+ All Categories
Home > Documents > DIklat Training Fotografi

DIklat Training Fotografi

Date post: 13-Mar-2023
Category:
Upload: unj
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
77
1 © Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM Kamera dan Lensa. I. Kamera. I.I. Jenis-jenis kamera. Secara garis besar, ada empat jenis kamera berdasarkan metode kerjanya: a. Range finder (RF) / Penemu Jarak. Jenis kamera ini mempunyai jendela pengamat (vewfinder) terpisah dari lensa pengambilan gambarnya. Perhatikan diagram di sebelah kanan. b. Single Lens Reflex (SLR) / Reflek Lensa Tunggal (RLT). Kamera ini menggunakan hanya satu lensa untuk membidik dan mengambil gambarnya. Dinamakan reflek karena menggunakan cermin pada jalur cahayanya yang memantulkan cahaya dari lensa ke prisma penta (pentaprism) untuk kemudian diteruskan ke mata. Perhatikan tiga ilustrasi berikut: Gambar pertama adalah kamera dalam keadaan “siap”. Disini cermin reflek masih berada dibawah untuk memantulkan cahaya menuju pengamat. Gambar kedua menunjukkan apa yang terjadi begitu tombol pelepas rana ditekan, cermin bergerak keatas untuk memberi jalan bagi cahaya menuju tirai rana dan segera setelah itu tirai rana akan terbuka (gambar ketiga) sehingga cahaya dapat “mengisi” film. Setelah semua proses tadi selesai, maka tirai rana akan menutup kembali dan cermin akan kembali turun.
Transcript

1

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Kamera dan Lensa. I. Kamera. I.I. Jenis-jenis kamera. Secara garis besar, ada empat jenis kamera berdasarkan metode kerjanya:

a. Range finder (RF) / Penemu Jarak. Jenis kamera ini mempunyai jendela pengamat (vewfinder) terpisah dari lensa pengambilan gambarnya. Perhatikan diagram di sebelah kanan.

b. Single Lens Reflex (SLR) / Reflek Lensa Tunggal (RLT).

Kamera ini menggunakan hanya satu lensa untuk membidik dan mengambil gambarnya. Dinamakan reflek karena menggunakan cermin pada jalur cahayanya yang memantulkan cahaya dari lensa ke prisma penta (pentaprism) untuk kemudian diteruskan ke mata.

Perhatikan tiga ilustrasi berikut:

Gambar pertama adalah kamera dalam keadaan “siap”. Disini cermin reflek masih berada dibawah untuk memantulkan cahaya menuju pengamat. Gambar kedua menunjukkan apa yang terjadi begitu tombol pelepas rana ditekan, cermin bergerak keatas untuk memberi jalan bagi cahaya menuju tirai rana dan segera setelah itu tirai rana akan terbuka (gambar ketiga) sehingga cahaya dapat “mengisi” film. Setelah semua proses tadi selesai, maka tirai rana akan menutup kembali dan cermin akan kembali turun.

2

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

c. Twin Lens Reflex (TLR) / Reflek Lensa

Kembar (RLK). memakai dua lensa dengan pembesaran yang sama. Satu digunakan untuk lensa pengamat dan yang lainnya digunakan untuk lensa pengambilan gambarnya. Kamera jenis ini menempatkan kedua lensanya secara Bertumpuk satu diatas yang lain. Pada

lensa pengamatnya, kamera ini juga menggunakan cermin agar gambar yang

diteruskannya dipantulkan ke mata.

d. View Camera / Kamera “View”. Inilah jenis kamera dengan konstruksi paling sederhana. Pada dasarnya, kamera jenis ini terdiri dari dua buah panel yang dihubungkan dengan selubung akordeon (bellows). Panel depan kamera ini menyangga lensa sedangkan panel belakangnya berfungsi sebagai penyangga film dan tabir untuk melakukan penajaman

gambar. Garis besar anatominya

adalah sebagai

berikut: Menarik untuk diketahui bahwa orientasi dan ketinggian pelat depan dan belakang pada kamera ini dapat diubah-ubah sehingga kamera ini mampu menghasilkan foto yang tidak bisa dibuat oleh jenis kamera lainnya (memodifikasi perspektif1 dan memaksimalkan daerah ketajaman gambar, misalnya). Untuk selanjutnya pokok-pokok bahasan yang akan diulas kemudian akan lebih dikhususkan pada kamera SLR. Hal ini bukan karena SLR lebih populer namun lebih karena tipe ini mempunyai fleksibilitas yang lebih tinggi2 dibandingkan jenis-jenis lain. 1 Contohnya dalam pemotretan arsitektur untuk menghindari konvergensi puncak gedung bila pemotretan dilakukan dari bawah. 2 Diantaranya adalah keringkasan dan kepraktisannya, lensa-lensa yang dapat ditukar pakai, banyaknya aksesoris-aksesoris lain dan adaptatif untuk digunakan di hampir setiap kondisi dan jenis pemotretan.

3

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

I.2. Anatomi Kamera SLR (Film).

4

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Keterangan:

• Tombol pelepas rana adalah tombol untuk melakukan pengambilan gambar apabila kita telah mengokang kamera melalui tuas pengokang.

• Selektor kecepatan rana mengatur seberapa lamanya satu bingkai film terkena cahaya dalam satu per-sekian detik. Angka-angka yang tertera diatasnya melambangkan satuan pecahan tadi yaitu 1 (1/1 detik) hingga 2000 (1/2000 detik) atau lebih (dan juga bisa kurang) tergantung dari merk dan tipe kamera yang bersangkutan. Selain dari angka-angka yang tertera diatas, ada juga huruf “B” (bulb) yang berarti film akan tercahayai terus selama kita menekan tombol pelepas rana. Biasanya, ada salah satu angka yang diwarnai dengan warna merah atau kuning (biasanya antara angka 60 hingga 250) atau dengan simbol khusus (“x” atau dengan simbol kilat) yang berarti kecepatan rana tersebut adalah kecepatan rana maksimum bila menggunakan lampu kilat (umumnya disebut dengan “sinkron kilat”). Skala kecepatan rana pada contoh di halaman sebelumnya adalah: B, 1, 2, 4, 8, 15, 30, 60, 125, 250, 500, 1000, 2000 dan 4000.

• Lubang neckstrap: Lubang tempat mengikatkan tali pengaman yang biasanya disampirkan ke leher agar kamera tidak jatuh menghunjam bumi.

• Tuas penangguh waktu: Dengan kata lain selftimer. Berfungsi untuk menunda waktu (sekitar 10 detik) agar anda dapat ikut difoto (dapat juga digunakan dengan kaki tiga (tripod) untuk meredam getaran kamera).

• Tuas pengamat ruang tajam adalah fasilitas untuk mengetahui seberapa luas ruang tajam yang kita peroleh dari setiap bukaan diafragma lensa yang digunakan.

• Cermin refleks berfungsi untuk memantulkan cahaya yang diterimanya melalui lensa ke prisma penta yang ada diatasnya untuk diteruskan ke mata fotografer melalui viewfinder.

• Dudukan lensa (bayonet) berfungsi untuk meneguhkan lensa yang terpasang pada kamera. Dudukan lensa yang umum sekarang adalah yang bersistem bayonet yang hanya membutuhkan sepertiga hingga setengah putaran untuk memasang lensa. Berbeda dengan dudukan lensa dahulu yang bersistem ulir dimana untuk memasang lensa anda harus memutar-mutar lensa sebanyak beberapa putaran seperti halnya memasang sekrup.

• Tombol pelepas lensa adalah tombol untuk melepaskan kunci pada dudukan bayonet agar anda dapat membuka dan mengganti lensa.

• Tuas penggulung film: Apabila film didalam kamera telah habis terpakai selunuhnya, maka penggulungan balik (rewind) film kembali kedalam tabung-(canister/cartridge)-nya dilakukan dengan memuta-mutar tuas ini searah jarum jam hingga film tergulung seluruhnya kembali kedalam tabungnya. Selain itu tuas ini juga berfungsi untuk membuka punggung kamera (untuk mengeluarkan film yang sudah tergulung tadi dan untuk memasang film baru).

• PC contact atau kontak lampu kilat via kabel. Digunakan bila kita menggunakan lampu kilat studio atau bila kita ingin meletakkan lampu kilat di tempat yang berbeda dari kamera sehingga untuk menyalakannya dibutuhkan kabel penghubung yang dihubungkan ke kamera melalui PC contact itu tadi. PC disini adalah singkatan dari Prontor Compur, yakni satu jenis rana (pada

5

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

lensa kamera view) yang mempopulerkan kontak lampu kilat jenis ini. • Kunci punggung kamera berguna untuk menahan punggung kamera agar

tetap tertutup dan tetap kedap cahaya. • Pengamat (Viewfinder) atau pembidik, merupakan jendela pengamat guna

melakukan pemfokusan tehadap objek yang akan difoto. Di dalam viewfinder ini biasanya akan ditemukan satu fasilitas yang dinamakan “light meter” yang berfungsi untuk mengukur kecerahan cahaya.

• Hotshoe atau dudukan lampu kilat pada atap kamera yang berfungsi sebagai kontak untuk menyalakan lampu kilat yang dipasang pada atap kamera.

• Tuas pengokang berfungsi untuk menarik film yang sudah terkena cahaya dan menyiapkan frame berikutnya. Selain itu tuas pengokang juga sekaligus berfungsi untuk “meregangkan” atau menyiapkan rana untuk bekerja kembali setelah tombol pelepas rana kita tekan.

• Garpu penggulung yang bekerja sama dengan tuas penggulung film, berfungsi sebagai kait yang menarik film masuk kembali kedalam wadahnya.

• Ruang tabung film adalah tempat dimana kita meletakkan wadah (cartridge) film. Beberapa kamera mutakhir memiliki kontak listrik di bagian ini untuk mendeteksi kepekaan film, jumlah bingkai dan data-data lain yang disertakan dalam film tersebut.

• Rel lintasan film berguna untuk menjaga agar film yang ditarik oleh pengokang tetap lurus dalam jalurnya.

• Tirai rana yang umumnya terbuat dari lembaran titanium atau alumunium, membuka dan membiarkan cahaya mengenai film dalam waktu yang ditentukan oleh selektor kecepatan rana.

• Kontak listrik databack menyalurkan tenaga untuk mencatatkan data/tanggal apabila kita menggunakan databack (punggung perekam data/tanggal).

• Sprocket atau pengait film, berfungsi untuk menarik film bingkai demi bingkai. Roda gigi yang ada padanya langsung berhubungan dengan lubang-lubang (perforasi) yang ada di kedua sisi film.

• Spul penerima film (Take up spool) mempunyai celah untuk menyangkutkan ujung (lidah) film sehingga dapat ditarik dan menyiapkan frame untuk dicahayai.

• Engsel punggung kamera terdapat pada tubuh dan pada punggung kamera. Dalam contoh diatas, punggung kamera dapat dilepas-tukar. Sayangnya tidak semua kamera mempunyai fasilitas seperti itu.

• Kunci engsel punggung kamera adalah kunci peneguh engsel punggung kamera yang harus dibuka apabila ingin melepas dan mengganti punggung kamera standar dengan databack dan sebaliknya.

• Pelat penekan film menjaga agar film tetap dalam kondisi rata selama tercahayai. Film yang tidak rata tidak akan mendapatkan ketajaman gambar secara sempurna di seluruh permukaannya.

• Rumah pentaprisma disebut juga sebagai “atap kamera”. Dibawahnya terdapat prisma penta (pentaprisma/pentaprism) yang berfungsi untuk memantulkan gambar menuju ke lubang pengamat (viewfinder).

• Lubang cable release adalah tempat untuk memasang kabel pelepas rana (cable release). Berguna untuk mencegah kegoyangan kamera atau apabila

6

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

anda ingin membuka rana kamera selama waktu yang diinginkan (dengan kecepatan “B”).

• Indeks kecepatan rana menunjukkan kecepatan rana yang telah diset. • Penghitung bidikan atau frame counter, menunjukkan berapa bingkai film

yang telah atau akan terpakai. • Batas lintas film adalah tanda tempat film melintas. Penghitungan jarak dari

kamera ke objek diukur dan tanda lintasan ini (bukan dari lensa). • Selektor ASA/lS0 berfungsi untuk “memberitahukan” kamera mengenai

seberapa sensitifnya film yang digunakan terhadap cahaya (makin tinggi ASA/ISO sebuah film, makin tinggi sensitivitasnya terhadap cahaya dan kebalikannya).

• Sinkron kilat maksimum, lihat penjelasan mengenai selektor kecepatan rana diatas.

• Tempat memo salah satu fungsinya adalah sebagai tempat potongan karton pembungkus film sebagai pengingat mengenai film jenis apa yang ada di dalam kamera.

• Tidak terlihat dalam gambar adalah bagian bawah kamera yang memiliki lubang ulir untuk pemasangan kamera ke alat bantu penopang kamera (tripod) dan tombol untuk penggulungan balik film yang biasanya terletak tepat dibawah sprocket.

Lebih jauh, perlu diketahui disini bahwa tidak semua kamera memiliki

seluruh fasilitas-fasilitas seperti yang disebutkan diatas. Adakalanya sebuah kamera tidak memiliki fasilitas Depth Of Field Preview atau PC contact. Atau ada juga sebagian kamera yang mempunyai kemampuan untuk mengusung punggung kamera khusus untuk film berisi 250 bidikan. Selain itu, penempatan setiap fasilitas yang ada pada kamera yang berbeda merk tidaklah selalu sama. Sebagai contoh, kamera seri OM (OM1 s/d 4) keluaran Olympus (antara 1970-an hingga awal 1990-an), menempatkan selektor kecepatan rana pada sekeliling dudukan lensa (bayonet) kamera.

7

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

II. Lensa. II.1.a Jenis-jenis lensa. Ada dua jenis lensa pengambilan gambar yang digunakan menurut kemampuan pembesaran dan cakupan sudut pandangnya:

a. Lensa Fix (Tunggal/Prime Lens). Lensa jenis ini memiliki pembesaran

gambar dan sudut pandang yang tidak bisa diubah-ubah. Contohnya (dari kiri): lensa 14mm f/2,83, 50mm f/1,8 dan 400mm f/2,8.

b. Lensa Zoom (vario). Sebuah lensa disebut sebagai lensa zoom apabila

pembesaran gambar dan sudut pandangnya bisa diubah-ubah tanpa harus mengganti-ganti lensa. Contoh (dari kiri): 18-35mm f/3,5-4,5, 28-70mm f/2,8 dan 70-300mm f/4-5,6.

Perhatikan disini bahwa terdapat dua jenis lensa zoom bila dilihat dari bukaan diafragma maksimumnya yaitu dengan bukaan diafragma variabel (variable aperture) dan konstan (constant aperture). Lensa 70-300mm f/4-5,6 – misalnya – mempunyai bukaan maksimum f/4 pada 70mm tetapi menjadi f/5,6 pada 300mm meskipun gelang diafragma tidak diubah-ubah. Sedangkan lensa 28-70mm diatas mempunyai bukaan diafragma maksimum yang konstan, tetap f/2,8 di semua panjang fokus. 3Angka-angka dengan “mm” (milimeter) menunjukkan panjang titik api (panjang fokus) lensa yang bersangkutan dimana semakin besar angkanya, akan semakin tinggi pembesaran gambarnya dan akan semakin sempit pula sudut pandangnya dan sebaliknya. Kemudian simbol f/2,8 menandakan bukaan diafragma maksimum lensa yang bersangkutan. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai angka-angka diafragma dan hal-hal lain mengenai lensa, lihat pembahasan mengenai anatomi lensa

8

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Khusus mengenai lensa-lensa tunggal dibagi lagi kedalam beberapa kategori :

a. Lensa normal. Yang dimaksud dengan lensa normal adalah lensa yang mempunyai sudut pandang yang kurang lebih sama dengan mata manusia (± 45º) dan mempunyai panjang fokus sekitar 50mm (45-58mm) pada kamera format 135. Perhatikan contoh di sebelah kiri (50mm f/1,4).

b. Lensa sudut lebar (wide angle). Semua lensa yang mempunyai cakupan lebih lebar dari lensa normal (lebih dan 45º)4 disebut sebagai lensa sudut lebar (contoh dikanan adalah lensa 28mm f/1,4). Lensa jenis ini mengecilkan objek tetapi meluaskan sudut pandang sehingga sangat ideal dipakai untuk pemotretan panorama alam (landscape) – contohnya.

c. Lensa telephoto (tele). Kebalikan dari lensa sudut lebar, setiap lensa yang

memperbesar dan mendekatkan objek serta menyempitkan sudut pandang (panjang fokus lebih besar dan 50mm) disebut sebagai lensa tele. Contohnya (searah jarum jam, dari kiri bawah): 105mm f/2, 200mm f/2, dan dua macam lensa 500mm, yakni tele cermin5 (catadioptric) 500mm f/8 dan tele “biasa” 500mm f/4.

4 Untuk lensa “fisheye” 16mm (disebut demikian karena lensanya “melotot” keluar seperti mata ikan), sudut pandangnya mencapai 180º yang berarti mampu “melihat” objek yang berada tepat di kiri dan di kanan fotografernya. 5 Lensa tele cermin menggunakan dua cermin cekung untuk “melipat” lintasan cahaya hingga dapat dibuat lebih ringkas. Bandingkan besar dua lensa 500mm diatas. (Sekedar catatan, penggambaran lensa-lensa diatas tidak 100% tepat menurut skala.)

9

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Biarpun lensa-lensa ini menyempitkan sudut pandang (sekitar 8º untuk lensa 300mm), namun mereka mampu mendekatkan objek yang jauh sehingga banyak digunakan dalam memotret pertandingan olahraga dan objek-objek lain yang tidak bisa didekati (binatang buas, misalnya). Apabila berbicara mengenai lensa zoom, pembagian ini terasa tidak terlalu relevan lagi. Dahulu memang ada istilah “tele-zoom”, “normal-zoom” dan lain sebagainya. Namun banyak lensa-lensa zoom saat ini mempunyai rentang panjang fokus yang sedemikian luasnya seperti lensa 28-200mm atau 50-500mm sehingga, mungkin, satu-satunya istilah yang paling tepat untuk lensa jenis ini hanyalah “zoom” belaka tanpa embel-embel lain di depannya6. II.1.b Lensa-lensa khusus. Kategori ini mencakup beberapa lensa yang dikhususkan untuk aplikasi-aplikasi tertentu. Antara lain: a. Lensa Makro mempunyai kemampuan pembesaran

gambar lebih daripada lensa lainnya. Lensa ini banyak digunakan untuk memotret benda-benda atau binatang kecil (serangga, misalnya). Panjang fokus yang umum dipakai adalah dari 50mm, 105mm (seperti contoh di kanan) hingga 200mm.

b. Lensa PC (Perspective Correction) banyak

digunakan dalam pemotretan arsitektur. Bagian depan lensa ini dapat "diangkat" maupun "digeser" untuk mengoreksi perspektif dalam gambar. Contohnya lensa “PC” 28mm di sebelah kiri.

Lensa disebelah kiri merupakan lensa “unik” karena berfungsi sekaligus sebagai lensa tele pendek (85mm) dengan kemampuan makro dan mampu mengoreksi perspektif. Bisa dikatakan bahwa lensa ini mempunyai kemampuan tiga lensa yang berbeda dalam satu kemasan. Selain dari dua jenis lensa khusus tadi, masih ada beberapa jenis lensa-lensa lain yang penggunaannya tidak terlalu umum. Contohnya lensa “soft focus” untuk portrait yang memberikan hasil foto yang berpendar seperti memakai filter diffuser, lensa micro (bukan macro)7 untuk pemotretan benda-benda dan mahluk-mahluk mikroskopis (photomicrography), dan lain-lain. 6 Tapi adakalanya istilah-istilah tersebut menjadi (dalam bahasa Inggris): superwide zoom (seperti lensa 17-35mm, misalnya), wide to tele zoom (24-120mm, 28-105 dst.) serta superzoom (28-300mm, 80-400mm, dan seterusnya). 7 Namun salah satu produsen peralatan fotografi (Nikon) menamakan lensa macro-nya dengan micro-Nikkor.

10

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

II.2. Anatomi lensa.

Keterangan: • Dudukan filter terdapat pada bagian depan lensa yang biasanya

berdiameter antara 49 hingga 105 mm tergantung dari jenis lensanya. Umumnya, diameter dudukan filter (ulir) pada lensa yang diterakan dengan lambang “Ø”, adalah sebagai berikut: 49, 52, 55, 58, 62, 67, 72, 77, 82, 95 dan 105mm.

• Gelang pengatur fokus adalah bagian yang berputar untuk mengatur penajaman gambar .

• Skala jarak (meter dan feet) adalah penunjuk jarak fokus dari batas lintas film8 menuju objek. Biasanya ada dua macam ukuran yakni dengan meter (m) dan feet (ft)9.

• Indeks (skala) ruang tajam menunjukkan seberapa besar daerah ketajaman yang akan terekam diatas film pada bukaan diafragma dan jarak tertentu.

