dari Bugis. Suku yang berasal dari pulau Celebes (Sulawesi) tersebut terkenal sebagai perantau dan pelaut yang ulung. Mereka datang lebih dahulu daripada para transmigran yang datang pada akhir tahun 1960-an. Tidak mengherankan jika kehadiran suku Bugis memberi warna mendalam bagi pembentukan kota Samarinda. Gelombang migrasi orang Bugis ke Kalimantan Timur dimulai setelah penandatanganan Perjanjian Bongaya3 antara Sultan Hasanudin dan Belanda. Perjanjian itu menyebabkan perpecahan di kalangan kubu Hasanudin. Sebagian yang tidak menyetujui perjanjian tersebut memilih untuk meninggalkan Pulau Celebes. Mereka berlayar mencari daerah baru. Orang Bugis tiba di Kalimantan Timur pada 21 Januari 1668. Waktu kedatangan orang Bugis ini kemudian dijadikan sebagai ulang tahun kota Samarinda. Hal tersebut menunjukkan pentingnya suku Bugis bagi proses perkembangan kota Samarinda.

Para migran Bugis tersebut mendapatkan tanah suaka dari Sultan Kutai, di daerah Samarinda seberang (seberang Sungai Mahakam). Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan orang-orang Bugis diberi lokasi sekitar kampung sepanjang daerah dataran Sungai Mahakam, daerah dataran rendah yang subur dan baik untuk usaha pertanian dan perikanan. Sesuai dengan perjanjian, mereka kemudian dapat bermukim di daerah itu dan sebagai imbalan, orang-orang Bugis Wajo itu harus bersedia membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama dalam menghadapi musuh.

Di daerah itu, para migran Bugis membuat rumah rakit di atas air tepian sungai Mahakam. Rumah-rumah itu harus sama tinggi antara satu dengan yang lainnya. Ini melambangkan bahwa semua orang “sama” derajatnya. Lokasi pemukiman ini berada di sekitar muara sungai dan di kiri-kanan sungai daerah daratan rendah. Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA (sama rendah) dan lama-kelamaan ejaan itu menjadi “SAMARINDA” (lihat Abidin 1983:56).

3 Beberapa orang Bugis Wajo yang tidak setuju penandatanganan perjanjian Bongaya lari dari Makassar sesudah kekalahan sultan Hasanudin dengan Belanda(1667). Lihat Lom-bard (1996:60)

162 | A T I Y A T U L I Z Z A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

Mereka yang yang tinggal, terutama di Samarinda Seberang adalah para migran Bugis lama. Sebagian besar dari mereka adalah golongan Bugis Wajo (lihat Tirtosudarmo 2008:101-111) yang menjalin hubungan kekerabatan yang kuat. Di salah satu kompleks, daerah kampung Baka dan Mesjid, komunitas ini terlihat masih sangat kuat dan mengembangkan kerajinan Sarung Tenun Samarinda (periksa Tabel 3).

Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa Suku Bugis telah lebih dari tiga abad berdiam di Samarinda. Mereka telah tinggal dan membangun keluarga bertingkat dalam beberapa generasi. Dengan demikian, sebagian besar para migran Bugis gelombang awal telah menjadi non-migran dalam konsep penelitian ini. Dari sini dapat dibedakan ada tiga kategori migran4. Tabel 2 memuat informasi komposisi status migrasi menurut etnis berdasar tempat lahir migran. Penulis membuat pendekatan tempat lahir para migran untuk melihat asal etnis. Tempat lahir di Pulau Jawa menandakan status suku Jawa dan Madura, Pulau Nusa Tenggara sebagian besar berstatus suku Bima, Pulau Sulawesi meyatakan kedekatan status dengan suku Bugis, Pulau Kalimantan berdekatan dengan suku Banjar, Dayak dan Melayu Kutai.

Para pendatang etnis Jawa tergolong pendatang lebih belakangan daripada Bugis. Arus migrasi etnis Jawa ke pulau-pulau lain berlangsung sejak akhir 1960-an. Orang-orang Jawa datang ke pulau-pulau itu, mengisi beberapa kesempatan kerja yang ada di tempat tersebut. Di Kota Samarinda sekitar 47,6 persen migran berasal dari perdesaan Jawa (lihat Tabel 2). Lebih spesifik lagi, sebagian besar dari mereka merupakan pendatang dari Jawa Timur. Mereka berasal dari Madura, pesisir Utara Jawa Timur, Magetan, Madiun, dan Blitar. Pilihan bermigrasi etnis Jawa ke Kalimantan disebabkan berbagai kemungkinan. Selain ada kaitan dengan program transmigrasi pemerintah, para migran, terutama dalam dekade belakangan ini,

4 Dalam penelitian ini, dibedakan tiga kategori responden berdasarkan lama/jangka waktu pindah. Non-migran adalah Responden yang lahir di kota dan tidak pernah tinggal di desa selama minimal lima tahun berturut-turut sebelum umur 12 tahun atau hingga lulus Sekolah Dasar. Life Time Migran adalah responden yang tinggal di desa selama minimal lima tahun berturut-turut sebelum lulus SD dan tinggal di kota ini termasuk di kota lain-nya lebih dari lima tahun. Recent Migran adalah responden yang tinggal di desa selama minimal lima tahun berturut-turut sebelum lulus SD(<12 tahun) dan tinggal di kota ini termasuk kota lain kurang dari lima tahun. Keterangan lebih lanjut lihat Resosudarmo, Yamauci dan Effendi (2010: 222-243).

J A R I N G A N S O S I A L D A N V A R I A S I P E K E R J A A N M I G R A N | 163

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

bermigrasi ke Samarinda terkait dengan keterjangkauan akses dari perjalanan laut. Rute tersebut relatif dekat dan ongkos perjalanan lebih terjangkau (ekonomis). Ini tidak terlalu memberatkan bagi para migran dari Jawa untuk datang ke Samarinda, bahkan apabila migrasi dilakukan dengan cara swadaya.

tabel 2. Migran berdasarkan etnis menurut status migrasi di Samarinda

EtnisStatus Migrasi (%)

RM LM Semua Status Migrasi

N %JawaKalimantanNusa TenggaraSulawesiSumatera

37,2 51,6 223 47,631,0 20,4 109 23,317,1 4,7 38 8,112,4 22,4 92 19,72,3 0,9 6 1,3

Total % 27,6 72,4 100N 129 339 468

Sumber: Survei RUMiI Samarinda 2010

Urutan kedua, komposisi migran di Samarinda sekitar 23,3 persen ditempati oleh penduduk dari desa-desa di Kalimantan (etnis Melayu Kutai, Banjar dan Dayak). Selain mencari peruntungan ekonomi, mereka juga menempuh pendidikan di Samarinda. Samarinda memiliki beberapa pendidikan tingkat tinggi negeri, salah satu yang paling populer adalah Universitas Mulawarman. Samarinda menjadi kota tujuan para pendatang di wilayah sekitar Kalimantan Timur. Dengan adanya fasilitas pendidikan tersebut, para migran berdatangan untuk tujuan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Masih bertautan dengan cerita di depan, para migran berasal dari Sulawesi; sebagian dari mereka adalah suku Bugis gelombang baru. Para migran Bugis ini datang ke Samarinda dengan motif sosial-ekonomi pasca kemerdekaan. Jumlahnya 19,7 persen, menempati urutan ketiga komposisi etnis yang bermukim di Samarinda. Tirtosudarmo (2008:108) menempatkan para migran Bugis tersebut sebagai Bugis baru, gelombang migrasi suku Bugis pasca kemerdekaan (lihat Tabel 2). Urutan etnis berikutnya adalah para pendatang dari Nusa Tenggara disinyalir merupakan etnis Bima dari Nusa Tenggara Barat sekitar 17,1 persen. Mereka bagian dari gelombang terakhir dalam rentetan sejarah para migran di Samarinda.

16 4 | A T I Y A T U L I Z Z A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

Sementara itu, komposisi migran Jawa di Samarinda memberi implikasi luas bagi politik-ekonomi lokal kota tersebut. Secara tidak langsung, para migran terbanyak memberi warna dominan bagi kehidupan kota, baik secara politik maupun ekonomi. Dalam dinamika kehidupan di Samarinda, migran Jawa saling berebut ”posisi” dengan etnis lainnya, Bugis dan suku asli; Dayak, Melayu Kutai, dan Banjar. Komposisi etnis dalam percaturan politik dan kebudayaan kota Samarinda ada nuansa persaingan untuk mencapai derajat tertentu. Ini misalnya, dapat dilihat dari pentingnya identitas etnis dalam pemilihan jabatan politik. Akan tetapi, realitas yang dapat diungkapkan dalam tulisan ini tidak lain sebagai identitas etnis di lorong-lorong kecil dinamika kehidupan sosial-ekonomi para migran. Untuk selanjutnya para migran itu berjuang menelisik dalam ruang-ruang sempit peluang pekerjaan yang tersedia di Kota Samarinda.

JA R ING A N SOSI A L DA N K A NTONG-K A NTONG PA R A MIGR A N

Interaksi para migran di perkotaan biasanya bergerombol membentuk kampung-kampung kota. Mereka membuat kantong etnis di perkotaan, berdasarkan kedekatan primordial5. Para migran merasa terhubung dengan sebuah jaringan sosial tertentu. Di bagian ini saya memfokuskan ulasan pada jaringan etnis dengan pendekatan tempat lahir para migran serta implikasinya terhadap pengelompokan tempat tinggal secara geografis dan pilihan terhadap lapangan pekerjaan yang mereka geluti.

Pada tahun 2008 jumlah penduduk Kota Samarinda sebagian besar terkosentrasi di Kecamatan Samarinda Utara sebanyak 25 persen, disusul Kecamatan Samarinda Ilir 18 persen, Kecamatan Samarinda Ulu 17,5 persen, Kecamatan Samarinda Seberang sebanyak 15,6 persen, Kecamatan Sungai Kunjang sebesar 16,3 persen dan yang paling rendah di Kecamatan Palaran 7,2 persen (BPS, Samarinda).6 Berdasarkan penyebaran penduduk Kota Samarinda itu dapat

5 Kajian etnis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan tempat lahir para migran. Kajian lebih lanjut mengenai etnisitas, Geertz berpendapat primordial ties berarti assumed blood, race, language, region, religion and custom. Baca Geertz, Clifford, (1996: 43-44)6 Bisa dilihat dengan mengakses http://www.bpssamarinda.netai.com. Tanggal akses 30 November 2010.

J A R I N G A N S O S I A L D A N V A R I A S I P E K E R J A A N M I G R A N | 165

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

diketahui bahwa sebagian besar penduduk terkonsentrasi di daerah perkotaan, yaitu di wilayah Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda Ilir, dan Samarinda Utara. Konsentrasi penduduk sebagian besar berada di daerah perkotaan yang merupakan pusat pemerintahan dan lokasi kegiatan industri, perdagangan, dan jasa.

Pemukiman pada pusat kota juga menjadi semakin padat, selain sebab pertumbuhan penduduk juga karena kegiatan ekonomi yang menjadi sumber mata pencaharian terpusat di sana. Studi mengenai bagaimana adaptasi para migran di kota yang semakin padat pernah dilakukan Jellinek pada tahun 1971-1981 di perkampungan Jakarta. Pendekatan intensif dan spesifik di salah satu kampung Jakarta waktu itu menunjukkan karakteristik hubungan sosial para pendatang. Munculnya pondok komunal adalah sebagai sarana tempat tinggal sementara para migran asal desa yang mencari nafkah di kota. Mereka tinggal secara komunal dan menjalin ikatan sosial yang kuat selama bertahan hidup di kota. Ikatan sosial tersebut mengurangi beban segala ketidakpastian bekerja di sebuah daerah baru.

tabel 3. Persebaran Tempat Tinggal Migran menurut Etnis di Kota Samarinda

KecamatanTempat lahir migran (%)

Jawa KalimantanNusa

Tenggara Sulawesi SumateraTotal

N %

Palaran 14,8 3,5 4,8 10,0 20,0 25 10,5

Samarinda Ilir 9,6 10,5 9,5 10,0 0,0 23 9,7

Samarinda seberang

13,0 15,8 61,9 50,0 20,0 58 24,4

Sungai Kunjang 18,3 26,3 4,8 10,0 20,0 42 17,6

Samarinda Ulu 17,4 10,5 0,0 0,0 0,0 26 10,9

Samarinda Utara 27,0 33,3 19,0 20,0 40,0 64 26,9

Total % 100 100 100 100 100 100

N 115 57 21 40 5 238

Sumber: Sumber: Survei RUMiI Samarinda 2010

Aktivitas mencari nafkah yang padat dan rasa komunal (Jellinek 1994:57-86) dalam komunitasnya itu menghalangi para migran berbaur secara sosial dengan para anggota masyarakat lain. Mereka, migran dari desa, menjalin hubungan kuat layaknya hubungan kekerabatan seperti saat masih di desa. Strategi bertahan para

166 | A T I Y A T U L I Z Z A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

migran tersebut, memberi sebuah gambaran tentang masyarakat “berpagar”. Para migran cenderung menggunakan strategi bertahan dengan menggunakan jaringan sosial kelompoknya. Mereka seakan membuat sebuah ”pagar” sosial dalam ikatan kelompok, baik secara geografis maupun pemilihan terhadap pekerjaan. Semakin kuat jaringan sosial etnis para migran semakin memudahkan urusan sosial ekonomi, terutama untuk mendapatkan pekerjaan di kota. Realitas pengelompokan tempat tinggal para migran berdasarkan etnis seperti digambarkan oleh Jellinek di Jakarta itu juga tampak dalam kehidupan para migran di Kota Samarinda (lihat Tabel 3).

Data yang tercantum dalam Tabel 3, menunjukkan persebaran migran berdasarkan tempat tinggal. Data itu tidak bisa memberi penjelasan spesifik seperti yang dilakukan Jellinek. Namun, data tersebut dapat membantu untuk mendapatkan gambaran secara umum kantong-kantong migran berdasar etnis. Para pendatang dari Jawa cenderung menyebar, sedangkan para migran dari Nusa Tenggara cenderung berkumpul. Terlihat dari persebaran angka-angka para migran dari Jawa memiliki persebaran yang kurang lebih sama untuk tiap kecamatan.

Kantong-kantong migran Jawa di Bukuan Palaran merupakan salah satu contoh migran yang bermigrasi pada fase 80-an. Mereka datang dengan kesadaran dan biaya sendiri. Kemudian banyak bekerja di industri Kayu. Di antara mereka ada yang kena dampak krisis kayu dan di-PHK setelah tahun 2000-an. Mereka mencoba bertahan hidup dengan membuka membuka warung sembako atau warung kelontong. Di daerah Palaran, migran Jawa itu sekitar 14,8 persen (Tabel 3), sebagian besar merupakan lifetime migrant.

