+ All Categories
Home > Documents > Anestesi Fixed.docx.

Anestesi Fixed.docx.

Date post: 01-Sep-2015
Category:
Upload: apaelongan
View: 238 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
Description:
Anestesi Fixed.docx.
Popular Tags:
23
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hubungan yang signifikan antara kadar albumin yang rendah dengan peningkatan resiko komplikasi infeksi, lama rawat inap / LOS (Length Of Stay) di rumah sakit, tingkat kematian pada pasien baik pasien yang tidak memerlukan pembedahan maupun pasien pasca bedah 1 . Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma, sekitar 60% dari total plasma protein, dengan nilai normal 3,5 – 5 g/dl 2 albumin berkontribusi 66% - 75% pada tekanan osmotic koloid plasma 3 . Serum albumin merupakan salah satu parameter penting dalam pengukuran status gizi pada penderita dengan penyakit akut maupun kronik. Peran albumin semakin penting disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain keadaan hipoalbuminemia atau hipoproteinemia yang merupakan faktor penyulit pada tindakan bedah dan anestesi. Hipoalbuminemia sering dijumpai pada pasien dengan pra bedah, masa recovery atau pemulihan setelah tindakan operasi ataupun dalam proses penyembuhan. Selain itu albumin dapat digunakan sebagai prediktor terbaik harapan hidup penderita. Hati merupakan organ sintesis protein albumin dan globulin, pada keadaan normal albumin dibentuk oleh hati. 1
Transcript

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hubungan yang signifikan antara kadar albumin yang rendah dengan peningkatan resiko komplikasi infeksi, lama rawat inap / LOS (Length Of Stay) di rumah sakit, tingkat kematian pada pasien baik pasien yang tidak memerlukan pembedahan maupun pasien pasca bedah 1.

Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma, sekitar 60% dari total plasma protein, dengan nilai normal 3,5 5 g/dl 2 albumin berkontribusi 66% - 75% pada tekanan osmotic koloid plasma 3. Serum albumin merupakan salah satu parameter penting dalam pengukuran status gizi pada penderita dengan penyakit akut maupun kronik. Peran albumin semakin penting disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain keadaan hipoalbuminemia atau hipoproteinemia yang merupakan faktor penyulit pada tindakan bedah dan anestesi. Hipoalbuminemia sering dijumpai pada pasien dengan pra bedah, masa recovery atau pemulihan setelah tindakan operasi ataupun dalam proses penyembuhan. Selain itu albumin dapat digunakan sebagai prediktor terbaik harapan hidup penderita.

Hati merupakan organ sintesis protein albumin dan globulin, pada keadaan normal albumin dibentuk oleh hati. Bila fungsi hati terganggu maka pembentukan albumin juga terganggu sehingga tekanan koloid osmotik berkurang. Konsentrasi albumin yang rendah dapat mempengaruhi farmakodinamik obat anestesi dan menurunkan volume distribusi beberapa obat anestesi 4. Hipoalbuminemia juga berhubungan dengan penurunan volume plasma, oleh karena itu nutrisi dan terapi cairan perioperatif pada pasien dengan hipoalbumin harus diperhatikan untuk mencapai hasil yang optimal dari operasi. Tujuannya mengurangi morbiditas operasi diantaranya infeksi luka operasi, penyembuhan luka yang lambat, pneumonia dan sepsis.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hipoalbuminemia?

2. Bagaimana manifestasi klinis pasien dengan hipoalbuminemia?

3. Bagaimana penanganan pasien dengan hipoalbuminemia?

1.3 Tujuan Penulisan

Mengetahui dan memahami keadaan hipoalbumin serta dapat megetahui penanganan yang tepat pada pasien hipoalbumin.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Hipoalbumin adalah penurunan konsentrasi albumin dalam sirkulasi yang menyebabkan pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler 5. Albumin merupakan protein utama dalam plasma yang membentuk 60% dari protein plasma total dan dikatakan hipoalbumin bila kadar albumin kurang dari 3,5 g/dl 2. Albumin juga merupakan indikator status gizi dengan adanya penurunan protein makanan akan tercermin dalam kadar albumin serum dan konsentrasi yang sangat rendah dijumpai pada malnutrisi karena kelaparan atau malabsorpsi 5.