• Gelang diafragma adalah gelang pengatur “volume” cahaya yang melalui lensa. Angka-angka yang tertera pada gelang ini menunjukkan bukaan diafragma yang dipakai. Pada ilustrasi dibawah ini, angka-angka yang tertera pada gelang diafragma secara berurutan adalah sebagai berikut: 1,4 - 2 - 2,8 - 4 - 5,6 - 8 -11 - 16 dan 2210.

• Gelang pengatur pembesaran (zoom). Khusus pada lensa zoom ada

bagian yang dinamakan gelang pengatur pembesaran. Anda dapat merubah

8 Lihat anatomi kamera film. 9 1m = sekitar 3ft. 1ft = 30,48cm. 10 Penyebutan angka-angka diafragma dalam fotografi selalu dikaitkan dengan istilah f/stop atau f/number sehingga angka diafragma 5,6 — misalnya, biasa disebut dengan istilah f/5,6. Perlu digaris bawahi bahwa semakin kecil angka diafragma akan semakin banyak cahaya yang disalurkan lensa tersebut dan kebalikannya. Mengenai hubungan penyaluran cahaya dengan angka diafragma, diafragma 1,4 (f/1,4) menyalurkan dua kali lebih hanyak cahaya dibandingkan dengan diafragma 2 (f/2) dan diafragma 2,8 (f/2,8) menyalurkan cahaya sebanyak setengahnya dari f/2, dan seterusnya. Perhatikan ilustrasi diatas.

11

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

pembesaran dan sudut pandang - apakah menjadi semakin kecil dan melebar atau menjadi semakin besar dan menyempit.

• Indeks panjang fokus dan bukaan diafragma selain menunjukkan bukaan diafragma, pada contoh lensa zoom diatas indeks tersebut juga menandakan panjang fokus lensa yang telah diset. Lensa dengan panjang fokus lebih dan 50mm akan membesarkan objek dan menyempitkan sudut pandang sehingga ideal untuk pemotretan jarak jauh. Sebaliknya, lensa dengan panjang fokus dibawah 50mm mengecilkan objek dan meluaskan sudut pandang sehingga ideal untuk pemotretan dalam jarak dekat atau untuk mencakup sudut pandang yang lebar.

• Dudukan lensa (bayonet) adalah “konektor” atau penghubung antara lensa dengan kamera. Perlu diketahui disini bahwa setiap produsen kamera mempunyai dudukan bayonet yang berbeda dengan produsen lainnya, misalnya, lensa Nikon tidak akan bisa dipakai di kamera Canon dan sebaliknya. Namun ada satu produsen kamera (Pentax) dengan dudukan bayonet yang dipakai bersama oleh beberapa produsen lain sepenti: Ricoh dan Vivitar sehingga dudukan bayonetnya dinamakan dudukan bayonet “universal”. Pada lensa-lensa sebelum era 50-an, dudukan ini bukan berbentuk bayonet tetapi berbentuk ulir sehingga untuk memasangnya ke tubuh kamera harus diputar beberapa kali seperti memasang sekrup.

• Indeks jarak dan bukaan diafragma adalah titik petunjuk untuk membaca jarak pada gelang pengatur fokus dan bukaan diafragma pada gelang diafragma.

• Aperture. Celah atau lubang dimana cahaya dapat “meloloskan diri” dalam

sebuah lensa disebut dengan istilah “aperture”. Besar-kecilnya celah ini diatur dengan gelang diafragma dan “bilah-bilah diafragma “.

• Data teknis menunjukkan keterangan-keterangan tentang lensa yang dipakai mencakup panjang fokus (milimeter), bukaan diafragma maksimum dan minimum dan lain-lain. Pada ilustrasi diatas, 50mm menunjukkan panjang fokus lensa normal sedangkan simbol f/1,4 - (22) adalah bukaan maksimum (f/1,4) dan bukaan minimum (f/22) lensa tersebut. Pada lensa zoom, data teknis juga mencantumkan jarak fokus terpendek dan terpanjang seperti 28-70 mm atau 70-210 mm dan seterusnya.

• Bilah-bilah diafragma terbuat dan bahan logam (baja) yang sangat tipis dan membentuk celah aperture guna mengatur pelolosan cahaya. Apabila gelang diafragma diputar menuju angka yang lebih kecil, maka daun-daun diafragma ini akan membentuk celah yang lebih besar dan sebaliknya.

12

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

V = T ½V = 2T 2V = ½T

Teori Pencahayaan I I. Apa itu pencahayaan ? Didalam fotografi, pencahayaan, (exposure) bisa dikatakan sebagai sebuah seni atau teknik untuk mencari keseimbangan antara seberapa besar jumlah cahaya (volume) yang melalui sebuah lensa dengan seberapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk mampu menghasilkan gambar pada sebidang bahan peka cahaya (film) atau sensor digital yang terdapat di dalam kamera.

Pada dasarnya, tidaklah terlalu sulit untuk memahami teori pencahayaan ini apabila kita memakai sebuah analogi yang sangat sederhana. Pada ilustrasi disebelah kanan terlihat sebuah ember yang sedang diisi dengan air dari keran. Bila anda membuka keran semaksimal mungkin sehingga air mengalir sederas-derasnya maka dalam waktu singkat ember tersebut sudah penuh terisi air. Logikanya, waktu yang dibutuhkan untuk mengisi ember akan semakin lama bila anda mengurangi volume air yang mengalir lewat keran.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang sebanding antara volume air dengan waktu. Semakin besar volume air yang masuk ke ember, semakin cepat ember tersebut terisi penuh. Sebaliknya, semakin sedikit air yang mengalir, semakin lama pula waktu untuk mengisinya. Namun perlu diketahui bahwa ukuran ember juga mempengaruhi waktu dan volume yang dibutuhkan. Ember kecil tentunya membutuhkan volume air yang lebih sedikit (atau lebih cepat terisi) daripada ember yang lebih besar, begitupun sebaliknya. Dari sini bisa dibuat semacam “rumus” sederhana seperti ditunjukkan dibawah ini:

Untuk mengisi sebuah ember dengan volume air tertentu (V) dibutuhkan waktu tertentu (T). Bila volume air dikurangi setengahnya (½V), maka waktu yang dibutuhkan menjadi dua kali lipat (2T). Sebaliknya bila volume digandakan (2V) maka waktu yang dibutuhkan menjadi lebih singkat (½T).

Bila diterjemahkan ke dalam fotografi, maka lensa, dengan diafragmanya, berfungsi sebagai “keran” untuk mengatur volume cahaya yang akan sampai pada film atau sensor digital. Rana kamera, dengan skala kecepatannya, berfungsi sebagai pengatur yang menentukan seberapa lamanya cahaya “mengalir”. Sedangkan film dan sensor digital dianalogikan sebagai “ember”

13

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

penampung cahaya. Besar-kecilnya ukuran ember adalah ukuran kepekaan kedua media tersebut yang distandarisasikan dalam satuan ASA/ISO (American Standard Association/ International Standardization Organization). ASA/ISO hingga 100 adalah “ember” berukuran besar, ASA/ISO 125 hingga 200 adalah “ember” berukuran sedang, sedangkan ASA/ISO 400 ke atas adalah “ember kecil”.

Bagaimana halnya jika anda lupa menutup keran pada waktunya? Tentunya ember tersebut tidak akan mampu lagi menampung air sehingga airnya akan meluap kemana-mana. Kebalikannya bila anda terlalu cepat menutup keran, maka ember tersebut tidak akan penuh terisi air. Dalam pemotretan, kekurangan cahaya disebut sebagai under exposure sedangkan kelebihan cahaya disebut sebagai over exposure.

Ilustrasi diatas memperlihatkan apa yang dimaksud dengan under dan over exposure dalam pemotretan dengan menggunakan film negatif. Baris atas adalah apa yang anda lihat diatas film dan baris bawah menunjukkan hasil pencetakan negatif yang bersangkutan11. Bila terjadi under exposure maka gambar pada film negatif terlihat “tipis” atau nyaris transparan, sebaliknya bila terjadi over exposure maka gambar pada film negatif akan terlihat “gosong” atau terlalu pekat. Tiga gambar pada baris bawah ilustrasi diatas juga dapat dipakai sebagai indikasi hasil over atau under bila menggunakan film positif (slide)12. Lalu mengenai sensor digital, perlu diketahui bahwa sensor pada kamera digital tidak terpengaruh secara fisik dengan seberapa banyak cahaya yang diterimanya, namun ia akan menghasilkan gambar yang terlalu gelap bila kekurangan cahaya dan terlalu terang bila kelebihan cahaya (seperti halnya pada tiga 11 Perlu diketahui bahwa negatif yang over exposure dan under exposure biarpun gambarnya masih terlihat namun akan lebih sulit untuk memberikan hasil foto yang cukup baik bila dicetak. 12 Karena dimaksudkan untuk diproyeksikan pada layar, film positif (slide) yang over exposure akan menjadi terlalu “terang” (bening). Sebaliknya, film slide yang under exposure menjadi terlalu “pekat” (gelap).

14

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

gambar di baris bawah pada ilustrasi diatas). II. Mencari keseimbangan Sampai sekitar tahun 1950-an, masalah pencahayaan lebih tergantung kepada pengalaman atau perhitungan (yang tidak begitu akurat) karena belum adanya suatu alat untuk mengukur pencahayaan. Alat yang disebut dengan light meter ini baru mulai populer pada dasawarsa 60 dan 70-an dan kini, praktis semua kamera yang ada saat ini mempunyai alat pengukuran cahaya yang ditunjukkan dalam jendela pengamat (viewfinder). Dengan light meter, anda tidak perlu lagi menebak-nebak kombinasi dari bukaan diafragma dan kecepatan rana yang tepat untuk “mengisi” film anda dengan cahaya.

Pada intinya, light meter berfungsi ibarat meteran air yang mengukur intensitas cahaya yang “mengalir” melalui diafragma. Dari sini ada cara termudah dalam mencari pencahayaan yaitu dengan membuka diafragma sebesar-besarnya untuk kemudian mencari waktu yang diperlukan dengan mengubah-ubah kecepatan rana hingga tercapai keseimbangan. Keuntungan cara ini adalah mendapatkan kecepatan rana maksimum yang mencegah kegoyangan kamera13 agar tidak mempengaruhi hasil foto. Untuk permulaan bagi anda yang baru mulai belajar fotografi, cara ini cukup efektif untuk digunakan. Selamat mencoba!

13 Selama kondisi cahaya memungkinkan. Teknik yang diutarakan diatas mengambil asumsi bahwa pemotretan dilakukan diluar ruangan pada pagi / siang hari.

15

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Efek-efek Kecepatan Rana dan Bukaan Diafragma. “Apa sih arti angka-angka ?!!#x$&^ di kamera dan lensa ini ?!” Jeritan frustrasi seperti itu (diharapkan) semestinya telah tidak ada lagi dalam benak anda sekalian khususnya bagi mereka yang telah mengerti mengenai teori pencahayaan dan anatomi kamera serta lensa dalam bahasan-bahasan sebelumnya. Singkatnya, kecepatan rana mengatur waktu pencahayaan sedangkan diafragma mengatur volume cahaya dari lensa. Tentunya, semua angka-angka tersebut mempunyai pengaruh pada foto yang dihasilkan. Dalam pembahasan kali ini, akan ditelaah secara lebih rinci mengenai apa pengaruh dari kecepatan rana dan bukaan diafragma tersebut. Tetapi sebelum kita mulai, bagi yang masih frustrasi dipersilahkan untuk membaca-baca kembali pembahasan-pembahasan sebelumnya – dalam waktu yang lain tentunya. Baiklah, sekarang kita mulai dari: I. Efek Kecepatan Rana Terhadap Hasil Pemotretan. Rana yang membuka dan menutup dalam hitungan satu per sekian detik mempunyai pengaruh langsung terhadap efek gerak yang terekam diatas film. Bayangkanlah sebuah mobil sedang melaju kencang dengan kecepatan 100 km/jam. Dalam satu detik, jarak yang ditempuhnya adalah 100.000 m : 3600 detik = 27,78 m. Bila anda menggunakan kecepatan rana satu detik pada kamera yang terpasang secara statis diatas tripod (bukan dengan teknik panning – tentang ini akan dibahas nanti), maka selama rana membuka, mobil tersebut telah bergerak sejauh 27,78 m dari posisi semulanya tepat pada waktu rana mulai bekerja. Jika anda masih nekat saja memotret dengan kecepatan rana segitu (biarpun sudah diberi wanti-wanti seperti barusan) maka hasil fotonya hanya akan menampilkan sekelebat bayangan mobil sedangkan mobilnya sendiri entah kemana (karena tidak terekam diatas film). Lain halnya jika anda menggunakan kecepatan rana 1/4000 detik. Dengan kecepatan rana setinggi itu, mobil hanya akan bergerak sejauh 0,6945 cm (27,78 m : 4000) selama rana membuka. Cukup cepat untuk menghentikan gerak laju mobil tersebut apalagi bila anda tidak memotretnya dari jarak yang terlalu dekat (karena semakin dekat jarak pemotretannya maka pergerakan mobil tadi akan makin kentara – selain makin tingginya resiko kesamber mobil yang ngebut dengan pengemudi edan tersebut). Kesan yang tertangkap diatas film adalah mobil tersebut seakan-akan berhenti dan diam. Bahkan putaran roda-rodanya pun “terbekukan” seolah-olah waktu terhenti tiba-tiba. Tentu saja untuk mendapatkan kecepatan rana seperti itu, maka dibutuhkan kondisi cahaya yang sangat melimpah, bukaan diafragma lensa yang besar, ISO film yang cukup tinggi, atau gabungan dari ketiganya.

16

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Bagaimana halnya bila objek yang akan difoto diam dan tidak bergerak kemana-mana tetapi kondisi cahaya yang minim menuntut penggunaan kecepatan rana yang rendah? Bila anda tidak menggunakan alat bantu penopang kamera (tripod, monopod, “meja”-pod atau apapun yang bisa dijadikan sandaran kamera), dan merasa cukup pe-de untuk hanya menggunakan kedua tangan, siapkan diri anda untuk menerima kenyataan bahwa ternyata anda tidak se-stabil yang anda kira selama ini. Kecepatan rana rendah, khususnya dibawah 1/60 detik, mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap terekamnya kegoyangan kamera (yang disebabkan oleh tubuh anda sendiri) diatas film. Hal ini terjadi karena selama rana membuka tubuh anda juga bergerak walaupun hanya sepersekian milimeter. Belum lagi bila ditambah dengan kamera yang berat dan lensa-lensa berjarak fokus panjang (dimana pembesaran gambar semakin tinggi) yang hanya akan memperparah masalah ini. Biapun ada beberapa orang yang mengaku masih mampu memegang kamera dengan stabil pada kecepatan rana hingga 1/8 detik atau kurang tetapi toh mayoritas dari fotografer tidak seperti itu. Nah, efek gambar yang dihasilkan dari kegoyangan kamera tersebut (atau bila objeknya bergerak terlalu cepat bagi kecepatan rana yang digunakan seperti dalam contoh mobil diatas) dikenal dengan istilah blur. Blur sendiri pada dasarnya tidaklah selalu jelek. Bila digunakan dengan kreatif, efek blur justru mampu memberikan kesan gerak pada foto yang lebih baik daripada dengan kecepatan rana tinggi yang mematikan pergerakan objek. Namun sebelum membahas efek blur lebih lanjut, perhatikan contoh-contoh foto yang menggunakan kecepatan rana tinggi yang akan diulas dibawah ini. I.1 Kecepatan Rana Tinggi. Seperti telah dikatakan sebelumnya, kecepatan rana tinggi memungkinkan fotografer untuk mampu menghentikan pergerakan objek fotonya. Biarpun itu sepasang pesawat jet yang melintas dengan kecepatan tak kurang dari 800 km/jam, kecepatan rana 1/8000 detik mampu menghentikan gerak kedua burung besi tersebut.

Dalam foto panggung disebelah kiri, lensa 50mm dengan f/1,4 ditambah dengan film ISO 800 menangkap lompatan sang aktor sewaktu tengah terbang di udara. Tentu saja lampu sorot yang kuat yang menyinari sang aktor sangat membantu untuk mendapatkan kecepatan rana 1/250 detik.

17

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Foto pertandingan basket disebelah kanan memanfaatkan lampu stadion yang terang benderang (karena diliput televisi – Alhamdulillah akhirnya masuk TV juga... :D) sehingga dengan ISO 400 kecepatan rana 1/250 detik bisa dicapai. Bila diperhatikan data-data teknis yang menyertai foto-foto diatas, dapat diketahui bahwa bukaan diafragma yang digunakan adalah selalu (atau hampir selalu) pada bukaan diafragma maksimum lensa-lensa yang bersangkutan (300mm f/5,6 pada foto pesawat, 50mm f/1,4 pada teater dan 28mm f/2,8 pada basket). Ini tentu saja dimaksudkan untuk mendapatkan kecepatan rana setinggi-tingginya. Dalam foto teater dan basket, kecepatan rana yang digunakan adalah 1/250 detik. Sebenarnya kecepatan rana sedemikian – bisa dikatakan – adalah kecepatan rana minimum untuk menghentikan gerak dari objek yang bergerak cepat secara normal (orang berlari, melompat dan sebagainya – jika orang yang hendak dipotret berada di dalam pesawat jet yang ngebut tentu lain ceritanya). Sebagian pendapat menyatakan bahwa 1/125 detik adalah kecepatan rana minimum untuk menghentikan gerak, namun biar bagaimanapun 1/250 detik tetap – dan akan terus tetap – dua kali lebih cepat dari 1/125 detik yang juga berarti dua kali lebih efektif dalam menghentikan gerak. Pendapat yang mana yang ingin anda ikuti hanya anda yang bisa menentukan (hei, saya toh cuma menyampaikan saja... :p). Tentu saja, semakin cepat suatu objek bergerak, maka semakin cepat pula kecepatan rana minimum yang diperlukan untuk menghentikan geraknya. Bila kecepatan pesawat jet tadi adalah sekitar 800 km/jam (persisnya nggak tau, speedometernya nggak keliatan dari darat soalnya), dalam satu detik dia bergerak sejauh 222,22 m. Dalam hitungan 1/250 detik dia telah berpindah sejauh 88,9 cm – perpindahan yang cukup jauh untuk menghasilkan gambar yang blur. Hitung sendiri sejauh mana ia bergerak dalam hitungan 1/8000 detik. Setelah anda puas (pusing?) dengan hitung-hitungan diatas, kini perhatikan contoh-contoh foto dengan kecepatan rana rendah berikut ini. I.2. Kecepatan Rana Rendah.

Foto mal di sebelah kiri menggunakan lensa 28mm pada f/11, ISO 400 selama 30 detik. Selama itu pula lampu-lampu yang terpasang pada komidi putarnya ikut berputar dan meninggalkan jejak cahaya pada film (sehingga terekam sebagai lingkaran-lingkaran). Efek jejak cahaya ini juga dapat dihasilkan bila memotret jalan raya di waktu malam dimana lampu-lampu mobil yang melintas akan membuat garis-

garis cahaya yang searah dengan lintasan mobil-mobil tersebut.

18

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Disebelah kanan bisa dilihat foto air terjun kecil dengan menggunakan lensa 200mm pada f/32. Pencahayaan selama 1 detik dengan film ISO 400. Air yang mengalir dan terekam selama satu detik itu membuat hasil foto air terjunnya terlihat seperti kapas. Dalam foto balap motor dibawah, kecepatan rana yang dipakai adalah 1/30 detik pada f/8 dengan ISO 400. Pemotretan dilakukan dengan menggerakkan kamera mengikuti arah laju motor sehingga biarpun dengan kecepatan rana rendah, si pembalap dan motornya tetap tajam sedangkan latar belakangnya menjadi blur. Inilah yang disebut dengan teknik panning.

Foto air terjun dan foto mal dengan kecepatan rana rendah otomatis menuntut penggunaan tripod. Bayangkan saja hasilnya bila kamera hanya disangga dengan tangan dengan kecepatan rana sedemikian rendah. Lalu bila dicermati lagi, bukaan diafragma yang dipakai berkisar antara f/11 (mal) dan f/32 (air terjun). Bukaan diafragma

f/11 pada foto mal dimaksudkan untuk mencegah over exposure yang terlalu parah di daerah-daerah terang pada bidang gambar (karena pencahayaan selama 30 detik). Bukaan f/32 pada foto air terjun digunakan untuk memperoleh kecepatan rana 1 hingga 2 detik selain juga untuk memperoleh ruang tajam (Depth of Field) maksimum dari latar depan hingga latar belakang. Tentang Depth of Field ini akan dibahas belakangan. I.3. Batas Kecepatan Rana Minimum. Maksud dari judul bahasan diatas adalah kecepatan rana minimum untuk mencegah kegoyangan kamera yang akan terekam diatas film (atau sensor digital) bila melakukan pemotretan tanpa menggunakan alat bantu penopang kamera (alias hanya menggunakan kedua tangan thok). Hal yang paling berpengaruh selain kestabilan sang fotografer itu sendiri (yang berbeda-beda bagi setiap orang), adalah panjang fokus lensa yang digunakan dan pembesaran gambar dalam pemotretan. Mengenai panjang fokus lensa, lensa-lensa tele lebih cenderung menghasilkan gambar yang blur karena goyang. Ini terjadi karena semakin tinggi pembesaran gambarnya, maka guncangan sekecil apapun dari si pemotret akan makin kentara.