Semakin meluasnya kegiatan pembangunan di berbagai daerah, perpindahan penduduk dan tenaga kerja secara spontan mengalami peningkatan. Saat penelitian berlangsung, peneliti menemukan beberapa keluarga berasal dari Magetan, Provinsi Jawa Timur tinggal di Bukuan. Mereka memiliki hubungan keluarga dan tetangga sewaktu di desa asalnya. Untuk memperkuat jaringan sosial di perantauan para migran itu membentuk ikatan paguyuban Magetan di Samarinda (lihat Gambar 1). Ikatan-ikatan berdasar jaringan primordial ini merupakan sebuah realitas dengan moral ganda. Di satu sisi, ikatan sosial berdasarkan hubungan primordial tidak saja menjadi media silaturahmi dan pelestarian kebudayaan, tetapi juga sebagai salah satu strategi dalam mempertahankan eksistensi para

J A R I N G A N S O S I A L D A N V A R I A S I P E K E R J A A N M I G R A N | 167

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

migran di rantau. Di sisi lain, ikatan sosial itu dikhawatirkan dapat menjadi pemicu sentimen kedaerahan. Contoh di lapangan, tampak terlihat gerakan masyarakat Kalimantan yang mulai menggeliat dengan organisasi etnis lokal.

Sedangkan pendatang dari Jawa tersebar di Samarinda Utara sebanyak 27 persen dan sebagian besar bermigrasi ke Samarinda di tahun 80-an ikut dalam program transmigrasi7. Migran Jawa yang bermukim di daerah ini agak berbeda dengan migran Jawa yang datang kemudian. Migran Jawa yang datang dengan program transmigrasi berpendidikan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan yang bermigrasi kemudian (Lihat Tabel 4).

Survei ini mencatat bahwa migran dari Sulawesi lima puluh persen bermukim di Samarinda Seberang. Ini menguatkan cerita sejarah mengenai migrasi Suku Bugis yang telah diuraikan di bagian sebelumnya. Para migran ini tinggal dalam kantong-kantong membentuk sebuah kampung yang khas. Pemukiman Bugis di Samarinda Seberang dibangun dalam petak-petak rumah rakit di atas rawa-rawa. Konsentrasi etnis itu banyak terlihat secara nyata seperti adanya kampung-kampung Bugis Samarinda Seberang di daerah kampung Baka dan kampung Mesjid.

Selain migran Bugis dan Jawa, di Samarinda ada para migran Nusa tenggara yang sebagian besar dari suku Bima sebesar 61,9 persen. Etnis asal Bima ini terkonsentrasi di Samarinda Seberang di wilayah yang lebih utara, tepatnya di daerah Sengkotek. Seperti yang diamati oleh penulis selama di lapangan, konsentrasi migran Bima di Sengkotek cenderung menjalin hubungan primordial yang kuat. Selain memilih hidup bergerombol, migran Nusa Tenggara juga cenderung memilih profesi yang sama yaitu pekerja di perusahaan kayu. Sebagian besar para migran dari Nusa Tenggara tersebut bekerja di perusahaan kayu (bandingkan dengan melihat Tabel 5).

7 Transmigrasi merupakan program pemerintah ditujukan untuk memperluas kesempatan kerja bagi petani yang tidak mempunyai tanah atau tanahnya amat sempit di daerah-daerah padat penduduk di Jawa. Di samping itu, di darah tujuan secara tidak langsung, kegiatan transmigrasi turut pula membuka dan memperluas kesempatan kerja di bidang-bidang lain seperti konstruksi dan sebagainya. Dengan cara demikian usaha transmigrasi merupakan pendorong ke arah terciptanya pusat-pusat pengembangan di daerah-daerah jarang pen-duduknya dan langka tenaga kerja.

168 | A T I Y A T U L I Z Z A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

tabel 4. Persebaran Tempat Tinggal Migran menurut Etnis di Kota Samarinda

Tingkat pendidikan

per Kecamatan

Etnis (%)

Jawa KalimantanNusa

Tenggara Sulawesi SumateraSemua Etnis

N %

SD-SMP

Palaran 14,7 8,3 0,0 5,3 33,3 14 11,9

S. Ilir 10,3 12,5 0,0 5,3 0,0 11 9.4

S.Seberang 14,7 12,5 33,3 57,9 33,3 26 22.2

S. Kunjang 16,2 33,3 0,0 10,5 33,3 22 18.8

S. Ulu 11,8 8,3 0,0 0,0 0,0 10 8.5

S. Utara 32,4 25,0 66,7 21,1 0,0 34 29,1

Sub Total N 68 24 3 19 3 117

% 100 100 100 100 100 100

SMa/SMkPalaran 15,6 0,0 6,7 16,7 0,0 9 9.4

S. Ilir 9,4 10,0 6,7 16,7 0,0 9 9.4

S.Seberang 15,6 20,0 73,3 50,0 0,0 29 34.1

S. Kunjang 21,9 30,0 6,7 0,0 0,0 14 16.5

S. Ulu 25,0 10,0 0,0 0,0 0,0 10 11.7

S. Utara 12,5 30,0 6,7 16,7 0,0 14 16.4

Sub Total N 32 20 15 18 0 85

% 100 100 100 100 100 100

D1-Sarjana

Palaran 13,3 0,0 0,0 0,0 0,0 2 5.5

S. Ilir 6,7 7,7 33,3 0,0 0,0 3 8.3

S.Seberang 0,0 15,4 33,3 0,0 0,0 3 8.3

S. Kunjang 20,0 7,7 0,0 66,7 0,0 6 16.6

S. Ulu 26,7 15,4 0,0 0,0 0,0 6 16,6

S. Utara 33,3 53,8 33,3 33,3 100,0 16 44.4

Sub Total N 15 13 3 3 2 36

% 100 100 100 100 100 100

Sumber: Survei RUMiI Samarinda 2010

Kantong-kantong para migran cenderung membentuk kantong-kantong etnis bukanlah sebuah penemuan baru. Fenomena itu sudah eksis bersamaan dengan proses migrasi di kota-kota Indonesia. Fenomena pengelompokan para migran itu adalah salah satu cara beradaptasi dengan kehidupan baru di Kota. Strategi itu penting

J A R I N G A N S O S I A L D A N V A R I A S I P E K E R J A A N M I G R A N | 169

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

bagi para migran baru, terutama jika mereka tidak memiliki akses sumberdaya padahal harus bertahan hidup di daerah yang baru didatangi (Evers dan Korff 2002:6). Minimnya akses sumberdaya bisa dilihat dari tingkat pendidikan, keterampilan, hingga kepemilikan modal kapital maupun sosial. Pendidikan sebagai modal sosial memiliki harga bagi kompetensi dalam persaingan kerja di kota.

Evers dan Korff (2002) mengemukakan bahwa kantong-kantong antar etnis cenderung semakin terjadi bila akses sumberdaya tidak terbuka. Para migran memiliki kecenderungan untuk mempererat jaringan primordial agar memperkuat aksesnya. Pendapat itu tampaknya bisa dipinjam untuk menjelaskan kantong-kantong migran Sulawesi di Samarinda. Para migran Sulawesi dengan latar belakang pendidikan SD-SMP 57,9 persen dan SMA 50 persen tinggal berkelompok di Samarinda Seberang. Tidak ditemukan migran Sulawesi berpendidikan di atas SMA di Samarinda Seberang. Realitas tersebut menunjukkan bahwa mereka yang memiliki kompetensi pendidikan rendah cenderung hidup berkelompok. Mereka membuat jaringan kuat dengan tinggal berdekatan dalam satu kampung pemukiman.

Bermukim secara berkelompok merupakan salah satu strategi bertahan hidup para migran di tengah persaingan yang cukup tinggi di Kota Samarinda. Fenomena itu tidak hanya terjadi pada para migran asal Sulawesi tetapi juga pada migran asal Jawa dan Nusa Tenggara.

Seperti yang tampak terlihat pada Tabel 4, para migran Jawa dengan pendidikan SD-SMP terkonsentrasi di Samarinda Utara sebanyak 32,4 persen. Realitas itu menggambarkan kebijakan transmigrasi pemerintah yang memusatkan migran di daerah tersebut. Sebagian besar migran menempati wilayah Samarinda Utara. Para migran bertahan hidup berkelompok untuk memperoleh rasa aman. Dalam perkembangannya, Samarinda Utara menjadi wilayah yang berkembang pesat. Banyak pembangunan di wilayah tersebut, misalnya, terdapat pendidikan tinggi negeri dan bandara. Ketersediaan fasilitas publik di Samarinda Utara menyebabkan karakter migran berubah. Beberapa migran Jawa bermukim di Samarinda Utara yang datang tahun terakhir berpendidikan lebih tinggi, terlihat 33,3 persen berpendidikan D1/Sarjana.

Dari Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa 73,3 persen migran Nusa Tenggara berlatar belakang pendidikan SMA terkonsentrasi

170 | A T I Y A T U L I Z Z A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

di Samarinda Seberang. Mereka sebagian besar suku Bima yang memilih untuk tinggal berkelompok untuk memperkuat jaringan sosial. Mereka sebagian besar datang ke kota untuk bekerja di pabrik kayu dengan rekrutmen melalui jaringan pertemanan atau keluarga. Hidup berkelompok merupakan strategi bagi mereka yang memiliki modal sosial kecil. Ini memperkuat argumentasi bahwa hubungan jaringan etnis menjadi modal penting bagi para migran untuk mempertahan eksistensi di Kota Samarinda.

PENGELOMPOK A N PEK ERJA A N BER DA SA R K A N ET NIS

Iklim keterbukaan dan swadaya ekonomi semakin meningkat sejak adanya industri dan perdagangan, yang terlihat dari menggeliatnya industri kayu dan tambang yang mendorong kegiatan perdagangan dan sektor jasa di Kalimantan Timur. Kegiatan-kegiatan itu memunculkan kehidupan perkotaan modern yang tidak terlepas dari gesekan-gesekan spasial dan kultural, baik gesekan berdasarkan etnis ataupun kelas sosial.

Aktivitas ekonomi yang semakin meningkat itu menjadi medium yang membuka interaksi baik melalui aktivitas perdagangan maupun industri. Sudut pandang tersebut menjelaskan kajian hubungan sosial yang terbentuk dalam komunitas migran. Terciptanya komunitas majemuk dalam sebuah kota, seperti yang digambarkan Furnival (2009:472) dalam ekonomi majemuk, memberi peluang hadirnya keanekaragaman. Ilustrasi tersebut menyatakan bahwa aktivitas ekonomi memberi efek bagi terbukanya hubungan sosial yang kosmopolit. Melewati berbagai tantangan status sosial, etnis dan agama dalam integrasi ekonomi majemuk yang kosmopolit, keanekaragaman tersebut mengisyaratkan sebuah spektrum keterbukaan menuju masyarakat yang kosmopolit dalam pasar ekonomi.

Namun demikian, perspektif Furnival tidak bisa dilihat dalam kacamata tunggal. Ekonomi majemuk memang membuka jalan bagi interaksi sosial dalam aktivitas ekonomi, akan tetapi terdapat hubungan sosial yang lebih tradisional yaitu hubungan-hubungan primordial. Hubungan primordial merupakan tatanan sosial yang menjadi tantangan bagi ekonomi majemuk terutama terkait cita-cita untuk hidup berdampingan. Ini karena jaringan primordial masih sangat dominan, bahkan dalam intervensi rekrutmen tenaga kerja.

J A R I N G A N S O S I A L D A N V A R I A S I P E K E R J A A N M I G R A N | 171

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

Sementara itu, Castells (1976) yang menyamakan urbanisasi sebagai modernisasi dan masyarakat modern ekuivalen dengan masyarakat kapitalisme industrial, luput dari realitas perkembangan kota di negara dunia ketiga terutama kota Samarinda yang menggunakan persaudaraan atau jaringan sosial dalam industri (lihat Tabel 6). Urbanisasi di negara dunia ketiga belum mewakili kapitalisme industri laiknya dalam pendapat Castells. Menurut Castells, aktivitas ekonomi perkotaan modern juga menciptakan sebuah batas yaitu sistem industri. Batas yang dimaksudkan adalah sebuah pemilahan kelas sosial yang terbentuk dalam arus sistem perkotaan yang industrial. Migran dari desa berharap penghidupan layak dari silainya industri. Padahal di era industri, manusia merupakan unsur dari gegap gempita sistem produksi sebagai tenaga kerja, salah satu dari alat produksi yang lain laiknya modal, SDA, dan teknologi. Cita-cita mengenai ekonomi majemuk ala Furnival digagalkan dengan adanya pembatasan sesuai kelas sosial dalam sistem industri.

Belum lagi, gambaran tentang hubungan etnis dalam jaringan sosial para migran menunjukkan implikasi tidak sederhana bagi kajian sosial ekonomi perkotaan. Komposisi etnis pada populasi perkotaan menjadi simbol batas ”kelas” selain batas kelas ekonomi. Deskripsi jaringan sosial para pendatang memberi pengaruh tidak hanya bagi tempat tinggal komunal, tetapi juga terhadap cara mendapatkan pekerjaan.

Pengelompokan para migran berdasarkan etnis pada pekerjaan tertentu diungkapkan dalam beberapa penelitian (Graeme, 1978, Pelly, 1994 dan Jellinek,1994). Para migran di Samarinda bisa dikenal melalui pekerjaan yang dipilihnya. Misalnya para penenun sarung di Kelurahan Mesjid wilayah Samarinda Seberang merupakan para migran dari Bugis lama. Penjual toko kelontong dan warung-warung makanan merupakan pekerjaan yang banyak dipilih oleh migran Jawa. Pembagian etnis di sektor perdagangan juga eksis (Tirtosudarmo 2002). Banyak migran dari Jawa Timur, misalnya, yang bekerja ngampas8.

Tidak berbeda dengan pasar kerja di kota-kota Indonesia, di Samarinda kompetisi paling terbuka di sektor perdagangan dan

8 Ngampas adalah distributor barang-barang kebutuhan sehari-hari. Yang dipasok ke wa-rung-warung yang memesan kebutuhan sehari-hari. Biasanya mereka mengantar komiditi tersebut dengan menggunakan sepeda motor.

172 | A T I Y A T U L I Z Z A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

tenaga upahan yang tidak terampil. Para migran dari perdesaan biasa menjalani aktivitas agraris yang tidak lagi ditemukan dalam sebagian besar jenis pekerjaan di kota, sehingga jenis pekerjaan tidak terampil merupakan pilihan paling terbuka bagi para migran asal perdesaan. Di Samarinda sebagian besar migran, 50,3 persen (Survei RUMiL 2010), bekerja pada pekerjaan tergolong tidak terampil. Sektor perdagangan, dan tenaga upahan kasar banyak dimasuki oleh para migran. Mereka membuka warung kelontong dan makanan, buruh pembuat batu bata, kuli angkut di pabrik batubara, hingga tukang lem di pabrik plywood (triplek).

tabel 5. Lapangan Pekerjaan Migran Menurut Tempat Lahir di Kota Samarinda

TLapangan Pekerjaan Utama

Etnis (%)

Jawa KalimantanNusa

Tenggara Sulawesi SumateraSemua Migran

N %

Pertanian 5,7 6,1 10,7 14,3 0,0 24 7,7

Industri, pertambangan dan minyak galian

21,7 6,0 57,2 17,8 33,3 65 20,7

Bangunan 8,3 6,1 7,1 7,1 0,0 23 7,4

Perdagangan, restoran dan hotel

31,8 33,3 14,3 28,6 33,3 93 30,0

Transportasi dan komunikasi

5,7 4,5 3,6 16,1 33,3 23 7,4

Jasa 26,8 43,9 7,1 16,1 0,0 82 26,4

Total N 100 100 100 100 100 100

% 157 66 28 56 3 310

Sumber: Survei RUMiI Samarinda 2010

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat lapangan kerja yang digeluti para migran. Sejumlah 31,8 persen migran asal Jawa bekerja di lapangan perdagangan, restoran, dan hotel. Sektor ini sebagian besar bekerja sebagai penjual makanan atau pemilik warung makanan atau juga pemilik warung sembako. Sedangkan 26,8 persen migran dari Jawa bekerja di sektor jasa. Mereka biasa bekerja menjadi guru dan buruh bangunan. Sedangkan para migran dari desa Kalimantan 43,9 persen bekerja pada sektor jasa, atau lebih tepatnya menjadi Pegawai Negeri Sipil. Angka yang signifikan ditemukan pada para migran Nusa Tenggara 57,2 persen yang bekerja sebagai buruh industri. Para migran ini banyak menjadi pekerja kasar/tidak terampil di industri kayu, seperti menjadi kuli angkut kayu dan pekerja lem plywood.