2.2 PATOFISIOLOGI

Beberapa mekanisme berbeda dapat menyebabkan penurunan kadar albumin, namun yang tersering adalah penurunan produksi albumin yang disintesis di hati.

A. Penurunan Sintesis Albumin

Pasien dengan penyakit hati yang parah seperti sirosis dan hepatitis kronis dapat menyebabkan penurunan secara drastis kapasitas sel-sel parenkim hati dalam membentuk protein. Cairan asites pada sirosis berasal dari transudat yang merembes dari permukaan peritoneum dan kapsul hati akibat sumbatan pembuluh-pembuluh limfe hati akibat jaringan parut fibrosa hepatic pada sirosis. Cairan yang tertimbun ini dapat mencapai literan dan protein utamanya adalah albumin. Ini menyebabkan berkurangnya simpanan albumin tubuh yang dapat memperparah hipoalbunemia yang sudah ada 5.

B. Malnutrisi

Albumin merupakan indikator status gizi, agar sel-sel hati normal dapat membentuk dan mengeluarkan albumin dalam jumlah besar, maka asupan protein makanan serta zat-zat gizi essensial lainnya harus cukup. Kadar albumin dengan konsentrasi yang rendah dapat dijumpai pada penurunan protein makanan. Pasien-pasien yang rentan terhadap malnutrisi, terutama yang terkait dengan hipoalbuminemia adalah: hipermetabolisme akibat stress (penyakit, infeksi, tindakan medik dan bedah), pasien DM terutama dengan ulkus dan gangren, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, penyakit saluran cerna, perioperatif, kasus bedah digestif, keganasan, anoreksia nervosa, luka bakar, geriatri dan penyakit-penyakit kronis. Sehubungan dengan kondisi klinisnya, seringkali penderita tidak dapat mengkonsumsi makanan yang diberikan kepadanya, atau makanan yang dikonsumsinya tidak mencukupi kebutuhannya 6.

C. Sindrom Nefrotik

Gambar 1: Sindrom Nefrotik

Pada kasus sindrom nefrotik, pengeluaran protein yang sangat cepat dapat menyebabkan timbulnya edema yang luas. Mekanisme keluarnya albumin melalui urine adalah peningkaan permeabilitas di tingkat glomerulus yang menyebabkan protein lolos ke dalam filtrate glomerulus, konsentrasi protein ini melebih kemampuan sel-sel tubulus ginjal mereabsorpsi dan memprosesnya. Kadar proteinuria diperkirakan bermakna untuk menilai tingkat keparahan penyakit ginjal. Pada awal penyakit, proteinuria mungkin sekitar 1-2 g/hari, namun pada sindrom nefrotik yang parah bisa mencapai 20-30 g/hari 5.

2.3 KLASIFIKASI

Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih atau jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,55 g/dl. Menurut U.S. Department of Health and Human Services Food & Drug Administration, klasifikasi hipoalbumin adalah sebagai berikut 7:

Gambar 2: Klasifikasi Hipoalbuminemia 7.

2.4 KOMPLIKASI

Pasien yang menjalani operasi berisiko mengalami malnutrisi akibat menjalani puasa, stress operasi dan peningkatan metabolisme yang terjadi. Malnutrisi akan menyebabkan gangguan pada semua sistem dan organ tubuh. Selain menurunkan daya tahan dan mempermudah infeksi, keadaan malnutrisi juga dapat menyebabkan komplikasi lain seperti luka yang sukar sembuh, oedema anasarka, gangguan motilitas usus, gangguan enzim dan metabolisme, kelemahan otot, atau hal-hal lain yang semuanya memperlambat penyembuhan pasien. Keadaan hipoalbumin pre-operatif yang tidak dikoreksi dapat menyebabkam komplikasi yang berat pasca-operatif dan berakibat fatal.