19

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Dari sini dikembangkan semacam panduan yakni: Dimana F adalah Focal Length atau panjang fokus lensa yang digunakan. Jadi, bila anda menggunakan lensa 300mm dalam pemotretan anda, kecepatan rana minimum yang dianggap masih aman untuk mencegah kegoyangan kamera adalah 1/300 detik (untuk amannya bulatkan keatas dengan kecepatan rana yang umumnya ada pada kamera, dalam hal ini 1/500 detik). Dalam hal lensa dengan kemampuan pembesaran gambar yang lebih tinggi (lensa makro), kegoyangan kamera menjadi masalah yang lebih serius lagi. Ambil contoh lensa makro 55mm. Panjang fokusnya mungkin akan membuat anda merasa yakin dengan kecepatan rana 1/60 detik. Tetapi bila pemotretan dilakukan dengan pembesaran gambar 1:1 – dimana benda seukuran satu centimeter akan terekam diatas film dengan ukuran yang sama – maka goyangan kamera sekecil apapun akan sangat terlihat (perlu diingat, ukuran permukaan bidang film format 135 adalah 24x36mm sehingga benda seukuran satu centimeter yang terekam diatas film akan mengambil tempat yang cukup banyak). Maka dari itu dalam pemotretan makro, ada baiknya bila anda menggunakan tripod. Selain mencegah kegoyangan kamera, anda juga bisa menggunakan bukaan diafragma kecil untuk mendapatkan ruang tajam (lagi-lagi Depth of Field) tertentu. Setelah selesai membahas kecepatan rana, pembahasan berikut akan mengupas tentang efek-efek bukaan diafragma (dan juga arti istilah Depth of Field yang beberapa kali disebut-sebut dari tadi).

II. Efek Bukaan Diafragma Terhadap Hasil Pemotretan. II.1. Ruang Tajam (Depth of Field). Singkatnya, diafragma yang mengatur volume cahaya dari lensa berpengaruh langsung terhadap daerah ketajaman gambar di depan dan dibelakang objek fotonya. Daerah ketajaman gambar yang terekam dan terlihat pada hasil foto dikenal dengan istilah ruang tajam (Depth of Field - DoF). Sebenarnya, setiap kali anda melakukan penajaman gambar dengan memutar gelang pengatur jarak pada lensa, selalu ada jarak tertentu di depan dan di belakang titik fokus dimana derajat kekaburan gambar (blur) masih cukup kecil sehingga mata masih mempersepsikannya sebagai daerah yang masih terlihat tajam pada hasil fotonya. Zona ini bisa bertambah luas atau semakin sempit tergantung dari beberapa faktor yang akan dibahas sebentar lagi.

Kecepatan rana yang aman = 1/F.

20

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Dalam bahasan tentang DoF ini, istilah blur juga dipakai. Namun berbeda dengan blur karena kegoyangan kamera, blur dalam pembahasan kali ini adalah gambaran (yang tidak fokus) dari objek-objek yang terletak diluar ruang tajam, baik itu di latar depan (foreground) maupun di latar belakang (background). Nah, kembali kepada faktor-faktor yang merupakan penentu dari ruang tajam. Faktor-faktor tersebut adalah: a. Bukaan Diafragma. Semakin kecil bukaan diafragma yang digunakan maka

akan semakin luas ruang tajam yang dihasilkan dan sebaliknya. b. Jarak pemotretan. Semakin jauh jarak pemotretan maka ruang tajam pada

hasil fotonya akan semakin luas, dan sebaliknya. c. Panjang fokus lensa. Semakin besar panjang fokus lensanya, semakin

sempit ruang tajamnya dan sebaliknya. Mengenai hal ini, pembesaran gambar-lah yang lebih berperan dimana semakin jauh ia diperbesar, maka akan semakin memperjelas perbedaan antara daerah gambar yang masih tajam dengan yang tidak.

Perhatikan beberapa ilustrasi berikut: Ilustrasi pertama di sebelah kanan ini menggambarkan daerah ketajaman gambar (merah) yang berubah seiring dengan perubahan bukaan diafragma. Dalam ilustrasi ini digambarkan bahwa bukaan f/1,4 mempunyai ruang tajam yang jauh lebih sempit apabila dibandingkan dengan f/16.

lustrasi kedua menggambarkan perubahan ruang tajam bila jarak pemotretan juga berubah. Terlihat bahwa semakin dekat jarak fokusnya, maka ruang tajam yang dihasilkan akan semakin sempit, dan kebalikannya.

Pada ilustrasi ketiga, lensa dengan panjang fokus yang lebih pendek mempunyai ruang tajam yang lebih luas bila dibandingkan dengan lensa dengan panjang fokus yang lebih panjang. Perbandingan lensa yang terlihat disini adalah lensa 28, 50 dan 200mm.

21

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

22

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Dari ketiga ilustrasi tadi, bila dicermati ruang tajam yang ada di depan objek akan selalu lebih kecil daripada ruang tajam di belakangnya. Khusus pada ilustrasi ketiga, ruang tajam yang sempit pada lensa dengan panjang fokus yang besar (tele) utamanya disebabkan oleh pembesaran gambar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan lensa normal maupun sudut lebar. Seperti telah dibahas sebelumnya, hal ini juga berlaku pada pembesaran (pencetakan) foto. Foto yang dicetak besar akan lebih memperlihatkan perbedaan daerah ketajaman dengan yang tidak bila dibandingkan dengan foto yang dicetak kecil. Itulah sebabnya mengapa cetak kontak (contact print) tidak bisa digunakan untuk menilai ketajaman gambar. Cukup dengan teorinya. Sekarang marilah kita lihat contoh-contoh foto dengan ruang tajam yang berbeda-beda berikut ini. Foto disebelah kanan mempunyai ruang tajam yang luas (dari latar depan hingga latar belakang). Teknis pemotretannya menggunakan lensa 28mm dengan bukaan diafragma f/11 kecepatan rana 1/30 dengan ISO 400. Bisa dilihat bahwa kombinasi dari lensa sudut

lebar dengan bukaan diafragma kecil sangat efektif dalam memperoleh ruang tajam yang luas. Foto kedua di sebelah kiri menggambarkan seorang anak pencari air. Disini lensa 300mm dengan bukaan f/8 pada 1/60 detik menggunakan ISO 400 menampilkan ruang tajam menengah. Ini dikarenakan jarak pemotretan yang cukup jauh sehingga latar belakang dan latar depan masih cukup jelas terlihat (walaupun sudah blur).

Nah, foto si gadis ini menampilkan ruang tajam yang sempit. Perhatikan bahwa pepohonan di latar belakang terlihat sangat blur. Disini lensa 200mm pada f/2,8 menjadikan latar belakang (dan latar depan seandainya masuk dalam bidang gambar) dari si gadis tersebut terlihat sangat kabur. Baiklah, kita tinggalkan saja si gadis ini sendiri dan kita ambil kesimpulan dari bahasan mengenai DoF ini:

• Pertama, ruang tajam membentuk persepsi tentang kedalaman ruang pada gambar yang dihasilkan.

23

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

• Kedua, ruang tajam yang luas memberikan detail pada latar depan dan latar belakang sehingga cocok untuk digunakan dalam pemotretan arsitektur atau pemandangan alam.

• Ketiga, ruang tajam yang sempit akan sangat menonjolkan objek utama dari foto tersebut. Cocok digunakan untuk, misalnya, foto portrait seperti dalam contoh.

II.2. Ketajaman Gambar Optimal. Bukaan diafragma juga mempengaruhi ketajaman gambar yang dihasilkan. Foto yang diambil dengan diafragma terbuka lebar umumnya tidak setajam foto dengan diafragma menengah (sekitar 2-3 stop dari maksimum). Namun apabila anda memperkecil bukaan diafragma lebih lanjut, ketajaman gambar bukannya makin bertambah namun justru akan menurun kembali. Ini berhubungan dengan karakteristik cahaya dimana cahaya yang melalui lubang yang kecil akan cenderung berpencar. Hal ini disebut juga dengan difraksi (diffraction). Jadi bila anda ingin membuat foto yang setajam mungkin, gunakan bukaan diafragma dua atau tiga stop dari bukaan maksimum pada lensa anda. Tentu saja, lensanya harus difokuskan terlebih dahulu. II.3. Difraksi. Difraksi atau penyebaran cahaya ketika cahaya masuk melalui lubang atau celah yang sempit, tidaklah selalu jelek. Dalam pemotretan malam hari – lampu-lampu jalan, misalnya – difraksi dapat memberikan efek khusus berbentuk bintang. Perhatikan contoh foto karusel yang di perbesar ini. Terlihat bahwa lampu-lampu yang tidak ikut berputar dengan karusel menghasilkan efek bintang yang terjadi karena difraksi. Sekedar mengingatkan kembali bahwa foto ini dibuat dengan bukaan diafragma f/11 pada 30 detik.

24

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Film I. Apakah film itu? “Film adalah apa yang ditampilkan di bioskop dan TV seperti sinetr...” Ehm, bukan. Bukan itu maksudnya. Tentunya sudah cukup jelas bila film yang dimaksud disini adalah film dalam fotografi. Seriusnya, film (dalam fotografi) merupakan media penting yang “merekam” gambar yang diproyeksikan padanya. Tanpanya mungkin kita masih menjadi seperti seniman ala Leonardo Da Vinci yang menggunakan kertas kalkir untuk menjiplak gambaran (light tracing) yang terproyeksikan melalui camera obscura14. Jadi bila film belum ditemukan hingga sekarang bayangkanlah betapa pegalnya tangan anda... Sebuah buku yang tebal (banget) berjudul The Focal Encyclopedia of Photography memuat definisi mengenai film sebagai berikut: ”Sensitized material in the form of an emulsion coated on a flexible base – e.g., celluloid or plastic.” Arti bebasnya adalah: “Bahan-bahan sensitif (terhadap cahaya) dalam bentuk emulsi yang dilapiskan pada dasar yang fleksibel – seluloid atau plastik.” Lebih lanjut, Encyclopedia Britannica (versi canggih, multimedia CD-ROM) mengatakan: “The sensitive surface of ordinary film is a layer of gelatin carrying minute suspended silver halide crystals or grains (the emulsion) – typically silver bromide with some silver iodide. Exposure to light in a camera produces an invisible change yielding a latent image, distinguishable from unexposed silver halide only by its ability to be reduced to metallic silver by certain developing agents.” Terjemahan bebasnya adalah sebagai beikut: “Permukaan sensitif dari film adalah lapisan gelatin yang mengandung kristal-kristal halida perak (biasanya bromida perak dengan iodida perak) yang disebut dengan emulsi. Lapisan ini akan bereaksi terhadap cahaya dengan menghasilkan gambar laten (dimana kristal yang terkena cahaya akan berubah menjadi pekat (film negatif) atau transparan (positif)). Namun hal ini baru akan terlihat bila film telah melalui proses pencucian untuk menyingkirkan kristal-kristal yang tidak terkena cahaya (karena itulah gambar yang terbentuk sebelum melalui proses pencucian disebut dengan gambar laten – latent image).”

14 Bentuk awal dari kamera dimana cahaya yang masuk melalui sebuah lubang/lensa diproyeksikan pada sebidang kaca untuk kemudian dijiplak dengan menggunakan kertas yang dilukis dengan tangan.

25

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Sederhananya, film terdiri dari dua lapisan. Lapisan pertama adalah lapisan emulsi yang berfungsi sebagai perekam gambar dan lapisan kedua yang berfungsi sebagai tempat melekatnya emulsi tadi. Perhatikan ilustrasi-ilustrasi di beberapa halaman berikut ini. Tetapi sebelumnya, mohon maaf bila bahasan-bahasan berikut (terpaksa) menjadi serius. ‘Abis susah menerangkannya bila masih bercanda. II. Jenis-Jenis Film. II.1. Film Hitam Putih (Monokrom/Monochrome). Pada ilustrasi di sebelah kanan tergambar anatomi film hitam-putih yang juga dikenal dengan film B/W (Black and White - sebagai dasar pembahasan berikutnya). Dapat dilihat disini bahwa film hitam putih memiliki dua lapisan utama (emulsi dan base) dengan tambahan beberapa lapisan lain :

• Lapisan pelindung berfungsi untuk melindungi emulsi dari sentuhan / goresan atau panas yang dapat mempengaruhi emulsi tersebut.

• Lapisan antara merupakan penyekat antar emulsi (pada film berwarna) dan juga berfungsi sebagai "pelekat" yang menempelkan emulsi pada base.

• Lapisan anti halasi mencegah terjadinya pemantulan kembali cahaya yang mengakibatkan terjadinya efek "halo" (lingkaran bercahaya) bila terdapat sumber cahaya terang dalam gambar. Perlu diketahui bahwa lapisan-lapisan diatas biasanya mempunyai ketebalan yang tidak lebih daripada 0,2 mm (base) dan 0,012 mm (untuk emulsi) sehingga dapat dibayangkan betapa tingginya ketelitian yang dibutuhkan dalam pembuatannya. Pada dua ilustrasi selanjutnya digambarkan mengenai apa yang terjadi sewaktu film tercahayai di dalam kamera dan setelah melalui proses pencucian. Sewaktu film tercahayai dengan cahaya yang terfokuskan kepadanya, terjadi perubahan pada lapisan emulsi dimana bagian yang terkena cahaya akan menjadi pekat (sesuai dengan kadar cahaya yang diterimanya). Setelah proses pencahayaan selesai (dimana tirai rana sudah menutup kembali), maka gambar yang terproyeksikan sudah "tercetak" di dalam film tersebut.

26

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Namun biarpun demikian, kita masih belum bisa menyaksikan gambar tersebut secara langsung karena gambar yang dikandungnya masih "ngumpet" (istilah bercanda untuk menyebut latent image). Selain bahwa film tersebut masih sangat peka cahaya sehingga praktis tidak mungkin untuk dapat melihatnya secara langsung. Untuk itulah film memerlukan proses pengembangan / developing (kode Kodak: D-76) untuk memperkuat dan memperjelas gambar yang dikandungnya serta proses fixing untuk menyingkirkan emulsi yang tidak terkena cahaya yang sekaligus menjadikan film tersebut menjadi tidak peka lagi terhadap cahaya. Kedua hal inilah yang disebut sebagai pencucian film. Dari ilustrasi tadi dapat diperhatikan bahwa bagian yang banyak menerima cahaya akan berubah menjadi pekat. Hal ini otomatis menjadikannya sebagai film negatif dimana benda-benda terang akan terlihat gelap di film dan sebaliknya. Karena itulah diperlukan sebuah proses lagi (pencetakan) untuk "membalikkan" gambar negatif tersebut menjadi positif kembali. II.2. Film Berwarna – Teori Pemisahan Warna. Sebelum membahas film warna ada baiknya bila kita telaah sedikit mengenai teori pemisahan warna dimana cahaya putih (matahari) sebenarnya terdiri dari gabungan cahaya-cahaya berbagai warna. Hal ini dapat terlihat bila kita menggunakan prisma untuk memecah cahaya putih tadi sehingga menjadi warna-warni pelangi. Manakala salah satu (atau lebih) warna cahaya mempunyai intensitas yang lebih tinggi daripada yang lain maka hasil pencampuran warna tadi tidak akan menjadi putih murni tetapi akan mengandung bias warna sesuai dengan kadar warna cahaya yang mendominasinya. Dari sini dikembangkan teori warna subtraktif. Perhatikan diagram dibawah ini: Teori subtraktif menyatakan bahwa cahaya dapat dipisahkan menjadi tiga warna dasar: Cyan (semu biru), Magenta (semu merah) dan Kuning. Hasil dari pencampuran masing-masing warna tadi akan menghasilkan warna-warna baru (cyan dengan magenta akan menghasilkan biru, kuning dengan magenta menjadi merah dan cyan dengan kuning menghasilkan hijau) tetapi apabila ketiga warna tadi digabungkan maka akan menghasilkan hitam. Warna-warna ini disebut dengan istilah CMYK (Cyan, Magenta, Yellow dan Black) dan umum dipakai di percetakan, untuk menyebut salah satu contohnya, dimana untuk mencetak poster, misalnya, dibutuhkan empat film (satu film untuk warna Cyan, satu Magenta, satu Kuning dan satu untuk warna Hitam). Selain itu tinta printer berwarna untuk mencetak dari komputer juga terdiri dari komponen-

27

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

komponen CMYK. Hal ini memang sudah semestinya apabila kita memperhatikan bahwa pada umumnya warna kertas adalah putih. Selain teori subtraktif, ada satu lagi teori pemisahan warna yang dinamakan dengan teori additif. Perhatikan diagram disamping kanan: Teori additif menyatakan bahwa cahaya putih dapat dihasilkan dari tiga pencampuran warna (cahaya) Merah, Hijau dan Biru (RGB, Red, Green, Blue). Dapat dikatakan bahwa warna-warna additif adalah kebalikan dari subtraktif dimana pencampuran ketiga warna tadi akan menghasilkan putih. Bila diperhatikan, layar TV atau monitor komputer sebenarnya terdiri dari ribuan titik-titik warna RGB. Dimana pada saat ketiga warna tersebut menyala sama terang maka layar akan menjadi putih. Warna-warni lain yang timbul pada layar merupakan gabungan dari dua atau tiga warna tadi dengan intensitas masing-masing yang berbeda-beda.

Lebih lanjut disebelah kiri digambarkan dua segitiga besar yang saling memotong yang memuat kedua jenis teori warna tadi beserta hubungannya. Warna-warna yang terhubung dalam segitiga besar merupakan warna komponen dari masing-masing teori (RGB, CMY) sedangkan yang tidak terhubung merupakan warna kebalikannya (Merah dengan Cyan, misalnya). Warna yang terletak diantara dua warna lain adalah pencampuran dari kedua warna tersebut (Cyan dengan Magenta menjadi Biru, contohnya)15.

**Notes from diklat: berhubung diktatnya hitam-putih, jadi warna2 tadi dibayangin aja yah… hehehe…**

15 Namun perlu diingat bahwa pencampuran tersebut adalah pencampuran warna cahaya dan bukan warna-warni cat, misalnya. Pencampuran cat tidak menghasilkan warna yang persis sama dengan yang diilustrasikan.

28

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

II.2.a Film Negatif Warna. Film negatif warna mempunyai struktur yang lebih rumit dari film hitam putih karena umumnya ia memiliki tiga lapisan emulsi yang masing-masing bertugas untuk menangkap salah satu dari tiga warna-warna dasar (merah, hijau, biru). Untuk lebih jelasnya perhatikan diagram di sebelah ini. Setelah melalui proses pencucian (kode C-41), masing-masing lapisan warna berubah menjadi kebalikan dari warna sebelumnya (additif ke subtraktif). Bila didaerah tertentu dalam negatif semua lapisan warna mempunyai intensitas yang sama maka dalam pencetakan bagian tersebut akan menjadi gelap pada kertas foto. Base film negatif mempunyai warna bawaan coklat teh atau jingga untuk mengkoreksi penyimpangan warna. Adanya warna ini dimaksudkan untuk mempermudah proses pencetakannya16.

II.2.b. Film Positif Warna (Slide). Film positif mempunyai struktur yang menyerupai film negatif warna. Hanya saja sewaktu proses pencucian (kode pencucian E6), gambar yang terdapat didalamnya dibalikkan kembali17, berbeda dari film negatif. Warna-warna dan keadaan terang atau gelap tetap menjadi seperti aslinya. Perhatikan diagram berikut: Karena film ini dimaksudkan untuk diproyeksikan menggunakan proyektor, maka film positif mempunyai base yang bening. Namun film positif dapat dicetak dengan menggunakan proses cetak langsung (direct positive print) atau menggunakan internegatif (internegative) untuk dicetak dengan proses negatif warna.

16 Namun contoh dari penyimpangan warna yang disengaja dapat dilihat dari film positif/slide yang dicuci dengan proses negatif (disebut juga dengan cross processing (proses silang)). 17 Karena itu kadang-kadang film ini disebut juga dengan film reversal..

29

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

II.3. Film-film Khusus. Disamping ketiga jenis film diatas (Hitam putih alias B/W – Black and White, Negatif Warna dan Slide), terdapat beberapa jenis film yang “aneh” (maksudnya lain dari yang lain, gitu) yaitu film slide hitam putih, film infra merah dan film Kromogenik (Chromogenic). Nah, untuk membahasnya satu-persatu mungkin kita bisa sambil sedikit bercanda lagi. II.3.a. Film Slide B/W. Bila film positif umumnya adalah film berwarna, ada satu jenis film slide lain yang hanya menampilkan nuansa hitam putih. Satu-satunya film tersebut yang ada dipasaran hanyalah film buatan Agfa (Agfa Scala) dengan ASA/ISO 200 (lebih lanjut tentang ASA/ISO akan dibahas nanti). Untuk mencarinya di Indonesia, anda harus berjuang dengan sangat gigih karena film ini cukup (sangat?) sulit ditemukan (hei, jangankan slide B/W, untuk slide berwarna saja pilihan yang ada sangat terbatas sekali dan tidak semua toko foto menjualnya – jadi good luck deh). II.3.b. Film Infra Merah. Film infra merah terbagi lagi ke dalam dua jenis: film B/W infra merah (Kodak High Speed Infra Red dan Ilford SFX 200 – yang disebut terakhir sebenarnya bukan film infra merah sejati yang mana akan sedikit diulas sebentar lagi – sabar saja) dan film slide infra merah (Dari Kodak juga tapi – maaf – lupa tipenya :p). Film infra merah sejati mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap panas. Katakanlah anda memotret setrika panas dalam gua yang gelap gulita (sejak kapan di dalam gua ada colokan listrik? Sudahlah, namanya juga contoh – biarpun garing), bila menggunakan film “normal” maka yang terekam hanyalah gelap belaka. Namun bila menggunakan film infra merah, panas setrika tersebut akan membuatnya terekam pada film IR (infra red).