J A R I N G A N S O S I A L D A N V A R I A S I P E K E R J A A N M I G R A N | 173

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

Para pekerja Nusa Tenggara di sektor industri kayu ini menempati posisi mayoritas. Hal tersebut menjelaskan jaringan sosial yang kuat berdasarkan etnis bagi variasi pekerjaan para migran.

PER A N JA R ING A N SOSI A L DA L A M MENDA PAT K A N PEK ERJA A N

Data penelitian ini menunjukkan bahwa jaringan keluarga atau pertemanan cukup signifikan terjadi dalam jaringan sosial lapangan pekerjaan industri. Ini agak mengejutkan karena asumsinya industri merupakan sektor formal yang cenderung menjalankan rekrutmen modern. Kenyataan hubungan keluarga dan pertemanan di lapangan pekerjaan industri memberi bukti kuatnya jaringan sosial etnisitas di Samarinda. Para migran menyadari pentingnya hubungan sosial informal dengan kerabat atau teman yang berpengalaman di kota. Realitas tersebut terlihat pada migran asal Nusa Tenggara yang memiliki kedekatan primordial pertemanan atau kekerabatan. Mereka sebagian besar terserap di sektor industri tidak terampil dan kebanyakan berpendidikan SMP/SMA serta bekerja di perusahaan kayu.

tabel 6. Cara Mendapatkan Pekerjaan

Menurut Lapangan Pekerjaan Etnis di kota Samarinda

TLapangan Pekerjaan Utama

Industri Perdagangan Jasa

N %

Pertanian Usaha sendiri/

melamar

Jaringan keluarga/

teman

Usaha sendiri/

melamar

Jaringan keluarga/

teman

Usaha sendiri/

melamar

Jaringan keluarga/

temanJawa 59,3 48,4 53,0 42,9 55,0 43,2

Kalimantan 7,4 9,7 25,8 16,7 30,0 31,8

Nusa Tenggara 14,8 24,2 6,1 4,8 1,7 2,3

Sulawesi 14,8 17,7 15,2 31,0 13,3 20,5

Sumatera 3,7 0,0 0,0 4,8 0,0 2,3

Total N 27 62 66 42 60 44

% 100 100 100 100 100 100

Cara mendapatkan pekerjaan menurut sektor %

30,3 69,6 61,1 38,8 57,6 42,3

Sumber: Survei RUMiI Samarinda 2010

174 | A T I Y A T U L I Z Z A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa sekitar 69,6 persen pekerja industri mendapatkan pekerjaan melalui jalur informal, lewat hubungan keluarga atau pertemanan. Para migran masuk bekerja dalam perusahaan dengan jaringan sosial yang dimiliki. Mereka mengandalkan hubungan saling percaya untuk merekrut karyawan baru. Cara informal dalam mendapatkan pekerjaan dapat dijalankan jika kualifikasi keterampilan tenaga kerja tidak tinggi. Itulah penyebab sistem rekrutmen lewat jaringan keluarga atau pertemanan masih bisa dilakukan di Samarinda karena kebanyakan para pekerja industri yang digeluti para migran masih dalam kualifikasi tidak terampil.

Sementara itu, 48,2 persen migran Jawa di sektor industri mendapatkan pekerjaan dengan jaringan pertemanan dan keluarga. Dari hasil penelusuran di lapangan, didapatkan informasi bahwa beberapa migran Jawa bekerja di industri rumah tangga. Misalnya, ada tiga belas orang migran Jawa bekerja sebagai pembuat batu bata dalam industri rumah tangga. Industri rumah tangga memungkinkan cara rekrutmen melalui jaringan etnis.

Proporsi menonjol 24,2 persen didapatkan dari migran Nusa Tenggara. Para migran Nusa Tenggara sebagian bekerja di pabrik kayu PT Samtraco. Mereka dipekerjakan dengan sistem borongan. Rekrutmen sistem borongan dipercayakan kepada seorang mandor berasal dari Nusa Tenggra Barat (Bima). Mandor ini kemudian banyak merekrut para pekerja berasal dari satu desa dengannya. Inilah yang menyebabkan di pabrik kayu ini banyak berasal dari satu etnis. Kualifikasi yang dibutuhkan adalah tenaga tidak terampil dengan rekrutmen sistem getok tular antar jaringan sosial. Para pekerja dikenakan sistem borongan yang tidak terikat.

Kualifikasi rekrutmen yang tidak ketat juga memiliki implikasi terhadap kendurnya jaminan sosial. Dari sudut pandang tersebut perusahaan terbebas biaya jaminan sosial pekerja. Sedangkan bagi para pekerja, jaringan etnis merupakan modal dalam mencari pekerjaan di pabrik dengan kualifikasi yang mereka miliki. Temuan tersebut telah dinyatakan oleh Hugo (2008:54) bahwa para mandor, calo dan taikong menjadi penghubung utama para pekerja baik di sektor formal maupun informal. Realitas menunjukan bahwa mayoritas para migran mendapatkan pekerjaan lewat jaringan sosial bahkan di sektor industri.

J A R I N G A N S O S I A L D A N V A R I A S I P E K E R J A A N M I G R A N | 175

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

Sama halnya dengan sistem rekrutmen, sistem pemutusan hubungan kerja9 juga terjadi dengan ”borongan”. Tahun kedua penelitian ini, sembilan responden dari suku Bima tidak bisa dihubungi lagi. Mereka kembali ke daerahnya karena kehilangan pekerjaan di kota. Mereka terkena pemutusan hubungan kerja dari pabriknya. Rekrutmen melalui jaringan etnis tidak selalu menguntungkan bagi para migran. Karena sistem rekrutmen tidak melalui jalur formal yaitu dengan getok tular jaringan etnis, maka pemutusan hubungan kerja terjadi ”bergerombol”. Saat mandor diberhentikan, maka pekerja migran Bima yang direkrut olehnya juga diberhentikan.

Sektor perdagangan, 38,8 persen cara mendapatkan usahanya dibantu oleh kerabat atau teman. Akan tetapi ada kecenderungan perbedaan dalam pemilihan komoditas perdagangan secara etnis. Pemilihan barang dagangan yang dijual berasal dari jaringan-jaringan primordial antaretnis. Misalnya suku Bugis cenderung menjual sembako, pakaian, dan alat-alat elektronik, suku Jawa membuka warung kelontong dan makanan di pinggir jalan. Suku Dayak dan Banjar menjual souvenir hasil kerajinan. Gambaran ini menunjukkan adanya variasi komoditas perdagangan antaretnis.

Berbeda dengan pedagang migran pada umumnya, 31 persen migran Sulawesi dalam perdagangan dibantu oleh keluarga atau teman. Sedangkan 15,2 persen berdagang secara mandiri. Peran jaringan etnis para pedagang suku bugis pun sangat menonjol. Para migran Bugis berdagang dengan bantuan komunitas etnis, menyuplai kebutuhan pertanian dari hasil panen pada musim tertentu. Tirtosudarmo memaparkan strategi perdagangan suku Bugis di

9 Temuan survei tahun kedua, 2009, sembilan responden dari Bima terkena PHK (Pe-mutusan Hubungan Kerja) dari perusahaan kayu yang gulung tikar atau merampingkan tenaga kerja perusahaan. Sebagian besar dari mereka terkena PHK dari perusahaan kayu yang gulung tikar atau mengurangi jumlah pekerjanya. Pemutusan hubungan kerja ter-jadi karena aktivitas industri kayu telah menurun drastis. Sejak tahun 2000 industri kayu menurun karena desakan berbagai pihak atas penebangan hutan yang dikhawatirkan menggangu ekosistem dunia. Berbagai pihak termasuk aktivis lingkungan, mendesak nega-ra untuk mengurangi pemanfaatan hasil hutan. Demi menjaga kelestarian ekosistem dunia. Reaksi publik tersebut mengurangi aktivitas industri kayu di Kalimantan. Termasuk me-lalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Nasional—tidak akan mampu mengejar laju kerusakan hutan (http://nasional.kompas.com/read/2008/09/20/07201186, 20/09/2008 diakses tanggal 12 November 2010). Selain itu, krisis ekonomi 2008 tam-paknya sedikit banyak mengganggu permintaan ekspor kayu, sehingga mengurangi secara signifikan aktivitas produksi industri kayu.

176 | A T I Y A T U L I Z Z A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

Samarinda sebagai penyalur permintaan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Saat masyarakat Samarinda membutuhkan beras, para pedagang Bugis membawa komoditi tersebut dari hasil pertanian kampung halaman, di Sulawesi Selatan.

Para responden yang bekerja di sektor jasa mendapatkan pekerjaan dengan bantuan teman atau keluarga sebanyak 42,3 persen. Sedangkan 57,6 persen mendapatkan pekerjaan dengan cara melamar mandiri. Sebagian besar pekerja sektor jasa di Samarinda adalah pegawai negeri sipil (PNS). Rekrutmen yang ketat untuk PNS membuat hubungan pertemanan atau keluarga tidak terlalu menonjol di sektor ini.

Dengan demikian, jaringan primordial merupakan modal sosial paling penting bagi para migran selain kualifikasi SDM; pendidikan atau keterampilan. Akan tetapi, realitas ini dilihat perusahaan sebagai celah untuk memangkas biaya rekrutmen dan jaminan sosial pekerja. Sistem rekrutmen getok tular dan sistem tidak terikat, kerja borongan, merupakan salah satu potret sistem ketenagakerjaan di Samarinda. Di sana para migran berjuang memperoleh penghasilan dari ketatnya persaingan kerja.

PENU T U P

Analisis di atas menggambarkan karakteristik etnis migran di Samarinda yang didominasi oleh migran Jawa. Sampai saat ini Jawa masih merupakan pulau pemasok para migran ke pulau Kalimantan dan pulau lain di Indonesia sejak pasca-kemerdekaan. Ini tidak mengherankan karena populasi Jawa menempati 57,4 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia (SENSUS 2010). Pesatnya populasi di Jawa menjadi alasan masuk akal mengapa migran Jawa menempati posisi mayoritas di Samarinda. Walaupun dalam sejarah pembentukan kota, migran di Samarinda tidak bisa dilihat dari penelitian ini semata. Migran Bugis telah datang dan mewarnai kota Samarinda jauh sebelum kebijakan transmigrasi diterapkan di Indonesia.

Jaringan sosial para migran terbukti memberi implikasi secara sosial-ekonomi. Penting bagi para migran menjalin hubungan sosial dengan keluarga atau teman yang telah berpengalaman di kota. Strategi tersebut mengurangi kecemasan migran terhadap kota-kota baru yang didatanginya. Pertama, mereka cenderung memiliki

J A R I N G A N S O S I A L D A N V A R I A S I P E K E R J A A N M I G R A N | 177

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

tempat tinggal komunal sesuai hubungan keluarga atau pertemanan, sehingga menimbulkan kantong kampung-kampung desa di kota. Sebagai migran, bertempat tinggal dengan orang yang telah dipercaya dan dikenal lebih menciptakan rasa aman. Kedua, mereka juga terhubung dalam pemilihan pekerjaan karena jaringan etnis sangat membantu migran dalam mendapatkan pekerjaan.

Selain itu, dapat pula diklasifikasikan tiga karakteristik umum migran di Samarinda. Pertama, golongan migran generasi pertama yang memiliki motivasi karena alasan tradisional. Seperti yang diceritakan sebelumnya, para migran Bugis bermigrasi karena konflik politik. Kedua, golongan migran yang datang karena gerakan rekayasa sosial atau transmigrasi. Arus kebijakan pemerataan penduduk melalui program transmigrasi memiliki implikasi terhadap realitas demografis kota Samarinda. Ketiga adalah golongan migran sukarela yang bermigrasi karena dorongan kesenjangan atas ketersediaan lapangan pekerjaan. Golongan ketiga ini yang bergerak dinamis hampir dua dekade terakhir. Dorongan bermigrasi disebabkan karena motif ekonomi yang kuat. Gejala ini juga menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi yang timpang antara lapangan kerja dan tenaga kerja potensialnya.

Sebagai kota migran, Samarinda merupakan representasi kota baru di Indonesia, setidaknya untuk menggambarkan kondisi kota sejak tren industri kayu dan pertambangan meningkat. Sektor perdagangan dan jasa juga secara simultan mengikuti pergerakan manusia di kota. Gerakan migrasi menunjukkan bentuk-bentuk upaya para tenaga kerja dalam berkompetisi di lapangan kerja yang lebik baik.

Sementara itu, jaringan primordial memberi sudut pandang berbeda bagi studi hubungan sosial di perkotaan. Hubungan sosial berdasar primordial tidak secara langsung bisa membuka kosmopolitanisme seperti optimisme Furnival. Menurutnya, ekonomi majemuk merupakan suatu sistem ekonomi yang digerakkan oleh berbagai elemen masyarakat yang hidup berdampingan satu dan lainnya. Jaringan primordial digunakan untuk jalan pintas mendapatkan pekerjaan bahkan di sektor industri . Keberadaan multietnis dalam pasar ekonomi justru memiliki tantangan konflik yang menganga. Sekaligus ini tidak bisa semuram Castells yang menyatakan sekat-sekat kebudayaan industri dalam sistem perkotaan, yang menempatkan manusia sebagai faktor produksi dalam sistem industri. Pernyataan itu menempatkan manusia pada determinasi

178 | A T I Y A T U L I Z Z A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

kelas sosial tertentu. Jaringan primordial di Samarinda menunjukkan ada “manusia” dalam sistem industri yang direkrut dengan metode tradisional. Optimisme Furnival maupun skeptisisme Castells berada pada perspektif paradoks dalam analisis hubungan sosial sistem perkotaan. Ekonomi tidak sepenuhnya bisa membuka masyarakat majemuk ala Furnival, terbukti adanya jaringan primordial dalam rekrutmen pekerjaan menunjukkan “konf lik” etnis. Dan, tidak sepenuhnya pula berpagar ala Castells karena jaringan primordial menyebabkan munculnya kantong-kantong etnis. Deskripsi komposisi migran dan kenyataan tradisional tentang hubungan primordial memungkinkan analisis selanjutnya tentang jaringan etnis di perkotaan.