Gizi buruk, menyebabkan gangguan proses penyembuhan luka melalui proses inflamasi yang berkepanjangan dan menyebabkan waktu penyembuhan lebih lama. Hipoksia jaringan yang terjadi karena keadaan anemia dan faktor infeksi juga memperkuat berlangsungnya proses inflamasi kronis. Apabila keadaan di atas diikuti dengan pemenuhan nutrisi yang tidak adekuat, karena nutrisi merupakan bahan kebutuhan dasar bagi fungsi, kelangsungan hidup, integritas dan pemulihan sel, maka akan menurunkan kualitas penyembuhan luka dan memerlukan waktu penyembuhan lebih panjang. Optimalisasi nutrisi pada semua jenis operasi penting untuk persiapan operasi dan akan secara langsung berdampak pada proses penyembuhan luka dan peyambungan jaringan viseral sampai kulit.

2.5 PENANGANAN ANESTESI PERIOPERATIF HIPOALBUMINEMIA

Gambar 3: Terapi perioperative pada hipoalbuminemia 1.

Nutrisi perioperatif adalah nutrisi yang diberikan pada pra bedah, durante dan pasca bedah. Tujuan nutrisi perioperatif adalah untuk mencapai hasil yang optimal dari operasi dan mengurangi morbiditas operasi diantaranya infeksi luka operasi, penyembuhan luka yang lambat, pneumonia dan sepsis. Tujuan bantuan nutrisi pada pasien bedah adalah menyediakan kalori, protein, vitamin, mineral dan trace element yang adekuat untuk mengkoreksi kehilangan komposisi tubuh dan untuk mempertahankan keadaan normal dari zat-zat gizi tersebut. Salah satu kebutuhan kalori pasien bedah adalah menggunakan formulasi Harris Benedict, yang menghitung pemakaian basal energi expenditure (BEE) 9.

Gambar 4: Rumus BEE 9.

Faktor stress pada pasien bedah bervariasi, untuk bedah minor dengan operasi elektif adalah 1,0 1,2 ; pada bedah mayor 1,3 1,55.

2.5.1 Pre-Operatif

Tujuan penilaian pre-operatif pada pasien adalah untuk menentukan derajat disfungsi, menilai faktor risiko morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan tindakan operasi, sehingga penanganan pre-operatif dapat diberikan secara lebih optimal dan komplikasi pasca-operasi dapat ditekan. Penanganan faktor penyulit seperti malnutrisi dan hipoalbuminemia dan pemantauan pasca-operasi harus dilakukan secara optimal agar dapat menurunkan risiko komplikasi atau kematian pasca-operasi. Oleh sebab itu dalam memberikan penilaian preoperatif diperlukan pengumpulan dan penilaian data secara lebih teliti sehingga dapat direncanakan kapan saatnya tindakan operasi.

1. Terapi Diet

Persiapan pre bedah penting sekali untuk memperkecil risiko operasi karena hasil akhir suatu pembedahan sangat tergantung pada penilaian keadaan penderita dan persiapan preoperatif.

Makanan tinggi potein pada pasien dengan hipoalbuminemia bertujuan meningkatkan dan mempertahankan kadar albumin serta meminimalkan kemungkinan penurunan kadar albumin untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.

Kebutuhan energi pada hipoalbuminemia diupayakan terpenuhi karena apabila asupan energi kurang dari kebutuhan maka bisa terjadi pembongkaran protein tubuh untuk diubah menjadi sumber energi sehingga beresiko memperburuk kondisi hipoalbuminemia. Oleh karena itu pada pasien-pasien hypoalbumin khususnya dan pasien bedah pada umumnya di RSUP Dr Kariadi diberikan diet TKTP, kalau perlu diberikan ekstra putih telur, ekstra ikan gabus, dan atau MPT (Modisco Putih Telur). Kombinasi MPT komposisinya antara lain: agar-agar dengan variasi rasa, putih telur ayam, gula pasir, susu skim dengan berat 80 gr. Pada penelitian di RSUP Kariadi, pemberian tambahan putih telur pada diet tinggi kalori dan protein dapat memberikan pengaruh pada kadar albumin darah walaupun tidak bermakna signifikan karena masih banyak faktor lain yang mempengaruhi contohnya paruh waktu albumin metabolism makanan menjadi asam amino di dalam tubuh 8. Sedangkan pada pemberian MPT dapat dengan cepat memberikan suplai albumin dalam darah 6.