Foto disebelah kanan (simulasi foto infra merah melalui komputer) mengilustrasikan efek yang dihasilkan dari penggunaan film B/W infra merah. Dapat dilihat disini bahwa langit yang lebih “dingin” menghasilkan gradasi yang lebih gelap dan bahkan hitam sedangkan gedung yang lebih “panas” terlihat putih dan berpendar. Pengolahan foto secara digital ini dimaksudkan untuk sekedar memberikan ilustrasi karena film IR asli cukup sulit untuk ditemui di pasaran disamping harganya yang cukup “lumayan”...

30

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Sekarang, balikkan badan anda dan melangkahlah keluar gua. Lihatlah pemandangan alam yang terhampar. Bila menggunakan film normal, maka begitulah adanya yang akan terekam diatas film. Namun pepohonan dan daratan yang lebih panas akan terekam sebagai lebih terang (putih) sedangkan langit yang lebih dingin terekam sebagai gelap/hitam diatas film B/W IR. Pada film slide IR, warna-warna yang terekam bukan lagi warna-warna asli melainkan warna-warna yang mewakili suhu objek-objek fotonya. Sulit dikatakan disini bahwa warna apa yang akan terekam bila memotret suatu objek dengan film tersebut karena seringkali hasil yang didapatkan menjadi tidak terduga. Pada intinya, sebaiknya anda tidak melakukan pemotretan model atau wedding (atau penugasan-penugasan komersil lainnya) dengan film ini – kecuali bila memang diminta. Bayangkan bila foto pengantin di pelaminan beserta keluarganya menjadi “putih-putih” semua... Khusus mengenai film Ilford SFX 200, film ini sebenarnya tidak (atau kurang) sensitif terhadap panas bila dibandingkan dengan Kodak High Speed IR. Namun efek gambar yang dihasilkannya menyerupai film Kodak tersebut apalagi bila menggunakan filter-filter tertentu. II.3.c. Film Kromogenik. Film jenis ini cukup mudah untuk ditemui di pasaran lokal. Film ini sebenarnya adalah film negatif warna yang hanya mempunyai emulsi hitam-putih (atau film hitam-putih yang diproses dengan pemrosesan negatif warna – C41). Beberapa merk yang cukup populer adalah Ilford XP2 Super dan Kodak T400CN. Kedua-duanya dengan ASA/ISO 400. III. Ukuran Kepekaan Film, Grain dan Kode DX. III.1. Ukuran Kepekaan. Ukuran kepekaan film menyatakan seberapa sensitifnya film tersebut terhadap cahaya dimana semakin tinggi ukuran kepekaannya maka makin tinggi pula sensitivitas film tersebut terhadap cahaya (hayo, ingat-ingat lagi tentang “ember”). Ukuran ini dibakukan dengan satuan ASA/ISO (American Standardization Association/International Standard Organization) dan DIN (Deutsche Industrie Norm - Jerman), contohnya ASA/ISO 400/27°. Angka 400 mewakili satuan ASA/ISO sedangkan angka 27° mewakili satuan DIN.

31

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Urut-urutan ukuran kepekaan film selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

(Angka-angka ASA/ISO dan DIN yang diberi arsiran adalah dari film yang umumnya masih dapat ditemui di pasaran dalam dan luar negeri).

Dengan adanya satuan yang dibakukan ini maka kita dapat dengan mudah memilih film yang tepat untuk segala kondisi pemotretan yang dihadapi. Film dengan ASA/ISO rendah dapat digunakan dalam kondisi cahaya yang terang benderang atau bila merencanakan pencetakan foto dalam ukuran yang sangat besar. Sebaliknya, film dengan ASA/ISO tinggi bisa digunakan dalam kondisi pencahayaan yang minim tanpa tripod atau bila memang membutuhkan kecepatan rana yang setinggi mungkin. Sekedar untuk diketahui, “kecepatan film” (film speed) adalah istilah lain untuk menyebut ukuran kepekaan film. Istilah ini umum ditemui dalam majalah-majalah atau artikel-artikel fotografi dari luar negeri. III.2. Grain (Butir-butir Film). Telah disebutkan pada awal pembahasan ini bahwa lapisan emulsi (yang “menangkap” gambar) terdiri dari kristal-kristal garam perak. Bisa dikatakan bahwa foto yang kita lihat sehari-hari sebenarnya merupakan “mosaik” dari butir-butir kristal garam perak tersebut. Perlu diketahui bahwa ukuran dan jumlah butir-butir tersebut mempengaruhi kemampuan film tersebut dalam menangkap cahaya. Semakin besar ukuran dan semakin renggang jarak antar butiran maka semakin tinggi sensitivitas film tersebut. Namun secara langsung hal ini mempengaruhi pula terhadap kemampuan film tersebut untuk diperbesar (dicetak) tanpa memperlihatkan butiran-butiran tersebut. Bila satu frame film diibaratkan dengan lapangan bola maka butir-butiran emulsi bisa diandaikan dengan ribuan kelereng yang memenuhi seluruh permukan lapangan bola terebut. Dengan ukurannya yang kecil otomatis jumlah kelereng yang bisa dimuat menjadi sangat banyak. Akan tetapi setiap butir kelereng tadi hanya mampu “menampung” cahaya seluas permukaannya saja. Lain halnya bila kita mengganti kelereng-kelereng tersebut dengan bola basket. Ukurannya yang besar memungkinkan setiap bola untuk menangkap cahaya yang lebih

ASA/ISO DIN ASA/ISO DIN ASA/ISO DIN 25 15° 160 23° 1000 31° 32 16° 200 24° 1250 32° 40 17° 250 25° 1600 33° 50 18° 320 26° 2000 34° 64 19° 400 27° 2500 35° 80 20° 500 28° 3200 36°

100 21° 640 29° 125 22° 800 30°

32

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

banyak. Namun jumlah bola yang bisa dimuat diatas lapangan tentu akan sangat berkurang bila dibandingkan dengan jumlah kelereng sebelumnya. Apabila lapangan bola tadi diperbesar (katakanlah, dilihat dari helikopter dengan menggunakan teropong – bukan sedotan) tentunya sekumpulan bola basket akan lebih mudah terlihat daripada sekumpulan kelereng. Untuk lebih jelasnya perhatikan dua ilustrasi dibawah ini: Kiranya cukup jelas terlihat mana foto yang dibuat dengan film ASA/ISO tinggi dan mana yang dibuat dengan film ASA/ISO rendah. Sekedar catatan, sampai pada awal dasawarsa 1990-an, banyak fotografer enggan (kecuali bila memang terpaksa) memakai film negatif warna ASA/ISO 400 keatas karena film tersebut memiliki struktur grain yang kasar dan sudah sangat terlihat bila dicetak dengan ukuran 10x15 cm. Namun film negatif warna ASA/ISO 400 sekarang sudah sedemikian maju sehingga butir-butirannya masih cukup halus dalam pembesaran gambar hingga ukuran 20x30 cm. Hal ini membuat film tersebut pantas digunakan untuk keperluan pemotretan yang umum. Keuntungan yang diperoleh adalah film tersebut mampu memberikan fotografer kecepatan rana yang lebih tinggi (untuk mencegah gambar yang tidak tajam karena guncangan kamera bila kamera dipegang dengan tangan) atau bukaan diafragma yang lebih kecil (untuk memperoleh daerah ketajaman gambar – Depth of Field – yang lebih luas). Perkembangan serupa juga bisa ditemui pada film hitam putih ASA/ISO 400. Merek-merek film seperti Fuji Neopan 400 Professional, Kodak T-Max 400 dan Ilford Delta 400 menawarkan kualitas gambar setara film hitam putih ASA/ISO 100 dengan kecepatan empat kali lipat lebih tinggi. Sayangnya perkembangan serupa tidak terjadi pada film positif (slide – setidaknya sampai saat ini). Bahkan bila dibandingkan dengan film negatif ber-

33

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

ASA/ISO yang sama, film slide masih mempunyai struktur butiran yang sedikit lebih kasar. Ini bukan berarti bahwa pabrik film “pelit” dalam meningkatkan kualitas film slide namun karena film tipe ini memang dikhususkan untuk diproyeksikan di layar (dimana masalah butiran yang lebih kasar tidak terlalu menjadi masalah) dan bukan untuk dicetak diatas kertas foto. III.3. Kode DX. Pada tahun 1983, Kodak memperkenalkan suatu metoda agar kamera dapat mengenali kecepatan film secara otomatis. Metoda yang diterapkan adalah dengan memanfaatkan tabung film (yang terbuat dari bahan logam) untuk membawa informasi yang dapat dibaca oleh kontak-kontak listrik dalam ruang tabung film pada kamera-kamera otomatis. Dengan adanya otomatisasi seperti ini maka fotografer tak perlu lagi mengeset kecepatan film secara manual. Metoda ini disebut dengan "DX" (Direct Indexing). Pada intinya informasi yang terkandung dalam kode DX memuat data-data seperti jenis film, jumlah bidikan dan kecepatan film tersebut. Inovasi Kodak ini kemudian ditawarkan secara gratis bagi seluruh produsen film dan kamera di dunia sehingga dalam waktu singkat sistem DX telah diterima sebagai standar dunia. Pada dua ilustrasi di halaman ini dan dihalaman sebelumnya dapat dilihat anatomi tabung film format 135 dan kode DX bagi kecepatan film yang dapat dimuat olehnya (ASA/ISO 25-5000) dan cara membacanya (secara manual).

34

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

IV. Batas Toleransi Film dan Kompensasi Pencahayaan. Film memang menuntut pencahayaan yang tepat. Namun adakalanya sebuah film mampu menerima cahaya yang kurang atau lebih dari takaran yang semestinya dan masih tetap bisa memberikan hasil yang baik. Hal ini disebut dengan batas toleransi pencahayaan film. Film negatif mempunyai batas toleransi yang luas. Beberapa film jenis ini bahkan masih bisa menerima kelebihan pencahayaan sebanyak 3 stop18 dan kekurangan pencahayaan sebanyak 2 stop dari ukuran normal19. Lain halnya dengan film positif. Film ini biasanya hanya mampu mentolerir perbedaan pencahayaan sebanyak 1 stop lebih dan kurang. Lebih dari itu maka slide yang dihasilkan menjadi terlalu terang dan sebaliknya, bila kurang dari itu maka slide yang dihasilkan menjadi terlalu gelap. Singkatnya, film positif menuntut pengukuran cahaya yang sangat akurat sedangkan film negatif lebih memberikan ruang bagi kesalahan pengukuran cahaya. Namun terkadang fotografer sengaja melebihkan atau mengurangi pencahayaan dengan tujuan-tujuan tertentu. Beberapa film negatif memberi hasil lebih baik bila dilebihkan pencahayaanya sebanyak 1 stop dari normal sedangkan film positif memberikan karakter warna yang lebih kuat bila dikurangi pencahayaannya sebanyak sepertiga hingga setengah stop. Hal ini disebut dengan kompensasi pencahayaan. Kompensasi pencahayaan dapat dilakukan dengan merubah selektor kompensasi pencahayaan pada kamera (bila mempunyai fasilitas tersebut) atau dengan melakukan penyesuaian pada selektor ASA/ISO film. Bila penyesuaian dilakukan pada selektor ASA/ISO, maka hal ini dikenal dengan istilah merubah EI (Exposure Index) film tersebut. Sekedar contoh, film ASA/ISO 400 dengan indikasi ASA/ISO 200 yang diset di kamera adalah film ASA/ISO 400 dengan EI 200. Selain dari dua manfaat diatas, melakukan kompensasi pencahayaan juga berguna bila si fotografer berencana untuk melakukan teknik Push atau Pull untuk film yang dipakainya. Hal ini akan dibahas pada pembahasan berikutnya. V. Push dan Pull. Push dan Pull (Lengkapnya Push Processing dan Pull Processing) adalah dua teknik “memodifikasi” kepekaan film untuk tujuan-tujuan tertentu. Teknik Push Processing pada intinya adalah “memaksa” film untuk menjadi lebih peka cahaya dari ukuran standar melalui perpanjangan waktu pencuciannya. Kebalikannya, Pull Processing mengurangi kepekaan film dengan mempersingkat waktu pencuciannya.

18 Stop adalah istilah untuk menyebutkan setiap nilai perubahan dari satu satuan (bukaan diafragma atau kecepatan rana) ke satuan lain. Misalnya dari kecepatan 1/125 ke 1/60 disebut dengan “kurang satu stop” dan dari bukaan f/4 ke f/2,8 disebut dengan “tambah satu stop”. 19 Sekedar catatan untuk film negatif, biarpun film ini mempunyai toleransi yang luas, namun pencahayaan yang tepat akan memudahkan operator mesin cetak dalam mencetaknya. Karena itu usahakanlah selalu untuk mendapatkan pengukuran cahaya yang seakurat mungkin.

35

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Salah satu contoh penggunaan teknik Push Processing adalah manakala fotografer harus memotret dalam kondisi cahaya minim dimana film yang dibawanya tidak memadai untuk digunakan dalam kepekaan standarnya. Misalnya dalam suatu kondisi dimana pengukuran cahaya dengan film ASA/ISO 200 mendapatkan kecepatan rana sebesar 1/15 detik dengan diafragma maksimum, maka bila film tersebut “dipaksa” menjadi ASA/ISO 800 (dua stop lebih sensitif) akan didapatkan kecepatan rana sebesar 1/60 detik (dua stop lebih cepat), cukup cepat untuk menghindari kegoyangan gambar dengan lensa normal. Yang perlu dilakukan oleh sang fotografer tersebut adalah memindahkan EI filmnya menjadi ASA/ISO 800 (atau kompensasi pencahayaan sebanyak minus dua stop), melakukan pemotretan dan kemudian mencucinya dengan penambahan waktu. Untuk teknik Pull Processing, salah satu contohnya adalah apabila film yang dipakai mempunyai sensitivitas yang terlalu tinggi untuk situasi pemotretan yang dihadapi. Katakanlah pemotretan dipinggir pantai di suatu hari yang cerah dengan film ASA/ISO 800. Biarpun kecepatan rana maksimum telah dipakai (misalnya 1/1000 detik) dan diafragma pada bukaan paling kecil (f/16, misalnya) tetapi indikator pengukuran tetap menunjukkan kelebihan cahaya sebanyak satu stop. Dengan “memotong” kepekaan film menjadi ASA/ISO 400 (EI 400) dan mempersingkat waktu pencuciannya maka fotografer tersebut tetap dapat menghasilkan foto yang bagus dengan film tersebut. Akan tetapi pemanfaatan dua teknik ini bukan tanpa efek samping. Dengan Push Processing gambar yang dihasilkan cenderung akan menjadi lebih kontras sehingga akan mengurangi detail pada gambar. Dalam film berwarna, selain kekontrasan menjadi lebih tinggi juga akan terjadi pergeseran warna (color shift). Sebaliknya, teknik Pull Processing mengurangi kekontrasan gambar yang dihasilkan. Selain itu kedua teknik diatas juga akan lebih memperlihatkan butiran-butiran film pada gambar. VI. Format Film. Film, sebagai salah satu media perekam gambar dalam fotografi, mempunyai beragam ukuran (format). Hal ini salah satunya disebabkan karena tuntutan akan kualitas gambar yang berbeda-beda dari berbagai macam aplikasi fotografi itu sendiri. Berikut ini akan dijabarkan beberapa format film populer yang umum digunakan dimasa sekarang. VI.1. Format 135. Format ini, yang juga populer dengan sebutan format 35mm, adalah format film yang dipakai pada kamera-kamera umumnya. Format ini disimpan dalam wadah silindris dengan jumlah bidikan antara 12 hingga 36 bidikan. Umumnya kamera yang menggunakan film jenis ini memberikan bidang gambar dengan ukuran 24x36mm kecuali beberapa kamera (yang populer di tahun 60 hingga 70-an) yang menghasilkan format setengah (half frame) dengan ukuran 18x24mm.

36

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Selain itu ada juga beberapa kamera khusus yang disebut dengan kamera panorama20 yang menghasilkan ukuran bidang gambar 24x72mm. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar-gambar di bawah ini.

Keringkasan adalah keunggulan utama dari kamera-kamera yang menggunakan film format 135 sehingga format ini menjadi format film yang paling populer semenjak kemunculannya di tahun 1920-an. VI.2. Format 120 dan 220. Format 120 merupakan format film yang lebih dulu muncul (akhir abad 19). Keunggulan dari format ini adalah bahwa ia mampu memberikan kualitas gambar yang lebih baik dari format 135 walaupun harus menggunakan kamera yang berukuran lebih besar (kamera medium format).

20 Beberapa kamera format 35mm biasa mempunyai kemampuan panorama. Tetapi kamera tersebut tidak menghasilkan film dengan ukuran panorama sesungguhnya (24x72mm) melainkan menutup sebagian bidang film (atas dan bawah) sehingga menghasilkan ukuran 13x36mm. Istilah yang lebih tepat untuk panorama jenis ini adalah “pseudo panorama”.

37

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Film format ini dikemas dalam wadah berbentuk rol dengan pelapis kertas (paper backing) yang menjaganya agar tetap kedap cahaya. Namun biarpun demikian penggunaan kertas sebagai pelapis mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap kebocoran cahaya bila dibandingkan dengan format 135 sehingga ada baiknya untuk selalu membiasakan memasang film ini pada kamera di tempat yang cukup terlindungi dari sinar matahari langsung. Format ini, yang juga populer dengan sebutan format medium, menghasilkan bidang film yang bervariasi tergantung dari kamera yang dipakai. Pada umumnya, ukuran bidang film yang umum dari format ini adalah 6x4,5 cm, 6x6 cm 6x7 cm. Namun beberapa kamera menghasilkan bidang film berukuran 6x8, 6x9, 6x12 hingga 6x17 cm. Dua yang disebut terakhir merupakan kamera panorama format medium. Dengan besarnya bidang film yang dihasilkan, maka untuk cetakan foto yang besar, tidak diperlukan pembesaran sebanyak film 135. Ini menjadikan film format medium mampu memberikan kualitas gambar yang lebih baik. Namun semakin besar bidang film yang dihasilkan, otomatis jumlah gambar tiap rol-nya akan semakin sedikit. Untuk ukuran 6x4,5cm, satu rol film 120 memuat maksimum 16 kali bidikan, 6x6 sebanyak 12 kali dan 6x7 sebanyak 10 kali21. VI.3. Format Besar. Format ini merupakan format terbesar yang digunakan dalam fotografi modern. Dengan bidang film berukuran 4x5, 8x10 dan 11x14 inci (kurang lebih 10x12,5, 20x25 dan 27,5x35 cm), membuat hanya kamera view saja-lah yang mampu memakai format ini. Inilah format yang dipakai untuk mendapatkan kualitas gambar semaksimal mungkin. Ambil contoh format besar berukuran 8x10 inci (20x25 cm). Dibandingkan dengan format 135 dimana untuk memperoleh gambar cetakan seukuran itu, film format 135 harus diperbesar 8 kali lipat. Namun dengan format 8x10 tadi, pembesaran sama sekali tidak perlu dilakukan (melainkan hanya cetak kontak saja). Film dengan ukuran sebesar ini tidak dikemas dalam wadah berbentuk gulungan melainkan telah disiapkan dalam lembaran-lembaran tunggal sehingga adakalanya film jenis ini disebut dengan film lembaran (sheet film). Namun dengan semakin meningkatnya kualitas film di masa sekarang, maka penggunaan film format besar semakin tersisihkan. Saat ini bisa dikatakan hanya format 4x5 inci saja yang masih umum digunakan. Walaupun ukurannya merupakan yang terkecil dari “saudara-saudaranya” yang lain, tetapi tetap saja kamera yang memakai format ini berukuran lebih besar dibanding dengan format-format lain.

21 Mengenai format 220, format ini sebenarnya adalah format 120 dengan panjang dua kali lipat sehingga memberikan jumlah bidikan sebanyak dua kali lipat pula.

38

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Perhatikan ilustrasi berikut yang menyertakan format medium sebagai pembanding.