DA F TA R PUSTA K A

“Hutan Dihabisi, Banjir Makin Menjadi-jadi.” 2010. Diakses tanggal 12 November 2010 (http://nasional.kompas.com/read/2008/09/20/07201186)

“SUPAS”. 2005. Diakses tanggal 24 Desember 2010 (http://www.datastatistik-indonesia.com/component/option,com_supas/kat,1/idtabel,1/Itemid,952/)

Abidin, Andi Zainal. 1986. Persepsi Orang Bugis Makassar tentang Hukum, Negara, dan Dunia Luar. Bandung: Penerbit Alumni.

Anonim. 2010a. Diakses tanggal 20 November 2010 (http://www.akdn.org/architecture/information.asp).

------. 2010b. Diakses tanggal 10 Oktober 2010 (http://samarindakota.go.id/index.php?&page=10&id=1552).

Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi dan kabupaten/kota: Sensus Penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Breman, Jan. 1985. “Sistem Tenaga Kerja Dualistis: Suatu Kritik terhadap Konsep Sektor Informal.” Dalam Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di kota, diedit oleh Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Castles, Lance. 1967. “The Ethnic Profile of Jakarta.” Indonesia Journal. Vol 3, April:153-204

J A R I N G A N S O S I A L D A N V A R I A S I P E K E R J A A N M I G R A N | 179

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

Castells, Manuel. 1976a. “Theory and Ideology in Urban Sociology.” Hlm. 60-84 dalam A Paper in Urban Sociology: Critical Essays, diedit oleh C. G. Pickvance. UK: Palgrave Macmillan.

------. 1976b. “Theoretical Proposition An Experimental Study of Social Movement.” Hlm. 147-173 dalam A Paper in Urban Sociology: Critical Essays, diedit oleh C. G. Pickvance. UK: Palgrave Macmillan

Colombijn, Freek, et al. 2005. kota Lama kota Baru: Sejarah kota-kota di Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Evers, Hans Dieters. 1982. Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: LP3ES.

Evers, Hans Dieters dan Rudiger Korff. 2002. Urbanisme di Asia Tenggara (terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor.

Furnivall, J. S. 2009. Hindia Belanda: Studi Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedeom Institute.

Geertz, Clifford. 1996. “Primordial Ties.” Pp. 40-63 in Etnicity edited by Smith and Hutchinson. United Kingdom: Oxford University Press.

Gilbert, Alan dan Josef Gugler. 1996. Urbanisasi dan kemiskinan di Dunia ketiga (terjemahan). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Hugo, Graeme J. 2008. Migration in Indonesia: Recent Trend and Implications. Melbourne: Monash Asia Institute.

Hugo, Graeme J. 1985. “Partisipasi Kaum Migran dalam Ekonomi Kota di Jawa Barat.” Dalam Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di kota, diedit oleh Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ismono. 2010. “Hak Kaltim Terganjal di Pemerintah Pusat.” Diakses tanggal 29 Oktober 2010 (http://www.bappeda.samarinda.go.id/berita.php?id=1026)

Jellinek, Lea. 1994. Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah kampung. Jakarta: LP3ES.

Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya (Jilid 2). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.

Resosudarmo, Budi et al. 2010. “Rural-Urban Migration in Indonesia: Survey Design and Implementation.” Hlm. 222-243 dalam The Great Migration: Rural-Urban Migration in China and Indonesia, diedit oleh Xin Meng et al. Cheltenham: Edward Elgar Publishing

180 | A T I Y A T U L I Z Z A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 157-180

Tirtosudarmo, Riwanto. 2008. “Bugis Migration to Samarinda, East Kalimantan: Establishing A Colony?” Hlm. 101-112 dalam Horizons of Home: Nation, Gender and Migracy in Island Southeast Asia, diedit oleh Penelope Graham. Melbourne: Monash Asia Institute.

Eksklusi Sosial dalam Anggaran Publik Studi Kasus di Ngawi,

Lamongan, dan Makasar

D z u r i y a t u n To y i b a h

Sosiologi FISIP Universitas Islam Negeri JakartaEmail: [email protected]

Abstract

The article aims to describe the process of social exclusion and inclusion within local government budget (APBD) in Lamongan and Ngawi East Java in 2006-2008, and Makasar South Sulawesi in 2009. Social exclusion was indicated by the absent of public participation in the decision making process. Social exclusion for public local budget appeared in regulation level such as unclear mechanism of public participation and the constraints to access budget documents. Those lead to avoid civil society to understand the real local budget. However, civil societies in three regions made several strategies to reduce social exclusion. The process was begun by the attempts to open public access for budget forums and budget documents by developing cooperation with member of local parliament. The next step of the process was inviting civil society organizations to attend budget deliberation forums to analyze the documents using a simple method to compare between public and apparatus expenditure. The result of budget analysis showed that public budget excluded public interest as the most important aspect of social exclusion in public budget.

Kata kunci: eksklusi sosial, partisipasi, APBD, masyarakat sipil, demokrasi

182 | D Z U R I Y A T U N T O Y I B A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

PENDA HU LUA N

Studi tentang partisipasi masyarakat dalam anggaran publik mulai muncul di Porto Alegre Brazil. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Santos S.B (1998) menggambarkan tentang proses budget yang partisipatif, bagaimana proses tersebut dilaksanakan, serta kondisi politik dan masyarakat di Porto Alegre. Adapun di Indonesia kajian tentang anggaran daerah pada umumnya menggambarkan peluang dan tantangan serta pengalaman mengadvokasi anggaran oleh LSM (lihat Sucipto & Khadafi 2006; Mastuti 2007; Waidl 2009). Studi ini melengkapi studi sebelumnya tentang gambaran proses eksklusi dan inovasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil di tingkat lokal untuk mendorong anggaran yang partisipatif (inklusif).

Pertanyaan yang diangkat dalam studi ini adalah bagaimana proses eksklusi sosial dalam anggaran publik? Upaya apa saja yang dilakukan kelompok masyarakat sipil untuk menguranginya? Tulisan berikut akan menggambarkan bentuk-bentuk eksklusi dalam anggaran publik dan pengalaman masyarakat sipil di Ngawi, Lamongan, dan Makasar dalam melakukan proses inklusi anggaran melalui upaya-upaya akses dokumen, serta analisis dan advokasi anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang lebih pro masyarakat miskin. Tulisan ini merupakan hasil pendampingan penulis selama 2006-2008 sebagai project officer program Participatory Budgetting and Expenditure PP Lakpesdam NU dan NDI. Penulis mendapatkan data dengan melakukan observasi dan analisis dokumen bersama LSM lokal Jaringan Masyarakat Lamongan di Lamongan dan Pagar Madani Ngawi di Ngawi. Sedangkan data dari Makasar didapatkan dari sumber sekunder hasil analisis LSM lokal KOPEL Makasar.

EK SK LUSI DA N INK LUSI SOSI A L DA L A M A NGG A R A N PU BLIK

Salah satu definisi eksklusi sosial adalah sebagaimana dijelaskan Byrne (2005) sebagai ketiadaan pemenuhan hak-hak sipil, politik, dan hak-hak sosial.

The dynamic process of being shut out, fully or partially, from any of the social, economic, political or cultural systems which determine the social integration of a person in society. Social exclusion may, therefore,

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 183

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

be seen as the denial (or non-realisation) of the civil, political and social rights of citizenship.

Sebelumnya, Mandanipour sebagaimana dikutip Byrne (2005) menyatakan bahwa eksklusi sosial merupakan proses yang bersifat multidimensi yang meliputi ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan politik, tidak hanya akses terhadap pekerjaan dan sumber-sumber material, tetapi juga lemahnya integrasi dalam proses-proses kultural. Jika fenomena tersebut terjadi secara bersamaan, maka akan terjadi eksklusi yang sangat akut.

Social exclusion is defined as a multi-dimensional process, in which various forms of exclusion are combined: participation in decision making and political processes, access to employment and material resources, and integration into common cultural processes. When combined, they create acute forms of exclusion that find a spatial manifestation in particular neighbourhoods.

Berkembangnya pemikiran eksklusi sosial Menurut Hilary Silver dalam Rodger (1995) tidak bisa dilepaskan dari tiga paradigma yaitu paradigma solidarity, specialization, dan monopoly yang masing-masing memiliki cara pandang berbeda dalam melihat fenomena eksklusi sosial. Dalam hal ini, eksklusi sosial selalu dihubungkan dengan peran negara.

Paradigma solidarity menekankan eksklusi sosia l sebagai perpecahan ikatan sosial antara individu dan masyarakat. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk melindungi masyarakat dari individu untuk bertindak liberal dan melindungi individu sebagai bagian masyarakat dari kemiskinan yang disebabkan sistem masyarakat industrial.

Sebaliknya, paradigma spesialisasi melihat bahwa demokrasi dan kesempatan yang sama merupakan mekanisme sosial yang menjamin integrasi sosial. Eksklusi sosial terjadi karena kegagalan pasar dan diskriminasi. Dengan kata lain, eksklusi sosial terjadi karena kebebasan individu tidak terjadi, sehingga terdapat diskriminasi. Untuk itu, paradigma ini menganggap pentingnya jaminan negara terhadap kebebasan individual dan menghindarkan diskriminasi. Sementara negara ditempatkan hanya membantu mereka yang benar-benar memerlukan dukungan.

184 | D Z U R I Y A T U N T O Y I B A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

Paradigma monopoli menganggap eksklusi sosial sebagai konsekuensi ketertutupan secara sosial (social closure) yang dilakukan oleh pihak yang menyisihkan. Hal ini terjadi karena ada satu kelompok dengan kekuasaan yang lebih besar dapat memaksimalkan sumber daya yang ada dengan membatasi akses orang lain atas sumber-sumber tersebut. Bagi paradigma monopoli, social order merupakan paksaan (coersive) yang dilakukan melalui relasi kekuasaan yang hierarkis.

Aspek-aspek eksklusi sosial dalam anggaran publik pada tulisan ini mencakup aspek-aspek kesulitan masyarakat sipil dalam proses partisipasi dan kontrol kebijakan publik berbentuk APBD. Secara umum terdapat tiga bentuk eksklusi yaitu eksklusi dari partisipasi dalam proses perencanaan anggaran, eksklusi untuk mendapatkan akses terhadap dokumen APBD, dan eksklusi kepentingan publik dari alokasi APBD.

Eksk lu s i dar i Par t i s ipa s i da lam Prose s Per encanaan Ang garan

Secara normatif partisipasi publik dianggap sebagai hal yang sangat penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Wacana partisipasi dalam beberapa hal telah direspon dalam beberapa UU di Indonesia. Misalnya pasal 53 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya disebut UU 10/2004 menyatakan bahwa:

”masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.”

Selain itu, dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebut UU 32/2004 pasal 27 ayat (2) juga ditegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban kepala daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

Dalam Pasal 139 UU 32/2004 dinyatakan bahwa “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 185

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

penyiapan atau pembahasan rancangan perda”. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut UU 17/2003 pasal 3 ayat (3) menyebutkan “APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.”

Namun demikian, UU tersebut masih menekankan bahwa partisipasi masyarakat sangat terkait erat dengan peran DPR/DPRD. Baik UU 10/2004 maupun UU 32/2004 tidak menjelaskan secara terperinci mekanisme atau alat apa yang bisa digunakan sebagai mekanisme partisipasi masyarakat. Meskipun demikian, UU 10/2004 mewajibkan DPR untuk mempromosikan, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak partisipasi masyarakat dalam proses legislasi yang diturunkan dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI tahun 2004-2005.

Dalam tata-tertib (tatib) tersebut disebutkan beberapa mekanisme atau alat yang bisa digunakan yakni melalui pertemuan-pertemuan seperti rapat dengar pendapat (hearing), pertemuan dengan pimpinan alat kelengkapan DPR, dan pertemuan dengan tim penyiapan RUU. Penyebaran draft RUU dilaksanakan dengan berbagai media seperti media elektronik (televisi, radio, internet) dan media cetak atau surat kabar.

Sementara itu, penyaluran aspirasi masyarakat kepada eksekutif biasanya dilakukan dengan konsultasi publik. Konsultasi publik biasa diartikan sebagai semua kegiatan mekanisme dan alat menghimpun atau mengakomodasi masukan/aspirasi masyarakat yang diperoleh melalui pertemuan/forum tatap muka, pernyataan tertulis, media (elektronik dan cetak), dan media on-line (internet, email, web-forum). Konsultasi publik juga secara sempit biasanya dimaknai sebagai sebuah alat dengan teknik/cara tertentu yang disusun berdasarkan panduan tertentu (Farhan dkk 2007).

Di tengah ketidakjelasan mekanisme partisipasi dalam UU tentang perencanaan dan penganggaran daerah, masyarakat sipil biasanya merujuk Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang selanjutnya disebut UU 25/2004. Definisi SPPN menjelaskan dengan tegas bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. SPPN diselenggarakan

186 | D Z U R I Y A T U N T O Y I B A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

berdasarkan asas umum penyelenggaraan negara yakni asas kepentingan umum, asas keterbukaan, dan asas akuntabilitas (Suhirman 2006). Namum demikian, UU SPPN ini mengatur hanya sebatas pada ranah proses perencanaan pembangunan, belum menyentuh ranah penganggaran.

Proses eksklusi dalam anggaran publik tersebut dimulai dari proses perencanaan APBD melalui Musrenbang. Proses ini kemudian diramu dengan proses teknokratis dalam forum SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) sehingga muncul RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah). Sebagai proses ”partisipatif”, Musrenbang juga biasanya tidak terbuka secara umum. Biasanya hanya kepala desa, ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) dan ketua organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang biasanya dijabat istri kepala desa, yang terlibat dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang). Hanya melalui upaya-upaya sistematis akhirnya publik secara umum bisa mengaksesnya. Ketika masuk dalam perencanaan anggaran dalam forum SKPD, akses publik menjadi semakin rumit. Ketika hasil Musrenbang dan SKPD seharusnya diramu oleh Bapan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), publik semakin sulit untuk memastikan berapa persentase usulan Musrenbang yang bisa masuk dalam RKPD.

Eksk lu s i pada Leve l Akse s Dokumen Ang garan

Anggaran biasanya menjadi isu sensitif, sehingga hanya kalangan tertentu saja yang berhak tahu. Cara pandang bahwa anggaran adalah hak prerogatif pemerintah ini sejak awal telah mengeksklusikan masyarakat. Dalam hal ini, APBD hanya diketahui oleh pemerintah yang diwakili oleh kalangan tertentu dan DPRD saja. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa hal-hal yang terkait dengan APBD (dokumen-dokumennya) terkesan sangat rumit, tebal, dan tidak mudah untuk memahaminya.

Sampai sejauh ini asas keterbukaan dalam dokumen APBD masih menjadi persoalan yang tidak mudah. peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang selanjutnya disebut Permendagri 13/2006 dan perubahannya dalam Permendagri 59/2007 menjamin akses data anggaran dan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan sampai penetapan. Pasal 4 Permendagri 13/2006 menyatakan

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 187

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

“Transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah.”