Pemberian diet pre bedah harus mempertimbangkan keadaan umum pasien, macam pembedahan (mayor atau minor), sifat operasi (segera atau elektif) dan ada tidaknya penyakit penyerta. Pengkajian status gizi pre bedah sangat diperlukan untuk menentukan perlu tidaknya dukungan nutrisi, yang dapat berupa suplementasi nutrisi oral, enteral nutrisi maupun paranteral nutrisi. Pembedahan pada dasarnya merupakan tindakan invasive yang akan merusak struktur jaringan tubuh, dimana pada masa setelah operasi terjadi suatu fase metabolisme baik anabolisme maupun katabolisme. Pasien yang menjalani operasi beresiko mengalami malnutrisi akibat menjalani puasa, stress, operasi dan peningkatan metabolisme yang terjadi 6.

2. Terapi Medis

Pasien-pasien yang rentan terhadap malnutrisi, terutama yang terkait dengan hipoalbumin seperti hipermetabolisme akibat stress (penyakit, infeksi, tindakan medik dan bedah), pasien DM terutama dengan ulkus dan gangren, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, penyakit saluran cerna, perioperatif, kasus bedah digestive, keganasan, anoreksia nervosa, luka bakar, geriatric dan penyakit-penyakit kronis lainnya oleh team medis diberikan transfusi FFP (Fresh Frozen Plasma) atau human albumin.

Pemberian albumin dapat mengoreksi hipoalbumin secara cepat dibandingankan melalui diet TKTP. Albumin yang dapat digunakan adalah albumin 20% dan 25% yang merupakan cairan hypotonic tapi hiperonkotik yang dapat meningkatkan tekanan koloid dan meminimalkan tambahan garam dan volume cairan yang diinfuskan. Keseimbangan elektrolit bisa dipertahankan secara akurat menggunakan kristaloid yang sesuai bersama dengan cairan albumin 20% 9. Pada albumin 25% artinya 100 ml albumin 25% sama dengan yang dikandung oleh protein plasma dari 500 ml plasma atau 2 unit darah utuh (whole blood). Menurut Pedoman Penggunaan Albumin RSU Dr. Soetomo, regimen dosis untuk memenuhi kebutuhan albumin dapat dihitung berdasarkan 3:

Rumus:

(albumin yang diharapkan albumin awal pasien) x BB x 0,8 g

Terapi dapat diteruskan sampai mencapai kadar albumin yang diharapkan dengan syarat dosis tidak lebih dosis maksimal yaitu 250 g/48 jam 11 atau 2 g/kgBB/hari pada pendarahan tidak aktif agar dosis tidak melebihi beban sirkulasi albumin yang normal 12. Untuk volume dan kecepatan tetesan tergantung pada status volume, kondisi dan respon pasien terhadap pemberian albumin tetapi tidak boleh melebihi 2-3 ml/menit untuk larutan albumin 20% dan 25% 13. Menurut London Health Science Centre, human albumin 25% tidak boleh melebihi kecepatan tetesan 2 - 3 ml/menit karena berfungsi untuk menarik cairan dari ruang ekstravaskuler ke dalam sirkulasi vena dan menyebabkan kelebihan cairan dan semua cairan darah, plasma dan platelet harus diinfuskan dalam 4 jam setelah segel dibuka 18. Jika memakai kecepatan maksimal yaitu 2 ml/menit maka 100 ml albumin 20% dengan transfusi set 20 tetes/ml akan habis dalam waktu 50 menit dengan 40 tetes per menit dan total 2000 tetes. Pada pasien dengan nefrosis akut dapat diberi kombinasi 100 ml Albumin 20% dan diuretik yang tepat dan diulang setiap hari selama satu minggu 17 .