39

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

VII. Penanganan dan Perawatan. Penanganan film yang kurang tepat, baik sebelum, selama maupun sesudah pemakaiannya, akan menurunkan kualitas gambar yang dihasilkannya. Dalam bab ini akan dibahas bagaimana cara menangani dan merawat film dengan benar. VII.1. Penanganan Pra Penggunaan. Ada baiknya bila film yang hendak anda beli anda teliti terlebih dahulu mengenai masa kadaluarsanya dan bagaimana ia disimpan di toko yang menjualnya. Toko yang benar-benar mementingkan kualitas film yang dijualnya akan menyimpan film di dalam lemari pendingin dengan maksud untuk mempertahankan “kesegaran” film selama mungkin. Hal ini juga bisa anda lakukan bila membeli film dalam jumlah banyak atau bila anda belum berencana untuk langsung memakai film tersebut. Perhatikan bahwa penyimpanan dalam suhu rendah dilakukan tanpa mengeluarkan film dari tabung plastik pembungkusnya dan berikanlah tanda yang jelas agar film di dalam kulkas tersebut tidak tertukar dengan sayuran – misalnya. Namun perlu diingat bahwa sebelum memakai film yang “dibekukan” tersebut, anda dianjurkan untuk membiarkannya dalam suhu ruangan selama paling-tidak satu jam. Bila tidak, ada kemungkinan bahwa film yang masih kaku (karena dingin) akan robek sewaktu ditarik dengan sprocket didalam kamera. Satu catatan: jangan memaksa film tersebut untuk lebih cepat hangat (dimasukkan kedalam oven microwave, contohnya) selain bahwa film tidak sama dengan hamburger, pemanasan yang terlalu cepat bisa menimbulkan kondensasi yang berlebihan. Akan sangat tidak lucu bila setelah filmnya hangat, ketika anda hendak memasangnya pada kamera, air mengucur dari tabung film tersebut. Oh ya, satu lagi. Jangan sentuh permukaan film yang beremulsi (yang tidak mengkilap) baik itu sebelum maupun sesudah pemotretan serta sesudah filmnya diproses. Bila anda menyentuh permukaan emulsi, ada kemungkinan sidik jari anda akan ikut terlihat juga bila filmnya dicetak. VII.2. Penanganan Selama Penggunaan. Setelah film terpasang dengan rapi didalam kamera, maka anda bertanggung jawab untuk tidak membiarkannya terlalu lama. Film yang terlalu lama mendekam dalam kamera (katakanlah enam bulan lebih) selain akan menurunkan sensitivitas cahayanya (karena masa kadaluarsa) juga bisa meninggalkan “bekas” khususnya bila kamera beserta film disimpan dalam tempat yang lembab. Selain itu dalam pemotretan ada hal-hal lain yang mempengaruhi kualitas gambar yang bisa dihasilkan film antara lain suhu warna dan radiasi radio aktif.

40

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

VII.2.a. Suhu Warna.

Cara mata manusia dalam mempersepsikan warna tidak sama dengan film. Mata manusia melihat warna cahaya matahari, cahaya bola lampu pijar dan cahaya-cahaya buatan lain sebagai satu warna: putih. Lain halnya dengan film, film (umumnya) hanya mampu “melihat” cahaya putih dari matahari saja karena sebagian besar film yang ada dipasaran sekarang adalah film yang dioptimalkan untuk pemakaian di bawah sinar matahari (disebut dengan tipe film daylight). Bila pemotretan dilakukan di dalam ruangan dengan penerangan lampu pijar, maka film akan melihat sinarnya sebagai kuning kemerahan sehingga segala objek yang terekam diatas film pun akan mempunyai warna bawaan kekuningan. Namun biarpun pemotretan dilakukan dibawah sinar matahari-pun dalam beberapa kondisi warna yang terekam diatas film tidak persis seperti aslinya. Ini akan kita bahas belakangan. Perbedaan hasil antara apa yang dilihat oleh mata dengan film berhubungan dengan “suhu warna” yang dipancarkan dari masing-masing sumber cahaya yang disebutkan barusan. Suhu warna disini adalah satuan fisika dengan bilangan derajat Kelvin (K) yang berbeda dengan suhu yang dapat dirasakan kulit manusia seperti halnya dalam suhu dengan derajat Celcius.

Dalam membahas suhu warna disebutkan bahwa semakin tinggi suhu warna cahaya yang dipancarkan maka akan semakin kebiruan-lah warna cahaya tersebut dan akan menjadi semakin merah bila suhu warnanya makin rendah. Sinar matahari di waktu tengah hari (yang menjadi patokan) mempunyai suhu berkisar antara 5500º hingga 6500º K. Lampu bohlam antara 2500º hingga 3400º K. Khusus mengenai sinar matahari, posisi matahari di langit juga mempengaruhi suhu warna cahayanya. Matahari yang baru terbit atau yang hendak terbenam mempunyai warna yang kemerahan sehingga otomatis suhu warnanya lebih rendah daripada sewaktu posisinya tepat diatas kepala. Selain itu pemotretan di daerah tinggi mempunyai suhu warna yang berbeda (lebih tinggi) karena kadar ultraviolet yang lebih banyak.

41

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Tabel pada halaman sebelumnya menunjukkan panas warna dari masing-masing sumber cahaya (alami maupun buatan)22. Disini bisa dilihat bahwa penggunaan lampu pijar memberikan warna yang lebih kekuningan (bahkan kemerah-merahan) bila dibandingkan dengan lampu halogen. Belum lagi masalah kekuatan lampu pijar tersebut (dalam satuan watt) dan umur pakainya. Semakin lama sebuah lampu pijar menyala maka semakin turun pulalah suhu warnanya.

Lampu photo flood merupakan pendahulu dari lampu studio sekarang. Lampu jenis ini mempunyai panas warna sebesar 3200º hingga 3400º. Untuk pemotretan dengan lampu ini disediakan film-film khusus (yang disebut dengan film tungsten) yang memberikan hasil natural dibawah cahaya buatan tipe ini.

Carbon Arc adalah lampu berkekuatan tinggi yang biasanya dipakai di gedung-gedung olahraga atau pada lampu-lampu sorot. Smog (smoke + fog) atau kabut asap adalah kondisi perkotaan dan daerah industi dimana asap-asap industri dan kendaraan bermotor terlihat mengambang diatas kota. Selain berakibat buruk bagi kesehatan, kabut asap ini juga mengurangi cahaya matahari yang sampai ke permukaan tanah. Lampu kilat elektronik atau blitz merupakan sumber cahaya buatan paling “putih”. Dalam pemotretan studio, lampu jenis ini kini telah menggeser kedudukan lampu photo flood. Masalah suhu warna ini dapat diatasi dengan menggunakan filter-filter dengan warna tertentu yang dinamakan filter kompensasi warna. Sesuai dengan namanya filter ini mengkompensasikan bias-bias warna dari perbedaan suhu warna dan mengembalikannya pada kondisi “normal”. Salah satu contohnya dalam pemotretan dibawah lampu pijar. Untuk mengatasi efek semu kuning pada hasil fotonya digunakan filter kompensasi berwarna semu biru23. Contoh lain dalam pemotretan di dataran tinggi yang banyak mendapat pancaran sinar ultra violet dari matahari. Pemotretan di tempat seperti ini dapat menghasilkan foto yang berwarna kebiruan sehingga terlihat kurang kontras. Untuk mengatasinya digunakan filter skylight yang berwarna semu merah muda atau filter UV (semu kuning). Kedua filter ini – yang hanya sedikit sekali menambahkan warna pada hasil fotonya – bisa dibiarkan tetap terpasang sebagai pelindung lensa.

22 Tabel panas warna pada pembahasan ini dimaksudkan sebagai ilustrasi praktis dan bukan sebagai ilustrasi ilmiah. Karena itulah akurasi gradasi warnanya tidak tepat 100%. 23 Disebut dengan filter tipe 80.

42

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

VII.2.b. Radiasi Radio Aktif. Radiasi radio aktif yang tak terlihat mata dapat berpengaruh terhadap film. Film yang terkena radiasi ini akan memperlihatkan bintik-bintik putih pada foto yang dihasilkannya. Karena itu film dan fotografi digunakan sebagai alat deteksi radio aktif sebelum detektor radiasi diciptakan. Salah satu kondisi yang umum adalah dalam pemeriksaan barang-barang bawaan di bandara dengan menggunakan mesin sinar X. Walaupun mesin-mesin tersebut sekarang telah diperbaharui dengan versi yang “aman” bagi film, resiko “terbakarnya” film, terutama yang ber- ASA/ISO tinggi, tetap ada. Karena itu bila anda berencana bepergian menggunakan pesawat udara ada baiknya, jika memungkinkan, anda meminta pemeriksaan dengan tangan (hand inspection) bagi film yang anda bawa. Sebenarnya ada satu jenis radiasi yang tidak termasuk dalam radiasi radio aktif yang bisa mempengaruhi film. Radiasi tersebut adalah radiasi panas (infra merah) yang paling berpengaruh terhadap film infra merah (yang sensitif terhadap panas). Dalam menggunakan film ini dianjurkan untuk mengisi dan mengeluarkan film ke dan dari kamera dalam keadaan gelap total (dalam kamar gelap).

VII.3. Penanganan Pasca Penggunaan. Film yang telah habis terpakai sebaiknya diproses sesegera mungkin. Film yang segera diproses selama masih dalam kualitas optimalnya mampu memberikan hasil terbaik yang bisa diberikannya. Namun bila dalam suatu keadaan film tidak bisa langsung diproses sebaiknya film tersebut disimpan kembali dalam lemari pendingin. Dengan demikian kualitas film tersebut masih dapat dipertahankan lebih lama. Setelah film diproses, hal berikut yang perlu diperhatikan adalah penyimpanannya. Penyimpanan di tempat yang kering namun sejuk, bebas debu serta terlindung dari cahaya matahari langsung adalah cara terbaik. Bila film disimpan di tempat lembab, kemungkinan besar jamur akan tumbuh dan merusak film, atau bila tidak, kelembaban akan mengakibatkan menempelnya emulsi dengan sampul plastik pembungkus film. Jika hal ini terjadi maka akan sangat sulit – bila tidak mustahil – untuk merestorasi film ke kondisinya semula.

43

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Komposisi. Komposisi dalam bidang seni rupa dan fotografi dapat diartikan sebagai cara penempatan objek dalam bidang gambar dengan memanfaatkan faktor-faktor komposisi, sedemikian rupa sehingga dapat benar-benar menjadi titik pusat perhatian (focus of interest) bagi orang yang melihatnya. Sejak seni lukis mulai dikenal orang, saat itu pulalah pengetahuan tentang komposisi mulai berkembang dan karena adanya hubungan erat antara fotografi dan seni lukis dalam hal media dua dimensi maka komposisi yang ada dalam seni lukis sedikit banyak dapat pula diterapkan dalam fotografi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi. Anda dapat menggunakan sebagian atau keseluruhannya untuk menghasilkan foto seperti yang anda inginkan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: • Pemilihan warna (warna cerah lebih akan lebih menarik perhatian). • Bukaan diafragma yang dipakai (seberapa blur/tajamnya latar depan

dan/atau latar belakang akan mempengaruhi seberapa dominannya objek foto anda).

• Jarak pemotretan (objek yang berada lebih dekat akan terekam lebih besar dan sebaliknya).

• Lensa yang dipakai (lensa tele akan mengisolasi objek dari sekelilingnya sementara lensa sudut lebar akan memasukkan lebih banyak informasi dalam foto).

• Pengaturan objek dalam bidang gambar, dan sebagainya. Faktor-faktor diatas dapat anda gunakan dengan seoptimal mungkin sehingga dapat menampilkan foto yang lebih berkualitas. Namun sebelum beranjak lebih jauh, pembahasan ini tidak akan menguraikan satu-persatu mengenai faktor-faktor seperti tertulis diatas. Anda bisa menemukan faktor-faktor tersebut bila anda menganalisa contoh-contoh foto yang disertakan didalam pembahasan ini. Lalu selain itu ada baiknya pula bila kita mengingat bahwa nilai-nilai estetis dari masing-masing orang adalah berbeda-beda. Sesuatu hal yang menurut satu orang sangat indah dan tepat belum tentu disetujui oleh orang lain. Begitu pula halnya dalam menilai suatu karya foto. Setepat apapun komposisi yang dipakai dalam membuat suatu foto, persepsi orang lain dapat berbeda dari apa yang anda lihat. Pembahasan ini juga tidak dimaksudkan untuk memberi batasan yang jelas dan "saklek", tetapi lebih ditujukan untuk mengemukakan macam-macam komposisi yang secara umum dianggap (relatif) dapat menampilkan hasil yang lebih baik. Selain menjelaskan komposisi sebelum pemotretan, anda juga akan menemui pembahasan mengenai bagaimana cara memperbaiki komposisi dari foto yang telah dihasilkan dan banyak hal lainnya.

44

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

I. Komposisi Statis vs. Dinamis. Perhatikan dua foto di bawah ini dengan penempatan objek yang berbeda.

Komposisi statis dan dinamis tidak ada kaitannya dengan objek foto yang bergerak atau diam. Suatu komposisi dikatakan (atau terlihat) statis bila penempatan objek fotonya berada ditengah-tengah bidang gambar sementara bila objek foto tidak ditempatkan secara simetris, akan memberikan kesan yang lebih "dinamis" dan "hidup" seperti pada contoh di sebelah kanan. Seringkali kita cenderung mengambil gambar apa adanya sebagaimana yang terlihat melalui viewfinder kamera dan menempatkan objek tepat ditengah-tengah bidang foto. Meskipun hasil fotonya secara teknis bisa dikatakan bagus, namun bila anda berusaha sedikit dalam menempatkan objek foto selain ditengah-tengah bidang gambar, sangat bisa jadi akan menghasilkan foto yang lebih bagus lagi. Namun bukan berarti bahwa komposisi statis adalah selalu jelek. Seperti dalam contoh di kanan bawah ini. Pada intinya, penempatan objek pada bidang foto anda akan mempengaruhi nuansa foto yang ditampilkan. Arah gerak atau pandang objek, warna-warna atau kekontrasannya dan sebagainya dapat "menentukan" komposisi mana yang "terbaik" untuk diterapkan. Namun satu hal yang bisa dikatakan terpenting adalah selera estetis fotografernya sendiri yang berfungsi sebagai faktor penentu paling utama. Singkatnya, komposisi mana yang akan anda pakai, berpulang kepada selera anda masing-masing. Termasuk didalamnya mengenai pesan dan kesan apa yang ingin anda sampaikan dalam foto yang anda buat.

45

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

II. Arah Gerak. Arah gerak objek, seperti telah disinggung sedikit sebelumnya, juga berpengaruh dalam menentukan komposisi mana yang tepat untuk diterapkan (meskipun tidak harus selalu demikian). Perhatikan dua foto dibawah ini:

Foto disebelah kiri tidak memberikan "ruang gerak" bagi sang pembalap sehingga ia tampak seperti hendak "menabrak" batas gambar. Lain halnya bila diberikan ruang gerak di depan objek seperti pada foto disebelahnya, meskipun harus "menyingkirkan" lawannya, namun ruang yang ada didepannya memberikan kesan melaju yang lebih "cepat" dan "lega". Namun biarpun demikian, komposisi di sebelah kiri dapat memberikan makna lain dalam foto tersebut dimana terdapat kesan "kepepet" atau mengesankan momen-momen kritis karena memperlihatkan persaingan ketat antara kedua pembalap tersebut. III. Rule of Third (Aturan Sepertiga). Salah satu dari sekian banyak macam komposisi adalah apa yang populer dengan sebutan “Rule Of Third” atau aturan sepertiga. Ini adalah komposisi klasik yang didapatkan dengan membagi bidang gambar dalam tiga bagian yang sama besar dan proposional, horisontal dan vertikal. Dengan menarik garis-garis khayal diatas bidang gambar tersebut akan diperoleh empat titik perpotongan dimana di salah satu titik tersebut objek yang menjadi pusat perhatian harus ditempatkan. Komposisi ini termasuk yang paling mudah dipelajari dan diterapkan serta mampu memberikan hasil yang efektif. Perhatikan diagram disebelah kanan. Anda dapat melihat ada empat titik perpotongan garis-garis vertikal dan horizontal yang membagi bidang gambar menjadi masing-masing tiga bagian yang sama besar (3 horizontal dan 3 vertikal). Anda tinggal menempatkan objek (atau point of interest objek) anda pada salah satu titik tersebut (misalnya mata pada close up portrait merupakan point of

46

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

interest yang dianjurkan untuk ditempatkan di salah satu titik perpotongan garis-garis tersebut). Hal ini juga berlaku bagi pemotretan dengan format vertikal sebagaimana terlihat di bawah ini.

Umumnya penggunaaan format horizontal misalnya dalam pemotretan landscape dan format vertikal dalam portraiture24. Dalam menerapkan komposisi ini, pertama-tama harus dicapai fokus dan kombinasi pencahayaan yang tepat setelah itu orientasi kamera digeser untuk menempatkan objek di dalam salah satu titik perpotongan seperti yang telah disebutkan diatas. Karena tabir bidik (focusing screen) pada kamera tidak mempunyai garis-garis pemandu komposisi, anda harus mampu menarik garis-garis khayal yang membagi bidang pandang di dalam viewfinder kamera, sesuai dengan aturan komposisi diatas.

Perhatikan contoh-contoh di bawah ini dan cobalah untuk menarik garis-garis khayal yang membagi bidang gambar seperti aturan komposisi diatas.

24 Namun bukan berarti bahwa harus selalu demikian. Adakalanya pemakaian format yang berbeda dari kebiasaan justru memberikan hasil yang lebih bagus.

47

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Selanjutnya. selain dari keempat titik perpotongan tersebut, pembagian bidang gambar menjadi tiga bagian yang sama besar (horizontal atau vertikal) juga dapat dimanfaatkan seperti dua contoh berikut:

Perhatikan disini bahwa selain dengan menempatkan objek utama pada (atau di dekat) salah satu dari keempat titik perpotongan, bidang gambar secara keseluruhan juga terbagi menjadi tiga bagian horizontal yang sama besar. Pemberian ruang yang lebih luas akan memberikan penekanan yang lebih besar, seperti ruas jalan yang kosong diantara polisi dan demonstran (menunjukkan jarak) dan latar belakang foto penampungan sampah (yang menunjukkan kesibukan para pemulung).

Untuk format vertikal, perhatikan tiga contoh dibawah ini:

Dapat dilihat sekali lagi bahwa penekanan diberikan pada pembagian bidang gambar yang lebih banyak (foto kiri dan kanan). Tanah yang berdebu dan gersang (menunjukkan jalan yang sudah ditempuh) di foto sebelah kiri, dan langit sore beserta awan - dengan menyertakan ranting-ranting pohon sebagai framing di bagian atas gambar - pada foto sebelah kanan. Untuk foto ditengah, anda dapat melihat pembagian yang sangat jelas antara latar depan, tengah dan belakang. Masing-masing bagian menempati sekitar sepertiga bidang gambar. Disini tidak ada unsur yang betul-betul dominan (kecuali - mungkin - pohon-pohon kering di latar depan yang menempati sepertiga bagian bawah)

48

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

namun menunjukkan bahwa dalam komposisi ini anda mempunyai tiga bidang gambar untuk digunakan seoptimal mungkin. Dalam menerapkan komposisi ini, anda dituntut untuk mampu mengidentifikasi bagian mana dari bidang gambar yang menurut anda layak untuk diberikan penekanan lebih. Kemudian alokasikanlah sebagian besar (dalam hal ini 2/3) bidang gambar untuk bagian tersebut. Misalnya dalam pemotretan landscape untuk menyebut satu contoh. Bila anda dihadapkan pada kondisi langit yang sangat indah (terlebih bila tidak ada detail yang cukup menarik di bagian bumi), mungkin akan lebih baik anda memberikan porsi lebih banyak kepada langit dalam foto anda. Sebaliknya, bila langit yang anda temui terlihat menyilaukan (putih merata - overcast), mungkin jauh lebih baik bila anda sangat sedikit atau bahkan tidak memberikan bagian bagi langit dalam bidang gambar dan berkonsentrasi pada detail bumi-nya saja. IV. Eksplorasi. Walaupun komposisi rule of third telah dibahas panjang lebar diatas, bukan berarti hanya komposisi tersebut yang "halal" dipakai. Terkadang penerapan komposisi yang "lain dari yang lain" akan memberikan hasil yang cukup menarik meskipun - mungkin - tidak akan menjadi baku dan klasik seperti aturan komposisi sepertiga diatas. Dibawah ini dapat dilihat beberapa contoh eksplorasi komposisi yang penulis lakukan walaupun harus diakui masih tidak "seberani" fotografer-fotografer lain yang lebih berpengalaman. Namun kiranya cukup ditampilkan disini sebagai gambaran untuk anda pelajari.