Akan tetapi, pasal 103 Permendagri 59/2007 menegaskan bahwa sebelum diserahkan kepada DPRD pemerintah daerah melalui sekretaris daerah sebagai ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD) harus menyosialisasikan raperda kepada masyarakat, tetapi sosialisasi tersebut hanya bersifat memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah dalam pelaksanaan APBD. Persoalan ini sebenarnya masih bisa diatasi karena UU 17/2003 maupun UU 25/2004 telah menggariskan bahwa peraturan lebih lanjut mengenai mekanisme Musrenbang (perencanaan) dan mengenai penyusunan RKA-SKPD (penganggaran) diatur lebih lanjut oleh peraturan daerah. Dengan pertimbangan bahwa anggaran negara (APBD/APBN) merupakan dana publik, maka anggapan bahwa proses perencanaan dan penganggaran sebagai hak prerogatif kalangan tertentu menjadi hal yang bisa dianggap sebagai proses eksklusi terhadap partisipasi publik.

Eksk lu s i Publ ik da lam Aloka s i Ang garan

Alokasi anggaran bisa dilihat dari dokumen Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) dan juga RKA-SKPD, dan Daftar Perincian Anggaran (DPA). Pertanyaan-pertanyaan krusial dalam inklusi dan eksklusi APBD adalah apakah alokasi anggaran dalam dokumen-dokumen tersebut menggambarkan kebutuhan masyarakat? Karena kesulitan akses terhadap dokumen tersebut, dokumen ringkasan R APBD atau APBD seringkali digunakan oleh kelompok civil society untuk mengetahui eksklusi atau inklusi kepentingan masyarakat dalam anggaran publik.

Kepentingan masyarakat dalam APBD berkaitan dengan apakah APBD memihak masyarakat miskin atau memihak aparatur. Selain persoalan alokasi untuk sektor prioritas seperti pendidikan dan kesehatan, hal yang perlu dilihat adalah dalam sektor-sektor tersebut, siapa yang menjadi penerima manfaat (beneficiary)? Di sinilah pentingnya analisis anggaran yang tidak hanya melihat persentase alokasi anggaran per sektor tetapi sampai ke mana uang tersebut dibelanjakan.

188 | D Z U R I Y A T U N T O Y I B A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

U PAYA AWA L MENU JU A NGG A R A N YA NG INK LUSIF

Aspek terpenting dari anggaran yang inklusif meliputi dua hal pokok dalam penyusunan anggaran yaitu terkait proses serta substansi/alokasi anggaran. Dua pokok masalah ini saling terkait satu sama lain karena substansi sangat dipengaruhi oleh proses dan proses tidak akan berarti jika keluar dari substansi.

Proses anggaran biasanya dimulai dengan Musrenbang yang dilanjutkan dengan satu rangkaian kegiatan oleh Bappeda dan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD), yaitu mengompilasi hasil Musrenbang yang melibatkan seluruh SKPD. Hasil kompilasi Musrenbang ini disebut sebagai Rancangan Kerja Pembangunan Daerah (RKPD).

Sementara itu, anggaran dikatakan inklusif apabila dari aspek proses cukup partisipatif, sehingga dari aspek substansi, alokasi belanjanya lebih banyak diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan warga, terutama yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebaliknya, anggaran dikatakan buruk apabila terjadi gap yang sangat besar antara alokasi belanja tidak langsung dan alokasi belanja langsung.

Pengalaman Masyarakat S ipi l da lam Mengakse s Dokumen A PBD

Di Kabupaten Lamongan, persoalan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sudah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan No. 7 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat yang selanjutnya disebut Perda Kab. Lamongan 7/2005. Perda ini memberikan hak kepada setiap warga untuk memperoleh informasi terkait dengan kebijakan publik; dari proses perencanaan pembangunan, penyusunan produk hukum, rencana dan pelaksanaan kegiatan, pelayanan publik, agenda rapat DPRD, pertanggungjawaban kepala daerah, hingga berhak membantu melakukan pengawasan, serta monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik atau program pembangunan di daerah.

Hak untuk berpart isipasi di lakukan da lam bentuk memberikan saran, pertimbangan, masukan, dan himbauan terhadap Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 189

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), dan rencana perumusan kebijakan daerah yang menyangkut pungutan daerah, Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Namun demikian, sejauh ini akses publik terhadap dokumen RKPD, KUA PPAS, RKA-SKPD, RAPBD, APBD dan DPA masih tetap menjadi masalah. Dalam kehidupan sehari-hari kelompok masyarakat sipil bisa berteman dengan ketua BAPPEDA, dan anggota DPRD. Namun, jika terkait dengan permintaan untuk bisa mendapatkan dokumen APBD, mereka biasanya akan menghindar, tidak mau memberikan.

Paradigma penguasa yang belum reformis sangat kuat sehingga cara-cara biasa untuk bisa mendapatkan dokumen-dokumen tersebut hampir menjadi suatu hal yang tidak mungkin. Penguasa belum memiliki pandangan bahwa dokumen APBD adalah dokumen publik yang bisa diakses oleh masyarakat. Cara lain yang biasanya ditempuh adalah dengan memiliki relasi pribadi dengan salah satu anggota DPRD yang membutuhkan bantuan teknis untuk membaca APBD. Hal ini mengingat bahwa masih banyak anggota DPRD yng memiliki kemampuan terbatas dalam menjalankan fungsi-fungsinya yakni fungsi agregasi (menyerap aspirasi masyarakat) untuk dibawa menjadi fungsi legislasi (membuat peraturan perundangan) dan fungsi budget (fungsi untuk menyusun dan mengalokasikan budget).

Kesulitan-kesulitan tersebut membuat proses advokasi APBD yang lebih pro-poor, pro-masyarakat, serta efektif dan efisien mengalami keterlambatan. Analisis anggaran seharusnya dilakukan sebelum anggaran disahkan. Menurut jadwal yang ditetapkan dalam Permendagri 11/2006, APBD seharusnya disahkan pada sekitar bulan Desember, sehingga bisa diimplementasikan pada bulan Januari. Jika hal itu bisa dilakukan, maka idealnya bisa diusulkan realokasi untuk alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun demikian, dokumen ringkasan RAPBD biasanya lebih mudah didapatkan, sedangkan yang paling sulit adalah dokumen RKA-SKPD dan dokumen Dokumen Pelaksanaan Anggaran Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (DPA-PPKD).

A NA LISIS A PBD

Untuk menuju demokrasi anggaran publik, analisis anggaran yang dilakukan oleh masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Untuk

190 | D Z U R I Y A T U N T O Y I B A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

itu, selain ketersediaan informasi terhadap dokumen APBD juga diperlukan keterampilan mengalisis. Sejauh ini berkembang beberapa cara untuk menganalisis APBD. Jika dilihat dari pendekatannya, terdapat pendekatan akademis dan pendekatan popu l i s . Pendekatan akademis memfokuskan pada persoalan-persoalan pertanggungjawaban ilmiah secara metodologi serta mensyaratkan dokumen-dokumen yang lebih detail seperti RKA-SKPD dan DPA SKPD yang jarang sekali bisa diakses publik. Sedangkan analisis yang bersifat populis menekankan pada kesederhanaan metode agar data apapun yang tersedia bisa digunakan untuk menunjukan apakah APBD sudah pro-rakyat atau belum.

Cara yang biasa digunakan untuk menganalisis APBD di Ngawi, Lamongan, dan Makasar adalah dengan membandingkan antara belanja langsung dan tidak langsung. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung dari suatu kegiatan terdiri dari belanja barang dan jasa serta belanja modal. Adapun belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja tidak langsung meliputi: belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga (Permendagri 13/2006 pasal 36).

Anal i s i s A PBD Ngawi

Dengan membandingkan belanja langsung dan tidak langsung tampak bahwa APBD Kabupaten Ngawi 2008 disusun tanpa memperhatikan proporsi keduanya. Menurut Pagar Madani (sebuah jaringan perkumpulan LSM lokal di Ngawi), APBD Kabupaten Ngawi tahun 2008 masih berpihak kepada aparatur karena jumlah belanja tidak langsung mencapai 61,61% dan belanja langsung kurang dari 39%.

Alokasi belanja sektor pendidikan di Ngawi tahun 2008 mencapai hampir 40% dari total APBD.. Namun, dari jumlah tersebut alokasi jumlah biaya pendidikan yang sampai ke masyarakat hanya 6,51%. Angka ini didapatkan dari jumlah biaya langsung sektor pendidikan 47.249.926.168,63 dibagi jumlah belanja daerah 725.280.569.365,76 (Sumber: analisis RAPBD Kabupaten Ngawi tahun 2008). Jika komponen gaji guru dan karyawan dinas pendidikan tidak

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 191

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

dimasukkan, maka alokasi sektor pendidikan dalam APBD Ngawi yang sampai kepada masyarakat hanya 6,51% tahun 2008, dan 4,83% pada tahun 2007. Sedangkan pada biaya langsung masih banyak terdapat biaya-biaya yang manfaatnya hanya dirasakan oleh aparat.

Gambar 1. Perbandingan Belanja APBD Ngawi tahun 2008

Perbandingan Belanja APBD Ngawi 2008

BELANJA TIDAK LANGSUNG,

446,825,798,754.15, 62%

BELANJA LANGSUNG, 278,454,770,611.61, 38%

Sumber: Toyibah dkk 2008

Alokasi sektor kesehatan tahun 2007 masih 5,9 % dari total APBD. Jika dilacak, persentase alokasi anggaran yang diterima masyarakat hanya sebesar 2,5% dari belanja APBD.

tabel 1. Alokasi APBD Kab. Ngawi Sektor Pendidikan

Uraian Jmulah Perbandingan dalam APBD

Belanja APBD 2008 725,280,569,365.76 Belanja DAERAH sektor Pendidikan tahun 2008 non aparatur

47,249,926,168.63 6.51%

Belanja APBD 2007 588,238,249,732.29 Belanja DAERAH sektor Pendidikan tahun 2007 non aparatur

28,409,442,300.00 4.83%

Sumber: Analisis APBD oleh Pagar Madani, Maret 2008 dalam Toyibah 2008

Adapun alokasi sektor pertanian dalam APBD 2007 hanya 1,8 % dari jumlah APBD. Jumlah alokasi Rp 10,3 milyar ini lebih rendah daripada APBD tahun 2005 sebesar Rp 15,5 milyar, meskipun visi bupati melalui RPJMD adalah mewujudkan Kabupaten Ngawi yang unggul di bidang agraris.

192 | D Z U R I Y A T U N T O Y I B A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

tabel 2. Perbandingan Belanja Sektor Kesehatan

dengan Total APBD 2007 yang Diterima Masyarakat

Alokasi Belanja untuk Masyarakat Sektor Kesehatan dalam APBD Ngawi 2007

Jumlah Persentase

Belanja APBD 588,238,249,732.29 100%Belanja untuk masyarakat langsung (belanja modal plus belanja barang & jasa)

14,866,713,157.00 2.5%

Sumber: Hasil Analisis APBD oleh Pagar Madani, Maret 2008 (Toyibah, 2008)

Kecilnya alokasi anggaran sektor pertanian kemungkinan terkait dengan Permendagri 13/2006 yang menempatkan pertanian sebagai urusan pilihan saja. Sementara di sisi lain, sebagian besar masyarakat Ngawi berprofesi sebagai petani. Visi bupati terpilih juga menjadikan Ngawi sebagai daerah yang agraris dan agamis. Hal ini sangat menarik karena ada inkonsistensi antara problem di masyarakat, visi bupati, dan peraturan yang ada.

Anal i s i s A PBD Lamongan

Jaringan Masyarakat Lamongan (JAMAL) melakukan analisis dengan membandingkan APBD-P 2007 dan APBD 2008. Lamongan merupakan salah satu dari tiga kabupaten yang pertama kali memiliki perda yang mangatur transparansi. Keberadaan kelompok masyarakat sipil yang melakukan upaya partisipasi dalam APBD ini sudah cukup lama. Pejabat di lingkungan Pemda Lamongan juga sudah mafhum akan tuntutan partisipasi dalam anggaran. Munculnya perda itu menjadi indikator kemajuan Lamongan dalam menangkap wacana partisipasi dalam anggaran dibandingkan dengan Ngawi atau daerah lainnya. Pertanyaan mendasar adalah apakah kemajuan menangkap wacana partisipasi anggaran sejalan dengan munculnya APBD yang memihak masyarakat miskin?

Jika dilihat dari ringkasan APBD saja, persentase antara belanja aparatur/belanja tidak langsung dan belanja belanja publik/belanja langsung nampak cukup seimbang. Namun demikian, analisis dari Jaringan Masyarakat Lamongan masih menunjukan adanya indikasi inefisiensi. Hal ini terlihat dari adanya kenaikan anggaran Dinas Kesehatan (Dinkes) sebesar Rp 6 milyar pada tahun 2007 (dari Rp 42 milyar pada 2006 menjadi sebesar Rp 48 milyar pada 2007).

Kenaikan yang cukup signif ikan ternyata tidak dibarengi dengan alokasi dana yang efektif. Hal ini karena sebelumnya untuk

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 193

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

mendapatkan investasi dari Bank Dunia dalam program P2TPD sebesar Rp 6 milyar dilakukan persiapan selama tiga tahun (2002–2005) dengan prasyarat harus membuat dokumen Strategi Rencana Tindak Pengurangan Kemiskinan (SRTPK). Sedangkan kenaikan anggaran Dinkes menurut aktifis JAMAL terjadi tanpa usaha dan prasyarat yang ketat bisa langsung mendapat tambahan Rp 6 milyar.

Dari anggaran Rp 48 milyar tersebut, sekitar Rp 31,1 milyar atau 65% dialokasikan untuk pegawai/birokrasi. Nampak bahwa dalam setiap program untuk masyarakat selalu terdapat komponen transport, ATK, dan perjalanan dinas yang jumlahnya cukup signifikan, seperti terlihat dalam tabel berikut.

tabel 3. Analisis Alokasi Anggaran Dinas Kesehatan Kab.Lamongan Tahun 2008

Program Anggaran Belanja Untuk PegawaiImunisasi 60 juta 30 jutaPencegahan penyakit menular

120 juta 92 juta (perjalanan dinas, ATK, dll)

Penyusunan standar pelayanan

25 juta 24 juta (honor, perjalanan dinas, dll)

Pertolongan persalinan ibu dari keluarga tidak mampu

37 juta 35 juta (honor, cetak, transportasi)

Sumber: Analisis JAMAL berdasarkan RKA-SKPD 2008 dalam Toyibah 2008

Anal i s i s A PBD Maka sar

Kecenderungan yang sama terjadi pula pada APBD Makasar tahun 2009 dengan biaya tidak langsung yang cukup besar, sebagaimana muncul dari analisis KOPEL (sebuah kelompok masyarakat sipil di Makasar). Tahun 2009, Pemerintah Kota Makasar memprogramkan kesehatan gratis sebanyak Rp 17.410.875.996,00. Anggaran sebesar ini tersebar ke seluruh kecamatan di 37 PKM (Pusat Kesehatan Masyarakat) Kota Makasar pada pos biaya operasional dan pemeliharaan kesehatan gratis.