Gambar 5. Indikasi dan dosis Human Albumin 17.

2.5.2 Contoh Kasus:

Seorang pasien dengan berat 50 kg membutuhkan transfusi serum albumin dalam waktu 6 jam. Hasil pemeriksaan albumin pasien adalah 2 g/dl. Berapa kebutuhan albumin pasien serta jumlah tetes transfusi albumin per menit yang dibutuhkan jika kebutuhan serum albumin pasien harus dicapai dalam waktu 6 jam? Sediaan yang tersedia di RSUD adalah Fimalbumin 20% 100 ml.

Diketahui:

Berat badan = 50 kg

Albumin awal = 2 g/dl

Waktu = 6 jam

Faktor tetes transfusi set 1 cc = 20 tetes/menit

Sediaan serum albumin = 20% 100 ml = 20 g/100 ml = 200 mg/ml = 10 mg/tetes

Jawab:

Kebutuhan Albumin= Albumin x BB x 0,8

= (3,5 g/dl 2 g/dl) x 50 x 0,8 = 60 g/dl

Jumlah tetesan/menit= Jumlah kebutuhan cairan x faktor tetes

jam x 60 menit

= 300 ml x 20 tetes/menit=6000 tetes

6 x 60 menit360 menit

= 16,67 tetes/menit = 17 tetes/menit

Jumlah tetesan/jam = 17 tetes/menit x 60 menit = 1020 tetes/jam

Dosis/jam = 1020 tetes/jam x 10 mg = 10.2 g/jam

Dibuktikan dengan = Jumlah kebutuhan cairan x faktor tetes

Jumlah tetesan/menit x 60 menit

= 300 ml x 20 tetes/ml =6000 tetes

17 tetes/menit x 60 menit 1020 tetes

= 5.882 jam = 6 jam

Jadi pasien membutuhkan transfusi serum albumin 17 tetes/menit selama 6 jam untuk menghabiskan 300 ml serum albumin dengan menggunakan transfusi set 20 tetes/menit.

Selain terapi albumin, pasien juga membutuhkan cairan pemeliharaan guna memenuhi kebutuhan cairan yang hilang melalui urin, feses, paru dan kulit. Terapi cairan rumatan bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi dengan menggunakan cairan isotonic seperti Ringer Lactate, NACl 0.9% dan albumin 5%. Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi. Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan kardiovaskuler, tanda rehidrasi tercapai ialah dengan adanya produksi urine 0,5 ml/kgBB.

Rumus yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan cairan adalah rumus dari Holliday-Segar yaitu 14:

Gambar 5: Terapi cairan menurut Holliday-Segar 14.

Selama pemberian albumin, tanda-tanda vital pasien, tanda efek samping transfusi seperti gatal-gatal, ruam, mengigil, sesak napas, kecepatan trnasfusi, rasa sakit atau bengkak pada atau sekitar lokasi IV harus terus diperhatikan minimal setiap 15 menit.

BAB III

KESIMPULAN

Pasien dengan kadar protein albumin yang rendah dapat menurunkan daya tahan tubuh dan mempermudah infeksi, keadaan malnutrisi juga dapat menyebabkan komplikasi lain seperti luka yang sukar sembuh, oedema anasarka, gangguan motilitas usus, gangguan enzim dan metabolisme, kelemahan otot, atau hal-hal lain yang semuanya memperlambat penyembuhan pasien. Keadaan hipoalbumin pre-operatif yang tidak dikoreksi dapat menyebabkan komplikasi yang berat pasca-operatif dan berakibat fatal.

Penilaian pre-operatif dan persiapan yang optimal dapat menurunkan risiko komplikasi atau kematian pasca-operatif. Hipoalbuminemia merupakan faktor penyulit pada tindakan bedah dan anestesi, sehingga pemantauan pasca-operasi harus dilakukan secara optimal agar dapat menurunkan risiko komplikasi atau kematian pasca-operatif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Susetyowati, et al. 2006. Status gizi pasien bedah mayor preoperasi berpengaruh terhadap penyembuhan luka dan lama rawat inap pascaoperasi di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia 2010;VII(1).