49

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

V. Memperbaiki komposisi setelah pemotretan. Mungkin anda memiliki foto-foto yang secara teknis pencahayaan sudah cukup bagus, namun karena satu dan lain hal, anda "lupa" untuk menerapkan komposisi yang lebih nyaman dipandang mata. Atau mungkin anda ingin bereksperimen dengan komposisi yang berbeda namun sayangnya anda tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pemotretan ulang. Apa yang harus anda lakukan? Cropping jawabannya. Cropping secara sederhana berarti membuang wilayah gambar yang dianggap tidak cukup berguna untuk menghasilkan foto yang lebih bernilai tinggi secara estetika. Cropping dapat dilakukan sebelum pemotretan (dengan mengubah sudut pandang dan/atau panjang lensa yang digunakan) atau juga setelah pemotretan (pada hasil cetakannya). Namun teknik cropping yang akan dibahas disini adalah cropping pada hasil pemotretan anda. Seperti pada tiga contoh berikut:

Foto pertama disebelah kiri, secara teknis sudah cukup bagus. Namun bila dicermati lebih lanjut, tampak bahwa komposisinya kurang tepat (berdasarkan aturan rule of third), terlebih lagi dengan adanya latar belakang yang cukup mengganggu. Dengan menggunakan pemahaman mengenai komposisi tersebut, penulis melakukan cropping dengan menempatkan mata kanan objek tepat di salah satu titik perpotongan. Setelah cropping dilakukan maka diperoleh hasil yang lebih "kuat" dan terfokus seperti pada foto di sebelah kanan. Cukup jelaslah kiranya bahwa cropping dapat menjadi alat bantu yang efektif dalam memperbaiki hasil foto anda. Dan anda bisa melakukannya tanpa bantuan komputer atau program pengolah gambar apapun.

50

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Perspektif. *“Kok saya di foto ini jadi kelihatan lebih pendek sih?” **“Saya malah kelihatan lebih ceking...” Mungkin anda pernah mendengar orang lain berkata seperti itu (atau bahkan anda sendiri?) sewaktu melihat foto dirinya sendiri. Jika memang orang yang difoto pada keadaan sebenarnya tidak terlihat seperti yang dikeluhkan, sangat mungkin “kesalahan” ada pada satu hal: perspektif. Perspektif dalam fotografi didefinisikan secara sederhana sebagai: “...a set of techniques for suggesting – or supressing – the perception of roundness and depth in your pictures.” (Popular Photography Magazine, p.43, August 1995) Terjemahan bebasnya adalah: “...serangkaian teknik-teknik untuk mengesankan persepsi kedalaman (ruang) dalam foto.” Percaya atau tidak, dengan menggunakan kamera dan pengetahuan tentang perspektif yang memadai, anda dapat membuat ilusi yang sangat menakjubkan (atau bahkan sangat aneh). Contohnya saja, anda dapat membuat orang yang kurus jadi terlihat lebih gemuk dan sebaliknya. Yang pendek terlihat lebih tinggi, yang kecil terlihat lebih besar dan seterusnya. Dari mulai ilusi yang sederhana dan tidak begitu kentara, sampai yang ekstrim pun bisa anda lakukan dengan pemahaman tentang perspektif ini. Nggak percaya? Lihat saja bagaimana penulis “menyulap” rambu penunjuk jalan di sebuah mal menjadi menjulang lebih tinggi dari gedung mal-nya sendiri yang bertingkat tiga dalam foto di kanan ini. Baiklah, itu hanya satu contoh saja sebelum kita membedah “habis-habisan” mengenai perspektif. Secara umum, perspektif terbagi menjadi dua: Perspektif dekat dan perspektif jauh. Dibalik halaman ini, anda akan melihat contoh-contoh beserta penjelasan dari kedua macam perspektif ini.

51

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

I. Perspektif dekat. Perhatikan foto dibawah ini:

Anda tidak sedang melihat kaki-kaki dari dua (orang? ekor?) raksasa yang sedang berdiri dengan angkuh menghadang sang “pemberani” yang melangkah maju. Foto ini adalah permainan perspektif dekat dimana objek yang terletak lebih dekat dari lensa akan terekam lebih besar dari objek yang lebih jauh letaknya.

Efek yang diberikan dari penggunaan perspektif ini adalah efek “dramatis” dimana objek yang lebih dekat memberi kesan dominan atau lebih kuat. Sedangkan objek yang terletak lebih jauh menjadi lebih kecil dan “inferior”. Efek lainnya adalah dengan menggunakan perspektif ini latar belakang akan “terlempar” semakin jauh ke belakang dan mengesankan ruang yang lebih luas. Dengan teknik ini anda dapat memasukkan banyak unsur-unsur gambar yang mampu menceritakan dirinya sendiri hanya dalam satu frame seperti contoh di kanan. II. Perspektif jauh.

Foto disebelah kiri menunjukkan apa yang dimaksud dengan perspektif jauh. Perhatikan bagaimana latar belakang seolah-olah “menempel” pada latar depan. Pada kenyataannya antara objek (pemulung) di depan dengan kegiatan bongkar sampah di latar belakangnya terpisah jarak yang cukup jauh (jurang). Dengan mengambil foto dari jarak jauh, penulis

“memampatkan” latar belakang sehingga terlihat seperti dalam foto tersebut. Foto disamping kanan ini juga menunjukkan betapa dengan pemakaian perspektif jauh anda dapat membuat latar belakang seolah-olah menjadi semakin dekat dan “menempel” pada objek.

52

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Disini bisa dikatakan bahwa semakin jauh jarak pemotretan dengan objek, akan semakin kecil perbedaan jarak antara objek dengan latar belakang yang terlihat melalui kamera. Hal ini akan menyebabkan latar belakang terlihat semakin “maju” ke depan. III. Penjelasan. Foto di sebelah kiri menunjukkan perspektif yang didapatkan dari pemotretan jarak dekat. Latar belakang terlihat seolah-olah “terlempar jauh” ke belakang. Bandingkan dengan foto berikutnya. Mungkin anda heran mengapa pada foto sebelah kanan latar belakang seperti tiba-tiba “meloncat” maju ke depan. Inilah “keajaiban” perspektif. Bila mencermati penjelasan mengenai perspektif dekat dan perspektif jauh di halaman ini, sudah jelas tentunya apa yang dimaksud dengan “keajaiban” tersebut. Sebagian orang berpendapat bahwa lensa dengan panjang fokus yang berbeda akan menghasilkan perspektif yang berbeda pula. Sebenarnya pendapat seperti itu bisa dibilang “menyesatkan” karena bila anda hanya mengganti panjang fokus lensa (dengan lensa zoom, misalnya) dan tidak berpindah tempat mendekati atau menjauhi objek, maka sebenarnya yang anda ubah hanyalah pembesaran gambarnya saja. Contoh yang paling mudah dipahami apabila anda melakukan cropping pada foto anda. Disana akan terlihat bahwa hubungan antara objek dengan latar belakangnya tidak berubah, sebagaimana dalam tiga foto berikut

Lihatlah umbul-umbul hijau dibelakang kepala pesilat yang lebih kecil. Pada foto sebelah kanan, perbandingan (rasio) antara besar umbul-umbul tersebut dengan kepala si pesilat cilik adalah sama antara foto paling kiri dengan foto paling kanan. Efek yang sama bisa didapat dari melakukan dua-tiga kali pemotretan dari tempat dan jarak yang sama dengan hanya mengubah pembesaran (panjang fokus) lensa. Bisa ditarik kesimpulan bahwa panjang

53

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

fokus lensa yang berbeda tidak mempengaruhi perspektif yang dihasilkan. Perubahan panjang fokus lensa hanya berpengaruh terhadap pembesaran gambar secara keseluruhan dan lebar/sempitnya sudut pengambilan gambar. IV. Jarak dan Pembesaran. Inilah inti sebenarnya dari perspektif: Jarak. Sederhananya, perspektif dipengaruhi oleh seberapa jauh/dekat jarak anda ke objek dan seberapa jauh/dekat jarak objek dengan latar belakangnya. Berkaitan erat dengan hal ini adalah pembesaran gambar dimana besarnya objek yang terlihat melalui lensa dipengaruhi langsung oleh seberapa jauh/dekatnya anda dengan objek.

Perhatikan serangkaian foto-foto berikut ini yang dibuat dengan hanya mengubah jarak tanpa mengganti lensa. Amatilah bahwa skala antara besar kepala objek dengan ujung koridor berubah seiring dengan bertambahnya jarak pemotretan. Bila kita crop foto kedua dan ketiga sehingga besarnya objek sama dengan foto pertama, akan lebih jelas terlihat perbedaan perspektif yang dimaksud. Jadi jelaslah sekarang bahwa perspektif tidak dipengaruhi oleh pemakaian lensa-lensa dengan panjang fokus yang berbeda. Perlu digarisbawahi bahwa dalam bahasan ini panjang fokus lensa yang berbeda hanya mempengaruhi pembesaran gambar dan sudut pandang. V. Perspektif dan Portrait. Katakanlah anda ingin membuat portrait close-up ketika anda hanya memiliki lensa sudut lebar atau lensa normal pada kamera anda. Anda bisa mendekati objek anda dan memenuhi viewfinder dengan wajah model... ...dan mendapatkan hasil seperti di sebelah kanan.

54

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Disini terlihat bahwa wajah sang model “terdistorsi” dimana rahang dan hidung (yang lebih dekat jaraknya dengan lensa) menjadi membesar dan menjadi tidak proporsional dengan bagian-bagian wajah yang lain. Hal inilah yang disebut distorsi perspektif. Lalu bagaimana caranya anda bisa membuat portrait yang wajar bila anda dihadapkan pada keadaan diatas, terlebih lagi bila modelnya – bagi para laki-laki, tentunya – adalah seorang gadis cantik? (Sori, Brik... Heheh... :p) Aturan pertama adalah: Jangan dekati objek lebih dekat dari satu meter. Biarkan saja bila besar objek dalam viewfinder tidak sesuai dengan keinginan anda. Setelah hasilnya anda dapatkan lakukan langkah kedua: Crop hasil pemotretan anda. seperti terlihat dibawah ini:

Hasil dari “trik” ini adalah sebuah portrait yang secara teknis terlihat wajar. Tidak terlihat distorsi pada wajah objek sehingga tampak lebih natural. Sudah barang tentu bila anda melakukan cropping sedemikian rupa, film dengan ISO rendah diperlukan agar penurunan kualitas gambar bisa dihindari sebisa mungkin. VI. Ilusi Perspektif. Bukan sulap, bukan sihir, bahwa dengan pemahaman mengenai perspektif ini, anda bisa membuat orang (atau objek) yang pendek terlihat lebih tinggi, yang tinggi terlihat lebih pendek dan sebagainya. Mungkin bisa dikatakan inilah salah satu penyebab mengapa banyak orang yang merasa dirinya tidak seperti yang terlihat di dalam foto. Di halaman berikut anda akan melihat dua contoh foto (yang sengaja diambil secara ekstrim) beserta penjelasannya untuk menunjukkan perbedaan kesan yang terlihat dari satu orang yang sama.

55

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Pengambilan foto dari bawah, seperti pada foto sebelah kiri, akan menghasilkan foto dimana objek terlihat lebih tinggi (dan kurus) dari keadaan sebenarnya. Anda merasa pendek? Tak masalah. Anda bisa menambah rasa percaya diri pada diri anda dengan teknik ini. Sebaliknya pada foto sebelah kanan, dengan mengambil gambar dari atas akan terlihat bahwa objek menjadi seolah-olah lebih pendek dari kenyataanya.

Kedua teknik ini bermanfaat untuk “memodifikasi” proporsi tubuh model. Perlu diingat sekali lagi bahwa ilustrasi disini sengaja dibuat dengan ekstrim untuk memperlihatkan dengan jelas efek-efek yang dimaksudkan. Namun anda bisa melakukannya dengan kadar yang lebih rendah atau sesuai dengan kebutuhan. Sekedar wanti-wanti, trik kedua sebaiknya jangan diterapkan bila anda berhadapan dengan model yang berbadan gemuk karena akan membuatnya terlihat lebih “bulat” (kecuali kalau dia tidak keberatan, tentunya...).

Lalu kemudian ada yang disebut dengan perspektif “ekstrim”. Ini adalah istilah yang diberikan penulis bagi perspektif yang “mem-permak” habis-habisan objek foto. Perhatikan saja contoh di sebelah kiri. Tangan sang gitaris seolah-olah hendak “meraup” wajah orang yang melihatnya. Untuk membuat foto ini tentunya diperlukan lensa sudut ekstra lebar (19mm) agar dapat memuat seluruh (tepatnya sebagian besar) telapak tangan yang terjulur kearah lensa. Tetapi jangan dilupakan bahwa sebenarnya jarak pemotretanlah (30cm) yang membuat tangan objek pada foto ini menjadi sedemikian besar, lebih besar dari kepalanya sendiri.

Lalu bagaimana halnya dengan portrait disebelah kanan ini? Ehm.... Ya begitulah, kira-kira.... :p

56

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Lampu Kilat. Barangkali anda pernah dihadapkan pada suatu kondisi dimana anda hendak memotret dengan kamera anda namun kondisi pencahayaan yang ada sangat lemah. Atau dalam suatu perayaan ulang tahun di dalam ruangan yang - menurut mata anda - cukup terang, tetapi pengukuran kamera anda menunjukkan kecepatan rana yang terlalu rendah untuk membuat foto yang tajam tanpa bantuan tripod. Atau mungkin anda melihat hasil pemotretan anda di suatu siang hari yang terik dimana bayangan yang jatuh pada objek terlalu gelap dan sangat kontras untuk menunjukkan detail yang cukup... ...Dan lain-lain yang mungkin cukup untuk menunjukkan ada sesuatu yang "kurang" dalam pemotretan anda. Hal-hal tersebut dapat dihindari seandainya anda menggunakan lampu kilat dalam pemotretan anda. Mungkin tidaklah terlalu berlebihan apabila dikatakan bahwa biarpun lampu kilat "hanya" berstatus sebagai aksesori tambahan, namun bisa dianggap bahwa alat ini adalah salah satu aksesoris terpenting yang layak untuk diusahakan pengadaannya bagi peminat fotografi serius (kecuali bagi mereka yang mengkhususkan diri dalam pemotretan available light, tentunya). Dalam bahasan ini akan dikemukakan dan diterangkan mengenai apa dan bagaimana lampu kilat itu dan bagaimana mengoperasikannya dengan optimal. Namun sebelumnya anda diharapkan sudah mengerti hal-hal dasar dalam pengoperasian kamera dan lensa. I. Sekilas Sejarahnya. Sejak awal mula fotografi "ditemukan", mulai disadari pentingnya akan cahaya tambahan dalam pemotretan. Apalagi mengingat pada masa-masa itu pemotretan dengan hanya mengandalkan cahaya alam masih memerlukan waktu hingga satu menit atau lebih hanya untuk membuat satu foto saja (karena begitu rendahnya sensitivitas cahaya medium yang dipakai dan juga karena lensa yang dipakai masih belum sekuat sekarang). Fotografer jaman baheula menemukan solusi dengan membakar serbuk magnesium untuk menghasilkan kilatan cahaya terang yang memungkinkan fotografer untuk mempersingkat waktu pencahayaan (yang tanpanya akan sangat menyiksa objek foto - dalam hal ini manusia - bila harus duduk diam dan menahan nafas selama satu menit atau lebih....). Namun solusi magnesium ini mempunyai resiko dimana pembakaran serbuk magnesium selain menghasilkan cahaya yang terang benderang juga akan menghasilkan asap yang cukup mengganggu. Belum lagi kerumitan penanganannya yang kurang lebih sama dengan penanganan bahan-bahan peledak lainnya.

57

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Lalu kemudian di tahun 1893 Chauffour (Perancis) membuat bohlam yang diisi dengan pita magnesium dan gas oksigen (disebut dengan flashbulb) untuk digunakan dalam pemotretan bawah air(!). Di tahun 1925 Vierkotter (Austria) menyempurnakan penemuan sebelumnya, dilanjutkan oleh Ostermeier di tahun 1929 yang memasarkan flashbulb yang diisi dengan lembaran alumunium di Jerman. Perlu diingat bahwa prinsip kerja flashbulb berbeda dari lampu kilat modern dimana flashbulb masih memakai lembaran atau kawat magnesium dan alumunium untuk menghasilkan kilatan cahaya. Sedangkan lampu kilat modern memakai tabung lampu kilat (flashtube) yang berisi gas krypton dan xenon. Barulah di tahun 1939 Harold Edgerton (Amerika) memperkenalkan unit lampu kilat elektronik yang prinsip kerjanya kurang-lebih sama dengan lampu kilat jaman sekarang. Salah satu hal mendasar yang membedakan flashbulb dengan flashtube adalah durasi (lamanya) cahaya yang terpancar dari kedua unit tersebut. Durasi yang dikeluarkan oleh flashbulb biasanya jauh lebih rendah dari flashtube yang mampu menghasilkan kilatan cahaya antara 1/300 (0,003) hingga 1/5.000 (0,0002) detik (untuk tipe-tipe tertentu bahkan hingga mencapai 1/1.000.000 detik!). Bandingkan dengan flashbulb yang berkisar antara 8 milidetik (0,8 detik) hingga 45 milidetik (4,5 detik). Cukup jelas kiranya bahwa penggunaan flashtube dengan durasi yang sedemikian singkat memungkinkan anda untuk menangkap dan menghentikan gerakan cepat. Lain halnya dengan flashbulb. II. Guide Number (GN). GN (Guide Number - di-Indonesiakan menjadi angka pedoman) adalah panduan yang mengindikasikan kekuatan lampu kilat yang bersangkutan. Semakin tinggi GN lampu kilat tersebut, maka akan semakin terang dan semakin jauh jarak jangkau kilatannya. Angka GN standar didapatkan dari pengkalian angka diafragma dan jarak (dalam meter atau kaki), pada ISO 100 (dan pada sudut sebar kilatan sesuai lensa 50 atau 35mm). Perlu dipahami sebelumnya bahwa semakin jauh jarak yang harus ditempuh cahaya lampu kilat, maka akan semakin lemah daya pancarnya dan kebalikannya. Juga bila sudut sebarannya semakin melebar maka jarak jangkaunya pun akan semakin berkurang dan sebaliknya. Dengan mengetahui angka GN pada lampu kilat anda, anda akan lebih mudah dan cepat untuk menyesuaikan bukaan diafragma sesuai dengan jarak anda ke objek dan juga dengan ISO yang dipakai. Namun sebelum beranjak lebih jauh, perlu kiranya dipahami bahwa penggunaan kecepatan rana di kamera, selama sama dengan - atau dibawah - kecepatan sinkron kilat, tidak atau sangat sedikit berpengaruh terhadap pencahayaan lampu kilat. Penggunaan kecepatan rana yang berbeda hanya akan mempengaruhi pencahayaan pada latar belakang sedangkan pencahayaan lampu kilat bisa dikatakan hanya dipengaruhi oleh bukaan diafragma yang dipakai.

58

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Perhatikan rumus-rumus sederhana ini beserta penjelasan singkatnya: 1. GN= f/stop x jarak. Rumus diatas adalah - sekali lagi - untuk mengindikasikan kekuatan lampu kilat yang diperlukan untuk mendapatkan pencahayaan lampu kilat yang tepat sesuai dengan jarak dan diafragma lensa yang dipakai. Disini diasumsikan bahwa kecepatan rana yang dipakai sama dengan atau dibawah sinkron kilat. 2. f/stop= GN : jarak. Rumusan ini yang sangat umum dipakai untuk menemukan bukaan diafragma lensa dalam pemotretan dengan lampu kilat. Dengan mengetahui angka GN lampu kilat yang anda pakai, anda akan dapat dengan mudah dan cepat menentukan bukaan diafragma sesuai dengan jarak pemotretan anda dengan objek. 3. Jarak= GN : f/stop. Rumusan terakhir ini lebih banyak dipakai dalam pemotretan dengan teknik fill-in. Setelah mengukur kecerahan latar belakang objek, selanjutnya anda harus menyesuaikan jarak anda dengan objek setelah anda membagi angka GN dengan bukaan diafragma yang didapatkan. Pada umumnya unit-unit lampu kilat yang ada dipasaran mempunyai GN yang bervariasi, berkisar antara 14 (lampu kilat manual yang kecil dan mungil, membutuhkan hanya satu atau dua baterai AA) hingga 60 atau lebih (unit lampu kilat bergagang yang membutuhkan hingga enam baterai atau bahkan power supply eksternal - umum dipakai oleh fotografer pernikahan). Unit lampu kilat studio bahkan mempunyai GN yang lebih besar lagi, namun indikasi yang dipakai untuk menggambarkan kekuatan lampu kilat studio biasanya adalah Watt per Second (W/s). Untuk ini akan dibahas di lain kesempatan. III. Jenis-jenis Lampu Kilat.

1. Manual: Tipe lampu kilat yang paling sederhana. Lampu kilat ini menghimpun daya dari baterai dalam elektro kondensator (elko) untuk kemudian dilepaskan

seluruhnya dalam bentuk kilatan melalui flashtube (karena itu setiap kali lampu kilat jenis ini melepaskan cahayanya, ia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk

59

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

mengisi kembali tegangan listrik dalam elko). Tidak mempunyai fasilitas pengatur intensitas cahaya internal sehingga pencahayaannya murni diatur oleh diafragma lensa. Secara sepintas jenis ini mudah dikenali dengan hanya menyertakan tombol on/off dan lampu indikator serta hanya mempunyai satu kontak listrik di telapak hotshoe.

2. Semi Auto (Thyristor): Disebut juga dengan Auto. Pengembangan dari lampu kilat manual dengan menempatkan sensor pemantau kilatan cahaya (thyristor) di bagian muka lampu kilat. Unit ini berfungsi sebagai pemutus aliran listrik dari elko menuju flashtube ketika ia mendeteksi pantulan cahaya yang dilepaskan lampu kilat. Tidak dianjurkan penggunaannya dalam jarak lebih dari 3 meter (karena wilayah sensitivitas sensor thyristor terlalu lebar sehingga dapat tertipu oleh warna/kecerahan latar belakang).