Belanja kesehatan gratis tersebut, setelah ditelusuri dari dokumen RAPBD menunjukan proporsi yang tidak seimbang antara dana yang dialokasikan bagi masyarakat miskin dengan dana yang dialokasikan untuk belanja tidak langsung yakni meliputi belanja pakaian dinas, belanja bahan bangunan, dan belanja honorarium pelaksana kegiatan.

194 | D Z U R I Y A T U N T O Y I B A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

tabel 4. Komponen Belanja Program Kesehatan Gratis

Komponen Belanja Kesehatan Gratis Jumlah AnggaranBelanja pakaian dinas 436,650,000.00 Belanja bahan bangunan 488,509,109.00 Belanja honorarium pelaksana kegiatan 7,268,455,620.00 Belanja obat obatan 1,964,419,854.00 Lainnya 7,252,841,413.00 Total Anggaran 17,410,875,996.00

Sumber: Hasil Analisis RAPBD 2009 Kota Makassar yang dilakukan oleh KOPEL

DEMOK R A SI R EPR E SENTAT IF VS DEMOK R A SI PA RT ISIPAT IF DA L A M A NGG A R A N

Salah satu persoalan penting menuju inklusifitas anggaran adalah keterlibatan masyarakat sipil dalam proses penganggaran. Hal itu tidak cukup dengan keterlibatan pada proses Musrenbang dan forum SKPD tetapi juga pada ketersediaan dokumen anggaran mulai dari RKPD, RKA-SKPD, RAPBD, APBD, dan DPA. Dokumen-dokumen tersebut adalah ‘harta karun’ untuk membuka tabir rahasia siapa penerima anggaran. Sejauh ini, pendekatan kelembagaan dan sistem yang memungkinkan dokumen anggaran dibuka untuk publik masih menemui banyak hambatan. Selama ini, pemerintah berpegang teguh pada pemikiran bahwa dokumen anggaran merupakan rahasia negara, sehingga tidak dibenarkan ada intervensi dari pihak lain.

Dalam hal ini, terdapat empat model partisipasi dalam demokrasi sebagaimana dijelaskan oleh Myra Marx Ferree dkk. (2002) yakni: (a) siapa saja yang harus berpartisipasi? (b) bagaimana seharusnya bentuk dan isi dari public discourse? (c) bagaimana para aktor berkomunikasi satu sama lain? (d) apa hasil yang diharapkan jika prosesnya sudah berjalan sebagaimana seharusnya?

Pertama, representative liberal theory yang menganggap otoritas tertinggi dalam masyarakat adalah warga negara (citizenry). Warga negara membutuhkan pembuat kebijakan yang bertanggung jawab terhadap mereka, tetapi tidak butuh berpartisipasi langsung. Kehidupan publik akan menjadi lebih baik tanpa partisipasi masyarakat karena mereka hanya mendapatkan sedikit informasi tentang masalah-masalah publik dan tidak memiliki perhatian serius. Mereka cukup berpartisipasi dalam memilih pemimpin secara periodik. Partisipasi dalam masalah kebijakan publik merupakan tanggung jawab partai politik semata.

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 195

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

Kedua, participatory liberal theory yang menganggap penting memaksimalkan partisipasi warga negara dalam pembuatan keputusan publik yang memberi dampak dalam kehidupan mereka. Karena itu, warga harus menjadi partisipan aktif dalam public sphere sebagaimana dinyatakan Paul Hirst sebagai “associative democracy” dan Benjamin Barber menyebutnya sebagai “strong democracy”. Namun demikian, tidak mungkin semua warga bisa memberikan seluruh waktunya untuk mendiskusikan masalah publik secara langsung. Menurut teori ini, harus ada delegasi/perantara yang mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan warga dalam public sphere. Delegasi tersebut adalah organisasi-organisasi yang memiliki anggota yang berpartisipasi secara aktif dan kepemimpinan yang bertanggung jawab terhadap anggota.

Ketiga, discursive theory. Model ini agak mirip dengan participatory liberal theory, terutama dalam hal keterlibatan seluruh masyarakat (popular inclusion), tetapi proses yang digagas bersifat deliberative. Popular inclusion tidak semata-mata sebagai tujuan, tetapi merupakan alat untuk discourse yang bersifat rasional. Teori ini merujuk pada pemikiran Jurgen Habermas yang menganggap wajar ketika keputusan masalah publik yang rutin hanya melibatkan politik pusat (political center) seperti pejabat pemerintah, parlemen, pengadilan, dan partai politik. Dalam beberapa persoalan, Habermas menganggap penting keterlibatan aktor dari politik pinggiran (periphery) yang terdiri dari civil society dan organisasi di tingkat grassroot.

Teori ini juga mengacu pada pemikiran C. Wright Mills, Amy Gutman Dennis Thompsons dan Amitai Etzioni yang juga menganggap penting apa yang disebut dengan proses deliberatif yakni sebuah discourse (dialog) yang rasional dan beradab dengan mengedepankan argumen yang valid tanpa harus membedakan siapa yang mengusulkan opini tersebut. Seluruh peserta dialog tidak boleh menganggap ada pihak yang pasti benar atau ada pihak yang pasti salah.

Keempat, constructivist theory yang lebih bersifat kritis terhadap gagasan-gagasan sebelumnya terutama terhadap discursive theory. Model ini berakar dari pemikiran Michael Foucault, Nancy Fraser, Seyla Benhabib, Iris Marion Young yang memulai premis dan membangun teori sebagai kritik terhadap marginalisasi perempuan dalam politik. Teori ini jelas menolak konsep expertise dan menganggap penting keterlibatan semua pihak meskipun pemikiran

196 | D Z U R I Y A T U N T O Y I B A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

individu bersifat privat. Prinsip yang dikedepankan adalah prinsip inklusi dan pengakuan (recognition) terhadap standpoint yang berbeda dari para aktor (yang terlibat dalam public sphere). Mereka menolak pemisahan antara privat dan publik. Hal-hal yang privat seperti apa yang dibeli, dimakan, dipakai, atau yang digunakan dalam perjalanan adalah persoalan privat dan pilihan politik sekaligus.

Constructivist theory menolak deliberation dan juga argumen formal dalam diskursus. Mereka menganggap penting halaman belakang (backyard politics). Mereka menganggap penting bentuk-bentuk non-expert dalam politik karena pendapat kelompok yang tidak mampu membuat argumen secara rasional juga perlu didengarkan. Mereka menolak gagasan public sphere yang hanya melibatkan institusi formal seperti parlemen atau pengadilan. Sebaliknya, discourse publik harus bersifat seinklusif mungkin dengan melibatkan semua pihak.

PENU T U P

Cara pandang aparat pemerintah yang mempertahankan ketertutupan anggaran menunjukan bahwa kecenderungan model representative liberal theory masih tinggi. Namun demikian, kehidupan publik tidak menjadi lebih baik dengan minimnya partisipasi masyarakat. Dengan dokumen yang tersedia, nampak pada APBD 2007-2009 masih terdapat kecenderungan eksklusi sosial yang diakibatkan oleh APBD yang hanya berpihak kepada aparat pemerintah. Dari sini sangat masuk akal jika kemudian berkembang suatu prejudice bahwa akar persoalan bukan pada rahasia negara atau kekhawatiran untuk diintervensi oleh pihak-pihak asing. Alasan tersebut hanya untuk menutupi agenda tersembunyi memasukkan kepentingan-kepentingan aparat pemerintah untuk masuk dalam alokasi anggaran. Oleh karena itu, sangat wajar jika penyusunan APBD menjadi salah satu modus operandi korupsi autogenic, yaitu korupsi yang dilakukan dengan didasarkan pada proses yang legal untuk melakukan penyelewengan wewenang kekuasaan untuk kepentingan aparat dengan merugikan kepentingan masyarakat.

Sementara itu, upaya yang dilakukan oleh masyarakat sipil masih dalam batasan mendemistifikasi dokumen-dokumen APBD untuk memberikan informasi bahwa terdapat indikasi proses dan alokasi anggaran yang merugikan kepentingan masyarakat. Upaya ini merupakan langkah awal untuk menunjukkan bahwa menjadikan

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 197

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

dokumen anggaran semata-mata sebagai rahasia negara yang tidak bisa diakses oleh publik sebenarnya merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Dengan proses ini muncul sebuah pertanyaan, sejauh mana masyarakat sipil bisa mengintervensi proses pembuatan kebijakan anggaran? Apakah anggaran hanya bisa diintervensi oleh DPRD dan pemerintah? Sejauh ini gerakan masyarakat sipil, meskipun berupaya untuk menyuarakan persoalan tersebut melalui public hearing dengan anggota DPRD dan media massa, masih menunjukan hasil yang belum maksimal. Namun demikian, upaya tersebut menjadi sebuah langkah yang positif untuk pendidikan politik warga, juga bagian dari partisipasi politik yang bersifat kritis. Tidak bisa dinafikan bahwa masih dibutuhkan strategi lain untuk mencapai tujuan anggaran yang demokrastis secara proses dan efektif secara hasil.

Harus disadari bahwa partisipasi sebagai bentuk keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan publik, bukanlah hal yang bisa bersifat instan. Banyak hal diperlukan untuk menumbuhkan partisipasi seperti proses penyadaran, pengorganisasian, inisiasi dan fasilitasi ruang-ruang publik. Selain itu, praktik partisipasi juga membutuhkan warga negara yang aktif (active citizen), melalui proses pengorganisasian dan pendampingan yang bersifat terus menerus, ada keinginan politik (political will), dan kesadaran politik (political awareness) dari institusi pemerintahan.

Konsep partisipasi kewargaan juga membalik paradigma yang melihat warga sebagai pihak “yang harus diatur/diperintah”. Sebagai pihak yang diperintah, warga negara yang baik diharapkan dapat mematuhi peraturan dan memenuhi kewajibannya baik kepada warga negara lain maupun kepada “pihak yang mengatur/memerintah”. Sebaliknya, pihak yang memerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warga. Asumsi ini ternyata tidak berjalan dengan baik. Tanpa ada partisipasi masyarakat, sangat jarang pemerintah bisa menjalankan kewajibannya. Sebaliknya pemerintah seringkali memonopoli mandat yang diberikan kepadanya dan cenderung korup.

Dalam konteks tiga daerah studi ini, masih jarang ditemukan pemikiran dari aparat pemerintah bahwa partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan kebutuhan pemerintah. Jika partisipasi masyarakat terjadi, seharusnya pemerintah akan diuntungkan karena pembuatan dokumen anggaran menjadi lebih bersifat bottom up dan

198 | D Z U R I Y A T U N T O Y I B A H

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

diharapkan akan bisa berkontribusi secara maksimal terhadap pemecahan masalah-masalah di daerah bersangkutan.

DA F TA R PUSTA K A

Bahagijo, Sugeng dan Rusdi Tagaroa ed. 2005. Orde Partisipasi: Bunga Rampai Partisipasi dan Politik Anggaran, Jakarta: Perkumpulan Prakarsa

Byrne, David. 2005. Social Exclusion. England, Open University Press.

Break, Fridolin et.al. 2006. kumpulan Modul Pendidikan Politik Anggaran Bagi Warga, Bandung: BIGS dan TIFA Foundation

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

------. 2004a. Undang-Undang No. 10 Tahun 20 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

------. 2004b. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

------. 2004c. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Ferree, Myra Marx et.al. 2002. “Four Models of Public Sphere in Modern Democracies.” Journal Theory and Society Vol. 31 No. 3.

Farhan, Yuna et.al. 2007. Memfasilitasi konsultasi Publik: Refleksi Pengalaman Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Jakarta: Kemitraan Partnership.

Farhan, Yuna. 2008. “Memetakan Perubahan Regulasi Keuangan Daerah.” Makalah dipresentasikan dalam diskusi publik Implikasi Revisi kebijakan keuangan Daerah, diselenggarakan oleh The Asia Foundation dan CIDA.

Fozzard, Adrian. 2001. “The Basic Budgeting Problem: Approaches to Resource Allocation in The Public Sector and Their Implication for Pro Poor Budgeting.” CAPE-ODI Working Paper 147.

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 199

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 181-199

Jaringan Masyarakat Lamongan. 2008. “Analisis RKA-SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten Lamongan tahun 2008.” Dokumen tidak dipublikasikan.

KOPEL Makasar. 2009. “Hasil Analisis APBD Kota Makasar tahun 2009.” Dokumen tidak dipublikasikan.

Khadafi, Ucok Sky dan Sucipto Yenny. 2006. Membangun Gerakan Pro-Poor Budget. Jakarta: Seknas FITRA DFID, TAF.

DPRD Kabupaten Ngawi. 2007. RAPBD Ngawi tahun 2007DPRD Kabupaten Lamongan. 2008. RAPBD Lamongan tahun 2008DPRD Kabupaten Makasar. 2009. RAPBD Makasar tahun 2009Masturi, Sri. 2007. Anggaran Responsif Gender, konsep dan Aplikasi.

Jakarta: CIBA, TAF, CIDA.Pagar Madani. 2008. “Hasil analisis APBD Ngawi.” Dokumen tidak

dipublikasikan.Rodger, Gerry. 1995. Social Exclusion: Rhetoric Reality Responses,

A Contribution To the World Summit For Social Development. International Labour Organization.

Suhirman. 2006. “Perencanaan dan Penganggaran Yang Pro-Poor.” Hlm. 111-120 dalam Modul Participatory Budgeting and Expenditure Tracking (PBET) Fase 1 dan 2, diedit oleh Amir, Islamil, et.al. Bandung: FPPM, NDI, BIGS.

Sen, Amartya. 2000. Social Exclusion: Concept Application and Scrutiny. Manila, Philippines: the Asian Development Bank.

Santos, S.B. 1998. Participatory Budgeting in Porto Alegre: Toward A Redestributive Democracy. Diakses 3 Maret 2011 (http://www.archonfung.net/docs/pal218/SantosPortoAlegre.pdf)

Taket, Ann et.al. 2005. Theorising Social Exclusion. London and New York: Routledge.

Toyibah, Dzuriyatun, et.al. 2008. Merebut Anggaran Publik: Jalan Panjang Demokratisasi Penganggaran Daerah. Jakarta: PP Lakpesdam NU dan NDI.

Waidl, Abdul, Sakri, Diding, Farhan, dan Yuna. 2009. Anggaran Pro-kaum Miskin Sebuah Upaya Menyejahterakan kaum Miskin. Jakarta: Prakarsa dan LP3ES.