2. Gupta, D., Lis, CG. 2010. Pretreatment serum albumin as predictor of cancer survival: A systematic review of the epidemiological literature. Nutritional Journal 2010; vol 9(69).

3. RSU Dokter Soetomo. 2003. Pedoman Penggunaan Albumin. Edisi II. Balai Penerbit FKUNAIR.

4. Keegan MT, Plevak DJ. Preoperative assessment of the patient with liver disease. Am J Gastroeterol 2005;100:2116-27.

5. Sacher, RA., Mcpherson, RA. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: ECG; ed II.

6. Supriyanta. 2012. Pengaruh Suplementasi Modisco Putih Telur Terhadap Perubahan Kadar Albumin pada Pasien Bedah dengan Hypoalbuminemia di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Med Hosp 2013; vol 1 (2) : 130-133.

7. U.S. Department of Health and Human Services Food and Drug Administration Center for Biologics Evaluation and Research. 2007. Guidance for Industry Toxicity Grading Scale for Healthy Adult and Adolescent Volunteers Enrolled in Preventive Vaccine Clinical Trials.

8. Suprihati, D. et al. 2013. Pengaruh Pemberian Tambahan Putih Telur pada Diet Tinggi Kalori dan Protein terhadap Kadar Albumin Darah Penderita Keganasan Kepala Leher dengan Hipoalbumin. Med Hosp 2013; vol 1 (3) : 159-163.

9. Wiryana, M. 2007. Nutrisi pada Penderita Kritis. J Peny Dalam; vol 8 (2) Mei 2007.

10. Cahyono, J. 2007. Manajemen Perioperatif Pada Pasien Penyakit Hati. Majalah Kedokteran Indonesia; vol 57 (3) November 2007.

11. Hoffman, R., et al. 2013. Hematology: Basic Principles and Practice. Philadelphia; Elsevier Saunders; ed VI. Chapter 116:1683.

12. Baxter Healthcare Corporation. 2013. Buminate 25%, Albumin (Human), USP, 25% Solution. Westlake Village: Baxter International Inc.

13. Medscape. Albumin IV. Diakses pada 4 Agustus 2014. (http://reference.medscape.com/drug/albuminar-alba-albumin-iv-342425#0)

14. McNeely, T., et al. 2012. Adult Fluid Replacement: Proof Behind the Formula. Ochsner Medical Center. Diakses pada 6 Agustus 2014. (http://academics.ochsner.org/uploadedFiles/Education/Knowledge_Management/Medical_Editing/Academic_Update/Articles/Honor%20EBP%20Pour.pdf)

15. Sutjahjo, RA., Sulistyono, H., Sunartomo, T. 1986. Terapi Cairan Paska Bedah, dalam Simposium Terapi Cairan pada Penderita Gawat.

16. Meilany, T., et al. 2012. Pengaruh Malnutrisi dan Faktor Lainnya terhadap Kejadian Wound Dehiscence pada Pembedahan Abdominal Anak pada Periode Perioperatif. Sari Pediatri 2012; vol. 14 (2).

17. Octapharma Pharmazeutika. 2008. Albumin (Human) Solution. Daily Med. Diakses pada 6 Agustus 2014. (http://dailymed.nlm.nih.gov/dailymed/lookup.cfm?setid=4ddaae99-05e1-e05c-e63c-0c58965d157d#section-2).

18. London Health Sciences Centre. 2014. Blood Transfusion Resource Manual. Pathology and Laboratory Medicine. Diakses pada 14 Agustus 2014. (http://www.lhsc.on.ca/lab/bldbank/btm/H_adminprod.pdf).

19. Kalbe Farma. 2004. Fimalbumin (Normal Human Serum Albumin 20%. Cermin Dunia Kedokteran; vol. 143 : 57.

1


Recommended