3. TTL (Through The Lens): Lampu kilat jenis ini mengandalkan sensor internal kamera sebagai kendali pencahayaannya. Tentulah kamera yang dipakai haruslah kamera dengan kemampuan TTL untuk lampu kilatnya. Jenis ini lebih akurat karena cahaya lampu kilat yang terukur hanyalah cahaya yang masuk melalui lensa kamera yang bersangkutan.

60

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Bila dilihat dari tapak hotshoe-nya, lampu kilat jenis ini mempunyai tiga atau lebih kontak listrik25.

IV. Anatomi lampu kilat.

Keterangan:

• Reflector Card: Atau bounce card. Digunakan dalam teknik bounce flash untuk memberikan sedikit cahaya frontal sementara sebagian besar cahaya akan dipantulkan di langit-langit ruangan.

• Fresnel Lens: (baca: frey-nel) Sekeping plastik (akrilik) bening dengan pola-pola sirkuler yang berguna untuk mengkonsentrasikan (dan menyebarkan) kilatan dan melunakkan cahaya lampu kilat.

• Tilt, swivel & zooming Head: Lampu kilat dengan kepala yang dapat digerakkan "menoleh" kiri-kanan (swivel) dan "mendongak" (tilt - sebagian merk mampu "merunduk" sedikit untuk pemotretan makro), untuk digunakan untuk pemotretan dengan teknik bounce flash. Bila unit ini mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan sudut sebaran cahaya lampu kilat dengan lensa yang dipakai (biasanya berkisar antara 28 - 85mm), maka disebut juga dengan zooming head. Bila tidak, sudut sebaran lampu kilat biasanya disesuaikan dengan lensa 28, 35 atau 50mm. Di bagian ini dapat ditemui fresnel lens.

• Lampu pembantu AF: Lampu pembantu sensor AF pada kamera yang akan menyala secara otomatis dalam keadaan cahaya sekitar yang lemah.

• Terminal PC Contact & kabel TTL: Menghubungkan lampu kilat dengan kamera menggunakan kabel sinkron manual (PC) atau kabel TTL bila lampu kilat digunakan terpisah dari kamera.

25 Sekedar catatan: Karena letak kontak listrik pada hosthoe kamera berbeda-beda dari satu produsen ke produsen lain, maka tidak dianjurkan untuk menempatkan lampu kilat Canon pada kamera Nikon, misalnya. Hal ini beresiko merusak sirkuit elektronik yang ada pada kamera dan juga pada lampu kilatnya. Bila membeli merk independen (Sunpak, Metz, Nissin dsb) pastikan bahwa unit yang dibeli mempunyai dudukan bagi kamera yang dimiliki.

61

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

• Terminal tenaga eksternal: “Colokan” kabel sumber daya eksternal (battery pack).

• Hotshoe: "Sepatu panas" adalah tempat kontak-kontak listrik dari lampu kilat ke kamera. Berfungsi sekaligus sebagai dudukan lampu kilat.

• Sensor Thyristor: Sensor pendeteksi kilatan. Digunakan dalam mode semi-auto (lih: Jenis-jenis lampu kilat).

• Tombol tilt & swivel: Tombol yang terletak disamping head ini (tidak terlihat dalam gambar) digunakan untuk mengarahkan head ke bidang pantul (langit-langit atau tembok).

• Wide Angle Panel: Panel tambahan untuk lebih menyebarkan cahaya lampu kilat dalam penggunaan lensa sudut lebar (18-20mm)

• Tombol preview: Bila tombol ini ditekan, lampu kilat akan menyala selama beberapa detik untuk memberikan prakiraan hasil pemotretan (misalnya dimana bayangan akan jatuh pada objek).

• Indikator sudut tilt: Mengindikasikan seberapa besar sudut vertikal yang dibentuk kepala lampu kilat. Di bagian “leher” lampu kilat (tidak terlihat dalam gambar) juga terdapat indikator sudut swivel.

• Panel LCD: Pada lampu kilat mutakhir, terdapat layar (panel) LCD yang menunjukkan indikasi-indikasi jarak, ISO yang digunakan, kompensasi pencahayaan dsb.

• Tombol power: Untuk menyalakan atau mematikan lampu kilat • Ready Light: Lampu indikator yang akan menyala bila lampu kilat sudah siap

digunakan. • Kunci Hotshoe: Kunci peneguh (ulir, tuas atau tombol) untuk mencegah lampu

kilat terlepas secara tidak sengaja. • Tombol-tombol pengaturan: Tombol-tombol seperti pengatur zooming head,

kompensasi pencahayaan dan lain sebagainya. • Tombol test: Untuk menguji nyala lampu kilat. Dalam mode TTL atau manual

tenaga penuh (full power), bila tombol ini ditekan maka lampu kilat akan mengeluarkan seluruh tenaga pancarannya.

• Tombol mode lampu kilat: Mengatur metode kerja lampu kilat (mode Manual, Auto/semi auto, TTL dan sebagainya). IV. Teknik-teknik dasar. IV.1. Direct Flash. (dengan kecepatan sinkron kilat pada kamera) Teknik penggunaan lampu kilat paling dasar. Untuk pengguna lampu kilat manual, penguasaan akan teori Guide Number (GN) adalah esensial untuk membuat foto dengan pencahayaan lampu kilat yang tepat. a. Manual: Bagilah GN lampu kilat yang dipakai dengan jarak ke objek untuk menemukan angka diafragma. Jangan lupa untuk menyesuaikan diafragma bila memakai ISO selain ISO 100 (kecilkan bukaan diafragma satu stop untuk setiap kelipatan ISO 100 - ISO standar GN - dan besarkan satu stop untuk ISO 50, dua stop untuk 25, dan seterusnya).

62

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

b. Auto/Semi Auto: Setel diafragma yang dianjurkan pada tabel (yang biasanya terletak di punggung lampu kilat) pada ISO yang dipakai, kemudian jagalah jarak dengan objek (didalam jarak minimum dan maksimum - juga pada tabel). Sekedar anjuran: Jangan lebih dari 3 meter sebagaimana yang telah diterangkan diatas. c. TTL: Simpelnya, tinggal tekan tombol pelepas rana. Intensitas cahaya yang dikeluarkan lampu kilat akan menyesuaikan otomatis dengan ISO dan diafragma yang dipakai. IV.2. Fill in Flash. "Any light directed on to the subject from a lamp or reflector to illuminate shadows cast by the principal light on the subject. Without some such form of shadow Illumination, those parts of the subject not lighted by the principal light would appear in the finished photograph as dense black areas with little detail." (The Focal Encyclopedia of Photography - Volume 1, Focal Press, London 1978)

Teknik untuk menggunakan lampu kilat langsung (direct flash) sebagai cahaya pengisi bayangan. Biasanya digunakan dalam pemotretan outdoor (bila cahaya alam yang tersedia cukup dominan). Perlu diketahui bahwa fill in flash hanya efektif dalam jarak dekat (dibawah 5 meter) karena sekuat apapun lampu kilatnya, ia masih akan kesulitan bersaing dengan cahaya alam (matahari). Dari dua foto di atas, bisa diperhatikan bahwa penggunaan fill-flash "membuka" daerah bayangan pada objek. Bila kedua foto tadi dibuat dengan tanpa menggunakan lampu kilat pengisi, maka detail wajah polisi yang ternaungi helm dan demonstran yang duduk di tengah jalan akan tertutup oleh bayangannya sendiri.

63

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Di bawah ini dapat anda cermati cara-cara pemotretan dengan teknik ini sesuai dengan jenis lampu kilat. a. Manual: Penggunaan lampu kilat manual dengan GN rendah (dibawah 20) dapat sangat menolong bila anda ingin membuat foto dengan teknik fill in dalam jarak dekat. Anda tidak perlu memperkecil diafragma terlalu banyak (yang mengakibatkan latar belakang menjadi tajam - terlihat kurang estetis khususnya untuk portrait). Berikut ini adalah langkah-langkah penerapan teknik fill-in dengan menggunakan lampu kilat manual: • Pasang kecepatan rana pada sinkron kilat maksimum dan carilah bukaan

diafragma dengan menggunakan light meter untuk mengukur kecerahan latar belakang (misalnya 1/125 dengan f/8)

• Perhatikan GN lampu kilat, bagilah dengan angka diafragma yang didapat dari pengukuran latar belakang untuk menemukan jarak antara anda dengan objek. Contoh, dengan ISO 100, GN lampu kilat 22, maka akan didapat jarak 2,75m. Inilah jarak anda dengan objek.

• Apabila jaraknya terlalu jauh (lebih dari 5 meter) turunkan kecepatan rana untuk mendapatkan bukaan diafragma yang lebih kecil (yang secara otomatis akan mendekatkan jangkauan cahaya lampu kilat). Ukurlah kembali latar belakang sebelum memotret dengan kecepatan rana yang lebih rendah tadi. Dari contoh diatas (1/125; f/8; GN22; 2,75m), bila kombinasi pencahayaan diubah menjadi 1/60 f/11 maka akan didapat jarak 2m (GN22 : f/11), menjadi 1,3m pada 1/30 f/16, dan seterusnya.

• Dalam kondisi cahaya latar yang terlalu terang, mungkin anda akan menemukan pada kecepatan sinkron kilat maksimum dan dengan bukaan diafragma paling kecil pun, pencahayaan masih over exposure. Ada beberapa tips: Ganti film dengan ISO lebih rendah, gunakan filter polarisasi atau Neutral Density (filter ND – warnanya seperti kaca film hitam pada mobil atau kacamata Ray-Ban) untuk mengurangi cahaya yang masuk lewat lensa, atau menunggu hingga kondisi cahaya lebih redup.

b. Auto/Semi auto: Kurang dianjurkan karena dalam banyak kondisi, lampu kilat auto malah dapat membingungkan. Contoh, bila dalam tabel angka yang tertera adalah f/5,6 dan f/11, maka anda sedikit banyak akan bingung bila harus memilih bukaan f/8. Bukan mustahil digunakan, memang, namun sepertinya akan lebih mudah bila menggunakan fasilitas manual saja daripada mengandalkan auto dalam kondisi-kondisi semacam itu. Namun masih ada beberapa tips:

• Pasang diafragma pada angka yang dianjurkan di tabel. • Gunakan bukaan diafragma tersebut untuk mencari kecepatan rana dengan

mengukur latar belakang. • Jaga jarak anda dengan objek sejauh maksimal tiga meter (seperti yang

dijelaskan sebelumnya). c. TTL:

64

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Sederhananya, anda hanya perlu mengukur pencahayaan latar belakang sejauh masih dalam batas sinkron kilat. Setelah itu lampu kilat akan menyesuaikan sendiri dengan diafragma yang dipakai. Sekedar anjuran, biasanya teknik fill in dengan meng-underexpose-kan cahaya lampu kilat sebanyak 1/2 - 1 stop akan memberikan hasil yang lebih baik. Dengan lampu kilat manual, anda bisa menambah sedikit jarak anda dari objek sebanyak satu-dua meter atau dengan memperkecil bukaan diafragma sebanyak satu stop atau dengan menempelkan tisu atau kertas kalkir pada fresnel lens (untuk mengurangi intensitas cahaya yang dikeluarkan). Pada lampu kilat auto, mungkin satu-satunya cara yang praktis adalah dengan memperkecil bukaan diafragma sebanyak satu stop dari yang dianjurkan pada tabel. Sedangkan pada lampu kilat TTL, unit lampu kilat mutakhir menyediakan fasilitas kompensasi pencahayaan lampu kilat yang bisa diatur sesuai kebutuhan. Satu hal lagi, teknik fill in (dan juga teknik-teknik lampu kilat lainnya) tidak terbatas pada pemotretan manusia saja. Perhatikan contoh foto bunga di kanan ini: IV.3. Slow Sync. Lengkapnya: Slow Synchronization. Atau dikenal juga sebagai sinkron lambat (dengan kecepatan rana rendah – dibawah 1/30 detik). Mungkin bisa dikatakan bahwa ini adalah teknik fill in bila cahaya sekitar (ambient lighting) sangat rendah/redup. Seperti pemotretan dengan latar belakang suasana kota di waktu malam. Atau dalam pemotretan panggung seperti pada gambar dikanan. Pada foto ini, bila pemotretan dilakukan tanpa menggunakan sinkron lambat, latar belakang (penonton yang berdesakan) tidak akan terekam dalam film (gelap). Namun dengan memberikan waktu lebih lama untuk film agar tercahayai (dengan kecepatan rana rendah), maka detail di bagian latar lebih jelas terlihat, bercampur dengan blur gerakan-gerakan cepat (kombinasi antara cahaya lampu kilat yang menghentikan gerakan dengan efek kecepatan rana rendah). Inti penjelasan ini adalah mencari pencahayaan latar belakang terlebih dahulu sebelum memotret dengan lampu kilat. Tidak jarang, penggunaan tripod menjadi suatu keharusan.

65

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Untuk lebih jelasnya perhatikan dua contoh dibawah ini:

Foto di sebelah kiri menggunakan sinkron kilat normal pada kamera (1/250). Sedangkan foto di sebelah kanan menggunakan kecepatan rana yang disesuaikan dengan latar belakang (15 detik (!) pada f/11 – diafragma dipasang kecil dengan kalkulasi GN). Pastilah dalam pemotretan seperti ini, penggunaan tripod menjadi keharusan. Namun dengan memberi kesempatan bagi cahaya untuk “mengalir masuk” lebih lama, dapat kita lihat bahwa latar belakang pada foto sebelah kanan terlihat lebih jelas. Dibawah ini akan diberikan langkah-langkah penggunaan teknik ini sesuai dengan jenis lampu kilat yang dipakai. a. Manual: Penggunaannya tidak dianjurkan karena unit ini melepas total semua dayanya (jarak dekat = bukaan diafragma kecil). Sedangkan dalam pemotretan pada kondisi cahaya lemah biasanya bukaan diafragma diusahakan untuk sebesar mungkin. Misalnya: Anda mengukur latar belakang dan mendapat kombinasi f/2,8 pada 1/15 detik. Bila menggunakan lampu kilat manual dengan GN 22, maka objek anda harus berada pada jarak sekitar 8m. Bila anda ingin objek berada dalam jarak 2m (dengan diafragma f/11) maka kecepatan rana yang harus dipakai menjadi 1 detik. Terlalu rendah untuk pemotretan handheld (kecuali bila anda memang ingin mendapatkan efek blur atau bila memakai tripod). Namun biarpun demikian, dibawah ini masih ada beberapa trik yang bisa dipakai: • Ukur kecerahan latar belakang terlebih dahulu. Katakanlah dengan ISO 100

anda mendapatakn kombinasi 1/8 detik dengan f/4. Bila anda ingin tetap mempertahankan bukaan diafragma dan jarak anda dengan objek, (2m, 1/8 detik, f/4, GN22 - misalnya) maka mau tidak mau anda harus menjauhkan lampu kilat manual anda dari objek sejauh 3,5m ke belakang anda (GN22 : f/4 = 5,5m).

66

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

• Atau bila poin diatas dirasakan terlalu merepotkan (memang!), ganti dengan lampu kilat dengan GN 8 (kalau ada). Intinya, sedapat mungkin kurangi kecerahan pancaran cahaya lampu kilat anda (bisa dengan melapisi fresnel lens dengan beberapa lembar kertas tisu dsb).

• Atau bila anda (sengaja atau kebetulan) membawa tripod, pasang kecepatan rana di B, diafragma f/11 (untuk mempertahankan jarak 2m tadi) dan lakukan braket kecepatan rana mulai dari 1 detik, 2, 4, 8 , 15 detik dst... (Perhatikan!: Bukan dari 1, 1/2, 1/4 dst). Tentu saja bila menggunakan kecepatan rana serendah itu tanpa menggunakan tripod, maka akan ada dua blur yang terekam pada hasil foto anda. Pertama, blur dari objek yang bergerak dan, kedua, blur dari gerakan anda sendiri.

b. Auto/SemiAuto: Garis besar penggunaan lampu kilat jenis ini hampir sama dengan teknik direct flash. Namun kecepatan rana yang dipakai menyesuaikan dengan kecerahan latar belakang dengan angka diafragma dan skala jarak yang dianjurkan pada tabel di punggung lampu kilat. c. TTL: Bisa dikatakan sangat mudah. Ukur kecerahan latar belakang untuk mendapatkan kombinasi pencahayaan dan lampu kilat akan menyesuaikan sendiri dengan bukaan diafragma dan ISO yang dipakai. Tetapi perlu diingat bahwa bila menggunakan bukaan diafragma yang besar (f/1,4; f/2; f/2,8 dst...) dan/atau dengan menggunakan ISO tinggi, akan sangat memungkinkan terjadinya over exposure bila pemotretan dilakukan dalam jarak dekat. IV.4. Bounce Flash. Bounce Flash (lampu kilat pantul) adalah teknik pencahayaan lampu kilat tidak langsung (indirect flash) untuk mendapatkan hasil cahaya yang lunak, menyebar/merata dan natural. Singkatnya, teknik ini dilakukan dengan mengarahkan kepala lampu kilat keatas langit-langit (atau kesamping pada dinding) untuk memantulkan cahaya lampu kilat menuju objek. Teknik ini sangat umum digunakan dalam pemotretan di dalam ruangan karena menghasilkan kualitas cahaya yang kurang-lebih sama dengan yang dilihat oleh mata manusia

67

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

(yang terbiasa dengan arah datang cahaya dari atas). Tetapi untuk menerapkan teknik ini, anda sebaiknya mempunyai lampu kilat dengan bagian kepala yang dapat diputar (tilt, swivel atau kedua-duanya lebih baik), langit-langit atau dinding (atau papan putih, karton, styrofoam dsb) sebagai bidang pantul dan lensa dengan diafragma maksimum yang cukup besar atau ISO yang cukup tinggi. Namun teknik ini juga memiliki beberapa kelemahan-kelemahan. Diantaranya adalah bidang pantul yang dipakai tidak bisa berada terlalu jauh dari posisi objek. Tambahan lagi, warna bidang pantul akan dapat mempengaruhi warna cahaya yang menimpa objek foto anda (bidang pantul berwarna biru - misalnya - akan memantulkan cahaya kebiru-biruan pada objek). Selain itu, pemotretan dalam jarak dekat (dengan sudut kepala lampu kilat 90 derajat) akan menghasilkan daerah bayangan di bagian leher dan mata objek yang cukup pekat (lihat foto kiri diatas - hal ini dapat dihindari dengan menggunakan bounce card sebagai cahaya pengisi dari arah depan). Hal-hal lain yang tak kalah penting diantaranya adalah lebih boros baterai - karena lampu kilat harus bekerja lebih lama dalam memancarkan cahayanya - dan membutuhkan bukaan diafragma yang lebih besar daripada pemotretan secara langsung (2-3 stop atau bahkan lebih). Lalu perlu diperhatikan pula bahwa sudut arah pancar cahaya yang diatur dengan seberapa jauhnya kepala lampu kilat mendongak/menoleh akan mempengaruhi arah dan sudut datangnya cahaya ke objek. Bila objek berada cukup dekat (+/- 1 m) dari anda, dan anda mengangkat kepala lampu kilat sebanyak 45º keatas, hampir bisa dipastikan bahwa cahaya lampu kilat akan jatuh di belakang objek anda (untuk kasus ini, sudut bounce sebanyak 90º/tegak lurus keatas akan menghasilkan cahaya yang jatuh pada objek). Pengetahuan akan salah satu teori dasar fisika (sudut datang = sudut pantul) akan sangat membantu dalam mengaplikasikan teknik ini dalam memperkirakan dimana cahaya akan jatuh dari bidang pantulnya. Tetapi semua kerugian dan keruwetan tersebut tentunya tidak akan menghalangi anda untuk mencoba, terlebih lagi bila anda melihat apa yang mampu dihasilkan oleh teknik ini. Karena itulah akan dijelaskan berikut ini: a. Manual. Penghitungan GN diberlakukan disini dengan catatan bahwa: Jarak yang diukur bukan jarak dari anda (kamera) dengan objek, melainkan jarak tempuh cahaya dari lampu kilat menuju bidang pantul dan dari bidang pantul menuju objek. Misalkan jarak anda dengan objek adalah 1 meter. Anda dan objek berdiri dibawah eternit yang jaraknya dua meter dari kepala anda. Maka penghitungan GN untuk mencari bukaan diafragma yang dipakai adalah GN : 4m (2m ke atas dan 2m kebawah). Bila GN lampu kilat anda adalah 16, maka bila pemotretan dengan teknik direct flash membutuhkan f/16, dengan teknik bounce anda membutuhkan f/4. Perbedaan sebanyak 4 stop dari sebelumnya.