Pengetahuan dan Relasi Kuasa Global

Judul: Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme

Penulis: Syed Farid AlatasPenerbit: Mizan Publika- Jakarta

Tahun: 2010ISBN: 978-602-96864-3-4

Tebal: xxiv + 268 hlm

Perdebatan mengenai pengetahuan dalam tradisi ilmu sosial-humaniora telah berlangsung lama dan masih terjadi hingga sekarang. Apabila kita lacak ke belakang, Manheim dalam McCarthy (1996) misalnya menjelaskan bagaimana konteks sosial memengaruhi terbentuknya pengetahuan. Sedangkan Berger dan Luckman (1966) memperbarui pandangan Manheim, dengan berpendapat bahwa pengetahuan terbentuk karena hasil dialektika antara individu dengan masyarakat, serta memperlakukan pengetahuan sebagai tool of communication untuk menemukan makna (meaning). Dari tradisi Frankfurt School, Habermas (1971) membongkar keterkaitan antara pengetahuan dengan kepentingan. Menurut Habermas, tradisi positivisme menyembunyikan kepentingan teknis, humaniora menyembunyikan kepentingan komunikatif, sedangkan kritis menyembunyikan kepentingan emansipatoris. Lebih lanjut, Foucault (1980) menjelaskan bahwa pengetahuan adalah kuasa, artinya pengetahuan mempunyai kekuatan untuk mengonstruksi kenyataan, mendisiplinkan bahkan “menormalkan” yang dianggap menyimpang.

Berbagai pandangan dari white man from metropole countries sebagaimana yang dikemukakan Connell (2006) tersebut kemudian memunculkan pertanyaan, di mana posisi pengetahuan yang dikonstruksikan oleh ilmuwan non-Barat/ilmuwan negara-negara selatan? Bagaimana relasi kuasa antara pengetahuan metropole dengan pengetahuan periphery dan apa dampaknya? Apakah memungkinkan membangun pengetahuan alternatif untuk menciptakan relasi yang

202 | O K I R A H A D I A N T O S U T O P O

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 201-206

lebih adil antara metropole dengan periphery? Berbagai pertanyaan itulah yang coba dijawab oleh penulis dalam buku ini. Farid Alatas melanjutkan perjuangan yang dirintis ayahnya, Husein Alatas, membongkar dominasi pengetahuan yang bias pada Eurosentrisme, Orientalisme, captive mind (benak terbelenggu), imperialisme akademis dan kebergantungan akademis. Selain itu, ia mengusulkan perlunya diskursus alternatif yang lebih membebaskan, sehingga menghasilkan pengetahuan yang terdekolonisasi dan otonom.

Alatas memulai dengan menjelaskan relasi ekonomi politik yang tidak seimbang antara negara pusat/metropole dengan pinggiran/periphery, yang dalam prosesnya dominasi ini juga berdampak pada aspek pengetahuan. Sejak abad ke-19, dominasi pengetahuan lebih banyak dilakukan oleh negara-negara Eropa, dan pada perkembangannya, kutub dominasi beralih pada Amerika Serikat sebagai pemenang perang dunia kedua. Dijelaskan oleh Alatas, dominasi ini kemudian menciptakan pembagian kerja, dalam arti ilmuwan sosial dari pusat melakukan kajian perbandingan antar negara dan diberikan legitimasi untuk mengonstruksi teori. Di sisi lain, ilmuan sosial pinggiran cenderung melakukan riset empiris dengan subjek kajian masyarakatnya sendiri. Hal ini mengakibatkan kurangnya perspektif perbandingan serta konstribusi pada teori, sehingga memunculkan ketergantungan terhadap produksi pengetahuan negara pusat. Tingginya tingkatan yang disematkan pada teori semakin mengukuhkan teori-teori pusat sebagai pusat perdebatan teoritis.

Relasi yang tidak seimbang juga memunculkan klaim akan universalitas yang disematkan pada teori-teori yang lahir dari ilmuwan sosial pusat, meskipun teori tersebut lahir dari pengalaman negara pusat dengan konteks serta karakteristik tertentu. Misalnya yang dilakukan oleh Coleman dalam Connell (2006) mengenai perilaku rasional pedagang di salah satu negara bagian di Amerika Utara, yang selanjutnya menjadi teori yang berlaku universal bernama rational choice theory. Universalitas teori negara pusat menjadikan negara pinggiran hanya diperlakukan sebagai tempat penelitian (Samuel, 1999) tanpa dimunculkan konteks khas negara tersebut. Sebaliknya, teori negara pusat cenderung dipaksakan sebagai alat analisis meskipun peluang untuk lost in context-nya sangat besar. Bahkan, teori-teori pembangunan misalnya, diperlakukan sebagai ideal type yang harus diikuti sebagai peta pembangunan negara

P E N G E T A H U A N D A N R E L A S I K U A S A G L O B A L | 203

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 201-206

pinggiran dan dalam tingkat ekstrim menimbulkan biaya-biaya manusia (human cost) yang tak terkira (Berger, 1974). Di sisi lain, teori yang dimunculkan oleh ilmuwan pinggiran tidak diakui bersifat universal, melainkan hanya bersifat partikular. Akan sulit membayangkan misalnya, teori yang muncul dari pengalaman kesemrawutan kehidupan kumuh di Penjaringan, Jakarta, akan digunakan untuk menganalisis kehidupan urban di New York.

Selain berbicara mengenai universalisme versus partikularisme, Alatas juga membahas mengenai konsep captive mind atau benak yang terbelenggu. Dijelaskan oleh Alatas bahwa benak yang terbelenggu hampir sepenuhnya dilatih dengan ilmu sosial Barat, membaca karya ilmuwan sosial Barat serta dididik oleh ilmuwan sosial Barat. Proses membabi buta dalam penerapan teori pusat ataupun teknik-teknik penelitian tanpa melakukan adaptasi berdasarkan konteks merupakan salah satu simptom terjangkitnya captive mind tersebut. Simptom yang lain menurut Alatas adalah peniruan yang tidak kritis dalam berbagai tingkat kegiatan ilmiah, termasuk dalam hal latar permasalahan, analisis, abstraksi, generalisasi, konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi, dan penafsiran. Benak yang terbelenggu membuat ilmuwan sosial pinggiran tidak memiliki kreativitas, orisinalitas, serta terasing dengan permasalahan krusial bangsanya sendiri. Yang menarik adalah pernyataan Alatas bahwa ilmuwan sosial pinggiran sangat memerlukan pengetahuan pusat terutama demi mempertahankan harga diri dalam arena akademis. Menurut Alatas, benak terbelenggu adalah masalah khas negara pinggiran. Konsep benak terbelenggu tidak muncul di negara pusat karena kita tidak menemukan orang-orang yang dididik dengan ilmu non-pusat di universitas non-pusat, atau di bawah asuhan para professor non-pusat, atau membaca karya-karya ilmuwan pinggiran dengan bahasa-bahasa non-pusat.

Alatas menyitir karya Said dalam Orientalism (1979) dan Amin dalam Eurosentrism (1989) menjelaskan bahwa diskursus pengetahuan dari negara pusat merupakan konstruksi esensialis yang mengonfirmasi bahwa negara pinggiran adalah kebalikan pusat, seperti malas, terbelakang, barbar, dan irasional. Ciri utama Orientalisme adalah pembagian Timur-Barat yang menempatkan masyarakat Barat lebih unggul daripada Timur, sedangkan Eurosentrisme didefinisikan sebagai konstruksi teoritis sejarah dunia yang membuat Eropa, berkat keunikan, keunggulan, dan takdirnya, harus menanggung “beban manusia kulit putih” berupa ekspansionisme. Dengan kata lain,

204 | O K I R A H A D I A N T O S U T O P O

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 201-206

negara pinggiran adalah realitas yang lain atau liyan (the others) yang kemudian harus ditaklukkan, harus patuh dan perlu dinormalkan, serta didisiplinkan supaya menjadi bagian dari “kita” (negara pusat). Nyata dalam pengalaman Indonesia pada masa Orde Baru bahkan hingga sekarang, misalnya konstruksi pengetahuan bahwa kurangnya need for achievement mengakibatkan perekonomian Indonesia tertinggal. Anggapan mengenai nilai-nilai lokal adalah kuno, sehingga perlu diganti nilai-nilai modern. Gaya hidup negara pusat yang dianggap lebih “keren” bahkan hingga menyangkut urusan ‘ranjang’ misalnya, yang mengonstruksikan bahwa pria dari negara pusat lebih romantis, maco, dan kuat.

Multidimensi dominasi ilmu sosial negara pusat pada negara pinggiran tidak terlepas dari kebergantungan secara ekonomi politik atau diistilahkan sebagai kebergantungan akademis. Alatas menyebut tiga hal yaitu teknologi, bantuan, dan investasi. Telah menjadi rahasia umum bahwa penyandang dana terbesar untuk riset adalah negara-negara pusat. Hal ini membawa dampak pada topik-topik riset apa saja yang harus dilakukan yang tentu saja harus menuruti selera ataupun kepentingan negara-negara pusat. Tidak jauh berbeda juga terjadi pada bantuan berupa buku-buku yang diberikan oleh penyandang dana, White dalam Hadiz dan Dhakidae (2006) misalnya menjelaskan mengenai penyortiran bantuan buku terkait dengan ilmu pertanian oleh penyandang dana karena buku yang diusulkan oleh salah satu professor Indonesia tidak sejalan dengan tujuan revolusi hijau. Fenomena yang lain adalah kebergantungan pada media gagasan. Alatas mencontohkan mengenai ketimpangan jumlah serta penyematan akan prestise yang tinggi pada jurnal ilmiah dari negara-negara pusat. Dijelaskan bahwa jumlah jurnal ilmiah terbesar adalah dari Amerika dengan penyumbang artikel terbesar juga dari negara-negara pusat tersebut seperti Amerika, Jerman, Prancis, dan Inggris. Beberapa faktor inilah yang menurut Alatas menyebabkan terjadinya kebergantungan akademis.

Pasca dilakukannya inventarisasi masalah serta pembongkaran terhadap dominasi ilmu sosial dari negara pusat, Alatas mengusulkan mengenai perlunya diskursus alternatif. Dalam kasus kebergantungan akademis pada bab 9 buku ini, Alatas menyarankan untuk mengurangi kebergantungan pada standar Amerika dan Eropa yang mungkin tidak tepat, sementara pada saat yang sama bekerja meningkatkan kemampuan penerbitan lokal. Hal ini dapat berjalan

P E N G E T A H U A N D A N R E L A S I K U A S A G L O B A L | 205

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 201-206

pula jika para penilai, seperti pemerintah misalnya, memberi penghargaan pada karya terbitan lokal sebagaimana publikasi internasional. Selain itu juga bagaimana melekatkan nilai-nilai dan penghargaan yang memadai bagi publikasi tersebut, sehingga menarik karya-karya berkualitas tinggi. Alatas memberikan contoh di Jepang; di sana tidak ada diskriminasi dalam penilaian terhadap terbitan dalam negeri. Mengenai benak terbelenggu, Alatas mengusulkan mengenai perlunya kesadaran kritis yang harus diajarkan melalui berbagai institusi pendidikan. Dalam pengajaran sosiologi misalnya, perlunya mengajarkan tidak hanya sejarah sosiologi negara pusat seperti Revolusi Perancis atau sejarah pencerahan yang perlu diajarkan, melainkan juga konteks kolonisasi serta eurosentrisme, sehingga mahasiswa lebih sadar akan bias tersebut, misalnya pada karya-karya founding fathers sociology.

Diskursus alternatif yang digagas Alatas mengusulkan mengenai perlunya dibuka dialog bagi filsafat, epistemologi, dan sejarah wilayah lokal, nasional, dan regional supaya menjadi basis pengetahuan. Indigenisasi dalam berbagai tingkatan diperlukan supaya muncul pusat-pusat pengetahuan yang beragam. Hal ini diharapkan dapat mengurangi dominasi ilmu sosial negara pusat. Lebih lanjut, Alatas menghimbau mengenai perlunya sekelompok minoritas aktif ilmuan sosial di setiap universitas besar di Asia yang peduli terhadap masalah yang dihadapi oleh ilmu sosial pinggiran. Spirit yang dibangun adalah spirit membebaskan. Oleh karena itu, menurut Alatas, sangat beralasan untuk mempertahankan kesetiaan pada proyek indigenisasi tersebut.

Buku ini patut diapresiasi karena sikap kritis dan keberaniannya dalam menghadirkan narasi-narasi alternatif pada ranah ilmu sosial-humaniora. Narasi alternatif yang ditawarkan Alatas dapat digunakan sebagai pembuka dialog dengan spirit pembebasan terutama dalam proses pembentukan indigeneous social science di negara-negara pinggiran. Secara spesifik, tawaran alternatif dari Alatas perlu dipertimbangkan dalam agenda pembentukan sosiologi Indonesia yang nampaknya, meskipun berteriak lantang, namun belum bisa muncul di panggung depan dan mendapat sambutan yang meriah dari sosiolog maupun para pemerhati sosiologi di Indonesia.

206 | O K I R A H A D I A N T O S U T O P O

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 16, No. 2 , Ju l i 2011: 201-206

DA F TA R PUSTA K A

Berger, Peter.l and Thomas Luckman. 1966. The Social Construction of Reality. New Yok: Penguin Books.

Berger, Peter.l. 1974. Pyramids of Sacrifice. New York : Penguin Books.

Connell, Raewyn. 2006. Northern Theory: The Political Geography of General Social Theory. Theory and Society, Vol. 35 No. 2. Spinger.

Foucault, Michel. 1980. Power/knowledge: Selected Interviews and Other Writings. New York : Pantheon.

Habermas, Juergen. 1971. knowledge and Human Interest. Boston : Beacon Press

Hadiz, Vedi and Daniel Dhakidae (ed). 2004. Social Science and Power in Indonesia. Singapore : Equinox Publishing

McCarthy, E. Doyle. 1996. knowledge as Culture. London: Routledge. Samuel, Hanneman. 1999. The Development of Sociology in Indonesia.

Australia: Swinburn Institute of Technology (disertasi).

O K I R A H A D I A N T O S U T O P OEmail: [email protected]

Indeks

a

akses publik 186, 189, 207alokasi anggaran v, 187, 188, 189, 191, 192, 196, 207Amerika Serikat 202, 207anggaran publik v, 182, 184, 186, 187, 189APBD v, 181, 182, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193,

194, 196, 198, 199, 207Asia v, 127, 133, 134, 138, 179, 180, 198, 201, 205, 207, 214, 216asimilasi sosial 160, 186, 207aspirasi masyarakat 185, 189

B

Banjar 162, 163, 164, 175belanja langsung 188, 190, 192, 207belanja tidak langsung 188, 190, 192, 193, 207Bima 162, 163, 167, 170, 174, 175, 207blue collar 116Bugis 161, 162, 163, 164, 167, 171, 175, 176, 177, 178, 180

C

capitalism 122, 123, 124, 129, 134, 141, 207captive mind vi, 202, 203Castells v, 171, 177, 178church 126citra 146, 149civil society 116, 117, 118, 119, 121, 122, 124, 126, 129, 134, 138, 139,

181, 187, 195communism 118, 127, 129

208

D

Dayak 162, 163, 164, 175democratic regime 116, 117, 121democratization 116, 117, 118, 119, 121, 122, 129, 130, 133, 134, 136,

139demokrasi 140, 194demokrasi partisipatif 194demokrasi representatif 194desa 159, 160dinamis iv, 144, 152, 154, 177diskriminasi 183, 205diskursus v, vi, 196, 201, 202, 203, 204, 205, 207diskursus alternatif vi, 202, 204, 205, 207dokumen anggaran v, 194, 197dokumen APBD v, 184, 186, 188, 189, 190, 196, 207dominasi vi, 153, 202, 204, 205DPRD 184, 185, 186, 187, 188, 189, 197, 207

E

eksklusi sosial v, 182, 183, 184, 196, 207Eropa vi, 202, 203, 204, 207erotis 148etnis 163, 165, 167, 168, 170, 172, 173etnisitas 164, 173eurosentrisme 201, 202, 203evaluasi 188, 198, 208exploitation 118, 124, 136, 137

F

flexible labour 130Furnival v, 170, 171, 177, 178

G

getok tular 174globalization 174, 175, 176gobal i, v, 140, 201government 116, 117, 118, 119, 121, 122, 123, 124, 126, 127, 128, 130,

131, 132, 134, 136, 138, 139, 181

209

H

hak sosial 182hak sipil 182hegemoni 142, 147

I

ideal 116, 142, 145, 154, 155, 202, 208identitas 146, 164, 208ideologi 116, 142, 146, 147, 149, 153, 208ilmuwan 201, 202, 203, 208ilmuwan sosial 202, 203, 208imperialisme akademis 202, 208indigenisasi 205industri iv, 142, 143, 144, 148, 149, 151, 152, 153, 158, 159, 165, 166,

170, 171, 172, 173, 174, 175, 177, 178, 208industrial federation 119, 208industrial relation 137, 208industri hiburan malam iv, 116, 142, 143, 144, 148, 149, 151, 152, 153,

208industry 119, 120, 122, 127, 129, 132, 138, 141, 208

J

jangka menengah 185, 208jangka panjang 188jangka pendek 185, 208jaringan sosial 158, 176Jawa 144, 159, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 171, 172, 173,

174, 175, 176, 179, 214

k

kantung-kantung etnik ivkapitalisme 142, 143, 144, 148, 171kebijakan publik 184, 188, 194, 209keindahan tubuh 143kekuasaan 142, 145, 151, 153, 154, 155, 184, 196kelompok etnik 116kelompok etnis 116kelompok rentan ii

210

Kim Dae-Jung 132kolonialisasi 116kolonialisme 116komodifikasi 146, 147, 156komoditi 147konsultasi publik 185konsumen 148kontrol 151kota iv, 157, 158, 159, 160, 162, 164, 165, 166, 168, 169, 170, 172, 178,

179, 193, 194, 198kultural iv, 116, 154, 160, 170, 183, 209Kutai 161, 162, 163, 164

L

labour movement iii, 115, 121, 122, 129labour union 116, 119, 126, 127, 131, 136laki-laki 152Lamongan v, 181, 182, 188, 190, 192, 193, 198, 199lapangan pekerjaan 164, 173, 177, 209liberalization 121, 122, 129, 133, 136, 137, 209

M

Makasar v, 181, 182, 190, 193, 198, 199makna 143, 145, 146, 153, 155, 201, 209market 125, 140masyarakat sipil iii, v, 115, 116, 182, 184, 185, 189, 192, 193, 194, 196,

197, 209mekanisme v, 183, 185, 187migran v, 157, 160, 162, 163, 164, 165, 167, 168, 171, 172, 176, 179migrasi 158, 163modal sosial iv, 116, 169, 170, 176, 209modern 139, 198Musrenbang 186, 187, 188, 194

N

negara pinggiran 116, 202, 203, 204, 205, 210negara pusat 116, 202, 203, 204, 205, 210negosiasi 141, 154neo-liberal iii, 115, 116, 130, 131, 210

211

neo-liberalism 116neo-liberalisme iiiNgawi v, 181, 182, 190, 191, 192, 198, 199

O

objek iv, 142, 143, 144, 147, 148, 149, 151, 152, 153, 210orientalisme 202, 203otonomi iii, 141, 144, 145, 154, 214, 215

P

paguyuban 116, 166, 210partisipasi 179, 184, 188, 194, 198, 215partisipatif 194patriarkat 156pekerjaan iv, 157, 170, 172, 173pembuatan keputusan 183, 195pemerintah daerah 144, 187pemutusan hubungan kerja 175penampilan fisik 148penari seksi iv, 153pendatang iv, 116, 160, 161, 162, 163, 165, 166, 167, 171, 210penelitian 214pengawasan 145, 188, 210pengetahuan v, 115, 201, 214perempuan iii, 141, 142, 143, 146, 147, 149, 151, 152, 153, 155, 156, 215perencanaan anggaran v, 184, 186, 210perkotaan iv, v, 158, 159, 164, 165, 170, 171, 177, 178, 214political-economy 116, 146, 149, 210posisi tawar 151primordial 179produksi pengetahuan 202, 210program pembangunan 188, 210

r

rahasia negara v, 116, 194, 196, 197relasi v, 156, 201, 202relasi gender 116–220relasi kuasa 201rencana pembangunan 188, 198

212

resistensi 142ruang publik 197

S

Samarinda i, iv, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 176, 177, 178, 180

seks 116, 142, 149seksualitas 142, 145, 155, 156, 215sosiologi iii, vi, 157, 179, 181, 214, 215, 216, 218sosiologi Indonesia vi, 205South Korea iii, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 123, 124, 125, 126,

127, 128, 129, 130, 131, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140student 118, 122, 124, 127, 128, 138subcontract workers 136subjek 142, 143, 144, 147, 148, 152, 153, 202Sungai Mahakam 161Syed Farid Alatas v, 201

t

teori pembangunan 202teori sosial 117transmigran 161transmigrasi 167transparansi 188tubuh iii, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 151, 154, 155,

156, 215tubuh ideal 117tubuh perempuan 142, 145, 148, 149, 154, 155

V

variasi pekerjaan 173

W

warga negara 194white collar iii, 115working class 137

Biodata Penulis

Atiyatu l Iz zah

Menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM pada tahun 2010. Minat penelitiannya diarahkan pada urban studies (studi perkotaan). Saat ini Ia menjadi peneliti dalam proyek penelitian di Rural Urban Migration China Indonesia (RIMCI) FISIPOL UGM.

Cahyo Pamungka s

Lahir di Purworejo, Jawa Tengah 11 September 1975. Mulai tahun 2010 sampai 2014, menempuh studi S3 pada Department of Cultural Anthropology and Development Studies, Faculty of Social Sciences, Nijmegen Radboud University Belanda di bawah Program “Ethnoreligious Conflict: Comparative Perspective between Indonesia and the Philippines.” Pada tahun 2000, bekerja pada Divisi Penelitian, LP3ES Jakarta. Sejak 1 Januari 2003, bekerja pada Pusat Penelitian Sumberdaya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PSDR-LIPI). Pada tahun 2005, mendapatkan beasiswa penelitian dari the Nippon Foundation melalui Asia Public Intellectual (API) Fellowship. Topik Penelitiannya adalah The Effectiveness of Autonomous Region for Muslim Mindanao (ARMM) in Coping with the Separatism and the Role of National Reconciliation Commission in Peace Building. Selain itu, juga menjadi salah satu penulis buku Papua Road Map (Riset kompetitif LIPI 2008).

Dzuriyatun Toyibah

Lahir di Cilacap 03 Agustus 1976. Sehari-hari mengajar pada FISIP UIN Jakarta. Menjadi salah salah satu pengurus PP Fatayat NU periode 2010-2015, Project Officer Participatory Budgeting and Expenditure Tracking Lakpesdam NU dan NDI periode 2006-2008, Program Officer di Institute Sosial for Institution Studies (ISIS) periode 2000-2006, Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) 2000-2001, Gerakan Ahimsa 2000-2004, Pengurus Besar Korp Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (PB KOPRI) 1996-1997dan PC PMII Ciputat 1995-1996. Tulisan yang pernah dipublikasikan: Metode Refleksi Penganggaran Untuk Kelompok Marginal, PP Lakpesdam NU-TIFa 2009 (kordinator penulis); Partisipasi Publik dalam Perda Syari’ah Jurnal Mimbar UIN Jakarta, 2009; Akar Tradisi Musyawarah di Indonesia, Jurnal Al Turats Fak Adab UIN Jakarta, 2009; ASEAN dan Problem Penegakan HAM, Jurnal Orbit Hubungan Internasional FEIS UIN Jakarta, 2008; Membangun Tradisi dan Sistem Anti Korupsi Melalui Masyarakat Sipil, Jurnal Tasywirul Afkar PP Lakpesdam NU, 2008, dan lain-lain.

Gabr ie l l a Devi Benedic ta

Lahir di Jakarta, 24 April 1988. Ia lulus dari Program Sarjana Sosiologi FISIP UI tahun 2009 dengan skripsi berjudul “Seksualitas dan Otonomi atas Tubuh Perempuan: Studi terhadap Sexy Dancers di dalam Industri Hiburan Malam”. Setelah lulus dari Program Sarjana Sosiologi FISIP UI, penulis aktif mengikuti penelitian-penelitian, khususnya yang terkait dengan isu gender dan seksualitas. Penulis saat ini menjadi peneliti di Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI dan LabSosio UI, Center for Sociological Studies (Gender Cluster).

215

Oki Rahadianto Sutopo

Lahir di Solo pada tanggal 7 Oktober 1984. Sehari-hari Ia mengajar di Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM. Beberapa kegiatan organisasi akademis di tingkat internasional yang pernah diikutinya antara lain sebagai Social Contact Officer untuk ACICIS (Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies) pada tahun 2005-2007 dan Marketing Team untuk Asia Pacific Sociological Association (APSA) pada tahun 2009. Selain itu, Ia juga  dalam bidang musik sebagai Bassist dan menyelesaikan beberapa album rekaman.

Petunjuk Penulisan JUrNaL MaSyarakat

1. Tulisan harus orisinil, karya sendiri, punya dampak yang berarti pada masyarakat dan belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang dalam proses pengajuan untuk dipublikasikan di media lain. Artikel dapat berupa hasil penelitian, pengembangan kertas kerja, ulasan teori atau metodologi, ulasan tentang kebijakan atau situasi sosial, dan referensi buku.

2. Panjang tulisan tidak lebih dari 8.000 kata (sekitar 61.500 karakter dengan spasi), tidak termasuk bibliografi dan catatan kaki. Jumlah keseluruhan halaman dalam satu artikel, termasuk gambar, ilustrasi dan tabel, tidak lebih dari 25 halaman.

3. Artikel yang ditulis dalam bahasa Indonesia harus disertai abstrak dalam bahasa Inggris. Sedangkan artikel dalam bahasa Inggris harus menyertakan abstrak dalam bahasa Indonesia. Abstrak berkisar antara 150-200 kata (1.100-1.450 karakter dengan spasi) dan hanya terdiri dari satu paragraf yang menggambarkan esensi isi keseluruhan tulisan secara gamblang, utuh, dan lengkap. Sertakan pula 3-5 kata kunci (keywords).

4. Penulis wajib menyertakan biodata singkat pada setiap artikel.5. Kirim tulisan dalam dua bentuk, yaitu 1) file elektronik, dan 2)

fotokopi (2 jilid), ditujukan kepada alamat berikut ini:a. File elektronik: [email protected]. Fotokopi: Sekretariat Redaksi Jurnal Masyarakat, Pusat Kajian

Sosiologi LabSosio, Gedung C. Lantai 3. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

6. Dengan publikasi melalui jurnal ini, maka penulis menyerahkan hak mengkopi (copyright) artikel secara utuh (abstrak, tabel, gambar, ilustrasi) kepada Pusat Kajian Sosiologi LabSosio, FISIP UI, termasuk hak menerbitkan ulang dalam semua bentuk media.

218

7. Penulisan rujukan, kutipan di dalam teks, catatan kaki, referensi/daftar pustaka menggunakan format ASA (American Sociological Associations). • Bukudengansatupenulis

Bergesen, Albert. 2006. The Depth of Shallow Culture: The High Art of Shoes, Movies, Novels, Monsters, and Toys. Boulder, CO: Paradigm Publishers.

• BukudenganduapenulisMouer, Ross and Hirosuke Kawanishi. 2005. A Sociology of Work in Japan. New York: Cambridge University Press.

• BabdalambukuHolley, P.D. and D.E. Wright, Jr. 2006. "A Sociology of Rib Joints." Pp. 46-53 in McDonaldization: The Reader, edited by George Ritzer. Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press.

8. Di dalam teks, rujukan hanya menyantumkan nama belakang penulis, tahun publikasi dan nomor halaman, jika perlu. • Jikanamapenulistermasukdidalamteks, ikutidengantahun

publikasi di dalam kurung: Ketika Chu (1977) melakukan studi…• Jikanamapenulistidakadadalamteks,letakkannamabelakang

penulis dan tahun publikasi di dalam kurung: Ketika studi itu selesai…(Jones 1994)• Jikanomorhalaman ikutdimasukkan setelah tahunpublikasi

cantumkan setelah tanda titik dua: …Chavez (1966:16)• Kalau ada tigapenulis, tuliskanketiganamabelakangpenulis

di awal rujukan teks; setelah itu rujukan cukup menyebut nama penulis pertama dan et.al.; jika lebih dari tiga penulis, cantumkan nama belakang penulis pertama dan et.al.:

(Smith, Garcia and Lee 1954) (Snow et al. 1989)• Nukilan/kutipan di dalam teks harus dimulai dan diakhiri

dengan tanda kutip; rujukan dicantumkan setelah tanda kutip penutup dan diakhiri titik.“Pada 1999, bagaimanapun, data berdasarkan tipe pekerjaan yang lebih spesifik menunjukkan bahwa pekerjaan dengan orientasi teknologi bergaji lebih baik” (Hildenbrand 1999:47).

9. Hindari penulisan catatan kaki, kecuali memang perlu penjelasan tambahan di luar konteks tulisan. Catatan kaki ditulis dengan huruf yang minimal. Susun catatan kaki berurutan berdasarkan

219

nomor, letaknya di bawah pada halaman yang sama. Cantumkan rujukan jika perlu.

10.Di bagian daftar pustaka, seluruh rujukan yang ada di dalam tulisan harus dicantumkan dan ditulis berurutan menurut abjad dari nama belakang penulis utama.

11.Tabel dan gambar atau ilustrasi terletak pada halaman yang terpisah dengan halaman teks. Setiap tabel dan gambar harus jelas. Untuk tabel, bagian atas dicantumkan judul dan penomoran yang dibuat secara berurutan. Di bagian bawah dicantumkan sumber data. Keterangan tabel dan gambar terletak persis di bawah tabel/gambar bersangkutan. Tabel hanya memuat garis horisontal untuk bingkai luar atas dan bawah serta untuk judul kategori-kategori lajur (jika ada). Untuk gambar, judul, penomoran yang berurutan, dan sumber dicantumkan di bawah gambar.

Contoh Tabel:

tabel 1. Data Perkembangan Koperasi SBW

tahun Omset aset

2003 75.988.955.389 59.839.362.735

2004 102.375.502.100 75.357.651.012

2005 85.592.441.000 69.015.683.211

2006 145.807.051.000 87.641.712.201

Sumber: http://www.puskowanjati.com/primer2.php?id=2


Recommended