68

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

b. Auto/Semi Auto. Tidak dianjurkan untuk menggunakan fasilitas auto dalam teknik ini karena sensor thyristor dikhawatirkan akan "kebanjiran" cahaya yang menyebar karena dipantulkan dari atas (dan membuatnya menghentikan kerja lampu kilat secara prematur = under exposure). Mungkin akan lebih baik bila anda mematikan fasilitas ini (atau dengan menutup lubang sensor thyristor dengan lakban) dan menggunakan fasilitas dan penghitungan secara manual saja. c. TTL. Pada teorinya menggunakan fasilitas TTL dalam teknik bounce flash akan sangat memudahkan karena durasi lampu kilat diatur secara otomatis sesuai dengan kadar cahaya yang diterima sensor lampu kilat di dalam kamera. Tetapi dalam kenyataannya, beberapa tipe kamera dan lampu kilat TTL tertentu cenderung berlaku seperti pemotretan dengan fasilitas Auto/Semi Auto dan menghasilkan foto yang under exposure. Karena itulah, bila anda tidak yakin dan mengetahui dengan pasti kemampuan kamera dan lampu kilat TTL anda, anda dianjurkan untuk mengubah setting lampu kilat menjadi manual. Sekedar tambahan, foto still life di kanan ini hanya menerapkan teknik bounce flash ke langit-langit. Perhatikan kualitas cahaya pada objek fotonya.

Lalu, foto di kiri dibuat dengan memanfaatkan pantulan cahaya lampu kilat dari dinding yang terletak di depan objek (sebelah kanan dari kamera). Bisa dilihat bahwa kualitas cahaya yang dihasilkan hampir terlihat seperti bila memakai set lampu studio.

69

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Teori Pencahayaan II. Marilah kita berandai-andai sejenak... Seandainya saja setiap kondisi pemotretan yang anda temui selalu berupa kondisi ideal dimana matahari bersinar cerah sehingga anda mendapatkan kombinasi kecepatan rana dan bukaan diafragma yang ideal, cahaya yang jatuh secara merata pada objek, latar depan dan latar belakang anda, momentum yang benar-benar pas…

Tetapi cepat atau lambat, apakah itu berdasarkan pengalaman (trial and error) ataukah berdasarkan pengetahuan, anda akan dihadapkan pada kondisi pencahayaan yang – paling tidak – kurang dari ideal. Sayangnya, kondisi-kondisi seperti ini sering luput dari pengamatan si pemotret sampai akhirnya ia mendapatkan hasil akhir yang sangat mengecewakan. Atau mungkin anda pernah membuat sebuah foto dimana objek anda berdiri di depan gedung megah bercat putih untuk kemudian menemukan bahwa hasil pemotretan anda under exposure? Hal-hal seperti inilah yang akan kita bahas kali ini. Dan tentu saja, apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Baiklah, kita mulai dari:

I. Bilamana Light Meter “Tertipu”? I.a. Dalam Kondisi Pencahayaan Sulit. Berikut ini diberikan dua contoh kondisi pencahayaan sulit yang cukup sering ditemui:

• Latar belakang terlalu gelap. Dalam situasi yang sering dijumpai dalam pemotretan panggung – misalnya – anda dihadapkan pada kondisi dimana si tokoh, apakah itu tokoh teater, band, wayang orang dan sebagainya, bermandikan cahaya sedangkan latar belakang nyaris gelap total. Apabila anda hanya sekedar mengikuti “petunjuk” dari pengukur cahaya pada kamera, kemungkinan anda akan mendapat hasil seperti contoh di sebelah kanan.

Ini terjadi karena pengukur cahaya memilih kecepatan rana yang terlalu lambat sehingga terjadi pencahayaan berlebih (over exposure) dan gambar yang “goyang” (blur) yang disebabkan oleh bergetarnya kamera (atau objek fotonya yang bergerak).

70

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

• Latar belakang terlalu terang. Kebalikan dari situasi pertama. Disini latar belakang yang terlampau cerah juga akan “menipu” pengukuran light meter kamera anda. Seperti terlihat pada foto di sebelah kanan.

Disini, pengukur cahaya memilih kecepatan rana yang terlalu tinggi (atau bukaan diafragma yang terlalu kecil) mengakibatkan foto kekurangan cahaya (under exposure). I.b. Dengan Warna Dominan Pada Latar Belakang. Warna dominan pada latar belakang juga dapat mempengaruhi hasil pengukuran cahaya. Seperti dalam contoh-contoh dibawah ini.

• Dengan warna latar belakang hitam.

Bila warna latar belakang objek anda dominan hitam (atau warna-warna gelap lainnya), bila anda terus mengikuti pengukuran light meter, maka kemungkinan besar akan memberikan hasil seperti di sebelah kanan.

Over exposure yang terjadi pada foto disebelah kanan menunjukkan bahwa pengukur cahaya “tertipu” oleh warna latar belakang. Bila dalam pemotretan panggung latar belakangnya memang gelap karena tidak mendapat cahaya, maka dalam contoh ini objek dan latar belakangnya sama-sama mendapat cahaya yang sama terangnya.

• Dengan warna latar belakang putih.

Sebaliknya, bila warna latar belakang dominan putih (atau warna-warna terang lainnya) maka hasil disebelah kanan kemungkinan besar akan anda dapatkan bila hanya mengikuti pengukuran light meter.

Warna cerah (yang memantulkan lebih banyak cahaya) juga berpotensi “menipu” pengukur cahaya. Dalam contoh foto merak, latar belakangnya memang benar-benar terlalu terang (langit) namun contoh foto still life ini menggunakan latar belakang karton putih dan kedua-duanya (objek dan latar) mendapat cahaya yang sama.

71

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Bila dalam pembahasan teori pencahayaan sebelumnya anda dianjurkan untuk mengikuti apa yang disarankan oleh pengukur cahaya pada kamera anda, maka pada pembahasan kali ini, anda dianjurkan untuk tidak mempercayainya begitu saja. Namun untuk memahami mengapa hal-hal seperti ini bisa terjadi, terlebih dulu anda harus memahami tentang bagaimana pengukur cahaya di kamera bekerja dan berbagai tipe-tipe (pola-pola) pengukuran cahaya beserta karakteristiknya masing-masing.

II. Pola-pola Pengukuran Light Meter. Tanpa menjadi terlalu teknis, secara umum ada tiga macam pengukur cahaya, yaitu: pembebanan terpusat (centerweighted metering), titik (spot metering) dan multi pola (multi pattern/segmented metering). Berikut ini akan dipaparkan secara ringkas ketiga macam pengukur cahaya diatas. Pada kamera-kamera mekanis manual, pola light meter yang umum dipakai adalah pola pembebanan terpusat dimana sensitivitas light meter dipusatkan di tengah-tengah bidang pandang pada viewfinder dan menyebar hingga ke pinggir bidang gambar. (Untuk mengetahui apakah kamera anda memiliki pola pengukuran seperti ini atau tidak, arahkan kamera anda ke sumber cahaya tunggal (lampu kamar, misalnya) lalu gerakkan ke kiri dan kekanan perlahan-lahan. Bila indikator pengukuran di dalam viewfinder berubah secara perlahan maka kamera anda memiliki pengukur cahaya seperti ini). Lalu ada satu macam pola yang membatasi daerah sensitifnya hanya ditengah-tengah bidang pandang viewfinder. Pola ini umumnya disebut dengan spot atau partial metering. Perbedaan utama antara keduanya adalah wilayah pengukuran pada spot lebih kecil sehingga lebih memudahkan untuk mengukur cahaya secara detil. (Dengan mengambil metode pengujian mengarahkan kamera ke lampu kamar seperti diatas, maka jarum (atau lampu) indikator hanya akan bergerak (atau menunjukkan tanda plus) apabila letak sumber cahaya persis di tengah-tengah bidang gambar). Menarik untuk diketahui bahwa beberapa kamera, khususnya kamera AF – Auto Fokus – mutakhir dengan beberapa sensor penajaman gambar (seperti Nikon F6, Canon EOS 1V, Minolta Maxxum 9 dan lain-lain), sekarang ini mempunyai beberapa titik pengukuran spot yang dapat dipilih dan terhubung dengan sensor-sensor penajaman gambar pada kamera yang bersangkutan.

Pola pengukuran centerweighted metering. Sensitivitas pengukuran dipusatkan di tengah dan menyebar hingga ke pinggir bidang pandang.

Pengukuran spot metering. Uumumnya wilayah pengukuran dibatasi hanya di bagian tengah bidang pandang viewfinder.

Pola pengukuran multi pattern (segmented, matrix) metering

72

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Pola pengukuran ketiga adalah multi pattern metering (juga disebut sebagai multi segment, segmented, matrix dll). Umumnya ditemui pada kamera-

kamera AF (Auto Fokus) walaupun tidak selalu demikian. Pada pengukuran dengan sistem ini, bidang pandang viewfinder dibagi-bagi dalam beberapa daerah (zona/segmen) yang memberikan data pencahayaan di daerah pengukurannya masing-masing. Setelah itu, seluruh data pengukuran dikalkukasikan agar mendapatkan kombinasi rana dan diafragma yang sesuai. Contoh diatas diilhami dari pola pengukuran Nikon FA, kamera pertama yang menerapkan pengukuran ini di tahun 1983. Produsen-produsen kamera lain dengan cepat mengadopsi sistem ini dengan menerapkan pola yang berbeda-beda antara satu produsen dengan produsen lainnya. Biarpun – tentu saja – nama yang diberikan dari masing-masing produsen untuk metode pengukuran ini berbeda-beda satu sama lain, tetapi pada dasarnya konsep yang dipakai tetaplah sama.

Ketiga macam sistem pengukuran cahaya ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Centerweighted metering umumnya lebih mudah digunakan dan dipahami tetapi tidak begitu efektif dalam kondisi pencahayaan yang sulit. Spot metering mampu mengukur daerah spesifik dari objek namun harus digunakan dengan lebih teliti dan menuntut kejelian fotografer untuk menentukan bagian mana yang akan diukur pencahayaannya. Multi pattern metering secara kuantitatif sedikit lebih mampu memberikan hasil pengukuran yang lebih akurat namun – karena begitu computerized-nya – tidak memberi informasi kepada fotografer daerah pengukuran yang mana yang diambil sebagai acuannya.

Dalam beberapa ilustrasi berikut, akan digambarkan bagaimana tiap-tiap pengukur cahaya bekerja.

II.1. Centerweighted Metering.

Dibawah ini adalah sebuah foto merak dengan kondisi cahaya tipikal (rata-rata, kontras rendah dan tidak terdapat perbedaan kecerahan dalam satu bagian bidang gambar dengan bagian lainnya). Kondisi seperti ini dapat dengan mudah ditangani oleh pengukuran terpusat (centerweighted) sebagaimana terlihat dalam ilustrasi disebelahnya.

Namun pola pengukuran terpusat dapat dengan mudah tertipu bila berhadapan dengan kondisi seperti pada foto-foto di bagian awal tulisan ini.

73

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Pada pemotretan panggung (sekali lagi, untuk menyebut salah satu keadaan pencahayaan sulit) dimana terdapat perbedaan kecerahan dan kekontrasan yang sangat jauh antara objek dengan latar sebagaimana tergambar dalam tiga seri foto diatas, dapat dilihat bahwa pola pengukuran centerweighted mempunyai bidang sensitivitas yang terlampau besar. Ia tak hanya mengukur cahaya yang jatuh pada sang aktor tetapi juga “membaca” daerah latar belakang (yang tidak tercahayai) dan membuatnya mengira bahwa diperlukan kecepatan rana yang lebih rendah atau bukaan diafragma yang lebih besar dari yang sebenarnya dibutuhkan. Apa yang terjadi bila si pemotret mengikuti begitu saja apa yang diusulkan oleh pengukur cahaya ini dapat dicermati dalam gambar di sebelah kanan (dimana foto sang aktor menjadi kelebihan cahaya – over exposure – dan goyang karena kecepatan rana yang dipakai terlalu rendah). Dalam seri foto still life sebelumnya, warna latar belakang yang hitam (atau warna-warna gelap lainnya) juga menipu pengukuran light meter walaupun baik latar maupun objeknya menerima intensitas cahaya yang sama. Anda dapat melihatnya lewat ilustrasi dibawah ini.

Hal yang sebaliknya dapat terjadi bila berhadapan dengan keadaan latar belakang yang terlalu cerah seperti yang diilustrasikan oleh tiga buah foto dibawah ini.

74

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Bisa dilihat bahwa keadaan seperti ini juga mampu “menipu” pengukuran centerweighted dimana pengukur cahaya “membaca” latar belakang yang sangat cerah sehingga – menurutnya – dibutuhkan kecepatan rana yang lebih tinggi atau bukaan diafragma yang lebih kecil dari yang dibutuhkan. Hal ini menyebabkan foto yang dihasilkan – bila hanya menuruti pengukuran centerweighted – akan kekurangan cahaya (under exposure).

Dengan masih mengacu kepada foto still life sebelumnya, hal yang serupa terjadi karena warna latar belakang yang putih. Namun hal ini juga berlaku untuk warna-warna cerah lainnya.

Dalam hal foto teater (di halaman sebelumnya) dan merak (di halaman ini), “senjata” terbaik untuk menghadapinya adalah dengan menggunakan spot metering. Dengan spot metering cahaya dapat diukur hanya pada bagian yang paling penting (sang aktor dalam foto teater dan merak dalam foto diatas) tanpa melibatkan latar belakang sama sekali. Namun apabila di kamera anda tidak terdapat fasilitas ini maka ada tiga cara lain yang bisa diterapkan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.

• Cara pertama dikenal dengan istilah pengukuran jarak dekat (close up reading) dengan mendekati objek foto hingga memenuhi bidang pandang viewfinder dan lalu melakukan pengukuran cahaya. Setelah itu mundur kembali dan melakukan pemotretan tanpa mengubah-ubah kombinasi kecepatan rana dan bukaan diafragma. Hal ini harus tetap dipertahankan sekalipun pengukur cahaya dalam kamera memberikan informasi yang berbeda dari sebelumnya (karena telah terpengaruh oleh perbedaan kecerahan pada latar belakang).

75

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

• Cara kedua adalah dengan menerapkan kompensasi pencahayaan. Cara ini sebenarnya adalah “menipu kembali” light meter dengan memakai pengukur cahaya hanya sebagai acuan untuk kemudian dengan sengaja mengubah setting kecepatan rana atau bukaan diafragma dari yang diusulkan oleh pengukur cahaya. Perlu diingat bahwa dalam pemotretan panggung (untuk menyebut satu contoh) perbedaan kecerahan antara objek yang disinari oleh lampu sorot dengan latar belakang yang remang-remang (atau bahkan gelap sama sekali) bisa mencapai 2-3 stop atau lebih. Hal yang sama juga berlaku dalam foto dengan latar belakang yang cerah/terang26.

Kompensasi pencahayaan dari kedua contoh diatas dilakukan dengan menambah kecepatan rana atau mengecilkan bukaan diafragma (pada contoh pemotretan teater) dan mengurangi kecepatan rana atau membesarkan bukaan diafragma (pada foto merak diatas pohon) dari yang diusulkan oleh pengukur cahaya. Untuk mengetahui secara tepat berapa stop perubahan yang harus dilakukan sangat tergantung dari pengalaman memotret pada keadaan-keadaan seperti tadi. Namun sebagai titik awal, dalam memotret panggung, pasanglah kecepatan rana sebanyak 2 hingga 3 stop under dari pengukuran light meter27 (2 hingga 3 stop diatas pengukuran centerweighted). Kebalikannya, bila menemukan kondisi dimana latar belakang lebih cerah dari objek, pasanglah kecepatan rana atau bukaan diafragma sebanyak 2 stop over (+2 stop) dari pengukuran normal28.

Sebagai tips, cara lain yang dapat dipakai dalam kompensasi pencahayaan adalah dengan “memalsukan” angka ASA/ISO pada selektornya. Bila kompensasi dilakukan dengan minus 3 stop – seperti dalam pemotretan panggung, dan anda menggunakan film ASA/ISO 400, misalnya, maka geserlah selektor ASA/ISO menjadi 3200. Kebalikannya bila kompensasi plus 2 stop maka selektor ASA/ISO diubah menjadi 100. Kelebihan dari cara ini adalah anda tinggal memakai pengukuran light meter tanpa harus berkutat lagi dengan mengubah-ubah kecepatan rana atau bukaan diafragma.

• Cara ketiga adalah dengan apa yang dinamakan bracketting. Bracketting maksudnya adalah mengulang-ulang pemotretan yang sama dengan mengubah-ubah kombinasi kecepatan rana atau diafragma untuk mendapatkan variasi hasil pemotretan.

Dari kedua teknik diatas, close up reading lebih mampu memberikan hasil yang lebih akurat namun ia baru bisa digunakan apabila si pemotret mampu mendekati objek fotonya untuk melakukan pengukuran. Sedangkan apabila objek foto tidak bisa didekati, maka kompensasi pencahayaan atau spot metering adalah jawabannya.

II.2. Spot Metering.

26 Berapa stop perbedaan kecerahan disini (baik dengan latar belakang terang atau gelap), bisa lebih atau kurang dari yang disebutkan tergantung dari kondisi cahaya di lokasi dan tingkat kecerahan latar belakang yang dihadapi 27 Pemotretan panggung sebaiknya tidak mengecilkan bukaan diafragma dari maksimum karena biasanya yang diprioritaskan adalah bagaimana mendapat kecepatan rana yang setinggi mungkin, 28 Perlu diingat bahwa besarnya perbedaan stop ini adalah sebagai titik awal atau acuan, bukan sebagai aturan baku.

76

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

Spot metering telah diuraikan sebagian dalam ulasan mengenai centerweighted metering diatas. Namun penggunaannya tidak hanya terbatas dalam pemotretan panggung. Dalam pemotretan nature atau outdoor ia juga bisa sangat berguna seperti dua contoh foto berikut: Dalam foto bunga di sebelah kanan ini, amatilah latar belakang yang lebih gelap dimana pengukuran dengan centerweighted metering dapat memberikan hasil yang tidak akurat. Disini dengan spot metering hanya mahkota bunga yang diukur pencahayaannya untuk kemudian mengatur ulang komposisi dengan kombinasi kecepatan rana dan diafragma dari pengukuran spot. Dapat kita lihat bahwa dengan spot metering hasil yang didapat akan lebih tepat namun kita masih harus mengatur ulang komposisi setelah pengukuran. Selain itu, spot metering juga menuntut pemakainya untuk benar-benar mengetahui bagian mana dari objek yang harus diukurnya.

II.3. Multi Pattern Metering. Pengukuran multi pola lahir dari perkembangan teknologi komputer yang diterapkan pada kamera. Pola dalam ilustrasi di bawah ini diilhami dari pola pengukuran pada kamera Nikon FA, kamera pertama yang menerapkannya di tahun 1983. Dalam ilustrasi tersebut dapat dilihat bahwa masing-masing segmen melakukan pengukuran cahaya sendiri-sendiri yakni di bagian tengah (wajah objek), kiri dan kanan atas (kepala objek) dan kiri serta kanan bawah (leher dan bahu objek). Setelah masing-masing segmen melakukan pengukuran, maka hasil dari tiap-tiap segmen tadi dikalkulasikan di otak komputer (CPU – Central Processing Unit) kamera untuk menentukan kecepatan rana dan bukaan diafragma yang ideal. Dengan komputerisasi inilah maka pola semacam ini dapat mendeteksi apabila terdapat latar belakang yang sangat cerah (backlight, seperti dalam contoh) atau sebaliknya. Karena itu bila dibandingkan dengan pengukuran

77

© Yulian Ardiansyah 2004 Materi ini dibuat untuk diklat fotografi tingkat dasar di SPEKTRUM Unpad dan

hanya untuk digunakan di dalam lingkungan SPEKTRUM Dilarang memperbanyak materi ini dengan cara dan tujuan apapun tanpa izin tertulis dari penyusun

DIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUMDIKTAT FOTOGRAFI SPEKTRUM

centerweighted, pola seperti ini mampu memberikan hasil yang lebih baik walaupun dalam pengujian dan kenyataan sehari-hari perbedaan yang ada tidaklah terlalu signifikan. Dari segala keuntungan yang ditawarkannya, pola ini memiliki kelemahan yang cukup besar terutama bagi fotografer yang berpengalaman. Pengukuran macam ini tidak memberi tahukan kepada fotografer bagian mana yang menjadi patokan pengukurannya dan terkadang juga masih bisa tertipu oleh kondisi-kondisi pencahayaan sulit. III. Penutup Pendek kata, tidak ada gading yang tak retak. Hal ini pun berlaku dalam beberapa tipe pengukur cahaya sebagaimana telah diuraikan diatas. Tidak ada satupun pola pengukuran yang benar-benar ideal. Semuanya tergantung kepada fotografer untuk menganalisa keadaan dan kemudian memilih pola pengukuran cahaya yang paling tepat. Bisa dikatakan disini bahwa untuk situasi “normal” dimana tidak ada perbedaan kecerahan dan kekontrasan yang besar antara objek, latar depan dan latar belakang, penggunaan centerweighted maupun multi pattern metering memberikan hasil yang sama atau tidak jauh berbeda. Perbedaannya adalah multi pattern metering lebih adaptatif terhadap kondisi pemotretan yang menuntut kecepatan. Namun penggunaan kedua jenis light meter ini tidak direkomendasikan bila berhadapan dengan kondisi-kondisi pencahayaan yang sulit dimana ketelitian pengukuran (yang mampu diberikan oleh spot metering) menjadi prioritas utama.


Recommended